Top Banner
1 PENGARUH BELANJA MODAL TERHADAP PENINGKATAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROPINSI JAWA BARAT ABSTRAK Penelitian ini berjudul “ Pengaruh Belanja Modal Terhadap Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Barat.” Penelitian bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh secara parsial dan simultan dari belanja modal tahun 2006 dan 2007 terhadap peningkatan IPM 2008 di Propinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja modal tahun 2006 dan 2007 baik secara parsial maupun simultan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia tahun 2008. Namun demikian apabila dilihat dari bentuk hubungannya masih menunjukkan arah yang positif yang dapat diartikan setiap peningkatan belanja modal menyebabkan adanya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia. Hasil penelitian ini mencerminkan bahwa dalam struktur alokasi APBD dapat dikatakan belum sepenuhnya menggambarkan pembangunan kualitas manusia menjadi arah dan kebijakan pembangunan. Hal ini secara langsung berkaitan dengan ketersediaan dan keterpakaian fasilitas pendukung perbaikan Indeks Pembangunan Manusia yang masih dirasa kurang khususnya yang berkaitan dengan peningkatan daya beli masyarakat yang merupakan salah satu komponen pembentuk IPM selain komponen pendidikan dan kesehatan. Kata Kunci: Indeks Pembangunan Manusia dan Belanja Modal 1. PENDAHULUAN Dalam perencanaan pembangunan dewasa ini, pembangunan manusia senantiasa berada di baris terdepan. Pembangunan manusia (human developmnet) dirumuskan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk, yang dapat dilihat sebagai proses upaya ke arah” perluasan pilihan” dan sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut ( UNDP, 1990). Diantara berbagai pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan
21

PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

Dec 06, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

1

PENGARUH BELANJA MODAL TERHADAP

PENINGKATAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

DI PROPINSI JAWA BARAT

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “ Pengaruh Belanja Modal Terhadap Peningkatan

Indeks Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Barat.” Penelitian bertujuan

untuk melihat bagaimana pengaruh secara parsial dan simultan dari belanja modal

tahun 2006 dan 2007 terhadap peningkatan IPM 2008 di Propinsi Jawa Barat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja modal tahun 2006 dan 2007

baik secara parsial maupun simultan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan

terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia tahun 2008. Namun

demikian apabila dilihat dari bentuk hubungannya masih menunjukkan arah yang

positif yang dapat diartikan setiap peningkatan belanja modal menyebabkan

adanya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia. Hasil penelitian ini

mencerminkan bahwa dalam struktur alokasi APBD dapat dikatakan belum

sepenuhnya menggambarkan pembangunan kualitas manusia menjadi arah dan

kebijakan pembangunan. Hal ini secara langsung berkaitan dengan ketersediaan

dan keterpakaian fasilitas pendukung perbaikan Indeks Pembangunan Manusia

yang masih dirasa kurang khususnya yang berkaitan dengan peningkatan daya

beli masyarakat yang merupakan salah satu komponen pembentuk IPM selain

komponen pendidikan dan kesehatan.

Kata Kunci: Indeks Pembangunan Manusia dan Belanja Modal

1. PENDAHULUAN

Dalam perencanaan pembangunan dewasa ini, pembangunan manusia

senantiasa berada di baris terdepan. Pembangunan manusia (human developmnet)

dirumuskan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk, yang dapat dilihat sebagai

proses upaya ke arah” perluasan pilihan” dan sekaligus sebagai taraf yang dicapai

dari upaya tersebut ( UNDP, 1990). Diantara berbagai pilihan tersebut, pilihan

yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu

pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan

Page 2: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

2

agar dapat hidup secara layak. Diantara pilihan lain yang tak kalah pentingnya

adalah kebebasan berpolitik, jaminan atas hak azasi manusia dan haga diri.

Sejalan dengan perkembangan pendekatan pembangunan manusia di atas,

pada tahun 1990 PBB melalui UNDP menetapkan sebuah tolok ukur untuk

mengukur hasil-hasil pembangunan manusia dengan indikator IPM (Indeks

Pembangunan Manusia = Human Development Index, HDI). IPM pada dasarnya

adalah nilai yang menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang diukur dari

3 (tiga) komponen utama ( BPS dan UNDP,1997) yaitu :

1. Kesehatan diukur dengan usia yang panjang dan sehat atau diukur dengan

Angka Harapan Hidup (AHH)

2. Pendidikan diukur dengan Kemampuan baca tulis atau Angka Melek Huruf

(AMH) dan angka partisipasi pendidikan yang telah ditamatkan atau Rata-

rata Lama Sekolah (RLS).

3. Ekonomi diukur dengan Standar hidup yang layak dengan pendekatan

Produk Domestik Bruto per Kapita pada tingkat konsumsi riil per kapita atau

kemampuan daya beli masyarakat.

Seiring bergulirnya otonomi daerah, Pemerintah Propinsi Jawa Barat

merespon dengan memfokuskan kebijakan pembangunan pada upaya peningkatan

kualitas sumber daya manusia secara nyata dan berkelanjutan (sustainable).

Pemerintah Jawa Barat telah menetapkan visi dan misi pembangunan yang

menjadi arah dan pendorong kebijakan pembangunan berkelanjutan agar terwujud

Jawa Barat dengan Iman dan Taqwa sebagai propinsi termaju dan mitra terdepan

pada Tahun 2010. Keberhasilan dari pencapaian visi tersebut salah satu satunya

Page 3: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

3

dilihat dari tercapainya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Barat pada

Tahun 2010 sebesar 80. Secara sederhana dengan meningkatnya pencapaian IPM

berarti meningkatnya satu atau lebih komponen IPM yang meliputi komponen

pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat yang berarti pula masyarakat

dapat menjangkau dan mengenyam pendidikan, mampu dan mudah memperoleh

pelayanan kesehatan serta mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Adapun perkembangan IPM Jawa Barat selama periode 2003 sampai

dengan 2008 adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Perkembangan IPM Propinsi Jawa Barat periode 2003-2008

Tahun IPM Peningkatan

2003 67,87 -

2004 68,36 0.49

2005 69,35 0.99

2006 70,32 0.97

2007 70,71 0.39

2008 71,12 0.41

Sumber: BPS, IPM Kabupaten/Kota Jawa Barat 2003-2008

Dari tabel 1 di atas, dapat diketahui bahwa tingkat pencapaian IPM hingga

tahun 2008 yaitu 71,12 poin. Hal yang menarik dari tabel 1 di atas adalah

peningkatan IPM Propinsi Jawa Barat cenderung menurun sejak tahun 2005 yaitu

dari 0,99 poin menjadi 0,41 poin pada tahun 2008. Hal ini sangat menarik untuk

dikaji sehubungan bahwa target IPM Jawa Barat tahun 2010 adalah 80. Melihat

kondisi IPM yang cenderung tidak meningkat secara signifikan, maka pemerintah

dan masyarakat Jawa Barat pada umumnya perlu kerja keras menggunakan

seluruh sumber daya yang dimiliki supaya kesejahteraan masyarakat Jawa Barat

dan IPM sebesar 80 pada tahun 2010 juga dapat dicapai.

Page 4: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

4

Tingkat pencapaian IPM salah satunya ditentukan oleh kemampuan

keuangan daerah, terutama kebijakan alokasi belanja dalam APBD, baik yang

ditujukan secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap komponen

pembentuk IPM seperti : Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi, Infrastruktur maupun

komponen lainnya yang berpengaruh terhadap pencapaian IPM dan pengurangan

penduduk miskin. Kontribusi APBD (Rp 5769,18 miliar) terhadap total PDRB

(Rp 70680 miliar) di Jawa Barat pada tahun 2007 yaitu sekitar 8,16%. Hal ini

menunjukkan bahwa secara ekonomi, kontribusi dari swasta dan masyarakat

masih lebih besar daripada kontribusi pemerintah. Oleh karenanya, ketepatan dari

alokasi belanja daerah dalam APBD sangat mempengaruhi tingkat pencapaian

IPM dan menurunnya jumlah penduduk miskin.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk melakukan studi

tentang penggunaan APBD yang variabelnya diwakili oleh belanja modal per

perkapita terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Barat.

II. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini memiliki tujuan yaitu:

1. Untuk mengetahui perkembangan belanja modal di Propinsi Jawa Barat

2. Untuk mengetahui perkembangan Indeks Pembangunan Manusia di Propinsi

Jawa Barat

3. Untuk mengetahui pengaruh belanja modal terhadap peningkatan Indeks

Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Barat

Page 5: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

5

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index

(HDI) merupakan suatu indeks komposit yang mencakup tiga bidang

pembangunan manusia yang dianggap sangat mendasar yaitu usia hidup

(longetivity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living).

Secara umum metode penghitungan IPM sesuai dengan metode yang digunakan

The United Nations Development Programme (UNDP) dalam menghitung HDI.

Adapun komponen - komponen IPM meliputi usia hidup, pengetahuan, dan

standar hidup (daya beli). Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup waktu

lahir (life expectancy at birth). Untuk komponen pengetahuan diukur dengan dua

indikator yaitu angka melek huruf (literacy rate) penduduk 10 tahun keatas dan

rata-rata lama sekolah (mean–years of schooling). Sebagai catatan, UNDP dalam

publikasi tahunan HDR sejak 1995 mengganti rata- rata lama sekolah dengan

partisipasi sekolah dasar, menengah, dan tinggi karena alasan kesulitan

memperoleh datanya sekalipun diakui bahwa indikator yang kedua kurang sesuai

sebagai indikator dampak. Angka melek huruf diolah dari variabel kemampuan

membaca dan menulis, sedangkan rata- rata lama sekolah dihitung menggunakan

tiga variabel secara simultan yaitu partisipasi sekolah, tingkat/kelas yang

sedang/pernah dijalani, dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan.

Sementara itu indikator standar hidup layak menggunakan indikator GDP

per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagaimana

ditentukan oleh UNDP. Namun BPS menggunakan indikator „‟rata-rata

Page 6: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

6

pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan„‟ (adjuisted real per capita

expenditure).

Untuk melihat perkembangan tingkatan status IPM dibedakan 4 kriteria

dimana status menengah dipecah menjadi dua seperti dibawah ini :

1. Rendah dengan nilai IPM kurang dari 50

2. Menengah Bawah dengan nilai IPM berada diantara 50 sampai kurang dari 66

3. Menengah Atas dengan nilai IPM berada antara 66 sampai kurang dari 80

4. Tinggi dengan nilai IPM lebih atau sama dengan 80

Jika status pembangunan manusia masih berada pada kriteria rendah hal

ini berarti kinerja pembangunan manusia daerah tersebut masih memerlukan

perhatian khusus untuk mengejar ketinggalannya. Begitu juga jika status

pembangunan manusia masih berada pada kriteria menengah hal ini berarti

pembangunan manusia masih perlu ditingkatkan. Jika daerah tersebut mempunyai

status pembangunan manusia tinggi hal ini berarti kinerja pembangunan manusia

daerah tersebut sudah baik/optimal maka perlu dipertahankan supaya kualitas

sumber daya manusia tersebut lebih produktif sehingga memiliki produktivitas

yang tinggi.

Hakekat pembangunan pada dasarnya adalah pembangunan manusia

(Suyanto,2009). Pembangunan harus memberikan dampak terhadap peningkatan

kualitas hidup manusia secara menyeluruh, baik menyangkut pemenuhan

kebutuhan fisik maupun non fisik. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau

disebut juga dengan Human Development Index (HDI) adalah indeks komposit

untuk mengukur pencapaian kualitas pembangunan manusia untuk dapat hidup

Page 7: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

7

secara lebih berkualitas, baik dari aspek kesehatan, pendidikan, maupun aspek

ekonomi(UNDP, 2004). IPM juga digunakan untuk mengklasifikasikan apakah

sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang

dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas

hidup (UNDP, 1996). IPM mulai digunakan oleh UNDP sejak tahun 1990 untuk

mengukur upaya pencapaian pembangunan manusia suatu negara. Walaupun IPM

tidak dapat mengukur semua dimensi dari pembangunan, namun mampu

mengukur dimensi pokok pembangunan manusia yang dinilai mencerminkan

status kemampuan dasar (basic capabilities) penduduk.

Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia terdapat empat

hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu produktifitas, pemerataan,

kesinambungan, dan pemberdayaan (UNDP, 1995:12). Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Priyo Hari Adi dkk (2009), tentang hubungan belanja modal dan

kualitas pembangunan manusia di Kabupaten dan Kota se-Jawa Tengah

menunjukkan bahwa IPM dapat dijelaskan oleh belanja modal sebesar 43,6% dan

selebihnya dijelaskan oleh faktor/variabel lainnya.

3.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan

penjabaran kuantitatif dari tujuan dan sasaran Pemerintah Daerah serta tugas

pokok dan fungsi unit kerja, sehingga anggaran daerah merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari seluruh proses perencanaan pembangunan daerah.

Anggaran juga merupakan cermin finansial ekonomi masyarakat serta pilihan

masyarakat. Untuk dapat melaksanakan kewajibannya, pemerintah daerah perlu

Page 8: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

8

melakukan dua hal, yaitu (1) pengumpulan sumber daya dari masyarakat secara

efisien yang terkumpul dalam komponen pendapatan, (2) pengalokasian dan

penggunaan sumber daya secara responsif, efektif, dan efisien kedalam anggaran

yang direfleksikan dalam komponen Belanja.

Salah satu penentu tingkat pencapaian IPM adalah kemampuan keuangan

daerah, terutama kebijakan alokasi belanja dalam APBD, baik yang ditujukan

secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap komponen pembentuk

IPM seperti : Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi, Infrastruktur maupun komponen

lainnya yang berpengaruh terhadap pencapaian IPM. Alokasi anggaran

pemerintah daerah khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan dan

kemiskinan adalah amanah dari undang-undang.

Dalam struktur APBD, pengeluaran daerah didefinisikan sebagai uang

yang keluar dari kas daerah. Sedangkan belanja daerah didefinisikan sebagai

semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas

dana, dan merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan

diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah (BPPK Departemen Keuangan,

2006)

Secara garis besar, pokok-pokok penyusunan APBD mencakup

penerimaan dan pengeluaran. Jenis penerimaan meliputi pendapatan daerah dan

pembiayaan daerah. Sedangkan jenis pengeluaran meliputi belanja tidak langsung

(indirect expenditure) dan belanja langsung (direct expenditure) serta pembiayaan

daerah (local government financing).

Page 9: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

9

3.3 Belanja Modal

Belanja modal merupakan bagian dari belanja langsung. Belanja langsung

adalah belanja yang terkait langsung dengan pelaksanaan kegiatan dan dapat

diukur dengan capaian prestasi kerja yang telah ditetapkan. Kelompok belanja

langsung ini terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja

modal.

Definisi belanja modal mempunyai kesamaan dimensi (dimensi investasi)

dengan definisi belanja pembangunan. Belanja pembangunan diartikan sebagai

pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan

menambah aset atau kekayaan bagi daerah, yang selanjutnya akan menambah

anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya (Halim , 2002:72).

Menurut kamus Hukum & Glosarium Otonomi Daerah ( Yayasan Inovasi

Pemerintahan Daerah tahun 2010), Belanja modal adalah belanja (investasi) yang

dibuat untuk proyek investasi modal (Capital Expenditure). Belanja

pembangunan merupakan semua pengeluaran negara yang diperuntukkan bagi

pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang terbagi dalam beberapa sektor,

baik di tingkat pusat maupun daerah. Terdiri dari bermacam-macam pengeluaran

seperti pengeluaran pembangunan SD, pusat kesehatan (Puskesmas), penyertaan

modal pemerintah di perusahaan-perusahaan dan pengeluaran pembangunan

melalui inpres pasar, inpres jalan, dan inpres reboisasi.

Belanja modal merupakan salah satu komponen belanja langsung. Belanja

Modal adalah belanja yang dilakukan pemerintah yang menghasilkan aktiva tetap

tertentu (Nordiawan,2006). Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset

Page 10: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

10

tetap pemerintah daerah, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap

lainnya. Menurut Halim (2006), belanja modal merupakan belanja yang

manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan

daerah serta akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya

pemeliharaan. Munir (2003:36) juga menyatakan hal senada, bahwa belanja

modal memiliki karakteristik spesifik dan menunjukkan adanya berbagai

pertimbangan dalam pengalokasiannya. Pemerolehan aset tetap juga memiliki

konsekuensi pada beban operasional dan pemeliharaan pada masa yang akan

datang (Bland & Nunn, 1992). Dewi (2006) dan Syaiful (2008) mengutarakan

bahwa belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka

pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap / inventaris yang

memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya

adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau

menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.

Selanjutnya dalam bentuk persamaan maka spesifikasi model dalam

penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

IPM2008 =f (Belanja Modal 2006, Belanja Modal 2007 )

IV. METODE ANALISIS DATA

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

data kuantitatif yaitu berupa analisis regresi liner yang menggambarkan sebuah

hubungan kausalitas. Adapun data yang digunakan akan adalah data silang (cross

section). Model regresi dalam penelitan ini adalah sebagai berikut:

Page 11: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

11

IPM 2008 = 0 +1BM2006 +2BM2007 + e

Dimana :

0 = Konstanta

1, 2 = Koefisien

IPM 2008 = Indeks Pembangunan Manusia tahun 2008

BM2006 = Belanja Modal tahun 2006

BM2007 = Belanja Modalun tahun 2007

e = error term

Dari persamaan regresi di atas, selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis

signifikansi parameter yang dilakukan untuk mengetahui signifikan tidaknya

pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Adapun bentuk

pengujiannya sebagai berikut:

1. Pengujian parsial

H0: 1 atau 1 =0, artinya variabel independen yang dihipotesiskan tidak

berpengaruh terhadap variabel dependen

H1 : 1 atau 1 ≠0, artinya variabel independen yang dihipotesiskan berpengaruh

terhadap variabel dependen

Batasan untuk menolak atau tidak menolak Ho adalah dengan membandingkan

hasil signifikansi setiap parameter dengan 0,05. Apabila nilai sig. lebih besar dari

0,05 maka Ho tidak ditolak dan sebaliknya apabila lebih kecil dari 0,05 maka Ho

ditolak.

2. Pengujian simultan

H0: 1=2=0, artinya kedua variabel independen secara simultan tidak

berpengaruh terhadap variabel dependen

Page 12: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

12

H1 : 1 ≠2, artinya kedua variabel independen secara simultan berpengaruh

terhadap variabel dependen

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh simultan variabel independen

terhadap variabel dependen yaitu dengan menghitung koefisien determinasi (R2 )

dan diuji dengan menggunakan uji F atau dengan membandingkan signifikansi

dengan 0,05.

Koefisien determinasi adalah bagian dari keragaman total dependen yang

dapat diterangkan atau diperhitungkan oleh keragaman variabel independent

(Gujarati, 2003). Nilai R diperoleh dari rumus sebagai berikut:

Nilai ry1, ry2, r12 diperoleh dari rumus koefisien korelasi product moment

sebagai beikut:

Sedangkan rumus uji F adalah sebagai berikut:

K-1 = derajat pembilang

n-k = derajat penyebut

databanyakn

ersepttermasukkoefisienbanyakk

knR

kRF

int

/1

)1/(2

2

2

12

1221

2

2

2

1

12.1

2

r

rrrrrR

yyyy

y

Page 13: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

13

V. PEMBAHASAN

5.1 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Barat

per Kabupaten/Kota

Pembangunan manusia merupakan model pembangunan yang bertujuan

untuk memperluas peluang agar penduduk dapat hidup layak. Tujuan tersebut

akan dapat tercapai jika setiap orang memperoleh peluang seluas-luasnya untuk

hidup sehat dan panjang, untuk berpendidikan dan berketerampilan serta

mempunyai pendapatan yang diperlukan untuk hidup. Secara keseluruhan tingkat

pencapaian pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) di Provinsi Jawa Barat selama Periode 2003-2008 menunjukkan

peningkatan namun dengan kecepatan pertumbuhan IPM yang relatif melambat.

Kabupaten/Kota yang menduduki IPM tertinggi pada tahun 2008 yaitu

Kota Depok yaitu sebesar 78,36 kemudian diikuti oleh Kota Bekasi (75,73), Kota

Bandung (75,35), Kota Bogor (75,16), Kota Cimahi (74,79), Kota Cirebon (74,26)

dan Kota Sukabumi sebesar 74,17. Sedangkan 6 kabupaten yang menempati

posisi IPM terendah adalah Kab. Sukabumi sebesar 69,67 dan disusul oleh Kab.

2

2

2

2

2

1

2

1

21211221

2

2

2

2

22

2222

2

1

2

1

22

1111

XXnXXn

XXXXnrataur

XXnYYn

XYYXnrataur

XXnYYn

XYYXnrataur

XX

yXY

yXY

Page 14: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

14

Majalengka (69,40), Kab. Karawang (69,06), Kab. Cianjur (68,16), Kab. Cirebon

(67,71) dan Kab. Indramayu sebesar 66,78 sebagaimana diperlihatkan pada tabel

2 berikut ini.

Tabel 2 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia per Kabupaten/Kota

di Jawa Barat 2003 2004 2005 2006 2007 2008

1 Kab. Bogor 67.81 68.10 68.99 69.73 70.08 70.66

2 Kab. Sukabumi 67.13 67.56 68.54 68.88 69.21 69.67

3 Kab. Cianjur 65.58 66.18 66.79 67.10 67.65 68.16

4 Kab. Bandung 67.51 68.52 69.16 72.45 72.63 73.03

5 Kab. Garut 65.21 66.31 67.03 69.46 69.99 70.53

6 Kab. Tasikmalaya 67.06 68.46 69.08 70.86 71.23 71.35

7 Kab. Ciamis 69.93 70.89 71.08 69.80 70.14 70.57

8 Kab. Kuningan 67.28 68.00 68.80 69.21 69.70 70.11

9 Kab. Cirebon 63.00 63.97 64.58 66.32 67.30 67.71

10 Kab. Majalengka 67.35 68.01 68.52 68.41 68.94 69.40

11 Kab. Sumedang 69.67 70.65 71.40 70.56 71.30 71.68

12 Kab. Indramayu 61.90 63.24 64.48 65.26 66.22 66.78

13 Kab. Subang 67.42 68.20 68.47 69.86 70.03 70.43

14 Kab.Purwakarta 68.19 68.86 69.52 68.86 69.88 70.31

15 Kab. Karawang 64.33 65.04 66.35 66.95 68.45 69.06

16 Kab. Bekasi 69.78 70.52 70.88 70.72 71.55 72.10

17 Kota Bogor 73.96 74.64 74.94 74.57 74.73 75.16

18 Kota Sukabumi 73.40 73.96 74.58 73.00 73.66 74.17

19 Kota Bandung 77.15 77.17 77.42 74.52 74.86 75.35

20 Kota Cirebon 71.00 71.92 72.52 73.80 73.87 74.26

21 Kota Bekasi 73.49 74.95 75.48 74.82 75.31 75.73

22 Kota Depok 76.13 76.85 77.81 77.67 77.89 78.36

23 Kota Cimahi 71.98 73.83 75.16 73.35 74.42 74.79

24 Kota Tasikmalaya 69.78 71.05 71.62 72.26 72.72 73.35

25 Kota Banjar 70.96 71.52 71.73 69.63 70.17 70.62

26 Jawa Barat 67.87 68.36 69.35 70.32 70.71 71.12

Sumber: BPS, IPM Kabupaten/Kota Jawa Barat 2003-2008

Page 15: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

15

Peningkatan IPM di Provinsi Jawa Barat ini berhubungan langsung

dengan perbaikan beberapa indikator sosial misalnya, angka melek huruf dewasa

terus meningkat seiring dengan meningkatnya angka partisipasi sekolah. Indikator

lain juga mencatat kemajuan seperti Angka Harapan Hidup serta pengeluaran riil

per kapita (paritas daya beli) sebagaimana diperlihatkan pada gambar 1 berikut

ini:

Gambar 1. Perkembangan Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-

rata Lama Sekolah, dan Purchasing Power Parity di Provinsi Jawa

Barat Periode 2003-2008

Sumber : BPS, IPM Kabupaten/Kota Jawa Barat 2003-2008

5.2 Perkembangan Belanja Modal di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006-2007

Persentase belanja modal Kabupaten/Kota se Jawa Barat tahun 2006 dan

2007 terhadap total penerimaan daerah masing – masing yaitu sekitar 20.60% dan

21.64%. Apabila dilihat persentase belanja modal dari belanja langsung pada

Page 16: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

16

periode 2006 dan 2007, telah menunjukkan adanya penurunan dimana pada tahun

2006 persentasenya mencapai 55,45% dan pada tahun 2007 menjadi 47,96%.

Kabupaten dengan persentase belanja modal tertinggi pada tahun 2006

adalah Kota Cirebon yaitu mencapai 36.85%, disusul oleh Kota Bekasi (35.87%),

Kab. Bekasi (27.03%), Kota Tasikmalaya (24.97%) dan Kab. Bogor (24.90%).

Namun pada tahun 2007, posisi Kota Cirebon dan keempat kabupaten lainnya

(Kota Bekasi, Kab. Bekasi, Kota Tasikmalaya, Kab. Bogor) tergeser oleh Kota

Banjar yang menempati posisi tertinggi yaitu sebesar 42.33%

Sementara itu Kabupaten yang menempati posisi terendah pada tahun

2006 adalah Kab. Sukabumi yaitu hanya sebesar 7.95% dan tahun 2007 adalah

Kab. Sumedang yaitu mencapai 12.30%. Perkembangan rasio belanja modal

terhadap total penerimaan Kabupaten/Kota se Jawa Barat tahun 2006 dan 2007

diperlihatkan pada gambar 2

Gambar 2. Perkembangan Rasio Belanja Modal terhadap Total Penerimaan

Daerah di Kabupaten/Kota se Provinsi Jawa Barat periode 2006-

2007

Sumber: BPS, Realisasi Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi

Jawa Barat periode 2006-2007

Page 17: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

17

5.3 Pengaruh Belanja Modal terhadap Peningkatan Indeks Pembangunan

Manusia di Propinsi Jawa Barat

Tingkat pencapaian IPM terhadap peningkatan Indeks Pembangunan

Manusia salah satunya ditentukan oleh kemampuan keuangan daerah, terutama

kebijakan alokasi belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, baik

yang ditujukan secara langsung maupun tidak langsung terhadap komponen

pembentuk IPM seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastrutktur

lainnya yang berpengaruh terhadap pencapaian IPM.

Penelitian ini mengamati proses bagaimana pendapatan daerah

mempengaruhi pencapaian IPM yaitu dengan melihat pola anggaran belanja

modal perkapita. Adapun estimasi dan hasil perhitungan regresi dapat dilihat pada

persamaan berikut ini:

IPM 2008 = 3,966 + 0,003APBD2006 + 0,023APBD2007

t-stat 0,186 t-stat 1,434

R2= 0,126 Fstat =1,579

Berdasarkan persamaan regresi di atas, diketahui R2 sebesar 12,6% yang

dapat ditafsirkan bahwa 12,6% IPM 2008 di Jawa Barat dipengaruhi oleh APBD

2006 dan APBD 2007 dan sisanya 87,4% dipengaruhi oleh variabel lain yang ada

diluar model. Adapun pengujian pengaruh simultan dari variabel-variabel yang

mempengaruhi IPM yaitu dengan menggunakan uji F. Adapun nilai batas krits

uji-F diperlihatkan pada tabel 3 berikut ini:

Page 18: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

18

Tabel 3. Nilai Batas Kritis Uji-F Hasil Regresi

N2 N1

0,05 0,01

22 2 3,44 5,72

Keterangan : n1 = df numerator (k-1)

n2 = df denumerator (n-k)

= tingkat signifikansi

Berdasarkan hasil uji F maka diketahui bahwa ternyata secara

bersama-sama APBD 2006 dan APBD 2007 tersebut tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap peningkatan IPM 2008. Hal ini terlihat dari hasil uji F-

statistik sebesar 1,579 yang nilainya lebih kecil dari 3,44 dan 5,72 pada tingkat

signifikansi 5% dan 1%.

Sementara itu hasil perhitungan untuk menguji apakah belanja modal 2006

2007 secara parsial mempunyai pengaruh yang nyata terhadap peningkatan IPM

di Propinsi Jawa Barat, ternyata diketahui belanja modal 2006 dan 2007 tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap IPM 2008 di Jawa Barat. Namun

demikian, apabila dilihat dari bentuk hubungannya masih menunjukkan arah

hubungan yang positif yang dapat diartikan bahwa:

1. Setiap peningkatan APBD 2006 sebesar 1% (ceteris paribus), maka akan

meningkatkan IPM 2008 sebesar 0,003%

2. Setiap peningkatan APBD 2007 sebesar 1% (ceteris paribus), maka akan

meningkatkan IPM 2008 sebesar 0,023%

Page 19: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

19

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Belanja modal tahun 2006 dan 2007 baik secara parsial maupun simultan

tidak berpengaruh secara signifikan terhadap IPM 2008 di Jawa Barat. Hasil ini

mencerminkan bahwa dalam struktur alokasi APBD belum sepenuhnya

menggambarkan pembangunan kualitas manusia menjadi arah dan kebijakan

pembangunan. Hal ini secara langsung berkaitan dengan ketersediaan dan

keterpakaian fasilitas pendukung perbaikan IPM masih dirasa kurang. Dengan

kata lain rendahnya IPM di Jawa Barat belum sepenuhnya di jawab tuntas oleh

sistem perencanaan dan pengendalian pembangunan.

6.2 Saran

1. Kultur manajemen pemerintahan daerah, serta ukuran-ukuran kinerjanya

perlu di digerakan secara optimal. Hal ini berkaitan dengan berubahnya

konsep government (pemerintah) menjadi governance (kepemerintahan) yang

berimplikasi luas pada kinerja pelayanan publik.

2. Peran pendampingan (advisor) untuk mengimplementasikan kewenangan dan

keleluasaan bagi kabupaten/kota, perlu dijalankan oleh pemerintahan

propinsi. Hal ini sehubungan dengan implementasi otonomi daerah yang

belum sepenuhnya berjalan dengan baik.

3. Mutu perencanaan dan pengendalian yang terkait dengan peningkatan IPM

harus diperbaiki.

Page 20: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

20

DAFTAR PUSTAKA

Bland, Robert & Samuel Nunn. 1992. The impact of capital spending on municipal

operating budgets. Public Budgeting & Finance (Summer): 32-47.

-----,Biro Pusat Statistik dan UNDP 1997. Ringkasan Laporan Pembangunan

Manusia Indonesia. Jakarta

-----,BPS Propinsi Jawa Barat. Basis Data Analisis IPM Jabar 2007.

-----,BPPK Departemen Keuangan. 2006. Pengantar Keuangan Daerah.

-----,Badan Pusat Statistik, Indeks Pembangunan Manusia 2007-2008. Jakarta-

Indonesia

-----,BPS Propinsi Jawa Barat, Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat 2006-2007

-----,BPS Propinsi Jawa Barat, Penyusunan Data Basis untuk Analisis IPM Jawa

Barat 2006-2008

Dewi, Adha. 2006. Kajian Penerapan Akuntansi Biaya pada Anggaran Belanja

Daerah

Gujarati,Damodar N. 2003. Basic Econometrics. 4rd

Edition. McGraw-Hill

Company. International Edition

-----,Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung, 11 April 2003

Halim, Abdul & Syukriy Abdullah, Studi atas Belanja Modal pada Anggaran

Pemerintah Daerah dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan dan

Sumber Pendapatan Jurnal Akuntansi Pemerintah Vol. 2, No. 2, November 2006

Nordiawan, Deddi, Akuntansi Sektor Publik. 2006. Salemba Empa. Jakarta.

-----,Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang

PedomanPengelolaan Keuangan Daerah.

Sugiyono. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan keenam. Bandung. Alfabeta, 2004

Suryadarma dan Suryahadi. 2007. The Impact of Private Growth Sector o Poverty

Reduction. Evidence from Indonesia. SMERU Working Paper,April 2007

Syaiful. 2008. Pengertian dan Perlakuan Akuntansi Belanja Barang dan Belanja

Modal dalam Kaidah Akuntansi Pemerintahan. Jakarta

Page 21: PENGARUH BELANJA MODAL TERHDP IPM.pdf

21

Todaro, Michael P. 2000.Economic Development , Addison-Wesley Publishing

Company

UNDP. 1996. Human Development Report. Oxford University Press. New York

_____. 2004. Human Development Report. United Nations Development

Programme. New York

World Bank. 2006. World Development Report.

BIO DATA PENULIS:

Nama : Euis Eti Sumiyati

Dosen : Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi UNJANI