PENGALIHAN HAK ATAS TANAH TERLANTAR DENGAN STUDI KASUS PT. WANAWISATA ALAM HAYATI MAKALAH Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Kriteria Penilaian Dalam Mata Kuliah Hukum Agraria KELOMPOK VIII: Rio Steva Christyardo 0910611037 Hari Pamungkas 0910611044 Sandy Muslim 0910611047 Hery Purnomo 0910611052 Alif Bam Al Ikhlas 0910611054 Strata Satu Ilmu Hukum
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH TERLANTAR DENGAN STUDI KASUS
PT. WANAWISATA ALAM HAYATI
MAKALAH
Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Kriteria Penilaian Dalam Mata Kuliah
Hukum Agraria
KELOMPOK VIII:
Rio Steva Christyardo 0910611037
Hari Pamungkas 0910611044
Sandy Muslim 0910611047
Hery Purnomo 0910611052
Alif Bam Al Ikhlas 0910611054
Strata Satu Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga
penyusunan makalah ini dapat terselesaikan. Adapun judul dari makalah ini adalah
”Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar Dengan Studi Kasus PT. Wanawisata Alam
Hayati”. Penyusunan makalah ini ditujukan intuk memenuhi salah satu kriteria penilaian
dalam mata kuliah Hukum Agraria semester genap di Universitas Pembangunan
Nasional ”Veteran” Jakarta.
Makalah ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya
dukungan moril dan materiil dari berbagai pihak. Karena itu, penyusun mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua, yang telah memberi dukungan dan membantu dalam
Munculnya kasus dan sengketa tanah banyak yang berawal dari tanah
terlantar. Disisi lain pemerintah sulit melakukan kebijakan peralihan tanah
terlantar menjadi tanah Negara,karena pelaku tanah terlantar umumnya orang
yang bermodal besar, akibatnya.bidang tanah terlantar terus terjadi,sehingga
menyebabkan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah.
Pada akhirnya menambah problematika tanah sebagai kebutuhan pokok
manusia,padahal prinsip fungsi social, mewajibkan setiap individu atau badan
hukum wajib memelihara tanah,menambah kesuburan,mencegah terjadinya
kerusakan,sehingga tanah bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat.akibatnya
banyak timbul slogan “banyak orang tidak memiliki tanah dan sedikit orang
menguasai banyak tanah”.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 telah menyatakan bahwa
“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Secara
filososfis pasal 1 ayat 3 Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa hubungan antara
bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2)
pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Hal itu berarti bahwa hubungan
antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan kekayaan yang terkandung
didalamnya bukan hanya berhubungan dengan generasi saat ini saja, melainkan
juga untuk generasi yang akan datang.
Oleh karena itu sumber daya alam yang ada harus dijaga dan
dimanfaatkan sebaik mungkin, sebab jika suber daya tersebut dalam hal ini hak
atas tanah tidak dilaksanakan sesuai peruntukan dan tujuan dari hak atas tanah
tersebut. Maka hak atas tanah tersebut akan dicabut dan dikategorikan sebagai
tanah terlantar sehingga Negara akan mengambil alih hak atas tanah tersebut
menjadi tanah Negara. Secara yuridis ketentuan mengenai tanah terlantar
ternyata dalam pasal 27, 34, dan 40 UUPA . hal inilah yang melatarbelakangi
pemilihan judul “Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar dengan Studi Kasus PT
Wanawisata Alam Hayati”
1.2. Rumusan Masalah
Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan
tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk
mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah), dan tidak berkeadilan, serta juga
merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para
Pemegang Hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.
Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai
tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan
ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya
petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial.
Negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada
Pemegang Hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta
dipelihara dengan baik selain untuk kesejahteraan bagi Pemegang Haknya juga
harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Ketika
Negara memberikan hak kepada orang atau badan hukum selalu diiringi
kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan surat keputusan
pemberian haknya. Karena itu Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya,
dan jika Pemegang Hak menelantarkan tanahnya, Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria telah mengatur akibat hukumnya yaitu hapusnya hak atas tanah yang
bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara.
Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar
penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan
sesuatu hak atas tanah sesuai Pasal 4 juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Oleh karena itu
orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah,
baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang lain, memperoleh penunjukan
dari pemegang Hak Pengelolaan, karena memperoleh izin lokasi, atau
memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan berkewajiban memelihara
tanahnya, mengusahakannya dengan baik, tidak menelantarkannya, serta
mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah. Meskipun yang
bersangkutan belum mendapat hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya
maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan
dan ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Permasalahan mengenai tanah terlantar ini merupakan problematika
mengenai peruntukan tanah maupun penguasaan atas tanah. Sebagaimana kita
ketahui bahwa UUPA belum menjelaskan secara rinci deskripsi mengenai
penelantaran tanah yang dimaksud, bahkan Peraturan Pemerintah No.36 Tahun
1998 Juncto Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2010 yang belum juga
memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai penetapan suatu tanah yang
telah diberi hak penguasaan atas tanah kepada subyek hukum oleh pemerintah
sebagai regulator.
Dari uraian di atas, penyusun dapat mengemukakan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah tanah terlantar itu, dan bagaimanakah sebidang tanah dapat
dikategorikan sebagai tanah terlantar?
2. Bagaimanakah sistematika peralihan hak penguasaan atas tanah menjadi
tanah terlantar yang dikuasai langsung oleh negara?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penyebab permasalahan terjadinya penelantaran tanah.
2. Untuk mengetahui cara peralihan hak penguasaan atas tanah terlantar.
3. Untuk memberi pemahaman terhadap hak penguasaan atas tanah beserta
batas-batas penetapan suatu hak penguasaan atas tanah.
1.4. Metode dan Teknik Penulisan
Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan karya tulis
ini adalah metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan
data dan informasi yang bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan
dijadikan dasar atau pedoman untuk melihat adanya ketidaksesuaian antara teori
dengan kenyataan sebagai penyebab dari permasalahan yang dibahas dalam
karya tulis ini. Sumber – sumber yang dijadikan sebagai rujukan untuk studi
pustaka diperoleh dari berbagai sumber bacaan. Baik itu buku maupun situs –
situs yang ada di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tinjauan Umum Mengenai Penguasaan
Secara etimologi penguasaan berasal dari kata “kuasa” yang
berarti kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu, kuatan
atau wewenang atas sesuatu untuk menentukan (memerintah, mewakili,
mengurus dan sebagainya) sesuatu itu, sedangkan “penguasaan” dapat
diartikan sebagai suatu proses, cara, perbuatan menguasai atau
kesanggupan untuk menggunakan sesuatu (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Jadi menurut bahasa, penguasaan atas tanah dapat diartikan
sebagai proses, cara atau perbuatan untuk menguasai sebidang tanah
yang berisikan wewenang dan kesanggupan dalam menggunakan dan
memanfaatkannya untuk kelangsungan hidup.
Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti
fisik juga dalam arti yuridis. Dalam arti fisik secara nyata pemegang hak
menguasai tanah (tanah dalam penguasaan). Penguasaan dalam arti
yuridis, dilandasi oleh “hak” yang dilindungi oleh hukum dan umumnya
member kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara
fisik tanah yang menjadi haknya. Tetapi ada juga penguasaan yuridis
yang biarpun member kewenangan untuk menguasai tanah haknya
secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.
Dalam hal ini peran hukum menjadi sangat penting peranannya
untuk memutuskan, apakah penguasaan seseorang terhadap benda,
termasuk tanah, akan memperoleh perlindungan hukum atau tidak. Oleh
karena penguasaan bersifat faktual, maka ukuran untuk memberikan
perlindungan hukum pun bersifat faktual pula, nyata-nyata barang itu
berada di bawah kekuasaannya.
2.1.1. Hak Penguasaan Atas Tanah
Hak penguasaan atas tanah adalah suatu hubungan hukum
yang memberi wewenang untuk berbuat sesuatu kepada subyek
hukum (orang / badan hukum) terhadap obyek hukumnya, yaitu
tanah yang dikuasainya.
Dalam konteks penguasaan hak atas tanah, penguasaan
yang telah memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum
disebut sebagai penguasaan dalam arti yuridis, yaitu penguasaan
yang dilandasi hak, dilindungi oleh hukum dan umumnya
memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai
secara fisik tanah yang dihaki.
Penguasaan masyarakat terhadap tanah merupakan sebuah
keniscayaan, hal ini menjadi sangat penting artinya karena tanah
merupakan sumber hidup dan kehidupan manusia. Dari segi
kehidupan masyarakat Indonesia yang sampai sekarang masih
bercorak agraris, maka hubungan antara manusia dengan tanah
sampai saat ini masih menunjukan adanya pertalian yang erat. Hal
ini dirasa wajar, karena selama hayatnya manusia mempunyai
hubungan dengan tanah, baik sebagai tempat tinggal maupun
sebagai sumber makanan juga penghasilan untuk kelangsungan
hidupnya.
TabelHak dan Kewajiban Penerima (Pemegang) Hak Atas Tanah dalam Pengelolaan Pertanahan
Hak Kewajiban
1. Mempergunakan tanahnya sesuaidengan jenis hak atas tanah yang dimilikinya, yaitu:a) Hak milik : member kewenangan kepada pemegang hak secara turuntemurun mempergunakan tanahnya untuk berbagai jenis keperluan dengan jangka waktu yang tidak terbatas;b) Hak Guna Usaha : memberi
1. Hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hak atas tanah tidak dibenarkan apabila hanya dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal tersebut merugikan masyarakat. Penggunaan dan pemanfaatan tanahharuslah disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan
kewenangan kepada pemegang hak untuk mempergunakan tanah negarauntuk keperluan pertanian, perikanan dan peternakan dalam jangka waktu tertentu;c) Hak Guna Bangunan : member kewenangan kepada pemegang hakuntuk mendirikan bangunan di atas tanah negara atau milik orang lain selama jangka waktu tertentu;d) Hak Pakai : member kewenangan kepada pemegang hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah negara atau tanah milik orang lain dalam jangka waktu tertentue) Hak Pengelolaan : memberi kewenangan yang lebih luas kepada pemegang daripada hak untuk mempergunakan sendiri tanah negara yang dikuasainya atau memberikannya kepada pihak lain atas dasar perjanjian antara pemegang hak dengan pihak ketiga2. hak atau kewenangan untuk mempergunakan tanah tersebut meliputi juga sebagian tubuh bumiyang ada di bawahnya dan sebagian ruang yang ada di atasnya, dalam batas-batas tertentu dan sepanjang hal tersebut dipergunakan untuk kegiatan yang berhubungan dengan jenis hak atas tanah yang dimilikinya.3. hak atau kewenangan lainnya:a) mengalihkan hak atas tanahnya kepada pihak lainb) membebani tanahnya dengan hak tanggunganc) mewariskan tanahnya kepada ahli warisnyad) membuat wasiat atas tanahnyae) menghibahkan tanahnya kepada pihak lainf) Mewakafkan tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
masyarakat dan negara. Namun demikian tidaklah berarti hak-hak individu dari pemegang hak atas tanah menjadi berkurang, akan tetapiantara hak dan kewajiban haruslah terjadi keseimbangan dalam pelaksanaannya.2. Kewajiban pemeliharaan tanah. Kewajiban yang diatur dalam Pasal 15 UUPA berkaitan dengan fungsi social hak atas tanah, yaitu bahwaberhubungan dengan fungsi sosialnya, adalah hal yang wajar suatu bidang tanah harus dipelihara dengan sebaik-baiknya, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban initidak hanya dibebankan kepada pemiliknya, tetapi juga merupakan kewajiban bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyaihubungan hukum dengan tanah.3. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah. Penetapan maksimum dan minimum yang dapat dimiliki oleh perorangan dalam satukeluarga telah ditetapkan dalam Pasal 7 dan17 UUPA yang ditindaklanjuti dengan UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sedangkan untuk badan hukum sementara mengacu pada Peraturan Menteri Negara graria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang Ijin Lokasi.4. Larangan penguasaan tanah secara absentee (guntai). Prinsipdasar yang melatarbelakangi pengaturan norma larangan penguasaan tanah secara absentee adalah bahwa tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri oleh pemiliknyadan pengelolaan tanah pertanian tersebut hanya dapat didayagunakansecara maksimal apabila dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya, sehingga
ditetapkan suatu ketentuan bahwa pemilik tanah pertanian harus bertempat tinggal di wilayah kecamatan tempat lokasi tanah tersebut berada.5. Penggunaan tanah harus sesuai dengan RT/RW. Pemberian hak atas tanah pada dasarnya memberi wewenang kepada pemegang hak untuk mempergunakan tanahnyaSesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberiannya. Dalam memberikan hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum harus sesuai dengan kondisi dan tata ruangwilayah setempat, agar penggunaan dan pemanfaatan suatu bidang tanah tetap dilaksanakan dalam kerangkamenjaga keharmonisan dan kelestarian lingkungan.6. Larangan penelantaran tanah. Dalam UUPA telah diatur secara tegas bahwa pemegang hak atas tanah yang menelantarkan tanahnya,tanahnya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Tindak lanjut dari ketentuan tersebut telah dikeluarkan dengan terbitnya PP No. 36 tahun 1998 dan Keputusan Kepala BPN No. 24 tahun 2002 yang mengatur langkah penertiban dan pendayagunaantanah terlantar.
2.1.2. Macam Hak Penguasaan Atas Tanah
A. Hak penguasaan atas tanah yang mempunyai kewenangan
khusus yaitu kewenangan yang bersifat public dan perdata,
yang meliputi antara lain :
Hak Bangsa Indonesia (pasal 1 UUPA)
Hak Menguasai Negara (pasal 2 UUPA)
Hak Ulayat Pada Masyarakat Adat (pasal 3 UUPA)
B. Hak penguasaan atas tanah yang member kewenangan yang
bersifat umum yaitu kewenangan di bidang perdata dalam
penguasaan dan penggunaan tanah sesuai dengan jenis-jenis
hak atas tanah yang diberikan (hak perorangan atas tanah)
yang terdiri dari :
Hak atas tanah orisinil atau primer, yaitu hak atas tanah
yang bersumber pada hak bangsa Indonesia dan yang
diberikan oleh Negara dengan cara memperolehnya melalui
permohonan hak. Hak atas tanah yang termasuk hak primer
adalah :
Hak Milik
Hak Guna Bangunan
Hak Guna Usaha
Hak Pakai
Hak Pengelolaan
Hak atas tanah derivative atau sekunder, yaitu hak atas
tanah yang tidak langsung bersumber kepada hak bangsa
Indonesia dan diberikan pemilik tanah dengan cara
memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak antara
pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang
bersangkutan. Hak atas tanah yang termasuk sekunder
adalah :
Hak Guna Bangunan
Hak Pakai
Hak Sewa
Hak Usaha Bagi Hasil
Hak Gadai
Hak Menumpang
Hak jaminan atas tanah, yaitu hak penguasaan atas tanah
yang tidak memberikan wewenang kepada pemegangnya
untuk menggunakan tanah yang dikuasainya tetapi
memberikan wewenang untuk menjual lelang tanah tersebut
apabila pemilik tanah tersebut (debitur) melakukan
wanprestasi.
2.2. Fungsi Sosial Tanah
Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan
bahwa :
“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal tersebut
menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,
tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau
tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi
kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas. Dalam arti
bahwa tanah tidak hanya berfungsi bagi pemegang hak atas tanahnya
saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya, dengan konsekuensi
bahwa penggunaan hak atas sebidang tanah juga harus meperhatikan
kepentingan masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat
daripada haknya sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan
kebahagian yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi
masyarakat dan Negara. Namun hal tersebut bukan berarti kepentingan
seseorang terdesak oleh kepentingan masyarakat atau Negara, dan
diantara dua kepentingan tersebut haruslah seimbang.
2.3. Tinjauan Umum Mengenai Tanah Terlantar
Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang
hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah
memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak
atas tanah sesuain ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (Pasal 1 ayat (5) PP No.36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar).
2.3.1. Menurut UUPA (UU NO.5 Tahun 1960)
Sebagaimana tercantum didalam fungsi UUPA yang
menghapuskan dualisme hukum tanah yang lama dan menciptakan
unifikasi serta kodifikasi teradap hukum tanah Nasional yang
didasarkan kepada hukum tanah adat yang bersifat komunalistik
religius, hal ini memiliki maksud bahwa penguasaan tanah bersama
memungkinkan penguasaan tanah secara individu dengan hak-hak
atas pribadi dengan memperhatikan unsur kebersamaan didalam
pelaksanaan daripada hak-hak individual tersebut. Hukum agrarian
nasional bercirikan pengelolaan sumber daya tanah untuk
kesejahteraan rakyat. Alasan filosofisnya bahwa tanah merupakan
karunia Tuhan kepada manusia untuk diusahakan dan dikelola
demi memenuhi kebutuhan hidupnya, agar tercapai kesejahteraan
dan kemakmuran bersama dengan berkeadilan.
Jadi dapat dikatakan bahwa adanya kewajiban bagi individu
untuk mengerjakan atau mengusahakan tanah dengan sebaik-
baiknya sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau sesuai
dengan tujuan dari hukum Agraria Nasional itu. Berdasarkan
hakekat yang ada pada UUPA semua pihak sudah seharusnya
menjaga agar tanah tidak diterlantarkan. Beberapa ketentuan
UUPA yang berkaitan dengan hal ini, dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara
karena diterlantarkan. (Pasal 27 poin a. 3). Penjelasan Pasal 27
menyatakan, “Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
daripada haknya”.
2. Hak Guna Usaha hapus karena diterlantarkan (Pasal 34e).
3. Hak Guna Bangunan hapus karena diterlantarkan (Pasal 40e).
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menunjukkan
bahwa setiap hak atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari
negara (HM; HGU; HGB) haknya hapus apabila diterlantarkan.
Artinya terdapat unsur kesengajaan melakukan perbuatan tidak
mempergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
dari pada haknya.
2.3.2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Negara
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah.
Dalam ketentuan Menimbang poin b Peraturan Pemerintah ini
menyatakan:
“bahwa oleh karena itu pengakuan penguasaan pemilikan dan
penggunaan tanah perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya
tertib di bidang hukum pertanahan, administrasi pertanahan,
penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan lingkungan
hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan
pada umumnya dapat terwujud”.
Dari ketentuan di atas pemerintah menegaskan kembali
bahwa penguasaan tanah berdasarkan pada HGU, HGB, Hak
Pakai dalam rangka pembangunan nasional, diarahkan untuk
terjaminnya atau terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.
Oleh karena itu Pasal-Pasal dalam PP No. 40 Tahun 1996 secara
rinci dan jelas mengatur mengenai pemberian hak (HGU, HGB dan
Hak Pakai), obyek hak, jangka waktu dan lamanya suatu hak,
diberikan oleh negara kepada subyek hak. Apabila kewajiban
pemegang hak tidak dilaksanakan maka berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 17e bahwa Hak Guna Usaha hapus karena
diterlantarkan; Dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan
penjelasan yang ada dalam UUPA. Demikian juga tentang
hapusnya HGB dalam Pasal 35e yang dinyatakan bahwa Hak
Guna Bangunan hapus karena diterlantarkan. Untuk pemberian
Hak Pakai, juga diikuti dengan ketentuan tentang hapusnya Hak
Pakai. Dalam Pasal 55e dinyatakan bahwa, Hak Pakai hapus
karena diterlantarkan. Hapusnya hak pakai tidak diatur oleh UUPA.
Dari ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan tentang hapusnya
hak atas tanah (HGU, HGB, Hak Pakai) dapat disimpulkan bahwa
PP No. 40 Tahun 1996 menggunakan istilah diterlantarkan,
pengertian diterlantarkan mengikuti penjelasan dari UUPA
tentang hapusnya HM, HGU, HGB. Sedangkan Hak Pakai tidak
diatur adanya tanah diterlantarkan Hal yang perlu diperhatikan
TANJUNG—Panitia Khusus (Pansus) Trawangan terus mengumpulkan bukti dan keterangan-keterangan terkait sengketa yang terjadi di Trawangan. Kemarin siang, Pansus memanggil pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk sharing informasi terkait persoalan di Trawangan. Dari pertemuan itu, kesimpulannya akan mengarah pada pemberian status terlantar atas tanah yang dikuasai PT Wanawisata Alam Hayati (WAH).Dalam pertemuan yang juga berjalan alot selama dua jam sejak pukul 12.00 hingga pukul 14.00 wita itu, Pansus Trawangan dan BPN Lombok
Barat (Lobar) yang diwakili oleh H Darman saling berbagi data. Kedua belah pihak ini sama-sama memaparkan berbagi dokumen, temuan lapangan dan bukti-bukti lainnya. ‘’Salah satu poin penting di sini, pihak PT WAH tidak mampu mengerjakan seperti apa yang diamanatkan pada izin mereka itu,’’ kata Ketua Pansus Trawangan Jasman Hadi.Dalam izin yang diberikan, PT WAH akan membangun hotel melati dengan 35 kamar. Namun hingga saat ini, PT WAH tidak mampu melakukan itu. Sehingga dengan sendirinya, HGB PT WAH itu batal. ‘’Satu tahun setelah mendapatkannya itu, PT WAH harus membangun sesuai dengan izinnya,’’ katanya.Pada kesempatan tersebut, Jasman juga mempertajam tentang klaim tanah seluas 75 hektare yang menjadi milik Pemerintah Provinsi NTB. Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang menjadi dasar pemprov itu patut dipertanyakan. Dari HPL itu pulah lah pemprov NTB melakukan perjanjian dengan investor dalam hal ini PT GTI untuk mengelola lahan. Namun faktanya lahan itu juga ditelantarkan.Sementara itu menyikapi tawaran PT WAH untuk membagi-bagi tanah yang ada di Trawangan itu dinilai Jasman sebagai sebuah pelanggaran. Sebagai pihak yang hanya memegang HGB, PT WAH hanya diperkenankan untuk mengerjakan sesuai dengan ketentuan di HGB itu, yaitu membangun hotel melati. ‘Tidak boleh membagi-bagi tanah,’’ kata politisi Hanura ini.Dari perwakilan BPN yang diwakili oleh Koordinator Pengaturan dan Penataan Pertanahan di KLU H Darman juga membenarkan jika tanah HGB itu tidak bisa dibagi-bagikan sebagai opsi yang selama ini diberikan PT WAH.‘’PT WAH mendapat izin untuk membangun hotel melati, bukan untuk membagi-bagi tanah,’’
kata pria berjenggot ini.Dalam kesempatan tersebut, H Darman mengatakan tidak menyalahkan pihak siapa pun dalam persoalan tanah di Trawangan maupun di kawasan pariwisata lainnya di KLU. Persoalan di Trawangan khususnya PT WAH itu merupakan bagian kecil dari persoalan pertanahan yang ada.Menjawab pertanyaan terkait dengan dokumen-dokumen PT WAH, H Darman mengatakan perusahaan tersebut sudah melalui prosedur. Namun fakta di lapangan setelah berjalan beberapa tahun, ada temuan yang menjadi catatan BPN terkait realisasi izin yang pernah dikeluarkan itu.Dituturkan, pada tahun 2003 BPN Lobar turun untuk memantau kondisi dilahan yang diberikan izin pada PT WAH. Seperti diketahui, tahun 1996 PT WAH diberikan izin HGB untuk membangun hotel melati dengan 35 kamar. Temuan pada tahun 2003 itu, di atas lahan itu ternyata ada perumahan seluas 40 are, dan 1,1 hektare sejenis bungalow. Di dalam lahan itu juga ditemukan 10 orang warga yang tinggal. ‘’Izinnya untuk membangun hotel melati,’’ katanya.Dalam temuan itu memang PT WAH tidak dapat menjalankan sebagaimana yang disebutkan dalam izin. Dengan kondisi seperti itu, dengan menggunakan PP Nomor 11 tahu 2010, maka tanah tersebut bisa diusulkan menjadi tanah terlantar.Anggota Pansus Trawangan Ardianto mengatakan, dalam fakta empirik di lapangan sejak awal PT WAH sudah menelantarkan lahan itu. Sudah jelas disebutkan bahwa PT WAH harus membangun dalam jangka waktu 1 tahun. ‘’Tanah itu ditelantarkan oleh PT WAH,’’ katanya. (fat)