Top Banner
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 25 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE DALAM MENINGKATKANKEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS Andri Suryana Universitas Indraprasta PGRI Jakarta Jl. Nangka No.58C Tanjung Barat (TB Simatupang), Jagakarsa, Jakarta Selatan 12530e- mail:[email protected] Abstrak Dalam pembelajaran matematika, khususnya di perguruan tinggi, mahasiswa dituntut untuk peka terhadap situasi yang sedang dihadapi. Kondisi seperti ini akan memunculkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Berpikir kreatif nampak dalam bentuk kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan yang baru serta memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dari yang biasanya. Akan tetapi kenyataannya, mahasiswa hanya mencontoh dan mencatat bagaimana cara menyelesaikan soal yang telah dikerjakan oleh dosen. Jika mereka diberikan soal-soal yang berbeda dengan soal latihan, maka mereka akan mengalami kebingungan karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka bekerja. Salah satu model untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematisadalah Model PACE. Model PACEmerupakan salah satu model pembelajaran berlandaskan konstruktivisme yang memiliki tahap/fase: Proyek (Project), Aktivitas (Activity), Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise). Model tersebut penting untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika, karena dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Keywords: Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis, Model Pembelajaran PACE PENDAHULUAN Materi matematika untuk level perguruan tinggi sulit untuk dipelajari karena materi yang disajikan lebih bersifat abstrak. Dalam mempelajari matematika, mahasiswa membutuhkan kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis. Dalam pembelajaran matematika, mahasiswa dituntut untuk peka terhadap situasi yang sedang dihadapi. Kondisi seperti ini akan memunculkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Berpikir kreatif nampak dalam bentuk kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan yang baru serta memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dari yang biasa (Evans dalam Sabandar, 2008). Akan tetapi menurut hasil penelitian Mettes (1979), mahasiswa hanya mencontoh dan mencatat bagaimana cara menyelesaikan soal yang telah dikerjakan oleh dosen. Jika mereka diberikan soal-soal yang berbeda dengan soal latihan, maka mereka akan mengalami kebingungan karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka bekerja. Salah satu mata kuliah di Program Studi Pendidikan Matematika yang membutuhkan kemampuan berpikir kreatif matematis adalah Statistika Matematika. Statistik Matematika merupakan mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa. Dalam pembelajaran di kelas, mahasiswa cenderung hanya mencatat dan mencontoh bagaimana cara mencari solusi yang telah dikerjakan dosen. Mereka jarang mengajukan pertanyaan ketika proses pembelajaran dan takut
78

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Aug 20, 2018

Download

Documents

lythu
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 25

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE DALAM

MENINGKATKANKEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS

Andri Suryana

Universitas Indraprasta PGRI Jakarta

Jl. Nangka No.58C Tanjung Barat (TB Simatupang), Jagakarsa, Jakarta Selatan 12530e-

mail:[email protected]

Abstrak

Dalam pembelajaran matematika, khususnya di perguruan tinggi, mahasiswa dituntut untuk

peka terhadap situasi yang sedang dihadapi. Kondisi seperti ini akan memunculkan

kemampuan berpikir kreatif matematis. Berpikir kreatif nampak dalam bentuk kemampuan

untuk menemukan hubungan-hubungan yang baru serta memandang sesuatu dari sudut

pandang yang berbeda dari yang biasanya. Akan tetapi kenyataannya, mahasiswa hanya

mencontoh dan mencatat bagaimana cara menyelesaikan soal yang telah dikerjakan oleh

dosen. Jika mereka diberikan soal-soal yang berbeda dengan soal latihan, maka mereka

akan mengalami kebingungan karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka bekerja.

Salah satu model untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematisadalah

Model PACE. Model PACEmerupakan salah satu model pembelajaran berlandaskan

konstruktivisme yang memiliki tahap/fase: Proyek (Project), Aktivitas (Activity),

Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise). Model tersebut

penting untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika, karena dapat meningkatkan

kemampuan berpikir kreatif matematis.

Keywords: Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis, Model Pembelajaran PACE

PENDAHULUAN

Materi matematika untuk level perguruan tinggi sulit untuk dipelajari karena materi yang

disajikan lebih bersifat abstrak. Dalam mempelajari matematika, mahasiswa membutuhkan

kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Dalam pembelajaran matematika, mahasiswa dituntut untuk peka terhadap situasi yang sedang

dihadapi. Kondisi seperti ini akan memunculkan kemampuan berpikir kreatif matematis.

Berpikir kreatif nampak dalam bentuk kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan

yang baru serta memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dari yang biasa (Evans

dalam Sabandar, 2008).

Akan tetapi menurut hasil penelitian Mettes (1979), mahasiswa hanya mencontoh dan

mencatat bagaimana cara menyelesaikan soal yang telah dikerjakan oleh dosen. Jika mereka

diberikan soal-soal yang berbeda dengan soal latihan, maka mereka akan mengalami

kebingungan karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka bekerja.

Salah satu mata kuliah di Program Studi Pendidikan Matematika yang membutuhkan

kemampuan berpikir kreatif matematis adalah Statistika Matematika. Statistik Matematika

merupakan mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa. Dalam pembelajaran di kelas,

mahasiswa cenderung hanya mencatat dan mencontoh bagaimana cara mencari solusi yang telah

dikerjakan dosen. Mereka jarang mengajukan pertanyaan ketika proses pembelajaran dan takut

Page 2: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

26 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

mencoba cara lain dalam menyelesaikan soal karena masih terbiasa dengan berpikir konvergen

sehingga kurang kreatif. Selain itu, berdasarkan hasil temuan di salah satu perguruan tinggi di

Jakarta terungkap bahwa dosen selama ini menggunakan ekspositori selama mengajar dan

kurang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir kreatif karena dosen

cenderung memberikan soal yang bersifat tertutup.

Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis dalam Mata Kuliah Statistika

Matematika, maka diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh dosen untuk mengelola

pembelajaran dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk secara aktif terlibat

dalam pengkajian materi dan dapat mengkonstruksi konsep-konsep dengan kemampuan sendiri.

Salah satu model yang menganut teori belajar konstruktivisme yang menekankan keterlibatan

aktif mahasiswa adalah pembelajaran Model PACE. Model PACE dikembangkan oleh Lee

(1999) yang merupakan singkatan dari Proyek (Project), Aktivitas (Activity), Pembelajaran

kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise). Mahasiswa yang diajarkan oleh

Model PACE jauh lebih terlibat dalam pembelajaran aktif melalui kerja kelompok dan diskusi

kelas (Lee, 1999).

Dikarenakan pentingnya hal tersebut dalam pembelajaran matematika, maka akan dikaji

lebih jauh secara teoritis mengenai penerapan Model PACE dalam meningkatkan kemampuan

berpikir kreatif matematis. Melalui kajian ini diharapkan dapat menjadi suatu referensi serta

wacana bagi para praktisi pendidikan matematika dalam upaya meningkatkan kualitas

pembelajaran yang lebih efektif dan efisien.

PEMBAHASAN

Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Munandar (1999) mengatakan bahwa berpikir kreatif (juga disebut berpikir divergen)

ialah aktivitas berpikir dalam memberikan macam-macam kemungkinan jawaban berdasarkan

informasi yang diberikan dengan penekanan pada keragaman jumlah dan kesesuaian. Menurut

Torrance (dalam Munandar, 1999), kemampuan berpikir kreatif terbagi menjadi tiga hal, yaitu:

(a) Fluency (kelancaran), yaitu menghasilkan banyak ide dalam berbagai kategori/ bidang; (b)

Originality (keaslian), yaitu memiliki ide-ide baru untuk memecahkan persoalan; serta (c)

Elaboration (penguraian), yaitu kemampuan memecahkan masalah secara detail.

Menurut Guilford (dalam Munandar, 1999), terdapat lima indikator berpikir kreatif, yaitu:

(a) Kepekaan (problem sensitivity), adalah kemampuan mendeteksi, mengenali, dan memahami

serta menanggapi suatu pernyataan, situasi, atau masalah; (b) Kelancaran (fluency), adalah

kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan; (c) Keluwesan (flexibility), adalah

kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan terhadap

masalah; (d) Keaslian (originality), adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan

cara-cara yang asli, tidak klise, dan jarang diberikan kebanyakan orang; serta (e) Elaborasi

(elaboration), adalah kemampuan menambah suatu situasi atau masalah sehingga menjadi

Page 3: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 27

lengkap, dan merincinya secara detail, yang didalamnya terdapat berupa tabel, grafik, gambar,

model dan kata-kata.

Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, dosen harus menciptakan kondisi

kelas yang merangsang kepekaan mahasiswa melalui pemberian tugas baru dengan cara: (1)

menyelesaikan soal dengan cara yang lain; (2) mengajukan pertanyaan ―bagaimana jika‖; (3)

mengajukan pertanyaan ―apa yang salah‖; serta mengajukan pertanyaan ―apa yang akan kamu

lakukan‖ (Krulik & Rudnick, 1999).

Berdasarkan uraian di atas, maka kemampuan berpikir kreatif dalam kajian ini adalah

kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), serta elaborasi (elaboration).

Model Pembelajaran PACE

Model PACE dikembangkan oleh Lee (1999) untuk pembelajaran statistika yang

merupakan singkatan dari Proyek (Project), Aktivitas (Activity), Pembelajaran kooperatif

(Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise). Mahasiswa yang diajarkan oleh Model PACE

jauh lebih terlibat dalam pembelajaran aktif melalui kerja kelompok dan diskusi kelas (Lee,

1999).

Model PACE didasarkan pada prinsip-prinsip: (1) mengutamakan pengkonstruksian

pengetahuan sendiri melalui bimbingan, (2) praktik dan umpan balik merupakan unsur penting

dalam mempertahankan konsep-konsep baru, serta (3) mengutamakan pembelajaran aktif dalam

memecahkan suatu masalah. Teknologi komputer merupakan alat yang diperlukan dalam Model

PACE (Lee, 1999).

Dalam kajian ini, Model PACE akan disesuaikan dengan karakteristik Mata Kuliah

Statistika Matematika. Hal ini dikarenakan dalam mata kuliah tersebut jarang menggunakan

teknologi komputer, justru lebih banyak membutuhkan analisis teori yang bersifat abstrak dan

lebih menekankan pada aspek penalaran deduktif, maka Model PACE akan dilakukan based

paper. Dengan kata lain, pembelajaran menggunakan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM).

Proyek merupakan komponen penting dari Model PACE. Laviatan (2008) mengatakan

bahwa proyek merupakan bentuk pembelajaran yang inovatif yang menekankan pada kegiatan

kompleks dengan tujuan pemecahan masalah yang berdasarkan pada kegiatan inkuiri. Proyek

dilakukan dalam bentuk kelompok. Mereka dapat memilih sendiri topik yang dianggap menarik.

Mereka diminta untuk mencari solusi/penyelesaian dari permasalahan yang dipilihnya. Mereka

diharuskan membuat laporan dari proyek yang dikerjakan. Dalam proyek ini, mahasiswa

dituntut untuk terlibat secara aktif, kritis dan kreatif.Melalui proyek, mahasiswa lebih

memahami konsep dan dapat meningkatkan retensinya serta dapat menggali kemampuan

matematisnya, baik kemampuan kognitif maupun afektif.

Aktivitas dalam Model PACE bertujuan untuk mengenalkan mahasiswa terhadap

informasi atau konsep-konsep yang baru. Hal ini dilakukan dengan memberikan tugas dalam

bentuk Lembar Kerja Aktivitas (LKA) yang merupakan salah satu bentuk dari Lembar Kerja

Page 4: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

28 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Mahasiswa (LKM) untuk mempelajari materi. Melalui LKA, mahasiswa diberikan kesempatan

untuk menemukan sendiri konsep yang akan dipelajari.

Pembelajaran kooperatif dalam Model PACE dilaksanakan di kelas. Pada pembelajaran

tersebut, mahasiswa bekerja di dalam kelompok dan harus mendiskusikan solusi dari

permasalahan dalam Lembar Kerja Diskusi (LKD). LKD merupakan bentuk dari Lembar Kerja

Mahasiswa (LKM) untuk mempelajari materi selain LKA. Melalui LKD, mahasiswa

berkesempatan untuk mengemukakan temuan-temuan yang diperoleh pada saat diskusi. Selama

diskusi, terjadi pertukaran informasi yang saling melengkapi sehingga mahasiswa mempunyai

pemahaman yang benar terhadap suatu konsep.

Latihan dalam Model PACE bertujuan untuk memperkuat konsep-konsep yang telah

dikonstruksi pada tahap aktivitas dan pembelajaran kooperatif dalam bentuk penyelesaian soal-

soal. Latihan ini diberikan kepada mahasiswa berupa tugas tambahan yang termuat dalam

Lembar Kerja Latihan (LKL) agar penguasaan terhadap materi lebih baik lagi. Tahap latihan

berkaitan dengan refleksi seperti dalam Polya pada langkah ke-4 nya, yaitu memeriksa kembali

hasil dan proses (Polya, 1981:16).

Berdasarkan penjelasan di atas, Model PACE dalam kajian ini merupakan salah satu

model pembelajaran berlandaskan konstruktivisme yang memiliki tahap/fase: Proyek (Project),

Aktivitas (Activity), Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise)

dengan menggunakan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) dalam proses pembelajarannya.

Penerapan Model Pembelajaran PACE dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir

Kreatif Matematis

Penerapan Model PACE dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis

terlihat dari langkah-langkah pembelajarannya, yaitu:

1) Dalam tahap aktivitas, dosen memberikan LKA (Lembar Kerja Aktivitas) kepada

mahasiswa untuk dikerjakan di rumah sebelum perkuliahan. Pada saat perkuliahan, dosen

membahas LKA secara klasikal yang dikerjakan oleh mahasiswa dengan memperhatikan

peran aktif mahasiswa agar tidak terjadi miskonsepsi. Adapun contohnya adalah sebagai

berikut:

Berdasarkan soal bagian a) sampai c), terlihat bahwa mahasiswa dituntut untuk

menguraikan materi sebagai sarana untuk memperkenalkan informasi atau konsep-konsep

yang baru. Untuk menyelesaikan soal bagian d), mahasiswa membutuhkan informasi yang

ada dari uraian sebelumnya. Soal yang diberikan berkategori sedang.

Page 5: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 29

2) Dalam tahap pembelajaran kooperatif, dosen memberikan LKD (Lembar Kerja Diskusi)

ke setiap kelompok terkait dengan materi yang dibahas. Ini merupakan kelanjutan dari

LKA dan memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Adapun contohnya adalah sebagai

berikut:

Berdasarkan contoh di atas, terlihat bahwa dibutuhkan kemampuan berpikir kreatif

matematis untuk menyelesaikannya. Pada tahap ini, mahasiswa berkesempatan untuk

mengemukakan temuan-temuan yang diperoleh pada saat diskusi agar terjadi pertukaran

informasi sehingga terbentuk pemahaman yang benar terhadap suatu konsep.

3) Dalam tahap latihan, dosen memberikan tugas tambahan untuk memperkuat konsep-

konsep yang telah dikonstruksi pada tahap aktivitas dan pembelajaran kooperatif dalam

bentuk penyelesaian soal-soal. Melalui tahap ini, mahasiswa diminta mencoba berbagai

tipe soal agar memperkuat konsep. Adapun contohnya adalah sebagai berikut:

4) Pada tahap proyek, dosen memberikan tugas proyek kepada mahasiswa yang dikerjakan

dalam bentuk kelompok. Mahasiswa dapat memilih sendiri topik yang dianggap menarik

sesuai dengan materi. Mereka diminta untuk mencari solusi/penyelesaian dari

permasalahan yang dipilihnya. Mereka diharuskan membuat laporan dari proyek yang

dikerjakan dan dikumpulkan pada waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan antara dosen

dan mahasiswa. Adapun contohnya adalah sebagai berikut:

Page 6: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

30 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Tugas Proyek

Topik Masalah : Teori Antrian

Petunjuk:

1. Setiap kelompok diharuskan memilih salah satu jenis antrian dengan desain single

channel, single server sebagai aplikasi dari materi Statistika Matematika 1. Misalkan

antrian di ATM, di Bank, restoran, dan lain-lain.

2. Setiap kelompok diharuskan terjun ke lapangan berdasarkan jenis antrian yang

dipilihnya untuk mengetahui lebih lanjut mengenai teori antrian.

3. Pahamilah pertanyaan-pertanyaan dalam tugas proyek ini. Apabila mengalami

kesulitan, silakan konsultasikan dengan dosen.

4. Susunlah sebuah laporan kelompok mengenai solusi dari pertanyaan yang diberikan

dengan baik, dan dikumpulkan di akhir pertemuan.

5. Setiap laporan dari tiap kelompok wajib dipresentasikan di dalam kelas.

Pertanyaan-pertanyaan:

1. Uraikanlah mengenai teori antriandengan memanfaatkan informasi dari berbagai

sumber.

2. Berikut ini akan diuraikan mengenai aplikasi dari teori antrian.

Berdasarkan jenis antrian yang dipilih, jawablah pertanyaan berikut ini sesuai dengan

data lapangan yang ada. Tentukanlah:

a) Banyaknya customer dalam sistem.

b) Jumlah rata-rata customer yang datang persatuan waktu.

c) Jumlah rata-rata customer yang dilayani persatuan waktu.

d) Tingkat intensitas pelayanan customer.

e) Peluang tidak ada customer dalam sistem.

f) Peluang kepastian ncustomer dalam sistem.

g) Jumlah rata-rata customer yang diharapkan dalam sistem.

h) Waktu yang diharapkan oleh customer dalam sistem.

i) Waktu yang diharapkan oleh customer selama menunggu dalam sistem.

j) Jumlah customer yang diharapkan menunggu dalam sistem.

SELAMAT MENGERJAKAN

Berdasarkan tahap-tahapan di atas, terlihat secara teoritis bahwa Model PACE dapat

diterapkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis dalam Mata Kuliah

Statistika Matematika.

SIMPULAN DAN SARAN

Karakter Mata Kuliah Statistika Matematika yang bersifat abstrak, menekankan pada

aspek penalaran deduktif, dan memerlukan pemahaman secara analitik menuntut mahasiswa

memiliki mental yang kuat dalam mempelajarinya. Mahasiswa dituntut untuk menggali

kemampuan berpikir kreatif matematisnya. Salah satu model untuk dapat meningkatkan

kemampuan berpikir kreatif matematis adalah Model PACE. Model PACEmerupakan salah satu

model pembelajaran berlandaskan konstruktivisme yang memiliki tahap/fase: Proyek (Project),

Page 7: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 31

Aktivitas (Activity), Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise).

Melalui kajian ini, diharapkan dapat dikembangkan ke arah penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Herrhyanto, Nar & Tuti G. (2009). Pengantar Statistika Matematis. Bandung: Yrama Widya.

Krulik, S. & Rudnick. (1999). Innovative Tasks to Improve Critical dan Creative Thinking

Skills. Dalam Developing Mathematical Reasoning in Grade K-12. Virginia: NCTM.

Laviatan, T. (2008). Innovative Teaching and Assessment Method: QBI and Project Based

Learning. Mathematics EducationResearch Journal,Vol 10, 2, 105-116.

Lee, Carl. (1999). An Assesment of the PACE Strategy for an introduction statistics Course.

USA: Central Michigan University.

Mettes, C.T.W. (1979). Teaching and Learning Problem Solving in Science A General Strategy.

International Journal of Science Education, 57(3), 882-885.

Munandar, U. (1999). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineca Cipta.

Polya, G. (1981). Mathematical Discovery : On Understanding, Learning, and Teaching

Problem Solving. New York : John Wiley Inc.

Ross, S. M. (2000). Introduction to Probability Models. Ed. ke-7. San Diego: Academic Press.

Sabandar, J. (2008). Berpikir Reflektif. Makalah. Prodi Pendidikan Matematika SPS.UPI : Tidak

diterbitkan.

Page 8: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

32 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

ANALISIS KUALITAS RESPON SISWA IDEALIST

DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA BERBASIS TAKSONOMI

SOLO (STRUCTURE OF OBSERVED LEARNING OUTCOME) PADA SISWA

KELAS XI SMK SMTI YOGYAKARTA TAHUNPELAJARAN 2013/2014

Maryani

1), B. Kusmanto

2)

1) Program Studi Pendidikan Matematika, PMIPA FKIP UST

Jl. Batikan, Tuntungan, UH III Yogyakarya, e-mail: [email protected]

2) Program Studi Pendidikan Matematika, PMIPA FKIP UST

Jl. Batikan, Tuntungan, UH III Yogyakarya, e-mail: -

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas respon siswa idealist

dalam pemecahan masalah matematika. Penelitian menggunakan metode kualitatif

deskriptif. Terdapat 3 subjek terpilih dengan purposive sampling terdiri dari siswa tipe

kepribadian idealist. Instrumen yang digunakan Kiersey Temperament Sorter dan tes

penyelesaian masalah matematika. Respon siswa didasarkan taksonomi SOLO.Teknik

pengumpulan data menggunakan test, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan teknik

analisis data mengacu pada Lexy J. Moelong. Triangulasi data dan dependabilitas

digunakan sebagai teknik keabsahan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 2

subjek berada pada level unistruktural dan 1 subjek pada level multistruktural.

Keyword : proses berfikir, idealist, taksonomi

PENDAHULUAN

Nativis berpendapat bahwa pembawaan atau factor-faktor endogen menentukan

perkembangan anak. Faktor-faktor eksogen tak akan kuasa mengubah factor-faktor

endogen. Schopenhauer sebagai tokoh aliran nativis menyatakan bahwa tidak mungkin kita

dengan pendidikan mengubah pembawaan anak. Tak ubahnya menempa loyang menjadi

emas dan sebaliknya. Pasti berdampak pada adanya macam kepribadian terdapat pada satu

kelas dalam individu yang berbeda-beda. (Fudyartanta : 2012, 56)

Para pakar telah mendefinisikan macam-macam kepribadian berdasarkan pemikiran

dan pendapat mereka. Salah satunya David Kiersey (1984) mengkategorikan kepribadian

siswa ada 4 macam yaitu guardians, artisans, idealist dan rationals. Kepribadian idealist

dipilih sebagai subjek dikarenakan memiliki salah satu ciri-ciri yaitu lebih banyak

berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata abstrak dan perumpamaan dan lebih senang

berbicara mengenai hal-hal yang tidak secara nyata dapat diamati, tetapi hanya dapat

dibayangkan. Hal ini sejalan dengan karakteristik matematika yang didominasi hal abstrak.

Sejalan dengan kepribadian siswa, Biggs dan Collis (1982) dalam Subyantoro

menyatakan dalam pengamatannya dalam mengamati siswa saat pembelajaran, respon anak

bervariasi terhadap tugas-tugasyang sejenis. Suatu saat seorang anak menunjukkan tingkat

yang lebih rendah,tetapi disaat lain menunjukkan tingkat yang lebih tinggi. Mereka

Page 9: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 33

beranggapanbahwa hal ini bukanlah sekedar pengecualian tetapi memang begitusifat alami

perkembangan intelektual anak.

Sedangkan Gieles dalam Ali Syahbana (2010:51) mengartikan berpikir adalah

berbicara dengan dirinyasendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan,

menganalisis,membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan,

menelitisesuatu jalan pikiran, dan mencari bagaimana berbagai hal itu berhubungan satu

samalain. Jadi peserta didik akan dipacu untuk mencari, mempelajari dan menemukan

pemahaman.

Oleh karenanya digunakan taksonomi SOLO yang merupakan suatu sarana sehingga

menungkinkan para guru mengidentifikasi kompleksitas serta kualitas pikiran peserta didik.

Taksonomi ini dapat digunakan untuk memperbaiki hasil-hasil pembelajaran dengan

penambahan kualitas umpan balik. Juga berguna untuk memfasilitasi proses mental

terutama untuk memperoleh dan mencapai tujuan atau denga kata lain sebagai alat belajar

berfikir. Taksonomi memecahkan bagian menjadi unit-unit yang berhubungan dengan unit

lainnya secara komprehensif, akan tetapi ringkas dan jelas sebagai kata kunci.serta

bertujuan untuk meningkatkan komunikasi dan sebagai alat praktik pengidentifikasian oleh

para pendidik. (Wowo Sunaryo ,2012:98)

Pengelompokkan tingkat kemampuan siswa pada lima level berbeda dan bersifat

hirarkis, yaitu level 0: prastruktural yaitu belum bisa mengerjakan tugas yang diberikan

secara tepat, level 1: unistruktural yaitu siswa dapat menunjukkan hubungan yang jelas dan

sederhana antara satu konsep dengan konsep lainnya tetapi inti konsep belum dipahami,

level 2: multistruktural yaitu siswa memahami beberapa komponen namun masih bersifat

terpisah tapi belum membentuk pemahaman secara komprehensif, level 3: relasional yaitu

siswa memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan

sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa.dan level 4: extended abstract yaitu

siswa dapat menghubungkan tidak hanya sebatas pada konsep-konsep yang sudah diberikan

saja melainkan dengan konsep-konsep diluar itu.

Mengacu pada kondisi diatas maka penelitian akan difokuskan tingkat kompleksitas

pemahaman dalam pemecahan masalah matematika diantaranya adalah bagaimana respon

siswa idealist pada tingkat prestruktural, unistruktural , multistrultural, relational dan

extended abstract.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan meneliti fenomena

yang terdapat pada realita.Penelitian ini bersifat derkriptif kualitatif artinya data diperoleh

dari hasil pengamatan, analisis dokumen dan catatan lapangan yang nantinya akan menjadi

Page 10: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

34 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

suatu deskripsi dari subyek. Dalam penelitian ini kedudukan peneliti sebagai instrument

utama. Bertindak sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data,

dan pelapor hasil.

Waktu dan Tempat Penelitian

Dilaksanakan di SMK SMTI Yogyakarta. Penelitian dilakukan mulai bulan Juni

2013 sampai November 2013.

Target/Subjek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI SMK SMTI Yogyakarta, terdiri dari

5 kelas masing-masing dengan jumlah 32 siswa. Setelah pengisian KTS didapatkan 12

siswa idealist, sedangkan melalui teknik purposive sampling maka didapatkanlah 3

siswa idealist. ketiga siswa tersebut yaitu Ti, H1, dan C1.

Prosedur Penelitian

Pada awalnya siswa diberikan tes menggunakan KTS menyeleksi siswa sesuai kriteria

idealist. Siswa terpilih selanjutnya diberikan lembar kerja siswa sebagai instrument tahap

kedua. Hasil pengerjaan soal uraian oleh siswa dianalisis untuk mengetahui sejauh mana

respon siswa dalam menghadapi masalah matematika diantara 5 level yaitu prestruktural,

unistruktural, multisrtuktural, relasional dan extended abstrak.

Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan yaitu test, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan insrumen

yang digunakan yaitu Kiersey Temperament Test (KTS) dan soal matematika uji terpakai

dengan validasi konstruk.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data menggunakan metode alur yang berpedoman pada Moeleong yaitu

metode perbandingan tetap terdiri reduksi data, kategorisasi, sintesasi dan menyusun

hipotesis kerja. Sedangkan untuk keabsahan data yang digunakan yaitu kredibilitas berupa

teknik triangulasi data dan depentabilitas atau audit trail.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Analisis terhadap pemecahan masalah matematika dilakukan tersendiri menggunakan

instrumen soal selanjutnya dilakukan wawancara. Tipe kepribadian idealist dengan dimensi

teacher, champion, healer. Sedangkan untuk kepribadian idealist dimensi counselor tidak

ditemukan dalam hasil test. Namun peneliti tidak menekankan pada masing-masing dimensi

namun hanya pada respon siswa kepribadian idealist terhadap pemecahan masalah

matematika.

Validasi dari guru matematika menunjukkan pemecahan soal matematika layak

digunakan sebagai instrument penyelesaian masalah matematika. Selanjutnya melakukan

Page 11: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 35

wawancara dengan sampel terpilih (siswa kepribadian idealist) mengenai cara pengerjaan

soal ditinjau dari pemahaman terhadap soal.

Hal- hal yang dianalisis dari wawancara tersebut meliputi (1) Proses pengerjaan dan

aturan yang dipakai dalam mengejakan soal matematika, (2) Syarat yang harus diketahui

agar bisa mengerjakan soal, (3) Aplikasi terhadap soal serupa

Pada hasil pekerjaan subjek dalam L1 dan L2 sangat terlihat bahwa T1 kurang teliti

dan berhati-hati pada saat mengoperasikan bilangan dan menerapkan sifat-sifat aljabar

sehingga mengalami kesalahan dalam melakukan manipulasi dan menyebabkan kesalahan

dalam hasil subtitusi limit secara langsung pada akhir penyelesaian.

Subjek telah mampu: (1) mengekspresikan membaca soal melalui tulisan serta

berusaha mendemonstrasikannya dalam bahasa matematika, (2) Mengingat dan

menggunakan konsep-konsep matematika untuk menyelesaikan soal matematika agar

mampu menyajikan jawaban yang sesuai, (3) Prosedur sederhana meliputi operasi hitung

dan aplikasi matematika telah terbentuk.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa T1 memahami

hubungan konteks satu dengan konteks yang lain namun belum sepenuhnya dipahami. Pada

intinya siswa mampu mengidentifikasi soal, mengingat, melakukan prosedur sederhana dan

berfokus pada satu aspek yang relevan sehingga T1 tergolong unistruktural.

H1 juga mengalami kesalahan seperti T1 dalam memahami operasi hitung bilangan

akar pada baris pertama. Meskipun begitu H1 mampu: (1) mengekspresikan ide-ide

matematika melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya

secara visual, (2) Mengidentifikasi unsure-unsur yang diketahui melalui kecukupan unsure

yang diperlukan, (3) Metode yang digunakan menunjukkan pemahaman dan interpretasi

baik secara lisan maupun tulisan, (4) Proses berpikirnya mampu menyelesaikan soal yang

mempunyai keterkaitan dengan kemampuan mengingat, berusaha mengenali hubungan

diantara konsep-konsep dan adanya hubungan sebab akibat sehingga memunculkan

gagasan-gagasan original, (5) Operasi aljabar dan operasi hitung tercipta dalam prosedur

penyelesaian soal.

Dapat disimpulkan telah mampu mengidentifikasi, mengingat dan melakukan

prosedur sederhana. Bahkan telah menempuh dua cara penyelesaian soal, memahami

komponen-komponen secara umum namun tidak mampu menemukan koneksi keduanya

sehingga tidak membentuk pemahaman. Sehingga H1 termasuk golongan multistruktural.

Sedangkan proses berpikir C1 menyelesaikan mempunyai keterkaitan dengan

kemampuan, membuat hubungan diantara konsep-konsep matematika, membuat analogi.

Operasi hitung dan aljabar tercipta secara runtut dan sistematis sesuai konsep sehingga

ditemukan suatu penyelesaian soal matematika hingga tuntas.

Page 12: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

36 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Secara keseluruhan C1 mampu: (1) memahami beberapa komponen dalam kesatuan

konsep, (2) Mengaplikasikan konsep dalam keadaan yang serupa, (3) Mengidentifikasi,

mengingat dan melakukan prosedur sederhana, membilang, menjelaskan dan menjelaskan,

(4) Pada hasil akhirnya. tidak terdapat kesalahan dalam memanipulasi data pada operasi

aljabar juga dalam operasi hitung bilangan.

Namun begitu subjek C1 hanya berfokus pada satu penyelesaian masalah. Artinya

dalam hal ini meskipun soal yang ada mempunyai kemungkinan satu penyelesaian tapi tidak

menutup kemungkinan untuk mencoba teknik lain. Oleh karena itu C1 termasuk kategori

unistruktural.

SIMPULAN DAN SARAN

Respon siswa idealist pada tugas matematika teridentifikasi pada level unistruktural

dan multistruktural. Pada unistruktural telah mampu subjek secara utuh mampu

mengidentifikasi soal secara menyeluruh, mengingat proses hingga melakukan prosedur-

prosedur sederhana namun dalam proses penyelesaian soal sehingga kompleksitas

pemahaman terpisah-pisah seiring pengetahuan kognitif yang belum terbentuk.Pada

multistruktural telahmampu membilang dan mencacah angka, mampu menjelaskan

struktur, mengerjakan minimal dua alternatif jawaban namun tidak mampu untuk membuat

hubungan antar keduanya. Secara keseluruhan subjek telah mampu mengklasifikasi soal

kedalam suatu kategori tertentu serta melakukan prosedur sederhana dalam pengerjaan

soalnya.

DAFTAR PUSTAKA

David Kiersey. 1998. Please Understandme II. United States of America. Prometheus

Namesis Books.

Ki Fudyartanta. 2012. Psikologi perkembangan. Yogyakarta. Pustaka PelajaR

Moleong, Lexy J. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Sri Adi Widodo. 2012. Proses Berfikir Mahasiswa dalam Menyelesaikan Masalah

Matematika Berdasarkan Tipe Kepribadian Idealist. Universitas Sarjanawiyata

Tamansiswa Yogyakarta

Subyantoro.___. Pengembangan Perangkat Evaluasi Berdasarkan Taksonomi The

Structure Of The ObservedLearning Outcome (SOLO) Pada Mata Pelajaran Bahasa

Indonesia. Universitas Negeri Semarang

Wowo Sunaryo Kusnawa. 2012. Taksonomi Kognitif Pengembangan Ragam Berfikir.

Bandung. PT Remaja Rosdaka.

Page 13: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 37

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED

HEAD TOGETHER ( NHT ) TERHADAP MOTIVASI BELAJAR

MATEMATIKA SISWA SMA

Hastuti Lastiurma Pakpahan

Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana UPI

Jl. Dr. Setiabudhi N0.229, Bandung 40154, email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh dan berapa besar

pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)terhadap

motivasi belajar matematika siswa pada materi pokok kaidah pencacahan di kelas XI

SMA Budi Murni. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen. Populasi penelitian ini

adalah seluruh siswa kelas XI IPA yang terdiri dari 3 kelas dengan sampel terdiri dari 2

kelas siswa yaitu; 40 orang kelas XI IPA-1 sebagai kelas eksperimen menggunakan

model pembelajaran kooperatif Tipe NHT dan 39 orang kelas XI IPA-2 sebagai kelas

kontrol dengan model pembelajaran konvensional. Hasil penelitian diperoleh rata-rata

skor motivasi awal kelas eksperimen 51,95 (64,8%) dan kelas kontrol 52,41 (65,5%) yang

masih dalam kategori rendah. Rata-rata skor motivasi akhir eksperimen 59,47 (74,34%)

dan kelas kontrol 56,35 (70,43%). Uji hipotesis yang digunakan adalah uji regresi dan

diperoleh untuk kelas kontrol 𝑟 = 0,5569 dan 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 4,9102 > 2,027.

Sedangkan kelas eksperimen 𝑟 = 0,6203 dengan dk = 38, 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 6,2153 >

2,025 maka pembelajaran di kedua kelas memiliki pengaruh. Besar pengaruh

pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih tinggi dibanding pembelajaran konvensional

dengan masing-masing 38,5% dan 31,0%.Dengan demikian berarti ada pengaruh yang

signifikan antara model pembelajaran kooperatif tipe NHTterhadap motivasi belajar

matematika siswa.

Kata Kunci— Model pembelajaran Kooperatif tipe NHT, Motivasi belajar siswa, Kaidah

pencacahan.

PENDAHULUAN

Matematika sebagai ilmu dasar yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari

merupakan ilmu yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Erlangga (dalam

Juliana, 2006:1) menyatakan :

―Matematika sebagai ilmu dasar, memegang peranan yang cukup penting dalam banyak

bidang ilmu terapan. Setelah sukses diterapkan dalam bidang astronomi dan mekanika,

matematika telah berkembang menjadi alat analisis yang penting dalam bidang fisika dan

juga engineering. Dengan demikian matematika telah menjadi komponen esensial dalam

kegiatan hidup‖.

Disamping itu matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi dan

meningkatkan daya pikir manusia. Dengan belajar matematika dapat meningkatkan kemampuan

berfikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan. Oleh karena itu, matematika telah dipelajari

mulai dari sekolah rendah (taman kanak-kanak) sampai pada perguruan tinggi.

Page 14: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

38 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Peranan penting matematika dalam kehidupan seharusnya membuat matematika menjadi

mata pelajaran yang diminati dan menarik. Namun faktanya banyak siswa yang kurang

menyukai matematika karena dianggap sulit dan tidak menarik. Hal yang sama Kristini ( 2007:

1) menyatakan bahwa:

―Kebanyakan siswa menganggap pelajaran matematika adalah pelajaran yang paling sulit

dimengerti, ketidakberhasilan siswa dalam mempelajari matematika antara lain adalah

siswa belum mampu menangkap konsep/lambang-lambang dengan benar yang sifatnya

abstrak.. Misalkan pada Materi Peluang tentang permutasi dan kombinasi di kelas XI,

mudah menghapal dan mengingat materi tersebut, namun sulit memahami serta

menerapkan dalam soal yang berupa pemecahan masalah. Siswa sering menyelesaikan soal

dengan menerapkan rumus secara bergantian antara rumus permutasi dan rumus

kombinasi.‖

Selanjutnya Syaban ( 2011 : 1 ) menyatakan bahwa:

―Masalah klasik dalam pembelajaran matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi

siswa dan kurangnya motivasi siswa untuk belajar matematika. Hal ini terlihat bahwa

siswa kita kalah bersaing dengan Singapura dan Malaysia, posisi peringkat siswa kita jauh

tertinggal. Singapura di peringkat pertama dan Malaysia di peringkat ke sepuluh,

sementara kita masih di peringkat 411.‖

Berdasarkan pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa masalah pembelajaran matematika

di Indonesia adalah rendahnya prestasi siswa dan kurangnya motivasi belajar matematika siswa.

Khususnya dalam materi pokok kaidah pencacahan yang membutuhkan analisis dari siswa

sehingga materi ini dianggap materi yang sulit dan siswa kurang termotivasi untuk

mempelajarinya. Hal ini dapat disebabkan karena pembelajaran yang diterapkan tidak

memotivasi siswa dalam belajar matematika ataupun tidak adanya motivasi dari guru dalam

proses belajar mengajar.

Berdasarkan observasi proses belajar mengajar yang dilakukan peneliti pada tanggal 9

Maret 2011 di SMA Budi Murni 2 Medan, peneliti menemukan bahwa guru tidak memberikan

motivasi saat belajar matematika. Metode ceramah yang digunakan guru dalam pembelajaran

membuat siswa tidak temotivasi belajar. Hal ini dapat dilihat dari kondisi siswa yang tidak

fokus saat belajar yaitu ada 18 orang yang tidak fokus dengan mengerjakan aktifitas lain diluar

pembelajaran matematika (mengantuk, membicarakan hal yang tidak berhubungan dengan

pembelajaran, mengganggu teman, bermain), suasana kelas yang tidak kondusif, saat guru

memberikan soal tidak ada siswa yang termotivasi dan percaya diri untuk menjawab soal

tersebut, dan hanya 1 orang siswa yang bertanya kepada guru walaupun pada dasarnya mereka

Page 15: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 39

belum mengerti pelajaran tersebut. Data dan kondisi tersebut menunjukkan bahwa motivasi

belajar matematika siswa di kelas XI IPA SMA Budi Murni 2 Medan masih rendah.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru didapat bahwa model

pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran konvensional yaitu dengan metode

ceramah, tanya jawab. Dan guru menyatakan bahwa siswa kurang memiliki motivasi terhadap

mata pelajaran matematika dan kurang aktif bertanya di dalam kelas.

Sesuai dengan uraian di atas, masalah utama dalam peningkatan kualitas belajar adalah

rendahnya motivasi belajar matematika siswa. Padahal mata pelajaran matematika khususnya

dalam materi pokok kaidah pencacahan membutuhkan suatu penalaran dalam pemecahan

masalahnya. Namun karena kurangnya motivasi siswa dalam belajar matematika materi pokok

ini dianggap siswa menjadi topik yang membosankan dan sulit. Kurangnya motivasi belajar

siswa tersebut perlu ditumbuhkan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran. Karena dalam

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), terdapat berbagai upaya yang dapat dilakukan

sebagai tindak lanjut pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal tersebut

antara lain mencakup peningkatan aktivitas dan kreatifitas peserta didik serta motivasi belajar.

Seperti dikemukakan oleh Mulyasa (2007:264) yang menyatakan bahwa:

―Peserta didik akan belajar dengan sungguh-sungguh apabila memiliki motivasi belajar

yang tinggi. Dengan kata lain seorang peserta didik akan belajar dengan baik apabila ada

faktor pendorongnya (motivasi). Dalam kaitan ini guru dituntut memiliki kemampuan

membangkitkan motivasi belajar peserta didik sehingga dapat membentuk kompetensi dan

mencapai tujuan belajar.‖

Hal serupa Mohamad Nur (dalam Pujiati, 2008 : 3) mengemukakan bahwa:

―Banyak faktor yang mempengaruhi kemauan untuk melakukan upaya dalam

pembelajaran, terentang dari kepribadian, kemampuan siswa sampai tugas-tugas

pembelajaran, perangsang untuk belajar, tatanan pelajaran, dan perilaku guru. Tugas

pendidik menemukan, menggugah, dan mempertahankan motivasi siswa untuk belajar, dan

terlibat dalam aktivitas yang menuju pada pembelajaran, sehingga motivasi siswa dalam

pembelajaran akan meningkat. Meningkatnya motivasi belajar siswa, dan meningkatnya

perbuatan untuk tuntas belajar, dapat meningkatkan hasil belajar siswa.‖

Sesuai dengan pendapat di atas maka guru dituntut untuk menggunakan pembelajaran yang

dapat membangkitkan motivasi belajar siswa. Namun pembelajaran yang saat ini seringkali

dilakukan adalah pembelajaran konvensional yang merupakan pembelajaran berpusat pada guru.

Siswa hanya menjadi penerima informasi saja dengan mendengar kemudian mencatat informasi

yang disampaikan guru. Sehingga interaksi guru dengan siswa dan siswa dengan siswa kurang

mengakibatkan peningkatan mutu belajar siswa tidak tercapai. Untuk itu perlu dicari suatu

Page 16: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

40 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

model pembelajaran yang berpusat pada aktifitas siswa sehingga menciptakan adanya interaksi

yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa serta mampu meningkatkan

motivasi siswa. Slavin (dalam Fifi, 2010:1) mengatakan bahwa :

―Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang telah dikenal sejak lama,

dimana pada saat itu guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam

kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya. Dalam

melakukan proses belajar mengajar guru tidak lagi mendominasi seperti lazimnya pada

saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa yang lainnya dan

saling belajar mengajar sesama mereka‖.

Selanjutnya Slavin (2008 : 4) menyatakan bahwa:

―Pembelajaran kooperatif dapat digunakan secara efektif pada setiap tingkatan kelas dan

untuk mengajarkan berbagai macam mata pelajaran. Mulai dari matematika, membaca,

menulis samapai pada ilmu pengetahuan ilmiah, mulai dari kemampuan dasar sampai

pemecahan masalah-masalah yang kompleks. Lebih daripada itu, pemebelajaran

kooperatif juga dapat digunakan sebagai cara utama dalam mengatur kelas untuk

pengajaran‖.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan

pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan aktifitas dan interaksi siswa sehingga kualitas

pembelajaran lebih baik. Selanjutnya pembelajaran kooperatif juga cocok diterapkan pada mata

pelajaran matematika terkhusus pada materi pokok kaidah pencacahan yang membutuhkan

penalaran yang baik dalam pemecahan masalahnya.

Salah satu model pembelajaran kooperatif yaitu tipe Numbered Head Together (NHT).

Model ini dapat dijadikan alternatif variasi model pembelajaran sebelumnya. Dibentuk

kelompok heterogen, setiap kelompok beranggotakan 3-5 siswa, setiap anggota memiliki satu

nomor, guru mengajukan pertanyaan untuk didiskusikan bersama dalam kelompok, guru

menunjuk salah satu nomor untuk mewakili kelompoknya. Dengan guru hanya menunjuk

seorang siswa yang mewakili kelompoknya tanpa memberitahu terlebih dahulu siapa yang akan

mewakili kelompoknya tersebut. Sehingga cara ini menjamin keterlibatan total semua siswa.

Cara ini upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab individual dalam dalam

diskusi kelompok dan meningkatkan motivasi dalam belajar matematika.

Model pembelajaran kooperatif tipe NHT, bila dibandingkan dengan model pembelajaran

kooperatif lain misalnya STAD, dimana anggota yang mempresentasikan hasil kelompok adalah

anggota yang ditunjuk kelompok sendiri jadi tidak menjamin seluruh anggota terlibat. Sehingga

dapat dikatakan tipe NHT lebih menjamin keterlibatan total dan keaktifan seluruh anggota

kelompok dibandingkan STAD.

Page 17: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 41

Model pembelajaran kooperatif tipe NHT memiliki manfaat yang baik dalam

meningkatkan motivasi siswa. Hal ini serupa dengan pendapat Lungdren (dalam Sahara, 2007)

yang menyatakan bahwa:

―Manfaat dari pembelajaran kooperatif tipe NHT bagi siswa adalah:

1. Penerimaan terhadap perbedaan individu lebih besar

2. Perselisihan antar pribadi berkurang

3. Sikap apatis berkurang

4. Pemahaman lebih mendalam

5. Motivasi lebih besar

6. Hasil belajar lebih baik

7. Meningkatkan budi pekerti, kepekaan dan toleransi

Berdasarkan hal di atas melatar belakangi peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan

judul Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) terhadap

Motivasi Belajar Matematika Siswa SMA.

Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada pengaruh model pembelajaran

kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar siswa dan berapa besar pengaruh model

pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar siswa. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar

siswa dan besar pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar

siswa. Selanjutnya Manfaat penelitian ini diharapkan sebagai salah satu alternatif model

pembelajaran bagi guru dalam mengajarkan materi pokok kaidah pencacahan dan dapat

meningkatkan motivasi siswa, masukan bagi peneliti dalam menambah wawasan pengetahuan

dalam memilih model pembelajaran yang tepat, bahan perbandingan bagi peneliti berikutnya

dalam meneliti atau mengembangkan penelitian yang koheren dan hasil dari penelitian ini dapat

digunakan sebagai salah satu masukan untuk kepentingan pengembangan pembelajaran di

sekolah tersebut pada khususnya dan sekolah lain pada umumnya.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimen dengan bentuk nonequivalent

control group design yaitu 1 kelas dijadikan kelas eksperimen untuk perlakuan model

pembelajaran kooperatif tipe NHT dan 1 kelas menjadi kelas kontrol dan tidak diberi perlakuan

model pembelajaran kooperatif tipe NHT.

Waktu dan Tempat Penelitian

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di SMA Budi Murni 2 Medan pada bulan Juli Tahun

Ajaran 2011/2012.

Page 18: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

42 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMA Budi Murni 2 Medan

yang terdiri dari 3 kelas dengan jumlah siswa 129 orang . Sampel diambil secara cluster

random sampling artinya setiap kelas berada pada kelompok yang sama dan memiliki

kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Kelas yang terpilih adalah kelas XI1 IPA sebagai

kelas eksperimen dan kelas XI2 IPA sebagai kelas kontrol.

Prosedur

Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap persiapan adalah:

a. Menetapkan tempat dan jadwal penelitian.

b. Menentukan sampel penelitian.

c. Menyusun rancangan pembelajaran pada materi pokok kaidah pencacahan dengan

model pembelajaran kooperatif tipe NHT.

d. Menyiapkan alat pengumpul data berupa angket awal dan angket akhir dan lembar

observasi

e. Memvalidkan angket oleh validator.

2. Tahap Pelaksanaan

Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap pelaksanaan adalah:

a. Menentukan kelas sampel yang diambil secara random dimana kelas sampel ada dua

kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol.

b. Memberikan angket awal dan melakukan pre-test.

c. Mengadakan pembelajaran pada dua kelas dengan bahan dan waktu yang sama, hanya

model pembelajaran yang berbeda. Untuk kelas eksperimen diberikan perlakuan yaitu

pembelajaran kooperatif tipe NHT sedangkan kelas kontrol diberikan perlakuan

pembelajaran konvensional.

d. Memberikan angket akhir untuk mengukur motivasi akhir dan melakukan post-test.

3. Tahap Akhir

Langkah-langkah pada tahapan pengumpulan data adalah:

a. Mencari nilai rata-rata dan simpangan baku

b. Pemeriksaan uji normalitas data

c. Pemeriksaan uji homogenitas varians

d. Melakukan uji hipotesis dengan uji-regresi

e. Membuat kesimpulan dari data yang telah dianalisis

Page 19: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 43

Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan 2 alat pengumpul data:

1. Angket

Angket yang diberikan kepada siswa berfungsi untuk pengukuran motivasi belajar

matematika siswa yang terdiri dari 17 butir. Peneliti melakukan validitas angket berdasarkan

validitas isi dengan meminta penilaian dari beberapa validator yang merupakan ahli bidang studi

(dosen, guru) yang disesuaikan dengan indikator dikandung pertanyaan, dan menentukan valid

atau tidaknya tiap butir pertanyaan angket. Angket diberikan pada dua tahap yaitu di awal dan

akhir. Pemberian angket di awal penelitian berfungsi untuk mengetahui tingkat motivasi siswa

di awal kemudian angket yang diberikan di akhir penelitian berfungsi untuk mengetahui tingkat

motivasi siswa setelah diberi perlakuan.

Tabel 1. Indikator penyusunan angket motivasi

No Indikator

No.Item

Sikap Positif Sikap negatif

1 Tekun menghadapi tugas.

2 Ulet menghadapi kesulitan belajar

matematika.

3 Menunjukkan minat terhadap

masalah matematika

4 Percaya diri

5 Senang berkompetisi sehat

Dari hasil angket dapat dihitung persentase tingkat motivasi siswa dengan rumus:

%M=P

T×100%

Keterangan: %M = Persentase tingkat motivasi

P = Skor perolehan siswa

T = Skor total angket motivasi

Dengan kriteria persentase:

90% ≤ M ≤ 100% : Sangat tinggi

80% ≤ M < 90% : Tinggi

65%≤ M < 80% : Sedang

55%≤ M < 65% : Rendah

0% ≤ M < 55% : Sangat rendah

Page 20: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

44 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

2. Observasi

Observasi yang dilakukan adalah terhadap proses pembelajaran yang dilakukan peneliti

apakah sesuai dengan rancangan yang telah dibuat.

Teknik Analisis Data

Uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi. Uji ini dilakukan

untuk mengukur besarnya pengaruh variabel bebas (model pembelajaran Kooperatif tipe NHT

untuk kelas eksperimen dan model pembelajaran konvensional untuk kelas kontrol) terhadap

variabel terikat (motivasi belajar matematika siswa) dan memprediksi variabel terikat dengan

menggunakan variabel bebas.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pemberian angket motivasi awal kepada siswa diperoleh rata-rata skor

motivasi awal siswa di kelas eksperimen adalah 51,95 dan di kelas kontrol 52,41 dengan

persentase motivasi 64,8% dan 65,5% dengan kategori ―rendah‖. Dan dari angket motivasi akhir

diperoleh rata-rata skor motivasi kelas eksperimen adalah 59,475 dan kelas kontrol 56,35

dengan persentase motivasi 74,34% dan 70,43% sehingga kategori motivasi kedua kelas

tersebut adalah ―sedang‖.

Tabel 2. Ringkasan Data Motivasi Belajar Matematika Kedua Kelas

No Statistik

Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Angket

Awal

Angket

Akhir Angket Awal

Angket

Akhir

1 N 39 39 40 40

2 Jumlah Nilai 2044 2198 2078 2379

3 Rata-Rata 52,41 56,35 51,95 59,47

4 Simpangan Baku 6,18 8,22 5,027 7,168

5 Varians 38,248 67,604 25,279 51,383

6 Maksimum 64 73 64 77

7 Minimum 41 42 41 44

Uji Normalitas

Untuk menguji normalitas data digunakan uji liliefors yang bertujuan untuk mengetahui

apakah penyebaran data motivasi belajar memiliki sebaran data yang berdistribusi normal atau

tidak. Sampel berdistribusi normal jika dipenuhi L0 < Ltabel pada taraf signifikan = 0,05.

Page 21: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 45

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data Motivasi Belajar

Kelas Motivasi awal Motivasi akhir

L0 Ltabel Keterangan L0 Ltabel Keterangan

Eksperimen 0,123 0,1400 Normal 0,1382 0,1400 Normal

Kontrol 0,0999 0,1418 Normal 0,0873 0,1418 Normal

Uji normalitas data motivasi awal kelas eksperimen diperoleh L0 (0,123) < Ltabel (0,1400)

dan data motivasi awal kelas kontrol diperoleh L0 (0,0999) < Ltabel (0,1418). Data motivasi akhir

kelas eksperimen diperoleh L0 (0,1382) < Ltabel (0,1400) dan data motivasi akhir kelas kontrol

diperoleh L0 (0,0873) < Ltabel (0,1418). Dengan demikian dapat disimpulkan distribusi data

motivasi awal dan akhir baik di kelas eksperimen maupun kelas kontrol terdistribusi normal.

Uji Homogenitas

Pengujian homogenitas data untuk mengetahui apakah sampel yang digunakan dalam

penelitian berasal dari populasi yang homogen atau tidak. Untuk pengujian homogenitas

digunakan uji kesamaan kedua varians yaitu uji F. Jika Fhitung ≥ Ftabel maka H0 ditolak dan jika

Fhitung< Ftabel maka H0 diterima. Dengan derajat kebebasan pembilang = (n1 – 1 ) dan derajat

kebebasan penyebut = (n2 – 1 ) dengan taraf nyata α = 0,05.

Tabel 4.Hasil Uji Homogenitas Motivasi Belajar

Data Varians Terbesar Varians Terkecil Fhitung Ftabel Keterangan

Angket

Awal 38,248 25,279 1,513 1,71 Homogen

Angket

Akhir 67,604 51,383 1,31 1,71 Homogen

Dari hasil pengujian homogenitas diperoleh data kedua kelas sampel adalah homogen.

Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji regresi untuk mengukur besarnya pengaruh

motivasi awal terhadap motivasi akhir setelah diberi perlakuan pembelajaran di kedua kelas

dengan taraf signifikan yang digunakan adalah α = 0,05. Sebelum dilakukan pengujian terlebih

dahulu ditentukan model regresinya sehingga diperoleh model regresi kelas kontrol adalah Y

=17,5496 + 0,7404 X dan kelas eksperimen adalah 𝑌 = 13,5294 + 0,8844𝑋.

a. Uji keberartian regresi

Untuk melihat apakah variabel Y independen dengan X secara linier digunakan uji F dengan

ANAVA. Diperoleh Fhitung = 16,6376 untuk kelas kontrol dan Fhitung = 23,7697 untuk kelas

eksperimen. Karena di kelas eksperimen Fhitung ≥ F(0,95)(1,38) yaitu 23,7697 ≥ 4,10 dan di kelas

kontrol Fhitung ≥ F(0,95)(1,37) yaitu 16,6376 ≥ 4,105 ini menunjukkan bahwa regresi memiliki

keberartian atau variabel Y dependen dengan X secara linier.

b. Uji kelinieran

Page 22: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

46 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Uji linieritas model regresi bertujuan untuk menguji apakah model linier yang telah diambil

itu benar-benar cocok dengan keadaanya atau tidak dengan menggunakan uji F. Diperoleh

Fhitung<F(0,95)(4,32) yaitu 1,0263< 2,14 dengan α = 0,05 hal ini menunjukkan model regresi kelas

kontrol linier (E(y) = a + bX) dan kelas eksperimenFhitung<F(0,95)(4,32) yaitu 1,1746< 2,16 dengan

α = 0,05 hal ini menunjukkan model regresi kelas eksperimen linier (E(y) = a + bX).

Gambar 1. Regresi Motivasi Siswa Kelas Eksperimen

Dari gambar 4.1 dapat dilihat bahwa:

1. Dengan motivasi awal di sumbu mendatar sedangkan motivasi akhir di sumbu tegak dapat

dilihat hubungan yang cukup dekat dari sebaran data di sekitar garis.

2. Motivasi awal dan akhir memiliki hubungan yang linier terlihat dari titik-titik data yang

membentuk pola garis lurus.

3. Motivasi akhir mengalami pertambahan positif hal ini dapat dilihat dari titik-titik data yang

menunjukkan gejala dari kiri ke kanan semakin tinggi nilainya pada sumbu tegak.

Gambar 2. Regresi Motivasi Siswa Kelas Kontrol

Dari gambar 4.2 dapat dilihat bahwa:

Page 23: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 47

1. Dengan motivasi awal di sumbu mendatar sedangkan motivasi akhir di sumbu tegak dapat

dilihat hubungan yang ccukup dekat namun pada titik-titik data di bagian tengah tampak

titik di bawah garis yang merupakan titik-titik data yang memiliki nilai motivasi akhir di

bawah model regresi.

2. Motivasi awal dan akhir memiliki hubungan yang linier terlihat dari titik-titik data yang

membentuk pola garis lurus.

3. Motivasi akhir mengalami pertambahan positif hal ini dapat dilihat dari titik-titik data yang

menunjukkan gejala dari kiri ke kanan semakin tinggi nilainya pada sumbu tegak.

c. Uji hipotesis data penelitian

Pengujian ini bertujuan untuk melihat apakah ada pengaruh model pembelajaran terhadap

motivasi belajar siswa. Dari uji hipotesis diperoleh untuk kelas kontrol 𝑟 = 0,5569 dan

𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 4,9102 , dengan 𝑡(0,975) = 2,027 karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 4,9102 > 2,027

sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran konvensionalterhadap

motivasi belajar dengan besar pengaruh 31,0%. Sedangkan untuk kelas eksperimen dengan

𝑟 = 0,6203 dan 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 6,2153, dari tabel diperoleh𝑡(0,975) = 2,025 dengan dk = 38 karena

𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 6,2153 > 2,025 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model

pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)terhadap motivasi belajar dengan

besar pengaruh 38,5%.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besar pengaruh model pembelajaran kooperatif

tipe NHT lebih tinggi dibanding besar pengaruh model pembelajaran konvensional terhadap

motivasi belajar matematika siswa.

Observasi

Observasi proses pembelajaran dilakukan oleh seorang pengamat baik di kelas kontrol

maupun di kelas eksperimen. Pengamat mengobservasi proses pembelajaran yang dilakukan

peneliti dari awal hingga akhir dan mengamati respon siswa. Berdasarkan pengamatan yang

dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 5. Pengamatan Proses Pembelajaran

Kelas Pertemuan Skor Skor

Diperoleh Nilai Kategori

1 2 3 4

Eksperimen I 18 14 110 85,93 Baik

II 9 23 119 92,96 Sangat baik

Kontrol I 2 8 22 112 87,5 Baik

II 2 10 20 114 89,06 Baik

Berdasarkan tabel 5. dapat diketahui bahwa peneliti melaksanakan proses pembelajaran dengan

baik.

Page 24: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

48 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di SMA Budi Murni 2 Medan siswa kelas XI IPA dengan

menggunakan model pembelajaran yang berbeda untuk 2 kelas sampel yaitu kelas eksperimen

dan kelas kontrol. Model pembelajaran yang diterapkan di kelas eksperimen adalah kooperatif

tipe Numbered Head Together (NHT) dan di kelas kontrol model pembelajaran konvensional.

Jumlah siswa di kedua kelas masing-masing adalah 40 orang dan 39 orang.

Perbedaan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan konvensional yang paling

mendasar yaitu pada pembelajaran kooperatif tipe NHT dalam menyampaikan materi

pembelajaran guru hanya sebagai pembimbing, dan bersama-sama dengan siswa melalui diskusi

untuk menemukan konsep dari materi tersebut dan diakhir pembelajaran guru memberikan

konsep yang benar, sedangkan pada pembelajaran konvensional dalam menyampaikan materi

pelajaran guru yang menjelaskan materi kepada siswa dan agar siswa lebih paham, guru

memberikan soal-soal untuk diselesaikan secara individu.

Pada penelitian ini peneliti memberikan angket awal kepada siswa sebelum melakukan

perlakuan untuk mengetahui motivasi awal siswa dan sebagai dasar dalam pengelompokan

untuk kelas eksperimen. Dari pemberian angket motivasi tersebut diperoleh 51,95 dan kelas

kontrol 52,41 dengan persentase tingkat motivasi 64,8% dan 65,5% yang masih dalam kategori

‗rendah‘. Dapat dilihat bahwa motivasi belajar siswa di kedua kelas hampir sama dan dari

pengujian normalitas diperoleh data kedua kelas terdistribusi normal dan homogen.

Setelah pemberian angket awal diberikan perlakuan yang berbeda terhadap kedua kelas

kontrol dan kelas eksperimen. Di kelas eksperimen siswa dibagi terhadap kelompok-kelompok

yang berjumlah 4 orang tiap kelompok sehingga dapat dibentuk 10 kelompok. Dalam

pembelajaran dibantu oleh observer baik di kelas eksperimen maupun di kelas kontrol untuk

mengamati proses pembelajaran penilaian 1-4 untuk tiap point. Dan dari pengamatan yang

dilakukan oleh observer pembelajaran berjalan dengan baik.

Pada saat pembelajaran selesai dilakukan untuk mengetahui motivasi belajar matematika

siswa setelah diberikan perlakuan kedua model pembelajaran maka peneliti memberikan angket

motivasi akhir kepada siswa. Dari hasil angket akhir diperoleh rata-rata skor motivasi 59,47 di

kelas eksperimen dan 56,35 di kelas control dengan persentase tingkat motivasi 74,34% dan

70,43% yang merupakan dalam kategori ‗sedang‘. Dapat dilihat bahwa kelas eksperimen

memiliki rata-rata skor kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol yang sebelumnya

pada motivasi awal memiliki rata-rata lebih rendah dibanding kelas kontrol.

Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis dengan uji regresi untuk mengetahui apakah

terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar siswa.

Dari pengujian diperoleh bahwa regresi di kelas eksperimen memiliki keberartian dan

merupakan model regresi yang linier serta berdasarkan uji hipotesis 𝑟 = 0,6203 dan karena

𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 6,2153 > 2,025 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model

Page 25: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 49

pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)terhadap motivasi belajar dengan

besar pengaruh 38,47%. Dengan pengujian yang sama dilakukan kepada kelas kontrol diperoleh

𝑟 = 0,5569 dan karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 4,9102 > 2,027 hal ini menunjukkan bahwa ada

pengaruh model pembelajaran konvensionalterhadap motivasi belajar dengan besar pengaruh

31,01%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besar pengaruh model pembelajaran

kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)terhadap motivasi belajar lebih tinggi

dibanding model pembelajaran konvensional.

Lebih tingginya pengaruh di kelas eksperimen berkaitan dengan perlakuan yang diberikan.

Di kelas eksperimen peneliti terlebih dahulu membimbing siswa dalam diskusi dan siswa

membaca LAS serta berusaha menemukan konsep-konsep terlebih dahulu di dalam kelompok

diskusi dan ketika tidak memahami dapat berinteraksi langsung pada teman dan guru yang

membuat siswa semakin aktif. Dalam pembelajaran ini juga peneliti yang tidak memberitahukan

siapa yang akan menjawab soal yang diberikan guru mendorong totalitas kelompok untuk

terlibat sehingga meningkatkan motivasi dalam belajar matematika. Disamping itu peneliti juga

memberikan penghargaan bagi nomor dari anggota kelompok yang telah dipanggil guru untuk

menjelaskan kepada teman-temannya hasil diskusi mereka, orang yang menanggapi dan hadiah

bagi kelompok terbaik sebagai wujud dalam memotivasi siswa belajar.

Sedangkan dalam pembelajaran konvensional guru menjelaskan kepada siswa seluruhnya

secara satu arah sehingga siswa kurang aktif dan tidak terdapat interaksi yang baik antara guru

dan siswa yang berakibat siswa kurang termotivasi belajar matematika dan siswa tidak berani

bertanya saat peneliti memberikan kesempatan bertanya, saat peneliti memberikan soal-soal

siswa juga hanya mengerjakan secara individu sehingga tidak terjadi pertukaranpikiran dengan

teman sehingga hasilnya kurang optimum.

Dari hal di atas dipandang perlu untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

Numbered Head Together (NHT) sebagai salah satu alternatif pembelajaran untuk dapat

meningkatkan motivasi belajar matematika siswa.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Motivasi belajar matematika siswa pada materi pokok kaidah pencacahan dengan

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT memiliki nilai rata-rata 59,475.

Sedangkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional memiliki nilai rata-

rata 56,35

2. Secara statistik dengan menggunakan regresi disimpulkan bahwa motivasi belajar

matematika siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

NHT lebih tinggi dibandingkan dengan motivasi belajar matematika siswa yang diajar

Page 26: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

50 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

dengan menggunakan model pembelajaran konvensional pada materi pokok kaidah

pencacahan di kelas XI IPA SMA Budi Murni 2 Medan T.A. 2011/ 2012, hal ini dibuktikan

dari model regresi dan hasil pengujian hipotesis untuk kelas eksperimen kelas eksperimen

adalah 𝑌 = 13,5294 + 0,8844𝑋 dan besar pengaruh 38,47% sedangkan kelas kontrol Y

=17,5496 + 0,7404 X dan besar pengaruh 31,01%

Berdasarkan hasil penelitian ini maka saran yang dapat peneliti berikan adalah:

1. Kepada guru matematika dapat menjadikan model pembelajaran kooperatif tipe NHT

sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan motivasi

belajar matematika siswa.

2. Kepada calon peneliti berikutnya agar mengadakan penelitian yang lebih sempurna

sehingga memperoleh hasil yang lebih maksimal dengan materi ataupun tingkatan kelas

yang berbeda sehingga hasil penelitian dapat berguna bagi kemajuan pendidikan

khususnya pendidikan matematika.

DAFTAR PUSTAKA

A.M, Sardiman.2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Fifi. 2011. Perbedaan Hasil dan Aktivitas Belajar Siswa yang Diajar dengan Menggunakan

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT dan Tipe TGT pada Pokok Bahasan

Logaritma di Kelas X MAN 3 Medan T.A. 2010/2011. Medan:UNIMED

Hamalik, Oemar.2009. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara

Junaidi. Wawan. 2010. Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT. http://wawan-

junaidi.blogspot.com/2010/05/pembelajaran-kooperatif-tipe- nht.html (Diakses Februari

2011)

Kristini, Handriani. 2007. Meningkatkan Kemampuan Siswa SMA Memahami Konsep

Permutasi dan Kombinasi dengan Menggunakan Model pembelajaran Siklus Belajar

(Learning Cycle). JurnalIlmiah Guru kanderang Tingang1: No.1

Lie, Anita. 2010. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo

Majid, Abdul. 2008. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya

Mulyasa. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Pujiati, Irma. 2008. Peningkatan Motivasi dan Ketuntasan Belajar Matematika Melalui

Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD. Jurnal Ilmiah Kependidikan 1:No. 1

Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Surabaya: Kencana.

Rohani, Ahmad. 2004. Pengelolaan pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta: Jakarta.

Salvin, Robert. 2008. Cooperatif Learning Teori. Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media

Sudjana.2005. Metoda Statistika. Tarsito: Bandung.

Page 27: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 51

Sugiyono.2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Suprijono, Agus. 2010. Cooperative Learning. Surabaya: Pustaka Pelajar

Syaban, Mumun. 2011. Penerapan Pembelajaran Investigasi dalam Pembelajaran Matematika.

Jurnal pendidikan dan Budaya

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.

Surabaya: Prestasi Pustaka.

Wirodikromo, Sartono. 2007. Matematika untuk SMA Kelas XI. Erlangga: Jakarta

Page 28: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

52 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

INTERAKSI SISWA DALAM KELOMPOK UNTUK MEMECAHKAN

MASALAH KONTEKSTUAL TOPIK PECAHAN KELAS VII

Aan Dwi Saputra1)

, M. Andy Rudhito2)

1) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma

Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta,

e-mail: [email protected]

2) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma

Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta, email: [email protected]

Abstract

Interaksi antar siswa dalam pembelajaran matematika, khususnya dalam pemecahan

masalah sangat diperlukan. Hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan dalam

Kurikulum 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiinteraksi siswa dalam

kelompok pada saat menyelesaikan masalah, khususnya masalah kontektual.

Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif dengan subyek penelitian 3

siswa SMP kelas VII. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah matematika

yang semula secara individu tidak dapat diselesaikan, melalui diskusi dalam

kelompok dengan difasilitasi guru, akhirnya dapat diselesaikan. Interaksi yang

nampak adalah guru memberikan rangsangan, siswa mengemukakan ide

penyelesaian, mengingatkan yang lupa, dan saling mengoreksi kesalahan.

Keywords: interaksi siswa, kelompok, pemecahan masalah, masalah kontekstual,

pecahan.

PENDAHULUAN

Matematika adalah ilmu dasar yang berupa fakta, konsep, yang wajib dikuasai oleh

siswa sejak awal. Tujuan pembelajaran matematika adalah terbentuknya kemampuan bernalar

pada diri siswa yang tercermin melalui kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis dan

memiliki sifat obyektif. Pembelajaran matematika bagi sekolah menengah harus disesuaikan

dengan tahap perkembangan kognitif anak.

Materi pecahan merupakan salah satu materi matematika di sekolah menengah yang harus

dikuasai dan dipahami oleh siswa. Konsep dasar pecahan tersebut memiliki kesinambungan

terhadap materi pada jenjang berikutnya.

Berdasarkan wawancara dengan siswa SMP, selama ini materi pecahan diajarkan dengan

metode konvensional. Hal ini mengakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam memahami

konsep dari pecahan. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan siswa menunjukkan

bahwa siswa mengalami kesulitan mengenai konsep pecahan pada umumnya dan dalam

memecahkan permasalahan pecahan pada khususnya. Hal tersebut semakin menambah

keyakinan bahwa metode pembelajaran yang diterapkan belum mampu membuat siswa paham

akan konsep dari pecahan. Oleh karena itu, guru atau pendidik seharusnya menggunakan cara

sedemikian rupa sehingga siswa dapat memahami konsep pecahan secara menyeluruh.

Berdasarkan kurikulum 2013, dalam kompetensi dasar kelas VII 2.3; mengatakan bahwa

memiliki sikap terbuka, santun, objektif, menghargai pendapat dan karya teman dalam interaksi

kelompok maupun aktivitas sehari-hari. Kompetensi dasar tersebut sangat jelas bahwa interaksi

Page 29: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 53

kelompok sangat penting dalam upaya pemhaman konsep secara menyeluruh. Untuk itu

disinilah peran guru sangat penting, guru seharusnya memperhatikan interaksi antar siswa yang

mendukung dalam proses pembelajaran.

Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam interaksi

tersebut adalah dengan model pembelajaran kooperatif. Strategi pembelajaran ini merupakan

strategi pembelajaran kelompok yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan untuk

digunakan, maka pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang dapat

memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini mengalami kelemahan (Wina Sanjaya).

Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan mengunakan sistem

pengelompokan/tim kecil, yaitu antara tiga sampai dengan enam orang yang mempunyai latar

belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda. (Wina Sanjaya).

Penelitian ini menggunakan pembelajaran kooperatif dengan tujuan menunjukkan bahwa

apakah pembelajaran kooperatif berbasis masalah dapat menyelesaikan permasalahan

kontekstual yang berhubungan dengan pecahan. Selain itu juga, dapat mengetahui interaksi-

interaksi apa saja yang mendukung dalam menyelesaikan permasalahan kontekstual yang

berhubungan dengan pecahan. Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan guru dapat

mengetahui apakah metode kooperatif lebih efektif membantu siswa dalam memahami konsep

dan memecahkan permasalahan pecahan serta interaksi-interaksi apa saja yang mendukung

dalam proses pembelajaran.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini

mendeskripsikan hasil penelitian berupa pemanfaatan interaksi siswa dalam kelompok untuk

memecahkan masalah kontekstual dengan pendekatan pembelajaran kooperatif berbasis

masalah.

Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian pada tanggal 26 oktober 2013. Tempat penelitian di rumah peneliti di

dusun Sragan VII, Sendangagung, Minggir, Sleman.

Target/Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah 3 siswa kelas VII SMP Pangudi Luhur Moyudan pada

semester ganjil tahun ajaran 2013/2014. Teknik memperoleh subjek penelitian dengan

pendekatan secara personal. Subjek diperoleh melalui hubungan kekerabatan. Kegiatan

pembelajaran dilakukan sebanyak satu kali pertemuan. Pembelajaran menggunakan metode

kooperatif berbasis masalah.

Page 30: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

54 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosedur

Data penelitian diperoleh dengan cara observasi langsung, apersepsi, dan wawancara.

Observasi langsung dilaksanakan dengan mengamati kegiatan pembelajaran. Pertemuan awal

digunakan untuk apersepsi. Apersepsi bertujuan untuk mengingatkan materi sebelumnya dan

mengarahkan materi yang akan peneliti uji cobakan. Materi pembelajaran yang diamati yaitu

masalah sehari-hari yang berhubungan dengan pecahan.

Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian deskriptif kualitatif dilakukan dengan berbagai tahap-tahap sebagai berikut :

1. Tahap awal

Sebelum melakukan penelitian, penulis menyiapkan soal yang secara individu tidak

bisa dikerjakan dengan kelompok dapat diselesaikan. Soal berhubungan kehidupan sehari-

hari atau kontekstual. Soal tersebut dipilih karena sesuai dengan kompetensi inti kelas VII

poin 2, dikatakan bahwa menghargai dan menghayati perilaku jujur, displin,

tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi

secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan

keberadaanya. Dengan demikian siswa nantinya dapat berinteraksi secara efektif dengan

lingkungan.

2. Tahap pengumpulan data

Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan data dengan melakukan

pengamatan langsung/observasi dan melakukan tanya jawab dalam kelompok kecil dalam

hal ini situasi dalam pembelajaran. Dalam hal ini pengumpulan data dilaksanakan di rumah

peneliti.

Lembar Soal

Nama :

Sekolah :

Soal :

Pak Aan seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta di Yogyakarta. Setiap

bulan ia menerima gaji Rp. 840.000. Dari gaji tersebut 1

3 bagian digunakan untuk

kebutuhan rumah tangga, 1

5 bagian untuk membayar pajak,

1

4 bagian untuk biaya

pendidikan, dan sisanya ditabung.

a. Berapa bagiankah uang Pak Aan yang ditabung?

b. Berapa rupiahkah bagian masing-masig kebutuhan ?

c. Kebutuhan mana yang paling banyak di keluarkan oleh Pak Aan ?

Gambar 1. Lembar Soal

Page 31: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 55

Sebelum melakukan pengamatan peneliti juga menyiapkan rencana pembelajaran,

skenario penelitian, lembar soal, catatan dalam proses pengamatan di lapangan, dan bahan

yang diperlukan selama proses pengamatan berlangsung. Pengamatan ini dilakukan selama

proses pembelajaran pada topik pecahan dengan menggunakan pembelajaran kooperatif

berbasis masalah. Peneliti bertindak sebagai guru. Semua hasil pengamatan dan informasi

dikumpulkan. Selain itu proses pembelajaran juga direkam dalam camera guna melengkapi

data yang diperlukan oleh peneliti.

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu :

1. Instrumen Pembelajaran

Instrumen pembelajaran pada penelitian ini adalah berupa skenario penelitian. Skenario

penelitian ini disusun oleh peneliti didasarkan pada pembelajaran yang menggunakan

kooperatif berbasis masalah.

2. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan istrumen penelitian berupa tes prestasi

belajar siswa. Tes belajar siswa ini merupakan alat ukur atau prosedur yang digunakan

untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana dengan cara dan aturan tertentu.

Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif dengan tahap-

tahap sebagai berikut :

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan suatu proses membandingkan data yang satu dengan data

yang lain untuk menemukan dan menghasilkan topik-topik data. Tahap reduksi data dibagi

menjadi dua kegiatan, yaitu :

a. Transkripsi Rekaman Video

Segala hasil rekaman video ditranskripsikan, yaitu menyajikan data kembali berupa

segala sesuatu yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas, yang nampak hasil

rekaman video selama pembelajaran ke dalam bentuk narasi tertulis dengan dilengkapi

data hasil dari pengamatan langsung.

b. Penentuan Topik-Topik Data

Penentukan topik-topik data yang terdapat dalam transkripsi, merupakan kandungan

makna dan arti yang terdapat dalam bagian setiap data yang berkaitan serta

mengandung makna tertentu. Makna tertentu tersebut mengenai ide siswa dalam

upaya pemecahan masalah pecahan. Selanjutnya dalam menentukan topik-topik data,

perlu melakukan interprestasi data transkrip rekaman video. Pengelompokan

didasarkan pada data yang mempunyai kesamaan data dijadikan satu topik data,

Page 32: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

56 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

sedangkan data yang tidak mempunyai kesamaan dapat dijadikan topik data baru.

Selain itu, tahap data dalam penelitian ini meliputi mengoreksi pekerjaan siswa.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang disusun untuk memberikan

kemungkinan-kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam tahap

ini data yang berupa interaksi siswa disusun menurut dari urutan obyek penelitian yang

dipilih. Tahap penyajian data dalam penelitian ini meliputi menyajikan rekaman dalam

proses pembelajaran yang telah direkam pada camera. Dari hasil penyajian data dilakukan

analisis, selanjunya disimpulkan yang berupa data temuan, sehingga bisa menjawab

permasalahan dalam penelitian ini.

3. Menarik kesimpulan dan verifikasi

Verifikasi adalah sebagian dari satu tujuan dari konfigurasi yang utuh sehingga

mampu menjawab pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian. Itu semua dilakukan dengan

membandingkan hasil pekerjaan siswa dan hasil rekaman dalam proses pembelajaran.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bagian ini akan disajikan proses pembelajaran kooperatif berbasis masalah

mengenai masalah kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pecahan. Peneliti menggunakan

sampel 3 siswa kelas VII SMP Pangudi Luhur Moyudan dengan kemampuan akademis yang

relatif berbeda. Pada awal pertemuan peneliti melakukan apersepsi materi pecahan secara umum

dengan cara guru menanyakan suatu kasus (wawancara) dan siswa menjawab secara lisan.

Pembelajaran dilanjutkan dengan pemberian soal yang berkaitan dalam kehidupan sehari-hari

dalam kaitannya pecahan. Guru memberikan waktu 30 menit untuk mengerjakan lembar soal.

Sampai batas waktu yang sudah ditentukan ketiga siswa mengalami kesulitan dalam

mengerjakan lembar soal secara individu tidak dapat diselesaikan. Lembar soal ini bertujuan

untuk mengetahui tingkat dan ketercapaian siswa dalam pembelajaran kooperatif berbasis

masalah. Selanjutnya guru menyuruh setiap siswa untuk mempresentasikan jawabannya didepan

kelas, melalui diskusi dalam kelompok dengan difasilitasi guru, ketiga siswa dapat

menyelesaikan lembar soal. Contoh interaksi yang nampak adalah guru memberikan

rangsangan, siswa mengemukakan ide penyelesaian, saling mengingatkan yang lupa, dan saling

mengoreksi kesalahan.

Tabel 1. Interaksi yang nampak dalam pembelajaran

G = Guru (Peneliti), S1 = Siswa 1 , S2 = Siswa 2, S3 = Siswa 3

Kegiatan Pembelajaran Kooperatif Interpretasi Interaksi

1. [G mengucapkan selamat sore teman-

teman semua]

2. G : Sebelum kita memulai pembelajaran

pada sore hari ini alangkahnya kita berdoa

terlebih dahulu, silahkan salah satu dari

kalian memimpin doa, tidak usah saya

Page 33: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 57

tunjuk.

3. G : Ayo S1 memimpin doa

4. G : Terima kasih nima

5. G : Ini ada presensi nanti diisi ya

6. G : Oke, pada sore hari ini kita akan

belajar mengenai pecahan. Dari teman-

teman semua, apakah yang kalian ketahui

tentang pecahan? Pernahkah belajaar

pecahan?

7. S1, S2, S3 : Pernah, saat SD dan SMP

8. G : Pada sore hari ini, kita akan belajar

mengenai sub bab dari pecahan yakni

memecahan masalah sehari-hari yang

berkaitan dengan pecahan

9. G : Dalam kehidupan sehari-hari,

pernahkah kalian berhubungan dengan

pecahan? Ayo sebutkan ?

10. S1 : Kalau mau membeli bumbu-bumbu

dapur, beli 1

4 cabai

11. G : Terima kasih S1, bagus

12. G : Ada yang lain, bagaimana kalau S2?

13. S2 : Apa ya ?

14. G : R berapa bersaudara ?

15. S2 : 5

16. G : Kalau ibu beli 1 roti, dek R mendapat

berapa bagian agar sama-sama rata ?

17. S2 : 1 : 5 jadinya 1

5

18. G : Bagus S2, bagaimana kalau S3 ?

19. S3 : Kalau membeli buah, beli 1

4 atau

1

2 kg

20. G : Oke, nah dengan demikian kalian

ternyata sangat berhubungan dan dekat

dengan pecahan dalam sehari-hari. Banyak

manfaat pecahan dalam kehidupan sehari.

21. G : Biar lebih jelas, saya mempunyai soal.

Tolong dikerjakan sendiri-sendiri ya?

[Guru membagikan soal, dan

mengingatkan siswa jangan dilupakan

materi pecahan sebelumnya serta meminta

siswa mengerjakan di kertas manila yang

saya bagikan]

22. G : Salah satu dari kalian membaca terlebih

dahulu soalnya?

23. S2 : [Membaca Soal]

24. S2 : Pak Aan seorang karyawan di sebuah

perusahaan swasta di Yogyakarta. Setiap

bulan ia menerima gaji Rp. 840.000. Dari

gaji tersebut 1

3 bagian digunakan untuk

kebutuhan rumah tangga, 1

5 bagian untuk

membayar pajak, 1

4 bagian untuk biaya

pendidikan, dan sisanya ditabung.

25. G : Pertanyaannya ?

26. S2 : Berapa bagiankah uang Pak Aan yang

ditabung?

Guru memberikan rangsangan

Siswa saling mengemukakan ide

Guru memberikan rangsangan

Siswa mengemukakan ide penyelesaian

Page 34: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

58 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Berapa rupiahkah bagian masing-masing

kebutuhan ?

Kebutuhan mana yang paling banyak di

keluarkan oleh Pak Aan ?

27. G : Sudah jelas maksud dari soal? Kalau

ada yang belum jelas silahkan bertanya

[Guru memberikan kesempatan

mengerjakan soal dengan waktu 30 menit]

[Guru juga melihat hasil pekerjaan siswa,

ternyata dari ketiga siswa, semuanya tidak

dapat menyelesaikan soal]

28. G : Guru meminta hasil dari pekerjaannya

dipresentasikan di depan ?

29. G : Ayo dek S3 maju?

30. S3 : [C maju di depan]

31. S3 : [Membacakan hasil pekerjaanya]

32. S3 : Kebutuhan rumah tangga

= 1

3 x Rp. 840.000 = Rp. 280.000

Kebutuhan pajak

= 1

5 x Rp. 840.000 = Rp. 168.000

Kebutuhan pendidikan anak

= 1

4 x Rp. 840.000 = Rp. 210.000

Jadi jawabannya : Rp. 350.000

33. G : Bagaimana pekerjaan S3 ?

34. S2 : Tempatku jawabannya yang A beda ?

35. S2 : Yang bawah sendiri per 60 ?

36. G : KPK dari 3, 4, dan 5 berapa ? yang

benar 60 atau 80 ?

37. S1, S2, S3 : 60

38. Terima kasih dek S3. Sekarang gantian S2

yang maju.

39. [S2 mulai maju dan mengerjakan di depan

kelas]

= 1 - 1

3−

1

5−

1

3

= 20

20 –

20−12−15

60

=..

40. G : Guru menanyakan, benar atau salah

nilai 1 menjadi 20

20 ?

41. S1, S2, S3 : Salah, seharusnya disamakan

penyebutnya dulu, menjadi 60

60

42. S2 : [Mulai membetulkan jawabannya]

= 1 - 1

3−

1

5−

1

3

= 60

60 –

(20+12+15)

60

=13

60; jadi bagian yang ditabung

13

60

43. G : Bagus S2, sudah jelas?

44. S1, S2, S3 : Sudah

45. G : Guru meminta N maju ke depan kelas

46.S1 : [Mulai mengerjakan di depan kelas]

Kebutuhan rumah tangga

= 1

3 x Rp. 840.000 = Rp. 280.000

Siswa mengemukakan ide penyelesaian

Siswa mengemukakan ide penyelesaian,

Saling mengkoreksi kesalahan

Guru memberikan rangsangan

Siswa mengemukakan ide penyelesaian

Guru memberikan pancingan

Mengingatkan yang lupa

Siswa mengemukakan ide penyelesaian,

Saling mengkoreksi kesalahan

Siswa mengemukakan ide penyelesaian

Page 35: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 59

Kebutuhan membayar pajak

= 1

5 x Rp. 840.000 = Rp. 168.000

Kebutuhan pendidikan anak

= 1

4 x Rp. 840.000 = Rp. 210.000

Di tabung

= 1

4 x Rp. 840.000 = Rp. 182.000

47. G : Guru meminta untuk mengulangi

hasilnya, apakah semua kebutuhan apakah

sama dengan gaji Pak Aan?

48. S1 : [Mulai menjumlahkan semua

kebutuhan]

Hasilnya sama seperti dengan gaji pak Aan,

Rp. 840.000.

49. S1, S2, S3 : yee [Ketawa] [Semua siswa

sudah bisa menyelesaikan lembar soal

dalam kelompok dengan didampingi guru]

50. G : Guru menanyakan apakah sudah jelas?

51. S1, S2, S3 : Sudah

52. G : Selanjutnya sekarang yang S3? Siapa

yang belum maju ?

53. S1 dan S2 : Menyebut S3 belum maju, tadi

hanya berdiri, belum menjelaskan.

54. G : Guru meminta S3 untuk maju didepan

menjelaskan soal C?

55. S3 : [Membaca soal C] Kebutuhan mana

yang paling banyak dikeluarkan oleh Pak

Aan ?

Kebutuhan rumah tangga : Rp 280.000

56. G : Benar?

57. S1 dan S2 : Ya, karena yang paling banyak

58. G : Menanyakan apakah sudah jelas?

59. S1, S2, S3 : Sudah

60. G : Kenapa tadi tidak bisa mengerjakan?

61. S1, S2, S3 : Lupa materi mas, tadi belum

kepikiran

62. G: Dengan pembelajaran sore ini tolong

diingat dan disimpan ya ?

63. G : Ada yang ditanyakan?

64. S1, S2, S3 : Tidak mas

65. G : Pembelajaran hari ini kita belajar apa?

66. S1, S2, S3 : Lebih mengerti, lebih

mendalami pecahan dalam kehidupan

sehari-hari

67. G : Guru memberikan peneguhan materi

pecahan. Selanjutnya guru mengucapkan

terima kasih atas pembelajaran hari ini.

Guru meminta salah satu siswa untuk

memimpin doa penutup.

68. S1 : [Memimpin doa penutup]

69. G : Selamat sore teman-teman. Terima

kasih.

Guru memberikan rangsangan

Siswa mengemukakan ide penyelesaian

Mengingatkan yang lupa

Siswa mengemukakan ide penyelesaian

Siswa mengemukakan ide penyelesaian

Page 36: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

60 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Hasil pengamatan interaksi dalam proses pembelajaran kooperatif berbasis masalah dengan

pendampingan guru. Terlihat berbagai macam interaksi-interaksi yang nampak antara lain : guru

memberikan rangsangan, siswa mengemukakan ide penyelesaian, mengingatkan yang lupa, dan

saling mengoreksi kesalahan. Dalam pembelajaran tersebut, siswa terlihat lebih antusias dalam

pembelajaran, siswa juga menjadi aktif dalam pembelajaran berlangsung. Selain itu terlihat

bahwa masalah matematika yang semula secara individu tidak dapat diselesaikan, melalui

diskusi dalam kelompok dapat diselesaikan. Proses demikian sangat baik bagi siswa dalam

proses membangun pengetahuan dan pemecahan masalah kontekstual.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:

1. Pembelajaran kooperatif berbasis masalah dengan pendampingan guru dapat

menyelesaikan permasalahan kontekstual yang berhubungan dengan pecahan.

2. Interaksi yang nampak dan mendukung dalam menyelesaikan permasalahan

kontekstual yang berhubungan dengan pecahan antara lain: guru memberikan

rangsangan, siswa mengemukakan ide penyelesaian, mengingatkan yang lupa, dan

saling mengoreksi kesalahan.

SARAN

Penelitian ini bisa diujicobakan dalam lingkup kelas yang sesungguhnya.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasionsal. 2013. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur

Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah.

Kartika, Budi. 2001. Berbagai Strategi Untuk Melibatkan Siswa Secara Aktif Dalam Proses

Pembelajaran Fisika Di SMU, Efektivitasnya, Dan Sikap Mereka Pada Strategi

Tersebut. Yogyakarta: Widya Dharma (Universitas Sanata Dharma)

Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Surjadi. (2012). Membuat Siswa Aktif Belajar. Bandung: CV. Mandar Maju.

Wina Sanjaya.(2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:

Kencana Prenada Media.

Page 37: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 61

Self Efficacy dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation

Ahmad Dzulfikar

Program Studi Pendidikan Matematika SPs UPI

Jl. Dr. Setiabudi 229, Bandung 40154, email: [email protected]

Abstrak

Matematika perlu dikuasai sejak dini untuk membekali siswa agar memiliki

kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk menghadapi

permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang selalu berubah, tidak pasti, dan

kompetitif. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan mata pelajaran matematika

diberikan pada siswa yaitu agar mereka memiliki kemampuan pemecahan masalah.

Namun, ironisnya penelitian yang ada menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan

masalah siswa belum memuaskan. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa harus ditingkatkan. Studi literatur ini mengkaji secara teoritis

efektivitas dari pembelajaran kooperatif tipe group investigation dalam meningkatkan

kemampuan ini. Selain itu, akan dikaji pula keefektifan pembelajaran ini dalam

mengembangkan self efficacy matematis siswa. Hal ini dikarenakan, self efficacy

memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa.

Kata kunci: self efficacy, kemampuan pemecahan masalah matematis, pembelajaran

kooperatif tipe group investigation

PENDAHULUAN

Matematika perlu dikuasai sejak dini untuk membekali siswa agar memiliki

kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk menghadapi

permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Hal

ini sejalan dengan salah satu tujuan mata pelajaran matematika diberikan pada siswa,

sebagaimana disebutkan pada lampiran permendiknas nomor 22 tahun 2006, yaitu agar mereka

memiliki kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

Hal ini diperlukan agar sebelum siswa dihadapkan dengan permasalahan dalam kehidupan nyata

yang sedemikian kompleks dan rumit, mereka telah memiliki kemampuan pemecahan masalah.

Sehingga siswa terbiasa dalam menghadapi masalah di kemudian hari. Oleh karena itu,

kemampuan pemecahan masalah siswa harus selalu diasah dan ditingkatkan.

Cooneyet al. (Hudojo, 2003: 167) menyatakan bahwa mengajar siswa untuk

memecahkan masalah-masalah memungkinkan mereka menjadi lebih analitis dalam mengambil

keputusan dalam hidup. Hal ini dikarenakan mereka menjadi terampil mengumpulkan informasi

yang relevan, menganalisis informasi tersebut, dan menyadari pentingnya meneliti kembali hasil

yang telah diperoleh.

NCTM menekankan bahwa pemecahan masalah sebagai fokus sentral dari kurikulum

matematika dan kemampuan untuk memecahkan masalah menjadi alasan untuk mempelajari

Page 38: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

62 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

matematika (Wahyudin, 2008: 356). Lebih lanjut, NCTM menyatakan bahwa pemecahan

masalah juga menjadi fokus dalam pendidikan matematika (McIntosh & Jarrett, 2000: 4).

Berdasarkan uraian tersebut bahwa memiliki kemampuan pemecahan adalah sangat

bermanfaat bagi siswa. Namun, kenyataan yang ada adalah kemampuan pemecahan masalah

siswa belum memuaskan. Laporan The Third International Mathematics and Science Study

(TIMSS) bahwa siswa SLTP Indonesia sangat lemah dalam problem solving namun cukup baik

dalam keterampilan prosedural (Mullis et al., dalam Herman, 2006). Bukti ini diperkuat lagi

dengan gambaran kelemahan siswa Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal Matematika dari

PISA dan TIMSS yang disadur dari laporan hasil survey PISA tahun 2000 dan TIMSS tahun

2003 terbitan tahun 2006 oleh Puspendik (Pusat Penilaian Pendidikan) Balitbang Depdiknas

(Wardani dan Rumiati, 2011: 55) yang memperlihatkan bahwa siswa di Indonesia lemah dalam

mengerjakan soal-soal yang menuntut kemampuan pemecahan masalah.

Hasil tidak jauh berbeda juga ditunjukkan dari hasil studi PISA pada 2009, Indonesia

memperoleh skor 371 dari rata-rata internasional 500 atau menduduki peringkat 61 dari 65

negara peserta (PISA, 2010). Sementara itu, pada hasil TIMSS terbaru yang dirilis pada 2011

skor dan peringkat Indonesia menunjukkan penurunan. Pada 2011 skor Indonesia turun dari 397

menjadi 386 dengan menduduki peringkat 38 dari 42 negara.

Penurunan tersebut mungkin disebabkan oleh kurangnya kemampuan berfikir

matematis pada diri siswa yang termasuk di dalamnya adalah kemampuan berfikir matematis

tingkat tinggi. Dimana, salah satu bentuk kemampuan berfikir matematis tingkat tinggi adalah

kemampuan pemecahan masalah matematis.

Hasil penelitian Supriatna (2011) memberikan gambaran bahwa soal-soal yang

menuntut kemampuan pemecahan masalah matematis belum dikuasai oleh siswa. Hal ini terlihat

dari jumlah siswa SMP Negeri di Sumedang yang menjawab benar adalah 25,70%. Sedangkan,

pada siswa SMA Negeri di Sumedang yang menjawab dengan benar adalah 36,6%. Dari hasil

tersebut, diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa rendah.

Hasil tidak jauh berbeda ditunjukkan oleh Rahayuningrum (2013), ia juga menemukan

bahwa kemampuan dalam menyelesaikan masalah matematis siswa masih rendah. Ketika

dihadapkan soal penyelesaian masalah, siswa masih terlihat kebingungan dan memerlukan

waktu lama untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Robiah (2013) menemukan bahwa siswa

kesulitan dalam melaksanakan proses pemecahan masalah matematis. Dilihat dari langkah

pemecahan masalah yang diajukan Polya yang di dalamnya adalah meliputi memahami

masalah, merencanakan penyelesaian, melakukan penyelesaian sesuai rencana dan melakukan

pengecekan kembali jumlah siswa yang kesulitan melaksanakan proses tersebut pada kelas

kontrol dan eksperimen berturut-turut adalah 6,84%, 31,61%, 47,89%, dan 68,64%. Oleh karena

itu, perlu diupayakan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa guna

mengoptimalkan prestasi belajar mereka.

Page 39: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 63

Setiawan (2006: 2) menyebutkan bahwa rendahnya hasil pembelajaran matematika di

Indonesia salah satunya disebabkan karena siswa cenderung pasif dalam pembelajaran yang

berakibat mereka tidak dapat berfikir matematis secara optimal yang mendorong

terkonstruksinya pengetahuan mereka sendiri. Hal ini bermuara pada kurang efektifnya

pembelajaran yang dikembangkan di kelas. Rahayuningrum (2013) menemukan bahwa faktor

yang menyebabkan rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa selain mereka

kesulitan dalam menyusun model matematika dan menyelesaikan masalah yang diberikan

adalah kurangnya partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran.

Selain mengamanatkan pentingnya kemampuan pemecahan masalah dimiliki siswa,

dalam lampiran permendiknas no. 22 tahun 2006 juga mengamanatkan pentingnya percaya diri

dimiliki oleh para siswa. Lampiran permendiknas no. 22 tahun 2006 juga menyebutkan tujuan

mata pelajaran matematika diberikan pada siswa yaitu agar mereka memiliki sikap menghargai

kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat

dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Salah satu bagian dari kepercayaan/keyakinan diri siswa adalah keyakinan diri mereka pada

matematika atau self efficacy matematis.

Hacket & Betz (Nicolaidou & Philippou, 2004: 4) menyatakan bahwa pengaruh self

efficacy terhadap performa dalam matematika sama kuatnya dengan pengaruh kemampuan

mental secara umum. Oleh karena itu, dibutuhkan self efficacy yang kuat pada diri siswa agar

mereka dapat berhasil dalam proses pembelajaran matematika.

Hasil penelitian tentang self efficacy menunjukkan bahwa self efficacy secara signifikan

mempengaruhi prestasi akademik dan menjadi dasar indikator yang paling kuat atas prediksi

performa dalam tugas-tugas matematika (Gaskill & Murphy, dalam Mukhid, 2009: 118) dan

memiliki korelasi positif yang signifikan, serta menjadi powerful predictor terhadap pemecahan

masalah (Nicolaidou & Philippou, 2004: 1).

Sejalan dengan hasil-hasil penelitian tersebut, hasil penelitian Collins (Mukhid, 2009:

116) menunjukkan bahwa siswa yang berkemampuan matematika dan memiliki self efficacy

yang lebih kuat, mereka lebih cepat dalam membuat strategi dan memecahkan masalah, dan

memilih mengerjakan kembali masalah yang belum mereka pecahkan, serta melakukannya

dengan lebih akurat daripada siswa dengan kemampuan sama yang diragukan self efficacy-nya.

Mayer (Sophocleous & Gagatsis, 2009) menekankan bahwa siswa yang meningkat self efficacy-

nya akan meningkat pula kesuksesan dalam memecahkan masalah.

Namun, kenyataannya self efficacy matematissiswa dapat dikatakan masih rendah. Hasil

penelitian Risnanosanti (2010) menemukan bahwa secara umum self efficacy matematis siswa

masuk dalam kategori cukup. Sementara itu, dalam penelitiannya Widyastuti (2010)

menemukan bahwa self efficacy matematis siswa tergolong rendah. Bahkan, 40,69%

diantaranya termasuk dalam kategori sangat rendah.

Page 40: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

64 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Berdasarkan urgensi tersebut, kemampuan pemecahan masalah dan self efficacy

matematis siswa harus dikembangkan sejak dini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah

dengan melibatkan siswa dalam pembelajaran melalui implementasi pembelajaran kooperatif

tipe Group Investigation. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana pembelajaran kooperatif

tipe Group Investigation dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan self

efficacy matematis siswa.

PEMBAHASAN

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Kemampuan pemecahan masalah adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh siswa

dalam proses pemecahan masalah. Krulik & Rudnick (Carson, 2007: 7) mendefinisikan

pemecahan masalah sebagai sarana bagi siswa untuk menggunakan pengetahuan, keterampilan,

dan pemahaman yang telah mereka miliki untuk diterapkan dalam situasi yang baru dan

berbeda. Sedangkan, menurut Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 (Shadiq, 2009:

14) bahwa pemecahan masalah matematis merupakan kompetensi strategik yang ditunjukkan

siswa dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan

menyelesaikan model untuk menyelesaikan masalah. Indikator yang menunjukkan kemampuan

pemecahan masalah matematis adalah sebagai berikut.

a. Menunjukkan pemahaman masalah.

b. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah.

c. Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk.

d. Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat.

e. Mengembangkan strategi pemecahan masalah.

f. Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah.

g. Menyelesaikan masalah yang tidak rutin.

Pemecahan masalah adalah proses dan bukan hasil(NCTM, dalam Latterell, 2003: 5).

Dewey (Carson, 2007: 8) menyatakan langkah untuk menemukan solusi pemecahan masalah

adalah: (1) menghadapi masalah, (2) mendiagnosis dan mendefinisikan masalah, (3)

merencanakan solusi, (4) mencari solusi sesuai rencana, dan (5) mengecek kembali solusi.

Sedangkan menurut Krulik & Rudnick (Carson, 2007: 8),adalah (1) membaca, (2)

mengeksplorasi, (3) memilih strategi, (4) memecahkan, dan (5) meninjau kembali.

Pendapat lain dikemukakan oleh Polya (Hudojo, 2003: 84), ia menyatakan bahwa

terdapat empat langkah untuk menemukan solusi pemecahan masalah, yaitu sebagai berikut.

a. Memahami masalah

Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak akan

mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar. Setelah siswa dapat memahami

Page 41: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 65

masalah dengan benar, selanjutnya mereka harus dapat menyusun rencana penyelesaian

masalah.

b. Merencanakan penyelesaian

Kemampuan melakukan langkah kedua ini sangat tergantung pada pengalaman

siswa dalam menyelesaikan masalah. Pada umumnya semakin bervariasi pengalaman

mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun rencana penyelesaian suatu

masalah.

c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana

Setelah rencana penyelesaian suatu masalah telah dibuat, baik secara tertulis

ataupun tidak, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang

dianggap paling tepat.

d. Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan

Langkah terakhir dari proses penyelesaian masalah adalah melakukan pengecekan

atas apa yang telah dilakukan mulai dari langkah pertama sampai langkah yang ketiga.

Dengan cara seperti ini maka berbagai kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi kembali

sehingga siswa dapat sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan masalah yang

diberikan.

Gagne (Saad & Ghani, 2008: 51-54) menyatakan bahwa terdapat delapan tingkatan

belajar, yaitu belajar isyarat, belajar stimulus respon, belajar rangkaian gerak, belajar rangkaian

verbal, belajar diskriminasi, belajar konsep, belajar teorema/ aturan, dan pemecahan masalah.

Lebih lanjut, Gagne (Suyitno, 2004: 37) menyebutkan bahwa pemecahan masalah merupakan

proses belajar yang paling tinggi karena harus mampu memanfaatkan pengetahuan yang

dimilikinya untuk memecahkan masalah.

Sehubungan dengan pemecahan masalah, NCTM (Mustakim, 2009: 5) menyebutkan

bahwa pembelajaran matematika harus mengupayakan siswa agar dapat mengkonstruksi

pengetahuan melalui pemecahan masalah dan memecahkan masalah yang muncul dalam

konteks matematika ataupun lainnya. Hal ini diperlukan agar siswa memiliki kemampuan

pemecahan masalah dan menjadi pemecah masalah yang baik. Kilpatrick et al. (Problem

Solving Research Base, n.d.: 1)menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa

meningkat, jika mereka diberi kesempatan untuk berperan aktif dalam menemukan sendiri

solusi dari permasalahan yang disajikan dengan mengintegrasikan konsep, teorema, dan

pengetahuan yang siswa miliki.

Dalam lampiran permendiknas No. 22 tahun 2006 dinyatakan bahwa dalam setiap

kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang

sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, siswa

secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Di samping itu, juga dapat

Page 42: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

66 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

memotivasi siswa untuk menyenangi matematika karena mengetahui keterkaitan dan kegunaan

matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Self Efficacy Matematis

Bandura (1997: 3) menggunakan istilah self efficacy mengacu pada beliefs seseorang

tentang kemampuannya untuk mengorganisasi dan melaksanakan tindakan guna mencapai

tujuan tertentu. Self efficacy didefinisikan sebagai judgement seseorang atas kemampuannya

untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian suatu tujuan

tertentu (Bandura, dalam Nicolaidou & Philippou, 2004: 3). Dalam hal ini, self efficacy

matematis diartikan sebagai judgement seseorang atas kemampuannya untuk merencanakan dan

melaksanakan tindakan untuk berhasil dalam tugas-tugas matematika.

Bandura (1997: 3) menyatakan bahwa self efficacy berpengaruh terhadap pilihan cara

seseorang, banyaknya upaya yang dilakukan, ketekunan dalam menghadapi hambatan dan

kegagalan, dan tingkat ketercapaian yang diwujudkan. Schunk (1981: 93) menyebutkan bahwa

seseorang dengan self efficacy tinggi, jika diberikan penugasan ia akan antusias dan berusaha

keras menunjukkan kemampuannya agar berhasil. Sebaliknya, jika ia tidak memiliki self

efficacy yang tinggi mereka cenderung menghidari penugasan atau melaksanakannya dengan

setengah hati sehingga cepat menyerah jika menemui hambatan.

Bandura (1997: 80-115) menyatakan bahwa ada empat sumber utama yang

mempengaruhi self efficacy. Empat sumber tersebut diuraikan sebagai berikut.

Pertama, pengalaman keberhasilan, yang merupakan sumber yang paling berpengaruh.

Hal ini dikarenakan kegagalan/keberhasilan pengalaman masa lalu akan

menurunkan/meningkatkan self efficacy seseorang untuk pengalaman serupa kelak. Semakin

sering seseorang berhasil dalam hidupnya, semakin tinggi pula self efficacy-nya. Sebaliknya,

semakin sering seseorang mengalami kegagalan, maka semakin rendah pula self efficacy-nya.

Kedua, pengalaman orang lain. Teori belajar observasional menyatakan bahwa

seseorang dapat belajar secara terus menerus dengan mengamati tingkah laku orang lain. Ia

menggunakan informasi hasil observasi tersebut untuk membentuk harapan dari suatu perilaku

dan konsekuensinya, terutama tergantung pada tingkat keyakinan mana dia mempunyai

kesamaan dengan orang yang diobservasi tersebut. Pengalaman orang lain ini biasanya

diperoleh melalui interaksi sosial. Dalam penelitian tentang pengaruh pengalaman orang lain

terhadap self efficacy, Schunk & Hanson (1985) menyelidiki bagaimana self efficacy dan

prestasi siswa dipengaruhi oleh observasi mereka terhadap teman sebaya. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa baik kelompok yang mengobservasi teman sebaya maupun guru

menghasilkan self efficacy dan prestasi yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol yang tidak

mengobservasi model sama sekali. Model teman sebaya berdampak pada self efficacy dan

prestasi yang lebih tinggi daripada model guru.

Page 43: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 67

Ketiga, persuasi sosial. Persuasi sosial ini berkaitan dengan dorongan/pengaruh orang

lain. Persuasi positif meningkatkan self efficacy, sedangkan persuasi negatif menurunkan self

efficacy. Secara umum, lebih mudah untuk menurunkan self efficacy seseorang daripada

meningkatkannya. Self efficacy seseorang dapat meningkat melalui pengaruh orang lain yang

kompeten sehingga ia mendapat umpan balik positif dalam mengerjakan suatu tugas. Komentar

atau persuasi negatif dapat berdampak besar terhadap emosi dan self efficacy seseorang.

Keempat, keadaan fisiologis dan emosi. Terkadang, seseorang sering mengandalkan

perasaan, secara fisik dan emosi untuk menilai kapabilitas mereka. Jika ada hal negatif, seperti

lelah, kurang sehat, cemas, atau tertekan, akan mengurangi tingkat self efficacy seseorang.

Sebaliknya, jika seseorang dalam kondisi prima, hal ini akan berkontribusi positif bagi

perkembangan self efficacy. Lebih lanjut, emosi yang tinggi akan mengubah self efficacy

seseorang. Seseorang yang dalam keadaan stres, cemas, atau tegang dapat menjadi indikator

kecenderungan terjadinya kegagalan. Namun, peningkatan emosi yang tidak berlebihan dapat

meningkatkan self efficacy.

Bandura (1997: 42-43, 2006: 313-314) menyatakan bahwa pengukuran self efficacy

seseorang mengacu pada tiga dimensi, yaitu level, strength, dan generality. Berikut akan

diuraikan mengenai ketiga dimensi tersebut.

Dimensi level berkaitan dengan tingkat kesulitan yang diyakini oleh seseorang untuk

dapat ia selesaikan. Sebagai contoh, jika seseorang dihadapkan pada masalah atau tugas yang

disusun menurut tingkat kesulitan tertentu maka self efficacy-nya akan jatuh pada tugas-tugas

yang mudah, sedang, dan sulit sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan.

Dimensi strength berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kelemahan keyakinan

seseorang terhadap kompetensinya. Dengan kata lain, dimensi ini menunjukkan derajat

kemantapan seseorang terhadap keyakinannya dalam menghadapi kesulitan yang bisa

dikerjakan. Dimensi ini terkait dengan dimensi level, yaitu makin tinggi taraf kesulitan tugas

maka makin lemah keyakinan untuk menyelesaikannya. Seseorang dengan self efficacy lemah

mudah dikalahkan oleh pengalaman sulit. Sedangkan, orang yang memiliki self efficacy kuat

dalam kompetensi akan mempertahankan usahanya walaupun mengalami kesulitan.

Dimensi Generality menunjukkan apakah self efficacy seseorang akan berlaku pada

domain tertentu atau bertahan dalam berbagai macam aktivitas dan situasi. Dimensi ini

berkaitan dengan tingkat pencapaian keberhasilan seseorang dalam mengatasi atau

menyelesaikan masalah atau tugas dalam kondisi tertentu.

Pajares (1997: 25) menyatakan bahwa ketiga dimensi tersebut terbukti paling akurat

dalam menjelaskan self efficacy seseorang. Hal ini dikarenakan self efficacy bersifat spesifik

dalam tugas dan situasi yang dihadapi. Seseorang dapat memiliki keyakinan yang tinggi

terhadap suatu tugas atau situasi tertentu, tetapi tidak untuk tugas atau situasi lainnya.

Page 44: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

68 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation

Group Investigation adalah salah satu bentuk pembelajaran kooperatif. Menurut Sharan

& Sharan (Slavin, 2009: 24), pembelajaran Group Investigation merupakan suatu perencanaan

pengorganisasian kelas secara umum dimana siswa bekerja dalam kelompok kecil menggunakan

inkuiri kooperatif, diskusi kelompok, serta perencanaan dan proyek kooperatif. Dalam

pembelajaran ini, para siswa dibebaskan membentuk kelompoknya yang terdiri dari dua sampai

enam orang anggota. Kelompok ini kemudian memilih topik-topik dari unit yang telah dipelajari

oleh seluruh kelas, membagi topik-topik ini menjadi tugas-tugas pribadi dan melakukan

kegiatan yang diperlukan untuk mempersiapkan laporan kelompok. Selanjutnya, tiap kelompok

mempresentasikan atau menampilkan penemuan mereka di depan kelas.

Interaksi sosial dalam pembelajaran Group Investigation menjadi salah satu faktor

penting bagi perkembangan skema mental baru. Guru memberi kebebasan kepada siswa untuk

berfikir secara analitis, kritis, kreatif, reflektif, dan produktif. Pola pengajaran ini akan

menciptakan pembelajaraan yang diinginkan, karena siswa sebagai objek pembelajaran ikut

terlibat dalam penentuan pembelajaran.

Sharan & Sharan (Slavin, 2009: 218) menjabarkan langkah-langkah pembelajaran

kooperatif tipe Group Investigation sebagai berikut.

a. Mengidentifikasi topik dan mengatur siswa ke dalam kelompok

Siswa memilih subtopik tertentu dalam bidang permasalahan umum tertentu, yang

biasanya diterangkan oleh guru. Selanjutnya siswa diorganisasikan ke dalam kelompok-

kelompok kecil berorientasi tugas yang beranggotakan dua sampai dengan enam orang.

b. Merencanakan tugas yang akan dipelajari

Siswa dan guru merencanakan prosedur, tugas, dan tujuan belajar tertentu dengan

sub-sub topik yang dipilih dalam langkah a. Tugas-tugas pembelajaran dibagi-bagi setiap

anggota sesuai dengan topik yang ditetapkan.

c. Melaksanakan investigasi

Siswa melaksanakan rencana yang diformulasikan dalam langkah b. Pembelajaran

mestinya melibatkan beragam kegiatan dan keterampilan dan seharusnya mengarahkan

siswa ke berbagai macam sumber di dalam maupun di luar sekolah. Guru mengikuti dari

dekat perkembangan masing-masing kelompok dan menawarkan bantuan bila dibutuhkan.

d. Menyiapkan laporan akhir

Siswa menganalisis dan mengevaluasi informasi yang diperoleh dalam langkah c

dan merencanakan bagaimana informasi itu dapat dirangkum dengan menarik untuk

ditampilkan atau dipresentasikan kepada teman-teman sekelas.

e. Mempresentasikan laporan akhir

Beberapa atau semua kelompok di kelas memberikan presentasi menarik tentang

topik-topik yang dipelajari untuk membuat satu sama lain saling terlibat dalam pekerjaan

Page 45: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 69

temannya dan mencapai perspektif yang lebih luas tentang sebuah topik. Presentasi

kelompok dikoordinasikan oleh guru.

f. Evaluasi

Untuk kelompok yang menindaklanjuti aspek-aspek yang berbeda dari topik yang

sama, siswa dan guru mengevaluasi kontribusi masing-masing kelompok ke hasil pekerjaan

secara keseluruhan. Evaluasi dapat memasukkan asesmen individual atau kelompok ataupun

kedua-duanya.

Walaupun dalam pembelajaran ini terpusat pada siswa. Namun peran guru, masih

sangatlah esensial. Peran guru dalam pembelajaran ini, sebagaimana diungkapkan oleh Setiawan

(2006: 12) antara lain sebagai berikut.

a. Memberikan instruksi dan informasi yang jelas.

b. Memberikan bimbingan seperlunya dengan menggali pengetahuan siswa yang menunjang

pada pemecahan masalah (bukan menunjukkan hasilnya).

c. Memberikan dorongan sehingga siswa lebih termotivasi.

d. Menyiapkan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh siswa.

e. Memimpin diskusi dalam pengambilan kesimpulan.

Saad & Ghani (2008: 172) menjelaskan peran guru dalam pembelajaran kooperatif,

yaitu sebagai berikut.

a. Sebelum pembelajaran

Guru menentukan secara spesifik kemampuan yang diharapkan dapat dicapai siswa,

menentukan ukuran kelompok dan bagaimana mengatur siswa ke dalam kelompok-

kelompok kecil, bagaimana membangun peran siswa dalam kelompok, dan merancang

bahan ajar yang akan digunakan, serta menentukan pengaturan kelas selama pembelajaran.

b. Setting pembelajaran

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan penugasan yang diberikan, menjelaskan

elemen-elemen utama dalam belajar kooperatif, dan menjelaskan bagaimana supaya siswa

dapat berhasil baik secara individual maupun kelompok.

c. Selama kerja kelompok

Guru harus memonitor aktivitas siswa dan memberikan bantuan seperlunya jika

dibutuhkan. Selain itu, guru juga harus mengumpulkan data kemampuan belajar dan

bersosialiasi siswa.

d. Di akhir pembelajaran

Guru harus mensurvei kualitas dan kuantitas belajar siswa secara individual maupun

kelompok. Selain itu, guru harus memberikan umpan balik positif atas proses dan hasil

belajar siswa.

Pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dapat melatih siswa untuk

menumbuhkan kemampuan berfikir mandiri. Keterlibatan secara aktif dapat terlihat mulai tahap

Page 46: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

70 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

pertama sampai tahap terakhir pembelajaran sehingga memberi peluang bagi siswa untuk lebih

mempertajam gagasan dan guru akan mengetahui kemungkinan gagasan siswa yang salah

sehingga guru dapat memperbaikinya. Secara umum dapat diuraikan beberapa keuntungan yang

diperoleh siswa sebagaimana yang dungkapkan oleh Setiawan (2006: 9) berikut ini.

a. Keuntungan pribadi

Dalam proses belajarnya dapat bekerja secara bebas.

Memberi semangat untuk berinisiatif, kreatif, dan aktif.

Rasa percaya diri dapat lebih meningkat.

Dapat belajar untuk memecahkan dan menangani suatu masalah.

Mengembangkan antusiasme dan rasa tertarik pada matematika.

b. Keuntungan sosial

Meningkatkan belajar bekerja sama.

Belajar berkomunikasi baik dengan teman sendiri maupun dengan guru.

Belajar berkomunikasi yang baik secara sistematis.

Belajar menghargai pendapat orang lain.

Meningkatkan partisipasi dalam membuat suatu keputusan.

c. Keuntungan Akademis

Siswa terlatih untuk mempertanggungjawabkan jawaban yang diberikannya.

Bekerja secara sistematis.

Mengembangkan dan melatih keterampilan matematika dalam berbagai bidang.

Merencanakan dan mengorganisasikan pekerjaannya.

Mengecek kebenaran jawaban yang mereka buat.

Selalu berfikir tentang cara/strategi yang digunakan sehingga didapat suatu kesimpulan

yang berlaku umum.

Sumarmo (2005) menyebutkan bahwa kelebihan pembelajaran kooperatif adalah: (1)

semua kelompok siswa (tinggi, sedang, rendah) mencapai hasil belajar yang lebih baik, (2)

berlangsung hubungan personal dan akademik yang lebih baik di antara anggota, dan (3)

menumbuhkan suasana psikologis yang sehat pada anggotanya, seperti toleransi, sensitivitas,

keramahan, self efficacy, pengembangan sosial kemampuan sosial, self esteem, identitas diri,

dan kemampuan mengatur keberagaman dan tekanan. Karena Group Investigation merupakan

salah satu tipe dari pembelajaran kooperatif maka kelebihan yang ada pada pembelajaran

kooperatif juga termuat dalam Group Investigation ini.

Sharan & Sharan (1989: 20) menyebutkan bahwa, ―Group Investigation lebih efektif

diterapkan karena memberikan siswa kesempatan lebih untuk menguasai pembelajaran daripada

dengan metode pembelajaran yang lain‖. Selanjutnya menurut Zingaro (2008: 6), ―Skor hasil

belajar siswa lebih tinggi ketika Group Investigation digunakan‖. Hasil penelitian Lazarowitz &

Page 47: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 71

Karsenty (Istikomah et al., 2010: 40) menunjukkan bahwa, ―Model pembelajaran Group

Investigation mampu meningkatkan hasil belajar dan prestasi akademik‖.

Kaitan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Self Efficacy Matematis dengan

Pembelajaran KooperatifTipe Group Investigation

Hasil penelitian menunjukkan bahwa self efficacy matematis memberikan dampak

positif pada prestasi siswa. Terlebih self efficacy matematis dapat menjadi strong predictor

terhadap kemampuan pemecahan matematis pada diri siswa.

Pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation juga berkaitan erat dengan empat

sumber yang dapat mempengaruhi perkembangan self efficacy. Pengalaman keberhasilan, baik

individu maupun kelompok yang diperoleh siswa dapat mengembangkan self efficacy-nya.

Selama pembelajaran berlangsung siswa dapat mengobservasi teman dalam kelompoknya,

teman kelas ataupun gurunya. Sesuai dengan hasil penelitian Schunk & Hanson (1985) bahwa

siswa yang mengobservasi teman sebaya menghasilkan self efficacy yang lebih tinggi daripada

sekedar mengobservasi gurunya. Lebih lanjut, siswa yang mengobservasi guru atau teman

sebaya memiilki self efficacy yang lebih tinggi daripada siswa yang tidak mengobservasi model

sama sekali. Selain itu, sesuai dengan teori Vygotsky yang mendukung pembelajaran ini, dalam

pembelajaran kooperatif ini terdapat proses scaffolding, yaitu siswa diberikan permasalahan,

jika ia menemui kesulitan, maka diberikan bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah

tersebut. Scaffolding ini terkait erat dengan persuasi sosial pada sumber self efficacy atau dapat

dikatakan scaffolding ini sebagai persuasi positif yang diberikan guru, dimana persuasi positif

ini dapat meningkatkan self efficacy pada diri siswa.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa dalam pembelajaran kooperatif akan

menciptakan suasana menyenangkan, dan membangun rasa percaya diri dan antusiasme siswa

dalam belajar. Kondisi ini akan berdampak pada keadaan fisiologis dan emosi siswa yang akan

mempengaruhi perkembangan self efficacy-nya.

Dalam pembelajaran kooperatiftipe Group Investigation siswa terlibat aktif dalam

pembelajaran, termasuk di dalamnya proses investigasi dan proses pemecahan masalah. Mereka

dapat secara aktif belajar dalam melakukan pemecahan. Bila siswa menemui kesulitan, guru

dapat memberikan scaffolding atau bantuan seperlunya kepada siswa. Hal ini sangat bermanfaat

dalam upaya mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

Oleh karena itu, berdasarkan paparan tersebut, ada dugaan bahwa pembelajaran

kooperatiftipe Group Investigation merupakan salah satu pembelajaran yang dapat membantu

dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan self efficacy matematis siswa.

Page 48: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

72 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

SIMPULAN

Penulis berhipotesis bahwa dengan implementasi pembelajaran kooperatif tipe Group

Investigation dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis. Selain itu,

self efficacy matematis siswa juga dapat di tingkatkan melalui penerapan pembelajaran ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A. (1997). Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: W. H. Freeman and

Company.

_________. (2006). Guide for Constructing Self-efficacy Scales. Dalam Self-Efficacy Beliefs of

Adolescents, 307-337. Diakses tanggal 2 November 2012 dari

http://www.ravansanji.ir/files/ravansanji-ir/21655425banduraguide2006.pdf.

Carson, J. (2007). A Problem With Problem Solving: Teaching Thinking Without Teaching

knowledge. The Mathematics Educator, 17, (2), 7-14.

Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir

Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Disertasi, tidak

diterbitkan. PPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Hudojo, H. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: JICA

Universitas Negeri Malang.

Istikomah, S. et al. (2010). Penggunaan Model Pembelajaran Group Investigation untuk

Menumbuhkan Sikap Ilmiah Siswa. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 6, 40-43.

Kementerian Pendidikan Nasional. (2006). PeraturanMenteri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar

Dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.

Latterell, C.M. (2003). Testing the Problem-Solving Skills of Students in an NCTM-oriented

Curriculum. The Mathematics Educator, 1,(13), 5-13.

McIntosh, R. & Jarrett, D. (2000). Teaching Mathematical Problem Solving: Implementing The

Vision (A Literature Review). Diakses tanggal 27 Oktober 2012 dari

http://cimm.ucr.ac.cr/ciaemFrances/articulos/universitario/conocimiento/Teaching%20

Mathematical%20Problem%20Solving%3A%20Implementing%20the%20Vision*McIn

tosh,%20Robert%20.*McIntosh.pdf.

Mukhid, A. (2009). Self Efficacy (Perspektif Teori Kognitif Sosial dan Implikasinya terhadap

Pendidikan). Tadris, 4,(1), 108-122.

Mustakim. (2009). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika dengan Model

Pembelajaran Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kreatif

Page 49: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 73

Matematik Peserta didik Kelas VIII. Tesis, tidak diterbitkan. PPS Universitas Negeri

Semarang.

Nicolaidou, M. dan Philippou, G. (2004). Attitudes Towards Mathematics, Self Efficacy and

Achievement in Problem Solving. Dalam European Research in Mathematics

Education III Thematic Group 2. Diakses tanggal 2 Oktober 2012 dari

http://www.dm.unipi.it/~didattica/CERME3/proceedings/Groups/TG2/TG2_nicolaidou

_cerme3.pdf.

Pajares, F. (1997). Current Direction in Self-efficacy Research. In M. maher & P. R. Pintrich

(Eds.). Advances in Motivation and Achievement, 10, 1-49. Greenwich, CT: JAI Press.

PISA. (2010). PISA 2009 Results: What Students Know and Can Do – Student Performance in

Reading, Mathematics and Science (Volume I).

Problem Solving Research Base. (n.d.). Math Handbooks Problem Solving: developing

Thinking Skills Through Reading and Writing. Diakses tanggal 12 Januari 2012 dari

http://www.greatsource.com/GreatSource/pdf/Problem_Solving_Research.pdf.

Rahayuningrum, R.H. (2013). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Pada Materi Bangun Ruang Sisi Lengkung dengan Metode Penemuan Terbimbing

Siswa Kelas IX F SMP Negeri 2 Imogiri Bantul Yogyakarta. Prosiding Seminar

Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 2013. 509-516. Yogyakarta:

Universitas Negeri Yogyakarta.

Risnanosanti. (2010). Kemampuan Berfikir Kreatif Matematis dan Self Efficacy terhadap

Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam Pembelajarn Inkuiri.

Disertasi, tidak diterbitkan. SPs Universitas Pendidikan Indonesia.

Robiah, T. (2013). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Peserta Didik

Menggunakan Pembelajaran Discovery Strategy. Journal Universitas Siliwangi

Tasikmalaya. Diakses tanggal 11 November 2013 dari

http://journal.unsil.ac.id/jurnalunsil-1659-.html.

Saad, N.S. & Ghani, S.A. (2008). Teaching Mathematics In Secondary Schools: Theories And

Practices. Perak: Universiti Pendidikan Sultan Idris.

Schunk, D.H. (1981). Modelling and Attributional Effect on Children Achievement: A Self

Efficacy Analysis. Journal of Educational Psychology, 73, 93-105.

Schunk, D. H. & Hanson, A. R. (1985). Peer Model: Influence on Children‘s Self Efficacy and

Achievement. Journal of Educational Psychology, 77, 313-322.

Setiawan. (2006). Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Investigasi.

Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Pengembangan dan Penataran

Guru Matematika.

Page 50: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

74 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Shadiq, F. (2009). Kemahiran Matematika. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan P4TK

Matematika.

Sharan, Y. & Sharan, S. (1989). Group Investigation Expands Cooperative Learning.

Educational Leadership, 47 (4), 17-21.

Slavin, R.E. (2009). Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Translated by Narulita

Yusron. Bandung: Nusa Media.

Sophocleous, P. & Gagatsis, A. (2009). Efficacy Beliefs and Ability to Solve Volume

Measurement Tasks in Different Representations. Proceedings of CERME 6. Diakses

tanggal 2 Oktober 2012 dari ife.ens-lyon.fr/publications/edition.../wg1-05-sophocleous-

gagatsis.pdf.

Sumarmo, U. (2005). Belajar Kooperatif: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Melaksanakan dan

Mengevaluasinya. Makalah padaPelatihanDosen Muda Indonesia Bagian Timur,

Ujung Pandang.

Supriatna. (2011). Pengembangan Disain Didaktis Bahan Ajar Pemecahan Masalah Matematis

Luas Daerah Segitiga Pada Sekolah Menengah Pertama. Tesis, tidak diterbitkan. SPs

Universitas Pendidikan Indonesia.

Suyitno, A. (2004). Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika 1 (Handout

Perkuliahan). Tidak diterbitkan.

Trends in International Mathematics and Science Study. (2011). Trends in International

Mathematics and Science Study (TIMSS) Result. Diakses tanggal 12 November 2013

dari http://nces.ed.gov/timss/table11_3.asp.

Wahyudin. (2008). Pembelajaran & Model-model Pembelajaran (Pelengkap untuk

Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon Guru Profesional. Tidak

diterbitkan.

Wardhani, S. dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP:

Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta: Kemdiknas Badan Pengembangan Sumber

Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan P4TK Matematika.

Widyastuti. (2010). Pengaruh Pembelajaran Model Eliciting Activities terhadap Kemampuan

Representasi Matematis dan Self Efficacy Siswa. Tesis, tidak diterbitkan. SPs

Universitas Pendidikan Indonesia.

Zingaro, D. (2008). Group Investigation: Theory and Practice. Diakses tanggal 25 November

2012 dari http://www.danielzingaro.com/gi.pdf.

Page 51: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 75

VISUAL THINKING MATEMATIS

DALAM DISCOVERY LEARNING

SCRISTIA

Program Studi Pendidikan Matematika SPs UPI Bandung

Jl. Geger Kalong Girang, Bandung 40154, email: [email protected]

Abstract

Globalisasi, masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, serta materi

TIMSS dan PISA merupakan beberapa tantangan masa depan yang perlu

diperhatikan oleh seluruh pemerhati pendidikan. Mencari cara, solusi, dan modal

untuk siap menghadapinya merupakan kewajiban untuk semua lapisan. Pemerintah

telah berupaya untuk menyediakan cara dan solusi untuk siap menghadapi

tantangan tersebut, yaitu pengembangan terhadap kurikulum pendidikan. Khusus

untuk materi TIMSS dan PISA, Guru memiliki peran yang paling besar untuk

menghadapi tantangan ini, membiasakan siswa untuk terus berlatih dengan soal-soal

jenis TIMSS dan PISA. Untuk mengukur kemampuan Matematika siswa, Geometri

merupakan salah satu dari empat materi yang di ukur oleh TIMSS. Kemampuan

siswa terhadap Geometri sangat mengandalkan kemampuan Visual Thinking, yaitu

kemampuan berpikir siswa secara visual, tidak hanya melihat gambaran umum tetapi

melalui sudut pandang yang jelas dan kreatif, dengan kemampuan berpikir secara

visual ini juga siswa dapat mengidentifikasi masalah, melihat hubungan dari

informasi yang ada, dan mengubah informasi ke dalam gambar, grafik atau bentuk-

bentuk lain yang dapat membantu mengkomunikasikan informasi untuk menemukan

solusi dari masalah. Kemampuan berpikir yang baik merupakan hal yang mendasar

dalam menyelesaikan permasalahan matematika dan membantu mengelola informasi

serta membantu dalam kegiatan penyelidikan dan penemuan. Belajar penemuan

(Discovery Learning) dapat di utamakan dalam proses pembelajaran untuk

meningkatkan kemampuan Visual Thinking siswa. Tuntutan kurikulum 2013 untuk

menerapkan Discovery learning dengan segala macam kelebihan dan

keuntungannya merupakan tindakan yang tepat untuk menjadikan siswa Indonesia

siap menghadapi tantangan masa depan, materi TIMSS dan PISA, kemajuan

teknologi informasi serta Globalisasi.

Kata kunci : Visual Thinking matematis, Discovery Learning

PENDAHULUAN

Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan

berpikir, beragumentasi dan memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan

dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Untuk itu

matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar, membekali

peserta didik dengan kemampuan memecahkan masalah, mengaitkan dan merepresentasikan

ide-ide, serta mampu mengelola dan memanfaatkan informasi yang diterimanya, yang

selanjutnya diharapkan dapat mendorong dan membantu peserta didik dalam melakukan

kegiatan penemuan dan penyelidikan.

Kemampuan berpikir yang baik merupakan hal yang mendasar dalam menyelesaikan

permasalahan matematika, membantu dalam mengelola informasi yang diterima, serta

membantu dalam kegiatan penyelidikan dan penemuan yang diharuskan dalam kegiatan

matematika. Pendapat ini didukung oleh Plato (Sugilar, 2012) bahwa seseorang yang baik dalam

Page 52: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

76 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

matematika akan cenderung baik pula dalam proses berpikirnya, dan seseorang yang dilatih

dalam matematika memiliki kecenderungan menjadi pemikir yang baik.

Tahap berpikir dalam matematika salah satunya adalah tahap berpikir secara visual

yang merupakan tahapan dasar yang harus dimiliki siswa dalam belajar matematika. Beberapa

peneliti menyatakan bahwa berpikir visual sebagai sumber alternatif bagi siswa untuk bekerja

dengan matematika (Barwise dan Etchemendy, 1991; Dorffler, 1991; Goldenberg, 1991; Tall,

1991 dalam Nemirovsky, 1997). Berpikir visual (visual thinking) dapat menjadi salah satu

alternatif untuk mempermudah siswa dalam mempelajari matematika. Hal ini sejalan dengan

apa yang dikemukan oleh Surya (2011) yang menyatakan bahwa siswa biasanya mengalami

kesulitan menjembatani pengetahuan informal ke matematika sekolah. Siswa perlu bimbingan

dan bantuan khusus pada bentuk representasi pemikiran visual (visual thinking) dari apa yang

mereka maksud atau mereka pikirkan sehingga dapat divisualisasikan dalam bentuk struktur ide,

ide tersebut bisa sebagai angka, simbol, gambar, diagram, penjelasan model, lukisan yang dapat

membantu siswa dalam proses belajar dan menyelesaikan permasalahan matematika mereka.

Kemampuan siswa dalam berpikir secara visual (visual thinking) sangat diperlukan untuk

sampai pada penarikan kesimpulan dari proses penemuan tersebut. Pendapat ini didukung oleh

Giaquinto (2007) yang menyatakan bahwavisualisasimenjadidiandalkansetiap kalidigunakan

untukmenemukan (discovery). Selama proses penemuan (discovery learning) siswa dihadapkan

untuk berpikir sendiri, menganalisa sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip atau prosedur

matematika yang telah dipersiapkan oleh guru, dengan discovery learning siswa dihadapkan

kepada situasi dimana ia bebas menyelidiki, menghimpun informasi, membandingkan,

mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan-bahan serta

membuat kesimpulan-kesimpulan, dalam proses menyelidiki hingga menarik kesimpulan.

Kemampuan siswa dalam berpikir secara visual (visual thinking) sangat diperlukan untuk

sampai pada penarikan kesimpulan dari proses penemuan tersebut. Pendapat ini didukung oleh

Giaquinto (2007) yang menyatakan bahwavisualisasimenjadidiandalkansetiap kalidigunakan

untukmenemukan (discovery).

Penemuan sebagai kreativitas merupakan karakteristik dari Matematika (Marsigit, 2011).

Geometri salah satu materi pokok dalam Matematika, Giaquinto (2007) menyatakan bahwa

berpikir secara visual (visual thinking)dapat menjadi saranapenemuan (discovery)dalam

geometri. NCTM, (2000: 43)menyatakan bahwa siswa harus mengembangkan kemampuan

visualisasi melalui hands-on experience dengan variasi terhadap objek-objek Geometri yang

selanjutnya dapat menjadikan mereka senang menganalisis dan menggambarkan perspektif,

serta dapat mendeskripsikan sifat-sifat yang tidak tampak tetapi dapat disimpulkan. Balim

(2009) juga berpendapat bahwa dalam Discovery Learning siswa mengkontruksi pengetahuan

berdasarkan informasi baru dan kumpulan-kumpulan data melalui lingkungan mereka sendiri.

Page 53: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 77

Dalam pembelajaran matematika kemampuan visual thinking dapat menjadi alat yang

ampuh mengekplorasi masalah matematis dan untuk memberi arti bagi konsep-konsep

matematis dan hubungannya (Rosken & Rolka, 2007). Cunninghamm, S & Zimmermann, W

(1991) dari kajian teorinya menyimpulkan bahwa visual thinking digunakan untuk menerangkan

bermacam-macam fakta dan permasalahan matematika.

Namun fakta dari hasil survey Trends International Mathematics Science Study

(TIMSS) tahun 2007 (dalam Wardhani & Rumiati, 2011) dalam domain konten geometri

kemampuan visual thinking atau berpikir secara visual serta visualisasi terhadap informasi yang

diberikan belum dikatakan tinggi, terlihat dari jawaban siswa pada soal TIMSS berikut ini,

hanya 19% siswa Indonesia menjawab dengan benar.

Soal ini berada dalam domain konten geometri dan domain kognitif penerapan.

Kemampuan yang dibutuhkan untuk menjawab soal tersebut telah dipelajari siswa di kelas VII

SMP yaitu ―menentukan hubungan antara dua garis, serta besar dan jenissudut‖ (KD 5.1).

Hasil TIMSS menunjukkan bahwa secara internasional, 32% siswa menjawab benar dan

hanya 19% siswa Indonesia menjawab benar. Soal ini masih cukup sulit bagi siswa Indonesia.

Ada banyak kemungkinan penyebabnya sehingga siswa belum berhasil menjawab dengan

benar, antara lain siswa kurang memahami pengetahuan terkait sudut, besarnya jumlah sudut

dalam segitiga, hubungan antar sudut. Kemungkinan penyebab lain adalah siswa kurang

memahami bagian unsur-unsur dalam masalah yang berhubungan satu sama lain, dalam hal ini

dapat dikatakan bahwa siswa tidak menggunakan kemampuan berpikir secara visualnya.

Terkhusus untuk siswa SMP Lubuklinggau yang berlokasi di salah satu daerah

diprovinsi Sumatera Selatan, Lubuklinggau merupakan daerah di perbatasan Provinsi Bengkulu-

SumSel, dari wawancara dengan beberapa guru matematika SMP Lubuklinggau, tidak sedikit

dari guru tersebut mengetahui jenis dari soal TIMSS maupun PISA, bayangkan jika salah satu

SMP di Lubuklinggau yang menjadi sampel dalam penilaian TIMSS maupun PISA, entah

apalagi yang akan terjadi dengan skor matematika siswa Indonesia kita.

Page 54: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

78 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

VISUAL THINKING MATEMATIS

Visual thinking didefinisikan oleh Hershkowitz, 1998 (dalam Kania, 2013) sebagai

kemampuan merepresentasikan, mentransformasikan, menggeneralisasikan, mengkomunikasi,

mendokumentasikan dan merefleksikan objek atau benda menjadi informasi visual. Lebih

lanjut, Wileman (Stokes, 2001) mendeskripsikan visual thinking sebagai kemampuan untuk

mengubah informasi dari semua jenis ke dalam gambar, grafik atau bentuk-bentuk lain yang

dapat membantu mengkomunikasikan informasi.

Visual thinking menurut Wileman (Stoke, 2001)merupakan kemampuan dalam

mengubah informasi dari semua jenis gambar, grafik atau bentuk-bentuk lain yang dapat

membantu mengkomunikasikan informasi. Giaquinto (2007) menegaskan bahwa visualisasi

dapat menggambarkan kasus definisi, sehingga memberikan kita pemahaman yang lebih jelas

tentang aplikasi, dan dapat membantu kita memahami deskripsi dari situasi matematika atau

langkah-langkah dalam beberapa penalaran yang diberikan kalimat demi kalimat, serta

memungkinkan untuk menyarankan proposisi pada penyelidikan atau ide sebagai bukti.

Sementara itu, Arcavi (2003) mendefinisikan visual thinking sebagai kemampuan,

proses dan hasil kreasi, interpretasi, penggunaan serta gagasan mengenai gambar, image dan

diagram di dalam pikiran, di atas kertas atau menggunakan alat-alat teknologi, dengan tujuan

menggambarkan dan mengkomunikasikan informasi, gagasan dan mengembangkan ide-ide

sebelumnya serta meningkatkan pemahaman. Seperti yang dikatakan oleh Surya (2011) visual

thinking adalah suatu pemikiran yang aktif dan proses analitis untuk memahami, menafsirkan

dan memproduksi pesan visual, interaksi antara melihat, membayangkan, menggambarkan

sebagai tujuan yang dapat digunakan seperti berpikir verbal.

Begitu banyak para ahli telah meneliti tentang visual thinking dan mendefinisikan

kemampuan visual thinking, yang pada intinya dengan kemampuan visual thinking yang tinggi

membantu seseorang untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sehingga dapat ditarik

kesimpulan definisi visual thinking sebagai kemampuan yang harus ditingkatkan. Visual

thinking merupakan kemampuan berpikir dan proses berpikir yang menggunakan imajinasi dan

gambaran pada keadaan nyata dalam memandang suatu permasalahan sehingga dapat

menghubungkan, menggambarkan dan mengkomunikasikan informasi yang ada menjadi

informasi yang lebih spesifik dalam membuat keputusan atau pemecahan masalah.

Presmeg (2011) mengungkapkan tujuh peranan visual thinking dalam pembelajaran

matematika, yaitu:

1. Untuk memahami masalah, dengan merepresentasikan masalah visual

siswa dapat memahami bagian unsur-unsur dalam masalah yang

berhubungan satu sama lain;

2. Untuk menyederhanakan masalah, visualisasi memungkinkan siswa

mengidentifikasi masalah dengan versi yang lebih sederhana, pemecahan

Page 55: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 79

masalah dan kemudian memformalkan pemahaman soal yang diberikan

dan mengidentifikasi metode yang digunakan untuk masalah yang

serupa;

3. Untuk melihat keterkaitan masalah;

4. Untuk memahami gaya belajar individual, karena setiap siswa memiliki

gaya tersendiri untuk merepresentasikan visualisasi saat memecahkan

masalah;

5. Sebagai pengganti untuk komputasi/perhitungan. Jawaban masalah dapat

diperoleh secara langsung dari representasi visual itu sendiri, tanpa

memerlukan komputasi;

6. Sebagai alat untuk memeriksa solusi. Representasi visual dapat

digunakan untuk memeriksa kebenaran dari jawaban yang diperoleh;

7. Untuk mengubah masalah kedalam bentuk matematis melalui

representasi visual.

Langkah-langkah Visual Thinking menurut Bolton (Nurdin, 2012: 29) adalah:

(1) Looking, pada tahap ini, siswa megidentifikasi masalah dan hubungan timbal baliknya,

merupakan aktivitas melihat dan mengumpulkan;

(2) Seeing, mengerti masalah dan kesempatan, dengan aktivitas menyeleksi dan

mengelompokkan;

(3) Imagining, mengeneralisasikan langkah untuk menemukan solusi, kegiatan pengenalan

pola;

(4) Showing and Telling, menjelaskan apa yang dilihat dan diperoleh kemudian

mengkomunikasikannya.

Di Indonesia, siswa di sekolah kesulitan dalam belajar matematika khususnya dalam

memahami permasalahan mempresentasikan apa yang ada dalam pikirannya (visual thinking)

dan memecahkan masalah matematika padahal pemecahan masalah matematika merupakan

jantung dari matematika dan visualisasi merupakan inti dari matematika.

Pada hakekatnya belajar matematika adalah berpikir dan berbuat atau mengerjakan

matematika. Disinilah makna dan strategi pembelajaran matematika adalah strategi

pembelajaran yang aktif, yang ditandai oleh dua faktor : a. Interaksi optimal antara seluruh

komponen dalam proses belajar mengajar di antaranya antara komponen utama yaitu guru dan

siswa, b. Berfungsinya secara optimal seluruh ‗‘sense‘‘ yang meliputi indera, emosi, karsa,

karya, dan nalar. Hal itu dapat berlangsung antara lain jika proses itu melibatkan aspek visual,

audio, maupun teks (Anderson, 2002).

Page 56: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

80 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

DISCOVERY LEARNING

Sund, R.B. (Lutfan, 2008) menyatakan discovery (penemuan) adalah proses mental

dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses mental tersebut

antara lain: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan,

menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Dalam pembelajaran dengan

metode penemuan siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu

sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi.

Menurut Ruseffendi (2006) metode discovery adalah metode mengajar yang mengatur

pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum

diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Pada

metode discovery, bentuk akhir dari yang akan ditemukan itu tidak diketahui.

Dengan metode discovery menurut Ruseffendi (2006) pada dasarnya konsep, dalil,

prosedur, algoritma dan semacamnya yang dipelajari siswa merupakan hal yang belum

diketahui oleh siswa, namun telah diketahui oleh guru. Untuk memperoleh pengetahuan tanpa

proses pemberitahuan ini, siswa melakukan kegiatan-kegiatan terkaan, mengira-ngira, dan coba-

coba untuk sampai pada yang harus ditemukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Balim (2009)

bahwa Discovery Learning adalah sebuah metode yang mendorong siswa untuk mencapai

kesimpulan yang didasarkan atas hasil aktivitas dan observasi siswa. Hal ini juga diperkuat oleh

pendapat Joolingen (1999) dimana siswa mekonstruksi pengetahuan mereka sendiri melalui

percobaan dan mengambil kesimpulan dari hasil percobaan tersebut, karena aktivitas

konstruktivis akan mengambil domain pemahaman pada tingkat yang tinggi daripada ketika

informasi hanya diperkenalkan oleh guru atau hanya dijelaskan. Alliance for Childhood (2000)

menyatakan bahwa siswa yang memperoleh pengetahuan dari mereka sendiri lebih besar

kemungkinan untuk menggunakan dan memperluas pengetahuan daripada yang menerima

pengajaran secara langsung.

Dengan demikian, untuk keberhasilan discovery learning, pelajar harus memiliki

banyak kemampuan dalam penemuan, seperti Hypothesis umum, desain experiment, perkiraan,

dan analisis data ( De Jong & Van Joolingen, in press ).

Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning menurut Sardiman, 2005

(Kemdikbud, 2013) guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan

kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing

dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Hal ini disesuaikan dengan

karakteristik siswa SMP yang masih belum bisa dilepas begitu saja bekerja untuk menemukan

sesuatu. Tetapi memerlukan bimbingan dari guru berupa mengajukan beberapa pertanyaan,

memberikan informasi secara singkat, dan sebagainya.

Pada pembelajaran penemuan, siswa dihadapkan pada situasi ia bebas menyelidiki dan

menarik kesimpulan. Terkaan, intusi, dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya

Page 57: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 81

dianjurkan. Guru bertindak sebagai penunjuk jalan, membantu siswa agar mempergunakan ide,

konsep, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari sebelumnya untuk mendapatkan

pengetahuan yang baru. Pengajuan pertanyaan yang tepat oleh guru akan merangsang kreativitas

siswa dan membantu mereka dalam ‗menemukan‘ pengetahuan yang baru tersebut. Perlu diingat

bahwa, memang metode ini memerlukan waktu yang relatif banyak dalam pelaksanaannya, akan

tetapi hasil belajar yang akan dicapai tentunya sebanding dengan waktu yang digunakan.

Pengetahuan yang baru akan melekat lebih lama apabila siswa diajarkan secara langsung dalam

proses pemahaman dan mengkonstruksi sendiri konsep atau pengetahuan tersebut. Metode

pembelajaran ini bisa dilakukan baik secara perseorangan maupun kelompok.

Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir,

siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan,

mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat

kesimpulan-kesimpulan. Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri

mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa

yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery

Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam belajar yang

lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif

jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,

atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih,

2005:41).

KESIMPULAN

Untuk memahami masalah dengan merepresentasikan masalah visual siswa dapat

memahami bagian unsur-unsur dalam masalah yang berhubungan satu sama lain. Karena

dengan visual thinking siswa dapat menyederhanakan masalah, dengan melihat keterkaitan

masalah kemudian memformalkan pemahaman soal yang diberikan dan mengidentifikasi

metode yang digunakan untuk masalah yang serupa.

Rendahnya kualitas pembelajaran menurut Ruseffendi (2006) dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu (1) metode pembelajaran; (2) kreativitas guru; (3) penggunaan media

pembelajaran; (4) motivasi siswa.

Penerapan metode pembelajaran patut diduga memiliki kontribusi yang besar dalam

meningkatkan hasil belajar siswa. Metode pembelajaran yang diduga mampu mendongkrak

kemampuan visual thinking hasil belajar siswa adalah metode discovery learning. Penggunaan

soal-soal yang berjenis TIMSS dan PISA juga bisa di aplikasikan Guru dalam proses

pembelajaran.

Selama proses penemuan (discovery learning) siswa dihadapkan untuk berpikir sendiri,

menganalisa sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip atau prosedur matematika yang telah

Page 58: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

82 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

dipersiapkan oleh guru, dengan discovery learning juga siswa dihadapkan kepada situasi dimana

ia bebas menyelidiki, menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan,

menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan-bahan serta membuat kesimpulan-

kesimpulan, dalam proses menyelidiki hingga menarik kesimpulan. Kemampuan siswa dalam

berpikir secara visual (visual thinking) sangat diperlukan untuk sampai pada penarikan

kesimpulan dari proses penemuan tersebut. Pendapat ini didukung oleh Giaquinto (2007) yang

menyatakan bahwavisualisasimenjadidiandalkansetiap kalidigunakan untukmenemukan

(discovery).

Langkah-langkah Visual Thinking menurut Bolton berupa Looking, Seeing, Imagining,

dan Showing and Telling dapat dimodifikasi dalam proses pembelajaran pada kegiatan

discovery learning sehingga konsep, teorema, rumus, aturan dan sejenisnya ditemukan kembali

oleh siswa dan siswa didorong untuk berpikir sendiri berdasarkan intuisi dan pengalamannya,

melakukan visualisasi sendiri untuk memecahkan permasalahan yang sedang mereka hadapi

sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru, dalam

hal ini guru bertindak sebagai pengarah dan pendamping jika diperlukan. Selanjutnya, intuisi,

terkaan dan mencoba-coba serta kemampuan visualisasi hendaknya dianjurkan dalam proses ini

dan guru sebagai pengarah untuk membantu siswa agar menggunakan ide, konsep dan

keterampilan yang sudah mereka pelajari. Dengan membiasakan siswa berpikir secara intuisi

mereka masing-masing dan membiasakan siswa dalam kegiatan berpikir secara visual terhadap

suatu permasalahan khusunya dalam mengerjakan tugas dan soal matematika dalam suatu

rangkaian penemuan dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa dalam

mengerjakan soal matematika, karena siswa dilibatkan secara langsung serta dilibatkan dalam

berpikir matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan menyelesaikan masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Alliance for Childhood. (2000). Fool‘s gold: A critical look at computers in childhood. [Online]

http://www.allianceforchildhood.net/projects/computers/computers_reports_htm (22

september 2013)

Anderson, R.D. (2002). Reforming science teaching: What research says about inquiry. Journal

of Science Teacher Education, 13(1),1-12

Arcavi, A. (2003). The Role of Visual Representation in the Learning of Mathematics.

Educational Studies in Mathematics, 52, pp. 215-241

Balim, A. G. (2009). The Effects of Discovery Learning on Students‘ Success and Inquiry

Learning Skill. Egitim Arastirmalari-Eurasian Journal of Educational Research. 35, 1-

20.

Bruner, J. (1985). Actual Minds, Possible Worlds. Harvard University Press

Page 59: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 83

Cunningham, S & Zimmermann, W. (1999). Visualization in Teaching and Learning

Mathematics. Editor‘s Introduction: What Is Mathematical Visualization?. Eds. MAA

Notes No.19

De Jong, T & Joolingen, W.R. (1998). Discovery Learning with computer simulations of

conceptual domain. Review of Educational Research, 68, 179-201

Giaquinto, M. (2007). Visual Thinking in Mathematics. An Epistemological Study. New York:

Oxpord University Press

Joolingen, W.V. (1999). Cognitive Tools for Discovery Learning. International Journal of

Artificial Inteligence in Education, 10, 385-397

Kania, N. (2013). Perbandingan Efektivitas Penggunaan Alat Peraga Konkret dengan Alat

Peraga Maya (Virtual Manipulative) terhadap Peningkatan Visual Thinking Siswa.

Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan

Lutfan. (2008). Teknik Penyajian Discovery. Tersedia di www.indoskripsi.com. (hal.20, 26)

Marsigit, MA. (2003). Pendalaman dan Pengembangan Konsep Kurikulum 2004 dan Silabus

Berbasis Kompetensi Matematika SMP Disampaikan pada Pelatihan TOT II Ilmu-Ilmu

Dasar Se Indonesia Di PPPG Matematika Yogyakarta

Nemirovsky, Ricardo., & Tacy Noble. 1997. On Mathematical Visualization and The Place

Wher We Live. (In) Educational studies in Mathematics: An International Journal,

Volume 33, Issue 2, pp 99-131. [Online]

http://link.springer.com/article/10.1023%2FA%3A1002983213048 (13 Maret 2013)

Nurdin, E. (2012). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis

Siswa Melalui Pendekatan Pembelajaran Visual Thinking: Kuasi-Eksperimen pada

Siswa Salah Satu MTs Negeri di Tembilahan. Bandung: Tesis Jurusan Pendidikan

Matematika SPs UPI Bandung. Tidak diterbitkan

Presmeg, N. (2011). Visualisation in High School Mathematics. Educational Resources

Information Center (ERIC). Online [http‖//www.eric.ed.gov/, 14 Maret 2013]

Rosken, B & Rolka, K. (2006). A picture is worth a 1000 words-the role of visualization in

mathematics learning. Proceedings 30th Conference of the International Group for the

Psychology of Mathematics Education, Vol. 4, pp. 457-464.

_____________________. (2007). Integrating Intuition: The Role of Concept Image and

Concept Definition for Students‘ Learning of Integral Calculus. The Montana

Mathematics Enthusiast (TMME), ISSN 1551-3440, Monograph 3, pp. 181-204.

Ruseffendi. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam

Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Stoke, S. (2001). Visual Literacy in Teaching and Learning: A Literature Perspective. Electronic

Jounal for the Integration of Technology in Education, vol1, no.1. [Online]

http://ejite.isu.edu/Volume1No1?Stokes.html, (18 Maret 2013)

Page 60: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

84 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Sugilar, Hamdan. (2012). Miningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Disposisi

Matematika Siswa Madrasah Tsanawiyah Melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi

Doktor pada SPs Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Surya, E. (2011). Visual Thinking dalam memaksimalkan Pembelajaran Matematika Siswa

dapat Membangun Karakter Bangsa. Jurnal Abmas thn.10, no.10. [Online]

http://jurnal.upi.edu/abmas (7 JUli 2013)

Trends International Mathematics Science Study (TIMSS). (2011). Online

[http://doelfproduct.blogspot.com/2013/01/hasil-timss-terbaru. html. 31 Maret 2013]

Wardhani & Rumiati. (2011). Modul Matematika SMP Program Bermutu. Instrumen Penilaian

Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar Dari PISA Dan TIMSS. Kementerian

Pendidikan Nasional Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan

Penjaminan Mutu Pendidikan Pusat Pengembangan dan PPPPTK Matematika. [Online]

http://p4tkmatematika.org/file/Bermutu%202011/SMP/4.INSTRUMEN%20PENILAIA

N%20HASIL%20BELAJAR%20MATEMATIKA%20.pdf, (25 Juni 2013)

Zimmerman, B. J., (2000). Self-Efficacy: An Essential Motive to Learn. Contemporary

Educational Psychology, 25, 82-91. [Online].

http://www.unco.edu/cebs/psychology/kevinpugh/motivation_project/resources/zimmer

man00.pdf, (1 Oktober 2013)

Page 61: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 85

KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

DALAM MEMECAHKAN DAN MENGAJUKAN MASALAH MATEMATIKA

DI SDN LEMAH PUTRO 1 SIDOARJO

Sabrina Apriliawati Sa’ad1)

, Tatag Yuli Eko Siswono2)

(Program Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya

Kampus Ketintang Surabaya; 1)

Jl. R.A Kartini 16/15 Gresik Jawa Timur; [email protected]) 2)

Perum. Gebang Raya AF 18 Sidoarjo; [email protected])

Abstrak

Salah satu kemampuan yang dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran adalah

kemampuan berpikir kreatif. Namun, pelaksanaan pembelajaran matematika yang

masih belum optimal mengakibatkan rendahnya kemampuan berpikir kreatif siswa

terutama bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) di kelas inklusi. Tulisan ini akan

memberikan gambaran tentang kemampuan berpikir kreatif ABK dalam

memecahkan dan mengajukan masalah matematika dan tingkat berpikir kreatif ABK

dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Penelitian kualitatif ini

merupakan bagian Penelitian Strategi Nasional (Stranas) yang telah dilakukan di

SDN Lemah Putro 1 Sidoarjo dengan cara pretes-postes pembelajaran dan

wawancara. Subjek dalam penelitian ini adalah 13 anak kelas IV, VA, dan VB yang

termasuk ABK. Analisis data hasil tes evaluasi pembelajaran dilakukan dengan

mengidentifikasi soal yang dapat diselesaikan ABK. Kemudian dianalisis

berdasarkan kriteria tingkat berpikir kreatif. Berdasarkan hasil analisis data,

disimpulkan bahwa terdapat 8 subjek (62%) ABK yang termasuk TBK 0, terdapat 2

subjek (15%) ABK yang termasuk TBK 1, dan terdapat 2 subjek (15%) ABK yang

termasuk TBK 2, dan terdapat 1 subjek (8%) yang termasuk TBK 3.

Kata kunci : anak berkebutuhan khusus (ABK), kemampuan berpikir kreatif

PENDAHULUAN

Salah satu kemampuan yang dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran adalah

kemampuan berpikir kreatif. Hal ini sesuai dengan Permendiknas Nomer 67 tahun 2013

(Depdiknas, 2013), tujuan pendidikan nasional untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar

memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga Negara yang beriman, produktif, kreatif,

inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

bernegara, dan peradaban dunia. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, setiap

kegiatan pendidikan termasuk pembelajaran matematika diharapkan meningkatkan kemampuan

berpikir kreatif siswa.

Alexander (2009) menyebutkan bahwa kemampuan berpikir kreatif merupakan hasil dari

interaksi antara individu dengan lingkungan. Jadi kemampuan berpikir kreatif dapat

dikembangkan dengan baik apabila situasi lingkungan mendukung. Kemampuan berpikir kreatif

siswa dapat dinilai dengan beberapa kriteria. Siswono (2007) memberikan penjenjangan

kemampuan berpikir kreatif yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan siswa sebagai

berikut.

Page 62: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

86 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Tabel 1. Penjenjangan kemampuan berpikir kreatif siswa

Tingkat Karakteristik

Tingkat 4

(Sangat Kreatif)

Siswa mampu menunjukkan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan atau

kebaruan dan fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan

masalah.

Tingkat 3

(Kreatif)

Siswa mampu menunjukkan kefasihan dan kebaruan atau kefasihan dan

fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.

Tingkat 2

(Cukup Kreatif)

Siswa mampu menunjukkan kebaruan atau fleksibilitas dalam

memecahkan maupun mengajukan masalah.

Tingkat 1

(Kurang Kreatif)

Siswa mampu menunjukkan kefasihan dalam memecahkan maupun

mengajukan masalah.

Tingkat 0

(Tidak Kreatif)

Siswa tidak mampu menunjukkan ketiga aspek indikator berpikir kreatif.

Lebih lanjut Siswono (2008) menjelaskan bahwa kefasihan adalah kemampuan siswa

untuk menyelesaikan masalah dengan berbagai macam jawaban dan benar. Fleksibilitas adalah

kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah dengan berbagai cara yang berbeda.

Sedangkan kebaruan adalah kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah dengan beberapa

jawaban yang berbeda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang ―tidak biasa‖ dilakukan oleh

siswa.

Salah satu cara atau metode yang dapat diberikan kepada siswa dan mendorong

kemampuan berpikir kreatif siswa adalah memecahkan dan mengajukan masalah matematika.

Menurut Wheeler et all (dalam Alexander, 2007) tanpa kemampuan berpikir kreatif, individu

akan kesulitan untuk mengembangkan kemampuan imajinasinya sehingga siswa tersebut kurang

mampu untuk mencari berbagai penyelesaian dari suatu masalah. Sehingga bisa disimpulkan

bahwa dalam aktifitas pemecahan masalah, kemampuan berpikir kreatif digunakan untuk

mengidentifikasi masalah dan mencari berbagai kemungkinan penyelesaian dari masalah

tersebut.

Pengajuan masalah pada intinya adalah meminta siswa untuk mengajukan atau membuat

masalah baru sebelum, selama, atau sesudah menyelesaikan masalah soal yang diberikan.

Siswono (2009) menjelaskan manfaat pengajuan masalah antara lain membantu siswa dalam

mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap matematika dan sebagai kegiatan untuk

mengarah kepada sikap kritis dan kreatif. Hal ini dikarenakan siswa diminta untuk membuat

soal dari informasi yang diberikan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa dalam aktifitas pengajuan

masalah, kemampuan berpikir kreatif digunakan untuk memahami informasi yang diberikan dan

membuat soal dari informasi tersebut.

Page 63: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 87

Pendidikan adalah kebutuhan bagi semua anak termasuk anak yang memiliki kebutuhan

khusus (ABK). Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 (1) yakni negara memiliki kewajiban

untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa

terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan. Oleh karena itu,

proses pembelajaran di sekolah diharapkan dapat membantu dan mewujudkan prestasi belajar

siswa, baik siswa normal maupun siswa berkebutuhan khusus.

Pendidikan inklusi merupakan salah satu layanan pendidikan yang memfasilitasi

pembelajaran dengan menggabungkan siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus.

Pendidikan inklusi ini mulai mendapat perhatian masyarakat setelah dikeluarkannya Keputusan

Presiden Republik Indonesia No. 77/P Tahun 2007 Pasal 1 tentang inklusi. Dalam keputusan

tersebut dijelaskan bahwa inklusi sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan untuk semua.

Sejalan dengan keputusan presiden tersebut, sekarang ini sudah banyak terbentuk sekolah-

sekolah inklusi yaitu sekolah yang dapat menerima siswa berkebutuhan khusus belajar bersama

dengan siswa-siswa normal lainnya. Salah satunya di SDN Lemah Putro 1 Sidoarjo.

Kustawan (2012) membedakan anak berkebutuhan khusus menjadi anak berkebutuhan

khusus permanen dan anak berkebutuhan khusus temporer. Anak berkebutuhan khusus

permanen dibedakan dalam tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,

anak berkesulitan belajar, anak lamban belajar, anak autis, anak yang memiliki gangguan

motorik, tunaganda, dan anak berbakat. Beragam kelainan ABK tersebut memiliki karakteristik

yang berbeda. Terkadang ABK mengalami keterbatasan kemampuan dalam menyerap

informasi. Selain itu, ABK juga memiliki hambatan dalam pengelolaan emosi dan perilaku. Hal

ini berdampak pada kemampuan akademik terutama kemampuan belajar mereka dalam

matematika. Oleh karena itu, ABK memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan

kebutuhan dan karakteristik mereka.

Proses pembelajaran matematika di kelas inklusi diharapkan dapat menumbuhkan

kreatifitas ABK. Namun, pelaksanaan pembelajaran matematika masih belum optimal dalam

melatih kemampuan berpikir kreatif siswa apalagi ABK. Hal ini disebabkan guru terkadang

hanya mentransfer ilmunya dan memberikan soal latihan yang tidak melatih kreatifitas siswa.

Dalam pemecahan masalah, guru terkadang mengharuskan siswa untuk menyelesaikan masalah

tersebut sesuai dengan langkah penyelesaian guru. Akibatnya kemampuan berpikir kreatif siswa

termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK) menjadi rendah dan tidak berkembang.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk memberikan

gambaran tentang kemampuan berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan

masalah matematika dan tingkat berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan

masalah matematika.

Page 64: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

88 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

METODE PENELITIAN

Penelitian yang merupakan bagian dari Penelitian Strategi Nasional (Stranas)

dilaksanakan di SDN Lemah Putro 1 Sidoarjo tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini

termasuk dalam penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif karena data kualitatif yang

diperoleh digunakan untuk memberikan gambaran tentang kemampuan berpikir kreatif ABK

dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika dan tingkat berpikir kreatif ABK

dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Subjek dalam penelitian ini adalah

13 anak kelas IV, VA, dan VB yang termasuk siswa ABK. Instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pretes-postes pembelajaran untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif

ABK dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika dan pedoman wawancara.

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode tes dan metode wawancara.

Teknis analisis data yang digunakan adalah analisis data hasil tes dalam memecahkan dan

mengajukan masalah dan analisis data hasil wawancara. Analisis data dari tes tersebut dilakukan

dengan memperhatikan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan yang dilihat dari metode

penyelesaian yang digunakan siswa. Dari hasil analisis tersebut, kemampuan berpikir kreatif

siswa akan dinilai berdasarkan rubrik penjenjangan kemampuan berpikir kreatif (TBK) Siswono

(2007). Kemudian peneliti membandingkan tingkat kemampuan berpikir kreatif ABK dan baru

dilakukan wawancara terhadap subjek penelitian. Subjek penelitian yang diwawancarai dipilih

berdasarkan hasil tes pemecahan dan pengajuan masalah. Subjek dipilih dari masing-masing

TBK (jika ada). Prosedur penelitian yang dilakukan adalah:

1. Memberikan tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah kepada

subjek tiap kelas untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan dan

mengajukan masalah.

2. Menganalisis hasil tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah

dengan memperhatikan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan dari masalah yang dapat

diselesaikan subjek. Hasil analisis tersebut akan menunjukkan TBK subjek.

3. Memilih subjek yang akan diwawancarai untuk mengetahui gambaran kemampuan

berpikir kreatif subjek dalam memecahkan dan mengajukan masalah.

4. Melaksanakan wawancara dan menganalisis hasil wawancara.

5. Menganalisis hasil data tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah

dan hasil wawancara untuk mengelompokkan siswa ke dalam TBK.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas IV, VA, dan VB SDN Lemah Putro 1

Sidoarjo dengan jumlah 13 siswa berkebutuhan khusus yang terdiri dari 10 orang laki-laki dan 3

orang perempuan. Subjek tersebut memiliki berbagai kelainan antara lain lamban belajar,

Page 65: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 89

tunarungu, tunanetra, kesulitan membaca, dan autis. Peneliti bersama kolaborator melakukan

penilaian terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa. Kemampuan berpikir kreatif ABK

diketahui dari tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah yang diberikan

sebelum pembelajaran (pretes) dan sesudah pembelajaran (postes). Hasil tes tersebut

digambarkan dengan tingkat berpikir kreatif (TBK) yang dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Hasil Tes Berpikir Kreatif dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah

Nama Samaran

(ABK)

TBK I Skor

Pretes

TBK II Skor

Postes

Ahmad (4) 1 28,57 0 0

Erik (4) 1 28,57 3 42,86

Noval (4) 1 28,57 2 42,86

Raja (4) 0 0 0 0

Iwan (4) 0 0 0 0

Udin (5A) 0 12,5 0 16,67

Narko (5A) 1 25 1 50

Billa (5A) 3 62,5 0 16,67

Anta (5A) 0 12,5 0 16,67

Dina (5A) 1 50 2 50

Ana (5B) 0 50 0 16,67

Amar (5B) 0 0 0 33,33

Budi (5B) 0 0 1 50

Rata-rata 22,94 25,83

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif ABK

dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika sangat bervariasi. Pada saat sebelum

pembelajaran tingkat berpikir kreatif ABK masih rendah yaitu sekitar TBK 0 atau 1. Hanya ada

1 siswi yang memperoleh TBK 3. Hal ini menunjukkan bahwa ABK masih belum bisa

memecahkan dan mengajukan masalah secara kreatif. Namun, setelah diadakan pembelajaran di

dalam kelas inklusi, pada akhir pembelajaran ABK menunjukkan kemajuan. Rata-rata

kemampuan untuk memecahkan dan mengajukan masalah matematika meningkat menjadi

25,83 dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya sekitar 22,94.

Tingkat berpikir kreatif ABK juga mengalami peningkatan sesuai dengan tabel 2. Tingkat

berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan masalah setelah pembelajaran ada

yang mencapai tingkat 2 dan 3. Artinya ABK dapat menunjukkan kefasihan dan fleksibel atau

kefasihan dan kebaruan dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Sehingga

Page 66: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

90 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

guru dalam proses pembelajaran bisa lebih memperhatikan ABKuntuk mengembangkan

kemampuan berpikir kreatif ABK.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat dibahas tingkat kemampuan berpikir

kreatif siswa dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika sebagai berikut.

1. ABK yang termasuk dalam TBK 0 atau tidak kreatif adalah ABK yang tidak memenuhi

ketiga indikator berpikir kreatif yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Pada hasil

pretes terdapat 7 subjek (54%) yang tidak kreatif. Sedangkan pada hasil postes terdapat 8

subjek (62%) yang tidak kreatif. Bila dibandingkan, persentase subjek yang tidak kreatif

meningkat karena ada ABK yang berubah tingkat berpikir kreatifnya. Ada siswa yang

berubah dari TBK 1 ke TBK 0, bahkan ada yang berubah dari TBK 3 ke TBK 0. Dari 8

ABK pada tingkat ini dipilih 1 ABK untuk diwawancara. Karakteristik ABK yang

diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK tidak dapat menemukan berbagai cara untuk

memecahkan masalah yang diberikan dan tidak dapat memberikan jawaban soal yang

beragam dan benar.

Contoh jawaban yang diberikan ABK tidak kreatif.

Selain itu, ABK tidak dapat menjawab soal dengan cara yang tidak biasa. Dalam pengajuan

masalah, ada ABK yang menulis kembali soal yang diberikan dan ada yang memecahkan

soal dengan solusi yang salah. Selain itu, ada 6 ABK tidak dapat mengajukan masalah

matematika.

Page 67: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 91

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa ABK mempunyai kemampuan mengingat

materi yang telah dipelajarinya. Namun, ABK tersebut kesulitan untuk memahami masalah

matematika yang dihadapinya. Kesulitan tersebut mungkin dipengaruhi oleh faktor

emosional ABK pada saat mengerjakan tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan

mengajukan masalah. Kemungkinan ABK mengalami kesulitan dalam memahami

informasi dan mengkaitkan dengan materi yang telah dipelajari. Setelah peneliti berdiskusi

dengan guru kelas IV, VA, dan VB diperoleh kerakteristik dari masing-masing subjek pada

TBK 0 yaitu 5 anak termasuk lamban belajar, 1 anak lamban belajar sekaligus tunanetra

ringan, 1 anak lamban belajar sekaligus berkesulitan membaca, dan 1 anak lamban belajar

sekaligus tunarungu ringan. Seorang anak dikatakan lamban belajar apabila IQ anak di

bawah 90. Menurut Kustawan (2012), anak lamban belajar membutuhkan waktu yang lebih

lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugasnya. Sehingga untuk

menumbuhkan kemampuan berpikir kreatifnya memerlukan pelayanan pendidikan yang

khusus. Selain itu, ada 2 ABK yang mengalami kesulitan membaca. Hal ini menyebabkan

ABK tersebut tidak menjawab soal yang diberikan pada saat tes berpikir kreatif. Sehingga

kemampuan berpikir kreatif mereka menjadi rendah. Lebih lanjut, pada saat tes, ABK yang

tidak bisa fokus dengan pekerjaan mereka, ABK tersebut ada yang diam saja atau

mengganggu teman-temannya.

2. ABK yang termasuk dalam TBK 1 atau kurang kreatif adalah ABK yang hanya memenuhi

satu indikator berpikir kreatif yaitu kefasihan. Pada hasil pretes terdapat 5 subjek (38%)

yang kurang kreatif. Sedangkan pada hasil postes terdapat 2 subjek (15%) yang kurang

kreatif. Bila dibandingkan, persentase subjek yang kurang kreatif menurun karena ada

ABK yang berubah tingkat berpikir kreatifnya. Dari 2 ABK pada tingkat ini dipilih 1 ABK

untuk diwawancara. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah siswa

dapat memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. Namun, ABK tersebut tidak

dapat menyelesaikan soal dengan cara lain yang berbeda. ABK malah menuliskan kembali

cara tersebut pada soal berikutnya. Contoh Jawaban ABK kurang kreatif.

Page 68: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

92 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Dalam pengajuan masalah, ABK mulai terlihat kreatif dalam membuat soal meskipun soal

yang dibuat hanya mengubah beberapa dari informasi yang diberikan. Mereka cenderung

menyisipkan keterangan lain dan beralih ke soal yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa

ABK mencoba mengingat kembali materi yang dipelajari tapi tidak dapat menemukan cara

yang tepat untuk menyelesaikan soal. Setelah peneliti berdiskusi dengan guru kelas IV,

VA, dan VB diperoleh kerakteristik dari masing-masing subjek pada TBK 1 yaitu 2 ABK

lamban belajar. Tapi ABK pada TBK ini setingkat lebih tinggi kemampuan berpikir

kreatifnya dari pada ABK pada TBK 0. Menurut Kustawan (2012), setiap anak lamban

belajar itu unik. Hal itu berarti setiap anak memiliki karakteristik masing-masing.

Kemungkinan ABK yang memiliki TBK 1 lebih mudah untuk memahami masalah

matematika yang diberikan. Sehingga kemampuan berpikir kreatifnya pada TBK 1.

3. ABK yang termasuk dalam TBK 2 atau cukup kreatif adalah ABK yang hanya memenuhi

satu indikator berpikir kreatif yaitu fleksibilitas atau kebaruan. Pada hasil pretes tidak ada

subjek (0%) yang cukup kreatif. Sedangkan pada hasil postes terdapat 2 subjek (15%) yang

cukup kreatif. Bila dibandingkan, persentase subjek yang cukup kreatif meningkat karena

ada ABK yang berubah tingkat berpikir kreatifnya. Dari 2 ABK pada tingkat ini dipilih 1

ABK untuk diwawancara. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah

ABK dapat memecahkan masalah yang diberikan dengan cara lain yang berbeda. Namun,

ABK kurang teliti dalam menyelesaikan soal tersebut sehingga jawaban yang diperoleh

belum tepat. Contoh jawaban ABK cukup kreatif.

Dalam pengajuan masalah, ABK membuat soal yang sesuai dengan informasi yang

diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa ABK telah mampu mengkaitkan informasi yang

diberikan dengan materi yang telah dipelajari. Setelah peneliti berdiskusi dengan guru kelas

IV, VA, dan VB diperoleh kerakteristik dari masing-masing subjek pada TBK 2 yaitu 1

ABK lamban belajar dan 1 ABK hidrocefalus. Menurut Prasetyono (2008), melatih ABK

hal yang tidak mudah karena kemampuan mengingat mereka dalam mencerna suatu objek

kurang. Hal ini terlihat dalam jawaban yang diberikan ABK pada tingkat 2. ABK ini bisa

Page 69: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 93

mengingat cara-cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Namun, dia kurang

teliti dalam menjawab masalah tersebut sehingga jawabannya kurang tepat.

4. ABK yang termasuk dalam TBK 3 atau kreatif adalah ABK yang hanya memenuhi dua

indikator yaitu kefasihan dan fleksibilitas. Pada hasil pretes terdapat 1 subjek (8%) yang

kreatif. Sedangkan pada hasil postes terdapat 1 subjek (8%) yang kreatif. Bila

dibandingkan, persentase subjek yang kreatif tetap. ABK tersebut langsung menjadi subjek

wawancara. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK dapat

memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. ABK juga dapat menyelesaikan

dengan cara lain yang berbeda. Akan tetapi, ABK tidak tepat dalam memasukkan panjang

sisi dari persegi sehingga hasil akhir yang diperoleh ABK salah. Contoh jawaban ABK

kreatif.

Dalam pengajuan masalah, ABK membuat soal yang sesuai dengan informasi yang

diberikan. ABK mampu mengkaitkan informasi tersebut dengan materi yang telah

dipelajari dan menyelesaikannya dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa ABK mampu

berimajinasi dan mencurahkan idenya. Setelah peneliti berdiskusi dengan guru kelas IV,

VA, dan VB diperoleh kerakteristik dari subjek pada TBK 3 yaitu lamban belajar. Menurut

Kustawan (2012), anak lamban belajar memiliki rata-rata prestasi belajar yang cukup

rendah. Hal itu terlihat dari rata-rata pretes dan postes yang masih rendah. Walaupun ABK

yang lamban belajar memiliki IQ di bawah 90, mereka tetap berusaha seperti anak normal

dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Sehingga apabila guru

memberikan pelatihan yang khusus pada ABK, ABK kemungkinan bisa meningkatkan

kemampuan berpikir kreatif dalam matematika.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa:

Page 70: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

94 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

1. Terdapat 8 subjek yang termasuk TBK 0 atau tidak kreatif. ABK yang termasuk dalam

TBK 0 adalah ABK yang tidak memenuhi ketiga indikator berpikir kreatif yaitu kefasihan,

fleksibilitas, dan kebaruan. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah

ABK tidak dapat menemukan berbagai cara untuk memecahkan masalah yang diberikan

dan tidak dapat memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. Selain itu, ABK tidak

dapat menjawab soal dengan cara yang tidak biasa.

2. Terdapat 2 subjek yang termasuk dalam TBK 1 atau kurang kreatif. ABK yang termasuk

dalam TBK 1 adalah ABK yang hanya memenuhi satu indikator berpikir kreatif yaitu

kefasihan. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah siswa dapat

memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. Namun, ABK tersebut tidak dapat

menyelesaikan soal dengan cara lain yang berbeda. ABK malah menuliskan kembali cara

tersebut pada soal berikutnya.

3. Terdapat 1 subjek yang termasuk dalam TBK 2 atau cukup kreatif. ABK yang termasuk

dalam TBK 2 adalah ABK yang memenuhi satu indikator yaitu fleksibilitas atau kebaruan.

Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK dapat memecahkan

masalah yang diberikan dengan cara lain yang berbeda. Namun, ABK kurang teliti dalam

menyelesaikan soal tersebut sehingga jawaban yang diperoleh belum tepat.

4. Terdapat 1 subjek yang termasuk dalam TBK 3 atau kreatif. ABK yang termasuk dalam

TBK 3 adalah ABK yang memenuhi dua indikator yaitu kefasihan dan fleksibilitas.

Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK dapat memberikan

jawaban soal yang beragam dan benar. ABK juga dapat menyelesaikan dengan cara lain

yang berbeda. Akan tetapi, ABK tidak tepat dalam memasukkan panjang sisi dari persegi

sehingga hasil akhir yang diperoleh ABK salah.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan yang diperoleh, maka peneliti dapat mengemukakan

saran sebagai berikut.

1. Karakteristik dan keterbatasan yang dimiliki ABK harap lebih diperhatikan guru dalam

proses pembelajaran matematika sehingga kemampuan berpikir kreatif ABK akan lebih

berkembang.

2. Soal pemecahan dan pengajuan masalah perlu diberikan kepada siswa agar terbiasa

untuk mengerjakan soal-soal yang memiliki banyak cara atau penyelesaian sehingga

kemampuan berpikir kreatif siswa bisa berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, K. L. (2007). Effects Instruction in Creative Problem Solving on Cognition,

Creativity, and Satisfaction among Ninth Grade Students in an Introduction to World

Agricultural Science and Technology Course. Disertasi pada Texas Tech University.

Page 71: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 95

[Online]. Tersedia:http://etd. lib.ttu.edu/theses/available/etd-01292007-

144648/unrestricted/Alexander_ Kim_Dissertation.pdf. [3 November 2013]

Depdiknas. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 67 Tahun 2013. Jakarta:

Depdiknas

Kustawan, Dedy. 2012. Pendidikan Inklusif dan upaya implementasinya. Jakarta: Luxima

Prasetyono. 2008. Serba-serbi Anak Autis. Jogjakarta: Diva Press

Siswono, Tatag YE. 2007. Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif Dan Identifikasi Tahap

Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan mengajukan Masalah Matematika.

Disertasi yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Pascasarjana UNESA

Siswono, Tatag YE. 2008. Model pembelajaran Berbasis Pengajuan Dan pemecahan Masalah

untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya: UNESA University Press

Siswono, Tatag YE. 2009. Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui

Pengajuan Masalah. Jurnal Online. Tersedia:

http://tatagyes.files.wordpress.com/2009/11/paper05_problemposing.pdf [3 November

2013]

Page 72: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

96 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

KEMAMPUAN DAN KARAKTERISTIK INTUISI SISWA DALAM

MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA

Budi Usodo, Dyah Ratri Aryuna, Ponco Sudjatmiko

Program Studi Pendidikan Matematika UNS

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendiskripsikan kemampuan pemecahan

masalah dalam memecahkan masalah matematika, (2) Mendiskripsikan intuisi siswa

dalam memecahkan masalah matematika.

Sejalan dengan tujuan penelitian tersebut maka dalam penelitan ini

menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA

1 SMAN 3 Sragen. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah

menggunakan teknik tes, dan wawancara berbasis tugas. Validasi data hasil wawancara

berbasis tugas menggunakan triangulasi waktu. Teknik analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalahteknik analisis data kualitatif dan kuantitatif. Teknik analisis

data kualitatif digunakan untuk menganalisis hasil wawancara dalam menelusuri intuisi

siswa dalam memecahkan masalah matematika. Teknik analisis kuantitatif digunakan

untuk menganalisis hasil tes kemampuan pemecahan masalah.

Hasil penelitian adalah: (1) Kemampuan problem solving siswa SMA pada

umumnya masih relatif rendah khususnya pada permasalahan non algoritmik. Sedangkan

pada permasalahan algoritmik, kemampuan siswa SMA dapat dikatakan cukup baik. (2)

Subjek penelitian dalam menyelesaikan masalah, baik pada tahap memahami masalah,

membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian dan memeverikasi

jawaban cenderung tidak menggunakan intuisi.

Kata kunci: Kemampuan, intuisi, pemecahan masalah.

PENDAHULUAN

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan pada beberapa SMA di wilayah eks

Karesidenan Surakarta pada tahun 2005 dan 2006, menunjukkan bahwa kemampuan siswa

dalam memecahkan masalah non rutin sangat rendah. Dari hasil pengamatan pada saat guru

matematika mengajar di sekolah tersebut, kegiatan pembelajaran matematika yang dilakukan

cenderung mekanistik dan lebih banyak memberikan masalah yang bersifat algoritmik (masalah

rutin). Selain itu guru tidak mengajarakan kepada siswa bagaimana menyelesaikan

permasalahan matematika, tetapi lebih pada guru menunjukkan kemampuannya kepada para

siswanya bahwa dia mampu menyelesaikan soal matematika. Bahkan terkesan guru merasa

bangga bila dapat mendemontrasikan kemampuannya walaupun para siswa masih kebingungan

kenapa cara pengerjaannya demikian, dari mana trik yang diperoleh dan lain sebagainya.

(Marjuki, Budi Usodo, 2005, Budi Usodo, Ponco Sujatmiko, 2006).

Bila diperhatikan pada kegiatan pembelajaran tradisional, beberapa guru matematika

terkadang tidak melakukan upaya bagaimana agar para siswa menjadi problem solver yang

handal. Seharusnya jangan sampai terjadi siswa hanya mampu menyelesaikan permasalahan

matematika bila telah diberikan caranya dari guru. Dengan kondisi demikian, maka yang sering

terjadi adalah pada saat siswa menyelesaikan permasalahan matematika seringkali dihadapkan

pada beberapa kesulitan. Misalnya bila diberikan soal matematika terkadang tidak tahu apa

Page 73: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 97

yang harus diperbuat dengan soal tersebut atau bila telah dapat memberikan jawaban, namun

mengalami kemacetan di tengah penyelesaian soal tersebut.

Dari uraian di atas mestinya yang perlu dilakukan guru atau pendidik matematika untuk

mengajarkan pemecahan masalah kepada para siswa tidak cukup hanya mengajarkan bagaimana

menyelesaikan permasalahan matematika. Namun yang lebih penting adalah bagaimana siswa

mampu menghasilkan ide-ide atau gagasan yang efektif dan efisien untuk menyelesaikan

permasalahan matematika. Untuk menghasilkan kemampuan memunculkan ide atau gagasan

tersebut perlu dikembangkan ―intuisi‖ pada diri siswa. Fischbein (1994) mendefinisikan intuisi

sebagai immediate knowledge (kognisi segera) yang disetujui secara langsung tanpa

pembenaran. Sejalan dengan itu Piaget (Tall, 1991) memandang intuisi sebagai kognisi yang

diterima langsung tanpa kebutuhan untuk menjastifikasi atau menginterpretasi secara eksplisit.

Selain itu kognisi yang dikembangkan individu yang tidak bergantung kepada

pembelajaran tetapi sebagai efek dari pengalaman pribadi, disebut kognisi intuitif primer

(primary intuitive cognition) (Henden, G, 2004). Sebagai contoh anak sekolah dasar kelas I dan

II mempunyai intuisi bahwa pembagian akan mengasilkan sesuatu yang lebih kecil, karena anak

tersebut melihat dari kejadian sehari-hari sesuatu yang dibagi-bagi akan menjadi lebih sedikit.

Pada sisi lain, intuisi baru dapat dikembangkan melalui pembelajaran atau pelatihan sistematik

kita sebut kognisi intuitif sekunder (secondary intuitive cognition), misalnya siswa yang telah

dikenalkan bilangan rasional dan diajarkan pembagian dengan bilangan rasional akan memiliki

intuisi bahwa pembagian dengan pembagi kecil sekali akan menghasilkan sesuatu yang lebih

besar.

Menurut Fischbein (1999), intuisi dikategorikan menjadi dua, yaitu intuisi afirmatori

(affirmatory intuition) dan intuisi antisipatori (anticipatory intuition). Semua pembahasan

karakteristik umum dalam matematika seperti yang di sampaikan di atas merupakan intuisi

afirmatori. Intuisi afirmatori berupa pernyataan, representasi, interpretasi, solusi yang secara

individual dapat diterima secara langsung, self evident, global dan cukup secara instrinsik.

Disamping kategori intuisi afirmatori, terdapat kategori intuisi lain yang berbeda,

disebut intuisi antisipatori. Karakteristik intuisi antisipatori adalah sebagai berikut. a) intuisi

tersebut akan muncul selama berusaha keras untuk memecahkan masalah. b) intuisi tersebut

menyajikan ciri-ciri yang bersifatr global. c) intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada

umumnya, dan intuisi ini berasosiasi dengan feeling, meskipun pembenaran secara rinci atau

bukti belum ditemukan.

Selain jenis-jenis intuisi yang disampaikan Fischbein di atas, Poincare (http://www-

history.mcs.st-andrews.ac.uk/Extras/Poincare_Intuition.html) mem-bagi intuisi menjadi 3 jenis,

yaitu: (1) intuisi yang didasarkan pada indera dan imajinasi, (2) intuisi yang didasarkan pada

generalisasi dengan induksi, seperti prosedur pada ilmu pengetahuan ekxperimental, (3) intuisi

Page 74: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

98 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara nyata, seperti intuisi dari

bilangan murni yang menghasilkan aksioma yang dikenal dengan prinsip induksi matematika.

Dari uraian di atas, Intuisi yang dimaksudkan adalah kognisi segera (immediate

cognition) yang keberadaannya tidak melalui proses penalaran secara deduktif serta

mempunyai ciri-ciri yaitu diterima secara langsung (direct), self evident, pasti secara intrinsik

(intrinsic certainty), penggiringan (coerciveness), ekstrapolatif atau holistik. Intuisi dapat

berupa ide atau gagasan yang digunakan untuk memecahkan masalah.

Di lain pihak, penelitian yang berkaitan dengan intuisi menunjukkan bahwa

karakteristik intuisi siswa dalam memecahkan masalah matematika adalah; siswa SMA

cenderung tidak menggunakan intuisi dalam memecahkan masalah matematika, kalaupun ada

yang menggunakan intuisi biasanya berupa intusi yang bertentangan pada umumnya dan

cenderung tidak dapat menyelesaikan masalah (Budi Usodo, 2012a).

Oleh sebab itu perlu diteliti kembali kemampuan dan intuisi siswa dalam memechkan

masalah matematika. Dengan demikian tujuan penelitian ini untuk: (1) mendiskripsikan

kemampuan pemecahan masalah siswa SMA dan (2) mendiskripsikan intuisi siswa SMA dalam

memecahkan masalah matematika.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 3. Penelitian direncanakan selama 10 bulan,

dimulai bulan Januari 2013 sampai dengan bulan Oktober 2013. Subjek penelitian adalah siswa

kelas XI IPA 1 dan guru matematika SMA Negeri 3 Sragen.

Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Tes, digunakan

untuk memperoleh data tentang kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, (2)

wawancara berbasis tugas, digunakan untuk memperoleh data tentang karakteristik intuisi siswa

SMA dalam memecahkan masalah matematika.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalahteknik analisis data

kualitatif dan kuantitatif. Teknik analisis data kualitatif digunakan untuk menganalisis hasil

wawancara yang digunakan untuk mendiskripsikan intuisi siswa dalam memecahkan masalah.

Analisis data kualitatif menggunakan langkah-langkah (i) reduksi data, (ii) penyajian data, dan

(iii) penarikan kesimpulan.

Analisis data kuantitatif digunakan untuk menganalisis data tentang hasil tes kemampuan

pemecahan masalah.

Page 75: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 99

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kemampuan Siswa SMA Dalam Memecahkan Masalah Matematika

Dari data hasil tes kemampuan pemecahan masalah, dapat diinterpretasi bahwa

kemampuan problem solving siswa SMA termasuk rendah. Siswa yang mempunyai kemampuan

problem solving dalam kategori tinggi sangat kecil tidak sampai 15 % (14,81 %). Sebagian

besar siswa hanya pada kategori sedang.

Bila dilihat dari kategori subyek berdasarkan kemampuan problem solving, yaitu tinggi,

sedang dan rendah, pada siswa pada kategori rendah tidak ada yang mampu dengan baik

menyelesaikan permasalahan algoritmik. Pada siswa kategori sedang dan tinggi yang telah

mampu menyelesaikan permasalahan algoritmik telah mencapai lebih dari 50 %. Sedangkan

pada permasalahan non algoritmik yang mampu dengan baik menyelesaikan permasalahan

tersebut sangat sedikit baik dari kategori rendah, sedang dan tinggi. Bahkan pada siswa kategori

rendah dapat dikatakan tidak mempunyai kemampuan dalam menyelesaikan permasalahan non

algoritmik. Pada siswa kategori sedang yang mampu menyelesaikan permasalahan non

algoritmik dengan baik sangat kecil sekali, yaitu tidak sampai 5 %. Sebagian besar pada siswa

kategori sedang mempunyai kemampuan rendah dalam menyelesaikan permasalahan non

algoritmik, yaitu hamper 75%. Sedangkan pada siswa kategori tinggi juga sangat sedikit yang

mempunyai kemampuan dengan baik dalam menyelesaikan maasalah non algoritmik, yaitu

tidak sampai 15%.

Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat simpulan bahwa siswa SMA sudah cukup baik

dalam menyelesaikan permasalahan algoritmik, tetapi sangat rendah kemampuan dalam

menyelesaikan permasalahan non algoritmik. Hal ini dapat dipahami karena kebiasaan

pembelajaran yang cenderung mekanistik dan lebih banyak memberikan permasalah-

permasalahan algoritmik (prosedur).

Intuisi Siswa dalam memecahkan Masalah Matematika

Untuk menggali informasi yang berkaitan dengan intuisi siswa dalam memecahkan

masalah dilakukan dengan wawancara yang berbasis tugas, yang dilakukan terhadap satu orang

yang termasuk kategori sedang, yaitu Oni Noveta. Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 3 Sragen.

Pembahasan Hasil Analis Data Wawancara terbagi dalam empat tahap pemecahan masalah

menurut Polya, yaitu memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan

rencana dan memeriksa jawaban.

Pada subjek penelitian dalam memahami masalah adalah tidak langsung dari teks soal.

Subjek penelitian dalam memahami masalah melakukan serangkaian proses, yaitu dengan

membuat ilustrasi gambar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam

memahami masalah tidak menerima begitu saja apa yang ada pada teks soal, sehingga dari hal

tersebut dikatakan tidak ada kognisi segera yang digunakan subjek dalam memahami masalah.

Page 76: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

100 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Jadi dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam memahami masalah tidak menggunakan

intuisi. Menurut Fischbein (1999), intuisi adalah kognisi segera sehingga berkaitan dengan

pemahaman yang bersifat holistik, tidak langkah demi langkah. Dengan demikian sesuai dengan

hasil penelitian ini bahwa ada kecenderungan ubjek perempuan tidak menggunakan intuisi

dalam memahami masalah.

Dalam membuat rencana penyelesaian subjek penelitian menggunakan pembagian

dengan bilangan 9. Pemikiran tersebut tidak muncul begitu saja, namun berdasarkan pemikiran

bahwa banyaknya potongan yang dibawa siswa yang utuh ada 9 potongan. Dengan penjelasan

tersebut maka dapat dikatakan tidak ada kognisi segera tentang pemikiran penggunaan

pembagian dengan 9. Karena tidak ada kognisi segera yang digunakan subjek penelitian dalam

membuat rencana penyelesian, maka dikatakan tidak ada intuisi yang digunakan subjek

penelitian dalam membuat rencana penyelesaian.

Dalam melaksanakan rencana penyelesaian, subjek penelitian langsung menggunakan

pembagian dengan bilangan 9 sesuai dengan apa yang direncanakan. Pada proses penyelesaian

tidak didapati suatu pemikiran dari semua subjek yang berupa loncatan berpikir atau kognisi

segera. Jadi yang dilakukan subjek tersebut adalah menggunakan pemikiran langsung yang

berupa kognisi formal. Walaupun cara yang digunakan tidak tepat, subjek penelitian merasa

tidak menemui permasalahan dalam melaksanakan rencana penyelesaian, sehingga tidak timbul

pemikiran lain yang mungkin dapat berupa kognisi segera. Oleh karena tidak ada kognisi segera

yang digunakan dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah, maka dapat dikatakan

bahwa tidak ada intuisi yang digunakan. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam melaksanakan

rencana penyelesaian, tidak ada intuisi yang digunakan. Di samping itu berdasarkan jawaban

tertulis pada saat wawancara memberikan penjelasan bahwa jawaban yang diberikan oleh

subjek penelitian adalah salah. Dengan demikian dikatakan bahwa jawaban yang tidak

didasarkan intuisi tidak menghasilkan jawaban yang benar.

Dalam memeriksa kembali jawaban, subjek penelitian melakukan dengan mengulangi

dalam menjawab dan memeriksa jawaban langkah demi langkah. Karena dalam memeriksa

dilakukan langkah demi langkah, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam

memeriksa jawaban dengan menggunakan pemikiran yang berupa kognisi formal. Subjek

penelitian sudah merasa yakin akan jawabannya, sehingga tidak menggunakan cara lain dalam

memeriksa jawaban. Jadi yang dilakukan subjek penelitian tersebut bukan merupakan kognisi

segera. Oleh karena tidak ada pemikiran subjek yang menggunakan kognisi segera, sehingga

dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi.

Dari hasil di atas, bahwa subjek penelitian dalam memecahkan masalah, bail dari tahap

memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian dan

memeriksa kembali jawaban tidak menggunakan intuisi. Jawaban yang diperoleh oleh subjek

penelitian tersebut juga salah.

Page 77: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 101

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kemampuan problem solving siswa SMA pada umumnya masih relatif rendah khususnya

pada permasalahan non algoritmik. Sedangkan pada permasalahan algoritmik, kemampuan

siswa SMA dapat dikatakan cukup baik.

2. Subjek penelitian dalam memahami masalah, membuat rencana penyelesaian,

melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban cenderung tidak

menggunakan intuisi.

Saran

Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada permasalahan non algoritmik

dapat dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran yang khusus berkaitan dengan

pengembangan kemampuan pemecahan masalah, yaitu pembelajaran berbasis masalah atau

pembelajaran yang dapat mengembangan intuisi siswa dalam memecahkan masalah

matematika.

2. Perlu adanya pengembangan model pengembangan model pembelajaran yang berbasis

pada pengembangan intuisi siswa dalam pembelajaran matematika untuk melihat pengaruh

penggunaan model pembelajaran tersebut terhadap peningkatan kemampuan pemecahan

masalah matematika.

DAFTAR PUSTAKA

Budi Usodo. 2012a. Karakteristik Intuisi Siswa SMA Daalam Memecahkan Masalah

Matematika ditinjau dari Kemampuan Matematika dan Perbedaan Gender. Disertasi.

UNESA.

Budi Usodo. 2012b. Penerapan Pembelajaran yang Berbasis Pada Pengembangan Intuisi untuk

Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa SMAN 1 Sragen (RSBI).

Laporan Penelitian Hibah PGMIPABI, Penelitian tidak dipublikasikan. Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

Budi Usodo, Ponco Sujatmiko 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Pada Pembelajaran Matematika Di SMA (Upaya untuk Meningkatkan Kemampuan

Problem Solving Siswa SMA). Penelitian tidak dipublikasikan. Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

Fischbein, E. 1999. Intuitions and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies in

Mathematics. 38,11–50.

Page 78: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/RUANG-1.pdf · kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013

102 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Fischbein, E., Grossman, A. 1997, ―Schemata and Intuitions in Combinatorial

Reasoning‘,Educational Studies in Mathematics 34, 27–47

Fischbein, E. 1994. ―The Interaction between the Formal, the Algorithmic, and the Intuitive

Components in a Mathematical Activity‖. In R. Biehler, R. W. Scholz, R. Sträßer, &

B. Winkelmann (Eds.), Didactics of Mathematics as a Scientific Discipline (pp.231-

245). Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Henden, G. 2004.“Intuition and Its Role in Strategic Thinking”. Unpublished Dissertation. BI

Norwegian School of Management.

Kneeland, Steve.2001. Pemecahan Masalah. Terjemahan Kusnandar. Jakarta: Elex Media

Komputindo

Mardjuki, Budi Usodo. 2005. Pengembangan Intuisi Siswa Sekolah Menengah Atas Dalam

Memecahkan Masalah Matematika, Penelitian tidak dipublikasikan. Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

Nieveen, N. 1999. Prototyping to Reach Product Quality. Dalam Plomp, T; Nieveen, N;

Gustafson, K; Branch, R.M; dan van den Akker, J (eds). Design Approaches and Tools in

Education and Training. London: Kluwer Academic Publisher.