Page 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGHITUNG PECAHAN DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS IV SDN I JATISARI
SAMBI BOYOLALI TAHUN PELAJARAN 2010/2011
SKRIPSI
Oleh :
LATIFAH MUBAROKAH
NIM X1808031
PROGRAM PJJ S1 PGSD
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Page 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Jadwal Penelitian 65
Lampiran 2 Silabus Matematika Kelas IV SD 66
Lampiran 3 RPP Siklus I 67
Lampiran 4 RPP Siklus II 78
Lampiran 5 LKM dan Evaluasi Siklus I 88
Lampiran 6 LKM dan Evaluasi Siklus II 91
Lampiran 7 Kunci Jawaban dan Kreteria Penilaian Siklus I 95
Lampiran 8 Kunci Jawaban dan Kreteria Penilaian Siklus II 97
Lampiran 9 Rekapitulasi Nilai Siswa Sebelum Tindakan 98
Lampiran 10 Rekapitulasi Nilai Siswa Siklus I 99
Lampiran 11 Rekapitulasi Nilai Siswa Siklus II 100
Lampiran 12 Lembar Observasi Aktivitas Siswa Siklus I 101
Lampiran 13 Lembar Observasi Aktivitas Siswa Siklus II 102
Lampiran 14 Lembar Observasi Guru dan Siswa Siklus I 104
Lampiran 15 Lembar Observasi Guru dan Siswa Siklus II 109
Lampiran 16 Pedoman Wawancara Sebelum diterapkan Model Kontekstual 122
Lampiran 17 Pedoman Wawancara Setelah diterapkan Model Kontekstual 124
Lampiran 18 Personalia Peneliti 126
Lampiran 19 Curicculum Vitei 126
Lampiran 20 Pendapat Siswa 127
Lampiran 21 Daftar Hadir Mahasiswa 128
Lampiran 22 Daftar Hadir Siswa 130
Lampiran 23 Penilaian Kepala Sekolah 133
Lampiran 24 Dokumentasi 137
Page 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
1). Bagi suatu himpunan, bagian-bagianya kongruen (Part group congruent
part) Siswa mengasosiasikan pecahan dengan memperhatikan “a” objek himpunan
tersebut.
Contoh :
4
3Objek yang diberi bayangan atau yang diarsir.
2). Bagian dari suatu daerah, bagian-bagiannya kongruen (Part Whole
congruent part). Siswa mengasosiasikan pecahanb
adengan daerah geometris yang
dibagi kedalam b bagian yang kongruen dan memperhatikan a bagian.
Contoh :
4
3gambar yang diberi bayangan atau diarsir .
3). Bagian suatu himpunan , bagian-bagiannya tidakkongruen (Part Group
non congruen part) siswa mengasosiasikan pecahan dengan suatau himpunan yang
terdiri dari b objek ongruen dan memperhatikan a objek dalam
himpunan tersebut.
Contoh:
4
3objek yang diberi bayangan atau arsiran.
Page 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
4). Bagian dari suatu himpunan, perbandingan (Part group Comparison).
Siswa mengasosiasikan pecahanb
adengan perbandingan relative dua himpunan A
dan B. Dalam hal ini banyaknya objeknya pada himpunan A adalah a dan himpunan
B adalah semua obyek Kongruen.
Contoh:
HIMPUNAN A
HIMPUNAN B.
Himpunan A adalah4
3himpunan B
5). Garis Bilangan
Siswa mengasosiasikan pecahanb
adengan suatu titik pada garis bilangan setiap
satuan segmen garis itu sudah dibagi kedalam b bagian yang sama, dan titik a pada
garis bilangan mengatakan relasi ini.
Page 7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
6). Bagian suatau daerah perbandingan (Part whole congruen)
mengasosiasikan pecahanb
adengan perbandingan dengan bangun geometri A dan B.
Jumlah bagian yang kongruen dalam gambar adalah a, sedang dalam gambar B
adalah b semua A dan B kongruen.
Contoh :
A B.
Gambar A adalah4
3gambar B
7). Bagian suatu daerah, bagian-bagiannya tidak kongruen ( Parts Whole non
Conkruent part). Siswa mengasosiasikan pecahanb
adengan daerah geometri yang
sudah dibagi ke dalam b bagian yang sama dalam luas, tetapi tidak kogruen dan
memperhatikan a bagian.
Contoh:
8
6gambar yang diberi bayangan atau diarsir.
Dengan demikian tujuh konsep tadi dapat dikelompokkan menjadi tiga model,
yaitu:
a). Model bagian suatu himpunan ( Part Group model ) terdiri dari
subkonsep 1,3, dan 4
b). Model bagian suatu daerah luasan atau geometri (Part Whole model)
terdiri atas subkonsep 2,6, dan 7).
Page 8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
c). Model garis bilangan ( Number line model) terdiri atas subkonsep 5.
Dengan demikian konsep pecahan harus dikuasai oleh guru yang akan
mengajar pecahan di Sekolah Dasar.
2. Hakikat Pembelajaran Matematika
a Teori Pembelajaran Matematika
Para guru SD-MI hendaknya memahami teori belajar dan mengajar matematika
agar dapat menentukan pendekatan pembelajaran yang tepat, sehingga pembelajaran
menjadi efektif, bermakna, dan juga menyenangkan.
1). Teori Pembelajaran Piaget
Pada umumnya anak SD berumur Sekitar 6/7-12 tahun. Menurut Piaget (dalam
Hudoyo:45), dikutip kapita selekta pembelajaran, anak seumur ini berada pada
periode operasi konkrit. Periode ini disebut operasi konkret sebab berpikir logiknya
didasarkan pada manipulasi objek-objek konkret. Anak yang masih berada pada
periode ini untuk berpikir abstrak masih membutuhkan bantuan benda-benda
konkret atau pengalaman- pengalaman yang langsung dialami. Menurut Piaget,
perkembangan belajar matematika melaui 4 tahap yaitu tahap konkret, semi konkret,
semi abstrak, dan abstrak.
2). Teori Pembelajaran Bruner
Menurut Bruner (Hudoyo, 1988: 56), belajar matematika adalah belajar
tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang dipelajari serta
mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika
Dalam belajar, Bruner hampir selalu memulai dengan memusatkan manipulasi
material. Anak didik harus menemukan keteraturan dengan cara pertama-
tamamemanpulasi matrial yang sudah dimilki anak didik. Bruner melukiskan anak-
anak berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental, yaitu: 1). Tahap Enaktif,
2). Tahap Ikonik, 3. Tahap Simbolik
Page 9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
3). Teori pembelajaran Dienes
Perkembangan konsep matematika menurut dalam (Resnick, 1981:120)
dikutip dalam Kapita Selekta Pembelajaran. Dienes membagi membagi tahap-tahap
belajar menjadi 6 tahap yaitu:(1). Permainan bebas (free playing), (2). Permainan
yang disertai aturan (games), (3). Permaianan kesamaan sifat (Searcing for
communities), (4). Representasi, (5). Simbolisasi, (6). Formalisasi.
4). Teori Pembelajaran menurut Skemp
Menutur Ricard Skemp dalam (Karim, dkk,) (1997:23-24), dikutip dalam
Kapita Selekta Pembelajaran. Anak belajar matematika melalui dua tahap yaitu
konkret dan abstrak. Pada tahap pertama yaitu konkret anak-anak memanipulasi
benda-benda konkret untuk dapat menghayati ide-ide abstrak. Pengalaman awal anak
berinteraksi dengan benda konkret ini membentuk dasar bagi belajar selanjutnya,
yaitu pada tahap abstrak atau tahap kedua.
Menurut Skemp, agar belajar anak menjadi berguna bagi seorang anak
sifat-sifat umum dari pengalaman harus dipadukan untuk membentuk suatu struktur
konseptual atau skema. Dengan demikian guru memberi kegiatan pada anak untuk
menyusun struktur matematika sedemikian rupa agar jelas bagi anak didik sebelum
mereka dapat menggunakan pengetahuan awalnya sebagai dasar untuk belajar pada
tahap berikutnya, atau sebelum mereka menggunakan pengetahuan mereka secara
efektif untuk menyelesaikan masalah.
5). Teori Pembelajaran Brownell
Menurut, William Browneel ( dalam Karso, 1999:1.25-1.26). Pada hakikatnya
belajar merupakan suatu proses yang bermakna, dan belajar matematika harus
merupakan belajar bermakna. Dalam pembelajaran matematika SD Brownell,
mengemukakan teori makna (meaning theory). Menurut teori makna, anak harus
memahami makna dari topik yang sedang dipelajari, memahami simbol tertulis, dan
apa yang mereka ucapkan memperbanyak latihan (drill) tetapi latihan-latihan yang
dilakukan haruslah didahului dengan pemahaman makna yang tepat.
Page 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
6). Teori Pembelajaran Skinner
Burrush Frederich Skinner dalam (Ruseffendi 1992:127-128), dikutip dalam
Kapita Selekta Pembelajaran, menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan
mempunyai peranan yang penting dalam proses pembelajaran. Ganjaran merupakan
proses yang sifatnya mengembirakan dan merupakan tingkah laku yang subyektif,
sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya
kemungkinan respon lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan
diukur.
7). Teori Pembelajaran Thorndike
Edward L Thorndike, mengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal
dengan sebutan “ Law of Effect”. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil bila
respon siswa terhadap stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan.
Teori ini menyatakan bahwa pada hakekatnya belajar merupakan proses
pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. (Sandra Sukmaningadji dan Dina
Mustafa 2007:14-16)
Dari pembahasan teori-teori pembelajaran matematika tersebut diatas,
ternyata bahwa beberapa ahli mempunyai kesamaan pendapat, yaitu anak dalam
belajar matematika akan mengalami jika dibantu memanipulasi: objek-objek
konkret. Untuk penerapannya didalam pembelajaran, akan lebih baik jika setiap
teori pembelajaran matematika tidak berdiri sendiri, tetapi dikombonasikan sesui
dengan kebutuhan.
Dari pendapat para ahli di atas dapat penulis simpulkan bahwa pembelajaran
matematika akan lebih bermakna apabila anak mengalami langsung dengan
memanipulasi benda-benda konkret sehingga akan mempermudah anak dalam
memahami konsep.
b. Tujuan tentang Pembelajaran Matematika SD
Dalam pembelajaran matematika di tingkat SD, diharapkan terjadi penemuan
kembali. Penemuan kembali adalah menemukan suatau cara penyelesaian secara
informal dalam pembelajaran dikelas. Walaupun penemuan tersebut sederhana dan
Page 11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
bukan hal baru bagi orang yang telah mengetahui sebelumnya, tetapi bagi siswa SD
itu merupakan sesuatu yang baru.
Jackson (1992:756) mengatakan bahwa secara umum matematika adalah “
penting bagi kehidupan masyarakat.” Oleh karena itu, matematika dimasukkan
dalam kurikulum sekolah. Sejalan dengan pandangan ini Drebben (dalam Romberg,
1992 : 756) mengugkapkan bahwa matematika diajarkan disekolah dalam rangka
memenuhi kebutuhan jangka panjang (long-term functional needs) bagi peserta didik
dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa seseorang harus mempunyai kesempatan yang
banyak untuk mempelajari matematika, kapan dan dimana saja sesui dengan
kebutuhan akan metematika itu sendiri. Sebaliknya kaum absolutis berpendapat
bahwa algoritma matematika telah disusun sedemikian rupa dan dilengkapi dengan
alat hitung yang canggih (seperti kalkulator dan komputer) oleh karena itu, anak
maupun masyarakat tidak perlu belajar banyak tentang matematika (Burke dalam
Romberg, 1992:757; Finnn dalam Romberg, 1992: 757) dikutip Nabiso Lapono dkk,
2009 : 3-104.
Pada pembelajaran matematika harus terdapat keterkaitan antara pengalaman
belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang diajarkan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Bruner matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-
struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari
hubungan-hubungan antara konsp-konsep dan struktur matematika itu dalam (Nyimas
Aisyah, dkk:1-5).
Tujuan utama pelajaran Matematika di SD menurut kurikulum KTSP
(2007:42) adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1). Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar
konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes,
akurat, efisiensi, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2). Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Page 12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
3). Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika , menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh.
4). Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5). Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Tujuan umum dan khusus yang ada di kurikulam KTSP SD/MI merupan
pelajaran matematika disekolah memberi gambaran belajar tidak hanya dibidang
kognitif saja, tetapai meluas pada bidang psikomotorik dan efektif. Pembelajaran
matematika diarahkan untuk pembentukan kepribadian dan pembentukan
kemampuan berpikir yang bersandar pada hakikat matematika, ini berarti hakikat
matematika merupakan unsur utama dalam pembelajaran matematika. Oleh
karenanya hasil-hasil pembelajaran matematika merupakan kemampuan berpikir
yang matematis dalam diri siswa, yang bermuara pada kemampuan menggunakan
matematika sebagai bahasa dan alat dalam menyebutkan masalah-masalah yang
dihadapi dalam kehidupan.
3. Hakikat Model Pembelajaran Kontekstual
a. Pengertian Model Pembelajaran
Model pembelajaran, seperti yang dikemukakan oleh Joyce dan Weil (1986)
adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu yang
berfungsi sebagi pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar
dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran (Soli Abimanyu, dkk
2009 :2.4)
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang
digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau
Page 13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat
pembelajaran termasuk didalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum dan lain-
lain menurut joyce di dalam (Trianto, 2007:5).
Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada
strategi, metode, atau prosedur. Model Pembelajaran mempunyai empat ciri khusus
yang tidak dimiliki oleh strategi, metode, atau prosedur. Ciri-ciri tersebut ialah:
(1) Rasional teoritik logis yang dapat disusun oleh para pencipta atau
pengembangannya;
(2) Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan
pembelajaran yang akan dicapai;
(3) Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat
dilaksanakan dengan berhasil;
(4) Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat
tercapai (Kardi dan Nur, di dalam Trianto, 2007: 6)
b. Pengertian model Pembelajaran Kontekstual
Kontekstual adalah suatu pendekatan pendidikan yang berbeda, melakukan
lebih dari pada menuntun para siswa dalam menggabungkan subjek-subjek akademik
dengan konteks dalam keadaan mereka sendiri (Elaine B.Johnson, 2007:64)
Pembelajaran kontekstual (constextual teaching and learning-CTL) menurut
Nurhadi (2003) adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan
antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. Dan juga mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapanyaa
daalm kehidupan mereka sendiri-sendiri. Pengetahuan dan ketrampilan siswa
diperoleh dari usaha siswa menkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru
ketika ia belajar (Sugiyanto, 2009: 14)
c. Sistem model Pembelajaran Kontekstual
Sistem model pembelajaran kontekstual adalah sebuah proses pendidikan
yang bertujuan menolong para siswa melihat makna didalam materi akademik yang
Page 14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek-subyek akademik dalam
kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan
budaya mereka (Elaine B.Johnson, 207: 67).
Sistem dalam model Pembelajaran kontekstual mencakup delapan komponen
(Elaine B.Johnson, 2007 : 65-66) berikut ini :
1. Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna
2. Melakukan pekerjaan yang berarti
3. Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri
4. Bekerja sama
5. Berpikir kritis dan kreatif
6. Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang
7. Mencapai standar tinggi
8. Menggunakan penilaian autentik.
Dapat disimpulkan cara mengajar yang menggunakan komponen-komponen
kontekstual sesuai dengan cara kerja alam. Kesesuaian dengan cara alam adalah
alasan mendasar yang menyebabkan sistem kontekstual memiliki kekuatan yang luar
biasa untuk meningkatkan kinerja siswa.
d. Tujuan Model Pembelajaran Kontektual
Model pembelajaran kontekstual bertujuan untuk meningkatkan prestasi
belajar siswa melalui peningkatan pemahaman konsep makna materi pelajaran yang
dipelajari dengan mengkaitkan antara materi yang dipelajari dengan konteks
kehidupan mereka sehari-hari sebagai individu, anggota keluarga, anggota
masyarakat dan anggota bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya diperlukan
guru-guru yang berwawasan kontekstual, materi pembelajaran yang bermakna bagi
siswa strategi, metode dan teknik belajar mengajar yang mampu mengaktifkan
semangat belajar siswa, alat peraga pendidikan yang bernuansa kontekstual, suasana
dan iklim sekolah yang juga bernuansa kontekstual sehingga situasi kehidupan
sekolah dapat seperti kehidupan nyata di lingkungan siswa.
Page 15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
e. Dasar teori Model Pembelajaran Kontekstual
Para pendidik yang menyetujui pandangan ilmu pengetahuan bahwa alam
semesta itu hidup, tidak diam, dan bahwa alam semesta ditopang oleh tiga prinsip
kesalingbergantungan, diferensiasi, dan organisasi diri, harus menerapkan pandangan
dan cara berpikir baru mengenai pembelajaran dan pengajaran. Menurut Johnson
(Sugiyanto, 2009: 15) tiga pilar dalam dalam system CTL, yaitu :
1). CTL mencerminkan prinsip kesaling-bergantungan. Kesaling-bergantungan
mewujudkan diri.
2). CTL mencerminkan prinsip diferensiasi. Diferensiasi menjadi nyata ketika CTL
menantang siswa untuk saling menghormati keunikan masing-masing untuk
menghormati perbedaan-perbedaan, untuk menjadi kreatif, untuk bekerja sama,
untuk menghasilkan gagasan dan hasil yang berbeda dan untuk menyadari bahwa
keragaman adalah tanda kemantapan dan kekuatan.
3). CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri. Pengorganisasian diri
terlihat ketika para siswa mencari dan menemukan kemampuan mereka sendiri
yang berbeda, mendapat umpan balik yang diberikan oleh penilaian outentik,
mengulas usaha-usaha mereka tujuan jelas dan standar yang tinggi, dan berperan
serta dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa yang membuat hati mereka
bernyanyi
f. Komponen Model Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran berbasis kontekstual menurut Sanjaya (Sugiyanto, 2009: 17)
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, yakni kontruktivisme, bertanya,
menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian autentik.
1). Kontruktivisme adalah proses membangun dan menyusun pengetahuan baru
dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut kontruktivisme,
pengetahuan memang berasal dari luar tetapi dikontruktivisme, pengetahuan
memang berasal dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua
faktor penting yaitu: objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek
untuk mengintrepretasi objek tersebut. Asumsi ini melandasi CTL pada dasarnya
Page 16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
mendorong agar siswa bisa mengkontruksi pengetahuaanya melalui proses
pengamatan dan pengalaman nyata yang dibangun oleh individu sipembelajar.
2). Inkuiri, artinya proses pembelajaran didasarkan pencarian dan penemuan
melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri dapat
dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu: (1).Merumuskan masalah, (2).
Mengajukan hipotesis, (3). Mengumpukan data, (4). Menguji hipotesis, (5).
Membuat kesimpulan.
3) Bertanya adalah bagian inti belajar dan menemukan pengetahuan. Dengan adanya
keingintahuanlah pengetahuan selalu dapat berkembang. Dalam pembelajaran model
CTL guru tidak menyampaikan informasi begitu saja tetapi memancing siswa dengan
bertanya agar siswa dapat menemukan sendiri jawabannya. Dengan demikian
pengembangan ketrampilan guru dalam bertanya sangat diperlukan. Hal ini penting
karena pertanyaan guru menjadi pembelajaran lebih produktif, yaitu berguna untuk:
(1). Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan pelajaran, (2).
Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar, (3) Merangsang keingintahuan siswa
terhadap sesuatu, (4) Memfokuskan siswa pada sesuatau yang diinginkan, (5).
Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu .
4). Masyarakat Belajar (learning Community) didasarkan pendapat Vygotsky, bahwa
pengetahuan dan pengalaman anak banyak dibentuk olek komunikasi dengan orang
lain. Permasalahan tidak mungkin dipecahkan sendirian, tetapi membutuhkan orang
lain untuk salaing membutuhkan. Dalam Model CTL hasil belajar dapat diperoleh
dari hasil sharing dengan orang lain, teman, antar kelompok, sumber lain dan bukan
guru. Dengan demikian asas masyrakat belajar dapat diterapkan melalui belajar
kelompok, dan sumber-sumber lain dari luar yang dianggap tahu tentang sesuatu
yang menjadi fokus pembelajaran.
5. Pemodelan (Modelling) adalah proses pembelajaran dengan memperagakan
suatu contoh yang dapat ditiru oleh siswa. Sebagai contoh, membaca berita,
membaca lafal bahasa, mengoperasikan instrument memerlukan contoh agar dapat
mengerjakan dengan benar. Dengan demikian modeling merupakan asas penting
Page 17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
dalam pembelajaran melalui CTL, karena melalui CTL siswa dapat terhindar dari
verbalisme atau pengetahuan yang bersifat teoristik-abstrak. Perlu juga dipahami
bahwa modeling tidak terbatas dari guru saja tetapi dapat juga memanfaatkan
siswa atau sumber lain yang mempunyai pengalaman atau keahlian.
6. Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajarinya
dengan cara mengurutkan dan mengevaluasi kejadian atau peristiwa pembelajaran
yang telah dilaluinya untuk mendapatkan pemahaman yang dicapai baik yang bernilai
positif atau tidak bernilai (negatif). Melaui refleksi siswa dapat memperbaharui
pengetahuan yang telah dibentuknya serta menambah khazanah pengetahuannya.
7. Penialaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan
informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini
diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak. Penilaian
ini berguna untuk mengetahui apakah pengalaman belajar mempunyai pengaruh
positif terhadap perkembangan siswa baik intelektual, mental, maupun
psikomotorik. Pembelajaran CTL lebih menekankan pada proses belajar daripada
sekedar hasil belajar. Oleh karena penilaian ini dilakukan terus menerus selama
kegiatan berlangsung, dan dilakukan secara terintregasi. Dalam CTL keberhasilan
pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual
saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek.
B. Penelitian Yang Relevan
Istanti (2010) tentang “ Penerapan model pembelajaran kontekstual untuk
meningkatkan pemahaman bangun ruang dalam pelajaran matematika siswa kelas IV
SDN 03 Sidanegara Kedungreja Cilacap Tahun 2009/2010. Menyimpulkan bahwa
pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan pemahaman konsep bangun ruang
dalam pelajaran matematika di kelas IV SD N 03 Sidareja, yaitu ditunjukkannya
dengan prosentase siswa yang tuntas KKM ( nilai 65) meningkat 24 % dari keadaan
awal yang hanya 44 % menjadi 63 % pada siklus setelah dilakukan tindak lanjut
Page 18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
kesiklus II, hasil belajar siswa meningkat menjadi 88 % ( siswa mencapai KKM
sebanyak 23 anak), atau meningkat sebesar 20 % dari siklus I. Dari peningkatan hasil
belajar siswa tersebut dapat dikatakan bahwa pemahaman konsep tentang bangun
ruang meningkat.
Kesamaan dengan peneliti ini adalah sama-sama menggunakan model
pembelajaran kontekstual, sedangkan perbedaannya adalah materinya.
C. Kerangka Berpikir.
Dalam proses pembelajaran guru harus menggunakan strategi dan metode
pembelajaran yang tepat dalam menyampaikan setiap materi yang diajarkan.
Berdasarkan pengertian serta komponen pembelajaran kontekstual sangat
dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan menghitung pecahan siswa dikelas
IV karena materinya masih sederhana. Model pembelajaran kontekstual merupakan
pembelajaran yang sudah dimiliki siswa dengan pengetahuan baru yang didapat,
atau suatu pembelajaran yang mengaitkan pengetahuan dengan dunia nyata yang
pernah dialami oleh siswa.
Dalam penelitian ini kondisi awal yang dihadapi pada siswa kelas IV SD
Negeri I Jatisari adalah pembelajaran matematika belum menerapkan model
pembelajaran kontekstual. Siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami
materi pecahan yang diajarkan. Sehingga mengakibatkan kemampuan berhitung
pecahan rendah, ini ditunjukkan dari hasil evaluasi awal sebelum dilakukan
penelitian. Kemudian dilakukan penelitian tentang penerapan pembelajaran
kontekstual untuk meningkatkan kemampuan menghitung pecahan dalam pelajaran
matematika. Dalam penelitian ini, peliti melakukan penelitian dikelasnya sendiri
tujuannya agar tidak menganggu proses pembelajaran. Penelitian dimulai dari siklus
I, pada siklus I sudah diterapkan model pembelajaran kontekstual, hasil belajar siswa
meningkat tetapi belum sesuai dengan harapan karena masih ada beberapa siswa yang
belum mencapai KKM Kemudian guru melanjutkan siklus yang ke II dengan model
Page 19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
pembelajaran kontekstual namun dengan perlakuan yang berbeda. Dengan siklus I
yaitu guru menambahkan beberapa metode pembelajaran dalam kegiatan inti, hasil
siklus II menunjukkan peningkatan.
Gambar I. Kerangka Berpikir
Kondisi awal
Guru belummenggunakanpendekatankotekstual dalamproses belajarmengajar
Kemampuanmenghitungpecahan rendah.
Tindakan.aakan
Pembelajarandengan pendekatankontekstual
Diduga melalui pendekatankontekstual dapatmeningkatkan kemampuanmenghitung pecahan padasiswa kelas IV.
Kondisi akhir
Page 20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan
diatas, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: Penerapan model
pembelajara kontekstual dapat meningkatkan kemampuan menghitung pecahan
dalam pembelajaran matematika kelas IV SD Negeri I Jatisari Sambi Boyolali.
Page 21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan waktu penelitian
1. Tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri I Jatisari Sambi. Boyolali ,
pemilihan tempat tersebut didasarkan pada pertimbangan:
a. Kemampuan menghitung pecahan dalam pelajaran matematika pada kelas IV
masih rendah.
b. Pada tahun sebelumnya dalam proses pembelajaran matematika belum
menggunakan model pembelajaran kontekstual.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester dua (genap) Tahun Pelajaran
2010/2011 lebih tepatnya bulan Januari sampai dengan bulan Juni 201I atau selama 6
bulan. Untuk penelitian di SD Negeri I Jatisari dilaksanakan pada bulan Maret- Mei
2011 yang terdiri dari 2 siklus, masing-masing siklus terdiri dari 3 kali pertemuan.
Adapun rinciannya adalah sebagai berikut.
a. Refleksi awal yang dilaksanakan pada minggu ketiga bulan maret.
b. Siklus I dilaksanakan pada tanggal 17 - 26 Maret 2011 dengan rincian
tanggal: tanggal 17 Maret pertemuan I, Tanggal 18 Maret 2011pertemuan II,
tanggal 25 Maret pertemuan III, refleksi sikus I tanggal 26 Maret 2011,
karena hasilnya belum tuntas, maka dilanjutkan siklus II
c. Siklus II dilaksanakan tanggal 1-13 April 2011 dengan rincian : tanggal 1
April 2011 pertemuan I, tanggal 7 April 2011 pertemuan II, tanggal 8 April
2011, refleksi siklus II tanggal 9 April 2011.
d. Penyusunan hasil penelitian dan konsultasi PTK, akhir bulan April sampai
Juni 2011
Page 22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
3 Menjumlahkan dua pecahan biasa berpenyebut tidak sama dengan
peragaan langsung
4. Melakukan penjumlahan dua pecahan yang berpenyebut tidak sama
secara matematis.
5. Memecahkan masalah sehari-hari yang berkaitan dengan penjumlahan
pecahan yang berpenyebut sama dan yang berpenyebut tidak sama.
b. Paksanaan Tindakan Siklus I
Dalam siklus 1 ini dibagi menjadi tiga kali pertemuan. Pertemuan pertama
membahas tentang penjumlahan bilangan-bilangan pecahan biasa berpenyebut sama
dengan peragaan langsung. Pertemuan kedua membahas tentang penjumlahan
bilangan-bilangan pecahan biasa yang berpenyebut tidak sama peragaan dengan
menggunakan kertas lipat dan secara matematis
Pertemuan ketiga memecahkan masalah sehari-hari yang berkaitan dengan
penjumlahan bilangan-bilangan pecahan yang berpenyebut sama dan berpenyebut
tidak sama.
Pelaksanaan Pembelajaran menggunakan model kontekstual adapun langkah-
langkahnya adalah sebagai berikut:
1). Pertemuan Pertama
Dalam melaksanakan tindakan dibagi menjadi tiga kegiatan yaitu kegiatan
awal, inti, dan penutup. Kegiatan awal di sini adalah sebelum pelajaran dimulai
guru memimpin doa, mengabsen siswa dan mengkondisikan kelas. Guru melakukan
apersepsi Siapakah yang pernah membantu ibu berbelanja? Pernahkah kalian
berbelanja, ¼ kg gandum dan ¼ gula. Apabila dimasukkan kedalam kantong
plastik berapa berat keseluruhan?
Sedangkan kegiatan Inti adalah melaksanakan pembelajaran mengenai
penjumlahan bilangan-bilangan pecahan biasa yang berpenyebut sama. Adapun
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Guru bertanya kepada siswa ¼ apel + ¼ apel = …., kegiatan inti diawali dengan
pertanyaan seperti diatas karena tujuannya untuk memancing siswa sampai sejauh
Page 23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
mana kemampuan siswa tentang penjumlahan pecahan berpenyebut sama atau
menggali kemampuan awal siswa.
2. Salah satu siswa memperagakan pemecahan permasalah tersebut dengan
menggunakan kertas lipat yang telah mereka potong menjadi empat bagian yang
sama.
3. Guru memberi bimbingan dan penguatan kepada siswa yang
mendemonstrasikan penjumlahan berpenyebut sama.
4. Guru membagikan siswa ke dalam 3 kelompok, dan membagikan LKM
5. Siswa mendiskusikan memecahkan masalah dari guru dengan memanipulasi
kertas lipat sebagai medianya.
6. Siswa menghubungkan pengalamanya dengan dunia nyata yang berhubungan
dengan penjumlahan pecahan berpenyebut sama.
7. Melalui diskusi secara kelompok Siswa diharapkan bisa menemukan sendiri
konsep penjumlahan pecahan berpenyebut sama.
8. Guru melakukan pengamatan dan penilaian terhadap kinerja siswa
9. Guru memberi bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan.
Kegiatan penutup adalah setelah selesai guru menjembatani siswa
menemukan konsep menghitung pecahan yang berhubugan dengan penjumlahan
pecahan berpenyebut sama dengan menyimpulkan materi yang dipelajari. Setelah
itu siswa disuruh mengerjakan soal evaluasi pertemuan pertama.
2). Pertemuan Kedua
Pertemuan kedua membahas tentang penjumlahan bilangan-bilangan pecahan
yang berpenyebut tidak sama. Kegiatan awal sama seperti pertemuan sebelumnya
hanya apersepsinya yang berbeda yaitu guru mengulang pelajaran kemarin dan
disuruh menjumlahkan pecahan berpenyebut sama.
Kegiatan inti dalam pertemuan kedua adalah :
a) Tanya jawab penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama.
Contoh 1/2 +1/4 =…
Page 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
b) Guru menulis beberapa jawaban siswa di papan tulis
c) Dari beberapa jawaban siswa kita ajak berfikir diantara beberapa jawaban
kira-kira jawaban yang paling tepat yang mana.
d) Setiap kelompok kita bagi kertas lipat dan kita ajak untuk melipat menjadi 2,
3, 4, 5 sehingga kita akan mendapat pecahan yang bernilai 1/2, 1/3, 1/4, 1/5 .
e) Siswa kita beri permasalahan yang ada hubungannya dengan penjumlahan
berpenyebut tidak sama.
contoh : 1/2 + 1/3 = ….
f). Secara berkelompok siswa menyelesaikan tugas yang ada dalam LKM.
g). Siswa menghubungkan konsep penjumlahan berpenyebut tidak sama dengan
dunia nyata mereka, dengan bimbingan guru.
h). Siswa diharapkan dapat menemukan konsep menjumlahkan bilangan pecahan
yang bepenyebut tidak sama.
i). Guru memberikan bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam
mengerjakan tugas.
j). Salah satu kelompok memberikan contoh dalam memecahkan masalah
kelompok yang lain menaggapi. Melalui peragaan, akan ditunjukkkan
penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Contoh penjumlahan pecahan
1/2 + 1/4 =… Kata kuncinya ‘penjumlahan “ dalam peragaan diganti dengan
kata “penggabungan “.Jadi 1/2 + 1/4 =3/4
Dari peragaan di atas tampak 1/2 + 1/4= 3/4
k). Guru melakukan observasi dan penilaian saat proses pembelajaran.
l). Siswa dan guru melakukan kesimpulan
Page 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
m). Guru memuji kepada kelompok yang tergiat.
Kegiatan penutup setelah selesai guru menjembatani siswa dalam
menyelesaikan LKM dengan materi penjumlahan pecahan bilangan-bilangan
berpenyenbut tidak sama setelah itu siswa diberi soal untuk dikerjakan sebagai
evaluasi
Pertemuan ketiga.
Pertemuan ketiga menyelesaikan persoalan sehari-hari yang ada hubungannya
dengan penjumlahan bilangan-bilangan pecahan biasa yang berpenyebut tidak
sama secara metematis. Kegiatan pendahuluan guru mengatur temapat duduk
siswa, menyiapkan alat peraga dan mengajak siswa untuk berdoa. Guru
melakukan apersepsi dengan memberi pertanyaan Siapa yang masih ingat 1/2 +
1/4 = …
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran, guru menyiapkan lembar pengamatan
guru dan siswa.
Kegiatan inti dalam pertemuan yang ketiga ini adalah :
A. Eksplorasi dalam kegiatan ini guru menggali dari siswa yang pernah didapat
baik disekolah maupun di rumah yang ada kaitannya dengan materi pecahan.
a). Guru bertanya ada 1/2 + 1/6 =….
b). Guru bertanya amati pecahan di atas yang tidak sama apanya, kalau bisa
dikerjakan dengan peragaan kertas lipat hasilnya berapa?
c). Coba kalau soalnya 1/5 + 1/6=….Bagaimana caranya ?
B. Elaborasi
a). Guru memberi contoh cara mengerjakan soal diatas, sebelum memberi
Guru bertanya kira-kira langkah pertama yang dilakukan dalam
menyelesaikan persoalan diatas bagaimana?
b). Siswa mejawab pertanyaan dari guru, dan memberi pujian kepada siswa yang
bisa menjawab pertanyaan dari guru
c). Dari demonstrasi yang dilakukan oleh guru siswa dapat mengerjakan
penjumlahan berpenyebut tidak sama .
Page 26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
d). Siswa dibagi kedalam 3 kelompok, Guru membagikan LKM yang
berhubungan dengan hitungan penjumlahan pecahan yang berpenyebut tidak
sama.
f). Siswa secara berkelompok mendiskusikan dan memecahkan permasalahan
dari guru.
g). Siswa mengkontruksi pengalaman barunya untuk menjumlahkan pecahan
berpenyebut tidak sama.
h). Guru memberi bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan.
C. Konfirmasi
a). Siswa melaporkan hasil diskusi atau prsentasi
b). setiap kelompok saling bertanya jawab di bimbing oleh guru.
c). Apabila ada salah paham guru yang meluruskan.
Kegiatan penutupan setelah selesai pembelajaran dipimpin oleh guru,
menyimpulkan hasil diskusi tentang penjumlahan pecahan yang berpenyebut tidak
sama. Siswa mengerjakan soal evaluasi dan guru memberi PR .
c. Observasi
peneliti melakukan pengamatan tingkah laku dan sikap siswa selama
pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual
berlangsung serta mengamati ketrampilan guru kelas IV dalam mengajar dengan
menerapkan model pembelajaran kontekstual baru menggunakan alat peraga berupa
kertas lipat serta bercerita tentang kejadian sehari-hari yang ada hubungnnya dengan
pejumlahan pecahan. Observasi ditujukan pada kegiatan siswa dalam melaksanakan
pembelajaran, aktivitas atau partisipasi serta untuk mengetahui hasil belajar siswa.
Keseluruhan data yang diperoleh dalam kegiatan ini termasuk hasil lembar kerja
kelompok maupun individu. Sebagai bahan atau masukan untuk menganalisis
perkembangan hasil belajar siswa melalui pendekatan kontekstual dengan
Page 27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
menggunakan media kertas lipat. Selain itu peneliti juga melakukan observasi
terhadap sikap, perilaku, siswa selama proses pembelajaran serta ketrampilan guru
dalam mengajar dengan pendekatan kontekstual untuk materi penjumlahan dan
pengurangan pecahan dengan menggunakan ketas lipat.
1) Hasil Observasi guru:
Dari data lembar observasi lampiran 14, dapat kita lihat aktivitas guru dalam
pembelajaran siklus I adalah sebagai berikut:
a) Guru sudah baik dalam pengelolaan siswanya.
b) Guru dalam memberi motivasi sudah cukup baik namun masih perlu
ditingkatkan
c) Guru dalam menagajukan pertanyaan memancing siswa untuk membangun
gagasan sendiri.
d). Dalam bertanya guru menyediakan waktu tunggu dan siapa yang menjawab
tanpa pilih kasih.
Ada beberapa poit yang masih perlu ditingkatkan pada aktivitas siswa:
a) Siswa menjawab pertanyaan guru terlebih dahulu mengacungkan tangan masih
terlihat gaduh.
b) Hasil belajar siswa belum sesui dengan target yang diinginkan.
c). Pada saat kelompok peran masing-masing anggota belum jelas
d). Siswa dalam mendengarkan ketika guru atau siswa lain berbicara perlu
ditingkatkan
e). Siswa sudah mengalami aktif dan asyik berbuat/ bekerja dalam pembelajaran
namun perlu ditingkatkan.
f). LKM untuk siklus 1 belum mendorong siswa menemukan konsep gagasan dan
cara
Page 28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
a. Analisis dan Refleksi
Dari hasil penelitian siklus 1, peneliti melakukan analisis dan refleksi hasil
pembelajaran pada masing-masing pertemuan di dapatkan ketuntasan hasil belajar
siswa pada siklus 1 ini masih kurang, maka perlu dilanjutkan kesiklus II. Adapun
data hasil belajar siswa tentang hitung pecahan pada siklus I sebagai berikut:
Pada siklus 1 guru melakukan evaluasi pada masing-masing pertemuan, jadi
ada 3 hasil evaluasi dengan indikator yang berbeda pada siklus I ini.
1). Hasil Nilai pada pertemuan pertama siklus 1
Tabel 3 Data Frekuensi Nilai Pada Pertemuan Pertama Siklus 1
Indikator: Menjumlahkan dua pecahan yang berpenyebut sama
Berdasarkan tabel 3 tentang frekuensi nilai pada pertemuan pertama siklus 1
tentang penjumlahan pecahan yang berpenyebut sama dapat digambarkan grafik
sebagai berikut :
No Nilai Frekuensi Prosentase
1 31-40 0 0%
2 41-50 1 8,33%
3 51-60 4 33,3%
4 61-70 5 41,67%
5 71-80 1 8,33%
6 81-90 0 0%
7 91-100 1 8,33%
Jumlah 12 100%
Page 29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
0
1
2
3
4
5
6
31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90 91-100
Gambar 3.Grafik Nilai Siswa Pertemuan Pertama Siklus I
Tabel 4 hasil tes Pertemuan Pertama siklus 1
Keterangan Hasil Nilai
Nilai Terendah 50
Nilai Tertinggi 100
Rata-rata nilai 68,33
Siswa belajar tuntas 58,33
2) Hasil Nilai pada pertemuan pertama siklus 2
Tabel 5 Data Frekuensi Nilai Pada Pertemuan kedua Siklus 1
Indikator : Menjumlahkan dua pecahan yang berpenyebut tidak sama.
Page 30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
No Nilai Frekuensi Prosentase
1 31-40 2 16,7%
2 41-50 0 0
3 51-60 2 16.7%
4 61-70 1 8,3%
5 71-80 2 16,7%
6 81-90 3 25%
7 91-100 2 16,7%
Jumlah 12 100%
Berdasarkan tabel 5 tentang frekuensi nilai pada pertemuan kedua siklus 1
tentang penjumlahan pecahan yang berpenyebut tidak sama dapat digambarkan
kedalam grafik sebagai berikut:
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90 91-100
Gambar 4. Grafik Nilai Pertemuan Kedua Siklus I
Page 31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Tabel 6 Hasil Tes Pertemuan kedua siklus 1
Keterangan Hasil Nilai
Nilai terendah 40
Nilai tertinggi 100
Rata-rata nilai 66,6
Siswa belajar tuntas 66,7 %
3). Hasil nilai Siswa pada Pertemuan Ketiga Siklus 1
Tabel 7 Data Frekuensi Nilai pada Pertemuan Ketiga siklus 1
Indikator: menyelesaikan masalah sehari-hari yang ada hubungannya dengan
penjumlahan dua pecahan yang berpenyebut tidak sama secara matematis.
No Nilai Frekuensi Prosentase
1 31-40 2 16,67%
2 41-50 0 0%
3 51-60 2 16,67
4 61-70 3 25%
5 71-80 3 25%
6 81-90 1 8,33%
7 91-100 1 8,33%
Jumlah 12 100%
Berdasarkan tabel 7 tentang frekuensi nilai pada pertemuan ketiga siklus 1
tentang penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama secara matematis dapat
digambarkan kedalam grafik sebagai berikut:
Page 32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90 91-100
Gambar 5. Grafik Nilai Pertemuan Ketiga Siklus 1
Tabel 8.Hasil Nilai Pertemuan Ketiga Siklus 1
Keterangan Hasil Nilai
Nilai terendah 40
Nilai tertinggi 100
Rata-rata nilai 70
Siswa belajar tuntas 66,7%
Dari hasil evaluasi ketiga pertemuan diatas maka dapat digambarkan dan
ditarik suatu kesimpulan bahwa kemampuan siswa dalam menghitung pecahan
masih rendah yaitu dirata darai hasil evaluasi ketiga pertemuan tersebut adalah
63,91% siswa tuntas belajar atau meningkat 38,91 %.
Page 33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
0
10
20
30
40
50
60
70
awal Siklus 1
Series1
Gambar 6. Grafik Perbandingan Prosentase Siswa Belajar Tuntas Awal
dengan Siklus 1
2. Tindakan siklus II
Tindakan siklus II mulai dilaksanakan tanggal 1- 13 April 2011 dengan
rincian pertemuan pertama tanggal 1 April 2011, pertemuan kedua tanggal 7 April
2011, pertemuan ketiga tanggal 8 april 2011, Refleksi siklus 2 tanggal 9 April 2011.
Adapun tahap kegiatan pada siklus II ini meliputi:
a. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini peneliti mengkaji perencanaan pada siklus I, yang
diketahui terjadi peningkatan tetapi belum mencapai batas yang ditetapkan peneliti
yaitu 70% pada materi pecahan. Oleh karena itu peneliti melakukan kosultasi dengan
observer yaitu teman sejawat dan supervisor kepala sekolah untuk mendapatkan hasil
maksimal pada materi hitung pecahan dalam pelajaran matematika.
Sebagai tindak lanjut penerapan model pembelajaran kontekstual
untuk meningkatkan kemampuan menghitung pecahan dan proses pembelajaran
maka kegiatan perencanaan pada siklus II, peneliti membuat rencana pelaksanaan
pembelajaran yang indikatornya berbeda dengan siklus II yaitu siswa dapat
melakukan pengurangan pecahan berpenyebut sama, siswa dapat melakukan
pengurangan pecahan yang berpenyebut tidak sama, siswa dapat meyelesaikan
Page 34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
permasalahan sederhana sehari-hari yang ada hubungannya dengan pengurangan
pecahan. Dalam kegiatan pembelajaran siklus II ini siswa dibagi kedalam 4
kelompok dengan maksud agar semua siswa aktif, ditambah dengan menggunakan
media langsung berupa tahu, tempe dan buah apel serta metode sosio drama atau
bermain peran.
b. Pelaksanaan Tindakan
Pembelajaran Matematika melalui penerapan model pembelajaran
kontekstual dalam siklus II ini dibagi dalam tiga kali pertemuan yang
masing-masing pertemuan alokasinya adalah 2 jam pelajaran.
1). Pertemuan Pertama
Dalam pelaksanaan tindakan dibagi menjadi tiga kegiatan yaitu
kegiatan awal, inti dan penutup. Kegiatan awal disini adalah sebelum
pelajaran dimulai guru memimpin doa, mengabsen siswa kemudia
menkondisikan siswa, mengatur tempat duduk, mengingatkan siswa yang
masih gaduh. Apersepsinya : Guru bertanya kepada siswa Pernahkah anak-
anak membantu Ibu berbelanja kemudian barang belanjaannya jatuh?
Pernahkah anak-anak berbagi kue dengan teman di sekolah?
Sedangkan kegiatan intinya adalah melaksanakan pembelajaran
mengenai pengurangan pecahan berpenyebut sama.
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a). Guru membagi siswa menjadi 4 kelompok, setiap kelompok disuruh
mengeluarkan benda-benda yang dibawa dari rumah ,tahu, tempe, apel.
b). Siswa membagi benda-benda tersebut sesua degan perintah yang ada
dalam Lembar kerja kelompok.
c). Siswa secara berkelompok memanipulasi benda yang telah dibagi
kemudian membuat cerita yang ada hubungannya dengan pengurangan
d). Secara bergantian siswa memerankan sosio drama yang telah mereka
buat, dan menyelesaikan masalah yang ada dapat cerita tadi.
Diharapkan siswa dapat menemukan konsep sendiri tentang pengurangan
Page 35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
pecahan berpenyebut sama melalui bimbingan dan modeling dari teman
yang berpresentasai.
Kegiatan penutup adalah setelah selesai guru menjembatani siswa
untuk menemukan konsep pengurangan pecahan berpenyebut sama. Untuk
mengetahui kemampuan siswa berhitung pengurangan berpenyebut sama
siswa disuruh mengerjakan soal evaluasi pertemuan pertama.
2). Pertemuan Kedua
Pertemuan kedua membahas tentang pengurangan pecahan
berpenyebut tidak sama.Kegiatan awal sama seperti pertemuan sebelumnya
hanya apersepsinya yang berbeda yaitu guru menanyakan materi yang
kemarin contoh : “ Siapa yang masih ingat ?.....7
3
7
5
Kegitan inti pada pertemuan kedua ini adalah :
a). Guru membagi siswa dalam berapa kelompok dan membagi kertas HVS,
buram dan kertas lipat.
b). Guru membagikan LKM, siswa mengerjakan LKM yang ada
hubungannya dengan menggunakan kertas HVS, Buram, dan kertas
lipat.
c). Siswa mendapatkan konsep tentang pengurangan pecahan yang
berpenyebut tidak sama dengan benda nyata
d). Guru menuliskan soal pengurangan pecahan yang penyebutnya Contoh
?....7
1
3
2 dari beberapa siswa ternya tidak ada yang bisa mengerjakan
Guru menjelaskan cara mengerjakannya dengan menyamakan dulu
penyebutnya dicari KPKnya.
d). Dengan adanya model dari guru sisea papat menemukan konsep
pengurangan pecahan berpenyebut tidak sama dengan bimbingan guru.
Kegiatan penutup setelah diadakan refleksi, meyimpulkan isi
pelajaran dengan guru dan siswa, guru membagikan soal evaluasi untuk
Page 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
mengetahui keterpahaman siswa. Sebagai tindak lanjut guru memberikan PR
kepada siswa.
3). Pertemuan Ketiga
Pertemuan ketiga membahas permasalahan sederhana sehari-hari yang
ada hubungannya dengan pengurangan berpenyebut sama dan berpenyebut
tidak sama.Kegiatan awal guru mengatur tempat duduk siswa, menyiapkan
alat peraga dan mengajak siswa untuk berdoa. Aperspsi guru menagih PR dan
menyuruh untuk mengumpulkannya.
Kegiatan Inti:
a). Guru bercerita tentang kejadian sehari-hari yang ada hubunganya
dengan pengurangan pecahan. Guru memberi pertanyaan kepada semua
siswa, kepada siswa yang menjawab diberi kesempatan untuk maju
mengerjakan soal tadi.
b). Guru membagi kedalam 4 kelompok dan membagikan LKM untuk
didiskusikan secara kelompok.
c). Guru memberi bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan.baik
secara individu maupun secra kelompoki.
d). Setiap kelompok mempresentasikan hasil kinerjanya didepan kelas.
e). Guru memberi penguatan kepada kelmpok yang berhasil dalam
mengerjakan tugas.
Kegiatan penutup siswa dengan bimbingan guru melakukan refleksi
dan membuat kesimpulan. Untuk mengetahui keberhasilan belajar siswa disuruh
mengerjakan evaluasi pertemuan ketiga siklus II.
c. Observasi
Peneliti melaksanakan observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran
menggunakan model kontekstual. Objek yang diobservasi sama seperti saat siklus 1 .
Observasi ditujukan pada kegiatan siswa dalam melaksanakan pembelajaran,
aktivitas atau partisipasi serta untuk mengetahui hasil belajar siswa.Keseluruhan
data yang diperoleh dalam kegiatan ini termasuk hasil lembar kerja kelompok
Page 37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
maupun individu. Sebagai bahan atau masukan untuk menganalisis perkembangan
hasil belajar siswa melalui pendekatan kontekstual dengan menggunakan alat
peraga berupa tahu, tempe, dan buah apel. Selain itu peneliti juga melakukan
observasi terhadap sikap, perilaku, siswa selama proses pembelajaran serta
ketrampilan guru dalam mengajar dengan pendekatan kontekstual untuk materi
pengurangan pecahan dengan menggunakan benda-benda dilingkungan sekitar.
Hasil Observasi guru:
Dari data lembar observasi lampiran 14 dapat kita lihat aktivitas guru dalam
pembelajaran siklus I adalah sebagai berikut:
a). Dalam mengelola siswa bervariasi.
b). Guru mendorong siswa untuk bertanya, berpendapat dan mempertanyakan
guru/siswa
c). Guru dalam mengajukan pertanyaan sudah memancing siswa untuk
membangun gagasan sendiri.
d). Dalam bertanya guru menyediakan waktu tunggu dan siapa yang menjawab
tanpa pilih kasih.
e). guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk tampil didepan kelas
menyajikan sesuatu.
f). Guru meminta siswa untuk menuliskan kesan danketerpahaman dari apa yang
dipelajari.
Hasil observasi siswa:
a). Pada saat kerja kelompok peran masing-masing anggota sudah jelas dan bergilir.
b). Kelompok siswa beragam (gender, sosial, ekonomi, IQ)
c). Siswa menjawab pertanyaan guru terlebih dahulu mengacungkan tangan tanpa
suasana gaduh.
d). Siswa berani bertanya, berpendapat, dan mempertanyakan pendapat (tulis/ Lisan)
e). Siswa mendengarkan ketika guru dan siswa lain berbicara.
f). Siswa aktif dan aktif berbuat/bekerja dalam pembelajaran.
Page 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
d. Analisis dan Refleksi
Hasil analisis data terhadap pelaksanaan pembelajaran matematika materi
berhitung pecahan dengan penerapan model pembelajaran kontekstual pada siklus
II secara umum menunjukkan adanya suatu perubahan, ini dapat dilihat dari analisis
hasil tes pada siklus II yang terjadi peningkatan yang cukup signifikan sesui dengan
harapan peneliti. Dari hasil tes siklus II ini rata-rata siswa telah mencapai batas
KKM yang ditetapkan sebanyak 70 % dengan nilai 65, hasil yang dicapai adalah
75% siswa kelas VI pada siklus II ini telah berhasil.
1). Hasil Nilai pada Pertemuan Pertama siklus II
Tabel 9 Data Frekuensi nilai pada Pertemuan Pertama Siklus II
Indikator : Menghitung pengurangan pecahan berpenyebut sama
No Nilai Frekuensi Prosentase
1 21-30 0 0%
2. 31-40 0 0%
3. 41-50 2 16,6%
4 51-60 1 8,33
5 61-70 1 8,33%
6 71-80 2 16,6%
7 81-90 2 16,6%
8 91-100 4 33,3%
JUMLAH 12 100%
Page 39
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Berdasarkan tabel 9 tentang frekuensi nilai pada pertemuan pertama
siklus II tentang pengurangan pecahan berpenyebut sama dapat digambarkan
grafik sebagai berikut:
0
0.5
1
1.5
2
2.5
21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90
Gambar 7. Grafik Nilai Pertemuan Pertama Siklus II
Tabel 10. Hasil Tes Pertemuan Pertama Siklus II
Nilai Terendah 50
Nilai Tertinggi 100
Rata-rata Nilai 79,16
Siswa belajar Tuntas 75%
Page 40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
2). Hasil Nilai pada Pertemuan kedua siklus II
Tabel 11 Data Frekuensi Nilai pada Pertemuan Kedua Siklus II
Indikator : Menjumlahkan pecahan biasa berpenyebut tidak sama.
No Nilai Frekuensi Prosentase
1 21-30 0 0%
2. 31-40 0 0%
3. 41-50 2 16,6%
4 51-60 1 8,33%
5 61-70 5 41,6
6 71-80 1 8,33
7 81-90 3 25%
8 91-100 0 0%
JUMLAH 12 100%
Berdasarkan tabel 11 tentang frekuensi nilai pada pertemuan kedua siklus II
tentang pengurangan pecahan berpenyebut tidak sama dapat digambarkan kedalam
grafik sebagai berikut :
0
1
2
3
4
5
6
21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90
Gambar 8. Grafik Nilai Pertemuan Kedua Siklus II
Page 41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Tabel 12. Hasil Tes Pertemuan Kedua Siklus II
Nilai Terendah 45
Nilai Tertinggi 90
Rata-rata Nilai 73,75
Siswa belajar Tuntas 75%
3). Hasil Nilai pada Pertemuan Ketiga Siklus II
Tabel 13. Data Frekuensi Nilai Pada Pertemuan Ketiga Siklus II
Indikator: Memecahkan masalah sederhana sehari-hari yang ada kaitannya
dengan pengurangan pecahan.
no Nilai Frekuensi Prosentase
1 21-30 0 0%
2. 31-40 0 0%
3. 41-50 2 16,6%
4 51-60 1 8,33%
5 61-70 2 16,6%
6 71-80 0 0%
7 81-90 3 25
8 91-100 4 33,3%
JUMLAH 12 100%
Berdasarkan tabel 13. tentang frekuensi nilai pada pertemuan ketiga siklus II
menyelesaikan masalah sehari-hari yang ada hubungannya dengan pengurangan
pecahan.
Dapat digambarkan kedalam grafik sebagai berikut.:
Page 42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
0
0 .5
1
1 .5
2
2 .5
3
3 .5
21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90
Gambar 9.Grafik Nilai Pertemuan Ketiga Siklus II
Tabel 14. Hasil Tes Pertemuan Ketiga Siklus II
Nilai Terendah 40
Nilai Tertinggi 100
Rata-rata Nilai 77,08
Siswa belajar Tuntas 75%
Tabel 15.Perbandingan Prosentase Siswa Belajar Tuntas
Keterangan Prosentase siswa Belajar
Tuntas
Keadaan awal 25%
Siklus I 63,91%
Siklus II 75%
Berdasarkan tabel 15, maka dapat digambarkan perbandingan dengan
keadaan awal, siklus I, dan siklus II adalah sebagai berikut:
Page 43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
01 02 0
3 04 05 06 0
7 08 0
a w a l S ik lu s 1 S ik lu s 2
Gambar 10. Grafik Perbandingan Siswa Belajar Tuntas
Dari hasil evaluasi ketiga pertemuan diatas maka dapat ditarik suatu
kesimpulan kemampuan menghitung pecahan meningkat dilihat dari rata-rata hasil
evaluasi ketiga pertemuan pada siklus II tersebut adalah 75%.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada siklus I dan Siklus II
dapat dinyatakan bahwa pembelajaran Matematika menggunakan model kontekstual
dapat menigkatkan kemampuan berhitung pecahan siswa kelas IV SD Negeri I
Jatisari, baik hasil belajar secara kognitif, afektif, dan psikomotorik.
1. Perkembangan Hasil Belajar Kognitif Siswa
Perkembangan hasil belajar kognitif siswa mengalami perkembangan yaitu
dari keadaan awal sebelum dilakukan model pembelajaran kontekstual siswa yang
tuntas KKM hanya 25% dari jumlah 12 siswa yang tuntas hanya 3 siswa. Pada siklus
I dilaksanakan pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual, menggunakan
media kertas lipat siswa yang tuntas KKM menjadi 61,93% atau meningkat 36,93 %
darai keadaan awal. Setelah dilakukan tindak lanjut dalam pembelajaran siklus II,
Siswa yang tuntas KKM menjadi 75% atau meningkat 50% dari keadaan awal siswa
Page 44
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
atau meningkat 13,07%. Dari hasil belajar tersebut dapat disimpulkan kemampuan
berhitung pecahan pada siswa kelas IV mengalami peningkatan.
2. Perkembangan Hasil Belajar Afektif Siswa
Dari lembar observasi lampiran 14 selama pembelajaran matematika
menggunakan model pembelajaran kontekstual berlangsung, diperoleh data belajar
afektif siswa sebagai berikut:
a. Siswa lebih aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran, hal ini ditunjukkan
dengan sering menjawab dan mengajukan pertanyaan kepada guru serta
keberanian siswa untuk mempresentasikan hasil kerja kelompok.
b. Siswa mengalami peningkatan kompetensi personal/sosial sesuai dengan
potensinya (bekerjasama, menyelesaikan konflik, dengan sehat dan bertanggung
jawab). Lihat lampiran lembar observasi kinerja guru dan siswa saat
pembelajaran.
3. Perkembangan Hasil Belajar Psikomotorik Siswa
Dari lembar observasi siswa lampiran 14 selama pembelajaran matematika
menggunakan model pembelajaran kontekstual berlangsung, diperoleh data
psikomotorik siswa sebagai berikut:
a. Siswa menjawab pertanyaan guru terlebih dahulu mengacungkan tangan tanpa
suasana gaduh
b. Siswa berani bertanya, berpendapat, dan mempertanyakan pendapat ( tulis/ lisan)
c. Siswa mendengarkan ketika guru atau siswa lain berbicara.
d. Komunikasi terjadi antara guru dengan siswa atau siswa dengan siswa.
Page 45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
4. Hasil Observasi Bagi Guru Selama Pelaksanaan Penelitian
Dari data observasi aktivitas guru selama pembelajaran matematika
menggunakan model pembelajaran kontekstual dalam siklus I dan siklus II maka
diperoleh hasil observasi sebagai berikut:
a. Pertanyaan yang diajukan guru memancing siswa untuk membangun gagasan
sendiri
b. Guru mengajukan pertanyaan, menyediakan waktu tunggu dan siapa yang
menjawab tanpa pilih kasih.
c. Metode dan pengelolaaan siswa bervariasi menurut kebutuhan.
d. Guru menggunakan berbagai sumber belajar, lingkungan sekitar yang sesui
dengan kompetensi yang dikembangkan.
e. Guru Trampil menggunakan alat bantu sesuai dengan materi yang diajarkan.
Dari analisis data dan observasi selama pembelajaran matematika, secara
umum menunjukkan perubahan yang signifikan. Guru telah berhasil menerapkan
model pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
berhitung pecahan pada siswa kelas IV SD Negeri I Jatisari Sambi Boyolali.
Page 46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Page 47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian penerapan model pembelajaran kontekstual
untuk meningkatkan kemampuan menghitung pecahan pada siswa kelas IV SDN 1
Jatisari Sambi Boyolali Tahun Pelajaran 2010/2011, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan kemampuan
menghitung pecahan pada siswa kelas IV SD Negeri 1 Jatisari Sambi Boyolali ,
yaitu ditunjukkan dengan prosentase siswa yang tuntas KKM (nilai 65)
mengalami peningkatan 38,9% dari keadaan awal yang hanya 25% menjadi 63,91
% pada siklus 1. Setelah dilakukan tindak lanjut kesiklus II, hasil belajar siswa
meningkat lagi menjadi 75 % ( Siswa yang mencapai KKM sebanyak 9 anak)
Atau meningkat 11, 09% dari siklus I. Dari Ketuntasan belajar siswa mengalami
peningkatan sehingga dapat dikatakan bahwa hasil belajar siswa tentang
kemampuan menghitung pecahan meningkat sesui dengan yang diharapkan oleh
peneliti. Target yang diiginkan adalah siswa yang mencapai nilai diatas KKM
70%, bahkan pada siklus II siswa yang nilainya diatas KKM ada 75%.
2. Model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan keaktifan proses
pembelajaran yang berlangsung. Peningkatan ini dapat dilihat dari hasil observasi
yang dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung untuk melihat aktivitas
siswa dan kinerja guru dalam merealisasikan ketrampilan seorang guru dalam
mengajar dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual. Melaui model
pembelajaran kontekstual guru bertugas sebagai informan, membimbing dan
membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan menghitung pecahan pada
siswa kelas IV sehingga siswa termotivasi untuk aktif dalam pembelajaran. Dalam