BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Zat Warna Tekstil Zat warna adalah senyawa organic bewarna yang digunakan untuk memberi warna pada suatu objek (Fessenden & Fessenden, 1999). Suatu zat warna ialah bahan pewarna yang dapat larut dalam air dan mempunyai daya tarik terhadap serat. Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh dengan Chromofor sebagai pembawa warna dan aukokrom sebagai pengikat warna dengan serat. Zat organik tidak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan zat warna adalah senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan turunannya, fenol dan turunannya serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang mengandung nitrogen (Mulyatna dkk, 2003) Sumber diperolehnya zat warna tekstil digolongkan menjadi 2 yaitu: Pertama, Zat Pewarna Alam yaitu zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam pada umumnya dari hasil ekstrak tumbuhan dan hewan. Kedua, Zat Pewarna Sintetis yaitu zat warna buatan atau sintetis dibuat dengan reaksi kimia dengan bahan dasar terarang batu bara atau minyak bumi yang merupakan hasil senyawa turunan hidrokarbon aromatik seperti benzena, naftalena dan antrasena. 5
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Zat Warna Tekstil
Zat warna adalah senyawa organic bewarna yang digunakan untuk memberi
warna pada suatu objek (Fessenden & Fessenden, 1999). Suatu zat warna ialah
bahan pewarna yang dapat larut dalam air dan mempunyai daya tarik terhadap
serat. Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh
dengan Chromofor sebagai pembawa warna dan aukokrom sebagai pengikat
warna dengan serat. Zat organik tidak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan
zat warna adalah senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan
turunannya, fenol dan turunannya serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang
mengandung nitrogen (Mulyatna dkk, 2003)
Sumber diperolehnya zat warna tekstil digolongkan menjadi 2 yaitu: Pertama,
Zat Pewarna Alam yaitu zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam pada
umumnya dari hasil ekstrak tumbuhan dan hewan. Kedua, Zat Pewarna Sintetis
yaitu zat warna buatan atau sintetis dibuat dengan reaksi kimia dengan bahan
dasar terarang batu bara atau minyak bumi yang merupakan hasil senyawa
turunan hidrokarbon aromatik seperti benzena, naftalena dan antrasena.
Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tak jenuh dengan
kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat warna dengan
serat. Zat organik tak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan zat warna adalah
senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan turunannya,
fenol dan turunannya serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang mengandung
nitrogen. Gugus auksokrom terdiri dari dua golongan, yaitu golongan anion dan
kation. Gugus kromofor adalah gugus yang menyebabkan molekul menjadi
berwarna karena memberi daya ikat terhadap serat yang diwarnainya.
Pada proses pewarnaan tekstil lebih banyak menggunakan zat warna sintetik
dibandingkan dengan zat warna alam karena zat warna sintetik dapat memenuhi
kebutuhan skala besar, warnanya lebih bervariasi dan pemakaiannya lebih praktis
(Montano, 2007). Sekitar 70% dari zat warna sintetik yang digunakan adalah zat
5
6
warna golongan azo yaitu zat warna sintetik yang mengandung paling sedikit satu
ikatan ganda N=N. Keunggulan zat warna azo ini adalah terikat kuat pada kain,
memberikan warna yang baik dan tidak mudah luntur (Blackburn dan
Burkinshaw, 2002).
2.1.2. Methyl Violet
Pada penelitian ini zat pewarna yang digunakan adalah basic methyl
violet. Metil violet adalah keluarga senyawa organik yang terutama digunakan
sebagai pewarna . Tergantung pada jumlah terpasang metil kelompok, warna
pewarna dapat diubah. Kegunaan utamanya adalah sebagai pewarna ungu
untuk tekstil dan memberikan warna ungu tua di cat dan tinta. Metil violet 10B
juga dikenal sebagai violet kristal (dan banyak nama lainnya) dan memiliki
kegunaan medis. Methyl violet termasuk zat warna golongan trifenilmetana yang
digunakan secara intensif untuk mewarnai nilon, nilon yang dimodifikasi
poliakrilonitril, wol, sutera dan kapas. Beberapa diantaranya dimanfaatkan untuk
kegunaan medis dan biologis. Methyl violet bersifat persisten dan sulit
dibiodegradasi. Berdasarkan studi yang dilakukan Black et al pada 1980,
didapatkan bahwa anilin yang terdapat dalam senyawa ini bersifat toksik,
mutagenik dan karsinogenik. Metil violet mencakup tiga senyawa yang berbeda
dalam jumlah kelompok metil melekat pada amina gugus fungsional . Mereka
semua larut dalam air , etanol , dietilen glikol dan dipropilen glikol .
qe : Banyaknya zat yang terserap persatuan berat adsorben (mg/g)
Ce : Konsentrasi adsorbat pada saat kesetimbangan (mg/L)
qm : Kapasitas adsorpsi maksimum (mg/L)
KL : Konstanta Langmuir (L/mg)
Persamaan di atas dapat diubah susunannya menjadi bentuk linear seperti
diperlihatkan pada persamaan (2.2).
(2.2)
20
2.4.5.2 Isotermis Adsorpsi Freundlich
Menurut Adamson (1990), menyatakan bahwa persamaan isotermis
Freundlich dapat digunakan untuk menghitung adsorpsi permukaan yang beragam
(adsorpsi multilayer). Persamaan ini merupakan perbandingan zat yang teradsorpsi per
berat adsorben dalam konsentrasi larutan. Persamaan isotermis Freundlich
memperkirakan intensitas adsorpsi yang terserap dalam biomassa. Persamaan
Freundlich adalah:
(2.3)
Dimana :
qe : Banyaknya zat yang terserap per satuan berat adsorben (mg/g)
Ce : Konsentrasi adsorbat pada saat kesetimbangan (mg/L)
n : Kapasitas adsorpsi maksimum (mg/L)
K : Konstanta Freundlich (L/mg)
Persamaan di atas dapat diubah kedalam bentuk linier dengan mengambil bentuk
logaritmanya:
log qe = log Kf + log Ce (2.4)
Bentuk linear dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian data
percobaan dengan teoritis, yaitu dengan cara membuat kurva linear antara Ce/qe
versus Ce. Konstanta Freundlich Kf dapat diperoleh dari kemiringan garis
lurusnya (intersep), sedangkan 1/n merupakan harga slope.
Kapasitas adsorpsi ion oleh adsorben adalah jumlah gugus yang dapat
dipertukarkan dalam adsorben. Kapasitas penukaran adsorpsi ion dari suatu
adsorben ialah jumlah ion yang dapat ditukar untuk setiap 1 gram adsorben
kering, atau jumlah ion yang dapat ditukar untuk setiap 1 ml adsorben basah.
Kapasitas adsorpsi ion ini biasanya dinyatakan dalam mg ek ion per gram
adsorben kering atau dalam mg ek ion per ml adsorben basah. Besarnya nilai
kapasitas adsorpsi suatu adsorben bergantung dari jumlah gugus-gugus ion yang
dapat ditukarkan yang terkandung dalam setiap gram adsorben tersebut. Semakin
21
besar jumlah gugus-gugus tersebut semakin besar pula nilai kapasitas adsorpsinya
(Underwood, 2002)
2.5 Biosorpsi
Biosorpsi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kemampuan biomassa dalam mengikat dan mengakumulasi ion atau senyawa
tertentu dari larutan (Volesky, 2007). Biosorpsi mulai banyak dikembangkan pada
awal tahun 1990. Saat itu sebuah perkembangan baru dicapai dengan diketahuinya
kemampuan biomassa dapat menyerap logam berat yang berbahaya bahkan pada
konsentrasi yang sangat kecil (<10 mg/L). Struktur kompleks mikroorganisme
memungkinkan banyak cara terbiosorpsinya logam berat pada sel
mikroorganisme. Sampai saat ini diketahui terdapat berbagai macam mekanisme
terjadinya biosorpsi walaupun belum dimengerti sepenuhnya. Oleh karena itu
dilakukan pengklasifikasian terhadap beberapa kriteria yang menentukan (Ahalya,
2003). Berdasarkan ketergantungan proses adsorpsi dengan metabolisme sel,
mekanisme biosorpsi dapat dibagi berdasarkan dua kriteria (Ahalya, 2003), yaitu:
1. Tergantung terhadap proses metabolisme
2. Tidak tergantung terhadap proses metabolisme
Sampai saat ini sudah mulai banyak penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan biosorpsi, seperti yang ada pada Tabel 2.4
22
Tabel 2.4 Variasi Judul penelitian dan hasil penelitian terdahulu.Peneliti Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian
Ita Juwita, dkk
2004 Kapasitas Adsorpsi Karbon Aktif Tempurung Kenari Terhadap Zat Warna Merak Raektif- 1
Didapatkan waktu kontak optimum yaitu 3 jam dengan berat adsorben yang tidak divariasikan yaitu hanya 1 gram dengan konsentrasi 50, 100, 150 , 200 dan 150 ppm.
Paulina, dkk 2004 Pengurangan Konsentrasi Merah Reaktif-1 Dari Lingkungan Perairan Melalui Adsorpsi Pada Karbon Mesopori (Cmk-1) Dan Karbon Aktif Kulit Kakao (Theobroma cacao
kapasitas adsorpsi 526,32 mg/g untuk adsorpsi oleh CMK-1 dan 2,33 mg/g untuk adsorpsi oleh ACHC. Dengan waktu optimum yang dihasilkan 4 jam.
Zulfikar Alamsyah
2007 Biosorpsi Biru Metilena Oleh Kulit Buah Kakao
Diperoleh kondisi optimum pada waktu kontak 60 menit dengan bobot biosorben 2 gr dengan konsentrasi 50 ppm
Muhibudin 2014 Biosorpsi Logam Berat Pb (Timbal) Dengan Mengunakan Biomassa Kulit Kakao Pada Limbah Artifisial
Diperoleh kadar penyisihan logam maksimum 99,02 % dan kapasitas adsorpsi maksimum 9,92 mg/g pada berat adsorben 1 gram , konsentrasi limbah 120 ppm dengan waktu 90 menit
2.6. Spektrofotometri Ultraviolet-VisibleIstilah Spektroskopi awalnya digunakan untuk menggambarkan suatu
cabang ilmu yang didasarkan kepada resolusi radiasi sinar tampak pada panjang
gelombang komponennya. Dengan berjalannya waktu, istilah spektroscopi
diperluas yaitu mencakup penelitian yang melibatkan seluruh spektrum
elektromagnetik dan beberapa teknik yang tidak melibatkan radiasi
elektromagnetik, seperti spektroskopi massa, spektroskopi elektron, dan
23
spektroskopi akustik. Instrumen spektroskopi pertama kali dikembangkan pada
daerah sinar tampak yang disebut dengan instrumen optik. Istilah ini sekarang
diperluas pada instrumen yang dirancang untuk sinar ultraviolet dan infra merah
(Skoog, 1982).
Menurut Pecsok (1976), spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran
panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang
diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang
cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang
lebih tinggi. Spektroskopi UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion
anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk
yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari
spektrum ini, tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara
kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan
mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu (Anto, 2010).
Spektrofotometri Ultraviolet-Visible merupakan suatu metode yang
mempelajari interaksi antara radiasi dan benda sebagai fungsi panjang gelombang
pada panjang gelombang 190-700 nm dan analisisnya dilakukan secara kualitatif
maupun kuantitatif. Spektrofotometer UV-Vis berfungsi untuk merekam
banyaknya radiasi cahaya yang diserap dari suatu sampel analitik. Cahaya
ultraviolet terdapat pada panjang gelombang 190 nm sampai 400 nm sedangkan
cahaya tampak (visible)terdapat pada panjang gelombang 400-700 nm. Meskipun
beberapa instrumen sinar tampak terlihat sering terlihat sampai sekitar 1000 nm
dekat dengan daerah infra merah (Hardjono Sastrohamidjojo,2007). Hubungan
antara warna dan warna komplementer pada berbagai panjang dapat dilihat
pada Tabel 2.4
24
Tabel 2.4 Warna dan Warna Komplementer pada Berbagai Panjang Gelombang
Panjang Gelombang warna Warna Komplementer
400-435 Violet Hijau kekuningan
435-480 Biru Kuning
480-490 Biru kehijauan Jingga
490-500 Hijau kebiruan Merah
500-560 Hijau Ungu kemerahan
560-580 Hijau kekuningan Ungu
595-610 Jingga Biru kehijauan
610-680 Merah Hijau kebiruan
680-700 Ungu kemerahan Hijau
(Sumber : Hardjono Sastrohamidjojo,2007)
Absorbansi dari sampel bergantung pada konsentrasi (mol/Liter),
panjang jalan yang dilalui (cm) dan konstanta fisik yang karakteristik dari
sampel (absorptivitas molar / ε). Kebergantungan konsentrasi, panjang jalan yang
dilalui, dan konstanta fisik dinyatakan dalam hukum Lambert Beer (Hardjono
Sastrohamidjojo, 2007).
A = ε x C x l
Keterangan:
A : absorbansi
ε : absorptivitas molar
C : konsentrasi dalam mol / Liter
l : panjang sel dalam satuan cm
Hukum Lambert Beer pada prakteknya tidaklah ideal, tetapi ada
faktor koreksinya berupa intersep sehingga secara umum mengikuti
persamaan linier y = aX + b, dalam hal ini Y adalah A (absorbansi) dan X adalah
C (konsentrasi) serta a sebagai slope (tg α), sedangkan b sebagai intersep, Aspl
adalah absorbansi sampel dan Cspl adalah konsentrasi sampel. Dengan membuat
25
kurva baku seperti pada Gambar 5, Cspl dan harga intersepnya dapat
ditentukan (Marham Sitorus, 2009).
Gambar 2.2 Kurva Baku Larutan Standar
Panjang gelombang maksimum larutan methyl violetpada pH di
sekitar 7 adalah 584 nm (Dogan dan Alkan, 2003). Konsentrasi suatu sampel
dapat ditentukan melalui pengukuran absorbansi. Syarat utama analit harus
larut sempurna dan larutannya berwarna atau dibuat berwarna. Methyl violet
merupakan pewarna karbon nitrogen yang berwarna ungu, sehingga dengan
adanya warna ini dapat diukur absorbansi pewarna tersebut menggunakan
spektrofotometer sinar tampak untuk diketahui konsentrasinya.