1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan patin (Pangasius sp.) merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki prospek yang sangat cerah, baik sebagai ikan hias maupun konsumsi (Arie, 2006). Chobiyah (2001), menyebutkan bahwa ikan patin memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah pertumbuhannya cukup cepat, nafsu makan tinggi, ketahanan yang tinggi terhadap kondisi limnologis yang cukup baik antara lain mampu bertahan selama beberapa jam dalam air berkadar oksigen < 0,5 mg/L, serta memiliki cita rasa daging yang lezat (Ghufron, 2010). Dalam kegiatan budidaya ikan, pertumbuhan merupakan parameter budidaya yang harus dicapai, karena pertumbuhan akan menentukan nilai produksi yang diharapkan. Pertumbuhan adalah pertambahan panjang atau bobot dalam kurun waktu tertentu (Effendi, 1997). Salah satu faktor yang berperan penting dalam pertumbuhan ikan adalah pakan. Haetami et al. (2005), menyatakan bahwa pakan yang mempunyai keseimbangan protein yang tepat dengan jumlah pemberian yang tepat akan menghasilkan pertumbuhan dan konversi pakan yang terbaik. Kurnia (2008), menjelaskan bahwa nilai kualitas pakan sangat ditentukan oleh seberapa lengkap ketersediaan komponen penyusunnya. Semakin lengkap komponen
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan patin (Pangasius sp.) merupakan salah satu komoditas perikanan yang
memiliki prospek yang sangat cerah, baik sebagai ikan hias maupun konsumsi
(Arie, 2006). Chobiyah (2001), menyebutkan bahwa ikan patin memiliki beberapa
kelebihan diantaranya adalah pertumbuhannya cukup cepat, nafsu makan tinggi,
ketahanan yang tinggi terhadap kondisi limnologis yang cukup baik antara lain
mampu bertahan selama beberapa jam dalam air berkadar oksigen < 0,5 mg/L,
serta memiliki cita rasa daging yang lezat (Ghufron, 2010).
Dalam kegiatan budidaya ikan, pertumbuhan merupakan parameter budidaya
yang harus dicapai, karena pertumbuhan akan menentukan nilai produksi yang
diharapkan. Pertumbuhan adalah pertambahan panjang atau bobot dalam kurun
waktu tertentu (Effendi, 1997). Salah satu faktor yang berperan penting dalam
pertumbuhan ikan adalah pakan. Haetami et al. (2005), menyatakan bahwa pakan
yang mempunyai keseimbangan protein yang tepat dengan jumlah pemberian
yang tepat akan menghasilkan pertumbuhan dan konversi pakan yang terbaik.
Kurnia (2008), menjelaskan bahwa nilai kualitas pakan sangat ditentukan oleh
seberapa lengkap ketersediaan komponen penyusunnya. Semakin lengkap
komponen penyusunnya, maka semakin tinggi pula kualitas pakan tersebut.
Komponen pakan yang lengkap tersebut meliputi protein, lemak, karbohidrat,
vitamin dan mineral. Sunarno (2001) menyatakan pada umumnya ikan yang
berada dalam proses pertumbuhan (benih) membutuhkan protein sebesar 30%-
36%. Menurut Gaffar dan Nasution (1990) dalam Ghufron (2010), benih ikan
patin membutuhkan protein berkisar antara 25%-37%.
Umumnya pakan yang mengandung nutrisi dasar protein hewani harganya
mahal, karena sebagian besar bahan bakunya masih diimpor (Resnawati, 2006).
Disatu sisi, pakan juga merupakan faktor penentu keuntungan dalam suatu usaha
budidaya ikan, karena umumnya 60% dari total biaya produksi digunakan untuk
memenuhi kebutuhan ikan akan pakan. Kesalahan dalam mengelola pakan akan
berakibat pada kerugian yang besar (Yudha, 2003). Oleh karena itu, manajemen
pemberian pakan secara tepat merupakan hal yang perlu dilakukan agar ikan yang
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kelangsungan hidup benih ikan patin
mengalami sedikit penurunan. Hasil tersebut kemungkinan disebabkan oleh kurangnya
kuantitas pakan, kepadatan tinggi dan kurangnya monitoring terhadap kesehatan benih
ikan patin, sesuai pendapat Syandri (1996) bahwa pemberian pakan dan lingkungan
yang tidak sesuai dapat menyebabkan mortalitas (kematian) tinggi pada ikan.
Minggawati (2006) juga menyatakan bahwa kepadatan tinggi mengakibatkan mortalitas
tinggi pada larva ikan. Dari hasil tebar ± 12.000 ekor diperoleh penjualan sebanyak
11.480 ekor, berarti sulvivar rate mencapai 95,7% atau kematian sekitar 4,3%.
Kematian ikan terjadi bukan disebabkan oleh kualitas air tetapi diduga melalui out let
air ketika ikan baru dilakukan penebaran dengan ukuran ± ¾ inchimeter dan ketika
melakukan sortir ikan serta penyiponan. Menurut Nikolsky (1963) dalam Armila (2000)
bahwa kematian ikan pada tingkat larva atau benih dapat disebabkan karena kenaikan
suhu, hama dan penyakit ikan dan perubahan sifat kimia fisika air pada lingkungan yang
baru. Namun selama pemeliharaan larva ikan patin jambal, pemberian pakan dan
19
pemantauan kualitas air serta pemberian obat selalu dilakukan untuk mengantisipasi
terjangkit penyakit dan kanibalisme sehingga sulvivar rate ikan peliharaan cukup tinggi
mencapai 95,7%.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan benih ikan patin yang
diberi pakan secara ad satiation (sekenyangnya) lebih rendah daripada pertumbuhan
benih ikan patin yang diberi pakan sebanyak 3-5% dari biomassanya. Kondisi tersebut
disebabkan jumlah pemberian makanan yang sedikit, sehingga sejumlah energi yang
diperoleh dari makanan tidak digunakan secara optimal untuk pertumbuhan karena juga
digunakan untuk pemeliharaan tubuh.
Effendi (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan ikan sangat dipengaruhi oleh
kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Pakan adalah faktor utama yang paling
berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan ikan karena sumber energi pada
ikan berasal dari pakan (Fujaya, 2002). Selama masa pemeliharaan, benih ikan patin
diberi pakan secara ad satiation (sekenyangnya), dengan frekuensi 1x sehari. Indikasi
ikan yang kenyang adalah ketika ikan tampak sudah mulai menjauhi pakan yang
diberikan dan bergerak ke dasar wadah (Utomo et al., 2005).
Hasil pertumbuhan benih ikan patin menunjukkan secara nyata bahwa manajemen
pemberian pakan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan benih ikan yang dihasilkan.
Hasil pengamatan selama pemeliharaan benih ikan patin juga menunjukkan adanya
pertumbuhan yang tidak seragam antara semua perlakuan. Hasil tersebut tidak sesuai
dengan hasil penelitian Utomo et al. (2005) yang melaporkan bahwa benih ikan mas
yang diberi pakan sampai kenyang memiliki pertumbuhan lebih tinggi daripada benih
ikan mas yang diberi pakan sebanyak 8% dari bobot biomassanya, masing-masing
adalah 3,80% dan 3,42%. Salah satu faktor penyebabnya diduga karena frekuensi
pemberian pakan yang sangat sedikit, sehingga pertumbuhan benih ikan patin terhambat
atau tidak optimal. Santoso dan Tata (2001) menyatakan bahwa ikan yang kekurangan
pakan mengalami pertumbuhan yang lambat karena sejumlah energi yang diperoleh dari
pakan yang dikonsumsi oleh benih ikan patin hanya digunakan untuk pemeliharaan
tubuh, tetapi tidak untuk pertumbuhannya. Dani et al. (2005) juga menyatakan hal yang
sama, bahwa ikan yang kekurangan pakan menyebabkan pertumbuhannya terhambat,
bahkan berdampak terhadap rendahnya persentase kelangsungan hidup.
20
Penyebab lainnya adalah kepadatan pemeliharaan yang tinggi, sehingga ruang
gerak ikan patin menjadi sempit dan terjadi kompetisi terhadap pakan maupun oksigen
(Minggawati, 2006). Kepadatan tinggi juga dapat mempercepat penurunan kualitas air
kultur, akibat akumulasi metabolit dan sisa pakan (Zonneveld et al., 1991). Kondisi
tersebut dapat menyebabkan benih ikan menjadi stress atau lemah, sehingga tidak nafsu
makan dan kemudian pertumbuhannya terhambat (Sidik et al., 2002). Faktor penting
lainnya yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan adalah kualitas air, dimana
temperatur air memegang peranan penting sebagai katalisator dalam proses
metabolisme tubuh ikan (Effendi, 2002). Secara keseluruhan hasil pengamatan
pelaksanaan kegiatan on farm budidaya ikan patin, khususnya pembesaran benih ikan
patin telah menjelaskan bahwa manajemen pemeliharaan, manajemen pakan dan
pemberian pakan serta manajemen kualitas air merupakan faktor kunci yang paling
berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan patin. Oleh karena itu, hal-hal tersebut menjadi
penting untuk diperhatikan dan diterapkan dalam pemeliharaan benih ikan patin, guna
mendapatkan benih ikan patin dengan pertumbuhan spesifik yang tinggi.
Kualitas air sangat mempengaruhi kelangsungan hidup ikan, karena ikan akan
memakan pakan yang diberikan dengan baik jika kualitas air dalam kondisi optimal
(Murtidjo, 1980). Bila kualitas airnya kurang baik, ikan mengalami penurunan nafsu
makan, sehingga menjadi lemah dan mudah terserang penyakit (Kordi, 2007). Selain
itu, air sebagai media internal ikan berperan penting sebagai pengangkut bahan
makanan ke seluruh tubuh, pengangkut sisa metabolime untuk dikeluarkan dari tubuh
ikan dan merupakan pengatur atau penyangga temperatur tubuh ikan (Effendi, 1997).
Kelabora (2010), menyatakan bahwa salah satu parameter kualitas air yang paling
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan mas adalah
temperatur. Temperatur merupakan sifat fisika air yang berperan penting dalam
mengatur proses yang terjadi di lingkungan perairan maupun fisiologis ikan (Wardoyo,
1990). Temperatur air sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ikan
(Irianto, 2005), karena ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak dapat
menghasilkan panas tubuh, sehingga temperatur tubuhnya tergantung atau
menyesuaikan pada temperatur dilingkungan sekelilingnya (Hoole et al., 2001). Ikan
memiliki batas toleransi tertentu terhadap temperatur untuk mempertahankan
pertumbuhannya agar tetap normal (Munajat et al., 2003). Perubahan temperatur air
21
berpengaruh terhadap nafsu makan ikan (Djarijah, 1995), pada kisaran temperatur 18-
250C ikan masih bertahan hidup tetapi nafsu makannya mulai menurun, sedangkan pada
temperatur dibawah 120C ikan akan mengalami kematian (Kordi, 2007).
pH (pondus hydrogeeni) air adalah indikasi dari bobot hidrogen yang berada
dalam air. Umumnya air di daerah tropis memiliki pH antara 5–6,8 atau tergolong
sedikit asam (Sitanggang, 2002). pH mempunyai pengaruh yang besar terhadap
kehidupan pakan alami, fisiologis ikan dan organisme perairan lainnya, serta
kesetimbangan suatu senyawa kimia dalam suatu perairan (Soedarti et al., 2006 ).
Secara ringkas hubungan antara pH air dan pengaruhnya terhadap ikan dapat dilihat
pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hubungan pH Air dan Kehidupan Ikan Budidaya.
Nilai pH air Pengaruh terhadap ikan budidaya< 4,55-6,5
6,5-9,0> 9,0
Air bersifat racun bagi ikan.Pertumbuhan ikan terhambat dan ikan sangat sensitif terhadap bakteri dan parasit.Ikan mengalami pertumbuhan optimal.Pertumbuhan ikan terhambat.
Sumber : Kordi, 2007.
Ikan dapat hidup pada pH 5–9,5 (Munajat dan Budiana, 2003). Pada pH rendah
atau < 5 (keasaman tinggi), maka kandungan oksigen terlarut akan berkurang, sehingga
ikan akan mengalami penurunan nafsu makan (Zonneveld et al., 1991). Nilai pH
optimum dalam mendukung pertumbuhan ikan pada kegiatan budidaya ikan air tawar
umumnya berkisar antara 6,7–8,5 (Irianto, 2005). Hasil pengamatan dan pengukuran
menunjukkan bahwa kualitas air selama pelaksanaan on farm pembesaran benih ikan
patin berada pada kisaran optimal, dengan nilai temperatur 26-280C dan pH 8,56-8,62.
Kandungan oksigen terlarut dalam air merupakan faktor penting bagi kehidupan
ikan, karena oksigen diperlukan bagi proses pernapasan dan merupakan komponen
utama bagi metabolisme ikan (Wardoyo, 1975). NTAC (1968) dalam Wardoyo (1975)
mengatakan, agar kehidupan ikan dapat layak dan kegiatan budidaya perairan berhasil
maka kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 4 ppm. Swingle dalam Boyd
(1982) menyatakan, jika oksigen kurang dari 0,3 mg/l dalam waktu yang lama akan
menyebabkan kematian ikan. Pada kisaran oksigen 1-5 mg/l ikan dapat bertahan hidup
tetapi pertumbuhannya lambat jika dibiarkan lama.
22
Pada kegiatan on farm ini nilai oksigen terlarut dalam perairan berkisar antara 8,2 – 8,9.
Ini menunjukkan bahwa kandungan oksigen dalam perairan cukup tinggi sehingga layak
bagi kehidupan ikan patin. Hal ini disebabkan oleh adanya aerasi dan suplay air
mengucur selama pemeliharaan.
Parameter kualitas air lainnya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
kelangsungan hidup benih ikan patin adalah ammonia. Ammonia yang ada di perairan
dapat berasal dari pakan dan hasil ekskresi ikan serta dari penguraian unsur dari
mikroba. Ammonia yang terukur di perairan berupa ammonia total yaitu NH4.
Pemberian pakan merupakan sumber nitrogen terbesar dalam system budidaya yang
dapat memacu pertambahan kadar ammonia. Feces dan sisa pakan yang tidak dimakan
oleh ikan akan terurai menjadi ammonia dalam budidaya untuk selanjutnya dibebaskan
ke kolom air (Coenco, 1989 dalam Armila, 2000). Ammonia mempengaruhi
kemampuan ikan untuk mengambil oksigen. Kadar ammonia yang tinggi dalam air
secara langsung dapat membunuh organisme perairan, yaitu dengan adanya peningkatan
konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak jaringan insang dan mempengaruhi
kemampuan darah untuk mengangkut oksigen (Colt dan Armstrong, 1982 dalam
Armila, 2000). Pescod (1979) dalam Armila (2000) menyatakan, banyaknya kandungan
ammonia yang dapat menunjang kelangsungan hidup ikan dan organisme perairan
lainnya adalah kurang dari 1 mg/L. Kandungan ammonia yang dapat menyebabkan
kematian ikan berkisar antara 1,2 mg/L sampai 2,0 mg/L (Albaster dan Lioyd, 1980
dalam Armila, 2000).
Selama pemeliharaan ikan patin dalam kegiatan on farm ini kandungan
ammonia yang terukur antara 0 (TD) sampai 0,639. Ini menunjukkan bahwa kandungan
ammonia dalam perairan budidaya ikan patin relative rendah sehingga masih layak
untuk kehidupan ikan patin. Hal ini disebabkan adanya penyiponan ketika terlihat agak
kotor adanya sisa-sisa pakan dan atau hasil buangan ikan sehingga kondisi perairan bisa
dikondisikan dalam situasi yang kondusif bagi kelangsungan hidup ikan. Menurut Boyd
(1990) dalam Armila (2000), ammonia akan meningkat seiring dengan meningkatnya
nilai pH. Namun dalam kegiatan on farm ini nilai pH cukup tinggi tetapi ammonia
relative rendah. Hal ini karena kepadatan ikan yang ditebar relative rendah sehingga
sekresi CO2 relatif rendah pula sementara suplay oksigen cukup tinggi sehingga tidak
menurunkan kondisi pH perairan.
23
4.2. Analisis Kelayakan Usaha Pendederan Ikan Patin
1. Investasi
a. Pembelian alat pembersihan Rp. 100.000,-
b. Pembelian alat panen dan sortir Rp. 150.000,-
c. Pembelian obat-obatan Rp. 170.000,-
d. Pembelian pakan Rp. 600.000,-
e. Pembelian kelengkapan penunjang kegiatan (lampu, pipa dll) Rp. 100.000,-
f. Beli benih ikan patin 28.000 ekor @ Rp.85 Rp. 2.380.000,-
Total Investasi Rp. 3.500.000,-
2. Pendapatan
Penjualan benih ikan patin :
a. Tahap I sebanyak 11.480 ekor @ Rp. 170 = 1.951.600,00
b. Tahap II sebanyak 15.600 ekor @ Rp.170 = 2.652.000,00
c. Total penghasilan = 4.603.600,00
3. Analisis Manfaat
a. Keuntungan
Keuntungan = Pendapatan – Total Investasi
= Rp. 4.603.600,00 – Rp. 3.500.000,00
= Rp. 1.103.600,00
b. BEP Produksi
BEP Produksi = Total Investasi : Harga Satuan
= Rp. 3.500.000,00 : Rp. 170,00/Ekor
= Rp. 20.588,24 ekor
Artinya jika produksi ikan patin di atas 20.588,24 ekor maka kegiatan usaha
tersebut mengalami keuntungan dan sebaliknya jika produksi di bawah
20.588,24 ekor berarti kegiatan usaha mengalami kerugian.
c. BEP Harga
BEP Harga = Total Investasi : Volume Produksi
= Rp. 3.500.000,00 : 27.080 Ekor
= Rp. 129,25 / Ekor
24
Artinya apabila harga jual ikan patin di atas Rp. 129,25/ekor maka kegiatan
usaha tersebut mengalami keuntungan dan sebaliknya jika harga jual ikan
patin di bawah Rp. 129,25/ekor berarti kegiatan usaha mengalami kerugian.
d. B/C Ratio
B/C Ratio = Pendapatan : Total Biaya
= Rp. 4.603.600,00 : Rp. 3.500.000,00
= 1,32
Maksudnya adalah dengan mengeluarkan biaya usaha sebesar Rp.
3.500.000,00 akan diperoleh penghasilan sebesar 1,32 kali lipat. Ini
menunjukkan bahwa kegiatan on farm (pendederan ikan patin) layak
dikembangkan. Nilai B/C ratio di atas 1 (satu) menunjukkan kegiatan
tersebut layak.
e. Jangka Waktu Pengembalian Modal
Jangka Waktu Pengembalian Modal = Total Biaya x 1periode keuntungan
= Rp. 3.500.000,00 : Rp. 1.103.600,00
= 3,2 Bulan atau 3,2 siklus
25
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kegiatan on farm dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kualitas air dalam kegiatan on farm dari awal tebar benih hingga penjualan masih
dalam kategori layak, terbukti dengan tingginya sulvivar rate dan rendahnya kematian
ikan patin.
2. Kegiatan usaha budidaya (pendederan) ikan patin layak dikembangkan mengingat usaha
tersebut memberikan keuntungan dalam usaha. Semakin tinggi jumlah tebar benih
semakin tinggi pula penghasilan yang diperoleh.
5.2. Saran
Seyogyanya kegiatan on farm ini perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak baik
dalam bimbingan di lapangan maupun pemasaran dan fasilitas sarana prasarana dalam
menunjang kelancaran kegiatan tersebut. Selain itu pengarahan awal komoditas dan
penggunaan sarana prasarana hendaknya terbuka sehingga penggunaan dana on farm
lebih optimal dan efisien sehingga dapat meminimalkan investasi dan lebih focus pada
perbanyakan benih sehingga optimalisasi penghasilan dapat dicapai.
26
DAFTAR PUSTAKA
APHA (American Public Health Association). 2005. Standard Method for The Examination of Waste Water. 21th Edition. American Water Work Association Water Pollution Control Federation. New York.
Arie, U. 2006. Budidaya Patin untuk Konsumsi dan Ikan Hias. Penebar Swadaya. Jakarta.
Boer, I. 2003. Manajemen Pemberian Pakan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNRI. Pekanbaru (Tidak diterbitkan).
Chobiyah, I. 2001. Pembesaran Ikan Patin (Colossoma macropomum). http://www.deptan.go.id. Diakses tanggal 20 Januari 2009.
Cholik, F., Ateng, G. J., R.P. Poernomo dan A. Jauzi. 2005. Akuakultur, Tumpuan dan Harapan Masa Depan Bangsa. Masyarakat Perikanan Nusantara dan Taman Akuarium Air Tawar TMII. Jakarta
Chumaidi, Yanti S. dan Agus P. 2005. Pemeliharaan Ikan Botia (Botia macracantha) dengan Pemberian Pakan Komersial dan Pakan Hidup (Pheretima sp.). Journal Aquacultura Indonesiana 6 (2) : 47-51.
Djarijah, A. S. 2001. Budidaya Ikan Patin. Kanisius. Yogyakarta.
Effendi, H. 1997. Telaah Kualitas Air Bagi pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Kanisius. Yogyakarta.
Effendie, M. I. 2002. Bilogi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.
Faulina, L. 2009. Upaya Memacu Laju Pertumbuhan Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii de Mann) dengan pemberian Pakan Keong Mas (Pomacea sp.). Skripsi. Fakultas Sains dan Teknik UNSOED. Purwokerto (Tidak dipublikasikan).
Firdaus dan Muchlisin Z. A. 2005. Pemanfaatan Keong Mas (Pomacea canaliculata) sebagai Pakan Alternatif dalam Budidaya Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina). ENVIRO 5 (1) : 64-66.
Ghufron, M. H. Kordi K. 2010. Budidaya Ikan Patin di Kolam Terpal. Lily Publisher. Yogyakarta.
Hadadi, A., Herry S., A. Surrachman dan E. Ridwan. 2006. Pemanfaatan Limbah Sawit untuk Bahan Pakan Ikan. BBPBAT Sukabumi. Sukabumi.
Kurnia, A. 2008. Dicari Pakan Ikan Berkualitas, Murah dan Ramah Lingkungan.
http://www.multiply.com. Diakses pada 27 Mei 2009.
Resnawati, H. 2006. Retensi Nitrogen dan Energi Metabolisme Ransum yang Mengandung Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) pada Ayam Pedaging. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, http://www.pustaka-deptan.go.id. Diakses tanggal 13 Januari 2010.
Ridwan. 1992. Nilai Tambah Tepung Cacing. http://www. j awatengah.go.id . Diakses tanggal 5 April 2009.
Rokhmani, M., N. Abulias dan I. Sulistyo. 2001. Pemberian Tubifex sp dengan Lama Inklusi Berbeda dalam HCG sebagai Pakan Gurami (Osphronemus gouramy Lac.) dan Pengaruhnya Terhadap Kelangsungan Hidup, Pertambahan Protein dan Lemak Tubuh. Jurnal Sains Akuatik. 4 (2) : 21-25
Samidjan, I. 2002. Teknologi Pembesaran Ikan Klon (Amphiprion percula) dengan Menggunakan Pakan Tubifex sp. Prosiding Seminar RIPTEK Kelautan Nasional. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP. Semarang.
Soedarti, T., Jayanti, A. dan Agoes S. 2006. Diversitas Fitoplankton pada Ekosistem Perairan Waduk Sutami, Malang. Berkala Penelitian Hayati 11: 97-103.
Soeseno, S. 1984. Dasar-dasar Perikanan Umum. CV. Yasaguna : Jakarta.
Suhenda, M., L. Setijaningsih, Y. Suryanti. 2003. Penentuan Rasio Antara Karbohidrat dan Lemak pada Pakan Benih Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9(1) : 21-30.
Utomo, N.B.P., P. Hasanah dan I. Mokoginta. 2005. Pengaruh Cara Pemberian Pakan Yang Berbeda Terhadap Konversi Pakan dan Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio) Di Keramba Jaring Apung. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(2): 49-52.
Wardoyo, S. T. H., Muchsin. 1990. Pengelolaan kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Fakultas Perikanan dan Pusat Studi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan. Institut Pertanian Bogor : Bogor.
Wiramiharja, Y., Rina H., Irma M. H. dan Y. Niwa. 2007. Nutrisi dan Bahan Pakan Ikan Budidaya. Balai Budidaya Air Tawar Jambi dan JICA. Jambi.
Yudha, I. G. 2003. Studi Pertumbuhan Ikan KerapuBebek (Cromileptes altivelis) dalam Keramba jaring Apung (KJA) di Pulau Puhawang, Kabupaten Lampung Selatan. http://www.skripsi.unila.ac.id. Diakses pada 29 Mei 2009.
Zonneveld, N., E. A. Huisman and J. H. Boon. 1991. Prinsip – prinsip Budidaya Ikan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.