Page 1
ASUHAN KEPERAWATAN PADA DEWASA-LANSIA
PENYAKIT KOLESISTISIS
SGD 8
IDA AYU INTEN RATNA KESWARI (1302105029)
DEWA AYU MADE YUNI MARYASTUTI (1302105030)
PUTU RIAN PRADNYANI (1302105031)
NI MADE KARISMA WIJAYANTI (1302105032)
I DEWA MADE SURYA WIBAWANTARA (1302105034)
HARISTA MIRANDA SALAM (1302105059)
NI WAYAN ARI SATRIYANI (1302105061)
NI MADE YULI KUSUMA DEWI (1302105066)
DEWA AYU DWI SHINTYA ANGGRENI (1302105067)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
Page 2
Learning Task
Kasus II
Tn. C datang ke IRD jam 08.00 pagi dengan keluhan hipertermi, klien mengeluhkan
nyeri saat jam 12.00 malam. klien mengeluhkan nyeri tajam abdomen kanan atas,
nyeri bertambah saat klien menarik nafas, skala nyeri 4 (1-10). TD : 120/80 mmHg,
RR : 20 x/menit, N : 80x/menit, T : 40º C. klien didiagnose kolesistisis. Dari nilai lab
diketahui terdapat peningkatan leukosit
A. Buatlah konsep dasar gangguan system pencernaan tersebut (pengertian,
epidiemologi, etiologi, manifestasi klinik, patofisiologi, pemeriksaan diagnostic,
penatalaksanaan medis)
B. Buatlah asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, prioritas diagnose
keperawatan, rencana keperawatan, intervensi keperawatan, dan evaluasi.
(gunakan NANDA, NIC, NOC)
C. Health Education yang mungkin diberikan pada klien dengan gangguan tersebut !
Page 3
PEMBAHASAN
1.1. Pendahuluan Kolesistisis
1.1.1. Definisi Kolesistisis
Kolesistitis adalah inflamasi akut atau kronis dari kandung empedu,
biasanya berhubungan dengan batu empedu yang tersangkut pada duktus
kistik, menyebabkan distensi kandung empedu (Doenges,1999).
Klasifikasi kolesistisis yaitu :
a. Kolesistisis akut
Kolesistisis akut merupakan inflamasi akut pada kandung empuedu, faktor
presipitasi yang paling sering memicu keadaan ini adalah obstruksi batu
empedu. Sepuluh persen kasus kolesistisis akut tanpa obstruksi batu
empedu biasanya ditemukan pada pasien-pasien yang sakit berat, seperti
keadaan pascabedah, trauma berat dan luka bakar berat. (Mitchell, 2008).
b. Kolesistisis kronis
Kolesistisis kronik yaitu keadaan di mana mokosa dan jaringan otot polos
empedu diganti dengan jaringan ikat, sehingga kemampuan memekatkan
empedu hilang.
Jadi, kolesistisis adalah suatu peradangan akut maupun kronis pada
kandung empedu.
1.1.2. Epidemiologi Kolesistisis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RS Al-Islam Bandung pada
tahun 2007, didapatkan jumlah penderita kolesistitis sebanyak 174 kasus
dengan rentang usia antara 10 – 80 tahun. Kolesistitis kronis merupakan jenis
kolesistitis yang paling banyak ditemukan yaitu 163 kasus (93,68 %) dan
kolesistitis akut ditemukan sebanyak 11 kasus (6,32 %). Kejadian terbanyak
ditemukan pada kelompok usia 40 – 49 tahun yaitu sebanyak 57 kasus (32,76
%). Kolesistitis lebih banyak terjadi pada wanita, yaitu 132 kasus (75,86 %)
Page 4
sedangkan pada pria sebanyak 42 kasus (24,14 %) dengan perbandingan
wanita dan pria adalah 3:1.
1.1.3. Etiologi Kolesistisis
Kolesistitis dapat terjadi akibat :
1. Adanya obstruksi pada duktus sebagian akibat adanya batu empedu yang
biasa di temukan pada 96% penderita dengan kolesistitis.
2. Enzim pankreas mungkin juga dapat menyebabkan timbulnya kholeosistitis
akut, sebagai akibat reguritasi yang di sebabkan adanya obstruksi fungsional
pada duktus kholeodukhus dan duktus pankreatikus.
3. Inflamasi oleh bakteri mungkin saja merupakan bagian integral dari
kholeosistitis akut.(Hadi. Sujono, 1995)
Penyebab lain kolesistitis adalah:
a. Batu empedu
Dalam 90% kasus tentang, kolesistitis akut disebabkan oleh batu empedu
yang menghalangi saluran di kandung empedu. Sumbatan batu empedu
pada duktus sistikus menyebabkan distensi kandung empedu dan
gangguan aliran darah dan limfe, kemudian bakteri komensal berkembang
biak sehingga mengakibatkan inflamasi pada saluran kandung empedu.
b. Pembedahan
Dalam pembedahan dapat terjadi perubahan fungsi tubuh. Kolesistitis
dapat terjadi sebagai akibat dari jejas kimiawi oleh sumbatan batu empedu
yang menjadi predisposisi terjadinya infeksi atau dapat pula terjadi karena
adanya ketidakseimbangan komposisi empedu seperti tingginya kadar
garam empedu atau asam empedu, sehingga menginduksi terjadinya
peradangan akibat jejas kimia.
c. Infeksi
Jika terjadi pembentukan batu empedu maka akan terjadi infeksi dengan
adanya kuman seperti E. Coli, salmonela typhosa, cacing askaris, atau
karena pengaruh enzim – enzim pankreas karena sistem saluran empedu
Page 5
adalah sistem drainase yang membawa empedu dari hati dan kandung
empedu ke daerah dari usus kecil yang disebut duodenum.
d. Luka bakar
Respon umum pada luka bakar > 20 % adalah penurunan aktivitas
gastrointestinal. Hal ini disebabkan oleh kombinasi efek respon
hipovolemik dan neurologik serta respon endokrin terhadap adanya
perlukaan luas.
e. Pemasangan infus dalam jangka waktu lama
Pemasangan infus lama dapat menyebabkan radang pada kandung empedu
karna cairan infus banyak mengandung elektrolit sehingga jika terpasang
lama maka dapat membentuk kristal yng disebut batu empedu selain itu
juga cairan tersebut sangat pekah sehingga tidak dapat diserap oleh
empedu di kandung empedu.
f. Trauma abdomen
Trauma abdomen adalah suatu keadaan klinik akibat kegawatan di rongga
abdomen biasanya timbul secara mendadak dengan nyeri sebagai keluhan
utama yang memerlukan penanganan segera. Hal ini bisa disebabkan
karena adanya inflamasi/peradangan pada kandung empedu.
1.1.4. Manifestasi Klinik Kolesistisis
a. Kolesistisis akut ditandai dengan nyeri hipokondria kanan yang menetap,
kolik bilier, perubahan warna urine dan feses, defisiensi vitamin, pireksia,
mual dengan atau tanpa ikterus, demam, takikardia, diaphoresis dan nyeri
tekan pada kuadran kanan atas dengan tanda menghentikan nafas sejenak
(Murphy’s sign positif). Jika leher kandung empedu tersumbat, dapat
terjadi empiema pada kandung empedu.
b. Kolesistisis kronis ditandai dengan nyeri abdomen bagian atas yang hilang
timbul, kembung, flatulens, dan intoleransi makanan berlemak. (Grace,
2007).
Page 6
1.1.5. Patofisiologi Kolesistisis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut
adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung
empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%)
sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu
(kolesistitis akut akalkulus) (Huffman JL, et al, 2009).
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis
cairan empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung
empedu menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga
terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu (Gambar 2). Meskipun
begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat
menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas.
Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan respon peradangan pada
kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan
prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu yang
diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. (Donovan JM, 2009).
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50
sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering
dibiak dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella,
Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium.
Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat
menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang
akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung
empedu (Cullen JJ, et al, 2009)
Page 7
(Gambar : Patofisiologi kolesistitis akut)
Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan
resiko terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan
dengan trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan
yang menyertai persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan
besar nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang
mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang
mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri
kandung empedu (misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio
cholera) dan infeksi parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin
juga tampak bersama dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis,
penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis, aktinomises) (Isselbacher, K.J,
et al, 2009).
Page 8
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama
yang mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung
empedu tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang
berfungsi untuk mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari
cairan empedu. (Sitzmann JV, et al, 2008).
1.1.6. Pemeriksaan Diagnostik Kolesistisis
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita batu
empedu diantaranya hitung sel darah lengkap, urinalisis, pemeriksaan
feses, tes fungsi hati dan kadar amilase serta lipase serum. Pada episode
kolik biliaris, sebagian besar penderita mempunyai hasil laboratorium
yang normal. Tetapi bila disertai komplikasi dapat menunjukkan
leukositosis dan peningkatan kadar enzim hati (aspartateam
inotransferase, alanineaminotransferase, fosfatase alkali), gamma
glutamyl transferase dan bilirubin serum, terutama jika terdapat batu pada
duktus koledokus. Pada pemeriksaan urinalisis, adanya bilirubin tanpa
adanya urobilinogen dalam urin dapat mengarahkan pada kemungkinan
adanya obstruksi saluran empedu. Sedangkan pada pemeriksaan feses,
tergantung pada obstruksi oleh batu empedu, bila tedadi obstruksi total
saluran empedu, maka feses tampak pucat (akholis) (Strasinger, SK,
2001). Pada penderita batu empedu dengan pankreatitis dapat terjadi
peningkatan kadar amilase dan lipase serum, di samping tes fungsi hati
yang abnormal. Diduga terdapat kolesistitis akut j ika ditemukan
leukositosis dan sampai 15% penderita mempunyai peningkatan sedang
dari aspartate aminotransferase, alanine aminotransferase, fosfatase alkali
dan bitirubinserum.(Vogt, D.P, 2002).
b. Pemeriksaan Radiologis
- Ultrasonography (USG)
Page 9
Ultrasonography (USG) merupakan suatu prosedru non-invasif yang
cukup aman, cepat, tidak memerlukan persiapan khusus, relatif tidak
mahal dan tidakmelibatkan paparan radiasi. Indikasi adanya kolesistitis
akut pada pemeriksaan USG ditunjukkan dengan adanya batu, penebalan
dinding kandung empedu, cairan perikolesistikus dan Murphy sign positif
akibat kontak dengan probe USG. (Tait, N, 1995).
- CT scan kandung empedu
Pada pemeriksaan ini gambaran suatu organ ditampilkan dalam satu
seripotongan cross-sectional yang berdekatan, biasanya 10-12 image.
Deteksi batu empedu dapat dilakukan juga dengan Computed tomography,
tetapi tidak seakurat USG dalam mendeteksi batu empedu, oleh karena itu
CT scan tidak digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan kemungkinan
penyakit biliaris kronik. Pada kasus akut, pemeriksaan ini dapat
menunjukkan adanya penebalan dinding kandung empedu atau adanya
cairan perikolesistikus akibat kolesistitis akut. (Tait, N, 1995).
- Cholescintigraphy
Pemeriksaan cholescintigraphy menggunakan zat radioaktif, biasanya
derivat imidoacetic acid, yang dimasukkan ke dalam tubuh secara
infravena, zat ini akan diabsorpsi hati dan diekskresikan ke dalam
empedu. Scan secara serial menunjukkan radioaktivitas di dalam kandung
empedu, duktus koledokus dan usus halus dalam 30-60 menit.
Pemeriksaan ini dapat memberikan keterangan mengenai adanya
sumbatan pada duktus sistilars. Cholescintigraphy mempunyai nilai
akurasi 95% untuk pasien dengan kolesistitis akut, tetapi pemeriksaan ini
mempunyai nilai positif palsu 3040% pada pasien yang telah dirawat
beberapa minggu karena masalah kesehatan lain, terutama jika pasien
tersebut telah mendapat nutrisi parenteral. (Johnston D.E, 1993).
- Magnetic Resonunce Imaging dan Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography
Page 10
Pada Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) adalah
suatu pemeriksaan yang relatif baru, yang menggunakan MRI imaging
dengan software khusus. Pemeriksaan ini mampu menghasilkan gambaran
(images) yang serupa Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatograpfty
(ERCP) tanpa risiko sedasi, pankreatitis atau perforasi. MRCP membantu
dalam menilai obstruksi biliaris dan anatomi duktus pankreatikus.
Pemeriksaan ini lebih efektif dalam mendeteksi batu empedu dan
mengevaluasi kandung empedu untuk melihat adanya kolesistitis.
(Ahmed, A. 2000).
1.1.7. Penatalaksanaan Medis Kolesistisis
a. Penatalaksanaan konservatif pada keadaan akut antara lain:
a) Pasien dalam keadaan menderita penyakit yang berat memerlukan
perawatan dan pemberian cairan infus
b) Diperlukan istirahat baring
c) Pelaksanaan puasa serta memasang pipa nasogastrik
d) Pemberian obat analgesik dan antibiotik
b. Terapi operatif kolesistektomi
Kolesistektormi merupakan satu-satunya terapi definitive untuk
penderita batu simtoriatik, yaitu dengan mengangkat batu dan kandung
empedu, dapat mencegah berulangnya penyakit. Kolesistektomi dapat
dilakukan dengan cara operasi membuka rongga perut (laparotomi
abdomen) atau dengan menggunakan laparoskopi. Kolesistektomi
laparoskopi telah berkembang cepat setelah pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1987, menggantikan kolesistektomi terbuka dan 80-90%
kolesistektomi di Inggris dilakukan dengan cara ini. Kolesistektomi
laparoskopi adalah suatu prosedur invasif dengan membuat insisi kecil
pada abdomen serta menggunakan kamera video kecil untuk memperbesar
organ di dalam rongga perut. Dengan menggunakan monitor video sebagai
pemandu, dokter bedah mengidentifikasi, mengisolasi dan mengangkat
Page 11
kandung empedu dengan laparoskopi.Kadang-kadang dokter bedah
melakukan pemeriksaan secara laparoskopi terlebih dahulu untuk melihat
adanya kelainan lain. Risiko dari teknik laparoskopi ini adalah trauma
duktus hepatikus atau duktus koledokus. (Beckingham, 2001).
c. Terapi non-operatif
Beberapa teknik non-operatif telah digunakan untuk mengobati batu
empedu simtomatik, seperti pemberian obat pelarut batu empedu
(chenodeoxycholic dan ursodeorycholic acid) dan menghancurkan batu
dengan utracorporeal shockwave lithotripsy. Ursodeoxycholic acid dapat
menghambat sintesis kolesterol oleh hati. Kurang dari l0% pasien dengan
batu empedu dapat ditangani secara non-operatif dan hampir setengah dari
pasien yang terpilih untuk pengobatan non-operatif berhasil, tetapi
pengobatan cara ini membutuhkan biaya lebih banyak karena
pengobatannya lebih lama (sampai 5 tahun). Pengobatan cara ini hanya
untuk pasien dengan batu empedu berulcuran kecil dan batu kolesterol
tanpa kalsifikasi. Extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL) adalah
suatu terapi nonoperatif, yang menggunakan gelombang suara berenergi
tinggi yang dapat menghasilkan shock wave. Shock wave ini akan
ditransmisikan melalui air dan jaringan serta mempunyai kemampuan
untuk memecah batu empedu. Teknik ini sudah jarang dilakukan karena
tergeser oleh kolesisteltomi laparoskopi. (Beckingham, 2001).
Page 12
1.2. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Kolesistisis
ASUHAN KEPERAWATAN KOLESISTISIS
1.2.1 Pengkajian
a. Identitas Pasien
- Nama Lengkap : Tuan C
- Umur : -
- Jenis Kelamin : Laki-laki
- Tempat dan Tanggal Lahir : -
- Alamat : -
b. Pemeriksaan Tanda-tanda Vital
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Laju pernafasan : 20 x/menit
- Denyut nadi : 80 x/menit
- Suhu tubuh : 400 C
c. Riwayat Penyakit
- Status kesehatan saat ini : pasien mengeluh hipertermia dan nyeri di
bagian abdomen kanan atas.
- Riwayat penyakit terdahulu : tidak ada data
- Riwayat penyakit keluarga : tidak ada data
d. Pemeriksaan Fisik
Data subjektif :
- Pasien mengeluh hipertermi.
- Pasien mengeluh nyeri tajam abdomen kanan atas, nyeri bertambah ketika
pasien menarik nafas.
- Pasien mengatakan skala nyeri 4 (1-10).
Data objektif :
- Skala nyeri 4 dari rentang 1-10
- Suhu tubuh pasien 400C
Page 13
e. Pengkajian Nyeri Dengan Metode PQRST
- P (Provocate) = nyeri disebabkan karena penyakit kolesistiasis
- Q (Quality) = nyeri tajam
- R (Region) = nyeri dirasakan di daerah abdomen kanan atas
- S (Severity) = tingkat keparahan nyeri skala 4 (1-10)
- T (Time) = nyeri dirasakan ketika pasien menarik nafas.
f. Pola Fungsi Kesehatan (11 Pola Gordon)
- Persepsi terhadap kesehatan-manajemen kesehatan
Kaji apakah pasien mengkonsumsi rokok, alcohol, atau mengalami alergi
makan dan obat.
- Pola aktivitas dan latihan
Kaji apakah pasien mengalami kelemahan atau kegelisahan.
- Pola istirahat dan tidur
Kaji bagaimana pola tidur pasien (frekuensi, kalitas/sering terbangun, dan
mengalami insomnia/tidak).
- Pola nutrisi
Kaji apakah pasien mengalami mual muntah dan asupan makanan yang
dikonsumsi.
- Pola eliminasi
Kaji apakah pasien mengalami perubahan warna urine dan feses.
- Pola kognitif-perceptual
Kaji bagaimana pasien mengatasi rasa nyeri atau manajemen nyeri apabila
nyeri timbul.
- Pola konsep diri
Kaji apakah pasien mengalami gangguan citra tubuh.
- Pola koping
Kaji apakah pasien merasa takut atau cemas.
- Pola seksual-reproduksi
Kaji apakah pasien mengalami keluhan mengenai seksualitas.
Page 14
- Pola peran-hubungan
Kaji bagaimana dukungan keluarga kepada pasien.
- Pola agama dan kepercayaan
Kaji apakah pasien meminta dukungan atau kedatangan rohaniawan.
g. Pemeriksaan Penunjang
- Hasil laboratorium : jumlah leukosit meningkat
1.2.2. Analisa Data
No Data Interpretasi Masalah keperawatan
1 a. Data subjektif :
Tuan C
mengeluh
hipertemi
(demam).
b. Data objektif :
Suhu tubuh
400C, tekanan
darah 120/80
mmHg, denyut
nadi 80 x/menit
dan laju
pernapasan 20
x/menit.
Hipertermia
Melakukan proses peradangan
Kolesistisis
Bakteri melepas endokrin merangsang tubuh untuk melepas
zat pathogen dan oleh leukosit
Impuls disampaikan ke hipotalamus bagian
thermoregulator melalui ductus trofacicus
Suhu tubuh meningkat
Invasi kuman ke dalam tubuh
Page 15
2. a. Data subjektif :
Tuan C
mengeluh nyeri
tajam di
abdomen kanan
atas dan nyeri
terasa bertambah
ketika menarik
nafas.
c. Data objektif :
Skala nyeri 4
rentang (1-10).
Nyeri akut
Hipertermia
Kolesistisis
Kandung empedu terinfeksi
Terjadi proses peradangan, pembengkakan dan dipenuhi oleh sel-
sel radang limfosit.
Merangsang serabut saraf reseptor nyeri untuk mengeluarkan enzim
bradikinin dan serotonin.
Impuls disampaikan ke serat saraf aferen simpatis
Persepsi nyeri pada kuadran kanan atas
Nyeri Akut
Page 16
1.2.3. Prioritas Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia berhubungan dengan penyakit (kolesistisis) ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal yaitu 400C.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan pasien
melaporakan nyeri secara verbal dengan skala nyeri 4 (1-10).
1.2.4. Intervensi Keperawatan
NoDiagnosa
Keperawatan
Tujuan dan Kriteria
HasilIntervensi Rasional
1 Nyeri akut
berhubungan
dengan agen cedera
biologis ditandai
dengan pasien
melaporakan nyeri
secara verbal
dengan skala nyeri
4 (1-10).
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
selama 2 x 24 jam,
diharapkan terjadi
penurunan skala nyeri.
Dengan kriteria hasil :
NOC Label.
a. Pain Control
- Pasien mampu
mengenali nyeri
(skala, intensitas,
frekuensi, lokasi
dan lamanya nyeri).
- Pasien mampu
menggunakan
analgesik yang
direkomendasikan
NIC Label :
a. Pain
Management
- Lakukan
pengkajian secara
komprehensif dari
rasa nyeri,
termasuk lokasi,
karakteristik,
durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas
dan faktor
pencetus nyeri.
- Tentukan dampak
dari pengalaman
nyeri terhadap
kualitas hidup
1. Dengan melakukan
pengkajian yang
lengkap maka akan
dapat memberikan
pengobatan yang
tepat.
2. Untuk mengetahui
pengaruh atau
dampak apa yang
akan terjadi pada
pasien ketika nyeri.
3. Untuk memberikan
informasi pada
pasien sehingga
dapat melakukan
perawatan mandiri.
4. Agar pasien dapat
Page 17
- Pasien mampu
menggunakan
teknik non-
farmakologi yang
direkomendasikan
b. Pain Level
- Skala nyeri pasien
berkurang dari
skala 4 menjadi 2
dengan rentang (1-
10)
- Rasa nyeri pasien
berkurang ketika
sedang menarik
nafas.
- Pasien mampu
mempertahankan
tanda-tanda vital
dalam rentang
normal ( T = 36,5o
C – 37,5o C , TD =
120/80 mmHg, RR
= 16-20 x/menit, N
= 60-100x/menit)
seperti : tidur,
nafsu makan,
aktivitas dan
pengetahuan.
- Ajarkan pasien
prinsip
manajemen nyeri.
- Ajarkan pada
pasien tentang
metode
farmakologi nyeri.
- Ajarkan pasien
tentang cara
menggunakan
teknik non
farmakologi
seperti terapi
musik dan
distraksi.
- Kolaborasikan
dengan pasien,
keluarga atau
dengan tenaga
medis lain dalam
memilih dan
mengimplementas
ikan teknik non-
farmakologikal
yang sesuai.
b. Analgesic
melaksanakan
metode
farmakologi
dengan tepat.
5. Untuk
mengalihakan
perhatian pasien
terhadap rasa
nyerinya.
6. Kolaborasi
dilakukan untuk
mendapatkan hasil
yang lebih
maksimal.
7. Untuk menghindari
terjadinya
kesalahan atau
tertukar dalam
pemberian
analgesic dari
pasien yang datu
dengan pasien
lainnya.
8. Agar tidak salah
dalam pemberian
obat analgesic.
9. Untuk
mendapatkan hasil
yang optimal
sesuai dengan
Page 18
Administration
- Periksa catatan
medis untuk obat,
dosis, dan
frekuensi
analgesic yang
diresepkan.
- Periksa riwayat
alergi terhadap
obat.
- Tentukan pilihan
analgesic
(narcotic, non-
narcotic atau
NSAID)
berdasarkan jenis
dan tingkat
keparahan nyeri.
- Tentukan tanggal
pemberian
analgesic, rute
pemberian dan
dosis untuk
mencapai efek
analgesic yang
optimal.
tingkat nyeri
pasien.
10. Untuk mengetahui
kefektifan efek dari
analgesik.
2 Hipertermia
berhubungan
dengan penyakit
(kolesistisis)
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
selama 2 x 24 jam,
diharapkan suhu tubuh
NIC Label :
a. Temperature
Regulation
- Memantau suhu
1. Untuk mengetahui
perubahan suhu
tubuh pasien.
2. Agar dapat
Page 19
ditandai dengan
peningkatan suhu
tubuh diatas kisaran
normal yaitu 400C.
pasien dalam rentang
normal (36,5-37,50C).
Dengan kriteria hasil :
NOC Label
a. Thermoregulation
- Pasien mengalami
penurunan suhu
tubuh.
- Laju pernapasan
dan tekanan nadi
dalam rentang
normal.
- Pasien mampu
melaporkan
kenyamanan suhu
tubuhnya.
- Pasien tidak
mengalami
perubahan warna
kulit.
tubuh pasien setiap
2 jam sekali.
- Pantau warna dan
suhu kulit pasien.
- Pantau tekanan
darah, denyut nadi
dan laju
pernapasan pasien.
- Berikan pasien
asupan cairan dan
nutrisi yang
adekuat.
- Berikan
antipiretik.
b. Fever treatment
- Pantau insisible
water loss pasien.
- Kompres pasien
dengan kantong es
yang ditutupi
handuk di bagian
selangkangan dan
ketiak.
memberikan
tindakan dengan
cepat apabila
terjadi perubahan
pada warna dan
suhu kulit pasien.
3. Untuk memantau
kondisi klien atau
mengindentifikasi
masalah dan
mengevaluasi
respons klien
terhadap
intervensi.
4. Untuk
meningkatkan
daya tahan tubuh
pasien sehingga
mencegah
terjadinya
dehidrasi maupun
kekurangan nutrisi.
5. Memberikan efek
untuk menurunkan
hipertermi.
6. Untuk haluaran
cairan pasien.
7. Untuk menurunkan
demam pasien.
Page 20
1.2.5. Evaluasi Keperawatan
Hari/tanggal Diagnosa Jam Evaluasi Paraf
Rabu, 18
Juni 2014
a. Nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera biologis
ditandai dengan perubahan
frekuensi pernapasan dan
melaporakan nyeri secara
verbal.
08.00 S : pasien mengatakan bahwa
rasa nyeri di abdomen kanan
atas mulai berkurang saat
menarik nafas. Pasien
menyatakan bahwa rasa
nyerinya ada di skala nyeri 2
dari rentang 1-10.
O : skala nyeri 2 dari rentang
1-10 dan RR pasien masih
dalam rentang normal 20
x/menit.
A : masalah teratasi.
P : tingkatkan kondisi pasien
dan lanjutkan intervensi.
Rabu, 18
Juni 2014
b. Hipertermia berhubungan
dengan penyakit
(kolesistisis) ditandai
dengan peningkatan suhu
tubuh diatas kisaran normal.
08.15 S : pasien mengatakan bahwa
suhu tubuhnya telah menurun.
O : suhu tubuh 370C dan
tampak tidak terjadi perubahan
warna kulit.
A : masalah teratasi
P : pertahankan suhu tubuh
pasien.
Page 21
1.3. Health Education yang Mungkin Diberikan Pada Pasien Kolesistisis
- Penkes pasien setelah pulang kerumah :
1. Perawat memberikan informasi kepada klien dan keluarga tentang potensi
terjadinya sindrom setelah kolesistektomi. Berikan instruksi ke klien atau
anggota keluarga, termasuk: perawatan lanjutan, tanda-tanda kekurangan gizi
kateter, infeksi, rawat jalan dan janji kolangiografi berikutnya.
2. Perawat mengajarkan klien tentang terapi diet yang tepat, manajemen nyeri,
perawatan luka insisi, pembatasan aktivitas dan perawatan kesehatan tindak
lanjut.
3. Perawat mengingatkan pasien untuk meminum obat-obatan harian yang
diperlukan untuk proses penyembuhan.
4. Perawat memberi tahu klien untuk melakukan diet rendah lemak dan
menghindari makanan berlemak tinggi seperti susu, gorengan, alpukat,
mentega dan cokelat.
5. Perawat mengajarkan klien cara perawatan diri di rumah dan semua hal yang
diperlukan untuk perawatan di rumah.
Page 22
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed A., CheunB R.S., Keeffe E.B. Management of gallstone and their
complications. Am Fam Physician 2000;6 1:1 673-80, 1 687-8.
Beckingham I.J. ABC of diseases of liver, pancreas and biliary system:
Gallsone disease. BMJ 2001 ;9:56-9.
Bulechek, G.M., Butcher, H.W. & Dochterman, J.M. 2008. Nursing intervention
classification (NIC). (5th edition). St Louis: Mosby Elsevier.
Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum
gallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. Aug
2009;232(2):202-7.
David GG, Al-Sarira AA, Willmott S, et al ; Pengelolaan sakit saluran
kandung kemih akut di Inggris. Br J Surg. Br J Surg. 2008 Apr;95(4):472-6. Apr
2008; 95 (4) :472-6.
Dr. H. Y. Kuncara Aplikasi klinis patofisiologi: Pemeriksaan dan manajemen,
edisi 2: 2009; Buku kedokteran EGC
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geissler. 1999.
Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis.
Gastroenterol Clin North Am. Mar 2009;28(1):75-97.
Gladden D, Migala A et al. ; Cholecystitis eMedicine.com 2009. Gladden D,
Migala A et al. ; kolesistitis eMedicine.com 2009.
Grace, Perce A. dan Borley, Neil R. 2007. Surgery at a Glance Edisi 3. Jakarta
: Erlangga.
Hadi, Sujono. 1995. Gastroenterologi, ed. 6. Alumni : Bandung.
Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin
Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009.
Herdman, T. Heather.2012. Nursing diagnoses : definitions and classification
2012-2014. Jakarta : EGC.
Page 23
Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison:
Prinsip – Harrison. Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor Bahasa Indonesia:
Prof. Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC. Jakarta. 2009.
Johnston D.E., Kaplan M.M. Pathogenesis and treatment of gallstones. N Engl
J Med 1993;328:412-21.
Mitchell, Kumar, Abbas dan Fausto. 2008. Buku Saku Dasar Patologis
Robbins dan Cotran. Jakarta : EGC.
Morrhead, S., Johnson, M., Maas, M.L. & Swanson, E. 2008. Nursing outcomes
classification (NOC) (5th edition). St.Louis: Mosby Elsevie.
Sanders G, Kingsnorth AN ; Batu empedu. BMJ. BMJ. 2007 Aug
11;335(7614):295-9. 2007 Agustus 11; 335 (7614) :295-9.
Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents
parenteral nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet. Jan
2008;170(1):25-31
Strasinger SK., Di Lorenzo MJ. Fecal analysis. Dalam: Urinalysis and body
fluids 4th ed. Philadelphia: F.A Davis Company. 2001.h. 209-17.
Tait N, Little J.M. Fortnighly Review :The treatment of gall stones. BMJ
1995;311:99-105.
Vogt D.P. Gallbladder disese : an update on diagnosis and treatment.
Cleveland Clinic Journal of Medicine 2002;69:977-84.