Page 1
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,IV No. 1, Januari 2015
36
PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN RADIONUKLIDA
TEKNESIUM-99m SEBAGAI SEDIAAN DIAGNOSTIK UNTUK
DETEKSI DINI FILARIASIS
Aang Hanafiah1, Nurlaila Z.
2, Nanny Kartini Oekar
2, Misyetti
2
1Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia, Bandung
2Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan – BATAN, Bandung
________________________________________________________________________
Abstrak
Salah satu penyakit menular yang pada tahun belakangan ini menyerang beberapa
provinsi di Indonesia adalah penyakit kaki gajah (elephantiasis) atau dikenal dengan filariasis.
Beberapa daerah sudah dinyatakan endemik. Karena jumlah penderita filariasis cukup
signifikan dengan memberikan dampak menahun yang sangat mengganggu, tidak hanya nilai
estetika, namun juga penurunan produktivitas kerja, kualitas hidup dan penurunan indeks
pembangunan, maka penyakit ini mendapat perhatian serius dari Kementerian Kesehatan RI.
Karena itu pula, di dalam Agenda Riset Nasional (ARN) 2005-2025, ruang lingkup penelitian
dalam menanggulangi penyakit menular, termasuk filariasis, lebih diarahkan pada
pengembangan metode pengendalian dan pencegahan, dimana salah satu lingkup kegiatannya
adalah penelitian tentang diagnosis dan pendeteksian dini. Permasalahan yang dihadapi oleh
hampir semua pihak dalam memberantas penyakit infeksi atau penyakit menular, yaitu
terlambatnya penyakit tersebut terdiagnosis atau terdeteksi lebih awal. Mengingat bahwa
Dietilkarbamazin sering djadikan obat pilihan pada penanganan filariasis, dan dari struktur
kimianya memungkinkan dapat ditandai dengan unsur radioaktif yang kelak dapat digunakan
sebagai perunut (tracer) dalam proses diagnosis teknik nuklir kedokteran, maka untuk tujuan
tersebut telah dilakukan penandaan Dietilkarbamazin dengan radionuklida teknesium-99m.
Penandaan dilakukan dengan metode tidak langsung menggunakan DTPA dan Glukoheptonat
sebagai co-ligand. Hasil penandaan optimal dengan kemurnian radiokimia di atas 95%
diperoleh pada komposisi formula yang mengandung 4mg DEC, 100µg SnCl2.2H2O, pH 4, dan
waktu inkubasi 5-20 menit pada suhu kamar. Dengan tersedianya senyawa bertanda radioaktif
berbasis obat yang spesifik bekerja terhadap cacing filaria, diharapkan sediaan ini dapat
dimanfaatkan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi praktisi medis dalam
mendeteksi penyakit filariasis lebih dini.
Kata kunci: DEC, Teknesium-99m, filariasis
Abstract
One of the infectious diseases attacked several provinces in Indonesia in recent years is
elephantiasis or known as filariasis disease. Some already declared as endemic areas. Because
a significant number of filariasis patients with chronic impacts are very disturbing, not only in
aesthetic value, but also a decrease in productivity, quality of life and lowering in development
index, the disease is getting serious attention from the Indonesian Ministry of Health. Hence, in
the National Research Agenda (ARN) 2005-2025, the scope of research in the treatment of
infectious diseases, including filariasis, more focused on the development of control and
prevention methods, where the scope of its activity is on the diagnosis research and early
detection. The problem faced by almost all parties in combating infectious or contagious
disease, is a delay in diagnosis or in early detection. Considering that Diethylcarbamazine often
used as the drug of choice in the treatment of filariasis, and the possibility of chemical structure
that can be labeled with a radioactive substance to be used as a tracer in the nuclear medicine
diagnostic techniques, then in the present study the labeling of Diethylcarbamazine with
Page 2
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,IV No. 1, Januari 2015
37
technetium- 99m radionuclide has been carried out using DTPA and Glucoheptonate as co-
ligand. The optimal labeling with the chemical purity more than 95% was obtained on the
composition formula containing of 4mg DEC, 100μg SnCl2.2H2O, pH 4, and the incubation time
of 5-20 minutes at room temperature. With the availability of labeled compounds based on
specific drugs that work against filarial worms, we all hope that this preparation can be used to
solve the problems faced by medical practitioners in detecting filariasis disease as early as
possible.
Keywords: DEC, Technetium-99m, filariasis
____________________________________________________________________________
PENDAHULUAN
Filariasis atau dengan nama lain
penyakit kaki gajah (elephantiasis),
termasuk salah satu jenis penyakit yang
mendapat perhatian khusus di dunia
kesehatan. Walaupun jarang menyebabkan
kematian, pada stadium lanjut penyakit ini
dapat menjadikan seseorang menderita
cacat fisik permanen hingga menimbulkan
dampak yang signifikan, terutama di
lingkungan masyarakat yang tengah didera
permasalahan ekonomi, terutama di negara
berkembang di daerah tropis ataupun sub
tropis. Saat ini dilaporkan lebih dari 120
juta orang dari 80 negara telah terinfeksi
filarial (Anonim), bahkan ribuan desa di 26
propinsi di Indonesia dinyatakan endemis
(Hermana, 2007). Karena itulah
Kementerian Kesehatan RI memberikan
perhatian khusus, dan bahkan WHO
mencanangkan kesepakatan global untuk
memberantas penyakit ini dengan
mengangkat tema The Global Goal of
Elimination of Lymphatic Filariasis as a
Public Health Problem by The Year 2020
(Anonim; Departemen Kesehatan RI, 2005;
2006).
Gejala filariasis sebenarnya dapat
dilihat dengan mudah, saat tubuh
merasakan demam berulang setiap satu
hingga dua bulan, selama tiga hingga lima
hari, kemudian tampak gejala
pembengkakan kelenjar di paha dan ketiak.
Apabila diraba, pembengkakan ini terasa
panas. Kemudian diikuti dengan
pembengkakan pada daerah tungkai kaki,
lengan, buah dada, bahkan juga kantung
buah zakar pada laki-laki, dan pembesaran
payu dara pada perempuan hingga
mencapai ukuran 2-3 kali lipat dari ukuran
asalnya. Pembengkakan umumnya terjadi di
kaki hingga mencapai 3-4 kali lebih besar
dari ukuran normal, dan menyerupai kaki
gajah (elephantiasis) seperti terlihat pada
Gambar 1.
Kondisi tersebut merupakan
keadaan pada tahap yang sudah sangat
terlambat untuk diagnosis infeksi filaria,
karena sistem limfatik penderita telah
mengalami kerusakan dan tidak berfungsi.
Deteksi filaria bergantung pada
keberadaan cacing stadium mikrofilaria
dalam darah tepi, atau dikenal dengan
istilah periodisitas. Uniknya, periodisitas
filaria ditemukan di antara pukul 10 malam
hingga pukul 2 pagi (nocturnal), sehingga
Page 3
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,IV No. 1, Januari 2015
38
pengambilan sampel darahpun harus
dilakukan malam hari. Di samping itu, larva
aktif baru ditemukan 6-12 bulan setelah
seseorang terinfeksi filaria, dan manifestasi
filariasis seperti pada Gambar 1 baru
terlihat ±4 tahun kemudian, sehingga
deteksi dini untuk kasus ini cukup sulit
ditegakkan. Pemeriksaan laboratorium
seperti identifikasi antigen filaria dengan
teknik ELISA atau Rapid Immuno-
chromatography Card sebenarnya dapat
pula dilakukan, namun teknik ini sering
memberikan false positif. Karena itu, teknik
diagnosis yang memiliki nilai kesensitifan
dan kespesifikan yang tinggi, masih sangat
diperlukan.
Telah teridentifikasi bahwa
penyebab infeksi filariasis yang paling
banyak ditemukan di Indonesia adalah
cacing gelang genus filaria, Wuchereria
bancrofti. Cacing ini hidup dan
berkembang biak dalam darah dan jaringan
penderita. Cacing tersebut berada pada
sistem limfatik pada siang hari, dan baru
bermigrasi ke saluran darah pada malam
hari. Karena itulah deteksi dini penyakit ini
agak sulit ditegakkan.
Permasalahan yang dihadapi oleh
hampir semua pihak dalam memberantas
penyakit infeksi atau penyakit menular,
yaitu terlambatnya penyakit tersebut
terdiagnosis atau terdeteksi. Demikian pula
halnya dengan penyakit filariasis,
masyarakat tidak sadar bahwa mereka telah
terinfeksi cacing filaria. Karena itulah
ketersediaan perangkat diagnosis untuk
metode deteksi dini sangat diperlukan
seperti halnya ditekankan pada Agenda
Riset Nasional Indonesia 2005-2025
(Kemenristek RI, 2006).
Teknik nuklir kedokteran dengan
menggunakan radiofarmaka, memberi
harapan untuk dapat dijadikan pilihan
alternatif memecahkan permasalahan ini
(Richard et al., 2004; Saha, 2004).
Dihipotesiskan bahwa DEC-sitrat yang saat
ini digunakan sebagai obat filariasis
(Addiss et al., 2004), secara kimia
Gambar 1. Manifestasi Filariasis
Page 4
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,IV No. 1, Januari 2015
39
memungkinkan untuk ditandai dengan
nuklida teknesium-99m. Radiofarmaka
99mTc-DEC diperkirakan akan di-uptake
oleh mikrofilaria di dalam tubuh orang
terinfeksi. Dengan demikian mikrofilaria
yang berikatan dengan 99m
Tc-DEC ini dapat
dilacak keberadaannya, dan diharapkan
deteksi dini dapat ditegakkan.
Metode limfosintigrafi yang
berkembang baru-baru ini di kedokteran
nuklir adalah suatu cara diagnosis untuk
menelusuri sistem limfatik menggunakan
senyawa bertanda radioisotop
(radiofarmaka) pemancar sinar- yang
disuntikkan secara intradermal. Pergerakan
radiofarmaka tersebut kemudian dideteksi
dari luar tubuh dengan kamera gamma atau
probe khusus untuk limfosintigrafi,
sehingga diperoleh gambaran seluruh
sistem limfatik beserta kelainan atau
penyumbatannya. Sejauh ini limfosintigrafi
hanya dilakukan untuk mengetahui adanya
penyumbatan dalam sistem limfatik tanpa
mengetahui apa yang menjadi
penyebabnya, atau digunakan untuk
menelusuri adanya sentinel node pada
penderita kanker payudara, getah bening dll
(Melrose, 2003). Dengan teknik yang sama,
dimungkinkan cacing filaria yang berada
atau mungkin dapat menyumbat saluran
getah bening dapat dideteksi, apalagi bila
senyawa yang digunakan untuk mendeteksi
dapat terikat secara spesifik (drug
targeting) pada cacing tersebut.
Ruang lingkup dari penelitian tahap
ini lebih ditujukan pada optimasi
pembuatan senyawa bertanda 99m
Tc-Dietil-
karbamazin (99m
Tc-DEC) dengan
mempelajari beberapa parameter reaksi
antara dietil-karbamazin (DEC) yang telah
dikenal secara luas sebagai obat anti
filariasis dengan radionuklida teknesium-
99m (99m
Tc) yang diperoleh dari hasil luruh
radioisotop Molibdenum-99 (99
Mo).
Analisis efisiensi penandaan dan uji
kemurnian ditentukan dengan metode
kromatografi, sedangkan uji stabilitas
sediaan dilakukan segera setelah proses
penandaan, ataupun terhadap sediaan yang
dibuat dalam bentuk kit kering berdasarkan
periode waktu penyimpanan.
Tujuan penelitian pada tahap ini
lebih difokuskan pada penetapan kondisi
optimal penandaan dan pembuatan formula
kit kering yang merupakan prototipe
sediaan sebagai perangkat diagnosis
penyakit menular (filariasis).
Dengan tersedianya senyawa
bertanda radioaktif berbasis obat yang
spesifik bekerja terhadap cacing filaria,
diharapkan sediaan ini dapat dimanfaatkan
untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi praktisi medis dalam mendeteksi
penyakit filariasis ini lebih dini. Karena itu
pula, saran tindak lanjut untuk penelitian
berikutnya adalah melakukan kajian
intensif secara in-vitro untuk melihat uptake
sediaan pada cacing filariasis, kemudian
ditindaklanjuti dengan uji praklinis dan uji
klinis pada pasien volunter terutama di
daerah endemik.
Page 5
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,IV No. 1, Januari 2015
40
BAHAN, ALAT DAN METODE
PENELITIAN
Bahan dan peralatan
Bahan kimia yang digunakan
adalah dietil karbamazin sitrat (Sigma),
SnCl2.2H2O (Sigma), DTPA (dietil triamin
penta asetat), glukoheptonat, amonia,
asetonitril dan aseton semuanya buatan
E.Merck. Selain itu digunakan pula air
untuk injeksi dan larutan NaCl fisiologis
steril (IPHA), pereaksi Dragendorf yang
dibuat segar, dan Generator radioisotop
99Mo-
99mTc (PT.Batan Teknologi), serta
kertas kromatografi Whatman 31-ET,
ITLC-SG (Pall Co.) dan lapis tipis TLC-
SG(E.Merck).
Peralatan utama yang digunakan
adalah timbangan analitis dan seperangkat
peralatan penunjang, dan ruang aseptis
untuk pembuatan kit-kering radiofarmaka.
Seperangkat alat kromatografi kertas, dose
calibrator (Ortec), pencacah saluran
tunggal (SCA) (Canberra).
Ruang Lingkup dan Metodologi
Terdiri dari beberapa tahap kegiatan, yaitu :
1. Optimasi kondisi penandaan
Dietilkarmamazin (DEC)
Untuk memperoleh hasil penandaan
DEC sitrat yang optimal menggunakan
radionuklida teknesium-99m (99m
Tc),
beberapa parameter dominan seperti,
bentuk senyawa DEC, kondisi reaksi
penandaan, jumlah reduktor SnCl2 , pH
penandaan dan, waktu inkubasi dipelajari.
1.1. Pemilihan metode penandaan
Proses penandaan dilakukan
dengan metode langsung dan tidak
langsung, yaitu dengan menggunakan
DTPA dan glukoheptonat sebagai co-
ligand.
1.2. Pemilihan metode untuk analisis
keberhasilan penandaan
Metode kromatografi kertas dan
lapis tipis dipilih untuk menentukan
keberhasilan penandaan. Beberapa sistem
kromatografi kertas yang dicoba yaitu
dengan menggunakan fase diam kertas
Whatman-31ET( 1x 10 cm) dan fase gerak
asetonitril 50 %, ITLC-SG/aseton TLC-
SG/aseton, TLC-SG/campuran metanol dan
amonia dengan perbandingan 100 : 1,5 dan
ITLC-SA/air. Semua fase diam digunakan
dengan ukuran 1 x 10 cm. Proses
kromatografi dilakukan untuk memisahkan
99mTc-DEC dengan pengotornya yang
mungkin terbentuk selama proses
penandaan. Pengotor radiokimia yang
mungkin terbentuk adalah 99m
Tc-sitrat pada
proses penandaan dengan metode langsung,
dan 99m
Tc-DTPA atau 99m
Tc-glukoheptonat
pada penandaan tidak langsung.
Pengotor radiokimia dapat
dideteksi dengan alat pencacah saluran
tunggal sebagai akibat dari adanya paparan
sinar gamma yang dapat ditangkap oleh
detektor NaI/Tl dari alat tersebut.
Terjadinya penguraian DEC-sitrat menjadi
DEC dan sitrat dapat dideteksi dari
kromatogram kertas/pelat dengan
penampak noda larutan Dragendorf.
Page 6
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,IV No. 1, Januari 2015
41
1.3. Optimasi parameter dominan pada
penandaan DEC
1.3.a. Optimasi bentuk dan jumlah DEC
Pada penandaan secara langsung,
jumlah DEC-sitrat yang digunakan
bervariasi dari 2 sampai 6 mg dengan
kenaikan 1 mg. Setelah DEC dilarutkan
dalam aquadest sebanyak 300 µL,
kemudian ditambahkan ke dalamnya
SnCl2.2H2O padat, dan dibiarkan sampai
larut sempurna; pH diukur, kemudian
ditambahkan larutan 99m
Tc-perteknetat, dan
selanjutnya campuran diinkubasi pada
temperatur kamar selama 10 menit.
Efisiensi penandaan ditentukan dengan
metode kromatografi lapis tipis yang sesuai.
Proses penandaan tidak langsung
dilakukan dengan mengubah terlebih
dahulu DEC-sitrat menjadi bentuk basanya
dengan penambahan larutan basa kuat
(NaOH), kemudian baru direaksikan
dengan bahan co-ligand DTPA atau
glukoheptonat. Setelah itu, ke dalam
campuran tersebut ditambahkan larutan
SnCl2.2H2O dalam jumlah tertentu dan
larutan 99m
Tc-perteknetat. Inkubasi
dilakukan dalam penangas air mendidih
selama 5-20 menit.
1.3.b. Optimasi jumlah reduktor
SnCl2.2H2O
Penandaan dilakukan menggunakan
jumlah DEC yang terbaik dari percobaan
1.3.a. dengan metode langsung, sedangkan
jumlah SnCl2.2H2O divariasikan dari 0, 50,
75, 100,125, 150, 200 hingga 250 µg. Hasil
dinyatakan baik apabila memberikan
efisiensi penandaan dan kemurnian
radiokimia lebih besar dari 90%.
1.3.c. Pengaruh pH pada hasil penandaan
Sebelum penambahan larutan
99mTc-perteknetat, campuran DEC dan
Sn(II) diatur pH-nya dengan larutan NaOH
0,1 N sampai mencapai 4, 5, 6 dan 7.
Inkubasi dilakukan selama 10 menit,
kemudian ditambahkan larutan 99m
Tc-
perteknetat ke dalamnya. Efisiensi
penandaan ditentukan dengan metode
kromatografi.
1.3.d. Pengaruh volume larutan 99m
Tc-
perteknetat
Agar volume akhir tidak terlalu
besar, maka volume larutan 99m
Tc-
perteknetat yang ditambahkan ke dalam
formula diupayakan seoptimal mungkin
sehingga memberikan sediaan 99m
Tc-DEC
dengan konsentrasi radioaktif yang cukup
tinggi. Untuk tujuan ini, larutan 99m
Tc-
perteknetat yang digunakan divariasikan
mulai dari 1, 2, 3 dan 4 mL. Efisisensi
penandaan yang diperoleh dibandingkan
untuk mengetahui korelasi antara jumlah
volume dengan hasil/efisiensi penandaan.
2. Uji stabilitas sediaan
Kestabilan sediaan, baik dalam
bentuk radiofarmaka 99m
Tc-DEC maupun
sediaan kit-kering DEC dalam
penyimpanan ditentukan berdasarkan
kemurnian radiokimianya setelah
penambahan 99m
Tc-perteknetat.
Page 7
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,IV No. 1, Januari 2015
42
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selain variasi bentuk senyawa
DEC, pada penelitian ini juga dilakukan
kajian cara penandaan, baik langsung
maupun tidak langsung dengan
menggunakan pereaksi pembantu (ligand
exchange atau co-ligand) DTPA dan
glukoheptonat.
Proses penandaan diperkirakan
melalui alur reaksi seperti tertera di bawah
ini :
1. 99m
Tc (VII) – perteknetat + reduktor
yang sesuai (SnCl2) + co-ligan yang
sesuai 99m
Tc-tereduksi (sebagai inti
99mTc) +
99mTc (VII)-bebas +
99mTc-co-
ligan
2. 99m
Tc-tereduksi + DEC 99m
Tc-DEC +
99mTc-tereduksi bebas
Senyawa bertanda 99m
Tc-DEC yang
diperoleh diperkirakan mempunyai struktur
molekul seperti tertera pada Gambar 2.
Keberhasilan reaksi dievaluasi dari
besarnya efisiensi penandaan yang
dinyatakan dalam persen (%).
Apabila dilihat alur reaksi yang
terjadi pada saat proses penandaan DEC
dengan 99m
Tc seperti tersebut di atas, maka
pengotor radiokimia yang mungkin ada di
dalam sistem reaksi adalah 99m
Tc-
perteknetat bebas, 99m
Tc-tereduksi bebas,
dan 99m
Tc yang mungkin berikatan dengan
co-ligan. Berdasarkan hal tersebut, maka
tahapan analisis hasil penandaan dengan
memilih metode kromatografi yang dapat
memisahkan senyawa 99m
Tc-DEC dari
pengotor radiokimianya menjadi hal yang
sangat menentukan.
Gambar 2 memperlihatkan dugaan
struktur molekul 99m
Tc-DEC yang mungkin
terjadi. Terlihat jelas bahwa 99m
Tc sebagai
ion logam yang menjadi inti kompleks
khelat terikat pada gugus sitrat dari molekul
DEC. Karena itulah, hal lain yang juga
penting untuk diperhatikan adalah tahapan
optimasi kondisi penandaan. Kondisi
penandaan harus dijaga jangan sampai
terjadi pemutusan gugus sitrat dari molekul
DEC. Apabila hal ini terjadi, maka sasaran
untuk mendapatkan senyawa bertanda
99mTc-DEC tidak tercapai, dan kesalahan
diagnosis bisa terjadi. Untuk menunjang
hal tersebut, maka tahapan analisis hasil
penandaan merupakan tahap yang sangat
kritis.
Gambar 2. Dugaan struktur molekul 99m
Tc-dietil karbamazin sitrat (DEC)
Page 8
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,IV No. 1, Januari 2015
43
Dengan memperhatikan Gambar 2,
terlihat adanya perubahan struktur antara
DEC sebagai senyawa asal dengan 99m
Tc-
DEC sebagai senyawa bertanda. Apabila
perubahan struktur molekul ini
mempengaruhi sifat farmakodinamikanya
sebagai obat anthelmintik (anti filaria),
maka senyawa bertanda yang diperoleh
menjadi tidak bermanfaat untuk tujuan
deteksi filariasis, karena senyawa 99m
Tc-
DEC tidak akan ter-uptake oleh cacing
filaria. Berdasarkan hal tersebut, maka uji
karakteristik radiofarmaka 99m
Tc-DEC
menjadi tahapan yang juga penting
mendapat perhatian.
Proses penandaan dinyatakan
berhasil apabila tingkat kemurnian 99m
Tc-
DEC tidak kurang dari 90%. Penentuan
kemurnian dalam penelitian ini dihitung
berdasarkan timbunan aktivitas di daerah Rf
dari suatu sistem kromatografi dengan
TLC-SG sebagai fase diam dan aseton
kering sebagai fase gerak . Hasil penandaan
dengan perubahan berbagai parameter
seperti disebutkan di atas, ditunjukkan pada
Tabel 1.
Optimasi Kadar Reduktor
Seperti halnya reaksi dengan
beberapa ligan, teknesium pada tingkat
valensi 7 sangat stabil dan tidak mudah
bereaksi dengan senyawa lainnya, karena
itu peran reduktor sangat penting artinya
untuk mengubah valensi teknesium ke
tingkat yang lebih rendah. Rangkuman
yang ditunjukkan pada Tabel 1,
mengindikasikan bahwa variasi jumlah
reduktor mempengaruhi hasil penandaan.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa jumlah
SnCl2.2H20 sebesar 100 µg memberikan
hasil penandaan yang paling tinggi.
Hasil Penandaan DEC dengan Teknesium-99m
No. Bentuk Senyawa Formula Efisiensi Penandaan
1. DEC-sitrat DEC-sitrat 2-6 mg
SnCl2.2H2O 0-250 µg
NaTcO4 (1-4 ml)
Inkubasi 10-30’, suhu kamar
Variasi pH 4-7
76,21 - (95,07±2,13%)
1. Fase diam TLC-SG
dengan fase gerak
aseton kering
2. Fase diam ITLC-SA
dengan fase gerak air
2. DEC-sitrat + DTPA
(sebagai co-ligand)
Idem, kecuali DEC-sitrat + DTPA 66,12%
3. DEC (base) – non
sitrat
Idem, kecuali DEC base – non sitrat
(inkubasi 10-20’ pada suhu kamar
dan air mendidih)
4,5% (suhu kamar)
9,9% (air mendidih)
4. DEC (base) + GHA
(sebagai co-ligand)
Idem, kecuali DEC base +
glukoheptonat
38,16% (suhu kamar)
72,10% (air mendidih)
Tabel 1. Parameter Dominan pada Penandaan DEC
Page 9
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,IV No. 1, Januari 2015
44
Pengaruh Perubahan pH pada Hasil
Penandaan
Dengan diperolehnya data seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 2, dimana
kadar 100 µg SnCl2.2H2O memberikan
yield penandaan tertinggi, optimasi
selanjutnya adalah memvariasikan besaran
pH.
Data yang tertera pada Tabel 3,
menunjukkan bahwa kenaikan pH
menyebabkan penurunan efisiensi
penandaan. Pengamatan pH di sekitar 4
hingga 7 lebih ditujukan untuk penyesuaian
dengan pH cairan tubuh, sehingga
pengamatan di luar nilai tersebut tidak
dilakukan. Besaran pH 4, memberikan hasil
penandaan tertinggi.
Pengaruh Variasi Waktu Inkubasi pada
Hasil Penandaan
Dengan diperolehnya tetapan kadar
SnCl2.2H2O dan besaran pH, percobaan
dilanjutkan dengan mengamati pengaruh
perubahan waktu inkubasi pada suhu
kamar. Pengamatan pada suhu yang lebih
tinggi tidak dilakukan untuk menghindari
proses degradasi sediaan. Pengaruh
perubahan waktu inkubasi diterakan pada
Tabel 4.
Data yang tertera dalam Tabel 4,
menunjukkan bahwa waktu inkubasi
optimal pada suhu kamar berkisar di antara
10-20 menit.
Pengaruh Volume Larutan 99m
Tc-
perteknetat
Mengingat volume sediaan harus
sekecil mungkin terkait dengan cara
penyuntikan, maka penambahan larutan
99mTc-perteknetat harus diperhatikan. Pada
Tabel 5 berikut ditunjukkan pengaruh
besarnya volume 99m
Tc-perteknetat pada
hasil penandaan. Percobaan dilakukan
dengan memvariasikan penambahan
volume 99m
Tc-perteknetat mulai dari 1, 2, 3
hingga 4 ml.
No. Perubahan pH Efisiensi Penandaan (%)
1 4,0 95,99 ± 0,16
2 5,0 94,44 ± 0,33
3 6,0 83,34 ± 1,62
4 7,0 84,70 ± 3,39
No. Jumlah SnCl2.2H2O (μg) Efisiensi Penandaan (%)
1 0 2,82 ± 2,67
2 50 91,08 ± 0,83
3 75 92,11 ± 0,52
4 100 93,55 ± 2,68
5 125 90,89 ± 5,59
6 150 91,11 ± 3,97
7 200 93,55 ± 3,34
8 250 93,37 ± 4,33
Tabel 2. Pengaruh Jumlah Reduktor SnCl2.2H20 pada Penandaan DEC
Tabel 3. Pengaruh pH pada Hasil Penandaan DEC
Page 10
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,IV No. 1, Januari 2015
45
Data dalam Tabel 5, walaupun
menunjukkan adanya penurunan hasil
penandaan, namun dari sisi persyaratan,
kesemuanya masih dalam batas yang
diizinkan. Namun demikian, yang menjadi
permasalahan adalah jumlah volume yang
akan diberikan ke pasien menjadi tidak
favourable, karena itu sesedikit mungkin
volume yang disuntikkan menjadi pilihan
para klinisi.
Uji Stabilitas Sediaan
Ketidakstabilan sediaan terutama
yang terkait dengan penurunan hasil
penandaan (yield) dan kemurnian
radiokimia, pada umumnya disebabkan oleh
dua hal utama:
1. Sediaan tidak segera digunakan setelah
dilakukan penambahan larutan
perteknetat.
2. Sediaan kit disimpan terlalu lama
sebelum ditandai
Perubahan hasil penandaan akibat
sediaan yang tidak segera digunakan setelah
penambahan larutan 99m
Tc-perteknetat
ditunjukkan pada Tabel 6, sedangkan
pengaruh lamanya penyimpanan dalam
bentuk kit hingga ± 4 bulan, tidak
menunjukkan perubahan yang signifikan
dan masih memberikan hasil penandaan dan
kemurnian radiokimia di atas 95%.
SIMPULAN
Telah dilakukan penandaan
Dietilkarbamazin sitrat (DEC) dengan
radionuklida teknesium-99m sebagai
sediaan alternatif yang ditujukan untuk
deteksi dini filariasis. Hasil penandaan
optimal dengan tingkat kemurnian di atas
95% diperoleh dengan menambahkan
No. Waktu Inkubasi (menit) Efisiensi Penandaan (%)
1. 0 94,20 ± 1,10
2. 5 94,57 ± 0,40
3. 10 94,53 ± 2,17
4. 15 94,47 ± 1,20
5. 20 95,07 ± 2,13
6. 30 92,20 ± 0,29
No. Volume 99m
Tc-perteknetat (ml) Efisiensi penandaan (%)
1. 1,0 97,90
2. 2,0 92,23
3. 3,0 93,89
4. 4,0 94,58
Stabilitas Sediaan Berdasarkan Periode Waktu Setelah Rekonstitusi99m
Tc-perteknetat
Penyimpanan 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam
Yield / Kemurnian (%) 96,31 90,48 88,90 87,16
Tabel 4. Pengaruh Perubahan Waktu Inkubasi pada Hasil Penandaan DEC
Tabel 5. Pengaruh Volume 99m
Tc-perteknetat pada Penandaan DEC
Tabel 6. Pengaruh Penyimpanan Setelah Penambahan Larutan 99m
Tc-perteknetat
Page 11
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,IV No. 1, Januari 2015
46
99mTc-perteknetat ke dalam suatu formula
yang terdiri dari 4 mg DEC-sitrat, 100 µg
SnCl2.2H2O, pH 4, dan waktu inkubasi
pada suhu kamar selama 5-20 menit. Uji
kemurnian ditentukan dengan metode
kromatografi menggunakan fase diam TLC-
SG dan ITLC-SA, dan aseton kering, serta
air sebagai fase gerak.
Berdasarkan pengamatan, hasil
penandaan dan kemurnian sediaan masih di
atas 95%, dan tetap stabil, serta masih dapat
digunakan selama lebih dari 4 bulan apabila
disimpan dalam bentuk kit kering. Namun
demikian, sediaan 99m
Tc-DEC harus segera
digunakan setelah disiapkan, dan
disarankan untuk tidak disimpan lebih dari
1 jam setelah rekonstitusi dengan larutan
Natrium perteknetat.
Pengaruh volume larutan 99m
Tc-
perteknetat yang ditambahkan, walaupun
sedikit menurunkan efisiensi penandaan,
namun masih dalam batas yang diizinkan.
Walaupun demikian, untuk kenyamanan
pasien, maka volume penyuntikan
sebaiknya diupayakan sesedikit mungkin.
Pembuatan formula dan
penguasaan teknologi penyiapan sediaan
99mTc-DEC telah berhasil diperoleh, namun
demikian, kajian intensif non-klinis, baik
secara in-vitro untuk melihat uptake sediaan
pada cacing filariasis, dan kajian in-vivo
harus dilakukan untuk menjamin keamanan
pengguna.
Uji klinis terhadap beberapa orang
yang diduga (suspect) terjangkit filariasis,
khususnya di daerah endemik juga perlu
dilakukan agar sediaan ini benar-benar
diyakini dapat digunakan sebagai perangkat
diagnosis dini penyakit kaki gajah/filariasis,
dan diharapkan dapat menjadi sumbangan
nyata yang bermanfaat bagi masyarakat
luas, khususnya bagi dunia kesehatan di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Addiss D., Critchley J., Ejere H., Garner P.,
Gelband H., Gamble C. 2004.
Albendazole For Lymphatic Filariasis.
In: The Cohrane Library, Issue 1.
(International Filariasis Review
Group). Chichester, Uk: John Wiley &
Sons, Ltd.
Anonim. WHO: Eliminating Lymphatic
Filariasis.
Http://Www.Dpd.Cdc.Gov/Dpdx/Html
/Frames/A-F/Filariasi/Body_Filariasis
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman
Pengendalian Filariasis (Penyakit
Kaki Gajah). Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor
1582/Menkes/Sk/Xi/2005,
Departemen Kesehatan RI. 2007. National
Task Force Eliminasi Filariasis.
Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 345/Menkes/Sk/V/2006.
Hermana, A. 2007. ”Filariasis: Dari Cacing
Jadi Gajah.” Pikiran Rakyat, 22 Maret
2007.
Kementerian Negara Riset Dan Teknologi
Republik Indonesia. 2006. Penelitian,
Pengembangan Dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan Dan Teknologi Bidang
Page 12
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.,IV No. 1, Januari 2015
47
Kesehatan Dan Obat (Buku Putih –
ARN, 2005-2025), Jakarta, 14-22.
Melrose, W.D. 2003. Chemotherapy For
Lymphatic Filariasis: Progress But
Not Perfection Anti-Infective Therapy.
1(4) 571-577.
Richard J. Kowalsky; Steven W. Falen.
2004. Radiopharmaceuticals In
Nuclear Pharmacy And Nuclear
Medicine. 2nd
Edition, Washington,
Am. Pharm. Ass.
Saha Gb. 2004. Fundamentals Of
Nuclear Medicine. 5th
Ed., New
York, Springer.