PENAFSIRAN IBN KATSĪR TENTANG AYAT-AYAT AMANAH DALAM TAFSIR AL-QURˋAN AL-ʻAẒĪM (Kajian Tematis Ayat-ayat Amanah) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Silma Laatansa Haqqi NIM: 11140340000191 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Motivasi Pendidikan: Perspektif Barat dan Islam”, Cendekia, Vol. 14 No. 2 (Desember 2016), h.
333-349. 3 Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). 4 Sahri, “Penafsiran Ayat-ayat Al-Quran Tentang Amanah Menurut M. Quraish Shihab”,
Madaniyah, Vol. No. 1 (januari 2018): h. 125-140. 5 Diah Rahmawati, “Penafsiran Kata Amanah dalam Al-Qur‟an Menurut Ṭabaṭaba‟i dan
Sayyid Quṭb, “Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kaliaga, Yogyakarta, 2008. 6 Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
براعوهومسئ ولعنرئيتهقالفسمعتهؤلاءمنرسولاللهصلاللهعليهوسلموأحسعنرئيتهفكلكمراعالنبصلاللهعليهوسلموالرجلفمالأبيهفالإمامراعوهومسئ ول
16كلكمومسئولعنرئيته. “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Imam (kepala negara)
adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas
rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan
akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri
adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas urusan rumah tangga tersebut.
Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya dan
14
Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur‟an Tematik “Etika Berkeluarga,
Bermasyarakat, dan Berpolitik” (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 38. 15 Imam al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī (Dār al-Kutb al-Ilmiyah, 1992), No hadits 6015. 16
Abu Abdullah Muhammad bin Ismā‟īl bn Ibrāhīm bin al-Mughīrah al-Bukhārī, Ṣaḥīh
al-Bukhārī, (Beirut: Dar al-Thaba‟iyah al-Muniriyah, 1412 H/1997 M), h. 62.
5
akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan tanggung jawabnya
tersebut”. Dia („Abdullah bin „Umar radliallahu „anhuma) berkata:
“Aku mendengar semua itu dari Rasulullah saw dan aku pun
mendengar Nabi saw juga bersabda”: “Dan seorang laki-laki adalah
pemimpin atas harta bapaknya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atasnya dan setiap kalian adalah pemimpin dan
setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang
dipimpinnya.”
Rasulullah saw menegaskan bahwa puncak kemusnahan manusia yang
menjadi tanda akan terjadinya hari kiamat ialah apabila amanah tidak diserahkan
kepada orang yang berkelayakan.17
Terbukti dalam sejarah, bahwa hancurnya
sebuah negeri dan terlantarnya manusia adalah karena kebusukan akhlak
pemimpinnya dalam menjaga amanah. Ingat, bahwa segala fasilitas yang
diberikan untuk memenuhi kebutuhan manusia sudah Allah sediakan secara
seimbang. Tidak mungkin Allah mendzalimi makhluk-Nya. Maka jika ternyata
ditemukan ketidakseimbangan di berbagai tempat, pasti itu terjadi karena adanya
kedzaliman yang diperbuat oleh manusia sendiri.18
Namun apabila diperhatikan pada ayat lain yaitu dalam Q.S al-Ahzāb/33:
72. Allah SWT berfirman:
أنيملن هاوأشفقن ماواتوالأرضوالبالفأب ي هاوحلهاإناعرضناالأمانةعلىالس من كانظلوماجهولا الإنسانإنه
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk
memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya,
dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh."
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa amanah yang diembankan kepada
manusia sesungguhnya amanah yang tidak sanggup diemban oleh langit, bumi
dan gunung-gunung. Pernyataan ini diakhiri dengan penilaian Allah kepada
manusia atas kesanggupannya mengemban amanah tersebut bahwa sesungguhnya
manusia adalah makhluk yang dzalim dan amat bodoh.
17
Pusat Dakwah Islamiyah Kementerian Hal Ehwal Ugama, Jujur, Amanah, dan
Bijaksana dalam Pekerjaan (Brunei Darussalama, 1999), Cetakan I, h. 15. 18
Tim Baitul Kilmah Jogkarta, Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur‟an dan Hadits
(Jakarta: Kamil Pustaka, 2013), Jilid 7, h. 76-77.
6
Beberapa pandangan para ulama mengenai pengertian amanah dalam ayat
ini, di antaranya Mujahid, Saʻīd bin Jubair, aḍ-Ḍahak, Hasan Baṣri dan ulama
lainnya yang mengatakan bahwa amanah itu berarti kewajiban-kewajiban. Ulama
lain mengatakan bahwa amanah pada ayat di atas bermakna ketaatan. Qatādah
memahaminya sebagai agama, kewajiban dan hudūd.19
Sedangkan Ibn Katsīr memberikan argumen mengenai ayat tersebut, yakni
semua pendapat tersebut tidaklah kontradiktif namun saling melengkapi dan
berpangkal kepada pengertian amanah sebagai taklif (beban kewajiban) dan
penerimaan perintah serta larangan secara bersyarat. Artinya jika seseorang
melaksanakannya, maka diganjar dan jika meninggalkannya, maka diberi sanksi.
Kemudian amanah itu diterima oleh manusia karena kelemahan dan
kebodohannya, kecuali orang yang diberi taufik oleh Allah. Dialah tempat
memohon pertolongan.
Untuk memahami konsep amanah yang terdapat dalam al-Qurˋan perlu di
lihat dari berbagai konteks yang melingkupi turunnya ayat-ayat amanah tersebut,20
selain itu pendekatan dalam memahami ayat yang digunakan juga harus
mempresentasikan berbagai pendekatan setidaknya pendekatan bi al-raˋyi atau bi
al-maˋtsūr. Hal ini penting untuk dilakukan agar memperoleh pemahaman yang
komprehensif terkait tema amanah.
Term (amanah) ini menarik untuk dikaji karena pertimbangan seringnya
pemakaian term ini dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Penelitian
ini difokuskan pada penafsiran Ibn Katsīr atas ayat-ayat amanah dalam karya tulis
yang terkenal dengan Tafsīr al-Qurˋan al-ˋAẓīm. Tafsir ini dapat dikategorikan
sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi tafsīr bi al-maˋtsūr.21
19
Al-Imām Abī Al-Fidā‟ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm
(Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992), Juz III, h. 501. 20
Konteks turun ayat mengandung pesan yang sangat penting dalam pemahaman al-
Qur‟an, yaitu konteks sosio-historis di mana asbāb al-nuzūl merupakan bagian darinya. Lihat
wa al-Sab‟ al-Masani (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, t.th), h. 173.
24
BAB III
BIOGRAFI IBN KATSĪR DAN GAMBARAN UMUM KITAB
TAFSIR AL-QURˋAN AL-ʻAẒĪM
A. Biografi Ibn Katsīr
Ibn Katsīr merupakan seorang ulama besar ahli tafsir dan hadits, sejarawan
yang hidup di abad ke delapan Hijriyah.1 Nama lengkap beliau ialah ʻImād al-Dīn
Ismāʻīl Ibn ʻUmar Ibn Katsīr al-Baṣry, al-Dimasyqī, al-Faqīh, al-Syāfiʻī.2 Ia biasa
dipanggil dengan sebutan Abū al-Fidā.3 Predikat al-Dimasyqī sering menghiasi
namanya karena hal ini berkaitan dengan kedudukan kota Bashrah yang menjadi
bagian kawasan Damaskus, atau mungkin disebabkan kepindahannya semenjak
anak-anak ke sana. Pendapat lain mengatakan bahwa predikat Al-Baṣry berkaitan
dengan pertumbuhan dan pendidikannya. Dan predikat Al-Syāfiʻī berkaitan
dengan mazhabnya.4 Ia dilahirkan di sebuah desa Mijdal di Syam, tepatnya
kawasan Damaskus. Dia dilahirkan pada tahun 701 H. Hal ini dinyatakan sendiri
oleh Ibn Katsīr dalam karyanya, Al-Bidāyah wa An-Nihāyah.5 Di dalam biografi
kitab Mukhtasar Al-Bidāyah wa An-Nihāyah6, Ibn Katsīr juga berkata, ayah kami
meninggal pada bulan Jumadil Ula tahun 703 Hijriyah di desa Majidal Al Qaryah
dan dimakamkan ditempat bernama Az-Zaitunah, di sebelah utara. Ketika itu, aku
kira-kira berumur 3 tahun. Aku tidak sempat melihatnya, melainkan hanya dalam
mimpi. Sepeninggal ayah, kami pindah ke Damaskus bersama Kamāluddīn
ʻAbdul Wahhāb. Dia saudara kandung kami yang selalu mendampingi kami
dengan penuh kasih sayang. Dia wafat kira-kira 50 tahun sesudahnya. Aku
bekerja di bidang ilmiah padanya.
1 Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsīr Ibn Katsīr, Jilid II (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
tt), h. xiii. 2 Mani Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir terj. Faisal Saleh dkk (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). Ed. I, h. 60. 3 Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.).
Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 132. 4 Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsīr Al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibn Katsīr (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 69. 5 Al-Hāfiz ʻImāduddīn Abu Al-Fidā Ismā‟īl Ibn Katsīr, Tafsir Juz ʻAmma terj. Farizal
Tirmīzi (Jakarta: Pustaka Azzam, 207), h. xv. 6 Al-Hâfiz ʻImāduddīn Abu Al-Fidā Ismā‟īl Ibn Katsīr, Mukhtaṣar Al-Bidāyah wa An-
Nihāyah terj. Asmuni (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 15.
25
Masa kecil Ibn Katsīr bisa dibilang kurang berbahagia, sebab pada usia 3
tahun7, kira-kira tahun 703 H ayahnya meninggal dunia. Sejak saat itu ia diasuh
oleh kakeknya di Damaskus. Di kota inilah ia pertama kali mengenyam
pendidikan. Guru pertama yang membimbingnya ialah Burhānuddīn al-Fazari
(seorang ulama penganut Mazhab Syāfiʻī).
Selama bertahun-tahun, Ibn Katsīr tinggal di Damaskus. Bersama
kakeknya, ia hidup sangat sederhana. Meski demikian, tekadnya untuk menuntut
ilmu berkobar-kobar. Kecerdasan dan daya hafal yang kuat menjadi modal utama
baginya untuk mengkaji, memahami dan menelaah berbagai disiplin ilmu. Nama
Ibn Katsīr mulai diperhitungkan di jagat intelektual Damaskus, Suriah, ketika
terlihat dalam sebuah penelitian untuk menetapkan hukum terhadap seorang
zindik yang didakwa menganut paham hulul, yakni suatu paham yang
berkeyakinan bahwa Allah bersemayam dalam diri hamba. Penelitian itu
diprakarsai oleh Gubernur Suriah, yakni Altunbuga an-Nasiri.8
Walau reputasi Ibn Katsīr mulai meroket, namun ia tak cepat puas. Ia pun
bermaksud mendalami ilmu hadits kepada Jamaluddin al-Mizzi (seorang ulama
terkemuka Suriah) yang kelak Ibn Katsīr akan menjadi menantunya. Di usia yang
relatif muda, ia menghafal banyak matan, mengenali sanad, menilai kualitas
perawi, biografi tokoh dan sejarah. Tak tanggung-tanggung, ia juga sempat
mendegar hadits langsung dari ulama Hijaz serta memperoleh ijazah dari al-Wani.
Karena keahlian itulah, beberapa waktu kemudian, ia mendapat kepercayaan
menduduki jabatan yang sesuai ilmunya. Ia juga berguru kepada Kamaluddin bin
Qadi Syuhbab dan Ibn Taimiyyah.9 Dan kepada Ibn Taimiyyah pula, Ibn Katsīr
7 Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer
(Yogyakarta: Penerbit Kaukaba, 2013), h. 75. Pendapat lain ada yang mengatakan sekitar 7 tahun
(Lihat Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir Al-Ṭabarî dan Tafsir Ibn
Katsīr, h. 69. 8 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 106. 9 Ibn Taimiyyah, nama lengkapnya adalah Taqī al-Dīn Abul ʻAbbās Ibn ῾Abdul Halim
Ibn Muhammad Ibn Taimiyyah al-Harrānī, atau yang populer dengan sebutan Ibn Taimiyyah. Ibn
Taimiyyah merupakan tokoh yang berusaha menghidupkan kembali ajaran agama Islam. Ia
mengkritik ahli fiqih, tasawuf, mazhab-mazhab kalam dan aliran-aliran pemikiran lainnya dengan
logika. Ibn Taimiyyah merupakan tokoh yang berpengaruh pada beberapa tokoh gerakan Islam
semisal Syah Waliyullah, Muḥammad Ibn ʻAbd al-Wahhāb (pendiri gerakan Wahabi di Saudi
Arabia), Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyīd Riḍā. Pengaruh itu pada mulanya
terbatas pada murid-murid terdekat, akan tetapi dalam jangka panjang meresap ke dalam tubuh
26
belajar dan mengikuti dalam sejumlah besar pendapatnya. Para ulama juga
mengakui keluasan ilmu Ibn Katsīr terutama dalam bidang tafsir, hadits dan
sejarah.10
Di antara guru-guru Ibn Katsīr yang banyak memberi pengaruh besar pada
dirinya adalah:11
a. Abdullāh bin Muhammad bin Husain bin Ghailan Al-Baʻlabaki, gurunya
dalam bidang al-Qurˋan.
b. Muhammad bin Jaʻfar bin Farʻusy, gurunya dalam ilmu qiraat.
c. Dhiyaˋuddīn Abdullâh Az-Zarbandy An Nahwy, gurunya dalam ilmu
nahwu.
d. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah. Pada banyak masalah Ibn Katsīr banyak
mengeluarkan pendapat gurunya yang satu ini, antara lain dalam masalah
talak.
e. Ibrāhīm bin Abdurrahmān Al-Gazzary, gurunya dalam Mazhab Syāfiʻī.
f. Najmuddīn Al-Asqalanī, gurunya dalam bidang hadis Ṣaḥīh Muslim.
g. Yūsuf bin Abdurrahman Al-Mazzy. Banyak hal yang dipelajari Ibn Katsīr
dari gurunnya ini hingga ia menikahi putrinya.
h. Al-Hāfiz Al-Zahabī, gurunya dalam ilmu hadits dan tafsir.
i. Al-Qāsim bin Muḥammad Al-Barazily, gurunya dalam ilmu sejarah.
j. Syeikh Syamsuddin al-Zahabī Muhammad ibn Ahmad Qaimas, seorang
sejarawan dari Syam.
k. Syeikh Jamaluddin Ibn al-Zakkiy al-Mizziy, gurunya dalam bidang hadis
dan sekaligus pengarang kitab Tahzībul Kamāl.
Tahun 748 H/1348 M, Ibn Katsīr menggantikan gurunya, Az-Zahabī, di
Turba Umm Salih (Lembaga Pendidikan). Selanjutnya ia diangkat menjadi kepala
Dar al-Hadits al-Asyrafiyah (Lembaga Pendidikan Hadits) setelah wafatnya
Hākim Taqiyyuddīn As-Subkī tahun 756 H/1355 M.
Selama hayatnya, Ibn Katsīr telah menghasilkan banyak karya tulis dalam
berbagai bidang, di antaranya:
1. Bidang Hadits
a. Kitab Jāmiʻ al-Masānid wa al-Sunan12
(Kitab koleksi Musnad dan
Sunan).13
b. Kutub al-Sittah (Enam kitab koleksi hadits)
inteligensia keagamaan pada abad ke-12 H/ 18 M. Lihat Muhammad Chirzin,”Tafsir Ibn
Taimiyyah” dalam Hamim Ilyas (ed.), Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 80-82. 10
dan jilid III memuat tafsir surah al-Qaṣas s/d surah al-Nās. Kitab ringkasan ini
juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H. Salim Bahreisy dan
H. Said Bahreisy dengan judul Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr (8 jilid).22
3. Corak dan Metode Tafsir Ibn Katsīr
Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak
dan orientasi tafsīr bi al-maˋtsūr.23
Metode yang ditempuh oleh Ibn Katsīr dalam
menafsirkan al-Qur‟an dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlilī (metode
analitis). Ini dikarenakan pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat secara analitis
menurut urutan mushaf al-Qurˋan.
Corak bi al-maˋtsūr24
yang digunakan dalam kitab tafsir ini, terbukti
ketika terlihat bahwa Ibn Katsīr tidak hanya bertindak sebagai pengumpul riwayat
saja, tetapi juga sebagai kritikus yang mampu menarjih sebagian riwayat, bahkan
pada saat-saat tertentu menolaknya, baik dengan alasan karena riwayat-riwayat itu
tidak dapat dicerna akal sehat atau karena alasan-alasan lainnya. Sikap Ibn Katsīr
ini terlihat jelas ketika membaca muqaddimah kitab tafsirnya yang merupakan
paparan tentang prinsip-prinsip penafsiran yang dipegangnya dan sekaligus
dipakainya ketika menafsirkan al-Qurˋan. Berikut muqaddimah tafsir al-Qur’an
al-‘Aẓīm karya Ibn Katsīr.
“Jika ada orang yang bertanya cara manakah yang paling baik untuk
menafsirkan al-Qurˋan? Maka jawabannya adalah cara yang terbaik
dalam hal ini adalah menafsirkan al-Qurˋan dengan al-Qurˋan. Sebab,
sesuatu yang dikemukakan secara global pada suatu ayat adakalanya
diperinci atau diperjelas di ayat lain, tetapi jika ternyata pada ayat lain
tidak dijumpai, maka penjelasannya akan dijumpai pada sunnah
22
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 136-137. 23
Namun perlu diperhatikan, bahwa dimasukkannya suatu kitab tafsir ke dalam kategori
yang bercorakkan bi al-ma’tsūr tidak berarti menutup kemungkinan bagi penulisnya untuk
memasukkan juga unsur-unsur non riwayat, seperti kupasan ijtihad. Pengkategorian di atas
hanyalah untuk menunjukkan dominasi unsur riwayat saja. Lihat Rosihon Anwar, Melacak Unsur-
unsur Israiliyyat dalam Tafsir Al-Ṭabarī dan Tafsir Ibn Katsīr, h. 72. 24
Nashruddin Baidan menyebutnya dengan tafsīr bi al-maˋtsūr atau tafsīr bi al-riwāyah.
Lihat Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.
41.
30
Rasulullah sebagai penjelas al-Qurˋan. Jika di sana tidak dijumpainya,
kembalilah kepada perkataan sahabat, sebab mereka lebih mengetahui
secara rinci tentang sebab diturunkannya ayat al-Qurˋan. Di samping
pemahamannya yang sempurna serta ilmu sahih yang dimilikinya.
Jika di sana pun tidak dijumpai, kembalilah kepada perkataan
tabi‟in.25
Adapun langkah-langkah penafsirannya adalah sebagai berikut:
a. Menafsirkan Al-Qurˋan dengan Al-Qurˋan. Metode penafsiran yang
paling ṣaḥīh ialah penafsiran al-Qurˋan dengan al-Qurˋan. Ayat yang di-
mujmal-kan pada suatu tempat, akan diperjelas pada ayat yang lain.
Apabila metode ini tidak dapat anda lakukan, maka tafsirkanlah dengan as-
Sunnah karena ia merupakan penjelas bagi al-Qurˋan.26
Imam Al-Syāfiʻī
r.a berkata, “Semua perkara yang ditetapkan Rasulullah saw merupakan
bagian dari apa yang dipahaminya dari al-Qurˋan.” Rasulullah saw juga
pernah bersabda kepada Muʻadz bin Jabal saat beliau mengutusnya ke
Yaman, “Dengan apa kau menulis perkara?” Muʻadz menjawab, “Dengan
Kitabullah.” Beliau bertanya, “Jika kamu tidak mendapatkannya? “Ia
menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya, “Jika kamu
tidak mendapatkannya?” Ia menjawab, “Saya akan berijtihad dengan
pendapat saya.” Rasulullah saw lalu menepuk dada Muʻadz dan bersabda,
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan
Rasulullah dengan apa yang diridhai Rasulullah.27
Contohnya adalah ketika Ibn Katsīr menafsirkan kata دى dalam
lafadz ayat دى للوتقيي al-Qurˋan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang
bertakwa), ia menafsirkannya dengan menyebutkan 3 ayat dalam al-
Qurˋan yaitu Q.S Fuṣṣilat ayat 44, al-Isrāˋ ayat 82 dan Yūnus ayat 85.28
Sehingga pengertiannya menjadi khusus yakni bagi orang-orang yang
beriman.
25
Imām al-Jalīl al-Hāfiẓ ʻImād al-Dīn Abi al-Fidāˋ Ismā‟īl Ibn Katsīr al-Qurasyī al-
Dimasyqī, Tafsīr Al-Qurˋân Al-‘Aẓīm, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt), h. 3. 26
Muhammad Nasib ar-Rifāʻī, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsīr Ibn Katsīr terj.
Syihabuddin, Jilid I (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), lihat di Ringkasan Kata Pengantar Tafsīr
Ibn Katsīr 27
Al-Hāfiẓ „Imād al-Dīn Abu Al-Fidāˋ Ismā‟īl Ibn Katsīr, Tafsir Juz ʻAmma terj. Farizal
Tirmizi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. xvii. 28
Lihat Imām al-Jalīl al-Hāfiẓ ʻImād al-Dīn Abi al-Fidāˋ Ismā‟īl Ibn Katsīr al-Qurasyī al-
Dimasyqī, Tafsīr Al-Qurˋan Al-‘Aẓīm, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt). h. 39.
31
a. Menafsirkan Al-Qurˋan dengan al-Sunnah
Ibn Katsīr menggunakan langkah ini ketika penjelasan dari ayat
lain tidak ditemukan, atau jika ayat lain ada, penyajian hadis
dimaksudkan untuk melengkapi penjelasan. Hal ini merupakan ciri khas
tafsir Ibn Katsīr. Dalam tafsir ini, secara kuantitas banyak sekali dikutip
hadits-hadits yang dianggap terkait atau dapat menjelaskan maksud ayat
yang sedang ditafsirkan.29
Contohnya adalah ketika ia menampilkan
banyak hadits30
untuk menjelaskan kisah Isra Mi‟raj dalam Q.S al-Isrāˋ
ayat 1.31
b. Menafsirkan Al-Qurˋan dengan Pendapat Sahabat dan Tabiʻin
Ibn Katsīr berpendapat, “apabila kamu tidak menemukan
penjelasan terhadap suatu makna dalam al-Qurˋan, baik dari al-Qurˋan
maupun hadits, maka lihatlah kepada perkataan sahabat. Pendapat ini
didasarkan pada asumsi bahwa sahabat terutama tokoh-tokohnya adalah
orang yang lebih mengetahui penafsiran al-Qurˋan karena mereka
mengalami dan menyaksikan langsung proses turunnya ayat-ayat al-
Qurˋan. Di antara pendapat para sahabat yang paling sering ia kutip
adalah Ibn ʻAbbās dan Qatādah.32
Ibn Katsīr menambahkan apabila kamu
tidak menemukan penjelasan makna ayat dalam al-Qurˋan, hadits dan
dalam perkataan sahabat, maka lihatlah penjelasan dari para Tabiʻin
seperti Mujahid.
c. Menafsirkan Al-Qurˋan dengan Pendapat Para Ulama
Selain menggunakan langkah-langkah di atas, Ibn Katsīr pun
sering mengutip berbagai pendapat ulama atau mufassir sebelumnya
ketika menafsirkan ayat. Pendapat yang ia kutip menyangkut berbagai
aspek di antaranya, teologi, hukum, kisah dan lain-lain. Dari sekian
29
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 139-140. 30
Lihat Imām al-Jalīl al-Hāfiẓ ʻImād al-Dīn Abi al-Fidāˋ Ismā‟īl Ibn Katsīr al-Qurasyī al-
Dimasyqī, Tafsīr Al-Qurˋan Al-‘Aẓīm, Juz III (Semarang: Toha Putra, tt). h. 2-24. 31
Bunyi Q.S Al-Isrā‟ ayat 1:
بازكا حو ليلا هي الوسجد الحسام إلي الوسجد الأقصي الر أسس بعبد وي سبحاى الر و الس ع البصيس ل لسي هي آياتا إ 32
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 140-141.
32
banyak pendapat yang dikutip, beliau paling sering mengutip pendapat
Ibn Jarīr Al-Ṭabarī33
d. Menafsirkan Al-Qurˋan dengan Pendapatnya Sendiri
Langkah ini biasanya ditempuh setelah ia melakukan keempat langkah di
atas. Setelah menganalisis dan membandingkan berbagai data atau penafsiran, ia
seringkali mengemukakan kesimpulan ataupun pendapatnya sendiri pada bagian
akhir penafsiran ayat. Namun langkah ini tidak ia terapkan pada semua ayat. Dan
untuk membedakannya dengan pendapat ulama lainnya dapat diketahui dari
pernyataannya: “Menurut pendapatku..” (qultu...) yang secara eksplisit banyak
dijumpai dalam kitab ini.34
4. Keistimewaan Tafsir Ibn Katsīr
Tafsir Al-Qurˋan Al-‘Aẓīm karya Imam Ibn Katsīr termasuk kitab
berkualitas dalam menafsirkan firman Tuhan karena dalam penafsirannya ia
menggunakan metode yang terbaik.35
Menurut Ṣubhī al-Ṣālih, dalam beberapa aspek, kitab tafsir Ibn Katsīr ini
memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan Tafsir al-Ṭabarī, seperti dalam
hal ketelitian sanadnya, kesederhanaan ungkapannya dan kejelasan ide
pemikirannya.36
Kelebihan lain kitab ini ialah penafsiran ayat dengan ayat atau al-
Qur‟an dengan al-Quran dan dengan hadits yang tersusun secara semi tematik,
bahkan dalam hal ini dapat dikatakan sebagai perintisnya. Selain itu, dalam tafsir
ini pun banyak memuat informasi dan menghindari kupasan-kupasan linguistik
yang terlalu bertele-tele. Karena itulah, al-Suyūṭī memujinya sebagai kitab tafsir
yang tiada tandingannya.
33
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 141. 34
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 142. 35
Al-Ḥāfiẓ ʻImād al-Dīn Abu Al-Fidāˋ Ismāˋīl Ibn Katsīr, Tafsir Juz ʻAmma terj. Farizal
Tirmīzī (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. xvii. 36
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 147-148.
33
5. Pendapat Ibn Katsīr Terhadap Isrāiliyat
Dalam menyikapi berita-berita yang berasal dari Ahli Kitab (Isrāiliyat),
Ibn Katsīr mempunyai langkah tersendiri. Sebagai contoh adalah ketika ia
menafsirkan Q.S Al-„Ankabūt ayat 46:
م وق جوجلجوآ ولا تجادلجوآ أهل الكتاب إلا بالت هي أحسنج إلا هج وا من الذين ظلمجم وإلج نا وأجنزل إليكج ون ن ءامنا بالذي أجنزل إلي م واحد وننج لهج مجسلمج ا وإلجكج
Artinya:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan
dengan cara yang paling baik.” (Q.S Al-„Ankabūt: 46)
Berkaitan dengan ayat di atas, Ibn Katsīr berkometar sebagai berikut:
“Bila mereka (Ahli Kitab) menyampaikan suatu berita yang tidak
diketahui kebenaran dan kebohongannya, berita itu tidak perlu
didustakan sebab dimungkinkan mengandung kebenaran, tetapi juga
jangan dibenarkan sebab dimungkinkan mengandung dusta. Sikap yang
harus kita ambil adalah mempercayai berita tersebut secara global
(apabila berita tersebut pernah Allah turunkan kepada mereka) dan bukan
merupakan ajaran Allah yang diganti dan telah disampingkan”.37
Dalam memecahkan masalah di atas, Ibn Katsīr membagi Isrāiliyat
dalam tiga klasifikasi, yaitu berita yang diketahui kebenarannya, berita yang
diketahui kebohongannya dan berita yang didiamkan (maskut ‘anhu).
Penyelesaian persoalan Isrāiliyat yang pertama dan kedua adalah mudah dan jelas,
yaitu Isrāiliyat yang pertama harus diterima dan yang bagian kedua harus ditolak.
Dan ia hanya mempersoalkan Isrāiliyat yang termasuk ke bagian ketiga.
Ibn Katsīr memperbolehkan meriwayatkan bagian ketiga dengan dua
syarat. Pertama: tidak bertentangan dengan akal dan belum terbukti
kebohongannya. Kedua: meskipun pernyataan pertama terpenuhi, Isrāiliyat jenis
ketiga ini tetap tidak boleh didustakan dan tidak boleh pula dibenarkan. Dengan
demikian bila melihat keterangan Ibn Katsīr di atas, bagian yang ketiga ini boleh
diriwayatkan, tetapi tidak boleh dijadikan keyakinan.
Kebolehan yang diberikan oleh Ibn Katsīr untuk meriwayatkan Isrāiliyat
yang didiamkan oleh syari‟at tidak menunjukkan sikapnya yang lunak terhadap
37
Imām al-Jalīl al-Ḥāfiẓ „Imād al-Dīn Abi al-Fidā‟ Ismāīl Ibn Katsīr al-Qurasyī al-
Dimasyqī, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm (Semarang: Toha Putra, tt). Juz III, h. 416.
34
persoalan ini. Sebab, ia pun mengetahui bahwa Isrāiliyat ini pada umumnya tidak
memberi faedah apa-apa bagi agama dan sedikit sekali yang benar.38
Pernyataan-pernyataan berikut ini adalah sebagai bukti akan sikap
kerasnya:
1. Para ulama tafsir, baik dari kalangan mutaqaddimīn maupun
muta’akhirīn banyak mengutip kisah Isrāiliyat yang notabene berasal
dari Bani Israil. Kisah itu di dalamnya tidak terdapat riwayat yang
marfu’ (langsung) dari Nabi yang terpercaya, ma’ṣūm (terpelihara)
dan tidak bersabda berdasarkan bahwa nafsunya. Sedangkan, al-
Qur‟an sendiri mengemukakan permasalahan tersebut secara global.
Oleh karena itu diimani (terima) saja apa yang terdapat dalam al-
Qur‟an (keglobalannya) dan hakikat sebenarnya, diserahkan kepada
Allah.39
2. Banyak ulama salaf yang meriwayatkan berita-berita Isrāiliyat ini.
Padahal pada umumnya, kisah Isrāiliyat ini tidak ada faedah dan
tidak memberi manfaat apa-apa bagi agama. Kalau memang
bermanfaat, tentunya syariat Islam yang sempurna dan universal ini
akan menjelaskannya.40
Dalam mengemukakan Irsāiliyat, Ibn Katsīr menempuh langkah-langkah
berikut ini:
a. Ia mengemukakan berbagai kelemahan Isrāiliyat berdasarkan
penelitiannya. Ia mengkritik perawi-perawi yang dianggap memiliki
kelemahan-kelemahan tertentu serta memperlihatkan riwayat yang
palsu dan rusak. Keistimewaan itulah yang membedakannya dengan
mufassir lainnya.41
b. Ketika mengemukakan Isrāiliyat asing yang mengandung
kemungkinan benar dan salah, Ibn Katsīr mengingatkan bahwa
Isrāiliyat itu termasuk hal yang diizinkan oleh Nabi untuk
38
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir Al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibn Katsīr (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 141. 39
Lihat pernyataan Ibn Katsīr tersebut dalam, Tafsir Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm. Juz I
(Semarang: Toha Putra, tt), h. 141. 40
Lihat pernyataan Ibn Katsīr tersebut dalam, Tafsir Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm. Juz III. h. 181. 41
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir Al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibn Katsīr (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 142.
35
diriwayatkan. Ia mengingatkan pula bahwa, Isrāiliyat itu tidak boleh
dijadikan pegangan, kecuali bila didukung oleh argumentasi yang
membenarkannya. Misalnya ketika Ibn Katsīr menafsirkan Q.S Al-
Baqarah: 6742
yang menceritakan perintah Tuhan kepada Bani Israil
untuk menyembelih seekor sapi betina. Dalam hal ini, Ibn Katsīr
menyebutkan suatu kisah yang cukup panjang. Beliau menerangkan
tentang pencarian mereka terhadap sapi tertentu dan keberadaan sapi
itu di tangan seorang lelaki Bani Israil. Lalu Ibn Katsīr menyebutkan
pendapat yang menanggapi hal ini dari sebagian ulama salaf.
c. Dalam mengemukakan Isrāiliyat yang dinilai oleh Ibn Katsīr tidak
dapat dicerna oleh akal sehat, ia terkadang meriwayatkannya disertai
peringatan, misalnya ketika Ibn Katsīr menafsirkan Q.S Al-Baqarah:
10243
yang berisi tentang kisah Hārūt Mārūt yang banyak
diriwayatkan oleh sebagian tabi‟in seperti Mujahid, As-Sa‟di, Hasan
al-Bashri, Qatādah, Abu Aliyah, Az-Zuhri, Rabī‟ah bin Anas,
Muqātil bin Ḥayyān dan lain-lain.44
d. Ketika meriwayatkan Isrāiliyat yang nampak bertentangan dengan
akal dan syariat, Ibn Katsīr membantahnya dengan mengajukan
argumentasi yang lengkap dan jelas. Seperti ketika ia menafsirkan
Q.S Al-Māidah: 2245
yang menceritakan tentang keengganan kaum
Nabi Musa a.s untuk melaksanakan perintahnya memasuki Palestina
karena terdapat orang-orang yang gagah perkasa (qaumun jabbārūn).
Dalam riwayat-riwayat yang dikutipnya diceritakan tentang ciri-ciri
fisik qaumun jabbārūn yang menyatakan bahwa salah seorang
penghuni negeri itu adalah cucu Nabi Adam as yang tinggi badannya
3.333 ⅓ hasta. Ia mengomentarinya bahwa hal tersebut mustahil dan
bertentangan dengan dalil yang kuat dari Sahīh Bukhārī dan Muslim
42
Bunyi Q.S Al-Baqarah ayat 67:
إى الله يأهسكن أى تربحوا بقسة قالوا أتتخرا زوا قال أع ليي وإذ قال هوسي لقوه وذ بالله أى أكوى هي الجا 43
Bunyi Q.S Al-Baqarah ayat 102: 44
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir Al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibn Katsīr (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 142. 45
Bunyi Q.S Al-Maidah ayat 22:
ها فإن وا من لها حت يرججج ها ق وما جبارين وإنا لن ندخج وسى إن في ها فإنا داخلجون قالجوا يامج وا من يرججج
36
(sahīḥain) yang mengatakan bahwa Allah menciptakan Adam
dengan tinggi badan 60 hasta, setelah itu sampai sekarang Dia
menciptakan (manusia) tingginya kurang dari itu.46
e. Ibn Katsīr terkadang sama sekali tidak mengambil riwayat Isrāiliyat
seperti ketika ia menafsirkan kata ra’d dan barq dalam Q.S Al-
Baqarah: 19. Hal ini berbeda dengan yang ditempuh Al-Ṭabarī yang
banyak mengutip riwayat Isrāiliyat, antara lain riwayat dari Ali bin
Abī Ṭālib yang menyatakan bahwa ra’d ialah الولك, dan al-barq ialah
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibn Katsir .ضسب السحاب بخساق هي حديد
justru menakwilkan bahwa ra’d ialah sesuatu yang
mencemaskan/menggelisahkan hati dikarenakan keadaan sangat
takutnya orang-orang munafik.47
C. Penilaian Ulama Terhadap Ibn Katsīr
1. Dalam Muʻjam, Imam al-Zahabī mengungkapkan tentang Ibn Katsīr,
“Ia adalah seorang imam, mufti, pakar hadits, spesialis fiqih, ahli
hadits yang cermat dan mufassir yang kritis.”48
2. Ibn Hubaib yang menyebutnya sebagai, “Pemimpin para ahli tafsir,
menyimak, menghimpun dan menulis buku. Fatwa-fatwa dan
ucapannya banyak didengar hampir di seluruh pelosok. Kesohor sebab
kecermatan dan tulisannya. Ia merupakan pakar dalam bidang sejarah,
hadits dan tafsir.
3. Al-Ḥāfiẓ Syihābuddin yang pernah menjadi santri Ibn Katsīr
menyatakan, “Tidak seorang pun yang kami ketahui lebih memiliki
kekuatan memori dengan matan-matan hadits, mengenali tokoh-
tokohnya, menyatakan kesahihan dan ketidaksahihannya selain Ibn
Katsīr.49
Ia merupakan kesaksian ulama yang sezaman dengannya dan
guru-gurunya. Ia menguasai banyak tentang fiqih, sejarah dan jarang
sekali lupa. Ia juga memiliki kemampuan memahami yang baik dan
didukung rasionalitas yang cerdas. Ia mempunyai andil besar dalam
bidang bahasa Arab. Ibn Katsīr kadang merangkai syair. Banyak yang
saya dapat sejak sering bersamanya.”
46
Dadi Nurhaedi, “Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 142. 47
Dadi Nurhaedi, “Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 142. 48
Mani Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir terj. Faisal Saleh dkk (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). Ed. I, h. 64. 49
Mani Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir terj. Faisal Saleh dkk (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). Ed. I, h. 65.
37
4. Muhammad Ḥusain al-Zahabī, sebagaimana dikutip oleh Faudah,
berkata, “Imam Ibn Katsīr adalah seorang pakar fiqih yang sangat ahli,
seorang ahli hadits dan mufassir yang sangat paripurna dan pengarang
dari banyak kitab.50
5. Al-Ḥāfiẓ Ibn Hajar menjelaskan, “Ia adalah seorang ahli hadits yang
faqih. Karangan-karangannya tersebar luas di berbagai negeri semasa
hidupnya dan dimanfaatkan orang banyak setelah wafatnya.”51
50
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
KLASIFIKASI AYAT-AYAT AMANAH DALAM TAFSIR IBN KATSĪR
Dalam bab ini, penulis memaparkan tentang penafsiran ayat-ayat amnah
menurut Ibn Katsīr. Dalam menafsirkan ayat-ayat amanah, Ibn Katsīr menjelaskan
pengertian kata amanah sesuai dengan konteks ayatnya. Rincian tersebut
didasarkan pada obyek kepada siapa amanah tersebut ditujukan dan apa maksud
dan isi dari amanah tersebut. Berikut ini merupakan hasil analisa penulis
berdasarkan pengklasifikasian atau pengelompokkan ayat-ayat amanah.
A. Tabel 4.1. Amanah dalam bentuk Beban Kewajiban (taklīf) dari
Allah untuk Manusia dan Janji (‘aqd).
NAMA SURAT KONTEKS AYAT ARGUMEN
QS. Al-Ahzāb: 72
Allah menawarkan amanah
(kewajiban) kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, namun
ketiganya tidak sanggup. Lalu
ditawarkannya amanah itu
kepada Adam dan diterimalah
amanah itu oleh Adam.
Al-„Aufī, Ibn
„Abbās, Said bin
Jubair, Aḍ-Ḍahak,
Hasan Baṣri,
Ubay bin Ka‟ab,
Qatādah.
QS. Al-Nisā‟: 58
Allah menyuruh kepada manusia
agar menyampaikan amanah
kepada ahlinya. Segala bentuk
amanah wajib dilakukan seluruh
umat manusia. Barangsiapa yang
tidak melaksanakannya di dunia,
maka Dia akan menuntutnya di
akhirat.
Ibn „Abbās,
Muhammad bin
Hanafiyyah, Abu
„Aliyah, Ubay bin
Ka‟ab, Rabi‟ bin
Anas.
QS. Al-Anfāl: 27
Amanah adalah amal-amal
perbuatan yang telah Allah
percayakan kepada hamba-
hambaNya yaitu kewajiban-
kewajiban. Maka janganlah
kamu mengkhianati amanah
yang dipercayakan kepadamu.
Ibn „Abbās
QS. Al-
Mu‟minūn: 8
Orang-orang yang diserahi
amanah, maka wajib bagi
mereka tidak mengkhianatinya,
namun menyampaikan kepada
yang berhak menerimanya. Jika
mereka berjanji atau berakad,
maka mereka mmenuhinya.
Ibn Katsīr
39
1. QS. Al-Ahzāb 72:
ها وحلها إنا عرضنا الأمانة على السماوات والأرض والبال فأبػي أن يملنػها وأشفقن منػ الإنسان إنو كان ظلوما جهول
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amânah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat
zalim dan amat bodoh."
Berdasarkan tabel di atas, dalam menafsirkan QS. Al-Ahzāb: 72 Ibn Katsīr
menyebutkan suatu riwayat dari Ibn „Abbās yang diriwayatkan oleh Al-„Aufī:
قال العوفى عن ابن عباس يعنى بالأمانة الطاعة عرضها عليهم قبل يعرضها على آدم فلم يطقنها فقال لأدم : إنى قد عرضت الأمانة على السموات والأرض والبال فلم يطقنها
قال ان احسنت جزيت وإن أسأت عوقبت فهل أنت أخذ بما فيها؟ قال يا رب وما فيها؟ 1فأخذىا آدم فتحملها فذالك قولو تعالى )و حلها الإنسان إنو. كان ظلوما جهول(.
Al-Aufī meriwayatkan dari Ibn „Abbās. “Yang dimaksud amanah
ialah kewajiban yang harus ditaati”. Allah menawarkan kewajiban
kepada langit, bumi dan gunung-gunung sebelum Dia
menawarkannya kepada Adam. Namun, ketiganya tidak sanggup.
Lalu Allah berfirman kepada Adam, “Sesungguhnya Aku telah
menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
namun semuanya tidak sanggup. Apakah kamu sanggup memegang
teguh perkara yang terdapat di balik amanah itu?” Adam berkata,
“Ya Tuhanku, apakah yang ada di baliknya?” Allah berfirman, “Jika
kamu berbuat baik, maka mendapat imbalan dan jika berbuat buruk,
maka mendapat hukuman.” Kemudian Adam mengambilnya.2
Diriwayatkan oleh Al „Aufī dari Ibn „Abbās ra bahwa yang dimaksud dengan
amanah adalah ketaatan kepada Allah dan kewajiban-kewajiban agama, yang
telah ditawarkannya kepada langit, bumi dan gunung-gunung sebelum
ditawarkannya kepada Adam, maka setelah mereka enggan memikulnya,
berfirmanlah Allah kepada Adam: “Aku telah tawarkan amanah kepada langit,
bumi dan gunung-gunung yang semuanya enggan memikulnya, sanggupkah
III (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992). h. 501. 2 Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1994). h. 337.
40
engkau menerimanya?” Bertanya Adam: “Ya Tuhanku, dan apa di dalamnya?”
Allah berfirman: “Jika engkau lakukan dengan baik, engkau dapat pahala dan jika
engkau menyalah-gunakannya, engkau disiksa, maka diterimalah amanah itu oleh
Adam.3 Belum berlangsung lama, yaitu sekitar jarak antara Ashr hingga malam
dan masih pada hari tersebut, Adam telah melakukan kesalahan.”
Kemudian Ibn Katsīr menyebutkan beberapa pandangan para ulama
mengenai pengertian amanah dalam ayat ini, di antaranya Mujahid, Saʻīd bin
Jubair, aḍ-Ḍahak, Hasan Baṣry dan ulama lainnya yang mengatakan bahwa
amanah itu berarti kewajiban-kewajiban. Ulama lain mengatakan bahwa amanah
pada ayat di atas bermakna ketaatan. Aʻmasy berakata dari Abi Al-Ḍuhā dari
Masrīq dia berkata, “Ubay bin Kaʻab mengatakan termasuk dari sifat amanah
adalah seorang perempuan yang menjaga kemaluannya. Qatādah memahaminya
sebagai agama, kewajiban dan hudud. Yang lain lagi memahaminya sebagai
mandi janabah. Malik berkata Zaid bin Aslam, dia berkata bahwa amanah itu
mengandung 3 hal yaitu shalat, shaum dan mandi janabah.4
Setelah menyebutkan beberapa perbedaan pandangan para ulama mengenai
pengertian amanah dalam ayat di atas, Ibn Katsīr memberikan argumen atau
kesimpulan sebagaimana berikut:
Semua pendapat tersebut tidaklah kontradiktif namun saling melengkapi dan
berpangkal kepada pengertian amanah sebagai taklif (beban kewajiban) dan
penerimaan perintah serta larangan secara bersyarat. Artinya jika seseorang
melaksanakannya, maka diganjar dan jika meninggalkannya, maka diberi sanksi.
Kemudian amanah itu diterima oleh manusia karena kelemahan dan
kebodohannya, kecuali orang yang diberi taufik oleh Allah. Dialah tempat
memohon pertolongan.5
3 Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1994). h. 337. 4 Al-Imām Abī Al-Fidā‟ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm, Juz
III (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992). h. 501. 5 Al-Imām Abī Al-Fidā‟ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm, Juz
III (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992). h. 502.
41
Sahmiar Pulungan, dalam Disertasinya6 menjelaskan bahwa amanah itu berat.
Beratnya amanah tersebut ketika diserahkan kepada benda-benda raksasa (langit
dan bumi) yang tidak sanggup memikul beban itu karena ketidaksiapan bawaan
untuk menerima akal dan taklīf. Amanah dalam ayat di atas mengandung makna
yang umum mencakup segala kewajiban agama. Kemaluan, pendengaran, mata,
lidah, perut, tangan, kaki semuanya adalah amanah dan tidak ada Iman bagi orang
yang tidak mempunyai amanah. Dengan demikian amanah adalah suatu beban
yang diturunkan kepada makhluk berakal maupun yang tidak berakal.
2. QS. Al-Nisāˋ 58:
أىلها وإذا حكمتم بػي الناس أن تكموا بالعدل إن الله يأمركم أن تػؤدوا الأمانات إلىى را عا بصيػ يػ إن الله نعما يعظكم بو إن الله كان س
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar
lagi Maha melihat.”
Dalam QS Al-Nisāˋ: 58 Allah mengabarkan bahwa Dia menyuruh kamu agar
menyampaikan amanah kepada ahlinya. Dalam hadits al-Hasan yang diriwayatkan
dari Samurah bahwa Rasulullah saw bersabda:
7أد الأمانة إلى من ائػتمنك، ول تن من خانك )رواه أحد وأصحاب السنن( “Sampaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanah
kepadamu dan janganlah kamu mengkhianati orang yang
mengkhianatimu.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para penyusun sunan.
Hadits tersebut mencakup segala bentuk amanah yang wajib dilakukan manusia
seperti hak-hak Allah yang menjadi kewajiban para hamba-Nya, yaitu shalat,
zakat, puasa, kafarat, nazar dan sebagainya. Berupa perkara yang dipercayakan
kepada manusia tanpa perlu diwarisi oleh orang lain, juga berupa hak hamba yang
menjadi kewajiban hamba lain, seperti barang titipan dan perkara lain yang
6 Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 42-44. 7 Imām al-Jalīl al-Ḥāfiẓ ˋImād al-Dīn Abi al-Fidā Ismāil Ibn Katsīr al-Qurasyī al-
Dimasyqī, Tafsir Al-Qurˋan Al-ʻAẓīm, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt). h. 505.
42
dimanatkan kepadanya untuk dilaksanakan tanpa perlu disaksikan pihak lain.
Maka Allah swt menyuruh untuk melaksanakan amanah. Barang siapa yang tidak
melaksanakannya di dunia, maka Dia akan menuntutnya di akhirat, sebagaimana
ditegaskan dalam kitab ṣaḥīh, bahwa Rasulullah saw bersabda:
لتػؤدن القوق إلى أىلها حت يقتص للشاة الماء من القرناء “Hendaknya kamu menyampaikan hak kepada penerimanya hingga
kawanan domba yang satu pun menuntut balas dari kawanan domba
yang lain.”8
Kemudian Ibn Katsīr mengemukakan berbagai pandangan para ulama
mengenai pengertian amanah dalam ayat di atas. Seperti Ibn ʻAbbās yang
berpendapat bahwa maksud amanah di sini untuk orang baik maupun durhaka.
Muhammad bin Hanafiyyah berkata, “Amanah di sini bersifat umum, yakni bagi
orang baik maupun durhaka. Ulama lain (Abu „Aliyah) mengatakan, “Amanah
adalah apa yang diperintahkan terhadapnya dan dilarang darinya.” Ubay bin
Kaʻab berkata, “Termasuk amanah adalah seorang wanita yang menjaga
kemaluannya.” Dan Rabi‟ bin Anas berkata, “Termasuk bagian dari amanah
adalah sesuatu yang ada di antara kamu dan di antara manusia.”
Banyak penafsir yang menuturkan bahwa ayat itu diturunkan sehubungan
dengan kasus „Utsman bin Ṭalḥah9, penjaga Kaʻbah yang mulia. Ayat ini
diturunkan karena tatkala Rasulullah saw mengambil kunci Kaʻbah pada peristiwa
penaklukan Mekkah, beliau mengembalikannya kepada Utsmān. Sebagian ahli
ilmu menceritakan bahwa Rasulullah saw berdiri di pintu Kaʻbah lalu bersabda,
“Tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Maha benar janji-Nya. Dia Yang Esa menolong hamba-Nya dan mengalahkan
berbagai golongan.” Ketahuilah, segala kehormatan, darah atau kekayaan yang
diadukan, maka ia berada di bawah kedua kakiku ini, kecuali soal pemeliharaan
Baitullah dan pemberian air minum kepada jemaah haji.” Dia menuturkan kalimat
selanjutnya yang terdapat dalam hadits yang merupakan khutbah Nabi saw pada
8 Imām al-Jalīl al-Ḥāfiẓ ˋImād al-Dīn Abi al-Fidā Ismā‟īl Ibn Katsīr al-Qurasyī al-
Dimasyqī, Tafsir Al-Qurˋân Al-ʻAẓīm, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt). h. 505. 9 Nama lengkapnya adalah Abi Ṭalhah Abdullah bin Abdul ῾Izzi bin ʻUtsman bin ʻAbd
Al-Dār bin Qusai bin Kilāb Al-Qurasyī Al-ʻAbdarī. Lihat Imam al-Jalîl al-Hāfiẓ ˋImād al-Dīn Abi
al-Fidāˋ Ismā‟īl Ibn Katsīr al-Qurasyī al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-„Aẓīm, Juz I, h. 505.
43
saat itu hingga ia berkata: “Rasulullah saw duduk di masjid, lalu datanglah Ali bin
Abi Ṭālib sedangkan kunci Kaʻbah berada di tangannya, kemudian berkata, “Ya
Rasulullah, berikanlah tanggung jawab tentang penjagaan Kaʻbah dan pemberian
minum jamaʻah haji kepada kami. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan salam
kepadamu. „Maka Rasulullah saw bersabda, Di manakah Utsmān bin Ṭalḥah?‟
Maka Utsmān dipanggil supaya menghadap beliau. Lalu Nabi bersabda
kepadanya, “Hai Utsmān, ini ambillah kuncimu! Hari ini merupakan hari
pemenuhan janji dan hari kebaikan.” Ibn Jarīr berkata, telah menceritakan
kepadaku Al-Qāsim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain dari Hajjāj dari
Ibn Juraij berkaitan dengan ayat ini, dia berkata, “Meskipun ayat ini diturunkan
berkaitan dengan pengembalian kunci Kaʻbah, hal ini merupakan amanah yang
dulu diserahkan oleh Utsmān bin Ṭalḥah kepada Rasulullah saw yang kemudian
beliau mengembalikannya kepada Utsmān sebagaimana dikemukakan hadits
tersebut.10
Setelah mengemukakan hadis di atas, Ibn Katsīr berkata:
أن ىذه الأية نزلت في ذلك وسواء كانت نزلت فى ذلك أول فحكمها عام ولهذا قال بن عباس ومحمد بن النفية ىي للبر والفاجر أي ىي أمر لكل أحد.
Maksudnya adalah hukum ayat ini mencakup segala jenis amanah yang
diterima oleh manusia. Oleh karena itu, Ibn „Abbās ra berkata, “Amanah ini bagi
orang yang baik maupun durhaka. Yakni amanah itu merupakan perintah bagi
setiap orang agar memberikan amanah kepada ahlinya.
Dalam Disertasi Sahmiar Pulungan. Ayat di atas menjelaskan amanah di sini
ditujukan sebagai perintah kepada para pemimpin dan kepada manusia semuanya,
seperti memelihara barang titipan, menjaga persaksian dan sebagainya. Dengan
demikian amanah dalam ayat ini adalah kekuasaan.11
Yakni, suatu amanah
ditunaikan kepada ahlinya jangan pandang enteng. Meletakkan suatu amanah pada
ahlinya yang sesuai dengan kesanggupan dan bakatnya, jangan mementingkan
10
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid II (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1993). h. 448-449. 11
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 46.
44
keluarga atau golongan sedangkan dia ternyata tidak ahli, jangan menerima
amanah kalau tidak ahli baik dalam urusan pemerintahan atau urusan umum.12
3. QS. Al-Anfāl 27:
ياأيػها الذين آمنػوا ل تونػوا الله والرسول وتونػوا أماناتكم وأنػتم تػعلمون “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui”
Dalam QS. Al-Anfāl: 27 Ibn Katsīr menyebutkan riwayat dari kitab Ṣaḥīh
Bukhārī dan Ṣaḥīh Muslim yang artinya:
“Ada sebuah kisah tentang Hāṭib bin Abu Balṭaˋah r.a Bahwa dia
pernah menulis surat kepada orang-orang Quraisy untuk
memberitahukan mereka tentang tujuan Rasulullah saw terhadap
mereka di tahun Fathu Makkah. Maka, Allah Ta‟ala memperlihatkan
hal itu kepada Rasul-Nya, lalu beliau mengirim seseorang untuk
mengejar dan mengambil surat itu. Lalu, beliau pun meminta agar
Hāṭib dihadapkan kepadanya dan dia mengakui apa yang telah dia
perbuat. Maka ʻUmar bin Khaṭṭāb r.a bangun dan berkata, “Wahai
Rasulullah bolehkan aku memenggal batang lehernya karena dia telah
berkhianat terhadap Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin?” Maka
beliau bersabda, “Biarkan dia, karena dia telah ikut perang Badar.
Bisa jadi Allah telah memperhatikan apa yang terjadi pada ahli
Badar lalu Dia berfirman, “Berbuatlah sesuka kalian, sesungguhnya
Aku telah memberikan ampunan bagi kalian.”13
Setelah menyebutkan beberapa riwayat hadits seperti yang disebutkan di atas,
Ibn Katsīr berkomentar sebagaimana berikut:
عامة وان صخ أنها وردت على سبب خاص فالأخذ بعموم اللفظ قلت: والصحيح أن الأيةل بخصوص السبب عند الماىير من العلماء. والخيانة تعم الذنوب الصغار الكبار اللازمة
والمتعدية. وقال على بن أبى طلحة عن ابن عباس )وتونوا أماناتكم(, الأمانة : الأعمال الت يضة, يقول )ل تونوا( ل تنقضوىا, وقال في رواية )ل تونوا ائتمن الله عليها العباد يعنى الف
14الله والرسول( يقول بترك سنتو وارتكاب معصيتو.
12 Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 288. 13
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid III (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1993).h.561. 14
Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm,
Juz II (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992)., h. 288.
45
Ibn Katsīr berkata, “Pendapat yang benar adalah ayat tersebut berlaku
umum, meskipun telah diriwayatkan secara ṣaḥīh bahwa ayat itu turun karena
suatu sebab yang khusus. Karena menurut jumhur ulama, yang dijadikan patokan
adalah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab. Perbuatan khianat mencakup
semua dosa kecil dan dosa besar, baik berakibat pada diri sendiri maupun pada
orang lain. „Alī bin Abī Ṭalḥah meriwayatkan dari Ibn ʻAbbās r.a bahwa dia
berkata berkenaan dengan firman Allah swt, “Dan janganlah kamu mengkhianati
amanah yang dipercayakan kepadamu.” Amanah adalah amal-amal perbuatan
yang telah Allah Ta‟ala percayakan kepada hamba-hamba-Nya, yaitu kewajiban-
kewajiban. Dia (Ibn ʻAbbās) berkata, “Janganlah kamu mengkhianati”, yaitu
janganlah kamu membatalkannya.” Ibn „Abbās r.a juga berkata dalam riwayat
yang lain berkenaan firman Allah tersebut. Dia berkata, “Yaitu dengan
meninggalkan perintah-Nya dan melakukan kemaksiatan terhadap-Nya.15
Ibn ʻAbbās mengartikan: wa takhūnū amānātikum, amanah ialah amal
perbuatan yang diamanahkan (diwajibkan) Allah atas hamba-Nya. Lā takhūnū:
jangan kamu kurangi, jangan kamu teledor dan jangan kamu mengabaikannya.
Mengkhianati Rasul ialah meninggalkan sunnahnya dan melanggar larangannya.16
Disertasi Sahmiar Pulungan. Dalam ayat ini menjelaskan bahwa
mengkhianati amanah karena sebagai kesatuan yang berkaitan dengan khianat
kepada Allah swt dan Nabi Muhammad dan mencakup amanah Allah swt kepada
manusia seperti hukum-hukum yang disyariatkan-Nya agar dilaksanakan, amanah
Nabi Muhammad saw kepada manusia seperti keteladanan yang beliau tampilkan
dan amanah antar sesama manusia seperti penitipan harta benda dan rahasia.17
Larangan berlaku khianat terhadap amanah Allah swt, amanah Rasul dan amanah
sesama manusia, yakni menunda-nunda kewajiban dan tidak memelihara amanah
dengan baik.18
15
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid III (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1993). h. 562. 16
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid III (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1993). h. 563. 17
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 49-50. 18
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 247.
46
4. QS. Al-Mu‟minūn 8:
ذين ىم لأماناتم وعهدىم راعون وال “Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang
dipikulnya) dan janjinya.”
Jika mereka diserahi amanah, maka mereka tidak mengkhianatinya, namun
menyampaikan kepada yang berhak menerimanya. Jika mereka berjanji atau
berakad, maka mereka memenuhinya.
ذين ىم لأماناتم وعهدىم راعون وال “Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang
dipikulnya) dan janjinya. (QS. Al-Ma‟ārij 32)”
Maksudnya adalah bila mereka diberi amanah tidak mengkhianatinya dan bila
berjanji tidak pernah melanggarnya. Inilah sifat-sifat orang beriman dan
sebaliknya adalah sifat-sifat orang munafik, sebagaimana telah disebutkan dalam
sebuah hadits ṣaḥīh:
آية المنافق عن أب ىريػرة رضي الله عنو: أن رسول الله صلى الله عليو وسلم قال ثلاث : إذا حدث كذب, وإذا وعد أخلف, وإذا اؤتن خان
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra katanya: Sesungguhnya Nabi
Muhammad saw telah bersabda: Tanda-tanda orang munafik ada tiga
perkara, yaitu apabila bercakap dia berbohong, apabila berjanji dia
mungkiri dan apabila di beri amanah dia mengkhianatinya”. (HR.
Bukhārī).19
Dalam riwayat lain juga dikatakan:
20عاىد غدر وإذا خاصم فجر آية المنافق ثلاث : إذا حدث كذب, وإذا Artinya:“Ciri-ciri orang munafik ada tiga: bila berbicara selalu
dusta, bila berjanji selalu melanggar dan bila berperkara selalu
melampaui batas.”
Disertasi Sahmiar Pulungan.21
Ayat di atas menjelaskan bahwa amanah dan
janji di sini mencakup apa saja yang harus ditunaikan manusia baik urusan agama
19
Abdullah Muhammad bin Ismā‟īl bin Ibrahim bin al-Mughīrah al-Bukhārī, al-Jami‟ al-
Sahih, juz I (Beirut: „Alam al-Kutb, 1417H/1997M), h. 46. Lihat juga Sahih Muslim, Bab Iman,
No. 8. 20
Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-„Aẓīm, Juz IV, h. 422-423. 21
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 44-45.
47
maupun dunia baik perkataan maupun perbuatan. Orang-orang yang beriman
adalah memegang amanah dengan memelihara dan memenuhi setiap janji, baik
janjinya dengan Allah maupun janjinya dengan sesama manusia. Apabila mereka
berkata tidak berdusta, dipercaya tidak berkhianat, apabila berjanji tidak
melanggar.
Dari uraian yang terdapat pada tabel 4.1 di atas penulis menemukan
persamaan dan perbedaan antara penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya
Persamaan Perbedaan
QS. al-Ahzāb: 72. Persamaanya antara
penelitian penulis dengan sebelumnya
adalah sama-sama memaknai amanah
dengan segala kewajiban agama yang
harus ditunaikan sebaik-baiknya.
Perbedaannya adalah dalam
penelitian penulis, Ibn Katsīr
menafsirkan ayat amanah yang
terdapat QS. al-Ahzāb: 72 yaitu
tidak hanya mengemukakan makna
amanah dari berbagai pandangan saja
tapi di sini Ibn Katsīr menyebutkan
riwayat Ibn „Abbās. Sedangkan
dalam penelitian sebelumnya hanya
mengemukakan berbagai pandangan
tentang makna amanah.
Jadi terbukti bahwa Ibn Katsīr tidak
hanya bertindak sebagai pengumpul
riwayat saja, tetapi juga sebagai
kritikus yang mampu menarjih
sebagian riwayat.
QS. Al-Nisa’: 58. Persamaannya antara
penelitian penulis dengan sebelumnya
adalah sama sama memberi pernyataan
untuk menyampaikan amanah kepada
ahlinya.
Perbedaannya adalah dalam
penelitian saya memaknai amanah
dengan segala bentuk amanah yan
wajib dilakukan manusia seperti hak-
hak Allah yang menjadi kewajiban
para hamba-Nya. Dalam penelitian
ini Ibn Katsīr juga mengambil
riwayat hadits al-Hasan dari
Samurah. Sedangkan dalam
penelitian sebelumnya memaknai
amanah dengan kekuasaan yang
ditujukan kepada pemimpin dan
manusia untuk memelihara dan
menjaga persaksian. Dan hanya
mengemukakan beberapa pendangan
tentang makna amanah.
QS. Al-Anfāl: 27. Persamaannya
antara penelitian penulis dengan
sebelumnya adalah sama sama memberi
pernyataan tidak boleh mengkhianati
Perbedaannya adalah dalam
penelitian saya Ibn Kastīr
menyebutkan riwayat dari kitab
Sahih Muslim kisah tentang Hāṭib bin
48
amanah Allah, rasul dan sesama
manusia. Yakni mengkhianati Allah
berupa meninggalkan kewajiban-
kewajiban atau syari‟at hukum yang
telah Allah percayakan kepada hamba-
Nya agar dilaksanakan. Mengkhianati
rasul yaitu meninggalkan sunnahnya
dan melaranggar larangannya.
Mengkhianati sesama manusia yakni
tidak memelihara barang titipan, rahasia
dan lain sebagainya.
Abu Balṭa‟ah ra sebagai sebab
turunnya ayat ini. Sedangkan dalam
penelitian sebelumnya ayat ini
diturunkan berkaitan dengan
peristiwa Abu Lubabah dan Bani
Quraizhah.
QS. Al-Mu’minūn: 8. Persamaannya
antara penelitian penulis dengan
sebelumnya adalah sama sama
memaknai amanah disini dengan
memberi pernyataan sifat orang-orang
yang beriman adalah memegang
amanah dengan memelihara dan
memenuhi setiap janji. Apabila mereka
berkata tidak berdusta, dipercaya tidak
berkhianat dan apabila berjanji tidak
melanggar.
Perbedannya adalah dalam penelitian
saya Ibn Katsīr mengambil riwayat
abu Hurairah ra dalam hadits Bukhārī
dan riwayat lain dalam Tafsir al-
Qur‟an al-„Aẓīm. Sedangkan dalam
penelitian sebelumnya tidak
mengambil riwayat siapapun.
B. Tabel 4.2 Amanah dalam bentuk Hutang Piutang (barang titipan)
sesama Manusia
NAMA
SURAT
KONTEKS AYAT ARGUMEN
QS. Al-Baqarah:
283
Jika terjadi hutang piutang dan sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain
maka tidak apa-apa apabila kamu tidak
mencatat dan mempersaksikannya.
Tetapi Allah mengingatkan supaya yang
berhutang membayar tepat pada
waktunya, hendaknya takut benar
kepada ancaman Tuhan terhadap orang
yang berlaku khianat, demikian pula
orang yang menyaksikan kejadian itu
harus menerangkan yang sebenarnya
dan jangan sampai menyembunyikan
persaksiannya sebab hal itu adalah dosa,
sedang Allah mengetahui segala
perbuatan makhluk-Nya.
Abu Sa᾿īd al-
Khudrī, Al-
Syaʻbī, Ibn
„Abbās.
49
QS. Al-Baqarah: 283 ذي اؤتن وإن كنتم على سفر ول تدوا كاتبا فرىان مقبػوضة فإن أمن بػعضكم بػعضا فػليػؤد ال
.فإنو ءاث قػلبو والله بما تػعملون عليم أمانػتو وليتق الله ربو ول تكتموا الشهادة ومن يكتمها “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu‟amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah (Tuhannya), dan janganlah
kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa
yang menyembunyikan (persaksian), maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibn Katsīr menyebutkan sebuah riwayat dari
Ibn Abī Hātim yang meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Abu Sa᾿īd al-
Khudrī, dia berkata; ىذه ما نسخت قبلها bahwa ayat ini menaskh ayat sebelumnya,
(yaitu firman Allah Ta‟ala, „Maka catatlah..‟). Kemudian Ibn Katsīr melanjutkan
"وقال الشعبي: اذا نتمن بعضكم بعضا فلا بأس أن ل تكتبوا أو ل تشهدوا" . Al-Syaʻbī
berkata: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka tidak apa-
apa apabila kamu tidak mencatat dan mempersaksikannya.”22
Jika terjadi hutang piutang dalam perjalanan dan bertepatan tidak ada penulis,
maka hendaknya dilakukan dengan memegangkan barang tanggungan, tetapi jika
masing-masing percaya mempercayai maka boleh tanpa tanggungan, tetapi Allah
mengingatkan supaya yang berhutang membayar tepat pada waktunya, hendaknya
takut benar kepada ancaman Tuhan terhadap orang yang berlaku khianat,
demikian pula orang yang menyaksikan kejadian itu harus menerangkan yang
sebenarnya dan jangan sampai menyembunyikan persaksiannya sebab hal itu
adalah dosa, sedang Allah mengetahui segala perbuatan makhluk-Nya.
فػليػؤد الذي اؤتن أمانػتو فإن أمن بػعضكم بػعضا ; Maka jika masing-masing
mempercayai, maka hendaknya yang diamanati supaya mengembalikan
amanahnya. Abu Sa᾿īd Al-Khudrī berkata: ayat ini memansukhkan ayat yang
sebelumnya. Yakni kewajiban menulis itu berubah tidak wajib, demikian pula soal
Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟ân Al-„Aẓīm, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt). h. 43.
50
persaksian, yakni jika sudah saling percaya meskipun tidak ditulis dan tidak
dipersaksikan tidak apa-apa, hanya saja Allah menekankan supaya orang yang
dipercaya itu menjaga benar taqwanya, jangan sampai menyalahi amanah.
تكتموا الشهادة ول ; Dan jangan menyembunyikan persaksian. Ibnu „Abbās ra.
Berkata; “Persaksian yang palsu itu termasuk dosa besar dan menyembunyikan
persaksian itu juga sama. Dan siapa yang menyembunyikan persaksiannya maka
ia lancung hatinya dan berdosa. Dan Allah Maha Mengetahui semua perbuatanmu
yang lahir, batin terang dan samar.23
Firman Allah Taʻala, “dan bertakwalah kepada Allah (Tuhanmu)” sebagai
Dzat Yang Dipercaya. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para penulis sunan yang diterima dari
Qatādah dari Al-Ḥasan dan Samurah, bahwa Rasulullah saw bersabda:
على اليدى ما أخذت حت تؤديو “Tetapi tangan yang menerima itu menanggung amanat sehingga
ia kembalikan amanat itu. (HR. Ahmad, Ahlisuunan).24
Dalam Disertasi Sahmiar Pulungan.25
Menjelaskan jika kamu dalam
perjalanan dan bermuamalah tidak secara tunai, sedangkan tidak mendapatkan
seorang penulis yang dapat menulis hutang-hutang sebagaimana mestinya, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Di sini
jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi, tetapi bebentuk kepercayaan dan
amanah yang bersifat timbal balik. Amanah dalam ayat ini adalah kepercayaan
dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi yang harus dipelihara.26
Dari uraian di atas penulis menemukan persamaan dan perbedaan antara
penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya. Persamaan dalam penelitian
23
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1988).
Jilid I, h. 520-521. 24
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid I (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h. 521. 25
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 204-205. 26
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 39.
51
penulis dengan sebelumnya adalah sama-sama memaknai amanah dengan barang
ttipan. Yakni kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi
yang harus diperlihara dan jangan menyembunyikan persaksian. Persaksian yang
palsu dan menyembunyikannya itu termasuk dosa besar. Perbedaannya adalah
dalam penelitian saya Ibn Katsīr menyebutkan riwayat dari Ibn Abī Hātim dan
hadits Imam Ahmad. Sedangkan dalam penelitian sebelumnya tidak terdapat
riwayat siapapun hanya menjelaskan ayat yang bersangkutan dengan amanah. Jadi
terbukti bahwa Ibn Katsīr menafsirkan makna amanah tidak hanya bertindak
sebagai pengumpul riwayat saja, tetapi juga sebagai kritikus yang mampu
menarjih sebagian riwayat. Sedangkan dalam disertasi Sahmiar mengakumulasi
berbagai aspek pembahasan yang bertitik tolak dari teks ayat al-Qur‟an tentang
amanah dalam cakupan makna yang lebih luas.
Tabel 4.3 Amanah dalam bentuk Kepercayaan dan Aman.
NO NAMA SURAT KONTEKS AYAT ARGUMEN
1. QS. Al-A‟rāf: 68 Inilah sifat-sifat yang harus dimiliki
oleh para Rasul: yaitu menyampaikan
risalah dakwah, memberi nasehat dan
menunaikan amanah (terpercaya).
Ibn Katsīr
2.
QS. Al-Syuʻarāˋ
:107
Nūh as diutus oleh Allah kepada
penghuni bumi setelah sebelumnya
berhala dan sekutu yang disembah
oleh mereka. Namun kaumnya
mendustakan Nūh dan mereka terus-
menerus berada dalam kemusyrikan.
Pendustaan mereka terhadap Nūh
dipandang Allah sebagai pendustaan
terhadap seluruh rasul.
Ibn Katsīr
QS. Al-Syuʻarāˋ:
125
Hūd as bahwasannya ia menyeru
kaumnya. Yaitu kaum ʻĀd mereka
beribadah kepada selain Allah swt.
Allah mengutus kepada (Hūd as)
seseorang dari kalangan mereka
sebagai rasul, pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan.
Lalu dia menyeru mereka kepada
Allah dan memperingatkan mereka
akan hukuman dan adzab-Nya jika
mereka menyelisihi-Nya
QS. Al-Syuʻarāˋ:
143
Allah mengutus nabi Ṣāleh as kepada
kaum Tsamud. Mereka bangsa Arab.
52
Nabi Ṣāleh mengajak mereka kepada
Allah Taʻala agar mereka
menyembah Dia semata tanpa sekutu
bagi-Nya dan hendaklah mereka
menaati risalah yang disampaikan
kepada mereka. Namun jika mereka
membangkang, mendustakan dan
menyelisihnya maka semuanya akan
binasa bersama mereka.
QS. Al-Syuʻarāˋ:
162
Lūṭ as diutus Allah kepada satu umat
yang ditinggal di Sadum. Perilaku
mereka menyebabkan mereka
dibinasakan oleh Allah swt. Dia
menjadikan tempat tinggal mereka
danau yang bau busuk. Lūṭ mengajak
mereka untuk meng-Esakan Allah,
dan menaati rasul yang telah Allah
utus kepada mereka dan melarang
mereka bermaksiat yaitu berbuat
sodomi
QS. Al-Syuʻarāˋ:
178
Allah mengutus nabi Syuʻaib as
untuk mengajak penduduk Aikah
menyembah hanya kepada Allah
yang telah menciptakan kamu dan
menciptakan alam semesta ini,
bertaqwalah kamu kepada-Nya dan
taatlah kepada ajaranku yang Allah
perintahkan aku menyampaikan
kepadamu.
3.
QS. Al-Takwīr:
21
Maksud Ar-Rūh Al-Amīn dalam ayat
ini adalah Jibril as. Jibril merupakan
malaikat Allah yang disifati dengan
Ar-Rūh Al-Amīn. Disifati dengan al-
Amīn karena ia (Jibril merupakan
kepercayaan Allah swt untuk
memelihara wahyu-Nya dan
menyampaikannya kepada siapapun
di antara hamba-Nya yang Dia
kehendaki.
Ibn „Abbās,
Muhammad
bin Ka‟ab,
Qatādah
„Aṭiyyah Al-
Aufā, Aḍ-
Ḍahak, Az-
Zuhrī dan Ibn
Juraij.
4. QS. Al-Naml: 39 Ifrit dari golongan Jin.
“Sesungguhnya aku benar-benar
kuat untuk membawanya lagi dapat
dipercaya. Ibn „Abbās berkata:
yakni, kuat untuk memikulnya dan
terpercaya untuk menjaga permata
yang terdapat di dalamnya.
Ibn „Abbās
5. QS. Al-Tīn: 3 Yang dimaksud الأمين (aman) pada
ayat di atas yaitu Kota Makkah.
Ibn „Abbās,
Mujahid,
53
Sebagian para Imam berkata: ketiga
tempat ini adalah lokasi diutusnya
seorang Nabi yang tergolong dalam
Ulul Azmi yang diturunkan syariat
besar kepada mereka. Yaitu: tempat
Tin dan Zaitun, Sinīn (Gunung
Sinai), Makkah, yaitu negeri yang
aman.
Ikrimah, Al-
Hasan,
Ibrāhīm, An-
Nakhāī, Ibn
Zaid, dan
Ka‟ab Al-
Ahbār.
1. QS. Al-A‟rāf: 68
ت رب وأنا لكم ناصح أمي ال س أبػلغكم ر “Aku menyampaikan amanah-amanah Tuhanku kepadamu dan
aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu.”
Pada ayat di atas. Ibn Katsīr berkata:
27وىذه الصفات الت يتصف بها الرسل البلاغ والنصح والأمانة
Itulah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para Rasul: yaitu menyampaikan
risalah dakwah, memberi nasehat dan menunaikan amanah (terpercaya).”
ي وقال الملك ائػتون بو أستخلصو لنػفسى فػلما كلمو, قال إنك اليػوم لديػنا مكي أم Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih
dia sebagai orang yang dekat kepadaku”. Maka tatkala raja telah
bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu
(mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi
dipercayai di sisi kami.” (QS. Yūsuf: 54)
Allah swt berfirman mengisahkan raja Mesir. Setelah mengetahui dan
meyakini kebersihan Yūsuf dari segala yang dituduhkan kepadanya serta
keluhuran budi pekertinya, maka ia berkata, “Bawalah Yūsuf kepadaku untuk ku
angkat dia menjadi salah seorang anggota staf khususku dan penasehatku.”28
Disebutkan dalam Tafsir Ibn Katsīr, setelah raja Mesir bercakap-cakap
dengan Yūsuf, maka berkatalah ia kepadanya, مكانة وأمنة إنك عندنا قد بقيت ذا
27
Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm,
Juz II (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992). h. 215. 28
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid IV (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h. 384.
54
Sesungguhnya engkau (Yūsuf) di sisi kami sebagai pembantu yang berkedudukan
tinggi dan berkepercayaan penuh.”29
2. QS. Al-Syuʻarāˋ
إن لكم رسول أمي “Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus)
kepadamu.” (QS. Al-Syuʻarâˋ 107, 125, 143, 162, dan 178).
Pada ayat di atas, disebutkan sebanyak 5 kali dalam satu surah yang sama.
Ayat-ayat tersebut ialah ayat ke 107, 125, 143, 162 dan 178, namun mengarah
pada obyek yang berbeda. Obyek-obyek tersebut ialah Nabi Nūh, Hūd, Ṣāleh, Lūṭ
dan Syuʻaib. Adapun rinciannya sebagai berikut:
a. Nabi Nūh as
Tafsirnya: Kelompok ayat ini merupakan pemberitahuan dari Allah
Taʻala ihwal hamba dan Rasul-Nya, Nūh as. Dia merupakan rasul pertama
yang diutus oleh Allah kepada penghuni bumi setelah sebelumnya berhala
dan sekutu yang disembah oleh mereka. Kemudian kaumnya mendustakan
Nûh dan mereka terus-menerus berada dalam kemusyrikan. Pendustaan
mereka terhadap Nūh dipandang Allah sebagai pendustaan terhadap seluruh
rasul. Karena itu, Allah Ta‟ala berfirman, “Kaum Nūh telah mendustakan
para rasul” Ketika saudara mereka berkata: kepada mereka, „Mengapa kamu
tidak bertaqwa?‟ Yakni mengapa kamu tidak takut kepada Allah dengan
penyembahanmu kepada selain-Nya?‟30
Terkait firman Allah, “ إن لكم رسول أمي” Ibn Katsīr menafsirkannya
dengan:
: أي إنى رسول من الله إليكم أمي فيما بعثنى الله بو أبلغكم رسالت إنى لكم رسول أمي 31رب ول أزيد فيها ول أنقص منها.
29
Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm,
Juz II (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992), h. 463. 30
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h. 62. 31
Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm,,
Juz III (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992), h. 329.
55
Sesungguhnya aku adalah seorang rasul Allah yang terpercaya
bagimu. Allah telah mengutus kepadaku untuk menyampaikan risalah-Nya.
Dan aku tidak menambah dan mengurangi risalah itu.
b. Nabi Hūd as
Tafsirnya: Ini adalah kabar dari Allah Taʻala tentang hamba dan rasul-
Nya, yaitu Hūd as, bahwasannya ia menyeru kaumnya. Yaitu kaum ʻĀd.
Mereka adalah kaum yang menempati Al-Ahqāf, yaitu bukit-bukit pasir yang
terletak dekat dengan negeri Hadramaut dari arah negeri Yaman. Zaman
mereka adalah setelah Nabi Nūh. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S Al-
Aʻrāf: 69 Mereka وواذكروا إذ جعلكم خلفاء من بعد قوم نوح وزادكم في الخلق بسط
kaum yang berada pada puncak keteraturan, kekuatan, siksanya keras,
kekuasaan yang luas, rezeki yang lapang, harta benda, kebun-kebun, sungai-
sungai, anak-anak, tanaman-tanaman dan buah-buahan. Meski demikian,
mereka beribadah kepada selain Allah swt. Maka Allah mengutus kepada
(Hūd as) seseorang dari kalangan mereka sebagai rasul, pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan. Lalu dia menyeru mereka kepada Allah dan
memperingatkan mereka akan hukuman dan adzab-Nya jika mereka
menyelisihi-Nya.32
c. Nabi Ṣāleh as
Tafsirnya: Ini merupakan pemberitahuan dari Allah swt ihwal hamba
dan rasul-Nya, Ṣāleh as. Dia mengutusnya kepada kaum Tsamud. Mereka
bangsa Arab. Mereka tinggal di kota al-Hijr yang terletak antara Wadil Qura
dan Syria. Tempat tinggal mereka dikenal dan sangat masyhur. Kaum
Tsamud hidup setelah kamu ʻĀd dan sebelum Ibrāhīm as.
Nabi Ṣāleh mengajak mereka kepada Allah Taʻala agar mereka
menyembah Dia semata tanpa sekutu bagi-Nya dan hendaklah mereka
menaati risalah yang disampaikan kepada mereka. Namun jika mereka
membangkang, mendustakan dan menyelisihnya maka semuanya akan binasa
32
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h. 68.
56
bersama mereka.33
Dan Nabi Ṣāleh juga mengabarkan kepada mereka bahwa
dia tidak meminta upah sedikitpun dari mereka, akan tetapi dia hanya
mengharapkan pahala dari Allah swt.
Pendapat yang benar adalah mereka satu umat. Mereka disifati untuk
setiap situasi dengan sesuatu. Karena itu Nabi Syuʻaib menasehati dan
memerintahkan mereka untuk memenuhi takaran dan timbangan sebagaimana
dalam kisah Madyan (sama persis). Maka hal ini menunjukkan bahwa mereka
adalah satu umat dengan nama yang berbeda. d. Nabi Lūṭ as
Tafsirnya: Allah Ta‟ala memberitahukan ihwal hamba dan rasul-Nya,
Lûṯ as. Lûṯ adalah anak laki-laki Haran bin Azar. Dia adalah anak saudara
laki-laki Ibrahīm as. Dia diutus kepada satu umat yang ditinggal di Sadum.
Perilaku mereka menyebabkan mereka dibinasakan oleh Allah swt. Dia
menjadikan tempat tinggal mereka danau yang bau busuk. Tempat ini dikenal
di wilayah pegunungan Bergua yang berdekatan dengan wilayah pegunungan
Baitul Maqdis. Lūṯ mengajak mereka untuk meng-Esakan Allah, dan menaati
rasul yang telah Allah utus kepada mereka dan melarang mereka bermaksiat
yaitu berbuat sodomi.34
e. Nabi Syuʻaib as
Tafsirnya: Penduduk Aikah adalah penduduk Madyan. Aikah nama
sebuah pohon yang menjadi persembahan mereka. Nabi yang datang kepada
mereka adalah Nabi Syuʻaib as yang sekutu, sedarah, sedaging dengan
seorang rasul kepercayaan yang diutus Allah kepada kamu, untuk mengajak
kamu menyembah hanya kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan
menciptakan alam semesta ini, bertaqwalah kamu kepada-Nya dan taatlah kepada
ajaranku yang Allah perintahkan aku menyampaikan kepadamu. Dan untuk
penyampaian ajaran dan tuntunan Allah kepadamu, sekali-kali aku tidak
33
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h.74. 34
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h. 79.
57
minta upah kepadamu. Upahku hanyalah dari Allah, Tuhan semesta alam
yang telah mengutusku.35
Kemudian, Ibn Katsīr menyebutkan beberapa riwayat hadits yang
berbicara mengenai apakah penduduk Aikah dan Madyan itu satu umat?
Ataukah keduanya berbeda (dua umat)? Hadits-hadits tersebut di antaranya:
ا حدثنى إبن السدى عن أبيو وزكري –وىو ضعيف -وقد روى إسحاق بن بشر الكاىلىبن عمر وعن خصيف عن عكرمة قال: ما بعث الله نبيا مرتي إل شعيبا مرة الى مدين
فأخذىم الله بالصحيحة ومرة الى أصحاب الأيكة فأخذىم الله تعالى بعذاب يوم الظلة, وروى أبو القاسم البغوى عن ىدبة عن همام عن قتادة فى قولو تعالى )وأصحاب الرس( قوم
الأيكة( قوم شعيب. وقال لو إسحاق بن بشر. وقال غير جويبر شعيب وقولو )وأصحاب .أصحاب الأيكة ومدين هما واحد, والله أعلم
36
Pada pembahasan akhir dalam menafsirkan ayat di atas, Ibn Katsīr
berkata:
والصحيح أنهم أمة واحدة وصفوا فى كل مقام بشيئ ولهذا وعظ ىؤلء وأمرىم بوفاء 37والميزان كما فى قصة مدين سواء بسواء فدل ذلك على أنهما أمة واحدة.المكيال
Dari uraian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dalam QS. Al-Syuʻarâˋ
107, 125, 143, 162, dan 178 yaitu amanah dengan makna kepercayaan,
maksudnya adalah sifat yang dimiliki oleh seseorang, yaitu sifat terpercaya, selalu
jujur, setia dengan ucapan dan tidak berdusta. Amanah merupakansatu sifat yang
wajib dimiliki oleh seorang rasul. Lima kali kata rasūlun amīn untuk menyebut
lima orang Rasul. Gelar tersebut diberikan kepada yakni; Nabi Nūh as (ayat 107),
Nabi Hūd as. (ayat 125), Nabi Shaleh as (ayat 143), Nabi Luth as (ayat 162) dan
Nabi Syu‟aib as (ayat 178). Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan bahwa rasul diberi
kepercayaan dan kepercayaan yang dimaksud adalah risalah atau agama Allah swt
untuk mengatur kehidupan manusia.
35
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h. 81. 36
Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm,
Juz III (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992), h. 334. 37
Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm, Juz III, h. 334.
58
3. QS. Al-Takwīr: 21
أمي طاع ث م “Yang ditaati (di alam malaikat), lagi dipercaya.”
Kata الأمي dalam ayat di atas dimaknai dengan “صفة لبريل بالأمانة” adalah
sifat yang dimiliki Jibril as, yaitu amanah atau dapat dipercaya.38
Hal ini
merupakan suatu perkara yang sangat agung karena Allah swt menyucikan
hamba-Nya dan utusan-Nya (Malaikat Jibril) sebagaimana Allah swt menyucikan
hamba-Nya dan utusanya (Muhammad saw) dengan firman-Nya: وما صحبكمن بمجنػو (Dan temanmu [Muhammad] bukanlah sekali-kali orang yang gila). Al-
Syaʻbī, Maimūn bin Mahrān dan Abu Ṣālih berkata: maksud dari ayat “ وما صحبكم adalah Nabi Muhammad saw. Sedangkan pendapat yang dikatakan oleh ”بمجنػون
lebih dari satu orang ulama salaf, di antaranya Ibn ʻAbbās, Muhammad bin Kaʻab,
Qatādah, „Aṭiyyah Al-Aufā, As-Suddī, Adh-Dhahak, Az-Zuhrī dan Ibn Juraij.
Disifati dengan al-Amīn karena ia (Jibril merupakan kepercayaan Allah swt untuk
memelihara wahyu-Nya dan menyampaikannya kepada siapapun di antara hamba-
Nya yang Dia kehendaki.39
Az-Zuhri bekata: Ini seperti yag disebutkan dalam
firman Allah QS. Al-Baqarah 97:
قا لما بػي يديو وىدى قل من كان ع دوا لبريل فإنو نػزلو على قػلبك بإذن الله مصد وبشرى للمؤمني
“Katakanlah Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka
Jibril itu telah menurunkan (al-Qur‟an) ke dalam hatimu dengan
seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang
beriman.”
Dari uraian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa dari ayat (QS.
Al-Takwīr: 21) tersebut, diketahui bahwa amanah bukan saja diberikan kepada
manusia, akan tetapi amanah juga dapat disematkan kepada para malaikat,