Top Banner
1 PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera) PADA BERBAGAI SUHU PEMANGGANGAN (Making Cookies With Addition of Wheat Leaf Moringa (Moringa oleifera) At Various Temperature Roasting) Fitri Kusuma Dewi, Ir. Neneng Suliasih, MP, dan Dr. Ir. Yudi Garnida, MS Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung ABSTRACT The purpose of this study was to determine the concentration of Moringa flour and baking temperature is right as well as its interaction with the characteristics of Moringa cookies.The study was conducted using a randomized block design (RAK), which consists of two factor T (the concentration of flour moringa), which consists of three levels ie t 1 (3%), t 2 (5%), t 3 (7%) and factor S (temperature roasting ) which consists of three levels ie s 1 (140 ° C), s 2 (150 ° C), s 3 (160 ° C). The response in the study is a response to a chemical (protein content, moisture content, and the levels of vitamin C), the response organoleptic (color, aroma, texture, flavor and after-taste) and test the calcium and the antioxidant activity of the treatment chosen.Based on this research, it is known that the concentration of Moringa flour influenced the protein content, color, aroma, texture, flavor and after-taste, roasting temperature effect on moisture content and color, as well as the interaction of Moringa powder concentration and roasting temperature effect on the levels of vitamin C.The treatments that are the product of cookies by using moringa powder concentration of 3% (t 1 ) and the roasting temperature of 140 ° C (s 1 ) which has a protein content of 13.47%, 3.48% water content, vitamin C content of 223.01 mg / ml, 300 mg calcium levels and the average IC50 value of 3190,89 ppm (weak). Keywords: cookies, Moringa leaves, roasting temperature 1. Pendahuluan Tanaman kelor (Moringa oleifera) adalah salah satu tanaman yang paling luar biasa yang pernah ditemukan, dimana kelor secara ilmiah merupakan sumber gizi berkhasiat obat yang kandungannya diluar kebiasaan kandungan tanaman pada umumnya, sehingga kelor diyakini memiliki potensi untuk mengakhiri kekurangan gizi, kelaparan, serta mencegah dan menyembuhkan berbagai penyakit (Krisnadi, 2010). Di dunia internasional, budidaya daun kelor merupakan suatu program yang sedang dijalankan. Terdapat beberapa julukan untuk pohon kelor diantaranya The Miracle Tree, Tree For Life, dan Amazing Tree. Julukan tersebut muncul karena bagian pohon kelor mulai dari daun, buah, biji, bunga, kulit, batang, hingga akar memiliki manfaat yang luar biasa. Tanaman kelor mampu hidup di berbagai jenis tanah, tidak memerlukan perawatan yang intensif, tahan terhadap musim kemarau, dan mudah dikembangbiakkan (Simbolon dkk 2007, dalam Hardiyanthi 2015). Menurut Utami (2013), manfaat dari daun kelor antara lain sebagai anti peradangan, hepatitis, memperlancar buang air kecil, dan anti alergi, selain itu daun kelor (Moringa oleifera) banyak digunakan dan dipercaya sebagai obat infeksi, anti bakteri, infeksi saluran urin, luka eksternal, anti-hipersensitif, anti- anemik, diabetes , colitis, diare, disentri, dan rematik (Fahey 2005, dalam Nugraha 2013).
21

PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

Feb 06, 2018

Download

Documents

dangdang
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

1

PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN

KELOR (Moringa oleifera) PADA BERBAGAI SUHU PEMANGGANGAN (Making Cookies With Addition of Wheat Leaf Moringa (Moringa oleifera) At Various

Temperature Roasting)

Fitri Kusuma Dewi, Ir. Neneng Suliasih, MP, dan Dr. Ir. Yudi Garnida, MS Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the concentration of Moringa flour and

baking temperature is right as well as its interaction with the characteristics of Moringa

cookies.The study was conducted using a randomized block design (RAK), which consists

of two factor T (the concentration of flour moringa), which consists of three levels ie t1

(3%), t2 (5%), t3 (7%) and factor S (temperature roasting ) which consists of three levels

ie s1 (140 ° C), s2 (150 ° C), s3 (160 ° C). The response in the study is a response to a

chemical (protein content, moisture content, and the levels of vitamin C), the response

organoleptic (color, aroma, texture, flavor and after-taste) and test the calcium and the

antioxidant activity of the treatment chosen.Based on this research, it is known that the

concentration of Moringa flour influenced the protein content, color, aroma, texture,

flavor and after-taste, roasting temperature effect on moisture content and color, as well

as the interaction of Moringa powder concentration and roasting temperature effect on

the levels of vitamin C.The treatments that are the product of cookies by using moringa

powder concentration of 3% (t1) and the roasting temperature of 140 ° C (s1) which has a

protein content of 13.47%, 3.48% water content, vitamin C content of 223.01 mg / ml,

300 mg calcium levels and the average IC50 value of 3190,89 ppm (weak).

Keywords: cookies, Moringa leaves, roasting temperature

1. Pendahuluan

Tanaman kelor (Moringa

oleifera) adalah salah satu tanaman yang

paling luar biasa yang pernah

ditemukan, dimana kelor secara ilmiah

merupakan sumber gizi berkhasiat obat

yang kandungannya diluar kebiasaan

kandungan tanaman pada umumnya,

sehingga kelor diyakini memiliki potensi

untuk mengakhiri kekurangan gizi,

kelaparan, serta mencegah dan

menyembuhkan berbagai penyakit

(Krisnadi, 2010).

Di dunia internasional, budidaya

daun kelor merupakan suatu program

yang sedang dijalankan. Terdapat

beberapa julukan untuk pohon kelor

diantaranya The Miracle Tree, Tree For

Life, dan Amazing Tree. Julukan tersebut

muncul karena bagian pohon kelor mulai

dari daun, buah, biji, bunga, kulit,

batang, hingga akar memiliki manfaat

yang luar biasa. Tanaman kelor mampu

hidup di berbagai jenis tanah, tidak

memerlukan perawatan yang intensif,

tahan terhadap musim kemarau, dan

mudah dikembangbiakkan (Simbolon

dkk 2007, dalam Hardiyanthi 2015).

Menurut Utami (2013), manfaat

dari daun kelor antara lain sebagai anti

peradangan, hepatitis, memperlancar

buang air kecil, dan anti alergi, selain itu

daun kelor (Moringa oleifera) banyak

digunakan dan dipercaya sebagai obat

infeksi, anti bakteri, infeksi saluran urin,

luka eksternal, anti-hipersensitif, anti-

anemik, diabetes , colitis, diare, disentri,

dan rematik (Fahey 2005, dalam

Nugraha 2013).

Page 2: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

2

Salah satu yang paling menonjol

dari kandungan tanaman kelor adalah

antioksidan terutama pada bagian

daunnya yang mengandung antioksidan

paling tinggi. Antioksidan yang terdapat

dalam daun kelor diantaranya tanin,

steroid, triterpenoid, flavonoid, saponin,

antarquinon, dan alkaloid (Kasolo et al,

2010, dalam Hardiyanthi 2015).

Di dalam daun kelor kering per

100 gram mengandung air 7,5%, kalori

205 gram, karbohidrat 38,2 gram,

protein 27,1 gram, lemak 2,3 gram, serat

19,2 gram, kalsium 2003 mg,

magnesium 368 mg, fosfor 204 mg,

tembaga 0,6 mg, besi 28,2 mg, sulfur

870 mg, dan potassium 1324 mg

(Haryadi, 2011).

Tanaman kelor dapat menjadi

alternatif sumber protein yang

berpotensi untuk dijadikan tepung dan

juga dapat dijadikan sebagai suplemen

herbal (Janah, 2013 dalam Alkham,

2014), dimana dalam 100 gram tepung

daun kelor memiliki kandungan protein

sebesar 28,25% (Zakaria, dkk., 2012).

Pemanfaatan daun kelor di

Indonesia saat ini masih terbatas

penggunannya. Masyarakat biasa

menggunakan daun kelor sebagai

pelengkap dalam masakan sehari-hari

bahkan tidak sedikit yang menjadikan

daun kelor hanya sebagai tanaman hias

yang dibiarkan melekat pada teras-teras

rumah, selain itu di beberapa daerah

pemanfaatan daun kelor lebih banyak

dimanfaatkan untuk memandikan

jenazah, meluruhkan jimat, dan sebagai

pakan ternak.

Pengolahan daun kelor secara

luas belum banyak dilakukan di

Indonesia, hal tersebut dikarenakan

kurangnya pengetahuan masyarakat

dalam melakukan pemanfaatan daun

kelor. Untuk itu, penganekaragaman

pangan terhadap daun kelor perlu

ditingkatkan yang dapat dijadikan

sebagai sumber gizi pada produk

pangan. Salah satu upaya yang dapat

dilakukan adalah pada pembuatan

cookies yang dapat bersifat fungsional

dengan ditambahkannya daun kelor

yang dapat memberikan efek positif bagi

kesehatan tubuh.

Maksud penelitian ini untuk

mengetahui pengaruh penambahan

tepung daun kelor dan suhu

pemanggangan terhadap karakteristik

cookies.

Tujuan penelitian ini untuk

menentukan konsentrasi tepung daun

kelor dan suhu pemanggangan yang

tepat sehingga diperoleh karakteristik

cookies yang paling baik.

Menurut SNI 01-2973-1992,

cookies merupakan salah satu jenis

biskuit yang dibuat dari adonan lunak,

berkadar lemak tinggi, relatif renyah bila

dipatahkan, dan penampang

potongannya bertekstur kurang padat.

Menurut Matz (1972) dalam

Indriyani (2007) dan Azizah (2013),

cookies termasuk friable food. Sifat

tekstur friable food yang penting adalah

sedikit elastis, porous, diskontinyu, dan

mudah pecah menjadi partikel-partikel

yang tidak teratur selama pengunyahan.

Dalam penelitian Aina (2014),

dari penggunaan konsentrasi tepung

daun kelor sebesar 5%, 7,5%, dan 10%

didapatkan produk terbaik dari rich

biscuit daun kelor yaitu pada sampel

A1B1 yaitu sampel dengan perlakuan

penambahan tepung daun kelor

sebanyak 5% dan penggunaan jenis

lemak margarin, dimana menghasilkan

protein sebesar 18,12 gram, vitamin C

3,2 mg, kalsium 0,18 mg, besi 2,29 mg,

karbohidrat 39,77 gram, serat 13,49

gram, lemak 19,75 gram, vitamin A

0,129 IU, vitamin B 0,029 mg,

magnesium 35,24 mg, fosfor 0,65 mg,

kalium 0,17 mg, dan seng 0,29 mg.

Kelor telah digunakan untuk

mengatasi malnutrisi terutama untuk

balita dan ibu menyusui. Daun kelor

dapat dikonsumsi dalam kondisi segar,

dimasak, atau disimpan dalam bentuk

tepung selama beberapa bulan tanpa

pendinginan dan tanpa terjadi

Page 3: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

3

kehilangan nilai gizi. Proses pengolahan

daun kelor menjadi tepung akan dapat

meningkatkan nilai kalori, kandungan

protein, kalsium, zat besi dan vitamin A.

Hal ini disebabkan karena pada saat

proses pengolahan daun kelor menjadi

tepung akan terjadi pengurangan kadar

air yang terdapat dalam daun kelor,

dimana dalam satu sendok makan

tepung daun kelor mengandung sekitar

14% protein, 40% kalsium, 23% zat

besi, dan mendekati seluruh kebutuhan

balita akan vitamin A (Winarti 2010,

dalam Febriani 2015).

Pemanggangan didefinisikan

sebagai pengoperasian panas pada

produk adonan dalam oven. Suhu

pemanggangan sangat mempengaruhi

tingkat kematangan produk yang

dihasilkan. Suhu pemanggangan juga

dapat mempengaruhi waktu yang

dibutuhkan oleh adonan hingga

membentuk produk yang diinginkan.

Semakin tinggi suhu pemanggangan

yang digunakan, maka semakin cepat

waktu pemanggangan yang dibutuhkan

untuk membentuk produk yang

diinginkan. Pada proses pemanggangan,

hampir 50% total energi terserap. Selain

itu, pada proses pemanggangan akan

terjadi pembentukan dan pemantapan

kualitas produk (Priyanto 1991, dalam

Rahma 2015).

Suhu dan waktu pemanggangan

juga dapat mempengaruhi nilai

kekerasan biskuit yang dihasilkan.

Pemanasan yang cepat pada suhu tinggi

menyebabkan perubahan yang lebih

besar pada tekstur makanan. Perubahan

tekstur karena pemanggangan ditentukan

oleh sifat makanan, suhu, dan lamanya

pemanasan (Pratama dkk, 2014).

Proses pemanggangan akan

menyebabkan penurunana nilai gizi

bahan yaitu kerusakan vitamin yang

tidak tahan panas, misalnya vitamin C

dan thiamin. Perubahan akibat

pemanggangan dipengaruhi oleh kondisi

proses (suhu dan lama) serta jenis bahan

yang dipanggang (Muchtadi, 2010).

Suhu dan waktu pemanggangan

mempengaruhi kadar karbohidrat dan

kadar serat pada produk cookies berbasis

tanah liat dan rumput laut merah dengan

perlakuan terbaik adalah sampel P2 pada

pemanggangan dengan suhu 110°C

selama 30 menit (Listana dkk, 2016).

Selama proses pemanggangan

cookies terjadi perubahan fisik dan

kimiawi yang kompleks, yaitu adonan

berubah menjadi ringan, berpori, dan

beraroma. Pada saat proses

pemanggangan, terjadi penurunan kadar

air sebanyak 70%-90%, protein

sebanyak 10%-15%, dan kadar abu serta

mineral sebanyak 0,5%. Selain itu, akan

terjadi perubahan struktur adonan akibat

reaksi fisik, kimiawi, dan biokimia yaitu

terjadi pengembangan volume,

pembentukan crust (kulit), inaktivasi

mikroba dan enzim, denaturasi protein,

dan gelatinisasi sebagian pati.

Perubahan-perubahan struktur tersebut

disertai pembentukan senyawa-senyawa

cita rasa dari gula yang mengalami

karamelisasi membentuk pirodekstrin

dan melanoidin, serta pembentukan

aroma dari senyawa-senyawa aromatik

yang terdiri dari aldehid, keton, berbagai

ester, asam, dan alkohol (Estiasih 2009,

dalam Rahma 2015).

2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan

terdiri atas dua tahap. Tahap pertama

dilakukan untuk menentukan suhu

pengeringan terbaik. Penentuan suhu

pengeringan dilakukan dengan tujuan

untuk mengetahui suhu pengeringan

daun kelor yang paling optimal. Proses

pengeringan menggunakan alat tunnel

dryer dilakukan pada suhu 40°C, dan

60°C (hingga mencapai kadar air 10-

10,5%). Pemilihan suhu terbaik

dilakukan dengan analisis kimia yaitu uji

vitamin C metode iodimetri, uji protein

metode kjedahl, dan uji aktivitas

antioksidan metode DPPH

spektrofotometer dengan melihat hasil

pengujian tertinggi pada tepung daun

kelor yang dihasilkan dan Menentukan

Page 4: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

4

formula terbaik. Penentuan formula

terbaik dilakukan dengan tujuan untuk

mendapatkan formula terbaik dalam

pembuatan cookies yang akan dijadikan

sebagai acuan dalam melakukan

penelitian utama. Pemilihan formula

terbaik diperoleh berdasarkan uji

organoleptik terhadap aroma, warna,

tekstur, rasa, dan after taste. Pengujian

dilakukan oleh 30 orang panelis terlatih

dimana hasil dari pengujian organoleptik

yang paling disukai akan digunakan

sebagai acuan dalam penelitian utama.

Penelitian tahap kedua

dilakukan untuk mengetahui

karakteristik cookies dengan

penambahan konsentrasi tepung daun

kelor yang berbeda dengan variasi suhu

pemanggangan sehingga dihasilkan

produk cookies yang berkualitas baik

dan disenangi oleh panelis.

Rancangan perlakuan pada

penelitian ini terdiri dari dua faktor yaitu

konsentrasi tepung daun kelor (T)

dengan variasi suhu pemanggangan (S)

yang terdiri dari 3 taraf.

Faktor perlakuan :

1. Konsentrasi tepung kelor (T), terdiri

dari 3 taraf yautu :

(1) t1 = 3 %

(2) t2 = 5 %

(3) t3 = 7 %

2. Suhu Pemanggangan (S), terdiri dari 3

taraf, yaitu :

(1) s1 = 140°C

(2) s2 = 150°C

(3) s3 = 160°C

Rancangan percobaan yang

dilakukan pada penelitian ini adalah

Rancangan Acak Kelompok (RAK)

dengan faktorial 3x3 dengan 3 kali

pengulangan. Konsentrasi tepung daun

kelor merupakan faktor T dan suhu

pemanggangan merupakan faktor S.

a. Respon Kimia

Respon kimia yang dilakukan

terhadap produk cookies yaitu analisis

protein metode Kjedahl (AOAC, 1995),

analisis kadar air metode Gravimetri

(AOAC, 1995), analisis vitamin C

metode Iodimetri (Sudarmadji, 2010),

analisis kalsium (AOAC, 1987), dan

analisis aktivitas antioksidan metode

DPPH spektrofotometri.

b. Respon Organoleptik

Respon organoleptik yang akan

dilakukan adalah uji organoleptik. Uji

organoleptik yang akan dilakukan pada

penelitian ini adalah uji kesukaan (uji

hedonik) terhadap respon produk yang

diuji dengan skala hedonik yang

ditransformasikan ke skala numerik

(Soekarto, 1985).

Panelis atau penguji yang

digunakan untuk menguji karakteristik

cookies daun kelor terdiri dari 30 panelis

yang terdiri dari atribut warna, aroma,

rasa, tekstur, dan after taste.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Tahap Pertama

3.1.1 Penetapan Suhu Pengeringan

Penetapan suhu pengeringan

terbaik didasarkan pada pengujian

kimia(kadar air, kadar vitamin C, kadar

protein, dan aktivitas antioksidan) yang

dilakukan terhadap tepung daun kelor

hasil pengeringan. Berikut ini adalah

hasil analisis kimia tepung daun kelor.

Tabel 1. Analisis Kimia Tepung Daun

Kelor Pada Suhu Pengeringan

Berbeda

Berdasarkan tabel 1, kadar air

dengan metode gravimetri yang

dilakukan terhadap daun kelor kering

didapatkan hasil yaitu pada suhu 60°C

(t=5 jam) memiliki kadar lebih tinggi

yaitu sebesar 10,20% jika dibandingkan

pada suhu pengeringan 40°C (t=8 jam)

yaitu sebesar 10%. Pencapaian kadar air

hingga 10% mengacu pada penelitian

Zakaria (2012) yang menyatakan bahwa

kadar air tepung kelor adalah 10,5%.

Hal ini membuktikan bahwa pada suhu

Suhu

Pengeringan

Analisis Kimia

Air

(%)

Vitamin C

(mg)

Protein

(%)

Rata-rata Nilai IC50

(ppm)

40 °C (8 jam) 10 149,71 23,95 1444,60

60°C (5 jam) 10,20 153,23 28,99 1052,76

Page 5: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

5

yang tinggi maka waktu yang digunakan

akan semakin cepat untuk mencapai

kadar air 10,5%. Lamanya proses

pengeringan tergantung pada bahan

yang dikeringkan dan suhu yang

digunakan.

Faktor-faktor yang

mempengaruhi proses pengeringan

adalah suhu, waktu, kelembapan udara,

laju aliran udara, jenis bahan, dan

banyaknya bahan (Sumarsono, 2005).

Menurut Taib (1997) dalam Fitriani

(2008) dan Riansyah (2013),

menyatakan bahwa kemampuan bahan

untuk melepaskan air dari

permukaannya akan semakin besar

dengan meningkatnya suhu udara

pengering yang digunakan.

Semakin tinggi suhu

pengeringan, memberikan pengaruh

yang sangat besar terhadap kecepatan

perpindahan air. Menurut Winarno

(2000), semakin tinggi suhu pengeringan

maka semakin cepat terjadi proses

penguapan air, sehingga kandungan air

di dalam bahan semakin rendah. Pada

suhu pengeringan 60°C menggunakan

waktu lebih cepat (5 jam) dibandingkan

suhu 40°C (8 jam) dalam mencapai

kadar air tepung kelor sebesar 10,5%.

Pada proses pengeringan mula-

mula air dipermukaan bahan akan

diuapkan pada kadar yang ditentukan

oleh kualitas udara yang ditempatinya

yaitu suhu, kelembapan relatif, tekanan,

dan kadar aliran udara, kemudian akan

terjadi proses pemindahan air dari

bagian dalam bahan ke permukaaannya.

Proses ini berlangsung hingga mencapai

kadar air yang diinginkan (Hasibuan,

2004).

Berdasarkan tabel 1, kadar

vitamin C dengan metode iodimetri

terhadap tepung daun kelor didapatkan

hasil yaitu pada suhu pengeringan 60°C

(t=5 jam) memiliki kadar lebih tinggi

yaitu sebesar 153,23 mg/100ml

dibandingkan pada suhu pengeringan

40°C (t=8 jam) yaitu sebesar 149,71

mg/100ml. Penurunan vitamin C lebih

tinggi terlihat pada suhu 40°C dengan

waktu 8 jam.

Penggunaan waktu pengeringan

yang lama akan menyebabkan terjadinya

penurunan kadar vitamin dalam bahan.

Menurut Almatsier (2004) dalam

Mukaromah (2010), menyatakan bahwa

keadaan yang menyebabkan bahan

mengalami kehilangan vitamin C adalah

karena adanya proses pemanasan dengan

suhu tinggi untuk waktu yang lama.

Vitamin C akan mengalami

kerusakan apabila bersentuhan dengan

udara (oksidasi) terutama bila terkena

panas (Nurhidayat 2008, dalam Annisa

2011). Semakin lama waktu pengeringan

yang digunakan maka proses oksidasi

vitamin C akan semakin tinggi dan

kerusakan vitamin C akan semakin

meningkat sehingga menyebabkan kadar

vitamin C pada bahan akan menurun.

Kadar vitamin C pada suhu pengeringan

40°C terhadap tepung kelor lebih rendah

dibandingkan pada suhu 60°C. Hal

tersebut dikarenakan waktu pengeringan

pada suhu 40°C lebih lama. Menurut

Sinurat (2013), pemanasan bahan untuk

memenuhi standar gizi dianjurkan tidak

lebih dari suhu 85°C.

Berdasarkan tabel 1, kadar

protein dengan metode kjedahl terhadap

tepung daun kelor didapatkan hasil yaitu

pada suhu pengeringan 60°C (t=5 jam)

memiliki kadar lebih tinggi yaitu sebesar

28,99% dibandingkan dengan suhu

pengeringan 40°C (t=8 jam) yaitu

sebesar 23,95%. Hal tersebut

dikarenakan pada suhu tinggi, waktu

pengeringan yang dibutuhkan lebih

singkat sehingga kadar proteinnya lebih

tinggi dibandingkan pada suhu rendah

dengan waktu yang lebih lama.

Peningkatan kadar protein bahan

erat kaitannya dengan kadar air bahan

tersebut. Menurut Adawyah (2007),

penurunan kadar air akan

mengakibatkan kandungan protein

didalam bahan mengalami peningkatan.

Penggunaan panas dalam pengolahan

bahan pangan dapat menurunkan

Page 6: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

6

persentase kadar air yang

mengakibatkan persentase kadar protein

meningkat. Semakin kering suatu bahan

maka semakin tinggi kadar proteinnya,

sehingga kadar air tepung kelor yang

mencapai 10,5% menghasilkan kadar

protein yang lebih tinggi pada suhu

60°C dengan waktu 5 jam.

Sesuai dengan pernyataan

Hutuely (1991) dalam Sani (2001) dan

Lisa (2015), bahwa dengan mengurangi

kadar air bahan maka akan

meningkatkan senyawa-senyawa seperti

protein, karbohidrat, lemak, dan mineral

namun kandungan vitamin bahan

cenderung akan berkurang.

Berdasarkan tabel 1

menunjukkan bahwa rata-rata nilai IC50

tepung kelor didapatkan hasil yaitu pada

suhu pengeringan 40°C (t= 8jam)

memiliki rata-rata nilai IC50 lebih tinggi

yaitu sebesar 1444,60 ppm dibandingkan

dengan suhu pengeringan 60°C (t=

5jam) sebesar 1052,76 ppm.

Menurut Armala (2009),

besarnya nilai IC50 bukan mewakili

besarnya kandungan antioksidan pada

bahan, tetapi hanya menggolongkan

tingkat kekuatan antioksidan. Semakin

kecil nilai IC50 maka senyawa tersebut

mempunyai keefektifan sebagai

penangkap radikal yang lebih baik,

sehingga tepung kelor pada pengeringan

suhu 60°C (t= 5jam) memiliki aktivitas

antioksidan yang lebih tinggi

dikarenakan mengandung nilai IC50

lebih kecil (1052,76 ppm) dibandingkan

pada suhu pengeringan 40°C (1444,60

ppm).

Waktu pengeringan berpengaruh

terhadap aktivitas antioksidan tepung

kelor. Semakin lama waktu pengeringan

maka aktivitas antioksidan juga akan

semakin menurun. Hal tersebut sesuai

dengan pernyataan Wijana (2015), suhu

dan lama pengeringan berpengaruh

sangat nyata terhadap aktivitas

antioksidan. Pada suhu pengeringan

40°C menggunakan waktu yang lebih

lama (8 jam) dibandingkan pada suhu

60°C (5 jam) sehingga nilai IC50 yang

dihasilkan pada suhu 40°C lebih besar

yang menunjukkan aktivitas

antioksidannya rendah.

IC50 merupakan bilangan yang

menunjukkan konsentrasi ekstrak (ppm)

yang mampu menghambat proses

oksidasi sebesar 50%. Semakin kecil

nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas

antioksidan. Secara spesifik suatu

senyawa dikatakan sebagai antioksidan

sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50

ppm, kuat untuk IC50 bernilai 50-100

ppm, sedang jika IC50 bernilai 100-150

ppm, dan lemah jika nilai IC50 bernilai

151-200 ppm (Zuhra, 2008). Nilai IC50

tepung kelor yang dihasilkan pada suhu

40°C adalah 1444,60 ppm dan suhu

60°C adalah 1052,76 ppm sehingga

tepung kelor yang dihasilkan termasuk

kedalam kategori sangat lemah.

Berdasarkan analisis kimia

tepung daun kelor terhadap kadar air,

vitamin C, protein, dan antioksidan

dapat disimpulkan bahwa suhu

pengeringan terpilih adalah 60°C (waktu

pengeringan 5 jam) hal tersebut

dikarenakan pada suhu pengeringan

60°C menghasilkan vitamin C sebesar

153,53 mg/100ml, protein 28,99%, dan

aktivitas antioksidan 1052,76 ppm.

3.1.2 Penetapan Formula

Penetapan formula dilakukan

dengan menggunakan uji organoleptik

metode hedonik/ kesukaan pada cookies.

Atribut penilaian yang digunakan adalah

warna, aroma, tekstur, rasa, dan after

taste.

Hasil analisis variansi

menunjukkan bahwa formula yang

digunakan berpengaruh terhadap warna,

rasa, dan after taste tetapi tidak

berpengaruh terhadap aroma dan tekstur

cookies kelor. Pengaruh formula

terhadap warna, aroma, tekstur, rasa, dan

after taste dapat dilihat pada tabel 2.

Page 7: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

7

Tabel 2. Hasil Uji Organoleptik Cookies

dengan Formula Berbeda

Keterangan: Nilai rata-rata yang ditandai

dengan huruf berbeda menunjukkan

perbedaan nyata pada Uji Lanjut Duncan

5%.

Berdasarkan hasil pengujian

organoleptik menunjukkan bahwa

penggunaan formula yang berbeda

memberikan pengaruh nyata terhadap

cookies yang dihasilkan dimana formula

1 berbeda nyata dengan formula 2 dan

formula 3. Formula 1 lebih disukai oleh

panelis, warna cookies yang dihasilkan

pada formula 1 berwarna hijau cerah

sedangkan cookies pada formula 2 dan 3

berwarna hijau kecoklatan.

Perbedaan warna tersebut

dikarenakan konsentrasi tepung terigu

yang digunakan pada formula 1 lebih

sedikit yaitu 36,64% dibandingkan

dengan formula 2 dan formula 3 yaitu

41,09% sehingga cookies yang

dihasilkan pada formula 1 berwarna

lebih cerah jika dibandingkan dengan

formula 2 dan 3. Semakin banyak

konsentrasi tepung terigu akan

menyebabkan warna cookies menjadi

lebih coklat karena terjadinya proses

browning non enzimatis atau

pencoklatan dengan adanya

pemanggangan.

Tepung terigu mengandung

karbohidrat yang tinggi, pada saat

baking maka karbohidrat akan

mengalami proses browning atau

pencoklatan karena karbohidrat terutama

glukosa dan fruktosa akan kehilangan air

menghasilkan glukosan dan fruktosan

dengan adanya perubahan warna coklat

(Nataliningsih, 2005). Semakin tinggi

konsentrasi tepung terigu maka proses

ppencoklatan akan semakin cepat terjadi

sehingga pada formula 2 dan 3

menghasilkan warna yang lebih coklat

dibandingkan dengan formula 1.

Berdasarkan hasil pengujian

organoleptik menunjukkan bahwa

penggunaan formula yang berbeda tidak

memberikan pengaruh nyata pada aroma

cookies yang dihasilkan. Hal tersebut

dikarenakan aroma tepung kelor sangat

kuat mendominasi produk cookies yang

dihasilkan. Penggunaan konsentrasi

tepung kelor pada setiap formula adalah

sama yaitu sebanyak 5% sehingga

cookies yang dihasilkan beraroma langu

khas daun kelor. Aroma langu daun

kelor akan menguap ketika dipanggang

dikarenakan daun kelor mengandung

senyawa volatil yang dapat menguap

karena pemanasan.

Menurut Setser, 1995 dalam

Primasari, 2005 dan Millah 2014 aroma

pada cookies dipengaruhi oleh beberapa

bahan yang digunakan antara lain susu

dan telur. Pada formula yang berbeda,

penggunaan konsentrasi susu (2,74%)

dan telur (4,38%) adalah sama sehingga

menyebabkan formula yang berbeda

tidak memberikan pengaruh nyata pada

aroma cookies yang dihasilkan.

Berdasarkan hasil pengujian

organoleptik menunjukkan bahwa

penggunaan formula yang berbeda tidak

memberikan pengaruh nyata pada

tekstur cookies yang dihasilkan. Hal

tersebut diduga karena penggunaan

konsentrasi lemak yang tidak berbeda

jauh pada setiap formula. Pada keadaan

tersebut maka kemampuan lemak dalam

memperangkap udara dalam adonan

akan sama sehingga menghasilkan

cookies yang renyah.

Tekstur cookies dipengaruhi

oleh penggunaan lemak. Jenis lemak

yang digunakan adalah margarin, fungsi

margarin dapat membuat tekstur cookies

menjadi lebih lembut dan renyah.

Margarin dapat memperbaiki tekstur

produk akhir. Hal ini disebabkan lemak

mempunyai kemampuan dalam

memerangkap udara sehingga saat

Formula Nilai Rata-rata

Warna Aroma Tekstur Rasa After Taste

Formula 1 4,17 b 3,60 a 4,03 a 4,47 b 3,97 b

Formula 2 3,37 a 3,50 a 3,97 a 3,93 a 3,47 a

Formula 3 3,53 a 3,57 a 4,03 a 4,13 ab 3,60 ab

Page 8: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

8

proses pencampuran bahan-bahan

(mixing) udara akan terperangkap dalam

adonan (Nurbaya, 2013). Pada formula

yang berbeda, penggunaan konsentrasi

margarin tidak berdeda jauh sehingga

menyebabkan formula yang berbeda

tidak memberikan pengaruh nyata pada

tekstur cookies yang dihasilkan.

Penggunaan margarin yang

terlalu banyak akan menyebabkan

cookies menjadi melebar saat

dipanggang, sedangkan penggunaan

margarin yang terlalu sedikit akan

membuat cookies menjadi kasar dimulut

(Sutomo 2008, dalam Fajiarningsih

2013).

Tekstur makanan merupakan

suatu hal yang berkaitan dengan struktur

makanan yang dapat dideteksi dengan

baik, yaitu dengan merasakan makanan

didalam mulut. Sifat yang digambarkan

dari tekstur makanan antara lain renyah,

lembut, kasar, halus, berserat, empuk,

keras, dan kenyal (Puckett, 2004).

Berdasarkan hasil pengujian

organoleptik menunjukkan bahwa

penggunaan formula yang berbeda

memberikan pengaruh nyata pada rasa

cookies dimana formula 1 berbeda nyata

dengan formula 2, tetapi tidak berbeda

nyata dengan formula 3. Formula 1 dan

3 cenderung lebih disukai oleh panelis,

rasa cookies yang dihasilkan pada

formula 1 dan 3 lebih manis

dibandingkan formula 2. Hal tersebut

dikarenakan adanya perbedaan

penggunaan konsentrasi gula pada setiap

formula. Konsentrasi gula formula 1 dan

formula 3 adalah sama yaitu sebesar

20,55% sedangkan formula 2 sebesar

16,10%.

Konsentrasi gula mempengaruhi

rasa yang ditimbulkan terhadap cookies,

semakin banyak konsentrasi gula maka

dapat menutupi rasa pahit yang

ditimbulkan dari tepung kelor.

Menurut Matz (1978) dalam

Soliha (2008) dan Millah (2014), gula

digunakan sebagai bahan pemanis yang

dapat membangkitkan rasa pada produk,

sehingga gula dapat meningkatkan

kelezatan cookies. Menurut Fellows

(2000), rasa pada makanan sangat

dipengaruhi oleh formula suatu produk,

sehingga penggunaan formula yang

berbeda berpengaruh terhadap rasa

cookies yang dihasilkan.

Menurut Kartika dkk (1988),

rasa suatu bahan pangan merupakan

hasil kerjasama beberapa indera antara

lain indera penglihatan, pembauan,

pendengaran dan perabaan. Rasa

merupakan faktor yang menentukan

tingkat kesukaan konsumen terhadap

produk pangan. Atribut rasa yang

terbentuk meliputi manis, asam, asin,

dan pahit.

Berdasarkan hasil pengujian

organoleptik menunjukkan bahwa

penggunaan formula yang berbeda

memberikan pengaruh nyata pada after

taste cookies dimana formula 1 berbeda

nyata dengan formula 2, tetapi tidak

berbeda nyata dengan formula 3.

Formula 1 dan 3 cenderung lebih disukai

oleh panelis, after taste cookies yang

dihasilkan formula 1 dan formula 3

cenderung lebih manis dibandingkan

dengan formula 2 yang memiliki after

taste sedikit pahit. Umumnya after taste

ditimbulkan akibat adanya pengaruh

rasa cookies dimana after taste manis

yang bertahan lama.

Penilaian after taste erat

kaitannya dengan tingkat kesukaan

terhadap rasa. Rasa yang ditimbulkan

pada formula 1 dan 3 sedikit lebih manis

dibandingkan formula 2. Hal tersebut

dikarenakan konsentrasi gula pada

formula 1 dan 3 lebih banyak (20,55%)

dibandingkan formula 2 (16,10%).

Penambahan gula dilakukan

untuk dapat menutupi rasa pahit dan

aroma langu khas daun kelor sehingga

dapat meningkatkan penilaian after taste

cookies yang dihasilkan.

Rasa merupakan faktor penting

untuk menentukan diterima atau

tidaknya suatu produk pangan.

Page 9: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

9

Berdasarkan hasil penelitian uji

organoleptik terhadap warna, aroma,

tekstur, rasa, dan after taste, dapat

disimpulkan bahwa formula 1

merupakan formula terpilih yang akan

digunakan pada penelitian utama.

Formula 1 merupakan formula terpilih

dikarenakan memiliki warna, rasa, dan

after taste yang lebih disukai oleh

panelis.

3.2 Tahap Kedua

3.2.1 Respon Kimia

3.2.1.1 Kadar Protein

Berdasarkan hasil analisis

variansi (ANAVA) terhadap cookies

kelor menunjukkan bahwa konsentrasi

tepung kelor (T) dan suhu

pemanggangan (S) berpengaruh nyata

terhadap kadar protein produk cookies

kelor yang dihasilkan, tetapi interaksi

antara konsentrasi tepung kelor (T)

dengan suhu pemanggangan (S) tidak

berpengaruh nyata terhadap kadar

protein cookies kelor. Pengaruh

konsentrasi tepung kelor (T) terhadap

kadar protein produk cookies dapat

dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi Tepung

Kelor (T) Terhadap Kadar

Protein Cookies

Konsentrasi

Tepung Kelor (T)

Kadar Protein

(%)

t1 (3%) 12,77 a

t2 (5%) 13,19 bc

t3 (7%) 13,34 c

Keterangan: Nilai rata-rata yang ditandai

dengan huruf berbeda menunjukkan

perbedaan nyata pada Uji Lanjut Duncan

5%.

Tabel 3 menunjukkan bahwa

kadar protein perlakuan konsentrasi

tepung kelor t3 (7%) berbeda nyata

dengan konsentrasi tepung kelor t1 (3%),

tetapi konsentrasi tepung kelor t3 (7%)

tidak berbeda nyata dengan konsentrasi

tepung kelor t2 (5%). Kadar protein

produk cookies kelor dengan konsentrasi

tepung kelor t1 (3%) lebih rendah yaitu

12,77% dibandingkan dengan

konsentrasi tepung kelor t2 (5%) yaitu

sebesar 13,19% dan konsentrasi tepung

kelor t3 (7%) yaitu sebesar 13,34%. Dari

tabel 3dapat diketahui bahwa semakin

tinggi konsentrasi tepung kelor, maka

kadar protein produk cookies kelor yang

dihasilkan semakin tinggi.

Kadar protein setiap perlakuan

berbeda-beda, hal ini sesuai dengan

kadar protein yang terkandung pada tiap

bahan yang dicampurkan. Tepung daun

kelor berkontribusi pada kadar protein

cookies yang dihasilkan.

Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Zakaria (2012), kadar

protein terhadap tepung daun kelor

adalah sebesar 28,25% dan berdasarkan

hasil penelitian pendahuluan kadar

protein tepung daun kelor adalah sebesar

28,99%, sehingga semakin banyak

konsentrasi tepung daun kelor yang

ditambahkan akan meningkatkan kadar

protein pada cookies yang dihasilkan.

Pengaruh suhu pemanggangan

terhadap kadar protein produk cookies

dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Suhu Pemanggangan

(S) Terhadap Kadar Protein

Cookies

Suhu

Pemanggangan (S)

Kadar

Protein (%)

s1 (140°C) 13,28 c

s2 (150°C) 13,26 bc

s3 (160°C) 12,76 a

Keterangan: Nilai rata-rata yang ditandai

dengan huruf berbeda menunjukkan

perbedaan nyata pada Uji Lanjut Duncan

5%.

Tabel 4 menunjukkan bahwa

kadar protein perlakuan suhu

pemanggangan s1 (140°C) berbeda nyata

dengan suhu pemanggangan s3 (160°C),

tetapi suhu pemanggangan s1 (140°C)

tidak berbeda nyata dengan suhu

pemanggangan s2 (150°C). Kadar

protein produk cookies kelor dengan

suhu pemanggangan s3 (160°C) lebih

rendah yaitu 12,76% dibandingkan

dengan suhu pemanggangan s2 (150°C)

yaitu sebesar 13,26% dan suhu

Page 10: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

10

pemanggangan s1 (140°C) yaitu sebesar

13,28%.

Dari tabel 4 dapat diketahui

bahwa semakin tinggi suhu

pemanggangan, maka kadar protein

produk cookies kelor yang dihasilkan

semakin rendah. Menurut Dian (2015),

penggunaan suhu yang tinggi pada

proses pemanggangan mengakibatkan

kadar protein pada bahan pangan

semakin menurun.

Semakin tinggi suhu

pemanggangan akan terjadi penurunan

kadar protein, dimana semakin tinggi

suhu pemanggangan maka akan terjadi

denaturasi protein yang mengakibatkan

perubahan struktur protein oleh suhu

pemanggangan yang berbeda.

Denaturasi protein merupakan suatu

keadaan dimana protein mengalami

perubahan atau perusakan struktur

sekunder, tersier dan kuartenernya

(Zulfikar 2008, dalam Novia 2011).

Menurut Palupi dkk (2007),

pengolahan bahan pangan berprotein

yang tidak dikontrol dengan baik dapat

menyebabkan terjadinya penurunan

protein. Protein akan mengalami

penurunan akibat adanya proses

pemanasan dimana protein merupakan

senyawa reaktif yang tersusun dari

beberapa asam amino yang mempunyai

gugus reaktif yang dapat berikatan

dengan komponen lain pada saat proses

pemanasan, misalnya berikatan dengan

gula pereduksi, polifenol, lemak, dan

produk oksidasinya serta bahan

tambahan kimia lainnya.

3.2.1.2 Kadar Air

Berdasarkan hasil analisis

variansi (ANAVA) terhadap cookies

kelor menunjukkan bahwa suhu

pemanggangan (S) berpengaruh nyata

terhadap kadar air produk cookies kelor

yang dihasilkan, tetapi konsentrasi

tepung kelor (T) dan interaksi antara

konsentrasi tepung kelor (T) dengan

suhu pemanggangan (S) tidak

berpengaruh nyata terhadap kadar air

cookies kelor. Pengaruh suhu

pemanggangan (S) terhadap kadar air

produk cookies dapat dilihat pada tabel

5.

Tabel 5. Pengaruh Suhu Pemanggangan

(S) Terhadap Kadar Air

Cookies

Suhu

Pemanggangan (S)

Kadar Air

(%)

s1 (140°C) 4,37 b

s2 (150°C) 3,33 ab

s3 (160°C) 2,88 a

Keterangan: Nilai rata-rata yang ditandai

dengan huruf berbeda menunjukkan

perbedaan nyata pada Uji Lanjut Duncan

5%.

Tabel 5 menunjukkan bahwa

kadar air perlakuan suhu pemanggangan

s1 (140°C) berbeda nyata dengan suhu

pemanggangan s3 (160°C), tetapi suhu

pemanggangan s1 (140°C) tidak berbeda

nyata dengan suhu pemanggangan s2

(150°C). Kadar air produk cookies kelor

dengan suhu pemanggangan s3 (160°C)

lebih rendah yaitu 2,88% dibandingkan

dengan suhu pemanggangan s2 (150°C)

yaitu sebesar 3,33% dan suhu

pemanggangan s1 (140°C) yaitu sebesar

4,37%. Dari tabel 5 dapat diketahui

bahwa semakin tinggi suhu

pemanggangan, maka kadar air produk

cookies kelor yang dihasilkan semakin

rendah. Menurut Ketaren (2005) dalam

Sitoresmi (2012), semakin tinggi suhu

pemanggangan akan menyebabkan

penguapan air dari dalam bahan akan

semakin besar.

Penurunan kadar air pada proses

pemanggangan disebabkan karena

sebagian kandungan air dalam bahan

pangan akan berkurang. Pada proses

pemanggangan, air yang terdapat dalam

bahan akan mengalami penguapan

akibat kenaikan temperatur pada oven.

Penurunan kadar air pada produk

pemanggangan terjadi karena panas

yang disalurkan melalui alat

pemanggang akan menguapkan air yang

terdapat dalam bahan yang dipanggang

(Ketaren 2005, dalam Sitoresmi 2012).

Page 11: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

11

Proses pemanggangan dengan

suhu bervariasi menyebabkan

penguapan air yang berbeda. Semakin

tinggi suhu pemanggangan, maka panas

yang diterima oleh bahan akan lebih

besar dan lebih banyak sehingga jumlah

air yang diuapkan dalam bahan pangan

tersebut semakin banyak yang

menyebabkan kadar air yang terukur

menjadi rendah (Setiaji, 2010). Hal ini

menyebabkan kadar air cookies kelor

pada suhu pemanggangan 160°C lebih

rendah dibandingkan suhu

pemanggangan 140°C dan 160°C.

Proses penguapan air dari

permukaan bahan ke udara memerlukan

panas, yaitu panas penguapan yang

menukarkan sejumlah air menjadi uap

pada suhu dan tekanan tertentu,

sehingga semakin tinggi suhu maka

tekanan yang digunakan akan semakin

meningkat yang mengakibatkan proses

penguapan air akan semakin tinggi

(Hasibuan, 2004).

3.2.1.3 Kadar Vitamin C

Berdasarkan hasil analisis

variansi (ANAVA) terhadap cookies

kelor menunjukkan bahwa konsentrasi

tepung kelor (T) dan suhu

pemanggangan (S), serta interaksi antara

konsentrasi tepung kelor (T) dengan

suhu pemanggangan (S) berpengaruh

nyata terhadap kadar vitamin C produk

cookies kelor yang dihasilkan. Pengaruh

interaksi konsentrasi tepung kelor (T)

dan suhu pemanggangan (S) terhadap

kadar vitamin C produk cookies dapat

dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh Interaksi Konsentrasi

Tepung Kelor dengan Suhu

Pemanggangan Terhadap

Kadar Vitamin C Cookies

Konsentrasi

Tepung

Kelor (T)

Suhu

Pemanggangan (S)

s1

(140

°C)

s2

(150°

C)

s3

(160°

C)

t1 (3%) A

223.

0

A

205.2

b

A

189.5

a

c

t2 (5%) B

246.

2

c

B

231.1

b

B

213.3

a

t3 (7%) C

250.

8

c

C

241.7

b

C

224.4

a

Keterangan : Nilai rata-rata yang

ditandai notasi huruf yang berbeda

menunjukkan perbedaan yang nyata

menurut uji lanjut Duncan pada taraf

nyata 5%. Notasi huruf kapital dibaca

vertical. Notasi huruf kecil dibaca

horizontal.

Tabel 6 menunjukkan bahwa

semakin tinggi konsentrasi tepung kelor

pada suhu pemanggangan 140°C,

150°C, dan 160°C, kadar vitamin C

produk cookies semakin tinggi. Pada

suhu pemanggangan 140°C, kadar

vitamin C tertinggi terdapat pada

konsentrasi tepung kelor 7% yaitu

sebesar 250,88 mg.100ml. Hal yang

sama juga terjadi pada suhu

pemanggangan 150°C dan 160°C, kadar

vitamin C tertinggi pada konsentrasi

tepung kelor 7% yaitu sebesar 241,78

mg/100ml dan 224,40 mg/100ml,

sedangkan pada konsentrasi tepung

kelor 3% suhu pemanggangan 140°C

menghasilkan kadar vitamin C yang

lebih tinggi dibandingkan dengan suhu

pemanggangan 150°C dan 160°C. hal

yang sama terjadi pada konsentrasi

tepung kelor 5% dan 7%.

Dari tabel 6 dapat diketahui

bahwa semakin tinggi konsentrasi

tepung kelor yang digunakan maka

kadar vitamin C cookies semakin

meningkat, namun semakin tinggi suhu

pemanggangan yang digunakan maka

kadar vitamin C cookies semakin

menurun.

Menurut Pangaribuan (2013),

kandungan vitamin C tepung daun kelor

mencapai 51,04 mg/100ml dan

berdasarkan hasil penelitian

pendahuluan, kadar vitamin C tepung

Page 12: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

12

daun kelor adalah sebesar 153,23

mg/100ml sehingga semakin banyak

konsentrasi tepung daun kelor yang

ditambahkan akan meningkatkan kadar

vitamin C pada cookies yang dihasilkan.

Vitamin C merupakan vitamin

yang paling mudah rusak. Kadar vitamin

C akan menurun akibat adanya reaksi

oksidasi oleh adanya panas, sinar, alkali,

enzim, oksidator, serta oleh katalis

tembaga dan besi. Oksidasi akan

terhambat bila vitamin C dibiarkan

dalam keadaan asam atau pada suhu

rendah (Winarno, 2000).

Menurut Andarwulan dan

Koswara (1992) dalam Mukaromah

(2010), menyatakan bahwa pengolahan

bahan pangan serta penggunaan suhu

akan berpengaruh terhadap kerusakan

vitamin C. Pemanasan dengan suhu

100°C akan menurunkan kadar vitamin

C pada bahan. Hal ini menyebabkan

kadar vitamin C cookies kelor pada suhu

pemanggangan 160°C lebih rendah

dibandingkan suhu pemanggangan

140°C dan 150°C.

3.2.2 Respon Organoleptik

3.2.2.1 Warna

Berdasarkan hasil analisis

variansi (ANAVA) terhadap cookies

kelor menunjukkan bahwa konsentrasi

tepung kelor (T) dan suhu

pemanggangan (S) berpengaruh nyata

terhadap warna produk cookies kelor

yang dihasilkan, tetapi interaksi antara

konsentrasi tepung kelor (T) dengan

suhu pemanggangan (S) tidak

berpengaruh nyata terhadap warna

cookies kelor. Pengaruh konsentrasi

tepung kelor (T) terhadap warna produk

cookies dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh Konsentrasi Tepung

Kelor (T) Terhadap Warna

Konsentrasi

Tepung Kelor (T)

Nilai Rata-rata

Warna

t1 (3%) 4,66 c

t2 (5%) 4,20 bc

t3 (7%) 3,26 a

Keterangan: Nilai rata-rata yang ditandai

dengan huruf berbeda menunjukkan

perbedaan nyata pada Uji Lanjut Duncan

5%.

Tabel 7 menunjukkan bahwa

warna perlakuan konsentrasi tepung

kelor t1 (3%) berbeda nyata dengan

konsentrasi tepung kelor t3 (7%), tetapi

konsentrasi tepung kelor t1 (3%) tidak

berbeda nyata dengan konsentrasi

tepung kelor t2 (5%).

Dari tabel 7 dapat diketahui

bahwa warna pada perlakuan

konsentrasi tepung kelor 3% lebih

disukai dibandingkan dengan perlakuan

lainnya, hal tersebut dikarenakan

cookies pada konsentrasi tepung kelor

3% memiliki warna hijau cerah.

Menurut Kurniasih (2013), dalam

Alkham (2014), daun kelor mengandung

klorofil atau pigmen hijau yang biasanya

terdapat dalam sayuran yang berwarna

hijau.

Warna produk makanan

merupakan salah satu daya tarik

masyarakat untuk mengkonsumsi suatu

produk. Pada perlakuan konsentrasi

tepung kelor 7%, cookies yang

dihasilkan memiliki warna hijau pekat.

Warna hijau pekat yang dihasilkan pada

cookies memiliki kenampakan yang

kurang menarik karena cookies terlihat

seperti pakan ternak, sehingga pada

perlakuan konsentrasi tepung kelor 7%

tingkat kesukaan panelis lebih rendah

dibandingkan pada perlakuan

konsentrasi tepung kelor 3% dan 5%.

Pengaruh suhu pemanggangan

(S) terhadap warna produk cookies dapat

dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Pengaruh Suhu Pemanggangan

(S) Terhadap Warna

Suhu

Pemanggangan (S)

Nilai Rata-

rata Warna

s1 (140°C) 4,30 c

s2 (150°C) 4,27 bc

s3 (160°C) 3,22 a

Keterangan: Nilai rata-rata yang ditandai

dengan huruf berbeda menunjukkan

perbedaan nyata pada Uji Lanjut Duncan

5%.

Page 13: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

13

Tabel 8 menunjukkan bahwa

warna perlakuan suhu pemanggangan s1

(140°C) berbeda nyata dengan suhu

pemanggangan s3 (160°C), tetapi suhu

pemanggangan s1 (140°C) tidak berbeda

nyata dengan suhu pemanggangan s2

(150°C).

Dari tabel 8 dapat diketahui

bahwa warna pada perlakuan suhu

pemanggangan 140°C lebih disukai

dibandingkan dengan perlakuan lainnya,

hal tersebut dikarenakan cookies pada

suhu pemanggangan 140°C memiliki

warna hijau cerah.

Menurut Hardjanti (2008),

warna merupakan atribut mutu pangan

yang sangat penting karena warna

adalah yang dilihat pertama kali oleh

konsumen serta sangat menentukan

tingkat penerimaan terhadap suatu

produk. Warna pangan ditentukan oleh

beberapa pigmen alami yaitu seperti

khlorofil pada sayuran hijau.

Menurut Winarno (2000), salah

satu penentuan mutu suatu bahan pangan

yang dapat dipertimbangkan adalah

faktor warna. Pengaruh suhu

pemanggangan terhadap warna dari

suatu bahan makanan disebabkan oleh

adanya warna gelap yang timbul akibat

reaksi pencoklatan non enzimatis atau

reaksi maillard.

Warna hijau kecoklatan pada

cookies yang dihasilkan setelah proses

pemanggangan merupakan hasil reaksi

pencoklatan non enzimatis atau reaksi

maillard. Reaksi pencoklatan dapat

didefinisikan sebagai urutan peristiwa

yang dimulai dengan reaksi gugus amino

pada asam amino, peptida, atau protein

dengan gugus hidroksil glikosidik pada

gula, yang diakhiri dengan pembentukan

polimer nitrogen berwarna coklat atau

melanoidin, sehingga pada suhu tinggi

mencapai 100°C akan menghasilkan

warna coklat pada permukaan bahan

(Deman, 1997 dalam Gracia dkk, 2009).

3.2.2.2 Aroma

Berdasarkan hasil analisis

variansi (ANAVA) terhadap cookies

kelor menunjukkan bahwa konsentrasi

tepung kelor (T) berpengaruh nyata

terhadap aroma produk cookies kelor

yang dihasilkan, tetapi suhu

pemanggangan (S) dan interaksi antara

konsentrasi tepung kelor (T) dengan

suhu pemanggangan (S) tidak

berpengaruh nyata terhadap aroma

cookies kelor. Pengaruh konsentrasi

tepung kelor (T) terhadap aroma produk

cookies dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Pengaruh Konsentrasi Tepung

Kelor (T) Terhadap Aroma

Konsentrasi

Tepung Kelor (T)

Nilai Rata-rata

Aroma

t1 (3%) 4,36 c

t2 (5%) 4,24 bc

t3 (7%) 3,42 a

Keterangan: Nilai rata-rata yang ditandai

dengan huruf berbeda menunjukkan

perbedaan nyata pada Uji Lanjut Duncan

5%.

Tabel 9 menunjukkan bahwa

aroma perlakuan konsentrasi tepung

kelor t1 (3%) berbeda nyata dengan

konsentrasi tepung kelor t3 (7%), tetapi

konsentrasi tepung kelor t1 (3%) tidak

berbeda nyata dengan konsentrasi

tepung kelor t2 (5%).

Dari tabel 9 dapat diketahui

bahwa aroma pada perlakuan

konsentrasi tepung kelor 3% lebih

disukai dibandingkan dengan perlakuan

lainnya. hal tersebut dikarenakan

cookies pada konsentrasi tepung kelor

3% memiliki aroma yang sedikit tidak

langu.

Penurunan tingkat kesukaan

terhadap aroma cookies disebabkan

karena aroma langu daun kelor yang

sangat mendominasi. Tepung daun kelor

memiliki aroma langu yang sangat kuat

(Becker, 2003 dalam Kholis 2010 dan

Aina 2014), sehingga pada konsentrasi

tepung kelor 7% aroma langu cookies

yang dihasilkan sangat kuat

dibandingkan pada konsentrasi 3% dan

5%.

Timbulnya aroma atau bau

dikarenakan adanya zat bau yang

Page 14: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

14

bersifat volatil (mudah menguap).

Protein yang terdapat dalam bahan akan

terdegradasi menjadi asam amino oleh

adanya panas. Reaksi antara asam amino

dan gula akan menghasilkan aroma,

sedangkan lemak dalam bahan akan

teroksidasi dan dipecah oleh panas

sehingga sebagian dari bahan aktif yang

ditimbulkan oleh pemecahan itu akan

bereaksi dengan asam amino dan peptida

untuk menghasilkan aroma (Mutiara,

2012).

Bau (aroma) makanan banyak

menentukan kelezatan bahan makanan

tersebut. Dalam hal bau lebih banyak

sangkut pautnya dengan alat panca

indera penghidu. Bau-bauan baru dapat

dikenali bila terbentuk uap, dan

molekul-molekul komponen bau

tersebut harus sempat menyentuh silia

sel olfaktori dan diteruskan ke otak

dalam bentuk impuls listrik oleh ujung-

ujung syaraf olfaktori (Winarno, 2000).

3.2.2.3 Tekstur

Berdasarkan hasil analisis

variansi (ANAVA) terhadap cookies

kelor menunjukkan bahwa konsentrasi

tepung kelor (T) berpengaruh nyata

terhadap tekstur produk cookies kelor

yang dihasilkan, tetapi suhu

pemanggangan (S) dan interaksi antara

konsentrasi tepung kelor (T) dengan

suhu pemanggangan (S) tidak

berpengaruh nyata terhadap tekstur

cookies kelor. Pengaruh konsentrasi

tepung kelor (T) terhadap tekstur produk

cookies dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. Pengaruh Konsentrasi Tepung

Kelor (T) Terhadap Tekstur

Konsentrasi

Tepung Kelor (T)

Nilai Rata-rata

Tekstur

t1 (3%) 4,77 c

t2 (5%) 4,65 bc

t3 (7%) 4,01 a

Keterangan: Nilai rata-rata yang ditandai

dengan huruf berbeda menunjukkan

perbedaan nyata pada Uji Lanjut Duncan

5%.

Tabel 10 menunjukkan bahwa

tekstur perlakuan konsentrasi tepung

kelor t1 (3%) berbeda nyata dengan

konsentrasi tepung kelor t3 (7%), tetapi

konsentrasi tepung kelor t1 (3%) tidak

berbeda nyata dengan konsentrasi

tepung kelor t2 (5%).

Dari tabel 10 dapat diketahui

bahwa tekstur pada perlakuan

konsentrasi tepung kelor 3% lebih

disukai dibandingkan dengan perlakuan

lainnya, hal tersebut dikarenakan

cookies pada konsentrasi tepung kelor

3% memiliki tekstur yang renyah.

Menurut Pangaribuan (2013),

tekstur renyah pada cookies ditentukan

oleh kandungan gluten dalam bahan.

Pada perlakuan konsentrasi 3%, tepung

terigu yang digunakan lebih banyak

dibandingkan dengan perlakuan lainnya

sehingga gluten yang terdapat

didalamnya semakin tinggi. Semakin

tinggi gluten dalam bahan maka

semakin tinggi pula kemampuannya

dalam menyerap air pada permukaan

bahan sehingga kadar air bahan semakin

tinggi dan menghasilkan tekstur yang

renyah.

Menurut Fellows (1990), tekstur

bahan pangan kebanyakan ditentukan

oleh kandungan air, lemak, karbohidrat

(seperti pati, sellulosa) dan protein.

Perubahan pada tekstur disebabkan oleh

hilangnya cairan, berkurangnya lemak,

pembentukkan atau pemecahan emulsi,

hidrolisa atau polimerisasi karbohidrat,

dan hidrolisa atau koagulasi protein.

3.2.2.4 Rasa

Berdasarkan hasil analisis

variansi (ANAVA) terhadap cookies

kelor menunjukkan bahwa konsentrasi

tepung kelor (T) berpengaruh nyata

terhadap rasa produk cookies kelor yang

dihasilkan, tetapi suhu pemanggangan

(S) dan interaksi antara konsentrasi

tepung kelor (T) dengan suhu

pemanggangan (S) tidak berpengaruh

nyata terhadap rasa cookies kelor.

Pengaruh konsentrasi tepung kelor (T)

terhadap rasa produk cookies dapat

dilihat pada tabel 11.

Page 15: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

15

Tabel 11. Pengaruh Konsentrasi Tepung

Kelor (T) Terhadap Rasa

Konsentrasi

Tepung Kelor (T)

Nilai Rata-rata

Rasa

t1 (3%) 4,64 c

t2 (5%) 4,42 bc

t3 (7%) 3,23 a

Keterangan: Nilai rata-rata yang ditandai

dengan huruf berbeda menunjukkan

perbedaan nyata pada Uji Lanjut Duncan

5%.

Tabel 11 menunjukkan bahwa

rasa perlakuan konsentrasi tepung kelor

t1 (3%) berbeda nyata dengan

konsentrasi tepung kelor t3 (7%), tetapi

konsentrasi tepung kelor t1 (3%) tidak

berbeda nyata dengan konsentrasi

tepung kelor t2 (5%).

Dari tabel 11 dapat diketahui

bahwa rasa pada perlakuan konsentrasi

tepung kelor 3% lebih disukai

dibandingkan dengan perlakuan lainnya,

hal tersebut dikarenakan cookies pada

konsentrasi tepung kelor 3% memiliki

rasa manis.

Semakin banyak konsentrasi

tepung daun kelor yang ditambahkan

maka rasa yang dihasilkan cookies

semakin pahit. Daun kelor memiliki rasa

yang khas karena kandungan tanin

didalamnya. Menurut Ismarani (2012),

senyawa tannin adalah senyawa

astringent yang memiliki rasa pahit dari

gugus polifenolnya yang dapat mengikat

dan mengendapkan atau menyusutkan

protein. Zat astringent dari tanin

menyebabkan rasa kering dan pucker

(kerutan) di dalam mulut.

Menurut Winarno (2000),

konsistensi bahan akan mempengaruhi

citarasa yang ditimbulkan oleh bahan

tersebut. Perubahan rasa yang

ditimbilkan oleh bahan dapat

mempengaruhi kecepatan timbulnya

rangsangan terhadap sel reseptor oleh

faktor dari kelenjar air liur.

Rasa merupakan hal yang

terpenting dalam menentukan

penerimaan atau penolakan suatu bahan

pangan oleh panelis. Cita rasa makanan

merupakan salah satu faktor penentu

bahan makanan. Makanan yang

memiliki rasa yang enak dan menarik

akan disukai oleh konsumen.

3.2.2.5 After Taste

Berdasarkan hasil analisis

variansi (ANAVA) terhadap cookies

kelor menunjukkan bahwa konsentrasi

tepung kelor (T) berpengaruh nyata

terhadap after taste produk cookies kelor

yang dihasilkan, tetapi suhu

pemanggangan (S) dan interaksi antara

konsentrasi tepung kelor (T) dengan

suhu pemanggangan (S) tidak

berpengaruh nyata terhadap after taste

cookies kelor. Pengaruh konsentrasi

tepung kelor (T) terhadap after taste

produk cookies dapat dilihat pada tabel

12.

Tabel 12. Pengaruh Konsentrasi Tepung

Kelor (T) Terhadap After

Taste

Konsentrasi

Tepung Kelor (T)

Nilai Rata-rata

After Taste

t1 (3%) 4,42 c

t2 (5%) 3,98 bc

t3 (7%) 2,94 a

Keterangan: Nilai rata-rata yang ditandai

dengan huruf berbeda menunjukkan

perbedaan nyata pada Uji Lanjut Duncan

5%.

Tabel 12 menunjukkan bahwa

after taste perlakuan konsentrasi tepung

kelor t1 (3%) berbeda nyata dengan

konsentrasi tepung kelor t3 (7%), tetapi

konsentrasi tepung kelor t1 (3%) tidak

berbeda nyata dengan konsentrasi

tepung kelor t2 (5%).

Dari tabel 12 dapat diketahui

bahwa after taste pada perlakuan

konsentrasi tepung kelor 3% lebih

disukai dibandingkan dengan perlakuan

lainnya, hal tersebut dikarenakan

cookies pada konsentrasi tepung kelor

3% memiliki after taste manis.

Semakin tinggi konsentrasi

tepung daun kelor maka after taste yang

dirasakan akan semakin pahit, sehingga

panelis cenderung tidak menyukai after

taste pahit yang ditimbulkan oleh

Page 16: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

16

cookies. Rasa pahit pada tepung kelor

disebabkan karena terkandung senyawa

tanin di dalam daun kelor. Tanin dapat

menyebabkan rasa sepat karena saat

dikonsumsi akan terbentuk ikatan silang

antara tanin dengan protein atau

glikoprotein di rongga mulut sehingga

menimbulkan perasaan kering dan

berkerut (Jamriati 2008 dalam Yulianti

2008).

Pengujian after taste merupakan

penilaian terhadap kesukaan panelis

dengan mendeskripsikan rasa yang

ditimbulkan setelah melakukan

pengujian. After taste erat hubungannya

dengan rasa yang ditimbulkan dari

produk. Kecenderungan panelis terhadap

tingkat kesukaan pada rasa akan

mempengaruhi terhadap penilaian after

taste.

3.2.3 Perlakuan Terpilih

Berdasarkan uji organoleptik

terhadap cookies kelor, perlakuan t1s1

merupakan perlakuan terbaik. Hal

tersebut dikarenakan perlakuan t1s1 lebih

disukai oleh panelis dalam hal warna,

aroma, tekstur, rasa, dan after taste dan

didukung dengan kandungan protein

sebesar 13,47%, air sebesar 3,48%, dan

vitamin C sebesar 223,01 mg/ml bahan.

3.2.4 Analisis Kalsium dan Aktivitas

Antioksidan Perlakuan Terpilih

Perlakuan terpilih dilakukan

analisis kalsium dan analisis aktivitas

antioksidan. Hasil analisis dapat dilihat

pada tabel 13.

Tabel 13. Hasil Analisis Kalsium dan

Aktivitas Antioksidan

Perlakuan Terpilih

Komponen Hasil

Kalsium (mg) 300

Aktivitas Antioksidan

(nilai rata-rata IC50)

3190,89

Tabel 13 menunjukkan bahwa

kadar kalsium perlakuan terpilih yaitu

t1s1 (konsentrasi tepung kelor 3%

dengan suhu pemanggangan 140°C)

adalah sebesar 300 mg. Menurut Zakaria

(2012), kadar kalsium pada tepung kelor

adalah sebesar 2241,19 mg. Setelah

melalui proses pemanggangan, kadar

kalsium akan mengalami penurunan

dikarenakan penggunaan suhu tinggi

dapat merusak kalsium dalam bahan.

Suhu optimum untuk menjaga

kandungan kimia dalam bahan adalah

sebesar 80°C.

Nilai rata-rata IC50 perlakuan

terpilih yaitu t1s1 (konsentrasi tepung

kelor 3% dengan suhu pemanggangan

140°C) adalah sebesar 3190,89 ppm,

jika dibandingkan dengan nilai rata-rata

IC50 tepung kelor pada penelitian

pendahuluan (1052,76 ppm) maka

produk cookies terpilih mengalami

penurununan aktivitas antioksidan.

Menurut Wijana (2015), suhu

pemanasan berpengaruh sangat nyata

terhadap aktivitas antioksidan. Kondisi

tersebut disebabkan proses pemanasan

akan mengakibatkan rusaknya zat aktif

yang terkandung dalam suatu bahan

pangan, sehingga penggunaan suhu

tinggi pada proses pemanggangan

hingga mencapai suhu 140°C dapat

menurunkan aktivitas antioksidan.

Penelitian tugas akhir mengenai

pembuatan cookies dengan penambahan

tepung daun kelor (Moringa oleifera)

pada berbagai suhu pemanggangan,

dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut :

1. Hasil penelitian pendahuluan

menunjukkan bahwa suhu pengeringan

terpilih terhadap pembuatan tepung daun

kelor adalah suhu 60°C dengan waktu

pengeringan 5 jam dan formula yang

terpilih untuk pembuatan cookies adalah

formula 1.

2. Konsentrasi tepung daun kelor

berpengaruh nyata terhadap warna,

aroma, tekstur, rasa, after taste, dan

kadar protein tetapi tidak berpengaruh

nyata terhadap kadar air.

3. Suhu pemanggangan berpengaruh

nyata terhadap warna, kadar protein, dan

kadar air tetapi tidak berpengaruh nyata

terhadap aroma, tekstur, rasa, dan after

taste.

Page 17: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

17

4. Interaksi antara konsentrasi tepung

daun kelor dengan suhu pemanggangan

berpengaruh nyata terhadap kadar

vitamin C tetapi tidak berpengaruh nyata

terhadap warna, aroma, tekstur, rasa,

after taste, kadar protein, dan kadar air.

5. Perlakuan terpilih yaitu t1s1

(konsentrasi tepung daun kelor 3%

dengan suhu pemanggangan 140°C)

dengan kadar protein 13,47%, kadar air

3,48%, kadar vitamin C 300 mg/ml,

kadar kalsium 300 mg dan nilai rata-rata

IC50 3190,89 ppm (lemah).

Daftar Pustaka

Afrianti, L, H, (2008), Teknologi

Pengawetan Pangan, Penerbit

Alfabeta: Bandung.

Aina, Q, (2014), Pengaruh Penambahan

Tepung Daun Kelor (Moringa

oleifera) dan Jenis Lemak Terhadap

Hasil Jadi Rich Biskuit, E-

Journal Boga, Vol 03, No 3:

Surabaya.

Alkham, F, F, (2014), Uji Kadar Protein

dan Organoleptik Biskuit Tepung

Terigu dan Tepung Daun Kelor

(Moringa oleifera) Dengan

Penmbahan Jamur Tiram (Pleurotus

ostreatus), Program Studi

Pendidikan Biologi. Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Universitas Muhammadiyah:

Surakarta.

Annisa, N, dkk, (2011), Pengaruh Suhu

Pengeringan Terhadap Mutu

Rosella Kering (Hibiscus

sabdariffa), Jurnal Fakultas

Pertanian. Universitas Syiah Kuala

Darussalam: Aceh.

Azizah, N. A, dkk, (2013), Kajian

Perbandingan Tepung Mocaf

(Modified Cassava Flour) yang

Disubstitusi Tepung Kacang Koro

Pedang dan Lama Pemanggangan

Dalam Pembuatan Cookies, Skripsi.

Jurusan Teknologi Pangan. Fakultas

Teknik. Universitas Pasundan:

Bandung.

Buchori, H, A, (2013), Pengaruh Suhu

Pemanggangan dan Perbandingan

Jengkol dengan Tepung Terigu

Terhadap Karakteristik Cookies

Jengkol (Pitheo colobium jiringa),

Jurusan Teknologi Pangan. Fakultas

Teknik. Universitas Pasundan:

Bandung.

Chan, Y, (2016), Resep Cookies,

https://cookpad.com/id. Diakses :

13/03/2016.

Chayati, I, (2010), Bahan Ajar

Pengujian Bahan Pangan, Fakultas

Teknik. Universitas Negeri

Yogyakarta: Yogyakarta.

Chumark, et.al., (2007), The In Vitro

and Ex Vivo Antioxidant Properties,

Hypolipidaemic and

Antiatherosclerotic Activities Of

Water Extract Of Moringa oleifera

Lam, Leaves. J. Ethnopharmacol.

116, 439-446.

Departemen Perindustrian RI, (1990),

Cracker dan Cookies: Jakarta.

Desrosier, N, W, (1988), Teknologi

Pengawetan Pangan, Edisi ke-3.

Penerbit Universitas Indonesia:

Jakarta.

Dian, S, dkk, (2015), Pengaruh Proses

Pemasakan Terhadap Komposisi

Zat Gizi Bahan Pangan Sumber

Protein, Jurnal Pusat Biomedis dan

Teknologi Dasar Kesehatan,

Kemenkes RI: Jakarta.

Estiasih, T, dan Ahmadi, (2009),

Teknologi Pengolahan Pangan,

Penerbit Bumi Aksara: Jakarta.

Fahey, J, W, (2005), Moringa oleifera :

A Review Of The Medical Evidence

For Its Nutritional, Therapeutic and

Prophylactic Properties, Part I,

USA: Trees For Live Journal.

Febriani, V, D, (2015), Daya Terima

Dan Analisa Komposisi Gizi Pada

Cookies Dan Brownis Kukus

Pandan Dengan Substitusi Tepung

Daun Kelor (Moringa oleifera),

Jurusan Gizi. Poltekkes Kemenkes:

Makassar.

Fajiarningsih, H, (2013), Pengaruh

Penggunaan Komposit Tepung

Kentang (Solanum tuberosum L)

Page 18: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

18

Terhadap Kualitas Cookies, Skripsi

Fakultas Teknik. Universitas Negeri

Semarang: Semarang.

Fuglie, L, (2001), The Miracle Tree:

The Multiple Attributs of Moringa,

Dakar.

Gaspersz, V, (1995), Metode

Rancangan Percobaan. Edisi

Kedua, CV.Armico: Bandung.

Gracia, C, Sugiyono, dan Haryanto, B,

(2009), Kajian Formulasi Biskuit

Jagung Dalam Rangka Substitusi

Tepung Terigu, Jurnal Teknologi

dan Industri Pangan, Institut

Pertanian Bogor: Bogor.

Hamidah, S, (1996), Bahan Ajar

Patiseri. Universitas Negeri

Yogyakarta: Yogyakarta.

Hardjanti, S, (2008), Potensi Daun

Katuk Sebagai Sumber Zat Pewarna

Alami dan Stabilitasnya Selama

Pengeringan Bubuk dengan

Maltodekstrin, Jurnal Penelitian

Saintek: Yogyakarta.

Hardiyanthi, F, (2015), Pemanfaatan

Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun

Kelor (Moringa oleifera) Dalam

Sediaan Hand And Body Cream,

Skripsi, Program Studi Kimia.

Fakultas Sains dan Teknologi.

Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah: Jakarta.

Harris dan Karmas, (1989), Evaluasi

Gizi Pada Pengolahan Bahan

Pangan, Edisi Kedua, ITB:

Bandung.

Haryadi, N. K., (2011), Kelor Herbal

Multikhasiat, Penerbit Delta Media:

Solo.

Hernani dan Risfaheri, (1989),

Pengaruh Perlakuan Bahan

Sebelum Penyulingan Terhadap

Rendemen dan Karakteristik Minyak

Nilam, Balai Penelitian Tanaman

Rempah dan Obat: Bogor.

Hasibuan, R, (2004), Mekanisme

Pengeringan, Jurnal Progtam Studi

Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Universitas Sumatera Utara: Medan.

Indriyani, A, (2007), Cookies Tepung

Garut (Maranta arundinaceae L)

dengan Pengkayaan Serat Pangan,

Skripsi, Jurusan Teknologi Pangan

dan Hasil Pertanian, Fakultas

Teknologi Pertanian, Universitas

Gadjah Mada: Yogyakarta.

Ismarani, (2012), Potensi Senyawa

Tanin Dalam Menunjang Produksi

Ramah Lingkungan, Jurnal

Agribisnis dan Pengembangan

Wilayah, Universitas Islam 45:

Bekasi.

Janah, V, N, (2013), Suplemen Herbal

Kaya Nutrisi Berbasis Daun Kelor

Sebagai Alternatif Makanan Olahan

Dalam Rangka Peningkatan

Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS

dikelompok Dukungan Sebaya

(KDS) Cita Cilacap, Stikes Al

Irsyad Al Islamiyyah: Cilacap.

Jonni, M. S, (2008), Cegah Malnutrisi

Dengan Kelor, Penerbit Kanisius:

Yogyakarta.

Kartika, B, Hastuti, P, dan Supartono,

W, (1988), Pedoman Uji Inderawi

Bahan Pangan, Universitas Gadjah

Mada Press: Yogyakarta

Kasolo, et al, (2010), Phytochemicals

and Uses of Moringa oleifera

Leaves in Ugandan Rural

Communities, Journal of Medical

Plant Research. Vol. 4 (9) : 753-757.

Krisnadi, (2010), Kelor Super Nutrisi.

Pusat Informasi dan Pengembangan

Tanaman Kelor Indonesia, Blora.

Kurniasih, E, (2013), Khasiat dan

Manfaat Daun Kelor, Penerbit

Pustaka Baru Press: Yogyakarta.

Lisa, M, Lutfi, M, dan Susilo B, (2015),

Pengaruh Suhu dan Lama

Pengeringan Terhadap Mutu

Tepung Jamur Tiram Putih

(Plaerotus ostreatus), Jurnal

Keteknikan Pertanian Tropis dan

Biosistem: Malang.

Listana, E, A, Winarsih, S, dan Kusuma,

T, S, (2016), Suhu dan Waktu

Mempengaruhi Kadar Karbohidrat

dan Serat Kasar Pada Cookies

Page 19: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

19

Tanah Liat dan Rumput Laut Merah

(Kappaphycus alvarezii), Jurnal

Program Studi Ilmu Gizi. Fakultas

Kedokteran. Universitas Brawijaya:

Malang.

Matz, S. A, (1972), Bakery Technology

and Engineering, Second Edition

The AVI Publishing Co, Inc, West

Port, Connecticut.

Meliani, V, (2002), Mempelajari

Penggunaan Tepung Sukun

(Artocarpus altilis) Sebagai Bahan

Substitusi Tepung Terigu Dalam

Pembuatan Cookies, Skripsi,

Sarjana Jurusan Gizi dan

Masyarakat dan Sumberdaya

Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB:

Bogor.

Millah, I. I, Wignyanto, dan Dewi, I, A,

(2014), Pembuatan Cookies (Kue

Kering) Dengan Kajian

Penambahan Apel Manalagi

(Mallus sylvestris Mill) Subgrade

dan Margarin, Skripsi, Fakultas

Teknologi Pertanian, Universitas

Brawijaya: Malang.

Muchtadi, T. R, dan Ayustaningwarno,

F, (2010), Teknologi Proses

Pengolahan Pangan, Penerbit

Alfabeta: Bandung.

Mukaromah, U, Susetyorini, S, H, dan

Aminah, S, (2010), Kadar Vitamin

C, Mutu Fisik , pH, dan Mutu

Organoleptik Sirup Rosella

(Hibiscus sabdariffa, L)

Berdasarkan Cara Ekstraksi. Jurnal

Pangan dan Gizi, Vol 01, No 01:

Semarang.

Mutiara, E, Adikahriani, dan Wahidah,

S, (2012), Pengembangan Formula

Biskuit Daun Katuk Untuk

Meningkatkan Asi, Jurnal Fakultas

Teknik, Universitas Negeri Medan:

Medan.

Nataliningsih, (2015), Analisis

Kandungan Gizi dan Sifat

Organoleptik Terhadap Cookies

Bekatul, Jurnal Fakultas Pertanian.

Universitas Bandung Raya:

Bandung.

Novia, D, Melia, S, dan Ayuza, N, Z,

(2011), Kajian Suhu Pengovenan

Terhadap Kadar Protein dan Nilai

Organoleptik Telur Asin, Jurnal

Fakultas Peternakan, Universitas

Andalas: Padang.

Nugraha, A, (2013), Bioaktivitas Ekstrak

Daun Kelor (Moringa oleifera)

Terhadap Eschericia coli Penyebab

Kolibasilosis Pada Babi. Tesis,

Program Studi Kedokteran Hewan,

Program Pascasarjana, Universitas

Udayana: Denpasar.

Nurbaya, S dan Estiasih, T, (2013),

Pemanfaatan Talas Berdaging Umbi

Kuning (Colocasia escuenta L)

Dalam Pembuatan Cookies, Jurnal

Pangan dan Agroindustri: Malang.

Nurfitriana, V, (2015), Pengaruh Jenis

Bahan Penstabil dan Konsentrasi

Sukrosa Terhadap Karakteristik

Sorbet Salak Varietas Bongkok,

Skripsi Program Studi Teknologi

Pangan, Fakultas Teknik,Universitas

Pasundan: Bandung.

Pangaribuan, A, (2013), Substitusi

Tepung Talas Belitung Pada

Pembuatan Biskuit Daun Kelor

(Moringa oleifera Lamk), Jurnal

Program Studi Biologi, Fakultas

Teknobiologi, Universitas Atma

Jaya: Yogyakarta.

Pertiwi, D, (2006), Pengaruh

Perbandingan Tepung Kacang Koro

dan Tepung Terigu Dengan

Pemanggangan Terhadap

Karakteristik Biskuit Kacang Koro,

Tugas Akhir, Jurusan Teknologi

Pangan, Fakultas Teknik,

Universitas Pasundan: Bandung.

Poedjiadi, (2005), Dasar-dasar

Biokimia, Edisi Kedua, Penerbit UI

Press: Jakarta.

Praistama, I, (2012), Mempelajari

Perbandingan Tepung Sukun

(Artocarpus altilis) Dengan Tepung

Ubi Jalar (Ipomea batatas) dan

Suhu Pemanggangan Terhadap

Karakteristik Cookies Sukun

(Artocarpus altilis), Artikel,

Page 20: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

20

Teknologi Pangan, Fakultas Teknik,

Universitas Pasundan: Bandung.

Pratama, R. I, Rostini, I, dan Liviawaty,

E, (2014), Karakteristik Biskuit

Dengan Penambahan Tepung

Tulang Ikan Jangilus (Istiophorus

sp), Jurnal, Akuantika Vol V. No 1:

Bandung.

Priyanto, G, (1991), Karakteristik

Transfer Panas dan Massa Serta

Kinetika Pembentukan Warna Pada

Kerak Selama Pemanggangan Roti,

IPB: Bogor.

Putra, G. A, (2005), Pengaruh Cara

Pengeringan dan Cara

Pemanggangan Terhadap Mutu

Produk Opak Tepung Ketan

Komersial (Glutinous Rice

Crackers), Skripsi, Fakultas

Teknologi Pertanian, IPB: Bogor.

Rahma, A, (2015), Pengaruh Suhu dan

Waktu Pemanggangan Terhadap

Karakteristik Food Bars Berbasis

Tepung Pisang Kepok (Musa

Paradisiaca L) dan Ikan Lele

(Clarias geriepinus), Skripsi,

Jurusan Tekonologi Pangan,

Fakultas Teknik, Universitas

Pasundan: Bandung.

Riansyah, A, Supriadi, A, dan Nopianti,

R, (2013), Pengaruh Perbedaan

Suhu dan Waktu Pengeringan

Terhadap Karakteristik Ikan Asin

Sepat Siam (Trichogaster

pectoralis) dengan Menggunakan

Oven, Jurnal Fakultas Pertanian,

Universitas Sriwijaya: Surabaya.

Rosalin, E, (2006), Peningkatan Nilai

Gizi Cookies Dengan Pemanfaatan

Daging Tulang Leher Ayam

Pedaging dan Brokoli (Brassica

olaracea L. Var Italica Plenck)

Giling, Skripsi, Program Studi

Teknologi Hasil Ternak, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian

Bogor: Bogor.

Rollof, A. H, et.al, (2009), Moringa

oleifera LAM, Weinheim: WILEY-

VCH Verlag GmbH dan Co. KgaA.

Rudianto, S. A, dan Alharini, S, (2013),

Studi Pembuatan dan Analisis Zat

Gizi Pada Produk Biskuit Moringa

oleifera Dengan Substitusi Tepung

Daun Kelor, Program Studi Ilmu

Gizi, Fakultas Kesehatan

Masyarakat, Universitas Hasanudin:

Makasar.

Saadah, M, (2007), Pengaruh

Perbandingan Tepung Ubi Jalar

(Ipomoea batatas L) Dengan

Tapioka (Manihot utilissima

POHL.) dan Suhu Pemanggangan

Terhadap Karakteristik Makanan

Sarapan Flakes Ubi Jalar (Sweet

Potato Flakes), Skripsi, Program

Studi Teknologi Pangan, Fakultas

Teknik, Universitas Pasundan:

Bandung.

Sarofa, U, Mulyani, T, dan Wibowo, Y,

A, (2016), Pembuatan Cookies

Berserat Tinggi Dengan

Memanfaatkan Tepung Ampas

Mangrove (Sonneratiacaseolaris),

Program Studi Teknologi Pangan,

Fakultas Teknik Industri, UPN:

Jawa Timur.

Setiaji, B, (2010). Pengaruh Suhu dan

Lama Pemanggangan Terhadap

Karakteristik Soyflakes, Skripsi

Program Studi Teknologi Pangan,

Fakultas Teknik, Universitas

Pasundan: Bandung.

Sitoresmi, M. A, (2012), Pengaruh

Lama Pemanggangan dan Ukuran

Tebal Tempe Terhadap Komposisi

Proksimat Tempe Kedelai, Program

Studi S1 Gizi, Fakultas Ilmu

Kesehatan, Universitas

Muhammadiyah: Surakarta.

Sinurat, E dan Murniyati, (2013),

Pengaruh Waktu dan Suhu

Pengeringan Terhadap Kualitas

Permen Jeli, Jurnal Balai Besar

Penelitian dan Pengembangan

Pengolahan Produk dan

Bioteknologi Kelautan dan

Perikanan: Jakarta.

Suarni, (2009), Prospek Pemanfaatan

Tepung Jagung Untuk Kue Kering

Page 21: PEMBUATAN COOKIES DENGAN PENAMBAHAN …repository.unpas.ac.id/26615/1/Artikel.pdf · vitamin C metode iodimetri, uji protein metode kjedahl, dan uji aktivitas antioksidan metode DPPH

21

(Cokies), Jurnal, Litbang Pertanian,

28 (2).

Subama, (1992), Baking Technology.

Pelatihan Singkat Prinsip-prinsip

Teknologi Pangan Bagi Food

Inspector, PAU Pangan dan Gizi,

IPB: Bogor.

Sudarmadji, (2010), Analisa Bahan

Makanan dan Pertanian,

Universitas Gadjah Mada Press:

Yogyakarta.

Sumarsono, (2005), Perilaku Kadar Air

Daun Nilam Hasil Pengeringan

Secara Rotasi Dengan Tray Dryer,

Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia.

Volume 7, No I. Halaman 59-67:

Bengkulu.

Sundari, D, Almasyhuri, dan Lamid, A,

(2015), Pengaruh Proses

Pemasakan Terhadap Komposisi

Zat Gizi Bahan Pangan Sumber

Protein, Jurnal Pusat Biomedis dan

Teknologi Dasar Kesehatan,

Kemenkes RI: Jakarta.

SNI, (2000), Tepung Terigu Sebagai

Bahan Makanan (SNI 01-3751-

2000), Badan Standar Nasional

Indonesia: Jakarta.

Surjani, A. D, (2009). Buku Pintar

Membuat Kue Kering, Penerbit

Gramedia Pustaka Umum: Jakarta.

Sutrisno, L, (2011), Efek Pemberian

Ekstrak Methanol Daun Kelor

(Moringa oleifera) Meningkatkan

Apoptosis Pada Sel Epitel Kolon

Tikus (Rattus norvegius) Wistar

yang Diinduksi 7,12 dimetilbenz (α)

Antrasen (DMBA), Skripsi

Universitas Brawijaya: Malang.

Simbolon, J. M, (2007), Cegah

Malnutrisi Dengan Kelor, Penerbit

Kanisius: Yogyakarta.

Trisnawati, M. L, dan Nisa, F. C,

(2015), Pengaruh Penambahan

Konsentrat Protein Daun Kelor dan

Karagenan Terhadap Kualitas Mie

Kering Tersubstitusi Mocaf, Jurnal

Pangan dan Agroindustri. Vol 3. No

1: 237-247: Malang.

Utami, P, (2013), The Miracle of Herbs,

Penerbit PT. Agro Media Pustaka:

Jakarta.

Winarno, F. G, (2000), Kimia Pangan

dan Gizi, Penerbit Gramedia

Pustaka Utama: Jakarta.

Winarti, S, (2010), Makanan

Fungsional, Penerbit Gramedia

Pustaka Utama: Jakarta.

Wijana, S, Sucipto, dan Sari, L, M,

(2015), Pengaruh Suhu dan Waktu

Pengeringan Terhadap Aktivitas

Antioksidan Pada Bubuk Kulit

Manggis (Garcia mangostana, L),

Jurnal Teknologi Industri Pertanian,

Universitas Brawijaya: Malang.

Yulianti, R, (2008), Pembuatan

Minuman Jeli Daun Kelor (Moringa

oleifera) Sebagai Sumber Vitamin C

dan β-Karoten, Skripsi, Fakultas

Pertanian. IPB: Bogor.

Zakaria, Tamrin, A, Sirajuddin, dan

Hartono, R, (2012), Penambahan

Tepung Daun Kelor Pada Menu

Makanan Sehari-hari Dalam Upaya

Penanggulangan Gizi Kurang Pada

Anak Balita, Media Gizi Pangan,

Vol XIII. Edisi 1: Makasar.