PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME MELALUI METODE CHILDREN LEARNING IN SCIENCE (CLIS) DITINJAU DARI HASIL PEMBERIAN TUGAS PADA SUB POKOK BAHASAN PEMANTULAN CAHAYA DI SMP KELAS VIII TAHUN AJARAN 2008/2009 Skripsi Oleh : Pujiati K 2305014 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
91
Embed
PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN PENDEKATAN · PDF filepembelajaran fisika dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode children learning in science (clis) ditinjau dari hasil pemberian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN PENDEKATAN
KONSTRUKTIVISME MELALUI METODE CHILDREN LEARNING IN
SCIENCE (CLIS) DITINJAU DARI HASIL PEMBERIAN TUGAS PADA
SUB POKOK BAHASAN PEMANTULAN CAHAYA
DI SMP KELAS VIII TAHUN AJARAN 2008/2009
Skripsi
Oleh :
Pujiati
K 2305014
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu unsur penting dalam perkembangan
manusia, karena dengan pendidikan dapat menghasilkan manusia yang berkualitas
yang berperan dalam pembangunan bangsa dan negara serta mampu
mengembangkan dirinya dalam segala aspek kehidupan, baik secara jasmani
maupun rohani. Adapun tujuan pembangunan nasional dalam bidang pendidikan
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia
Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu,
penyelenggaraan pendidikan harus diupayakan untuk memperoleh hasil yang
optimal.
Pembangunan di bidang pendidikan harus terus diusahakan, baik melalui
jalur pendidikan sekolah, maupun jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan
sekolah yaitu jalur pendidikan yang dilaksanakan di sekolah melalui kegiatan
belajar dan mengajar secara langsung, berjenjang, dan berkesinambungan. Jalur
pendidikan luar sekolah melalui kegiatan yang tidak berjenjang. Sedangkan jalur
pendidikan keluarga merupakan jalur pendidikan luar sekolah yang memberikan
keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan.
Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dipengaruhi oleh dua faktor dari
dalam dan luar siswa. Faktor dari dalam misalnya intelegensi, minat, keadaan
jasmani dan motivasi. Menurut Ngalim Purwanto (1995: 73) menyatakan bahwa
“Bagi seorang guru, tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau memacu
para siswanya agar timbul keinginan dan kemauannya untuk meningkatkan
prestasi belajarnya sehingga tercapai tujuan pendidikan sesuai dengan yang
diharapkan dan ditetapkan di dalam kurikulum sekolah”. Sedangkan faktor dari
luar misalnya keadaan keluarga secara keseluruhan, metode, kurikulum, disiplin
sekolah serta sarana dan prasarana sekolah.
Salah satu mata pelajaran dalam kurikulum dalam pendidikan yang
diberikan kepada siswa SMP adalah mata pelajaran Fisika. Brouckhous
menyatakan bahwa, “Fisika adalah pelajaran tentang kejadian dalam alam, yang
memungkinkan penelitian dengan percobaan, pengukuran apa yang didapat,
penyajian secara sistematis dan berdasarkan peraturan-peraturan umum “ (Herbert
Druxes, Gernot Born, & Fritz Siemsen, 1986:3). Pembelajaran Fisika bertujuan
agar siswa menguasai konsep-konsep Fisika dan mampu menggunakan metode
ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapai sehingga sadar akan
kebesaran penciptaNya. Pada umumnya para siswa menganggap ilmu eksakta
merupakan ilmu yang sulit karena banyak melibatkan perhitungan. Fisika sebagai
bagian dari ilmu eksakta yang dirasa sulit, karena selain melibatkan perhitungan
juga melibatkan kejadian alam dan berusaha menemukan hubungan antar
kenyataan-kenyataan. Untuk itu perlu diusahakan berbagai cara untuk mengatasi
kesulitan tersebut antara lain menggunakan metode dan strategi belajar mengajar
yang tepat, menggunakan media yang sesuai kelengkapan sarana dan prasarana
yang memadai dan sebagainya. Dengan berbagai usaha perbaikan tersebut
diharapkan kesulitan yang dirasakan oleh para siswa dapat teratasi sehingga
belajarnya meningkat.
Dari permasalahan tersebut, peneliti menitikberatkan pada pendekatan
konstruktivisme, karena pendekatan konstruktivisme adalah pendekatan yang
sesuai dengan karakteristik ilmu Fisika yang meliputi produk, proses, dan sikap
ilmiah. Pendekatan konstruktivisme menekankan pada keterlibatan siswa dalam
proses belajar aktif. Sehingga dalam proses pembelajaran terjalin komunikasi
banyak arah, yang dapat meningkatkan peluang guru untuk mendapat umpan balik
dalam rangka menilai efektivitas pengajarannya. Pendekatan konstruktivisme
dapat diterapkan melalui metode Children Learning In Science (CLIS) dan
eksperimen.
Metode pembelajaran CLIS merupakan pengembangan dari model
pembelajaran generatif, yang lebih menekankan pada kegiatan siswa untuk
menyempurnakan ide-ide yang telah ada, cara mencari pemecahan masalah yang
muncul dalam diskusi-diskusi, sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatnya
1
sendiri. Sebelum guru memberikan penyempurnaan ide-ide ilmiah, siswa dituntun
menuju pembangunan ide-ide baru yang hasilnya dibandingkan dengan ide-ide
lama siswa. Sedangkan kegiatan guru yaitu berusaha menggali dan merangsang
memberikan ide-ide siswa dengan memberikan evaluasi, menginterpretasikan
respon-respon, memberikan kesempatan diskusi serta menerima sementara
tentang ide-ide siswa dan membantu siswa untuk memecahkan masalah rumit
yang muncul, memberikan ide-ide ilmiah, mengarahkan siswa untuk menerima
ide baru atau pandangan baru.
Ada juga yang digunakan guru dalam mengajar disamping metode CLIS
yaitu metode Eksperimen. Menurut Roestiyah N.K. (2001 : 80) mengemukakan
bahwa “Metode eksperimen adalah salah satu cara mengajar, dimana siswa
melakukan suatu percobaan tentang sesuatu hal, mengamati prosesnya serta
menuliskan hasil percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan ke
kelas dan dievaluasi oleh guru”. Dalam metode eksperimen, siswa juga dituntut
aktif dalam proses pembelajaran.
Pelaksanaan pembelajaran Fisika melalui pendekatan konstruktivisme
akan dapat mencapai hasil optimal, jika diberikan media penunjang yaitu LKS
(Lembar Kerja Siswa), agar siswa memiliki hasil belajar yang lebih termotivasi
untuk belajar. Untuk mencapai hasil belajar yang lebih baik, guru juga perlu
memberikan tugas-tugas kepada siswa. Tugas-tugas yang diberikan oleh guru
dapat berupa tugas kelompok atau tugas individu. Teknik pemberian tugas
bertujuan agar siswa memiliki hasil belajar yang optimal karena siswa
melaksanakan latihan-latihan selama melaksanakan tugas, sehingga pengalaman
siswa dalam mempelajari suatu pelajaran dapat terarah.
Kemampuan kognitif merupakan kemampuan yang sering dijadikan
objek sebagai hasil belajar siswa karena berkaitan dengan kemampuan siswa
dalam menguasai materi pelajaran. Materi pelajaran di sekolah merupakan materi
yang tidak terisolasi, biasanya satu bidang studi materi tertentu sebagian berisi
materi pelajaran berikutnya, sehingga materi tersebut harus dikuasai atau paling
tidak sudah harus ada pada diri siswa.
Penelitian di SMP N 14 Surakarta pada Tahun Ajaran 2007/2008 yang
dilakukan oleh May Widayati menunjukkan bahwa” kemampuan kognitif Fisika
siswa dipengaruhi oleh pemberian tugas berupa pemberian tugas secara indivdu
dan kelompok. Sebagai tindak lanjut penelitian yang sudah dilakukan maka,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pembelajaran Fisika
Dengan Pendekatan Konstruktivisme Melalui Metode Children Learning In Science
(CLIS) Ditinjau Dari Hasil Pemberian Tugas Pada Sub Pokok Bahasan
Pemantulan Cahaya Di SMP Kelas VIII Tahun Ajaran 2008/2009 ”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat
diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
1. Pendidikan merupakan usaha memperbaiki kualitas sumber daya manusia.
Oleh karena itu perlu untuk mengadakan perubahan pada pendekatan dan
metode pembelajaran.
2. Para siswa menganggap Fisika merupakan ilmu yang sulit karena banyak
melibatkan perhitungan. Sehingga perlu dipilih pendekatan dan metode yang
cocok dalam proses pembelajaran.
3. Pendekatan yang digunakan guru dalam merangsang dan menimbulkan minat
belajar Fisika bagi siswa, kadang-kadang kurang bervariasi.
4. Peran aktif siswa dalam pembelajaran Fisika masih kurang sehingga perlu
adanya suatu pemberian tugas untuk menambah peran aktif siswa.
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian lebih terarah, permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian dibatasi pada :
1. Pembelajaran Fisika yang digunakan adalah pembelajaran Fisika dengan
pendekatan konstruktivisme melalui metode Children Learning In Science
(CLIS) dan metode eksperimen.
2. Yang dimaksud tugas individu adalah tugas yang diberikan oleh guru kepada
siswa untuk dikerjakan secara individual, sedangkan tugas kelompok adalah
tugas yang diberikan kepada siswa untuk dipertanggungjawabkan secara
kelompok.
3. Prestasi belajar Fisika siswa yang ditinjau adalah kemampuan kognitif Fisika
siswa.
4. Pokok bahasan yang digunakan dalam penelitian adalah Pemantulan Cahaya
yang merupakan salah satu sub pokok bahasan di SMP kelas VIII semester
II.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, maka
perumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Adakah perbedaan pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme
melalui metode Children Learning In Science (CLIS) dan metode
eksperimen terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa.
2. Adakah perbedaan pengaruh hasil pemberian tugas secara individu dan
kelompok terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa.
3. Adakah interaksi pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme
melalui metode pembelajaran dengan hasil pemberian tugas terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, peneliti bertujuan:
1. Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan pengaruh penggunaan pendekatan
konstruktivisme melalui metode Children Learning In Science (CLIS) dan
metode eksperimen terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa.
2. Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan pengaruh hasil pemberian tugas
secara individu dan kelompok terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa.
3. Mengetahui ada atau tidaknya interaksi pengaruh antara penggunaan
pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dengan hasil
pemberian tugas terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan peneliti adalah :
1. Bagi peneliti agar dapat menambah pengalaman, wawasan ilmu pengetahuan,
berfikir kreatif dalam dunia pendidikan pada umumnya dan Pendidikan
Fisika pada khususnya.
2. Bagi sekolah dan para pembaca supaya hasil penelitian dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam penggunaan metode pembelajaran sehingga mutu dan
kualitas pendidikan meningkat.
3. Sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang penggunaan
metode pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) dalam
pembelajaran Fisika.
4. Bagi peneliti lain sebagai perangsang untuk mengadakan penelitian lebih
lanjut tentang metode pembelajaran Children Learning In Science (CLIS).
BAB II
LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR
DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
Hakikat Belajar
Pengertian Belajar
Belajar adalah perubahan individu dalam kebiasaan, sikap, pemikiran,
dan banyak hal lainnya. Belajar merupakan kegiatan yang sangat kompleks dan
merupakan suatu proses dimana guru terutama melihat apa yang terjadi selama
murid mengalami pengalaman edukatif untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini
yang perlu diperhatikan adalah pola perubahan pada pengetahuan selama
pengalaman belajar itu berlangsung. Belajar merupakan suatu aktivitas mental dan
psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan.
Belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Slameto (1995 : 2) berpendapat bahwa : “Belajar adalah suatu proses
usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dalam lingkungannya”. Sukirman (1999 : 10) menyatakan bahwa :
“Belajar dalam pengertian luas dapat diartikan sebagai kegiatan psikofisik menuju perkembangan pribadi seutuhnya. Kemudian dalam arti sempit, belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya.”
Menurut fosnot dalam Paul Suparno (2007 : 13) menyatakan bahwa :
“Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi suatu perkembangan berfikir dengan membuat kerangka pengertian baru. Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis, meramalkan, mengetes hipotesa, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, menjari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan
7
refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan dll. Untuk membentuk konstruksi pengetahuan yang baru. Belajar yang sungguh-sungguh akan terjadi bila siswa mengadakan refleksi, pemecahan konflik pengertian, dan selalu memperbaharui tingkat pemikiran yang tidak lengkap. Menurut Betterncourt, Shymansky, Watt & Pope dalam Paul Suparno
(2007: 13), mengemukakan bahwa :
“Bagi konstruktivisme kegiatan belajar adalah proses yang aktif, dimana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari mereka pelajari. Dalam proses itu siswa menyesuaikan konsep dan ide-ide baru yang mereka pelajari dengan kerangka berfikir yang telah mereka punyai”.
Pengertian belajar menurut kaum konstruktivisme (fosnot, Betterncourt,
Shymansky, Watt & Pope) adalah bukan hanya menerima, mengungkapkan
kembali, menghafal, tetapi lebih menekankan pada proses perubahan tingkah laku,
pengetahuan, pemahaman, daya penerimaannya dan lain-lain. Perubahan ini
terjadi melalui transfer informasi, mengasimilisi, dan menghubungkan
pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki
siswa sehingga semakin berkembang.
Dari beberapa pendapat tentang definisi belajar maka dapat peneliti
simpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha sadar yang dilakukan individu
dimana terjadi perubahan tingkah laku yang berbentuk kemampuan-kemampuan
baru yang bersifat permanen dan berkesinambungan mencakup aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik melalui interaksi dengan lingkungan.
Teori-teori Belajar
Ada beberapa macam teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli,
antara lain :
1) Teori Belajar menurut Piaget
Teori pengetahuan Piaget merupakan teori adaptasi kognitif. Setiap
organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan
dan mengembangkan hidup serta struktur pemikiran manusia. Tantangan,
pengalaman gejala yang baru dan skema pengetahuan yang telah dimiliki
seseorang diharapkan untuk lebih berkembang menjadi pengalaman-pengalaman
baru. Semua pengetahuan adalah suatu konstruksi (bentukan) dari kegiatan atau
tindakan seseorang.
Menurut Piaget dalam Paul Suparno (2001 : 119-121) membedakan
adanya tiga macam pengetahuan :
a) Pengetahuan fisis Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisis dari suatu objek atau kejadian seperti bentuk, besar, kekasaran, berat, serta bagaimana objek-objek itu berinteraksi satu dengan yang lain.
b) Pengetahuan matematis logis Pengetahuan matematis logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berfikir tentang pengalaman dengan suatu objek atau kejadian tertentu. Pengetahuan ini didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi, relasi ataupun penggunaan objek.
c) Pengetahuan sosial Pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang menyetujui sesuatu secara bersama. Pengetahuan sosial tidak dapat dibentuk dari suatu tindakan seseorang terhadap objek, tetapi dibentuk dari interaksi seseorang dengan orang lain.
Berdasarkan pendapat Piaget maka dapat peneliti simpulkan bahwa
setiap pengetahuan merupakan pengetahuan fisis, matematis-logis, atau sosial.
Yang paling penting dari pembentukan pengetahuan itu adalah tindakan atau
kegiatan anak terhadap suatu benda dan interaksi dengan orang lain.
2) Teori Belajar menurut Posner
Teori belajar menurut Posner merupakan suatu teori perubahan konsep.
Dalam proses belajar ada proses perubahan konsep yang mirip dengan yang ada
dalam filsafat sains tersebut. Tahap pertama perubahan konsep disebut asimilasi
dan tahap kedua disebut akomodasi. Dengan asimilasi siswa menggunakan
konsep-konsep yang telah mereka miliki. Untuk berhadapan dengan fenomena
yang baru. Sedangkan dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang tidak
cocok lagi dengan fenomena baru yang dihadapi.
Berdasarkan pendapat Posner maka dapat peneliti simpulkan bahwa teori
perubahan konsep merupakan suatu teori dimana dalam proses pengetahuan
seseorang mengalami perubahan konsep. Pengetahuan seseorang tidak sekali jadi
melainkan merupakan proses perkembangan yang terus menerus.
3) Teori Belajar menurut Ausubel
Menurut Ausubel dalam Ratna Wilis Dahar (1989 : 110-114) ada dua
jenis belajar :
a) Belajar bermakna, (meaningful learning) yaitu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka.
b) Belajar menghafal (rote learning) yaitu proses belajar dimana siswa hanya mengetahui sesuatu melalui membaca dan menghafal. Berdasarkan pendapat Ausubel dapat peneliti simpulkan bahwa teori
belajar menurut Ausubel sangat dekat dengan inti dari konstruktivisme. Keduanya
sama-sama menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman,
fenomena dan fakta. Fakta baru ke dalam sistem pengertian yang sudah dimiliki.
Dan juga menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru dengan konsep yang
sudah dimiliki siswa.
4) Teori belajar Jerome Bruner
Bruner mengemukakan empat tema pendidikan yaitu pertama
mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan kedua tentang kesiapan
untuk belajar, ketiga menekankan pentingnya nilai intuisi dalam proses
pendidikan dan keempat tentang motivasi atau keinginan untuk belajar dan cara-
cara yang tersedia pada para guru untung merangsang motivasi itu.
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi
yang pertama adalah bahwa perolehan pengetahuan ialah suatu proses interaktif
sedang asumsi yang kedua yaitu bahwa orang yang mengkonstruksi
pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi
yang disimpan yang diperoleh sebelumnya. Pendekatan Bruner terhadap belajar
dapat diuraikan sebagai suatu pendekatan kategorisasi. Bruner beranggapan
bahwa semua interaksi-interaksi kita dengan melibatkan kategori-kategori yang
dibutuhkan bagi pengfusian manusia. Kategorisasi berfungsi menyederhanakan
kekomplekan dalam lingkungan kita.
Bruner mengemukakan belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung
hampir bersamaan. Tiga proses yang berlangsung ialah memperoleh informasi
baru, transformasi informasi dan menguji relevansi serta ketepatan pengetahuan.
Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan.
Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif
dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk
memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang
mengijinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
Berdasarkan pendapat Bruner dapat peneliti simpulkan bahwa tujuan
belajar penemuan ialah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang
dapat melatih kemampuan-kemampuan intelektual siswa, merangsang
keingintahuan serta memotifasi kemampuan siswa.
Tujuan Belajar
Tujuan belajar bermacam-macam dan bervariasi. Tujuan yang ingin
dicapai dapat dibedakan menjadi tiga bidang yaitu kognitif (penguasaan
intelektual), bidang afektif (nilai dan sikap), serta bidang psikomotorik
(ketrampilan bertindak). Untuk mencapai tujuan belajar dibutuhkan lingkungan
pembelajaran yang baik. Dalam mencapai tujuan belajar yang meliputi tiga bidang
atau tiga aspek tersebut maka guru perlu mengusahakan tercapainya aspek-aspek
itu secara menyeluruh.
Menurut Sukirman (1999 : 13-14) bahwa “Tujuan belajar itu dibagi
menjadi tiga jenis yaitu untuk mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep dan
ketrampilan, serta pembentukan sikap”. Setelah tujuan tercapai maka berarti akan
menghasilkan hasil belajar yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Ketiga hasil belajar ini merupakan tiga hal yang secara perencanaan
terpisah tetapi setelah proses internalisasi, terbentuklah suatu kepribadian utuh
dalam diri siswa.
Tujuan belajar akan tercapai secara optimal jika didukung oleh faktor
intern dan ekstern siswa. Faktor intern yaitu faktor yang berasal dari dalam
individu yang belajar, misalnya kecerdasan, bakat, pertumbuhan, motivasi,
kemampuan matematika. Sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari
luar individu belajar, misalnya kondisi keluarga, pendekatan dan metode yang
digunakan guru dalam pembelajaran, sarana prasarana dan lain sebagainya.
Hakikat Mengajar
a. Pengertian Mengajar
Mengajar merupakan suatu usaha untuk menciptakan suatu kondisi yang
mendukung agar berlangsung proses belajar mengajar yang bermakna dan
optimal. Menurut pendapat Raka Joni dalam Sardiman, A. M. (1990 : 54)
“Mengajar adalah menyediakan kondisi optimal yang merangsang serta
mengarahkan kegiatan belajar anak didik untuk memperoleh pengetahuan,
ketrampilan dan nilai atau sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku
maupun pertumbuhan sebagai pribadi”. Muhibbin Syah (2006 : 219)
mengungkapkan bahwa “Mengajar adalah kegiatan mengembangkan seluruh
potensi ranah psikologis melalui penataan lingkungan sebaik-baiknya dan
menghubungkannya kepada siswa agar terjadi proses belajar.”
Paul Suparno (2007 : 15) menyatakan bahwa :
“Kaum konstruktivisme beranggapan bahwa mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari otak guru ke siswa. Mengajar adalah lebih merupakan kegiatan yang membantu siswa sendiri membangun pengetahuannya. Maka peran seorang guru bukanlah untuk mentransfer pengetahuan yang telah ia punyai kepada siswa, tatapi lebih sebagai mediator dan fasilitator yang membantu siswa dapat mengkontruksi pengetahuan mereka secara cepat dan efektif.”
Kegiatan mengajar memiliki kecenderungan untuk lebih mengaktifkan
siswa dalam proses belajar. Siswa yang aktif akan memperoleh hasil belajar yang
baik dengan bimbingan dari guru. Keaktifan guru dan siswa akan menghasilkan
kegiatan pembelajaran yang baik dan dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Dari beberapa pendapat tentang definisi mengajar maka dapat peneliti
simpulkan bahwa pengertian mengajar adalah suatu upaya yang disengaja untuk
menciptakan lingkungan sebaik-baiknya bagi proses belajar sehingga tercapai
tujuan belajar yang dirumuskan.
b. Prinsip-prinsip Mengajar
Dalam mengajar guru harus berhadapan dengan sekelompok manusia
yang memerlukan bimbingan dan pembinaan untuk menuju kedewasaan, sehingga
sadar akan tanggung jawabnya masing-masing. Karena tugas guru yang berat
tersebut, maka guru harus mempunyai prinsip-prinsip mengajar seperti yang
dikemukakan oleh Slameto (2003:35-39), sebagai berikut:
1) Perhatian
Di dalam mengajar guru harus dapat membangkitkan perhatian anak pada
pelajaran yang disampaikan. Perhatian lebih besar bila anak mempunyai minat
dan bakat.
2) Aktifitas
Dalam proses belajar mengajar, guru perlu menimbulkan aktifitas anak dalam
berfikir maupun berbuat. Bila anak menjadi pertisipan yang aktif, maka akan
memiliki ilmu pengetahuan itu dengan baik, dan dapat mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
3) Apersepsi
Setiap guru dalam mengajar perlu menghubungkan pelajaran yang akan
diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki anak, ataupun
pengalamannya.
4) Peragaan
Saat mengajar di depan kelas, guru harus dapat berusaha menunjukkan benda-
benda yang asli. Bila mengalami kesulitan menunjukkan model, gambar,
benda tiruan, atau dengan menggunakan media lain seperti radio, TV dan
sebagainya.
5) Repetisi
Penjelasan suatu unit pelajaran perlu diulang-ulang sehingga pengertian itu
makin lama semakin lebih jelas dan dapat digunakan untuk memecahkan
masalah.
6) Korelasi
Hubungan antara setiap mata pelajaran perlu diperhatikan, agar dapat
memperluas dan memperdalam pengetahuan siswa itu sendiri.
7) Konsentrasi
Hubungan antara mata pelajaran dapat diperluas yaitu dapat dipusatkan
kepada salah satu pusat minat, sehingga anak memperoleh pengetahuan secara
luas dan mendalam.
8) Sosialisasi
Bekerja di dalam kelompok dapat meningkatkan cara berpikir sehingga dapat
memecahkan masalah dengan baik dan lancar.
9) Individualisasi
Setiap individu mempunyai perbedaan yang khas sehingga guru diharapkan
dapat mendalami perbedaan anak secara individu, agar dapat melayani
pendidikan yang sesuai dengan perbedaan anak.
10) Evaluasi
Evaluasi dapat menggambarkan kemajuan anak, prestasinya, hasil rata-
ratanya, tetapi dapat juga menjadi bahan umpan balik bagi guru. Demikian
guru dapat meneliti dirinya dan berusaha memperbaiki dalam perencanaan
maupun teknik penyajian.
Selain mempunyai prinsip-prinsip mengajar seperti yang dikemukakan
oleh Slameto (2003: 35-39), sebelum mengajar seorang guru juga harus
mempunyai daftar tujuan yang akan dicapai sebagai persiapan program dan
membuat struktur program dan susunan mata pelajaran untuk pencapaian tujuan
program tersebut.
Hakekat Pembelajaran
a. Pengertian Pembelajaran
Istilah “pembelajaran” sama dengan instruction atau “pengajaran”.
Menurut purwadarminta yang dikutip oleh J. Gino et al (1999: 30) Pengajaran
mempunyai arti cara (perbuatan) mengajar atau mengajarkan. Kegiatan belajar
dan pembelajaran merupakan satu kesatuan dari dua kegiatan yang searah.
Kegiatan belajar adalah kegiatan kegiatan primer dalam kegiatan belajar
pembelajaran tersebut, sedangkan pembelajaran merupakan kegiatan sekunder
yang diupayakan untuk dapat tercapainya kegiatan belajar yang optimal.
Sedangkan menurut J. Gino et al (1999: 32) “ Pembelajaran adalah usaha sadar
dan disengaja oleh guru untuk membuat siswa belajar dengan jalan mengaktifkan
faktor ekstern dan faktor intern dalam kegiatan belajar mengajar”.
Dari beberapa pendapat tentang definisi pembelajaran maka dapat
peneliti simpulkan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari pengajar untuk
membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan pengetahuan, ketrampilan dan
tingkah laku dalam diri pelajar dengan jalan mengaktifkan faktor ekstern dan
faktor intern.
b. Ciri-ciri Pembelajaran
Ciri-ciri pembelajaran ditekankan pada unsur-unsur dinamis dalam
proses belajar siswa. Unsur-unsur dinamis tersebut seperti yang dikemukakan oleh
J. Gino et al (1999: 36-39) adalah sebagai berikut:
1) Motivasi belajar
Motivasi yaitu serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu,
sehingga seseorang itu mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak
suka, maka akan berusaha untuk mengelakkan perasaan tidak senang/ suka itu.
2) Bahan belajar
Bahan belajar yaitu segala informasi yang berupa fakta, prinsip dan konsep
yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
3) Alat bantu belajar
Alat bantu belajar adalah semua alat yang digunakan dalam kegiatan belajar
mengajar, dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi)
pembelajaran dari sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima
(siswa).
4) Suasana belajar
Suasana belajar yang diciptakan harus dapat menimbulkan aktivitas atau
kegairahan belajar siswa.
5) Kondisi subyek belajar
Mengenai kondisi siswa dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) siswa
memiliki sifat yang unik, (2) setiap siswa memiliki kesamaan dan
ketidaksamaan.
Pembelajaran Fisika di SMP
a. Hakekat Fisika
Fisika menjadi bagian dari ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala
alam IPA. Sedangkan IPA sendiri adalah suatu kumpulan pengetahuan yang
tersusun secara sistematis tentang gejala alam dan perkembangannya tidak hanya
ditunjukkan oleh fakta-fakta tapi juga timbulnya metode ilmiah dan sikap ilmiah.
Maka dapat dikatakan bahwa IPA meliputi 3 hal, yaitu:
1) Produk IPA
Produk IPA adalah semua pengetahuan tentang gejala alam yang telah
dikumpulkan melalui pengamatan/observasi. Produk IPA berupa fakta,
konsep, prinsip, hukum dan teori.
2) Proses IPA
Proses IPA sering disebut juga proses ilmiah/metode ilmiah. Yang disebut
dengan metode ilmiah adalah gabungan antara penataran dan pengujian secara
empiris. Adapun langkah-langkah metode ilmiah adalah identifikasi masalah,
perumusan masalah, penyusunan hipotesis, melakukan eksperimen, pengujian
hipotesis dan penarikan kesimpulan.
3) Nilai dan sikap ilmiah
Selama melakukan metode ilmiah melalui proses observasi, eksperimen dan
berfikir logis harus digunakan sikap jujur, obyektif dan komunikatif agar
dapat mencapai hasil IPA yang benar.
Sampai saat ini definisi fisika yang baku belum diperoleh karena
pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dipengaruhi oleh latar belakang dan
kemampuan ahli yang bersangkutan, untuk itu perlu diketahui pendapat dari
beberapa ahli tentang fisika tersebut. Brouckhous menyatakan bahwa, “Fisika
adalah pelajaran tentang kejadian dalam alam, yang memungkinkan penelitian
dengan percobaan, pengukuran apa yang didapat, penyajian secara sistematis dan
berdasarkan peraturan-peraturan umum “ (Herbert Druxes, Gernot Born, & Fritz
Siemsen, 1986:3). Sedangkan Gertsen berpendapat, “Fisika adalah suatu teori
yang menerangkan gejala-gejala alam sederhananya dan berusaha menemukan
hubungan antara kenyataan-kenyataannya. Persyaratan-persyaratan dasar untuk
pemecahan masalah adalah mengamati gejala-gejala tersebut “ (Herbert Druxes et
al, 1986: 3).
Dari beberapa pendapat tentang definisi fisika maka dapat peneliti
simpulkan bahwa fisika adalah ilmu yang mempelajari tentang kejadian alam
yang berkembang didasarkan atas penelitian, percobaan, pengamatan dan
pengukuran serta penyajian konsep, teori secara matematis dengan
memperlihatkan konsep-konsep ilmu yang mempengaruhinya.
b. Masalah Pembelajaran Fisika
Secara keseluruhan fisika sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha
menguraikan serta menjelaskan hukum-hukum alam dan kejadian-kejadian dalam
alam dengan gambaran menurut pemikiran-pemikiran manusia. Gambaran ini
berupa teori-teori dan model fisika yang seragam dan tidak dapat disangkal lagi.
Kita tidak dapat memberikan begitu saja masalah-masalah yang ditemukan dalam
mengajar fisika pada sekolah-sekolah pendidikan umum. Berbagai masalah terjadi
dari luar fisika tetapi yang lain benar-benar terjadi dalam jangkauan lingkungan
fisika sendiri, diantaranya bahwa siswa menganggap fisika itu sulit dan
merupakan mata pelajaran yang berat. Masalah ini harus segera di atasi agar
fungsi dan tujuan Pembelajaran Fisika di SMP dapat tercapai.
c. Fungsi dan Tujuan Pembelajaran Fisika di SMP
Mata pelajaran IPA di SMP mencakup kajian tentang biologi dan fisika.
Mata pelajaran IPA merupakan perluasan dan pendalaman IPA di SD dan sebagai
dasar untuk mempelajari perilaku benda dan energi serta keterkaitan antara
konsep dan penerapannya dalam kehidupan nyata.
Fisika merupakan cabang IPA yang mempunyai karakteristik tertentu
dalam kehidupan dan mempunyai nilai yang selalu berkembang. Dalam usaha
mengembangkan fisika dapat dilakukan melalui jalur pendidikan dan pengajaran.
Fungsi mata pelajaran IPA (sains) di SMP pada dasarnya untuk
memberikan pengetahuan tentang lingkungan alam, mengembangkan
keterampilan, wawasan kesadaran, teknologi yang berkaitan dengan pemanfaatan
dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai prasyarat untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan menengah. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Depdiknas
(2003:2), yaitu:
1). Menanamkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa 2). Mengembangkan keterampilan, sikap dan nilai ilmiah 3). Mempersiapkan siswa menjadi warganegara yang melek sains dan
teknologi 4). Menguasai konsep sains untuk bekal hidup di masyarakat dan
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Sedangkan tujuan Pembelajaran IPA (Sains) di SMP pada dasarnya
untuk memberikan pengetahuan guna memahami konsep-konsep fisika dan
keterkaitannya, serta mampu menerapkanya dengan metode ilmiah yang
melibatkan ketrampilan proses untuk memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam Depdiknas (2003:2) disebutkan bahwa tujuan pembelajaran
sains adalah sebagai berikut:
1). Menanamkan keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya
2). Memberikan pemahaman tentang berbagai macam gejala alam, prinsip dan konsep sains serta keterkaitannya dengan lingkungan, teknologi, dan masyarakat.
3). Memberikan pengalaman kepada siswa dalam merencanakan dan melakukan kerja ilmiah untuk membentuk sikap ilmiah.
4). Meningkatkan kesadaran untuk memelihara dan melestarikan lingkungan serta sumber daya alam.
5). Memberikan bekal pengetahuan dasar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.
Hakikat Pendekatan Pembelajaran
a. Pengertian Pendekatan Pembelajaran
Membahas masalah pendekatan pengajaran terutama dalam proses belajar
mengajar tidak dapat terlepas dari pengertian pengajaran. “Pendekatan adalah
jalan atau arah yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam mencapai tujuan
pengajaran dilihat dari sudut bagaimana materi itu disusun dan disajikan” (
Margono. Dkk. 1998:39). Menurut Rini Budiharti dikatakan bahwa:
Pendekatan adalah cara umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian sehingga berdampak ibarat seseorang mengenakan kaca mata dengan warna tertentu didalam memandang alam sekitar. Kaca mata yang berwarna hijau akan menyebabkan dunia kelihatan kehijauan-hijauan, kaca mata berwarna coklat membuat dunia kelihatan kecoklat-coklatan, dan seterusnya. ( Rini Budiharti, 1998 : 2 )
Dari beberapa pendapat tentang definisi pengajaran maka dapat peneliti
simpulkan bahwa pendekatan pengajaran adalah suatu cara yang dilakukan oleh
guru dan siswa dalam memandang permasalahan atau objek kajian untuk
mencapai tujuan pengajaran.
Adanya pendekatan yang tepat dalam penggunaan proses belajar
mengajar akan meningkatkan hasil belajar. Agar siswa menguasai materi,
memahami hipotesis konsep, teori, prinsip dan hukum yang berlaku dalam fisika
serta dapat mengembangkan pengetahaun, ketrampilan, kemampuan sikap ilmiah,
metode ilmiah dan sebagainya dan dikarenakan luasnya tuntutan hasil pengajaran
ini sudah barang tentu bervariasi pula cara mengerjakannya sehingga ada dikenal
beberapa pendekatan pengajaran yaitu konsep, proses, diskoveri, deduktif dan
induktif. Namun ada satu pendekatan pengajaran yang sekarang ini dikembangkan
dalam dunia pendidikan yaitu konstruktivisme.
b. Filsafat Konstruktivisme
Filsafat pengetahuan adalah bagian dari filsafat yang mempertanyakan
soal pengetahuan dan juga bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu. Salah satu
filsafat pengetahuan yang banyak mempengaruhi pengajaran perkembangan
pendidikan sains dan matematika akhir-akhir ini yaitu filsafat konstruktivisme.
1) Menurut Von Glasersfeld dan Kitchener yang dikutip Paul Suparno ( 2001 : 21) secara ringkas gagasan tentang filsafat konstruktivisme dapat didefinisikan Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka tetapi selalu merupakan konstruksi kegiatan subyek.
2) Subyek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dan berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Berdasarkan pendapat Von Glasersfeld dan Kitchener maka dapat
peneliti simpulkan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan
yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi atau bentukan diri
sendiri. Dari sudut pandang konstruktivisme, belajar nampak sebagai modifikasi
dari ide-ide siswa yang telah ada atau sebagai pengembangan konsepsi siswa.
c. Makna belajar konstruktivisme
Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan modifikasi dari ide-ide
siswa yang telah ada atau sebagai pengembangan konsepsi siswa. Menurut kaum
konstruktivis belajar merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan atau
bahan yang dipelajari dengan pengertian sudah dipunyai siswa, sehingga
pengertian yang dimiliki semakin berkembang. Proses tersebut menurut Paul
Suparno (2001 : 6) memiliki ciri-ciri:
1) Belajar berarti membentuk makna-makna ciptaan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami, konstruksi arti ini dipengaruhi oleh pengertian yang ia punyai.
2) Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru, kemudian diadakan konstruksi baik secara kuat atau lemah.
3) Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil pengembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosrot, 1996).
4) Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguannya yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya (Bettencourt, 1989).
6) Hasil belajar seseorang tergantung dari apa yang telah diketahui si pelajar, konsep-konsep, tujuan-tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari. Berdasarkan pendapat Von Glasersfeld dan Kitchener maka dapat
peneliti simpulkan bahwa bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan
yang aktif, dimana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar mencari
arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep
dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dalam pikiran mereka.
d. Makna Mengajar Konstruktivisme
Bagi murid konstruktivis, mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan
dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa
membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berprestasi dengan pelajar
dalam bentuk pengetahuan, membuat makna, mencari penjelasan dan bersikap
kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Sedangkan menurut von Glasersfeld dalam Paul Suparno (1997:65)
menyatakan bahwa: “Mengajar bahwa membantu seseorang berfikir secara benar
dengan membiarkan berfikir sendiri”. Dari pengertian tersebut, guru atau pelajar
berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar
siswa berjalan dengan baik.
Karena guru berperan sebagai fasilitator dan mediator, maka penekanan
pada mengajar konstruktivisme adalah para pengajar (siswa). Selain itu perlu
beberapa pemikiran yang disadari pengajar, yaitu perlu banyak interaksi dengan
siswa untuk mengerti apa yang diketahui atau dipikirkan siswa.
a. Metode Pembelajaran
a. Pengertian Metode Pembelajaran Metode adalah suatu cara khusus untuk mendapatkan sesuatu. Sedangkan
metode mengajar adalah cara yang teratur yang dipergunakan guru dalam
hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pelajaran guna pencapaian
tujuan pengajaran.
Peranan metode mengajar adalah sebagai alat untuk menciptakan kondisi
proses belajar mengajar. Proses interaksi akan berjalan baik kalau siswa banyak
aktif dibandingkan dengan guru. Metode mengajar yang baik adalah sesuai
dengan tujuan pengajaran dalam situasi pada waktu berlangsungnya pelajaran.
Dalam interaksi belajar mengajar terdapat berbagai macam penyajian agar proses
belajar mengajar dapat berjalan dengan baik, efektif dan efisien. Banyak metode
yang dikembangkan dalam pengajaran IPA misalnya metode CLIS (Children
Learning In Science) dan metode eksperimen.
b. Metode Children Learning In Science ( CLIS )
Dalam ilmu jiwa perkembangan dikenal beberapa pembagian masa hidup
anak, yang disebut sebagai fase atau perkembangan. Pembagian perkembangan
anak menurut Charlotte Buhler seperti yang dikemukakan oleh Kartini Kartono
(1999: 28-29) adalah sebagai berikut:
a) Fase pertama, 0-1 tahun: masa menghayati obyek-obyek diluar diri sendiri,
dan saat melatih fungsi-fungsi. Terutama melatih fungsi motorik: yaitu fungsi
yang berkaitan dengan gerakan-gerakan dari badan dan anggota badan.
b) Fase kedua, 2-4 tahun: masa pengenalan dunia obyektif di luar diri sendiri,
disertai penghayatan subyektif. Mulai ada pengenalan pada diri sendiri,
dengan bantuan bahasa dan kemauan sendiri. Anak tidak mengenal dunia luar
berdasarkan pengamatan obyektif, melainkan memindahkan keadaan batinnya
pada benda-benda di luar dirinya. Karena itu anak bercakap-cakap dengan
bonekanya, bergurau dan berbincang-bincang dengan kelincinya: sepertinya
kedua binatang dan benda permainan betul-betul memiliki sifat-sifat yang
dimilikinya sendiri. Fase kedua disebut pula sebagai fase bermain, dengan
subyektivitas yang sangat menonjol.
c) Fase ketiga, 5-8 tahun: masa sosialisasi anak. Anak mulai memasuki
masyarakat luas (misalnya taman kanak-kanak, pergaulan dengan kawan-
kawan sepermainan, dan sekolah rendah). Anak mulai belajar mengenal dunia
sekitar secara obyektif dan mulai belajar mengenal arti prestasi pekerjaan,
serta tugas-tugas kewajiban.
d) Fase keempat, 9-11 tahun: masa sekolah rendah. Anak mencapai obyektivitas
tertinggi. Masa penyelidik, kegiatan mencoba dan bereskperimen, yang
distimulir oleh dorongan-dorongan meneliti dan rasa ingin tahu yang besar.
Merupakan masa pemusatan dan penimbunan tenaga untuk berlatih,
menjelajah dan berekplorasi.
Pada akhir fase keempat anak mulai “menemukan sendiri” yaitu secara tidak
sadar mulai berfikir tentang diri pribadi. Anak sering kali mengasingkan diri.
e) Fase kelima, 14-19 tahun: masa tercapainya sintese antara sikap ke dalam
batin sendiri dengan sikap keluar kepada dunia obyektif.
Untuk kedua kali dalam kehidupannya anak bersikap subyektif (subyektivitas
pertama terdapat pada fase kedua, yaitu usia 3 tahun). Akan tetapi
subyektivitas kedua dilakukannya dengan sadar.
Setelah berumur 16 tahun, pemuda dan pemudi mulai belajar melepaskan diri
dari persoalan tentang diri sendiri. Anak lebih mengarahkan minatnya pada
lapangan hidup konkrit, yang dahulu hanya dikenal secara subyektif belaka.
Lambat laun akan terbentuk persesuaian antara pengarahan diri ke dalam dan
pengarahan diri keluar. Di antara subyek dan obyek (yang dihayatinya) mulai
terbentuk satu sintese. Dengan tibanya fase kelima, tamatlah masa perkembangan
anak dan perkembangan remaja. Lalu individu yang bersangkutan memasuki batas
kedewasaan.
Berdasarkan pendapat Charlotte Buhler maka dapat peneliti simpulkan
bahwa setelah individu berumur 16 tahun, berakhirlah masa perkembangan anak
dan perkembangan remaja kemudian memasuki batas kedewasaan.
Metode CLIS merupakan salah satu metode pembelajaran yang
stateginya berorientasi pada konstruktivisme (cosgrove, M dan Osborne, R.J.
1985 ). Menurut Dahar, R.W ( 1989 : 160 ) “model konstruktivisme dalam
pengajaran memiliki prinsip paling mendasar yaitu anak-anak memperoleh
banyak pengetahuan di luar sekolah dan pendidikan seharusnya memperhatikan
hal itu dan menunjang proses secara alamiah”.
Metode CLIS atau Children Learning In Science adalah salah satu
metode pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan
lima langkah yaitu:
1 Pengenalan, seorang guru memberikan orientasi atau gambaran umum
tentang gejala fisika yang sesuai dengan materi.
2 Penyampaian ide-ide atau membangkitkan gagasan, seorang guru berusaha
menggali ide-ide siswa dengan memberikan perasaan yang akan memancing
siswa untuk menyampaikan ide-idenya.
3 Restrukturisasi atau penyusunan kembali ide-ide, yang terdiri dari:
a) Penjelasan dan pertukaran-pertukaran, merupakan penjelasan dari
gagasan yang dimiliki siswa dan seorang guru berusaha tahu perbedaan
antara ide-ide siswa dengan konsepsi guru atau konsep ilmiah.
b) Pendahuluan untuk situasi konflik, akan muncul konflik-konflik baru
dan gagasan siswa yang salah akan dibetulkan dengan melakukan
demonstrasi.
c) Pembangunan ide-ide baru, guru hanya sebagai fasilitator dengan
merekonstruksi antara gagasan siswa guru dan gagasan siswa sehingga
akan muncul gagasan baru yang sesuai dengan konsep ilmiah.
d) Evaluasi atau penilaian, setelah siswa memiliki gagasan baru, guru akan
memberikan evaluasi yang berupa pertanyaan lisan maupun tulisan.
4 Penerapan ide-ide, seorang guru berusaha agar siswa mengaplikasikan atau
menerapkan ide-idenya.
5 Meninjau perubahan ide-ide, dengan membandingkan ide-ide awal dengan
ide-ide ilmiah yang ada.
Gambar.2.1 Langkah-langkah Metode Pembelajaran CLIS
Pengenalan
Penyampaian ide-ide
Penyusunan kembali ide-ide: - Penjelasan dan pertukaran-pertukaran - Pendahuluan untuk situasi konflik - Pembangunan ide-ide baru - Evaluasi atau penilaian
Penerapan ide-ide
Meninjau perubahan ide-ide
Perbandingan dengan ide-ide sebelumnya
Seorang guru merangsang siswa untuk merestrukturisasi ide-ide siswa
termasuk memastikan lingkungan kelas dengan mendukung siswa agar bisa
merasa mampu menyumbangkan ide-idenya, menggunakan kerja sebagai basis
organisasi sosial dalam kelas untuk memberi kesempatan siswa untuk berpikir
melalui pertukaran ide dengan siswa yang lain.
Pada tahap pengenalan atau penggalian biasanya diterapkan pada sebuah
kelompok kecil, setelah diskusi dan review di dalam kelompok, tiap kelompok
diminta mempresentasikan ide mereka dan menyampaikan di dalam kelas.
Persamaan dan perbedaan dalam hal ide-ide awal antar siswa diidentifikasi dan
dikemukakan untuk mendapatkan pertimbangan/pembahasan lebih lanjut. Tidak
hanya guru yang perlu waspada mengenai konsep-konsep awal siswa tapi perlu
bagi siswa sendiri untuk mampu mengemukakannya secara eksplisit dan
memperjelasnya.
Pada tahap penyusunan ide-ide/restrukturisasi, strategi berkembang
dalam percobaan-percobaan yang dilakukan untuk perubahan pada konsepsi
siswa. Pada akhir pelajaran siswa diberi kesempatan membuat untuk review
cakupan dan cara-cara perubahan pikiran mereka dan sebagai hasilnya meliputi
tidak hanya garis besar aktifitas yang akan dilakukan tapi juga memberikan peta
kecenderungan utama dari jenis ide yang digunakan siswa dalam kelas.
Beberapa kelebihan metode Children learning In Science (CLIS) antara
lain:
1. Mendorong siswa untuk mengemukakan pendapat.
2. Membuat siswa aktif dalam belajar.
3. Mendorong siswa untuk berpikir ilmiah, logis dan kritis.
4. Siswa mendapatkan pengalaman-pengalaman baru dalam hidupnya karena
ikut menemukan sesuatu dan berpartisipasi dalam memecahkan masalah.
5. Membuat siswa semangat dalam belajar.
Beberapa kelemahan metode Children learning In Science (CLIS) antara
lain:
1. Siswa dituntut memiliki kemampuan berpikir ilmiah.
2. Dikuasai oleh siswa yang suka bicara dan kritis.
3. Bagi siswa yang pasif dan tidak memanfaatkan kesempatan belajar akan
semakin tidak mengerti.
4. Dibutuhkan sarana dan prasarana yang mendukung serta memadai sehingga
kegiatan belajar mengajar berjalan efektif.
5. Memerlukan waktu yang panjang dalam kegiatan belajar mengajar karena
bisa terjadi adanya pandangan dari berbagai sudut, sehingga bisa membuat
pembicaraan menjadi menyimpang.
c. Metode Eksperimen
Menurut Roestiyah N. K. (2001 : 80) mengemukakan bahwa “Metode
eksperimen adalah salah satu cara mengajar, dimana siswa melakukan suatu
percobaan tentang sesuatu hal, mengamati prosesnya serta menuliskan hasil
percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan ke kelas dan
dievaluasi oleh guru.”
Penerapan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen
adalah dengan cara siswa melakukan eksperimennya sendiri dibawah bimbingan
guru. Setelah melakukan eksperimen, siswa diharapkan dapat menemukan konsep
sendiri. Selain berdasarkan data yang diperoleh dari eksperimen dalam
menemukan konsep, siswa juga diharapkan menggali potensi yang ada pada
dirinya berdasarkan pengalamannya. Dengan metode eksperimen siswa
mengkonstruk pengetahuannya sendiri kemudian mencocokkannya dengan teori
yang sudah ada, sehingga konsep baru yang diketahui benar-benar sesuai dengan
teori dan tujuan pembelajaran yang sudah ada. Jadi dalam metode eksperimen
siswa aktif sedangkan guru berfungsi sebagai mediator dan fasilitator, tetapi
keduanya bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran yang direncanakan.
Agar penggunaan metode eksperimen efisien dan efektif, perlu
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1) Jumlah alat dan bahan atau materi percobaan harus cukup bagi tiap siswa.
2) Kondisi alat dan mutu bahan percobaan yang digunakan harus baik dan bersih.
3) Diperlukan waktu yang cukup lama, agar siswa lebih teliti dan konsentrasi
dalam mengamati proses percobaan.
4) Siswa dalam bereksperimen adalah sedang belajar dan berlatih, maka perlu
diberi petunjuk yang jelas oleh guru pembimbing.
5) Perlu diketahui bahwa semua masalah bisa dieksperimenkan seperti masalah
menjiwai kejiwaan.
Dengan metode eksperimen siswa berlatih menggunakan metode ilmiah
sehingga dapat memotivasi belajarnya. Batas-batas kemungkinan menggunakan
metode eksperimen yang digunakan adalah:
1) Tidak cukupnya alat-alat mengakibatkan tidak setiap siswa mendapat
kesempatan untuk mengadakan eksperimen.
2) Jika eksperimen memerlukan jangka waktu yang lama siswa harus menanti
untuk melanjutkan pelajaran.
3) Kurangnya persiapan dan pengalaman pada diri siswa akan menimbulkan
kesulitan dalam melakukan eksperimen.
Agar pelaksanaan metode eksperimen berhasil dengan baik dalam
pembelajaran maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Perencanaan dan persiapan eksperimen.
a) Penentuan tujuan eksperimen yang akan dilakukan.
b) Materi yang akan ditonjolkan dalam eksperimen.
c) Menyiapkan peralatan yang dibutuhkan.
d) Mempertimbangkan jumlah siswa dalam satu kelompok sehingga setiap
siswa dapat mengikuti dengan baik.
e) Membuat garis besar langkah atau pokok-pokok yang harus dilakukan
secara berurutan dan secara tertulis pada LKS secara jelas .
2) Pelaksanaan Eksperimen
Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, langkah selanjutnya adalah
memulai eksperimen. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
a) Sebelum memulai percobaan diadakan pretes, kemudian memeriksa
sekali lagi peralatan yang akan digunakan serta pengaturan tempat.
b) Mempersiapkan siswa, barangkali ada yang ingin ditanyakan.
c) Mengkondisikan suasana yang nyaman agar siswa tidak tegang.
d) Mempersilahkan siswa melakukan percobaan.
3) Tindak lanjut dan evaluasi eksperimen
Penerapan pendekatan konstruktivisme melalui metode ini akan
mencapai hasil yang diharapkan bila dilengkapi dengan LKS, karena dari
LKS nantinya siswa dihadapkan pada pertanyaan dan kegiatan yang dapat
memotivasi siswa untuk mempelajari hal-hal yang baru. Lembar Kerja Siswa
ini berisikan tentang cara-cara percobaan yang akan dilakukan dan
pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada konsep yang akan ditanamkan
yang harus diisi oleh siswa. Selain itu LKS dapat menggali kemampuan siswa
yang sudah ada sebelumnya. Jadi dalam hal ini siswa menjadi aktif. Sebagai
tindak lanjut setelah melakukan eksperimen maka diadakan posttest untuk
mengetahui sejauh mana tujuan dari eksperimen dapat dicapai.
Menurut Rini Budiharti (1998 : 35) dalam bukunya “Strategi Belajar
Mengajar Bidang Studi” metode eksperimen mempunyai kelebihan dan
kelemahan.
Kelebihan metode eksperimen, yaitu : 1) Siswa terlibat didalamnya sehingga siswa merasa ikut menemukan
sesuatu serta mendapatkan pengalaman-pengalaman baru dalam hidupnya.
2) Mendorong siswa untuk menggunakan metode ilmiah dalam melakukan sesuatu.
3) Menambah minat siswa dalam belajar. Kelemahan metode eksperimen, yaitu : 1) Guru dituntut tidak hanya menguasai ilmunya, tetapi juga
ketrampilan lain yang menunjang berlangsungnya eksperimen secara lebih baik.
2) Dibutuhkan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan metode yang lain.
3) Dibutuhkan alat yang relatif banyak, sehingga setiap siswa mendapatkannya
4) Dibutuhkan sarana yang lebih memenuhi syarat, baik keamanan maupun ketertiban.
Dari beberapa pendapat tentang definisi metode eksperimen maka dapat
peneliti simpulkan bahwa metode eksperimen dapat memberikan gambaran yang
jelas tentang konsep yang dipelajarinya karena siswa melakukan percobaannya
sendiri untuk menemukan konsep yang baru di bawah bimbingan guru.
Lembar Kegiatan Siswa
Lembar Kegiatan Siswa ( LKS ) merupakan salah satu alat bantu sarana
pendidikan yang berfungsi untuk memudahkan siswa memahami konsep dan
membuat siswa aktif dalam mengikuti proses belajar mengajar. Menggunakan
LKS dapat memotifasi siswa untuk giat belajar dan merupakan salah satu variasi
metode mengajar sehingga siswa tidak bosan.
Lembar Kegiatan Siswa terbagi atas dua kategori yaitu lembar kerja
berstruktur dan lembar kerja tidak berstruktur. LKS berstruktur dirancang untuk
membimbing siswa dalam satu program kerja atau pelajaran dengan sedikit atau
tanpa bantuan guru untuk mencapai tujuan pengajaran. Sedangkan LKS tidak
berstruktur merupakan lembaran yang berisi sarana untuk menunjang materi
pelajaran, sebagai alat bantu kegiatan siswa yang dipakai guru untuk
menyampaikan pelajaran dan mempercepat waktu penyampaian materi karena
dapat disiapkan dari rumah atau sewaktu jam bebas mengajar sebelum memasuki
kelas.
Metode Pemberian Tugas
Menurut Nana Sudjana (1989 : 24), bahwa : “ Pemberian tugas bisa
berwujud melakukan diskusi, melakukan eksperimen, merangkum materi,
mengerjakan soal-soal dan lain-lain”. Dengan bervariasinya tugas maka akan
lebih merangsang anak untuk aktif belajar baik secara individual ataupun
kelompok. Sedangkan menurut Roestiyah N.K (2001:133), bahwa: “ Metode
pemberian tugas biasanya digunakan dengan tujuan agar siswa memiliki hasil
belajar yang lebih mantap, karena siswa melaksanakan latihan-latihan selama
melaksanakan tugas, sehingga pengalaman siswa dalam mempelajari sesuatu
dapat lebih terintegrasi.
Dari beberapa pendapat tentang definisi metode pemberian tugas maka
dapat peneliti simpulkan bahwa metode pemberian tugas atau penugasan diartikan
sebagai suatu cara interaksi belajar mengajar yang ditandai dengan adanya tugas
dari guru untuk dikerjakan peserta didik di sekolah ataupun di rumah secara
perorangan atau berkelompok. Tujuan dari penggunaan metode penugasan adalah
untuk merangsang anak untuk aktif belajar baik secara individu maupun
kelompok.
Setelah tanya jawab atau ceramah diketahui bahan-bahan yang perlu
mendapatkan penekanan dan harus dikuasai peserta didik, guru memberikan tugas
dengan alasan agar peserta didik dapat belajar sendiri atau berkelompok mencari
pengayaannya atau sebagai tindak lanjut dari kegiatan sebelumnya.
Kelebihan metode pemberian tugas:
a. Membuat peserta didik aktif belajar. b. Merangsang peserta didik belajar lebih banyak, baik dekat dengan guru
maupun pada saat jauh dari guru di dalam sekolah maupun di luar sekolah. c. Mengembangkan kemandirian peserta didik. d. Lebih meyakinkan tentang apa yang dipelajari dari guru, lebih
memperdalam, memperkaya atau memperluas tentang apa yang dipelajari. e. Membina kebiasaan peserta didik untuk mencari dan mengolah sendiri
informasi dan komunikasi. f. Membuat peserta didik bergairah belajar karena dapat dilakukan dengan
bervariasi. g. Membina tanggung jawab dan disiplin peserta didik. h. mengembangkan kreativitas peserta didik.
Kelemahan metode pemberian tugas:
a. Sulit mengontrol peserta didik apakah belajar sendiri atau dikenakan orang lain.
b. Sulit memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individu peserta didik.
c. Tugas yang monoton dapat membosankan peserta didik. d. Tugas yang banyak dan sering dapat membuat beban dan keluhan peserta
didik. e. Tugas kelompok dikerjakan oleh orang tertentu atau peserta didik yang
rajin dan pintar. Tugas Individu
Tugas individu adalah tugas yang diberikan oleh guru kepada siswa
untuk dikerjakan secara individual. Tugas mandiri diberikan setelah guru
menyampaikan suatu konsep atau materi. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan
kajian lanjut atas konsep yang telah diterima siswa.
Beberapa kelebihan tugas individu antara lain:
a. Melatih siswa untuk dapat belajar sendiri. b. Melatih siswa untuk disiplin dan tidak mudah putus asa.
c. Melatih siswa lebih percaya diri.
Beberapa kelemahan tugas individu antara lain:
a. Kadang siswa hanya menyalin pekerjaan temannya. b. Memberi tugas bagi siswa yang kurang mampu dapat menghambat
belajarnya. c. Bagi siswa yang kurang mampu, bila sering tidak dapat mengerjakan tugas
bisa menyebabkan siswa malu dan rendah diri.
Tugas Kelompok
Tugas kelompok adalah tugas yang diberikan pada siswa untuk
dipertanggungjawabkan secara kelompok. Tugas kelompok dapat mengatasi
perbedaan individual dengan cara eksperimen. Pemberian tugas kelompok lebih
komunikatif pada proses belajar.
Sebagian siswa ada yang lebih mudah belajar dengan teman sebayanya
dibandingkan dijelaskan guru. Mereka lebih terbuka dan representatif, sehingga
diharapkan proses belajar akan lebih baik. Siswa yang kurang tuntas belajarnya
dapat belajar dari siswa yang sudah tuntas belajarnya. Siswa yang sudah tuntas
belajarnya akan semakin luas pemahaman materinya. Dengan demikian prestasi
belajar dapat ditingkatkan.
Beberapa kelebihan pemberian tugas kelompok antara lain:
a. Melatih siswa untuk bereksperimen. b. Melatih siswa bekerja sama. c. Memberi kesempatan pada siswa yang kurang paham untuk belajar kepada
siswa yang lebih paham.
Beberapa kekurangan pemberian tugas kelompok antara lain:
a. Kadang tugas hanya dikerjakan oleh seorang siswa. b. Bagi siswa yang kurang mampu dan tidak memanfaatkan kesempatan
belajar kepada temannya semakin tidak mengerti.
(Mulyani dan Johar, 2001: 128-132)
Kemampuan Kognitif Siswa
Adanya suatu penilaian merupakan salah satu bagian dari kegiatan atau
usaha. Melalui kegiatan ini, kita dapat mengetahui sejauh mana hasil dari suatu
kegiatan. Dalam proses pembelajaran di sekolah, hasil yang didapat biasanya
disebut dengan kemampuan kognitif yaitu hasil yang dicapai oleh siswa selama
mengikuti proses pembelajaran. Hal ini akan memberikan masukan bagi guru
untuk mengetahui seberapa banyak siswa mampu menguasai materi yang diterima
selama proses pembelajaran tersebut berlangsung.
Berhasil atau tidaknya proses belajar mengajar dapat dilihat dari
kemampuan kognitifnya. Menurut Bloom dalam Nana Sudjana (1995:22), hasil
belajar dibagi menjadi tiga ranah, yaitu “...ranah kognitif, afektif, dan ranah
psikomotorik”.
“Kemampuan kognitif adalah kemampuan yang mengatur cara belajar
dan berpikir seeorang di dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk kemampuan
memecahkan masalah”. (Rini Budiharti, 1998:18). Kemampuan kognitif Fisika
merupakan hasil yang telah dicapai seorang siswa setelah mengikuti proses belajar
Fisika. Belajar yang diperoleh siswa biasanya berupa nilai mata pelajaran Fisika.
Kemampuan kognitif mencakup tiga aspek penilaian yaitu aspek
kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. Berikut akan dijelaskan aspek
kognitif sebagai kemampuan kognitif siswa.
Kognitif adalah sesuatu yang berhubungan dengan atau melibatkan suatu
kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan,
dan sebagainya) atau usaha mengenai sesuatu melalui pengalaman sendiri, juga
suatu proses pengenalan dan penafsiran lingkungan oleh seseorang serta hasil
perolehan pengetahuan.
Cara penalaran atau kognitif seseorang terhadap suatu objek selalu
berbeda-beda dengan orang lain. Artinya objek penalaran yang sama mungkin
akan mendapat penalaran yang berbeda dari dua orang atau lebih. Jadi, karena
berbeda dalam penalaran, berbeda pula dalam kepribadian, maka terjadilah
perbedaan individu.
Menurut Benjamin Bloom dalam Dimyati dan Mudjiono (1999:26-27),
komponen kognitif meliputi:
1) Pengetahuan, mencapai kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan
dengan fakta, peristiwa, pengertian, kaidah, teori, prinsip, atau metode.
2) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna tentang hal yang dipelajari.
3) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru.
4) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.
5) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru. 6) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang
beberapa hal beradasarkan kriteria tertentu.
Kategori-kategori ini disusun secara hirarkis, sehingga menjadi taraf-
taraf yang semakin menjadi bersifat kompleks, mulai dari yang pertama sampai
dengan yang terakhir.
Pemantulan Cahaya
Cahaya merambat lurus ke segala arah
Cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang dapat merambat dalam
ruang hampa udara dengan kecepatan rambat cahaya 3 x 108 m/s. Beberapa
contoh peristiwa sehari-hari yang menunjukkan adanya cahaya merambat
antara lain sebagai berikut :
1) Pada malam hari yang gelap, cahaya dari lampu senter merambat lurus.
2) Sinar matahari merambat lurus ke dalam rumah melalui genting kaca
atau celah sempit.
3) Berkas sinar pada proyektor film merambat lurus.
Benda gelap terdiri atas beberapa jenis sebagai berikut :
1) Benda gelap yang dapat meneruskan seluruh cahaya.
2) Benda gelap yang dapat meneruskan sebagian cahaya.
3) Benda gelap yang sama sekali tidak meneruskan cahaya
Cahaya mempunyai beberapa sifat antara lain yaitu : merambat lurus,
memiliki energi, dapat dibiaskan, dapat melentur, serta dapat berinterferensi.
Jika cahaya yang sedang merambat terhalang oleh suatu benda, maka
ruangan di belakang benda tersebut gelap sehingga terjadi bayang – bayang
benda. Terbentuknya bayang – bayang tersebut merupakan bukti bahwa
cahaya merambat lurus. Bayangan yang terbentuk ada dua macam, yaitu
f. Menentukan keputusan uji (beda rerata) untuk setiap pasang komparasi
rerata.
g. Menyusun rangkuman analisis (komparasi ganda).
(Budiyono, 2004: 227-230)
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
Peneliti menggunakan dua variabel penelitian yaitu variabel bebas dan
terikat. Sebagai variabel bebas adalah penggunaan pendekatan konstruktivisme
melalui metode mengajar dan pemberian tugas. Sedangkan variabel terikatnya
adalah kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan pemantulan
cahaya.
Data yang diperoleh dalam penelitian terdiri atas data keadaan awal
siswa yang diperoleh dari nilai ulangan akhir semester I mata pelajaran Fisika dan
data data kemampuan kognitif Fisika siswa pada materi pemantulan cahaya yang
diperoleh dari pemberian tes kemampuan kognitif siswa kepada responden. Secara
rinci adalah sebagai berikut:
1. Data Keadaan Awal Siswa
Dalam penelitian jumlah siswa kelompok eksperimen kelas VIII B yaitu
kelompok yang diberi pengajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui
metode Children Learning In Science (CLIS) disertai pemberian tugas individu
berjumlah 38 siswa. Dari hasil perhitungan, keadaan awalnya mempunyai rerata
79,6316 dengan standar deviasi 9,2046. Kelompok yang diberi pengajaran dengan
pendekatan konstruktivisme melalui metode Children Learning In Science (CLIS)
disertai pemberian tugas kelompok adalah kelas VIII E dengan jumlah siswa 42
siswa, keadaan awalnya mempunyai rerata 77,9286 dengan standar deviasi
12,7727. (Untuk keterangan lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 15)
Untuk kelompok kontrol kelas VIII A yang diberi pengajaran dengan
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai pemberian tugas
individu berjumlah 38 siswa, keadaan awalnya mempunyai rerata 74,1842 dengan
standar deviasi 14,1842. Kelompok kontrol yang diberi pengajaran dengan
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai pemberian tugas
kelompok adalah kelas VIII C dengan jumlah siswa 42 siswa, keadaan awalnya
67
mempunyai rerata 78 dengan standar deviasi 13,2739. (Untuk keterangan lebih
jelasnya dapat dilihat pada lampiran 15)
Distribusi frekuensi keadaan awal siswa pada kelompok eksperimen
kelas VIII B disajikan pada tabel 4.1, untuk kelompok eksperimen kelas VIII E
disajikan pada tabel 4.2. Kemudian untuk distribusi frekuensi keadaan awal siswa
pada kelompok kontrol kelas VIII A disajikan pada tabel 4.3, untuk kelompok
kontrol kelas VIII C disajikan pada tabel 4.4. Untuk lebih jelasnya disajikan pula
histogram dari masing-masing distribusi pada gambar 4.1, 4.2, 4.3 dan 4.4.
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Keadaan Awal Kelompok Eksperimen Kelas VIII B
Frekuensi No Kelas Interval Titik Tengah
Mutlak Relatif (%)
1 63-68 65,5 4 10,53%
2 69-74 71,5 4 10,53%
3 75-80 77,5 8 21,05%
4 81-86 83,5 8 21,05%
5 87-92 89,5 11 28,95%
6 93-98 95,5 3 7,89%
Jumlah 38 100,00%
0
2
4
6
8
10
12
65.5 71.5 77.5 83.5 89.5 95.5
Freku
ensi
Titik Tengah
Gambar 4.1. Histogram Distribusi Frekuensi Nilai Keadaan Awal Siswa Kelompok Eksperimen Kelas VIII B
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Keadaan Awal Kelompok Eksperimen Kelas VIII E
Frekuensi No Kelas Interval Titik Tengah Mutlak Relatif (%)
1 56-62 59 4 9,52%
2 63-69 66 9 21,43%
3 70-76 73 7 16,67%
4 77-83 80 9 21,43%
5 84-90 87 2 4,76%
6 91-97 94 11 26,19%
Jumlah 42 100,00%
0
2
4
6
8
10
12
59 66 73 80 87 94
Fre
ku
en
si
Titik Tengah
Gambar 4.2. Histogram Distribusi Frekuensi Nilai Keadaan Awal
Siswa Kelompok Eksperimen Kelas VIII E
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Keadaan Awal Kelompok Kontrol Kelas VIII A
Frekuensi No Kelas Interval Titik Tengah Mutlak Relatif (%)
1 50-57 53,5 7 18,42%
2 58-65 61,5 5 13,16%
3 66-73 69,5 5 13,16%
4 74-81 77,5 9 23,68%
5 82-89 85,5 7 18,42%
6 90-97 93,5 5 13,16%
Jumlah 38 100,00%
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
53.5 61.5 69.5 77.5 85.5 93.5
Fre
ku
en
si
Titik Tengah
Gambar 4.3. Histogram Distribusi Frekuensi Nilai Keadaan Awal Siswa Kelompok Kontrol Kelas VIII A
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Keadaan Awal Kelompok Kontrol Kelas VIII C
Frekuensi No Kelas Interval Titik Tengah Mutlak Relatif (%)
1 50-57 53,5 3 7,14%
2 58-65 61,5 4 9,52%
3 66-73 69,5 8 19,05%
4 74-81 77,5 12 28,57%
5 82-89 85,5 4 9,52%
6 90-97 93,5 11 26,20%
Jumlah 42 100,00%
0
2
4
6
8
10
12
14
53.5 61.5 69.5 77.5 85.5 93.5
Fre
ku
en
si
Titik Tengah
Gambar 4.4. Histogram Distribusi Frekuensi Nilai Keadaan Awal Siswa Kelompok Kontrol Kelas VIII C
2. Data Nilai Kemampuan Kognitif Siswa
Data nilai kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan
Pemantulan Cahaya dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diperoleh
data sebagai berikut:
a. Nilai kemampuan kognitif Fisika siswa kelompok eksperimen kelas VIII B
mempunyai rerata 80,1316 dengan standar deviasi 9,2010.
b. Nilai kemampuan kognitif Fisika siswa kelompok eksperimen kelas VIII E
mempunyai rerata 73 dengan standar deviasi 12,9218.
c. Nilai kemampuan kognitif Fisika siswa kelompok kontrol kelas VIII A
mempunyai rerata 75,5 dengan standar deviasi 9,9750.
d. Nilai kemampuan kognitif Fisika siswa kelompok kontrol kelas VIII C
mempunyai rerata 69,3810 dengan standar deviasi 15,2299.
Data secara lengkap disajikan pada lampiran 20. Distribusi frekuensi
nilai kemampuan kognitif Fisika siswa pada kelompok eksperimen kelas VIII B
disajikan pada tabel 4.5, untuk kelompok eksperimen kelas VIII E disajikan pada
tabel 4.6. Kemudian untuk distribusi frekuensi nilai kemampuan kognitif Fisika
siswa pada kelompok kontrol kelas VIII A disajikan pada tabel 4.7, untuk
kelompok kontrol kelas VIII C disajikan pada tabel 4.8. Untuk lebih jelasnya
disajikan pula histogram dari masing-masing distribusi pada gambar 4.5, 4.6, 4.7
dan 4.8.
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Nilai Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelompok Eksperimen Kelas VIII B disertai Pemberian Tugas Individu
Frekuensi No Kelas Interval Titik Tengah Mutlak Relatif (%)
1 63-68 65,5 3 7,89%
2 69-74 71,5 9 2,68%
3 75-80 77,5 10 26,32%
4 81-86 83,5 6 15,79%
5 87-92 89,5 6 15,79%
6 93-98 95,5 4 10,53%
Jumlah 38 100,00%
0
2
4
6
8
10
12
65.5 71.5 77.5 83.5 89.5 95.5
Frek
uens
i
Titik Tengah
Gambar 4.5. Histogram Distribusi Nilai kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelompok Eksperimen Kelas VIII B disertai Pemberian Tugas Individu
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Nilai Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelompok Eksperimen Kelas VIII E disertai Pemberian Tugas Kelompok
Frekuensi No Kelas Interval Titik Tengah Mutlak Relatif (%)
1 46-53 49,5 6 14,29%
2 54-61 57,5 2 4,76%
3 62-69 65,5 6 14,29%
4 70-77 73,5 12 28,57%
5 78-85 81,5 9 21,42%
6 86-93 89,5 7 16,67%
Jumlah 42 100,00%
0
2
4
6
8
10
12
14
49.5 57.5 65.5 73.5 81.5 89.5
Frek
uens
i
Tititk Tengah
Gambar 4.6. Histogram Distribusi Nilai kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelompok Eksperimen Kelas VIII E disertai
Pemberian Tugas Kelompok
Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Nilai Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelompok Kontrol Kelas VIII A disertai Pemberian Tugas Individu
Frekuensi No Kelas Interval Titik Tengah
Mutlak Relatif (%)
1 57-62 59,5 3 7,90%
2 63-68 65,5 5 13,16%
3 69-74 71,5 9 23,68%
4 75-80 77,5 9 23,68%
5 81-86 83,5 7 18,42%
6 87-92 89,5 5 13,16%
Jumlah 38 100,00%
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
59.5 65.5 71.5 77.5 83.5 89.5
Frek
uens
i
Titik Tengah
Gambar 4.7. Histogram Distribusi Nilai kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelompok Kontrol Kelas VIII A disertai
Pemberian Tugas Individu
Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Nilai Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelompok Kontrol Kelas VIII C disertai Pemberian Tugas Kelompok
Frekuensi No Kelas Interval Titik Tengah Mutlak Relatif (%)
1 43-51 47 10 23,80%
2 52-60 56 3 7,14%
3 61-69 65 7 16,67%
4 70-78 74 8 19,05%
5 79-87 83 7 16,67%
6 88-96 92 7 16,67%
Jumlah 42 100,00%
0
2
4
6
8
10
12
47 56 65 74 83 92
Fre
ku
en
si
Tititk Tengah
Gambar 4.8. Histogram Distribusi Nilai kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelompok Kontrol Kelas VIII C disertai Pemberian Tugas Kelompok
B. Uji Kesamaan Keadaan Awal Siswa
1. Uji Normalitas
Uji normalitas kesamaan keadaan awal dilakukan terhadap data nilai
Fisika siswa hasil ujian akhir semester I.
a. Kelompok Eksperimen Dari hasil analisis menggunakan uji Liliefors diperoleh harga
0957,0 = Lo . Sedangkan untuk 80=n pada taraf signifikasi 0,05 harga
0,0991 =TabelL . Karena Tabelo LL < maka distribusi frekuensi dari nilai
keadaan awal fisika siswa kelas VIII B dan VIII E SMP Negeri 1 Wangon
adalah berdistribusi normal. (Untuk lebih jelasnya dapat dilihat lampiran 16)
b. Kelompok Kontrol Dari hasil analisis menggunakan uji Liliefors diperoleh harga
0,0985=oL . Sedangkan untuk 80=n pada taraf signifikasi 0,05 harga
0,0991 =TabelL . Karena Tabelo LL < maka distribusi frekuensi dari nilai
keadaan awal fisika siswa kelas VIII A dan VIII C SMP Negeri 1 Wangon
adalah berdistribusi normal. (Untuk lebih jelasnya dapat dilihat lampiran 17)
2. Uji Homogenitas
Dari hasil uji homogenitas untuk nilai ujian akhir semester I mata
pelajaran Fisika untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diperoleh
harga c2hitung sebesar 3,55, sedangkan besar c2
0,05; 1 adalah 3,841. Karena c2hitung <
c2tabel maka dapat disimpulkan bahwa keempat sampel berasal dari populasi yang
homogen. (Untuk lebih jelasnya dapat dilihat lampiran 18)
3. Uji- t
Dari hasil uji t dua ekor untuk nilai ulangan Semester I diperoleh thitung =
1,2816. Harga ttabel pada taraf signifikasi 0,05 dan db = 158 adalah 1,96. Karena -
ttabel < thitung < ttabel , maka Ho diterima. Hal tersebut berarti bahwa tidak ada
perbedaan keadaan awal antara siswa kelompok eksperimen dengan siswa
kelompok kontrol. Dengan kata lain keadaan awal siswa pada kelas eksperimen
dan kelas kontrol dalam keadaan sama. (Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
lampiran 19)
C. Uji Prasyarat Analisis
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah sampel berasal
dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Pada uji normalitas data nilai
kemampuan kognitif Fisika siswa kelompok eksperimen kelas VIII B yang diberi
pengajaran dengan metode Children Learning In Science (CLIS) disertai
pemberian tugas individu diperoleh harga 0829,0 = Lo . Sedangkan harga TabelL
dengan jumlah sampel 38 pada taraf signifikansi 0,05 adalah 0,1437. Berdasarkan
hasil analisis maka Lo < TabelL sehingga sampel berdistribusi normal.
(Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 21)
Daerah penolakan Ho Daerah penolakan Ho
-1,96 1,96
Daerah penerimaan Ho
Untuk uji normalitas data nilai kemampuan kognitif Fisika siswa kelompok
eksperimen kelas VIII E yang diberi pengajaran dengan metode Children Learning In
Science (CLIS) disertai pemberian tugas kelompok diperoleh harga 1020,0 = Lo .
Sedangkan harga TabelL dengan jumlah sampel 42 pada taraf signifikansi 0,05 adalah
0,1367. Berdasarkan hasil analisis maka Lo < TabelL sehingga sampel berdistribusi
normal. (Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 22)
Sedangkan untuk uji normalitas data nilai kemampuan kognitif Fisika siswa
kelompok kontrol kelas VIII A yang diberi pengajaran dengan metode eksperimen
disertai pemberian tugas individu diperoleh harga 1049,0 = Lo . Sedangkan harga
TabelL dengan jumlah sampel 38 pada taraf signifikansi 0,05 adalah 0,1437.
Berdasarkan hasil analisis maka Lo < TabelL sehingga sampel berdistribusi
normal. (Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 23)
Pada uji normalitas data nilai kemampuan kognitif Fisika siswa
kelompok kontrol kelas VIII C yang diberi pengajaran dengan metode eksperimen
disertai pemberian tugas kelompok diperoleh harga 1005,0 = Lo . Sedangkan
harga TabelL dengan jumlah sampel 42 pada taraf signifikansi 0,05 adalah 0,1367.
Berdasarkan hasil analisis maka Lo < TabelL sehingga sampel berdistribusi
normal. (Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 24)
Dari hasil perhitungan nilai kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub
pokok bahasan Pemantulan Cahaya diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 4.9 Data Nilai Kemampuan Kognitif Fisika Siswa
No Kelas Jumlah Nilai Standar Deviasi Rerata Variansi
1. VIII B 3045 9,2010 80,1316 84,6579
2. VIII E 3050 12,9218 73 166,9733
3. VIII A 2869 9,9750 75,5 99,5
4. VIII C 2914 15,2299 69,3810 231,9489
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel berasal
dari populasi yang homogen atau tidak. Dari hasil analisis yang dilakukan dengan
menggunakan uji Barlett terhadap data nilai kemampuan kognitif Fisika siswa
kelas eksperimen yang terdiri dari 80 siswa dan kelas kontrol yang terdiri dari 80
siswa diperoleh harga statistik uji chit2 = 1,01. Sedangkan c2 tabel pada taraf
signifikansi 0,05 adalah 3,841. Karena chit2 tidak melebihi c2 tabel , dengan
demikian dapat diperoleh keputusan uji bahwa Ho diterima, hal ini menunjukkan
bahwa populasi tersebut homogen. (Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada
lampiran 25)
D. Pengujian Hipotesis
1. Analisis Variansi Dua Jalan dengan Frekuensi Sel Tak Sama
Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian yang berupa nilai
kemampuan kognitif Fisika siswa dianalisis dengan Analisis Variansi Dua Jalan
Sel Tak Sama dilanjutkan dengan Uji Scheffe. Hasil dari ANAVA tersebut
didapatkan harga-harga seperti yang terangkum dalam tabel berikut :
Tabel 4.10. Rangkuman Anava Dua Jalan dengan Sel Tak Sama
Sumber JK Dk RK Fhit Ftab Kep. Uji
Efek Utama
A (baris)
B (kolom)
AB (interaksi)
Galat
617,7694
1853,5539
19,3694
23169,65
1
1
1
156
617,7694
1853,5539
19,3694
23169,65
4,16
12,48
0,13
-
3,84
3,84
3,84 -
H0A Ditolak
H0B Ditolak
H0AB Diterima
-
Total 25660,3444 159 - - - -
Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 27.
Berdasarkan tabel 4.10. analisis variansi dua jalan didapatkan hasil-hasil
sebagai berikut :
a. Hipotesis 1
Pada lampiran 27, Fa = 4,16 > F0.05; 1.156 = 3,84 , maka H0A ditolak
b. Hipotesis 2
Pada lampiran 27, Fb = 12,48 > F0,05;1.156 = 3.84, maka H0B ditolak
c. Hipotesis 3
Pada lampiran 27, Fab = 0,13 < F0.05; 1.156 = 3,84, maka H0AB diterima
Hasil perhitungan analisis variansi dua jalan yang terdiri dari dua efek
utama dan interaksi dapat disimpulkan bahwa :
a. Efek Utama
1) Efek utama yang berupa baris (pendekatan konstruktivisme dengan
metode mengajar), dalam perhitungan yang ditunjukkan dengan harga
statistik uji Fa = 4,16 lebih besar dari harga F0.05; 1.156 = 3,84 pada taraf
signifikansi a = 0,05. Yang berarti bahwa ada perbedaan pengaruh
penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode children learning
in science (CLIS) dan eksperimen terhadap kemampuan kognitif Fisika
siswa.
2) Efek utama yang berupa kolom (pemberian tugas), dalam perhitungan
dengan harga statistik uji Fb = 12,48 lebih besar dari harga F0,05;1.156 = 3,84
pada taraf signifikansi a = 0,05. Yang berarti bahwa Ada perbedaan
pengaruh hasil pemberian tugas secara individu dan kelompok terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa.
b. Interaksi
Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukkan pada lampiran 27,
diperoleh harga statistik uji Fab = 0,13 lebih kecil dari harga tabel F0.05; 1.156 =
3,84 pada taraf signifikansi a = 0,05. Yang berarti bahwa tidak ada interaksi
pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode
pembelajaran dengan hasil pemberian tugas terhadap kemampuan kognitif
Fisika siswa.
Berdasarkan hasil uji hipotesis, dapat dikemukakan bahwa :
a. Ada perbedaan pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode Children Learning In Science dan metode eksperimen terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa.
b. Ada perbedaan pengaruh hasil pemberian tugas secara individu dan kelompok
terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa.
c. Tidak ada interaksi pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme
melalui metode pembelajaran dengan hasil pemberian tugas terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa.
2. Uji Lanjut Anava
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perbedaan ketiga masalah di atas,
maka dilakukan uji komparasi ganda dengan metode Scheffe, yang rangkuman
analisisnya sebagai berikut :
Tabel 4.11. Rangkuman Komparasi Ganda
Rerata
Komparasi
Rerata
iX
jX
Statistik Uji
( ))
11(
jierr
jiij
nnMS
XXF
+
-=
Harga
Kritik
P
A1 vs A2
B1 vs B2
76,19
77,82
72,29
71
4,0963
12,4799
3,84
3,84
< 0,05
< 0,05
Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 28.
Berdasarkan tabel 4.11 dapat disimpulkan hasil uji coba beda rerata
yaitu:
a. FA12 = 4,0963 > F0.05;1.156 = 3,84. Ho ditolak, dalam hal ini berarti ada
perbedaan rerata yang signifikan antara baris A1 dengan baris A2.
b. FB12 = 12,4799 > F0.05;1.156 = 3,84. Ho ditolak, dalam hal ini berarti ada
perbedaan rerata yang signifikan antara kolom B1 dengan baris B2.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a. Komparasi rerata antar baris
Dari hasil uji lanjut FA12 = 4,0963 > F0.05;1.156 = 3,84, berarti terdapat
beda rerata hasil belajar yang signifikan antara baris A1 (Pendekatan
konstruktivisme melalui metode children learning in science) dengan baris A2
(Pendekatan konstruktivisme dengan metode eksperimen). Rerata kemampuan
kognitif siswa yang menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui
metode children learning in science 1AX = 76,19. Sedangkan rerata
kemampuan kognitif yang menggunakan Pendekatan konstruktivisme melalui
metode eksperimen 2AX = 72,29. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pendekatan konstruktivisme melalui metode children learning in science
memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan metode
eksperimen terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada materi
pemantulan cahaya di SMP.
b. Komparasi rerata antar kolom
Dari hasil uji lanjut FB12 = 12,4799 > F0.05;1.76 = 3,84, berarti terdapat
beda rerata hasil belajar yang signifikan antara kolom B1 (pemberian tugas
individu) dengan kolom B2 (pemberian tugas kelompok). Rerata kemampuan
kognitif siswa yang diberi tugas individu 1BX = 77,82 dan rerata kemampuan
kognitif siswa yang diberi tugas kelompok 2BX = 71. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa siswa yang diberi tugas secara individu memberikan
pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang diberi tugas secara
kelompok terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada materi pemantulan
cahaya di SMP.
E. Pembahasan Hasil Analisis Data
1. Hipotesis Pertama
Dari hasil perhitungan analisis variansi dua jalan dengan frekuensi sel
tak sama pada tabel 4.10, diperoleh harga Fa = 4,16 lebih besar dari Ftabel = 3,84,
sehingga hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima, maka ada
perbedaan pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode
children learning in science dan metode eksperimen terhadap kemampuan
kognitif Fisika siswa.
Dari hasil uji komparasi ganda pada tabel 4.11 dapat dilihat bahwa rerata
kemampuan kognitif Fisika siswa yang mendapat perlakuan pembelajaran Fisika
dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode children
learning in science mempunyai rerata yang lebih tinggi daripada rerata
kemampuan kognitif Fisika siswa yang mendapat perlakuan pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen. Hal ini
menunjukkan bahwa pembelajaran Fisika dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme melalui metode children learning in science lebih efektif
dibandingkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme
melalui metode eksperimen terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa.
Dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode
children learning in science ternyata memberikan hasil yang lebih baik, hal ini
dikarenakan pada pendekatan konstruktivisme siswa mampu menemukan dan
membangun konsep yang ditanamkan guru dan melalui percobaan sendiri dengan
berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. Sehingga pendekatan konstruktivisme
sangat mendukung jika dilakukan dengan menggunakan metode children learning
in science karena dengan metode children learning in science siswa akan
menyampaikan ide tentang suatu hal dan menerapkan ide-ide dalam demonstrasi
melakukan percobaan sendiri untuk menganalisa kebenaran ide-ide dibandingkan
dengan konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menyebabkan siswa lebih tertarik
pada materi yang disampaikan.
Sedangkan penggunaan metode eksperimen pada pendekatan konstruktivisme
kurang efektif. Karena dengan metode eksperimen, membutuhkan waktu yang cukup
lama dibandingkan dengan metode children learning in science sehingga kurang efektif
dalam kegiatan belajar mengajar. Kurang tersedianya alat dalam melakukan
eksperimen sehingga tidak setiap siswa mendapatkan alat untuk melakukan
percobaan sendiri. Sarana yang yang tersedia belum memenuhi syarat, baik
keamanan maupun ketertiban.
2. Hipotesis Kedua
Dari hasil perhitungan analisis variansi dua jalan dengan frekuensi sel
tak sama pada tabel 4.10, diperoleh Harga Fb = 12,48 lebih besar dari Ftabel = 3,84,
sehingga hipotesis nol ditolak. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan pengaruh
hasil pemberian tugas secara individu dan kelompok terhadap kemampuan
kognitif Fisika siswa.
Dari hasil uji komparasi ganda pada tabel 4.11 terlihat bahwa rerata
kemampuan kognitif Fisika siswa yang mengerjakan tugas secara individu
mempunyai rerata yang lebih tinggi daripada rerata kemampuan kognitif Fisika
siswa yang mengerjakan tugas secara kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian tugas secara individu akan memberikan pengaruh yang lebih baik
daripada siswa yang diberi tugas secara kelompok terhadap kemampuan kognitif
Fisika siswa.
Siswa yang mendapatkan tugas secara individu memberikan kemampuan
kognitif yang lebih baik daripada siswa yang mendapatkan tugas secara
kelompok. Hal ini dikarenakan siswa yang mendapatkan tugas secara individu
lebih mengarah pada latihan-latihan yang mandiri dan berusaha keras untuk dapat
mengerjakan, sehingga siswa dapat belajar lebih menyeluruh. Sedangkan siswa
yang mendapat tugas secara kelompok ada kemungkinan tidak semua siswa ikut
mengerjakan, tetapi hanya siswa yang mau dan mampu saja yang mengerjakan.
Ini juga akan berpengaruh terhadap nilai kognitif Fisika siswa.
3. Hipotesis Ketiga
Dari hasil perhitungan analisis variansi dua jalan dengan frekuensi sel tak sama
pada tabel 4.10, diperoleh Harga Fab = 0,13 lebih kecil dari Ftabel = 3,84, sehingga
hipotesis nol diterima. Hal ini berarti bahwa tidak ada interaksi pengaruh antara
penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dengan hasil
pemberian tugas terhadap kemampuan kognitif Fisika. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa kemampuan kognitif Fisika siswa yang diajar dengan pendekatan konstruktivisme
melalui metode children learning in science selalu lebih baik dibanding dengan metode
eksperimen baik pada siswa yang mengerjakan tugas secara individu maupun kelompok.
Disamping itu, kemampuan kognitif Fisika pada siswa yang mengerjakan tugas
secara individu selalu lebih baik dibanding siswa yang mengerjakan tugas secara
kelompok, baik yang diberi pembelajaran dengan metode children learning in
science maupun eksperimen. Hal ini menunjukkan tidak ada interaksi antara
penggunaan metode pembelajaran dengan hasil pemberian tugas terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa.
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil analisis data, dapat
disimpulkan beberapa hal berikut:
1. Ada perbedaan pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode Children Learning In Science (CLIS) dan metode eksperimen terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan
Cahaya di SMP.
Setelah dilakukan uji lanjut komparasi ganda diperoleh hasil bahwa ada
perbedaan rerata yang signifikan antara pendekatan konstruktivisme melalui
metode Children Learning In Science (CLIS) dengan pendekatan
konstruktivisme melalui metode eksperimen.
2. Ada perbedaan pengaruh antara hasil pemberian tugas secara individu dan
kelompok terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan
Pemantulan Cahaya di SMP.
Penggunaan pemberian tugas secara individu memberikan nilai kemampuan
kognitif Fisika yang lebih baik dibandingkan penggunaan pemberian tugas
secara kelompok.
3. Tidak ada interaksi pengaruh antara penggunaan metode pembelajaran dengan
hasil pemberian tugas terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub
pokok bahasan Pemantulan Cahaya di SMP.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat dikemukakan implikasi penelitian
sebagai berikut:
1. Implikasi Teoritis
a. Pendekatan konstruktivisme melalui metode Children Learning In Science
(CLIS) dan eksperimen yang digunakan dalam penelitian dapat digunakan
sebagai salah satu motivasi dalam mencari cara untuk mengembangkan
85
metode pembelajaran yang bervariasi dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan.
b. Hasil penelitian penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode
Children Learning In Science (CLIS) dan eksperimen dapat menambah
pengetahuan tentang berbagai macam metode pembelajaran sehingga
dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya.
2. Implikasi Praktis
a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan
konstruktivisme melalui metode Children Learning In Science (CLIS) dan
eksperimen dapat memberi hasil yang baik dalam meningkatkan
kemampuan kognitif Fisika siswa. Oleh karena itu, metode Children
Learning In Science (CLIS) dan eksperimen perlu diterapkan dan
dikembangkan, khususnya pada pokok bahasan yang sesuai.
b. Hasil penelitian menggunakan metode Children Learning In Science
(CLIS) dan eksperimen dapat dijadikan dasar bagi guru dalam memilih
alternatif pengajaran
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan implikasi maka peneliti memberikan
saran sebagai berikut:
1. Guru diharapkan dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik,
salah satunya yaitu dengan memperhatikan pendekatan pembelajaran dan
metode yang akan digunakan. Pendekatan pembelajaran dan metode yang
akan digunakan hendaknya disesuaikan dengan materi yang akan
disampaikan.
2. Guru sebaiknya menggunakan pendekatan dan metode pembelajaran yang
bervariasi dan interaktif, sehingga siswa tidak akan merasa jenuh dengan
pendekatan dan metode pembelajaran yang monoton serta dapat membuat
siswa lebih tertarik untuk mengikuti proses pembelajaran karena mereka tidak
hanya menerima apa yang diberikan oleh guru melainkan juga dilibatkan
secara langsung di dalamnya. Sehingga melalui pembelajaran tersebut
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kognitif Fisika siswa.
3. Guru hendaknya selalu menanamkan pada benak siswa bahwa belajar
merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi, sehingga diharapkan siswa
mempunyai kesadaran dan motivasi yang tinggi untuk belajar.
4. Dalam memberikan tugas hendaknya guru menggunakan bentuk tugas
individu sehingga siswa mampu mencari jawaban yang tepat dan sesuai serta
memudahkan guru dalam memberikan penilaian.
5. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang penggunaan metode Children
Learning In Science (CLIS) dan eksperimen untuk pokok bahasan lain agar
pengajaran Fisika lebih menyenangkan dan prestasi siswa dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyono. 2004. Statistik Dasar Untuk Penelitian. Surakarta : UNS Press.
Budi Purwanto. 2007. Sains Fisika 2 Konsep dan Penerapannya. Surakarta : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Cosgrove dkk. 1985. Lesson Frame Work Changing Children Learning In Science. Aucland : Hieneman.
D.C. Giancoli. 1998. Fisika Edisi Kelima. Terjemahan Yuuhilsa Hanum, M. Eng, dan Irwan Arifin. Jakarta: Erlangga.
Depdiknas. 2009. ”Kurikulum 2004 Standar Kompetensi” (online), http://www.ganecaexact.com/dld/Fis1SMP/PGFis1SMPbagianIVKBK2004.pdf , diakses 16 Mei 2009
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud
Gino H.J., Suwarni, Suripto, Maryanto, & Sutijan. 1999. Belajar dan Pembelajaran I. Surakarta : UNS Press
Herbert Druxes, G. Born dan F. Siemen. 1986. Kompedium Didaktik Fisika. Bandung : PT Remaja Karya.
Kartini Kartono. 1990. Psikologi Anak. Bandung: Penenrbit Mandar Maju Margono dkk. 1998. Strategi Belajar Mengajar 1. Surakarta : UNS Press.
May Widayati. 2008. Pengaruh Pengajaran Fisika dengan Pendekatan Ketrampilan Proses Melalui Metode Eksperimen Terhadap Kemampuan Kognitif Siswa SMP Ditinjau dari Pemberian Tugas. Skripsi. Surakarta : FKIP UNS
Muhibbin Syah. 2006. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyani & Johar. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Maulana.
Nana Sudjana. 1989. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remadja Karya.
. 1995. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Remaja Karya.
Ngalim Purwanto. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Nonoh Siti Aminah. 2004. Penggunaan Anava Pada Penelitian Pembelajaran. Surakarta. UNS Press.
Paul Suparno. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius
. 2007. Metodologi Pembelajaran Fisika Konstruktivistik dan Menyenangkan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma
Ratna Wilis Dahar. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga.
Rini Budiharti. 1998. Srategi Belajar Mengajar. Surakarta: UNS Press.
Roestiyah NK. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Sardiman A.M. 1990. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito.
Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sudjana. 2002. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Suharsimi Arikunto. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.
Sukirman. 1999. Strategi Belajar Mengajar. Surakarta : UNS Press.