5/17/2018 pembahasanTionghoa-slidepdf.com http://slidepdf.com/reader/full/pembahasan-tionghoa 1/31 BAB I IDENTIFIKASI Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa. Salah satunya adalah suku Tionghoa. Kebanyakan orang Indonesia asli telah banyak bergaul dengan orang Tionghoa Indonesia, tetapi sebagian besar belum mengenal golongan penduduk ini sebenarnya.Orang Tionghoa yang ada di Indonesia,sebenarnya bukan merupakan satu kelompok yang asal dari satu daerah saja di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi, yaitu Fukien dan Kwngtung. Ada empat bahasa Cina di Indonesia ialah bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton. Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti- dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun orang dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya. Para imigran Tionghoa tersebar di Indonesia mulai dari abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-19. Hokkien adalah yang pertama ke Indonesia yang berasal dari propinsi Fukien bagian selatan. Di antara pedagang-pedagang Tionghoa di Indonesia, merekalah yang paling berhasil, karena sebagian besar dari mereka sangat ulet, tahan uji dan rajin. Mereka dan keturunannya telah berasimilasi sebagai keseluruhan paling banyak terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai Barat Sumatra. Imigran yang lain adalah orang Teo-Chiu yang berasal dari pantai selatan negeri Cina di bagian timur propinsi Kwantung. Orang Teo-Chiu dan Hakka (Khek) disukai sebagai kuli perkebunan dan pertambangan di Sumatra Timur, Bangka dan Biliton. Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di propinsi Kwantung, tinggallah orang-orang Kanton (Kwong Fu). Di Indonesia, mereka terkenal sebagai ahli dalam pertukangan, pemilik toko-toko besi dan industri kecil. Mereka lebih tersebar merata dibandingkan dengan yang lain. Walaupun orang Tionghoa perantau itu terdiri dari paling sedikit enpat suku bangsa, namun dalam pandangan orang Indonesia pada umumnya mereka terbagi ke dalam dua golongan, yaitu 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa. Salah satunya adalah suku Tionghoa.
Kebanyakan orang Indonesia asli telah banyak bergaul dengan orang Tionghoa Indonesia, tetapi
sebagian besar belum mengenal golongan penduduk ini sebenarnya.Orang Tionghoa yang ada di
Indonesia,sebenarnya bukan merupakan satu kelompok yang asal dari satu daerah saja di negara
Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi, yaitu Fukien dan
Kwngtung. Ada empat bahasa Cina di Indonesia ialah bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan
Kanton.
Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan leluhur mereka yang berimigrasi secara
periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok
menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-
dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang menyuburkan perdagangan dan lalu lintas
barang maupun orang dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Para imigran Tionghoa tersebar di Indonesia mulai dari abad ke-16 sampai pertengahan
abad ke-19. Hokkien adalah yang pertama ke Indonesia yang berasal dari propinsi Fukien bagian
selatan. Di antara pedagang-pedagang Tionghoa di Indonesia, merekalah yang paling berhasil,karena sebagian besar dari mereka sangat ulet, tahan uji dan rajin. Mereka dan keturunannya telah
berasimilasi sebagai keseluruhan paling banyak terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan pantai Barat Sumatra.
Imigran yang lain adalah orang Teo-Chiu yang berasal dari pantai selatan negeri Cina di
bagian timur propinsi Kwantung. Orang Teo-Chiu dan Hakka (Khek) disukai sebagai kuli
perkebunan dan pertambangan di Sumatra Timur, Bangka dan Biliton.
Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di propinsi Kwantung, tinggallah
orang-orang Kanton (Kwong Fu). Di Indonesia, mereka terkenal sebagai ahli dalam pertukangan,
pemilik toko-toko besi dan industri kecil. Mereka lebih tersebar merata dibandingkan dengan yang
lain. Walaupun orang Tionghoa perantau itu terdiri dari paling sedikit enpat suku bangsa, namun
dalam pandangan orang Indonesia pada umumnya mereka terbagi ke dalam dua golongan, yaitu
Hakka di daerah Sumatera Timur, Bangka dan Belitung. Kebiasaan merantau orang-orang
Hakka terjadi karena desakan kebutuhan hidup sehingga orang Hakka merupakan yang
termiskin diantara para perantau dari Tionghoa. Kini populasi orang Hakka banyak terdapat di
daerah Jakarta dan Jawa Barat.
Suku bangsa Tionghoa terakhir yang akan dijelaskan yang merantau ke Indonesia
adalah suku bangsa Kanton yang berasal dari propinsi Kwantung sebelah barat dan selatan.
Orang Kanton ini pun terkenal sebagai kuli pertambangan dengan modal yang besar dan
keterampilan teknis serta pertukangan yang tinggi sehingga mereka terkenal ahli dalam
pertukangan, pemilik toko besi dan industri kecil. Penyebaran orang Kanton di Indonesia
terjadi lebih merata namun populasi terbesar terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bangka, dan Sumatera Tengah.
Sistem Religi Masyarakat Tionghoa
Masyarakat bangsa Tionghoa khususnya di Indonesia, sangat menarik untuk dibahas
lebih mendalam dalam sisi religinya. Orang Tionghoa di Cina mayoritas memeluk agama
Buddha. Walaupun begitu orang Tionghoa di Indonesia memeluk agama Buddha, Kung Fu-
tse, Tao, Kristen, Katolik, dan Islam.Untuk agama Buddha, Kung Fu-tse, dan Tao dipuja
bersama-sama oleh perkumpulan Sam Kuw Hwee (Perkumpulan Tiga Agama).
Pada awalnya, bangsa Tionghoa menjadikan aliran Kong Hu Chu sebagai alirankepercayaan. Aliran ini mengajarkan bahwa manusia untuk hidup dengan baik dan untuk
mengetahui hakikat kehidupannya di dunia, selain itu manusia juga harus bersikap adil
terhadap sesama dan sesuai dengan peranannya di masyarakat. Kepercayaan lain yang dianut
oleh penduduk Tionghoa adalah ajaran Sidharta Gauthama atau ajaran Budha dan juga aliran
Taoisme yang diajarkan oleh Tao. Ketiga aliran ini tidak bisa dipisahkan dari perjalanan religi
bangsa Tionghoa sehingga aliran-aliran ini disebut Tridharma.
Namun banyak juga orang Tionghoa yang tetap melakukan suatu ritual peribadatan
berupa pemujaan terhadap leluhur dengan cara memelihara abu dari seseorang yang telah
meninggal kemudian dikremasi. Dalam sebuah keluarga, ayah menjadi pemuka upacara,
kemudian kewajiban ini diteruskan secara turun temurun kepada anak-anaknya. Hal yang
menarik adalah ketika anak perempuan tidak disebutkan dalam pemujaan terhadap leluhur
karena anak perempuan setelah menikah akan langsung ikut dengan suaminya sehingga ia
akan turut mengurus pemujaan leluhur pihak suaminya. Dapat dikatakan bahwa dalam budaya
masyarakat Tionghoa berbakti, terutama kepada orang-orang yang telah mendahului,
merupakan hal yang sangat keramat dan wajib untuk dilaksanakan.
Oleh karena itu masyarakat Tionghoa menilai bahwa sangat penting suatu keluarga
untuk memiliki anak lelaki karena kelak anak lelaki ini yang akan melanjutkan nama keluarga
dan suatu saat nanti akan melanjutkan ayahnya untuk memelihara abu leluhur.
Sementara itu mengenai tata cara pemujaan terhadap abu leluhur dilakukan oleh
anggota keluarga, khususnya laki-laki, dengan cara melakukan upacara pemujaan di tempat
abu leluhur yang sengaja dibuat khusus untuk keperluan itu. Tempat itu berupa sebuah meja
panjang dan tinggi dan di bawahnya terdapat meja lain yang lebih pendek. Meja tersebut
selalu diletakkan di bagian depan ruangan rumah dan pada umunya berwarna merah tua
dihiasi oleh ukiran beraneka ragam. Di meja panjang ada satu atau lebih hio lau ( tempat
menancapkan batang dupa ). Hio lau ini diapit oleh lilin/pelita di bagian kiri dan kanannya dan
tiap tanggal satu dan lima selalu dinyalakan dan digunakan untuk membakar dupa. Sementara
di bagian meja pendek yang berada di paling depan terdapat pula sepasang lilin merah di
kedua sudut meja dan digunakan untuk upacara sembahyang tertentu.
Orang Tionghoa biasanya tidak mengenal pemeluk agama yang melakukan upacara
keagamaan, kecuali bagi pemeluk agama Buddha. Pendeta Buddha biasanya diminta
pertolongannya pada waktu ada kematian. Kebanyakan pendeta Buddha yang melakukanupacara tersebut adalah wanita dan mereka membacakan kitab suci sepanjang malam sebelum
jenazah dimakamkan. Gambar Buddha yang cukup besar digantungkan pada dinding tetarap
yang didirikan di muka rumah. Sejumlah lima sampai enam orang pendeta berkali-kali
mengelilingi peti jenazah sambil membacakan doa dan membakar dupa serta diiringi oleh
genderang. Hal ini diikuti oleh anak-anak dan anggota keluarga dari orang yang wafat.
Sebagaimana suku-suku bangsa lainnya, masyarakat Tionghoa pun memiliki
pandangan hidupnya sendiri. Pada masyarakat Tionghoa, pandangan hidup tersebut terbagi
dalam beberapa hal, seperti Konfusianisme dan Taoisme.
Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu (juga : Kong Fu Tze atau Konfusius) dalam
bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah Rujiao yang berarti agama dari orang-orang lembut
hati, terpelajar dan berbudi luhur. Konghucu merupakan suatu pengajaran filsafat untuk
meningkatkan moral dan menjaga etika manusia. Agama Konghucu juga mengajarkan tentang
Pengobatan tradisional Tiongkok percaya bahwa segala proses dalam tubuh manusia
berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, penyakit yang diderita
oleh seseorang dalam pandangan masyarakat Tionghoa disebabkan oleh ketidakharmonisan
antara lingkungan di dalam dan di luar tubuh seseorang. Gejala ketidakseimbangan ini
digunakan dalam pemahaman, pengobatan dan pencegahan penyakit.
Teori yang digunakan dalam pengobatan didasarkan pada beberapa acuan filsafat
termasuk teori Yin Yang, lima unsur (wu xing), sistem meridian tubuh manusia (jing-luo),
teori organ Zang Fu, dan lainnya. Diagnosis dan perawatan dirujuk pada konsep tersebut.
Pengobatan tradisional Tiongkok tidak jarang berselisih dengan kedokteran barat, namun
beberapa praktisi mengombinasikannya dengan prinsip kedokteran berdasarkan pembuktian.
Pengobatan tradisional merupakan bentuk intervensi terapi yang tidak invasive,
berakar dari kepercayaan kuno termasuk didalamnya konsep kepercayaan kuno.Tidak seperti
beberapa bentuk pengobatan tradisional yang telah punah, pengobatan tradisional Tionghoa
kini menjadi bagian dari pengobatan modern dan bagian sistem kesehatan di Tiongkok.
Mereka menggunakan teori yang telah berumur ribuan tahun yang didasarkan pengalaman
dan pengamatan serta sebuah sistem prosedur yang menjadi dasar pengobatan dan diagnosis.
Pengobatan tradisional Tiongkok sering diterapkan dalam membantu penanganan
efek samping kemoterapi., membantu perawatan ketergantungan obat terlarang, dan merawat berbagai kondisi kronis yang oleh pengobatan konvensional dianggap mustahil disembihkan.
Banyak ahli kedokteran barat yang juga meneliti kebenaran pengobatan tradisional Tionghoa
ini.
Bidang Astronomi
Macan Putih (Rasi Bintang)
Macan Putih (Bai Hu) adalah salah satu dari empat symbol pada rasi bintang Tionghoa.
Bai Hu dipercaya dapat melindungi daerah barat dari bumi, maka itu Bai Hu disebut juga
Macan Putih Penjaga Barat.
Shio
Shio adalah zodiac Tionghoa yang memakai hewan-hewan untuk melambangkan tahun,
bulan, dan waktu dalam astrologi Tionghoa. Setiap individu diasosiasikan dengan satu
shio sesuai dengan tanggal kelahirannya. Dua belas shio digabung dengan lima elemen
Orang Tionghoa dalam pilihan hidupnya baik masalah karir dan percintaan mempercayai
semua hal dalam hidupnya tidak terlepas dari pengaruh shio dan elemen shio yang
melekat pada dirinya. Bahkan orang tionghoa percaya bahwa orang yang memiliki shio
naga emas(yang lahir dalam kurun waktu 60 tahun sekali), orang itu akan sukses dalam
semua hal yang digelutinya.
Bahasa
Perkembangan bahasa Tionghoa lisan sejak masa-masa awal sejarah hingga sekarang
merupakan perkembangan yang sangat kompleks. Klasifikasi di bawah menunjukkan
bagaimana kelompok-kelompok utama bahasa Tionghoa berkembang dari satu bahasa yang
sama pada awalnya.
Subbahasa Bahasa Tionghoa:
Bahasa Hokkien
Bahasa Hokkien atau bahasa Hokkian yang kita kenal sebenarnya adalah dialek Min Selatan
(Min-nan) yang merupakan bagian dari bahasa Han. Dialek ini terutama digunakan secara luas
di provinsi Fujian (Hokkien), Taiwan (Taiwan), sebelah utara Guangdong (Kengtang) dan di
Asia Tenggara di mana konsentrasi Tionghoa perantauan adalah mayoritas berasal dari provinsi Fujian. Bahasa Hokkian juga dikenal sebagai bahasa Holo di daratan Tiongkok dan
Taiwan.
Bahasa Hokkien ini sendiri terbagi atas banyak logat di antaranya logat Ciangciu
(Zhangzhou), logat Cuanciu (Quanzhou) dan logat Emui (Xiamen, dulu Amoy). Bahasa
Tiochiu (Chaozhou) adalah juga salah satu logat dalam bahasa Hokkien, namun karena
penduduk Tiochiu tersebar di daerah Guangdong utara, maka bahasa Tiochiu kemudian
mendapat pengaruh dari bahasa Kanton menjadi logat dalam bahasa Hokkien yang dekat
dengan bahasa Kanton.
Di Indonesia sendiri, bahasa Hokkien umumnya dikenal sebagai bahasa ibu (mother tongue)
komunitas Tionghoa di Medan, Pekanbaru, Palembang dan beberapa daerah lainnya.
masyarakat Tionghoa di Indonesia ini kemudian menyebabkan perbedaan kebudayaan tiap suku
bangsa beserta dengan bahasanya sehingga di Indonesia terdapat bermacam bahasa Cina yang
digunakan oleh masyarakat Tionghoa Indonesia. Bahasa tersebut antara lain bahasa Hokkien, Teo
Chiu, Hakka, dan Kanton.
Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien),
Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren
(Hanzi:唐人, bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa
Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang
Tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu
pinyin: hanren, bahasa Indonesia: Orang Han).
Pada masa sekarang, terdapat dua penggolongan suku bangsa Tionghoa yang bermukim di
wilayah Indonesia. Golongan pertama adalah golongan Tionghoa peranakan yang merupakan
keturunan Tionghoa asli yang bersatu dengan penduduk Indonesia melalui ikatan pernikahan atau
orang Tionghoa yang dilahirkan di Indonesia. Tionghoa peranakan ini mulai tumbuh ketika pada
awal masa perantauan penduduk Cina ke Indonesia masih sedikit golongan wanita yang ikut
sehingga para pria memilih untuk menikahi para wanita pribumi. Masyarakat Tionghoa peranakan
itu kini ciri-ciri fisiknya sudah menyerupai dengan ciri-ciri fisik masyarakat Indonesia asli.Populasinya tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Golongan kedua dari suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah golongan Tionghoa totok
atau Tionghoa asli, tidak menjalin ikatan pernikahan dengan bangsa pribumi, bahkan ada di antara
mereka yang sampai saat ini masih belum bisa berbahasa Indonesia dan ciri-ciri fisiknya masih
menyerupai ciri-ciri fisik orang Cina. Selain itu golongan masyarakat Tionghoa ini agak susah
dalam melakukan akulturasi terhadap budaya setempat karena pengaruh adat istiadat mereka
sendiri. Biasanya mereka hidup dalam desa-desa orang Tionghoa yang mereka bangun sendiri.
Populasi Tionghoa totok terdapat di wilayah Jawa Barat, Kalimantan Barat, Bagan Siapiapi.
Sebagaimana suku bangsa lainnya yang memiliki kultur kebudayaan, masyarakat Tionghoa
memiliki sistem kekerabatan yang digunakan, salah satunya untuk mengidentifikasikan keturunan
masyarakat tionghoa yang akan mewariskan nama keluarganya. Sistem kekerabatan ini juga
berhubungan dengan tata cara pemilihan jodoh dan tata cara pernikahan.
Adat Pernikahan Dan Bentuk Keluarga
Adat pernikahan dan berkeluarga dalam masyarakat Tionghoa melalui beberapa
tahapan. Dalam bab ini hal-hal mengenai adat pernikahan tersebut akan dibahas. Adat
menikah dalam masyarakat Tionghoa dimulai dari adat pemilihan jodoh dan akn diteruskan
dengan adat lainnya dalam proses pernikahan itu. Meskipun sudah jarang ditemui, sampai
pada awal abad 20, perkawinan diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Yang menjadi calon
mempelai tidak mengetahui calon pasangannya. Dalam pemilihan jodoh orang tionghoa
peranakan mempunyai pembatasan-pembatasannya. Perkawinan terlarang adalah antara orang-
orang yang mempunyai nama keluarga, nama she, yang sama. Namun, kini perkawinan antara
orang-orang yang mempunyai nama she yang sama tetapi bukan kerabat dekat dibolehkan.
Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih ada hubungan
kekerabatan tetapi dari generasi yang lebih tua dilarang. Sebaliknya, perkawinan seorang anak
perempuan dengan seorang anggota keluarga dari generasi yang lebih tua (atas), dapat
diterima. Hal ini disebabkan bahwa seorang suami tidak boleh lebih muda atau rendah
tingkatnya dari isterinya. Peraturan lainnya ialah seorang adik perempuan tidak boleh
mendahului kakak perempuannya kawin. Peraturan ini juga berlaku bagi saudara sekandung
laki-laki. Pelanggaran terhadap hal ini mengakibatkan si adik harus memberikan hadiah
tertentu bagi kakaknya. Akan tetapi adik perempuan boleh mendahului kakak laki-lakinya,demikian juga adik laki-laki boleh mendahului kakak perempuannya menikah.
Perkawinan itu menutup suatu masa tertentu dalam hidup seseorang yaitu masa bujang
dan hidup tanpa beban keluarga. Orang Cina baru dianggap dewasa atau “menjadi orang” bila
ia telah menikah. Oleh karena itu, upacara perkawinan harus mahal, rumit, dan agung agar
perkawinan menjadi kejadian yang penting bagi kehidupan seseorang. Upacara perkawinan
Tionghoa di Indonesia tergantung pada agama yang dianut. Selain itu upacara etnis Tionghoa
Totok berbeda dengan Tionghoa peranakan.
Kebudayaan Tionghoa, pada saat pernikahan selalu menggunakan busana pengantin
berwarna merah. Begitu juga dengan dekorasi ruangan kamar pengantin menggunakan warna
merah. Sebab warna merah mempunyai arti keberuntungan dan kebahagian.
Sejak zaman nenek moyang terdahulu, baju pengantin berwarna merah. Bahkan,
orang Tionghoa pantang menggunakan busana warna putih dan hitam pada saat berbahagia.
pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan kelanggengan pernikahan mereka.
Oleh karena itu harus dipilih jam, hari dan bulan yang baik. Biasanya semuanya serba
muda yaitu : jam sebelum matahari tegak lurus; hari tergantung perhitungan bulan
Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik / menjelang purnama.
2. Upacara Pernikahan
3 - 7 hari menjelang hari pernikahan diadakan “memajang” keluarga mempelai pria dan
famili dekat, mereka berkunjung ke keluarga mempelai wanita. Mereka membawa
beberapa perangkat untuk meng-hias kamar pengantin. Hamparan sprei harus dilakukan
oleh keluarga pria yang masih lengkap (hidup) dan bahagia. Di atas tempat tidur
diletakkan mas kawin. Ada upacara makan-makan. Calon mempelai pria dilarang
menemui calon mempelai wanita sampai hari H.
Malam dimana esok akan diadakan upacara pernikahan, ada upacara “Liauw Tiaa”.
Upacara ini biasanya dilakukan hanya untuk mengundang teman-teman calon kedua
mempelai. Tetapi adakalanya diadakan pesta besar-besaran sampai jauh malam. Pesta ini
diadakan di rumah mempelai wanita. Pada malam ini, calon mempelai boleh digoda
sepuas-puasnya oleh teman-teman putrinya. Malam ini juga sering dipergunakan untuk
kaum muda pria melihat-lihat calonnya (mencari pacar).
3. Upacara Sembahyang Tuhan (”Cio Tao”)
Di pagi hari pada upacara hari pernikahan, diadakan Cio Tao. Namun, adakalanya upacaraSembahyang Tuhan ini diadakan pada tengah malam menjelang pernikahan. Upacara Cio
Tao ini terdiri dari :
Penghormatan kepada Tuhan
Penghormatan kepada Alam
Penghormatan kepada Leluhur
Penghormatan kepada Orang tua
Penghormatan kepada kedua mempelai.
Meja sembahyang berwarna merah 3 tingkat. Di bawahnya diberi 7 macam buah, a.l.
Srikaya, lambang kekayaan. Di bawah meja harus ada jambangan berisi air, rumput
berwarna hijau yang melambangkan alam nan makmur. Di belakang meja ada tampah
dengan garis tengah 2 meter dan di atasnya ada tong kayu berisi sisir, timbangan, sumpit,
dll. yang semuanya itu melambangkan kebaikan, kejujuran, panjang umur dan setia.
Berdasarkan sistem kekerabatan Tionghoa, maka bentuk rumah tangganya adalah
keluarga-luas. Keluarga-luas Tionghoa ini terbagi dalam dua bentuk :
Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri keluarga orang tua dengan hanya anak laki-laki
tertua beserta istri dan anak-anaknyadan saudaranya yang belum kawin.
Benuk keluarga virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan anak-anak laki-laki
beserta keluarga batih mereka masing-masing.
Kedudukan wanita pada orang Tionghoa dulu adalah sangat rendah. Pada waktu masih
anak-anak, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik, tetapi pada waktu
meningkat dewasa mereka dipingit di rumah. Sesudah kawin mereka harus tunduk kepada
suami mereka dan dikuasai oleh suami mereka.Mereka tidak mendapat bagian di kehidupan di
luar rumah. Akan tetapi keadaan ini sudah ditinggalkan. Wanita sudah memperoleh hak di
bidang politik, ekonomi, pendidikan, dll. Bahkan kaum perempuan terkadang mendapat tugas
mengurus abu leluhurnya sehingga suaminya yang harus ikut tinggal di rumah orang tuanya
secara uxorilokal. Sehngga tidak ada lagi kecendeungan mengharapkan anak laki-laki.
SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT TIONGHOA
Orang Tionghoa menganut sistem patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil bukanlah
keluarga batih tetapi keluarga luas yang virilokal. Karena itu hubungan dengan kaum kerabat pihak ayah lebih erat dibandingkan dengan kaum kerabat pihak ibu. Meskipun di zaman
Masyarakat Tionghoa menganut sistem pemargaan dalam mengidentifikasikan
keturunannya. Mungkin melalui sistem marga inilah yang menimbulkan perasaan
persaudaraan yang erat di kalangan masyarakat Tionghoa khususnya bagi masyarakat
Tionghoa yang merantau sehingga akan timbul kepedulian dan saling tolong menolong diantara masyarakat Tionghoa. Marga Tionghoa merupakan marga yang digunakan orang
Tionghoa. Marga (Hanzi: 姓氏 , hanyu pinyin: xingshi) biasanya berupa satu karakter Han
(Hanzi) yang diletakkan di depan nama seseorang. Ada pula marga yang terdiri dari 2 atau
bahkan 3 sampai 9 karakter – marga seperti ini disebut marga ganda (Hanzi: 復姓 , hanyu
pinyin: fuxing). Marga Tionghoa juga diadopsi oleh suku-suku minoritas yang sekarang
tergabung dalam entitas Tionghoa. Marga dalam suku-suku minoritas ini biasanya berupa
penerjemahan pelafalan dari bahasa suku-suku minoritas tadi ke dalam Hanzi. Penggunaan
marga di dalam kebudayaan Tionghoa telah mempunyai sejarah selama 5.000 tahun lebih.
Di zaman dulu, marga-marga tertentu mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada
marga-marga lainnya. Pandangan ini terutama muncul dan memasyarakat pada zaman
Dinasti Jin dan sesudahnya. Ini dikarenakan sistem Men Di yang serupa dengan sistem
kasta di India. Pengelompokan tingkatan marga ini terutama juga dikarenakan oleh sistem
feodalisme yang mengakar zaman dulu di Cina. Ini dapat dilihat di zaman Dinasti Song
misalnya, Bai Jia Xing yang dilafalkan pada masa tersebut menempatkan marga Zhao yang
merupakan marga kaisar menjadi marga pertama.
Marga Tionghoa di Indonesia terutama ditemukan di kalangan suku Tionghoa-
Indonesia. Suku Tionghoa-Indonesia walau telah berganti nama Indonesia, namun masih
banyak yang tetap mempertahankan marga dan nama Tionghoa mereka yang masih
digunakan di acara-acara tidak resmi atau yang bersifat kekeluargaan.
Diperkirakan ada sekitar 300-an marga Tionghoa di Indonesia, data di PSMTI
(Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) mencatat ada sekitar 160 marga Tionghoa
di Jakarta. Di Singapura sendiri ada sekitar 320 marga Tionghoa. Atas dasar ini, karena
daerah asal suku Tionghoa di Indonesia relatif dekat dengan Singapura maka dapat diambil
kesimpulan kasar bahwa jumlah marga Tionghoa di Indonesia melebihi 320 marga.
Macam-macam Marga
Marga Feng
Marga Feng (mandarin), Pang (hokkian), Fung (kanton) atau Pung (hakka)
berasal dari marga Ji dan telah ada sejak zaman Dinasti Zhou (abad 11 SM). Anak ke-15
dari Raja Zhou Wen Wang yang bernama Bi Gong Gao dihadiahkan wilayah Bi,
selanjutnya berkuasa di kota Feng (sekarang di kabupaten Ying-yang, propinsi Henan).
Keturunannya kemudian mengambil nama kota sebagai marga mereka dan merupakanleluhur orang bermarga Feng yang pertama. Masuk ke zaman Musim Semi dan Gugur
(abad 8 SM~5 SM), ada seorang bermarga Gui yang menjadi pejabat di negara Zheng.
Karena dihadiahkan wilayah Feng (sekarang di kabupaten Ying-yang, propinsi Henan)
maka ia mengganti marganya menjadi Feng. Ia kemudian dikenal dengan nama Feng
Jian-ze dan keturunannya kemudian bermarga Feng. Tokoh2 terkenal dari marga ini
semisal Feng Meng-long, seorang sastrawan dari dinasti Ming dan Feng Yu-xiang yang
merupakan jenderal terkenal dalam perang melawan Jepang dan pernah menjabat
sebagai Gubernur Henan di masa republik nasionalis
Marga Guan
Marga Guan1 (mandarin), Kuan (hokkian), Kwan (kanton) dan Kuan (hakka)
adalah marga yang telah sangat tua umurnya. Menurut catatan sejarah, telah mulai ada
sejak akhir Dinasti Xia (abad 18 SM) sehingga telah berumur lebih 3700 tahun. Marga
Guan yang tertua adalah berasal dari keturunan seorang menteri negara di zaman Dinasti
Xia akhir. Menteri yang bernama Huan Long Feng yang mengabdi pada Kaisar Jie
(kaisar terakhir Dinasti Xia) dibunuh oleh sang kaisar karena menasehatinya untuk
menghentikan kelaliman dan ketidakpeduliannya pada pemerintahan negara. Karena
karakter Huan dan Guan bernada sama pada masa itu, maka kemudian sejarah ada
mencatat nama menteri tersebut sebagai Guan Long Feng. Keturunan sang menteri
kemudian menggunakan Guan sebagai marga mereka. Marga Guan yang lain berasal
dari masa Musim Semi dan Gugur (abad 8 SM ~ 5 SM) dari seorang pejabat bernama
Yin Xi. Ia merupakan komandan Gu Guan (pos yang menghubungkan antara satu kota
dengan kota lainnya) dan jabatan seperti itu disebut sebagai Guan Ling pada masa itu.
Yin Xi ini kemudian menjadi terkenal setelah menyebarluaskan kitab Tao Te Ching
yang ditulis Lao Zi dan dihadiahkan kepadanya sewaktu Lao Zi melewati pos tersebut.
Keturunannya kemudian menggunakan nama jabatannya (Guan) sebagai marga. Tokoh
terkenal dari marga ini adalah Guan Yu (Kuan Kong) yang merupakan jenderal terkenal
dari negara Shu pada masa Tiga Negara (Samkok). Juga ada perdana menteri Guan Bo
pada zaman Dinasti Tang. Sekarang ini ada olahragawati (peselancar es) tingkat dunia
yang terkenal Guan Ying-shan (Michelle Kwan). Rinto Jiang
Marga Wu
Marga Wu2 (mandarin) = Go/Goh (hokkian) = Ng (kanton) adalah marga yang
telah sangat tua sejarahnya. Marga ini telah ada tercatat sebelum zaman Dinasti Xia di
zamannya Kaisar Shun4 (abad 23 SM).Dikisahkan, keturunan Kaisar Shun ada yang
berkuasa di daerah Yu dan dikarenakan Yu bernada hampir sama dengan Wu, maka
keturunannya itu kemudian ada yang bermarga Wu.Ada pula marga Wu yang berasal
dari keturunan Raja Dinasti Zhou bermarga Ji. Gu-gong Dan-fu adalah kakek dari
pendiri Dinasti Zhou (Zhou Wen-wang) mempunyai 3 anak, Tai Bo, Zhong Yung dan Ji
Li. Karena Gu-gong Dan-fu menginginkan cucunya Ji Chang (yang nantinya bertahtadengan gelar Zhou Wen-wang) meneruskan tahtanya, maka kedua anaknya yang lain,
Tai Bo dan Zhong Yung kemudian setuju dengan keputusan ayah mereka untuk
menjadikan Ji Li sebagai penerusnya untuk kemudian meneruskannya kepada Ji Chang.
Kedua bersaudara tadi kemudian mencari daerah baru ke selatan (Jiang Nan) dan
mendirikan negara Wu (sekarang di propinsi Jiangsu). Keturunan mereka kemudian
Dalam masyarakat tradisional orang Tionghoa di Indonesia ada perbedaan antara
lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan golongan orang kaya.
Namun perbedaan ini tidak begitu mencolok oleh kedua belah pihak. Karena kedua belah
pihak masih terkadang masih mempunyai hubungan kekerabatan. Sebuah perusahaan
(kongsi) orang Tionghoabiasanya merupakan perusahaan yang dikerjakan oleh suatu
kelompok kekerabatan dan kadang-kadang merupakan usaha sekelompok orang di China
sebelum ke Indonesia.
Tionghoa peranakan-kebanyakan orang Hokkien-merasa dirinya lebih tinggi dari
orang Tionghoa Totok karena menganggap Tionghoa Totok umumnya berasal dari kuli
dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang rendah Tionghoa peranakan karena
mereka dianggap mempunyai darah campuran.
Selain itu stratifikasi sosial dilakukan beradasarkan orientasi pendidikan. Dengan
adanya pemisahan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa, yaitu sebagian yang mengikuti
pendidikan yang berorientasi ke China dan sebagian lagi berorientasi ke barat maka
timbul pemisahan antara kedua kelompok ini. Masing-masing menganggap lawannya
sebagai kelompok yang lebih rendah.
Pimpinan Masyarakat Tionghoa
Pada zaman kolonial, pemerintah Belanda mengangkat pemimpin bagi masyarakatTionghoa dengan pangkat majoor (pangkat tertinggi), kapitein, luitenant dan wijkmeester
(ketua RW). Tugasnya adalah sebagai perantara yang menghubungkan antara orang
Tionghoa dengan pemerintah Belanda. Para pemimpin orang Tionghoa ini disebut
kongkoan oleh orang Tionghoa. Kongkoan sendiri adalah kantor diamana para pemimpin
tadi bekerja untuk kepentingan orang Tionghoa.
Tugas utama pemimpin adalah menjaga ketertiban dan keamanan dari masyarakat
Tionghoa yang terdapat di suatu daerah atau kota, mengurus adat istiadat, kepercayaan,
perkawinan, perceraian dan memutuskan segala hal. Mereka mencatat perkawinan,
kelahiran dan kematian dan mengangkat sumpah. Kongkoan ini mempunyai hak
mengadili segala perkara di antara orang Tionghoa. Mereka juga berfungsi sebagai
penasihat pemerintah Belanda terutama dalam masalah penarikan pajak dan merupakan
saluran dari peraturan-peraturan pemerintah terhadap masyarakat Tionghoa. Umumnya
mereka dipilih karena memiliki pengaruh dan dihormati oleh orang Tionghoa dan orang
kaya. Selain itu mereka juga memiliki kedekatan dengan orang Belanda.
Perkumpulan dan Organisasi Orang Tionghoa
Pada mulanya orang Tionghoa di kota besar mendirikan kamar dagang
(sianghwee). Kamar dagang ini merupakan perkumpulan pedagang Tionghoayang
bekerja untuk kepentingan anggota-anggotanya terutama dalam mengurus pajak. Di
samping itu ada perkumpulan yang berdasar asal desa di China.
Awal abad ke-20, nasionalisme orang Cina cepat menyebar sebagai bentuk
kekecewaan terhadap orang Belanda. Tahun 1900, didirikan perkumpulan yang bertujuan
memajukan nasionalisme Cina berdasarkan Religi Kong-Fu-Tse dan menyatukan orang
Tionghoa yang masih provinsialistis..
Organisasi-organisasi politik yang dibentuk etnis Tionghoa, masing-masing
memiliki perbedaan aliran. Pertama yang berorientasi ke Tiongkok, kedua yang
berorientasi ke Hindia Belanda, dan ketiga yang berorientasi ke Indonesia. Organisasi
yang berorientasi ke Tiongkok adalah Tiong Hoa Hwee Koan – Rumah Perkumpulan
Tionghoa – (”THHK”, 1900), Siang Hwee (1908), dan Soe Po Sia (1908). Organisasi ini
didukung oleh orang Tionghoa Totok, yang baru datang ke Indonesia sekitar akhir abad
ke 19 s/d awal abad ke 20. Organisasi yang berorientasi ke Hindia Belanda adalah Chung
Hwa Hui yang didirikan pada tahun 1920. Para pendirinya adalah orang TionghoaPeranakan yang berpendidikan Belanda, yang sudah beberapa generasi tinggal di
Indonesia. Karena terlalu "kebelanda-belandaan", organisasi ini akhirnya terpecah dua.
Yang tidak setuju kemudian mendirikan partai politik yang pro-lndonesia, yaitu Partai
Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932.
Dalam perkembangannya etnis Tionghoa di Hindia Belanda terbagi menjadi tiga:
Yang pro Belanda mendirikan Chung Hwa Hui dengan corongnya Harian Perniagaan
(Siang Po).
Yang Pro Tiongkok dipimpin Harian Sin Po.
Yang Pro Kemerdekaan terhimpun di Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di bawah pimpinan
Liem Koen Hian dengan corongnya Harian Sin Tit Po.
Perkumpulan dan Organisasi Orang Tionghoa era Orde Lama
Salah satu organisasi Tionghoa terkenal yang lahir pada masa ini adalah Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki yang didirikan pada
tahun 1954 merupakan organisasi sosial politik yang dapat diterima oleh berbagai
kalangan orang Tionghoa, baik Totok maupun Peranakan. Masalah yang dihadapi para
tokoh Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan (Siauw) pada masa itu adalah
diskriminasi rasial di berbagai bidang.
Baperki ikut serta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 September
1955) dan anggota Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua Pemilu ini, Baperki
memperoleh 178.887 suara untuk DPR dan 160.456 suara untuk Konstituante, atau 70%
suara dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki
berhasil memperoleh satu kursi di DPR.
Perkumpulan dan Organisasi Orang Tionghoa era Orde Baru dan Orde Reformasi
Selain itu selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa
diisolasi dari kegiatan politik. Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan massal
terhadap orang-orang yang berindikasi G30S/PKI termasuk tokoh, anggota dan
simpatisan Baperki dan organisasi-organisasi Tionghoa lainnya, telah menimbulkan
trauma yang berkepanjangan di kalangan masyarakat Tionghoa.
Timbulnya tragedi Mei 1998 membangkitkan kesadaran etnis Tionghoa bahwa
selama ini mereka secara politis mereka tidak berdaya sama sekali. Ini terbukti setelah
jatuhnya rezim Orde Baru, berbagai kelompok peranakan Tionghoa segera membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan
sebagainya, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (“PARTI”), Partai Bhineka
Tunggal Ika (“PBI”), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (“PSMTI”),
Perhimpunan Indonesia Tionghoa (“INTI”), Solidaritas Nusa Bangsa (“SNB”), Gerakan
Anti Diskriminasi (“GANDI”), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk Keadilan
(“SIMPATIK”), dsb.
Pasca reformasi 1998, terdapat beberapa sikap politis kaum Tionghoa dalam menghadapi
masalah kewarganegaraan, antara lain:Sebagian besar akan tetap bekerja dengan tenang, acuh tak acuh, tanpa partisipasi politis
apapun, kecuali hanya berharap dan berdoa agar keluarganya tidak diganggu.
Sebagian yang lain menolak sikap pasrah. Mereka beranggapan bahwa keturunan
Tionghoa sama seperti warga negara yang lain harus aktif berpartisipasi langsung
dalam politik dan ikut mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan
Selain itu, beberapa orang Tionghoa juga telah masuk ke dalam beberapa
organisasi sosial maupun politik yang ada di Indonesia.
Pola Perkampungan Etnis Tionghoa
Karena sebagian besar dari orang Tionghoa di Indonesia tinggal di kota kota,
maka hanya dibicarakan di sini perkampungan Tionghoa di kota-kota. Perkampungan
Tionghoa di kota-kota itu biasanya merupakan deretan rumah-rumah yang berhadap-
hadapan di sepanjang jalan pusat pertokoan. Deretan rumah-rumah itu, merupakan rumah-
rumah petak di bawah satu atap, yang umumnya tidak mempunyai pekarangan. Sebagai
ganti pekarangan, di tengah rumah biasanya ada bagian tanpa atap untuk menanam tanam-
tanaman, untuk tempat mencuci piring dan menjemur pakaian. Ruangan paling depan dari
rumah selalu merupakan ruangan tamu dan tempat meja abu. Biasanya ruang ini dipakai
sebagai toko, sehingga meja abu harus ditempatkan di ruangan di belakangnya. Sesudah
itu ada lorong dengan di sebelah kanan-kirinya ada kamar-kamar tidur. Di bagian
belakang ada dapur dan kamar mandi.
Ciri khas dari rumah-rumah orang Tionghoa dengan tipe yang kuno adalah bentuk
atapnya yang selalu melancip pada ujung-ujungnya, dan dengan ukir-ukiran yang berbentuk naga. Pada rumah-rumah orang yang berada, terdapat banyak ukir-ukiran pada