1 PEMANFAATAN LAHAN KERING MARGINAL MELALUI INTEGRASI TANAMAN PANGAN, TANAMAN PAKAN, DAN TERNAK RUMINANSIA Latar Belakang Semakin menyempitnya lahan pertanian subur karena banyak digunakan sebagai pemukiman, perkantoran, maupun fasilitas umum lainnya, menyebabkan perlunya upaya pemanfaatan lahan kering secara lebih intensif untuk budi daya tanaman pangan, perkebunan dan tanaman pakan serta peternakan. Perlunya peningkatan produktivitas lahan kering dipicu pula oleh adanya kondisi gizi buruk di masyarakat, merebaknya penyakit-penyakit seperti busung lapar, polio, deman berdarah dan lain- lain penyakit berbahaya yang disebabkan oleh kondisi tubuh yang melemah akibat kekurangan gizi. Yudo Husodo (2005) dalam Karda dan Spudiati (2012) menyatakan bahwa pengembangan subsektor peternakan memiliki arti penting dipandang dari sudut peningkatan SDM (sumber daya manusia) karena kualitas SDM sangat ditentukan oleh konsumsi protein hewani yang pada gilirannya menentukan kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan bangsa disamping pendidikan dan layanan kesehatan yang baik. Lebih lanjut dinyatakan bahwa SDM lebih dominan mempengaruhi kemajuan suatu bangsa dibandingkan kekayaan sumber daya alamnya. Sumber pakan dilahan kering cukup beragam dan bervariasi, selain yang bersumber dari lahan penggembalaan atau lahan umum yang selama ini berfungsi sebagai penyuplai HMT. Tanpa adanya upaya-upaya perbaikan dan pelestarian vegetasi maka akan terjadi penurunan kemampuan daya suplainya. Berkaitan dengan bertambahnya populasi ternak tanpa adanya eksplorasi sumber pakan maka akan terjadi kekurangan pakan pada musim kemarau, hal ini yang seringkali terjadi pada daerah lahan kering. Namun bila kita melihat pola usahatani yang ada di suatu wilayah pedesaan memiliki potensi sebagai sumber-sumber
30
Embed
Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PEMANFAATAN LAHAN KERING MARGINAL MELALUI INTEGRASI
TANAMAN PANGAN, TANAMAN PAKAN, DAN TERNAK RUMINANSIA
Latar Belakang
Semakin menyempitnya lahan pertanian subur karena banyak
digunakan sebagai pemukiman, perkantoran, maupun fasilitas umum
lainnya, menyebabkan perlunya upaya pemanfaatan lahan kering secara
lebih intensif untuk budi daya tanaman pangan, perkebunan dan tanaman
pakan serta peternakan. Perlunya peningkatan produktivitas lahan kering
dipicu pula oleh adanya kondisi gizi buruk di masyarakat, merebaknya
penyakit-penyakit seperti busung lapar, polio, deman berdarah dan lain-
lain penyakit berbahaya yang disebabkan oleh kondisi tubuh yang
melemah akibat kekurangan gizi.
Yudo Husodo (2005) dalam Karda dan Spudiati (2012) menyatakan
bahwa pengembangan subsektor peternakan memiliki arti penting
dipandang dari sudut peningkatan SDM (sumber daya manusia) karena
kualitas SDM sangat ditentukan oleh konsumsi protein hewani yang pada
gilirannya menentukan kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan bangsa
disamping pendidikan dan layanan kesehatan yang baik. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa SDM lebih dominan mempengaruhi kemajuan suatu
bangsa dibandingkan kekayaan sumber daya alamnya.
Sumber pakan dilahan kering cukup beragam dan bervariasi, selain
yang bersumber dari lahan penggembalaan atau lahan umum yang
selama ini berfungsi sebagai penyuplai HMT. Tanpa adanya upaya-upaya
perbaikan dan pelestarian vegetasi maka akan terjadi penurunan
kemampuan daya suplainya. Berkaitan dengan bertambahnya populasi
ternak tanpa adanya eksplorasi sumber pakan maka akan terjadi
kekurangan pakan pada musim kemarau, hal ini yang seringkali terjadi
pada daerah lahan kering. Namun bila kita melihat pola usahatani yang
ada di suatu wilayah pedesaan memiliki potensi sebagai sumber-sumber
2
pakan alternatif. Disamping itu lahan-lahan usahatani masih
memungkinkan untuk ditanami jenis hijauan pakan ternak unggul dengan
kriteria tahan kekeringan, produksi tinggi dan memiliki kandungan nutrisi
yang baik sehingga akan menjamin kontinuitas pakan ternak sepanjang
tahun (Sasongko dkk, 2012). Potensi lahan kering di NTB yang cukup
besar memiliki ekosistem yang rapuh dan mudah terdegradasi apabila
pengelolaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang tepat, topografi
umumnya berbukit dan bergunung, ketersediaan air tanah yang terbatas,
lapisan oleh tanah dangkal, mudah tererosi, teknologi diadopsi dari
teknologi lahan basah yang tidak sesuai untuk lahan kering, infrasturktur
tidak memadai, sumberdaya manusia rendah, kelembagaan sosial
ekonomi lemah (Suwardji dan Tejowulan, 2003 dalam
Sasongko dkk, 2012).
Ada tiga komponen teknologi utama dalam sistem integrasi
tanaman-ternak di lahan kering : (a) teknologi budidaya ternak; (b)
teknologi budidaya tanaman; (c) teknologi pengolahan limbah pertanian
untuk pakan dan pembuatan kompos. Teknologi dalam budidaya ternak
adalah pengandangan ternak dalam pola kelompok, yang dibarengi
dengan penerapan teknologi pemeliharaan ternak, termasuk strategi
pemberian pakan. Teknologi budidaya tanaman yang biasa diusahakan di
lahan kering berupa sistim tumpang sari. Teknologi pengolahan limbah
pertanian sebagai pakan ternak menjadi salah satu kunci keberhasilan
sistem integrasi tanaman-ternak, disamping teknologi pengolahan dan
pemanfaatan kompos untuk meningkatkan kesuburan lahan. Agar
komponen teknologi tersebut dapat diintegrasikan secara sinergis, maka
pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak dilakukan dengan
pendekatan kelembagaan sebab kalau diserahkan kepada petani secara
perorangan tidak akan menguntungkan mengingat penguasaan lahan
yang sempit dan pemilikan ternak yang terbatas (Haryanto et al., 2002
dalam Sukar et al., 2005).
3
Azas pengolahan lahan kering adalah menciptakan lingkungan
perakaran yang dalam, mempertahankan kemampuan tanah menyimpan
air dan mengedarkan udara. Tindakan terakhir adalah memperkaya tanah
dengan zat hara tersedia untuk akar (Go Ban Hong, 1976 dalam Hasnudi
dan Saleh, 2004). Lingkungan perakaran yang dalam mensyaratkan
pembuangan kelebihan air melalui rembesan dalam dan melalui aliran
permukaan untuk memantapkan zarah-zarah (hara) tanah. Humus
sebagai salah satu hasil perombakan zat organik membentuk zarah
majemuk dan mantap (Hasnudi dan Saleh, 2004).
Untuk mencapai keberhasilan dalam usaha tani berkelanjutan di
lahan kering diperlukan pengetahuan yang cukup tentang beberapa faktor
yang mendukung peningkatan produksi serta berbagai kendala yang
dapat mempengaruhi degradasi lahan. Hal ini sangat menentukan dalam
pengelolaan lahan dan konservasinya pada dua tipe lahan kering (lahan
kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering) yang agak berbeda
(Sopandie dan Utomo, 1995).
Sumberdaya Lahan Kering dan Permasalahannya
Lahan Kering Beriklim Basah
Berdasarkan kemiringan lereng, lahan kering yang dinilai potensial
untuk pertanian adalah yang berkemiringan <15%, yang luasnya
diperkirakan 34,6 juta ha, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
dan Irian Jaya. Dari luasan tersebut 20,7 juta ha (60%) didominasi oleh
tanam masam podsolik merah kuning yang umumnya tersebar pada
daerah beriklim basah dengan bahan induk yang miskin unsur hara,
dengan produktivitas rendah. Kesuburan tanah sangat tergantung pada
lapisan tanah yang bersifat labil dan cepat menurun, sehingga tanpa
pengolahan bahan organik secara memadai produktivitas lahan akan
cepat menurun (Partohardjono et al., 1993 dalam Sopandie dan
4
Utomo, 1995). Berdasarkan curah hujan, lahan kering beriklim basah
berada pada wilayah dengan tipe iklim A (9 bulan basah) dan B (7-9 bulan
basah). Umumnya curah hujan pada daerah ini lebih dari 2.200 mm/tahun
dengan distribusi relatif merata dan cukup menunjang untuk bertanam
sepanjang tahun. Kendala yang penting pada lahan kering beriklim basah
adalah pH yang masam, keracunana Al dan Fe, erosi yang tinggi, dan
gangguan penyakit blas (Sopandie dan Utomo, 1995).
Kemasaman merupakan kendala utama di tanah sulfat masam.
Sumber kemasaman ini berasal dari senyawa pirit (FeS2) yang teroksidasi
melepaskan ion-ion hidrogen dan sulfat yang diikuti oleh penurunan pH
menjadi sekitar 3. Keadaan tersebut menyebabkan kelarutan Al meningkat
sehingga hampir semua tanaman budidaya, termasuk padi tidak dapat
tumbuh secara normal. Pengapuran pada awalnya dianggap mampu
mengatasi permasalahan tersebut, akan tetapi karena tanah sulfat masam
memiliki pH yang berfluktuasi bergantung musim, maka ternyata
pengapuran tersebut tidak efektif. Hal tersebut dicirikan pada tanaman
padi yang mengalami keracunan Al walaupun telah dilakukan pemberian
kapur sebelum penanaman. Akibatnya produksi padi pada tanah sulfat
masam menjadi sangat rendah bahkan sampai tidak menghasilkan
(Ahfyanti dan Dwi, 2008).
Tingginya tingkat kelarutan Al pada tanah-tanah masam dapat
ditanggulangi melalui pemberian kapur (Ca++), namun cara ini
membutuhkan biaya tinggi serta cenderung merusak lingkungan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa batuan kapur alami juga
mengandung logam-logam berat yang dapat membahayakan lingkungan.
Di samping itu pemberian kapur yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan
berkurangnya tingkat ketersediaan hara-hara mikro tanah yang diperlukan
tanaman. Dengan demikian perlu dicarikan alternatif penurunan kadar Al
terlarut ini dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan. Salah
satu cara yang mungkin dapat dikembangkan adalah memanfaatkan
jenis-jenis tumbuhan yang mampu mengakumulasi Al pada jaringannya
5
tanpa mengakibatkan keracunan unsur ini pada tanaman yang
bersangkutan. Melastoma malabathricum L. adalah salah satu jenis
tumbuhan yang dikenal mampu menyerap Al dalam jumlah yang tinggi
dan tidak menunjukkan gejala keracunan Al. Hasil penelitian
Watanabe et al. (1998) dalam Suhardi (2012) menunjukkan
bahwa Melastoma malabathricum L. mampu mengakumulasi Al pada
daun muda, dewasa, tua dan akar masing-masing sebanyak 8.000, 9.200,
14.400 dan 10.400 ppm Al dengan tidak menunjukkan keracunan Al.
Penurunan kadar Al ini diharapkan pada gilirannya juga akan
meningkatkan ketersediaan P serta memperbaiki efisiensi serapan P oleh
tanaman. Dengan demikian pemanfaatan Melastoma malabathricum L. ini
untuk menurunkan kandungan Al larut serta meningkatkan ketersediaan P
tanah adalah sangat mungkin (Suhardi, 2012).
Keracunan Fe atau bronzing dapat menyebabkan pertumbuhan
padi terhambat, menurunkan produktivitas tanaman dan kematian
tanaman (Jenning et al., 1979 dalam Suhartini, 2004). Penyebab utama
dari keracunan Fe di berbagai daerah dapat beragam, keracunan Fe
dapat terjadi pada keadaan pH rendah, besi terlarut tinggi, kadar kation
rendah, KTK rendah atau kombinasi berbagai faktor tersebut
(Ottow et al., 1982 dalam Suhartini, 2004). Keracunan Fe merupakan
gejala fisiologis yang kompleks yang disebabkan oleh kondisi tanaman
meliputi fisik, hara, fisiologik, dan kondisi tanah yang mengandung Fe
berlebihan (Ottow et al., 1989 dalam Suhartini, 2004). Gejala tanaman
padi keracunan Fe ditandai oleh daun berwarna oranye atau bronzing,
pembungaan terhambat, proses sintesis terhenti, tanaman menjadi kerdil,
bagian akar menebal dan berwarna coklat, kasar, dan pendek. Pada
kondisi yang parah batang dan daun menjadi busuk dan tanaman
akhirnya mati. Tahapan keracunan besi pada padi menurut Ottow et al.
(1989) dalam Suhartini (2004) terdiri atas dua fase. Pertama, fase 7 hari
setelah penggenangan (stress pemindahan bibit). Pada fase ini akar
belum mampu mengoksidasi kelebihan ferro menjadi ferri selama
6
penggenangan. Dengan kata lain, mekanisme excluding powernya belum
berfungsi. Akibatnya ion ferro yang berlebihan akan banyak terserap oleh
tanaman. Kedua, fase antara primordia dan berbunga yang disebabkan
oleh tidak efektifnya mekanisme akar untuk menolak ferro akibat makin
permeabilitasnya akar tanaman. Namun gejala keracunan Fe dapat
terlihat pada setiap stadia pertumbuhan, dan sebaiknya dievaluasi pada
fase anakan maksimum dan primordia (Van Breeman and Moormann,
1978 dalam Suhartini, 2004). Tanaman yang kekurangan hara makro
akan menunjukkan perubahan drastis dalam metabolisme. Kekurangan K
atau Ca menambah permeabilitas dan kerusakan metabolit. Pada
tanaman yang kekurangan K dan molekul penyusun metabolit tanaman
rendah akan mengalami hambatan dalam menyusun bentuk molekul tinggi
karena beberapa proses sintesis terhenti. Dengan demikian, tanaman
yang kecukupan hara mampu melindungi lapisan akar, permeabilitas akar
terkontrol dan akar tanaman memiliki kapasitas oksidasi yang kuat dan
reduksi besi rendah (Suhartini, 2004). Kombinasi pemupukan N, P, K
dengan pengapuran dan penggunaan bahan organik merupakan teknologi
yang baik untuk menanggulangi keracunan Fe (Kasno, 2009).
Upaya atau teknologi yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah keracunan Fe pada tanaman padi adalah dengan penggunaan
asam humat yang diperoleh dari berbagai jenis bahan organik dan
pengelolaan air. Pengendalian keracunan Fe dengan pengelolaan air
dapat terjadi melalui pencucian Fe larut dan oksidasi besi larut (Fe2+)
menjadi besi tidak larut (Fe3+). Denganpengelolaan air secara terus
menerus selama pertumbuhan tanaman padi diharapkan dapat menekan
bahaya keracunan Fe. Pengaturan drainase dapat menurunkan kadar
Fe2+ dan Mn2+ di tanah, meningkatkan serapan hara makro dan
menurunkan kadar Fe dan Mn di tanaman. Namun interval drainase yang
tepat belum ditemukan, untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Asam humat memiliki peranan besar dalam memperbaiki tingkat
kesuburan tanah baik secara kimia, fisika maupun biologi. Asam humat
7
dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas memegang air
tanah dan kapasitas tukar kation tanah serta dapat menurunkan kelarutan
unsur yang dapat meracun seperti Fe dan Al melalui pembentukan
senyawa metal organo komplek atau khelat. Asam humat dapat diekstrak
dari sisa-sisa tanaman, pupuk organik, dan berbagai jenis bahan organik
yang telah didekomposisikan seperti tanah gambut, jerami padi, pupuk
kandang, sampah kota, dan alang-alang (Anonimous, 2011).
Lahan Kering Beriklim Kering
Lahan kering beriklim kering banyak dijumpai di wilayah timur
Indonesia (Nusa Tenggara, Timor Timur, Sulawesi, dan Maluku). Dari
segi kimia tanah relatif lebih baik dibandingkan dengan lahan kering
beriklim basah, karena pH mendekati netral dan pelindiannya terbatas,
sehingga relatif kaya unsur-unsur basa seperti K, Ca, dan Mg. Curah
hujan yang rendah dan umumnya juga bersifat eratik merupakan kendala
utama bagi pengembangan tanaman pangan (Partohardjo et al., 1993
dalam Soepandi dan Utomo, 1995). Lahan kering beriklim kering dicirikan
dengan curah hujan rendah 1.000-1.500 mm/tahun selama 3-4 bulan
dengan distribusi tidak teratur. Fluktuasi curah hujan sangat tinggi, pada
suatu saat bisa mencapai 100 mm per hari atau bisa berhenti sama sekali
selama 2-3 minggu.
Pengelolaan Lahan dan Teknik Konservasi
Degradasi lahan diartikan sebagai suatu penurunan produksi lahan,
baik kualitatif maupun kuantitatif, sebagai akibat berbagai proses seperti
erosi, salinasi, pencucian hara tanaman, pengrusakan struktur tanah dan
polusi. Di lahan kering beriklim basah yang topografinya bervariasi dari
datar sampai bergunung, erosi telah merupakan salah satu penyebab
degradasi lahan yang dominan. Selanjutnya, pencucian (leaching),
8
akumulasi unsur-unsur beracun (toxic) dan polusi yang diakibatkan
pemberian pestisida yang tidak terkendali dapat menyebabkan degradasi
lahan. Pada lahan kering beriklim kering, sering terjadi pembukaan lahan
di daerah hulu DAS yang tidak terkendali menyebabkan erosi dan
rusaknya fungsi hidrologi. Sebenarnya penyebab degradasi lahan yang
mendasar adalah kesalahan dalam pengelolaan.
Untuk mencapai keberhasilan usaha tani berkelanjutan di lahan
kering perlu memperhatikan beberapa faktor yang mendukung
peningkatan produksi serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses
degradasi lahan. Peningkatan produksi di lahan kering dapat dicapai
melalui cara budidaya tanaman yang tepat seperti : diversifikasi tanaman
(multiple cropping), penggunaan varietas unggul, pengolahan tanah yang
tepat, pola tanam sesuai ekosistem, pemupukan, pengelolaan air,
pengendalian hama terpadu, pengendalian gulma, serta upaya konservasi
tanah dan air.
Diversifikasi Tanaman
Diversifikasi tanaman merupakan salah satu strategi penting dalam
usahatani pada lahan kering. Kombinasi berbagai komoditas tanaman
pangan, tanaman tahunan dan pemeliharaan ternak dinilai dapat
menjamin produktifitas dan keberlanjutan usaha tani.
Pada lahan kering masam (lahan kering beriklim basah),
kandungan bahan organik pada podsolik merah kuning dapat
dipertahankan dengan menerapkan daur ulang, yaitu pemanfaatan pupuk
kandang dan limbah pertanian (Partohadjono et al., 1993 dalam Soepandi
dan Utomo, 1995). Budidaya lorong (alley cropping) dengan
menggunakan leguminosa sebagai tanaman pagar (misalnya lamtoro)
dinilai mampu meningkatkan keberadaan bahan organik tanah. Pada
lahan kering di daerah beriklim kering, pengembangan usaha tani
diarahkan untuk memanfaatkan lahan datar di pelembahan, dengan
9
kendala populasi gulma yang tinggi. Pada kondisi demikian tampaknya
sistem tumpang sari dan introduksi tanaman tahunan cukup memberikan
harapan.
Keberhasilan dari pola pertanaman multiple cropping ini tampaknya
dikaitkan pada dua keuntungan, yaitu pemanfaatan ruang kosong secara
optimal dan cepatnya penutupan tanah oleh vegetasi yang memperkecil
laju erosi.
Pola Tanam Berdasarkan Ekosistem
Dengan adanya perbedaan karakteristik ekosistem antara lahan
kering beriklim basah dengan lahan kering beriklim kering, maka pola
tanam tentunya akan berbeda. Pada lahan kering beriklim basah, curah
hujan merata sepanjang tahun, maka dapat dipilih komoditi tanaman sela
yang dapat menutup tanah sepanjang tahun seperti jagung dan kacang-
kacangan. Urutan penanamannya diatur secara tumpang sari.
Pengolahan Tanah
Dengan ciri lapisan bahan organik yang tipis pada kebanyakan
lahan kering, maka yang diperlukan ialah tindakan yang sekecil mungkin
yang menyebabkan gangguan di permukaan tanah. Teknik tanpa olah
tanah (TOT) atau pengolahan tanah minimum diikuti dengan perlakuan
herbisida yang terkendali serta pemberian mulsa dapat dilakukan pada
lahan kering. Pemberian pupuk N yang memadai dapat membantu dalam
mempercepat dekomposisi gulma yang mati oleh herbisida. Herbisida
yang diberikan harus selektif, dimana kehidupan mikroorganisme tanah
yang berguna tetap terpelihara kelestariannya. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian herbisida glisofat pada teknik TOT tidak
mengganggu perkembangan organisme tanah.
10
Pemberian Mulsa
Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa cukup efektif untuk
mempertahankan kadar bahan organik tanah dan produktivitas lahan
(Kurnia dan Suwardjo, 1989 dalam Soepandi dan Utomo, 1995). Selain
sisa tanaman, bahan mulsa dapat diperoleh dengan sistem tanaman
lorong dengan tanaman legum yang dipangkas secara berkala. Efektifitas
penggunaan mulsa dalam mengurangi erosi masih terlihat pada lahan
dengan kemiringan sampai 15%.
Pemupukan
Pemberian pupuk perlu disesuai dengan kesuburan tanah. Pupuk
urea, TSP, dan KCl diberikan untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Konservasi Lahan
Karena besarnya variasi lingkungan lahan kering, maka teknologi
yang diperlukan juga bervariasi sesuai kondisi setempat. Pada lahan
dengan kemiringan lebih dari 15%, pembuatan teras (bangku, kredit, atau
gulud) dengan penanaman rumput perlu dipertimbangkan. Pada
pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bertujuan optimal
sebaiknya dikaitkan dengan beberapa upaya pokok antara lain : (a)
pengolahan lahan yang berlandaskan kaidah konservasi tanah dan air
dalam arti luas, (b) pendayagunaan sumberdaya air dan iklim secara
optimal, (c) pengelolaan vegetasi hutan, pangan dan pakan, (d)
pembinaan sumber daya manusia secara bijaksana, dan (e) pemilihan
komoditi sesuai agroekologi (Abas et al., 1989 dalam Soepandi dan
Utomo, 1995).
Konservasi air dapat ditentukan melalui cara-cara yang dapat
mengendalikan evaporasim transpirasi, dan aliran permukaan. Pada
11
lahan kering, teknik konservasi air yang penting meliputi : pengendalian
aliran permukaan, penyadapan/pemanenan air, meningkatkan kapasitas
infiltrasi tanah, pengolahan tanah minimum dan beberapa upaya
pengelolaan air tanah. Pada hakekatnya beberapa tindakan konservasi
tanah adalah merupakan tindakan konservasi air.
Tanaman Pakan Penambat Nitrogen
Hampir tidak ada tanaman dapat bertumbuh tanpa adanya nitrogen
(N) dan kebanyakan tanah di daerah tropis telah diketahui memiliki
cadangan N rendah. Namun, tidak demikian halnya dengan tanaman
penambat N, mereka semata-mata tidak tergantung dengan cadangan N
dalam tanah tetapi mereka mampu menambatnya melalui simbiosis
dengan mikroba tanah. Oleh karena itu beberapa spesies tanaman
penambat N menjadi penting bagi kelangsungan hidup keluarga pedesaan
di daerah tropis sebagai penyedia berbagai produk dan jasa.
Roshetko (2001) dalam Karda dan Spudiati (2012) melaporkan berbagai
fungsi tanaman penambat N antara lain sebagai sumber kayu api dan
arang, pakan, penyubur tanah, kayu bangunan dan sebagai pangan untuk
manusia.
Dengan demikian tanaman panambat N sangat ideal digunakan
sebagai tanaman integrasi dalam sistem pertanian terpadu. Hal ini
disebabkan oleh beberapa sifat-sifat yang menguntungkan seperti
1) memiliki tajuk kecil dan tipis sehingga rawang sinar matahari, 2) mampu
bertunas kembali dengan cepat setelah pemangkasan, 3) memiliki sistem
perakaran yang dalam dengan sedikit percabangan akar lateral dekat
permukaan tanah agar tidak bersaing dengan akar tanaman pertanian,
4) guguran daun dapat terdekomposisi dalam jumlah tertentu yang dapat
menghasilkan unsur hara pada saat unsur hara tersebut diperlukan dalam
daur tanaman pertanian, 5) mampu mengikat N dari udara dan juga dapat
menghasilkan kayu, pakan ternak, obat-obtan dan hasil-hasil lainnya,
12
6) dapat tumbuh dengan baik pada lahan dengan keterbatasan-
keterbatasan tertentu seperti keasaman tanah, kekeringan,
penggenangan air, angin keras, hama serangga dan lain-lain (Lahjie, 2001
dalam Karda dan Spudiati, 2012).
Integrasi Tanaman Kelapa dan Tanaman Penambat N
Keberhasilan tumpang sari pada perkebunan kelapa telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti seperti Opio (1986) di Samoa Barat dan
Liyanage (1984) di Sri Lanka disitasi oleh Roshetko (2001) dalam Karda
dan Spudiati (2012) yaitu berupa peningkatan buah kelapa sehingga
pendapatan menjadi dua kali lipat dari hasil kelapa. Tanaman tumpang
sari yang diusahakan adalah cengkeh, lada hitam, coklat, kopi dan
tanaman semusim lainnya.
Dengan semakin diperlukan peningkatan produksi dan pengelolaan
lahan secara berkelanjutan, maka integrasi tanaman pakan penambat N
ke dalam perkebunan kelapa menjadi makin popular karena tanaman
pakan dapat menambah N ke dalam tanah perkebunan kelapa yang pada
umumnya miskin N, terutama pada daerah-daerah pantai dimana
tanahnya didominasi oleh bahan karang yang miskin unsur hara. Pada
saat yang sama tanaman pakan dapat menyediakan hasil-hasil berupa
kayu api dan pakan bergizi tinggi sebagai pakan tambahan pakan basal
sehingga dapat menurunkan tekanan penggembalaan. Tanaman
penambat N yang dipercaya baik pada saat ini digunakan sebagai
tanaman tumpang sari kelapa adalah lamtoro gung (Leucaena
leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium).
Tiga sistem integrasi tanaman pakan ke dalam perkebunan kelapa
akan diuraikan yang dipersiapkan dari buku Agroforestry Species and
Technologies oleh Roshetko (2001 dalam Karda dan Spudiati 2012).
1. Kelapa, coklat dan gamal. Pada sistem ini, gamal menyediakan
naungan kepada tanaman coklat, terutama pada perkebunan kelapa
13
yang baru dibentuk dimana kelapa yang masih muda usianya tidak
menyediakan naungan secara mencukupi untuk tanaman coklat.
Gamal ditanam dari potongan batang dengan jarak tanam 3 x 3 atau 6
x 6 m. Bilamana gamal dipandang telah cukup menyediakan naungan,
maka coklat dapat ditanam di bawahnya dengan jarak tanam 2 x 2 m.
Gamal sebaiknya dipangkas secara teratur sampai setinggi 2-3 m
untuk menyeragamkan tajuk, penghasil pupuk hijau dan kayu api.
2. Kelapa, gamal dan sapi. Pada sistem ini gamal ditanam dibawah
pohon kelapa yang telah dewasa baik di daerah basah maupun kering.
Potongan batang sepanjang 1,5 m dengan diameter 2,5 cm ditanam
dengan jarak tanam 2,0 x 0,9 m dalam dua barisan tanaman disela-
sela tanaman kelapa. Pemangkasan gamal dilaksanakan setelah
tanaman berumur satu tahun setinggi 1 m dan setelah itu setiap enam
bulan. Hasil pangkasan dapat digunakan sebagai pupuk hijau atau
sebagai pakan sapi. Bila digunakan sebagai pupuk hijau maka
dilaporkan dapat meningkatkan berat buah kelapa secara significan.
Denikian pula bila digunakan sebagai pakan tambahan untuk sapi
(50%/50%) gamal dan rumput cori (Brachiaria miliformis) dapat
menghasilkan tambahan berat badan sapi 700 gr/ekor/hari.
3. Kelapa, lamtoro dan pastura. Pada sistem ini sering kali lamtoro
ditanam ke dalam pastura dibawah pohon kelapa untuk menambah
gizi padangan bila dilakungan penggembalaan. Lamtoro ditanam
dalam dua barisan secara rapat (jarak tanam 0,5 x 0,5 m). Untuk
memperoleh hasil yang memuaskan disarankan agar penggembalaan
dilakukan secara berrotasi sehingga dapat memberikan kesempatan
bagi pertumbuhan kembali lamtoro secara baik.
Managemen Tanaman Kelapa
1. Jarak tanam dan pengaturan penanaman. Jarak tanam yang
direkomendasikan agar diperoleh produksi pastura dan kelapa yang
14
optimal adalah 10 x 10 m pada lahan datar dan 9 x 9 m pada lahan
miring dengan pengaturan penanaman bersegitiga dibandingkan
bersegiempat.
2. Pemupukan. Pemberian pupuk potas (potassium muriate) dengan
jalan membuat lubang disekitar pangkal batang setiap tanaman kelapa
telah pula direkomendasikan.
3. Siklus pertumbuhan dan penggembalaan.
Fase I, 0-5 tahun penggembalaan sapi dihindarkan agar tidak
merusak tanaman kelapa yang masih muda. Karena banyak tersedia
sinar matahari maka dapat ditanami tanaman yang memerlukan sinar
matahari bayak seperti cabai, kol, dan ketela pohon dan pakan ternak
yang dipotong dan dibawa ke kandang.
Fase II, 5-20 tahun, produksi pastura rendah karena naungan pohon
kelapa semakin meningkat, maka penanaman tanaman yang tahan
naungan dapat disarankan seperti coklat.
Fase III, 20 tahun hingga penggantian pohon kelapa merupakan
waktu ideal untuk penggembalaan.
Untuk pengembangan lebih lanjut perlu penelitian integrasi
tanaman pakan dan ternak dengan perkebunan mangga, pisang, jambu
mete untuk meningkatkan pendapatan petani lahan kering, terutama
sebelum tanaman buah-buahan berproduksi menyangkut jarak tanam
yang ideal serta pendapatan total dibandingkan dengan pertanaman
monokultur. Di Kapet Bima dilaporkan tersedia lahan seluas 205.194 ha
untuk penanaman jambu mete (Ichsan, 2001 dalam Karda dan Spudiati,
2012) yang perlu diintegrasikan dengan tanaman pakan dan ternak untuk
meningkatkan pendapatan petani.
Bank Pakan pada Lahan Kering/Lahan Tidur
Bank pakan biasanya terdiri dari tanaman pohon atau semak dari
jenis leguminosa yang dikelola secara intensif. Menurut para akhli, bank
15
pakan bertujuan untuk menjembatani kekurangan pakan pada saat musim
kemarau yang terjadi setiap tahun. Pada umumnya ditanam melalui biji
pada lahan yang telah dipersiapkan dengan baik. Meskipun demikian
bank pakan dapat juga dibuat melalui penanaman tanaman muda atau
stek tetapi karena diperlukan dalam jumlah banyak maka cara ini tidak
praktis. Bilamana menggunakan stek jarak tanam yang disarankan adalah
50 x 50 cm atau 1 x 1 m. Stek gamal (Gliricidia sepium ) biasanya
digunakan dalam bank pakan. Bank pakan biasanya dibuat dalam dua
barisan tanaman dengan jarak barisan 50 cm dan jarak antara dua
barisan satu dengan dua barisan yang lainnya adalah 1-1,5 m. Rumput-
rumputan biasanya dibiarkan tumbuh diantara dua barisan satu dengan
yang lainnya.
Managemen Bank Pakan
1. Pemberantasan gulma. Karena pertumbuhan fase awal dari bank
pakan lambat maka diperlukan pemberantasan gulma setiap 2-4
minggu sampai tanaman berumur 6 bulan pada saat mana tanaman
telah memiliki tajuk sedemikian rupa sehingga dapat menekan
pertumbuhan gulma.
2. Umur pemanenan pertama. Tergantung dari kondisi lingkungan dan
pertumbuhan bank pakan maka pemanenan pertama dapat dilakukan
pada umur tanaman 9-21 bulan.
3. Tinggi pemotongan. Standar tinggi pemotongan yang disarankan
adalah 50-150 cm agar produksi optimal, pertumbuhan kembali dan
kelangsunagn hidup tanaman dapat dipertahankan. Perkecualian pada
tanaman turi sebaiknya yang dipangkas adalah percabangan lateral
dan hindari pemotongan batang utama sampai setinggi kurang dari
150 cm.agar tanaman tidak mati. Namun. pada tanaman lamtoro yang
telah berumur 2-3 tahun disarankan bahwa tanaman harus dipangkas
16
sampai tinggi 25 cm untuk menghilangkan bagian-bagian kayu yang
telah mati dan merangsang pertumbuhan daun muda.
4. Frekuensi pemangkasan. Standar frekuensi pemangkasan adalah 6-
12 minggu. Lebih jarang dipotong maka produksi pakan meningkat
namun proporsi kayu berukuran kecil meningkat. Lebih sering
dipangkas menurunkan total produksi pakan namun kualitas dan
palatabilitas pakan meningkat.
5. Pengelolaan saat musim kering. Enam sampai delapan mingu
sebelum mulai musim kemarau maka tanaman sebaiknya dipangkas
setinggi standar pemotongan sehingga daun yang baru tumbuh
selama beberapa minggu akan dapat tersedia pada saat dibutuhkan
sekali. Bilamana perioda musim panasnya panjang dan meliputi bank
pakan yang luas maka pemangkasan sebelum datangnya musim
panas dapat dilaksanakan secara bertahap dan kelebihan hasil dapat
diawetkan dan disimpan.
Bank pakan mungkin lebih sulit diadopsi oleh petani pada lahan
kering dan lahan tidur lainnya, dibandingkan integrasi tanaman pakan
pada lahan perkebunan seperti disebutkan diatas. Oleh karena itu
disarankan pada lahan-lahan demikian integrasi tanaman pakan dan
ternak dengan tanaman perkebunan yang relatif tahan kekeringan seperti
mangga, jambu mete dan tanaman industri seperi jarak dapat
dilaksanakan. Bank pakan mungkin lebih cocok bagi peternakan sekala
menengah dan komersial dibandingkan peternakan subsisten.
Sistim Pemberian Pakan
Setelah tersedia hijauan secara mencukupi baik melalui integrasi
tanaman pakan dengan tanaman perkebunan maupun melalui bank pakan
maka penggunaannya ditujukan sebagai pakan tambahan yang bernilai
gizi tinggi terhadap pakan basal yang kualitasnya relatif rendah dengan
level pemberian berkisar dari 30 sampai 50% bahan kering. Penggunaan
17
daun-daunan legum pohon atau semak sebagai suplemen sangat penting
baik pada waktu musim hujan dimana ransum ternak terdiri dari
rerumputan yang masih hijau maupun pada waktu musim kemarua
dimana ransum basal ternak terdiri dari rerumputan yang sudah
mongering/limbah pertanian.
Rumput muda yang masih hijau meskipun memiliki kadar N relatif
tinggi namun karena memiliki kelarutan N dalam rumen sangat tinggi
maka proporsi bypass proteinnya rendah. Untuk menurunkan kelarutan N
rumput dalam rumen maka diperlukan proteksi, dimana proteksi dapat
dilakukan secara alami oleh tanin yang ada pada daun-daun legum pohon
atau semak tadi. Para akhli melaporkan bahwa legum pohon atau semak
memiliki kadar tanin lebih tinggi dibandingkan legum yang tumbuh rendah.
Diperlukan paling sedikit kadar tanin 4% dari bahan kering legum pohon
atau semak agar terbentuk bypass protein yang optimal pada usus halus
ternak ruminansia. Legum tumbuh rendah pada umumnya mengandung
tanin kurang dari 3% dari bahan keringnya. Bypass protein sangat
dibutuhkan bagi ternak yang bertumbuh cepat dan saat laktasi.
Penanganan Pasca Panen
Penanganan pasca panen sangat dibutuhkan terutama saat
produksi melimpah untuk menjamin adanya nilai tambah bagi petani.
Sebagai contoh pada saat pucak produksi rambutan, mangga, pisang,
nangka dan lain-lain, harga sangat rendah sehingga petani merugi. Oleh
karena itu penanganan pasca panen tidak kalah pentingnya dibandingkan
dengan kegiatan produksi lainnya dalam meningkatkan pendapatan
petani.
18
Sistem Integrasi Kelapa-Jagung-Sapi
Setiap 1 ha lahan kelapa dengan jarak tanam 9 x 9 m2 terdapat
sekitar 123 pohon. Dari luas tersebut terdapat paling sedikit sekitar 90%-
nya atau 9.000 m2 dapat ditanami jagung setelah dikoreksi dengan luas
lahan yang tergunakan untuk setiap pohon kelapa yaitu lingkaran
sekeliling tegakan pohon kelapa dengan luas sekitar 3,14 m2. Dengan
demikian jumlah populasi tanam jagung yang direkomendasikan adalah
66.000 rumpun per ha (Puslitbangtan, 2007 dalam Paat, 2012), maka
pada lahan perkebunan kelapa hanya dapat ditanaman 59.400 rumpun
atau 90%-nya. Jerami jagung merupakan stok pakan sapi, namun karena
ketersediaannya hanya tertumpuk pada saat panen maka Rumput Raja
(Pennisetum sp) dibudidayakan pada sisi luar lahan sebagai sumber
pakan harian yang juga berfungsi pagar hidup.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pada musim kemarau yang
agak ekstrim di perkebunan kelapa Desa Tawaang Kabupaten Minsel
masing 2 ekor, sedangkan ternak pejantan dipelihara kolektif. Introduksi
terbatas ini dilakukan karena ternak kambing masih merupakan komoditas
introduksi. Dalam sejarah sebelumnya memang tidak pernah ada orang
yang memasukkan dan memelihara kambing di wilayah tersebut.
Performan ternak kambing secara ekterior nampak kondisi badan berisi
cenderung gemuk, dan bulu relatif mengkilap. Hal ini berbeda
dibandingkan kondisi ternak saat introduksi yaitu badan cenderung kurus
dan berbulu kusut.
Tabel 3 menyajikan data kinerja produksi kambing yang
diintegrasikan pada SITT “Kelapa – Vanili”. Relatif rendahnya
pertambahan bobot badan disebabkan hijauan yang diberikan tidak
disuplemen dengan pakan penguat sebagai sumber energi. Pertambahan
bobot badan kambing dengan tambahan suplemen blok dalam pakan
memberikan pertambahan bobot badan 76,8 g/ekor/hari (Prabowo dkk,
2004 dalam Paat 2012). Produksi kumulatif kotoran ternak yang berhasil
dikumpulkan mencapai sekitar 2 ton segar per tahun per 2 ekor. Pada
sistem ini, kambing dapat menghasilkan kotoran sekitar 2,88 kg/hari
(Mathius, 2003 dalam Paat 2012) atau sekitar 1 ton/ekor/tahun.
25
Kesimpulan
1. Pemberdayaan lahan marginal memerlukan tindakan yang nyata dan
segera sebagai wujud nyata ekstensifikasi pertanian berkenaan
dengan semakin menyusutnya luas lahan pertanian subur akibat
dijadikan pemukiman, perkantoran dan fasilitas umum lainnya.
Pemberdayaan dapat diupayakan melalui integrasi tanaman pakan
dan ternak dengan perkebunan lahan kering maupun pembentukan
bank pakan pada lahan tidur atau lahan tidur sementara melalui
pendekatan partisipasi aktif petani.
2. Sistem integrasi tanaman – ternak, baik tanaman perkebunan maupun
tanaman pangan merupakan salah satu alternatif potensial, yang
dapat memecahkan permasalahan pada usahatani perkebunan,
tanaman pangan, bahkan permasalahan peternakan itu sendiri.
26
3. Usahatani terpadu menghasilkan berlimpah limbah pertanian dan
biomasa tanaman yang secara langsung atau melalui proses
pengolahan menjadi pakan ternak yang murah.
27
DAFTAR PUSTAKA
Adijaya, I.N., Suprapto, I.M.R. Yasa, dan P. Suratmini. 2012.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Lahan Kering bali Utara melalui Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. ntb.litbang.deptan.go.id diakses tanggal 1 Mei 2012.
Ahfyanti dan W.W. Dwi. 2008. Pemilihan Bahan Amelioran Untuk
Mengatasi Keracunan Aluminium Pada Tanaman Padi di Tanah Sulfat Masam. http://repository.ipb.ac.id diakses tanggal 28 Mei 2012.
Anonimous. 2011. Upaya Pengendalian Keracunan Besi (Fe) dengan
Asam Humat dan Pengelolaan Air Untuk Meningkatkan Produktifitas Tanah Sawah Bukaan Baru. http://www.hydro.co.id diakses tanggal 28 Mei 2012.
Elly, F.H., B.M. Sinaga, S.U. Kuntjoro, dan N. Kusnadi. 2008.
Pengembangan Usaha Ternak Sapi Rakyat Melalui Integrasi Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Jurnal Litbang Pertanian, 27 (2).
Hasnudi dan E. Saleh. 2004. Rencana Pemanfaatan Lahan Kering untuk
Pengembangan Usaha Peternakan Ruminansia dan Usaha Tani Terpadu di Indonesia. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Karda, I.W. dan Spudiati. 2012. Meningkatkan Produktifitas Lahan
Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pakan dan Ternak Ruminansia. Fakultas Peternakan Universitas Mataram. ntb.litbang.deptan.go.id diakses tanggal 1 Mei 2012.
Kasno, A. 2009. Keracunan Besi Sawah Bukaan Baru dan
Penanggulangannya. http://pustaka.litbang.deptan.go.id akses tanggal 28 Mei 2012.
Paat, P.C. 2012. Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak pada Lahan
Kering Berbasis Kelapa di Sulawesi Utara. Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Program Pembangunan Pertanian Provinsi Sulawesi Utara. sulut.litbang.deptan.go.id diakses tanggal 1 Mei 2012.
28
Paat, P.C. 2012. Analisis Potensi Sumber Daya Pakan dan Kebutuhan Inovasi Ternak Ruminansia di Kabupaten Minahasa Tenggara Sulawesi Utara. Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Program Pembangunan Pertanian Provinsi Sulawesi Utara. sulut.litbang.deptan.go.id diakses tanggal 1 Mei 2012.
Sasongko, W.R., Y.G. Bulu, dan A. Surahman. 2012. Pola Pemeliharaan
Ternak Sapi Bali di Lahan Kering Dataran Rendah Lombok Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. www.infodiknas.com diakses tanggal 1 Mei 2012.
Sopandie, D., dan I. H. Utomo. 1995. Pengelolaan Lahan dan Teknik
Konservasi di Lahan Kering. Makalah Penunjang Diskusi Pengembangan Teknologi Tepat Guna di Lahan Kering untuk Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Bogor, 27 September 1995.
Suhardi. 2012. Peran Tumbuhan Akumulator Alumunium (Melastoma
malabathricum L.) terhadap Ketersediaan P pada Tanah Ultisol. Program Studi Tanah Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UNIB. http://www.himita.freehomepage.com diakses tanggal 28 Mei 2012.
Suhartini, T. 2004. Perbaikan Varietas Padi untuk Lahan Keracunan Fe.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Buletin Plasma Nutfah Vol.10 No.1.
Sukar, W.I. Werdhani, dan Soeharsono. 2005. Sistem Integrasi
Tanaman-Ternak di Lahan Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.