J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014. 1 Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada Budidaya Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt.) di Lahan Kering. Utilization of Biomulch Arachis pintoi in Production of Sweet Corn (Zea mays saccharata Strut.) at Upland Condition. Fariidah Silmi 1 dan M.A. Chozin 1* Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014 ABSTARCT The objective of the research was to determine the effect legume cover crop Arachis pintoi as biomulch on yield of sweet corn (Zea mays saccharata Strut.) as compared to Centrosema pubescens, Calopogonium mucunoides, no weeding, manual weeding, and plastic mulch. The research was conducted at Cikabayan Experimental Field, Bogor in February - September 2013. Experiment used randomized complete blocked design (RKLT), with single factor and three replications. The factor was difference type of mulch consisting of control (manual weeding), nature of vegetation (without weeding), plastic mulch, Arachis pintoi, Centrosema pubescens, and Calopogonium mucunoides. Biomulches influenced change of weeds compositions at research land. The treatment of A. pintoi biomulch suppressed growth of weeds lower than C. pubescens and C. mucunoides biomulch. The result revealed that different mulch had no significant effect on all of sweet corn variables except on cob length and cob circumference. A. pintoi, biomulch led was not significantly different compared to C. pubescens, and C. mucunoides. Plastic mulch increased sweet corn production component and production better than other treatments. Keywords : biomulch, legume cover crop, weed, yield, yield component , sweet corn ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efek tanaman penutup tanah (Legume Cover Crop) Arachis pintoi sebagai biomulsa dan pengaruhnya terhadap produksi tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Strut.) dibandingkan dengan Calopogonium mucunoides, Centrosema pubescens, tanpa penyiangan (vegetasi alami), penyiangan manual, dan mulsa plastik hitam perak. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, Bogor pada bulan Februari-September 2013. Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan satu faktor dan tiga ulangan. Faktor perlakuan tersebut adalah perbedaan jenis mulsa yang terdiri atas kontrol (dengan penyiangan manual), vegetasi alami (tanpa penyiangan), mulsa plastik hitam perak, Arachis pintoi, Centrosema pubescens, dan Calopogonium mucunoides. Penggunaan biomulsa mempengaruhi pergeseran jenis gulma yang tumbuh di lahan penelitian. Perlakuan biomulsa A. pintoi lebih rendah menekan pertumbuhan gulma dibandingkan dengan perlakuan biomulsa C. pubescens dan C. mucunoides . Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis mulsa berpengaruh nyata terhadap semua peubah jagung manis yang diamati kecuali pada panjang tongkol dan lingkar tongkol. Hasil dan komponen hasil jagung manis tidak berbeda nyata antara perlakuan biomulsa A. pintoi, C. pubescens, dan C. mucunoides . Perlakuan mulsa plastik hitam perak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya dalam meningkatkan hasil dan komponen hasil jagung manis. Kata kunci: biomulsa, gulma, hasil, komponen hasil, jagung manis, RKLT, tanaman penutup tanah 1 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia Telp. & Faks. 62-251-8629353 *e-mail untuk korespondensi: [email protected]
63
Embed
Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 1
Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada
Budidaya Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt.) di
Lahan Kering.
Utilization of Biomulch Arachis pintoi in Production of Sweet Corn
(Zea mays saccharata Strut.) at Upland Condition.
Fariidah Silmi1 dan M.A. Chozin1*
Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014
ABSTARCT
The objective of the research was to determine the effect legume cover crop Arachis pintoi as
biomulch on yield of sweet corn (Zea mays saccharata Strut.) as compared to Centrosema pubescens, Calopogonium mucunoides, no weeding, manual weeding, and plastic mulch. The
research was conducted at Cikabayan Experimental Field, Bogor in February - September 2013. Experiment used randomized complete blocked design (RKLT), with single factor and three
replications. The factor was difference type of mulch consisting of control (manual weeding), nature
of vegetation (without weeding), plastic mulch, Arachis pintoi, Centrosema pubescens, and Calopogonium mucunoides. Biomulches influenced change of weeds compositions at research land. The treatment
of A. pintoi biomulch suppressed growth of weeds lower than C. pubescens and C. mucunoides
biomulch. The result revealed that different mulch had no significant effect on all of sweet corn variables except on cob length and cob circumference. A. pintoi, biomulch led was not significantly
different compared to C. pubescens, and C. mucunoides. Plastic mulch increased sweet corn
production component and production better than other treatments.
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efek tanaman penutup tanah (Legume Cover Crop)
Arachis pintoi sebagai biomulsa dan pengaruhnya terhadap produksi tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Strut.) dibandingkan dengan Calopogonium mucunoides, Centrosema pubescens,
tanpa penyiangan (vegetasi alami), penyiangan manual, dan mulsa plastik hitam perak.
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, Bogor pada bulan Februari-September
2013. Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan satu faktor
dan tiga ulangan. Faktor perlakuan tersebut adalah perbedaan jenis mulsa yang terdiri atas kontrol
pintoi, Centrosema pubescens, dan Calopogonium mucunoides. Penggunaan biomulsa
mempengaruhi pergeseran jenis gulma yang tumbuh di lahan penelitian. Perlakuan biomulsa A. pintoi lebih rendah menekan pertumbuhan gulma dibandingkan dengan perlakuan biomulsa C.
pubescens dan C. mucunoides. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis mulsa
berpengaruh nyata terhadap semua peubah jagung manis yang diamati kecuali pada panjang tongkol
dan lingkar tongkol. Hasil dan komponen hasil jagung manis tidak berbeda nyata antara perlakuan
biomulsa A. pintoi, C. pubescens, dan C. mucunoides. Perlakuan mulsa plastik hitam perak
berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya dalam meningkatkan hasil dan komponen
hasil jagung manis.
Kata kunci: biomulsa, gulma, hasil, komponen hasil, jagung manis, RKLT, tanaman penutup tanah
1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
Telp. & Faks. 62-251-8629353 *e-mail untuk korespondensi: [email protected]
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
2 Fariidah Silmi dan M.A. Chozin
PENDAHULUAN
Jagung manis (Zea mays saccharata
Sturt) merupakan jenis jagung yang memiliki
rasa manis yang melebihi jagung biasa. Selain
itu, masa produksinya yang relatif lebih
singkat (genjah) membuat nilai ekonomis
jagung manis relatif lebih tinggi di pasaran.
Marliah et al. (2010) menyatakan bahwa
jagung manis memiliki peranan yang cukup
besar untuk meningkatkan produksi pangan
dalam negeri, namun produktivitasnya masih
rendah. Peng-gunaan benih dan teknologi serta
budidaya yang kurang intensif di kalangan
petani menyebabkan rendahnya hasil jagung
manis (Rahayu, 2011).
Usaha peningkatan produksi jagung
manis dapat dilakukan dengan meningkatkan
produktivitas atau yang sering dikenal dengan
istilah intensifikasi (Marliah, 2010). Mayadewi
(2007) menambahkan pengembangan jagung
manis secara intensif hanya dapat dilakukan
oleh petani yang memiliki modal besar. Selain
itu, masalah yang sering dihadapi petani
adalah adanya kelangkaan pupuk yang meng-
akibatkan mahalnya harga pupuk di pasaran.
Kebutuhan akan unsur hara yang dapat
diperoleh dari pemberian pupuk serta interaksi
tanaman dengan lingkungan tempat tumbuh
akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
vegetatif dan produksi tanaman jagung manis.
Menurut Sintia (2011) faktor tersebut merupakan
faktor penting yang dapat menghambat atau
mendorong pertumbuhan serta produksi tanaman,
sehingga pengaturan keadaan lingkungan perlu
diupayakan.
Pemberian mulsa merupakan salah satu
alternatif pengaturan keadaan lingkungan
sebagai tempat tumbuh tanaman. Secara fisik
mulsa mampu menjaga suhu tanah lebih stabil
dan dapat mempertahankan kelembaban sekitar
perakaran (Hamdani, 2008). Mulsa dapat
bersumber dari bahan-bahan organik yang
telah mati ataupun masih hidup yang sering
disebut dengan biomulsa. Selain itu, juga
terdapat mulsa yang berasal dari plastik.
Bahan plastik yang saat ini sering digunakan
adalah plastik transparan, plastik hitam, plastik
perak, dan plastik hitam perak.
Tanaman penutup tanah (Legum cover
crop) merupakan salah satu jenis biomulsa.
Jenis tanaman penutup tanah yang sering
digunakan adalah campuran dari Pueraria javanica, Calopogonium mucunoides, dan
Centrosema pubescens (Karyudi dan Siagian,
2006). Arachis pintoi atau yang sering disebut
dengan kacang hias juga merupakan salah satu
tanaman penutup tanah yang dapat tumbuh
dengan baik di daerah tropika, baik di dataran
rendah maupun dataran tinggi (Balittan, 2004).
Fungsi tanaman penutup tanah sebagai biomulsa
dapat mengurangi erosi permukaan tanah,
merombak bahan organik dan cadangan unsur
hara, menekan perkembangan gulma, menekan
gangguan serangga, dan menjaga kelembapan
tanah serta memperbaiki aerasi (Risza, 1995).
Baharrudin (2010) menambahkan bahwa
upaya peningkatan produksi tanaman juga
dapat dilakukan dengan cara menghilangkan
atau mengurangi faktor-faktor yang dapat
merugikan pertumbuhan tanaman. Gulma
merupakan salah satu faktor yang dapat
berperan sebagai pengganggu pertumbuhan
tanaman. Keberadaan gulma dapat menyaingi
tanaman utama dalam memperoleh nutrisi
dalam tanah. Kehadiran gulma pada tanaman
jagung manis merupakan penyebab rendahnya
hasil jagung manis tersebut. Pengaruh gulma
terhadap tanaman dapat terjadi secara langsung,
yaitu dalam hal bersaing untuk mendapatkan
unsur hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh.
Secara langsung sejumlah gulma merupakan
inang dari hama dan penyakit. Gulma yang
dibiarkan tumbuh pada tanaman jagung manis
dapat menurunkan hasil 20% - 80% (Bilman,
2010). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
pengaruh penggunaan tanaman penutup tanah
A. pintoi sebagai biomulsa pada pertanaman
jagung manis dibandingkan C. pubescens dan
C. mucunoides.
BAHAN DAN METODE
Percobaan ini dilaksanakan di Kebun
Percobaan Cikabayan Bawah, Kampus IPB
Dramaga Bogor, mulai bulan Februari-
September 2013. Bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah tiga macam tanaman
penutup tanah yang terdiri atas stek batang A.
pintoi, benih C. pubescens, C. mucunoides dan
benih jagung manis varietas Bimmo. Pupuk
yang digunakan berupa pupuk kandang
kambing 20 ton ha-1, kapur 1 ton ha-1, dan
NPK Mutiara. Bahan-bahan lain adalah Decis
yang berperan sebagai insektisida, Rooton-F
sebagai hormon pemicu pertumbuhan akar,
serta furadan 3G untuk mencegah dari
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 3
serangan serangga tanah saat penanaman
benih jagung manis.
Percobaan dilakukan dengan menggunakan
rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT)
satu faktor, yaitu dengan perlakuan perbedaan
jenis mulsa berupa B0 = Vegetasi alami tanpa
penyiangan, B1 = Kontrol (vegetasi alami
dengan penyiangan), B2 = Mulsa Plastik
Hitam Perak (MPHP), B3 = Biomulsa Arachis pintoi, B4 = Biomulsa Centrosema pubescens,
serta B5 = Biomulsa Calopogonium mucunoides.
Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali
sehingga terdapat 18 satuan percobaan. Satu
satuan percobaan ialah petak dengan ukuran 5
m x 4 m. Uji F digunakan untuk menganalisis
pengaruh perlakuan. Bila perlakuan berpengaruh
nyata diuji lanjut menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan
aplikasi SAS.
Pelaksanaan penelitian meliputi peng-
olahan lahan dengan menggunakan traktor dan
bajak. Setelah diolah, lahan dibuat petakan
dengan ukuran 5 m x 4 m dengan jarak antar
bedengan 50 cm dan tinggi bedengan 10 cm.
Petakan lahan kemudian diberi aplikasi pupuk
kandang kambing 20 ton ha-1 dan kapur 1 ton
ha-1. Lahan dibiarkan dua minggu sebelum
ditanami tanaman penutup tanah. Bahan tanam
tanaman penutup tanah A. pintoi berupa stek
batang dengan panjang 4-5 buku setiap stek.
Setelah dipotong-potong dengan ukuran
tersebut kemudian stek direndam dalam
larutan rooton-F dengan konsentrasi 1 g l-1 air
selama satu malam sebelum ditanam. Bahan
tanam tanaman penutup tanah C. pubescens
dan C. mucunoides yang digunakan berupa
benih. Ketiga tanaman penutup tanah ditanam
secara bersama-sama pada masing-masing
petakan dengan jarak tanam yang digunakan
adalah 10 cm x 10 cm.
Penanaman benih jagung manis di-
lakukan setelah penutupan tanaman penutup
tanah mencapai 80%. Benih jagung manis
ditanam dengan cara membuat alur tanam di
setiap petak yang berselang dengan tanaman
penutup tanah. Lebar alur tanam yang dibuat
seluas 50 cm di sepanjang petakan. Pemberian
perlakuan mulsa plastik hitam perak dilakukan
3 hari sebelum penanaman benih jagung manis
dengan membuat lubang berdiameter 10 cm.
Benih jagung manis ditanam pada lubang
tanam dengan jarak tanam 80 cm x 40 cm
pada masing-masing petakan.
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan
setelah penanaman tanaman penutup tanah
hingga penanaman benih jagung manis meliputi
penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma,
pengendalian hama dan penyakit, serta pem-
bumbunan pada tanaman jagung manis yang
dilakukan bersamaan dengan penyiangan gulma.
Penyiangan gulma dilakukan secara manual
sesuai dengan kebutuhan. Pemupukan dilakukan
dua kali yaitu pada awal penanaman benih
jagung manis dan saat tanaman jagung manis
berumur 4 minggu setelah tanam (MST).
Pemupukan dilakukan dengan cara menaburkan
pupuk NPK ke dalam lubang yang telah dibuat
di samping lubang tanam jagung manis dengan
dosis 65.7 g tanaman-1. Penyemprotan pestisida
dilakukan satu kali saat tanaman jagung manis
berumur 5 MST.
Pengamatan dilakukan terhadap tanaman
contoh yang dipilih secara acak disetiap
petakan. Peubah yang diamati adalah pada
fase vegetatif meliputi tinggi tanaman (cm),
jumlah daun (helai), diameter batang (mm),
lingkar batang (cm), dan saat muncul bunga
jantan/ tassel dengan satuan hari setelah tanam
(HST). Saat fase generatif, peubah yang diamati
meliputi jumlah tongkol tanaman-1 (tongkol),
panjang tongkol (cm), lingkar tongkol (cm),
dan jumlah baris biji tongkol-1 (baris).
Komponen produksi jagung manis yang
diamati meliputi bobot jagung dengan klobot
(g), bobot jagung tanpa klobot (g), bobot
brangkasan basah (g), dan bobot brangkasan
kering (g). Pergeseran dan perubahan jenis
gulma akibat perlakuan diamati berdasarkan
analisis vegetasi yang dilakukan di setiap
petak percobaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Hasil analisis tanah yang dilakukan di
Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan menunjukkan bahwa kondisi
awal tanah penelitian mengandung pH (4.8),
C-organik (1.6%), N-Total (0.14%), P2O5
Bray (62.40 ppm), dan K2O (94.53 ppm).
Menurut Alloway (1995) hasil analisis tanah
awal pada penelitian ini menunjukkan tanah
bersifat masam serta kandungan P2O5 yang
sangat tinggi yaitu 62.40 ppm, namun
kandungan C-organik, N-Total, dan K termasuk
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
4 Fariidah Silmi dan M.A. Chozin
rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tanah
masih membutuhkan lebih banyak bahan
organik.
Pertumbuhan biomulsa A. pintoi me-
ngalami kendala pada awal fase pertumbuhan
seperti kekeringan akibat kekurangan air.
Cuaca panas membuat stek batang A. pintoi
mudah kering dan layu sehingga menghambat
pertumbuhan akar dan tunas. Penanaman
biomulsa C. pubescens dan C. mucunoides
tidak mengalami kendala yang berarti saat
awal penanaman. Pertumbuhan yang cepat
pada kedua biomulsa ini membuat tanaman
cepat merambat dan menutupi permukaan
tanah.
Setelah penanaman jagung manis,
pertumbuhan C. pubescens dan C. mucunoides
yang merambat mengganggu tanaman jagung
manis karena melilit batang jagung. Cara
mengendalikannya yaitu dengan memangkas
secara manual pada C. pubescens dan C.
mucunoides yang melilit batang jagung manis.
Kondisi seperti ini tidak dijumpai pada
biomulsa A. pintoi. Hal ini merupakan salah
satu keunggulan A. pintoi sebagai biomulsa
dibandingkan C. pubescens dan C. mucunoides.
Pertumbuhan gulma terjadi pada semua
petak perlakuan, termasuk pada perlakuan
MPHP. Pertumbuhan gulma pada perlakuan
MPHP terjadi di area lubang tanam. Secara
umum setelah perlakuan biomulsa, pertumbuhan
gulma lebih sedikit dibandingkan dengan
sebelum perlakuan. Pertumbuhan dan per-
kembangan tanaman jagung manis secara
umum lebih baik pada perlakuan MPHP
dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Serangan hama dan penyakit merupakan
salah satu faktor yang menghambat pada
penelitian ini. Hama yang menyerang per-
tanaman jagung manis pada penelitian ini
berupa belalang (Valanga sp.), ulat bulu
(Spodoptera sp.), semut tanah, dan penggerek
tongkol jagung (Helicoverpa armigera Hubner).
Penyakit yang teridentifikasi menyerang
tanaman jagung manis pada penelitian ini
adalah penyakit bulai (Downy mildews).
Intensitas serangan dari hama dan penyakit
relatif rendah, sehingga masih dapat di-
kendalikan. Pengendalian pada hama dilakukan
dengan menyemprotkan insektisida saat terjadi
serangan hama. Pengendalian pada penyakit
bulai dilakukan secara manual yaitu dengan
mencabut dan menjauhkannya dari lahan
pertanaman.
Pengaruh Perlakuan Biomulsa terhadap
Pergeseran Jenis Gulma
Hasil analisis vegetasi yang dilakukan
sebelum perlakuan dan setelah perlakuan
biomulsa (4 MST setelah tanam jagung manis)
disajikan pada Tabel 1. Data menunjukkan
bahwa sebelum perlakuan, teridentifikasi 9
jenis gulma golongan rumput dan 5 jenis gulma
golongan daun lebar, namun tidak ditemukan
gulma dari golongan teki. Berdasarkan nilai
jumlah dominasi (NJD), gulma golongan
rumput (80.53%) lebih dominan dibandingkan
dengan gulma golongan daun lebar (19.47%).
Pengamatan yang dilakukan saat tanaman
jagung manis berumur 4 MST menunjukkan
bahwa perlakuan biomulsa mempengaruhi
pergeseran jenis gulma.
Hasil pengamatan setelah perlakuan
menunjukkan adanya pergeseran jenis gulma
yang berbeda antar perlakuan. Perlakuan
biomulsa A. pintoi mempengaruhi pergeseran
jenis gulma golongan rumput dari 9 jenis
menjadi 6 jenis, begitu juga dengan gulma
golongan daun lebar mengalami pergeseran
jenis. Berdasarkan NJD, gulma golongan daun
lebar (53.22%) pada perlakuan biomulsa A.
pintoi lebih dominan dibandingkan gulma
golongan rumput (46.78%). Hal ini berbeda
dengan perlakuan biomulsa C. pubescens dan
C. mucunoides yang menghasilkan NJD gulma
golongan rumput (90.75%) dan (89.75%) lebih
dominan dibandingkan gulma golongan daun
lebar (9.25%) dan (10.25%). Data tersebut
menunjukkan bahwa ketiga jenis biomulsa (A.
pintoi, C. pubescens, dan C. mucunoides) kurang
efektif menekan gulma golongan rumput.
Meskipun demikian berdasarkan NJD, biomulsa
A. pintoi relatif lebih efektif menekan gulma
golongan rumput dibandingkan dengan C.
pubescens, dan C. mucunoides.
Perlakuan biomulsa juga mempengaruhi
munculnya jenis gulma baru, baik dari
golongan rumput maupun golongan daun
lebar. Terdapat jenis gulma baru yang muncul
pada perlakuan A. pintoi yaitu A. compresus,
C. dactylon, D. adcendens, dan I. cylindrica
untuk gulma golongan rumput, sedangkan
untuk jenis gulma golongan daun lebar
terdapat B. latifolia, M. pudica, dan M. nudiflora
(Tabel 1). Perlakuan vegetasi alami juga
menurunkan jumlah jenis gulma rumput dari 9
jenis menjadi 3 jenis, dan gulma golongan
daun lebar dari 5 jenis menjadi 4 jenis. Hasil
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 5
NJD menunjukkan bahwa gulma golongan
daun lebar (52.23%) lebih dominan dibanding
dengan gulma golongan rumput (47.77%)
pada perlakuan vegetasi alami. Selain itu,
terdapat jenis gulma baru yang muncul pada
perlakuan vegetasi alami yaitu I. cylindrica
dan R. cochicinensis untuk gulma golongan
rumput serta B. laevis, C. pubescens, dan M.
pygra untuk gulma golongan daun lebar.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa
penggunaan LCC kurang efektif untuk menekan
gulma golongan rumput (Baharuddin, 2010;
Febrianto, 2012; Kartikawati et al., 2011).
Penelitian Kartikawati et al. (2011) me-
nyebutkan bahwa C. dactilon dan I. cylindrica
dapat mendominasi pada pertumbuhan jagung
yang diberi perlakuan tanaman penutup tanah
Crotalaria juncea L. Hal ini karena gulma
golongan rumput tersebut tumbuh tegak ke
atas sehingga memperoleh faktor tumbuh yang
cukup dan dapat mengimbangi pertumbuhan
tanaman jagung dan tanaman penutup tanah C.
juncea L.
Tabel 1. Jenis gulma rumput yang tumbuh pada awal lahan percobaan sebelum olah tanah dan saat
tanaman jagung manis berumur 4 MST
No Jenis
4 MST Jagung manis
Awal B0 B1 B2 B3 B4 B5
Rumput (R)
1. Axonopus compresus - - - - v v -
2. Brachiaria distasia v v - - - - v
3. Cynodon dactylon - - - - v - -
4. Digitaria adcendens - - v v v - -
5. Digitaria ciliaris v - - v v - v
6. Digitaria nuda v - - - - - -
7. Digitaria sanguinalis v - - - - - -
8. Imperata cylindrica - v - - v - -
9. Ottochloa nodosa v - - - v v -
10. Panicum repens v - - - - - -
11. Paspalum comersonii v - - - - v -
12. Paspalum conjugatum v - - - - v -
13. Penisetum polystation v - - - - v -
14. Roetbolia cochicinensis - v - - - v v
Daun Lebar (DL)
1. Ageratum conyzoides - - - - - v -
2. Asystasia gangetica v - - - - - -
3. Asystasia intrusa v - - - - - -
4. Boreria alata v - v v - v -
5. Boreria laevis - v - - - - -
6. Boreria latifolia - - - v v - -
7. Calopogonium mucunoides v v - - v - -
8. Cleome rutidosperma v - - v v - v
9. Centrosema pubescens - v - - - - -
10. Mimosa pudica - - - - v - -
11. Mimosa pygra - v - - - - -
12. Murdania nudiflora - - - - v - -
13. Phylanthus urinaria - - v - - - -
Jumlah Jenis
(NJD%)
R 9
(80.53%)
3
(47.77%)
1
(48.73%)
2
(27.29%)
6
(46.78%)
6
(90.75%)
3
(89.75%)
DL 5
(19.47%)
4
(52.23%)
2
(51.27%)
3
(72.71%)
5
(53.22%)
2
(9.25%)
1
(10.25%)
Keterangan : B0= vegetasi alami, B1= kontrol, B2= MPHP, B3= A. pintoi, B4= C. pubescens, B5= C. Mucunoides
R= rumput-rumputan, DL= daun lebar, NJD= nilai jumlah dominasi.
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
6 Fariidah Silmi dan M.A. Chozin
Hasil lain yang menarik adalah hasil
pengamatan yang menunjukkan bahwa per-
lakuan biomulsa A. pintoi dapat menekan
secara efektif pertumbuhan gulma golongan
rumput R. cochicinensis, gulma penting yang
keberadaannya dapat mendominasi area per-
tanaman. Berdasarkan Tabel 1, gulma R.
cochicinensis dapat tumbuh pada perlakuan
biomulsa C. pubescens dan C. mucunoides, namun
tidak ditemukan pada perlakuan biomulsa A.
pintoi. Penelitian Febrianto (2012) menyebutkan
bahwa keberadaan gulma R. exaltata merupakan
salah satu gulma yang mendominasi saat lahan
belum dilakukan pengolahan. Saat awal
penanaman A. pintoi, gulma yang men-
dominasi dalam penelitiannya adalah jenis
daun lebar dan saat penutupan A. pintoi hampir 100% gulma yang mendominasi
adalah Axonopus compresus yang merupakan
gulma golongan rumput. Gulma R. exaltata
tidak teridentifikasi setelah aplikasi perlakuan
biomulsa A. pintoi.
Pengaruh Perlakuan Biomulsa terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Jagung Manis
Hasil analisis ragam menunjukkan
perbedaan jenis mulsa berpengaruh nyata
terhadap semua peubah pengamatan kecuali
pada panjang tongkol dan lingkar tongkol
menunjukkan pengaruh tidak nyata (Tabel 2).
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung
Manis
Berdasarkan hasil pada Tabel 3, tinggi
tanaman pada perlakuan biomulsa A. pintoi (96.19 cm) lebih rendah dan berbeda nyata
dengan perlakuan MPHP (171.40 cm), tetapi
tidak berbeda nyata dengan perlakuan
biomulsa C. pubescens (85.75 cm) dan C.
mucunoides (96.52 cm) serta perlakuan
lainnya. Perlakuan biomulsa A. pintoi
memiliki kecenderungan meningkatkan tinggi
tanaman jagung manis dibandingkan
perlakuan biomulsa C. pubescens. Hasil
percobaan ini berbeda dengan percobaan
Subaedah et al. (2011) yang menyatakan
bahwa penanaman jagung dengan perlakuan
tanaman penutup tanah (TPT) C. pubescens menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi
dibandingkan perlakuan tanaman penutup
tanah (TPT) C. mucunoides. Hal ini terjadi
karena pertumbuhan biomulsa C. pubescens
pada percobaan ini lebih cepat bila
dibandingkan biomulsa C. mucunoides,
sehingga biomulsa C. pubescens melilit batang
jagung manis dan menghambat pertumbuhan.
Jumlah daun pada perlakuan biomulsa
A. pintoi (6.9) tidak berbeda nyata dengan
perlakuan biomulsa C. pubescens (6.2), C.
mucunoides (7.4) dan perlakuan vegetasi alami
(7.0). Perlakuan biomulsa A. pintoi meng-
hasilkan jumlah daun yang lebih sedikit (6.9)
serta berbeda nyata dengan perlakuan kontrol
(8.4) dan perlakuan MPHP (9.8). Jumlah daun
terbanyak diperoleh pada perlakuan MPHP
(Tabel 3). Perlakuan MPHP sebagai mulsa
menghasilkan kelembaban yang tepat,
sehingga mempengaruhi suhu tanah menjadi
rendah. Menurut Mc Williams et al. (1999)
suhu tanah yang rendah akan meningkatkan
jumlah daun pada jagung manis.
Tabel 2. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh
perlakuan perbedaan jenis mulsa
terhadap parameter pengamatan
Karakter F hitung KK (%)
Tinggi tanaman (cm) 25.16** 9.61
Jumlah daun (daun) 10.88** 8.91
Diameter batang (mm) 3.58* 19.31
Lingkar batang (cm) 11.49** 11.09
Muncul bunga (HST) 185.8** 1.16
Jumlah tongkol/tanaman
(tongkol) 37.73** 5.09
Panjang tongkol (cm) 5.34tn 11.12
Lingkar tongkol (cm) 2.57tn 12.37
Jumlah baris/tongkol
(baris) 5.90** 13.12
Bobot jagung dengan
klobot (g) 20.35** 30.22
Bobot jagung tanpa
klobot (g) 21.89** 25.05
Bobot brangkasan basah
(g) 17.51** 25.25
Bobot brangkasan kering
(g) 12** 31.62
Keterangan: ** berbeda nyata pada taraf 1 %, *berbeda
nyata pada taraf 5 %, tn tidak berbeda
nyata
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 7
Tabel 3. Pengaruh perbedaan jenis biomulsa terhadap pertumbuhan vegetatif dan umur berbunga
jagung manis
Perlakuan Biomulsa
Tinggi
Tanaman
(cm) x
Jumlah
Daun
(helai) x
Diameter
batang
(mm) x
Lingkar
Batang
(cm) x
Umur Berbunga
(HST) x
Tanpa penyiangan
(Vegetasi alami) 102.54bc 6.9c 9.29abc 4.07bc 59c
Penyiangan manual
(Kontrol) 116.33b 8.4b 11.04ab 4.56b 60c
MPHP 171.40a 9.8a 12.65a 6.41a 51d
A. pintoi 96.19bc 6.9c 8.72bc 4.27bc 64b
C. pubescens 85.75c 6.2c 6.64c 3.58c 66a
C. mucunoides 96.52bc 7.3bc 10.03abc 4.21bc 65ab
Keterangan: x Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf uji
5%. MPHP = mulsa plastik hitam perak
Rata-rata diameter batang yang di-
hasilkan pada perlakuan biomulsa A. pintoi
(8.72 mm) lebih rendah dan berbeda nyata
dengan perlakuan MPHP (12.65 mm), sedangkan
pada perlakuan biomulsa C. mucunoides
(10.03 mm) lebih rendah namun tidak berbeda
nyata dengan perlakuan MPHP. Begitu juga
pada peubah lingkar batang, perlakuan
biomulsa A. pintoi (4.27 cm) lebih rendah dan
berbeda nyata dengan perlakuan MPHP
(6.41cm), namun tidak berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya.
Umur berbunga pada perlakuan A.
pintoi (64 HST) lebih cepat dan berbeda nyata
dengan perlakuan biomulsa C. pubescens (66
HST), namun lebih lambat dan berbeda nyata
dengan perlakuan MPHP (51 HST). Umur
berbunga pada perlakuan MPHP merupakan
umur yang paling cepat dibandingkan dengan
perlakuan lainnya (Tabel 2). Hal ini sejalan
dengan penelitian Subekti et al. (2010), yang
me-nyatakan bahwa fase tasseling biasa terjadi
saat umur tanaman jagung manis berkisar 45-
52 HST.
Komponen Hasil Produksi Jagung Manis
Komponen hasil produksi jagung manis
sangat dipengaruhi oleh fase pertumbuhan
(vegetatif). Pertumbuhan vegetatif yang baik
pada jagung manis mempengaruhi per-
tumbuhan generatif yang dihasilkan juga baik
(Marliah et al., 2010). Subekti et al. (2010)
dalam penelitiannya menambahkan bahwa
hasil dan bobot biomas jagung yang tinggi
akan diperoleh jika pertumbuhan tanaman
optimal. Rekapitulasi sidik ragam pada Tabel
1 menunjukkan penggunaan berbagi jenis
mulsa berpengaruh nyata terhadap komponen
jagung manis.
Berdasarkan Tabel 4, rata-rata jumlah
tongkol untuk setiap tanaman jagung manis
pada perlakuan biomulsa A. pintoi adalah satu
tongkol. Hal ini sama dan tidak berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya, namun lebih rendah
dan berbeda nyata dengan perlakuan MPHP
(1.5 buah). Panjang tongkol pada perlakuan
biomulsa A. pintoi (13.40 cm) lebih rendah
namun tidak berbeda nyata dengan kontrol
(14.76 cm), sedangkan jika dibandingkan
dengan perlakuan MPHP (17.15 cm), panjang
tegak pada perlakuan biomulsa A. pintoi lebih
rendah dan berbeda nyata.
Peubah lingkar tongkol pada perlakuan
biomulsa A. pintoi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya (Tabel 4), sedangkan
lingkar batang pada perlakuan biomulsa C.
pubescens (9.94 cm) dan C. mucunoides (9.95
cm) lebih rendah dan berbeda nyata dengan
perlakuan MPHP (12.98 cm). Berdasarkan
Tabel 4, rata-rata jumlah baris setiap tongkol
pada perlakuan A. pintoi (9.6 baris) lebih
sedikit dan berbeda nyata dengan kontrol (12.3
baris) dan perlakuan MPHP (13.5 baris),
namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya.
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
8 Fariidah Silmi dan M.A. Chozin
Tabel 4. Pengaruh perlakuan biomulsa pada komponen hasil jagung manis
Perlakuan
Jumlah Tongkol/
Tanaman
(tongkol)x
Panjang
Tongkol
(cm) x
Lingkar
Tongkol (cm)
x
Jumlah Baris/ Tongkol
(baris)x
VegetasiAlami 1.0b 14.17bc 11.78ab 12.1ab
Kontrol 1.0b 14.76ab 12.44ab 12.3a
MPHP 1.5a 17.15a 12.98a 13.5a
A. pintoi 1.0b 13.40bc 10.73ab 9.6bc
C. pubescens 1.0b 12.09bc 9.94b 8.5c
C. mucunoides 1.0b 11.41c 9.95b 9.3c
Keterangan: x Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf uji 5%
Tabel 5. Pengaruh perlakuan biomulsa terhadap rata-rata hasil jagung manis
Perlakuan
Bobot Jagung
Berkelobot (g)
x
Bobot Jagung
Tanpa Klobot
(g)x
Brangkasan Basah
(per tanaman
contoh (g)x)
Brangkasan kering
(per tanaman contoh
(g)x)
Vegetasi Alami 90b 66bc 104c 21.84c
Kontrol 133b 96b 184b 59.39b
MPHP 338a 189a 350a 104.27a
A. pintoi 85b 54c 108bc 37.51bc
C. pubescens 67b 43c 107bc 33.91bc
C. mucunoides 69b 45c 109bc 30.59bc
Keterangan: x Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf uji 5%.
Peubah bobot jagung berkelobot pada
perlakuan biomulsa A. pintoi (85 g) lebih
rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan
MPHP (338 g), namun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya (Tabel 5). Rata-rata
bobot jagung tanpa klobot setiap tanaman pada
perlakuan biomulsa A. pintoi (54 g) lebih
rendah dan berbeda nyata dengan kontrol (96
g) dan perlakuan MPHP (189 g).
Rata-rata bobot brangkasan basah dan
brangkasan kering jagung manis dapat dilihat
pada Tabel 5 Bobot brangkasan basah pada
perlakuan biomulsa A. pintoi (108 g) lebih
rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan
MPHP (350 g), namun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya (Tabel 5). Begitu
juga bobot brangkasan kering, pada perlakuan
A. pintoi (37.51 g) lebih rendah dan berbeda
nyata dengan perlakuan MPHP (104.27 g).
Bobot brangkasan kering pada perlakuan
MPHP paling tinggi dan berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya.
KESIMPULAN
Penggunaan biomulsa mempengaruhi
pergeseran jenis gulma. Biomulsa A. pintoi
lebih baik dalam menekan gulma golongan
rumput dibandingkan dengan C. pubescens
dan C. mucunoides. Pertumbuhan komponen
hasil dan hasil jagung manis tidak berbeda
nyata antara perlakuan biomulsa A. pintoi, C.
pubescens, dan C. mucunoides. Perlakuan
terbaik dalam mendukung komponen hasil dan
hasil ialah mulsa plastic hitam pekat.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin, R. 2010. Penggunaan kacang hias
(Arachis pintoi) sebagai biomulsa pada
budidaya tomat (Lycopersicon esculentum
M.) skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Balittan. 2004. Kacang hias (Arachis pintoi) pada usaha tani lahan. http://balittanah.
litbang.deptan.go.id.html.[14 November
2012].
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 9
Bilman, W.S. 2010. Analisis pertumbuhan
tanaman jagung manis (Zea mays
saccharata), pergeseran komposisi gulma
pada beberapa jarak tanam jagung dan
beberapa frekuensi pengolahan tanah. J.
Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 3(1):
25-30.
Febrianto, Y. 2012. Pengaruh jarak tanam dan
jenis stek terhadap kecepatan penutupan
Arachis pintoi Krap. & Greg. sebagai
biomulsa pada pertanaman tomat
(Lycopersicon esculentum M.) skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hamdani, J.S. 2008. Pengaruh jenis mulsa
terhadap pertumbuhan dan hasil tiga
kultivar kentang (Solanum tuberosum
L.) yang ditanam di dataran medium. J.
Agron. Indonesia. 37(1): 14-19.
Kartikawati, L.D., S. Titin, T.S. Husni. 2011.
Pengaruh aplikasi pupuk kandang dan
tanaman sela (Crotalaria juncea L) pada
gulma dan pertanaman jagung (Zea mays L) skripsi. Universitas Brawijaya.
10 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi
Perubahan Warna Kulit Buah Tiga Varietas Jeruk Keprok
dengan Perlakuan Degreening dan Suhu Penyimpanan
Skin Color Changes on Three Varieties of Tangerines with Degreening and Storage Temperature
Treatments
Hanifah Muthmainnah1, Roedhy Poerwanto1* dan Darda Efendi1
Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014
ABSTRACT
Color is the main quality that determines the level of demand for citrus. Consumer prefers orange citrus, where as green citrus have high productivity in Indonesia. It causes local citrus can
not compete with imported citrus. One way that can make local citrus compete with import citrus is
by improving of colour quality through degreening. This research was conducted to study the effect of degreening and storage temperature on color changes of tangerine peel. Research was conducted
from June until July 2013 at the Laboratory of Center for Tropical Horticulture Studies, IPB. This research used a randomized complete factorial design group 2 factors with 3 replications. The first
factor is degreening temperature (18 0C and room temperature), second factor is storage
temperature (18 0C and room temperature). The results showed that interaction of degreening and storage temperature significantly affected skin coloration. Degreening treatment 18 0C and room
temperature storage on all three varieties of tangerines have the highest Citrus Colour Index (CCI)
value at 15 HSP. The higher value of Citrus Colour Index, the higher orange skin coloration produced.
Key words : degreening temperature, orange, storage temperature, value of Citrus Color Index.
ABSTRAK
Warna merupakan kualitas utama yang menentukan tingkat permintaan konsumen terhadap
buah jeruk. Konsumen lebih menyukai jeruk berwarna jingga, padahal di Indonesia jeruk yang tinggi
produktivitasnya adalah jeruk berwarna hijau. Hal ini menyebabkan jeruk lokal kalah bersaing
dengan jeruk impor. Salah satu cara supaya jeruk lokal dapat bersaing dengan jeruk impor adalah
dengan melakukan degreening. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efek degreening dan
suhu penyimpanan terhadap perubahan warna kulit jeruk keprok. Penelitian dilaksanakan dari bulan
Juni hingga Juli 2013 di Laboratorium Pusat Kajian Hortikultura Tropika, IPB. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) Faktorial dengan dua faktor dan tiga
ulangan. Faktor pertama adalah suhu degreening (18 0C dan suhu ruang), faktor kedua adalah suhu
simpan (18 0C dan suhu ruang). Hasil penelitian menunjukkan interaksi suhu degreening dan suhu
simpan nyata pada perubahan warna. Perlakuan degreening suhu 18 0C dan penyimpanan suhu ruang
pada ketiga varietas jeruk keprok memiliki nilai Citrus Colour Index (CCI) tertinggi dibandingkan
perlakuan lainnya pada 15 HSP. Semakin tinggi nilai CCI, maka warna kulit jeruk yang dihasilkan
semakin jingga.
Kata kunci: jingga, nilai Citrus Color Index, suhu degreening, suhu penyimpanan.
PENDAHULUAN
Jeruk mempunyai nilai ekonomi dan
mengandung gizi yang cukup tinggi. Jeruk
dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun
olahan. Permintaan konsumen terhadap buah
jeruk semakin meningkat disebabkan oleh
peningkatan jumlah penduduk, pendapatan
1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
(Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
Telp. & Faks. 62-251-8629353 *e-mail untuk korespondensi: [email protected]
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
Perubahan Warna Kulit Buah….. 11
dan kesadaran masyarakat terhadap nilai gizi.
Data BPS (2012) produksi jeruk lokal mencapai
1 611 juta ton. Deptan (2013) pada bulan Juli
2013 volume impor jeruk mencapai 2 230 ton
sedangkan ekspor jeruk hanya 73 ton. Standar
konsumsi buah yang ditetapkan Food and Agriculture Organization (FAO) sebesar 65.75
kg per kapita per tahun, jika 10% dari jumlah
standar FAO tersebut adalah buah jeruk maka
dengan jumlah penduduk 237 juta jiwa (BPS,
2010) akan dibutuhkan 1 422 juta ton per
tahun (Balitjestro, 2010). Hal ini menunjukkan
seharusnya produksi jeruk nasional dapat
memenuhi kebutuhan konsumsi jeruk dalam
negeri. Di Indonesia jeruk yang tinggi produk-
tivitasnya ialah jeruk berwarna hijau. Warna
jeruk yang tetap hijau disebabkan kandungan
pigmen klorofil yang tinggi, dan perombakan
klorofil berjalan lambat. Warna hijau pada
jeruk merupakan hal yang tidak dikehendaki
konsumen karena mengurangi daya tarik
konsumen. Hal ini disebabkan oleh anggapan
masyarakat bahwa jeruk berwarna hijau mem-
punyai citarasa yang kurang baik dan memberi
kesan bahwa jeruk belum matang.
Warna jeruk merupakan salah satu
kualitas utama yang terdiri atas akumulasi
karotenoid dan derivatif C30 apocarotenoids.
Pembentukan warna jingga pada kulit jeruk
disebabkan oleh dua zat warna, yaitu β-citraurin
dan criptoxanthin. β-citraurin membuat warna
kulit jeruk menjadi kemerahan, sedangkan
criptoxanthin membuat warna kulit jeruk
menjadi kuning. Degreening pada suhu ruang
28-29 0C zat warna yang terbentuk hanya
criptoxanthin sehingga seringkali jeruk yang
dihasilkan berwarna kuning. Degreening pada
suhu rendah 18-20 0C menyebabkan β-citraurin dan criptoxanthin terbentuk secara bersamaan
sehingga warna jingga kemerahan dapat di-
hasilkan (Stewart and Wheaton, 1971).
Riyanti (2005) menyatakan bahwa semakin
kuning atau jingga warna kulit jeruk, maka
permintaan semakin meningkat. Hal ini di-
buktikan oleh banyaknya konsumen yang lebih
memilih mengkonsumsi jeruk impor karena
memiliki penampilan yang lebih menarik yakni
berkulit jingga. Para produsen atau distributor
jeruk perlu mengubah warna jeruk yang akan
dipasarkan menjadi jingga untuk memenuhi
permintaan konsumen, salah satu caranya
dengan melakukan degreening pada jeruk
dengan menggunakan etilen/ethepon, sehingga
warna hijau berubah menjadi jingga.
Penyimpanan suhu rendah dapat meng-
hambat kerusakan fisiologis, memperlambat
transpirasi dan respirasi, mengurangi kehilangan
air, serta menghambat aktivitas mikroorganisme
pengganggu sehingga mutu buah sampai ke
tangan konsumen masih tetap terjaga dengan
baik (Safaryani et al., 2007). Penyimpanan suhu
rendah juga dapat memperpanjang mutu fisik
(warna dan penampilan/kesegaran, tekstur dan
citarasa) dan nilai gizi. Penelitian ini bertujuan
untuk membuktikan pengaruh suhu degreening
dan suhu penyimpanan terhadap perubahan
warna kulit tiga varietas jeruk keprok.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Labora-
torium Pusat Kajian Hortikultura IPB.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni
sampai dengan bulan Juli 2013. Bahan yang
digunakan pada penelitian ini adalah tiga
varietas jeruk keprok (Chokun, Fremont, Batu
55), larutan etephon konsentrasi 120 ppm,
indikator pp, larutan NaOH 0.1N, dan aquades.
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah
lemari pendingin, colour reader, pH meter,
hand refractometer, hand penetrometer,
timbangan analitik, buret, erlenmeyer, labu
takar, gelas ukur, pipet volume, pipet tetes,
orange juicer, dan pisau.
Penelitian ini mengunakan Rancangan
Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) Faktorial 2
faktor, yaitu: suhu degreening (suhu 18 0C dan
suhu ruang) dan suhu simpan (suhu 18 0C dan
suhu ruang). Terdapat 12 perlakuan yang
diamati, setiap perlakuan diulang sebanyak 3
kali, sehingga terdapat 36 satuan percobaan.
Setiap perlakuan diamati 35-40 jeruk dengan 3
jeruk sampel pengamatan warna. Data yang
diperoleh diuji menggunakan uji F (ANOVA)
taraf 5% dan data skoring warna diuji meng-
gunakan uji Friedman kemudian dilanjutkan
dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test
(DMRT) pada taraf 5%.
Ketiga varietas jeruk yang digunakan
dalam penelitian ini dipanen dari perkebunan
jeruk di daerah Tapos, Ciawi, Bogor. Grading
dilakukan setelah panen, buah jeruk dipilih
yang memiliki ukuran sama dan warna seragam.
Jeruk yang terpilih kemudian dicuci, setelah
itu dikeringkan dengan tissue. Jeruk yang telah
dicuci kemudian dimasukkan ke dalam
keranjang, setelah itu dilakukan proses
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
12 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi
degreening. Degreening dilakukan pada suhu
ruang dengan konsentrasi 120 ppm. Jeruk
disemprot satu per satu dengan larutan etephon
secara merata, didiamkan beberapa menit.
Jeruk yang telah disemprot larutan ethephon
kemudian disimpan sebagian pada suhu 18 0C
± 1 0C dan sebagian pada suhu ruang 28 0C ± 1 0C selama 15 jam. Jeruk perlakuan degreening
suhu 18 0C sebagian disimpan pada suhu 18 0C
dan sebagian disimpan pada suhu ruang, jeruk
perlakuan degreening suhu ruang sebagian
disimpan pada suhu 18 0C dan sebagian disimpan
pada suhu ruang. Penyimpanan dilakukan
selama 30 hari. Pengamatan selama penyimpanan
dilakukan setiap hari dan seminggu sekali.
Pengamatan setiap hari, meliputi: nilai Citrus
Color Index (CCI), skoring warna, susut bobot
dan masa simpan. Pengamatan seminggu sekali,
meliputi: kekerasan buah, Padatan Terlarut
Total (PTT), Asam Tertitrasi Total (ATT),
rasio PTT/ATT (Brix: Acid Ratio) dan pH.
Perubahan warna kulit jeruk diamati
setiap hari menggunakan Color Reader selama
30 HSP (Hari Setelah Perlakuan). Menurut
Cuesta et al. (1981), warna kulit jeruk atau
Citrus Color Index (CCI) didapatkan dengan
rumus =1000.a
L.b, dengan L (Luminosity) =
kecerahan, a = perubahan warna hijau ke
merah, b = perubahan warna biru ke kuning.
Nilai CCI<=-5 (hijau gelap), -5<CCI<=0
(hijau), 0<CCI<=3 (hijau kekuningan), 3<
CCI<=5 (kuning kehijauan), 5<CCI<=7 (jingga
kekuningan), 7<CCI<=10 (jingga), CCI>10
(jingga gelap). Perubahan warna kulit pada
ketiga varietas jeruk keprok diamati pada tiga
titik yang mulai beubah warna, yaitu: ujung
buah, ekuator, dan pangkal buah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam
seluruh peubah pada Chokun disajikan pada
Tabel 1. Suhu degreening berpengaruh nyata
hanya pada susut bobot dan pH. Suhu simpan
tidak berpengaruh nyata pada semua peubah.
Interaksi antara suhu degreening dan suhu
simpan nyata hanya pada PTT.
Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam
seluruh peubah pada Fremont disajikan pada
Tabel 2. Suhu degreening berpengaruh nyata
pada warna ekuator, warna pangkal buah, dan
susut bobot. Suhu simpan berpengaruh nyata
pada warna ekuator, warna pangkal buah,
susut bobot, PTT dan pH. Interaksi antara
suhu degreening dan suhu simpan nyata pada
semua peubah yang diamati kecuali warna
ujung buah, kekerasan buah, dan ATT.
Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam
seluruh peubah pada Batu 55 disajikan pada
Tabel 3. Suhu degreening berpengaruh nyata
hanya pada warna ujung buah dan pH. Suhu
simpan berpengaruh nyata pada warna ekuator,
susut bobot, dan pH. Interaksi antara suhu
degreening dan suhu simpan nyata hanya pada
warna ujung buah dan susut bobot.
Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam
semua peubah pada Chokun
Peubah D S D X S KK (%)
Warna Ujung
Buah tn tn tn 5.46
Warna Ekuator tn tn tn 10.11
Warna Pangkal
Buah tn tn tn 10.11
Susut Bobot (%) * tn tn 5.61
Kekerasan Buah
(kg detik-1) tn tn tn 39.30
PTT (oBrix) tn tn ** 5.75
ATT (%) tn tn tn 31.66
pH ** tn tn 3.18
Keterangan: tn= tidak berbeda nyata, *= berbeda nyata
pada taraf 5%, **= berbeda nyata pada taraf
1%, D= Suhu degreening, S= Suhu simpan,
PTT= Padatan terlarut total, ATT= Asam
tertitrasi total
Tabel 2. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam
semua peubah pada Fremont
Peubah D S D X S KK (%)
Warna Ujung
Buah tn tn tn 19.88
Warna Ekuator ** ** ** 7.79
Warna Pangkal
Buah ** ** ** 10.49
Susut Bobot (%) * ** ** 3.24
Kekerasan Buah
(kg detik-1) tn tn tn 25.32
PTT (oBrix) tn ** ** 4.54
ATT (%) tn tn tn 7.58
pH tn ** * 7.74
Keterangan: tn= tidak berbeda nyata, *= berbeda nyata
pada taraf 5%, **= berbeda nyata pada
taraf 1%, D= Suhu degreening, S= Suhu
simpan, PTT= Padatan terlarut total, ATT=
Asam tertitrasi total
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
Perubahan Warna Kulit Buah….. 13
Tabel 3. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam
semua peubah pada Batu 55
Peubah D S D X S KK
(%)
Warna Ujung
Buah * tn ** 6.51
Warna Ekuator tn * tn 7.48
Warna Pangkal
Buah tn tn tn 6.87
Susut Bobot (%) tn ** * 10.29
Kekerasan Buah
(kg detik-1) tn tn tn 50.97
PTT (oBrix) tn tn tn 9.25
ATT (%) tn tn tn 9.59
pH * ** tn 1.89
Keterangan: tn= tidak berbeda nyata, *= berbeda nyata
pada taraf 5%, **= berbeda nyata pada taraf
1%, D= Suhu Degreening, S= Suhu
simpan, PTT= Padatan terlarut total, ATT=
Asam tertitrasi total
Perubahan Warna Kulit
Warna Ujung Buah
Gambar 1 menunjukkan nilai CCI pada
ujung buah. Perlakuan degreening suhu 18 0C
dan penyimpanan suhu ruang pada ketiga
varietas jeruk keprok memiliki nilai CCI yang
paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainnya pada 15 HSP. Pada Chokun semua
perlakuan berubah menjadi warna jingga pada
20 HSP. Pada Chokun perlakuan penyimpanan
suhu ruang menunjukkan perubahan warna
menjadi jingga lebih cepat dibandingkan
dengan penyimpanan suhu 18 0C. Pada Fremont
perlakuan degreening dan penyimpanan suhu
18 0C berubah warna menjadi jingga pada 25
HSP.
Pada Fremont perlakuan degreening suhu
18 0C dan penyimpanan suhu ruang berubah
warna menjadi jingga pada 15 HSP. Pada
Fremont perlakuan degreening dan penyimpanan
suhu ruang berubah warna menjadi jingga pada
20 HSP. Pada Fremont perlakuan degreening suhu
ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah
warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada
Fremont perlakuan penyimpanan suhu ruang
menunjukkan perubahan warna menjadi jingga
lebih cepat dibandingkan dengan penyimpanan
suhu 18 0C.
Pada Batu 55 perlakuan degreening dan
penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 10 HSP. Pada Batu 55
perlakuan degreening suhu 18 0C dan pe-
nyimpanan suhu ruang berubah warna menjadi
jingga pada 5 HSP. Pada Batu 55 perlakuan
degreening dan penyimpanan suhu ruang
berubah warna menjadi jingga pada 15 HSP.
Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu ruang
dan penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Batu 55
perlakuan penyimpanan suhu ruang menunjukkan
perubahan warna menjadi jingga lebih cepat
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.
Gambar 1. Nilai CCI pada ujung buah. A)
Chokun, B) Fremont, C) Batu 55
perlakuan [degreening dan penyim-
panan suhu 18 0C ( ), degreening suhu 18 0C dan penyimpanan
suhu ruang ( ), degreening dan
penyim-panan suhu ruang ( ),
degreening suhu ruang dan
penyimpanan suhu 18 0C ( X ), dan
( ) standar jingga.
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
14 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi
Warna Ekuator
Gambar 2 menunjukkan nilai CCI pada
ekuator. Perlakuan degreening suhu 18 0C dan
penyimpanan suhu ruang pada ketiga varietas
jeruk keprok memiliki nilai CCI yang paling
tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya
pada 15 HSP. Pada Chokun semua perlakuan
berubah warna menjadi jingga pada 20 HSP.
Pada Chokun penyimpanan suhu ruang
menunjukkan perubahan warna menjadi jingga
lebih cepat dibandingkan dengan penyimpanan
suhu 18 0C. Pada Fremont perlakuan degreening
dan penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Fremont
penyimpanan suhu ruang berubah warna
menjadi jingga pada 15 HSP. Pada Fremont
perlakuan degreening suhu ruang dan
penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Fremont
penyimpanan suhu ruang menunjukkan
perubahan warna menjadi jingga lebih cepat
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C. Pada Batu 55 penyimpanan suhu 18 0C
berubah warna menjadi jingga pada 10 HSP.
Pada Batu 55 penyimpanan suhu ruang berubah
warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Batu
55 penyimpanan suhu ruang menunjukkan
perubahan warna menjadi jingga lebih cepat
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.
Gambar 2. Nilai CCI pada ujung buah. A)
Chokun, B) Fremont, C) Batu 55
perlakuan [degreening dan penyim-
panan suhu 18 0C ( ), degreening
suhu 18 0C dan penyimpanan suhu
ruang ( ), degreening dan penyim-
panan suhu ruang ( ), degreening
suhu ruang dan penyimpanan suhu
18 0C ( X ), dan ( ) standar jingga.
Warna Pangkal Buah
Gambar 3 menunjukkan nilai CCI pada
ujung tangkai. Perlakuan degreening suhu 18 0C dan penyimpanan suhu ruang pada ketiga
varietas memiliki nilai CCI yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada
10 HSP. Pada Chokun semua perlakuan berubah
warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada
Chokun perlakuan penyimpanan suhu ruang
lebih cepat perubahan warnanya menjadi jingga
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.
Pada Fremont perlakuan degreening dan
penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Fremont
perlakuan degreening suhu 18 0C dan pe-
nyimpanan suhu ruang berubah warna menjadi
jingga pada 10 HSP. Pada Fremont perlakuan
degreening dan penyimpanan suhu ruang
berubah warna menjadi jingga pada 15 HSP.
Pada Fremont perlakuan degreening suhu
ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah
warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada
Fremont perlakuan penyimpanan suhu ruang
lebih cepat perubahan warnanya menjadi jingga
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.
Pada Batu 55 perlakuan degreening dan
penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 15 HSP. Pada Batu 55
perlakuan degreening suhu 18 0C dan pe-
nyimpanan suhu ruang berubah warna menjadi
jingga pada 10 HSP. Pada Batu 55 perlakuan
degreening dan penyimpanan suhu ruang
berubah warna menjadi jingga pada 10 HSP.
Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
Perubahan Warna Kulit Buah….. 15
ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah
warna menjadi jingga pada 15 HSP. Pada Batu
55 perlakuan penyimpanan suhu ruang lebih
cepat perubahan warnanya menjadi jingga
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.
Gambar 3. Nilai CCI pada ujung buah. A)
Chokun, B) Fremont, C) Batu 55
perlakuan [degreening dan penyim-
panan suhu 18 0C ( ), degreening
suhu 18 0C dan penyimpanan suhu
ruang ( ), degreening dan penyim-
panan suhu ruang ( ), degreening
suhu ruang dan penyimpanan suhu
18 0C ( X ), dan ( ) standar jingga.
Warna Rataan Ujung, Ekuator dan Pangkal
Buah Jeruk
Gambar 4 menunjukkan nilai CCI dari
rataan ujung, ekuator dan pangkal buah jeruk.
Pada Chokun semua perlakuan berubah warna
menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Chokun
perlakuan penyimpanan suhu ruang lebih
cepat perubahan warnanya menjadi jingga
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C. Pada Fremont perlakuan degreening dan
penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Fremont
perlakuan degreening suhu 18 0C dan pe-
nyimpanan suhu ruang berubah warna menjadi
jingga pada 15 HSP. Pada Fremont perlakuan
degreening dan penyimpanan suhu ruang
berubah warna menjadi jingga pada 15 HSP.
Gambar 4. Nilai CCI pada ujung buah. A)
Chokun, B) Fremont, C) Batu 55
perlakuan [degreening dan penyim-
panan suhu 18 0C ( ), degreening
suhu 18 0C dan penyimpanan suhu
ruang ( ), degreening dan penyim-
panan suhu ruang ( ), degreening
suhu ruang dan penyimpanan suhu
18 0C ( X ), dan ( ) standar jingga.
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
16 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi
Pada Fremont perlakuan degreening suhu
ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah
warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada
Fremont perlakuan penyimpanan suhu ruang
lebih cepat perubahan warnanya menjadi
jingga dibandingkan dengan penyimpanan
suhu 18 0C. Pada Batu 55 perlakuan
degreening dan penyimpanan suhu 18 0C
berubah warna menjadi jingga pada 15 HSP.
Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu 18 0C dan penyimpanan suhu ruang berubah warna
menjadi jingga pada 10 HSP. Pada Batu 55
perlakuan degreening dan penyimpanan suhu
ruang berubah menjadi jingga pada 10 HSP.
Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu
ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah
warna menjadi jingga pada 15 HSP. Pada Batu
55 perlakuan penyimpanan suhu ruang lebih
cepat perubahan warnanya menjadi jingga
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.
Skor Warna Kulit Ketiga Varietas Jeruk
Keprok
Perubahan warna kulit dilihat dari
pengamatan skor warna kulit, semakin jingga
warna kulit semakin tinggi skornya (Tabel 4).
Pengamatan warna CCI menggunakan color
reader pada ketiga titik yang diamati memiliki
nilai yang berbeda dengan pengamatan warna
menggunakan skoring. Hal ini disebabkan
pada pengamatan warna CCI menggunakan
color reader warna yang diamati adalah warna
yang telah berubah menjadi jingga, sedangkan
pengamatan warna menggunakan skoring warna
diamati secara keseluruhan.
Pada Chokun perlakuan penyimpanan
suhu 18 0C masing-masing menunjukkan skor
4 (30 HSP), berwarna jingga kekuningan. Pada
Chokun perlakuan degreening suhu 18 0C dan
penyimpanan suhu ruang menunjukkan skor 3
(30 HSP), berwarna kuning kehijauan. Pada
Chokun perlakuan degreening suhu ruang dan
penyimpanan suhu ruang menunjukkan skor
0.0 (30 HSP), hal ini disebabkan pada
perlakuan ini hanya memiliki satu sampel
berwarna kuning (30 HSP), hal ini disebabkan
pada perlakuan ini hanya memiliki satu sampel
berwarna kuning kehijauan, sedangkan kedua
sampel lainnya telah membusuk.
Pada Fremont perlakuan penyimpanan
suhu ruang masing-masing menunjukkan skor
6.0 (30 HSP), berwarna jingga. Pada Fremon
perlakuan degreening suhu ruang dan pe-
nyimpanan suhu 18 0C menunjukkan skor 6.0
(30 HSP), berwarna jingga. Pada Fremont
perlakuan degreening suhu 18 0C dan
penyimpanan suhu 18 0C pada 30 HSP ketiga
sampelnya membusuk, pada 25 HSP menunjukkan
skor 0.8 karena hanya memiliki satu sampel
yang berwarna kuning kehijauan. Pada Batu
55 perlakuan degreening suhu ruang masing-
masing menunjukkan skor 5 (30 HSP),
berwarna jingga.
Pada Batu 55 perlakuan degreening
suhu 18 0C dan penyimpanan suhu 18 0C
menunjukkan skor 3.0 (30 HSP), hal ini di-
sebabkan pada perlakuan ini hanya memiliki dua
sampel berwarna jingga, sedangkan satu sampel
lainnya telah membusuk. Pada Batu 55 per-
lakuan degreening suhu 18 0C dan penyimpanan
suhu ruang pada 30 HSP ketiga sampelnya
telah membusuk, pada 25 HSP kedua sampel
menunjukkan skor 5, berwarna jingga.
Persentase Susut Bobot selama Masa
Penyimpanan 25 HSP
Pengaruh suhu degreening dan suhu
simpan terhadap persentase susut bobot buah
jeruk disajikan pada Tabel 5. Jeruk yang
penyimpanan suhu 18 0C menunjukkan
persentase susut bobot yang lebih rendah
dibandingkan dengan jeruk penyimpanan pada
suhu ruang. Hal ini disebabkan jeruk pe-
nyimpanan suhu 18 0C lebih dapat memper-
tahankan bobot buah serta mengalami transpirasi
dan respirasi yang dibandingkan dengan pe-
nyimpanan suhu ruang. Pada Chokun persen-
tase susut bobot tertinggi terdapat pada perlakuan
degreening suhu 18 0C dan penyimpanan suhu
ruang, sedangkan persentase susut bobot terendah
terdapat pada perlakuan degreening suhu ruang
dan penyimpanan suhu 18 0C. Pada Fremont
persentase susut bobot tertinggi terdapat pada
perlakuan degreening dan penyimpanan suhu
ruang, sedangkan persentase susut bobot
terendah terdapat pada perlakuan degreening suhu ruang dan penyimpanan suhu 18 0C. Pada
Batu 55 persentase susut bobot tertinggi
terdapat pada pada perlakuan degreening dan
penyimpanan suhu ruang, sedangkan persentase
susut bobot terendah terdapat pada perlakuan
degreening suhu ruang dan penyimpanan suhu
18 0C.
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
Perubahan Warna Kulit Buah….. 17
Tabel 4. Skor warna kulit buah jeruk dari semua kombinasi perlakuan
Tabel 5. Persentase susut bobot selama penyimpanan 25 HSP
Kombinasi Susut Bobot (%)
5 HSP 10 HSP 15 HSP 20 HSP 25 HSP
Chokun
18 0C, 18 0C 6.5 12.6a 18.6ab 24.5ab 30.6
18 0C, ruang 6.9 12.7a 19.4a 25.5a 32.4
ruang, ruang 7.3 12.7a 18.7ab 24.1ab 29.2
ruang, 18 0C 5.1 8.9b 14.9b 21.3b 27.9
Fremont
18 0C, 18 0C 6.5b 12.7ab 20.0ab 26.9a 33.6ab
18 0C, ruang 7.4ab 13.2ab 19.6ab 25.3ab 31.5b
ruang, ruang 10.3a 16.6a 22.7a 29.1a 36.9a
ruang, 18 0C 4.6b 9.1b 13.4b 18.5b 23.6c
Batu 55
18 0C, 18 0C 4.4c 8.4c 13.4bc 20.3bc 26.3bc
18 0C, ruang 6.7b 12.1b 17.6b 23.1ab 29.2ab
ruang, ruang 8.6a 16.2a 22.5a 28.1a 34.2a
ruang, 18 0C 3.6c 8.5c 12.6c 17.3c 22.3c
Keterangan: aAngka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak berbeda pada taraf uji DMRT 5%
A
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
18 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi
Kekerasan Buah dan Analisis Kimiawi
Kekerasan buah dan analisis kimiawi
diamati selama seminggu sekali. Tabel 6
menunjukkan kekerasan buah dan analisis
kimiawi pada penyimpanan 2 MSP (Minggu
Setelah Perlakuan).
Tabel 6. Kekerasan Buah dan Analisis Kimiawi
Perlakuan Kekerasan Buah (kg
detik-1) ATT (%) PTT (°Brix)
Rasio
PTT/ATT pH
Chokun
18 0C, 18 0C 0.91a 0.47 11.77 25.11 4.07b
18 0C, ruang 0.56b 0.46 11.83 25.65 5.07a
ruang, ruang 0.76ab 0.53 12.27 23.21 4.99a
ruang, 18 0C 0.87ab 0.47 11.97 25.32 4.87a
Fremont
18 0C, 18 0C 1.41a 0.50 10.37 20.80 4.48
18 0C, ruang 0.87b 0.70 11.40 16.29 5.01
ruang, ruang 0.85b 0.70 10.13 14.43 4.99
ruang, 18 0C 1.06b 0.69 10.27 14.93 4.98
Batu 55
18 0C, 18 0C 0.89 0.47 9.33 19.79 4.68b
18 0C, ruang 0.69 0.41 9.97 24.15 5.13a
ruang,ruang 0.79 0.49 10.17 20.82 5.21a
ruang, 18 0C 0.74 0.40 9.27 23.25 4.62b
Keterangan: aAngka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak berbeda pada taraf uji 5% (uji selang
berganda Duncan), PTT= Padatan terlarut total, ATT= Asam tertitrasi total.
Masa Simpan Buah
Mutu jeruk mengalami kemunduran
selama penyimpanan 30 HSP. Mutu simpan
buah sangat erat kaitannya dengan proses
respirasi dan transpirasi. Hal ini disebabkan
susut pascapanen, seperti susut fisik yang
diukur dengan bobot, susut kualitas karena
perubahan wujud (penampilan), cita rasa, warna
atau tekstur yang menyebabkan bahan pangan
kurang disukai konsumen, dan susut nilai gizi
yang berpengaruh terhadap kualitas buah.
Penyimpanan suhu rendah dapat memper-
tahankan kualitas buah, karena mutu simpan
buah akan bertahan lama jika laju respirasi
rendah dan transpirasi dapat dicegah dengan
cara meningkatkan kelembaban relatif dan
menurunkan suhu udara. Utama et al. (2011)
melaporkan penggunaan suhu dingin (12±1.5 0C) mampu mengendalikan laju metabolisme
dan memperpanjang masa simpan buah
manga arumanis. Hal serupa disampaikan
Julianti et al. (2013) komposisi perpaduan gas
yang terbaik untuk mempertahankan mutu
rambutan binjai adalah 4-6% O2, 2-4% CO2
pada suhu 10 0C. Penyimpanan suhu ruang
menunjukkan adanya penurunan kualitas pada
buah jeruk hal ini disebabkan oleh transpirasi
yang berlebihan karena adanya perbedaan
kadar air antara bahan dengan lingkungan
tempat penyimpanan. Transpirasi menyebabkan
penampilan buah menjadi kurang menarik,
susut bobot, keriput, dan kehilangan kesegaran
yang akan mengakibatkan penurunan mutu
komoditi tersebut (Pantastico, 1973). Penyim-
panan suhu ruang juga terdapat cendawan
yang menyerang buah jeruk. Golan (2001)
menyatakan bahwa keunggulan suhu rendah
adalah menurunkan aktivitas enzim-enzim
respirasi dengan enzim lain pada jaringan
tumbuhan tingkat tinggi, bakteri, dan
cendawan. Cendawan yang terdapat pada
penelitian ini adalah antraknosa (Colleto-
trichum gloeosporioides), busuk alternaria
(Alternaria citri) dan Phytophthora brown rot
(Phytophthora sp.).
Buah jeruk yang digunakan untuk
sampel pengamatan warna beberapa diantaranya
membusuk. Jumlah buah busuk selama pe-
nyimpanan 18 HSP sampai 30 HSP sebanyak
12 buah. Pada Chokun perlakuan degreening
dan penyimpanan suhu ruang sebanyak 2
buah sampel membusuk masing-masing pada
18 HSP dan 23 HSP. Pada Fremont perlakuan
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
Perubahan Warna Kulit Buah….. 19
degreening dan penyimpanan suhu 18 0C
sebanyak 3 buah sampel membusuk pada 23
HSP. Pada Fremont perlakuan degreening
suhu 18 0C dan penyimpanan suhu ruang
sebanyak 1 buah sampel membusuk pada 28
HSP. Pada Fremont perlakuan degreening dan
penyimpanan suhu ruang sebanyak 1 sampel
membusuk 23 HSP. Pada Fremont perlakuan
degreening suhu ruang dan penyimpanan
suhu 18 0C sebanyak 1 sampel membusuk
pada 29 HSP. Pada Batu 55 perlakuan
degreening dan penyimpanan suhu 18 0C
sebanyak 1 buah sampel membusuk pada 28
HSP. Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu
18 0C dan penyimpanan suhu ruang sebanyak
3 buah sampel yang membusuk dengan 1
sampel membusuk pada 26 HSP dan 2 sampel
membusuk pada 30 HSP. Masa simpan terlama
dimiliki oleh varietas Chokun, semakin banyak
buah yang busuk maka semakin rendah masa
simpannya dan sebaliknya.
KESIMPULAN
Perlakuan degreening suhu 18 0C dan
penyimpanan suhu ruang pada ketiga varietas
menunjukkan perubahan warna menjadi
jingga yang lebih cepat dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Pada Chokun interaksi
antara suhu degreening dan suhu simpan
nyata hanya pada PTT. Pada Fremont interaksi
antara suhu degreening dan suhu simpan nyata
pada semua peubah yang diamati kecuali
warna ujung buah, kekerasan buah, dan ATT.
Pada Batu 55 Interaksi antara suhu degreening
dan suhu simpan nyata hanya pada warna
ujung buah dan susut bobot.
SARAN
Penelitian menggunakan ethephon
sebaiknya dengan konsentrasi diantara 2-5 ml
l-1 air atau 500-1000 ppm. Degreening sebaiknya
dilakukan selama 2-3 hari. Konsentrasi dan
lama waktu degreening tersebut disarankan
karena ethephon pada konsentrasi tersebut
menghasilkan etilen yang lebih tinggi sehingga
lebih cepat menghasilkan warna jingga pada
jeruk. Hal ini akan menyebabkan perubahan
warna yang dihasilkan lebih baik dan dalam
waktu yang lebih singkat.
DAFTAR PUSTAKA
[Balitjestro] Badan Penelitian Tanaman Jeruk
dan Buah Subtropika. 2008. Trend
Jeruk Impor dan Posisi Indonesia
sebagai Produsen Jeruk Dunia.
http//balitjestro.litbang.deptan.go.id. [7
November 2013].
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi
Buah-buahan di Indonesia 1995-2012.
http//www.bps.go.id. [7 November 2013].
Cuesta, M.J., J. Cuquerella, J.M. Javaga.
1981. Determination of Color Index for
Citrus Fruit Degreening. Proceeding
International Society Citriculture Vol
2: 750-753.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2013. Buletin
Bulanan Indikator Makro Sektor
Pertanian (Oktober 2013). http//pusdatin.
deptan.go.id. [7 November 2013].
Dixon, W.J., F.J. Massey. 1991. Pengantar
Analisis Statistik. Edisi Ke-4. Samiyoyono
S.K., penerjemah. Soejoeti Z., editor.
UGM Pr. Yogyakarta.
Golan, R.B. 2001. Postharvest Disease of
Fruit and Vegetables Development and
Control. Elsevier Science B.V. Amsterdam.
Gomez, K.A., A.A. Gomez. 2007. Prosedur
Statistik untuk Penelitian Pertanian.
Edisi Ke-2. Penerjemah E. Sjamsuddin,
J.S. Baharsjah, penerjemah. UI Pr.
Jakarta.
Julianti, E. Ridwansyah, E. Yusraini, I. Suhaidi.
2013. Pengaruh penyimpanan dengan
atmosfir terkendali terhadap mutu buah
rambutan varietas Binjai. J. Hort.
Indonesia. 4(2): 95-98.
Mitra, S.K. 1997. Postharvest Physiology and
Storage of Tropical and Subtropical
Fruits. CABI Publishing. London.
Pantastisco, R.B. 1973. Fisiologi Pascapanen
(penanganan dan pemanfaatan buah-
buahan dan sayur-sayuran tropika dan
subtropika). UGM Pr. Yogyakarta.
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
20 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi
Riyanti. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan konsumen terhadap buah
jeruk. Skripsi. Universitas Mercu Buana.
Jakarta.
Safaryani, N., S. Haryanti, E.D. Hastuti. 2007.
Pengaruh suhu dan lama penyimpanan
terhadap penurunan kadar vitamin c
brokoli (Brassica oleracea). Buletin
Anatomi dan Fisiologi 15(2): 39-46.
Stewart, I., T.A. Wheaton. 1971. Effect of
ethylene and temperature on carotenoid
pigmentation of Citrus peel. Florida
Agricultural Experiment Station Journal.
4151: 264-266.
Sumiasih, I.H. 2011. Studi perubahan kualitas
pascapanen buah manggis (Garcinia
mangostana L.) pada beberapa stadia
kematangan dan suhu simpan. Tesis.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Utama, I.M.S., Y. Setio, I.A.R.P. Puja, N.S.
Antara. 2011. Kajian atmosfir terkendali
untuk memperlambat penurunan mutu
buah mangga Arumanis selama penyim-
panan. J. Hort. Indonesia. 2(1): 27-33.
J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.
Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro….. 21
Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro Jeruk Besar (Citrus
maxima (Burm.) Merr.) cv. Nambangan terhadap Osmotikum
dan Retardan
In Vitro Growth Response of Pummelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.) cv.
Nambangan to Osmoticum and Retardant
Iswari S. Dewi1*, Gani S. Jawak, Bambang S. Purwoko2, dan M. Sabda1
Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014
ABSTRACT
In vitro conservation has been applied to many species. However, the suppression of explant growth is essential for extending the duration of conservation. The objective of the research was to
study in vitro growth response of pummelo cv. Nambangan to conservation medium containing osmotically active compound (osmoticum) or growth suppressant (retardant). Two sets of
experiments were conducted using randomized complete design and replicated three times. In vitro
shoot with four leaves from pummelo, namely cultivar Nambangan, were used as the plant materials. The treatment in the first experiment was MS + osmoticum (mannitol 0, 20, 40, and 60 g L-1) and in
the second experiment was MS + retardant (paclobutrazol 0, 1, 3 and 5 mg L-1). The results
indicated that senescence of the leaf was induced by 20, 40, and 60 g L-1 of mannitol. The best media in inhibition of growth for pummelo cv. Nambangan was MS + paclobutrazol 1 mg L-1. With this
media, plant was inhibited but grew normally with green leaf and root.
huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Ketika biosintesis GA dihambat, pem-
belahan sel masih terjadi, tetapi pemanjangan
sel tidak terjadi, sehingga tunas dan buku
menjadi lebih pendek (Buchanan et al., 2006;
Keatmetha et al., 2006). Penelitian Sunarlim et al. (2004) pada tanaman gembili menunjukkan
pemberian paclobutrazol sampai dengan kon-
sentrasi 5 mg L-1 berpengaruh nyata terhadap
peubah tinggi tanaman pada pengamatan tiga
dan enam bulan, sehingga dapat digunakan
sebagai media konservasi.
Pertambahan Daun
Pada pengamatan terhadap pertambahan
daun, hanya perlakuan kontrol atau tanpa
mannitol (M0) yang mengalami pertambahan
daun (Tabel 4). Aliran nutrisi yang terhambat
akibat cekaman osmotik tampak belum cukup
untuk menginduksi pembentukan daun. Hal ini
ditunjukkan oleh perlakuan mannitol 20, 40 dan
60 g L-1 yang sama sekali tidak meningkatkan
jumlah daun. Namun, pada saat pengamatan 24
MST jumlah daun pada perlakuan kontrol juga
mengalami penurunan akibat daun mengalami
kerontokan.
Berlawanan dengan perlakuan mannitol,
pada perlakuan paclobutrazol pertambahan daun
tidak berbeda nyata (Tabel 1). Hal ini me-
nunjukkan bahwa paclobutrazol tidak mem-
pengaruhi pembentukan daun. Pada perlakuan
paclobutrazol 1 dan 3 mg L-1 jumlah daun
terus meningkat, sementara pada perlakuan
paclobutrazol 5 mg L-1 pertambahan jumlah
daun hanya terjadi pada 4 MST yang se-
lanjutnya menurun. Yelnititis dan Bermawie
(2001) menemukan hal serupa, yaitu pemberian
paclobutrazol 5 mg L-1 pada media konservasi
lada menurunkan jumlah daun. Pada penelitian
ini saat pengamatan 24 MST semua daun bahkan
sudah gugur pada perlakuan paclobutrazol 5
mg L-1 (Gambar 1).
Tabel 4. Nilai rataan pertambahan jumlah daun kultivar Nambangan pada media mengandung
mannitol (M)
Perlakuan Pertambahan Jumlah Daun
4 MST 8 MST 12 MST 16 MST 20 MST 24 MST
M0 2.00a 1.99a 2.22a 2.44a 2.89a 2.66a
M1 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b
M2 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b
M3 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b Keterangan: Mannitol (M): 0 g L-1 (M0), 20 g L-1 (M1), 40 g L-1 (M2), 60 g L-1 (M3); angka-angka yang diikuti huruf
yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.
Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro….. 25
Keterangan: P0= tanpa paclobutrazol, P1= 1 mg L-1,
P2= 3 mg L-1, P3= 5 mg L-1
Gambar 1. Pengaruh paclobutrazol terhadap
pertambahan daun jeruk besar cv.
Nambangan in vitro
Multiplikasi Tunas
Percobaan perlakuan mannitol atau
paclobutrazol pada berbagai taraf konsentrasi
tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata
terhadap peubah jumlah tunas (Tabel 1). Tunas
baru hanya muncul pada perlakuan mannitol
40 mg L-1 saja (Tabel 5). Charoensub dan
Phansiri (2004) mendapatkan bahwa perlakuan
mannitol pada konsentrasi 40 dan 60 g L-1
cenderung menurunkan multiplikasi tunas pada
biakan Plumbago indica.
Pada perlakuan paclobutrazol 1 mg L-1
tunas muncul pada 20 MST sementara pada
perlakuan paclobutrazol 3 mg L-1 dan paclo-
butrazol 5 mg L-1 tunas muncul berturut-turut
pada saat 8 MST dan 12 MST (Tabel 5). Pada
24 MST, walaupun tidak berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya, tunas terbanyak dihasilkan
oleh perlakuan paclobutrazol 1 mg L-1. Syahid
(2007) mendapatkan pada kultur temulawak
perlakuan paclobutrazol 5 mg L-1 nyata me-
nurunkan pertambahan tunas dibandingkan
dengan tanpa paclobutrazol. Namun demikian,
pada penelitian Jala dan Bodhipadma (2012)
dengan konsentrasi paclobutrazol yang sangat
rendah (0.01 mg L-1) ternyata malah menginduksi
multiplikasi tunas dan pembentukan planlet
pada tanaman hias Curcuma species var.
Chattip.
Pertumbuhan Akar
Pada Tabel 1 diperlihatkan bahwa perlakuan
mannitol atau paclobutrazol tidak menunjukkan
adanya pengaruh yang nyata terhadap peubah
jumlah akar. Tampaknya konsentrasi mannitol
(20-60 g L-1) dan paclobutrazol (3-5 mg L-1)
menekan pertumbuhan akar.
Tidak ada akar yang tumbuh pada
perlakuan mannitol, kecuali pada kontrolnya
(M0) saat 16 MST. Perlakuan paclobutrazol
menunjukkan bahwa akar hanya muncul di
media yang diberi paclobutrazol 1 mg L-1,
yaitu pada 8 MST. Namun pada perlakuan
paclobutrazol 1 mg L-1 tersebut juga tidak
terjadi peningkatan jumlah akar sampai akhir
pengamatan pada 24 MST (Tabel 6).
Tabel 5. Nilai rataan pertambahan jumlah tunas kultivar Nambangan pada media mengandung
mannitol (M) atau paclobutrazol (P)
Perlakuan Pertambahan Jumlah Tunas
4 MST 8 MST 12 MST 16 MST 20 MST 24 MST
M0 0.0 0.0 0.0 0.7 1.2 1.2
M1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
M2 0.0 0.0 0.0 0.3 0.7 0.7
M3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
P0 0.3 0.3 0.4 0.7 0.7 0.8
P1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.3 0.5
P2 0.0 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
P3 0.0 0.0 0.3 0.3 0.3 0.3
Keterangan: Mannitol (M): 0 g L-1 (M0), 20 g L-1 (M1), 40 g L-1 (M2), 60 g L-1 (M3); Paclobutrazol (P): 0 mg L-1
(P0), 1 mg L-1 (P1), 3 mg L-1 (P2), 5 mg L-1 (P3); angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada
kolom yang sama di setiap percobaan yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
4 MST 8 MST 12 MST 16 MST 20 MST 24 MST
Pert
am
bah
an
dau
n
P0
P1
P2
P3
J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.
26 Iswari S. Dewi, Gani S. Jawak, Bambang S. Purwoko, dan M. Sabda
Tabel 6. Nilai rataan jumlah akar plantlet kultivar Nambangan pada berbagai media perlakuan
mengandung mannitol (M) atau paclobutrazol (P).
Perlakuan Jumlah Akar
4 MST 8 MST 12 MST 16 MST 20 MST 24 MST
M0 0.0 0.0 0.0 0.3 0.3 0.3
M1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
M2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
M3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
P0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
P1 0.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
P2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
P3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Keterangan: Mannitol (M): 0 g L-1 (M0), 20 g L-1 (M1), 40 g L-1 (M2), 60 g L-1 (M3); Paclobutrazol (P): 0 mg L-1
(P0), 1 mg L-1 (P1), 3 mg L-1 (P2), 5 mg L-1 (P3); angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada
kolom yang sama di setiap percobaan yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Penampilan Biakan pada 24 MST
Penampilan biakan kultivar jeruk besar
cv. Nambangan in vitro merupakan peubah
yang diamati secara visual. Perlakuan mannitol
pada taraf 20, 40 dan 60 g L-1 menunjukkan
ukuran tanaman dan daun yang tidak tampak
berbeda, namun pada saat pengamatan 20
MST daun pada perlakuan mannitol 20, 40 dan
60 g. L-1 sudah menguning, bahkan beberapa
ada yang gugur.
Mannitol dan polyol lainnya, seperti
sorbitol, merupakan gula alkohol yaitu senyawa
berkarbon enam (C6H14O6) yang juga ber-
fungsi sebagai pengendali osmotik atau osmo-
regulator (Buchanan et al., 2006). Konsentrasi
tertentu dari osmotikum tersebut di media in
vitro akan meningkatkan osmolaritas media
dan menyebabkan aliran nutrisi ke dalam
jaringan tanaman terhambat dan menurunkan
laju pembelahan sel (Dewietal, 2010). Peng-
hambatan pertumbuhan akibat perlakuan mannitol
pada penelitian ini ditunjukkan oleh rendahnya
tanaman (Tabel 2) serta tidak munculnya daun
(Tabel 4) dan akar (Tabel 6).
Dengan demikian, plantlet jeruk besar
cv. Nambangan yang hanya dapat bertahan
kurang dari 20 MST (5 bulan) di media
konservasi mengandung mannitol harus di-
subkultur sebelum daun menguning. Hasil
penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa
penambahan mannitol dengan konsentrasi
rendah 2.5 g L-1 pada biakan tanaman buah
pear dapat memperpanjang periode subkultur
lebih dari 3 bulan (Ahmed dan Anjum, 2010).
Berbeda dengan penampilan biakan
dalam percobaan menggunakan mannitol, pada
pengamatan 24 MST penampilan biakan pada
percobaan dengan paclobutrazol tampak lebih
vigor dengan daun-daun yang hijau. Namun
jika dibandingkan dengan kontrol tampak
adanya perbedaan ukuran plantlet dan ukuran
daun dengan perlakuan paclobutrazol 3 dan 5
mg L-1. Ukuran daun pada kedua konsentrasi
tersebut tampak lebih kecil dibandingkan
dengan kontrol yang merupakan media tanpa
paclobutrazol. Selain itu warna daun tampak
semakin hijau seiring dengan peningkatan taraf
konsentrasi yang diberikan. Hal ini berbeda
dengan yang dilaporkan oleh Keatmetha et al.
(2006) dimana biakan tunas manggis sudah
mengalami pencoklatan (browning) pada per-
lakuan paclobutrazol 2.0 mg L-1.
Retardan memang telah lama diketahui
memperlambat terjadinya senesen atau gugur
pada daun tetapi mengurangi ukuran daun
(Rademacher, 2000). Paclobutrazol memang
menghambat pertumbuhan, namun tidak me-
nyebabkan pertumbuhan abnormal, sehingga
walaupun ukuran daun mengecil tetapi tetap
pertumbuhan daun normal. Yang terjadi pada
perlakuan paclobutrazol adalah bertambahnya
ketebalan daun akibat terbentuknya lapisan
parenkima palisade tambahan, sehingga walau-
pun ukuran sel-sel mesophyl daun memendek
dan diameter mengecil tetapi daun menjadi
J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.
Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro….. 27
lebih padat dan tampak semakin hijau
(Nazaruddin et al., 2007). Menurut Keller et
al. (2006) pada prinsipnya konservasi dengan
pertumbuhan minimal menampilkan biakan
yang tetap hidup normal, namun dengan ukuran
organ yang lebih kecil karena pertumbuhan
yang dihambat (retarded). Konservasi jangka
menengah melalui penghambatan pertumbuhan
in vitro pada tanaman buah-buahan, seperti
tanaman pear, akan berhasil ketika periode
subkultur dapat dilakukan minimal dalam 3
bulan (Ahmed dan Anjum, 2010). Hal ini
selain menghemat biaya dan mengurangi laju
kontaminasi juga akan menghindarkan terjadi-
nya mutasi pada plasma nutfah yang disimpan
(Malaurie et al., 1998; Keatmetha et al., 2006).
Oleh karena itu, berdasarkan pengamatan pada
24 MST (6 bulan) terhadap tinggi tunas, per-
tambahan tunas dan daun, ketegaran biakan
secara visual dan munculnya akar, maka per-
lakuan paclobutrazol 1 mg L-1 lebih direkomen-
dasikan dibandingkan perlakuan mannitol untuk
digunakan sebagai media konservasi jeruk
pamelo cv. Nambangan.
KESIMPULAN
Jeruk besar kultivar Nambangan dapat
dikonservasi secara in vitro dengan meng-
induksi pertumbuhan minimal melalui pemberian
paclobutrazol dan mannitol. Namun, pemberian
mannitol tidak direkomendasikan pada media
konservasi walaupun mampu untuk menghambat
laju pertumbuhan tanaman, karena tanaman
cepat mengalami senescence. Berdasarkan tinggi
tunas, pertambahan tunas dan daun, munculnya
akar, serta vigor dan penampilan biakan secara
visual, perlakuan paclobutrazol 1 mg L-1 lebih
direkomendasikan dibandingkan perlakuan
mannitol untuk digunakan sebagai media
konservasi jeruk pamelo cv. Nambangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, M., M.A. Anjum. 2010. In vitro storage
of some pear genotypes with the minimal
growth technique. Turk J. Agric. For. 34:
25-32.
Borges, M., W. Ceiro, S. Meneses, N. Aguilera,
J. V´azquez, Z. Infante, M. Fonseca. 2004.
Regeneration and multiplication of
Dioscorea alata germplasm maintained
in vitro. J. Plant Cell, Tissue and Organ
Culture 76: 87-90.
Buchanan, B.B., W. Gruisem, R.L. Jones. 2006.
Biochemistry and Molecular Biology of
Plants. American Society of Plant Physio-
logists. Maryland, USA.
Chaorensub, R., S. Phansiri. 2004. In vitro
conservation of rose coloured leadwort:
Effect of mannitol on growth of plantlets.
Kasetsart J. Nat. Sci. 38: 97-102.
Deguchi, M., Y. Koshita, M. Gao, R. Tao, T.
Tetsumura, S. Yamaki, Y. Kanayama. 2004.
Engineered sorbitol accumulation induces
dwarfism in Japanese persimmon. J. Plant
Physiol. 161: 1177-1184.
Dewi, I.S., G. Jawak, I.R. Tambunan, M.
Sabda, B.S. Purwoko, W.H. Adil. 2010.
Konservasi in vitro tanaman jeruk besar
(Citrus maxima) cv. Srinyonya
menggunakan osmotikum dan retardan
J. Agrobiogen. 6(2): 84-90.
Engelmann, F. 1991. In vitro conservation of
tropical plant germplasm - a review.
Euphytica. 57: 227-243.
Grout, B.W.W. 1990. In vitro conservation of
germplasm, p. 394-411. In: S.S. Bhojwani
(Ed). Plant Tissue Culture. Elsevier Science
Publishing Company Inc. New York.
Jala, A., K. Bodhipadma. 2012. Low concen-
tration of paclobutrazol induced multiple
shoot and plantlet formation in amethyst
curcuma. J. KMUTNB. 22(3): 505-510.
Keatmetha, W., P. Suksa-Ard, M. Mekanawakul,
S. Te-Chato. 2006. In vitro germplasm
conservation of Garcinia mangostana L.
and Lansium domesticum Corr. Walailak J.
Sci. & Tech. 3(1): 33-50.
Keller, E.R.J., A. Senula, S. Leunufna, M.
Grübe. 2006. Slow growth storage and
cryopreservation-tools to facilitate germplasm
maintenance of vegetatively propagated
crops in living plant collections. Internat.
J. Refrigeration 29: 411-417.
J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.
28 Iswari S. Dewi, Gani S. Jawak, Bambang S. Purwoko, dan M. Sabda
Morphological Characterization of Phalaenopsis Hybrid
Fajar Pangestu1, Sandra Arifin Aziz1*, dan Dewi Sukma1
Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014
ABSTRACT
Orchid is one of ornamental plants that has high aesthetic value and Phalaenopsis hybrid is
one of orchid type famous in Indonesia. Characterization of Phalaenopsis hybrid should be made to
determine similarity or diversity between hybrids and as a basic information on plant breeding
activities. The purpose of this study was to study the morphological character and relationship of five accessions of Phalaenopsis hybrid i.e, four white accessions flowering hybrid, one accession
yellow flowering hybrids and Phalaenopsis amabilis ‘Cidaun’ ecotype. Based on the morphology of
leaves and flowers, two of the four accessions white flowering hybrid have similarity coefficient 1.00. Every Phalaenopsis hybrid clustered together on the similarity coefficient 0.729, but one of
three replications yellow flowering hybrids have similarity coefficient 0.435 with main differences in
leaf shape and flowering types. Phalaenopsis amabilis’ Cidaun’ ecotype have similarity coefficient 0.528 with main differences with Phalaenopsis hybrid in flowers shape and flowering types.
Anggrek merupakan tanaman hias yang memiliki nilai estetika tinggi dan Phalaenopsis hibrida merupakan salah satu jenis anggrek yang terkenal di Indonesia. Keragaman Phalaenopsis
hibrida yang cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan karakterisasi untuk mengetahui kemiripan
ataupun keragaman antar Phalaenopsis hibrida maupun dengan Phalaenopsis spesies asli sebagai
informasi dasar dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mempelajari karakter morfologi dan kekerabatan antara lima aksesi Phalaenopsis hibrida yaitu
empat aksesi hibrida berbunga putih, satu aksesi hibrida berbunga kuning dan Phalaenopsis amabilis
ekotipe ‘Cidaun’. Berdasarkan morfologi daun dan bunga, dua dari empat aksesi hibrida berbunga
putih memiliki koefisien kemiripan 1.00. Semua Phalaenopsis hibrida berkelompok menjadi satu
pada koefisien kemiripan 0.729, sementara satu ulangan dari hibrida berbunga kuning memiliki
koefisien kemiripan 0.435 dengan perbedaan utama pada bentuk daun dan tipe pembungaan.
Phalaenopsis amabilis ekotipe ‘Cidaun’ memiliki koefisien kemiripan 0.528 dengan Phalaenopsis hibrida, perbedaan utama pada bentuk bunga dan tipe pembungaan.
Kata kunci: Koefisien kemiripan, Bunga, daun, karakter morfologi, Phalaenopsis hibrida
PENDAHULUAN
Tanaman hias memiliki arti penting
sepanjang sejarah peradaban manusia. Salah
satu jenis tanaman hias penting di dunia adalah
anggrek. Anggrek dari famili Orchidaceae
merupakan salah satu tumbuhan berbunga
yang banyak tersebar dan beraneka ragam di
dunia. Jenis anggrek yang terdapat di seluruh
dunia berkisar antara 17 000-35 000. Kontri-
busi anggrek Indonesia dalam khasanah anggrek
dunia cukup besar. Sebanyak 20 000 spesies
anggrek yang tersebar di seluruh dunia, 6 000
di antaranya berada di hutan Indonesia
(Widiastoety et al., 1998; Sandra, 2005).
Anggrek merupakan tanaman hias yang
mempunyai nilai estetika tinggi. Bentuk dan
warna bunga serta karakteristik lainnya yang
1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
Telp. & Faks. 62-251-8629353 *e-mail untuk korespondensi: [email protected]
Phalaenopsis. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 63: 67-72.
Yano, S., I. Terashima. 2008. Determination
mechanisms of leaf anatomy and
chloroplast characteristics in sun and
shade leaves. Department of Biology
Graduate School of Science Osaka
University. Toyonaka.
J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.
36 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila
Sumber dan Frekuensi Aplikasi Larutan Hara sebagai
Pengganti AB Mix pada Budidaya Sayuran Daun secara
Hidroponik
Application Frequency and Nutrient Sources as AB Mix Substitution for
Hydroponics Leafy Vegetables
Fita Lita Ramadiani 1* dan Anas D. Susila 1
Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014
ABSTRACT
This study was aimed to determine the frequency and source of nutrient applications on growth and yield of spinach (Ipomoea sp.), caisin (Brassica juncea), and kailan (Brassica oleraceae
var. acephala) in hydroponics. The experiment were arranged in a RCBD (Randomized Completely
Block Design) with two factors, first factor source of nutrient (AB Mix, NPK 15:15:15, and NPK 12:14:12), and second factor is time of application (one time and two time) with four replications so
there are 24 experimental units. The result showed NPK 15:15:15 had similar effect with AB Mix in spinach, caisin, and kailan. With one time frequency of application, the best source of fertilizer is
NPK 15:15:15, while with two time application is AB Mix.
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Perlakuan jenis hara tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap bobot tidak
layak pasar kangkung. Perlakuan jenis hara
NPK 12:14:12 untuk parameter bobot tanaman-1,
bobot 4 tanaman-1, dan bobot layak pasar yang
terkecil diantara NPK 15:15:15 dan AB Mix,
namun warna daun dengan perlakuan NPK
12:14:12 tidak berbeda nyata dengan AB Mix.
KESIMPULAN
Pupuk majemuk NPK 15:15:15 dengan
konsentrasi N yang telah disetarakan dengan
larutan hara AB Mix dapat digunakan sebagai
sumber hara pada budidaya kangkung, caisin,
dan kailan secara hidroponik. Tanaman kangkung
periode I dan periode II yang diberi perlakuan
hara NPK 15:15:15 memiliki pertumbuhan
vegetatif dan hasil panen yang sama dengan
tanaman dengan perlakuan AB Mix. Sama
halnya dengan kangkung, pertumbuhan vege-
tatif dan hasil panen caisin yang diberi
perlakuan NPK 15:15:15 tidak berbeda nyata
dengan AB Mix. Lain halnya dengan kailan,
walaupun pertumbuhan vegetatif dengan per-
lakuan NPK 15:15:15 tidak berbeda dengan
AB Mix, namun untuk hasil panen cenderung
J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.
46 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila
lebih rendah dibanding AB Mix. Hal tersebut
dikarenakan pada saat menjelang panen, tanaman
kailan mendapatkan serangan kutu kebul.
Berdasarkan analisis usaha tani, biaya produksi
NPK 15:15:15 lebih murah dibandingkan AB
Mix dan dari segi kemudahan NPK 15:15:15
lebih mudah didapatkan dibandingkan hara
AB Mix. Pupuk majemuk NPK 12:14:12 tidak
dapat menggantikan AB Mix karena meng-
hasilkan tanaman dengan kualitas yang paling
rendah serta biaya produksi yang lebih mahal.
Frekuensi aplikasi 2 kali menghasilkan tanaman
yang lebih baik dibandingkan frekuensi aplikasi
1 kali, walaupun berdasarkan nilai statistik
tidak berbeda nyata antara frekuensi aplikasi 1
kali dengan frekuensi aplikasi 2 kali. Kom-
binasi perlakuan larutan hara AB Mix dengan
frekuensi aplikasi 2 kali menghasilkan tinggi
tanaman 11.59 cm, bobot tanaman-1 22.85 gram,
bobot layak pasar 71.93 gram, dan bobot daun
tertinggi sebesar 16.57 gram.
SARAN
Perlu penelitian lebih lanjut dengan
frekuensi aplikasi yang lebih beragam. Selain
itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk
mencari kombinasi pupuk majemuk dengan
kandungan NPK mendekati AB Mix.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Sayuran
Indonesia Tahun 2010-2011. Badan Pusat
Statistik. Jakarta.
Capinera, J.L. 2001. Handbook of Vegetable
Pests. Academic Press. Orlando. US.
Kusumawardhani, A., W.D. Widodo. 2003.
Pemanfaatan pupuk majemuk sebagai
sumber hara budidaya tomat secara
hidroponik. Bul. Agron. 31(1): 15-20.
Iqbal, M. 2006. Penggunaan pupuk majemuk
sebagai sumber hara pada budidaya
bayam secara hidroponik dengan tiga
cara fertigasi. Skripsi. Program Studi
Agronomi. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Marwan, M. 2008. Kajian permasalahan
penerapan manajemen mutu terpadu
(Kasus: CV. Putri Segar Lembang, Jawa
Barat). Skripsi. Program Sarjana Mana-
jemen Agribisnis. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Masriah, N. 2006. Penggunaan pupuk majemuk
sebagai sumber hara pada budidaya
kangkung (Ipomoea reptans Poir) secara
hidroponik dengan tiga cara fertigasi.
Skripsi. Departemen Agronomi dan
Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan
Nutrisi Tanaman: IPB Press. Bogor.
Noor, Z. 2006. Pengaruh frekuensi penyiraman
nutrisi terhadap produktivitas dan mutu
hasil panen paprika. Disertasi. Depar-
temen Budidaya Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Resh, H.M. 2004. Hydroponic Food
Production: A Definitive Guidebook of
Soiless Food-Growing Methods. 6th Ed.
Newconcept Pr, Inc. New Jersey. US.
Salisbury, F.B., C.W. Ross. 1995. Fisiologi
Tumbuhan Dasar Jilid I. Penerbit ITB.
Bandung.
Susila, A.D. 2006. Fertigasi pada Budidaya
Tanaman Sayuran di dalam Greenhouse.
Direktorat Jenderal Hortikultura. Bandung.
J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung….. 47
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung
(Sonchus arvensis L.) dengan Komposisi Media Tanam yang
Berbeda
Growth dan Production of Sowthistle (Sonchus arvensis L.) in Different Media
Composition
Denti Dewi Gatari1* dan Maya Melati1
Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014
ABSTRACT
Sowthistle is one of wild medicinal plants. Sowthistle can be planted in the pot, polybag or
land with mix of organic material or sand with lime. The objective of this research was to determine
the effect of media composition on the growth and production of sowthistle (Sonchus arvensis L.). The experiment was arranged in a randomized complete block design with one factor, three
treatments and three replications. The treatments were 8 kg soil, 7.5 kg soil + 0.5 kg cow manure, 7
kg soil + 0.5 kg cow manure + 0.5 kg rice hull charcoal polybag-1. The three treatments used lime with the rate of 10 g polybag-1. Media composition as control was 7 kg soil + 0.5 kg cow manure +
0.5 kg rice hull charcoal without lime. Every treatment consisted of 10 plants. The results of
experiment showed that unaffected by composition did not the growth and yield component of
sowthistle media. Compared to treatment without lime, fresh weight of root at 5 MST with the
application of cow manure was significantly smaller.
Keywords: cow manure, lime, rice hull charcoal
ABSTRAK
Tempuyung merupakan salah satu tanaman obat yang tumbuh liar. Budi daya tempuyung
dapat dilakukan di dalam pot, polybag, atau lahan dengan menggunakan bahan organik yang
dicampur dengan puing bangunan atau pasir serta batu yang diberi banyak kapur. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh komposisi media tanam terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman tempuyung (Sonchus arvensis L.). Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok
lengkap teracak (RKLT) faktor tunggal, tiga taraf dan tiga perlakuan yaitu 8 kg tanah, 7.5 kg tanah +
0.5 kg pupuk kandang sapi, 7 kg tanah + 0.5 kg pupuk kandang sapi + 0.5 kg arang sekam polybag-1.
Ketiga perlakuan menggunakan dosis kapur 10 g polybag-1. Komposisi media tanam sebagai
pembanding adalah 7 kg tanah + 0.5 kg pupuk kandang sapi + 0.5 kg arang sekam tanpa kapur.
Setiap perlakuan terdiri atas 10 tanaman dan diulang sebanyak tiga kali. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa komposisi media tanam tidak mempengaruhi peubah vegetatif dan komponen
hasil tanaman tempuyung. Bobot basah akar pada umur 5 MST dengan penambahan pupuk kandang
sapi nyata lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan tanpa kapur.
Kata kunci: arang sekam, kapur, pupuk kandang sapi
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki keanekaragaman
hayati yang dapat dimanfaatkan dalam semua
aspek kehidupan manusia. Tanaman obat
digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu
alternatif pengobatan, baik untuk pencegahan
penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif),
pemulihan kesehatan (rehabilitatif) serta pe-
ningkatan kesehatan (promotif) (Hernani dan
1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
Tabel 8. Rata-rata kadar air daun dan akar tanaman tempuyung
Umur
tanaman
(MST)
Perlakuan Pembanding
KK 8 kg
tanah+kapur
7.5 kg tanah+0.5
kg pukan+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg arang
sekam+kapur
7 kg tanah+0.5
kg pukan+0.5
kg arang sekam
…..…………………..Kadar air daun (%)…………………..…
5 MST 87.70 87.45
87.21 89.02 1.33
8 MST 82.84 86.79
88.66 88.32 2.70
11 MST 88.07 89.47
89.00 89.16 1.95
………………………Kadar air akar (%)………………………
5 MST 83.62 84.52
78.74 85.21 3.37
8 MST 80.73 76.38
78.44 79.92 3.78
11 MST 76.89 76.19 *** 81.20 81.98 2.19
Keterangan: *** menunjukkan nilai berbeda nyata pada t-dunnett dibandingkan dengan kontrol.
J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.
54 Denti Dewi Gatari dan Maya Melati
Indeks Luas Daun
Komposisi media tanam tidak menye-
babkan perbedaan nyata pada peubah indeks
luas daun (ILD). Pengaruh ketiga perlakuan
(dengan kapur) juga tidak berbeda nyata dengan
pembanding tanpa kapur.
Tabel 9. Rata-rata indeks luas daun tanaman tempuyung
Umur
tanaman
(MST)
Perlakuan Pembanding
KK 8 kg
tanah+kapur
7.5 kg
tanah+0.5 kg
pukan+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg arang
sekam+kapur
7 kg tanah+0.5
kg pukan+0.5 kg
arang sekam
…………………………Indeks luas dauntn………………………….
8 MST 0.32 0.26
0.31 0.40 2.74
9 MST 0.24 0.08 1 0.29 0.26 2.16
10 MST 0.22 0.28
0.36 0.36 7.52
11 MST 0.16 0.18
0.25 0.34 4.16
Keterangan: Analisis statistika ditransformasi (x+1/2)1/2. 1 menunjukkan bahwa tidak diuji secara statistik karena
hanya 1 ulangan yang diuji dengan pembanding.
Pembanding tanpa kapur memiliki nilai
ILD tertinggi pada umur 8, 10, dan 11 MST.
Perlakuan penambahan pupuk kandang dan
arang sekam memiliki nilai ILD tertinggi pada
umur 9 MST (Tabel 9).
KESIMPULAN
Komposisi media tanam tidak mem-
pengaruhi peubah vegetatif dan komponen hasil
tanaman tempuyung secara nyata namun ada
kecenderungan bahwa penambahan pupuk
kandang sapi maupun arang sekam menyebabkan
pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Bobot
basah akar pada umur 5 MST dengan pe-
nambahan pupuk kandang nyata lebih kecil
dibandingkan dengan perlakuan tanpa kapur.
DAFTAR PUSTAKA
Baskoro, D., B.S. Purwoko. 2011. Pengaruh
bahan perbanyakan tanaman dan jenis
pupuk organik terhadap pertumbuhan
tanaman binahong (Anredera cordifolia
(Ten.) Steenis). J. Hort. Indonesia. 2(1):
6-13.
Chairani. 2006. Pengaruh fosfor dan pupuk
kandang kotoran sapi terhadap sifat
kimia tanah dan pertumbuhan padi
(Oryza sativa) pada lahan sawah tadah
hujan di Langkat, Sumatera Utara.
Jurnal Penelitian Pertanian. 25(1): 8-14.
Dalimartha, S. 2005. Tanaman Obat di Ling-
kungan Sekitar. Cet. 1. Puspa Swara.
Jakarta.
Djauhariya, E., Hernani. 2004. Gulma Ber-
khasiat Obat. Cet. 1. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Foragri. 2011. Budi daya tempuyung [Internet].
Waktu unduh https://foragri.wordpress.
com/2011/12/20/budi-daya-tempuyung.
[9 Maret 2012].
Hadid, A., S. Laude. 2007. Pengaruh konsentrasi
pupuk organik cair lengkap dan dosis pupuk
kandang ayam terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman bawang merah. Jurnal
Agroland. 14(4): 260-264.
Harahap, K.A. 2005. Pengaruh pupuk terhadap
pertumbuhan jagung yang ditanam di
antara tanaman cendana (Santalum album
L.). Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Agroland.
12(1): 1-6.
Hartatik, W., L.R. Widowati. 2009. Pupuk
kandang. http://balittanah.litbang.
pertanian.go.id/ind/dokumentasi/buku/b
uku%20pupuk%20hayatipupuk%20orga
nik/04pukan_wiwik.pdf [18 Maret
2012].
J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung….. 55
Husnan. 2000. Multiplikasi dan pengakaran in
vitro tempuyung (Sonchus arvensis L.)
serta pertumbuhan bibit pasca aklimatisasi
Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Hernani, R., Nudjanah. 2009. Aspek pe-
ngeringan dalam mempertahankan
kandungan metabolit sekunder pada
tanaman obat. Perkembangan Teknologi
TRO. 21(2): 33-39.
Muhammad, H., M. Januwati, M. Iskandar.
1993. Pengaruh jarak tanam terhadap
produksi daun tempuyung. Warta Tanaman
Obat Indonesia. 2(3): 13-14.
Saleh, I. 2010. Pengaruh metode pemupukan
dan kombinasi komposisi media tanam
dengan pengapuran terhadap pertumbuhan
cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.).
Skripsi. Program Studi Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Siemonsma, Pileuk. 1994. Di dalam: Husnan.
Multiplikasi dan pengakaran in vitro
tempuyung (Sonchus arvensis L.) serta
pertumbuhan bibit pasca aklimatisasi.
Skripsi. Bogor, Indonesia. Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, hlm
17. Bogor.
Siswanto, U., E.I. Sukarjo, Risnaily. 2004.
Respon tanaman tempuyung (Sonchus
arvensis L.) pada berbagai takaran dan
aplikasi vermikompos. Jurnal Ilmu-ilmu
Pertanian. 6(2): 83-90.
Wahyuningsih, A.P.S. 2005. Pengaruh kombinasi
aplikasi pupuk N dan waktu pemangkasan
tangkai bunga terhadap pertumbuhan
dan produksi tanaman tempuyung (Sonchus
arvensis L.). Skripsi. Program Studi
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Wuryaningsih, Darliah. 1994. Di dalam: Safitry
M.R. Pengaruh Media Tanam Organik
terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Buncis Tegak (Phaseolus vulgaris L.) [skripsi]; Bogor, Indonesia. Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, hlm
21. Bogor.
J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.
56 Wida W. Khumaero, Darda Efendi, Willy B. Suwarno, dan Sobir
Evaluasi Karakteristik Hortikultura Empat Genotipe Melon
(Cucumis melo L.) Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB
Evaluation of Horticultural Characteristics of Four Melon Genotypes (Cucumis melo L.)
from Centre Tropical Horticulture Study IPB
Wida W. Khumaero1, Darda Efendi
1.2*, Willy B. Suwarno
1.2, dan Sobir
1.2
Diterima 21 Januari 2014/Disetujui 12 Maret 2014
ABSTRACT
Center for Tropical Horticulture Studies (CTHS) have conducted melon breeding to meet the
need of the expanding melon production in Indonesia. Four melon genotypes of IPB Meta 3, IPB
Meta 4, IPB Meta 6, IPB Meta 8H exhibit superior performance during selection. Prior to release or
to register, these melon genotypes need to be evaluated for their main characteristics. Four potential genotypes along with two control varieties of Action 434 and Sky Sweet were evaluated under a
single factor Randomized Complete Block Design (RCBD) with four replications. The results revelaed that CTHS melon genotypes exhibited good performance. IPB Meta 4 has larger stem
diameter and leaf size compared to Action 434 and Sky Sweet, subsequently flesh color of IPB Meta
3, IPB Meta 6, and IPB Meta 8H are oranges, where as both control varieties are green. These results indicated that melon genotypes developed in CTHS have unique characteristics, which could
be developed for speciality market.
Keywords: fruit quality, melon, morphological characteristics
ABSTRAK
Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) telah melakukan penelitian pemuliaan tanaman
untuk mengetahui kebutuhan pengembangan produksi melon di Indonesia. Empat genotipe melon
yakni IPB Meta 3, IPB Meta 4, IPB Meta 6, IPB Meta 8H menunjukkan penampilan baik pada
percobaan sebelumnya. Sebelum dilepas atau didaftarkan, diperlukan evaluasi karakteristik utama
dari empat genotipe tersebut. Pengujian keempat genotipe potensial dengan dua varietas pembanding
yakni Action 434 dan Sky Sweet disusun berdasarkan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
(RKLT) dengan 4 ulangan. Hasilnya menunjukkan bahwa genotipe melon IPB Meta 4 memiliki
diameter batang dan ukuran daun yang lebih besar dibandingkan Action 434 dan Sky Sweet. Selain
itu, daging buah melon genotipe IPB Meta 3, IPB Meta 6, dan IPB Meta 8H berwarna jingga,
dimana kedua varietas pembanding berwarna hijau. Hasil ini menunjukkan bahwa genotipe-genotipe
melon yang dikembangkan di PKHT memiliki karakteristik yang unik, dimana dapat berpotensi bagi
segmen pasar khusus.
Kata kunci: karakteristik morfologi, kualitas buah, melon
PENDAHULUAN
Melon (Cucumis melo L.) merupakan
salah satu komoditas buah-buahan yang banyak
digemari oleh masyarakat karena melon memiliki
berbagai keunggulan berupa rasa yang manis
dan warna daging buah yang bervariasi. Selain
itu melon memiliki nilai ekonomi dan prospek
yang menjanjikan dalam aspek pemasaran
(Sudiyarto, 2011).
Agribisnis melon memiliki peluang besar
karena harganya yang cukup tinggi (Prajnanta,
2004). Melon dikenal juga sebagai buah yang
menyehatkan karena mengandung berbagai
vitamin dan mineral yang diperlukan tubuh
manusia. Kandungan kalori, lemak, karbohidrat,
1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor 2Pusat Kajian Hortikultura Tropika, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor *Email: untuk korespondensi. [email protected]
J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.
Evaluasi Karakteristik Hortikultura Empat Genotipe….. 57
vitamin, dan mineral buah melon banyak
dimanfaatkan untuk terapi kesehatan. Menurut
Samadi (2007) melon mempunyai khasiat bagi
tubuh yaitu untuk mencegah penyakit sariawan,
luka pada tepi mulut, penyakit mata, radang
saraf, sebagai anti kanker, menurunkan resiko
stroke dan kanker. Kesadaran masyarakat
mengenai pola hidup sehat menyebabkan ke-
butuhan dan permintaan buah melon terus
meningkat (Sukmaningtyas dan Hartoyo,
2013).
Menurut data dari Pusat Kajian Horti-
kultura Tropika (PKHT) (2014), konsumsi
buah melon pada tahun 2008 adalah 0.16 kg/
kapita/tahun. Terjadi peningkatan pada tahun
2011, konsumsi melon masyarakat Indonesia
mencapai 0.72 kg/kapita/tahun. Peningkatan
konsumsi ini harus diimbangi dengan keter-
sediaan buah melon yang berarti perlu di-
lakukannya peningkatan produksi. Produksi
buah melon mengalami penurunan pada kurun
waktu 2011-2012 yaitu 103 840 ton menjadi
70 583 ton (Ditjenhorti, 2014). Penurunan
produksi melon ini menyebabkan perlu di-
lakukannya peningkatan penyediaan benih
melon agar produktivitas melon dapat optimal.
Ketersediaan benih melon hingga saat
ini menjadi salah satu kendala dalam mem-
produksi melon. Hampir semua benih yang
ditanam oleh petani melon merupakan benih
impor. Harga benih yang tinggi menyebabkan
usaha tani melon tidak efisien secara ekonomi
(Yekti, 2005). Data impor benih melon pada
tahun 2012 adalah mencapai US$ 69 240 atau
setara dengan 800 juta rupiah (Ditjenhorti,
2014). Hal ini menjadi penyebab perlunya
tindakan untuk memproduksi benih melon
dalam negeri. Jika ini terjadi maka petani dapat
dengan mudah mendapatkan benih melon
dengan harga yang lebih murah.
PKHT melakukan serangkaian kegiatan
pemuliaan tanaman melon untuk menghasilkan
melon yang unggul. Hingga saat ini PKHT
telah memperoleh beberapa genotipe melon
yang siap dievaluasi yang kemudian direncanakan
untuk didaftarkan di Pusat Perlindungan Varietas
Tanaman atau dilepas sebagai varietas baru.
Program evaluasi dalam penelitian ini men-
cakup sejumlah karakter penting pada melon,
meliputi penampilan tanaman, kualitas buah
(aroma, rasa), dan ketahanan terhadap penyakit
utama.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Kebun Per-
cobaan Pusat Kajian Hortikultura Tropika
Tajur II Bogor pada bulan September sampai
Desember 2013. Bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah empat genotipe melon
yaitu IPB Meta 3, IPB Meta 4, IPB Meta 6,
IPB Meta 8H, dan dua varietas pembanding
yaitu Action 434 dan Sky Sweet. Sarana
produksi yang digunakan adalah pupuk kandang,
pupuk majemuk NPK (16-16-16), pupuk tunggal
(Urea, KCl, dan SP36), KNO3, beberapa jenis
pestisida, ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) berupa
giberelin (GA-3), bak semai, media semai, ajir,
tali, serta mulsa Plastik Hitam Perak (PHP)
dengan lebar 100-125 cm.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan
Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)
faktor tunggal dengan empat ulangan. Pe-
laksanaan percobaan diawali dengan merendam
benih dalam air hangat (suhu ± 40 0
C) me-
ngandung giberelin (GA-3) dengan konsentrasi
0.2 mg l-1
selama 4 jam. Kemudian benih di-
tiriskan dan diletakkan di atas kertas koran
selama 1 hari 2 malam (36 jam). Selanjutnya
benih disemaikan ke dalam bak semai yang
berisi campuran tanah dan pupuk kandang
dengan perbandingan 1:1.
Pembibitan ini dilakukan selama 14
hari. Persiapan lahan dilakukan sesuai rancangan
percobaan, yaitu menggunakan 8 bedeng dengan
masing-masing bedeng memiliki panjang 23 m
dan lebar 1 m. Tanah diolah sampai kedalaman
20-30 cm, diberi pupuk kandang dengan dosis
2 kg tanaman-1
, SP-36 30 g tanaman-1
, Urea 20
g tanaman-1
, KCl 20 g tanaman-1
. Pengolahan
tanah ini dilakukan pada 12 hari sebelum tanam,
sedangkan pemasangan mulsa dilakukan pada
10 hari sebelum tanam. Selanjutnya, dibuat
lubang tanam dengan jarak 50 cm x 50 cm.
Pemindahan bibit dilakukan pada 14
hari setelah semai. Penanaman dilakukan pada
pagi hari. Kegiatan selanjutnya adalah peme-
liharaan yang meliputi: penyulaman, pengajiran,
pemupukan susulan, pengikatan, penyemprotan
pestisida, pemangkasan, dan pemeliharaan buah.
Seluruh kegiatan pemeliharaan disesuaikan
dengan Standard Operational Procedure (SOP)
penanaman melon yang berlaku.
Pengamatan terhadap karakter kuantitatif
genotipe-genotipe melon yang dievaluasi meliputi
diameter batang, panjang daun, lebar daun,
umur berbunga hermafrodit, serangan penyakit
J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.
58 Wida W. Khumaero, Darda Efendi, Willy B. Suwarno, dan Sobir
embun bulu, serangan penyakit embun tepung,
umur panen, bobot buah, ketebalan daging buah,
daya simpan, kandungan air buah, kadar gula,
kandungan vitamin C, dan bobot 100 butir
benih. Adapun pengamatan kualitatif terdiri atas
bentuk penampang batang, warna batang, bentuk
daun, warna daun, perkembangan cuping daun,
panjang cuping terminal, bentuk buah, tipe
kulit buah, warna daging buah, aroma buah,
posisi dari lebar buah maksimum, bentuk irisan
buah membujur, tingkat kekeriputan permukaan
buah, lebar maksimum irisan melintang lapisan
luar buah, bentuk biji, dan warna biji.
Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis
menggunakan uji F, dan apabila terdapat
pengaruh nyata genotipe, maka analisis di-
lanjutkan dengan uji perbedaan nilai tengah
terhadap varietas pembanding dengan metode
Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. Data
kualitatif dihitung modusnya untuk tiap geno-
tipe dan tiap karakter, kemudian ditampilkan
dalam bentuk deskripsi. Sejumlah karakter
yang diamati berpedoman pada deskriptor
IPGRI (2003). Koefisien korelasi fenotipik
Pearson (r) dihitung untuk mengetahui keeratan
hubungan antar peubah. Analisis gerombol
genotipe melon dilakukan untuk mengetahui
kemiripan antar genotipe melon yang diuji
menggunakan metode Gower. Sidik ragam, uji
lanjut, dan analisis korelasi dilakukan meng-
gunakan perangkat lunak SAS, sedangkan
analisis gerombol menggunakan R.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selama masa persemaian, benih tumbuh
dengan baik dengan daya berkecambah 97%
hingga 100%. Pertumbuhan yang baik ini di-
dukung oleh suplai air yang baik. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi kekurangan air
yang dapat menyebabkan ukuran tanaman
yang lebih kecil dibandingkan dengan
tanaman yang tumbuh normal (Kurniasari et
al., 2010). Kekurangan air pada tanaman
menyebabkan penurunan hasil yang sangat
signifikan dan berpotensi menjadi penyebab
kematian pada tanaman (Salisbury dan Ross,
1992).
Evaluasi terhadap Karakter Kuantitatif
Tanaman
Menurut Gomez dan Gomez (1995) nilai
koefisien keragaman (KK) merupakan suatu
nilai yang menggambarkan keterandalan per-
cobaan. Hasil analisis ragam pada Tabel 1
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
sangat nyata antar genotipe pada karakter
diameter batang, panjang daun, lebar daun, umur
berbunga hermafrodit, bobot buah, ketebalan
daging buah, daya simpan, kadar gula dan bobot
100 butir benih. Di sisi lain, pengaruh genotipe
tidak nyata pada karakter serangan penyakit
embun bulu dan embun tepung, umur panen,
kandungan air buah dan kandungan vitamin C.
Perbedaan antar ulangan terlihat nyata
pada karakter lebar daun, serangan penyakit
embun bulu, umur panen, daya simpan,
kandungan air buah, kadar gula, dan bobot 100
butir benih, namun pengaruh ulangan tidak
nyata pada karakter diameter batang, panjang
daun, umur berbunga, serangan penyakit embun
tepung, bobot buah, ketebalan daging buah,
dan kandungan vitamin C. Adanya pengaruh
ulangan yang nyata di sejumlah peubah me-
nunjukkan bahwa penggunaan RKLT dalam
penelitian ini dinilai tepat.
Hasil uji perbandingan BNJ (Tabel 2)
menunjukkan bahwa diameter batang pada
genotipe IPB Meta 4 nyata lebih besar di-
bandingkan varietas Action 434 dan Sky Sweet.
IPB Meta 3 dan Meta 4 memiliki ukuran daun
yang nyata lebih besar dibandingkan Sky Sweet.
Dengan daun yang besar diharapkan fotosintesis
berjalan dengan baik, dimana fotosintesis diketahui
merupakan proses penting untuk mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Secara umum umur berbunga yang di-
harapkan adalah umur berbunga yang cepat.
Genotipe IPB Meta 4 dan IPB Meta 8H memiliki
umur berbunga hermafrodit yang nyata lebih
lambat dibandingkan varietas pembanding,
Action 434 dan Sky Sweet. Umur berbunga
secara umum dipengaruhi oleh faktor intern
yakni genetik tanaman dan faktor lingkungan
(Badrudin et al., 2009). Berdasarkan nilai
koefisien keragaman (0.9%), pengaruh faktor
lingkungan terhadap umur berbunga relatif
kecil dibandingkan faktor genetik.
Hasil pengamatan pada serangan penyakit
embun bulu dan embun tepung menunjukkan
bahwa perbedaan antar genotipe yang tidak
signifikan. Tingginya koefisien keragaman untuk
peubah serangan embun tepung menandakan
adanya perbedaan respon yang besar di dalam
genotipe yang sama, sekalipun pengaruh ulangan
sudah diperhitungkan.
J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.
Evaluasi Karakteristik Hortikultura Empat Genotipe….. 59