PELANGGARAN HAK CIPTA DI INDONESIA Sejarah hak cipta di Indonesia Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti. Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang- undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku. Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997. Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta Hak eksklusif Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk: membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik), mengimpor dan mengekspor ciptaan,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PELANGGARAN HAK CIPTA DI INDONESIA
Sejarah hak cipta di Indonesia
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar
para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus
membayar royalti.
Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta
berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia.
Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan
antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World
Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi
tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada
tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun
1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta
WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta
Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya,
salinan elektronik),
mengimpor dan mengekspor ciptaan,
menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan "hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah
yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak
cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk
Yang menjadi faktor utama tingginya tingkat pembajakan di Indonesia adalah karena rendahnya tingkan apresiasi masyarakat terhadap suatu karya. Hal ini juga di sebabkan oleh rendahnya kualitas hukum Indonesia, seperti masih banyak nya penjual CD,DVD,Softwere bajakan yang masih bebas berjualan…mungkin itu semua karena sifat dasar masyarakat Indonesia yang sulit di rubah yang selalu berfikiran uang adalah segalanya…semua dapat di beli dengan uang….
Intinya yang harus di rubah adalah pola fikir masyarakat Indonesia agar dapat menghargai karya orang lain dengan membeli produk asli, yang kedua harus membenahi aparatur Negara yang masih perlu banyak pembinaan.
Ini adalah sedikit artikel yang saya ambil dari http://riau.bps.go.id/bengkalis/content/pembajakan-software-di-indonesia-masih-memprihatinkan
Belum lama ini Mabes Polri menyita sekitar 30 unit komputer dan 1 unit laptop yang diduga menggunakan software bajakan pada inspeksi mendadak di 8 perusahaan swasta di Jakarta. Bersamaan dengan itu Polri juga menyidik 5 orang tersangka yang salah satunya adalah pejabat tinggi sebuah perusahaan swasta di Jakarta.
Razia tersebut baru sebagian kecil saja. Selain di Jakarta, beberapa daerah sudah melakukan razia software bajakan. Daerah yang dalam waktu dekat ini akan melakukan penindakan terhadap pembajak software adalah Kepulauan Riau. Pada 4 Februari lalu, Polda Kepri memberikan kesempatan selama 3 bulan kepada warganya untuk mengganti software bajakannya dengan software yang asli/legal.
Berdasarkan hasil studi Business Software Alliance (BSA), tingkat pembajakan software di kawasan Asia, terutama Indonesia, China, dan Vietnam dinilai masih tinggi. Angka pembajakan tertinggi terdapat pada end-user atau corporate end-user, selanjutnya disusul pembajakan retail, atau penjualan software-software yang tidak berlisensi di toko-toko retailer.
Faktor utama penyebab tingginya tingkat pembajakan software di Indonesia adalah masih rendahnya tingkat apresiasi masyarakat terhadap hak dan kekayaan intelektual atau intellectual prophecy. Persepsi orang terhadap manfaat software dalam membantu pekerjaan masih kurang. Masyarakat suka membeli hardware tetapi tidak banyak yang mau membeli software. Padahal sekarang sudah banyak software yang ditawarkan dengan harga murah. Bahkan sekarang sudah banyak software-softwareopensource beredar di pasaran.
BSA menyatakan bahwa kualitas penegakan hukum Indonesia paling penting dalam pemberantasan pembajakan software di Indonesia. Jika hukum diterapkan dengan tepat, maka tingkat pembajakan diperkirakan akan turun cukup signifikan.
Selain itu, BSA juga menawarkan sebuah stategi untuk menekan pembajakan software, yaitu dengan education atau pendidikan. Masyarakat diajarkan untuk tahu dan menghargai manfaat software dalam membantu pekerjaan mereka. Program ini sudah dijalankan oleh Singapura dan berhasil menekan tingkat pembajakan hingga kategori rendah.
Menurut BSA, setiap negara yang tingkat pembajakannya rendah, tingkat perekonomiannya lebih kuat. Sebab iperusahaan-perusahaan di negara tersebut mengetahui kreasi baru seperti apa yang dibutuhkan. Ini terlihat dari kemajuan yang dicapai Taiwan, Singapura, Jepang, atau Korea Selatan di Asia. Industri software di Asia mempunyai peluang bagus di masa mendatang, karena perusahaan-perusahaan software di Asia semakin inovatif
menawarkan produknya yang membuat konsumen menjadi lebih nyaman berusaha. Selain itu juga negara-negara di Asia memiliki SDM yang berbakat di sektor ini
Indonesia Teratas Dalam Daftar Pembajakan Hak Cipta di Asia
Singapura (ANTARA News/AFP) - Indonesia memiliki catatan terburuk dalam melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) di Asia dan Singapura yang terbaik, sebuah survei pada pelaku bisnis asing menunjukkan Rabu.
"Indonesia tampaknya telah kehilangan momentum untuk menindak pelanggaran HKI dan membuat sistem yang lebih sesuai dengan standar internasional," kata Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong.
Indonesia "telah meloloskan undang-undang baru yang akan meningkatkan perlindungan kekayaan intelektual, tetapi aturan-aturan tidak ditegakkan secara efektif sama sekali, dan tingkat pembajakan di Indonesia masih termasuk yang tertinggi di dunia."
Indonesia diberi skor nilai terburuk 8,5 dari maksimum 10 poin dibandingkan dengan 11 negara Asia lainnya dalam survei PERC dari 1.285 manajer asing yang diselenggarakan antara Juni dan pertengahan Agustus. Nol adalah skor yang terbaik.
Lebih banyak ekonomi maju bernasib lebih baik, dengan Singapura memimpin daftar dengan skor nilai 1,5, diikuti oleh Jepang (2,1), Hong Kong (2,8), Taiwan (3,8) dan Korea Selatan (4,1).
Di ujung lain dari skala, Vietnam kedua terburuk di 8,4, China mencetak 7,9, Filipina 6,84, India 6,5, Thailand 6,17 dan Malaysia 5,8.
Peringkat mencerminkan sebagian besar penelitian oleh industri perangkat lunak global, yang adalah khawatir dengan ketersediaan mudah film bajakan dan software di kota-kota Asia meskipun pemerintah berjanji untuk mengambil tindakan keras.
"Dari negara-negara Asia berkembang, Vietnam, Indonesia dan Filipina semua dinilai buruk tidak hanya untuk tingkat rendah perlindungan HKI mereka, tetapi juga untuk kriteria fisik seperti infrastruktur, ketidakefisienan birokrasi dan keterbatasan tenaga kerja," kata PERC.
Cina juga datang di bawah pengawasan yang kuat karena ukuran yang semata-mata ekonomi dan keberadaan perusahaan-perusahaan besar "mampu menggunakan teknologi bajakan untuk bersaing di pasar luar negeri," kata PERC.
"Negara-negara seperti Vietnam, Filipina, dan Indonesia tidak memiliki kemampuan sama untuk menimbulkan kerusakan global melalui pembajakan HKI seperti perusahaan China lakukan."
Meskipun China telah membuat langkah keras atas pelanggaran HKI, tujuannya dari pengamanan transfer keterampilan asing ke perusahaan-perusahaan China, menggunakan akses pasarnya yang besar sebagai leverage, tetap bermasalah, katanya.
"Sejauh ini banyak perusahaan multinasional terbesar di dunia telah yakin bahwa nilai risiko mentransfer teknologi kunci ke China dalam rangka mengembangkan bisnis di sana," kata PERC.
"Kebijakan ini tidak ilegal, tetapi bisa menjadi sumber pertumbuhan gesekan .... China lebih mengkonsolidasikan posisinya sebagai kekuatan ekonomi global, pemerintah lebih akan bersedia melepas sarung tangan dan berjuang untuk melindungi kepentingan mereka." (A026/K004)
SURABAYA - Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini pembajakan film Indonesia kian bertambah banyak. Hal ini akan menghambat laju pertumbuhan industri kreatif di sektor perfilman.
Ketua Asosiasi Rekaman Film (Asirefi) Indonesia Wihadi Wiyanto mengatakan, saat ini, pertumbuhan industri perfilman nasional semakin berkembang. Jika dulu industri perfilman hanya mampu memproduksi 5-10 judul film per tahun, kini produksinya bisa mencapai 80 judul per tahun.
Namun pertumbuhan tersebut ternyata diiringi dengan semakin menjamurnya pembajakan di sektor tersebut. "Ini menjadi semacam lampu kuning bagi industri kreatif perfilman, sebab keberadaan film bajakan akan menghambat laju pertumbuhan industri kreatif perfilman di tahun yang akan datang," kata Wihadi Wiyanto saat menghadiri kampanye Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tahap II oleh Tim Nasional (Timnas) Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (PPHKI) di Surabaya, Kamis (22/10/09).
Menurut Wihadi, saat ini, pelaku pembajakan banyak tersebar di daerah-daerah dengan mengkopi film original ke CD atau media lainnya. Sebagian besar dengan menggunakan komputer yang kapasitas produksi tidak kalah dengan mesin. Bisa mencapai 20.000 keping.
Dan dengan banyaknya film Indonesia yang beredar dan diminati, malak jumlah pembajakan menjadi semakin besar. Bahkan film Indonesia saat ini menjadi primadona pembajakan dibanding film asing.
"Jika di tahun-tahun yang lalu, 99% film yang beredar adalah original, maka sekarang sudah jauh berbeda. Di Surabaya, tempat transaksi film bajakan yang paling tidak bisa dikontrol adalah pasar Atom," katanya.
Wihadi mengatakan, aktivitas pembajakan tersebut masih dilevel bawah yang biasa diedarkan dilapak-lapak. Sementara pembuatannya dilakukan di kabupaten kota atau propinsi luar pulau Jawa. Meski demikian, lanjutnya, hal ini perlu diwaspasai karena industri kreatif perfilman memiliki potensi pasar yang cukup besar
TEMPO Interaktif, Malang: Kepolisian Resort Kota Malang menetapkan Budi, penjual buku di kompleks toko buku Jalan Wilis, Kota Malang, sebagai tersangka pembajakan buku. Budi dijadikan tersangka karena terbukti menjual buku bajakan terbitan PT Salemba Empat Jakarta.
"Dia terlibat dalam jaringan pembajakan buku," kata Kasatreskrim Polresta Malang, Ajun Komisaris Mikael P Sitanggang, Jumat (21/12). Kasatreskrim, penetapan tersebut selain berdasarkan pengakuan tersangka, juga karena ditemukan sebanyak 403 buah buku bajakan berbagai judul.
Atas perbuatan tersangka, polisi membidik Budi dengan Pasal 72 ayat 2 UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. "Tersangka yang melanggar pasal ini bisa diancam hukuman lima tahun penjara," ujar Sitanggang.
Buku bajakan ini dijual separuh harga dari harga asli yang mencapai Rp 79 ribu. Polisi menemukan perbedaan yang mencolok antara buku asli dan bajakan, antara lain pada buku bajakan tidak terdapat hologram di sampul buku dekat nama penerbit dan kualitas kertas buku bajakan lebih jelek dari buku asli.
Budi mengaku tak mengetahui jika ratusan buku yang dijualnya merupakan buku bajakan. Ia mendapatkan buku itu dari seorang yang mengaku agen sekitar dua bulan lalu. Di kiosnya, agen yang identitasnya tak diketahui Budi itu, menawarinya buku terbitan PT Salemba Empat dengan harga Rp 32.000 saja. Budi setuju dan membayar buku-buku tersebut sebanyak Rp 9 juta melalui bank.
Penangkapan Budi berawal dari razia buku di kompleks toko buku Jalan Wilis pekan lalu. Razia tersebut digelar setelah polisi mendapat laporan dari penerbit PT Salemba Empat Jakarta.
Dalam razia tersebut polisi berhasil menemukan 403 buku bajakan. Ke-403 buku tersebut terdiri dari delapan judul, yakni Pengantar Akuntansi, Management Accounting, Sistem Akutansi, Revisi Akutansi, Business Communication, Cost Accounting, Akutansi Manajemen, dan Operasi Manajemen.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--JAKARTA--Pembajakan piranti lunak atau software komputer di Indonesia meningkat satu persen pada kurun 2008-2009 atau di tengah resesi ekonomi global. Asosiasi internasional yang mewakili industri software global, Business Software Alliance (BSA) bersama perusahaan riset pasar IDC, mengumumkan hasil studi tahunan ketujuh pembajakan software global di Jakarta, Selasa.
"Kondisi pembajakan piranti lunak komputer di Indonesia sedikit memburuk," lata Perwakilan dan Juru Bicara BSA Indonesia, Donny A. Sheyoputra."Fakta di lapangan masih banyak praktek pembajakan terjadi."
Pihaknya meriset pembajakan software yang terjadi di lebih dari 100 negara. Hasil riset mencatat pada kurun 2008-2009, penginstalan software tanpa lisensi pada komputer pribadi (PC) di Indonesia meningkat menjadi 86 persen. "Nilai komersial software itu mencapai 886 juta dolar AS," katanya.
Sementara itu, tingkat pembajakan software komputer di Asia Pasifik turun dari 61 persen pada 2009 menjadi 59 persen pada 2009. Sementara, nilai komersial software ilegal meningkat hingga melampaui 16,5 miliar dolar AS.
Donny mengatakan, penelitian itu juga menemukan pertumbuhan yang cepat di sejumlah negara dengan tingkat pembajakan software yang tinggi seperti Cina, India, dan Brazil, meningkatkan pula porsi software mereka di tengah keseluruhan pasar software dunia. Kondisi itu membuat pembajakan software global mengalami kenaikan dari 41 persen menjadi 43 persen.
"Kami akan melanjutkan kerja sama dengan pemerintah, para pelaku bisnis dan konsumen untuk mengingatkan risiko-risiko yang muncul akibat menggunakan software ilegal dan akibat nyata pembajakan software terhadap perekonomian Indonesia," katanya.
Wakil Presiden dan Direktur BSA Asia Pasifik, Jeffrey Hardee, mengatakan, penurunan pembajakan software PC akan berpengaruh lebih dari sekadar menghasilkan pendapatan bagi industri. "Penurunan pembajakan software PC dapat memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan di Asia Pasifik," katanya.
Secara khusus ia mencatat, penyebab kenaikan tingkat pembajakan di Indonesia disebabkan penetrasi PC yang pesat di Indonesia. Hanya pda 2008 terdapat penjualan sebesar 2,4 juta unit dan pada 2009 mencapai lebih dari 3 juta unit.
Menurut data temuan IDC, untuk setiap 100 dolar software legal yang terjual pada 2009 di pasar muncul pula software bajakan senilai 75 dolar. Padahal berdasar penelitian BSA/IDC pada 2008, penurunan pembajakan software sebesar 10 persen dalam empat tahun akan menambah pendapatan negara 24 miliar dolar tanpa harus meningkatkan pajak.
IDC memperkirakan tiap satu dolar software legal yang dijual di suatu negara, maka akan muncul penghasilan tambahan sebesar 3-4 dolar bagi sektor layanan lokal dan perusahaan distributor software. "Para pengusaha software lokal, distributor, dan reseller berperan dalam menciptakan lapangan kerja, memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi, menghasilkan pajak, dan merupakan sumber kebanggan bagi negara mereka masing-masing," katanya.
Jakarta - Pembajakan di bidang musik dan lagu makin memprihatinkan, terlebih saat ini semakin mudah mendistribusikan lagu lewat internet. Bahkan penegakan hukum UU Hak Cipta (HaKI) masih jauh dari yang diharapkan. Di lain sisi, setiap pemilik hak cipta berhak mendapatkan perlindungan untuk setiap karyanya.
Persoalan inilah yang coba diangkat menjadi bahan perbincangan hangat dalam diskusi "Pelanggaran Hak Cipta dan Penyebarluasan Musik MP3 melalui Internet" di Gedung AHU Departemen Hukum dan HAM, Jumat (25/4/2008).
Hadir dalam diskusi tersebut, Ketua Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI), Dharma Oratmangun. Menurutnya, tata niaga industri musik di Indonesia sudah sangat primitif. "Bayangkan saja, lagu seorang kepala negara saja yaitu Presiden Bambang Susilo Yudhoyono (SBY) tidak bisa dijaga oleh institusi hukum. Bagaimana dengan yang lain?" jelas Dharma memberikan contoh.
Mewakili PAPPRI, Dharma mengaku sudah mengadakan pertemuan dengan SBY dan membicarakan masalah pembajakan musik ini. SBY sendiri, lanjut Dharma, sangat concern dengan kasus pembajakan musik dan sudah memerintahkan PAPPRI untuk melakukan kajian-kajian mengenai masalah ini, termasuk tentang UU HaKI.
PAPPRI juga mendesak agar pemerintah mengatur dan segera melakukan restrukturisasi tata niaga industri musik di Indonesia. Pasalnya, ada beberapa kalangan industri musik yang tidak mau transparan dalam pemberian royalti. Hal ini dikarenakan sistem kontrolnya tidak jalan.
"Parahnya lagi, ada industri yang tidak mau dikontrol. Padahal jelas-jelas mereka juga dirugikan. Kalau begini terus, lama-lama industri musik bisa mati," ujarnya.
Kerugian terbesar yang ditimbulkan dalam pembajakan musik, menurut Dharma, adalah matinya budaya kreativitas dalam industri musik Indonesia yang tidak bisa diukur nilainya.
BAHWA banyak perupa yang "bangga" lantaran karyanya dipalsu sungguh tak bisa disangkal. Pelukis Widayat, Antonio Blanco, Arie Smit, dan Bagong Kussudiardjo mengatakan: pemalsuan adalah bentuk negatif atas pengakuan mutu dan pasar. Meski, mereka tentu tak senang bila pemalsuan atas karyanya terus berjalan. Tak sedikit pula pelukis muda yang menenteng ke mana-mana foto karya palsu yang menjiplak ciptaannya. Mereka
mempertunjukkan foto itu sambil melontar kata-kata: "Bagaimana saya tak berbahagia bila maling pun suka pada karya saya?"
Maka, jika di kolom GATRAedisi 21 September 2002, Rinto Harahap menulis bahwa pembajakan membuat industri musik lumpuh, mengacu pada banyak kejadian di dunia seni rupa, bunyinya akan berbeda: dengan pembajakan, seni rupa justru makin kukuh. Setidaknya, pemalsuan atau pembajakan karya seni rupa membuat para perupanya makin pede. Dan membikin hati kecil para perupa punya "kebanggaan baru".
Memang, dalam kasus pemalsuan seni rupa, para perupa sesungguhnya tak terlalu dirugikan, lantaran yang menjadi "korban" hanyalah tiga, lima, atau 10 karyanya, yang pada akhirnya kasusnya terbongkar juga. Sementara, karya asli itu sendiri masih utuh. Yang babak belur justru para pembutuh karya-karya seni rupa itu, yang dipaksa si muslihat mengeluarkan uang bejibun banyaknya.
Dalam seni rupa, kerja pemalsuan memang memiliki sifat unik. Seniman yang karyanya dipalsukan sah untuk bangga. Begundal yang memalsukan juga tepuk dada karena karya palsunya tersedot market, yang berarti diakui khalayak. Hal ini bisa dipahami, meski tak boleh ditolelir, karena pemalsuan seni rupa berangkat dari tradisi meniru atau meng-copy, sesuatu yang biasa dalam jagat seni rupa. Bahkan, Wolfgang van Goethe berujar, "Dalam seni rupa, meniru tetap saja mencipta."
Sejumlah contoh. Michelangelo (1475-1564), ketika masih belajar seni kepada Domenico Ghirlandaio, pernah membuat patung palsu dengan menjiplak arca Faunus (dewa penguasa taman dan lapangan) yang dipajang di taman milik Lorenzo de Medici.
Michelangelo seru terbahak dan bangga ketika tamu-tamu Lorenzo mengagumi patungnya sebagai karya seni Yunani tua. Seniman dahsyat itu pada 1496 juga membuat tiruan patung Amor Tidur atas pesanan seorang dealer. Patung itu kemudian bersama-sama dijual ke kardinal di Roma sebagai karya antik dengan harga 200 dukat. Seperti dituturkan Fritz Mendax dalam buku Aus welt der falscher (Stuttgart, 1953) yang dipetik majalah Starweekly, 7 Februari 1959, Michelangelo sangat gembira dengan ulahnya itu, hingga ia rela cuma menerima 30 dukat. Kasus ini dibongkar sendiri dengan bangga oleh Michelangelo, beberapa tahun setelah transaksi itu terjadi.
Peniruan dan pemalsuan memang sungguh dekat posisinya, selayak PIL dan WIL. Sehingga, kenistaan dan kebanggaan sering berjalan bersama. Di kawasan Laut Hitam koloni Yunani dikabarkan adanya mahkota Saitaphanes yang dilapis emas 460 gram. Syahdan, mahkota bertatahkan berlian bikinan abad ketiga itu ditemukan pada 1895 di puing-puing Olibia. Mahkota itu lalu dijual ke Schapschele Hochmann, yang kemudian melegonya ke Museum Louvre di Paris, Prancis. Louvre memajangnya hingga ditonton puluhan ribu orang. Tahun 1903 ada kabar, mahkota yang menakjubkan tersebut palsu, garapan Israel Rouschomavski. Ketika Israel diundang ke Louvre, seluruh Paris heboh. Ratusan wartawan mewawancarai imitator yang ulung itu. Israel dihukum, namun ia sangat bangga namanya
tercatat dengan tinta tebal dalam sejarah seni rupa perhiasan.
Area abu-abu peniruan dan pemalsuan semacam itulah yang membikin penegak hukum di Indonesia tak pernah berupaya menformulasikan hukum formal pencegahan pemalsuan karya seni rupa. Walaupun, sejak tengah tahun 1980-an, pemalsuan seni rupa, terutama seni lukis, marak bukan main. Ribuan karya bodong gagah bercokol di aneka galeri dan gudang panitia pameran, serta riang bertamu door to door ke rumah kolektor.
Seminar pembajakan seni rupa yang diselenggarakan Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, akhir Agustus lalu, yang materinya disampaikan seniman, polisi, kurator, ahli hukum, sampai pejabat Bea Cukai, belum menemukan rumus pelaksanaannya.
Lantas, apakah karya seni rupa palsu itu sungguh tak ada harganya? Mari kita cermati. Lukisan imitator ulung Hans van Meegeren yang menjiplak karya Pieter de Hoogh, dalam lelang 1950, cuma terjual 300 gulden. Padahal, karya itu, ketika dianggap asli, pernah terbeli 219.000 gulden. Karya lainnya yang meniru karya Rembrandt, Jesus di Antara Ahli-ahli Kitab, cuma ditawar 3.000 gulden. Padahal, aslinya sekitar 4.000.000 gulden. Tapi, ya itulah, Meegeren yang meninggal pada 1947 sampai sekarang tercatat sebagai peniru legendaris, selain tentu sebagai kriminalis nomor wahid.
[Agus Dermawan T., Pengamat Seni][Kolom, GATRA, Nomor 47 Beredar Senin 7 Oktober 2002]
Dan masih Banyak lagi kasus – kasus pembajakan (pelanggaran Hak Cipta) di Indonesia ini.
DAMPAK PELANGGARAN HAK CIPTA
Pembajakan Hilangkan 124 Ribu Lapangan Kerja
VIVANews - Menurut hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia terhadap 12 sektor industri, tindakan pemalsuan pada periode 2002 sampai 2005 mencapai triliunan rupiah.
Justisiari P Kusumah, Sekjen Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), mengungkapkan, hasil studi LPEM UI tentang pemalsuan pada industri sepatu, tekstil, pakaian jadi, rokok, farmasi, dan pestisida selama periode tersebut menimbulkan kerugian mencapai Rp 2,1 triliun.
“Ini belum termasuk pemalsuan terhadap produk software yang menimbulkan kerugian Rp 3,6 triliun,” kata Justisiari, pada keterangan yang VIVAnews kutip, 4 November 2009. “Tindakan pemalsuan ini juga telah menghilangkan kesempatan kerja sebanyak 124 ribu lapangan pekerjaan,” ucapnya.
Justisiari menyebutkan, pandangan bahwa perdagangan produk bajakan atau palsu mendorong lapangan pekerjaan tidak tepat, karena secara makro kerugian yang diderita bangsa ini jauh lebih besar. “Atas kesadaran ini, masyarakat harusnya tidak mendukung perdagangan produk-produk palsu/bajakan di Indonesia,” ucapnya.
Sementara Hendrawan, Kepala Bidang Pelayanan, Penyuluhan, dan Humas Kanwil Pajak Jawa Barat I, mengatakan, perdagangan produk bajakan merugikan negara terutama dari komponen pajak pertambahan nilai (PPN). Sebab mereka menjual produk yang berkategori barang kena pajak. Tapi karena dibajak, komponen PPN menjadi tidak dipungut oleh pemerintah.
“Saya yakin, karena mereka tidak bayar PPN, maka mereka juga tidak membayar pajak penghasilan (PPh). Jadi, negara dirugikan sangat besar dari komponen pajak akibat perdagangan produk bajakan,” ucap Hendrawan.
SOURCE : http://teknologi.vivanews.com/news/read/102528-pembajakan_hilangkan_124_ribu_lapangan_kerjaDampak Pembajakan Terhadap Ekonomi Kreatif
Menurut data, alat pengganda di bidang hak cipta misalnya “Apparatus for high speed recording (alat perekam berkecepatan tinggi)” dapat digunakan untuk memperbanyak suatu karya musik atau software komputer dalam tempo satu menit mampu menghasilkan CD/VCD bajakan 300 (tiga ratus) keping. (Sommeng, A dan Syamsudin A, dalam Media Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Vol.V/No.1/Februari 2008). Dilihat dari data ini, maka dapat disimpulkan bahwa laju CD/VCD bajakan kecepatannya sangat luar biasa ekspansif. Jika hal ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin jika kecepatan produksi CD/VCD bajakan itu lebih banyak dari pada CD/VCD legal (original). Hal ini diperkuat oleh data Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), selama 6 tahun sampai tahun 2001, total produk bajakan karya rekaman suara (VCD, CD, dan kaset) yang beredar di masyarakat mencapai sekitar 985 juta unit, sementara produk legal pada tahun yang sama hanya sekitar 347 juta unit. Akibatnya, kalangan Industri rekaman suara dan negara diperkirakan mengalami kerugian puluhan triliun rupiah (Hasibuan, O dalam Media Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Vol.V/No.2/April 2008). Maka tidak heran, jika pemerintah Malaysia melakukan penanggulangan pembajakan ini dengan menyasar mesin-mesin pengganda bajakan terlebih dahulu, dari pada CD/VCD bajakan yang di jual di lapak-lapak, hal ini untuk mengurangi angka penggandaan secara signifikan dimulai dari bandarnya.
Kegiatan pembajakan CD/VCD itu adalah musuh utama sektor ekonomi kreatif di bidang karya musik, film dan perangkat lunak. Jika ini dibiarkan, maka akan merusak tatanan ekonomi kreatif yang saat ini tengah di dengung-dengungkan oleh pemerintah. Padahal Sektor ekonomi kreatif suatu saat akan bisa menggantikan ekonomi berbasis Sumber Daya Alam (SDA). Salah satu sektor ekonomi kreatif unggulan bagi Indonesia adalah software, film dan seni musik. Sangat wajar jika Amerika Serikat sangat berkepentingan memberikan perlindungan terhadap ekonomi kreatif khususnya dalam bidang Software. Karena, sektor ini telah menjadi sektor unggulan selain sektor ekonomi lainnya.
Ekonomi kreatif sangat mengandalkan kreatifitas dan inovasi, HKI adalah perangkat perlindungan terhadap hasil karya kreatif dan inovatif yang dihasilkan. Pembajakan terhadap produk-produk ekonomi kreatif adalah pembajakan terhadap kreatifitas dan inovasi itu sendiri. Maka jika kreatifitas di bajak akan menyebabkan stagnannya peradaban itu sendiri.Indonesia saat ini sedang mendengung-dengungkan kembali kebangkitan ekonomi kreatif, revitalisasi ekonomi kreatif saat ini memang sangat dibutuhkan menghadapi era AFTA, karena kelak kita bisa melakukan ekspor produk-produk ekonomi kreatif kita. Namun, ada satu hal yang perlu di garis bawahi adalah bagaimana mencegah pembajakan hak cipta terhadap sektor-sektor ekonomi kreatif saat ini. Jika laju pembajakan sektor hak cipta (Musik, Software, Karya Film) dibiarkan merajalela, dipastikan laju ekonomi kreatif akan menghadapi ganjalan yang sangat berarti. Oleh karena itu, yang di perlukan saat ini adalah edukasi, bagaimana semangat menjungjung tinggi terhadap hasil karya orang lain untuk bersama-sama kita hormati. Dengan demikian, apabila kesadaran masyarakat sudah tumbuh, dengan sendirinya laju pembajakan karya cipta khususnya di sektor ekonomi kreatif akan berkurang secara signifikan.
Penulis Pengamat Hak CiptaBekerja di Kantor Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Am Badar & Partners, Jakarta.
SOURCE : http://bandungbaratonline.com/?p=402
Dampak Negatif Pembajakan Software Bagi Kemajuan Ekonomi Indonesia
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan International Data Corp (IDC) dan diterbitkan pada bulan Mei Tahun ini bertajuk 2009 Global Software Piracy Study, disimpulkan bahwa peng-install-an software tanpa lisensi pada komputer (PC) di Indonesia meningkat satu poin menjadi 86% pada 2009 dibanding tahun sebelumnya. IDC lebih lanjut memperkirakan bahwa nilai software tanpa lisensi di Indonesia pada 2009 juga meningkat tajam menjadi US$ 886 juta (www.dgip.go.id).
Berdasarkan penelitian IDC yang belum lama ini diumumkan secara global. Studi bertajuk ”Dampak Ekonomi dari Pengurangan Tingkat Pembajakan Peranti Lunak” ini meneliti manfaat ekonomi yang diperoleh dengan menekan pembajakan software di 42 negara di seluruh dunia. Untuk Indonesia, studi ini menyimpulkan bahwa mengurangi tingkat pembajakan software sebesar 10 persen selama empat tahun akan menciptakan lebih dari 1.884 lapangan pekerjaan berkualifikasi high- tech job, meningkatkan GDP sebesar US$ 2,4 miliar, dan menghasilkan pemasukan pajak hampir sebesar US$ 124 juta pada 2013. Lebih Penting lagi, diperkirakan 55 persen dari manfaat tersebut dinikmati di tingkat ekonomi lokal (www.dgip.go.id).
Pembajakan Software dan Kemajuan Ekonomi Suatu Negara
Ketergantungan suatu negara terhadap software bajakan akan menyebabkan kemunduran ekonomi. Tertutupnya lapangan pekerjaan di sektor ekonomi kreatif (Software) bagi para pencari kerja baru. Dengan tertutupnya peluang pekerjaan ini maka akan terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi. Selain itu, perusahaan-perusahaan IT Dunia akan enggan untuk berinvestasi di Indonesia. Untuk itu, maka diperlukan sebuah kebijakan akan pentingnya perlindungan Hak Cipta Software ini. Kesadaran menggunakan software original harus sudah menjadi budaya masyarakat kita. Didalam Undang-Undang Hak Cipta No 19 Tahun 2002 pasal 30 tentang Hak Cipta atas Ciptaan Program Komputer diatur masa waktu perlindungan software yaitu berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan (dipasarkan). Jika selama 50 tahun masa perlindungan ini sangat efektif maka imbasnya adalah besarnya nilai pajak yang akan dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan IT yang berinvestasi di Indonesia. Namun yang terjadi adalah, ketika pertama kali versi trial software itu di rilis maka tidak lama kemudian versi bajakannya telah beredar di Indonesia. Lebih parah lagi jika software hasil 100 % Indonesia
dibajak di negeri sendiri, maka otomatis vendor lokal software lokal akan ambruk dan tidak bisa pula memberikan pajaknya dari setiap penjualan software original tersebut.
Oleh karena itu, sebuah negara berkembang yang tinggi tingkat pembajakan softwarenya akan susah untuk maju menjadi negara yang maju di bidang IPTEK. Karena fondasi dasar ekonomi kreatifnya sangat lemah dalam hal perlindungan Hak Kekayaan Intelektualnya (HKI). Selain itu dengan tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pembajakan software ini akan menyebabkan tingkat ketergantungan yang cukup akut terhadap mandeknya kreatifitas dan inovasi masyarakat Indonesia. Kita hanya akan terjebak kepada pola instan, terjebak kepada masyarakat konsumtif, dan tidak akan pernah berniat untuk berubah menjadi bangsa produktif yang bisa menghasilkan berbagai software mandiri. Untuk memutus siklus pembajakan software ini, kiranya perlu dilakukan dua kebijakan tegas yaitu : (1). Mendukung penuh penegakan Hukum di Bidang Software Berbayar, dan (2). Mendukung penuh penggunaan software opensource (terbuka) yang bersifat gratis. Kedua kebijakan ini harus sudah dituangkan kedalam kurikulum pembelajaran di mulai sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Karena sesunggunya sadar HKI ini paling banyak di sektor Pendidikan. Jika setiap peserta didik faham dengan baik akan HKI di bidang software maka dengan sendirinya mereka akan berfikir untuk menghasilkan sendiri sofware secara mandiri.
Penulis Pengamat Hak Cipta Software Bekerja di Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Am Badar & Partners
Nilai ekonomi kecil. Di Indonesia, angka pembajakan termasuk tinggi. Hal ini jelas merugikan para pengembang software dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga, industri perangkat lunak komputer kurang bergairah yang mengakibatkan turunnya pendapatan produsen.
Kreativitas terhambat. Karena tingginya angka pembajakan, mengakibatkan anak bangsa Indonesia enggan untuk terjun ke dalam bisnis pembuatan software. Sehingga, bangsa Indonesia tidak memiliki kompetensi dalam persaingan teknologi software dalam negeri apalagi kancah internasional
Mudah menyebarnya berbagai kode-kode ‘jahat’ seperti virus, spyware, rook-kit, dll. Karena, paket program bajakan tidak terjamin keamanannya
Sistem operasi crash. Karena program bajakan tidak menjamin sistem keamanan yang memadai sehingga bila komputer terinfeksi kode-kode perusak dari program bajakan akan memungkinkan rusaknya sistem operasi.
Dampak Positif :
Minimnya gap teknologi. Karena jarang rumah tangga di Indonesia yang dapat membeli lisensi sebuah software, maka dengan adanya software bajakan akan membantu pengguna rumahan dalam menggunakan komputer tanpa biaya yang mahal.
Membantu pekerjaan. Misalnya tugas sekolah, tugas kantor, buku acara yang memerlukan lisensi software pengolah kata. Software bajakan cukup membantu karena lisensi dari software-software ini sangatlah mahal bagi sebagian besar pengguna.
Membantu dunia pendidikan. Dalam proses pendidikan, terdapat berbagai macam file di internet yang dapat diunduh secara Cuma-Cuma yang berkaitan dengan pengetahuan. Software bajakan membantu karena untuk mendapatkan reader dari software-software tersebut, tidak memerlukan biiaya yang mahal sehingga seorang pelajar dapat mempelajari artikel-artikel tersebut dengan mudah.
Hiburan yang murah. Game-game bajakan sangat memberikan hiburan yang murah karena selain sangat atraktif, untuk mendapatkannya kita tidak memerlukan biaya yang mahal.
Dasarnya dari user internet yang mendownload 270 lagu setahunnya melalui Bittorrent, biasanya akan membeli 9 CD lebih banyak
Riset dari universitas London, mengumpulkan data dari dampak pembajakan musik.Mereka yang suka mendownload musik via internet baik melalui jaringan P2P atau mendownload file lewat situs, juga meningkatkan pembelian CD asli.
Diperkirakan dampak dari jaringan P2P, juga membeli CD 0.44 buah pertahun.Dasarnya dari user internet yang mendownload 270 lagu setahunnya melalui Bittorrent, biasanya akan membeli 9 CD lebih banyak dibandingkan mereka yang hanya mendownload 27 lagu saja.
Mereka yang membajak dengan menyebarkan lagu di internet maupun mendownload tidak berbeda untuk perbandingan dari jumlah pembelian CD asli yang dibeli. Sehingga tidak ada hubungannya dari dampak keuntungan dan kerugian penjualan CD dengan file sharing di internet. Dampak negatif yang terlihat tetap ada, karena penjualan CD anjlok disebabkan penyebaran lagi melalui internet.
Dampak positif terbaik dari hasil riset tersebut, tidak ada salahnya seseorang membajak lagu. Karena mendownload memungkinkan seseorang mendapatkan lagu baru secara gratis. Atau dengan kata halus, mereka bisa mencoba lagu melalui internet sebelum membeli versi asli.
Kejahatan Pembajakan Hak Cipta Karya Musik, Tulisan, Program & Film - Haki Hak Atas Kekayaan Intelektual
Barangkali di antara kita ada yang tidak sadar bahwa aktivitas kehidupan sehari-hari yang kita jalani telah melanggar hak cipta orang lain. Tidak lain dan tidak bukan adalah membajak telah menjadi keseharian sebagian dari kita tanpa ada rasa bersalah telah melakukannya. Kegiatan bajak-membajak diterima dan telah menjadi salah satu bagian penting masyarakat kita.
Sadarkah efek dan dampak negatif yang ditimbulkan dari pembajakan? Tentu saja salah satunya adalah membuat penjahat pelaku pembajakan komersial semakin kaya raya.
Mari kita lihat beberapa dampak buruk lain pembajakan karya cipta :
1. Orang yang membuat karya cipta tidak mendapatkan uang atau keuntungan dari penjualan karyanya.
2. Pemerintah tidak mendapatkan pemasukan dari pajak penjualan suatu karya cipta. Kurangnya penerimaan pajak tentu akan menghambat pertumbuhan ekonomi di negara kita.
3. Kita jadi manja karena dibiasakan menggunakan sesuau yang ilegal tanpa mengeluarkan banyak uang.
4. Mendapat dosa dari Tuhan yang maha esa.
5. Orang lain yang menggantungkan nafkah pada proses pembuatan karya orang lain jadi ikut rugi, dll...
Oleh karena itu mari kita renungkan kembali perbuatan kita yang pro pembajakan dan menyengsarakan orang-orang kreatif. Mungkin keuntungan yang kita dapat adalah mendapatkan sesuatu yang bagus tanpa harus keluar banyak uang.
Beberapa kegiatan sehari-hari yang termasuk jahat :
1. Menggunakan komputer dengan program os windows bajakan serta program aplikasi lain tanpa lisensi seperti microsoft word, excel, norton anti virus, winzip, acdsee, download accelerator, visio, powerpoint, outlook, spss, dan lain sebagainya.
2. Membeli dan menonton film dari dvd atau vcd bajakan.
3. Membeli dan mendengarkan musik mp3 bajakan serta bentuk musik digital lainnya.
4. Menyebarluaskan kopian mp3 bajakan ke teman, keluarga, dan umum baik melalui cara manual maupun melalui media internet.
5. Mengkopi dan menjiplak tulisan orang lain dan memasukkannya ke dalam tugas sekolah atau kuliah.
6. Memainkan permainan atau game bajakan. Game yang asli biasanya harganya mahal. Game ps2 baru dan asli harganya bisa ratusan ribu rupiah, bukan lima ribu rupiah.
7. Download dan upload mp3, musik, film, program, game, dan lain sebagainya secara ilegal.
8. Mempublikasikan artikel, tulisan, gambar, musik, dsb hasil ciptaan orang lain pada blog, forum, milis, dsb milik sendiri maupun milik orang lain.
9. Membeli buku bajakan atau memotokopi buku komersial karena ingin punya buku kopian dengan harga murah.
10. Memperdengarkan / mempertontonkan musik atau film di depan umum / publik tanpa seizin pemilik hak cipta, dsb...
Marilah dari sekarang kita hargai hak atas kekayaan intelektual / haki orang lain yang dengan susah payah menciptakan sesuatu yang baik bagi kita semua. Tanpa jasa-jasa mereka kita tidak akan mungkin bisa menikmati sesuatu yang saat ini kita sukai dan merupakan hasil karya orang lain.
Gunakan dan nikmatilah sesuatu yang tidak melanggar hak cipta. Jika kita menyukai sebuah lagu maka belilah albumnya. Jika ingin nonton film baru, tontonlah di bioskop atau beli dvd aslinya. Jika tidak mau keluar uang untuk membeli software, carilah software berlisensi gratisan. Jika ingin memakai tulisan orang lain, maka kutiplah dengan baik, dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Menanggapi maraknya kasus pembajakkan di wilayah Solo dan sekitarnya, Supanto, Kepala Pusat Pengembangan dan Pelayanan Hak Kekayaan Intelektual (P3KI) LPPM UNS menyatakan, kasus yang susah terungkap.Pasalnya, jika ditelaah lebih jauh, kasus tersebut bukan hanya menyangkut masalah hukum dan ekonomi saja, tapi terkait dengan banyak hal sistemik, dan pasar memang menginginkannya.Supanto menjelaskan secara garis besar Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) itu terdiri atas hak paten, hak merek dagang, hak desain industri, dan hak cipta. Untuk kasus pembajakan lagu, itu masuk ke ranah pelanggaran hak cipta yang meliputi perlindungan atas karya seni, sastra, dan ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk kasus pemalsuan pelumas, dan farmasi itu masuk pelanggaran hak merk dagang. ”Jika untuk teknologi itu masuk ranah hak paten. Pelanggaran atas itu semua bisa masuk ke ranah pidana, dan juga perdata,” jelasnya.Untuk bisa memperkarakan kasus pembajakan ke jalur hukum, Supanto menyarankan para korban, agar bisa menunjukkan bukti HAKI yang sah. Bukti itu berupa pengakuan berwujud sertifikat resmi dari Dirjen HAKI. Tanpa adanya sertifikat tersebut, aparat akan susah untuk menindaklanjutinya. ”Penegakan hukum di Indonesia bekerja atas asas legal formal, bukan klaim atau asumsi. Untuk itu jika ingin memperkarakan, maka harus ada bukti yang resmi pula,” imbuhnya.
Tetapi di sisi lain dia sepakat jika hingga sekarang, penegakkan hukum terkait kasus pembajakan masih terkesan lemah dan tebang pilih. Padahal untuk hak cipta, kata dia, aparat sebenarnya berhak untuk meringkus langsung si pembajak tanpa menunggu laporan dari korban, dengan catatan jelas identitas penciptanya. Berbeda dengan hak merk dagang, karena masuk ranah delik aduan, polisi harus menunggu laporan resmi dari pihak yang dirugikan. ”Jika terbukti secara hukum, para pembajak ya harus segera ditangkap. Jangan
malah dibiarkan berkeliaran. Sebab selain mereka melanggar atas HAKI, hak ekonomi, serta hak moral, pidana dan perdata, mereka juga sangat merugikan negara dari sisi pajak,” kata Supanto yang juga dosen ilmu pidana Fakultas Hukum UNS ini. Lebih lanjut, dia mengimbau kepada para pihak penegak hukum untuk lebih serius dalam memberantas kasus pembajakan. Sebab untuk beberapa kasus pembajakan merk dagang seperti pembajakan obat-obatan, produk makanan dan minuman olahan, dan juga produk otomotif dampaknya akan jelas mengancam keselamatan jiwa masyarakat. ”Kalau ini dalam skala besar namanya kan mafia,” terangnya. (Deniawan Tommy Chandra Wijaya)
Pertanyaan yang menjadi judul di atas mungkin terkesan konyol. Mana ada orang baik seperti Anda secara sadar mau ikut-ikutan membajak. Apalagi membajak buku, barang yang saat ini belum banyak orang cari dan beli. Jangankan dibajak, dilihat saja mungkin tidak. Secara logika mana ada orang membajak barang jika tidak menguntungkan. Iya kan?
Sepintas mungkin anggapan itu benar. Tapi fakta menunjukan hal berbeda. Di negeri ini, sejak beberapa tahun lalu aksi pembajakan buku juga tak kalah marak dibanding pembajakan barang komersial lain seperti CD, kaset, software program atau apapun. Apalagi jika kita
melihat definisi pembajakan buku yang biasa tercantum di setiap buku -yaitu upaya memperbanyak buku dengan cara dicetak, difoto-copy atau cara lain tanpa mendapat izin tertulis dari penerbit buku terkait- maka akan kita temukan banyak sekali pihak yang secara sadar ataupun tidak sadar bisa disebut pembajak.
Sepinya perhatian masyarakat terhadap aksi pembajakan buku ini memang bisa dimaklumi. Berita seputar pembajakan buku tidak banyak diulas media. Akibatnya masyarakat banyak yang tidak tahu adanya aksi yang merugikan banyak pihak ini. Meskipun pihak penerbit dan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sudah banyak melakukan kegiatan untuk mengurangi aksi pembajakan ini, mulai dari aksi penyadaran agar masyarakat tidak turut membajak hingga upaya penindakan hukum kepada pedagang, percetakan dan pengusaha yang membajak buku, tetap saja isu tentang pembajakan buku ini tidak ramai dibicarakan orang.
Tentu kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi kalau melihat dampak negatif yang timbul akibat pembajakan tak hanya secara materiil tapi juga non-materiil.
Secara materiil pendapatan penerbit buku akan berkurang karena maraknya buku bajakan. Padahal pada saat yang sama penerbit harus membayar royalti kepada penulis, membayar penerjemah, membayar biaya operasional, membayar biaya promosi, dan membayar biaya produksi. Sedangkan secara non-materil yang
dirugikan adalah bangsa ini. Banyak penerbit dan penulis luar negeri yang sungkan bekerjasama dengan penerbit lokal karena khawatir buku yang dibuatnya dibajak orang. Sehingga secara bisnis kurang menguntungkan.
Kampanye.
Melihat kondisi yang mengkhawatirkan itu Penerbit Erlangga berinisiatif melaksanakan kampanye “Jangan Bajak Buku”. Aksi yang dimulai awal Oktober ini mengajak seluruh pihak, mulai dari masyarakat, pengusaha fotokopi, pedagang buku, pengusaha percetakan, kalangan media dan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), secara bersama-sama melawan aksi pembajakan buku. Fokus kegiatan ini adalah menarik perhatian semua kalangan untuk peduli dan bersedia “memerangi” aksi bajak buku.
Untuk mencapai tujuan tersebut Penerbit Erlangga melaksanakan beberapa kegiatan seperti pembagian sticker dan PIN kepada masyarakat, kunjungan media, kerjasama dengan Asosiasi
Pengusaha Photocopy, kerjasama dengan IKAPI melaksanakan penindakan hukum kepada pedagang dan percetakan buku bajakan. Selain itu akan diadakan pula lomba disain poster “Jangan Bajak Buku” untuk kalangan mahasiswa se-Indonesia. Hasil lomba ini akan dilanjutkan dengan pameran poster “Jangan Bajak Buku” yang dilaksanakan di beberapa kota besar.
Corporate Social Responsibility
Kampanye “Jangan Bajak Buku” yang rencananya akan dilaksanakan setiap tahun ini adalah salah satu bentuk aktifitas sosial atau corporate social responsibility Penerbit Erlangga. Kampanye “Jangan Bajak Buku” tidak semata-mata ingin menindak kalangan tertentu yang mengambil keuntungan dengan cara illegal tapi juga membangun kesadaran masyarakat tentang pengertian bajak buku. Sebab maraknya pembajakan buku saat ini tidak lepas dari minimnya pengertian masyarakat tentang aksi bajak buku.
Kebanyakan orang beranggapan yang dimaksud dengan bajak buku adalah memperbanyak buku dengan cara mencetak secara professional untuk kemudian dijual-belikan. Sehingga aktifitas di luar pengertian tersebut tidak termasuk pembajakan. Padahal pengertian pembajakan buku lebih luas lagi. Upaya memfotokopi buku secara keseluruhan tanpa izin dari penerbit juga termasuk pembajakan.
Melalui gerakan “Jangan Bajak Buku” ini Penerbit Erlangga coba membenahi kekeliruan pandangan tersebut. Dengan beberapa kegiatan yang sudah dirancang tersebut Penerbit Erlangga berharap masyarakat menyadari akibat negatif yang dihasilkan pembajak buku. Jika pembajakan buku marak, maka penerbit buku yang dirugikan. Jika penerbit dirugikan maka banyak yang tidak mampu berusaha. Jika penerbit banyak yang tidak mampu berusaha maka tidak ada yang akan membuat buku. Ujung-ujungnya masyarakat juga yang akan dirugikan karena tidak tersedia bahan bacaan. Semoga saja situasi tak benar-benar terjadi.
Setelah masuk dalam peringkat negara terkorup, masyarakat internasional juga menempatkan Indonesia dalam kategori surga bagi pembajakan hak kekayaan intelektual, terutamasoftware.
Demikian hasil riset tahunan ketujuh tentang tingkat pembajakan software pada 42 negara oleh perusahaan riset International Data Corp (IDC). Tingkat pembajakan di Indonesia, menurut studi tersebut meningkat satu persen menjadi 86 persen pada tahun 2009 dibanding tahun sebelumnya. “Tingkat kerajinan perusahaan maupun masyarakat sebagai end user produk software di Indonesia meningkat sehingga negara kehilangan pemasukan jutaan dolar Amerika Serikat,” ujar Perwakilan dan juru bicara asosiasi industri software global Business Software Alliance (BSA) Indonesia, Donny A Sheyoputra ketika mengumumkan hasil studi tersebut di Jakarta, Selasa (12/10). Menurut dia, pembajakan dilakukan perusahaan maupun end user dengan cara meng-install software bajakan untuk kepentingan maupun usaha mereka. Dia sampaikan, menurut studi IDC 'Global Software Piracy Study' serta studi manfaat ekonomi atas penurunan tingkat pembajakan software. Menurut studi kedua, apabila dunia dapat menekan pembajakan software sebesar 10 persen selama 2010-2013, maka diperkirakan pertumbuhan produksi domestik bruto (Gross Domestic Product/GDP) dunia meningkat menjadi AS$142 juta. Diperkirakan pula, tindakan itu berdampak pada penyerapan tenaga kerja di industri software sekira 500 ribu dengan kualifikasi hightech/highskills. Sekaligus meningkatkan potensi pendapatan pajak dunia mencapai AS$32 juta. Donny sampaikan, apabila dunia dapat menekan tingkat pembajakan sebesar 10 persen dalam waktu dua tahun, maka hasilnya adalah, GDP mencapai AS$193 juta, serta pendapatan pajak mencapai AS$43 juta. Apabila skenario menekan tingkat pembajakan dilakukan di kawasan Asia Pasifik, IDC memperkirakan periode 2010-2013, GDP 13 negara yang menjadi objek studi IDC di kawasan ini meningkat AS$41 juta. Sebanyak 350 ribu tenaga kerja dapat diserap dan potensi pendapatan pajak meningkat hingga AS$8,9 juta. Apabila skenario tersebut dipercepat hanya dua tahun, maka GDP meningkat menjadi AS$54,6 juta dan penerimaan pajak melonjak hingga AS$11,8 juta.
Potret IndonesiaMenurut IDC, dengan peningkatan satu persen, maka akibat pembajakan software di Indonesia, potensi ekonomi yang hilang setara dengan AS$886 juta pada tahun 2009. Potensi itu dihitung dari pendapatan pajak negara yang hilang serta hilangnya kesempatan industri software dan pendukungnya seperti distributor. Donny menguraikan, negara seharusnya lebih serius untuk menanggulangi pembajakan terutama sotware. Pasalnya, tutur dia, jika menggunakan skenario Indonesia dapat menurunkan tingkat pembajakan sebesar 10 persen sejak 2010-2013, maka GDP akan meningkat AS$2,4 juta. Kemudian tenaga kerja yang terserap mencapai 1.884 dengan kualifikasi high tech/high skills. ”Serta pendapatan pajak diperkirakan mencapai AS$124 juta.” Apabila dipercepat selama dua tahun saja, dampak dari penurunan pembajakan piranti lunak di Indonesia akan meningkatkan GDP sebesar AS$3,2 juta dan pendapatan pajak AS$162 juta. “Peningkatan satu persen juga disebabkan karena banyak pengusaha menjadikan software asli adalah biaya sehingga menggunakan bajakan,” tukas Donny. Pemahaman ini tentu salah, karena dilihat dari dampak ekonomi akibat pembajakan tentu banyak potensi ekonomi yang terhambat. Belum lagi, apabila menggunakan software bajakan, potensi sistem yang digunakan akan gagal mengingat isi dari perangkat lunak bajakan kerap tidak lengkap. Pada kesempatan sama, Tim nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (Timnas PPHKI) melakukan program kampanye 'Berantas software bajakan, untuk Indonesia yang lebih baik'. Sekretaris Timnas yang juga Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum da HAM Andi Noorsaman Sommeng, mengutarakan kampanye ini bertujuan menciptakan kesadaran akan hukum terkait penggunaan software ilegal. Kampanye disasarkan pada beberapa kota yaitu Bandung, Surabaya, Medan, Makassar. Kampanye ini, urai Andi, mengadopsi tiga komponen yaitu pendidikan atau kesadaran publik, kepatuhan, dan penegakan hukum.
Penuntutan dan penegakan hukum terkait pembajakan software sudah merambah kota-kota di luar pulau Jawa.
Hal itu diungkapkan oleh Donny A. Sheyoputra (Kepala Perwakilan BSA Indonesia) di Jakarta, kemarin (29/11). Kalau tahun lalu sebagian besar kasus pembajakan software masih didominasi pelaku yang berdomisili di Jawa. Tahun ini, ungkap Donny, aparat hukum di luar Jawa juga mulai disibukkan dengan berbagai perkara software bajakan.
Donny menyebutkan, antara lain, proses penuntutan terhadap pembajak software di Jambi dan Bontang. Beberapa kasus bahkan sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi setempat.
Perkembangan lain yang disampaikan BSA Indonesia adalah penegakan hukum dalam kasus pembajakan software tidak lagi hanya dilakukan oleh aparat setingkat Kepolisian Daerah. Kasus pembajakan software Adobe oleh sebuah perusahaan percetakan di Surabaya, misalnya, dilimpahkan oleh jajaran aparat Polrestabes ke Kejaksaan Negeri Surabaya.
Diakui Donny, setelah kampanye nasional bertajuk “Berantas Software Bajakan untuk Indonesia yang Lebih Baik” diluncurkan Oktober lalu, proses penegakan hukum terhadap pengganda, pengedar, dan pengguna software bajakan semakin kencang gaungnya.
Kabar ini tentu akan menyenangkan bagi industri software, lokal maupun multinasional. Pasalnya nilai nominal kerugian akibat merajalelanya software piracy di Indonesia mencapai US$ 866 juta tahun lalu. Tahun ini, jelas Donny, bisa menembus angka US$ 1 milyar.
Padahal jika tingkat pembajakan bisa ditekan 10 persen saja, selama 4 tahun, sektor perekonomian Indonesia akan mengalami berbagai kemajuan. Misalnya, peningkatan GDP
sampai US$ 2,4 milyar, ketersediaan lebih dari 1884 lapangan pekerjaan berkualifikasi high tech, dan pemasukan pajak sebesar US$ 124 juta. Prakiraan tersebut adalah hasil studi IDC yang bertajuk “Dampak Ekonomi dari Pengurangan Tingkat Pembajakan Software” dan diluncurkan bulan September lalu.
Benarkah Pembajakan Itu Salah dan Samasekali Tidak Bisa Ditolerir?Posted on 09:23 comments (30) Labels: China, News, Opini
Urusan lisensi, bajak membajak dan menjiplak (plagiat) karya orang lain, saat ini lagi menjadi isu menarik. Sampai tulisan ini saya tulis masih menjadi topik hangat karena jadi ajang threat diskusi di milis saya. Awalnya, gara-gara situs SalingSapa yang ramai dibicarakan di media. Kemudian berlanjut ke masalah lisensi yang dipakai situs SalingSapa yang katanya menggunakan CMS milik JCows. Dan diluar diskusi di milis, saya lihat beberapa kawan blogger saya juga tidak sedikit yang mengulas tentang SalingSapa, juga masalah HAKI, plagiat dan lisensi ini.
Kali ini saya ingin mengulas dari sisi yang berbeda. Pertanyaan saya: Benarkah tindakan pembajakan itu salah dan samasekali tidak bisa ditolerir? Bagaimana kalau menurut pendapat Anda?
Sebelum Anda menjawab pertanyaan saya, saya ingin menyampaikan tiga fakta berikut ini kepada Anda. Semoga tiga contoh yang akan saya beberkan kepada Anda ini sedikit bisa memberi warna, bukan hanya sekedar hitam dan putih atau salah dan benar, mengapa pembajakan dan plagiat itu prakteknya masih tumbuh subur. Dan beberapa negara malah melegalkannya. Saya akan bahas satu persatu.
1. Fakta tentang negara China
Kemampuan membuat barang tiruan (imitasi) bangsa China memang luarbiasa mengantar negaranya menjadi raksasa penguasa ekonomi dunia seperti sekarang ini. China tidak perlu
pengakuan dari siapapun atas fakta ini. Keberhasilan mereka dalam mencapai kemajuan bangsanya sebagai raksasa ekonomi terbesar di dunia yang terus tumbuh akibat dari salah satunya melakukan praktek meniru atau menjiplak produk negara lain. Betul?
China, apa sih barang yang sekarang ini tidak ditiru oleh China? Dari mulai aksesories seperti arloji, tas, pakaian, ponsel, produk elektronik sampai motor semua bisa dijiplak persis oleh China. Anda ingin tahu apa argumentasi orang China tentang hal ini? Ternyata China punya paham yang berbeda dalam memandang urusan yang satu ini.
Meniru. Bagi China adalah sah-sah saja mereka lakukan apa yang sebetulnya kita sebut sebagai plagiat, sebab bagi mereka itu justru adalah hak. Hak? Aneh, kan terdengarnya? Tapi itu benar. Karena menurut mereka (bangsa China) memiliki hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang umumnya dimiliki oleh negara-negara maju (barat) tersebut. Bangsa China mengklaim telah menyumbangkan warisan kekayaan intelektual secara cuma-cuma kepada seluruh umat manusia dan negara maju untuk meningkatkan peradaban mereka sejak jaman dahulu kala.
Bahkan, ini saya mengutip dari email di milis Telematika, salah seorang menteri China dalam suatu pidato resminya pernah mengatakan bahwa apabila bangsa barat menuntut hak atas kekayaan intelektual (HAKI) masa kini maka seharusnya mereka juga mengakui kekayaan intelektual masa lalu yang telah menjadikan mereka maju seperti sekarang ini. Termasuk membayar semua kerugian atas ide imperialisme dan industrialisasi kaum kapitalis sejak pasca jaman renaissance yang telah menyengsarakan umat manusia di belahan timur dan selatan.
2. Fakta tentang penjajahan di negara kita
Saya berandai-andai kalau saja negara kita tak pernah dijajah oleh negara-negara barat, kalau menurut Anda apakah bangsa ini tetap akan terpuruk, tertinggal kemajuannya dengan negara maju lainnya seperti sekarang ini? Belum tentu, kan? Bayangkan saja selama 350 tahun kita dihisap, dijajah bangsa barat, dieksploitasi kekayaan alamnya sampai selama itu. 350 tahun itu kalau yang jadi patokan adalah AHH (angka harapan hidup) orang Jogja, 73 tahun, bayangkan itu artinya hampir selama lima turunan (generasi).
Jika saja negara kita sudah berdiri mandiri dan tidak dijajah oleh negara barat sejak jaman Majapahit misalnya, belum tentu kita akan tertinggal jauh seperti sekarang ini, kan? Betul?
Kalau tindakan China yang suka meniru atau menjiplak hasil kekayaan intelektual dari bangsa lain, maka bagaimana kalau saya berpendapat sama untuk negara kita? Anggap saja ini impas juga dengan masa lalu karena mereka (negara barat) sudah pernah menjajah kita setelah sekian lama. Jadi kalau pun kita membajak, contoh software, karena salah satunya orang di negara kita memang miskin, tak mampu beli yang legal. Faktanya memang rata-rata begitu, kan?
Boleh saya sebut itu sebagai bentuk Penjajahan Terbalik dari perbuatan dulu karena mereka pernah lakukan penjajahan pada negara kita? Apakah menurut Anda argumentasi saya tersebut salah dan tetap tidak bisa ditolerir?
3. Fakta tentang para underground
Berbicara masalah lisensi dan bajak membajak ada satu komunitas yang eksistensinya harus diakui juga. Yaitu komunitas para underground atau kubu anti lisensi, paten, royalti dan penganut copyleft yang menganggap HAKI adalah produk pemberian dari Tuhan sehingga tidak pantas diperjualbelikan. Mereka ini malah menganggap sistem lisensi ini adalah paham kapitalis liberal yang melakukan penghisapan manusia atas manusia. Salah satu alat imperialisme baru. Salah satu contoh saja, misalnya dalam kasus hak atas virus yang ternyata dimiliki eksklusif oleh industri farmasi negara maju dengan memanfaatkan otoritas lembaga dunia PBB seperti WHO.
Dan kalau Anda pernah membaca buku “Di Balik Kisah-kisah HACKER Legendaris” yang ditulis oleh Wicak Hidayat dan Yayan Sopyan maka di salah satu halamannya ada sebuah kutipan menarik yang ditulis oleh seorang Hacker yang menyebut dirinya bernama “The Mentor, 1986”. Mereka membuat sebuah statement yang sangat menarik, yang merupakan ‘Manifesto Hacker’. Sebuah bentuk ketidakpuasan. Berikut saya kutip sebagian isi kata-katanya:
“….Kalian menyebut kami penjahat.. karena kami menggunakan layanan yang sudah ada tanpa membayar, padahal layanan itu seharusnya sangat murah jika tidak dikuasai oleh orang-orang rakus….”
Bukankah ketiga fakta yang saya sebutkan di atas, yaitu fakta di China, penjajahan di negara kita dan ‘Manifesto Hacker’ itu sebuah fakta yang tak bisa kita pungkiri juga di sisi lain?
Terakhir kesimpulannya. Maaf, kali saya tidak akan menyimpulkan masalah plagiat atau bajak membajak ini. Sama seperti judul dalam artikel ini yang berupa sebuah pertanyaan, saya hanya bertanya kepada Anda. Selanjutnya silahkan jawab dan putuskan sendiri sikap Anda
Mengapa terjadi pembajakan ? Ada beberapa jawaban yang diberikan oleh beberapa responden. Ada yang bilang cari yang asli sulit, ada yang bilang barang yang asli terlalu mahal atau ada yang bilang super mahal.Tapi pada umumnya bilang bahwa barang yang asli itu mahal.
Berdasarkan kenyataan itulah ada orang yang menangkap peluang yaitu dengan melakukan pembajakan produk asli tersebut. Bukannya para pembajak itu tidak tahu ingin meraih perhasilan di atas jerih payah orang lain tapi godaan penghasilan yang begitu menggiurkan membuat mereka melupakan norma-norma tersebut ditambah lagi hukum pasar dan motif ekonomi dari masyarakat, dengan modal sedikit memperoleh kenikmatan atau keuntungan mereka butuhkan. Bisa juga para pembajak itu tidak tahu hukum, atau mereka tahu hukum tapi uang telah menutupi hukum tersebut.
Lalu bagaimanakah caranya agar tidak terjadi pembajakan. Opiniku ini mungkin bisa menjadi solusi. Kita tentu tahu bahwa masyarakat di Indonesia dan belahan dunia lain itu terdiri dari tiga golongan, yaitu kecil, menengah dan atas. Golongan masyarakat kecil adalah mereka yang penghasilannya tidak mencukupi atau hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Golongan masyarakat menengah adalah golongan masyarakat yang penghasilannya yang apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup ada sisa penghasilan walaupun sedikit. Golongan atas adalah golongan masyarakat yang penghasilannya yang apabila digunakan untuk kebutuhan sehari-hari masih sisa banyak atau penghasilannya tidak bisa dihitung karena saking banyaknya penghasilan yang mereka peroleh. Lalu apa semua hubungannya semua itu. Soal selera pun masyarakat itu dibedakan berdasarkan golongan masyarakat tersebut ditambah lagi bahwa setiap manusia itu punya ego dan rasa gengsi.
Oleh karena itu tidak salah jika sebuah produk bisa juga digolongkan menjadi beberapa golongan, produk untuk kalangan kecil sampai untuk kalangan atas. Untuk itulah maka sebuah produk, misalnya kaset sebuah band tertentu seharusnya tidak hanya diproduksi hanya mampu dibeli orang yang dapat menjangkau harga yang ditawarkan tapi juga dapat dijangkau oleh masyarakat golongan lain. Caranya yaitu produk kaset tersebut tidak hanya diproduksi oleh satu perusahaan tapi bisa lebih dari satu perusahaan, yang tentunya terlebih dahulu mendapatkan ijin dari band sebagai pemilik produk. dengan diproduksi lebih dari satu perusahaan itu diharapkan dapat memenuhi produk yang dapat dijangkau semua kalangan. Kalangan atas tentu mengharapkan produk yang sempurna, sedangkan kalangan kecil mungkin asal bisa bunyi itu sudah cukup asal bisa menikmati produk tersebut. Untuk memproduksi produk murah tersebut mungkin bisa digandeng produsen yang selama ini memproduksi produk bajakan. Dengan begitu mereka tidak lagi perlu kucing-kucingan lagi lengan para penegak hukum. Para produsen besar juga tidak perlu kawatir produk murah yang diproduksi perusahaan lain karenasetiap produk itu menciptakan pasarnya sendiri. Dengan cara begini bukan Cuma mengatasi pembajakan tapi juga memberdayakan ekonomi rakyat yang modalnya minim. Untuk produk-produk lain juga bisa diterapkan cara ini.
Sekarang tinggal niat baik dari pemerintah dan juga para produsen atau pemegang merek apakah mereka mau membagi penghasilan dengan produsen lain yang lebih kecil
skalanya. Selama sebuah produk tetap mahal atau tidak terjangkau maka akan ada usaha untuk menikmati produk tersebut walaupun dengan membajak. Kalau tidak ingin ada pembajakan maka cara seperti yang telah saya sampaikan di atas mungkin bisa diterapkan. Atau kalau tidak harus ada produk murah untuk masyarakat yang penghasilannya pas-pasan.
Intinya, satu produk tidak hanya diproduksi oleh satu perusahaan tapi lebih dari satu perusahaan untuk produk-produk yang mahal tersebut.
Komitmen dibutuhkan dari semua pihak yang terkait. Aparat, dunia usaha, hingga masyarakat.
Muhammad Firman, Muhammad Chandrataruna
VIVAnews - Menanggapi seputar perbedaan persepsi yang terjadi di antara para
penegak hukum dalam menghadapi kasus hak atas kekayaan intelektual, PPHKI angkat bicara.
Ansori Sinungan SH, LLM, Koordinator Administrasi Tim Nasional PPHKI menyebutkan, Tim Nasional akan melakukan koordinasi agar persepsi di kalangan penegak hukum seperti kepolisian dan jaksa/hakim sama.
Menurutnya Ansori, Tim Nasional bisa melakukan itu karena Tim Nasional PPHKI dipimpin oleh Menkopolhukam dengan para anggota antara lain Kapolri dan Jaksa Agung.
“Kami juga sebenarnya sudah memberikan pelatihan dan pendidikan soal HKI kepada para aparat penegak hukum, dari tingkat polisi, jaksa, hingga hakim. Dan ini akan terus kami tingkatkan,” kata Ansori, pada keterangan yang VIVAnews kutip, 3 November 2009.
“Selain itu, kami akan mengundang para aparat ini semuanya secara bersama-sama supaya masalah perbedaan persepsi ini bisa diatasi,” ucap Ansori.
Pada prinsipnya, kata Ansori, kata kunci dari penegakan hukum di ranah HKI adalah komitmen semua pihak terkait mulai dari aparat penegak hukum, dunia usaha, hingga masyarakat. Sebab perdagangan produk bajakan ini meliputi beragam aspek mulai dari aspek ekonomi, hukum, hingga budaya.
Sebelumnya, Sutisto, Kepala Bagian Bina Mitra Poltabes Bandung menyebutkan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan upaya penegakan hukum terhadap para produsen dan pedagang produk bajakan. Namun, ketika sampai di pengadilan, hukuman yang dijatuhkan hakim tidak maksimal seperti hanya beberapa bulan.
Padahal, menurut Sutisto, para aparat di pengadilan seharusnya memberikan hukuman maksimal supaya muncul efek jera (deterrence) bagi para pelaku pelanggaran.