Page 1
i
PELAKSANAAN PEMUNGUTAN SUARA ULANG DALAM
PEMILUKADA DI KOTA CIREBON TAHUN 2018
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PHP.KOT/XVI/2018)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ARDHI RACHMAT RAMADHAN
NIM: 11150480000074
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2019 M
Page 5
v
ABSTRAK
Ardhi Rachmat Ramadhan. NIM 11150480000074. PELAKSANAAN
PEMUNGUTAN SUARA ULANG DALAM PEMILUKADA DI KOTA
CIREBON TAHUN 2018 (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 8/PHP.KOT-XVI/2018) Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1441 H/2019 M. viii + 98 halaman.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum oleh hakim
Mahkamah Konstitusi dalam memutus pelaksanaan pemungutan suara ulang pada
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Cirebon Tahun 2018 dengan
meninjau teori demokrasi, kedaulatan rakyat, dan negara hukum. Dalam
Pemilukada Kota Cirebon Tahun 2018 terjadi kecurangan dalam Pemilihan
dengan adanya pembukaan kotak suara secara melawan hukum sehingga
mempengaruhi perolehan suara yang merugikan Pasangan Calon, yakni Pasangan
Calon Nomor Urut 1 dengan perolehan suara yang lebih kecil daripada Pasangan
Calon Nomor Urut 2.
Penelitian ini menggunakan jenis normatif-yuridis dan library research
dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-
buku, jurnal-jurnal, dan sumber dari internet yang berkaitan. Metode analisis yang
digunakan sebagai bahan hukum primer adalah Undang-Undang Dasar 1945,
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018 yang dihubungkan
dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2017 dan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilukada. Bahan hukum sekunder
berasal dari sumber kepustakaan seperti buku, jurnal, Majalah ilmiah yang
mendukung penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan Putusan Mahkamah Konstitusi telah sesuai
peraturan perundang-undangan terkait Pemilukada karena Pemohon memiliki
kewenangan menurut hukum mengajukan ke Mahkamah Konstitusi karena
terbukti telah terjadi pembukaan kotak suara Pemilihan secara melawan hukum
yang harus dilakukan pemungutan suara ulang agar hasil perolehan suara dapat
diakui oleh Pemohon sesuai asas Pemilukada yang demokratis.
Kata Kunci: Pemungutan Suara, Pemilukada, Mahkmah Konstitusi.
Pembimbing Skripsi : Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si.
Daftar Pustaka : Tahun 1978 sampai Tahun 2019.
Page 6
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بســــــــــــــــــم هللا الر
Assalaumualaikum wr. wb
Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“PELAKSANAAN PEMUNGUTAN SUARA ULANG DALAM
PEMILUKADA DI KOTA CIREBON TAHUN 2018 (ANALISIS PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 8/PHP.KOT-XVI/2018)”. Salawat dan
salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, Nabi
terakhir dan rahmat bagi seluruh alam beserta sahabat-sahabatnya yang senantiasa
membantu Nabi dalam berdakwah.
Selanjutnya, peneliti ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada
semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Karena
tanpa mereka akan sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini dengan
cepat dan baik. Oleh sebab itu, peneliti berterima kasih kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.
Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si. Pembimbing Skripsi peneliti yang telah
bersedia membimbing dengan meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya
sehingga dengan itu skripsi penulis dapat selesai dan terarah.
4. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang telah memuat kumpulan
salinan putusan yang dapat diakses secara online.
5. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memuat
banyak koleksi buku sehingga peneliti dapat pinjam dan baca sebagai bahan
rujukan skripsi penulis.
Page 7
vii
6. Pimpinan Perpustakaan Nasional Jakarta yang telah memberi fasilitas bacaan
buku yang sangat lengkap kepada peneliti sehingga banyak referensi yang
peneliti peroleh dari sana.
7. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian karya tulisnya.
Jakarta, Oktober 2019
Peneliti,
Ardhi Rachmat Ramadhan
Page 8
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………... i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ….................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………… iv
ABSTRAK ………………………………………………………………... v
KATA PENGANTAR ……………………………………………………. vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………... viii
BAB I: PENDAHULUAN ………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah …... ………6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………….. 8
D. Metode Penelitian …………………………………….. ……... 8
E. Sistematika Penulisan ………………………………................ 11
BAB II: DASAR HUKUM PELAKSANAAN PEMUNGUTAN SUARA
ULANG ……….............................................................................. 13
A. Kerangka Konseptual …………………………………. ……... 13
1. Mahkamah Konstitusi ……………………………………. 13
2. Pemungutan Suara Ulang ………………………………… 17
3. Pemilihan Umum Kepala Daerah ………………................18
B. Kerangka Teori ……………………………………………….. 19
1. Teori Negara Hukum …………………………………….. 20
2. Teori Demokrasi …………………………………………. 27
3. Teori Kedaulatan ………………………………................ 35
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu …………………………. 45
BAB III: KASUS PEMUNGUTAN SUARA ULANG PEMILUKADA KOTA
CIREBON TAHUN 2018 ……………………………………. 48
A. Identitas Para Pihak …………………………………… …….. 48
B. Putusan Hakim Sebelum Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Kota
Cirebon Tahun 2018 ………………………………………….. 48
Page 9
ix
C. Pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Kota Cirebon
Tahun 2018 …………………………………………………… 51
D. Profil Kota Cirebon …………………………………................ 53
BAB IV: PEMUNGUTAN SUARA ULANG KOTA CIREBON TAHUN
2018…………………………...………………………………... 56
A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Pelaksanaan Pemungutan Suara
Ulang …………………………………………………………. 56
B. Pemungutan Suara Ulang dan Pemilukada Dalam Perspektiff Negara
Hukum, Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat ……………….... . 80
BAB V: PENUTUP ………………………………………………………. 91
A. Kesimpulan …………………………………………………… 91
B. Rekomendasi ………………………………………………….. 92
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 94
Page 10
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan bernegara di Indonesia, segala hal telah diatur
berbagai hal, termasuk pengaturan tata pemerintahan yang diatur agar
tercipta harmoni dalam bernegara. Dalam menjalankan negara hukum ini
diadakan pemilihan, yakni pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah
dimana pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah memiliki perbedaan
cukup signifikan. Pemilihan umum adalah pemilihan anggota DPR, DPD,
dan DPRD serta pemilihan Presiden sedangkan pemilihan kepala daerah
adalah pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota beserta wakil-wakilnya.
Hal itu dibedakan karena Undang-undang yang terkait itu berbeda,
berbeda dari pencalonannya, tugas dan wewenangnya, syarat administratif,
dan lain-lain. Namun dalam pelaksanaannya, pemilihan umum dan
pemilihan umum kepala daerah sering disamakan maksud dan tujuannya
oleh masyarakat karena sistem pemilihannya sama dengan melakukan
pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sehingga terjadi salah
persepsi terhadap penyebutan istilah pemilihan. Jadi jika terdapat
pelanggaran terhadap pemilihan pihak yang bertanggungjawab sama, yaitu
Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Pemilihan Umum
dan Pemilihan umum Kepala Daerah merupakan kegiatan yang sama
namun peraturan dan istilah yang mengatur berbeda.
Hal senada juga terjadi dalam Pemungutan Suara Ulang.
Pemungutan Suara Ulang terdapat dalam Pemilihan Umum maupun
Pemilhan Umum Kepala Daerah yang dapat dilakukan jika terjadi
kecurangan pada proses penghitungan suara atau sebab yang lain seperti
pembukaan kotak suara secara melawan hukum dan lain-lain.
Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang menjadi
norma dasar di Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan falsafah
negara (filosofische gronslag), staats fundamentale norm, weltanschauung
Page 11
2
dan juga diartikan sebagai ideologi negara (staatsidee).1 Negara Indonesia,
dalam pengelolaan atau pengaturan kehidupan bernegara dilandasi oleh
filsafat atau ideologi Pancasila. Fundamen negara ini tidak mungkin
diubah. Jika diubah, berarti mengubah eksistensi dan sifat negara.
Pemilihan Kepala Daerah, dalam hal ini Pemilihan Walikota
dan/atau Wakil Walikota telah termaktub dalam Pasal 18 Ayat (4)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk
selanjutnya disebut UUD NRI 1945 Tentang Pemerintahan Daerah yang
berbunyi, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.” Dengan demikian jelaslah bahwa seorang Walikota di sebuah
kota harus dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum secara demokratis.
Demokratis sendiri artinya yang bersifat demokrasi, dalam hal ini
merupakan sifat dari bentuk atau sistem pemerintahan pada suatu negara.
Misalkan negara demokratis adalah negara yang menerapkan demokrasi
yang mana negara mengutamakan persamaan hak, kewajiban, dan
perlakuan sama bagi semua warga negara.2 Hal ini karena Indonesia
melaksanakan pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah untuk
menentukan pemimpin pada suatu wilayah di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang, dalam Pasal 1 Angka 1 disebutkan bahwa “Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang
selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di
1 HBM. Munir, dkk, Pendidikan Pancasila (Malang: Madani Media, 2015), h., 37.
2 Pengertian Demokrasi, Demokratis, dan Demokratisasi, Kanal Pengetahuan, https://www.kanalpengetahuan.com/pengertian-demokrasi-demokratis-dan-demokratisasi, diakses
pada 1 April 2019 Pukul 14.30 WIB.
Page 12
3
wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
secara langsung dan demokratis”.
Dalam Pasal 1 angka 1 tersebut terdapat kata ‘Walikota dan
Wakil Walikota dipilih secara langsung dan demokratis’. Artinya kata
demokratis ini merupakan kata yang digunakan juga pada Pasal 18 Ayat
(4) UUD 1945 dengan maksud menegaskan arti kata demokratis agar lebih
mudah dipahami oleh khalayak umum. Jimly Asshiddiqie mengartikan
bahwa demokratis mengartikan demokratis berarti harus sesuai dengan
hasil pemilihan umum sebagai ciri yang penting atatu pilar yang pokok
dalam sistem demokrasi modern.3 Dengan demikian demokrasi yang baik
adalah demokrasi yang menjalankan pemilu dalam mengangkat kepala
daerah yang baik dan amanah terhadap jabatan yang di embannya.
Dalam Pasal 1 angka 1 tadi terdapat istilah baru bagi pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota
dan Wakil Walikota dengan istilah Pemilihan, bukan Pemilihan Umum
karena sebelum ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 ini, Kepala
Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) tetapi sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat
Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Pada
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga secara resmi
bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau
disingkat Pemilukada.4 Jadi, Pemilihan Kepala Daerah mengalami
perubahn istilah dari masa ke masa berawal dari Pilkada (sejak keluarnya
3 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), cet. Kelima, h., 417.
4 Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, Wikipedia Bahasa Indonesia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia, diakses pada 4 April 2019
Pukul 13.15 WIB.
Page 13
4
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah),
Pemilukada pada tahun sejak tahun 2007 hingga Pemilihan di tahun 2015.
Pada Pemilukada serentak tahun 2018 Kota Cirebon, terjadi
kecurangan yaitu pembukaan kotak suara secara illegal sehingga membuat
Pasangan Calon Nomor urut 01 kalah dalam perolehan suara sehingga
memohon ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Keputusan
Komisi Pemilihan Umum Kota Cirebon Nomor 100/PL.03.6-
Kpt/3724/KPU-Kot/VII/2018 yang pada akhirnya Mahkamah Konstitusi
mengabulkannya sehingga diadakan pemungutan suara ulang di dua puluh
empat TPS pada empat Kecamatan. Tetapi, di PSU Calon Nomor urut 01
kalah juga perolehan suaranya karena suara dan DPT yang ditetapkan
KPUD Cirebon sama dengan sebelum PSU. Itu pun terjadi perubahan DPT
dari sebelum PSU dan sesudah PSU karena banyak yang sebelumnya
menggunakan hak pilihnya kemudian di PSU tidak begitupun sebaliknya,
ada DPT yang diluar negeri sebelum PSU tidak bisa menggunakan hak
pilihnya namun saat PSU sudah kembali dan dapat menggunakan hak
pilihnya. Namun itu semua tidak merubah perolehan suara terbanyak dari
pemungutan suara sebelumnya, yang terbanyak tetap nomor urut 02. Atas
dasar tersebut Mahkamah Konstitusi menerima permohonan pemohon
dengan permohonan terjadi kecurangan pembukaan kotak suara secara
illegal. Dengan demikian Putusan Mahkamah Konstitusi memenangkan
Termohon berdasarkan perolehan suara terbanyak.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya memerintahkan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Cirebon untuk melakukan
pemungutan suara ulang di 24 TPS. adapun 24 TPS pada Pilkada Cirebon
itu tersebar di Kecamatan Kesambi sebanyak 3 TPS, Kecamatan Kejaksan
sebanyak 18 TPS, Kecamatan Lemahwungkuk sebanyak dua TPS dan satu
TPS di Kecamatan Pekalipan.5
5 MK Perintahkan Pemungutan Suara Ulang Pilkada Cirebon, liputan 6.com,
https://www.liputan6.com/news/read/3642632/mk-perintahkan-pemungutan-suara-ulang-pilkada-
cirebon?related=dable&utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.1&utm_referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.co.id%2F, diakses pada 10 Agustus 2019 pukul 15.20 WIB.
Page 14
5
Itu semua terjadi karena di Indonesia dalam memilih pemimpin,
dalam hal ini kepala daerah dilakukan dengan Pemilihan umum.
Pemilihan Umum adalah bagian dari pelaksanaan prinsip demokrasi yang
disebut dalam UUD 1945 Pasal 22E. Oleh karenanya negara yang
menyatakan diri sebagai negara demokrasi dalam konsitusinya, pasti
melaksanakan kegiatan pemilu untuk memilih pemimpin negara atau
pejabat publik yang baru.6 Demokrasi Indonesia yang akan ditata, adalah
demokrasi yang dibingkai dengan norma-norma konstitusi yang terdapat
dalam UUD 1945. Demokrasi Indonesia tidak identik dengan “vox populi
vox dei “(suara rakyat adalah suara Tuhan) sebagaimana paham J.J
Rousseau; juga demokrasi Indonesia tidak sinonim dengan “suara
mayoritas adalah suatu kebenaran”. 7
Hal tersebut termasuk pula demokrasi konstitusi terlihat dalam
perwujudan antara lain: pertama, pelaksanaan pemilihan umum (pemilihan
umum DPR, DPD, DPRD, Presiden, Wakil Presiden, dan Kepala
Pemerintahan Daerah. Kedua, pelaksanaan norma-norma konstitusi dalam
bentuk undang-undang (UU). Ketiga, pelaksaaan kewenangan lembaga
negara.8 Hal ini berkaitan dengan pemungutan suara ulang dalam memilih
kepala daerah yang diakibatkan adanya kecurangan dalam pemungutan
suara seperti pembukaan kotak suara pemilihan yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebab demokrasi dijalankan
dengan Pemilu atau Pemilukada.
Partisipasi masyarakat dalam pemungutan suara ulang adalah
sangat penting. Karena jika mengalami penurunan maka mengakibatkan
kedaulatan rakyat yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945
kurang berjalan dengan baik. Karena negara yang menempatkan
6 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011, cet. Kesatu), h., 156.
7 Taufiqurrohman Syahuri, “Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Perselisihan Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Umum Berdasarkan Undang-Undang No.24 Tahun 2003” Jurnal
Konstitusi vol II, No. 1, (Juni 2009), h., 11.
8 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, … h., 167.
Page 15
6
kekuasaan tertinggi pada rakyat adalah negara yang demokrasi,9 dan
negara yang demokratis adalah negara yang menghendaki rakyat dapat
ikut berpartisipasi secara langsung dalam pemilihan umum, dalam hal ini
kepala daerah.
Berdasarkan latar belakang ini peneliti bermaksud meneliti dalam
sebuah skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang
dalam Pemilukada di Kota Cirebon Tahun 2018 (Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018) dengan berfokus
pada menilai pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi dalam
memutus memerintahkan pelaksanaan pemungutan suara ulang dimana
hasil dari pemungutan suara ulang tersebut adalah sama dengan sebelum
pelaksanaan pemungutan suara ulang serta Kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam memerintahkan pemungutan suara ulang pada rezim
Pemilu saat ini.
B. Identitfikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasi
masalah berbagai sebagai berikut:
a. Terjadi kecurangan dalam Pemilihan Kepala Daerah di Kota
Cirebon.
b. Pembukaan kotak suara pemilihan secara illegal yang berpengaruh
signifikan terhadap perolehan suara kedua Pasangan Calon yang
mengakibatkan pemungutan suara ulang.
c. Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemungutan suara ulang di
24 TPS pada 4 Kecamatan Kota Cirebon.
d. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PHP_/KOT-XV/2018
Tentang Pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang di Kota Cirebon
Tahun 2018 yang memerintahkan untuk melaksanakan Pemungutan
Suara Ulang tetapi hasil yang didapat tetap sama dengan
9 Azka Hussein, “Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pemungutan Suara
Ulang terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Pati”,
Jurnal Pandecta, vol. 8, no. 2, (Juli 2013), h., 236-237.
Page 16
7
pemungutan sebelumnya yaitu dimenangkan oleh Pasangan Calon
Nomor urut 1 sehingga menghabiskan anggaran Kota Cirebon oleh
KPU Cirebon.
e. Hasil dari pemungutan suara ulang yang pemenangnya sama
dengan sebelum pemungutan suara ulang.
f. Ada DPT yang diluar negeri sebelum PSU tidak bisa menggunakan
hak pilihnya namun saat PSU sudah kembali dan dapat
menggunakan hak pilihnya.
g. DPT yang ditetapkan KPUD Kota Cirebon sama dengan sebelum
pemungutan suara ulang.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan mengenai Pemungutan
Suara Ulang dalam Pemilukada di Kota Cirebon Tahun 2018, maka
penelitian memfokuskan hanya pada masalah pembukaan kotak suara
secara illegal yang berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara
kedua Pasangan Calon yang mengakibatkan pemungutan suara ulang.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang
telah diuraikan di atas, maka peneliti rumuskan masalah penelitian
yaitu tentang mengapa Mahkamah Konstitusi mengabulkan
Permohonan Pemohon dalam hal pembukaan kotak suara secara illegal
yang berpengaruh secara signifikan terhadap perolehan suara kedua
Pasangan Calon yang berakibat pemungutan suara ulang.
Untuk mempermudah menjawab perumusan masalah yang
telah diuraikan di atas, maka peneliti buat dalam bentuk dengan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam
memutuskan pelaksanaan pemungutan suara ulang Kota Cirebon
Tahun 2018?
b. Bagaimana pemungutan suara ulang dan Pemilukada dilihat dari
perspektif negara hukum, demokrasi, dan kedaulatan rakyat?
Page 17
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini secara umum sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim Mahkamah
Konstitusi dalam memutuskan pelaksanaan pemungutan suara
ulang Kota Cirebon Tahun 2018.
b. Untuk mengetahui pemungutan suara ulang dalam perspektif
negara hukum, demokrasi, dan kedaulatan rakyat.
2. Manfaat dari penelitian ini secara umum sebagai berikut:
a. Dengan penelitian ini diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat
bagi kalangan pelajar, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat
umum yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai pemungutan
suara ulang dalam Pemilukada Kota Cirebon Tahun 2018,
pertimbangan hukum hakim MK dan Putusan hakim dalam
pemungutan suara ulang Pemilukada Kota Cirebon Tahun 2018,
penyelenggaraan pemungutan suara ulang, dan Kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa perselisihan
hasil pemilihan umum, dalam hal ini Pemilukada Kota Cirebon
Tahun 2018.
b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan pelajar,
akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum yang ingin
mengetahui peraturan perundang-undangan terkait pemungutan
suara ulang di Indonesia.
c. Dengan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti
selanjutnya sebagai acuan dalam meneruskan penelitian ini.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Fokus utama penelitian ini adalah pemungutan suara ulang
dalam pemilukada di Kota Cirebon Tahun 2018 yang menganalisis
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018
sehingga penelitian ini menggunakan metode penelitan kepustakaan
(library research), yang bersifat normatif yuridis. Penelitian
Page 18
9
merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstrusi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara
tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan
konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu
kerangka tertentu.10
2. Sumber Data
a. Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data dari suatu objek atau
dokumen original-material mentah dari pelaku yang disebut “first-
hand information”. Data yang dikumpulkan dari situasi aktual
ketika peristiwa terjadi dinamakan data primer.11 Sumber data
primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang, dan berbagai peraturan KPU yang relevan dengan
penelitian ini.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari tangan
kedua atau dari sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum
penelitian dilakukan. Sumber sekunder meliputi komentar,
interpretasi, atau pembahasan tentang materi original12. Data
10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1986), cet. Ketiga, h., 42.
11 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), cet.
Pertama, h., 289.
12 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, … h., 291.
Page 19
10
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersumber
dari buku-buku, internet, jurnal-jurnal hukum, putusan pengadilan
komentar komentar hukum yang berkaitan dengan skripsi yang
penulis teliti.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data, teknik yang digunakan peneliti
adalah penelitan kepustakaan (library research) dengan sumber utama
penelitian menganalisis buku, jurnal, catatan historis, sebagai pokok
kajiannya.13
4. Pendekatan Penelitian
Adapun dari berbagai sumber data primer dan sekunder yang
dijadikan bahan pembuatan penelitian ini, baik buku hukum maupun
non-hukum yang diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa
sehingga tampil dalam penulisan yang lebih sistematis dan logis untuk
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Teknik analisisnya
menggunakan pendekatan perundang-undangan dengan dihubungkan
dengan pendapat para ahli hukum. Dari situ dapat ditemukan jawaban
atas permasalahan pelaksanaan pemungutan suara ulang pada
Pemilukada Kota Cirebon Tahun 2018 (analisis putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018).
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang penulis gunakan adalah teknik analisis
deskriptif. Teknik analisis deskriptif dimaksudkan peneliti
memaparkan apa adanya tentang suatu peristiwa atau kondisi hukum.
Peristiwa hukum adalah peristiwa yang beraspek hukum, terjadi di
suatu tempat tertentu pada saat tertentu.14 Peristiwa hukum yang
penulis kaji adalah terjadinya pemungutan suara ulang pada
13 Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2014), cet. Pertama, h., 198-199.
14 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017), cet. Kedua, h., 152.
Page 20
11
pemilukada Kota Cirebon Tahun 2018 dengan kondisi hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018 yang
memerintahkan pemungutan suara ulang.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun berdasarkan sistematika yang terbagi
dalam lima bab. Masing-masing terdiri dari beberapa sub bab agar lebih
mudah memperjelas isi dan cakupan permasalahan yang diteliti. Penulisan
skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum 2017. Adapun urutan tata letak masing-masing bab
dan pokok pembahasannya sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan yang memuat: latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta metode
penelitian.
BAB II: Teori-teori lahirnya pemilihan umum, yang terdiri dari
kerangka teoritis dan kerangka konseptual. Kerangka
teoritis tentang teori demokrasi, teori kedaulatan, dan teori
negara hukum. Tinjauan kerangka konseptual tentang
kewenangan Mahkamah Konstitusi, pemungutan suara
ulang, dan pemilihan umum kepala Daerah. Kemudian di
sub bab kedua membahas studi terdahulu skripsi Jentel
Chairnosia yang membahas penghapusan kewenangan
MK Dalam Perkara Sengketa Pemilukada (Analisis
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013),
skripsi Mulyadi S. Awal yang membahas Pemungutan
Suara Ulang Dalam Pemilihan Kepala Daerah “Studi
Kasus Pilkada di Kabupaten Halmahera Selatan”, jurnal
Dewi Haryanti Kebijakan Penyelenggara Pemilihan
Umum Terkait Pemungutan Suara Ulang Pada Pemilu
Legislatif Tahun 2014 (Studi : Tinjauan Yuridis tentang
Pemungutan Suara Ulang di Kota Tanjung Pinang), dan
Page 21
12
buku oleh Rahmat Hollyon MZ dan Sri Sundari,Pilkada
Penuh Euforia, Miskin Makna.
BAB III: Tinjauan tentang kasus pemungutan suara ulang pada
pemilukada kota Cirebon Tahun 2018 dengan data yang
digunakan adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
8/PHP.KOT-XVI/2018 tentang perintah pemungutan suara
ulang pemilukada kota Cirebon tahun 2018. Selain itu
dalam bab ini peneliti memaparkan identitas para pihak
yang berselisih pada pemilihan umum kepala daerah kota
Cirebon tahun 2018, amar putusan hakim yang
memerintahkan pemungutan suara ulang, dan timeline
jalannya pelaksanaan pemungutan suara ulang pada
pemilihan umum kepala daerah kota Cirebon tahun 2018.
BAB IV: Mengkritisi pertimbangan hukum hakim Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018
terhadap terjadinya kesamaan pemenang dalam
pemungutan suara ulang pada Pemilihan Umum Kepala
Daerah Kota Cirebon Tahun 2018 berdasarkan teori
kedaulatan, teori demokrasi, dan teori negara hukum yang
dihubungkan dengan Undang-Undang Pemilukada dan
Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Kontitusi sehingga
menghasilkan analisis mengapa hakim Mahkamah
Konstitusi memerintahkan pemungutan suara ulang
dengan hasil suara terbanyak sama dengan sebelum
pemungutan suara ulang.
BAB V: Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan
skripsi ini, dimana penulis mengambil kesimpulan dari
hasil penelitian, selain itu penulis memberikan
rekomendasi yang bermanfaat.
Page 22
13
BAB II
DASAR HUKUM PELAKSANAAN PEMUNGUTAN SUARA ULANG
A. Kerangka Konseptual
Suatu kerangka konseptual adalah suatu orientasi kausal terhadap
studi yang direnungkan. Karenanya, kerangka konseptual itu merumuskan
suatu model terperinci dari masalah kebijakan yang diberikan dan
pemecahannya yang diusulkan. Kerangka konseptual juga memberikan
suatu kerangka suportif bagi model tersebut berdasarkan atas bukti empiris
yang diperoleh dari riset terdahulu dan/atau pengalaman ditambah asumsi-
asumsi nilai yang mendasari pemecahan-pemecahan yang diusulkan.1
Kerangka konspetual yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi dikatakan dalam pertimbangan Undang-
undang Mahkamah Konstitusi maupun Pasal 1 Ayat (1) Undang-
undang Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang
ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan
secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita
demokrasi.2
a. Sejarah singkat pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan gerakan reformasi
yang membawa kejatuhan pemerintahan Orde Baru di tahun 1998,
tejadi perubahan yang sangat drastis dalam kehidupan sosial,
politik, dan hukum di Indonesia. Diawali dengan Perubahan
Pertama UUD 1945 pada tahun 1999, yang membatasi masa
jabatan Presiden hanya untuk dua kali masa jabatan, dan penguatan
1 Mayer dan Greenwood, dalam Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT
Refika Aditama, 2009), cet. Pertama, h., 93.
2 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2015), cet. Ketiga, h.,1.
Page 23
14
DPR yang memegang kekuasaan memebentuk Undang-undang,
telah disusul dengan Perubahan Kedua yang telah mengamandir
Undang-undang Dasar 1945 lebih jauh lagi. Perubahan kedua
meliputi dimasukkannya Hak Asasi Manusia dalam Bab XA.
Perubahan Ketiga telah membawa perubahan lebih jauh dengan
diperintahkannya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya karena diduga telah melakukan
pelanggaran hukum. Jatuh bangunnya pemerintahan (Presiden)
pada waktu itu, yang tidak pernah terjadi secara mulus melalui
proses konstitusional yang baik, merupakan kondisi sosial politik
yang telah mendorong lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 juga mengadopsi
pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berdiri
sendiri di samping Mahkamah Agung dengan kewenangan yang
diuraikan dalam Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945.3
b. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 menggariskan
wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai berikut.
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilu.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran
3 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2 …
h., 5-6.
Page 24
15
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang
Dasar.
Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur
lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan
merinci sebagai berikut.
1) Menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
3) Memutus pembubaran partai politik.
4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Dasar 1945.4
Peraturan mengenai MK dalam UUD NRI Tahun 1945 terjadi
melalui Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945 pada 2001 dan
Perubahan Keempat pada 2002. Pengaturan mengenai Mahkamah
Konstitusi tercantum dalam Pasal 24C yang terdiri dari enam ayat
dan Pasal III Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan
mengenai MK disahkan MPR setelah melalui pembahasan yang
panjang dan mendalam di PAH 1 MPR. Dengan dibentuknya
Mahkamah Konstitusi melalui perubahan konstitusi, UUD NRI
Tahun 1945 telah mengakomodasi perkembanan pemikiran baru di
bidang hukum dan praktik ketatanegaraan di berbagai negara lain
4 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2 …
h., 11-12.
Page 25
16
mengenai MK yang telah dijamin keberadaannya dalam konstitusi
negara-negara tersebut.5
Pasal 24C Ayat (1) dan Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945
mengatur tentang sifat putusan dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Berbeda dengan sistem peradilan yang berada di
lingkungan Mahkamah Agung yang bertingkat (tingkat pertama,
banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum
luar biasa) Mahkamah Konstitusi hanya mengenal satu tahap
peradilan sehingga putusan yang dijatuhkan Mahkamah Konstitusi
bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada upaya hukum lagi
yang dapat dilakukan untuk mencoba menggugat putusan tersebut.
Selain itu putusan MK tidak membutuhkan eksekusi oleh MK atau
pihak lain karena secara otomatis putusan tersebut harus
dilaksanakan oleh pihak-pihak tersebut kepada konstitusi. Dari
pasal ini dapat dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan
lembaga peradilan yang tidak mempunyai hierarki ke bawah
sehingga Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tingkat
pertama dan terakhir.6
Dari pemaparan di atas, maka sesungguhnya lembaga
Mahkamah Konstitusi ini merupakan fenomena baru dalam dunia
ketatanegaraan. Lembaga ini juga baru di beberapa negara-negara
di dunia, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami
perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi. Oleh karena itu,
Mahkamah Konstitusi di Indonesia merupakan perwujudan
dan/atau realisasi dianutnya paham negara hukum sebagaimana
termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Iindonesia Tahun 1945 sehingga harus senantiasa memperhatikan,
5 Patrialis Akbar, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013), h., 179.
6 Patrialis Akbar, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, … h.,
182.
Page 26
17
menghormati, menjaga, dan memelihara Undang-Undang Dasar
1945 itu sebagai sebuah negara yang menganut paham
konstitusionalitas.7
Pengaturan Wewenang dan kewajiban MK secara rinci dan
limitatif diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak ada
lagi terbuka peluang penambahan atau penguranang wewenang dan
kewajiban MK melalui peraturan perundang-undangan di bawah
UUD dimana dalam Mahkamah Agung pengaturan kewenangan
yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945 masih terbuka untuk
ditambah melalui suatu Undang-undang. Patrialis Akbar
mengatakan limitasi dan rincian wewenang tersebut dimaksudkan
agar ada kepastian hukum sejauh mana MK dapat berkiprah
sekaligus menghindarkan diri dari kemungkinan penyimpangan
dalam pelaksanaan tugas MK yang memang berkaitan erat dengan
kehidupan ketatanegaraan dan politik.8
2. Pemungutan Suara Ulang
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang Pasal 112 Ayat (1) dan (2)
menyatakan sebagai berikut: Ayat (1) “Pemungutan suara di TPS
dapat diulang jika terjadi gangguan keamanan yang mengakibatkan
hasil pemungutan suara tidak dapat dilakukan. Ayat (2) “Pemungutan
suara di TPS dapat diulang jika dari hasil penelitian dan pemeriksaan
Panwas Kecamatan terbukti terdapat 1 (satu) atau lebih keadaan
sebagai berikut: huruf a. Pembukaan Kotak Suara dan/atau berkas
pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara
7 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h., 122-123.
8 Patrialis Akbar, Lembaga-Lembaga negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, … h., 182.
Page 27
18
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 372 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
menyatakan “Pemungutan suara di TPS wajib dilang apabila dari hasil
penelitian dan pengawasan TPS wajib diulang terbukti terdapat: huruf
a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan
penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan
dalam ketentuan perundang-undangan”.
3. Pemilihan Umum Kepala Daerah
Pemilihan Umum adalah suatu proses dimana pemilih yang
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan terdaftar oleh KPU dalam daftar pemilih
tetap memilih orang-orang untuk mengisi jabatan politik. Selain itu,
pemilihan umum adalah cara atau sarana untuk mengetahu keinginan
rakyat mengenai awal dan kebijakan Negara ke depan.9 Dalam
pemilihan umum, yang dipilih tidak saja wakil rakyat, tetapi juga para
pemimpin pemerintahan yang duduk di kursi eksekutif yang dipilih
secara langsung oleh rakyat seperti Presiden dan Wakil Presiden,
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan
Walikota dan Wakil Walikota.10
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah menentukan bahwa pelaksanaan pemerintahan
dilakukan oleh pemerintah daerah yang terdiri atas pemerintah daerah
provinsi atau gubernur dan pemerintah daerah kabupaten/kota atau
bupati /walikota. Oleh sebab itu, Kepala Daerah dikenal di negara-
negara dunia dengan penyebutan yang berbeda. Di negara-negara
federal seperti Amerika Serikat, Gubernur adalah jabatan kepala
pemerintah negara bagian (state),sedangkan di negara-negara kesatuan
9 Tamrin, Abu dan Ihya, Nur Habibi, Hukum Tata Negara, (Tangerang Selatan: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), cet. Pertama, h., 92.
10 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), cet. Kelima, h., 419.
Page 28
19
(unitary state) seperti di Indonesia dikenal dengan jabatan kepala
pemerintah daerah dan selanjutnya disebut kepala daerah.11
Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945, pemilihan
kepala daerah dilakukan oleh dewan. Sementara menurut Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1948 kepala daerah dipilih oleh pemerintah
pusat dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD. DPRD berhak
mengusulkan pemberhentian seorang kepala daerah kepada
pemerintah pusat. Namun sejak brlakunya Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974, ketentuan pemilihan kepala daerah tidak mengalami
perubahan dengan ketentuan sebagai berikut:12
1) Kepala daerah dipilih oleh DPRD;
2) Kepala daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;
3) Kepala daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Dalam Negeri dan otonomi daerah, dari calon-calon yang diajukan
oleh DPRD yang bersangkutan.
Di era reformasi, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam
ketatanegaraan Indonesia yaitu dengan telah dilakukannya
amandemen pada Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 khususnya pada Pasal
yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota
dipilih secara demokratis”. Dari ketentuan Pasal 18 Ayat (4) tersebut,
setelah melihat kesuksesan pemilihan presiden dan wakil presiden
secara langsung di tahun 2004, maka DPR/MPR sepakat bahwa
pemilihan kepala daerah dapat juga dilaksanakan secara langsung
yang dimulai pada tahun 2007 dalam pemilukada DKI.13
B. Kerangka Teori
11 Zainal Arifin Hoesein dan Rahman Yasin, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, dalam
Yusnani Hasyimzoem dkk, Hukum Pemerintahan Daerah, (Depok:PT RajaGrafindo Persada,
2018), cet. Kedua, h., 158. 12 Suharizal, Pemilukada (Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang), dalam Yusnani
Hasyimzoem dkk, Hukum Pemerintahan Daerah, … h., 158. 13 Yusnani Hasyimzoem dkk, Hukum Pemerintahan Daerah, … h., 159.
Page 29
20
Istilah kerangka teoritis seringkali digunakan untuk
mendeskripsikan isi dari penyidikan-penyidikan ilmiah. Istilah itu
mengimpilikasikan suatu penjelasan kausal dari hubungan antara konsep-
konsep atau variabel-variabel yagn telah diverifikasikan melalui riset
formal atau dideduksikan dari teori formal. Kerangka demikian adalah
relatif abstrak. Sebagai perbedaannya, dalam riset kebijakan, proposisi-
proposisi yang dihadapi sering kali didasarkan atas pengalaman praktis
yang disuplemen dengan kearifan konvensional. Penalaran kausal yang
terlibat sering kali hanyalah terkaan terbaik dari ahli analisis mengenai apa
yang sedang berlaku dalam situasi masalahnya dan bukannya penerapan
dari hukum-hukum teoritis.14 Kerangka teoritis yang akan digunakan pada
penelitian ini adalah Teori Negara Hukum, Teori Demokrasi, dan Teori
Kedaulatan dimana kedaulatan ada kedaulatan Tuhan, Kedaualatan
Hukum, dan Kedaualatan Rakyat:
1. Teori Negara Hukum
Mohammad Yamin berpendapat:
“Republik Indonesia ialah suatu negara hukum (rechstaat, government
of laws) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi
atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah
dan keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (machtstaat) tempat
tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang.”15
Notohatmidjojo mengemukakan hal yang sama dengan
Mohammad Yamin tentang Negara Hukum, yaitu:
“Dengan timbulnya gagasan-gagasan pokok yang dirumuskan dalam
konstitusi-konstitusi dari abad IX itu, maka timbul juga istilah negara
hukum atau rechstaat.”16
14 Mayer dan Greenwood, dalam Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, … h., 94.
15 Moh. Yamin, dalam, Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis Normatif
Tentang Unsur-Unsurnya), (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995), h., 31.
16 O. Notohatmidjojo, dalam, Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis
Normatif Tentang Unsur-Unsurnya), … h., 30.
Page 30
21
Dari sini dapat disimpulkan bahwa negara hukum adalah
rechstaat. Hanya perbedaan bahasa yang membedakan. Rechstaat
Bahasa Belanda, Rule of Law Bahasa Inggris.
Karena Indonesia adalah Negara Hukum maka Albert Van
Dicey mengemukakan tiga unsur penting sebuah negara hukum yang
disebut juga “The Rule of Law”, yaitu Supremacy of Law, Equality
Before the Law, dan Due Process of Law.17 Supremacy of Law artinya
menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan, dan kewenangan
bebas yang begitu luas dari pemerintah dalam suatu dominasi aturan-
aturan hukum; Equality Before the Law artinya kesetaraan di hadapan
hukum atau perlakuan yang sama dari semua golongan kepada
ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court yang
berarti tidak ada orang yang berada diatas hukum, baik pejabat
maupun warga negara biasa, berkewajiban mentaati hukum yang
sama; Due Process of Law atau terjaminnya hak-hak manusia oleh
konstitusi yang merupakan hasil dari “the ordinary law of the land”,
bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber, akan tetapi merupakan
konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan
oleh peradilan. Lebih jelasnya supremasi hukum berarti superioritas
hukum regular yang mutlak yang bertentangan dengan pengaruh
kekuasaan sewenang-wenang, dan mencabut hak prerogatif atau
bahkan kekuasaan bertindak yang besar di pihak pemerintah karena
munculnya kesewenang-wenangan tersebut. Kedua rule of law berarti
kesetaraan di depan hukum, atau ketundukan setara semua kelompok
masyarakat kepada hukum umum negara yang dijalankan oleh
mahkamah hukum umum. ketiga rule of law digunakan sebagai
rumusan untuk mengungkapkan fakta bahwa bagi kita hukum
konstitusi, aturan-aturan yang di luar negeri biasanya membentuk
17 Philipus M. Hadjon, dalam Made Hendra Wijaya, “Keberadaan Konsep Rule By Law
Berdasarkan Hukum Di Dalam Teori Negara Hukum The Rule Of Law”, Jurnal Magister Hukum
Udayana, (2013), h., 3.
Page 31
22
sebagian undang-undang konstitusi, bukanlah sumber melainkan
konsekuensi hak-hak individu, karena ditentukan dan dijalankan oleh
pengadilan. Dengan demikian konstitusi merupakan hasil dari hukum
umum negara.18
Sejarah negara hukum telah berkembang sejak tahun 1800
SM19 dengan asal muasal perkembangan negara hukum adalah dalam
masa Yunani Kuno yang dikemukakan oleh Plato, yang
memperkenalkan istilah Nomoi,yaitu karya tulisnya.20 Sebelum
membuat Nomoi Plato membuat karya ilmiah berjudul Politeia
sebagai karya ilmiah pertamanya mengenai masalah kenegaraan.21
Politeia ini dibuat Plato atas dasar keresahan dengan keadaan
negaranya dipimpin oleh orang yang haus akan kekuasaan, harta, dan
gila hormat dengan bertindak sewenang-wenang yang tidak
memperhatikan penderitaan rakyat sehingga atas dasar tersebut
menggugah Plato membuat Politeia yang berisikan tentang suatu
negara yang ideal sekali dengan cita-citanya, suatu negara yang bebas
dari pemimpin yang rakus dan jahat serta tempat keadilan dijunjung
tinggi. Agar negara menjadi baik, maka pemimpin harus diserahkan
kepada filosof karena filosof adalah manusia yang arif bijaksana,
menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Namun cita negara
idealnya Plato ini kandas tidak bisa dilaksanakan sebab hampir tidak
mungkin mencari manusia yang sempurna, yang bebas dari hawa
nafsu dan kepentingan pribadi. Oleh karena itu dalam karya ilmiah
keduanya yang berjudul Politicos, bahwa Plato sudah menganggap
18 Dicey, A.V., ed, Introduction to thr Study of the Law of the Constitution. Penerjemah
Nurhadi. Pengantar Studi Hukum Konstitusi. Bandung: Nusa Media, 2008, h., 264-265.
19 J.J. Von Smith, dalam Jazim Hamidi dkk, Teori Hukum Tata Negara a Turning Point
of the State, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h., 143.
20 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2017), cet.
Kedua, h., 2.
21 Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-
Unsurnya), … h., 19.
Page 32
23
adanya hukum untuk mengatur warga negara, karena hukum yang
dibuat manusia tidak harus berlaku bagi penguasa itu sendiri, karena
penguasa di samping memiliki pengetahuan untuk memerintah juga
memiliki pengetahuna membuat hukum. Dalam membuat karya ilmiah
ketiganya, ketika Plato sudah dalam usia lanjut dan memiliki banyak
pengalaman, Plato mulai mengubah pendiriannya dengan memberikan
perhatian yang lebih tinggi pada hukum.22 Oleh karena itu, dalam
Nomoi Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang
baik adalah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.23 Ide
Plato semakin tegas saat didukung oleh muridnya yang bernama
Aristoteles dalam bukunya politicos.24 Menurut Aristoteles, negara
yang berkedaulatan hukum dan yang diperintah dengan konstitusi
merupakan ciri-ciri suatu negara yang baik. Plato mengemukakan tiga
unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu pemerintahan yang
dilaksanakan:
a. Untuk kepentingan Umum
b. Menurut hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan
hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang
mengesampingkan konvensi dan konstitusi
c. Atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan atau tekanan yang
dilaksanakan oleh pemerintahan despotik.
Ide negara hukum setelah era Nomoi dari Plato telah berjalan
dengan baik. Namun dalam perkembangan sejarahnya, ide negara
hukum muncul kembali setelah tidak relevan untuk saat ini, yaitu
muncul lagi saat berkembangnya aliran liberal. Dari cara pandang
perseorangan atau individualistik aliran liberal ini, maka aliran ini
22 Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-
Unsurnya), … h., 19-20. 23 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 66.
24 Jazim Hamidi dkk, Teori Hukum Tata Negara a Turning Point of the State, … h., 143.
Page 33
24
mendambakan suatu negara hukum, yang menjamin ketertiban dan
keamanan masyarakat suatu “rust en orde” supaya setiap orang dapat
dengan aman dan bebas mencari penghidupan dan kehidupannya
masing-masing. Negara hukum liberal semacam ini dikenal dengan
nama negara jaga malam (nachtwachterstaat-nachwakerstaat) yang
tidak memperhatikan kesejahteraan umum, dan prinsip yang dianut
adalah bahwa suatu kesejahteraan didasarkan pada persaingan bebas
(free-fight) sehingga menumbuhkan “survival of the fittest” atau yang
kuatlah yang menang. Aliran ini dipelopori oleh Immanuel Kant yang
dikembangkan oleh J. Stahl. Dengan demikian negara hukum liberal
Kant berkembang menjadi negara hukum formil (J.Stahl) yang
memiliki unsur-unsur sebagai berikut:25
Utreht membedakan dua macam negara hukum, yakni negara
hukum formil atau negara hukum klasik, dan negara hukum materiil
atau negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut
pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti
peaturan perundang-undangan tertulis terutama. Tugas negara adalah
melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut untuk
menegakkan ketertiban. Tipe negara tradisional ini dikenal dengan
istilah negara penjaga malam. Negara hukum materiil mencakup
pengertian yang lebih luas termasuk keadilan di dalamnya. Tugas
negara tidak hanya menjaga ketertiban dalam melaksanakan hukum,
tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan
(welfarestate).26
Wolfgang Friedman dalam bukunya Law in a Changing
Society membedakan antara rule of law dalam arti formil yaitu dalam
arti organized punlic power, dan rule of law dalam arti materiil yaitu
25 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2
Edisi Revisi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), cet. Kedua, h., 2-3.
26 Utrecht, dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), cet. Kedua, h., 131.
Page 34
25
the rule of just law. Pembedaan ini dilakukan untuk menegaskan
bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta
akan terwujud secara substantive, terutama karena pengertian orang
mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian
hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum
materiil.27
Jimly Assshiddiqie merumuskan ada tiga belas prinsip pokok
negara hukum yang berlaku untuk zaman sekarang dimana
menurutnya prinsip pokok itu menjadi penyangga bagi berdiri
tegaknya sebuah negara modern sehingga dapat dikatakan sebagai
negara hukum, yaitu:28
a. Supremasi Hukum (Supremacy of Law).
b. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law).
c. Asas Legalitas (Due Process of Law).
d. Pembatasan Kekuasaan.
e. Organ-Organ Eksekutif Independen.
f. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak.
g. Peradilan Tata Usaha Negara.
h. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court).
i. Perlindungan Hak Asasi Manusia.
j. Bersifat Demokratis (Democratische Rechstaat).
k. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara
(Welfare Rechstaat).
l. Transparansi dan Kontrol Sosial.
m. Berketuhanan yang Maha Esa.
Perkembangan prinsip-prinsip negara hukum tersebut
dipengaruhi oleh semakin kuatnya penerimaan paham kedaulatan
27 Jimly Assdhiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2017), cet. Keempat, h.,126.
28 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, … h., 127-134.
Page 35
26
rakyat dan demokrasi dalam kehidupan bernegara menggantikan
model-model negara tradisional.29 Prinsip-prinsip negara hukum
(nomocratie) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie)
dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang.
Pahan negara hukum yang demikian dikenal disebut sebagi negara
hukum yang demokratis (democratische rechstaat) atau dalam bentuk
konstitusional disebut constitutional democracy. Hukum dibangun dan
ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh
dibuat, ditetapkan ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi
berdasarkan kekuasaan semata (machstaat) namun harus secara
demokratis yang diatur berdasar atas hukum. Dalam mewujudkan
gagasan demokrasi perlu instrumen hukum demi mencegah timbulnya
mobokrasi yang mengancam pelaksaanan demokrasi itu sendiri.30
Negara hukum tidak dapat dilepaskan dari demokrasi sebab demokrasi
sebagai paham yang menghendaki rakyat sebagai penguasa.
Negara hukum merupakan istilah terbaru dalam
perkembangan ilmu pengetahuan kenegaraan jika dibandingkan
dengan istilah demokrasi, konstitusi, dan kedaulatan karena istilah ini
baru populer pada abad ke-19. Meskipun demikian, terprakarsanya
pengertian negara hukum telah ada sejak abad ke-17 seiring dengan
timbulnya perjuangan kekuasaan yang tak terbatas dari para raja
selaku penguasa yang bersifat absolut di wilayah Eropa Barat.31
Menurut Mukhtie Fadjar, konsepsi atau ide negara hukum yang
berhadapan secara kontroversial dengan negara-negara kekuasaan
(negara dengan pemerintahan absolut), pada hakikatnya, merupakan
hasil dari perdebatan yang terus-menerus selama berabad-abad dari
29 G. Lowewll Fieldy, dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi, … h., 132.
30 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, … h., 132-133.
31 A. Mukhtie Fadjar, dalam Jazim Hamidi dkk, Teori Hukum Tata Negara a Turning
Point of the State, … h., 143.
Page 36
27
para sarjan dan ahli filsafat tentang negara dan hukum, yaitu mengenai
persoalan hakikat, asal mula, tujuan negara, dan sebagainya.32
2. Teori Demokrasi
Konsep demokrasi lahir dari pemikiran mengenai hubungan
negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktekkan dalam hidup
bernegara antara abad ke-4 Sebelum Masehi sampai abad ke-6
Masehi. Pada waktu itu, demokrasi bersifat langsung (direct
democracy); artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan
politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang
bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langusng ini dapat
dilaksanakan secara efektif karena negara kota (city state) Yunani
Kuno berlangsung dalam kondisi sederhana dengan wilayah negara
yang hanya terbatas pada sebuah kota dan daerah sekitarnya dan
jumlah penduduk yang hanya lebih kurang 300.000 orang dalam satu
negara. Lebih dari itu ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku
untuk warga negara resmi yang merupakan sebagian kecil dari seluruh
penduduk. Sebagian besar yang terdiri dari budak belian, pedagang
asing, perempuan, dan anak-anak tidak dapat menikmati hak
demokrasi.33 Jadi, konsep demokrasi lahir pertama kali di Yunani
Kuno yang pada awal kemunculannya demokrasi bersifat langsung
yang berpenduduk kurang dari 300.000 jiwa dalam satu negara.
Namun dalam perkembangannya di masa Socrates, Plato, dan
Aristoteles, konsep demokrasi sendiri tidak dianggap sebagai sesuatu
yang ideal. Demokrasi dianggap sebagai penyimpangan dari bentuk
dan sistem kekuasaan yang baik dan ideal. Mengapa? Karena dalam
demokrasi yang berkuasa adalah banyak orang, yaitu rakyat banyak
yang tidak dapat menjamin bekerjanya fungsi-fungsi kekuasaan secara
32 A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Malang: Bayu Media Publishing, 2005), cet.
Kedua, h., 10-11.
33 Miriam Budiardjo, dalam Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), cet. Ketiga, h., 20-21.
Page 37
28
efektif, sehingga juga tidak dapat menjamin terpenuhinya kepentingan
rakyat itu sendiri.34
Ditinjau dari aspek etimologis, istilah demokrasi berarti
pemerintahan oleh rakyat (demos berarti rakyat; kratos berarti
pemerintahan).35 Namun dalam sejarah perkembangannya, istilah
demokrasi mengandung pengertian yang berbeda-beda seperti Rafael
Raga Maran mengartikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan
dimana hak-hak untuk membuat keputusan-keputusan politik
digunakan secara langsung oleh setiap warga negara, yang
diaktualisasikan melalui prosedur pemerintahan mayoritas, yang biasa
dikenal dengan istilah demokrasi langsung. Ia menjelaskan demokrasi
adalah suatu bentuk pemerintahan dimana setiap warga negara dapat
menggunakan hak yang sama bukan secara pribadi melainkan
menggunakan wakil-wakil rakyat yang biasa disebut dengan DPR,
DPRD, atau DPD (Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, atau Dewan Perwakilan Daerah) yang dipilih oleh
rakyat yang bertanggung jawab untuk rakyatnya. Melalui lembaga
diatas, mereka berunding atas berbagai isu di masyarakat dengan cara
sistematis dan bijakasana yang dapat membutuhkan waktu yang
lama.36 Pendapat ini menganggap setiap warga negara dapat
menggunakan hak yang sama melalui wakil-wakil rakyat di parlemen.
Abraham Lincoln mengatakan demokrasi adalah suatu sistem
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya rakyat
dengan serta merta mempunyai kebebasan untuk melakukan semua
aktivitas kehidupan termasuk aktivitas politik tanpa adanya tekanan
34 Jimly Asshiddiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h., 99.
35 Ellya Rosana, “Negara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal TAPIs, vol 12, no
1, (Januari-Juni 2016), h., 45.
36 Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), cet.
Pertama, h., 204.
Page 38
29
dari pihak mana pun, karena pada hakikatnya yang berkuasa adalah
rakyat untuk kepentingan bersama.37
Menurut Ni’matul Huda, demokrasi diartikan sebagai suatu
pemerintahan dimana rakyat ikut serta memerintah (mederegeren),
baik secara langsung yang terdapat pada masyarakat-masyarakat yang
masih sederhana (demokrasi langsung) maupun secara tidak langsung
karena rakyat diwakilkan (demokrasi tidak langsung) yang terdapat
dalam negara-negara modern.38 Ia menjelaskan demokrasi ada dua
bentuk, yaitu demokrasi langsung yang berlaku di masyarakat yang
masih sederhana dan demokrasi tidak langsung dengan perwakilan.
Sri Soemantri mengutip pendapat E. Barker menganggap
pengertian demokrasi tidak terdapat batasan pengertian yang pasti
yang dapat diterima semua pihak, karena istilah demokrasi selalu
berubah seiring perkembangan zaman. Ia menegaskan bahwa:
“Dilihat dari kata-katanya demokrasi adalah pemerintahan
rakyat, yang kemudian diartikan pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Meskipun kelihatan sederhana,
akan tetapi sampai sekarang adalah sukar untuk memberikan
batasan yang dapat diterima semua pihak. Hal ini disebabkan
pengertian demokrasi tersebut telah dan akan mengalami
perkembangan”.39
Joseph A. Schemeter mengatakan demokrasi merupakan
perkumpulan dari berbagai individu yang merencanakan suatu hal
yang bersifat institusional dalam meraih keputusan politik yang
menggunakan individu untuk mendapatkan kekuasaan dengan
37 Firentia Emanuela, Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia, Kompasiana,
https://www.kompasiana.com/firentiaemanuela1410/5c00452b6ddcae34b64044d3/pelaksanaan-
demokrasi-di-indonesia?page=all, diakses pada 10 Agustus 2019 pukul 15.16 WIB.
38 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2010), cet. Kelima, h., 69.
39 Sri Soemantri, dalam Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), cet. Kedua, h., 67.
Page 39
30
perjuangan yang kompetitif atas suara rakyat.40 Kekuasaan menjadi
tujuan utama dari menyelenggarakan demokrasi
Jika demokrasi dikaitkan dengan organisasi negara, Bryan D.
Jones tegas mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu bentuk
pemerintahan yang diorganisasikan sesuai dengan prinsip-prinsip
kedaulatan rakyat, persamaan politik, musyawarah rakyat, dan
kekuasaan mayoritas.41
Titik Triwulan Tutik memaknai demokrasi sebagai dasar
hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa
rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah
mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara,
karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Dengan
kata lain, bahwa negara yang menganut sistem demokrasi adalah
negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemuan
rakyat.42 Rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi untuk
memerintah di suatu negara
Istilah demokrasi dan kedaulatan rakyat adalah paham atau
pemikiran yang tidak dapat dipisahkan dan saling bersinergi dalam
prakteknya karena secara harfiah kekuasan tertinggi pada kedaulatan
rakyat berada pada rakyat sedangkan sebuah negara yang
menempatkan kekuasaan tertingginya pada rakyat, disebut sebagai
demokrasi, yang secara simbolis sering digambarkan sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (from people,
of the people, for the people).43
40 Joseph A. Schemeter, dalam Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Amamnden UUD 1945, … h, 68.
41 Bryan D. Jones, dalam Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945, … h., 68
42 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, … h., 69. 43 Bagir Manan, et.al, ed. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum.
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h., 56.
Page 40
31
Dari rakyat dalam demokrasi artinya bahwa mereka yang
duduk sebagai penyelenggara negara atau pemerintah harus terdiri dari
seluruh rakyat itu sendiri atau yang disetujui atau didukung oleh
rakyat. Oleh rakyat maksudnya bahwa penyelenggara negra atau
penyelenggara pemerintahan, dilakukan sendiri oleh rakyat atau atas
nama rakyat atau yang mewakili rakyat. Untuk rakyat maksudnya
pemerintahan dijalankan atau berjalan sesuai dengan kehendak
rakyat.44
Suatu demokrasi yang dilaksanakan sendiri oleh seluruh
rakyat lazim disebut sebagai demokrasi langsung. Jenis demokrasi
langsung ini pertama-tama ditemui di Eropa pada negara-negara kota
Yunani lama (sebelum masehi). Karena dianggap sebagai sistem
jaman lama, maka demokrasi langsung di Yunani ini disebut
demokrasi klasik. Demokrasi klasik ini sebenarnya tidak hanya
terdapat di masa lampau dan hanya di Eropa, di Inggris pun sampai
saat ini masih dimungkinkan penyelenggaraan demokrasi langsung
seperti yang dtiemukan pada pemerintahan desa mereka yang kecil
yang disebut Parish.45
Sehubungan dengan itu, kita mengenal dua macam demokrasi
yang paling umum, yaitu demokrasi liberal, dan demokrasi rakyat.46
Demokrasi liberal, atau sering disebut dengan demokrasi
konstitusional adalah sistem politik yang mengutamakan otonomi dan
kebebasan individu dan otonomi untuk mewujudkan progres dan
reformasi dengan perlindungan hukum dan peran terbatas dari negara.
Oxford University mendefinisikan demokrasi liberal sebagai berikut:
44 Bagir Manan, et.al, ed. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum.
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h., 56-57. 45 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi
Menurut UUD 1945, dalam Bagir Manan, et.al, ed. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan
Negara Hukum, … h., 56-57.
46 Arend Liyphard, Democracies, dalam Bagir Manan, et.al, ed. Kedaulatan Rakyat, Hak
Asasi Manusia dan Negara Hukum, … h., 57.
Page 41
32
“Sistem Pemerintahan demokratis dimana hak-hak dan
kebebasan individu secara legal diakui dan dilindungi dan
kekuasaan politik dibatasi oleh hukum”.47
Dari pengertian diatas, demokrasi liberal adalah demokrasi
konstitusional karena demokrasi konstitusional bercirikan dengan ide
bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas
kekuasaannya dan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya
dengan membagi kekuasaan sedemikian rupa sehingga kesalahan
penggunaan diperkecil dengan cara menyerahkannya ke beberapa
orang atau badan serta tidak memusatkan kekuasaan pemerintahan
dalam satu tangan atau badan. Perumusan yuridis dari prinsip-prinsip
ini dikenal dengan istilah rechstaat (negara hukum) dan rule of law.48
Itu artinya demokrasi liberal dan konstitusional mengakui kebebasan
individu dan kebebasan itu dilindungi oleh negara dan kekuasaan
pemerintah dibagi ke berbagai badan negara sehingga tidak
memusatkan pemerintahan pada satu badan kekuasaan dan kekuasaan
tersebut juga dibatasi oleh hukum sehingga disebut rechstaat atau
negara hukum.
Demokrasi rakyat adalah bentuk khusus demokrasi yang
memenuhi fungsi diktator proletar (a special form of democracy
fulfilling the functions of proletarian dictatorship). Menurut Georgi
Dimitrov, seorang mantan perdana menteri Bulgaria, demokrasi rakyat
adalah arah dalam masa transisi yang bertugas untuk mejamin peran
negara ke arah sosialisme (a state in the transitional destined to
development on the path to socialism).”49
47 Demokrasi Liberal: Pengertian dan Contohnya, http://sosiologis.com/demokrasi-liberal,
diakses pada 1 Juli 2019, pukul 10.17 WIB.
48 Miriam Budiardjo, dalam Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2015), cet. Ketujuh, h., 201.
49 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2009), cet. Keempat, h., 157.
Page 42
33
Menurut Soetardjo Kartohadikusumo, sebuah negara dapat
dikatakan menjalankan demokrasi apabila memenuhi unsur-unsur:
a. Ada kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota
perkumpulan;
b. Ada kebebasan menyatakan pendapat;
c. Ada hak untuk memberikan suara dalam pemungutan suara;
d. Ada kesempatan untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan
pemerintahan atau negara;
e. Ada hak bagi para aktivis politik berkampanye untuk memperoleh
dukungan atau suara;
f. Terdapat berbagai sumber informasi;
g. Ada pemilihan yang bebas dan jujur;
h. Semua lembaga yang bertugas merumuskan kebijaksanaan
pemerintah, harus tergantung pada keinginan rakyat.50
Jimly Asshiddiqie membagi sistem demokrasi modern ke
dalam tiga wilayah atau domain kekuasaan dalam kehidupan bersama,
yaitu negara (state), pasar (market), dan masyarakat (civil society).
Jika kekuasaan negara terlalu dominan, maka demokrasi tidak akan
tumbuh karena selalu didikte dan dikendalikan oleh negara dimana
yang berkembang adalah otoritarianisme. Jika kekuasaan pasar terlalu
kuat, melampaui kekuatan civil society dan negara, berarti kekuatan
modal (capital) dan kaum kapitalis yang menentukan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Demikian pula jika
kekuasaan yang dominan adalah civil society, sedangkan negara dan
pasar lemah, maka yang akan terjadi adalah situasi chaos, messy,
government-less, tanpa arah yang jelas.51 Oleh karena itu, ketiganya
diidealkan harus berjalan seiring dan sejalan, sama-sama kuat dan
50 Soetardjo, Kartohadikusumo, Desa, dalam Bagir Manan, et.al, ed. Kedaulatan Rakyat,
Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, … h., 58.
51 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, … h., 134.
Page 43
34
sama-sama saling mengendalikan, tetapi tidak boleh saling
mencampuri atau dicampuradukkan.52
Menurut Mahfud MD prinsip dasar negara demokrasi selalu
menuntut dan mengharuskan adanya pemencaran kekuasaan, agar
kekuasaan tak terpusat di satu tangan. Kekuasaan yang berpusat di
satu tangan bertentangan dengan prinsip demokrasi karena ia
membuka peluang terjandinya kesewenang-wenangan dan korupsi.53
Terdapat dua istilah mengenai negara hukum yaitu the rule of
law dan The Rule of Law, and not of Man. Istilah terakhir ini
dipopulerkan oleh A.V. Dicey yang dikembangkan di Amerika serikat
untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang
sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan
manusia atau orang.54 Istilah The Rule of Law memiliki perbeadan dari
istilah The Rule by Law. Di istilah terakhir ini, kedudukan hukum
(law) digambarkan hanya sekadar bersifat instrumentalis atau alat,
sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau atau
manusia, yaitu The Rule of Man by Law.55
Sebuah konsep negara hukum tidak bisa dilepaskan dari
paham kerakyatan (demokrasi) sebab hukum yang mengatur dan
membatasi kekuasaan negara atau pemerintah sebagai hukum yang
dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat.56 Ketiga sistem
kekuasaan tersebut jika dilihat dari sudut pembagian antara
suprastruktur politik dan infrastruktur politik, maka negara (state)
52 Jimly Asshiddiqie, dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi, … h., 268. 53 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2012), h., 215.
54 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, … h.,251-252.
55 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, … h.,252.
56 Ni’Matul Huda, Hukum Tata negara Indonesia, … h., 249-250.
Page 44
35
adalah wilayah suprastruktur politik. Adapun pasar (market) dam
masyarakat (civil society) adalah wilayah infrastruktur politik.57
3. Teori Kedaulatan
Munir Fuady dalam bukunya, Teori-Teori Besar (Grand
Theory) dalam Hukum mengatakan bahwa sebuah kekuasaan yang
tertinggi, absolut, dan tak ada instansi lain yang dapat
menyamakannya atau mengontrolnya, termasuk mengatur warga
negara dan mengatur juga apa yang menjadi tujuan negara, yang dapat
mengatur berbagai aspek pemerintahan dimana pemerintah dapat
melakukan berbagai tindakan dalam suatu negara, yang termasuk tapi
tidak terbatas pada kekuasaan membuat undang-undang, menerapkan
dan menegakkan hukum, menghukum orang, memungut pajak,
menciptakan perdamaian dan menyatakan perang, menandatangani
dan memberlakukan traktat, dan sebagainya, merupakan sebuah
kedaulatan.58 Munir Fuady berpendapat bahwa kekuasaan itu absolut
dimana pemerintah dapat mengatur berbagai aspek pemerintahan.
Kedaulatan merupakan unsur penting dalam terciptanya
sebuah negara. Istilah kedaulatan berasal dari kata Sovereignty dalam
Bahasa Inggris, kemudian Souverainete dalam Bahasa Perancis, dan
Sovranus dalam Bahasa Italia. Ketiga Bahasa tadi diturunkan dari
sebuah kata dalam Bahasa Latin yaitu Superanus yang artinya yang
tertinggi atau supreme dalam Bahasa Inggris. Para sarjana abad
pertengahan seringkali menggunakan pengertian yang sama maknanya
dengan istilah Superanus itu, yaitu Summaparetes atau Plenitudo
Potestatis yang artinya wewengang tertinggi dari sebuah kekuasaan
politik. Banyak sekali definisi untuk kata kedaulatan tetapi istilah ini
selalu diartikan sebagai Otoritas pemerintahan dan Hukum.59
57 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, … h., 268.
58 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013), cet. Kedua, h. ,91.
59 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, … h., 169.
Page 45
36
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, pada
abad ke-15 kata kedaulatan tampil sebagai istilah politik. Para sarjana
dari Perancis memberikan istilah kedaulatan seperti Prof. Garner,
Beaumanoir, dan Loyseau adalah orang yang mempopulerkan kata
kedaulatan.60
Seorang filsuf dan sarjana dari Perancis yang hidup pada abad
ke XVI yang bernama Jean Bodin mengatakan bahwa kedaulatan itu
adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu
negara, yang sifatnya tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat dibagi-
bagi.61
Namun, dalam pandangan Soehino perumusan atau tegasnya
definisi kedaulatan dari Jean Bodin ini untuk masa sekarang tidak
dapat dilaksanakan secara konsekuen, sebab pada waktu itu ia hanya
meninjau souvereiniteit dalam hubungannya dengan masyarakat di
dalam negeri itu saja. Jadi perumusannya bersifat intern.62
Jean Bodin sebagai bapak ajaran kedaulatan menegaskan
bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap para warga
negara dan rakyatnya, tanpa ada suatu pembatasan apapun dari suatu
Undang-undang yang artinya kedaulatan juga merupakan kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara untuk menentukan hukum. Jean Bodin
menganggap bahwa negara merupakan pencipta tertinggi tata hukum
bagi masyarakatnya dalam hal menentukan hukum dan negara
memiliki kemerdekaan penuh dalam hal berdaulat ke dalam maupun
ke luar bagi warga masyarakatnya. Meski demikian kedaulatan tetap
kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara.63
60 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, … h., 169.
61 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1981), cet. Kedua, h., 151.
62 Soehino, Ilmu Negara, … h., 151.
63 Usep Ranawidjaja, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983),
h., 182.
Page 46
37
Istilah lain dari kedaulatan adalah kekuasaan. Kekuasaan
sendiri adalah kemampuan daripada seseorang atau segolongan orang
untuk mengubah berbagai-bagai tabiat atau sikap, dalam suatu
kebiasaan, menurut keinginannya, dan untuk mencegah perubahan-
perubahan tabiat atau sikap yang tidak menjadi keinginannya dalam
suatu kebiasaan.64
Kekuasaan ada yang bersifat mutlak dan bersifat terbatas.
Menurut Soehino baik kekuasaan yang bersifat mutlak atau terbatas,
selama kekuasaan itu menjadi suatu hal yang tertinggi di suatu negara
maka kekuasaan bersifat itu dapat menentukan diri taraf tertinggi dan
terakhir.65
a. Kedaulatan Tuhan
Teori kedaulatan Tuhan adalah teori yang mengatakan
bahwa kekuasaan tertinggi itu dimiliki oleh Tuhan dimana teori
kedaulatan juga merupakan yang paling tua menurut sejarah teori
teori kedalatan lain karena teori ini berkembang pada zaman
pertengahan antara abad ke V sampai abad ke XV sehingga dari
teori ini timbul dua organisasi kekuasaan, yaitu organisasi
kekusasaan negara yang diperintah oleh seorang raja dan
organisasi kekusasaan gereja yang dikepalai oleh seorang Paus
yang terjadi karena organisasi gereja mempunyai alat-alat
perlengkapan yang hampir sama dengan alat-alat perlengkapan
organisasi negara.66
Tentang teori kedaulatan Tuhan ada beberapa teori yang
berasal dari penganut teori teokrasi seperti Augustinus, Thomas
Aquinas, dan Marsilius dimana mereka mempersoalkan bukan
siapa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan karena
64 Soehino, Ilmu Negara, … h., 152.
65 Soehino, Ilmu Negara, … h., 152. 66 Soehino, Ilmu Negara, … h., 152.
Page 47
38
telah ada persamaan pendapat bahwa pemilik kekuasaan tertinggi
atau kedaulatan adalah Tuhan tetapi siapakah di dunia ini yang
mewakilkan Tuhan, raja ataukah Paus.67
Seiring perkembangan zaman Tuhan mewakilkan
kekuasaannya pada negara atau raja dimana ini adalah ajaran
Marsilius sedangkan Augustinus berpendapat bahwa Paus sebagai
wakil Tuhan dan Thomas Aquinas berpendapat Tuhan
mewakilkan raja dan Paus, Paus untuk keagamaan raja untuk
lapangan keduniawan dimana sebenarnya sama kekuasaanya
tetapi pada masa renaissance raja-raja merasa berkuasa atas segala
sesuatu menurut kehendaknya dengan beralasan itu adalah
perintah Tuhan yang membuat raja tidak merasa bertanggung
jawab kepada siapapun kecuali kepada Tuhan ditambah
datangnya ajaran Niccolo Machiavelli dengan ajaran staatsraisen-
nya yang mengatakan bahwa negaralah yang harus ditaati, dan
negaralah satu-satunya yang berwenang menentukan hukum dari
sebelumnya yang harus ditaati adalah hukum Tuhan sehingga
timbullah ajaran baru tentang kedaulatan, yakni kedaulatan
negara.68
b. Kedaulatan Hukum
Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-
souvereiniteit kekuasaan tertinggi pada suatu negara adalah
hukum. Hal ini disebabkan baik raja atau penguasa maupun
rakyat atau warganegara, bahkan negara itu sendiri harus tunduk
pada hukum. Semua tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai
menurut hukum. Ini adalah pendapat dari Krabbe.69
67 Soehino, Ilmu Negara, … h., 153. 68 Soehino, Ilmu Negara, … h., 153-154.
69 Soehino, Ilmu Negara, … h., 156.
Page 48
39
Kemudian, apa yang menjadi sumber hukum dari teori
kedaulatan hukum? Krabbe mengatakan yang menjadi sumber
hukum adalah rasa hukum yang ada pada masyarakat itu sendiri.
Bentuk rasa hukumnya masih sederhana, yang masih bersifat
primitif atau yang tingkatannya masih rendah disebut instink
hukum sedangkan dalam bentuk yang lebih luas atau yang
tingkatannya lebih tinggi disebut kesadaran hukum. Jadi, menurut
Krabbe hukum tidaklah timbul dari kehendak negara, dan dia
memberikan kepribadian tersendiri terhadap hukum dan hukum
itu berlaku terlepas daripada kehendak negara.70 Namun rasa
hukum mengenai setiap orang berbeda-beda, misalnya individu A
pasti tidak akan sama dengan individu B dan bisa saja rasa hukum
A atau B berubah lima tahun kedepan. Jadi, rasa hukum manusia
tidak dapat dijadikan sumber hukum sebab jika rasa hukum
dijadikan sumber hukum pada tiap-tiap individu maka tidak
tercapai hukum yang bersifat umum dan mengakibatkan
timbulnya anarki. Hal inilah yang dikatakan oleh Prof. Dr. AAH
Struycken yang menganggap pendapat Krabbe adalah lemah.71
Pendapat Krabbe mengenai rasa hukum yang
mempengaruhi berdirinya kedaulatan hukum, yang ditentang oleh
Struycken, mendapat pembelaan dari Kranenburg dengan
mengemukakan hukum keseimbangan atau postulat
keseimbangan. Postulat keseimbangan ini menyatakan bahwa
dalam masyarakat terdapat kententuan tetap dalam menyikapi
kesadaran hukum manusia yang meyakini bahwa setiap orang itu
bersikap atau berkeyakinan sehingga dengan keyakinan itu setiap
orang memiliki kesamaan hak terhadap penerimaan keuntungan
atau kerugian, atau keadilan dan ketidakadilan, kecuali paabila
70 Soehino, Ilmu Negara, … h., 156.
71 Soehino, Ilmu Negara, … h., 157.
Page 49
40
ada syarat-syarat khusus yang menentukan lain.72 Namun disini
Kranenburg menganggap kritikan Sturcycken adalah tidak benar
karena Krabbe tidak mengatakan rasa hukum dari setiap orang itu
sama dalam segala hal, tetapi ada kesamaan unsur disitu, yaitu
adanya ketentuan tetap dalam reaksi kesadaran hukum manusia.
Itulah yang dimaksud dengan suatu keseimbangan.73
Soehino menyatakan jika Kranenburg sendiri salah terima
dengan apa yang dikatakan oleh Strucycken, karena Struycken
hanya mengatakan bahwa kesadaran hukum itu tidak dapat
dijadikan sebagai sumber hukum, disebabkan di dalam jiwa
manusia tidak hanya bergerak kesadaran hukum saja, bayak hal
lain yang menggerakkan jiwa manusia.74 Hal ini didasarkan pada
Algemene Staatsleer karya Kranenburg sendiri yang menyatakan
menolak teori kedaulatan hukum Krabbe karena kesadaran hukum
bukanlah satu-satunya kekuatan yang bergerak dalam psyche
manusia, ada kekuatan-kekuatan lain yang bergerak, dan
kekuatan-kekuatan itu bergerak tergantung pada imbangannya
masing-masing kekuatan dengan menguasainya atau tidak
kesadaran hukum itu dan hal yang ada hubungan erat dengan
tabiat rakyat.75
c. Kedaualatan Rakyat
Kedaulatan rakyat timbul akibat adanya kekuasaan raja
yang absolut pada abad pertengahan dan pada masa renaissance.
Pada abad pertengahan kekuasaan raja didasarkan pada kekuasaan
Tuhan berdasarkan ajaran dari Augustinus, Thomas Aquinas, dan
Marsilius dimana jaman Marsilius ini timbullah kekuasaan raja-
72 Soehino, Ilmu Negara, … h., 158.
73 Soehino, Ilmu Negara, … h., 158.
74 Soehino, Ilmu Negara, … h., 158 75 Soehino, Ilmu Negara, … h., 158-159.
Page 50
41
raja bersifat absolut. Kemudian pada masa renaissance muncul
ajaran dari Niccolo Machiavelli dan Jean Bodin dimana
Machiavelli mengajarkan Staats-raison dan Jean Bodin
mengajarkan Staats-Souveriniteit yang membuat kekuasaan raja
semakin absolut yang membuat raja dapat berbuat apa saja, baik
dalam ranah keduniawian, maupun dalam ranah agama.76
Kekuasan raja yang sedemikian absolut membuat rakyat
tertindas dengan kesewenang-wenangan tindakan raja sehingga
rakyat marah dan merasa membutuhkan atau bahkan suatu
keharusan mencari dasar-dasar baru untuk kekuasaan raja agar
dapat dibatasi, minimal dibatasi agar raja tidak bertindak
sewenang-wenang sehingga hak-hak rakyat dapat terlindungi.
Kaum Monarkomaken, dengan Johannes Althusius sebagai
pelopornya dalam ajarannya tidak mendasarkan kekuasaan raja
atas kehendak Tuhan, tetapi atas kekuasaan rakyat dimana
kekuasaan pada rakyat itu didapatnya dari suatu hukum yang
tidak tertulis, yaitu hukum alam kodrat dan rakyat menyerahkan
kekuasaannya pada raja dalam suatu perjanjian yang dinamakan
perjanjian penundukan. Ajaran dari kaum Monarkomaken atau
ajaran dari Johannes Athusius di atas diteruskan oleh para sarjana
dari aliran hukum alam, tetapi memunculkan kesimpulan baru,
yaitu individu-individu dengan melalui perjanjian masyarakat
membentuk masyarakat, dan kepada masyarakat inilah para
individu menyerahkan kekuasaannya, yang selanjutnya
diserahkan kekuasaan itu kepada raja. Jadi, raja mendapatkan
kekuasaannya dari para individu.77 Oleh karena itu, timbullah
ajaran baru dimana raja berkuasa sebagai pelaksana dari amanat
rakyat, yaitu kedaulatan rakyat yang digagas oleh kaum
76 Soehino, Ilmu Negara, … h., 159. 77 Soehino, Ilmu Negara, … h., 159-160.
Page 51
42
monarkomaken itu seperti Marsilio, William Ockham, Buchanan,
Hotman, Bellarmin, dan lain-lain. Mereka inilah yang mula-mula
sekali mengemukakan ajaran bahwa rakyatlah yang berdaulat
penuh dan bukan raja, karena raja berkuasa atas kehendak rakyat.
Ajaran kaum monarkomaken ini dilanjutkan oleh John Locke dan
diteruskan oleh J.J. Rousseau.78
Adalah J.J. Rousseau yang membuat ide baru tentang
kedaulatan yakni kedaulatan rakyat yang ajarannya telah
dijelaskan pada waktu membicarkan ajaran hukum alam. Yang
dimaksud Rousseau rakyat bukanlah penjumlahan daripada
individu-individu dalam suatu negara, akan tetapi sebuah
kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu itu yang
mempunyai kehendak yang mana kehendak itu diperoleh dari
indiidu-individu melalui perjanjian masyarakat, yang disebut oleh
Rousseau sebagai kehendak umum.79 Rousseau menekankan
bahwa kedaulatan rakyat itu pada prinsipnya adalah cara atau
sistem bagaimana memecahkan sesuatu persoalan menurut cara
atau sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum dimana
kehendak umum itu hanyalah khayalan yang bersifat abstrak.80 J.J
Rousseuau adalah salah satu pencetus kedaulatan rakyat dengan
kehendak umum sebagai perjanjian masyarakat.
Dalam tangan Rousseau kedaulatan rakyat ini menjadi
kedaulatan yang mutlak berdasarkan volonte generale dari rakyat
itu.81 Ajaran kedaulatan rakyat adalah ajaran yang memberi
kekuasaan tertinggi kepada rakyat atau juga disebut pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rousseau memberi
78 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, … h., 188.
79 Soehino, Ilmu Negara, … h., 160. 80 Soehino, Ilmu Negara, … h., 161.
81 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, … h., 189.
Page 52
43
ajaran bahwa ada dua macam kehendak rakyat dalam kedaulatan
rakyat, yaitu sebagai berikut:82
a. Kehendak rakyat yang dinamakan volente de tous
Hanya dipergunakan oleh rakyat seluruhnya sekali saja
yaitu waktu negara hendak dibentuk melalui perjanjian
masyarakat, maksud dari volonte de tous ini untuk memberi
sandaran agar supaya mereka dapat berdiri sendiri dengan
abadi, karena seluruh rakyat menyetujuinya. Keputusan ini
merupakana suatu kebulatan kehendak dan jika negara itu
sudah berdiri pernyataan setuju itu tidak dapat ditarik
kembali lagi.
b. Kehendak sebagian dari rakyat yang dinamakan volunte
generale
Dinyatakan sesudah negara ada, sebab dengan keputusan
suara terbanyak, kini negara bisa berjalan dengan sistem
suara terbanyak ini dipakai oleh negara-negara demokrasi
Barat. Dengan demikian, apa yang dimaksud Rousseau
dengan kedaulatan rakyat itu sama dengan keputusan suara
terbanyak. Oleh karena suara terbanyak itu harus ditaati,
maka keputusan suara terbanyak itu sama halnya dengan
diktator dari suara terbanyak.
Immanuel Kant adalah penerus teori J.J. Rousseau tentang
kedaulatan rakyat dimana ia mengatakan bahwa tujuan negara
adalah menegakkan hukum dan menjamin kebebasan daripada
warga negaranya dengan maksud bahwa kebebasan itu adalah
kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan yang mana
undang-undang sendiri yang berhak membuat adalah rakyat itu
sendiri. Oleh karena itu, undang-undang merupakan penjelmaan
82 Muh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2000), cet. Keempat, h., 124.
Page 53
44
daripada kemauan atau kehendak rakyat maka rakyatlah yang
mewakili kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.83
Kedaulatan rakyat atau sering disebut kerakyatan atau
demokrasi, menurut Paham Pancasila, pengertian kerakyatan atau
kedaulatan rakyat lebih luas dari pengertian demokrasi yang
ditumbuhkan di Barat, baik dari sudut pandang liberalisme
maupun marxisme karena pada paham liberal, demokrasi lebih
ditekankan pada segi politiknya atau dikaitkan dengan kegiatan di
bidang politik, pada paham marxisme, demokrasi ditekankan pada
aspek sosial ekonomi, sedangka kerakyatan menurut paham
Pancasila mencakup “politiek economische democratie” yang
mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. 84
Menurut teori kedaulatan rakyat, tujuan negara adalah
untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan warga
negaranya dalam batas-batas peraturan perundang-undangan yang
berhak membuat undang-undang adalah rakyat sehingga undang-
undang merupakan penjelmaan kehendak rakyat. Rakyat memiliki
kekuasaan tertinggi dalam Negara. Rakyat memiliki otoritas
tertinggi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Teori
kedaulatan rakyat mengatakan bahwa kekuasaan suatu negara
berada di tangan rakyat sebab benar-benar berdaulat dalam suatu
negara adalah rakyat.85
Dalam konsep negara modern liberal yang diartikan dengan
rakyat yang berdaulat adalah sejumlah subjek-subjek individu
(optelsom von individuen) atau dengan kata lain yang diartikan
83 Soehino, Ilmu Negara, … h., 161.
84 Pidato Soekarno pada rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 (kelahiran Pancasila), lihat
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, dalam Bagir Manan, et.al, ed.
Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, … h., 60-61.
85 Agus Setiawan, Kedaulatan Rakyat Pasca Reformasi dan Pembangunan Pulau Palsu,
Nusantara News, https://nusantaranews.co/kedaulatan-rakyat-pasca-reformasi-dan-pembangunan-
pulau-palsu/, diakses pada 10 Agustus 2019 pukul 15.48 WIB.
Page 54
45
dengan rakyat adalah banyak subjek-subjek individu.86 Individu
berarti rakyat yang memiliki kedaulatan.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi yang ditulis oleh Mulyadi S. Awal87. Skripsi tersebut bertujuan
mengkaji dan mengetahui pengaturan pemungutan suara ulang dalam
pemilihan kepala daerah dan mengevaluasi pelaksanaan pemungutan
suara ulang di 20 TPS Kecamatan Bacan. Perbedaan penelitian
tersebut dengan penelitian peneliti terletak pada objek masalahnya.
Peneliti membahas pelaksanaan pemungutan suara ulang pada
Pemilihan Umum Kepala Daerah yang terjadi di Kota Cirebon Tahun
2018 dengan menilai pertimbangan hukum hakim MK dalam
memerintahkan pemungutan suara ulang Kota Cirebon dengan
merujuk berbagai Peraturan Mahkamah Konstitusi yang memberi
wewenang Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemungutan suara
ulang dan Peraturan-peraturan Perundang-undangan lain. Sedangkan,
penelitian tersebut fokus pada pemungutan suara ulang yang terjadi di
Kabupaten Halmahera Selatan.
2. Skripsi yang ditulis oleh Jentel Chairnosia88. Skripsi tersebut
membahas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal
mengadili sengketa pemilihan kepala daerah dimana setelah keluarnya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XI/2013 yang
menyebabkan batalnya Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah, ditanggapi berbeda oleh berbagai
86 Willy D.S. Voll, Negara Hukum dalam Keadaan Pengecualian, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h., 58-59.
87 Mulyadi S. Awal, “Pemungutan Suara Ulang Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Studi
Kasus Pilkada di Kabupaten Halmahera Selatan”, (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, 2017).
88 Jentel Chainosia, “Penghapusan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara
Sengketa Pemilukada (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013)”,
(Skripis S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014).
Page 55
46
pakar dan aparat penegak hukum. Perbedaan penelitian tersebut
dengan penelitian peneliti terletak pada objek masalahnya, dimana
peneliti membahas pelaksanaan pemungutan suara ulang pada
Pemilihan Umum kepala daerah di Kota Cirebon Tahun 2018 dengan
menilai pertimbangan hukum hakim MK yang memerintahkan
pemungutan suara ulang Kota Cirebon dengan merujuk berbagai
Peraturan Mahkamah Konstitusi yang memberi wewenang Mahkamah
Konstitsi memerintahkan pemungutan suara ulang dan Peraturan-
peraturan Perundang-undangan lain.
3. Buku karangan Rahmat Hollyon MZ dan Sri Sundari89. Persamaan
dari penelitian saya dengan buku tersebut adalah sama-sama
membahas masalah Pemilukada di Indonesia. Perbedaannya adalah
buku ini membahas kontroversi terhadap Pemilihan Kepala Daerah
seperti adanya dinasti politik di daerah, fenomena golput, dan potensi
terjadinya konflik Pemilukada sedangkan penelitian saya khusus
membahas pemungutan suara ulang dalam pemilukada di Indonesia
yang menilai hukum hakim MK dalam putusannya melaksanakan
pemungutan suara ulang yang mana pemenang pemungutan suara
ulang itu sama dengan sebelum PSU.
4. Jurnal yang ditulis oleh Dewi Haryanti.90. Persamaan dari penelitian
saya dengan jurnal tersebut adalah sama-sama membahas mengenai
Pemungutan Suara Ulang dan Peraturan Perundang-Undangan yang
terkait itu. Perbedaannya adalah penelitan saya membahas
pelaksanaan pemungutan suara ulang dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah Kota Cirebon Tahun 2018 yang menilai pertimbangan hukum
hakim MK memerintahkan pemungutan suara ulang dengan hasil yang
sama dengan sebelum PSU serta pada jurnal tersebut fokus pada
89 Hollyon, Rahmat MZ dan Sri Sundari, Pilkada Penuh Euforia, Miskin Makna, (Jakarta,
Bestari Buana Murni, 2015).
90 Dewi Haryanti, “Kebijakan Penyelenggara Pemilihan Umum Terkait Pemungutan
Suara Ulang Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014 (Studi: Tinjauan Yuridis Tentang Pemungutan
Suara Ulang di Kota Tanjung Pinang)”, Jurnal Selat, Vol. 1 No. 2 (Mei, 2014).
Page 56
47
pemlihan legislatif, bukan pemilihan kepala daerah, yang terjadi pada
tahun 2014 dengan meninjau secara yuridis Pemungutan Suara Ulang
Pada Kota Tanjung Pinang serta pada jurnal tersebut membahas
berbagai kebijakan penyelenggara Pemilihan Umum seperti KPU,
BAWASLU, PANWASLU, PPK, PPS, dll di Kota Tanjung Pinang.
5. Jurnal yang ditulis oleh Khairul Fahmi91 “Pergeseran Pembatasan Hak
Pilih dalam Regulasi Pemilu dan Pilkada”, ditulis oleh Khairul Fahmi
dari Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada. Persamaan dari penelitian saya dengan jurnal tersebut
adalah sama-sama mengkaji masalah Pemilukada. Perbedaannya
adalah penelitian saya membahas Pelaksanaan pemungutan suara
ulang dalam Pemilihan Umum kepala daerah di Kota Cirebon Tahun
2018 dengan menilai pertimbangan hukum hakim MK dalam
memutus memerintahkan pelaksanakaan pemungutan suara ulang di
Kota Cirebon. Sedangkan jurnal tersebut membahas pergeseran
pengaturan hak pilih dan dipilih dan pembedaan dan pembatasan hak
memilih dan hak dipilih.
91 Khairul Fahmi, “Pergeseran Pembatasan Hak Pilih dalam Regulasi Pemilu dan
Pilkada”, Jurnal Konstitusi, Vol. 14 No. 4 (Desember 2017).
Page 57
48
BAB III
KASUS PEMUNGUTAN SUARA ULANG PEMILUKADA KOTA
CIREBON TAHUN 2018
A. Identitas Para Pihak
Dalam Putusan ini permohonan dimohonkan oleh Pasangan
Calon Walikota dan Wakil Walikota Nomor Urut 1, H. Bamunas Setiawan
Boediman, M.B.A. yang beralamat di Jalan Metro Alam IV TC. 23/23,
RT/RW 011, Kelurahan Pondok Pinang, Kecamatan Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta dan Wakilnya Effendi Edo, S.AP.,
M.Si yang beralamat di Jalan Gading Barat III Nomor 14, RT/RW
001/008, Kelurahan Cisaranten Endah, Kecamatan Arcamanik, Kota
Bandung, Provinsi Jawa Barat melawan Komisi Pemilihan Umum Kota
Cirebon yang beralamat di Jalan Palang Merah Nomor 6, Lemahwungkuk,
Kota Cirebon Jawa Barat sebagai Termohon ditambah Pasangan Calon
Walikota dan Wakil Walikota Nomor Urut 2, Drs. Nashrudin Azis., S.H.
yang beralamat di Jalan Gn. Tangkuban Perahu III Nomor 2016 Kelurahan
Larangan, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon dan Waliknya Dra. Hj.
Eti Herawati yang beralamat di Jalan Cankring I, Gg. Beluluk Nomor 62
RT, 002 RW. 005, Kelurahan Kejaksan, Kecamatan Kejaksan, Kota
Cirebon selaku Pihak Terkait.
B. Putusan Hakim Sebelum Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Kota
Cirebon Tahun 2018
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018
tanggal 12 September 2018 telah mengadili bahwa:
1. Mahkamah Konstitusi menyatakan telah terjadi pembukaan kotak
suara di beberapa TPS oleh KPPS bertempat di PPS yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan pada Pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota Cirebon Tahun 2018 yang signifikan mempengaruhi
perolehan hasil suara;
Page 58
49
2. Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Cirebon
Nomor 100/PL.03.6-Kpt/3274/KPU-KOT/VII/2018 tentang Penetapan
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Kota Cirebon Tahun 2018, tertanggal 4 Juli 2018 sepanjang
perolehan suara:
a. Kecamatan Kesambi di:
1) TPS 15 Kelurahan Kesambi.
2) TPS 15 Kelurahan Drajat.
3) TPS 16 Kelurahan Drajat.
b. Kecamatan Kejaksan di:
TPS 3, TPS 5, TPS 6, TPS 11, TPS 12, TPS 14, TPS 15, TPS 16,
TPS17, TPS 18, TPS 19, TPS 20, TPS 22, TPS 23, TPS 23, TPS
25, TPS 27, TPS 28 Kelurahan Kesenden.
c. Kecamatan Lemahwungkuk di:
1) TPS 16 Kelurahan Kesepuhan.
2) TPS 15 Kelurahan Panjunan.
d. Kecamatan Pekalipan di TPS 10 Kelurahan Jagasatru.
3. Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Kota Cirebon untuk
melaksanakan pemungutan suara ulang Pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Kota Cirebon Tahun 2018 sepanjang empat kecamatan:
a. Kecamatan Kesambi di:
1) TPS 15 Kelurahan Kesambi.
2) TPS 15 Kelurahan Drajat.
3) TPS 16 Kelurahan Drajat.
b. Kecamatan Kejaksan di:
TPS 3, TPS 5, TPS 6, TPS 11, TPS 12, TPS 14, TPS 15, TPS 16,
TPS 17, TPS 18, TPS 19, TPS20, TPS 22, TPS 23, TPS 24, TPS
25, TPS 27, TPS 28 Kelurahan Kesenden.
c. Kecamatan Lemahwungkuk di:
1) TPS 16 Kelurahan Kesepuhan.
2) TPS 15 Kelurahan Panjunan.
Page 59
50
d. Kecamatan Pekalipan di TPS 10 Kelurahan Jagasatru.
4. Memerintahkan pemungutan suara ulang dilaksanakan paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak putusan ini diucapkan;
5. Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Barat
dan Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan supervisi kepada
Komisi Pemilihan Umum Kota Cirebon dalam pelaksanaan
pemungutan suara ulang Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota
Cirebon Tahun 2018;
6. Memerintahkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Kota Cirebon
untuk melakukan pengawasan yang ketat dengan supervisi Badan
Pengawas Pemilu Provinsi Jawa Barat dan Badan Pengawas Pemilihan
Umum dalam pelaksanaan pemungutan suara ulang Pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota Kota Cirebon Tahun 2018;
7. Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kota Cirebon,
Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Barat, dan Komisi Pemilihan
Umum untuk melaporkan masing-masing kepada Mahkamah
mengenai hasil penghitungan suara dalam pemungutan suara ulang
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Cirebon Tahun 2018
tersebut selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah pemungutan
suara ulang tersebut dilaksanakan;
8. Memerintahkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Kota Cirebon,
Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Jawa Barat, dan Badan
Pengawas Pemilihan Umum untuk melaporkan masing-masing kepada
Mahkamah mengenai hasil penghitungan suara dalam pemungutan
suara ulang Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Cirebon
Tahun 2018 tersebut selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
pemungutan suara ulang tersebut dilaksanakan;
9. Memerintahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia
berserta jajarannya, khususnya Kepolisian Resor Kota Cirebon dan
Kepolisian Daerah Provinsi Jawa Barat, untuk melakukan pengamanan
proses pemungutan suara ulang tersebut sampai dengan laporan
Page 60
51
tersebut disampaikan kepada Mahkamah sesuai dengan
kewenangannya.
C. Pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Kota Cirebon
Tahun 2018
Pemungutan suara ulang Pemilukada Kota Cirebon
dilaksanakan dengan diawali membuat laporan persiapan pelaksanaan
Pemungutan Suara Ulang (PSU) pada tanggal 12 September 2018 sampai
dengan 24 September 2018. Dalam Putusan MK Nomor 8/PHP.KOT-
XV/2018, MK memerintahkan 24 TPS di empat kecamatan seperti yang
disebut di sub-bab sebelumnya.
Tanggal 22 September 2018 dilaksanakan pemungutan suara
dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) masing-
masing wilayah TPS. Dilanjutkan esok hari dengan Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Suara di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Tanggal 24 September 2018 dilakukan Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara di tingkat KPU Kota Cirebon dari hasil Penghitungan Suara Ulang
di 24 TPS tersebut dengan hasil sebagai berikut.
Tabel 1: Rekapitulasi Perolehan Suara
NO. KECAMATAN KELURAHAN TPS
PEROLEHAN SUARA
PASLON 1 PASLON 2
1 KESAMBI KESAMBI 15 122 108
2 DRAJAT
15 99 178
3 16 162 198
4 KEJAKSAN KESENDEN 3 134 54
5 5 58 87
6 6 157 104
7 11 178 120
8 12 82 88
9 14 48 141
10 15 123 114
11 16 84 77
12 17 101 137
13 18 76 65
14 19 122 97
Page 61
52
15 20 142 65
16 22 133 118
17 23 142 136
18 24 150 127
19 25 107 143
20 27 99 82
21 28 112 166
22 LEMAHWUNGKUK
KESEPUHAN 16 81 299
23 PANJUNAN 15 215 107
24 PEKALIPAN JAGASATRU 10 216 186
JUMLAH TOTAL SUARA 2,943 2,997
Tabel tersebut menunjukkan perolehan suara terbanyak pada
Paslon Nomor Urut 2 dengan perolehan suara tertinggi pada Kelurahan
Kesepuhan dengan jumlah dua ratus sembilan puluh Sembilan suara.
Sedangkan Paslon Nomor Urut 1 perolehan suara tertinggi pada Kelurahan
Jagasatru sebesar dua ratus enam belas suara.
Perolehan total suara pada sebelum pemungutan suara ulang
yang ditetapkan KPU Kota Cirebon tertanggal 4 Juli 2018 adalah sebagai
berikut.
Tabel 2: Jumlah Suara Sah Pra PSU
NO. NAMA PASANGAN CALON PEROLEHAN
SUARA
PERSENTASE
1. H. BAMUNAS SETIAWAN BOEDIMAN, MBA
EFFENDI EDO, SAP., M.Si
78,511 49.38%
2. DRS. NASHRUDIN AZIS, S.H.
DRA. HJ. ETI HERAWARI
80,496 50,62%
JUMLAH SUARA SAH 159,261 100%
Perolehan suara kedua Paslon pasca Pemungutan Suara Ulang
adalah sebagai berikut.
Tabel 3: Jumlah Suara Sah Pasca PSU
NO. NAMA PASANGAN CALON PEROLEHAN
SUARA
PERSENTASE
Page 62
53
1. H. BAMUNAS SETIAWAN BOEDIMAN, MBA
EFFENDI EDO, SAP., MSi
78,671 49,40%
2. DRS. NASHRUDIN AZIS, S.H.
DRA. HJ. ETI HERAWARI
80,590 50,60%
JUMLAH SUARA SAH 159,261 100%
Untuk membuktikan laporan tersebut di atas, KPU Kota
Cirebon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti T-PSU.1
sampai dengan bukti T-PSU.16. untuk yang selain bukti surat ada fotokopi
hasil Penghitungan dan Pemungutan Suara Ulang di masing-masing TPS
dan fotokopi berita acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di
masing-masing TPS.
Atas data tersebut maka Komisi Pemilihan Umum Pusat telah
membuat supervisi untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018 atas Pemungutan Suara Ulang Pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota Kota Cirebon di 24 (dua puluh empat) TPS
di 4 (empat) Kecamatan yang melibatkan Komisi Pemilihan Umum Pusat.
D. Profil Kota Cirebon
1. Sejarah Riwayat Pemerintahan Kota Cirebon
Riwayat pemerintahan Kota Cirebon terbagi atas beberapa
periode, yakni periode tahun 1270-1910. Periode ini kehidupan di
Kota Cirebon masih tradisional dan pada tahun 1479 berkembang
pesat menjadi pusat penyebaran dan Kerajaan Islam terutama di
wilayah Jawa Barat. Kemudian setelah Belanda masuk, dibangunlah
jaringan jalan raya darat dan kereta api sehingga mempengaruhi
perkembangan industry dan perdagangan. Periode selanjutnya tahun
1910-1937. Periode ini Kota Cirebon disahkan menjadi Gemeente
Cheirebon dengan luas 1.100 hektar dan berpenduduk 20.000 jiwa
(Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Periode 1937-1967.
Pada tahun 1942 Kota Cirebon diperluas menjadi 2.450 hektar dan
Tahun 1957 status pemerintahannya menjadi Kota Praja dengan luas
3.300 hektar, setelah ditetapkan menjadi Kotamadya tahun 1965 luas
Page 63
54
wilayahnya menjadi 3.600 Hektar.Periode 1967-sekarang. Wilayah
Kota Cirebon sampai saat ini adalah 3.735,82 hektar yang terbadi
dalam 5 Kecamatan dan 22 Kelurahan.1
2. Visi dan Misi
Visi Kota Cirebon hanya satu yakni “Sehati Kita Wujudkan
Kota Cirebon sebagai Kota Kreatif Berbasis Budaya dan Sejarah”
dengan empat misi dan empat tujuan yakni: Misi 1 “Mewujudkan
Kualitas Sumber daya Manusia Kota Cirebon yang Berdaya Saing,
Berbudaya, Unggul di Segala Bidang” dengan Tujuan “Menciptakan
Kualitas Sumber Daya Manusia Kota Cirebon yang Agamis,
Kompetitif, Terlatih, dan Inovatif serta Mengembangkan Nilai-nilai
Luhur Keagamaan, Memajukan, dan Memperkaya Kebudayaan Khas
Cirebon”. Misi ke-2 “Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang
Bersih, Akuntabel, Berwibawa, dan Inovatif” dengan Tujuan
“Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik, Meningkatkan Kualitas
Kinerja, Kapasitas, dan Akuntabilitas Perangkat Daerah, serta
Meningkatkan Inovasi dalam Pemerintahan”. Misi ke-3
“Meningkatkan Kualitas Pelayanan Sarana dan Prasarana Umum
Berwawasan Lingkungna” dengan Tujuan “Meningkatkan
Aksesibilitas Masyarakat terhadap Pusat-pusat Kegiatan dan Pusat
Koleksi/Distribusi Barang, Menyediakan Pelayanan Utilitas Umum
yang Direncanakan dengan Matang, Komprehensif, dan Terpadu, serta
Mewujudkan Kualitas Lingkungan Kota yang Aman, Nyaman,
Produktif, dan Berkelanjutan Sesuai dengan Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkungan. Misi ke-4 “Mewujudkan Ketentraman dan
Ketertiban Umum yang Kondusif” dengan Tujuan “Menciptakan
Perlindungan bagi Masyarakat, Mendukung Penegakan Peraturan
1 Profil, Sejarah Pemerintahan, http://www.cirebonkota.go.id/profil/sejarah/sejarah-
pemerintahan/, diakses pada 13 September 2019 pukul 16.17 WIB.
Page 64
55
Perundang-undangan, serta Menumbuhkan Budaya Tertib
Masyarakat, dan Penyelenggara Pemerintahan.2
2 Profil, Visi dan Misi, http://www.cirebonkota.go.id/profil/visi-dan-misi/, diakses pada
13 September 2019 pukul 16.53 WIB.
Page 65
56
BAB IV
PEMUNGUTAN SUARA ULANG KOTA CIREBON TAHUN 2018
A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Pelaksanaan Pemungutan Suara
Ulang
1. Dalam Eksepsi
Mahkamah dalam mempertimbangkan permohonan
Pemohon, Termohon mengajukan eksepsi mengenai Kewenangan
Mahkamah dan Pihak Terkait mengajukan eksepsi mengenai
permohonan Pemohon kabur (obscuur libel); terhadap eksespsi
tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:1
a. Bahwa terhadap eksepsi Termohon mengenai kewenangan
Mahkamah, telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018, tanggal 12 September
2018, bahwa Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo.
Dengan demikian, eksepsi Termohon tersebut tidak beralasan
menurut hukum;
b. Bahwa terhadap eksepsi Pihak Terkait yang menyatakan
permohonan kabur (obscuur libel), Mahkamah menilai eksepsi
Pihak Terkait tersebut sudah masuk dalam pokok permohonan
sehingga eksepsi demikian adalah tidak beralasan menurut hukum.
c. Meniimbang bahwa oleh karena eksepsi Termohon dan eksepsi
Pihak Terkait tidak beralasan menurut hukum, maka selanjutnya
Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. Namun,
sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah
terlebih dahulu mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum
Pemohon dan tenggang waktu pengajuan permohonan Pemohon;
2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
1 Putusan Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018, dalam
https://mkri.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1&cari=8%2FPHP.KOT-XVI%2F2018,
diakses pada 11 Juli 2019 pukul 20.30 WIB.
Page 66
57
a. Menimbang bahwa dalam mempertimbangkan kedudukan hukum
Pemohon, Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
1) Apakah Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-
Undang (selanjutnya disebut UU Pilkada, Pasal 157 Ayat (4)
UU Pilkada, dan Pasal 2 huruf a dan Pasal 3 Ayat (1) PMK
5/2017;
2) Apakah Pemohon memenuhi ketentuan untuk dapat
mengajukan permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 158
Ayat (2) huruf b Undang-Undang Pilkada dan Pasal 7 Ayat (2)
huruf b PMK 5/2017.
b. Menimbang bahwa terhadap kedua pertanyaan di atas Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:
1) Bahwa Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Pilkada menyatakan
“Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati atau Calon Walikota
dan Wakil Walikota adalah peserta Pemilihan yang diusulkan
oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan
yang didaftarkan atau mendaftar di Komisi Pemilihan Umum
Provinsi”; Pasal 157 Ayat (4) Undang-Undang Pilkada
menyatakan, “Peserta Pemilihan dapat mengajukan
permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan
Page 67
58
perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi”, Pasal 2 huruf
a PMK 5/2017 menyatakan, “Para Pihak dalam perkara
perselisihan hasil pemilihan adalah: a. Pemohon … “, dan
Pasal 3 Ayat (1) PMK 5/2017 menyatakan, “Pemohon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a adalah a.
Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, b. pasangan
calon Bupati dan Wakil Bupati, atau c. pasangan calon
Walikota dan Wakil Walikota”.
2) Bahwa Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Cirebon
Nomor 30/PL.03.2-Kpt/3274/KPU-Kot/II/2018 Tentang
Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota Cirebon Tahun 2018, tertanggal 12 Februari
2018 juncto Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota
Cirebon Nomor 32/PL.03.2-Kpt/3274/KPU-Kot/II/2018
tentang Penetapan Nomor Urut dan Daftar Pasangan Calon
Walikota dan Wakil Walikota Cirebon Tahun 2018, tertanggal
13 Februari 2018 telah menetapkan Pemohon sebagai
Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Kota Cirebon
dengan Nomor Urut 1.
3) Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Pemohon adalah
Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Kota Cirebon
Tahun 2018, Nomor Urut 1;
4) Bahwa Pasal 158 Ayat (2) huruf b UU Pilkada menyatakan:
“Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota
dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan
pembatalan penetapan hasil penghitngan perolehan suara
dengan ketentuan: … b. Kabupaten/kota dengan jumlah
penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa
sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, pengajuan
perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat
Page 68
59
perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima
persen) dari total suara sah hasil pengitungan suara tahap
akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota”, dan Pasal
7 Ayat (2) huruf b PMK 5/2017 menyatakan, “Pemohon
sebagaimana dimaksud dalam Pasa. 3 Ayat (1) huruf a
mengajukan permohonan ke Mahkamah dengan ketentuan: …
b. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 250.000
(dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima
ratus ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara
ilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5%
(satu koma lima persen) dari total suara sah hasil
penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oelh
Termohon”,
5) Bahwa jumlah penduduk berdasarkan Data Agregat
Kependudukan per Kecamatan (DAK2) Semester I Tahun
2017 dari Kementerian Dalam Negeri kepada Komisi
Pemilihan Umum sebagaimana Berita Acara Serah Terima
Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2)
Semester I Tahun 2017 Nomor 470/8641/Dukcapil garis
bawah Nomor 43/BA/VII/2017 bertanggal 31 Juli 2017, yang
oleh Komisi Pemilihan Umum diserahkan kepada Mahkamah,
dimana jumlah penduduk Kota Cirebon adalah 325.767 (tiga
ratus dua puluh lima ribu tujuh ratus enam puluh tujuh) jiwa,
sehingga perbedaan perolehan suara antara Pemohon dengan
pasangan calon peraih suara terbanyak adalah paling banyak
sebesar 1,5% dari total suara sah hasil penghitungan suara
tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kota Cirebon;
6) Bahwa jumlah perbedaan suara antara Pemohon dengan
pasangan calon peraih suara terbanyak adalah paling banyak
1,5% x 159.007 suara (total suara sah) = 2.385 suara. Dengan
demikian, selisih maksimal untuk dapat mengajukan
Page 69
60
permohonan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi adalah
2.385 suara.
7) Bahwa perolehan suara Pemohon adalah 78.511 suara,
sedangkan perolehan suara Pihak Terkait (pasangan calon
peraih suara terbanyak) adalah 80.496 suara, sehingga
perbedaan perolehan suara antara Pihak Terkait dan Pemohon
adalah (80.496 suara – 78.511 suara) = 1.985 suara (setara
dengan 1,25%).
c. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut
diatas, menurut Mahkamah, Pemohon memiliki kedudukan hukum
untuk mengajukan permohonan a quo;
3. Tenggang Waktu Pengajan Permohonan
a. Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 157 Ayat (5) Undang-
Undang 10/2016, “Peserta Pemilihan mengajukan permohonan
kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada Ayat
(4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan
penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi
atau KPU Kabupaten/Kota”; Pasal 1 angka 29 PMK 5/2017,
“Hari kerja adalah hari kerja Mahkamah Konstitusi, yaitu hari
Senin sampai dengan hari Jumat kecuali hari libur resmi yang
ditetapkan oleh Pemerintah” serta Pasal 5 Ayat (1) PMK 5/2017,
“Permohonan Pemohon diajukan kepada Mahkamah Paling
lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan
perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU/KIP Provinsi atau
KPU/KIP Kabupaten/Kota”; dan Pasal 5 Ayat (4) PMK 5/2017,
“Hari kerja sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), berlaku sejak
pukul 07.30 WIB sampai dengan pukul 24.00 WIB”;
1) Bahwa berdasarkan Pasal 157 Ayat (5) UU Pilkada dan Pasal 5
Ayat (1) PMK 5/2017, tenggang waktu pengajuan permohonan
pembatalan Penetapan Perolehan Suara Tahap Akhir Hasil
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Cirebon
Page 70
61
Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 paling lambat 3 (tiga) hari
kerja sejak Termohon mengumumkan penetapan perolehan
suara hasil pemilihan;
2) Bahwa hasil penghitungan perolehan suara Pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota Kota Cirebon diumumkan oleh
Termohon berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum
Kota Kota Cirebon Nomor 100/PL.03.6-Kpt/4274/KPU-
Kot/VII/2018 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota
Cirebon Tahun 2018 pada hari Rabu, tanggal 4 Juli 2018,
pukul 11.05 WIB;
3) Bahwa tenggang waktu 3 (tiga) hari kerja sejak Termohon
mengumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan
adalah hari Rabu, tanggal 4 Juli 2018, pukul 24.00 WIB,
hari Kamis, tanggal 5 Juli 2018, pukul 24.00 WIB, dan hari
Jumat, tanggal 6 Juli 2018, pukul 24.00 WIB;
b. Menimbang bahwa berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan
Pemohon Nomor 59/PAN.MK/2018, permohonan Pemohon
diajukan di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Jumat, tanggal 6
Juli 2018, pukul 23.13 WIB, sehingga permohonan Pemohon
masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan yang
ditentukan peraturan perundang-undangan;
c. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
Mahkamah berpendapat, Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan, dan permohonan Pemohon diajukan
dalam tenggang waktu yang ditentukan peratruan perundang-
undangan. Oleh karena itu, Mahkamah selanjutnya akan
mempertimbangkan pokok permohonan;
4. Dalam Pokok Permohonan
Page 71
62
a. Menimbang bahwa secara garis besar yang dipersoalkan oleh
Pemohon ada lima hal, yaitu:
1) Kotak suara dibawa ke keluarahan secara melawan hukum;
2) Pembongkaran kotak suara yang dilakukan secara illegal dan
melawan hukum;
3) Penolakan atas rekomendasi Panwascam oleh KPU/Termohon
dan adanya intervensi Bawaslu Provinsi Jawa Barat;
4) Pengurangan suara Pemohon dan penambahan suara bagi
pasangan calon lain;
5) Ketidaksesuaian data penggunaan surat suara pada Model C1-
KWK;
Terhadap kelima hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan
sebagai berikut;
a) Bahwa terhadap dalil Pemohon angka 1, angka 2, dan angka 3,
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PHP.KOT-
XVI/2018, tanggal 12 September 2018, telah dipertimbangkan
dan diputus dengan perintah Termohon melakukan
pemungutan suara ulang di 24 TPS di empat kecamatan, yaitu:
(1) Kecamatan Kesambi di:
(a) TPS 15 Keluarah Kesambi.
(b) TPS 15 Kelurahan Drajat.
(c) TPS 16 Kelurahan Drajat.
(2) Kecamatan Kejaksan di:
TPS 3, TPS 5, TPS 6, TPS 11, TPS 12, TPS 14, TPS 15,
TPS 16, TPS 17, TPS 18, TPS 19, TPS 20, TPS 22, TPS
23, TPS 24, TPS 25, TPS 27, TPS 28 Kelurahan Kesenden.
(3) Kecamatan Lemahwungkuk di:
(a) TPS 16 Kelurahan Kesepuhan.
(b) TPS 15 Kelurahan Panjunan.
(4) Kecamatan Pekalipan di TPS 10 Kelurahan Jagasatru.
Page 72
63
b) Bahwa terhadap Putusan Mahkamah tersebut, Termohon telah
melaksanakan pemunguan suara ulang pada tanggal 22
September 2018 dan telah dilakukan rekapitulasi di tingkat
kecamatan pada tanggal 23 September 2018 serta rekapitulasi
di tingkat KPU Kota Cirebon pada tanggal 24 September 2018
dengan hasil sebagai berikut:
NO. KECAMATAN KELURAHAN TPS
PEROLEHAN SUARA
H. Bamunas
Setiawan
Boediman,
M B A dan
Effendi Edo,
S A P., M.Si
Drs.Nashrudin
Azis, S.H., dan
Dra. Hj. Eti
Herawati
1 KESAMBI
KESAMBI 15 122 108
2 DRAJAT
15 99 178
3 16 162 198
4 KESENDEN KESENDEN 3 134 54
5 5 58 87
6 6 157 104
7 11 178 120
8 12 82 88
9 14 48 141
10 15 123 114
11 16 84 77
12 17 101 137
13 18 76 65
14 19 122 97
15 20 142 65
16 22 133 118
17 23 142 136
18 24 150 127
19 25 107 143
20 27 99 82
21 28 112 166
22 LEMAHWUNGKUK
KESEPUHAN 16 81 299
23 PANJUNAN 15 215 107
24 PEKALIPAN JAGASATRU 10 216 186
JUMLAH TOTAL SUARA 2.943 2.997
Page 73
64
b. Menimbang bahwa untuk memperoleh kebenaran materiil dalam
perkara a quo, Mahkamah telah membuka siding lanjutan pada hari
Selasa, tanggal 16 September 2018, untuk mendengarkan laporan
dari Termohon, KPU, Bawaslu Kota Cirebon, Bawaslu Provinsi
Jawa Barat dan Bawaslu. Dalam persidangan tersebut sesuai
dengan perintah Mahkamah, masing-masing pihak menyampaikan
laporan yang selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara
yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) Bahwa Termohon menyampaikan laporan yang pada pokoknya
sebagai berikut:
a) Termohon telah melakukan koordinasi dengan KPU
Provinsi, KPU, Bawaslu Kota Cirebon terkait dengan
pemungutan suara ulang;
b) Bahwa hasil pemungutan suara ulang pasca Putusan
Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018, tanggal 12 September
2018 sebagaimana termuat dalam paragraph di atas;
c) Bahwa hasil perolehan suara masing-masing pasangan
calon setelah pemungutan suara ulang adalah;
No. Nama Pasangan Calon Perolehan Suara Persentase
1
H. Bamunas Setiawan
Boediman, MBA
Effendi Edo, SAP., M.Si
78.671 49,40%
2 Drs. Nashrudin Azis, SH
Dra. Hj. Eti Herawati 80.590 50,60%
Jumlah Suara Sah 159.261 100%
2) Bahwa KPU menyampaikan laporan yang pada pokoknya
sebagai berikut:
Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
8/PHP.KOT-XVI/2018 yang pada intinya memerintahkan
kepada KPU untuk melaporkan hasil supervisinya terhadap
pelaksanaan pemungutan suara ulang di 24 (dua puluh empat)
TPS pada 4 (empat) Kecamatan dalam Pemilihan Walikota dan
Page 74
65
Wakil Walikota Kota Cirebon Tahun 2018, KPU RI
memberikan arahan kepada KPU Kota Cirebon yang pada
intinya sebagai berikut:
a) Melakukan pembentukan, pengangkatan kembali atau
pendaftaran/seleksi baru, dan pelantikan anggota KPPS,
PPS dan PPK untuk melaksanakan Pemungutan Suara
Ulang di TPS dan Rekapitulasi Penghitungan Suara di
PPK;
b) Menyampaikan formulir model C6. Ulang-KWK kepada
Pemilih yang terdaftar dalam DPT, DPPh dan yang
tercatat dalam DPTb untuk TPS yang bersangkutan;
c) Mendistribusikan Surat Surara dan perlengkapan
Pemungutan Suara Ulang dan Penghitungan Suara di TPS,
formulir rekapitulasi Penghitungan Suara di PPS, PPK,
KPU/KIP Kabupaten/Kota, dan KPU di Provinsi/KIP
Aceh;
d) Menetapkan pelaksanaan hari Pemungutan Suara Ulang;
e) Menetapkan pelaksanaan rekapitulasi Penghitungan Suara
di PPK, KPU/KIP Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi/KIP
Aceh
f) Berkoordinasi dengan stakeholder terkait dalam
pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang, dan
g) Menyampaikan laporan pelaksanaan Pemungutan Suara
Ulang kepada Mahkamah Konstitusi dan KPU.
NO Nama Pasangan Calon Kec.
Kejaksan
Kec.
Kesambi
Kec.
Lemahwungkuk
Kec.
Pekalipan
Jumlah
Akhir
1 H. BAMUNAS
SETIAWAN
BOEDIMAN, M.B.A
dan
EFFENDI EDO,
S.AP., M.Si
2048 383 296 216f 2943
Page 75
66
2
Drs. NASHRUDIN
AZIS, SH
Dan
Hj. ETI HERAWATI
Jumlah Suara Sah 3968 867 702 402 5940
Jumlah Suara Tidak Sah 123 12 5 11 151
Jumlah Seluruh Suara Sah dan
Suara Tidak Sah 4092 879 707 413 6091
3) Bahwa Bawaslu Kota Cirebon menyampaikan laporan yang
pada pokoknya sebagai berikut:
a) Bawaslu Kota Cirebon Melakukan Koordinasi dengan
Kepolisian sebagaimana Surat Undangan Nomor
B/1300/IX/Ops.3.3/2018 perihal Permmohonan audiensi
terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
8/PHP.KOT-XVI/2018, tanggal 12 September 2018;
b) Bawaslu Kota Cirebon Melakukan Koordinasi dengan
KPU dan Panitia Pengawas Kecamatan sebagaimana Surat
Undangan Nomor 984/PP/05.3-Und/327/KPU-
Kot/IX/2018 Perihal Pelantikan PPK dan PPS pada
pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang tanggal 14
September 2018;
c) Bawaslu Kota Cirebon melakukan Koordinasi dan
Pelaksanaan Supervisi, pada tanggal 15 September 2018
sebagaimana Laporan Hasil Pengawasan Pemilu;
d) Bawaslu Kota Cirebon turun langsung kelapangan
mengawasi hari pemgungutan suara di 24 TPS untuk
memastikan pelaksanaan preoses pemungutan suara ulang
berjalan dengan baik, taat prosedur, sampai dengan
pengiriman kotak suara yang transit melalui PPS menuju
PPK pada tanggal 22 September 2018
e) Bahwa pada tanggal 22 September 2018 Bawaslu Kota
Cirebon meregister temuan Nomor
25/TM/PW/Kot/13.06/IX/2018 dengan peristiwa dugaan
Page 76
67
adanya Money Politic di kegiatan Pembekalan Saksi Luar
di DPC Partai Nasdem pada tanggal 17 September 2018
Jalan Mereka (dekat Patung tari Topeng Cirebon). Bahwa
terhadap temuan ini, Bawaslu Kota Cirebon telah
melakukan klarifikasi kepada pihak yang terkait dan dari
hasil pemeriksaan ternyata tidak cukup bukti.
f) Bawaslu Kota Cirebon juga telah melakukan pengawasan
pada saat pelaksanaan pemungutan suara ulang tanggal 22
September 2018, dengan hasil sebagai berikut:
(a) Bahwa data DPT, DPTb, dan DPPh Pemungutan
Suara Ulang di 24 TPS di Kota Cirebon berdasarkan
Formulir Model DB. Ulang-KWK halaman 1-1
sebagai berikut:
A.1 Jumlah DPT dari Kecamatan Kejaksan,
Lemahwungkuk, Pekalipan dan Kesambi
adalah 8515;
a.2 Jumlah DPTb dari Kecamatan Kejaksan.
Lemahwungkuk, Pekalipan dan Kesambi
adalah 61;
a.3 Jumlah DPPh dari Kecamatan Kejaksan,
Lemahwungkuk, Pekalipan dan Kesambi
adalah 8;
(b) Bahwa perolehan suara pemungutan suara ulang Kota
Cirebon yang disandingkan dengan perolehan suara
sebelumnya adalah:
NO KECAMATAN KELURAHAN NO
TPS
PEROLEHAN SUARA
27 JUNI 2018
PEROLEHAN SUARA
22 SEPT 2018
PASLON
1
PASLON
2
PASLON
1
PASLON
2
1 KEJAKSAN KESENDEN 3 112 61 134 54
Page 77
68
2 KEJAKSAN KESENDEN 5 51 92 58 87
3 KEJAKSAN KESENDEN 6 139 124 157 104
4 KEJAKSAN KESENDEN 11 134 136 178 120
5 KEJAKSAN KESENDEN 12 82 62 82 88
6 KEJAKSAN KESENDEN 14 91 82 48 141
7 KEJAKSAN KESENDEN 15 110 105 123 114
8 KEJAKSAN KESENDEN 16 86 92 84 77
9 KEJAKSAN KESENDEN 17 101 143 101 137
10 KEJAKSAN KESENDEN 18 79 74 76 65
11 KEJAKSAN KESENDEN 19 137 84 122 97
12 KEJAKSAN KESENDEN 20 123 79 142 65
13 KEJAKSAN KESENDEN 22 111 129 133 118
14 KEJAKSAN KESENDEN 23 132 132 142 136
15 KEJAKSAN KESENDEN 24 134 138 150 127
16 KEJAKSAN KESENDEN 25 117 117 107 143
17 KEJAKSAN KESENDEN 27 87 107 99 82
18 KEJAKSAN KESENDEN 28 121 157 112 166
19 PEKALIPAN JAGASATRU 10 168 239 216 186
20 KESAMBI KESAMBI 15 109 98 122 108
21 KESAMBI DRAJAT 15 143 113 99 178
Page 78
69
22 KESAMBI DRAJAT 16 168 171 162 198
23
LEMAH
WUNGKUK PANJUNAN 15 162 106 215 107
24
LEMAH
WUNGKUK KESEPUHAN 16 86 242 81 299
JUMLAH 2783 2903 2943 2997
d. Bahwa Bawaslu Provinsi Jawa Barat menyampaikan laporan
yang pada pokoknya sebagai berikut:
a) Pada saat persiapan, Bawaslu Provinsi Jawa Barat
menyampaikan pembekalan dengan melakukan tiga kali
rakor persiapan pengawasan, yaitu pada tanggal 17
September 2018 kepada Panwascam, PPL, dan pengawas
TPS.
b) Pada saat pelaksanaan PSU, Bawaslu Provinsi Jawa Barat
beserta Bawaslu RI melakukan supervise untuk
memastikan seluruh perangkat pengawas Pemilu bekerja
melakukan pengawasan secara optimal sebagaimana
disampaikan oleh Bawaslu Kota Cirebon.
5) Bahwa Bawaslu menyampaikan laporan yang pada pokoknya,
secara prinsip, hal yang dilaporkan oleh Bawaslu Kota Cirebon
atau Bawaslu Provini Jawa Barat adalah dalam pengawasan
dan juga supervisi Bawaslu.
c. Menimbang bahwa terhadap laporan Pemohon mengenai
pemungutan suara ulang yang disampaikan kepada Mahkamah
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26
September 2018, hal tersebut meskipun tidak termuat dalam amar
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018,
tanggal 12 September 2018, laporan Pemohon a quo turut
dipertimbangkan, terlepas dari keberatan Pihak Terkait yang
disampaikan dalam persidangan tanggal 16 Oktober 2018;
Page 79
70
d. Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa
secara saksama laporan Termohon, laporan KPU, laporan Bawaslu
Kota Cirebon, laporan Bawaslu Provinsi Jawa Barat, dan laporan
Bawaslu, bukti Pemohon PU-1 sampai dengan PU-29, bukti
Termohon yang diberi tanda bukti T-PSU 1 sampai dengan bukti T-
PSU 16, bukti KPU yang diberi tanda bukti Dok-1 sampai dengan
bukti Dok35, bukti Bawaslu Kota Cirebon yang diberi tanda bukti
PK-1 sampai dengan bukti PK-25, serta berdasarkan keterangan
para pihak dalam persidangan tanggal 16 Oktober 2018,
Mahkamah mendapati fakta hukum sebagai berikut:
1) Bahwa pada tanggal 22 September 2018, telah dilakukan
pemungutan suara ulang (PSU) di 24 TPS di empat kecamatan,
yaitu:
a) Kecamatan Kesambi di:
(1) TPS 15 Kelurahan Kesambi.
(2) TPS 15 Kelurahan Drajat.
(3) TPS 16 Kelurahan Drajat.
b) Kecamatan Kejaksan di:
TPS 3, TPS 5, TPS 6, TPS 11, TPS 12, TPS 14, TPS 15,
TPS 16, TPS 17, TPS 18, TPS 19, TPS 20, TPS 22, TPS
23, TPS 24, TPS 25, TPS 27, TPS 28 Kelurahan
Kesenden.
c) Kecamatan Lemahwungkuk di:
(1) TPS 16 Kelurahan Kespuhan.
(2) TPS 15 Kelurahan Panjunan.
d) Kecamatan Pekalipan di TPS 10 Kelurahan Jagasatru.
2) Bahwa dari laporan yang disampaikan oleh Termohon, KPU,
Bawaslu Kota Cirebon, peroleh suara untuk masing-masing
pasangan calon adalah:
NO. KECAMATAN KELURAHAN TPS PEROLEHAN SUARA
Page 80
71
H. Bamunas
Setiawan
Boediman,
M B A dan
Effendi Edo,
S A P., M.Si
Drs.Nashrudin
Azis, S.H., dan
Dra. Hj. Eti
Herawati
1 KESAMBI
KESAMBI 15 122 108
2 DRAJAT
15 99 178
3 16 162 198
4 KESENDEN KESENDEN 3 134 54
5 5 58 87
6 6 157 104
7 11 178 120
8 12 82 88
9 14 48 141
10 15 123 114
11 16 84 77
12 17 101 137
13 18 76 65
14 19 122 97
15 20 142 65
16 22 133 118
17 23 142 136
18 24 150 127
19 25 107 143
20 27 99 82
21 28 112 166
22 LEMAHWUNGKUK
KESEPUHAN 16 81 299
23 PANJUNAN 15 215 107
24 PEKALIPAN JAGASATRU 10 216 186
JUMLAH TOTAL SUARA 2.943 2.997
Berdasarkan hasil pemungutan suara ulang tersebut kemudian
ditotal dengan suara sah sebelumnya yang tidak dibatalkan dan
tetap sah, maka perolehan suara masing-masing pasangan
calon adalah:
Page 81
72
e. M
enimbang bahwa terhadap fakta tersebut di atas, Mahkamah
menilai Termohon dan jajarannya serta Bawaslu dan jajarannya
telah melaksanakan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
8/PHP.KOT-XVI/2018 dengan mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan tidak ditemukan fakta-fakta
baru adanya pelanggaran baik dalam laporan maupun di dalam
persidangan, sehingga perolehan suara hasil PSU a quo adalah sah
dana akan dimuat dalam amar putusan ini.
f. Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan dalil Pemohon angka 4 dan angka 5 yang
mendalilkan mengenai pengurangan suara Pemohon dan
penambahan suara bagi Pihak Terkait karena ada ketidaksesuaian
antara jumlah seluruh pengguna hak pilih laki-laki dan perempuan
yang tidak sama engan jumlah suara sah dan tidak sah perolehan
suara pasangan calon. Dalil Pemohon angka 4 tersebut berkait erat
dengan dalil Pemohon angka 5 yang mendalilkan ketidaksesuaian
data penggunaan surat suara pada Model C1-KWK. Menurut
Pemohon hal itu berakibat pada perolehan suara Pemohon.
Ketidaksesuaian tersebut terjadi secara terstruktur, sistematif, dan
massif di banyak TPS di lima kecamatan, yaitu Kecamatan
No. Nama Pasangan Calon Perolehan Suara Persentase
1
H. Bamunas Setiawan
Boediman, MBA
Effendi Edo, SAP., M.Si
78.671 49,40%
2 Drs. Nashrudin Azis, SH
Dra. Hj. Eti Herawati 80.590 50,60%
Jumlah Suara Sah 159.261 100%
Page 82
73
Harjamukti, Kecamatan Kejaksan, Kecamatan Kesambi,
Kecamatan Lemahwungkuk, dan Kecamatan Pekalipan;
Untuk membuktikan dalilnya, Pemohon mengajukan alat
bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-16 sampai dengan
bukti P-37, bukti P-48 sampai dengan bukti P-120, serta saksi
bernama Ari Setiawan;
Termohon membantah dalil Pemohon tersebut yang pada
pokoknya menyatakan dalil Pemohon tersebut adalah tidak
berdasar. Kesalah penulisan tersebut sudah dilakukan koreksi baik
oleh KPPS di tingkat TPS maupun oleh PPK di tingkat Kecamatan
dan tidak ada perubahan terhadap perolehan suara masing-masing
pasangan calon;
Untuk membuktikan jawabannya, Termohon
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bujtu
TD.2.002, TD.01.025, TD.1.025.e, TD.1.025.f TD.1.025.g,
TD.1.025.h, TD.1.025.i, TD.1.025.j, TD.1.025.k, TD.2.003,
TD.1.026.a, TD.01.026.b, TD.1.026.c, TD.1.026.d, TD.1.026.e,
TD.1.026.f, TD.1.026.g, TD.1.026.h, TD.1.026.i, TD.2.004,
TD.01.027.a, sampai dengan TD.1.027.o, TD.1.027.p, TD.1.027.q,
TD.1.027.s, TD.1.027.t, TD.1.027,u, TD.1.027.v, TD.1.027.w,
TD.1.027.y, TD.2.005, TD.01.028.a, sampai dengan TD.01.028.e,
TD.1.028.f, TD.1.028.g, TD.1.028.h, TD.1.028.i, TD.1.028.j,
TD.1.028.k, TD.1.028.l, TD.1.028.m, TD.1.028.n, TD.1.028.o,
nTD.2.006, TD.01.029.a sampai dengan TD.01.29.h, TD.1.029.i,
TD.1.029.j, TD.1.029.k, TD.1.029.l, TD.1.029.m, TD.1.029.n,
TD.1.029.o, serta saksi bernama Naiman Adio Sunaryo;
Pihak Terkit menerangkan bahwa dalil Pemohon
tersebut adalah tidak benar karena tidak didasarkan atas fakta dan
realita di lapangan, sebab jelas-jelas dan nyata-nyata
ketidaksamaan yang didalilkan Pemohon telah diperbaiki baik oleh
KPPS di tingkat TPS maupun oleh PPK di tingkat kecamatan;
Page 83
74
Untuk membuktikan keterangannya, Pihak Terkait
mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti PT-14
sampai dengan bukti PT-121;
Terhadap persoalan tersebut di atas, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:
1) Bahwa setelah Mahkamah menyandingkan bukti Termohon
dan bukti Pihak Terkait, didapat fakta bahwa kesalahan
penulisan dalam Formulir C-KWK dan Formulir C1-KWK
seperti jumlah DPT, jumlah surat suara, jumlah pengguna hak
pilih sudah diperbaiki oleh KPPS di tingkat TPS dan oleh PPK
di tingkat kecamatan;
2) Bahwa fakta persidangan berupa uji petik bukti Pemohon,
Termohon, dan Pihak Terkait didapati:
a) TPS 4, Kelurahan Harjamukti, Kecamatan Harjamukti,
Pasangan Calon Nomor Urut 1 memperoleh 192 suara dan
Pasangan Calon Nomor Urut 2 memperoleh 181 suara.
Menurut saksi pengurangan terjadi karena jumlah
pengguna hak pilih dalam DPT antara laki-laki dengan
perempuan adalah sebanya 396 di Formulir C-KWK tetapi
dalam Formulir C1-KWK jumlah pemilih menjadi 402.
Berdasarkan persandingan bukti ternyata ada pemilih
dalam DPTb sebanyak 6 orang yang tidak tertulis dalam
Formulir C-KWK dan hal itu sudah dilakukan koreksi di
KPU Kota Cirebon sehingga sesuai jumlah pemilih
menjadi 402. Adapun mengenai perolehan suara masing-
masing pasangan calon tidak ada perubahanm, yaitu
Pasangan Calon Nomor Urut 2 memperoleh 181 suara;
b) TPS 19 Kasepuhan, Lemahwungkuk, Bukti P-16,
Pemohon memperoleh 191 suara dan Pihak Terkait
memperoleh 161 suara. Terhadap hal tersebut kemudian
dilakukan uji petik persandingan dengan bukti Termohon
Page 84
75
yaitu bukti TD.1.033B dan bukti Pihak Terkait, yaitu bukti
PT-14, didapati fakta bahwa Pemohon memperoleh 191
suara dan Pihak Terkait mendapat 161 suara. Saksi
mempersoalkan mengenai jumlah pemilih di formulir C-
KWK tertulis 368 tetapi di formulir C1-KWK tertulis 369.
Setelah Mahkamah melakukan persandingan bukti,
ternyata jumlah 369 pemilih tersebut karena ada pemilih
disabilitas, sehingga jumlah pemilih 368 ditambah satu
orang pemilih disabilitas menjadi 369 pemilih;
c) Bahwa sesuai dengan bukti dan fakta tersebut di atas,
menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak terbukti
dan tidak beralasan menurut hukum;
g Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon lainnya, Mahkamah
tidak mendapatkan bukti yang meyakinkan Mahkamah akan
kebenaran dalil Pemohon a quo. Oleh karena itu, Mahkamah
berpendapat dalil Pemohon lainnya tidak beralasan menurut
hukum;
h Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas maka
perolehan suara akhir yang benar dalam Pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota Cirebon tahun 2018 adalah perolehan suara yang
tidak dinyatakan batal berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018, bertanggal 12 September 2018,
ditambah dengan perolehan suara hasil PSU sebagaimana
dipertimbangkan di atas yang selanjutnya dimuat dalam amar
Putusan ini.
i Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di
atas, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk
seluruhnya;
5. Konklusi
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana
diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
Page 85
76
a. Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
b. Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo;
c. Permohonan Pemohon diajukan dalam tenggang waktu yang
ditentukan peraturan perundang-undangan;
d. Eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak beralasan menurut
hukum;
e. Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Inonesia Nomor 5898);
6. Amar Putusan
a. Dalam Eksepsi
Menolak eksepsi Termohon dan Pihak Terkait;
b. Dalam Pokok Permohonan
1) Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2) Menetapkan hasil perolehan suara yang benar dari masing-
masing pasangan calon dalam pemungutan suara ulang di 24
TPS di empat kecamatan adalah:
NO. KECAMATAN KELURAHAN TPS PEROLEHAN SUARA
Page 86
77
H. Bamunas
Setiawan
Boediman,
M B A dan
Effendi Edo,
S A P., M.Si
Drs.Nashrudin
Azis, S.H., dan
Dra. Hj. Eti
Herawati
1 KESAMBI
KESAMBI 15 122 108
2 DRAJAT
15 99 178
3 16 162 198
4 KESENDEN KESENDEN 3 134 54
5 5 58 87
6 6 157 104
7 11 178 120
8 12 82 88
9 14 48 141
10 15 123 114
11 16 84 77
12 17 101 137
13 18 76 65
14 19 122 97
15 20 142 65
16 22 133 118
17 23 142 136
18 24 150 127
19 25 107 143
20 27 99 82
21 28 112 166
22 LEMAHWUNGKUK
KESEPUHAN 16 81 299
23 PANJUNAN 15 215 107
24 PEKALIPAN JAGASATRU 10 216 186
JUMLAH TOTAL SUARA 2.943 2.997
3) Menetapkan hasil akhir perolehan suara yang benar dari
masing-masing Pasangan Calon dalam Pemilihan Walikota
dan Wakil Walikota Kota Cirebon Tahun 2018, yaitu
gabungan perolehan suara yang tidak dinyatakan batal
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
Page 87
78
8/PHP.KOT-XVI/2018, bertanggal 12 September 2018,
ditambah dengan perolehan suara hasil PSU sebagai berikut:
Perolehan Suara Pemiihan Walikota dan Wakil Walikota Kota
Cirebon Tahun 2018 yang tidak dibatalkan berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018, bertanggal
12 September 2018
No. Nama Pasangan Calon Perolehan Suara
1 H. Bamunas Setiawan Boediman, MBA
dan
Effendi Edo, SAP., M.Si
75.728
2 Drs. Nashrudin Azis, S.H.,
dan
Dra. Hj. Eti Herawati
77.593
Jumlah Suara 153.321
Perolehan Suara Hasil Pemungutan Suara Ulang di 24 TPS di
Empat Kecamatan yang dilaksanakan pada tanggal 22 September
2018
No. Nama Pasangan Calon Perolehan Suara
1 H. Bamunas Setiawan Boediman, MBA
dan
Effendi Edo, SAP., M.Si
75.728
2 Drs. Nashrudin Azis, S.H.,
dan
Dra. Hj. Eti Herawati
77.593
Jumlah Suara 153.321
Hasil Akhir Perolehan Suara Yang Benar Dari Masing-Masing
Pasangan Calon Dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota
Kota Cirebon Tahun 2018, yaitu gabungan Perolehan Suara
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Cirebon Tahun
2018 yang tidak dibatalkan ditambah dengan Perolehan Suara
Hasil Pemungutan Suara Ulang sebagai berikut:
Page 88
79
No. Nama Pasangan Calon Perolehan Suara
1 H. Bamunas Setiawan Boediman, MBA
dan
Effendi Edo, SAP., M.Si
78.671
2 Drs. Nashrudin Azis, S.H.,
dan
Dra. Hj. Eti Herawati
80.590
Jumlah Suara 159.261
a. Memerintahkan Termohon untuk melaksanakan Putusan ini.
7. Komentar Penulis
Permohonan Pemohon yang diajukan ke Mahkamah
Konstitusi sudah benar karena dalam Pasal 24C Ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan Kewenangan Mahkamah Konstitusi salah satunya
memutus sengketa hasil pemilihan umum. Memang di Indonesia saat
ini Pemilihan Umum bukan mencakup Pemilihan Kepala Daerah
karena yang dimaksud Pemilihan Umum adalah Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden, Pemilihan Legislatif yakni DPR, DPD, dan
DPRD sedangkan Pemilihan Kepala Daerah adalah Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota
dan Wakil Walikota. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 Pasal 157 (4) dinyatakan pada intinya Pemohon dapat
melakukan pembatalan Keputusan KPU Provinsi/Kabupaten yang
memenangkan salah satu Calon ke Mahkamah Konstitusi sementara
Pasal 3 Ayat (1) PMK 5/2017 menyebutkan yang dimaksud Pemohon
adalah Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota sehingga Pemohon
memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan ke MK.
Penulis yakin Putusan PSU ini telah dipertimbangkan
matang-matang dengan merujuk Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku sehingga sudah tepat putusannya sehingga terciptalah
Page 89
80
pemilukada yang demokratis sesuai amanat Pasal 18 Ayat (4)
Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi “Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
B. Pemungutan Suara Ulang dan Pemilukada Dalam Perspektiff Negara
Hukum, Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat
1. Perspekif Demokrasi
Pemungutan suara ulang adalah bagian dari pelaksanaan
demokrasi karena pemungutan suara ulang terjadi dalam Pemilu atau
Pemilukada sementara Pemilu dan pemilukada itu sendiri adalah
pemilihan untuk memilih pemimpin/Kepala Negara/Kepala Daerah
yang dipilih oleh rakyat. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa
Yunani, demos artinya rakyat, kratos/kratein artinya pemerintahan.2
Artinya rakyat adalah yang memiliki kekuasan dalam pemerintahan
di suatu negara dalam hal ini Indonesia. Indonesia dalam
perkembangannya mengenal sistem demokrasi terpimpin, demokrasi
parlementer, dan demokrasi presidensiil.3 ketiga demokrasi tersebut
pada dasarnya menginginkan ketatanegaraan yang lebih baik sesuai
keinginan masyarakat karena dalam hal pemilihan Presiden demokrasi
terpimpin dipilih oleh rakyat begitu juga demokrasi parlementer dan
demokrasi presidenil. Perbedaan pada masing-masing demokrasi
tersebut adalah cara memilihnya.
Pasal 18 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan “Pemerintahan daerah Provinsi,
daerah Kabupaten, dan Kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”.
Pasal ini berlaku juga untuk Pemilukada karena Pemilukada dalam
2 A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang, Bayumendia Publishing, 2005), h.,
76.
3 Benny Bambang Irawan, “Perkembangan Demokrasi di Negara Indonesia”, Jurnal
Hukum dan Dinamika Masyarakat, vol. 5, no.1, (Oktober 2007), h., 54.
Page 90
81
Pasal 18 Ayat (4) Undang-undang Dasar Tahun 1945 tegas
menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis”. Frasa demokratis bisa diartikan sebagai
Pemilihan Umum karena dalam Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan “Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun
sekali”. Frasa secara langsung, umum, dan bebaslah yang memaknai
frasa demokratis dalam Pemilukada karena demokrasi sendiri artinya
pemerintahan yang bersendikan perwakilan rakyat, yang kekuasaan
dan wewenangnya berasal dari rakyat dan dilaksanakan melalui wakil-
wakil rakyat serta bertanggungjawab penuh kepada rakyat. Oleh
karena itu demokrasi mensyaratkan adanya pemilihan umum untuk
memilih wakil-wakil rakyat tersebut yang diselenggarakan secara
berkala dengan bebas, rahasia, jujur, dan adil.4
Selain dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 juga
mengatur tentang pemungutan suara ulang tetapi dalam ranah
pemiihan umum. Untuk ranah Pemilukada diatur dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
dalam Pasal 7 Ayat (1) yaitu “Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan
dicalonkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan
Wakil Walikota”. Pasal ini mencerminkan bahwa demokrasi terjadi
dalam dalam pemilihan umum kepala daerah sebab setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk
4 A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, … h., 76.
Page 91
82
mencalonkan diri sebagai kepada atau wakil kepala daerah. Hal
tersebut dinyatakan juga dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia Universal sebagai berikut:
a. Everyone has the rights to take part in the government of his
country, directly or by freely chosen representative (Setiap orang
berhak turut serta dalam pemerintahannya negerinya sendiri, baik
langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih
secara bebas).
b. Everyone has the rights of equal access to public service in his
country (Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk
diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya)
c. The will of the people shall be the basis of the authority of
government; this will shall be expressed in periode and general
election which shall be held be screet vote or by equivalent free
voting procedures (Kemauan rakyat harus menjadi dasar
kekuasaan pemerintah; kemauan itu harus dinyatakan dalam
pemilihan umum yang berkala dan harus dilakukan secara rahasia
atau cara lain ang menjamin kebebaasan dalam memberikan
suara).5
Demokrasi sebagai penerapan kegiatan pemilihan kepala daerah
terdapat pula dalam Pasal 28D Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang
berbunyi “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan”. Warga negara maksudnya rakyat
mempunyai kesempatan yang sama berarti berhak memilih atau
dipilih dalam pemilihan umum kepala daerah sebab dalam Pasal 7
Ayat (2) huruf c dan e dan Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah dimana pada huruf c
“berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atau sederajat”
sementara huruf e “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk
5 Soeniarto terjemahan oleh Yudana, dalam A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, …
h., 76-77.
Page 92
83
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima)
tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati serta Calon Walikota dan
Wakil Walikota” serta Pasal 1 butir 6 “Pemilih adalah penduduk yang
berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin
yang terdaftar dalam Pemilihan”. Pasal tersebut menandakan rakyat
dengan latar belakang sosial apapun dapat mencalonkan diri sebagai
kepala daerah dengan usia yang sudah ditentukan dan pendidikan
minimal Sekolah Menengah Atas atau sederajat. Untuk hak memilih
sudah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau sudah pernah menikah atau
dianggap sudah dewasa.
Pemungutan Suara Ulang yang termasuk dalam Pemilukada
termasuk dalam demokrasi karena Undang-undang Dasar 1945 Pasal
18 Ayat (4) menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan
kota dipilih secara demokatis” yang berarti dalam pemilihan
Gubernur, Bupati, serta Walikota dipilih melalui proses yang disebut
demokrasi. Demokrasi berasal dari kata Yunani, demos dan kratos.
Demos artinya rakyat dan kratos artinya pemerintahan. Rakyat disini
berarti warga pemilih, sedangkan pemerintahan berarti kepala daerah
yakni Walikota Cirebon yang dipilih oleh rakyat melalui suatu
Pemilihan dengan ketentuan lebih jauh diatur lebih khusus dalam
suatu Undang-Undang. Dengan demikian demokrasi sejalan dengan
Pemilukada di Indonesia.
2. Perspektif Kedaulatan Rakyat
Selain itu, kedaulatan rakyat merupakan kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat yang diakui dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD
NRI Tahun 1945 yang pada intinya Indonesia menjalankan kedaulatan
rakyat yang dijalankan menurut Undang-Undang Dasar sehingga
pemungutan suara ulang adalah bagian dari pelaksanaan kedaulatan
rakyat karena memilih pemimpin dilakukan oleh rakyat melalui
Pemilihan Umum/Pemilukada yang mana dalam Pemilu/Pemilukada
Page 93
84
tersebut terdapat sistem pemungutan suara ulang jika terbukti adanya
kecurangan dalam Pemilu/Pemilukada.
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang menjelaskan bahwa “Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan
adalah pelaksanaan dari kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan
kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung
dan demokratis”. Pasal ini berarti bahwa Pemilihan Kepala Daerah
termasuk proses menjalankan kedaulatan rakyat karena dalam
pelaksanaannya melibatkan rakyat sebagai pemilih untuk memilih
kepala daerah melalui pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh
rakyat dan berdemokrasi.
Sebagai suatu doktrin (ajaran), kedaulatan rakyat (popular
sovereignity; volksscoucereiniteit) sudah tua usianya, sudah
dikemukakan oleh kaum monarchomahen (penulis-penulis
antikerajaan) seperti Marsigio Padua (1270-1934), William Okhem
(1280-1317), Buchanan (1506-1582), Bullarmin (1542-1621), dan
lain-lain yang kemudian dilanjutkan oleh J.J. Rousseau dengan teori
vollenk general-nya sehingga menjadi sangat terkenal.6
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, alinea IV menegaskan “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dari
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut jelaslah jika
Pemilukada adalah penjelamaan dari kedaulatan rakyat yang
berdasarkan perwakilan. Perwakilan diartikan sebagai kepala daerah
6 A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, … h., 75.
Page 94
85
terpilih yang mewakil rakyat yang dipimpinnya untuk menjalankan
pemerintahan sesuai kehendak rakyat.
Dilihat dari tujuan negara, tujuan negara adalah untuk
menegakkan hukum dan menjamin kebebasan kepada warga
negaranya. Kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas Undang-
Undang, karena Undang-Undang sendiri merupakan penjelmaan dari
kemauan atau kehendak rakyat. Jadi, rakyatlah yang mewakili
kekuasaan tertinggi atau berdaulat dalam negara.7 Tujuan Negara
Indonesia dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan ikut memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Dari kedua proposisi diatas dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan Pemilukada adalah tidak bertentangan dengan
Undang-undang Dasar 1945 yang berdasarkan kedaulatan rakyat
karena alinea ke-IV Undang-undang Dasar 1945 frasa “ikut
memajukan kesejahteraan umum” berarti Pemilukada dilaksanakan
atas kehendak rakyat secara demokratis.
Pemilukada di Indonesia adalah Pemilukada yang berdasarkan
kedaulatan rakyat sebab rakyat yang melakukan pemilihan untuk
memilih pemimpin untuk daerahnya. Oleh karena itu, ajaran
kedaulatan rakyat meyakini bahwa yang sesungguhnya berdaulat
dalam setiap negara adalah rakyat, dan ajaran kedaulatan ini
merupakan dasar dari negara demokrasi. Ajaran kedaulatan rakyat
adalah kehendak rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan
bagi setiap pemerintah.8
Kedaulatan rakyat sebagai dasar dari pelaksanaan Pemilukada
telah menerapkan Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung.
7 Mohamad Faisal Ridho, “Kedaulatan Rakyat sebagai Perwujudan Demokrasi
Indonesia”, ADALAH Buletin Hukum dan Keadilan, vol. 1, no. 8e (2017), h., 79.
8 Sodikin, Hukum Pemilu: Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, (Bekasi: Gramata
Publishing, 2014), h., 19.
Page 95
86
Ajaran kedaulatan rakyat atau paham demokrasi langsung
mengandung dua arti:
a. Demokrasi yang berkaitan dengan sistem pemerintahan atau
bagaimana caranya rakyat diikutsertakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
b. Demokrasi sebagai asas yang dipengaruhi keadaan kultural,
histori suatu bangsa sehingga muncul istilah demokrasi
konstitusional, demokrasi rakyat dan demokrasi Pancasila. Yang
jelas setiap bangsa di setiap negara dan setiap pemerintahan
modern pada akhirnya akan berbicara tentang rakyat. Dalam
proses bernegara rakyat sering dianggap hulu dan sekaligus
muaranya. Rakyat adalah titik sentral karena rakyat di suatu
negara pada hakikatnya adalah pemegang kedaulatan, artinya
rakyat menjadi sumber kekuasaan.9
Menurut Kasman Singodimedjo kedaulatan rakyat merupakan
istilah yang sering digunakan orang selain kedaulatan negara yang
sebelum terjadinya sebuah Negara pada umumnya yang menonjol itu
adalah “Rakyat” atau “Ummat”. Menurutnya rakyat atau ummat
tersebut yakni kumpulan manusia-manusia yang mempunyai
persamaan-persaaan, antara lain: persamaan asal dan usul, persamaan
kehormatan/perasaan, persamaan daerah tempat tinggal atau pencarian
rezeki, persamaan kepentingan atau kebutuhan, persamaan pikiran
atau maksud.10 Pendapat ini merupakan dasar dari penyelenggaraan
Pemilukada dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072/PUU-
II/2004 tentang Pengujian atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
karena putusan ini pada dasarnya mendasarkan persamaan asal-usul,
persamaan kehormatan/perasaan, persamaan daerah tempat tinggal,
9 Dahlan Thaib, dalam Sodikin, Hukum Pemilu: Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan,
… h., 19.
10 Kasman Singodimedja, Masalah Kedaulatan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet.
Pertama, h., 38-39.
Page 96
87
persamaan kepentingan atau kebutuhan, persamaan pikiran atau
maksud sebagai pertimbangan untuk melaksanakan Pemilukada. Oleh
karena itu Pemilukada berbeda dalam pengaturan perundang-
undangannya karena Pemilukada harus mendasarkan nilai-nilai
historis, asal-usul yang berbeda pada masing-masing daerah.
Ajaran kedaulatan rakyat memang dilaksanakan dalam
Pemilukada di Indonesia saat ini karena sesuai Pasal 1 Ayat (2)
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan “kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Kedua kedaulatan rakyat juga sebagai dasar hukum bagi
penyelenggaraan Pemilukada dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 Pasal 1 butir 1 “Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah pelaksanaan
kedaulatan rakyat di wilayah Provini dan Kabupaten/Kota untuk
memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”.
Ketiga kedaulatan rakyat dalam pemilukada di Indonesia dilaksanakan
dengan demokrasi langsung (direct democracy). Demokrasi langsung
juga berarti kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya dapat
dilaksanakan pemungutan suara ulang bagi pasangan calon yang kalah
dalam pemilihan jika terbukti terdapat kecurangan dalam pemilihan
yang diatur dalam undang-undang.
3. Perspektif Negara Hukum
Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara
hukum. Pemungutan suara ulang dalam Pemilukada/Pemilu adalah
menerapkan ajaran negara hukum karena negara hukum sendiri
artinya dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah Negara Indonesia menjunjung
tinggi konstitusi sehingga hukum tertinggi ada pada konstitusi.
Page 97
88
Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar 1945.
Lembaga yang dapat menguji suatu Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar adalah Mahkamah Konstitsi. Dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi juga berwenang mengadili perselisihan hasil
pemilihan umum berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang dilanjutkan dengan Undang-Undang
Pilkada (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016). Dalam Undang-
Undang itu ada pengaturan perihal pembatalan terhadap keputusan
KPU terhadap Penetapan Calon Kepala Daerah bagi Pemohon dan
dalam Pasal 219 (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyebutkan pemungutan suara
ulang dapat dilakukan dengan syarat yang ditentukan apabila terjadi
bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil
pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara
tidak dapat dilakukan yang mana Undang-Undang adalah terletak
dibawah Undang-Undang Dasar 1945 dalam hierarki peraturan
perundang-undangan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Undang-Undang itu jadi bukti bahwa Undang-Undang Dasar adalah
norma/peraturan tertinggi/konstitusi di Negara Indonesia. Jadi jelaslah
pemungutan suara ulang adalah bagian pelaksanaan negara hukum di
Indonesia.
Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat dan
berdasarkan hukum, sehingga kedaulatan hukum dan kedaulatan
rakyat di dalam Undang-undang Dasar 1945 saling berkaitan, dan
dapat juga dikatakan bahwa ajaran kedaulatan rakyat dalam negara
hukum berkaitan erat dengan kewenangan pengambilan keputusan.
Dalam hal ini rakyat mempunyai kekuasaan tertinggi untuk
menetapkan berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum.11 Oleh karena
itu sebagai negara hukum yang berkedaulatan rakyat, Indonesia
11 Sodikin, Hukum Pemilu: Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, … h., 23.
Page 98
89
menyelenggarakan Pemilukada sebagai prakteknya dikarenakan Pasal
1 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 jelas mengatakan bahwa
Indonesia adalah Negara Hukum.
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa:
Dalam bidang eksekutif, rakyat mempunyai kekuasaan untuk
melaksanakan atau setidak-tidaknya mengawasi jalannya
pemerintahan dan menjalankan peraturan hukum yang
ditetapkan sendiri.12
Walikota Cirebon sebagai pemegang kekuasaan eksekutif jelas
melaksanakan pengawasan atau pelaksaan terhadap jalannya
pemerintahan dan menjalankan peraturan hukum, yaitu Peraturan
Daerah yang ada di Kota Cirebon yang ditetapkan oleh Walikota dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Cirebon.
Abdul Mukhtie Fadjar mengkonsepsikan negara hukum dalam
konsep negara hukum Indonesia menurut Undang-undang Dasar 1945
ialah negara hukum Pancasila, yaitu konsep negara hukum di mana
satu pihak harus memenuhi kriteria dari konsep negara hukum pada
umumnya (yaitu ditopang oleh tiga pilar: pengakuan dan perlindungan
hak asasi manusia, peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan asas
legalitas dalam arti formal maupun material), dan di lain pihak,
diwarnai oleh aspirasi-aspirasi ke Indonesiaan yaitu lima nilai
fundamental dari Pancasila.13 Dari sini dapat disimpulkan bahwa
pemilukada termasuk konsep negara hukum Pancasila karena
pemilukada di Indonesia memperhatikan hak asasi manusia (dari Pasal
7 Ayat (2) huruf c dan e serta Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2016 Tentang Pilkada), menerapkan asas legalitas (dengan
adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada yang
artinya pemilukada memiliki dasar hukum dan jelas pengaturannya).
12 Jimly Asshiddiqie, dalam Sodikin, Hukum Pemilu: Pemilu Sebagai Praktek
Ketatanegaraan, … h., 24. 13 A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, … h.,86.
Page 99
90
Dari pendapat-pendapat di atas bahwasanya negara hukum
memiliki pengertian yang sedemikian mirip yaitu suatu negara yang
mendasarkan hukum sebagai suatu norma yang diakui dan harus
amalkan di negara yang menganutnya. Bentuk pengamalannya seperti
dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ini Pemilukada
yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016 tentang Pemilukada dan lain-lain.
Page 100
91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dalam bab-bab sebelumnya dan
berdasarkan hasil analisa peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pertimbangan hukum hakim dalam memutus pemungutan suara ulang
pemungutan suara ulang oleh Mahkamah Konstitusi terhadap
penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Cirebon
Tahun 2018 memang layak dilakukan. Sebagaimana hakim
Mahkamah Konstitusi memberikan fakta dan data dalam putusannya
bahwa terjadi pembukaan kotak suara secara melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan. Hal itu dilakukan untuk memenuhi
hak politik bagi salah satu pasangan calon yang tercurangi untuk
mewujudkan pemilukada yang demokratis.
Selanjutnya pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi
sebelum dan sesudah pemungutan suara ulang sebenarnya sama yang
telah berdasarkan nilai-nilai filosofis, sosiologis, dan yuridis tetapi
setelah pemungutan suara ulang, hakim menolak permohonan
Pemohon untuk seluruhnya sedangkan Putusan sebelumnya hanya
memerintahkan pemungutan suara ulang.
2. Pemungutan Suara Ulang dalam Perspektif Negara Hukum,
Demokrasi, dan Kedaulatan Rakyat
Pemungutan suara ulang dan Kedaulatan rakyat telah diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 1 Ayat (2). Ini berarti kedaulatan rakyat dan pemungutan suara
ulang memiliki hubungan yang berkaitan.
Demikian juga negara hukum yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 1 Ayat (3). Hal ini
merupakan bukti bahwa pemungutan suara ulang adalah bagian dari
negara hukum karena Pemilukada terdapat dalam peraturan
Page 101
92
perundang-undangan Indonesia sebagai pelaksana konsep negara
hukum karena ada salah satunya asas legalitas dimana tiada hukum
jika tidak ada peraturan perundang-undangannya.
Pemungutan ssuara ulang termasuk bagian dari demokrasi
karena didalam pemungutan suara ulang ada kegiatan yang merupakan
penerapan ajaran demokrasi, yaitu pemilihan umum atau pemilihan
kepala daerah.
B. Rekomendasi
Sebelum mengakhiri skripsi ini, peneliti mencoba memberikan
rekomendasi atas kurang tegaknya pelaksanaan pemungutan suara ulang
pada Pemilukada Kota Cirebon Tahun 2018, yaitu:
1. Untuk KPU:
a. Tingkatkan jumlah DPT dan partisipasi masyarakat pada saat
pemungutan suara maupun pemungutan suara ulang.
b. Pastikan jumlah DPT sama dengan sebelum pemungutan suara
ulang agar total DPT sama tetapi surat suara terbagi kedalam dua
pasangan calon.
2. Untuk Bawaslu:
a. Tingkatkan susunan standar tata laksana pengawasan
penyelengaraan Pemilukada di Pemilukada Kota Cirebon dengan
baik dan penuh kepastian agar tidak terulang lagi kesalahan
pemilihan yang sama.
b. Tingkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilukada
dengan perencanaan dan penetapan jadwal Pemilukada dengan
baik.
3. Untuk Pemerintah Kota Cirebon:
Siapkan aparat keamanan yang berwenang dengan baik agar
pembukaan kotak suara secara illegal dapat diminimalisir.
4. Untuk Mahkamah Konstitusi:
Page 102
93
Pastikan jumlah DPT yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum sudah
benar dan meyakinkan karena jika belum benar selisih perolehan suara
dapat berpengaruh terhadap kemengangan salah satu Pasangan Calon.
Page 103
94
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Akbar, Patrialis. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI
Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Cet. 2
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013.
________________. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi. Cet. kedua Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
________________. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.
Cet. Keempat. Jakarta: Sinar Grafika, 2017.
________________. Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Azhary. Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis Normatif
Tentang Unsur-Unsurnya). Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press). 1995.
______. Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet. 4. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif
dalam Justififkasi Teori Hukum. Cet. 2. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2017.
Dicey, A.V. ed, Introduction to the Study of the Law of the
Constituion. Penerjemah Nurhadi. Pengantar Studi
Hukum Konstitusi. Bandung: Nusa Media, 2008, Cet.
II.
Fadjar, A. Mukhtie. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayu Media
Publishing, 2005.
Page 104
95
Fuady, Munir. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013.
Hamidi, Jazim dkk. Teori Hukum Tata Negara a Turning Point of
the State. Jakarta: Salemba Humanika, 2012.
Hasyismsoem, Yusnani dkk. Hukum Pemerintahan Daerah. Cet. 2.
Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2018.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. cet. 5. Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2010.
______________. Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers PT
Rajacivafinda Persada, 2011.
______________. Ilmu Negara. Cet. 7. Jakarta: PT RajaGrafindo
Pers Rajawali Pers PT Rajacivafinda Persada, 2015.
H.R., Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2017.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Kusnardi, Mohammad dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2004.
Maggalatung, A. Salman. Desain Kelembagaan Negara Pasca
Amandemn UUD 1945. Bekasi: Gramata Publishing,
2016.
Manan, Bagir, et.al, eds.., Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia
dan Negara Hukum. Jakarta: Gaya Media Pratama,
1996.
Maran, Rafael Raga. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2001.
MD, Moh. Mahfud. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia.
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
__________________. Membangun Politik Hukum, Menegakkan
Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Ranawidjaja, Usep. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983.
Page 105
96
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Edisi 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika
Aditama, 2009.
Singodimedjo, Kasman. Masalah Kedaulatan. Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Sodikin. Hukum Pemilu: Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan.
Bekasi: Gramata Publishing, 2014.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 1. Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1986.
Soehino. Ilmu Negara. Cet. 2. Yogyakarta: Liberty, 1981.
Syahuri, Taufiqurrohman. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Tamrin, Abu dan Ihya, Nur Habibi. Hukum Tata Negara. Tangerang
Selatan: Lembaga Penelitian, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2010.
Tutik, Titik Triwulan. Konsturuksi Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945. Cet. Kedua. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011.
Voll, Willy D.S. Negara Hukum dalam Keadaan Pengecualian.
Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Yusuf, Muri. Metode Penelitan: Kuantitatif, Kualitatif, dan
Penelitian Gabungan. Cet. Pertama. Jakarta: Prenada
Media Group, 2014.
2. Jurnal
Hussein, Azka, “Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang
Pemungutan Suara ulang terhadap Partisipasi
Masyarakat dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
Kabupaten Pati”, dalam Jurnal Pandecta. Vol. 8. 2,
(2013).
Irawan, Benny Bambang, “Perkembangan Demokrasi di Negara
Indonesia”, dalam Jurmal Hukum dan Dinamika
Masyarakat. Vol. 5. 1, (2007).
Page 106
97
Ridho, Mohamad Faisal, “Kedaulatan Rakyat sebagai Perwujudan
Demokrasi Indonesia”, dalam ADALAH Buletin
Hukum dan Keadilan, vol. 1. 8e (2017).
Rosana, Ellya, “Negara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, dalam
Jurnal TAPIs. Vol. 12. 1, (2016).
Syahuri, Taufiqurrohman, “Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang
Perselisihan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan
Umum Berdasarkan Undang-Undang No.24 Tahun
2003”, dalam Jurnal Konstitusi. Vol. II. 1, (2009).
Wijaya, Made Hendra, “Keberadaan Konsep Rule by Law (Negara
Berdasarkan Hukum) Didalam Teori Negara Hukum
The Rule Of Law”, dalam Jurnal Magister Hukum
Udayana, (2013).
3. Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya
Undang-Undang Dasar Hasil Negara Republik Indonesia tahun
1945 Amandemen & Proses Amandemen Undang-
Undang Dasar 1945. 2016.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal
219.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi. Pasal 10.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8//PHP.KOT-XVI/2018.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 05 Tahun 2017.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang.
Page 107
98
4. Internet
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_daera
h_di_Indonesia, diakaes pada 4 April 2019.
Pengertian Demokrasi, Demokratis, dan Demokratisasi,
https://www.kanalpengetahuan.com/pengertian-
demokrasi-demokratis-dan-demokratisasi, diakses pada
1 April 2019.
Demokrasi Liberal: Pengertian dan Contohnya
http://sosiologis.com/demokrasi-liberal, diakses pada 1
Juli 2019.
Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
https://www.kompasiana.com/firentiaemanuela1410/5c
00452b6ddcae34b64044d3/pelaksanaan-demokrasi-di-
indonesia?page=all, diakses pada 10 Agustus 2019.
MK Perintahkan Pemungutan Suara Ulang Pilkada Cirebon, https://www.liputan6.com/news/read/3642632/mk-
perintahkan-pemungutan-suara-ulang-pilkada-
cirebon?related=dable&utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7
w9arwTvQ.1&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.g
oogle.co.id%2F, diakses pada 10 Agustus 2019.
Kedaulatan Rakyat Pasca Reformasi dan Pembangunan Pulau Palsu
https://nusantaranews.co/kedaulatan-rakyat-pasca-
reformasi-dan-pembangunan-pulau-palsu/, diakses pada
10 Agustus 2019.
Profil, Sejarah Pemerintahan,
http://www.cirebonkota.go.id/profil/sejarah/sejarah-
pemerintahan/, diakses pada 13 September 2019.
Profil, Visi dan Misi, http://www.cirebonkota.go.id/profil/visi-dan-
misi/, diakses pada 13 September 2019.