Pelaksanaan kebijakan perijinan pembangunan Base transceiver station (bts)/radio base station (rbs) Di kota surakarta Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Asror Mukti Adi NIM : E. 0003100 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
112
Embed
Pelaksanaan kebijakan perijinan pembangunan Base ...... · bahwa pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan suatu masyarakat adil, makmur merata secara materiil, spiritual
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Pelaksanaan kebijakan perijinan pembangunan Base transceiver station (bts)/radio base station (rbs)
Di kota surakarta
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Asror Mukti Adi NIM : E. 0003100
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2008
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERIJINAN PEMBANGUNAN BASE TRANSCEIVER STATION (BTS)/ RADIO BASE STATION (RBS)
DI KOTA SURAKARTA
Disusun oleh : ASROR MUKTI ADI
NIM : E. 0003100
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
WALUYO, S.H.,M.Si.
NIP. 132 092 854
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERIJINAN PEMBANGUNAN
BASE TRANSCEIVER STATION (BTS)/ RADIO BASE STATION (RBS) DI KOTA SURAKARTA
Disusun oleh :
ASROR MUKTI ADI NIM : E. 0003100
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada :
Asror Mukti Adi, 2008. PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERIJINAN PEMBANGUNAN BASE TRANSCEIVER STATION (BTS)/RADIO BASE STATION (RBS) DI KOTA SURAKARTA. Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengetahui bagaimana implementasi kebijakan pemerintah secara umum melalui perijinan (vergunning) sebagai salah satu instrumen pemerintahan dalam tataran riil khususnya terhadap pengaturan mengenai pembangunan Base Transceiver Station (BTS)/Radio Base Station (RBS) di Kota Surakarta.
Secara purposif penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum sosiologis atau empiris yang bersifat deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian antara lain di Kantor Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Pemerintah Kota Surakarta sebagai pelakasana kewenangan pemrosesan perijinan di lingkungan Pemerintah Daerah, serta di lingkup wilayah administratif Surakarta. Jenis data yang dipergunakan meliputi data primer dan data skunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui wawancara, observasi, dan penelitian kepustakaan pada literatur cetak maupun elektronik berupa buku-buku, peraturan-perundang-undangan, jurnal, makalah dan sebagainya. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif dengan model interaktif. Sifat analisis ini induktif yaitu kesimpulan diambil berdasarkan abstraksi hal-hal yang konkrit/ khusus ditarik kepada essensinya yang bersifat umum.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa dalam memperoleh ijin pendirian Base Transciever Station (BTS)/Radio Base Station (RBS), terdapat berbagai kualifikasi dan persyaratan ijin terkait yang harus dipenuhi, diantaranya adivice planning (AP), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Ijin Penggunaan Bangunan (IPB), Ijin Gangguan (HO), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), dan Ijin Usaha Perdagangan (IUP). Kantor UPT sebagai unit pelaksana kewenangan perijinan bertugas memproses berbagai perijinan tersebut dengan mengkoordinasikan berbagai lembaga atau dinas yang bersangkutan di lingkungan Pemerintah Kota Surakarta serta mensinergiskan berbagai ketentuan peraturan-peraturan daerah yang mengakomodir permasalahan tersebut hingga sesuai dengan arahan kebijakan umum pembangunan Pemerintah Kota Surakarta. Mekanisme pemrosesan perijinan tersebut meliputi peninjauan pada tataran normatif pemeriksaan pemenuhan serta keabsahan persyaratan berdasarkan ketentuan yang berlaku dan pada tataran teknis yaitu peninjauan implementasi pemenuhan persyaratan di lokasi obyek permohonan. Hambatan utama dalam konteks ini adalah kurangnya sumber daya manusia di jajaran Pemerintah Daerah dengan kompetensi di bidang teknologi informasi, belum adanya perda khusus mengatur BTS/RBS, paradigma negatif dan kesadaran masyarakat, serta perilaku negatif oknum pengusaha bidang telekomunikasi.
v
MOTTO
Sesungguhnya kita diciptakan tiada lain hanyalah untuk mengabdi kepada Allah
QS. Adz Dzariyaat :56
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amatlah sedikit kamu mengambil
pelajaran (daripadanya).
QS. Al A'raaf :3
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan qalbu, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.
QS. Al Israa' : 36
Sungguh akan diturunkan cobaan, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar.
QS. Al Baqarah : 3
PERSEMBAHAN
Penulisan Hukum (skripsi ini) penulis persembahkan
untuk :
Allah SWT yang senantiasa membimbing dan
melindungiku
vi
Ayah dan Bunda beserta Saudara-saudaraku yang
sangat berarti dalam hidup ini
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut asma Alloh SWT yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,
sang pengatur, yang merajai dan ditaati segalanya di alam semesta, penulisan hukum
(skripsi) yang berjudul “PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERIJINAN
PEMBANGUNAN BASE TRANSCEIVER STATION (BTS)/ RADIO BASE STATION
(RBS) DI KOTA SURAKARTA” dapat penulis selesaikan.
Pada kesempatan bahagia ini, dalam suka cita penulis hendak
menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah berkenan memberikan sumbangsih tak ternilai hingga pada akhirnya penulisan
hukum ini dapat diselesaikan. Terimakasih banyak kami haturkan kepada :
1. Bapak Dr.dr. Moch. Syamsulhadi, Sp.Kj selaku Rektor Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
2. Bapak Moh. Jamin, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang
telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
3. Bapak Prasetyo Hadi P, S.H.,M.S. selaku Pembantu Dekan I yang telah
memberikan ijin untuk penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini.
4. Bapak Wasis Sugandha, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi
Negara yang juga telah memberikan ijin untuk penyusunan penulisan hukum
(skripsi) ini.
vii
5. Bapak Waluyo, S.H.,M.Si. selaku pembimbing penyusunan penulisan hukum
(skripsi) yang telah berkenan menyediakan waktu dan pikirannya untuk
membimbing dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini.
6. Bapak Asianto Nugroho, S.H.,M.Si. sebagai pembimbing akademik, atas
nasehat yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum
UNS.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan yang berguna kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal
dalam penulisan skripsi ini dan semoga ilmu tersebut dapat kami amalkan
dalam kehidupan masa depan penulis.
8. Ibu Maya dan seluruh staf Kantor Bagian Hukum dan HAM Pemerintah Kota
Surakarta atas segala bantuan dan keramahan-tamahan menyediakan segala
macam bahan yang penulis butuhkan di sela-sela kesibukan.
9. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H.,MM. atas saran dan masukan
berguna yang diberikan kepada penulis.
10. Bapak Drs. Toto Amanto, MM. selaku Koordinator Unit Pelayanan Terpadu
Kota Surakarta yang telah meluangkan waktu dan banyak membantu dalam
penelitian ini.
11. Ayahanda dan Ibunda yang kami cintai dan sayangi , terimakasih atas segala
pengorbanan, kesabaran, dan doa restu kalian selama ini kepada ananda.
12. Saudara-saudara dan keluargaku yang kucintai, Hendra Budi, Setiawan,
Rosid, Miftah, Ismail, Mba Ninuk, atas dukungannya.
13. Sahabat-sahabat yang telah turut memberi motivasi dan menumbuhkan
semangat penulis, menjadi penampung keluh kesah penulis, Uzair, Mahoo,
Boenx, Venty, Mas Dian, Mba Julian, Saiful.
viii
14. Mas Roni dari PT. Siemens yang telah meluangkan waktunya untuk
membantu penulis sebagai narasumber interview.
15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah turut
serta memberikan bantuan dan dukungan sehingga dapat terselesaikannya
penulisan hukum ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang
membangun sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Demikian kami
berharap semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat.
Surakarta, Januari 2008 Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................. v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xii
DAFTAR BAGAN/GAMBAR ........................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian............................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 5
E. Metode Penelitian............................................................................ 5
F. Sistematika Skripsi........................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 9
A. Kerangka Teori................................................................................ 9
1. Tinjauan Umum Tentang Pemerintahan Daerah ..................... 9
a. Pengertian Pemerintah Daerah ............................................ 10
b. Pembagian Daerah dan Asas-asas Pemerintahan Daerah ... 12
c. Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah Setiap
x
Daerah Dipimpin oleh Kepala Daerah ................................ 16
d. Peraturan Daerah (Perda) dan Pengawasan ....................... 18
2. Tinjauan Umum Tentang Instrumen Pemerintahan ................ 20
a. Peraturan Perundang-undangan .......................................... 21
b. Ketetapan/ Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) ... 22
c. Peraturan Kebijaksanaan (Freis Ermessen) ......................... 23
d. Rencana-rencana ................................................................. 24
e. Perijinan (Vergunning) ........................................................ 25
f. Instrumen Hukum Keperdataan .......................................... 39
3. Tinjauan Umum Tentang Telekomunikasi .............................. 39
a. Asas Penyelenggaraan Telekomunikasi .............................. 40
b. Tujuan Penyelenggaraan Telekomunikasi .......................... 41
c. Hak dan Kewajiban Penyelenggara Telekomunikasi
dan Masyarakat ................................................................... 41
d. Teknologi Seluler ................................................................ 44
4. Tinjauan Umum Tentang BTS ................................................... 39
B. Kerangka Pemikiran........................................................................ 49
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 52
A. Deskripsi Obyek ............................................................................ 52
1. Pengertian tentang Kota Surakarta .......................................... 52
a. Gambaran Umum Kota Surakarta ....................................... 52
b. Kondisi dan Potensi Kota Surakarta ................................... 53
c. Strategi Pembangunan dan Pelayanan Masyarakat ............. 56
2. Peran Pemerintah Daerah Kota Surakarta dalam
Pelaksanaan Pembangunan Daerah ......................................... 58
a. Arahan Kebijakan Pemerintah Daerah pada Pelaksanaan
Pembangunan Daerah ......................................................... 59
b. Syarat dalam perencanaan kebijakan pembangunan
xi
Pemerintah Daerah .............................................................. 59
Tabel 4 : Data BTS/RBS di Surakarta ………………………………………… 67
DAFTAR BAGAN/GAMBAR
Gambar 1 : Interactive Model of Analysis …………………………………….. 7
Gambar 2 : Kerangka Pemikiran ....................................................................... 48
Gambar 3 : Bagan Organisasi UPT ……………………………………………. 63
Gambar 4 : Alur Permohonan Ijin Menara BTS/RBS ………………………… 70
Gambar 5 : Tahapan pemrosesan beberapa jenis perijinan
dalam pedirian menara BTS/RBS …………………………………. 77
Gambar 6 : Tahapan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Menara
BTS/RBS Oleh Vendor Infrastruktur Telekomunikasi …………… 81
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional merupakan serangkaian upaya pembangunan
meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Pembangunan
Nasional dilaksanakan dalam rangka melaksanakan tujuan nasional yang
termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu melindungi
segenap bangsa, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dapat dikatakan
bahwa pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan suatu masyarakat
adil, makmur merata secara materiil, spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 sebagai suatu proses perubahan berkesinambungan, terjadi secara terus-
menerus yang melibatkan semua unsur didalamnya, yaitu pemerintah baik pusat
maupun daerah dan masyarakat Indonesia sendiri.
Dewasa ini dengan adanya Otonomi Daerah berdasarkan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diganti dengan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah
daerah kini memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat di daerahnya sesuai dengan
tujuan pembangunan nasional yang tidak mungkin dapat dilaksanakan sendiri
oleh pemerintah pusat.
Dengan adanya otonomi daerah pembangunan nasional telah
berkembang merata di masing-masing daerah merespon kebutuhan masyarakat
meliputi berbagai macam sektor termasuk didalamnya sektor telekomunikasi.
Telekomunikasi merupakan salah satu sektor penting yang mempengaruhi
xiv
pembangunan sektor lain diantaranya sektor ekonomi, sektor sosial, sektor
pendidikan dan lain sebagainya. Namun dalam pengembangan sektor
telekomunikasi daerah memerlukan pembangunan fasilitas infrastruktur yang
memadai dimana tidak dapat dipenuhi dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah
sendiri tanpa dukungan dan partisipasi pihak lain, dalam hal ini pihak swasta.
Guna menunjang upaya pembangunan tersebut, maka Pemerintah Daerah
membuka kesempatan berpartisipasi dan berinvestasi dari pihak swasta untuk
berbagai macam sektor termasuk telekomunikasi sendiri dengan harapan dapat
memacu sektor-sektor lainnya. Sebagaimana hasil survei International
Telecommunication Union (ITU) menunjukkan, pertumbuhan sektor
telekomunikasi sebesar 1 persen akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi
sebesar 3 persen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa percepatan
pertumbuhan ekonomi dapat dipacu dengan meningkatkan pembangunan dan
pengembangan sektor tersebut. (Telekomunikasi dan Upaya Menuju Masyarakat
Informasi, Kompas: 04 April 2004). Salah satu bagian penting dari sarana
telekomunikasi pada saat ini adalah jaringan nirkabel untuk pendukung telepon
seluler dan beberapa perangkat nirkabel lainnya yang banyak digunakan oleh
penduduk di Indonesia yang antara lain berguna bagi komunikasi, informasi pada
bidang-bidang pendidikan, perekonomian, sosial dan bidang umum lainnya.
Sedangkan disatu sisi lainnya, pihak swasta penyedia jasa layanan
telekomunikasi seluler juga hendak berupaya meningkatkan pelayanannya kepada
para pelanggannya di daerah. Hal ini tentu saja dapat menjadi peluang dan
tanggung jawab untuk mengorganisirnya secara baik mengingat pada tahun 2007
lalu jumlah pengguna telepon seluler di Indonesia mencapai sekitar delapan puluh
juta orang (Pulsa, Edisi 122 th V/2008/3-6 Januari : 44) yang sebagian
diantaranya berada di daerah.
Dalam peningkatan kualitas layanan komunikasi kepada pengguna
telepon seluler mutlak membutuhkan keberadaan beberapa infrastruktur penting.
xv
Salah satu diantara infrastruktur tersebut adalah Base Transceiver Station (BTS)
atau Radio Base Station (RBS) yaitu tower/menara telekomunikasi Pemancar
yang berfungsi mengirim dan menerima sinyal/frekwensi pada kawasan tertentu
dan menghubungkan dengan kawasan lain.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kadangkala keberadaan BTS di berbagai
tempat menimbulkan permasalahan di masyarakat. Permasalahan tersebut
berpotensi menimbulkan konflik bilamana tidak dikelola dengan baik menurut
ketentuan yang berlaku oleh pemerintah daerah, dinas/lembaga berwenang,
pelaku usaha pada bidang terkait, dan masyarakat.
Kota Surakarta sebagai salah satu kota dengan kuantitas pengguna
telepon seluler tinggi juga memiliki permasalahan masyarakat yang timbul atas
keberadaan Tower BTS/RBS ini sebagaimana peristiwa aksi penolakan atas
Tower BTS di lingkungan Kampung Teposanan Kelurahan Sriwedari sekitar
bulan Juli 2007. Beberapa isu yang seringkali menjadi pemicu timbulnya
permasalahan antara lain: pengadaan tempat/lahan/tanah, faktor resiko/dampak
dari aspek lingkungan dan ekonomi, persoalan kontribusi kepada masyarakat
setempat dan lain-lain.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk
mengadakan penelitian atau studi hukum yang lebih mendalam mengenai
kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam pengaturan pendirian Tower BTS
dalam upaya mengantisipasi permasalahan dan konflik. Untuk itu dalam
penulisan hukum penulis mengambil judul :
“PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERIJINAN PEMBANGUNAN
MENARA BASE TRANSCEIVER STATION (BTS)/ RADIO BASE STATION
(RBS) DI KOTA SURAKARTA”.
xvi
B. Rumusan Masalah
Memperhatikan alasan pemilihan judul, maka penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagamana pelaksanaan kebijakan perijinan dalam pembangunan menara Base
Transceiver Station (BTS)/Radio Base Station (RBS) di Kota Surakarta?
2. Bagaimana hambatan-hambatan yang timbul berkenaan dengan pelaksanaan
kebijakan perijinan pembangunan menara Base Transceiver Station
(BTS)/Radio Base Station (RBS) di Kota Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui karakterisitik prosedur perijinan yang harus dilewati
sebelum melaksanankan pendirian Menara BTS/RBS.
b. Untuk mengetahui upaya Pemerintah Kota dalam menyelesaikan
permasalahan pada pelaksanaan prosedur perijinan pendirian menara
BTS/RBS.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan akademis guna memperoleh
gelar strata satu dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
b. Sebagai sarana untuk menyumbangkan pemikiran pada masyarakat,
khususnya dalam hal pengetahuan mengenai pelaksanaan ijin
pembangunan menara BTS/RBS.
xvii
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang Hukum Administrasi
Negara yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan pemerintah yang
mengatur mengenai perijinan di daerah.
b. Memberikan kontribusi dalam memperluas dan mengembangkan ilmu
pengetahuan hukum dan dapat menjadi rujukan bagi penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penulisan ini diharapkan mampu membantu dan memberikan
tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang
sedang di teliti.
b. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis.
E. Metode Penelitian
Metodologi penelitian adalah suatu cara atau jalan yang dipergunakan
untuk mencapai suatu tujuan.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penulisan hukum empiris, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti langsung ke lapangan
sehingga akan didapatkan data yang faktual.
2. Sifat Penelitian
xviii
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan obyek yang diteliti secara lengkap.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini berjenis kualitatif, yaitu
data yang berwujud uraian, informasi verbal, dan pendapat dari para
responden.
4. Jenis data
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer. Data primer
tersebut meliputi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan
penulis dengan nara sumber agar penelitian mendapatkan hasil yang
sebenarnya dari obyek yang diteliti.
5. Sumber data
a. Sumber data primer
Data primer diperoleh dari Pemerintah Kota Surakarta, perusahaan
telekomunikasi, masyarakat dan pihak-pihak lain yang terkait.
b. Sumber data sekunder
Data sekunder berasal dari perundang-undangan, buku-buku, serta literatur
yang mendukung penelitian ini.
6. Teknik pengumpulan data
a. Wawancara
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara melakukan
wawancara secara langsung dengan nara sumber.
b. Studi Kepustakaan
Teknik pengumpulan data dengan cara membaca, mempelajari buku yang
diperlukan, seperti literatur, peraturan perundang-undangan, dan lain-lain
yang berkaitan dengan penelitian.
xix
7. Analisis data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis data kualitatif
dengan model interaktif, dimana dalam tahap analisis ini terdapat tiga
komponen pokok, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan. Data yang terkumpul kemudian direduksi melalui seleksi dan
penyederhanaan data yang berlangsung terus-menerus selama penelitian dan
kemudian diambil kesimpulan. Tahap ini tidak harus berurutan sebab apabila
data data yang diperoleh sudah lengkap, maka data tersebut dapat disajikan.
Apabila ditemui kesulitan dalam menarik kesimpulan karena kurang
lengkapnya data, maka kita bisa kembali ke tahap pengumpulan data sampai
data yang kita peroleh dirasa cukup (H. B. Sutopo, 2002 : 95).
Model analisa interaktif dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1 : Interactive Model of Analysis
F. Sistematika Sripsi
Reduksi Data Penyajian Data
Pengumpulan Data
Penarikan Kesimpulan/ verifikasi
xx
Guna memberi penjelasan secara garis besar mengenai penyusunan
penulisan hukum dan untuk mengantarkan pembaca pada pokok pembahasan,
maka penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan tentang landasan teori mengenai
Pemerintahan Daerah, Instrumen Pemerintahan, dan
Telekomunikasi.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan tentang kondisi umum dan karakteristik
Kota Surakarta, sistem penetapan kebijakan dan arahan kebijakan
Pemerintah Kota Surakarta, uraian mengenai Unit Pelayanan
Terpadu yang memproses perijinan, pelaksanaan prosedur perijinan
dalam pembangunan menara Base Transceiver Station (BTS)/Radio
Base Station (RBS) oleh UPT dan pelaku usaha di wilayah
Surakarta, Instrumen-instrumen hukum yang terkait, hambatan-
hambatan dalam pelaksanaan prosedur serta aplikasi perijinan
tersebut, dan analisis data.
BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN
Berisi tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xxi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Pemerintahan Daerah
a. Pengertian Pemerintah Daerah
Indonesia merupakan negara dengan wilayah luas terdiri dari
kepulauan-kepulauan dan memiliki jumlah penduduk yang besar dan
tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Melihat kondisi tersebut dalam
rangka pelaksanaan pemerintahan guna mewujudkan tujuan pemerataan
pembangunan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 maka
xxii
dibentuklah pemerintahan daerah sebagai wujud dari pemerintah di daerah
guna melaksanakan tugas pembantuan di daerah.
Dasar dari penyelenggaraan Pemerintahan daerah terdapat dalam
UUD 1945 Pasal 18A yang menyebutkan, hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota,
atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-
undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Hubungan keuangan, pelayanan umum, kemanfaatan sumber daya alam
maupun sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil, selaras berdasarkan undang-
undang. Sedangkan pada Pasal 18 B menyebutkan negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa sebagaimana diatur dengan Undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup, masih sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan hal tersebut diatas, Pemerintah mengeluarkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Maka berdasarkan Pasal 239 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu
pada saat berlakunya Undang-undang ini maka Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku.
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 1 huruf b
menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta
perangkat daerah otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.
xxiii
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggara pemerintahan daerah otonom
oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, menurut asas desentralisasi.
Salah satu tugas DPRD dalam Pemerintahan Daerah adalah
melakukan pengawalan, baik kepada Peraturan Daerah, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, kebijakan Pemerintah Daerah dan kerja
sama internasional dengan daerah.
Pemerintah Daerah menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 Pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa Pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan pengertian Otonomi Daerah
menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5
menyebutkan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pamerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Menurut Winarna Surya Adisubrata Otonomi Daerah adalah
wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang
melekat pada negara kesatuan maupun pada negara federasi. Di negara
kesatuan Otonomi Daerah lebih teratas daripada di negara yang berbentuk
federasi. Kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangga daerah di
negara Kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintah kecuali
beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat. Dalam literatur
pemerintahan dikenal tiga sistem otonomi, yaitu:
1) Otonomi formil
xxiv
Yaitu suatu sistem otonomi dimana yang diatur adalah kewenangan-
kewenangan Pemerintah Pusat yang dipegang oleh Pemerintah Pusat
(seperti: pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, peradilan,
moneter, fiskal dan kewenangan lainnya). Sedangkan kewenangan
Daerah Otonom adalah kewenangan yang diluar kewenangan
Pemerintah pusat tersebut.
2) Otonomi materiil
Merupakan kewenangan-kewenangan Daerah Otonom yang
dilimpahkan dan secara eksplisit disebutkan satu-persatu (biasanya
diatur dalam Undang-undang Pembentukan Daerah Otonom).
Sedangkan kewenangan Daerah Otonom adalah kewenangan yang
diluar kewenangan Pemerintah Pusat tersebut.
3) Otonomi riil
Merupakan kewenangan-kewenangan daerah Otonom yang
dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat, disesuaikan kemampuan nyata
dari Daerah Otonom yang bersangkutan (seperti SDM, pendapatan
Daerah, dll). Jadi kewenangan Daerah Otonom yang satu dengan
daerah otonom yang lainnya tidak sama. (Winarna Surya Adisubrata
1999:1).
Prinsip Otonomi Daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 adalah:
1) Otonomi seluas-luasnya
Dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah
yang ditetapkan dalam Undang-undang. Daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
xxv
peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
2) Otonomi nyata
Yaitu suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang
kenyataanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan
demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya.
3) Otonomi yang bertanggung jawab
Adalah otonomi yang dalam penye1enggaraannya harus benar-benar
sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dan tujuan
nasional.
b. Pembagian Daerah Dan Asas-asas Pemerintahan Daerah
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi ini dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-
masing mempunyai Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah,
dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum,
dan daya saing daerah.
Asas-asas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah menurut C.S.T.
Kansil yaltu:
xxvi
1) Asas Desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan
sejumlah urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat atau dan
Pemeintah Daerah tingkat yang lebih tinggi kepada Pemerintah Daerah
tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga
daerah itu. Dengan demikian, prakarsa, wewenang, dan tanggung
jawab mengenai urusan-urusan yang diserahkan tadi sepenuhnya
menjadi tanggung jawab daerah itu, baik mengenai politik
kebijaksanaan, perencanaan, dan pe1aksanannya maupun mengenai
segi-segi pembiayaannya. Perangkat pelaksanaanya adalah perangkat
daerah sendiri.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 1 huruf f menyebutkan :
“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”
Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat
7 menyebutkan : “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus pemerintahan daam sistem Negara Kesatuan Republik
indonesia.”
Keuntungan diterapkannya asas desentralisasi adalah:
a) Akan mengurangi tertumpuknya pekerjaan di tingkat pusat.
b) Dalam menghadapi masalah yang mendesak serta memerlukan
tindakan secara cepat maka daerah tersebut tidak perlu menunggu
perintah ataupun instruksi dari pemerintah Pusat.
c) Dapat mengurangi birokrasi sistem yang, berbelit.
d) Mengurangi kemungkinan kesewenangan Pemerintah Pusat.
xxvii
Sistem ini juga mempunyai kelemahan, antara lain:
a) Struktur Pemerintahan menjadi lebih kompleks, sehingga
mempersulit koordinasi.
b) Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam
kepentingan daerah mudah terganggu
c) Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama karena
diperlukan pembuatan peraturan yang bertele-tele.
2) Asas Dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan
wewenang dari Pemerintah Pusat atau kepala wilayah atau kepala
instansi vertikal tingkat yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di
daerah. Tanggung jawab tetap ada pada Pemerintah pusat, baik
perencanaan dan pelaksanaannya maupun pembiayaannya tetap
menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Unsur pelaksanaannya
dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil
Pemerintah Pusat.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pasal 1 huruf f menyebutkan : “Dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau perangkat pusat di Daerah.”
Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat
8 menyebutkan bahwa : “Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenaag
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.”
3) Asas Tugas Pembantuan adalah asas yang menyatakan tugas turut
serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada
Pemerintah Daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya
kepada yang memberi tugas. (C.S.T. Kansil, 2002 : 3)
xxviii
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pasal 1 huruf g menyebutkan :
”Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah
kepada Daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan
tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta
sumber daya manusia dengan bekewajiban melaporkan
pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang
menugaskan.”
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 9
menyebutkan:
“Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah
kepada Daerah dan/atau desa dan pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.”
Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 20
asas penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas umum
penyelenggaraan negara yang terdiri atas:
a) Asas kepastian hukum;
b) Asas tertib penyelenggaraan negara;
c) Asas kepentingan umum;
d) Asas keterbukaan;
e) Asas proporsionalitas;
f) Asas profesionalitas;
g) Asas akuntabilitas;
h) Asas efisien;
i) Asas efektivitas.
xxix
c. Bentuk dan susunan Pemerintahan Daerah setiap daerah dipimpin
oleh Kepala Daerah.
Setiap daerah dipimpin dan dikepalai oleh Kepala Daerah. Kepala
Daerah untuk Provinsi disebut Gubernur, untuk Kabupaten disebut Bupati,
dan untuk Kota disebut Walikota. Kepala Daerah dalam menjalankan
tugasnya dibantu oleh satu orang Wakil Kepala Daerah.
Di dalam setiap daerah dibentuk DPRD yang merupakan lembaga
perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. DPRD mempunyai tugas legislasi,
anggaran, dan pengawasan perangkat Daerah Provinsi terdiri atas
Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, dan Lembaga
Teknis Daerah. Perangkat Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Sekretariat
Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah,
Kecamatan, dan Kelurahan.
Sekretariat Daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah. Sekretaris
Daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu Kepala Daerah dalam
menyiapkan kebijakan dan mengkoordinasikan Dinas Daerah dan
Lembaga Teknis Daerah. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban,
Sekretaris Daerah untuk Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh
Gubernur atas usul Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Apabila Sekretaris Daerah berhalangan melaksanakan
tugasnya, tugas Seketaris Daerah dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk
oleh Kepala Daerah. Sekretaris Daerah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil
yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Daerah untuk Provinsi diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Sekretaris Daerah untuk Kabupaten/Kota
diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
xxx
Sekretaris Daerah mempunyai kedudukan sebagai pembina
Pegawai Negeri Sipil di daerahnya. Sekretariat DPRD dipimpin oleh
Sekretaris DPRD. Sekretaris DPRD diangkat dan diberhentikan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD. Sekretaris DPRD
dalam melaksanakan tugasnya secara teknis operasional berada dibawah
dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara administratif
bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Dinas
Daerah dipimpin oleh Kepala Dinas yang diangkat dan diberhentikan oleh
Kepa1a Daerah dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat atas
usulan Sekretaris Daerah.
Lembaga teknis Daerah merupakan unsur pendukung tugas
Kepala Daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang
bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah.
Badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah dipimpin oleh Kepala
Badan, Kepala Kantor, atau Kepala Rumah Sakit Daerah yang diangkat
oleh Kepala Daerah dan Pegawi Negeri Sipil yang memenuhi syarat atas
usul Sekretaris Daerah. Kepala Badan, kantor, atau rumah sakit umum
daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris
Daerah.
Kecamatan dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan Perda
berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kecamatan dipimpin oleh Camat
yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian
wewenang Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi
daerah. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah
kabupaten/kota dan Pegawai Negeri Sipil yang menguasai pengetahuan
teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Camat dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
xxxi
perangkat kecamatan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota
melalui Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota. Perangkat kecamatan
bertanggung jawab kepada camat.
Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Perda
berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh Lurah
yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dan
Bupati/Walikota. Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul camat
dan Pegawai Negeri Sipil yang menguasai pengetahuan teknis
pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugasnya Lurah dibantu oleh
perangkat kelurahan yang bertanggung jawab kepada Lurah. Untuk
kelancaran pelaksanaan tugas Lurah dapat dibentuk lembaga lainnya
sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Perda.
d. Peraturan Daerah (Perda), dan Pengawasan
1) Peraturan Daerah (Perda)
Sebagai konsekuensi dari hak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri, maka pemerintah daerah perlu dilengkapi
alat perlengkapan daerah yang dapat mengeluarkan peraturan-
peraturannya, yakni Peraturan Daerah.
Badan pembuat Peraturan Daerah dengan Peraturan Daerahnya, berkewajiban mengatur urusan-urusan yang menjadi urusan rumah tangga daerah dan juga urusan-urusan pembantuan. Untuk menjaga agar jangan sampai ada Peraturan Daerah yang mengatur sesuatu hal yang bertentangan dengan peraturan-peraturan negara atau Peraturan Daerah tingkat atasnya, perlu diadakan pengawasan. (R. Joeniarto, 1992: 18)
Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 136
menyatakan bahwa Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD. Perda dibentuk dalam rangka
xxxii
penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas
pembantuan. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas
masing-masing daerah. Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Perda
berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah.
Pembentukan Perda didasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang meliputi:
1) Kejelasan tujuan;
2) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan:
4) Dapat dilaksanakan;
5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6) Kejelasan rumusan;
7) Keterbukaan.
Untuk melaksanakan Perda dan atas dasar peraturan perundang-
undangan. Kepala Daerah menetapkan peraturan Kepala Daerah dan atau
keputusan Kepala Daerah. Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan
KepaIa Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda
dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Perda diundangkan
dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah diundangkan
dalam Berita Daerah. Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah da1am Berita Daerah dilakukan oleh Sekretaris
Daerah. Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Perda yang akan
diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang
telah diundangkan dalam Berita Daerah.
xxxiii
Menurut Kansil, Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
yang memerlukan pengesahan adalah peraturan dan keputusan yang
menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1) Menetapkan ketentuan ketentuan yang menyangkut rakyat dan
mengandung perintah, larangan, keharusan berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu yang ditujukan langsung kepada rakyat.
2) Mengadakan ancaman pidana berupa denda atau hukuman kurungan
atas pelanggaran tertentu.
3) Memberikan bahan kepada rakyat (pajak, retribusi daerah).
4) Mengadakan utang, piutang, menanggung pinjaman, mengadakan
perusahaan daerah, menetapkan dan mengubah APBD, menetapkan
perhitungan APBD, mengatur gaji pegawai, dan lain-lain.
2) Pengawasan
Berdasarkan Pasal 218 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
menyatakan bahwa pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah
dilaksanakan oleh pemerintah yang meliputi:
1) Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;
2) Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah
Pengawasan dilaksanakan oleh aparat pengawas intern
Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan. Pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan Pemerintah Daerah untuk kabupaten/kota
dikoordinasikan oleh Gubernur. Pengawasan dimaksudkan agar
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dapat berjalan dengan baik.
2. Instrumen Pemerintahan
Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan pemerintah atau
administrasi negara membutuhkan sarana dan prasarana antara lain guna tulis-
xxxiv
menulis, sarana trasportasi, komunikasi, gedung perkantoran dan lain
sebagainya. Disamping itu pemerintah juga menggunakan berbagai macam
instrumen yuridis dalam menjalankan kegiatan mengatur dan menjalankan
urusan pemerintahan dan kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-
(4) Membagi benda-benda, lahan atau wilayah yang terbatas,
misalnya ijin menghuni di daerah padat penduduk (SIP), dll.
(5) Mengarahkan/pengarahan dengan menggunakan seleksi
terhadap orang dan aktivitas-aktivitas tertentu, misalnya ijin
transmigrasi dll.
Yang terpenting dalam ijin, adalah bahwa ijin digunakan
oleh penguasa sebagai instrumen untuk mempengaruhi para
warganya agar mau mengikuti cara yang dianjurkan guna
mencapai suatu tujuan konkret. Dalam kenyataannya, didalam
berbagai sektor kebijaksanaan terdapat berbagai sistem ijin dengan
motif sejenis yang berdiri secara berdampingan.
2) Ijin Gangguan (HO).
Ijin Gangguan adalah ijin tempat usaha orang pribadi atau
badan hukum dilokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya,
gangguan, dan kerugian. Ijin Gangguan tempat usaha adalah ijin yang
diperlukan untuk mendirikan atau menggunakan tempat-tempat
bekerja. Sedangkan pengertian tempat usaha adalah tempat-tempat
untuk melakukan usaha yang dijalankan secara teratur dalam suatu
bidang usaha tertentu dengan meksud mencari keuntungan.
Ijin gangguan sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda
(pemerintahan Kolonial). Dengan keluarnya Undang-undang No.226
Tahun 1926 yang telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan
stbl. No. 450 Tahun 1940 tentang Hinder Ordonantie (Ordonansi
Gangguan). Sebelum berlakunya Undang-undang No. 4 Tahun 1982
Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
xlv
(UULH) yang telah dirubah dengan Undang-undang No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ordonansi Gangguan
(HO) ini dapat dianggap sebagai salah satu aturan yang berhubungan
langsung dengan masalah pencemaran lingkungan di Indonesia.
Sebutan “Hinder Ordonantie” (HO) atau Ordonansi
Gangguan terdapat dalam Pasal 7 yang berbunyi :
“Ordonansi ini dapat disebut dengan Undang-undang
Gangguan (Hinderwest), karena ordonansi merupakan produk dari
pemerintah daerah jajahan (pemerintah Hindia Belanda); sehingga
tidak dapat disetarakan dengan “Wet” yang merupakan produk dari
pemerintah yang berdaulat (Kerajaan Belanda) yang kemudian
diterjemahkan dengan nama “Undang-undang”. Oleh karena itu istilah
yang seharusnya tetap digunakan adalah “Ordonansi Gangguan”.
HO tidak menjelaskan lebih lanjut tentang pengertian bahaya, kerugian atau gangguan. Jadi dapat saja ditafsirkan bahwa, apakah misalnya bahaya yang dimaksud ialah adanya ancaman penyerbuan oleh pihak luar terhadap suatu tempat usaha karena perusahaan tersebut telah membahayakan lingkungan sekitarnya ataupun perusakan oleh pihak lain yang akan menggangu kegiatan suatu tempat usaha. Dengan kata lain, bahaya, kerugian, atau gangguan tersebut datangnya justru dari pihak luar (R.M. Gatot P Soemartono 1996 :135).
Namun demikian apabila diperhatikan bahwa HO dibentuk
dengan tujuan langsung kepada perusahaan yang dapat menimbulkan
kerugian, bahaya, atau gangguan dari suatu tempat usaha. Jadi dapat
disimpulkan bahwa asal dari ancaman tersebut datang dari tempat
usaha itu sendiri, yang dapat mengakibatkan masyarakat sekitar
menderita. Derita tersebut dapat berupa bahaya, kerugian, atau
gangguan, atau ketiga-tiganya sekaligus. Dengan demikian HO tidak
xlvi
dimaksudkan untuk bahaya, kerusakan, atau gangguan yang
disebabkan oleh pihak luar sebagaimana disebutkan diatas.
Dalam pelaksanaan Ordonansi Gangguan maka terkait
dengan suatu bidang lain, yakni bidang perijinan. Perijinan terkait
dengan masalah hak dan wewenang pejabat dan pemerintah yang
diberi tugas atau wewenang untuk menentukan boleh tidaknya
memberi ijin tempat usaha, menentukan syarat-syaratnya dan
membatalkannya, dan sebagainya. Berhadapan dengan itu, kita melihat
adanya hak dari masyarakat, karena masyarakatlah yang dapat
menderita bahaya, kerugian dan atau gangguan yang ditimbulkan oleh
suatu pabrik/industri/tempat usaha.
Menurut HO, surat ijin tempat usaha harus mengajukan
permohonan tertulis kepada pejabat berwenang, dalam hal ini Pemda
Tingkat II yang bersangkutan dimana lokasi atau tempat usaha itu
akan didirikan. Meskipun didalam HO tidak ditentukan secara tegas
bahwa permohonan ijin harus dilakukan secara tertulis, tetapi dari
pasal HO dapat ditentukan bahwa bagaimanapun permohonan ijin
tertulis harus dilakukan secara tertulis.
Di dalam Pasal 1 Ordonansi Gangguan ditetapkan larangan mendirikan tanpa ijin tempat-tempat usaha yang perincian jenisnya dicantumkan dalam ayat (1) pasal tersebut, Meliputi 20 jenis perusahaan. Didalam ordonansi ini juga ditetapkan pula berbagai pengecualian atas larangan ini. (Koesnadi Hardjasoemantri, 2002 :58).
Menurut John W Salindeho, 20 jenis usaha/tempat usaha yang
dilarang untuk didirikan atau dibangun tanpa ijin (tempat usaha) dari
pemerintah meliputi :
a) Yang dijalankan dengan peralatan tenaga uap atau gas (steam and gass), begitupun mesin elektro dan tempat usaha lainnya dengan memakai uap air, gas, dan uap air bertekanan tinggi,
xlvii
b) Yang bertujuan untuk membuat atau memproduksi, mengerjakan dan menyimpan mesiu dan bahan peledak lainnya termasuk pabrik penyimpanan petasan,
c) Yang bertujuan membuat atau memproduksi chemicalia (ramuan kimia, termasuk pabrik korek api),
d) Yang bertujuan untuk memperoleh, mengerjakan dan menyimpan benda-benda yang menguap (vluchtige produkten),
e) Yang bertujuan untuk penyulingan kering (droge distilattie) dari benda atau bahan nabati dan non nabati (plaantardige en dierlijke zelfstandigheden) dan mengerjakan (verwaking) hasil produksi daripadanya; termasuk pabrik gas,
f) Yang bertujuan untuk mengerjakan atau memproduksi lemak dan dammar (veten en harsen),
g) Yang bertujuan untuk menyimpan (mengumpulkan) dan mengerjakan atau mengumpulkan sampah (afval),
h) Pengempingan kecambah (mouterijen), pabrik bir (brouwerijen), pembakaran (braderijen), penyulingan (distelerderijen), pabrik spiritus dan cuka serta penyaringan (raffinaderijen), pabrik tepung dan pembuatan roti (bakkerijen) termasuk pabrik sirup dan buah-buahan.
i) Tempat pembantaian/pemotongan hewan, tempat pengulitan (velderij), tempat pengumbahan jeroan (panserijen), tempat penjemuran, tempat pengasapan dan tempat penggaraman bahan-bahan yang berasal dari hewan, termasuk juga tempat penyamaan kulit (leer lolerij).
j) Pabrik porselen dan tembikar, tempat pembuatan atau memproduksi batu merah (bata), genting, ubin dan tegel, tempat pembuatan/memproduksi barang dari gelas, tempat pembakaran kapur dan gipsi serta tempat pembasahan kapur,
k) Tempat pencairan logam, tempat pengecoran, tempat penempahan logam, tempat pemipihan logam, tempat pertukangan kuningan dan blik serta pembuatan ketel,
l) Tempat pennggilingan tras, kayu dan minyak,
m) Tempat pembuatan kapal, tempat pembuatan barang dari batu dan penggergajian, tempat pembuatan penggilingan dan keretatempat pembuatan tong/drum dan tempat pertukangan kayu.
n) Tempat penyewaan susu dan tempat perusahaan susu
Bertugas melaksanakan studi lapangan pendahuluan secara
cermat guna menyempurnakan program perencanaan berdasarkan
konsep dari RNP. Misalnya melakukan peninjauan langsung guna
menentukan bagaimana kondisi riil di sekitar wilayah lokasi rencana
sebenarnya guna menyusun tambahan perencanaan teknis.
3) Site Acquisition and Controlling (SITAC)
Survey Lokasi lanjutan, yaitu mencari menentukan lokasi yang
bisa digunakan, dan memungkinkan untuk dilakukan pembeasan
lahan.Contract with Landlord, yaitu melaksanakan kesepakatan/kontrak
penggunaan lahan dengan pemilik lahan baik dalam bentuk jual beli atau
sewa agar dapat dibangun menara BTS pada lokasi tersebut.
Melaksanakan Community Permit yaitu mempersiapkan dan
melaksanakan segala bentuk prosedur perijinan yang berhubungan
dengan Pemerintah Daerah sampai pada sosialisasi dan penerimaan
warga di lokasi yang direncanakan akan dilaksanakan pembangunan.
4) Legal Divition
xcvi
Bertugas memeriksa kelengkapan dan keabsahan segala jenis berkas
kontrak ataupun Keputusan Perijinan berkaitan dengan community
permit dan kontrak penggunaan lahan antara perusahan dan pemilik
tanah. Setelah segalanya dirasa cukup, kemudian melaporkan status
Ready for Construction (RFC) yang artinya bahwa konstruksi atau
pembangunan telah siap dan aman untuk dilaksanakan.
5) Civil Mechanical Electronical (CME)
Bertugas melaksanakan kontruksi atau pembangunan menara BTS/RBS,
meliputi pembangunan teknis fisik menara dan intalasi listrik. CME
hanya bekerja setelah adanya RFC. Setelah pembangunan selesai dan
instalasi listrik siap, maka CME melaporkan status Ready for
Implementation (RFI) yang artinya menara sudah siap untuk
dilaksanakan pemasangan dan instalasi perangkat BTS.
6) Implementation Divition
Bertugas melaksanakan pemasangan dan instalasi perangkat BTS pada
menara. Pengerjaan dilaksanakan setelah adanya RFI. Instalasi sendiri
meliputi penyetingan alat dan komputerisasi. Setelah pemasangan dan
instalasi BTS selesai, Divisi Implementasi melaporkan status Ready for
Service (RFS) yang artinya yang artinya BTS sudah siap difungsikan.
7) Integration Divition
Bertugas melakukan penyetingan, mengaktifkan/memfungsikan
perangkat BTS dan mengintegrasikannya dengan sistem jaringan milik
operator yang sudah ada.
8) Maintenance Divition
Bertugas melakukan pemeriksaan dan perawatan BTS berkala.
9) Acceptance Protocol
xcvii
Merupakan perjanjian/prosedur serah terima BTS dari vendor kepada
operator. Acceptance Protocol ini secara umum biasa dilaksanakan pada
tahap pasca integrasi, atau pasca maintenance.
Pada umumnya operator dalam program pembangunan BTS/RBS
menunjuk hanya satu vendor untuk melaksanakan segala tahap proses
pembangunan, namun dimungkinkan juga operator menunjuk vendor
hanya pada tahap-tahap tertentu saja.
b. Pelaksanaan perijinan oleh pelaku usaha
Uraian diatas menunjukkan prosedur teknis yang secara umum
hampir sama dilaksanakan di setiap perusahaan yang kompeten
membangun BTS, masing-masing memiliki standar ideal. Khusus dalam
hal pelaksanaan perijinan pada tahapan pendirian BTS, dilaksanakan oleh
bagian SITAC, yang dimungkinkan bagian inilah pemegang kuasa
mewakili atas nama perusahaan atau penanggung jawab proyek di
hadapan hukum sampai dengan tahapan proyek selesai. Dari sini nampak
bahwa sebenarnya mekanisme tata kerja masing-masing perusahaan sudah
ideal, namun kadang kala permasalahan timbul karena tuntutan kondisi riil
lapangan misalkan guna mensiasati deadline waktu proyek, atau keinginan
mempercepat proyek yang implikasinya oknum pada perusahaan tersebut
mencari celah pada sistem birokrasi perijinan. Hal ini manakala
dilaksanakan secara berhati-hati dengan penuh pertimbangan dan
perhitungan akan berjalan baik. Namun apabila kurang cermat justru akan
menjadi bumerang bagi perusahaan sendiri.
Survey Site Acquisition
(SITAC)
Legal Civil Mechanical Electronical
(CME)
Implementation
Radio Network Planning (RNP)
Trans Network Planning (TNP)
Ready for
Ready for Construction (RFC)
xcviii
Gambar 6 : Tahapan pelaksanaan proyek pembangunan menara BTS/RBS oleh
vendor infrastruktur telekomunikasi.
C. Hambatan-Hambatan yang Dihadapi dan Upaya Untuk Menanggulanginya
Hambatan yang seringkali dihadapi oleh Pemerintah Kota Surakarta
berkaitan dengan pendirian suatu bangunan tempat usaha, atau pada khususnya
bangunan menara BTS/RBS dan proses perijinannya adalah para pengusaha yang
hendak mendirikan tempat usaha dan telah memiliki ijin IMB, maka mereka dapat
segera mendirikan atau membangun tempat usaha/bangunan tanpa atau sebelum
adanya tinjauan lokasi dan memperhitungkan dampak terhadap lingkungan hidup.
Atau pengusaha setelah memperoleh IMB langsung mendirikan bangunan, baru
xcix
kemudian menyusun dokumen UKL-UPL lalu ijin HO. Hal ini yang membuat
tidak mengherankan manakala pada saat suatu bangunan sedang dibangun/
setengah dibangun, mendapat banyak komplain dari masyarakat sekitar karena
merasa terganggu dengan pembangunan tempat usaha/bangunan tersebut dan
pada akhirnya masyarakat yang merasa dirugikan tersebut meminta ganti rugi
kepada pengusaha.
Hal demikian dapat terjadi karena kurangnya koordinasi yang baik antar
instansi-instansi dalam pemerintah daerah. Selain itu sosialisasi tentang perijinan
kurang memasyarakat, termasuk kepada para pengusaha yang akan mendirikan
tempat usaha. Sepengetahuan mereka, bahwa untuk mendirikan suatu bangunan
atau tempat usaha hanya cukup memiliki IMB saja. Jika IMB telah diperoleh,
maka merekapun dapat langsung mendirikan bangunan tanpa terlebih dahulu
mengetahui dampak-dampak yang timbul dari tempat usaha, baik dampak secara
ekosistem ataupun secara sosial.
Dengan banyaknya kasus tentang bangunan yang didirikan tiba-tiba
mendapat protes dari masyarakat sekitar dengan alasan karena merasa terganggu
dan dirugikan akan keberadaan bangunan atau tempat usaha tersebut terutama
apabila tanpa didasari dengan alasan ilmiah yang logis, dapat menyebabkan
investor/pengusaha enggan untuk menanamkan modalnya di Kota Surakarta yang
berakibat dapat mengurangi Pendapatan Daerah, dan Pembangunan Daerah
sendiri akan tersendat termasuk di bidang telekomunikasi dan bidang-bidang
lainnya.
Hambatan-hambatan dalam pemberian ijin menara BTS/ RBS
1. Biaya Rekomendasi dan lain-lain.
Biaya rekomendasi yang cukup tinggi bahkan melebihi biaya
pendaftaran atau biaya Retribusi Ijin misalkan pada Ijin HO. Kemudian dilihat
dari banyaknya jenis perijinan yang harus dipenuhi berhubungan dengan
retribusi perijinan yang harus dibayar. Pembebasan Lahan dan community
c
permit yang kompensasinya terkadang sulit untuk ditaksir sehingga cukup
menyulitkan bagi perencanaan anggaran proyek bagi pengusaha. Adanya
pungutan liar yang seringkali terjadi pada saat loading muatan bangunan atau
perangkat pada lokasi bersangkutan yang secara umum biasa terjadi, besarnya
bisa mencapai antara dua sampai dengan tiga juta rupiah. Dari sekian hal yang
berhubungan dengan pengeluaran keuangan, manakala diakumulasikan
terdapat jumlah kebutuhan biaya yang cukup besar.
2. Dari Segi Pemerintahan
a. Secara kelembagaan perijinan pendirian menara BTS/RBS meliputi
beberapa syarat perijinan yang mana dalam pemrosesannya melibatkan
beberapa instansi pemerintahan daerah pada beberapa tahapan yang
dipandang kurang efektif. Misalnya untuk memperoleh IMB dan HO,
harus memperoleh dokumen UKL-UPL dari KLH yang sebelumnya KLH
telah melakukan studi lapangan dan masih dilaksanakan dengan tim
terpadu dari UPT. Masalah lain dibidang kelembagaan di jajaran pegawai
Pemerintahan Daerah Kota Surakarta adalah keterbatasan sumber daya
manusia yang memiliki kompetensi pengetahuan teknologi komunikasi
dan informasi, sehingga dalam melaksanakan ferivikasi persyaratan ijin di
lapangan tentang standar teknis kelayakan dan keamanan diluar
konstruksi, seperti keamanan gelombang dan frekwensi memiliki sedikit
hambatan. Satu lagi pengaruh dari lemahnya Sumber Daya Manusia
adalah pemikiran proyeksi pembangunan infrastruktur telekomunikasi di
daerah masih kurang.
b. Dari segi keberadaan instrumen hukum, Pemerintah Daerah Kota
Surakarta belum memiliki Peraturan Daerah yang secara Khusus mengatur
mengenai keberadaan dan pembangunan Menara BTS/RBS, dan selama
ini cenderung masih menggunakan instrumen hukum berupa kombinasi
dari beberapa ketentuan-ketentuan Peraturan Daerah yang belum
ci
mengalami perbaikan dalam waktu cukup lama sebagaimana kondisi yang
secara aktual berkembang, salah satu contohnya adalah pada Perda Nomor
8 Tahun 1988 tentang Bangunan. Kantor Unit Pelayanan terpadu sendiri
sebagai Unit pemroses perijinan telah merancang prosedur perijinan
khusus bagi pendirian menara BTS/RBS berdasarkan ketentuan Perda
yang ada sebagaimana selama ini telah berjalan. Dengan dikeluarkannya
Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2005 yang notabene merupakan
produk peraturan baru sebagai implikasinya maka Pemerintah Daerah
Kota Surakarta kedepan juga harus melakukan penyesuaian. Dampak dari
hal ini adalah perencanaan kembali format permohonan dan alur
pemrosesan ijin terutama di Kantor UPT yang ditakutkan mempengaruhi
upaya pelayanan sederhana, mudah, singkat dan tepat waktu pada sistem
satu atap yang sebelumnya telah mapan.
3. Kesadaran Pelaku Usaha
Kadangkala pada tataran teknis pelaksanaan etika bisnis yang baik
dengan memenuhi standar kelayakan proyek dan pemenuhan prosedur-
prosedur ideal, tidak dilaksanakan atau kurang diperhatikan oleh beberapa
oknum dari pelaku usaha. Penyimpangan tersebut misalnya sikap menerabas
dengan melaksanakan pembangunan menara BTS/RBS tanpa menunggu ijin
terkait dari Pemerintah Daerah selesai terlebih dahulu, padahal yang dimiliki
baru kontrak status tanah dan berfikir untuk sosialisasi masyarakat sambil
berjalan, pelaksanaan proyek yang tidak terencana dengan baik hal inilah
seringkali menjadi penyebab konflik di lapangan.
4. Masyarakat
Berdasarkan uraian mengenai kondisi kependudukan Kota Surakarta
diatas melihat dari kuantitas, densitas, prosentase lahan yang sebagian besar
adalah pemukiman maka sudah pasti terdapat kendala atau terjadi konflik
cii
yang berhubungan dengan masyarakat. Kendala-kendala tersebut diantaranya
:
a. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap informasi mengenai BTS,
sehingga kadangkala terdapat resistensi ataupun kehawatiran berlebihan
tanpa adanya alasan logis/ilmiah atas pembangunan BTS di
lingkungannya, misalnya permasalahan keamanan konstruksi yang dalam
hal ini sebenarnya sebelum menara dibangun, telah melalui serangkaian
proses perencanaan dan pemeriksaan panjang berulang-ulang dalam
menentukan standar keamanan, melibatkan banyak pihak baik dari
pelaksana konstruksi dan Pemerintah Daerah sendiri oleh beberapa
lembaganya yang berwenang. Kemudian mengenai isu bahwa keberadaan
menara BTS mengganggu penangkapan sinyal alat elektronik seperti radio
ataupun televisi, secara ilmiah sebenarnya tidak akan terjadi gangguan
karena penggunaan frekwensi yang berbeda maka tidak mungkin ada
intervensi sinyal dari BTS terhadap televisi ataupun radio.
b. Keberadaan masyarakat di lingkungan sekitar tempat usaha baik di depan,
di belakang, di samping kanan dan kiri tidak semuanya menyetujui atas
pembangunan, ada pula yang keberatan, sehingga hal ini dapat
menyebabkan persengketaan antar masyarakat dengan pengusaha,
sehingga ijin menjadi terhambat.
c. Meskipun sedikit, tidak bisa diingkari adanya sikap mental menerabas
baik dari masyarakat ataupun pelaku usaha. Mensitir pendapat Profesor
Koentjaraningrat seorang pakar antropologi di dalam bukunya
Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, salah satu kelemahan dari sifat
mental bangsa Indonesia sesudah revolusi adalah apa yang disebutnya
sebagai sifat mental menerabas yaitu nafsu untuk mencapai tujuan
secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara
selangkah demi selangkah. Bentuknya dapat berupa tuntutan kompensasi
ciii
dengan prinsip sebanyak-banyaknya bagi oknum masyarakat, secepat-
cepatnya dan semurah-murahnya tanpa prosedural lengkap bagi oknum
pengusaha.
Upaya yang ditempuh dalam penanggulangan hambatan-hambatan yang timbul
1. Penentuan besarnya berbagai biaya rekomendasi ditetapkan sesuai dengan
atau berdasarkan Perda. Disamping itu Pemerintah Daerah harus bisa
memposisikan diri secara obyektif sebagai mediator antara masyarakat dan
pelaku usaha denga pendekatan yang dapat memberikan alternatif solusi
pemecahan masalah mengenai penentuan kompensasi yang realistis
berdasarkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan bagi masing-masing
pihak dengan tolak ukur Perda yang berlaku dan juga visi pemerintahan Kota
Surakarta sendiri. Pelaksanaan tanggung jawab Pemerintah Daerah untuk
memberikan jaminan perlindungan bagi pelaku usaha dengan menciptakan
suasana pro investasi kondusif, aman tanpa mengesampingkan kepentingan
publik dan lingkungan.
2. Dari segi pemerintahan
a. Mengenai keberadaan peran beberapa instansi yang terkesan tumpang
tindih dalam pemrosesan tahap-demi tahap perijinan, untuk sementara
dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar
instansi terkait di lingkungan Pemerintah Kota dibawah koordinasi Kantor
UPT. Kemudian untuk mengatasi kurangnya sumber daya manusia di
jajaran Pemerintah Kota yang paham berkaitan dengan masalah ini,
solusinya adalah melalui kerjasama baik dengan institusi akademis
ataupun pihak dari instansi pusat yang berkompeten misalnya dari Ditjen
Postel dan sebagainya.
b. Mengenai instrumen hukum pengaturan keberadaan BTS/RBS,
Pemerintah Daerah harus mulai mempersiapkan rancangan konsep khusus
mengatur pembangunan menara BTS/RBS dengan mempertimbangkan
civ
ketentuan-ketentuan pendukung lainnya, misalnya Peraturan Gubernur
Jateng Nomor 5 Tahun 2005 mengatur pendirian RBS, Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1993 tentang
RUTK Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Tahun 1993–2013,
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8
Tahun 1988 tentang Bangunan yang saat ini sedang dalam pembahasan
revisi Perda Bangunan. Namun tetap pada intinya pelayanan perijinan
harus tetap dilaksanakan dengan baik.
3. Berkenaan dengan adanya pelaku usaha dimana dalam upaya pembangunan
menara BTS/RBS diduga dan terbukti, tidak melaksanakan itikad baik pada
prilaku ataupun tindakan tertentu termasuk pada tahapan apapun sehingga
dimungkinkan timbulnya kerugian terhadap publik atau kerusakan terhadap
lingkungan yang dapat berujung pada munculnya konflik, maka Pemerintah
Daerah berdasarkan kewenangannya harus bertindak tegas dengan
memberikan teguran, menghentikan proses perijinan hingga pencabutan ijin.
Selain itu Pemerintah Daerah juga harus melakukan upaya antisipasi dengan
melakukan sosialisasi pelaksanaan prosedur yang baik, selektif dalam
memberikan ijin pada pelaku usaha, dan melaksanakan pengawasan secara
cermat hingga kondisi riilnya di lapangan.
4. Untuk kendala-kendala menyangkut masyarakat meliputi disinformasi,
tersebut maka upaya yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah adalah
dengan melaksanakan sosialisasi ataupun penyuluhan mengenai mekanisme
perijinan yang ketat dan kompleks dalam pendirian bangunan-bangunan guna
tujuan usaha termasuk mekanisme pendirian menara BTS dan sebagainya.
Kemudian secara khusus mensosialisasikan mengenai fungsi, cara kerja, dan
keamanan perangkat infrastruktur telekomunikasi kepada masyarakat di
wilayah yang potensial untuk dibangunnya menara BTS. Sedangkan secara
umum akan lebih bijaksana bila Pemerintah Daerah mensosialisasikan
cv
mengenai kondisi Kota Surakarta secara umum dan arahan pembangunannya
sehingga masyarakat bisa memahami arahan kebijakan Pemerintah Daerah,
gap informasi berkurang, dan masyarakat dapat terdorong untuk berpartisipasi
dalam implementasi kebijakan publik.
5. Manakala terjadi kasus dimana terjadi penolakan atas permohonan
persetujuan lokasi yang mana salah satu menolak memberikan persetujuan
terutama biasa terjadi pada ijin HO, pemerintah harus teliti menganalisa kasus
tersebut dan bisa menetapkan keputusan. Keputusan tersebut diambil
berdasarkan alasan logis dan ilmiah. Secara teoritis, terdapat instrumen hukum
yang dinamakan Freis Ermessen bila mana diperlukan guna mencapai tujuan
pemerintah yaitu demi kepentingan umum maka hal tersebut dalam kondisi
tertentu dapat digunakan.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
cvi
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada
Bab III, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan prosedur perijinan pendirian menara Base Transceiver Station
(BTS)/Radio Base Station (RBS) di wilayah Surakarta
Pelaksanaan perijinan pembangunan menara BTS/RBS apabila
diuraikan terdiri dari beberapa tahapan yaitu tahap pendaftaran dan
pelengkapan syarat-syarat, pemrosesan, penerbitan Surat Ketetapan Retribusi
Daerah (SKRD), dan penerbitan Keputusan Ijin. Jenis perijinan pada
pembangunan menara BTS/RBS meliputi antara lain Advice Planning, Ijin
Mendirikan Bangunan, Ijin Penggunaan Bangunan, Ijin Gangguan, Tanda
Daftar Perusahaan, dan Ijin Usaha Perdagangan. Pelaksana kewenangan
berbagai macam permohonan ijin termasuk ijin pendirian menara BTS/RBS
yang bertugas antara lain menerima permohonan ijin, memproses,
mengkoordinasikan tim terpadu lintas lembaga dalam Pemerintahan Daerah
sebagai pemeriksa kelayakan, menerbitkan Surat Ketetapan Retribusi Daerah
(SKRD), dan menerbitkan Surat Keputusan adalah Kantor Unit Pelayanan
Terpadu.
Berdasarkan SK Walikota Nomor 004 Tahun 1998 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja UPT Kotamadya Daerah Tingkat II
Surakarta, Kantor Unit Pelayana Terpadu memiliki peran penting dalam
Pemerintahan Daerah yaitu melayani permohonan ijin oleh masyarakat di
lingkup Kota Surakarta. Apabila diabstraksikan, Kantor Unit Pelayanan
Terpadu merupakan bagian dari Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah
yang mana bertugas melaksanakan kepentingan umum/tujuan bersama. Guna
mewujudkannya pemerintah menggunakan sejumlah instrumen fisik berupa
cvii
infrastruktur, dan sebagainya serta instrumen non fisik berupa perangkat-
perangkat hukum. Tujuan dari Pemerintah Pusat adalah melaksanakan tujuan
yang dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945, kemudian berdasarkan hal
tersebut mengacu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah Kota Surakarta
menginterpretasikannya dengan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2001
tentang Visi dan Misi Kota Surakarta yang disusun sesuai karakteristik Kota
Surakarta meliputi keadaan konkrit mengenai kependudukan, potensi, sumber
daya, perekonomian, budaya dan lain-lain. Jadi disinilah inti yang mendasari
dalam pembuatan arahan kebijakan Pemerintah Daerah Kota Surakarta.
Kebijakan dilaksanakan dengan berbagai macam instrumen hukum,
diantaranya adalah Peraturan perundang-undangan (Perda di tingkat daerah),
Ketetapan Tata Usaha Negara, Peraturan Kebijaksanaan, Rencana-rencana,
Perijinan, Instrumen Hukum Keperdataan dan lain-lain. Kedudukan Kantor
Unit Pelayanan Terpadu menjadi sangat penting karena posisinya sebagai
pelaksana kebijakan Pemerintah Daerah melalui wewenangnya mengatur
perijinan, tak terkecuali dibidang perijinan pembangunan infrastruktur
telekomunikasi di daerah.
2. Hambatan-hambatan yang timbul berkenaan dengan pelaksanaan proses
perijinan pembangunan menara Base Transceiver Station (BTS)/Radio Base
Station (RBS) di wilayah Surakarta dan upaya-upaya untuk mengatasinya
Dalam menjalankan perannya tersebut tidak menutup kemungkinan
Kantor Unit Pelayanan Terpadu akan menemui hambatan-hambatan dalam
melaksanakan prosedur perijinan sampai pada pemberian ijin. Hambatan-
hambatan tersebut meliputi :
a. Kurangnya SDM yang mempunyai kemampuan di bidang terkait di
jajaran Pemerintah Daerah Kota Surakarta.
cviii
b. Pemerintah Daerah Kota Surakarta belum memiliki Peraturan Daerah
yang khusus mengatur keberadaan BTS/RBS, sedangkan Perda Kota yang
digunakan sebagai sebagian sudah tidak representatif, sedang dalam tahap
perubahan, sehingga ketentuan khusus tentang BTS/RBS dari provinsi
belum dapat digunakan.
c. Kesadaran para pelaku usaha
d. Biaya rekomendasi tinggi
e. Masyarakat lingkungan tempat usaha
Dangan adanya hambatan tersebut, maka baik Kantor Unit Pelayanan
Terpadu Secara khusus dan Pemerintah Daerah Kota Surakarta beserta
lembaga-lembaga dinasnya secara umum harus mampu mengambil tindakan
secara terpadu dan terkoordinir untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
Upaya-upaya yang ditempuh untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut
antara lain :
a. Meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar lembaga dalam jajaran
Pemerintah Daerah, dan mengadakan kerjasama dengan akadamisi
maupun lembaga-lembaga lainnya yang berkompeten guna mengatasi
kelemahan dibidang sumberdaya manusia.
b. Mengadakan optimalisasi sosialisasi tentang perijinan secara umum
maupun khusus beserta mekanismenya dengan baik.
c. Penggunaan dahulu peraturan daerah yang ada namun dilaksanakan
pengawasan yang ketat guna menghindari penyimpangan, diasmping juga
sebagai bahan masukan guna menyusun ketentuan peraturan yang lebih
representatif, bersamaan menunggu perda-perda terkait yang baru pada
tahap perubahan selesai.
d. Efisiensi biaya dengan penetapan biaya berdasarkan Perda yang berlaku
dan perumusan proses pemeriksaan secara efektif dan terkoordinasi
sehingga menghemat biaya.
cix
e. Mengadakan optimalisasi sosialisasi secara baik mengenai analisa
lingkungan, dan dampak-dampaknya. Melaksanakan sosialisasi informasi,
pengawasan, dan perlakuan yang tegas.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis dapat memberikan saran-
saran sebagai berikut :
1. Perlunya sosialisasi tentang perijinan secara umum maupun khusus beserta
mekanisme idealnya dengan terencana secara holistik dan terpadu di
lingkungan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat dengan metode
pendekatan menjunjung tinggi perilaku budaya mengutamakan tata nilai
kehidupan yang berlaku.
2. Perlunya sosialisasi tentang kondisi riil maupun administratif dan hal-hal
mengenai Kota Surakarta dan identitasnya guna menumbuhkan perasaan ikut
memiliki masyarakat, menghilangkan gap informasi, mendorong masyarakat
untuk mendukung dan berpartisipasi dalam perencanaan maupun pelaksanaan
pembangunan. Cara rillnya adalah dengan mengintegrasikan upaya tersebut
pada pelaksanaan program-program yang sudah ada, misalnya website
Pemerintah Kota, penyediaan informasi pada program taman belajar di
beberapa kelurahan, tabloid keluaran Pemerintah Kota, melangkapi buku-
buku informasi yang diedarkan oleh Badan Komunikasi dan Informasi (BIK),
dll.
3. Perlu adanya kerjasama dan koordinasi antar lembaga di jajaran Pemerintah
Daerah Kota Surakarta serta membuka partisipasi publik malului mekanisme
yang ada (Muskelbang, Muscambang, Muskotbang), guna merumuskan Perda
khusus mengatur keberadaan BTS/RBS yang representatif memuat mengenai
prosedur, hak-hak dan kewajiban vendor, hak-hak masyarakat di sekitar
menara BTS/RBS kewajiban dan kewenangan pemerintah berkenaan dengan
pembangunan menara BTS/RBS. Disamping itu juga perlu dicermati
cx
keberadaan perda-perda berpengaruh lainnya misalnya Perda Bangunan yang
sedang dalam tahap revisi untuk dilaksanakan tindakan aktif supaya juga
mengakomodasi masalah menara BTS/RBS ini.
4. Adanya pemikiran mengenai pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR)
dari pelaku usaha yang diorganisir serta diarahkan secara baik oleh Pemerintah
Daerah guna menunjang pembangunan infrastruktur publik. Dengan demikian
dapat diharapkan kontribusi dunia usaha yang terukur dan sistematis dalam
ikut meningkatan kesejahteraan masyarakat.
cxi
DAFTAR PUSTAKA Dari Buku
C.S.T. Kansil. 2001. Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
H.B Sutopo. Kansil. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press
Koesmadi Hardjasoemantri. 2002. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gajahmada Press
Philipus M. Hadjon.2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.Yogyakarta: Gajahmada University Press
R. Juniato. 1992. Perkembangan Pemerintahan Lokal. Jakarta: PT. Melton Putra
Utrecht.1994.Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Surabaya: Pusaka Tirtamas
Winarna Surya Adisubrata. 1999. Otonomi Daerah Di Era Reformasi. Yogyakarta: UUP AMP YKPN
Ni’matul Huda. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada
J.R.T Simorangkir. 2002.Kamus Hukum. Jakarta : Sinar Grafika
Bapeda Kota Surakarta. 2006. Surakarta Dalam Angka 2006
Agustaf. 2005. Profil Surakarta The Real Java. Jakarta/Surabaya : PT. Exatama Mediasindo
Haryono. 2000. Ilmu Negara. Surakarta : UNS Press
Dari Makalah/Penelitian
I Gusti Ayu KRH. Waluyo. 2007. “Kajian Hukum Pembangunan Menara (Tower) Jaringan Telepon Seluler (BTS) di Kota Surakarta”. Penelitian. Difasilitasi Bagian Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Kota Surakarta.
cxii
Tim Peneliti Citra Inti Semar. 2006. “Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Pemberian Ijin Tempat Usaha dan Retribusi Ijin Gangguan Tempat Usaha (HO), Ketenagakerjaan Kota Surakarta”. Penelitian. Difasilitasi Bagian Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Kota Surakarta.
Dari Koran
Pulsa. Hari Pitrajaya. “Nasib Industri Seluler di Tahun 2008” dalam Pulsa. Edisi 122 tahun V/2008/3-6 Januari : 44
Eddy Yuliarso. Sistem Telepon Selular Digital GSM. dalam Majalah Insinyur Indonesia, No. 23 Thn XV.
Dari Internet
Eka Putra, Cara Kerja Handphone. http://www.edukasi.net/artikel.pdf (07 April 2007)
Jiyoharjo Suwito. Telekomunikasi dan Upaya Menuju Masyarakat Informasi.