Top Banner
1
96

Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

Dec 27, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

1

Page 2: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

2

Diketik ulang oleh Dokter Muda Bagian Penyakit Syaraf FKUR-

RSUA Arifin Achmad Perode 7 Juli -9 Agustus 2014

Page 3: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

3

Page 4: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

4

Page 5: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

5

Page 6: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

6

Page 7: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

7

Page 8: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

8

Page 9: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

9

Page 10: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

10

EPIDEMIOLOGI EPILEPSI

Fitri Oktaviani, Herlyani Khosama

PENDAHULUAN

Epilepsi mnerupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukanb pada semua

umur dan dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas. Diduga terdapat sekitar 50 juta

orang dengan epilepsi didunia(WHO, 2012). Populasi epilepsi aktif (penderita dengan

bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan pengobatan) diperkirakan antara 4

hingga 10 /.1000 penduduk /tahun, dinegara berkembang diperkirakan 6 hingga 10/1000

penduduk.

PREVALENSI

Prevalensi dinegara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada negara maju.

Dilaporkan prevaqlensi dinegara maju berkisar antara 4-7 /1000 orang dan 5-74/1000

orang dinegara sedang berkembang. Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih

tinggi dibendingkan daerah perkotaan yaitu 15,4/1000 (4,8-49,6) dipedalaman dan 10,3

(2,8-37,7) diperkotaan.

Pada negara maju, prevalensi median epilepsi yang aktif (bangkitan dalam 5

tahun terakhir) adalah 4,9/1000 (2,3-10,3), sedanglkan pada negara berkembang

dipedalaman 12,7 /1000(3,5-45,5) dan diperkotaan 5,9 (3,4-10,2).2

dinegara Asia,

prevalensi epilkepsi aktif tertinggi dilap[orkan divietnam 10,7/1000 orang, dan terendah

ditaiwan 2,8/1000 orang.3,4

Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) dinegara maju diperkirakan

sekitar >0,9%, lebih dari decade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi

meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi dinegara berkembang lebih tinggi pada

usia decade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah

insiden yang rendah dan usia harapan hidup rata-rata dinegara maju lebih tinggi.

Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin dinegara-negara asia, dilaporkan laki-laki

sedikit lebih tinggi daripada wanita.3

Kelompok studi epilepsi perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Pokdi

Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada tahun

2013 selama 6 bulan. Didapatan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801 kasus

BAB 1

Page 11: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

11

lama. Rerata usia kasus baru adalah 25,06 ± 16,9 tahun, sedangkan rerata usia pada

kasus lama adalah 29,2 ± 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali ke

dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke

dukun dan tidak berobat.

INSIDENSI

Insidensi median epilepsi di dunia 50,4 per 100.000/tahun (33,6-75,6). Pada negara

dengan pendapatan per kapita yang tinggi, insidensi median 45,0 (30,3-66,7) dan paada

negara dengan pendapatan per kapita menengah dan rendah adalah 81,7 (28,0-239,5).5

Di Asia, contohnya adalah insidensi epilepsi di Cina adalah 35/100.000 orang

per tahun, dan di India 49,3/100.000 orang per tahun.3,6

Puncak insiden di negara Cina

(Shanghai) pada usia 10-30 tahun dan >60 tahun, sedangkan di India puncaknya pada

usia 10-19 tahhun.3

Insidens epilepsi di negara maju mengikuti distribusi bimodal dengan puncak

pertama pada usia balita dan puncak kedua pada usia 65 tahun.7Angka insiden di negara

maju dilaporkan >130/100.000 orang/tahun pada usia > 65 tahun, 160/100.000

orang/tahun pada usia >80 tahun. Insiden status epileptikus dilaporkan sebesar 60-

80/100.000 orang/tahun setelah usia 60 tahun, dengan angka mortalitas 2 kali lebih

besar dibandingkan dewasa muda. Sekitar 35% kasus epilepsi yang baru ditemukan

pada usia lanjut (>75 tahun) adalah status epileptikus.8,9

Pada negara sedang berkembang insidens epilepsi lebih tinggi sekitar (100-

190/100.000 orang/tahun). Distribusi bimodal tidak tampak pada negara berkembang.

Beberapa negara berkembang melaporkan puncak insiden epilepsi tertinggi pada usia

dewasa muda, tanpa peningkatan pada usia tua. 8,9,10

BEBAN SOSIAL DAN EKONOMI

Epilepsi memberikan beban kesehatan di dunia secara global sebesar 0,5%. Di India,

beban biaya pengobatan diperkirakan sebesar USD 344 per tahun per kasus epilepsi

(atau 88% dari rerata pendapatan per kapita penduduk). Biaya total yang diperlukan

untuk biaya pengobatan 5 juta kasus epilepsi adalah sama dengan 0,5% anggaran

belanja negara di India.1 Di negara maju seperti Amerika Serikat, biaya pengobatan

Page 12: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

12

epilepsi mencapai USD 12,5 triliun per tahun, 14% adalah biaya pengobatan langsung

dan 86% biaya tidak langsung.11

Di negara sedang berkembang, diperkirakan ¾ pasien epilepsi tidak

mendapatkan pengobatan yang diperlukan. Sekitar 9 dari 10 pasien epilepsi di Afrika

tidak mendapatkan pengobatan (treatment gap). Di beberapa negara dengan pendapatan

rendah dan menengah, ketersediaan obat antiepilepsi (OAE) sangat rendah dan harga

OAE relative mahal. Ketersediaan OAE generic sekitar kurang dari 50%.1

MORTALITAS

Angka mortalitas akibat epilepsi di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi

dibandingkan negara maju. Di Laos dilaporkan case fatality rate mencapai 90,0 per

1000 orang pertahun . Angka mortalitas epilepsi pada anak di Jepang dilaporkan 45 per

1000 orang pertahun. Di Taiwan 9 per 1000 orang pertahun , dimana orang dengan

epilepsi memiliki resiko kematian 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi normal.3

Insiden SUDEP (Sudden Unexpected Death) mencapai 1,21/1000 pasien, wanita

leboih tinggi darai laki-laki. Jenis bangkitan dengan risiko SUDEP tertinggi adalah

tonik klonik.10

Page 13: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

13

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Epilepsi. WHO fact sheet October 2012; number 999. Available at: http://

www.who.int/mediacentre/factsheet/fs 999/en/. Diunduh pada tanggal 28 Februari

20014.

2. Ngugi AK, Bottomley C, Kleinschmidt I, Sander JW, Newton C.Estimation of

the burden of active and life epilepsi: A meta analytic approach. Epilepsi 2010;

51(5): 883-90.

3. Li SC, Schoenberg BS, Wang CC, Cheng XM, Zhou SS, Bolis CL. Epidemiology

of epilepsi in urban areas of people‘s republic of China. Epilepsia 1985; 26(5):

391-4.

4. Mac TL, Tran DC, Quet F, Odermatt P, Peux PM, Tan CT. Epidemiolog,

aetology, and clinical management of epilepsi in Asia: A systematic review.

Lancet Neurol 2007; 6: 533-43.

5. Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Epidemiuologi pasien epilepsi di 18 rumah

sakit di Indonesia. 2003 (data primer)

6. Ngugi AK, Kariuki SM, Bottmley C, Kleinshmidt I, Sander JW, Newton CR.

Incidence of Epilepsi: A Systematic review and meta analysis. Neurology 2011;

77: 1005: 31-2.

7. Lim SH. Seizures and epilepsi in the elderly: Epidemiology and etiology of

seizures and epilepsi in the elderly in Asia. Neurology Asia 2004; 9 (Suppl.1): 31-

2

8. Banerjee PN, Filipi D, Hauser WA, The descriptive epidemiogy of epilepsi- a

review. Epilepsi Res. 2009; 85(1): 31-45.

9. Li S, Wang X, Wang J. Cerebrovascular disease and post-traumatic epilepsi.

Neurol Asia 2004; 9(suppl): 12-3.

10. Hui AC, Kwan P. Epidemiology and management of epilepsi in Hong Kong: an

overview. Seizure 2004; 13: 244-6

11. Cardarelli WJ, Pharm D, Smith BJ. The burden of epilepsi to patiens and payer.

Am J Manag Care 2010 Dec; 16 (12 Suppl): S331-6.

Page 14: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

14

DEFINISI, KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI EPILEPSI

Kurnia Kusumastuti, Mudjiani Basuki

DEFINISI

Definisi konseptual:1

o Epilepsi:

Kelainan otak yang ditandai dengan kecendrungan untuk menimbulkan

bangkitan epileptic yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis,

kognitif, psikologis, dan sosial.

Definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptic.

o Bangkitan epileptik:

Terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang

abnormal dan berlebihan di otak.

Definisi operasional/definisi praktis 1

Epilepsi adalah suatu penyakt otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut:

1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan

jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.

2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan

terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal

60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa profokasi/ bangkitan refleks (misalkan

bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan

pertama pada anak yang disertai lesi structural dan epileptiform dischargers)

3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.

Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus

spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitf, dan somatomotor.2

KLASIFIKASI

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi (ILAE) terdiri

atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi

untuk sindrom epilepsi.

BAB 2

Page 15: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

15

Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi3

1. Bangkitan parsial/fokal

1.1 Bangkitan parsial sederhana

1.1.1. Dengan gejala motorik

1.1.2. Dengan gejala somatosensorik

1.1.3. Dengan gejala otonom

1.1.4. Dengan gejala psikis

1.2 Bangkitan parsial kompleks

1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran

1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan

1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum

1.3.2 Parsial kompleks menjadi umum

1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum

2. Bangkitan umum

2.1 Lena (absence)

2.1.1 Tipikal lena

2.1.2 Atipikal lena

2.2 Mioklonik

2.3 Klonik

2.4 Tonik

2.5 Tonik-klonik

2.6 Atonik/astatik

3. Bangkitan tak tergolongkan

Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi4

1. Fokal/partial (localized related)

1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)

1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal

(childhood epilepsi with centrotemporal spikesI)

1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital.

1.1.3 Epilepsi prmer saat membaca (primary reading epilepsi)

1.2 Simtomatis

1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak

(Kojenikow’s Syndrome)

Page 16: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

16

1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan

(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,

stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)

1.2.3 Epilepsi lobus temporal

1.2.4 Epilepsi lobus frontal

1.2.5 Epilepsi lobus parietal

1.2.6 Epilepsi oksipital

1.3 Kriptogenik

2. Epilepsi umum

2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)

2.1.1 Kejang neonates familial benigna

2.1.2 Kejang neonates benigna

2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

2.1.4 Epilepsi lena pada anak

2.1.5 Epilepsi lena pada remaja

2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja

2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga

2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas

2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik

2.2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)

2.2.1 Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)

2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut

2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik

2.2.4 Epilepsi mioklonik lena

2.3 Simtomatis

2.3.1 Etiologi nonspesifik

Ensefalopati mioklonik dini

Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst suppression

Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas

2.3.2 Sindrom spesifik

2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum

Page 17: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

17

3.1 Bangkitan umum dan fokal

3.1.1 Bangkitan neonatal

3.1.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi

3.1.3 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam

3.1.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)

3.1.5 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas

3.2 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4. Sindrom khusus

4.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu

4.1.1 Kejang demam

4.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated

4.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau

toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik.

4.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik)

ETIOLOGI EPILEPSI

Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:5

1. Idiopatik: tidak terdapat les structural di otak atau deficit neurologis. Diperkirakan

mempunyai predisposisi genetic dan umumnya berhubungan dengan usia.

2. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk di

sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik.

Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada otak,

misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang,

gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), metabolic, kelainan

neurodegeneratif.

Page 18: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Fisher S.G; Acevedo C; Arzimanoglou A et.al. A Practical Clinical Definition of

Epilepsi. Epilepsia 2014: 1-8

2. Rudolf G; Valenti MP; Hirsch E. Genetic Reflex Epilepsies. Orphanet Encyclopedia,

March 2004. http//www.orpha.net/data/patho/GB/uk-GeneticReflexEpilepsies.pdf

3. Commission on Classification and Terminology of the International Leage Against

Epilepsi. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic Classification

of Epileptic Seizure. Epilepsia 1981; 22: 489-501

4. Commission on Classification and Terminology of International Leage Against

Epilepsi. Proposal for Revised Classsification of Epilepsies and Epileptic Syndrome.

Epilepsia July-August 1989; 30(4):389-99.

5. Panayiotopoulus CP. The Epilepsies Seizure, Syndrome and Management. Blandom

Medical Publishing. UK; 2005; 1-26.

Page 19: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

19

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Astri Budikayanti, Wardah Rahmatul Islamiyah, Nova Dian Lestari

DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1

Ada tiga langkah dalammenegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:1

1. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptic

2. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE

1981

3. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi

ILAE 1989

Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis

adalah sebagai berikut:

1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata

mengenai hal-hal terkait dibawah ini:2

a. Gejala dan tanda sebelum, salam, dan pascabangkitan:

Sebelum bangkitan/ gajala prodomal

o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan

terjadinya bangkitan, misalnya perubahan prilaku, perasaan

lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitive,

dan lain-lain.

Selama bangkitan/ iktal:

o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal

bangkitan?

o Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata,

gerakan kepala, gerakan tubuh , vokalisasi, aumatisasi,

gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,

bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,

berkeringat, dan lain-lain. ( Akan lebih baik bila keluarga

BAB 3

Page 20: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

20

dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam

video saat bangkitan)

o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?

o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya

o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat

tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-

lain.

Pasca bangkitan/ post- iktal:

Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s

paresis.

b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,

alkohol.

c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang

antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan.

d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya

i. Jenis obat antiepilepsi

ii. Dosis OAE

iii. Jadwal minumOAE

iv. Kepatuhan minum OAE

v. Kadar OAE dalam plasma

vi. Kombinasi terapi OAE

e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik

maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun

komorbiditas.

f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga

g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang

h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam

i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis2

Pemeriksaan fisik umum

Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:

Page 21: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

21

- Trauma kepala

- Tanda-tanda infeksi

- Kelainan congenital

- Kecanduan alcohol atau napza

- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)

- Tanda-tanda keganasan.

Pemeriksaan neurologis3

Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat

berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah

bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak

jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:

- Paresis Todd

- Gangguan kesadaran pascaiktal

- Afasia pascaiktal

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada

dugaan suatu bangkitan untuk:

o Membantu menunjang diagnosis

o Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom epilepsi.

o Membatu menentukanmenentukan prognosis

o Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.

Pemeriksaan pencitraan otak

Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi

tinggi ( minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif

berbagai macam lesi patologik misalnya mesial temporal sclerosis,

glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET ( dysembryoplastic

neuroepithelial tumor ), tuberous sclerosiss.4

Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET),

Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic

Page 22: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

22

Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan

informasi tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan

perubahan aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan.4

Indikasi pemeriksaan neuroimaging( CT scan kepala atau MRI kepala)

pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali

pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini

adalah untuk mencari adanya lesi structural penyebab kejang. CT scan

kepala lebih ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan, karena teknik

pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak MRI kepala diutamakan untuk

kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi

kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi

structural, maka MRI lebih sensitive dibandingkan CT scan kepala.5

Pemeriksaan laboratorium

o Pemeriksaan hematologis

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,

hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium,

kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi

hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.

- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam

menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE

- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi

samping OAE

- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor

samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek

samping OAE.6

o Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma

saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis

terapi maksimal atau untuk memonitorkepatuhan pasien.6

Pemeriksaan penunjang lainnya5

Dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:

o Punksi lumbal

Page 23: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

23

o EKG

DIAGNOSIS BANDING6

Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptic, seperti pingsan

(Syncope), reaksi konversi, panik dan gerakan movement disorder. Hal ini sering

membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan pengobatannya. Tabel 3.1

menunjukkan beberapa pembeda antara kejang epileptic dengan berbagai kondisi yang

menyerupainya.

Page 24: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

24

Page 25: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

25

Page 26: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

26

Page 27: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

27

Page 28: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

28

Page 29: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

29

Page 30: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

30

Page 31: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

31

DIAGNOSIS BANDING SINDROM EPILEPSI8,9,10

Apabila diagnosis epilepsi sudah dapat ditegakkan, maka kita akan dihadapkan pada

berbagai sindromepilepsi. Penentuan sindrom yang tepat sangat mempengaruhi

keberhasilan terapi.sindrom epilepsi memiliki beberapa perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Panayiotopoulos CP. The Epilepsies Seizure, Syndromes and Management.

Blandom Medical Publishing. UK; 2005; 1-26

2. Steinlein, OK. Genetic Mechanisms That Underlie Epilepsi. Neuroscience

2004; 400-408.

3. Engel J. Fejerman N, Berg AT, Wolf P. Classification of Epilepsi. In Engel

J, Pedley TA. Epilepsi A Comprehensive Textbook 2nd

Ed. Voln one.

Lippincott Williams & Wilkins. USA; 2008; 767-772.

4. Molshe SL, Pedley TA. Overview: Diagnostik Evaluation In Epilepsi, A

comprehensive Texbook/ editors Jerome Engel JR. Tomothy A. Pedley, 2nd

ed, Vol I, Lippincott Williams & Wilkins, 2008, pp: 783-784.

5. Leppik, IE. Laboratory Tests. In Epilepsi A Comprehensive Textbook/

editors Jerome Engel JR. Tomothy A Pedley, 2nd

ed, Vol I. Lippicott

Williams & Wilkins, 2008, pp: 791-796.

6. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and Management of

Epilepsi in Adults A national Clinical Guideline. SIGN.2003.

7. NICE. The Epilepsies: The diagnosis and management of the Epilepsies in

adult and children in primary and secondary care. NICE Clinical Guideline.

2012. pp 76-79.

8. Harsono. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi dan Penjelasannya dalam Epilepsi.

Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press. 2007. Hal: 26-35.

9. Wyllie E. Appendix Proposal for Revised classification of Epilepsies and

Epileptic Syndrome in the Treatment of Epilepsi; Principles and Practice,

Philadelphia/Lodon, 1993, pp: 494-497.

10. Khalil BA, Misulis KE. Pattern of EEG Activity in Certain Forms of

Epilepsi in Atlas of EEG and Sezure Semiology, Philadelphia, 2006, pp:

153-154.

TERAPI

BAB 4

Page 32: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

32

Suryani Gunadharma, Endang Kustiowati, Machlusil Husna

Setelah membuat diagnosis yang tepat, hal yang perlu diperhatikan sebelum

menentukan terapi obat anti epilepsi (OAE) adalah berapa besar kemungkinan

terjadinya bangkitan berulang, berapa besar kemungkinan terjadinya konsekuensi

psikososial, masalah pekerjaa, atau keadaan fisik akibat bangkitan selanjutnya dan

pertimbangkan untung rugi antara pengobatan dan efek samping yang ditimbulkan.

Ketepatan diagnosis merupakan dasara terapi, diagnosis yang kurang tepat dapat

menyebabkan terapi yang tidak tepat juga.1,2,3

TUJUAN TERAPI

Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup

normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandangmental yang dimilikinya.

Harapannya adalah ‖bebas bangkitan, tanpa efek samping‖. Untuk tercapainya tujuan

tersebut diperlukan beberapa upaya, antara samping/dengan efek samping yang

minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian.4-6

Terapi pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi.

PRINSIP TERAPI FARMAKOLOGI 3-9

OAE diberikan bila

o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan

o Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun

o Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan

pengobatan.

o Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek

samping yang timbul dari OAE.

o Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah dihindari (misalnya:

alcohol, kurang tidur, stress, dll)

Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis

bangkitan (Tabel 1) dan jenis sindrom epilepsi (Tabel 2).

Pemberian obat dimulai dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai

dosis efektif tercapai atau timbul efek samping (Tabel 3).

Kadar obat dalam plasma ditentukan bila:

Page 33: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

33

o Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif

o Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh kehamilan,

penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE)

o Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan

o Setelah penggantian dosis/regimen OAE

o Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.

Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol

bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya bila OAE telah mencapai

kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off). Bila terjadi

bangkitan saat penurunan OAE pertama maka kedua OAE tetap diberikan. Bila

responsyang didapat buruk, kedua OAE hareus diganti dengan OAE yan g lain.

Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan OAE kedua,

tetapi respons tetap suboptimal walaupun pergunaan kedua OAE pertama sudah

maksimal.9

OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama

Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila

kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:10,11

o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG

o Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan

bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak ensafalitis

herpes.

o Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya

kerusakan otak

o Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)

o Riwayat bangkitan simtomatis

o Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi seperti JME

(Juvenile Myoclonic Epilepsi)

o Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran stroke,

infeksi SSP

o Bangkitan pertama berupa status epileptikus

Page 34: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

34

Efek samping OAE perlu diperhatikan (Tabel 4.4), demikian pula halnya dengan

profil farmakologis tiap OAE (Table 4.5) dan interaksi farmnakokinetik antar-OAE

(Tabel 4.6)

Strategi untuk menceghah efek samping:

o Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang

o Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu pada

sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang.

JENIS OBAT ANTIEPILEPSI DAN MEKANISME KERJANYA

Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek samping

OAE, profil farmakologi, interaksi antara OAE.

Tabel 4.1 Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan 13,14

OAE Bangkitan

fokal

Bangkitan

umum

sekunder

Bangkitan

tonik

klonik

Bangkitan

lena

Bangkitan

Mioklonik

Phenytoin + (A) + (A) + (C) - -

Carbamazepine + (A) + (A) + (C) - -

Valproic acid + (B) + (B) + (C) + (A) +(D)

Phenobarbital + (C) + (C) + (C) 0 ? +

Gabapentin + (C) + (C) ?+ (D) 0 ?-

Lamotrigine + (C) + (C) + (C) + (A) +-

Topiramate + (C) + (C) + (C) ? ? + (D)

Zonisamide + (A) + (A) ?+ ? + ? +

Levetiracetam + (A) + (A) ?+ (D) ? + ? +

Oxcarbamazepine + (C) + (C) + (C) - -

Clonazepam + (C) - - - -

Level of confidence:

A: efektif sebagai monoterapi; B: sangat mungkin efektif sebagai monoterapi; C:

mungkin efektif sebagai monoterapi; D: berpotensi untuk efektif sebagi monoterapi

Page 35: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

35

Page 36: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

36

Page 37: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

37

Page 38: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

38

Page 39: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

39

Page 40: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

40

Page 41: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

41

Page 42: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

42

Page 43: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

43

PENGHENTIAN OAE5,6,18

Pada dewasa; penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3-5

tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien.

Dalam hal penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu

syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhan bangkitan setelah

OAE dihentikan.

Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:

Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal

Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.

Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangkat

waktu 3-6 bulan

Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang

bukan utama.

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada

keadaan sebagai berikut:5,19,20

Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi

Epilepsi simtomatis

Gambaran EEG yang abnormal

Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE

Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat jarang pada sindrom

epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada

epilepsi lena masa anak kecil,25-75%, epilepsi parsial kriptogenik/simtomatis, 85-

95% pada epilepsi mioklonik pada anak, dan JME.

Penggunaan lebih dari satu OAE.

Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan kekambuhan lebih kecil

pada penyandang yang telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari lima

tahun).20

Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum

pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluassi kembali.

Rujukan ke spesialis epilepsi perlu ditimbangkan bila:6

Tidak responsive terhadap 2 OAE pertama

Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi

Page 44: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

44

Berencana untuk hamil

Dipertimbangkan untuk penghentian terapi.

TERAPI TERHADAP EPILEPSI RESISTEN OAE

Yang dimaksud dengan epilepsi resisten OAE adalah kegagalan setelah mencoba dua

OAE pilihan yang dapat ditoleransi, dan sesuai dosis ( baik sebagai monoterapi atau

kombinasi) yang mencapai kondisi bebas bangkitan.21

Sekitar 25-30% penyandang akan berkembang menjadi epilepsi resisten OAE.22

Penanganan epilepsi resisten OAE mencakup hal-hal sebagai beriku:23

Kombinasi OAE

Mengurangi dosis OAE ( pada OAE induced seizure)

Terapi bedah (dibicarakan di Bab 8)

Dipikirkan penggunaan terapi nonfarmakologis.

Terapi NonFarmakologis

Stimulasi N.Vagus8,32

Terapi ajuvan untuk mengurangi frekuensi bangkitan pada penyandang epilepsi

refrakter usia dewasa dan anak-anak yang tidak memenuhi syarat operasi. Dapat

digunakan pada bangkitan parsial dan bangkitan umum.

Deep Brain Stimulation

Diet ketogenik8

Intervensi Psikologi

Relaksasi, behavioral cognitive therapy, dan biofeedback

Tabel 4.7 Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsi resisten OAE

Kombinasi OAE Indikasi

Sodium Valproat+etosuksimid

Karbamasepin+sodium valproat

Sodium Valproat+Lamotrigin

Topiramat+Lamotrigin

Bangkitan Lena

Bangkitan parsial/ kompleks

Bangkitan parsial/ Bangkitan umum

Bangkitan parsial/ Bangkitan umum

STATUS EPILEPTIKUS

Definisi

Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit, atau

adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat

Page 45: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

45

pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai

bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE merupakan

keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan terapi segera guna

menghentikakn bangkitan ( dalam waktu 30 menit).24-26

Dikenal dua tipe SE; SE

konvusif (terdapat bangkitan motorik) dan SE non-konfusif (tidak terdapat bangkitan

motorik).

Definisi Operasional Status Epileptikus Konvulsif8

Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit, atau

bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan.

Definisi Status Epileptikus Nonkonvulsif8

Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan

elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis nonmotorik

termasuk perubahan perilaku atau “ awareness”.

SE dibedakan dari bangkitan serial ( frequent seizures), yaitu bangkitan tonik

klonik yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.

Klasifikasi Status Epileptikus

Berdasarkan klinis:

- SE fokal

- SE general

Berdasarkan durasi:

- SE Dini( 5-30 menit)

- SE menetap/ Established(>30 menit)

- SE Refrakter ( bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis

antikonvulsan awal dengan dosis adekuat )

Status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua kelompok utama:

- SE-NK Umum

- SE-NK fokal

PENGELOLAAN STATUS EPILEPTIKUS KONVULSIF

Pengelolaan sebelum sampai di Rumah Sakit

Pemberian benzodiazepine rectal/midazolam buccal merupakan terapi yang utama

selama diperjalanan menuju rumah sakit.

Segera panggil ambulans pada kondisi berikut:8

Page 46: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

46

- Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan

- Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan serial/bangkitan

konvulsivus.

- Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi, atau tanda vital

lain.

Terapi OAE harus diberikan bersama sama dengan terapi emergensi. Pilihan

obat tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis. Apapun OAE yang

digunakan sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila phenitoin atau

Phenobarbital telah diberikan pada terapi emergensi, dosis rumatan dapat diberikan

secara oral atau intravena dengan monitor kadar obat dalam serum. OAE rumatan lain

dapat diberikan dengan dosis loading peroral. Bila pasien sudah bebas bangkitan selala

12-24 jam dan terbukti kadar obat dalam plasma adekuat, maka obat anestesi dapat

diturunkan perlahan.8

Tabel 4.8 Protokol penanganan status epileptikus konvulsif8

Pemeriksaan Umum

Stadium 1 (0-10 menit) SE Dini

Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi

Berikan oksigen

Periksa fungsi kardiorespirasi

Pasang infuse

Stadium 2 (0-30 menit)

Monitor pasien

Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptic

Terapi antiepilepsi emergensi

Pemeriksaan emergensi (lihat di bawah)

Berika glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v bila ada kecurigaan

penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi

Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat

Stadium 3(0-60 menit) SE Menetap

Pastikan etiologi

Siapkan untuk rujuk ke ICU

Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi

Vasopressor bila diperlukan

Stadium 4 (30-90 menit)

Pindah ke ICU

Perawatan intensif dan monitor EEG

Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan

Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang

Page 47: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

47

Lanjutan Tabel 4.8.

Pemeriksaan Umum

Pemeriksaan emergensi

Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium, magnesium,

darah lengkap, faal hemostasis, kadar obat antiepilepsi. Bila diperlukan pemeriksaan

toksikologi bila penyebab status epileptikus tidak jelas. Foto toraks diperlukan untuk

evaluasi kemungkinan aspirasi. Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa

meliputi pencitraan otak dan dan pungsi lumbal

Pengawasan

Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas darah, pembekuan darah,

dan kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas ICU penuh dan dirawat oleh ahli

anestesi bersama ahli neurologi.

Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan

kemungkinankan status epilepsi nonkonvulsif. Pada status epileptikus konvulsif

refrakter, tujuan utama adalah supresi aktivitas epileptik pada EEG, dengan tujuan

sekunder adalah munculnya pola burst suppression.

Tabel 4.9 OAE untuk status epileptikus konvulsif8,30,31

Stadium premonitor

(sebelum ke rumah

sakit)

SE Dini

SE Menetap

SE Refraktera

Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat diulangi 15 menit

kemudian bila kejang masih berlanjut, atau midazolam 10

mg diberikan intrabuccal( belum tersedia di Indonesia. Bila

bangkitan berlanjut, terapi sebagai berikut.

Lorazepam (intravena) 0,1 mg/kgBB( dapat diberikan 4 mg

bolus, diulang satu kali setelah 10-20 menit).

Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien sudah pernah

mendapat terapi OAE

Bila bangkitan masih berlanjut terapi sebagai berikut

dibawah ini.

Phenytoin i.v dosis of 15-18 mg/kg dengan kecepatan

pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus Phenobarbital 10-15

mg/kg i.v dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit.

Anestesi umum dengan salah satu obat dibawah ini:

- Propofol 1-2 mg/KgBB bolus, dilanjutkan 2-10

mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE terkontrol

- Midazolam 0,1-0,2 mg/kg bolus, dilanjutkan 0,05-0,5

mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE terkontrol

- Thiopental sodium 3-5 mg/kg bolus , dilanjut 3-5

mg/kg/jam dititrasi naik sampai terkontrol

Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus diturunkan

karena saturasi pada lemak.

Anastesi dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan

klinis atau ektrografis terakhir, kemudian dosis

diturunkan perlahan a Anastesi umum dilakukan 60/90 menit setelah terapi awal gagal

Page 48: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

48

Page 49: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

49

Page 50: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

50

STATUS EPILEPTIKUS NON KONVULSIF27

Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE

Dapat dibagi menjadi SE lena, SE Parsial kompleks, SE nonkonvulsivus pada

penyandang dengan koma, dan SE pada penyandang dengan gangguan belajar

Pemilihan terapi untuk status epileptikus nonkonvulsivus bermacam macam

sesuai jenis bangkitan (tabel 10).

Tabel 4.10 Terapi status epileptikus (SE) non konvulsivus

Tipe Terapi pilihan Terapi lain

SE Lena

SE Parsial kompleks

SE Lena atipikal

SE Tonik

SE nonkonvulsivus pada

penyandang koma

Benzodiazepin I.V./ oral

Clobazam oral

Valproate oral

Lamotrigine oral

Phenytoin i.v. atau

Phenobarbital

Valproate i.v

Lorazepam/Phenytoin/

Phenobarbital i.v.

Benzodiazepine

Lamotrigine, topiramate,

methylphenidate, steroid

oral

methylphenidate, steroid

Anestesia dengan

thiopentone, Phenobarbital,

propofol atau midazolam

Dosis OAE pada SE Non Konvulsif8,29

SE lena biasanya bisa dihentikan dengan benzodiazepine intravena: diazepam 0,2-0,3

mg/kg, atau clonazepam 1 mg (0,25-0,5 mg pada anak-anak) atau lorazepam 0,07

mg/kg(0,1 mg/kg pada anak), dapat diulangi bila diperlukan. Bila terapi ini tidak efektif,

mungkin bisa diberikan fenitoin atau valproat intravena. Pada epilepsi lena pada anak,

terapi rumatan dengan valproat atau ethosuximide diberikan setelah status terkontrol.

Kondisi ini sering disebabkan oleh putus obat( khususnya obat psikotropik atau

benzodiazepine), dan dapat dietrapi dengan diazepam atau lorazepam intravena. Terapi

rumatan jangka panjang biasanya tidak diperlukan.

SE parsial kompleks paling baik diterapi dengan benzodiazepine. Terdapat

kontroversi tentang perlunya pemberian intravena pada kasus ini, pada kebanyakan

kasus terapi oral member hasil yang cukup baik. Beberapa rekomendasi terapi SE-NK

dapat dilihat pada tabel11.

Page 51: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

51

Page 52: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

52

Page 53: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

53

DAFTAR PUSTAKA

1. David W. Chadwick, Roger J. Porter, Emilio Perucca, John M. Pellock:

Overview: General approaches to treatment. In Engel J, Pedley TA. Epilepsi A

Comprehensive Textbook 2nd

Ed.Vol one. Lippincott Williams & Wilkins. USA

1117-1118.

2. John M. Freeman, Timothy A. Pedley. Indications for treatment. In Engel J,

Pedley TA. Epilepsi A Comprehensive Textbook 2nd

Ed.Vol one. Lippincott

Williams & Wilkins. USA 1119-1123.

3. Panayiotopoulos CP.General Aspects on the Diagnosis of Epileptic Seizures

and Epileptic Syndrome in Clinical Guide to Epileptic syndrome and their

Treatment. Based on the new ILAE diagnostic cheme. Ozfordshire: Blandon

Medical Publishing, 2010, pp: 172-199

4. Lawrence J, Hirsch, Timothy A. Pedley. Goals of Therapy. In A Comprehensive

Textbook 2nd

Ed.Vol.1. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.2008;

1125-1128.

5. Dulac O, Leppik IF. Initiating and Discontinuing Treatment in Comprehensive

Textbook Epilepsi. Lippincott-Raven 1st

ed. Philadelphia.1998; 1237-46

6. Brodie MJ,Schacter SC,Kwan P. Fast Facts: Epilepsi 3rd

Ed. Health Press

Limited. UK 2005:37-84

7. Cockerell OC.Shorvon OD.Epilepsi current concepts. London: current Medical

Literature 1996.

8. National institute of clinical Excellence. The epilepsies: the diagnosis and

management of the epilepsies in adult and children in primary and secondary

car. NICE Clinical guideline 137. London January,2012

9. KwanP, Schacter SC, Brodie MJ. Drug resistant epilepsi. New England Journal

Medicine 2011: 365: 919-26. (Supplementary appendix)

10. Gummit RJ. The Epilepsi Handbook: The practical management of seizure. 2nd

ed. New York: Raven Press 1995: 12-22

11. Perucha E. General Principles of Mediacal Treatment. In Sorvon S, Perucha E,

Fish D, Dodson E. The Treatment of Epilepsi 2nd

ed. Blacwell science. USA

2004; 139-160

Page 54: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

54

12. Walker MC.Shorvon SD. Emergency Treatment of seizures and status

epilepticus. In the Treatment of Epilepsi 2nd

ed. Blackwell science. USA 2004;

227-43

13. Menachem EB, French JA. Choice of antiepileptic drug. In in epilepsi A

Comprehensive Textbook /editors Jerome Engel JR., Tomothy A. Pedley, 2nd

ed,

vol 1, Lippincot Williams & Wilkins, 2008,pp: 1295-1300

14. Tracy Glauser, Elinor Ben-Menachem, blaise burgeois, Avital Cnaan, CARLOS

Guerreiro , Reeta Ka‘‘lvia‘‘inen, RICHARD matson, Jacquiline A. French,

Emilio Perruca, Torbjorn Tomson for the ILAE subcommission of AED

Guideline updated ILAE evidence review of antiepileptic drug efficacy and

effectiveness as initial monotherapy for epileptic seizure drug syndromes.

Epilepsia: 1-13,2013.

15. Ballaban Gill K, Jacquiline A. French. Selection of antiepileptic Drugs.

Continum, August 2004.10(4); 80-89

16. Roger J, Porter, David C. Overview: General approach to treatment, in: Engel J,

Pedley TA. epilepsi A Comprehensive Textbook Lippincot Raven , Philadelphia.

1997; 1101-6

17. Brodie MJ, Dicter MA. Antiepileptic Drug . N Eng J Med.1996;334:168-175

18. Sorvon S Handbook Epilepsi of Treatment. Blacwell science. Toronto 2000;34-

84

19. Devinsky O. Patient with Refractory seizures. N Eng J Med. 1999;340:1565-70

20. Medical Research Council anti epileptic dryg withdrawal in patients in

remission. Lancet 1991;337:1175-80

21. Patrick Kwan, Alexis Arzimanoglou, Anne T berg, Martin J. Brodie w, Allen

Hauser, Gary Mathern, Solomon L. Moshe‘, Emilio Perucca, Samuel Wiebe,

Jacqqquiline French. Definition of drug resistant epilepsi: Consensus Proposal

by the ad hoc Task Force of the ILAE commission of theraupetic strategies

epilepsia, 51(6): 1069-1077, 2010.

22. Leppik IE. Intractable Epilepsi In adult in intractable seizure. Diagnosis

treatment and prevention. Advances in experimental medicine and biology.2002.

Vol 497:1-7

Page 55: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

55

23. Alving j. what is Intractable Epilepsi? In Johannesen si, gram I, Sillapa M,

Thomson T, Intractable Epilepsi. UK. Wrigton Biomedical Publishing 1995;1-

12

24. Manford M. Status epilepticus in practical guide to epilepsi. Burlington.

Butterworth Heinemann Elsevier sciences 2003:243-64

25. Fountain n. Treatment of status epilepticus. American Academy of Neurology,

55th

annual meeting 2003.

26. Working group on status epilepticus. Treatment of convulsive status epilepticus

Reccomendations of the epilepsi Foundations of america‘s working group on

status epilepticus. JAMA1993;270:854-9

27. Shorvon OD. Status epilepticus its clinical features and treatment in children and

adult. Cambridge university press; 1995

28. Chen jw, Wasterlain CG. Status Epilepticus: pathofiology and Management in

adult. Lancet Neurol 2006; 246-56

29. Rueg S. Non convulsive status epilepticus in adult-an overview, Schweizer

archive fur neurologie und psychiatrie.2008

30. Holtkamp M. Treatment strategies for refractory status epilepticus: current

opinion in critical care 2011,17:94-100

31. shorvon s, Ferlisis M. The treatment of super refractory status epilepticus critical

review of available therapies and clinical treatment protocol.Brain 2011:1-17

32. Morris GI, Gloss D. Buchhalter J, Mack KJ, Nickels K, Harden c. Evidence –

based guideline update: Vagus nerve stimulation for the treatment of epilepsi.

report of guideline development subcommittee of the American Academy of

Neurology 2013: 81:1-7

Page 56: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

56

EPILEPSI PADA PEREMPUAN

Diah Kurnia Mirawati, Karema Winifred, Meiti Frida

Epilepsi pada perempuan memperlihatkan hal yang unik terkait dengan interaksi

antara hormone endokrin dan mekanisme epilepsi. Kedua hal tersebut saling

mempengaruhi, yaitu hormon endokrin berpengaruhi, yaitu hormon endokrin

berpengaruh terhadap epilepsi, demikian pula sebaliknya.1

Berdasarkan perubahan fisiologis yang terjadi pada perempuan, akan dibahas :

Epilepsi pada pubertas

Epilepsi pada menstruasi (epilepsi katamenial)

Epilepsi pada kehamilan

Epilepsi pada persalinan

Epilepsi pada menyusui

Epilepsi pada penggunaan kontrasepsi

Epilepsi pada menopause

EPILEPSI PADA PUBERTAS

Beberapa jenis bangkitan epilepsi terjadi pertama kali pada saat pubertas, sementara

jenis epilepsi yang lain membaik. Hal ini kemungkinan terkait dengan yang terjadi saat

pubertas.1,2

Pemilihan obat antiepilepsi (OAE) pada masa pubertas harus memperhatikan

efek OAE terhadap hormon endokrin yang berakibat gangguan reproduksi. Gangguan

reproduksi tersebut akibat dari beberapa kelainan seperti gangguan menstruasi, sindrom

polikistik ovarium, gangguan fertilitas dan gangguan seksualitas. 3

EPILEPSI PADA MENTRUASI ( EPILEPSI KATAMENIAL )

Defenisi epilepsi katamenial adalah peningkatan bangkitan epilepsi dua kali lebih sering

dibanding rata-rata frekuensi bangkitan epilepsi harian yang terjadi pada saat

perimenstrual, sekitar fase ovulasi atau selama fase luteal yang inadekuat.4

Catatan

harian tentang bangkitan epilepsi dan siklus mentruasi serta pengukuran suhu tubuh

basal harian dapat digunakan untuk diagnosis epilepsi pada katamenial. Kadar

progesterone dapat digunakan untuk mengidentifikasi fase luteal yang inadekuat.5,6

Terapi Epilepsi Katamenial

BAB 5

Page 57: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

57

Sampai saat ini belum ada terapi yang spesifik untuk epilepsi katamenial. Beberapa

terapi yang bias membantu mengurangi frekuensi bangkitan epilepsi adalah sebagai

berikut.

Tambahkan OAE yang bekerja cepat seperti Klobazam. Dosis Klobazam 20-30

mg/hari diberikan 10 hari selama periode mentruasi,7,8

Asetazolamid, dosis 250-500 mg perhari, diberikan pada 5-7 hari sebelum dan

selama menstruasi.6,9.

Terapi hormone menggunakan progesterone, metabolit progesterone, dan

antagonis estrogen.6

EPILEPSI PADA KEHAMILAN

Kehamilan berkaitan dengan peningkatan kadar estrogen dan progesterone yang

bermakna serta perubahan metabolism hormone dan obat antiepilepsi. Kedua hal

tersebut akan memengaruhi frekuensi bangkitan.1

Epilepsi pada kehamilan dapat

menyebabkan komplikasi maternal dan fetal/neonatal. Komplikasi maternal yang dapat

terjadi, yaitu : bangkitan berulang (hipoksia), status epilepstikus, bangkitan saat

persalinan, hipertensi kehamilan, persaliunan preterm. Sedangkan komplikasi pada

fetal/neonatal yang bias terjadi adalah : keguguran (2 kali lebih sering dari normal),

kelainan congenital (2-3 kali lebih sering dari normal), hipoksia, kurangnya usia

kehamilan dan berat badan lahir, kelahiran premature , IQ rendah dan perilaku

abnormal.11

TERATOGENITAS

Tidak ada OAE yang dianggap pasti aman pada kehamilan . Malformasi congenital

mayor meningkat 2-3 kali pada bayi dari ibu yang mendapatkan obat antiepilepsi

monoterapi. Terdapat peningkatan efek teratogenisitas yang lebih tinggi pada ibu

menggunakan asam valproat serta penggunaan politerapi.12

Oleh karena itu, direkomendasikan pemberian asam folat pada perempuan yang

merencanakan kehamilan pada saat hamil terutama pada trimester pertama dengan dosis

1-5 mg perhari untuk mencegah defek neural tube.5,10,11,14,16,17.

Pemberian asam folat perikonsepsial juga berhubungan positif dengan IQ anak yang

lahir dari perempuan menggunakan obat antiepilepsi. 13

Beberapa obat antiepilepsi

Page 58: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

58

generasi kedua yang relative kecil menimbulkan teratogenitas adalah lamotrigin,

leviteracetam, oxcarbazepin, dan topiramat.5,14.

TATALAKSANA SEBELUM KEHAMILAN

Berikan penyuluhan kepada setiap perempuan yang menggunakan OAE dalam

masa reproduksi tentang berbagai risiko dan keuntungan akibat pengguanaan

OAE terhadap kehamilan dan janin.

Terapi OAE diberikan dalam dosis optimal sebelum konsepsi (bila

memungkinkan periksa kadar obat dalam darah sebagai basis pengukuran.)15,16

Bila memungkinkan diganti OAE yang kurang teratogenik, dan dosis efektif

harus tercapai sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum konsepsi.15,16

Hindari penggunaan OAE politerapi.5,16

Apabila memungkinkan, hindari penggunaan valproat. Apabila harus

menggunakan valproat, berikan dosis terkecil (kurang dari 750mg) dan gunakan

bentuk lepas lambat.

Tatalaksana Saat Hamil

Ibu diberikan informasi bahwa bagi yang mengalami bebas bangkitan minimal 9

bulan sebelum kehamilan, kemungkinan besar (84-92%) akan tetap bebas

bangkitan selama kehamilannya. Demikian juga kemungkinan terjadinya

persalinan premature atau kontraksi prematur terutama pada perempuan yang

merokok.19

Jenis OAE yang sedang digunakan jangan diganti bila tujuannya hanya untuk

mengurangi resiko teratogenik.5,15

Pada pengguna asam valproat atau OAE politerapi, dianjurkan utnuk

dilakukan:15

o Pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein serum (pada minggu 14-16

kehamilan)

o Pemeriksaan ultrasonografi (pada minggu 16-20 kehamilan)

o Amnionsentesis untuk pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein dan

antikolinesterase dalam cairan amnion)

Apabila terdapat abnormalitas pada pemeriksaan diatas, merupakan bahan

pertimbangan untuk meneruskan kehamilan atau tidak.

Page 59: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

59

Kadar OAE diperiksa awal setiap trimester dan pada bulan terakhir kehamilan.

Juga dapat dipantau bila ada indikasi (misalnya bila terjadi bangkitan atau ragu

dengan ketaatan minum obat)

Dosis OAE dapat dinaikkan apabila kadar OAE turun dibawah kadar OAE

sebelum kehmailan, atau sesuai kebutuhan klinik.5,16

Persalinan Pada Penyandang Epilepsi

Harus dilakukan di klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk perawatan

epilepsi dan untuk unit intensif untuk neonatus.5,16

Persalinan dapat dilakukan secara normal per vaginam.15,16

Selama persalinan, OAE harus tetap diberikan. 5,15,16

Terapi kejang saat melahirkan dianjurkan sebaiknya digunakan diazepam 10 mg

i.v atau fenitoin 15-20 mg/kg bolus i.v diikuti dosis 8mg/kg/hari diberikan 2

kali/hari secara intravena atau oral. 15

Vitamin K 1 mg intramuscular diberikan pada neonatus saat dilahirkan oleh ibu

yang menggunakan OAE penginduksi-enzim untuk mengurangi risiko terjadinya

perdarahan.16,18

Tata Laksana Setelah Persalinan

Bila dosis OAE dinaikkan selama lehamilan, maka turunkan kembali secara

bertahap sampai dosis sebelum kehamilan untuk menghindari toksisitas. Kadar

OAE perlu dipantau sampai minggu ke-8 pasca persalinan.14,15

Perlu diberikan penyuluhan kemungkinan kekambuhan bangkitan akibat kurang

tidur dan kelelahan karena merawat bayi sehingga diperlukan pendampingan.5

Merawat bayi sebaiknya dilakukan dilantai untuk menghindari bayi terjatuh

disaat ibu mengalami kekambuhan.5

EPILEPSI PADA MENYUSUI

Semua OAE terdapat pada air susu ibu )ASI) walaupun dalam proporsi yang

berbeda-beda. Konsentrasi plasma OAE pada bayi tidak hanya ditentukan oleh

jumlah obat dalam ASI, namun juga fungsi hepar yang belum sepenuhnya

berkembang dan eliminasi obat yang lebih lambat.15,16,18

Page 60: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

60

Levetiracetam kemungkinan ditransfer kedalam ASI dalam jumlah yang cukup

bermakna secar klinis. Valproat, fenobarbital, fenitoin, dan karbamazepin

kemungkinan tidak ditransfer ke dalam ASI dalam jumlah yang bermakna secara

klinis.15,16,18

Apabila bayi dari ibu yang menggunakan fenobarbital terlihat mengantuk, maka

dianjurkan untuk memberikan susu botol berseling dengan ASI.16

PENGGUNAAN KONTRASEPSI PADA EPILEPSI

Perempuan dengan epilepsi dianjurkan menggunakan kontrasepsi

nonhormonal.20

Penggunaan suntikan (Depo Provera) dilaporkan dapat mengurangi bangkitan,

terutama pada perempuan dengan bangkitan katamenial. Pemberian suntikan ini

dianjurkan untuk diulangi setiap 10 minggu dari yang biasanya setiap 12 minggu

oleh karena secara teoritis OAE tersebut di atas dapat megurangi keefektifan

depopropeva.15

Bila menggunakan kontrasepsi oral, sebaiknya tidak menggunakan OAE yang

mengakibatkan enzim mikrosomal.15

Tabel 5.1 Dampak OAE terhadap kontrasepsi hormonal:5,20

Terbukti mengurangi

efek anti kontrasepsi

Ada kemungkinan

mengurangi

Tidak berdampak pada

kontrasepsi berdasarkan

penelitian

Fenitoin

Fenobarbital

Karbamazepin

Primidon

Oxkarbazepin

Topiramat (400 mg/hari,

kombinasi dengan

valproat)

Lamotrigin

Gabapentin

Pregabalin

Valproat

Ethosuximid*

LAcosamid

Levetiracetam

(<1000mg/hari)

Zonisamid

Topiramat <200 mg

EPILEPSI PADA MENOPAUSE

Sebagian besar pasien epilepsi melaporkan peningkatan kekambuhan pada saat

perimenopause. Hal ini kemungkinan akibat peningkatan rasio estradiol terhadap

progesterone, terutama pada awal perimenopause. Setelah menopause, ketika

estradiol terhadap progesterone menjadi rendah dan stabil, pasien epilepsi

melaporkan penurunan bangkitan, terutama yang mengalami epilepsi

katamenial.1,4,5.

Page 61: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

61

Dianjurkan menggunakan OAE noninduksi enzim (zonisamid, lamotrigin,

gabapentin, levetiracetam dan pregabalin) karena tidak mempengaruhi

metabolism kalsium dan tidak menekan produksi bentuk vitamin D aktif yang

akan meningkatkan resiko gangguan pada tulang seperti osteoporosis, osteopeni,

osteomalasia, dan fraktur.5

Pasien yang menggunakan terapi sulih hormone (hormone replacement therapy)

kemungkinan akan terjadi bangkitan yang lebih sering.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Harden CL.Interaction Between Epilepsi and Endocrine Hormones: Effect on

The Lifelong Health of Epileptic Women. AdvStudMed.2001 ; 3(8A); S720-

S725.

2. WHELESS JW , KIM HL. Adolescent seizures and epilepsi syndromes.

Epilepsia. 43(Suppl.3 ): 33-52, 2002.

3. Appleton RE, Neville BGR. Teenagers with epilepsi. Arch Dis Child 1999; 81:

76-79

4. Harden CL, Frye CA. Hormone changes in epilepsi.In Engel J, Pedley TA.

Epilepsi A Comprehensive textbook 2nd

Ed. Vol 1. Lippincott Williams &

Wilkins. USA; 2008, p.2037-2041

5. Weil S, Deppe C, Noachtar S. The Treatment of women with epilepsi.Dtsch

Arzteble Int 2010; 107(45) :787-93.DOI: 10.3238/arztebl.2010.0787

6. Verrotti A, D‘Egidio C, Agostinelli S, Verrotti C, Pavavone P. Diagnosis and

management of catamenial seizures : a review. International Journal of women

Health 2012; 4: 535-541.

7. Feely M, Gibson J. Intermittent clobazam for catamenial epilepsi: tolerance

avoided.Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry 1984; 47; 1279-

1282

8. Camfield P, Camfield C. Benzodiazepines used primarily for chronic

treatment (clobazam, clonazepam, clorazepate and nitrazepam). In shorvon S,

Perucca E, Engel J. The treatment of epilepsi 3rd

edition. Wiley-Blackwell.

USA, 2008,p.421-430.

9. Neufeld MY. Acetazolamide. In shorvon S, Perucca E, Engel J. The treatment

of epilepsi 3rd

edition. Wiley-Blackwell. USA, 2009, p. 399-410.

10. Morel MJ. Epilepsi in women. Am Fam Physician 2002,66: 1489-94.

11. Hart LA,sibai BM. Seizures in pregnancy: Epilepsi, eclampsia, and stroke.

Seminars in perinatology; 2013.37: 207-224.

12. Mawer G, Briggsa M, Bakerb GA, Bromleyb R, Coylea H, Eatockb J, et al.

Pregnancy with epilepsi : obstetric and neonatal outcome of a controlled study.

Seizure.2010 March ; 19 (2): 112-119.

Page 62: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

62

13. Kimford J Maedor, Gus A baker, Nancy Browning, Morris J Cohen, Rebecca L

Bromley et al for the NEAD study Group. Fetal antiepileptic drug exposure

and cognitive outcomes at age 6 years (NEAD study): a Prospective

observational study. Lancet Neurol.2013 March; 12 (3): 244-252.

14. Reimers A, Brodtkorb E. Second-generation antiepileptic drugs and pregnancy

: a guide for clinicians. Expert Rev. Neurother; 2012; 12 (6): 707-717.

15. Kimford Jay Meador. Women and epilepsi.AAN 2007.

16. Crawford P. Best Practice Guidelines for the Management of women with

Epilepsi. Epilepsia, 2005; 46 (suppl.9): 117-124.

17. Harden CL, Meador KJ, Pennel PB, et al. Practice Parameter update:

Management issues for women with epilepsi—Focus on pregnancy (an

evidence-based review): Teratogenesis and perinatal outcomes: Report of the

Quality Standars Subcommittee and Therapeutics and Technology Assesment

Subcommittee of the American Academy of Neurology and American Epilepsi

Society. Neurology, 2009; 73: 133-141.

18. Harden CL, Meador KJ, Pennel PB,et al. Practice Parameter update:

Management issues for women with epilepsi—Focus on Pregnancy (an

evidence-based review): vitamin K, folicacid, blood levels, and Therapeutics

and Technology and American Academy of Neurology and American Epilepsi

Society. Neurology, 2009; 73; 142-149.

19. Harden CL, Hopp J, Ting TY, Pennell PB, French JA, Hauser WA, et all.

Management issues for women with epilepsi-Focus on pregnancy (an

evidence-based review) : I. Obstetrical complications and chage in seizure

frequency. Epilepsia, 2009; 50 (5): 1229-1236.

20. Reddy DS. Clinical pharmacokinetic interactions between antiepilepstic drugs

and hormonal contraceptives. Expert Rev Clin Pharmacol. 2010; 3 (2): 183-

192.

Page 63: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

63

EPILEPSI PADA ANAK

Susi Aulina, Reggy Panggabean, Uni Ganayami

Epidemiologi

Dinegara berkembang, insidensi epilepsy pada anak lebih tinggi disbanding Negara

maju, berkisar antara 35-150/100.000 penduduk pertahun. Prevalensi yang pasti untuk

epilepsy pada anak sulit ditemukan.1

LANGKAH-LANGAKAH DIAGNOSIS PADA ANAK DENGAN EPILEPSI

Anamnesis

Lihat: langkah-langkah diagnosis pada bab 3

PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGIS

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan fisik dan neurologis pada anak

adalah sebagai berikut:

lingkar kepala

mencari tanda-tanda dismorfik

kelainan kulit

pemeriksaan jantung dan organ lain

gangguan respirasi(hiperventilasi)

evaluasi psikologis

deficit neurologis

pemeriksaan funduskopis

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. EEG4.5

2. Pencitraan : CT-scan, MRI,MR spektroskopis

3. Laboratorium: pemeriksaan metabolic, genetic dan lain-lainsesuai indikasi6

BEBRAPA SINDROMA EPILEPSI PADA ANAK YANG SERING DITEMUKAN

Sindroma Ohtahara

Awitan pada hari pertama setelah lahir, sampai usia 3 bulan. Laki-laki le3bih banyak

dari pada perempuan dengan perbandingan 9:7.7

ETIOLOGI tersering adalah malformasi otak pada saat tumbuh kembang atau

adanya lesi diotak

MANIFESTASI KLINIS bangkitan utama berupa spasme tonik, lama bangkitan

1-10 detik, frekuensi 10-300 kali dalam 24 jam, dapat juga disertai kejang

motorik parsial atau hemikonvulsi pada ½ sampai1/3 kasus.8.9

GAMBARAN EEG: brust suppression asimetris. Lamanya fase supresi 3-5

detik. Interval dari brust ke brust 5-10 detik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN:

o Pencitraan untuk mencari cerebral dysgenesis,keruakaan otak atau atrofi

otak

o Laboratorium : pemeriksaan kromosom, analisis generic, kelainn

metbolik berup hiperglikemia nonketotik, defisiensi cytochrome

c.oxidase atau laktik asidosis.9

Page 64: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

64

TATALAKSANA

o Tidak ada terapi efektif.10

o Dapat dipertimbangkan operasi bila terdapat dysplasia serebri fokal.10

PROGNOSIS

o Morbiditas dan mortalitas tinggi. Lima puluh persen penyandang hidup

dengan gngguan psikomotor dan defisit neurogis berat.

o Sindrom ini dapat berlanjut menjadi sindroma west (75 %), dan

selanjutnya sindroma lennox gastaut(12%).10,11

SINDROMA WEST

Awitan pad usia 4-6 bulan, jarang sebelum usia3 bulan atau setelah 12 bulan, laki-laki

lebih banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 3:2 insiden 3-5/10.000

kelahiran hidup12

ETIOLOGI

o Idopatik

o Kriptogenik (10-40%)

o Simtomatis (70-80%):

Prenatal: atrofi otak 50%, malformasi SSP seperti agenesis

corpus callosum, polimikrogilia, lissensefali, hemimegaensefali,

dysplasia kortikal fokal, schizencephaly dan termasuk sindroma

neurokutan seperti tuberous sclerosis complex (TSC), sturge-

Weber atau foetopathy, sindroma Down. Gangguan metaboliki

seperti penyakit Menkes, fenilketonuri atau gangguan

mitokondria seperti mutasi NARP.

Perinatal: ensefalopati hipoksik-iskemik, hipoglikemia saat masa

perinatal atau komplikasi terjadinya hipotrofi fetal akibat

perdarahan intra uterin atau suatu toksemia, trauma, perdarahan

intracranial, infeksi.

Postnatal: iskemia, trauma, infeksi dan tumor papiloma pleksus

Khoroid13

MANIFESTASI KLINIS

o Spasme infantile berupa gerakan aksial singkat dan mendadak lebih

sering fleksi disbanding ektensi ektremitas atau berupa campuran fleksi

ektremitas atas dengan ektensi ektremitas bawah, simetris/asimetris,

diikuti dengan teriakan. Dapat terbatas pada leher saja atau kontraksi

aksial diikuti spasme tonik selama 10 detik. Pada umumnya terjadi 20-40

kadang sampai 100 spasme dengan interval waktu antaranya 5-30

detik13,14

GAMBARAN EEG

o interiktal : hypsarrhythmia berupa gelombang tajam multifocal dengan

amplitudo tinggi dengan irama dasar tidak beraturan,simetris pada 2/3

kasus, asimetris pada 1/3 kasus.

Page 65: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

65

o Iktal: pola elektro-dekrimental berupa gelombang lambat menyeluruh

dengan amplitudo tinggi, diikuti aktivitas amplitude rendah.13

PENCITRAAN

o CT scan kepala : hidraensefali, schizencephaly dan agenesis corpus

collusum

o MRI: disgenesis kortikal, gangguan migrasi neorun, gangguan

mielinasi.13,14

TATALAKSANA

o Belum ada terapi yang efektif

o ACTH dengan dosis 150 unit/m2/hari atau 20-40 unit/.m

2/hari dapat

menurunkan kejang pada 60-80% kasus. Dosis diturunkan perlahan

dalam 4-8 minggu. Observasi kemungkinan efek samping berupa:

edema, perdarahan lambung, berat badan meningkat, hipertensi, iritasi

atau infeksi didaerah injeksi, lebih mudah sakit, dan kematian.

Bangkiatan dapat timbul kembali8 pada 1/3 kasus, tetapi kemungkinan

dapat berespons pada pemberian kembali ACTH atau menggunakan

dosis yang tinggi (dan kemudian perlahan diturunkan kembali).

o Valproate, Zonisamide, Vigabatrin, Topiramate dapat digunakan.

o Diet ketogenik

o Dapat dipertimbangkan operasi bila terdapat lesi structural fokal.13,15

PROGNOSIS

o Sangat tergantung etiologi, kematian pada 50% kasus sebelum usia 10

tahun. Retardasi mental pada 80-90 % kasus, pada kriptogenik prognosis

lebih baik.6,15

Sindroma lennox-gastaut

Awitan 1-7 tahun, puncak pada usia 1-5 tahun, laki-laki banding perempuan 20:14.

Insidensi 2,8/10.000 kelahiran hidup, 5-10% pada anak dengan epilepsi yang

intraktabel.

Etiologi

o Cacat otak structural

o Gangguan metabolisme otak.16,17

Manifestasiklinis

o Mioklonik, lena atipikal, atonik, tonik dan tonik klonik atau status

epileptikus non-konvulsif (se-nk)

o Retardasi mental.16.17

Gambarabeeg

o Eeg interiktal :slow spike wave complex (sswc) menyeluruh dengan

irama dasar lambat.

o Eegiktal : bangkitan tonik, tampak aktivitas cepat> 10 hz; lena atipikal,

swc; mioklonik : polyspikes; atonik : seluruh aktivitas eeg menunjukkan

amplitude yang rendah (flattening of all eeg activity).9,18,19

Page 66: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

66

Pencitraan: malformasikortikal, sturge weber, tumor lobus frontal, hamartoma

hipotalamus, hipoksik ensepalopati.18,19

Tatalaksana

o Asam valproate, klonazepam( untuk mioklonik), dan fenitoin

(untuktonik), lamotrigin, levetir asetam, zonisamid atau topiramat.

o Diet ketogenik

o Terapi operatif pada kasus reprakter bilater dapat lesi structural yang

jelas. Corpus collosumpada refractory drop attacks.18,19

Prognosis

o Kemungkinan besar bangkitan tidak dapat dikontrol dengan obat.

o Buruk bila sebelumnya terdapat sindroma-west, gangguan kognitif atau

neurologis.2.17

Epilepsi lena pada anak

Awitanusia 2-10 tahun, puncakusia 5-6 tahun, 60-70% adalah anak perempuan. 20.21

Etiologi; faktor genetic, eca1 dikaitkan dengan kromosom 8q24, eca2 oleh mutasi gen

gabrg2 pada band 5q311, eca2 oleh mutasi gen saluran ion klorida clcn2 pada band

3q26.22

Kriteria diagnosis

1. Status perkembangan dan neurologii normal.

2. Bangkitan selama 4-20 detik dan sering, mendadak dan disertai dengan

gangguan kesadaran. Sering disertai dengan automatism.

3. Eegikat : spike danduble spike wavecomplex3hz, menyeluruh dengan

amplitude tinggi, kemudian melambat, berlangsung 4-20 detik.21

Manifestasiklinis

1. Hanya gangguan kessadaran (10%)

2. Lena disertai dengan komponik klonik ringan, biasanya melibatkan mata (50%)

3. Lena dengan kelainan atonia menyebabkan kelemahan bertahap kepala dan

lengan (20%)

4. Lena dengan kelompok klonik (rotasi mata keatas)

5. Lena denagan komponen otomatisme (pasien tetap dengan apa yang dilakukan)

atau de novo berupa menggigit bibir atau menelan (60%)

6. Lena dengan komponen otonom (misalnya dilatasi pupil, flusing,takikardia).23

Eeg

Eeg interiktal: irama dasar normal atau irama delta-areaposterior yang, sinusoidal,

dapat bersifat simetris atau sering asinetris pada oksipito parietal dan oksipital

(oirda).

Tatalaksana: monoterapi dengan sodium valproate, etosuksimid, atau lamotigrin.

Levetiracetam dan topiramat dapat digunakan. Pada kasus yang resisten, asam

valproate dapat ditambah dengan lamotigrin dalam dosis kecil.

Prognosis

o Baik

Page 67: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

67

o Kurang dari 10% kasus berkembang menjadi spada usia 8-15 tahun atau

kadang-kadang 20-30 tahun.

o Dapat berkembang menjadi juvenile myoclonic epilepsy.21,23

Epilepsi mioklonik pada remaja

Awitan pada usia 5-166 tahun, prevalensi 88-10% diantara epilepsy pada dewasa dan

dewasa muda. Laki-laki sama dengan perempuan.

Etiologi: penyebab pasti belum diketahui, berkaitan dengan kelainan

genetic.24

Manifestasiklinis

o Trias bangkitan sebagai berikut

1. Bangkitan mioklonik saat bangun tidur biasanya pada

ektremitas atas (proksimal atau distal) berupa elevasi bahu

dan ektensi siku dengan durasi singkat yang lebih dari satu

detik.

2. Bangkitan umum tonik klonik (gtcs), dicetuskan oleh sleep

deprivation dan saat dibangunkan dari tidur.

3. Bangkitan absanstipikal> 1/3 kasus dengan gangguan

kesadaran ringan.24,25

o Bentuk serangan lain adalah: perioral reflex myoclonias (± 23 %)

danflash like oro-linguo-facial myoclonias. pada 30% pasien

ditemukan clinical photosensitifity, terutamapada wanita.26

Gambaraneeg:

o Iktal: polispike menyeluruh(10-16 hz) atau 4-6 hzswc, sinkron

bilateral predominan frontal, dengan durasi 0.5-2 detik, diikuti

perlambatan irregular.24.25

saat lena: 3hz swc.

o Interiktal; spike wave 4-6 hz,polispikedan 3 hzswcpada 20% kasus.

Tatalaksan

o Asam valproate

o Levetiracetam

o Klonazepam baik sebagai terapi tambahan atau terapi tunggal

myoclonic jerks tanpa gtcs

o Fenobarbital efektif pada 60% pasien.21,25,25

Prognosis

o Prognosis baik, 80-90% terkontrol dengan obat

o Pasien yang mempunyai ketiga trias bangkitan resisten terhadap

pengobatan.24

Epilepsi benigna dengan gelombang paku didaerah sentrotemporal

Awitan pada usia 3-13 tahun (puncak 9-10 tahun), laki-laki lebih banyak dari pada

perempuan dengan perbandingan 2:3.27,28

Etiologi: berhubungan dengan genetic, kelainan kromosom 15q14.29

o Manifestasiklinis: bangkitan tidak sering terjadi.

Page 68: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

68

o Bangkitan hemifasial sensorimotor( 30% pasien). Bangkitan

motoric pada bibir bawah berupa klonik beberapa detik sampai

menit. Seringkali terjadi bangkitan tonik ipsilateral menyebabkan

deviasi mulut. Bangkitan hemifasial sensorik jarang terjadi,

berupa rasa kebas pada sudut mulut. Kesadaran biasanya intak.

Gejala sensori motor hemifasial kemungkinan terjadihanya saat

iktal, seringkali berhubungan dengan ketidak mampuan berbicara

dan hipersalivasi.

o Bangkitan oro-pharingo-laryngeal (opl), terjadi pada 53% kasus,

yang berdiri dari manifestasi sensori motor didaerah dalam mulut,

lidah, pipi, gusi, dan daerah pharingo-laryngeal. Gejala sensorik

berupa parestesi dan biasanya difus pada satu sisi. Gejala motoric

opl berupa gargling grunting.

o Gangguan bicara (40%). Anak mengalami gangguan artikulasi,

dan berusaha berkomunikasi melalui bahasa tubuh.

o Hipersalivasi.

Pada 75% pasien banagkitan terjadi saat tidur non-rapid eyes movement (nrem) baik

pada siang hari ataupun malam hari. Lama bangkitan hanya beberapa detik sampai 1-2

menit dapat lebih lama.30-60% dapat menjadi gtcs.30

Gambraneeg

o Eeg interiktal:

Irama dasar pada umumnya normal.

o Spike wave yang terletak disentro temporal (centrotemporal

wave/cts) atau area rolandic. Eegiktal : terdapat pengurangan

spontan cts sebelum iktal, pada daerah rolandic dan terdiri atas

gelombang lambat bercampur dengan aktivitas cepat dan

gelombang paku.

Tatalaksana

o Oag tidak diperlukan pada sebagian anak oae yang dapat

diberikan adalah karbamazepin, lamotrigin, levetiracetam,

soldium valproate.32

Prognnosis: remisi lengkap tanpa deficit neurologis sebelum usia 15-16

tahun.30

Page 69: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

69

Daftarpustaka

1. Forsgen l. Incidens and prevalence.in: wallacesj, farelk.eds. Epilepsy in

children.2nd

ed. Crcpres, new york, 2004: 21-3

2. Scottish intercollageate guidelines network (sign). Diagnosis and

mangementof epilepsies in children and young people, a national clinical

guidelines. Edinburg. 2005; 4-10.

3. Wilmshurtsjm. Approach to epilepsy in chailhood. Cme. 2004; 22:427-

433.

4. Nordkidr. Pedley ta. The use of elctroencephalography in the diagnosis

of epilepsy in childhood. Pediatric epilepsy.3rd

ed. Demos. New york

2008: 195-211.

5. National institute for clinical exellence (nice). The epilepsies, the

diagnosis and management of the epilepsies in adults and children in

primary dansecondary care. Clinical guiodeline20:2004: 8-73.

6. Panayyiotopolouscp.a clinical guide to epileptic syndromes and their

treatment. Bladon medical publishing 2002: 11-35.

7. Ohtahara s, yamatogi, y. Ohtahara syndrome; with special reference to its

depelopmental aspects for diferretiating from early myoclonic

encephalophaty. Epilepsy res. 2006; 70(suppl): s58-s67.

8. Panayyiotupolous c, editor. Ohtaharasyndrome. In; atlas of epilepsy

spinger-verlaglondonltd:2010. P.848-50.

9. Ohtahara s. Yamtogi y. Epileptic encephalopathies in early infancy

withsu[pression-burst. Journal of clinicalneurophysiology. 2003; 20:

398-407.

10. Beal jc, cheian k, moshesl. Early onset

epilepticencephalopathiesohtahara syndrome and early myoclonic

encephalopathy. Pediatric neurology2012: 47: 317-23.

Page 70: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

70

EPILEPSI PADA LANJUT USIA

Donny Hamid, Aida Fithrie

PENDAHULUAN

Epilepsi pada lanjut usia (≥65 tahun) seringkali terlambat terdiagnosis karena

menyerupai gejala penyakit lain.1,2

Diagnosis epilepsi seringkali baru dipikirkan bila

disertai bangkitan tonik klonik umum (generalized tonic clonic seizure), padahal tidak

seperti epilepsi pada anak atau usia muda, bentuk bangkitan ini lebih jarang terjafi pada

lanjut usia.3,4

Pemberian dan pemilihan obat antiepilepsi pada lanjut usia perlu lebih berhati-

hati, karena terjadi perubahan parameter farmakodinamik dan farmakokinetik, adanya

penyakit komorbid, kemungkinan gangguan metabolik, dan interaksi dengan obat lain

karena penderita lanjut usia seringkali mengkonsumsi banyak obat lain.5,6,7

ETIOLOGI

Stroke merupakan 30-50% penyebab epilepsi pada lanjut usia.8

Perdarahan

intraserebral merupakan penyebab tersering (15%) dan pada kelompok stroke yang

paling jarang adalah lakunan infark (2%).9

Insidensi timbulnya bangkitan epilepsi pada

demensia berkisar 2-16%.9

Trauma merupakan penyebab lain dari timbulnya epilepsi

pada lanjut usia, demikian pula penggunaan berbagai obat merupakan faktor penting

yang dapat memprovokasi timbulnya bangkitan epilepsi.9

DIAGNOSIS

Pada umumnya sindrom epilepsi pada lanjut usia adalah epilepsi fokal, dengan

dan tanpa bangkitan umum sekunder.1,9

Gambaran klinis dapat menyerupai gejala

penyakit pembuluh darah otak (transient ischemic attack), demensia, atau kelainan

jantung.1,2

Pada usia tua, fokus epileptik cenderung lebih sering terjadi pada lobus frontal

dan parietal, berbeda dengan gejala klinis yang berhubungan dengan epilepsi dengan

fokus di lobus temporal pada penderita epilepsi usia yang lebih muda, sehingga aura

dizziness dapat lebih sering muncul dibanding gejala khas epilepsi lobus temporal.4

Padahal gejala dizziness juga sering timbul pada penyakit neurologi lain, penyakit

jantung maupun penyakit sistem organ lainnya.1,2

Gejala bangkitan parsial kompleks seperti gangguan kesadaran, pandangan kosong, atau

tampak bingung pada epilepsi lanjut usia sering disalahartikan sebagai onset gejala

BAB 7

Page 71: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

71

demensia atau penyakit lain.2

Acute confusional state atau gangguan mental yang

fluktuatif dapat merupakan manifestasi dari iktal, postiktal, ataupun merupakan

manifestasi dari status epileptikus non konvulsius yangs seringkali disangka sebagai

manifestasi dari gangguan psikiatrik.8

MRI lebih sensitif dibandingkan CT dalam mendeteksi abnormalitas anatomi.

Perubahan yang berkaitan dengan lanjut usia dapat berkaitan dengan atrofi difus,

hiperintensitas periventrikuler akibat hipertensi dan aterosklerosis umum terjadi dan

sebaiknya tidak diinterpretasikan sebagai penyebab bangkitan.10

EEG rutin dapat tidak sensitif atau spesifik untuk menegakkan diagnosis pada

lanjut usia, tidak terdapatnya abnormalitas epileptiform, tidak menyingkirkan epilepsi.

Jika diagnosis diragukan, pasien dapat dilakukan monitoring video EEG.1

PENATALAKSANAAN

Pemilihan Obat Anti Epilepsi pada Lanjut Usia

Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) yang direkomendasikan untuk epilepsi fokal

pada lanjut usia lanjut dapat dilihat pada daftar dibawah. Obat antiepilepsi spektrum

luas perlu dipertimbangkan pada epilepsi umum atau pada tipe campuran (fokal dan

umum).1

Rekomendasi epilepsi parsial pada lanjut usia (ILAE 2013)11

- Level A : Gabapentin, Lamotrigin

- Level B : tidak ada

- Level C : Carbamazepine

- Level D : Topiramat, Asam Valproat

- Level E : lain-lain

- Level F : tidak ada\

Pemberian dimulai dari dosis sangat rendah dan peningkatan dosis (titrasi)

dilakukan secara sangat perlahan (start very low and go very slow) merupakan prosedur

yang perlu diperhatikan dalam pemberian OAE pada lanjut usia.3

Setengah dosis dewasa

yang direkomendasikan sebagai dosis awal dan awitan seringkali dapat mengontrol

kejang.1

Page 72: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

72

Perbedaan farmakokinetik dan Farmakodinamik

Pada lanjut usia terjadi berbagai perubahan fisiologis, seperti nafsu makan,

fungsi saluran cerna, dan fungsi hati yang dapat menyebabkan menurunnya kadar

albumin serum. Hal ini akan berdampak pada perubahan farmakokinetim yang

berhubungan dengan karakeristik ikatan dengan protein (protein binding). Menurunnya

kapasitas fungsi hati dan kemampuan filtrasi glomerulus ginjal menurunkan clearance

OAE pada lanjut usia.8

Hal tersebut mengakibatkan waktu paruh akan jauh lebih

panjang dibandingkan pada penderita usia muda.8

Interaksi dengan berbagai macam

obat non OAE juga mempengaruhi absorbsi, protein binding, metabolisme hati, dan

kemampuan filtrasi glomerulus.8

Perubahan farmakokinetik tersebut akan

mempermudah terjadinya toksisitas obat.

Perbedaan farmakodinamik pada lanjut usia berupa perubahan jumlah dan

sensitivitas reseptor. Perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik tersebut akan

mempengaruhi toksisitas dan efikasi OAE. Dengan demikian theurapetic ranges OAE

pada usia muda harus disesuaikan pada lanjut usia.8

Pemberian OAE harus dimulai dari dosis yang lebih rendah dibanding penderita usia

muda. Pemeriksaan fungsi ginjal dan hati perlu dilakukan dan diperiksa secara berkala.8

Pemberian politerapi OAE sedapat mungkin dihindari.8

Efektivitas OAE monoterapi

untuk mengontrol bangkitan epilepsi pada lanjut usiia lebih baik dibanding pada

penderita epilepsi usia muda.1,8

PROGNOSIS

Pasien epilepsi lanjut usia mempunyai angka mortalitas dua sampai tiga kali

lebih tinggi daripada populasi umum.10

Epilepsi pada lanjut usia umumnya mempunyai

respon yang baik terhadap pengobatan.10

DAFTAR PUSTAKA

1. Panayiotopoulos. A Clinical guide to epileptic syndromes and their treatmment.

Springer Health Care Ltd, 2010: 219-22

2. French JA, Delanty N. Therapeutic strategies in epilepsi. Atlas Medical

Publishing Ltd. Barcelona Spain, 2009:175.

3. Werhan KJ.Epilepsi in the elderly. Dtsch Artebl Int 2009; 106(9): 135-42.

4. Luggen AS. Epilepsi in the elderly. Clinical Advisor, 2009:1-3.

Page 73: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

73

5. Consensus guideline on the management of epilepsi. Epilepsi Council,

Malaysian Society of Neuroscience, 2010:74

6. Delanty ND, Montouris GD. Use of anti-epileptic drugs in special populations

focus on the elderly and those with co-morbidity. VIREPA Course on Clinical

Pharmacology and Pharmacotherapy, 2010/2011:7.

7. Pollar JR. Patient issues in antiepileptic drugs selection. VIREPA Course on

Clinical Pharmacology and Pharmacotherapy, 2010/2011:7.

8. Shorvon S. Handbook of epilepsi treatment. 3rd

ed. Wiley-Blackwell, 2010:132-6

9. Manford M.Practical guide to epilepsi. Butterworth Heinemann USA, 2003:

221-5

10. Brodie MJ, Kwan P. Epilepsi in elderly people. BMJ, 2005;331:1317-21.

11. Glauser T, Menachem EB, Bourgeois B, et al. Updated ILAE evidence review

of antiepileptic drug efficacy and effectiveness as initial monotheraphy for

epileptic seizures and syndromes. Epilepsia: 1-13, 2013.

Page 74: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

74

BEDAH EPILEPSI Aris Catur Bintoro, Herlina Suryawati

Bedah epilepsi diindikasikan terutama untuk kasus epilepsi yang resisten OA

E.1,2

Tindakan pembedahan epilepsi adalah melakukan reseksi atau diskoneksi

secara lengkap terhadap zona epileptogenik, yaitu area di korteks yang sangat berperan

memunculkan bangkitan klinis epilepsi.3

Diketahui ada beberapa jenis epilepsi yang akan megalami perbaikan luaran

(outcome) berupa penurunan frekuensi hingga berhentinya bangkitan dengan tindakan

pembedahan yang dikenal sebagai surgically remediable epilepsi syndrome (SRES),

yaitu:1,4

Epilepsi Lobus Temporal Mesial

Epilepsi Neokortikal Lesional

Epilepsi Neokortikal Non Lesional

Sindroma Epilepsi Hemisferik seperti ensefalitis Rasmussen, Sturge Weber,

hemimegalensefali

Epilepsi umum sekunder seperti Lennox-Gastaut Syndrome (LGS).

DILAKUKAN PADA KONDISI KHUSUS:4

Hemisferektomi atau reseksi multilobar pada bayi dan anak epilepsi dengan

keterlambatan perkembangan

Korpus kalosotomi pada epilepsi dengan retardasi mental.

KONTRA INDIKASI ABSOLUT OPERASI:1

Terdapatnya latar belakang penyakit neurodegeneratif atau metabolik

Kelainan neurologi yang progresif

Sindroma epilepsi benigna

KONTRA INDIKASI RELATIF:

Tidak patuh minum OAE (non compliance)

Psikosis interiktal

Dinamika keluarga yang tidak harmonis

IQ kurang dari 70

BAB 8

Page 75: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

75

Zona epileptogenik bilateral dan difus

EVALUASI UMUM PASCA OPERASI:

Setelah seorang pasien epilepsi dinyatakan dalam kondisi resisten OAE dan

dipertimbangkan untuk tindakan operasi, maka selanjutnya:

Ditentukan zona epileptogenik

Diterangkan tujuan operasi

Ditentukan tindakan atau jenis operasi

Dijelaskan hasil akhir operasi yang dapat dicapai

Dijelaskan konsekuensi operasi

EVALUASI KHUSUS PRA OPERASI

Menentukan tipe bangkitan dan sindrom epilepsi

Menentukan lokasi awitan bangkitan pada EEG

Menentukan ada/tidak adanya lesi intrakranial

Menentukan keadaan klinik dan tumbuh kembang penyandang

PEMERIKSAAN YANG IDEAL DILAKUKAN

Anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologis

MRI minimal 1,5 Tesla protokol epilepsi (dengan irisan tipis pada hipokampus)

Video EEG iktal

Pemeriksaan neuropsikologi

Pemeriksaan psikiatri

Pencitraan otak fungsional (PET, SPECT, MRI)

Tes WADA

Magnetoencepahalography (MEG)/Magnetic source imaging (MSI)

EEG intrakranial/elektrokortikografi

DATA MINIMAL YANG HARUS TERSEDIA

Anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologis

Semiologi bangkitan

EEG interiktal dan iktal

MRI ½

tesla protokol epilepsi (dengan irisan tipis pada hipokampus)

Pemeriksaan neuropsikologi

Page 76: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

76

DAFTAR PUSTAKA

1. Engel J, Cascino GD, Shield WD. Surgically remediable syndromes, in Engel J,

Pedley TA: Epilepsi a comprehensive text book. 2nd

ed. Lippincott Williams &

Wilkins. Philadelphia. 2008; 1761-1769

2. Kwan P, Arzimanoglou A, Berg AT, Brodie MJ, Hauser WA, Mathern G,

Moshe SL, Perucca E, Wiebe S, French J. Definition of drug resistant epilepsi:

Consensus proposal by the ad hoc Task Force of the ILAE Commission on

Theurapetic Strategies. Epilepsia, 2010; 51(6): 1069-1077.

3. Carreno M, Luders HO. General principles of presurgical evaluation. In HO

luders and YG Comair (eds) Epilepsi Surgery. Lippincort William & Wilkins,

Philadelphia, pp 51-62

4. Engel J. Overview of surgical treatment of epilepsi, in Shorvon S, Perucca E,

Engel J, Moshe S: The treatment of epilepsi. 3rd

ed. Wiley-Blackwell\

Page 77: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

77

ASPEK PSIKOSOSIAL EPILEPSI

Anna MG. Sinardja, Ira Hawari

Masalah psikososial pada penyandang epilepsi dapat timbul akibat

serangan/bangkitan epileptik, pemakaian OAE, dan stigma masyarakat.

Tipe, lokasi, dan frekuensi bangkitan dapat memberikan dampak psikososial dan

mempengaruhi kualitas hidup.1,2

Penyandang epilepsi memiliki masalah psikososial

yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, seperti isolasi sosial, kurang

kepercayaan diri, kecemasan, dan depresi. Rasa takut dan cemas pada penyandang

epilepsi dapat timbul sebagai reaksi saat individu tersebut didiagnosis epilepsi, atau

dapat juga sebagai bagian dari bangkitan epileptik, bahkan pada beberapa kasus

merupakan akibat efek samping dari bangkitan pengobatan epilepsi. Jadi, kecemasan

dapat timbul tidak semata – mata akibat psikologis/psikososial, tetapi dapat juga muncul

sebagai akibat langsung dari faktor neurobiologis dan akibat serangan itu sendiri.

Terjasinya depresi dapat merupakan akibat proses intrinsik yang secara langsung

berhubungan dengan perubahan – perubahan neurokimia dan neurofisiologis pada

struktur limbik, iatrogenik akibat pemberian obat antiepilepsi, atau proses reaktif akibat

gangguan atau kelainan kronis.3

Masalah psikososial menjadi sangat penting karena sangat penting karena

berdampak pada berkurangnya kualitas hidup penyandang terutama pada mereka yang

mengalami kelainan atau gangguan neurologis.4,5

STIGMA DAN KUALITAS HIDUP

Kendala pada hubungan sosial penyandang epilepsi dapat disebabkan oleh

adanya :

Kekeliruan persepsi masyarakat terhadap penyakit epilepsi : kutukan, keturunan,

kerasukan, menular;

Kekeliruan perlakuan keluarga terhadap penyandang epilepsi: over-proteksi,

penolakan, dimanjakan;

Kekeliruan perlakuan masyarakat terhadap penyandang epilepsi : penolakan,

direndahkan, diisolasi;

BAB 9

Page 78: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

78

Keterbatasan penyandang epilepsi akibat penyakit : gangguan kognitif, cacat

fisik, pencapaian dalam bidang pendidikan yang rendah, sulit mencari pekerjaan

dan bermasyarakat;

Pembatasan melakukan berbagai aktivitas olahraga dan seni;

Berat dan sering kambuhnya bangkitan serta kronisitas penyakit;

Adanya komorbiditas.

STRATEGI PEMECAHAN MASALAH DENGAN ADANYA STIGMA DI

MASYARAKAT :

Penyuluhan :

Menyebarluaskan informasi yang benar mengenai epilepsi ke masyarakat,

sehingga dapat menghapus mitos.

Penyandang epilepsi membutuhkan orang lain selain keluarga sebagai

pendamping dan penuluh dalam berbagai hal yang berkaitan dengan proses

adaptasi terhadap dampak medik dan sosial dari epilepsi.

Perlu adanya penyebarluasan pengetahuan mengenai epilepsi bagi orang tua,

anggota keluarga, calon suami atau istri, dan terutama lingkungan terkait seperti

guru, tempat kerja, POLRI, asuransi, pemerintah serta masyarakat umumnya.

Yang perlu diperhatikan adalah penjelasan bahwa epilepsi ini tidak menular,

dapat dikontrol, dapat menikah, hamil dan menyusui, serta merencanakan

keluarga berencana.

Menjelaskan pengaruh epilepsi dan efek OAE pada ibu dan anak dan berbagai

tipe bangkitan yang dapat terjadi pada penyandang epilepsi dan apa yang

dilakukan saat terjadi bangkitan.

Penyebarluasan informasi dengan cara membuat tulisan di berbagai media cetak

dan elektronik, film cerita pendek, seminar awam, kunjungan ke sekolah.

Hubungan Dengan Teman Dan Lingkungan Sekitar

Penyandang epilepsi harus diberi kesempatan untuk bersosialisasi dan menikmati

pergaulan. Rasa malu, cemas, depresi, rendah diri, kurang percaya diri, perasaan

membawa aib dalam keluarga membuat penyandang mengisolasi diri dari pergaulan.

Hal ini akan menambah gangguan mental dan makin memperburuk sosialisasi serta

kurang berprestasi secara optimal. Adanya komunitas antar penyandang dan keluarga

sangat bermanfaat sebagai wadah untuk berkumpul berbagi pengalaman sehingga

Page 79: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

79

mereka tidak merasa ―sendiri‖ dan dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri.

Pemberdayaan penyandang dapat melalui organisasi PERPEI ( Perhimpunan

Penanggulangan Epilepsi Indonesia dan YEI (Yayasan Epilepsi Indonesia).

Pilihan Pekerjaan6,7

Pilihan pekerjaan menjadi penting dalam hubungannya dengan perbaikan kualitas hidup

penyandang epilepsi. Prinsip pilihan pekerjaan adalah sebagai berikut :

Disesuaikan dengan jenis, frekuensi, dan waktu timbul bangkitan

Risiko kerja yang minimal

Tidak bekerja sendiri dan dibawah pengawasan

Jadwal kerja yang teratur

Lingkungan kerja (atasan atau teman kerja) tahu kondisi penyandang epilepsi

dan dapat memberikan pertolongan awal dengan baik, maka epilepsi jangan

dirahasiakan

Bila memungkinkan perusahaan memfasilitasi asrama bagi penyandang yang

dekat dengan tempat kerja

Ada komunikasi yang baik antara atasan dengan dokter yang merawat

Pilihan Jenis Olahraga

Pilihan jenis olahraga yang diperbolehkan dengan pertimbangan :

Dilakukan di lapangan / gedung olahraga

Olahraga yang dilakukan di jalan umum (balap, lari maraton, bersepeda) dan

diketinggian (naik gunung, panjat tebing) sebaiknya dihindari

Pengawasan khusus dan atau alat bantu diperlukan untuk beberapa jenis

olahraga, seperti renang, atletik, senam

ASPEK MENGEMUDI

Kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya kecelakaan lalu lintas bagi penyandang

epilepsi yang mengemudi kendaraan bermotor merupakan hal yang wajar. Rasa

khawatir tadi terutama disebabkan oleh kemungkinan munculnya bangkitan sewaktu

penyandang epilepsi sedang mengemudi, sementara kendaraan melaju dengan

kecepatan tinggi. Sehubungan dengan hal ini, maka tiap negara menerapkan peraturan

khusus tentang hal penyandang epilepsi untuk memperoleh surat izin mengemudi

(SIM), sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut.

Page 80: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

80

Pemberian SIM kepada penyandang epilepsi didasarkan atas prinsip telah bebas

bangkitan minimal 3 tahun berdasarkan surat keterangan dokter spesialis saraf.

Larangan mutlak bagi penyandang epilepsi untuk mengoperasikan transportasi umum.

KESIMPULAN

Keadaan masalah psikososial mengakibatkan kesulitan penyandang epilepsi untuk

menentukan masa depannya dan berinteraksi secara sosial. Dengan demikian, perlu

adanya peningkatan pengetahuan masyarakat luas mengenai epilepsi yang ditinjau dari

berbagai aspek sehingga kualitas hidup orang dengan epilepsi dapat ditingkatkan

semaksimal mungkin. Disarankan menggunakan kalung tanda pengenal bagi

penyandang epilepsi setiap saat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jacoby A. Theoritical and methodological issues in measuring quality of life.

Dalam : Quality of life in epilepsi chapter 4. University of Liverpool, UK,

Harwood academic Publisher, 2010; hlm 43-51.

2. Shackleton DP, Kasteleijin DGA, de Craen AJM. Vandenbroucke JP,

Watendrop RGJ. Living with epilepsi, longterm prognosis and psychosocial

outcomes. Neurology 2003; 61:64-70.

3. Hermanm B, Bishop M. Impact of epilepsi on quality of life in adults : a review.

Dalam : Quality of life in epilepsi chapter 4. University of Liverpool, UK,

Harwood academic Publisher, 2010; hlm 10-115.

4. Austin JK, de Boer HM, Shafer PO. Disruption in social functioning and

services facilitating adjustment for the child and adult. In : Engel J Jr, Pedley TA

9eds0. Epilepsi: a comphrehensive texbook. 2nd

ed. Vol 3. Philadelphia :

Lippincott Williams & Wilkins; 2008.

5. Jerome Engel, Jr., M.D., AMA‘s Science News Department at 312-464-2410,

the AAN Press Room at 415-978-3521 or email [email protected]

6. Betts Tim. Managing the person with epilepsi. In : Dam.M(ed). Practical

approach to epilepsi. Pergamon Press, Inc. 1991. P.137-160.

7. Devinsky OA. Guide to understanding and living with epilepsi. Philadelphia :

FA Davis Company 1994; p.3-5,201-216,290-294.

Page 81: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

81

ASPEK MEDIKOLEGAL

Christ Rumantir, Anwar Wardy, Rusli Dhanu

Masalah yang dialami penyandang epilepsi tidaklah sederhana terutama pada aspek

medikolegal. Bangkitan tanpa peringatan dapat menyebabkan kecelakaan yang berat

dan bisa menyebabkan kematian. Banyaknya larangan aktivitas di tempat umum seperti

mengemudikan kendaraan, pembatasan dalam pekerjaan, dan aktivitas umum lainnya

akan menjadi beban masyarakat, pemerintah, dan penyandang epilepsi.1

PERTIMBANGAN UMUM

Karena sampai saat ini belum ada pasal perundang-undangan dan peraturan yang khusus

berkaitan dengan masalah perlindungan hak dan kewajiban penyandang epilepsi; dan

penyandang epilepsi hanya ditempatkan pada pasal gangguan kejiwaan sehingga dokter

spesialis saraf hanya dapat memberikan keterangan medis yang tidak mempunyai

konsekuensi hukum akibat apa yang dialaminya, maka perlu dilakukan revisi perundang

– undangan serta peraturan asuransi yang berlaku saat ini menyangkut hak penyandang

epilepsi dan kewajiban pelayanan kesehatan oleh pemerintah berdasarkan hak asasi

manusia.

Penyandang epilepsi dapat dikatakan sangat menderita akibat apa yang

dialaminya. Tentu diharapkan keluarga tidak akan meninggalkan begitu saja, yang

mungkin akibat ketidaktahuan, stigma, peraturan, faktor sosioekonomi. Akibat dari

aspek legal yang berlaku saat ini, mereka tidak mendapatkan akses pekerjaan,

pendidikan maupun aspek emosional karena suatu perkawinan yang baik. Para praktisi

medik secara tidak sengaja karena sistem kesehatan, kemajuuan kedokteran, dan rumah

sakit mungkin dapat menikmati biaya langsung maupun tidak langsung dari pembiayaan

penyandang epilepsi setiap hari/minggu/bulan dan tahunnya. Namun diperkirakan

pelayanan dokter kepada mereka juga memberi pengaruh luas akan ketidakpastian

penanganan yang komprehensif bagi penyandang epilepsi yang luas dibidang

transportasi, asuransi, dan tindak pidana yang melibatkannya. Kita patut memikirkan

dan merasakan hal ini serta ikut bersama – sama menanggulangi penyandang dan

sebagian warga masyarakat ini.

BAB 10

Page 82: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

82

DASAR HUKUM

Menurut KUHP, epilepsi adalah bagian dari penyakit kejiwaan. UU 8-02

perlindungan konsumen, UU Praktik Kedokteran, UU No. 23 tahun 052 tentang

kesehatan, UU No. 36 tahun 2009, dan Permenkes 512 tahn 2007, tidak satupun pasal

menyangkut aspek perlindungan hukum sehubungan engan penyandang epilepsi, baik

yang diakibatkan oleh dirinya atau orang lain.2

MASALAH MEDIKOLEGAL

Masalah pekerjaan

Diberhentikan dari pekerjaan karena mendapat bangkitan sewaktu bekerja dan

bagaimana mendapat hak pesangon.

Diberhentikan dari pekerjaan karena ketahuan mengkonsumsi OAE, baik dari

laporan dokter perusahaan atau tagihan perusahan.

Diberhentikan dari pekerjaan karena mengkonsumsi OAE yang diindikasikan untuk

penyakit lain seperti nyeri atau penanganan pascaherpes.

Diberhentikan dari pekerjaan karena mengelola mesin yang berbahaya meskipun

bangkitan sudah terkontrol.

Dokter spesialis saraf selalu berusaha menjadi penengah antara penyandang dan

pemberi pekerjaan dalam masalah pemutusan hubungan kerja

Penyandang epilepsi membutuhkan pekerjaan sederhana, mesin dan bahan kimia

tertentu, atau bersifat menetap (tidak dalam kerja ―shift‖) untuk menghindari gangguan

tidur.4

Epilepsi dan Tindak Pidana Kejahatan

Kasus Kriminal

Terhadap penyandang epilepsi yang telah melakukan tindak kejahatan yang murni

selama bangkitan, perlu dipertimbangkan beberapa faktor, antara lain apakah

individu sebelumnya adalah penyandang epilepsi, tipe bangkitan, perilaku selama

bangkitan berlangsung, dan perilaku selama tidak terjadi bangkitan.3

Menentukan apakah itu suatu kejahatan , apabila saat melakukan ―kejahatan‖

termasuk penyerangan, pemerkosaan, dan pencurian 4

tersebut tertuduh sedang

mengalami bangkitan atau kebingungan pascabangkitan dan tidak menyadari akan

apa yang dia lakukan.

Page 83: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

83

Bagaimana penyandang epilepsi atau orang lain menjelaskan kepada polisi suatu

bangkitan yang terjadi dan polisi dapat menerima. Tidak mudah untuk membedakan

antara perilaku yang disebabkan oleh alkohol atau salah guna obat, penyakit jiwa,

retardasi mental, serta masalah medis lain, dibanding aktivitas yang melanggar

hukum oleh penyandang epilepsi.3

Menentukan apakah suatu kematian dari penyandang epilepsi itu akibat dari

bangkitan yang dialaminya atau akibat dari tindak kekerasan yang dilakukan orang

lain.

Kasus Sipil

Pada kasus perebutan hak asuh anak maka orang tua yang menderita epilepsi

diragukan kemampuannya dalam memberikan asuhan yang efektif dan aman kepada

anaknya.

Bila anak yang menderita epilepsi maka dapat dituduh bahwa ini bukan akibat

kecelakaan dan bahwa orang tua tidak mampu merawatnya dengan baik.

Kecelakaan

Apakah trauma kepala, kesulitan proses kelahiran dan kecelakaan medis terdahulu

menjadi penyebab terjadinya epilepsi atau hanya suatu koinsidensi.

Pada kasus seperti tersebut diatas, kebenaran diagnosis epilepsi mungkin

dipertanyakan dan ini sulit dipastikan.

Kelalaian Medis

Kesalahan diagnosis

o Bangkitan non-epileptik yang didiagnosis sebagai epilepsi dapat menyebabkan

hilangnya kesempatan memiliki SIM dan mata pencaharian.

o Keadaan non-epileptik yang dapat disembuhkan seperti episodic cardiac asystole

yang didiagnosis sebagai epilepsi sangat merugikan individu.

o Kegagalan mendiagnosis dan memberi terapi epilepsi serta menghindari

komplikasi dan kematian.

Kelalaian memberikan informasi kepada penyandang epilepsi tentang efek samping

OAE, terapi pembedahan yang diberikan, reaksi alergi, efek kronis OAE, interaksi

OAE dengan obat lain serta potensi teratogenik OAE.

Kelalaian memberi informasi tentang resiko penghentian dan penggantian OAE.

Page 84: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

84

Kelalaian dalam memperingatkan keluarga penyandang epilepsi tentang masalah

keamanan, terutama tenggelam, terbakar saat memasak, dan resiko kematian akibat

bangkitannya.5

Ketidaklengkapan catatan medis

Standar pelayanan medik pada kasus kelalaian medis, hampir selalu dinilai dari apa

yang tertulis pada catatan medis, oleh karena itu sangatlah perlu untuk mempunyai

catatan medik yang lengkap seta tertulis dan terbaca dengan jelas.

Apabila penyandang epilepsi meminta catatan medisnya oleh karena ketidakpuasan

pelayanan yang diterimanya, atau untuk kepentingan pengacaranya guna tujuan

penuntutan, maka perlu kiranya dokter berkonsultasi dengan organisasi profesi

terkait.5

Epilepsi dan Hak untuk Mengemudi (kendaraan Darat, Laut, dan Udara)

Kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya kecelakaan lalu lintas bagi

penyandang epilepsi yang mengemudi kendaraan merupakan hal yang wajar. Rasa

khawatir tadi terutama disebabkan oleh kemungkinan munculnya bangkitan sewaktu

penyandang epilepsi sedang mengemudi, sementara kendaraan yang melaju dengan

kecepatan tinggi.

Suatu kecelakaan dapat terjadi untuk alasan yang lain; misalnya stres berat akibat

suatu perjalanan jauh yang memicu bangkitan. Dalam kasus ini, maka polisi harus

menyadari keterbatasan pengetahuannya akan hilangnya kesadaran penyandang

epilepsi saat bangkitan, untuk itu harus dikomunikasikan dengan jelas.

Adakalanya penyandang epilepsi selalu dapat merasakan ada aura sebelum bangkitan

terjadi 4 dan mereka dapat menepikan kendaraan dan berhenti sejenak dan tetap

berada dalam kendaraan sampai setelah bangkitan. Kemungkinan ini harus diketahui

oleh polisi jika dalam tugasnya menemukan kendaraan yang diparkir dan pengemudi

tidak berespon ketika polisi mendekat. 3,4,6,7

Rekomendasi pemberian SIM kepada penyandang epilepsi berdasakan prinsip

sebagai berikut :

o Bangkitan epilepsi tertentu telah terkontrol dengan OAE selama minimal 24

bulan.

o Rekaman EEG tidak menunjukkan adanya aktivitas epileptiform.

Page 85: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

85

Bagi pengemudi pribadi dengan asisten, masa bebas bangkitan lebih pendek (6-12

bulan) dapat dipertimbangkan, pada bangkitan parsial sederhana dan melibatkan

anggota tubuh nondominan atau epilepsi nokturnal.

Bagi pengemudi angkutan umum, pengecualian ini tidak berlaku, bahkan mungkin

tidak diberikan SIM atau diperlukan syarat tambahan seperti : berobat secara rutin,

rekaman EEG, psikotes, atau masa bebas bangkitan lebih lama.

Perlu ditentukan batas waktu maksimalmengemudi bagi penyandang epilepsi untuk

menghindarkan stres fisik/psikis yang berlebihan (maksimal 4 jam untuk orang

normal menurut UU No. 22 tahun 2009).

Bila dokter akan menghentikan OAE, ada resiko bangkitan berulang; disarankan

untuk berhenti mengemudi selama minimal 6 bulan setelah penghentian obat.7

Perlu adanya komunikasi serta kerja sama dengan pihak pimpinan perusahaan

tempat bekerja mengenai riwayat penyakit yang diderita untuk dapat memberikan

pengawasan langsung (jadwal kerja, lama kerja, lingkungan kerja, diet, dan

sebagainya).

Pembatasan izin mengemudi bagi penyandang epilepsi di negara – negara tertentu

bervariasi demi keamanan masyarakat dan berdasar pada adanya peningkatan resiko

relatif kecelakaan penyandang epilepsi dibandingkan populasi umum 1,3 sampai 2

kali lipat.8

Disamping hal tersebut diatas, beberapa ketentuan dibawah ini perlu diperhatikan

secara sungguh – sungguh, baik oleh dokter maupun oleh penyandang epilepsi dan

keluarganya :

o Dokter harus selalu memberi pengertian kepada penyandang epilepsi bahwa

kondisi kesehatannya sangat mempengaruhi keamanan dalam berkendara.

Penyandang epilepsi dengan bangkitan yang tidak terkontrol, tidak boleh

mengendarai kendaraan bermotor.9

o Dokter harus selalu memberi pengertian kepada instansi terkait baik POLRIdan

DDLJR bahwa pengemudi penyandang epilepsi yang masih mengalami bangkitan

dapat membahayakan.

o Pengemudi yang sering mengalami kecelakaan lalu lintas perlu dikonsulkan ke

dokter spesialis saraf untuk dilakukan pemeriksaan adanya epilepsi dan kalau

perlu diobati.9

Page 86: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

86

o Meskipun dokter dapat memberikan pendapat bahwa seseorang mampu

mengemudikan kendaraan secara aman, keputusan akhir ada di tangan kepolisian.

Pada negara tertentu, seorang dokter dapat memberikan saran, bila dalam

bangkitan kesadaran baik atau gerakan dapat dikontrol. Mengemudi dapat

diteruskan bila bangkitan terjadi hanya keadaan tertentu, terutama bangkitan

hanya dalam keadaan tidur atau selalu didahului aura sehingga penyandang dapat

menghentikan kendaraan sebelum bangkitan mulai.10

o Dokter harus mengingatkan perusahaan asuransi, bahwa secara umum

penyandang epilepsi cenderung beresiko rendah mengalami kecelakaan akibat

bangkitan; dengan demikian biaya asuransi tidak perlu dibedakan dengan

masyarakat lain.

o Berkenan dengan tipe epilepsi, dan beratnya bangkitan, serta masa bebas

bangkitan akan dapat dijelaskan secara proporsional oleh dokter spesialis saraf.

KONSEP SURAT KETERANGAN DOKTER SPESIALIS SARAF

Berkaitan dengan riwayat atau kecurigaan adanya epilepsi makanya ada tiga

kepentingan yang perlu dipertimbangklan secara sungguh-sungguh, yaitu a) pekerjaan

yang membahayakan diri penyandang epilepsi, b) aktivitas yang membahayakan diri

penyandang epilepsi dan/ atau orang lain, dan c) kesempatan memperoleh pendidikan.

Dasar pemikiran adalah sebagai berikut.

Penyandang epilepsi diluar bangkitan adalah individu normal yang dapat bebas

beraktivitas.

Dukungan PERDOSSI kepada kepentingan penyandang epilepsi aman dan dapat

dipertanggungjawabkan secara medis, profesi, etika, moral dan hukum termasuk juga

kepada pemangku kepentingan lain (stake holder). Para pemangku kepentingan

mencakup:

o Penyandang epilepsi

o Dokter spesialis saraf

o Kementrian Kesehatan RI

o Kementrian Pendidikan Nasional RI

o Kementrian Hukum & HAM RI

Page 87: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

87

o Kementerian Tenaga Kerja & Transmigrasi RI

o Kepolisian Republik Indonesia

o Kejaksaan Agung Indonesia

o Perhimpunan Pengacara Indonesia

Kebutuhan surat keterangan dokter spesialis saraf bagi penyandang epilepsi untuk

melakukan aktivitas sosial dan pekerjaan

Bervariasinya jenis bangkitan epilepsi yang berhubungan dengan jenis-jenis

aktivitas/pekerjaan

Dengan demikian surat keterangan dokter spesialis saraf akan bervariasi dengan kata

lain “ doesn’t apply ane role or recommendation in situations”.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam konsep surat

Didalam surat keterangan dokter spesialis saraf ada beberapa yang perlu

dipertimbangkan, sebagai berikut:

Wewenang pada dokter spesialis saraf di Institusi Rumah Sakit.

Contoh kalimat selalu dimulai dengan kalimat normative seperti: ‖keadaan saat ini

selama 2 tahun tidak dapat tanda dan gejala epilepsi‖.

Dilengkapi keadaan klinis dan hasil pemeriksaan diagnosis (EEG, Pencitraan &

laboratorium klinik).

Dengan kelengkapan pada rekaman medik dan hasil KIE tertulis tentang hal-hal

pencetus antara lain: lelah, mengantuk, pendampinga saat aktivitas dan control pada

dokter diwaktu tertentu.

Surat keterangan ini tidak berlaku apabila syarat – syarat antara lain kejujuran

pelaporan penyandang atau ―allo‖nya tidak terpenuhi.

Dianjurkan melakukan ―second opinion‖ ke dokter spesialis lain jika tidak yakin

dengan keputusannya.

Pertimbangan medis.11

o Syarat – syarat lama bebas bangkitan untuk :

1 tahun untuk kendaraan pribadi dan 3 tahun untuk penyandang sleep seizure.

5 tahun untuk kendaraan penumpang umum.

o Pada setiap jenis atau tipe bangkitan dengan kesadaran tidak menurun atau

penurunan kesadaran serta konvulsif atau nonkonvulsif akan berbeda

pendekatannya.

Page 88: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

88

o Mempunyai riwayat bangkitan dengan frekuensi tinggi dan lama bangkitan yang

panjang akan berbeda pendekatannya.

o Mengenal dan dapat menhindari pencetus.

o Jenis aktivitas atau pekerjaan penyandang epilepsi akan berbeda pendekatannya.

o Hentikan aktivitas dan pekerjaan begitu bangkitan terjadi kembali.

o Kunjungan ulang penyandang epilepsi setelah 6 bulan atau 1 tahun kepada

dokter yang merawat dan tercatat di rekam medis.

o Aura atau tanda – tanda lain sebelum bangkitan dengan kesadaran penuh

dianggap sebagai bangkitan.

o Kejang demam pada masa anak dan berhenti setelah usia 5 tahun tidak dianggap

sebagai bagian dari riwayat epilepsi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jerome Angel, Jr., M.D., AMA‘s Science News Department at 312-464-2410,

the AAN Press Room at 415-978-3521 or email [email protected]

2. Kamus Istilah, menurut peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia,

suplemen 2001, PT Tatanusa, Jakarta, Indonesia.

3. Roy G Beran, Epilepsy and Law, The International Center For Health, Law and

Ethics Library, Yozmot Publ.Ltd, Tel-Aviv 61560, Israel,2000.

4. Epilepsy : Medicolegal Issues. http://emedicine.medscape.com/article/1148461-

overview#a30.

5. Duncan JS. Institute of Neurology, University colllege London, National

Hospital for Neurology and Neurosurrgery, Queen Square, London, and

National Society for Epilepsy. Medico-legal aspects of epilepsy. 2009.

http://www.epilepsisociety.org.uk/forprofessionals/ articles-1/ socialaspe

cts/maincontent/chapter56duncan.pdf.

6. P Fenwick and M Walker. Epilepsy and the Law. The Maudsley Hospital,

London, and Department of Clinical Neurology, Institute of Neurology, Queen

Square, London, and National Society for Epilepsy, Chalfont St Peter, Bucks.

http://www.epilepsisociety.org.uk/forprofessionals/articles-

1/socialaspectd/main_content/ chapter55fenwickwalker.pdf

7. Driving and the law. http://www.epilepsy.com/epilepsy/rights_driving#1.

Page 89: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

89

8. Ooi WW, Gutrecht JA. International Regulation for Automobile Driving and

Epilepsy. J Travel Med : 2000;7:1-4.

9. Drazkowski J. An Overview of epilepsy and driving, from: problems with

Epilepsi beyond Seizure, 2006 Annual Course, American Epilepsy Society,

Editor Peter Camfield MD Vol 48 Supp : 9 ; 2007.

10. Epilepsy support-driving. http://www.epilepsylifelinks.com/service-driver-

seizure.php

11. Morgan J. 2010. NZ. Transport Agency. Waka Kotahi.

Page 90: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

90

EEG PADA EPILEPSI

Suryani Gunadharma, Kurnia Kusumastuti, Aris Catur Bintoro

PENDAHULUAN

Elektroensefalogram (EEG) merupakan pemeriksaan terpenting pada suatu bangkitan

epileptik, yang tidak dapat digantikan oleh pemeriksaan lain. EEG dapat membantu

menegakkan diagnosis maupun untuk membantu membuat klasifikasi bangkitan atau

sindrom epilepsi. Pada beberapa keadaan EEG bahkan dapat membantu menentukan

prognosis dan perlu tidaknya terapi.1,2

Temuan gelombang epileptogenik interiktal pada penyandang epilepsi adalah

20-55% pada rekaman rutin pertama, dengan pengulangan EEG angka ini akan

meningkat menjadi 80-90%. Pada orang dewasa tanpa riwayat bangkitan dapat

ditemukan gelombang epileptogenik interiktal 0,5%, sedangkan pada anak sehat 3,5%.

Pada orang dewasa yang dirawat karena penyakit neurologis atau psikiatri dapat

ditemukan 2,0-2,6% gelombang epileptogenik interiktal.3

CARA PEREKAMAN EEG RUTIN

EEG rutin adalah pemeriksaan EEG dengan penempatan elektroda pada kulit kepala dan

dilakukan minimal 20-30 menit (data yang dapat terbaca minimal 20 menit). Selama

perekaman dilakukan prosedur aktivasi seperti hiperventilasi dan stimulasi fotik. Bila

hasil EEG tidak ditemukan kelainan tetapi diagnosis masih meragukan, dapat dilakukan

pengulangan rekaman dengan pengurangan tidur (sleep-deprivation). Pada umumnya

perekaman dilakukan dengan mengguanakan 16-21 ‗channel‘ dengan penempatan

elektroda sesuai dengan sistem 10-20, walaupun kadang diperlukan pemasangan

elektroda tambahan.4

CARA PELAPORAN EEG RUTIN5

Data Dasar

Data dasar terdiri atas nama pasien, nomor EEG, usia, jenis kelamin, tanggal dan waktu

perekaman, nama teknisi, tanggal bangkitan terakhir, obat-obatan yang sedang

digunakan, termasuk premedikasi, riwayat penyakit yang relevan.

BAB 11

Page 91: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

91

Pelaporan EEG

Pendahuluan

Di dalam pendahuluan perlu dituliskan apakah penyandang epilepsi mendapat

premedikasi (chloralhidrat/melatonin) atau persiapan khusus seperti

pengurangan tidur

Tuliskan juga kesadaran penyandang pada awal perekaman apakah

komposmentis, delirium, somnolen, sopor atau koma.

Bila penyandang puasa perlu dicantumkan pada awal pelaporan (makan terakhir

jam...)

Cantumkan obat-obatan yang sedang dikonsumsi bila hal ini mempengaruhi

hasil perekaman

Jumlah elektroda perlu dicantumkan bila tidak memenuhi standar (21 buah) atau

digunakan penggunaan elektroda tambahan.

Perlu juga dicantumkan lama perekaman, bila lama perekaman, bila lama

perekaman lebih cepat atau lebih lama dari20-30 menit.

Deskripsi Rekaman EEG

Deskripsi rekaman bersifat objektif, perlu dicantumkan karakteristik normal dan

abnormal dari rekaman tersebut.

Dimulai dari irama dasar, aktivitas dominan, terangkan tentangg;

frekuensi,kuantitas, lokasi, amplitudo, simetris/asimetris, ritmik/ireguler.

Kemudian lakukan penilaian yang sama untuk aktivitas yang nondominan dan

abnormalitas

Respon terhadap buka tutup mata dan prosedur aktivasi perlu juga dinilai baik

normal maupun abnormal

Bila tidak dilakukan aktivasi hiperventilasi atau stimulasi fotik, perlu

dicantumkan mengapa tidak dilakukan

Interpretasi meliputi :

Kesan EEG

o Interpretasi adalah kesan pembaca tentang normalatau abnormalnya hasil

rekaman, buatlah singkat dan padat , jangan berkepanjangan

Page 92: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

92

o Bila hasil rekaman abnormal, tentukan derajatabnormalitasnya, dan cantumkan

apa yang menjadi dasar abnormalitasnya, dan cantumkan apa yang menjadi

dasar abnormalitas tersebut

o Bandingkan dengan hasil rekaman EEG sebelumnya bila ada.

Korelasi gambaran EEG dengan klinis

o Perlu diterangkan bagaimana hubungan temuan EEG dengan gambaran klinis

penyandang epilepsi

o Bila dirasa perlu, pembaca EEG boleh mengajukan saran, misalnya meminta

EEG diulang dengan prosedur tambahan, misalnya mengurangi tidur.

Page 93: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

93

DAFTAR PUSTAKA

1. Flink RPB, Guekht AB, et al. Guidelines for the Use of Methodology in The

diagnosis of Epilepsy. International league Against Epilepsi Commision Report.

Commision on European Affairs. Subcommission on European Guidelines. Acta

Neurologica. Scandinavia, 2002;106(1):1-7

2. Panayiotopoulous CP, A Clinical Guide to Epileptic Syndromes and the

treatment. Oxfordshire. UK. Bladon Medical Publishing, 2010

3. Lawrence J Hirsch, Hiba Arif. Elektroencephalography (EEG) in the diagnosis

of seizures and epilepsy. Official reprint from

UpToDate®www.uptodate.com.2010;1-25.

4. Ebersole JS, Pedley TA. Current practice of clinical Electroencephalography

Third Edition. Lippincott Williams & Wilkins.USA.2003

5. Epstein CM, Bej MD,Schaefer NF, Lagerlund TD, et al. Guidelines Revision.

American Clinical Neurophysiology Society.2006.

6. Luders HO, Noachtar S, Atlas and Classification of Eletroencephalograpy.

W.B.Saunders Company. Philadephia.2000.

LAMPIRAN

HASIL PEMERIKSAAN EEG

Nama : Jenis Kelamin : Umur :

tahun

No. EEG : Tanggal : Alamat :

Dokter Pengirim : Premedikasi : Pengobatan :

Page 94: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

94

Makan terakhir : Pk. Lama Perekaman :

menit

Riwayat penyakit termasuk pernyataan klinis dan bangkitan terakhir :

……………………………………………………………………………………………

……..

Hasil MRI (tanggal….:……..)

…………………………………………………………………

Hasil EEG sebelumnya (tanggal…………)

……………………………………………………

Rekaman dilakukan dengan penambahan elctroda pada pipi kiri/rekaman dilakukan

dengan ―sleep deprivation‖/Rekaman dilakukan dengan menggunakan montage

neonatal, dsb

Bangun ……… %

Aktivitas Frekuensi Amplitudo Distrbusi Keterangan

Irama

dasar

Beta

PSWY

Daerah posterior

kepala, simetris

Bifrontal,

simetris

Daerah posterior

kepala

Kontinu, ritmis, berkurang

dengan buka mata

Kontinu, ritmis

Intermiten,bercampur dengan

irama dasar, berkurang dengan

buka mata

Tidur …… % Stadium …………

Aktivitas Frekuensi Amplitudo Distrbusi Keterangan

Perlambatan

Vertex sharp

transient

Spindels

Simetris

Frontosentral

Frontosentral

Ritmis, irama dasar

berkurang

Durasi 150-200

msec

Page 95: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

95

POSTS Bioksipital Simetris

Durasi 100 msec

Hiperventilasi 3/5 menit, dilakukan dengan baik/kurang baik/buruk

Aktivitas Frekuensi Amplitudo Distrbusi Keterangan

Stimulasi photik bertahap 1-2 Hz

Aktivitas Frekuensi Amplitudo Distrbusi Keterangan

‗Photic

driving‘

Bioksipital Simetris

Keterangan:

Frekuensi (Hz) Amplitudo L : < 20 μV, M : 20-70 μV, H : 70-150 Μv

PSWY : Posterior Slow Wave of The Youth

POSTS : Positive Occipital Sharp Transient Singkatan lain dapat dicantumkan disini

misalnya SWC : Spike wave complex sesuai dengan temuan yang didapat

Kesan EEG:

Normal/Abnormal (I/II/III)*

Korelasi:

Dikorelasikan antara temuan EEG dengan gambaran kilns (untuk menjawab pertanyaan

klinis)

TTD Dokter Pembaca

Page 96: Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

96

Keterangan mengenai cara pengisian tingkat abnormalitas

Tingkat abnormalitas ditentukan berdasarkan beratnya kelainan otak yang terjadi atau

semakin spesifiknya gambaran EEG.6

Dikatakan abnormal I (ringan/tidak spesifik untuk epilepsi) bila terdapat

Irama dasar yang lambat (≥6Hz<8Hz untuk dewasa)

Perlambatan intermitten, menyeluruh(generalized)

Eksesif beta.

Dikatakan abnormal II (sedang/cukup spesifik untuk epilepsi) bila terdapat:

Irama dasar lambat(<6 Hz untuk dewasa)

Perlambatan intermitten pada suatu region/ lateralisasi satu hemisfer

Asimetri( perbedaan amplitudo yang >50% antar sisi yang homolog)

Dikatakan abnormal III (berat/sangat spesifik untuk epilepsi)

Terdapat gelombang epileptiform(gelombang tajam, paku, paku ombak, polyspike,

hypsarrhythmia, SWC,SSWC)

Terdapat bangkitan EEG

Terdapat ‗periodik kompleks‘

Terdapat perlambatan kontinu, baik regional maupun menyeluruh.