Top Banner

of 112

PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

Mar 01, 2018

Download

Documents

A Farid Wajdy
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    1/112

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    2/112

    PEDOMAN

    TATALAKSANA CEDERA OTAK

    (Guideline for Management of Traumatic Brain Injury)

    Editor:

    Joni WahyuhadiWihasto Suryaningtyas

    Rahadian Indarto Susilo

    Muhammad Faris

    Tedy Apriawan

    Tim Neurotrauma

    RSU Dr. Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

    Surabaya, 2014

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    3/112

    Tim Neurotrauma dan Kontributor

    Prof. Dr. dr. Abdul Hafid Bajamal, SpBS

    Prof. Dr. dr. Nancy Margarita Rahatta, SpAn. KIC

    Dr. dr. M. Arifin Parenrengi, SpBS

    Dr. dr. Agus Turchan, SpBS

    Dr. dr. Hamzah, SpAn. KNA

    Dr. dr. Joni Wahyuhadi, SpBS

    dr. Eko Agus Subagio, SpBS

    dr. Wihasto Suryaningtyas, SpBS

    dr. Rahadian Indarto Susilo, SpBS

    dr. Muhammad Faris, SpBS

    dr. Achmad Fahmi, SpBS

    dr. Nur Setiyawan Suroto, SpBS

    dr. Irwan Barlian Immadoel Haq, SpBS

    dr. Tedy Apriawan, SpBS

    dr. Alfan Syah Putra Nasution

    dr. Yusuf Hermawan

    dr. Mohammad Kamil

    dr. Geizar Arsika Ramadhana

    dr. Yusnita Rahman

    dr. Fendi Fatkhurrohman Gozi

    dr. Mochamad Rizki Yulianto

    dr. Yudhistira Kaysa Karim

    dr. Adi Wismayasa

    dr. Gibran Aditiara Wibawa

    dr. Fatkhul Adhiatmadja

    dr. Krisna Tsaniadi Prihastomo

    dr. Wisnu Baskoro

    Sekretariat Neurotrauma:

    SMF/ Departemen Ilmu Bedah Saraf

    RSU dr. Soetomo FK Universitas Airlangga

    Jl. Mayjen Prof. Drg. Moestopo 6 8

    Surabaya

    Telp: 031-5501325/ 5501304

    Fax: 031-5025188

    e-mail: [email protected]

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    4/112

    SAMBUTANDIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

    Dr. SOETOMO, SURABAYA

    Assalamualaikum Wr. Wb.

    Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkatdan rahmat Nya, Tim Neurotrauma RSUD Dr. Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya,dapat menerbitkan buku Pedoman Tatalaksana CederaOtak edisi kedua tahun 2014.

    Penyusunan buku pedoman ini adalah langkah majuuntuk menjawab tantangan di bidang pelayanan,

    pendidikan, penelitian dan pengembangan. Di bidangpelayanan, pedoman ini dapat dimanfaatkan di setiapinstitusi yang berhubungan dengan penanganan cederaotak, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanandan menurunkan angka kecacatan dan kematian akibatcedera otak.

    Rumah sakit dr. Soetomo selain memberikan pelayanan kepada masyarakat luas,juga merupakan tempat pendidikan baik bagi tenaga medis maupun paramedis,mulai dari jenjang diploma hingga spesialisasi. Besar harapan kami bagi seluruh

    peserta didik untuk dapat memanfaatkan pedoman ini dengan baik sehingga prosespendidikan dapat berjalan sinergis dengan pelayanan yang prima.

    Pedoman ini berdasar evidence base medicine dan disusun sedemikian rupasehingga memberi peluang besar untuk pengembangan dan penelitian lebih lanjut.Beberapa fenomena kasus cedera otak masih mengundang pertanyaan yang saat inibelum semuanya terjawab dengan jelas.

    Kami berharap hasil kerja kerja keras ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagipara klinisi yang memberi pelayanan, para konsultan, dan peserta didik dokterspesialis, dokter muda serta paramedis dalam memberikan pelayanan terbaik dan

    kemajuan di masa mendatang.

    Wassalamualaikum Wr. Wb

    DirekturRumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya

    dr. Dodo Anondo, MPH

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    5/112

    SAMBUTANDEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

    AIRLANGGA SURABAYA

    Assalamualaikum Wr. Wb.

    Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atasberkat rahmat-Nya Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya dapatmenerbitkan buku Pedoman Tatalaksana Cedera Otak,edisi kedua yang disusun berdasarkan Evidence BaseMedicine (EBM).

    Pesatnya kemajuan ilmu dan tehnologi di bidang ilmukedokteran, membawa perubahan yang mendasar padapelayanan dan pendidikan khususnya bidang bedah syaraf.Cedera Otak adalah salah satu kasus emergency bidangbedah syaraf yang membutuhkan penanganan yang cepat,

    tepat, dan akurat.

    Pelayanan yang bermutu, yang didukung dengan pedoman baku yang ilmiah,merupakan bagian dari proses pendidikan yang sangat bermanfaat bukan hanyabagi pasien tetapi juga bagi peserta didik. Dalam sinergisme sistim pelayanan danpendidikan yang terpadu ini, dipastikan akan muncul hal baru yang memberi lahanbagi pengembangan dan penelitian terutama di bidang neurotrauma.

    Besar harapan saya bahwa buku pedoman ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknyaoleh mahasiswa kedokteran, dokter, peserta didik pendidikan spesialis, dokterspesialis, perawat, peserta didik keperawatan dan semua pihak yang terkait dalamproses pelayanan dan pendidikan. Pengembangan dan penyempurnaan ilmu yangtelah ada selalu saya harapkan dan saya dukung untuk memperluas khazanah danwawasan keilmuan.

    Kepada semua pihak yang telah bekerja keras menyiapkan dan menerbitkan bukupedoman ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya.Semoga bermanfaat dan terus berupaya mengembangkan keilmuan yang dimilikidemi kemanusiaan. Terima kasih.

    Wassalamualaikum Wr. Wb

    DekanFakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

    Prof. Dr. Agung Pranoto, dr., M.Sc., Sp. PD-KEMD FINASIM

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    6/112

    KATA PENGANTAR

    Cedera otak sampai saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian

    para dokter, khususnya yang berkecimpung dalam bidang neurotrauma dan

    perawatan gawat darurat.

    Problem utama pada cedera otak adalah tingginya angka kecacatan dan kematian.

    Angka kematian di RSUD,Dr.soetomo tahun 2002 s/d 2006 berkisar antara 6 %

    sampai 12 % keadaan ini lebih tinggi dibanding dibeberapa senter di luar negeri

    yaitu antara 3-8 %. Hal yang mengembirakan angka mortalitas ini terus menurun

    dari tahun ke tahun dan pada tahun 2013 sebesar 7,1 %. Hal lain yang perlu

    diperhatikan adalah, cedera otak banyak terjadi pada usia produktif yang tentu akan

    sangat mempengaruhi produktfitas dan kemajuan bangsa.

    Upanya memberikan pelayanan yang prima dan meningkatkan pengetahuan serta

    ketrampilan bagi para klinisi, sejawat dokter bedah saraf di pusat pelayanan

    kesehatan di daerah dan para peserta didik program spesialis bedah umum, bedah

    saraf, saraf dan aneatesi serta para dokter muda dan tenaga para medis, maka kami

    susun buku pedoman ini yang berbasis ilmiah, dengan sistematika yang mudah

    dipahami. Buku ini dapat sebagai acuan dalam mengambil keputusan yang cepat

    dan tepat pada saat yang tepat dalam menangani penderita cedera otak. Kecepatan

    dan ketepatan adalah faktor utama untuk menurunkan angka kecacatan dankematian akiba cedera pada susunan saraf.

    Semoga ALLAH SWT memberikan hidayah dan rahmadNYA sehingga tujuan mulya

    penyusunan pedoman ini dapat tercapai dan dapat memberikan manfaat demi

    kemanusiaan.

    Ketua Tim Neurotrauma

    RSUD.Dr.Soetomo-FK.Unair Surabaya.

    Prof. Dr. Abdul Hafid Bajamal, dr., Sp.BS.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    7/112

    DAFTAR ISI

    SUSUNAN TIM NEUROTRAUMA

    SAMBUTAN

    Direktur RSU. Dr Soetomo SurabayaDekan Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya

    KATA PENGANTAR

    DAFTAR ISI

    DAFTAR SINGKATAN

    I. PENDAHULUAN 1

    II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN 3

    III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM (GENERAL MEASURES) 6

    III.1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage 6

    III.2. Langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat 6

    III.2.1 Perlindungan Umum (General precaution) 6

    III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas 8

    III.2.3 Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak 8

    III.3 Survey Sekunder 9

    III.3.1 Anamnesis 9

    III.3.2 Pemeriksaan Fisik Umum 9

    III.3.3 Pemeriksaan Neurologis 10

    III.4 Observasi 11

    III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala 11

    III.6 Pemeriksaan CT Scan 12

    III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit 12

    III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala 13

    III.9 Lembar Pesanan Saat Pulang 13

    III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif ( ROI) 13

    III.11 Kriteria Masuk Ruang High Care Unit ( HCU ) / Ruang F1 14

    IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA KEPALA 15

    IV.1. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Ringan 15

    IV.2. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Sedang 16

    IV.3. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Berat 17

    V. REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN MEDIKAMENTOSA 18

    V.1. Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang 18

    V.2. Rekomendasi Penggunaan Manitol dan Hipertonik Saline 22

    V.3. Rekomendasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pemasangan Kateter

    Ventrikel

    26

    V.4. Rekomendasi Penggunaan Analgetik 28

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    8/112

    V.5. Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid 31

    V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer 33

    V.7. Rekomendasi Pemberian Nutrisi 37

    V.8. Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid Suppresor Agent 40

    V.9. Rekomendasi Penggunaan Citicoline 42

    V.10. Rekomendasi Penggunaan Piracetam 44

    V.11. Rekomendasi Penggunaan Neuropeptide 47

    V.12. Rekomendasi Penggunaan sel punca (Stem Cell) 49

    VI. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN

    (GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT)

    50

    VI.1. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH) 50

    VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural (SDH) 52

    VI.3. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak 56

    VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior 58

    VI.5. Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii 60

    VI.6. Rekomendasi Pembedahan Pada Diffuse Axonal Injury(DAI) 63

    VII. REKOMENDASI ACUAN PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL (GUIDELINE FOR

    INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND TREATMENT)

    65

    VII.1. Indikasi Pemasangan Alat Pantau Tekanan Intrakranial ventrikulostomi 65

    VII.2. Manajemen Tekanan Intrakranial 66

    VIII. ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK TRAUMATIKA PADA ANAK 72VIII.1. Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi 72

    VIII.2. Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial 75

    VIII.3. Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat 80

    VIII.4. Penggunaan Terapi Hyperosmolar untuk Mengendalikan Tekanan Intrakranial 83

    VIII.5. Peran Pengeluaran LCS pada Pengendalian TIK 87

    VIII.6. Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB 89

    VIII.7. Pembedahan untuk Hipertensi Intrakranial pada Pediatri 91

    IX. CEDERA OTAK TERKAIT OLAHRAGA 99

    IX. PENUTUP 103

    Cover dalam : Operasi Kepala. Dikutip dari Wilkins RH dan Rengachary SS (Eds). Neurosurgery. 2nd

    edition. McGraw-Hill. New York, 1996

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    9/112

    DAFTAR SINGKATAN

    CBF : Cerebral Blood Flow

    CMRO2 : Cerebral Metabolic Rate of O2

    COB : Cedera Otak Berat

    COR : Cedera Otak Ringan

    COS : Cedera Otak Sedang

    CPP : Cerebral Perfusion Pressure

    CSF : Cerebro Spinal Fluid

    CSS : Cairan Serebro Spinal

    CT Scan : Computed Tomography ScanningEDH : Epidural Hematoma

    EVD : External Ventricular Drainage

    GCS : Glasgow Coma Scale

    HCU : High Care Unit

    ICP : Intracranial Pressure

    IRD : Instalasi Rawat Darurat

    KRS : Keluar Rumah SakitLCT : Long Chain Triglycerides

    LCU : Low Care Unit

    MAP : Main Arterial Pressure

    MCT : Medium Chain Triglycerides

    MRS : Masuk Rumah Sakit

    NSAID : Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs

    PPI : Proton Pump Inhibitor

    RCT : Randomized Control Trial

    ROI : Ruang Observasi Intensif

    SDH : Sub Dural Hematoma

    SRMD : Stress Related Mucosa Damage

    TBI : Traumatic Brain Injury

    TIK : Tekanan Intra Kranial

    AAN :American Academy of Neurology

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    10/112

    1

    I.PENDAHULUAN

    Cedera otak masih merupakan problem yang banyak dihadapi oleh ahli bedah saraf,

    dan di Indonesia masih menjadi penyebab utama dari kecacatan, kematian danbiaya tinggi. Perkembangan pengetahuan mengenai patofisiologi dan tatalaksana

    cedera otak, sangat pesat pada dekade terakhir ini. Salah satu konsep sentral yang

    didasarkan pada penelitian laboratorium, klinis dan biomolekuler serta genetika,

    bahwa kerusakan neurologis tidak hanya terjadi pada saat terjadinya impak cedera,

    melainkan berkembang pada jam-jam dan hari-hari berikutnya. Kerusakan sistim

    syaraf dipengaruhi juga oleh kerentanan pasien terhadap cedera. Perkembangan

    patofisiologi ini memacu berkembang metode penanganan yang komprehensif,metode neurorestorasi dan rehabilitasi, dalam rangka meningkatkan outcome dari

    pasien cedera otak.

    Cedera otak atau sering disebut neurotrama, masih merupakan masalah yang serius

    di RSUD dr Soetomo. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr.

    Sutomo sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2013, didapatkan data:

    Data Penderita Cedera Otak RSU Dr. Soetomo

    Th. 2002 - 2013

    Tahun penderitaCO

    penderita

    COBTotal

    Kematian% Total kematian

    COB%

    2002 2005 455 225 11.22 169 37.14

    2003 1910 467 210 10.99 127 27.19

    2004 1621 275 134 8.27 81 29.45

    2005 1670 199 103 6.17 65 32.66

    2006 1588 195 98 6.17 49 25.13

    2007 1231 159 75 6.09 30 18.852008 1339 196 81 6.05 38 19.34

    2009 1487 209 76 5.11 29 13.87

    2010 916 126 123 13.4 98 77.7

    2011 1050 145 124 11.8 96 66.2

    2012 1026 173 106 9.96 72 41.6

    2013 1411 166 101 7.1 80 48.1

    Angka kematian pada semua tingkat keparahan cedera kepala berkisar antara

    6,171 % hingga 11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar

    literatur internasional, yaitu berkisar antara 3-8 %.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    11/112

    2

    Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera otak berat masih

    tinggi, berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan kecenderungan

    menurun. Angka ini relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu 22 %.

    Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasiencedera otak yang datang ke IRD.

    Tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan cedera otak di RSU Dr.

    Soetomo menunjukkan bahwa cedera otak memerlukan penanganan yang

    komprehensif. Prehospital care dan Hospital care merupakan faktor yang sangat

    penting untuk dibenahi dan ditingkatkan dalam rangka menurunkan morbiditas dan

    mortalitas.

    Pembenahan Hospital Care meliputi:

    1. Pembenahan tatalaksana, dengan cara:

    a. Pembuatan guideline yang merupakan pedoman praktek kedokteran

    (PPK) yang juga berisi algoritma tatalaksana cedera otak.

    b. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (provider)

    c. Pemenuhan sarana dan prasarana gawat darurat

    d. Pemenuhan sarana dan prasarana perawatan high care unit (HCU)

    e. Penelitian dan pengembangan klinis dan laboratoris

    2. Pembenahan tatalaksana Pre-Hospital care, dengan cara:

    a. Sosialisasi Guideline

    b. Peningkatan sistem rujukan

    c. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia dengan cara

    pendidikan berkelanjutan.

    3. Kerjasama dengan pusat neurotrauma lain

    4. Evaluasi berkala

    Target pencapaian adalah menurunnya mortalitas dan morbiditas sebesar 1% per

    tahun di RSUD Dr. Sutomo, sehingga pada lima tahun pertama tercapai angka

    morbiditas dan mortalitas yang sama dengan pusat neurotrauma internasional.

    Langkah awal adalah tersusunnya pedoman ini.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    12/112

    3

    II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN

    Proses pembuatan guideline atau Pedoman Praktek klinik cedera otak, diawali pada

    tahun 2004 di SMF/ Lab. Bedah Saraf RSUD Dr. Soetomo FK Universitas Airlangga

    dengan membentuk tim neurotrauma yang terdiri dari para ahli bedah saraf,

    anestesi, peserta didik spesialis bedah saraf dan anestesi serta paramedis di Instalasi

    Rawat Darurat dan Instalasi Rawat Inap Bedah. Tim neurotrauma melakukan

    pengumpulan data, identifikasi masalah, opini, pengalaman praktis dan studi

    literatur serta penelitian yang berkaitan dengan cedera otak.

    Pedoman ini terdiri dari dua bagian besa, yaitu algoritma tatalaksana cedera otak

    di RSUD Dr. Soetomo dan rekomendasi untuk perawatan dan terapi baik dengan

    intervensi pembedahan maupun tanpa pembedahan.

    Pembuatan pedoman ini berdasarkan evidence based medicine dengan membagi

    tingkat terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori rekomendasi yaitu A, B dan C

    (Adelson 2003; Mod. SIGN / Scottish Intercollegiate Guideline Network 2011) :

    A. Didapat dari level pembuktian klas I, adalah metode terapi atau

    intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat

    prospektif randomized controlled trial (RCT) atau meta analisis dari

    penelitian yang bersifat RCT. Metode ini merupakan gold standard

    ataustandard (high degree of clinical certainty).

    B. Didapat dari level pembuktian klas II, adalah metode terapi atau

    intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat

    analisis baik prospektif maupun retrospektif (studi observasional,kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode ini merupakan

    guideline (moderate clinical certainty).

    C. Didapat dari level pembuktian klas III, adalah metode terapi atau

    intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian retrospektif,

    serial case, dari data registrasi pasien, laporan kasus, review kasus,

    dan pendapat ahli (level pembuktian IV). Metode ini merupakan

    option (unclear clinical certainty).

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    13/112

    4

    Level of Evidence (pembuktian klas)

    Mod. SIGN ( Scottish Intercollegiate Guideline Network ) 2011

    No level ofEvidence

    Evidence finding

    1. I - a Evidence diperoleh berdasar hasil metaanalisis atau

    sistemik review dari berbagai uji klinik acak dengan

    kontrol/kelola (randomized controlled trials Study / RCT)

    2. I - b Evidenceberasal dari minimal satu uji klinik acak dengan

    kontrol/kelola ( RCT)

    3. II - a Evidence berasal dari paling sedikit satu uji klinik dengan

    pembanding, tapi tanpa randomisasi

    4. II - b Evidence berasal dari paling sedikit satu hasil penelitian

    dengan rancangan quasi-eksperimental

    5. III Evidence berasal dari penelitian deskriptif non

    eksperimental (studi komparatif, korelasi dan studi kasus)

    6. IV Evidence berasal dari laporan komite ahli atau opini,

    maupun pengalaman klinik ahli yang diakui.

    KLASIFIKASI REKOMENDASI ( EBM-HTA ) Adelson, 2003 :

    (Diagnostik maupunTindakan)

    1. Gold Standard (High degree of clinical certainty) > ( I-a, I-B )

    Rekomendasi : A

    2. Guideline (Moderate clinical certainty) > ( II-a, II-b)Rekomendasi : B

    3. Option (Unclear clinical certainty) > ( III- IV )

    Rekomendasi : C

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    14/112

    5

    Sistematika penulisan dan isi dari pedoman adalah sedemikian rupa sehingga sesuai

    dengan kondisi di RSUD Dr. Soetomo sebagai rumah sakit tersier tipe A pendidikan.

    Diharapkan secara mudah para klinisi, konsultan, peserta didik program dokter

    spesialis dan mahasiswa kedokteran serta paramedis dapat menggunakannya.

    Acuan dan rekomendasi yang disarankan, diperoleh dari penelitian klinis dan

    laboratorium serta eksplorasi jurnal atau referensi, sehingga sangat mungkin

    berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

    Secara berkala pedoman ini akan dilakukan evaluasi dan dilakukan penelitian

    pendukung sehingga dihasilkan acuan dan rekomendasi dengan tingkat kepercayaan

    klinis (clinical certainty) yang lebih tinggi.

    Editor

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    15/112

    6

    III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM ( GENERAL MEASURES )

    III. 1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage IRD

    Triage atau penapisan, bertugas memeriksa tanda vital dan memberi labelsesuai kegawatan. Semua pasien cedera otak segera dikonsultasikankan pada

    dokter jaga bedah saraf.

    III.2. Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat

    1. General precaution

    2. Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (Airway, Breathing, Circulation)

    3. Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan

    pemeriksaan fisik seluruh organ)

    4. Pemeriksaan neurologis

    5. Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan

    6. Menentukan diagnosis pasti

    7. Menentukan tatalaksana

    III.2.1. Perlindungan Umum (General precaution)

    Perlindungan umum (General precaution) terdiri dari :

    a. Informed to Consent dan Informed Consent

    b. Perlindungan diri

    No Jenis Perlindungan

    1. Mencuci tangan dengan antiseptik

    - setelah terkena darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda

    yang terkontaminasi

    - segera setelah melepas sarung tangan

    - diantara pemeriksaan 2 pasien yang berbeda

    2. Pemakaian sarung tangan

    - jika akan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau

    benda benda yang terkontaminasi

    - jika bersentuhan dengan mukosa atau kulit yang tidak intak

    3. Pemakaian Masker, dan goggles

    - untuk melindungi mukosa mata, hidung dan mulut ketika akan

    berhadapan dengan darah atau cairan tubuh

    4. Pemakaian Jubah Pelindung ( gowns)

    - untuk melindungi kulit dari darah atau cairan tubuh

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    16/112

    7

    - mencegah pakaian terkena kotoran selama prosedur pemeriksaan

    yang melibatkan kontak dengan darah dan cairan tubuh

    5. Linen

    - hindari kontak kulit dan mukosa dengan linen kotor yang

    terkontaminasi- jangan mencuci linen kotor di daerah perawatan pasien

    6. Alat perawatan pasien

    - hindari kontak kulit dan mukosa dengan alat yang telah

    terkontaminasi dan jangan sampai mengenai baju yang dipakai

    serta lingkungan sekitarnya

    - alat yang telah dipakai harus dicuci sebelum digunakan kembali

    7. Kebersihan lingkungan

    - area perawatan pasien harus dibersihkan secara rutin dengan

    menggunakan desinfektan8. Benda tajam

    - jangan menutup ulang jarum suntik yang telah digunakan

    - jangan melepas jarum suntik bekas dari syringnya

    - jangan membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum

    bekas dengan tangan

    - buang benda tajam di dalam kontainer anti tembus.

    10. Resusitasi pasien

    - hindari resusitasi dari mulut ke mulut. Gunakan mouthpiece,

    resusitation bags, atau alat bantu ventilasi lain.

    11. Penempatan pasien

    - pasien yang dapat menimbulkan kontaminasi pada lingkungan

    ditempatkan pada ruangan khusus

    Tabel 3.1 Perlindungan Umum (General Precaution) ( Dikutip dari Guidelines for Healthcare Facilities

    with Limited Resources )

    c. Persiapan alat dan sarana pelayanan

    Sebelum melakukan tindakan maka dokter bertanggung jawab dalam kelengkapan

    dan keberfungsian dari alat dan sarana kesehatan yang diperlukan dalam tindakan

    yang akan dilakukan. Sebelum melakukan tindakan medik maka dokter yang akan

    melakukan tindakan harus melakukan persiapan dan mejamin bahwa alat dan

    sarana yang akan dipakai lengkap dan terjamin keselamatannya.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    17/112

    8

    III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas

    Pemeriksaan Evaluasi Perhatikan, catat, dan

    perbaiki

    A.Airway Patensi saluran napas ?

    Suara tambahan ?

    Obstruksi ?

    B. Breathing Apakah oksigenasi

    Efektif. ?

    Ratedan depth

    Gerakan dada

    Air entry

    Sianosis

    C. Circulation Apakah perfusi

    Adekuat ..?

    Pulse rate dan volume

    Warna kulit

    Capilarry return

    Perdarahan

    Tekanan darah

    D. Disability

    ( status neurologis )

    Apakah ada kecacatan

    neurologis ?

    Tingkat kesadaran-

    menggunakan sistem

    GCS atau AVPU.Pupil (besar, bentuk,

    reflek cahaya,

    bandingkan kanan-kiri)

    E. Exposure

    (buka seluruh pakaian)

    Cedera organ lain ? Jejas, deformitas, dan

    gerakan ekstremitas.

    Evaluasi respon terhadap

    perintah atau rangsang

    nyeri

    Tabel 3.2 Survei Primer Pasien cedera otak

    III.2.3. Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak

    1. Penanganan cedera otak primer

    2. Mencegah dan menamgani cedera otak sekunder

    3. Optimalisasi metabolisme otak

    4. Rehabilitasi

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    18/112

    9

    III.3. Survey Sekunder

    III.3.1 Anamnesis

    Informasi yang diperlukan adalah:

    Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat Keluhan utama

    Mekanisma trauma

    Waktu dan perjalanan trauma

    Pernah pingsan atau sadar setelah trauma

    Amnesia retrograde atau antegrade

    Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang,

    vertigo

    Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala

    Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala,

    hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah

    III.3.2 Pemeriksaan fisik Umum

    Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta

    pemeriksaan khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode:

    Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,

    Per organ B1 B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)

    Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah:

    1. Pemeriksaan kepala

    Mencari tanda :

    a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka,

    luka tembus dan benda asing.

    b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill

    hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan

    otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis

    auditorius.

    c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima

    orbita dan fraktur mandibula

    d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan

    bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    19/112

    10

    e.Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang

    berhubungan dengan diseksi karotis

    2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.

    Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dancedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status

    motorik, sensorik, dan autonomik.

    III.3. 3 Pemeriksaan Neurologis

    Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :

    a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale(GCS).

    Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC

    diklasifikasikan:

    GCS 14 15 : Cedera otak ringan (COR)

    GCS 9 13 : Cedera otak sedang (COS)

    GCS 3 8 : Cedera otak berat (COB)

    b. Saraf kranial, terutama:

    Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya,

    reflek konsensuil bandingkan kanan-kiri

    Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.

    c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal

    detachment.

    d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari

    tanda lateralisasi.

    e. Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek

    tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    20/112

    11

    III.4 Observasi

    Menggunakan lembar observasi umum ( tanda vital: tensi, nadi, pernafasan,

    dan suhu) dan lembar observasi neurologis khusus bedah saraf. Contoh lembar

    observasi neurologis sebagai berikut:

    Gambar 3.1 Lembar observasi status neurologis. Data menunjukkan penurunan tingkat

    kesadaran disertai dilatasi pupil dan hemiparesis. GCS menurun dari 15 menjadi 5

    menunjukkan bahwa telah terjadi keterlambatan penanganan. Data ini menggambarkan

    penanganan yang kurang tepat

    III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala

    Indikasi pemeriksaan foto polos kepala :

    1.Kehilangan kesadaran, amnesia

    2.Nyeri kepala menetap

    3.Gejala neurologis fokal

    4.Jejas pada kulit kepala

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    21/112

    12

    5.Kecurigaan luka tembus

    6.Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga

    7.Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba

    8.Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak9.Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko :

    benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasienusia > 50

    tahun.

    III.6. Pemeriksaan CT Scan

    Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala :

    1. GCS< 13 setelah resusitasi.

    2. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis,

    kejang.

    3. Nyeri kepala, muntah yang menetap

    4. Terdapat tanda fokal neurologis

    5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur

    6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus

    7. Evaluasi pasca operasi

    8. pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ )

    9. Indikasi sosial

    III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit

    Pasien cedera kepala akan dirawat di rumah sakit dengan kriteria sebagai

    berikut:

    1. Kebingungan atau riwayat pingsan / penurunan kesadaran

    2. Keluhan dan gejala neurologik, termasuk nyeri kepala menetap dan

    muntah

    3. Kesulitan dalam penilaian klinis, misalnya pada alkohol, epilepsi

    4. Kondisi medik lain : gangguan koagulasi, diabetes mellitus

    5. Fraktur tengkorak

    6. CT scan abnormal

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    22/112

    13

    7. Tak ada yang dapat bertanggung jawab untuk observasi di luar rumah

    sakit

    8. Umur pasien diatas 50 tahun

    9.Anak-anak10.Indikasi sosial

    III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala

    Kriteria pasien cedera kepala dapat dipulangkan dengan pesan :

    - Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan

    - Tidak ada gejala neurologis

    - Keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang

    - Tak ada fraktur kepala atau basis kranii

    - Ada yang mengawasi di rumah

    - Tempat tinggal dalam kota

    III.9 Lembar Pesanan saat Pulang

    Pasien cedera kepala yang pulang diberi lembar peringatan. Harap segera

    dibawa ke IRD bila :

    - Muntah makin sering

    - Nyeri kepala atau vertigo memberat

    - Gelisah atau kesadaran menurun

    - Kejang

    - Kelumpuhan anggota gerak

    III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif (ROI)

    Kriteria pasien cedera otak yang memerlukan perawatan di ROI :

    - GCS < 8

    - GCS < 13 dg tanda TIK tinggi

    - GCS < 15 dengan lateralisasi

    - GCS < 15 dengan Hemodinamik tidak stabil.

    - Cedera kepala dengan defisit neurologis belum indikasi tindakan

    operasi.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    23/112

    14

    - Pasien pasca operasi

    Kriteria pasien pindah dari ROI ke Ruang HCU / F1

    - pasien cedera kepala yang tidak memerlukan ventilator dan

    transportable ( layak transport ).- Telah dilakukan koordinasi dengan ruang HCU / F1

    III.11 Kriteria masuk Ruang High Care Unit (HCU) / Ruang F1

    - Pasien dengan CT scan abnormal yang belum indikasi operasi

    - Pasien COR dan COS yang tidak memenuhi kriteria masuk ROI dan

    memerlukan observasi ketat.

    - Pasien yang memerlukan perawatan dengan observasi ketat paska

    pindah dari ICU/ROI IRD.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    24/112

    15

    IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA OTAK

    IV.1 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Ringan

    Pasien

    IRD

    Cepat

    memburuk

    OPERASIMRS di ruang

    HCU - F

    1. Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC)

    2. Anamnesis, fisik diagnostik

    3. Pemeriksaan radiologis, sesuai indikasi

    4. Pemeriksaan lab : DL dan GDA + Lab lain sesuai indikasi5. Tx. Simtomatik + Antibiotik sesuai indikasi

    6. Lapor jaga bedah saraf

    Resusitasi + Rediagnosis

    Infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam

    (anak < 2 tahun: D5 0.25 NS)

    Puasa6 jam

    Obat simptomatik IV atau supp Observasi ketat sebagai pasien cidera

    otak

    Catat keadaan vital dan neurologis bila

    akan dikirim ke ruangan perawatan

    Serah terima penderita serta informasi

    lengkap keadaan penderita

    ICU - ROI

    R. Perawatan ( LCU )

    KRS

    ICU ROI - 1 Operasi

    VS. StabilNeurologis Stabil

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    25/112

    16

    IV.2 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Sedang

    Penderita

    IRD

    Operatif MRS di ruang HCU - F

    Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang

    collar brace

    Lapor jaga bedah saraf Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya

    Pemeriksaan darah (DL, BGA, GDA, cross match)

    Bila tensi stabil, infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam

    Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis

    Obat simptomatik IV atau supp Bila telah stabil CT scan kepala, foto leher lat, thorak

    foto AP Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi

    Pasang kateter, evaluasi produksi urine

    Membaik Memburuk

    Ruang

    Perawatan (LCU)

    Stabilisasi + Resusitasi

    Rediagnosis citoVS. Stabil

    Neurologis Stabil

    ICU-ROI

    ICU - ROI Operasi

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    26/112

    17

    IV.3 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Berat

    Penderita

    IRD

    Lapor jaga bedah saraf

    Operasi

    MRS di ICU -ROI

    Bila keadaan fungsi vital telah stabil Catat keadaan terakhir sebelum dikirim ke ruangan ICU

    Lakukan serah t erima secara lengkap ( keadaan penderita,

    obat-obatan yang diberikan dan rencana perawatan)

    Resusitasi airway, breathing dansirkulasi

    Bersihkan lendir, benda asing, jawthrust bila perlu, kepala tidakboleh hiperextensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring ataunasofaring tube bila perlu. Bila ada sumbatan jalan nafas akut

    dilakukan cricothyrotomi danpersiapan intubasi atau tracheostomi Intubasi + kontrol ventilasi( PCO2 35 40 mmhg,, PaO2 : 80 200

    atauSpo2 >97 % ), pasang pipa lambung Pasangcollar brace Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tanda-

    tanda pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa.. Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl, atau koloid atau

    darah). Cari penyebab, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg. Ada tanda-tanda TIK meningkat dantidakada hipotensi ataugagal

    ginjal dan atau gagal jantung, manitol 20% 200 ml bolus dalam20 menit atau 5 ml/kgBB, dilanjutkan 2 ml/ kgBB dalam 20 menitsetiap 6 jam, jaga osmolalitas darah < 320 mOsm.

    Bila kejang : Diazepam 10 mg iv pelan, dapat ditambah hinggakejang berhenti. Awasi depresi nafas, dilanjutkan phenitoinbolus10-18 mg/kgBB encerkan dengan aqua steril 20 ml iv pelan,dilanjutkan 8 mg/kgBB

    Bila telah stabil Infus cairanisotonis (NaCl 0,9 %)1,5 ml/kgBB/jam pertahankan euvolume,pemasangan CVP atasindikasi.

    . Pemeriksaan lab DL, BGA, GDA, cross match

    Anamnesis pemakaian obat-obatan, sedasi, narkotika, intaketerakhir, alergi

    Pemeriksaan fisik umum danneurologis Obatsimptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urine Tanda vital stabil CT scan kepala, foto leher lat, thorakfot AP, Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi

    Pemeriksaan refleks batang otak. Hati-hati pada pemeriksaanreflek oculocephalik

    Pasang ICP monitor, pertahankan tekanan

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    27/112

    18

    V. REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN MEDIKAMENTOSA

    V.1 Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang

    Standard : Belum ada data yang mendukungGuideline 1) Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu pertama

    pasca trauma. Alternatif obat yang efektif adalah phenytoin

    dan levetiracetam.

    2) Pengobatan profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin

    dilakukan setelah 7 hari pasca trauma karena tidak

    menurunkan resiko kejang fase lanjut pasca trauma.

    3) Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah kejang

    fase dini pasca trauma

    Option : -

    Penjelasan Rekomendasi :

    Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang

    pasca trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi.

    Diperbolehkan untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap

    terjadinya kejang pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca trauma

    (early type)pada pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kejang pasca

    trauma. Fenitoin atau Carbamazepin terbukti efektif untuk kejang pasca trauma tipe

    dini oleh karena pada fase ini belum terbentuk fokus epilepsi. Penelitian Torbic tahun

    2013 tentang levetiracetam sebagai obat anti epilepsi terbaru menunjukkan bahwa

    levetiracetam memiliki efikasi yang sebanding dengan fenitoin sebagai profilaksis

    kejang pasca trauma dan dibandingkan fenitoin, levetiracetam memiliki efek

    samping yang lebih sedikit.

    Kriteria pasien risiko tinggi kejang pasca trauma:

    1. GCS 10

    2. Immediate seizures

    3. Kontusio kortikal

    4. Fraktur linier

    5. Penetrating Head Injury

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    28/112

    19

    6. Fraktur depresi

    7.Alkoholik kronis

    8. Post traumatic Amnesia> 30 menit

    9. Epidural, subdural, atau intracerebral hematom10.Defisit neurologis fokal

    11.Usia 65 tahun atau 15 tahun

    Dosis dan cara pemberian : Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk

    menurunkan resiko kejang pasca trauma tipe awal dimulai dengan dosis loading

    segera setelah trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20 mg/kgBB dalam 100 cc

    NS 0,9% dengan kecepatan infus maksimum 50 mg/menit.Pada pasien pediatri dosis

    loading fenitoin yang direkomendasikan 10-20 mg/kgBB, diikuti dosis rumatan 5

    mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10

    mg/kgBB/hari untuk mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml.

    Pengobatan profilaksis dengan levetiracetam dilakukan dengan cara pemberian dosis

    500 mg setiap 12 jam selama 7 hari setelah cedera otak tanpa pemberian loading

    dose.

    Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)

    No Penulis Deskripsi Penilaian TP/DR Kesimpulan

    1 Temkin

    et al., 1990

    Penelitian

    randomized double

    blind untuk

    mengetahui

    efektifitas

    pemberian feniotin

    untuk mencegah

    kejang pasca

    trauma

    II/B Fenitoin hanya efektif untuk

    mencegah kejang dini pasca

    trauma

    2 Golden N,

    1996

    Penelitian

    retrospektif dengan

    rancangan case

    II/B Faktor resiko terjadinya epilepsi

    pasca trauma dini:

    -usia < 15 tahun

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    29/112

    20

    control study untuk

    mengetahui

    pengaruh faktor

    risiko terhadapangka kejadian

    epilepsi pasca

    trauma dini

    -fraktur depress

    -lesi intrakranial

    -defisit neurologis fokal

    3 Annegers

    et al.,1998

    Penelitian

    retrospektif untuk

    mengetahui

    karakteristik cedera

    otak yang

    berhubungan

    dengan timbulnya

    kejang pasca

    trauma

    II/B Faktor resiko yang signifikan:

    - subdural hematom

    - skull factures

    - amnesia lebih dari satu hari

    - usia > 65 tahun

    4 Temkin

    et al., 1999

    Penelitian

    randomized double-

    blinduntuk

    mengetahui

    efektifitas fenitoin

    yang diberikan

    selama 1 minggu

    dibandingkan asam

    valproat yang

    diberikan selama 1

    atau 6 bulan sebagai

    profilaksis kejang

    pasca trauma

    II/B Tidak didapatkan perbedaan

    yang signifikan untuk terjadinya

    kejang pasca trauma lanjut

    pada pasien yang mendapatkan

    terapi fenitoin selama 1 minggu

    dibandingkan dengan yang

    mendapatkan terapi asam

    valproat selama 1 atau 6 bulan

    5 Chang SB,

    Lowenstein

    DH, 2003

    Meta analisis

    beberapa penelitian

    level l,ll untuk

    II/B Pengobatan profilaksis dengan

    Fenitoin, dimulai dengan dosis

    loading segera setelah trauma

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    30/112

    21

    mengetahui peranan

    profilaksis obat anti

    epilepsi pada

    penderita cederaotak berat

    efektif menurunkan resiko

    kejang dini pasca trauma.

    Profilaksis tidak efektif untuk

    kejang fase lanjut. Faktor resikoterjadinya kejang :

    cedera otak berat, amnesia atau

    tidak sadar berkepanjangan,

    hematom intrakranial atau

    kontusio serebri, dan fraktur

    depress.

    6 Torbic H

    et al., 2013

    Meta analisis

    penelitian level I

    dan II untuk

    mengetahui

    efektivitas obat-

    obatan anti kejang

    dan faktor risikonya

    II/B Profilaksis anti kejang efektif

    diberikan pada 1 minggu

    pertama pasca trauma.

    Alternatif obat yang efektif

    adalah phenytoin dan

    levetiracetam.

    Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

    Referensi

    Algattas H and Huang JH. Traumatic brain injury pathophysiology and

    treatments: early, intermediate and late phases post injury. Int. J. Mol.

    Sci. 2014, 15, 309-41; doi: 10.3390/ijms 15010309.

    Annegers JF et al.A Population Based Study of Seizure After Traumatic Brain

    lnjuries. TheNEJM 1998

    Chang S, Bemard and Lowenstein H Daniel. Practice parameter: Antiepileptic

    drug prophylaxis insevere traumatic brain injury: Report of the Qua|ity

    Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology.

    Neurotogy 2003; 60:10-6.

    Golden N. Pengaruh Faktor Resiko terhadap Angka Kejadian Epilepsi Pasca

    Trauma Dini di RSUD Dr Soetomo. Karya Tulis Akhir PPDS I llmu Bedah

    Saraf, Lab AJPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1996

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    31/112

    22

    Temkin et al.A randomized double blind study of phenytoin for prevention of

    post traumaticseizures. The NEJM 1990; 323 :497-502.

    Temkin et al.Valproate therapy for prevention of post traumatic seizures: a

    randomized trial. J Neurosurg 1999;91:593600.Torbic H et al. Use of antiepileptics for seizure prophylaxis after traumatic

    brain injury. Am J Health-Syst Pharm. 2013; 70:759-66

    V2. Rekomendasi penggunaan manitol dan Sodium Laktat Hipertonis

    Standard Terapi dengan menggunakan larutan sodium laktat hiperosmolar

    lebih efektif dalam menurunkan TIK bila dibandingkan dengan

    manitol

    Guideline Manitol membantu menurunkan TIK pada pasien COB.

    Pemberian secara bolus dengan dosis 0,251 gr/kgBB lebih

    dianjurkan dibandingkan pemberian secara terus menerus

    Option 1) Pemberian manitol dapat dilakukan sebelum pemasangan

    ICP Monitor jika didapatkan tanda-tanda herniasi

    transtentorial atau terjadi penurunan kesadaran yang

    progresif. Serum osmolaritas harus dibawah 320 mmol/l

    untuk mencegah terjadinya gagal ginjal. Pasien harus

    dipertahankan dalam kondisi euvolemia dan dipasang

    katater urine untuk memonitor produksi urine.

    2) Terapi dengan menggunakan larutan sodium laktat

    hiperosmolar lebih efektif dalam menurunkan TIK bila

    dibandingkan dengan manitol

    Penjelasan Rekomendasi :

    Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol dapat

    menurunkan TIK dengan cara menarik cairan ke dalam ruangan Intra vaskular (TIK

    me CBF dan CPP me). Manitol secara bermakna menurunkan mortalitas COB

    tipe non surgical mass lesion bila tidak ada episode hipotensi atau hipoksia selama

    perawatan pada GCS 35 atau CT Scan menunjukkan kontusio serebri grade III

    Sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20%. Manitol diberikan bolus 0,25

    1 gr/KgBB dalam 10 20 menit, setiap 4 8 jam. Sebelum memberikan manitol

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    32/112

    23

    harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, gula darah, dan elektrolit

    darah. Penghitungan osmolaritas awal darah dilakukan sebelum pemberian manitol.

    Dan harus terpasang foley kateter untuk pengukuran diuresis.

    Osmolaritas = 2(Na+

    + K+

    ) + Glukosa/18 + BUN/2,8Dalam menggunakan manitol maka harus dilakukan observasi ketat untuk menjaga

    pasien agar tetap dalam keadaan euvolemia dan osmolaritas serum

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    33/112

    24

    2 Gemma

    et al., 1997

    Prospective

    randomized

    Clinical study

    membandingkan efekhypertonic saline7,5 %

    dengan manitol 20 %

    II/B Hypertonic salinesama

    efektifnya dengan manitol

    dalam menurunkan edema

    otak selama proses operasibedah saraf

    3 Balafif F.,

    Bajamal A.H.,

    1999

    Studi case control

    Membandingkan antara

    pasien COB tipe "non

    surgical mass lession"

    yang mendapat

    manitol secara empiris

    dengan tanpa manitol.

    II/B Manitol secara bermakna

    menurunkan mortalitas COB

    tipe non surgical mass

    lession bila tidak ada episode

    hypotension atau hypoksia

    selama perawatan pada GCS

    3-5 atau CT scan

    menunjukkan kontusio grade

    lll

    4 Qureshi

    et al.,2000

    Reviewdari literatur

    tentang hipertonik salin

    dalam terapi edema

    otak dan hipertensi

    intrakranial

    III/C Hipertonik saline

    menunjukkan efek yang

    menguntungkan dalam hal

    penurunan TIK sekaligus

    menjaga hemodinamik pada

    penelitian klinis dan di

    laboratorium

    5 Faris M.,

    Wahyuhadi J.,

    2009

    Penelitian eksperimen

    dengan analisis

    komparatif antara

    pemberian sodium

    laktat dengan manitol

    dalam menurunkan TIK

    I/A Hipertonik sodium laktat dan

    manitol efektif dan aman

    dalam pengobatan

    peningkatan TIK. Hipertonik

    sodium laktat lebih efektif

    dibandingkan manitol

    6 Ichai C,

    et al.,2009

    Prospective open

    randomized study

    membandingkan terapi

    sodium laktat

    I/A Terapi dengan menggunakan

    larutan sodium laktat

    hiperosmolar lebih efektif

    dalam menurunkan TIK bila

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    34/112

    25

    hiperosmolar dengan

    manitol dalam

    menurunkan TIK pada

    kasus cedera otak

    dibandingkan dengan manitol

    7 Ardyansyah A.,

    Wahyuhadi J.,

    2011

    Penelitian eksperimen

    dengan analisis

    komparatif antara

    pemberian Hipertonik

    natrium laktat dengan

    manitol dalam

    menurunkan TIK

    I/A Hipertonik natrium laktat

    dapat menurunkan TIK lebih

    banyak dan lebih lama

    dibandingkan manitol

    8 Wakai

    et al.,2013

    Randomized control

    trialdengan pemberian

    manitol pada pasien

    trauma akut cedera

    otak sedang dan berat

    I/A Pemberian manitol lebih baik

    dibandingkan dengan

    pemberian pentobarbital dan

    kurang menguntungkan jika

    dibandingkan dengan

    pemberian cairan hipertonik

    saline.

    Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

    Referensi

    Ardyansah A., Wahyuhadi J., Perbandingan Pemberian Dosis Multipel

    Hipertonik Natrium Laktat dan Manitol terhadap Penurunan Tekanan

    Intrakranial pada Penderita Cedera Otak Berat tanpa Indikasi Operasi

    dengan Tekanan Intrakranial lebih dari 20 mmHg, SMF Bedah Saraf

    RSU Dr Soetomo, 2011

    Balafif F., Bajamal A.H., Pengaruh Pemberian Mannitol secara empiris pada

    penderita cedera otak berat tipe Non Surgical Mass Lession di RS dr.

    Soetomo Surabaya. 1999

    Faris M. Wahyuhadi J., Perbandingan Pengaruh Pemberian Hipertonik Sodium

    Laktat dan Manitol terhadap Progresifitas Penurunan Tekanan

    Intrakranial Penderita Cedera Otak Berat Lesi Non Operatif. SMF Bedah

    Saraf RSU Dr Soetomo,2009

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    35/112

    26

    Gemma M, Cozzi S, Tommasino C, Mungo M, Catvi MR, Cipriani A, Garancini

    MP. 7.5% Hypertonic saline versus 20% mannitol during elective

    neurosurgical supratentorial procedures, J Neurosurg Anesthesiol,

    1997;9(4):329 34Ichai C, Armando G, Orban JC, et al.Sodium Lactate versus Mannitol in The

    Treatment of Intracranial Hypertensive Episodes in Severe Traumatic

    Brain-injured Patients. Intensive Care Med, 200935:471 479

    Iskandar J. Cedera Kepala. BIP. 2004

    Mendelow AD, et al.Effect of mannitol on cerebral blood flow and cerebral

    perfusion pressure in human head injury. J Neurosurg 1985;63:43-9

    Reilly P, Selladurai B. Initial Management of Head Injury: a Comprehensive

    Guide. McGraw Hill, 2007, p177 205

    Qureshi AI, Suarez JI, Use of hypertonic saline solutions in treatment of

    cerebral edema and intracranial hypertension, Crit Care Med,

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/110089962000;28(9):3301-13

    Wakai A, McCabe A, Roberts I and Schierhout G. Mannitol for acute traumatic

    brain injury. Cochrane Database Syst Rev. Aug 5, 2013

    V.3 Rekomendasi penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pemasangan

    Kateter Ventrikel

    Standard : Belum ada data yang mendukung

    Guideline : Belum ada data yang mendukung

    Option 1. Pemberian antibiotik pada pemasangan dan penggantian kateter

    ventrikel setiap 5 hari tidak mengurangi resiko infeksi

    2. Penggunaan antibiotik lokal maupun sistemik tidak menurunkan

    resiko infeksi pada pemasangan kateter ventrikel.

    Penjelasan Rekomendasi :

    Pada COB karena trauma, angka kejadian infeksi dapat meningkat pada tindakan

    pemasangan ICP monitor, tindakan ventilasi mekanik dsb. Pada umumnya infeksi

    ditemukan pada 10 hari pertama setelah pemasangan ventriculostomy. Tidak ada

    pengaruh antara kateter yang diganti setiap 5 hari atau tidak. Infeksi memberi

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    36/112

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    37/112

    28

    kateter yang diganti

    setiap 5 hari atau tidak.

    3 Arabi

    et al.,2005

    Analisa terhadap

    insidens infeksi

    ventrokulostomy dan

    evaluasi terhadap faktor

    resikonya.

    III/C Penggunaan antibiotik

    lokal maupun sistemik

    tidak menurunkan resiko

    infeksi pada

    pemasangan kateter

    ventrikel.

    Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

    Referensi

    Arabi Y, Memish ZA, Balkhy HH, Ventriculostomy-associated infections:

    Insidence and risk factors. ,Amj Infect Control 2005;33:137-43.

    Holloway KL, Barnes T, Choi S. Ventriculostomy infections: the effect of

    monitoring duration and catheter exchange in 584 patients. J

    Neurosurg 1996;85:41924.

    Sundbarg G, Nordstrom C-H, Soderstrom S. Complication due to

    prolonged ventricular fluid pressure recording. Br. J Neurosurg

    1988;2:48595.

    Yuen, ECP.2004. The use of prophylactic antibiotic in trauma. Hong Kong

    Journal of Emergency Medicine

    V.4 Rekomendasi penggunaan analgetik

    Standard : Belum ada data pendukung

    Guideline 1. Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada pasien

    trauma kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal 5 hari.

    2. Obat-obatan NSAID lainnya seperti ibuprofen dan naproxen bisa

    diberikan per-oral.

    3. Ketoprofen supp dan acetaminophen supp bermanfaat

    mengurangi nyeri pada COR.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    38/112

    29

    Option 1. Belum ada data yang tidak membolehkan metamizol diberikan

    pada pasien trauma kepala (Insiden agranulocytosis 92% terjadi

    pada 2 bulan pertama pemakaian metamizol)

    2. Indometasin dapat bermanfaat untuk menurunkan tekananintrakranial yang refrakter pada cedera kepala berat.

    Penjelasan rekomendasi :

    Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan TIK dan harus ditangani. Pada pasien

    cedera otak terjadi peningkatan kadar PG dimana PG berperan dalam proses rasa

    nyeri. NSAID seperti ketorolac, metamizol dan ketoprofen bermanfaat mengurangi

    nyeri dengan menghambat sintesa PG melalui blokade enzim Cyclooxigenase (COX).Acetaminophen bukan termasuk NSAID namun memiliki mekanisme yang sama

    dalam menghambat sintesa PG melalui blokade enzim COX. Peningkatan kadar

    prostaglandin terjadi pada pasien cedera otak. Namun pemakaian obat NSAID dapat

    pula menyebabkan perdarahan saluran cerna dan gangguan fungsi ginjal.

    Indometasin merupakan golongan NSAID yang mempunyai sifat anti inflamasi,

    analgesik dan antipiretik melalui efek inhibisi reversibel terhadap enzim COX.

    Indometasin dapat berfungsi sebagai terapi alternatif dalam manajemen

    peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter pada COB. Namun mekanisme aksi

    indometasin dalam menurunkan cerebral blood flow (CBF) dan tekanan intrakranial

    masih belum dipahami sepenuhnya.

    Ketorolac untuk dewasa diberikan dengan dosis 30 mg intravena dosis tunggal atau

    30 mg/6 jam intravena dengan dosis maksimal 120 mg/hari. Metamizol diberikan

    dengan dosis 500-1000mg/6 jam secara peroral, intravena atau perektal.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    39/112

    30

    Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)

    No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan

    1 Jacobi J

    et al., 2002

    Review literatur pada

    Medline search 1994-2001

    untuk penyusunan

    guideline dengan review

    dari metaanalisis dan tabel

    evidence

    II/B Ketorolac dan

    acetaminophen boleh

    digunakan pada pasien

    trauma kepala

    2 Hedenmalm

    K et al.,

    2002

    Secara retrospektif

    membahas laporan kasus

    agranulocytosis akibat

    pemakaian metamizole

    III/C Insiden agranulocytosis

    92% terjadi pada 2 bulan

    pertama pemakaian

    metamizole

    3 Roberts

    et al., 2002

    Review: Peran

    indometasin pada

    penanganan cedera kepala

    III/C Indometasin

    dipertimbangkan pada

    penanganan cedera kepala

    dengan peningkatan TIK

    yang refrakter

    4 Prasetya H,

    Bajamal

    A.H., 2005

    eksperimental semu pada

    pemakaian ketoprofen dan

    acetaminophen pada COR

    II/B Ketoprofen dan

    acetaminophen bermanfaat

    mengurangi nyeri pada

    COR

    Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

    Referensi

    Hedenmalm K et al. Agranulocytosis and other blood dyscrasias

    associated with dipyrone (metamizole). Eur J Clin Pharmacol

    2002;58(4):265-74.

    Jacobi J et al. Clinical practice guidelines for the sustained use of sedatives

    and analgesics in the critically ill adult. Am J Health Syst Pharm

    2002;59(2):150-78

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    40/112

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    41/112

    32

    Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)

    No Penulis Deskripsi TP/DR Kesimpulan

    1 Kasan U., 1994 Penelitian prospektif

    komparatif penggunaandengan dan tanpa

    kortikosteroid pada

    pasien cedera otak

    II/B Outcome terapi dengan

    dan tanpakortikosteroid pada

    pasien memar otak

    secara statistik tidak

    berbeda bermakna

    2 Aiderson P., 1997 Penelitian Randomized

    Controlled Trials untuk

    menilai kuantitas

    efektifitas dan

    keamanan tentang

    penggunaan

    kortikosteroid pada

    trauma kepala

    I/A Review sistemik pada

    RCT untuk

    kortikosteroid pada

    cedera otak akut

    menunjukan efek yang

    tidak jelas

    3 CRASH trial

    collaborators,

    2004

    Penurunan angka

    kematian dengan

    pemberian

    metilprednisolon dalam

    2 minggu setelah

    cedera kepala

    III/C Tidak ada penurunan

    angka kematian

    dengan pemberian

    metilprednisolon dalam

    2 minggu setelah

    cedera kepala

    4. Alderson P., 2005 Penelitian Randomized

    Controlled Trialsuntuk

    menilai kuantitas

    efektifitas dan

    keamanan tentang

    penggunaan

    kortikosteroid pada

    trauma kepala

    I/A Penelitian yang

    terbesar menyimpulkan

    mortalitas dengan

    steroid pada penelitian

    ini menyarankan

    steroid tidak lagi

    digunakan rutin pada

    cedera otak

    Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    42/112

    33

    Referensi

    Alderson P, Roberts I. Corticosteroid for acute traumatic brain injury, 2005

    CRASH trial collaborators, Effect of intravenous corticosteroids on death

    within 14 days in 10 008 adults with clinically significant head injury(MRC CRASH trial): randomized placebo-controlled trial Lancet 2004;

    364: 132128

    Alderson P. Corticosteroids in acute traumatic brain injury: systemic review of

    randomized controlled trials, BMJ 1997.

    Kasan U. Penatalaksanaan Penderita Memar Otak Penelitian Prospektif

    Komparatif dengan dan tanpa penggunaan Kortikosteroid, disertasi

    1994.

    V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer

    Standard : Baik propofol, midazolam, ataupun kombinasi keduanya dinyatakan

    aman untuk pasien dengan trauma kepala.

    Guideline 1. Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung aman dan efektif

    untuk anestesiadan sedasi pasien dengan peningkatan ICP.

    2. Propofol memberikan hasil yang baik dalam fungsi sedasi serta

    memudahkan dalam evaluasi fungsi neurologis secara awal.

    3. Dexmedetomidine merupakan sedasi tanpa efek neurologis dan

    memberikan efek proteksi pada otak.

    Option : -

    Penjelasan rekomendasi :

    Sedasi adalah komponen penting dalam penanganan pasien dengan cedera otak,

    dapat memfasilitasi intervensi terapi, memperbaiki kenaikan TIK, dan memastikan

    pasien dalam keadaan yang nyaman. Dapat dilihat dalam table di bawah ini, pilihan

    yang sesuai GCS dan ada tidaknya tunjangan ventilasi mekanik. Agent sedasi yang

    ideal haruslah (i) menurunkan CMRO2 sekaligus mempertahankan suplai oksigen ke

    otak. (ii) menurunkan TIK tanpa menurunkan CPP (iii) memelihara autoregulasi otak

    dan reaktifitas vascular terhadap CO2 (iv) memiliki onset yang cepat (v) mudah

    dalam pengendalian kedalaman dan durasi sedasinya (vi) memiliki therapeutic

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    43/112

    34

    window untuk evaluasi status neurologis dan deteksi komplikasi neurologis.

    Pemberian sedatif dapat digunakan sebagai tertiary management kontrol TIK.

    Propofol loading dose diberikan 1-2 mg/kgBB dan diberi dosis rumatan 1-3mg/kgBB/jam. Midazolam loading dosediberikan 0,03-0,3mg/kg diberikan dalam 20

    menit; dan dosis rumatan 0,03-0,2mg/kg/jam. Penthotal loading dosediberikan 5-

    10mg/kg BB diberikan dalam 10 menit, dan di beri dosis rumatan 2-4mg/kgBB/jam.

    Phenobarbital: Bolus 2-5 mg/kgBB atau Thiopenthal 2-10 mg/kg BB diikuti infus

    siringe pump (0.3-7.5 mg/kgBB/jam) atau thiopental 1-6 mg/kg/hr.

    Dexmedetomidine diberikan dengan loading dose0,5-1 mcg/KgBb selama 10 menit,

    diikuti dengan dosis maintanance 0,2-0,3 mcg/KgBb/jam.

    Analgesia and sedation strategy in patients with various acute neurological conditions

    Head injury,

    mechanical

    ventilation,

    GCS 8

    Head injury,

    spontaneus

    breathing GCS

    > 8

    Cerebrovascular

    accident

    Hepatic

    encelophaty

    Alcohol

    withdrawl

    syndrome

    Analgesia Opioids NSAID - - -

    Sedation MidazolamPropofol

    Barbiturates

    (Uncontrolled

    ICP)

    Light sedation:propofol &

    midazolam

    Neuroleptic.

    Phenothiazine

    Light sedation:propofol &

    midazolam

    Neuroleptic.

    Phenothiazine

    Isoflurane forshort periods

    MidazolamOther

    benzodiazepines

    Clonidine

    Neuroleptics

    Clomethiazole

    Antagonist No No No? Yes Yes

    Monitoring Vital functions,

    invasivehaemodinamic

    monitoring,

    ICP SjO2

    Vital functions,

    neurologialfunctions

    Vital functions,

    neurologialfunctions

    Vital functions,

    neurologialfunctions, liver

    function tests

    Vital functions,

    neurologicalfunction.

    GCS, Glasgow coma score; ICP, intracranial pressure; NSAID, non-steoidal anti-inflamatory drugs;

    SjO2, oxygen saturation of the jugular vein.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    44/112

    35

    Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)

    No Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan

    1 Sanchez

    et al., 1998

    Meneliti safetydan

    efficacy penggunaan

    propofol; midazolam

    araupun kombinasi

    propofol dan

    midazolam pada

    pasien trauma kepala

    I/A Baik propofol, midazolam,

    ataupun kombinasi keduanya

    dinyatakan aman untuk pasien

    dengan trauma kepala.

    2 Karabinis

    et al., 2004

    Meneliti safetydan

    efficacy sedasi

    berbasis analgesia

    menggunakan

    ramifentanil,

    kombinasi dengan

    midazolam dan

    propofol

    dibandingkan dengsn

    fentanil, morphin

    kombinasi dengan

    midazolam dan

    propofol di unit

    perawatan neuro-

    intensif.

    I/A Waktu pemeriksaan

    neurologis lebih cepat dan

    lebih mudah diprediksi dengan

    menggunakan ramifentanil

    dibandingkan dengan

    penggunaan fentanil ataupun

    morphin.

    3 Chen HI

    et al., 2008

    Meneliti penggunaan

    barbiturat terhadap

    keadaan intractable

    peningkatan TIK

    ketika penggunaan

    terapi sedasi dan

    terapi osmotik gagal.

    III/C Penggunaan barbiturat dapat

    meningkatkan oksigenasi

    jaringan otak pada penderita

    dengan TIK yang meningkat

    pasca trauma.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    45/112

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    46/112

    37

    Sanchez-Izquierdo-Riera JA et al. Propofol versus Midazolam: safety and

    efficacy for sedating the severe trauma patient. Anesth Analg.

    1998;86(6):1219-24.

    Shigemori M et al. Guidelines for management severe head injury 2nd Edition.Guidelines from the guidline committee on the managemnt of severe head

    injury in Japan Society of Neurotraumatology. Neurol. Med. Chir (Tokyo)

    52, 1 30, 2012.

    V.7 Rekomendasi pemberian nutrisi

    Standard : Pemberian nutrisi dini

    Guideline 1. Pemberian nutrisi diberikan secara bertahap dan kebutuhan total

    harus tercapai dalam 7 hari setelah trauma.

    2. Kebutuhan nutrisi pasien cedera otak yang tidak dilumpuhkan

    sebesar 140% dari kebutuhan basal, dan pada pasien yang

    dilumpuhkan sebesar 100% dari kebutuhan basal

    3. Nutrisi dapat diberikan secara enteral dan parenteral

    4. Sedikitnya 15% dari asupan energi harus mengandung protein

    5. Pemberian lemak sebaiknya yang merupakan kombinasi Long-Chain Triglyserides (LCT) dan Medium-Chain Triglyserides(MCT)

    Option : Pemberian melalui gastrojejunostomy untuk menghindari masalah

    pengosongan lambung dan memudahkan pemberian dan

    terhindar dari tercabut saat pasien gelisah karena letaknya yang

    jauh dari wajah pasien

    Penjelasan Rekomendasi :Cedera otak meningkatkan respon metabolik dan katabolik tubuh sehingga

    membutuhkan nutrisi yang cukup. Disarankan pemberian early feedingyang adekuat

    karena memberikan survival dan disability outcome yang lebih baik pada pasien

    dengan cedera otak. Belum ada penelitian yang menunjukkan metode pemberian

    mana yang paling baik

    Dari penelitian diketahui bahwa pemberian kombinasi LCT dan MCT mungkin dapat

    memberikan efek yang menguntungkan pada metabolisme protein di viscera pasca

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    47/112

    38

    trauma. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian late feeding(lebih dari 1 minggu

    setelah trauma) berhubungan dengan nitrogen lossyang besar disertai penurunan

    berat badan sebesar 15% perminggu. Untuk mencapai pemenuhan nutrisi pada hari

    ke-7, maka pemberian nutrisi harus dimulai paling lambat 72 jam setelah traumaatau cedera.

    Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)

    No. Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan

    1. Calon B

    et al.,1990

    Meneliti nilai metabolik MCT

    dan LCT pada penderita

    trauma kepala

    II/B MCT memiliki efek

    menguntungkan

    pada metabolisme

    protein viseral pasca

    trauma

    2. Sarafzadeh

    et al.,2003

    Mengukur perubahan

    metabolik pada penderita

    impending atau manifest

    hypoxia pada pasien cedera

    otak. Meneliti safetydan

    efficacypenggunaan propofol

    dan midazolam pada pasien

    trauma kepala

    II/B Hiperventilasi

    memiliki potensi

    terjadinya efek

    samping

    metabolisma

    cerebral. Keadaan

    metabolisme cerebral

    anaerob tergantung

    dari derajat dan

    lamanya episode

    hipoksik

    3. Krakau K

    et al.,2006

    Systematic review mengenai

    status metabolik dan terapi

    nutrisi pada penderita cedera

    otak sedang berat

    I/A Hasil review

    menunjukkan

    peningkatan

    metabolic rate,

    hiperkatabolisme,

    dan intoleransi

    gastrointestinal

    sampai 2 minggu

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    48/112

    39

    pasca trauma.

    Kecenderungan

    morbiditas dan

    mortalitas yang lebihrendah pada

    penderita yang

    mendapat early

    feeding

    4. Aaron M. Cook

    et al.,2008

    Review artikel III/C Terapi nutrisi

    termasuk pemberian

    cairan yang tepat

    dan monitoring

    elektrolit yang ketat

    untuk mencegah

    kelebiihan cairan,

    elektrolit atau

    glukosa yang dapat

    merugikan pasien.

    5. Roger Hartl

    et al., 2008

    Penelitian retrospektif pada

    pasien dengan cedera otak

    berat dan pemberian nutrisinya

    III/C Jumlah nutrisi

    berhubungan dengan

    mortalitas.

    Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

    Referensi:

    Aaron M. Cook et al. Nutrition Considerations in Traumatic Brain Injury.2008

    Calon B et al. Long-chain versus medium and long-chain triglyceride-based fat

    emulsion in parental nutrition of severe head trauma patients.

    Infusiontherapie.1990;17(5):246-8.

    Krakau K et al. Metabolism and nutrition in patients with moderate and severe

    traumatic brain injury:A systemic review. Brain Inj.2006;20(4):345-67.

    Roger Hartl et al. Effect of early nutrition on deaths due to severe traumaticbrain injury. 2008

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    49/112

    40

    Sarrafzadeh AS et al. Metabolic changes during impending and manifest

    cerebral hypoxia in traumatic brain injury. Br J Neurosurg. 2003;17 (4)

    : 340-6

    V.8 Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid

    Supresssor Agent

    Standard : Pemberian terapi farmakologis profilaksis acid supressive agent

    dengan H2 blocker, proton pump inhibitor (PPI), dan gastric

    mucosal protectordapat membantu penurunan insiden perdarahan

    gastrointestinal dan stress related mucosal damage(SRMD). Proton

    pump inhibitor(PPI) lebih dianjurkan karena memiliki karakteristik

    cara kerja dan durasi kerja yang lebih baik dibandingkan H2 Blocker

    dan gastric mucosal protector

    Guideline :-

    Option :-

    Penjelasan rekomendasi

    Pemberian regimen profilaksis Acid suppressor agent dapat menurunkan insidenperdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh stress ulcer dengan pengaturan

    PH asam lambung. PPI mempunyai keunggulan dibandingkan regimen lainnya

    karena site of action memblokade jalur akhir produksi asam lambung dan durasi

    kerja yang lebih lama. Dosis anjuran omeprazole 40mg/12jam iv atau 40mg/hari

    peroral atau personde (Messori et al., 2000., Michelle et al., David C. Metz, 2005)

    Ranitidin diberikan dengan dosis 150 mg/12 jam secara peroral atau personde, 50mg/6-8 jam secara intravena atau dapat diberikan secara kontinyu intravena

    perinfus dengan dosis 6,25 mg/jam. Sedangkan Sucralfat sebagai mucosal protector

    diberikan dengan dosis 1 gr/6 jam.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    50/112

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    51/112

    42

    of stress ulcer: meta-analysis of randomized controlled trials. BMJ

    2000;321:1103-07

    V.9 Rekomendasi penggunaan CiticolineStandard : Citicoline tidak memberikan perbaikan outcomefungsional yang

    signifikan dibandingkan dengan kelompok placebo

    Guideline 1. Pemberian citicolin pada pasien sindroma post concussion,

    ditemukan perbaikan memori dan pengurangan gejala-gejala

    pasca comotio

    2. Penilaian dengan Glasgow Outcome Scale 3 bulan pasca

    cedera menunjukkan perbaikan yang bermaknaOption : Pemberian Citicolin pada jangka waktu lama setelah cedera

    Otak dapat memberikan peningkatan kemampuan Kognitif

    Penjelasan Rekomendasi :

    Citicoline (Cytidine 5-diphosphocholine atau CDP-Choline) berfungsi mengaktivasi

    biosintesis struktur fosfolipid membran sel neuron, meningkatkan metabolise otak

    dan menambah level neurotransmitter termasuk acetylcolin dan dopamin. Citicolin

    juga berfungsi memperbaiki aktifitas enzim mitochondria ATPase dan Na/K ATPase

    serta menghambat enzim phospholipase A2.

    Citicolin dapat diberikan pada pasien cedera otak saat setelah kejadian maupun

    jangka lama dan hasilnya menunjukkan perbaikan dalam pengurangan gejala

    sindroma post concussion, perbaikan Glasgow Outcome Scaledan fungsi kognisinya.

    Pemberian dapat diberikan dengan dosis 1 gram/hari baik PO maupun injeksi. Hasil

    penelitian :

    a) Citicoline tidak memberikan perbaikan outcome fungsional yang signifikan

    dibandingkan dengan kelompok placebo

    b)Adanya perbaikan dalam fungsi memori pada pasien dengan pemberian citicolin

    dibanding tanpa pemberian obat tersebut

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    52/112

    43

    a)Adanya perbaikan dalam fungsi motor, kognisi dan psikis serta didapatkan

    adanya pemendekan masa waktu rawat inap pada pasien dengan pemberian

    citicoline

    Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)

    No Penulis Deskripsi penilaian TP/DR Kesimpulan

    1 Levin HS, 1991 Penelitian double blind

    placebo-controluntuk

    menilai efikasi

    citicoline dengan

    pemberian 1 gram

    tablet selama 1 bulan

    pada 14 orang untuk

    pengobatan tanda dan

    gejala sindroma post

    concussional setelah

    cedera otak ringan

    dan sedang

    II/B Hasil: adanya perbaikan

    dalam fungsi memori

    pada pasien dengan

    pemberian citicoline

    dibanding dengan tanpa

    pemberian obat tersebut

    (p

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    53/112

    44

    4 Zafonte et al,

    2009

    CORBIT (The

    Citicoline Brain Injury

    Treatment), suatu

    RCT besar yangmenilai efektifitas

    pemberian citicoline

    terhadap outcome

    fungsional pasien

    dengan cedera kepala

    I/A Citicoline tidak

    memberikan perbaikan

    outcome yang signifikan

    dibandingkan dengankelompok placebo

    Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

    Referensi:

    Levin HS. Treatment of postconcussional symptoms with CDP-coline. J

    Neurology Science.103: 539-42, 1991

    Maldonado VC ef aI. Effects of CDP-coline on the recovery of patients with

    head injury. JNeurology Science. 103: 515-18, 1991

    Spiers PA, Hochanadel G: Citicoline for traumatic brain injury: report of two

    cases, includingmy own. J lnt Neuropsychol Soc. 5:260-2&+, 1999

    Zafonte R, et al. The Citicoline Brain Injury Treatment (COBRIT) Trial. Journal

    of Neurotrauma 26:22072216 (December 2009)

    V.10 Rekomendasi Penggunaan Piracetam

    Standard : Belum ada data pendukung

    Guideline 1. Pemberian piracetam dengan dosis 24-30 gr/hari secara

    bermakna dapat memberikan efek memperbaiki gejala neurologis

    pada pasien cedera otak.

    2. Setelah pengobatan piracetam 8 minggu dengan dosis 4800 mg

    ditemukan pengurangan tanda dan gejala sindroma post

    concussional seperti vertigo, sakit kepala, kelelahan, gangguan

    kesadaran, peningkatan kerinqat dan gejala lain.

    3. Dosis 40-50 mg/kg (1600 2400 mg/hari) memberikan hasil yang

    positif untuk memperbaiki kondisi pasien yang dapat dilihat pada

    parameter kemampuan fungsi kognitif (memori, atensi) dan

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    54/112

    45

    fungsi koordinasi motorik

    Option : Dosis tinggi piracetam (24-30 g/hari) memperbaiki kondisi pasien

    jika pengobatan dimulai segera setelah cedera.

    Penjelasan Rekomendasi :

    Piracetam memperbaiki metabolisme otak dengan cara memacu katabolisme

    oksidatif, meningkatkan pemecahan ATP, meningkatkan level cAMP, memperbaiki

    metabolisme phospholipid dan bio-sintesis protein. Piracetam juga memperbaiki

    fungsi penggunaan oksigen dan glukosa oleh otak serta peningkatan perfusi lokal

    dapat dilihat pada parameter partial oxygen pressure (oxygen therapy) dan KGD.

    Pemakaian piracetam dapat diberikan pada pasien cedera otak maupun pasca

    cedera dengan gejala sindroma post concussion dengan efek memperbaiki gejala

    neurologis dan kesadaran. Dosis yang diberikan pada saat setelah cedera otak

    adalah 24-30 gr/hari baik injeksi maupun oral, dan untuk pemeliharaan diberikan

    dosis PO 4,8 gr/hari.

    Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)

    No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan

    1 Hakkarainen

    H., Hakamies

    L., 1978

    Penelitian double-blind

    dengan 60 pasien dengan

    sindroma post concussion

    yang diberikan selama 2-

    12 bulan, dengan dosis

    4800 mq perhari.

    II/B Hasil: setelah pengobatan,

    8 minggu ditemukan

    pengurangan tanda dan gejala

    sindroma post concussion

    seperti vertigo, sakit kepala,

    kelelahan, gangguan

    kesadaran, peningkatan

    kerinqat dan gejala lain.

    2 Goscinski l,

    et al., 1998

    Penelitian prospektif

    kasus-kontrol untuk

    mengetahui efektifitas

    pemberian piracetam

    pada 100 pasien cedera

    II/B Hasil: Dosis 24-30 g/hari

    memberikan hasil yang positif

    untuk memperbaiki kondisi

    pasien yang dapat dilihat pada

    parameter: partial oxygen

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    55/112

    46

    otak sedang dan berat pressuredan kadar gula darah

    3 Goscinski l,

    et al., 1999

    Penelitian observasional

    yang dilakukan pada tahun

    1995-1996 dengan jumlahpasien 100 orang untuk

    mengetahui pengaruh

    piracetam pada cedera

    otak.

    III/C Hasil: dosis tinggi piracetam

    (24-30 g/hari) memperbaiki

    kondisi pasien jika pengobatandimulai segera setelah cedera.

    4 Zavadenko

    NN, et al.,

    2008

    Penelitian prospektif

    case/controluntuk

    mengetahui efektifitas

    pemberian piracetam

    pada 42 pasien trauma

    kepala tertutup cedera

    otak sedang dan berat

    II/B Hasil: Dosis 40-50 mg/kg

    (1600 2400 mg/hari)

    memberikan hasil yang positif

    untuk memperbaiki kondisi

    pasien yang dapat dilihat pada

    parameter kemampuan fungsi

    kognitif (memori, atensi) dan

    fungsi koordinasi motorik.

    Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

    Referensi:

    Hakkrainen, H. & Hakamies, L. Piracetam in the treatment of post-

    concussional syndrome. Eur Neurol 17, 50-55, 1978

    Goscinski l, Sliwonik S, SondejT, KwiatkowskiS, Moskala M, CichonskiJ,

    Wegrzyn D, Uhl H, Piracetam in severe cranio-cerebral injuries. Neurol

    Neurochir Pol Sep-Oct;32(5):1't 89-97, 1 998

    Goscinski l, Moskala M, Cichonski J, Polak J, Krupa M, Sliwonik S, Sondej T,

    Clinical observations conceming piracetam treatment of patients after

    craniocerebral injury, Przegl Lek;56(2):1 19-20, 1999

    Zavadenko NN, Guzilova LS, The consequences of closed traumatic brain

    injury and piracetam efficacy in their treatment in adolescents.

    Neurosci Behav Physiol; 108(3):43-8, 2008.

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    56/112

    47

    V11. Rekomendasi Penggunaan Neuropeptida

    Standard Belum ada data yang mendukung

    Guideline Belum ada data yang mendukung

    Option Neuroprotektif pada cedera otak traumatik untuk mencegah danmengurangi cedera sekunder, serta meningkatkan proses

    pemulihan dari cedera. Neuroprotektif ditargetkan untuk

    mengurangi kerusakan otak dan memberikan harapan yang bagus

    pada kasus cedera otak dan stroke.

    Penjelasan Rekomendasi:

    Tujuan utama neuroprotektif pada cedera otak traumatik adalah untuk mencegah

    dan mengurangi cedera sekunder, serta pada proses pemulihan dari cedera,

    sedangkan tujuan neuroprotektif pada stroke adalah untuk mencegah kematian

    saraf di daerah penumbra. Ada mekanisme absolut dan relatif proses

    neuroprotektif. Mekanisme relatif meliputi : modulasi saluran kalsium, modulasi

    saluran sodium, modulasi antagonis NMDA reseptor, modulasi antagonis GABA

    reseptor, antioksidan, anti radikal bebas, adesi molekul, agonis dan antagonis

    adenosin. Mekanisme absolut meliputi : faktor neurotropik, neurotrophic factor-like

    molecules, sitokin.

    Faktor neurotropik berperan dalam : pembangunan ontogenetik yang berperan

    dalam kontrol selular proliferasi dan diferensiasi (ekspresi dari fenotipe mediator,

    saluran ion, pertumbuhan neurit), promosi kelangsungan hidup neuron (jika ada

    tidak merusak agen) sepanjang hidup dan mempertahankan fenotip, meningkatkan

    daya tahan sel neuron akibat agen yang merusak (hipoksia, iskemia, hipoglikemia,

    eksisitotoksis, zat toksik, dan trauma), serta neuroproteksi, neuroplastisitas dan

    aktivitas sinaptik dalam proses belajar

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    57/112

    48

    Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)

    No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan

    1. Muresanu

    et al., 2007

    Review, neuroprotektif

    pada cedera otaktraumatik adalah untuk

    mencegah dan

    mengurangi cedera

    sekunder, serta pada

    proses pemulihan dari

    cedera.

    III/C Neuroprotektif meningkatkan

    daya tahan sel neuron akibatagen yang merusak

    (hipoksia, iskemia,

    hipoglikemia, eksisitotoksis,

    zat toksik, dan trauma)

    2. Teasdale, G.M

    et al., 1997

    Review, neuroprotektif

    ditargetkan untuk

    mengurangi kerusakan

    otak dan memberikan

    harapan yang bagus

    pada kasus cedera

    otak dan stroke

    III/C Konsep neuroproteksi telah

    semakin luas diketahui

    dengan memberikan terapi

    sedini mungkin dan banyak

    hal-hal baru yang diketahui

    berperan dalam mekanisme

    cedera otak dan banyak

    dikembangkan secara luas

    obat neuroprotektan yang

    punya target yang spesifik

    Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

    Referensi

    Muresanu FD, et al. Neuroprotection and Neuroplasticity in Craniocerebral

    Trauma. Romanian Journal of Neurology 2007. Vol VI, No. 4. Page:

    154-165

    Teasdale, G.M & Bannan, P. E. 1997. Neuroprotection in Head Injury. In Head

    Injury. Pathophysiology and Management of Severe Closed Injury.

    Editor : Reilly, P; Bullock, R. Page : 423-436. Chapman & Hall Medicaal.

    London. UK

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    58/112

    49

    V.12 Rekomendasi penggunaan sel punca (Stem Cell)

    Terapi sel punca telah mengalami kemajuan signifikan sebagai strategi pengobatan

    untuk berbagai penyakit selama dekade terakhir. Cedera otak dapat menyebabkan

    kematian sebagian sel otak. Saat ini terdapat beberapa data dari banyaklaboratorium bahwa pengobatan cedera otak (TBI), stroke, perdarahan intraserebral,

    cedera tulang belakang, dan penyakit neurodegeneratif menggunakan sel batang

    mesenchymal (MSC) menghasilkan manfaat fungsional, meskipun tanpa mengurangi

    lesi, menunjukkan bahwa sel-sel ini merangsang pemulihan fungsi dan merombak

    cedera jaringan.

    Tabel Pembuktian (Evidence) Clinical Trial

    No Penulis Deskripsi Kesimpulan

    1 Harting, T.M

    et al., 2008

    Penelitian

    prospektif

    menggunakan

    hewan coba tikus

    Infus intravena sel punca mesenkimal

    tidak menghasilkan hasil yang signifikan

    dari sel yang rusak atau proses

    pemulihan motorik atau fungsi kognitif

    sampel.

    2 Harting, T.Met al., 2009

    Penelitianprospektif

    menggunakan

    hewan coba tikus

    Kombinasi sel punca embrionikpluripotentiality dengan beberapa hasil

    diferensiasi sel germinal memiliki

    kerangka kerja konseptual yang baru

    untuk perbaikan SSP.

    3 Richardson

    R.M et al.,

    2010

    ReviewLiteratur Dengan paradigma baru neurogenesis

    endogenik dan transplantasi diferensiasi

    NPC memberikan harapan pada terapi

    penyakit destruktif SSP seperti TBI dan

    SCI.

    4 Tajiri N, et al.,

    2014

    Experimental

    menggunakan

    hewan coba tikus

    Penurunan yang signifikan dari

    kerusakan dan kehilangan sel dari

    korteks dan hippocampus pada terapi

    Intravenous transplants of human

    adipose-derived stem cell

    Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    59/112

    50

    Referensi

    Chopp M., Mahmood A., Lu D., Li Y., Mesenchymal stem cell treatment of

    traumatic brain injury. J Neurosurg 110:11861188, 2009.,

    Departments of Neurology and Neurosurgery, Henry Ford HealthSystem, Detroit, Michigan

    Harting TM., Baumgartner J.E., Worth L.L., Ewing-Cobbs L., Gee A.P., Cell

    therapies for traumatic brain injury, Neurosurg Focus 24 (3&4):E17,

    2008

    Harting TM., Jimenez F., Xue H., Fischer U.M., Baumgartner J., Intravenous

    mesenchymal stem cell therapy for traumatic brain injury, J.

    Neurosurg. / Volume 110 / Page 11891197 / June 2009

    Richardson R.M., et all., Stem cell biology in traumatic brain injury: effects of

    injury and strategies for repair,. J Neurosurg 112:11251138, 2010

    Tajiri N, et al. Intravenous transplants of human adipose-derived stem cell

    protect the brain from traumatic brain injury-induced

    neurodegeneration and motor and cognitive impairments: cell graft

    biodistribution and soluble factors in young and aged rats. J Neurosci.

    2014 Jan 1;34(1):313-26. doi: 10.1523/JNEUROSCI.2425-13.2014

    Vadivelu S., Platik. M.M., Choi L., Lacy M.L., Shah A.R. Multi-germ layer

    lineage central nervous system repair:nerve and vascular cell

    generation by embryonic stecells transplanted in the injured brain., J

    Neurosurg 103:124135, 2005

    VI. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN

    (GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT)

    VI.1 Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH)

    Standard : Belum ada data yang mendukung

    Guideline : Belum ada data yang mendukung

    Option : Pengambilan keputusan operatif atau non operatif berdasarkan

    keadaan klinis dan radiologis penderita. Indikasi pembedahan atau

    evakuasi massa dilakukan bila terdapat efek massa dan penurunan

    fungsi neurologi secara progresif

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    60/112

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    61/112

    52

    2 Bullock

    et al., 2006

    Manajemen

    pembedahan

    hematoma epidural

    III/C Evakuasi massa bila

    ada efek massa

    dan penurunan

    fungsi neurologisecara progresif

    Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

    Referensi

    Bullock et al. Surgical management of Acute Epidural Hematomas.

    Neurosurgery 2006;58:7-15

    Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore,

    Maryland, USA.Mitesh V. American Journal of Neuroradiology

    1998;20:115-6

    Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (eds) 1996. Neurotrauma, MC

    Graw Hill Co. New York.

    Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.

    Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nded. MC Graw

    Hill Co. New York.

    VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural

    Standard : Belum ada data yang mendukung

    Guideline 1. Menurunkan TIK dengan drainase LCS transventrikel dan

    monitoring TIK, keduanya lebih penting daripada operasi

    dekompresi pada SDH tipis (tebal 10mm)

    2. Tidak ada perbedaan bermakna secara statitistik antara tindakan

    operasi dan konservatif pada penderita cedera otak berat dengan

    hematom subdural akut traumatika tipis.

    Option : Indikasi pembedahan pada SDH akut sesuai penjelasan

    rekomendasi. Dengan indikasi pembedahan sebagai berikut:

    Indikasi pembedahan :

    SDH Akut

    1) Pasien SDH tanpa melihat GCS :

  • 7/25/2019 PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014.pdf

    62/112

    53

    Tindakan drainase LCS transventrikel lebih baik dibandingkan dengan pembedahan

    evakuasi hematom dan dekom resi ada SDH ti is

    a.Dengan ketebalan