TUBERKULOSIS PARU
PAGE 22 Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Jayapura
1 DIVISI
ALERGI IMUNOLOGI
Dr.Renny Bagus, SpA, Dr. Abdul Rohim,SpA,
Dr. Retno HMA, SpA, Dr. Marito Logor, SpA
1. Alergi Makanan 2. Alergi Obat
3. Rinitis Alergika
4. Dermatitis Atopik
5. Sindrom Steven Johnson
1. ALERGI MAKANANI. BATASAN Alergi makanan adalah kumpulan
gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan
oleh alergi terhadap bahan makanan. Alergi makanan di masyarakat
merupakan istilah umum untuk menyatakan reaksi simpang terhadap
makanan termasuk di dalamnya proses non-alergi yang sebenarnya
lebih tepat disebut intoleransi. Intoleransi makanan merupakan
reaksi terhadap makanan yang bukan reaksi imunologik, misalnya
reaksi toksik, reaksi metabolik, dan reaksi indiosinkrasi. II.
PATOFISIOLOGIFaktor yang berperan dalam alergi makanan :1.
Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi :
asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.2. Faktor genetik. Sensitisasi alergen dini mulai
janin sampai masa bayi dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat.3. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin,
panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan
(lari, olah raga).
Alergen dalam makanan : Merupakan protein, glikoprotein atau
polipeptida dengan besar molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan
panas dan tahan enzim proteolitik. Alergen utama beberapa jenis
makanan :
Ikan
: allergen-M Telur
: ovomukoid Susu sapi : betalaktoglobulin (BLG) sebagai
alergenterkuat, alfalalaktalbumin (ALA), bovin serum albumin (BSA)
dan bovin gama globulin (BGG) Kacang tanah : arachin, conarachin
dan peanut-1. Udang : allergen-1 dengan berat molekul 21.000 dalton
dan Allergen-2 dengan berat molekul 200.000 dalton. Gandum :
albumin, pseudoglobulin dan euglobulin Terjadinya alergi makanan
:
1. Pada paparan awal, alergen dikenali oleh sel penyaji antigen
untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T. Sel-T tersensitisasi
dan akan merangsang sel-B menghasilkan antibodi dari berbagai
subtipe. 2. Alergen yang intak diserap oleh usus dalam jumlah cukup
banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di dalam mukosa usus
dan organ limfoid usus, yang pada anak atopi cenderung terbentuk
IgE lebih banyak. Selanjutnya terjadi sensitisai sel mast pada
saluran cerna, saluran nafas dan kulit. Pembuatan antibodi IgE
dimulai sejak paparan awal dan berlanjut walaupun dilakukan diet
eliminasi. Komplemen akan mulai mengalami aktivasi oleh kompleks
antigen antibodi.3. Pada paparan selanjutnya mulai terjadi produksi
sitokin oleh sel-T. Sitokin mempunyai berbagai efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang misalnya
netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan.
Aktifasi komplemen dan terjadinya komplek imun akan menarik
netrofil.4. Gejala klinis yang timbul adalah hasil interaksi
mediator, sitokin dan kerusakan jaringan yang ditimbulkannya.5.
Bayi atopi juga mendapat sensitisasi melalui makanan alergenik yang
terkandung dalam air susu ibu. Bayi-bayi dengan alergi awal
terhadap satu makanan misalnya susu, juga mempunyai resiko yang
tinggi untuk berkembang menjadi alergi terhadap makanan lain.
III. GEJALA KLINIK
Gejala klinis alergi makanan biasanya mengenai berbagai organ
sasaran seperti kulit, saluran nafas, saluran cerna, mata, telinga,
saluran vaskuler. Organ sasaran bisa berpindah-pindah, gejala
sering kali sudah dijumpai pada masa bayi. Makanan tertentu bisa
menyebabkan gejala tertentu pada seseorang anak, tetapi pada anak
lain bisa menimbulkan gejala lain. Pada seseorang makanan yang satu
bisa mempunyai organ sasaran yang lain dengan makanan yang lain,
misalnya udang menyebabkan urtikaria, sedangkan kacang tanah
menyebabkan sesak nafas. Susu sapi bisa menimbulkan gejala alergi
pada saluran nafas, saluran cerna, kulit dan anafilaksis. Gejala
tersebut bisa berupa asma, eksema, rinitis, urtikaria, angionerotik
udem, pucat, muntah, diare. IV.CARA PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Diagnosis alergi makanan diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium dan secara akademis dipastikan
dengan Double Blind Placebo Controlled Food Challenge. Secara
klinis bisa dilakukan uji eliminasi dan provokasi terbuka Open
Challenge. Pertama-tama dilakukan eliminasi dengan makanan yang
dikemukakan sendiri oleh penderita atau orangtuanya atau dari hasil
uji kulit. Kalau tidak ada perbaikan maka dipakai regimem diet
tertentu. Diagnosis dengan diet eliminasi. Ada beberapa regimen
diet yang bisa digunakan :1.ELIMINATION DIET: beberapa makanan
harus dihindari yaitu Buah, Susu, Telur, Ikan dan Kacang,
(disingkat BSTIK). Merupakan makanan-makanan yang banyak ditemukan
sebagai penyebab gejala alergi, jadi makanan-makanan dengan indeks
alergenisitas yang tinggi. Indeks ini mungkin lain untuk wilayah
yang lain. 2. MINIMAL DIET 1 (Modified Rowes diet 1): terdiri dari
beberapa makanan dengan indeks alergenisitas yang rendah. Berbeda
dengan elimination diet, regimen ini terdiri dari beberapa bahan
makanan yang diperbolehkan yaitu : air, beras, daging sapi, kelapa,
kedelai, bayam, wortel, bawang, gula, garam dan susu formula
kedelai. Bahan makanan lain tidak diperbolehkan.3. MINIMAL DIET 2
(Modified Rowes Diet 2): Terdiri dari makanan-makanan dengan indeks
alergenisitas rendah yang lain yang diperbolehkan, misalnya : air,
kentang, daging kambing, kacang merah, buncis, kobis, bawang,
formula hidrolisat kasein, bahan makanan yang lain tidak
diperkenankan.4. EGG and FISH FREE DIET: diet ini menyingkirkan
telur termasuk makanan-makanan yang dibuat dari telur dan semua
ikan. Biasanya diberikan pada penderita-penderita dengan keluhan
dengan keluhan utama urtikaria, angionerotik udem dan eksema. 5.
HIS OWNS DIET: menyingkirkan makanan-makanan yang dikemukakan
sendiri oleh penderitanya sebagai poenyebab gejala alergi.Diet
dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1
bahan makanan setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi
pada provokasi ini dicatat. Disebut alergen kalau pada 3 kali
provokasi menimbulkan gejala alergi. Waktunya tidak perlu
berturut-turut. Jika dengan salah satu regimen diet tidak ada
perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar, maka diberikan
regimen yang lain. Sebelum memulai regimen yang baru, penderita
diberi carnaval selama seminggu, artinya selama 1 minggu itu semua
makanan boleh dimakan (pesta). Maksudnya adalah memberi hadiah
setelah 3 minggu diet dengan baik, dengan demikian ada semangat
untuk menjalani diet berikunya. Selanjutnya diet yang berikutnya
juga dilakukan selama 3 minggu sebelum dilakukan provokasi.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan
alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing,
tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur,
kacang, ikan).
Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada
alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering
ditemukan pada alergi makanan. IgE total dan spesifik: harga normal
IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari
30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau
mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
VI. DIAGNOSA BANDING
Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah,
misalnya : stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim,
galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic
disease dan sebagainya.
Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya :
bahan pewarna dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium
glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish
related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia
coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia,
Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid
solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat),
triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
Reaksi psikologis.
VII. PENATALAKSANAAN Identifikasi alergen dan eliminasi :Diet
eliminasi/provokasi adalah untuk diagnostik. Bila alergen telah
diketemukan maka harus dihindari sebaik mungkin dan makanan-makanan
yang tergolong hipoalergenik dipakai sebagai pengganti.Pada bayi
dari keluarga atopik, disarankan menunda pemberian makanan makanan
yang dikenal sebagai makanan alergenik utama, dengan cara :
Eliminasi susu sapi sampai usia 1 tahun Eliminasi telur sampai usia
18-24 bulan Eliminasi kacang-kacangan dan ikan sampai usia 3
tahunPencegahan : Alergi tidak bisa disembuhkan, tapi dengan
pencegahan yang efektif akan mengendalikan frekuensi dan intensitas
serangan, penggunaan obat, jumlah hari absen sekolah, serta
membantu memperbaiki kualitas hidup. Pemberian ASI sangat
dianjurkan. Pada bayi yang melakukan eliminasi makanan dan mendapat
ASI, maka ibu juga harus pantang makanan penyebab alergi. Dengan
eliminasi sebelumnya, alergi susu sapi menghilang pada kebanyakan
kasus pada umur 2 tahun. Untuk pengganti susu sapi dapat dipakai
susu hidrolisat whey atau hidrolisat casein. Pilihan lain adalah
susu formula kedelai, dengan harus tetap waspada terhadap
kemungkinan alergi terhadap kedelai. Pada bayi yang menderita
alergi makanan derajat berat yang telah menggunakan formula susu
hipoalergenik, bila ingin melakukan diet provokasi dengan susu
formula sapi, harus dilakukan dirumah sakit, karena jika gagal ada
kemungkinan terjadi renjatan anafilaksis.
Sayur mayur bisa dianjurkan sebagai pengganti buah, daging sapi
atau kambing sebagai pengganti telur ayam dan ikan.
Makan di restoran kurang aman dan dianjurkan selalu membaca
label bahan-bahan makanan jika membeli makanan jadi.
Desensitisasi pada alergi makanan tidak dilakukan sebab
reaksinya hebat dan sedikit sekali bukti-bukti kerberhasilannya.
Andaikata berhasil, selama desensitisasi penderita juga tetap harus
menyingkirkan makanan penyebab serangan alergi itu.
Pengobatan :Bila diet tidak bisa dilaksanakan maka harus diberi
farmakoterapi dengan obat-obatan seperti yang tersebut di bawah ini
:1. Glukokortikoid. Digunakan terutama bila ada gejala asma.
Steroid oral yang dipakai adalah : metil prednisolon, prednisolon
dan prednison. Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2
mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira
4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4
kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral digunakan untuk
penderita alergi makanan dengan gejala status asmatikus, preparat
yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan
dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati
disusul rumatan prednison oral. Steroid hirupan digunakan bila ada
gejala asma dan rinitis alergika.
2. Beta adrenergic agonist Digunakan untuk relaksasi otot polos
bronkus. Epinefrin subkutan bisa diberikan dengan dosis 0,01
mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis.
3. Metil Xantin Digunakan sebagai bronkodilator. Obat yang
sering digunakan adalah aminofilin dan teofilin, dengan dosis awal
3-6/kg/dosis, lanjutan 2,5 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
4. Simpatomimetika Efedrin
: 0,5 1,0 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam
Orciprenalin
: 0,3 0,5 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
Terbutalin
: 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
Salbutamol : 0,1 0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
5. Kromolin, Nedokromil. Dipakai terutama pada penderita dengan
gejala asma dan rinitis alergika. Kromolin umumnya efektif pada
alergi makanan dengan gejala Dermatitis Atopi yang disebabkan
alergi makanan. Dosis kromolin untuk penderita asma berupa larutan
1% solution (20 mg/2mL) 2-4 kali/hari untuk nebulisasi atau berupa
inhalasi dengan metered-dose inhaler 1,6 mg (800 g/inhalasi) 2-4
kali/hari. Untuk rinitis alergik digunakan obat semprot 3-4
kali/hari yang mangandung kromolin 5.2 mg/semprot. Untuk
konjungtivitis diberikan tetes mata 4% 4-6 x 1 tetes mata/hari.
Nedokromil untuk nebulisasi tak ada. Yang ada berupa inhalasi
dengan metered-dose inhaler dan dosis untuk asma adalah 3,5 mg
(1,75 mg/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk konjungtivitis diberikan
tetes mata nedokromil 2% 4-6 x 1-2 tetes mata/hari.
6. Leukotrien antagonis LTC4 dan LTD4 menimbulkan
bronkokonstriksi yang kuat pada manusia, sementara LTE4 dapat
memacu masuknya eosinofil dan netrofil ke saluran nafas. Dapat
digunakan pada penderita dengan asma persisten ringan. Namun pada
penelitian dapat diberikan sebagai alternatif peningkatan dosis
kortikosteroid inhalasi, posisi anti lekotrin mungkin dapat
digunakan pada asma persisten sedang, bahkan pada asma berat yang
selalu membutuhkan kortikosteroid sistemik, digunakan dalam
kombinasi dengan xantin, beta-2-agonis dan steroid. Preparat yang
sudah ada di Indonesia adalah Zafirlukast yang diberikan pada anak
sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.7. H1-Reseptor antagonisH1
reseptor antagonis generasi kedua tidak ada efek samping CNS.
Setirizin bisa digunakan pada anak mulai umur 1 tahun dan tidak ada
efek samping kardiovaskular, dapat digunakan jangka lama. H1
reseptor antagonis generasi pertama efek antikolinergiknya dapat
memperburuk gejala asma karena pengentalan mukus. Pada dosis tinggi
efek samping pada CNS sangat membatasi penggunaanya dalam
pengobatan asma. Beberapa penelitian membuktikan efektifitas.
Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24
jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5
mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun : 2.5
mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis,1 kali/hari.
Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun
: 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari
atau 180 mg/hari, 4 kali/hari. Azelastine, dosis pemberian sesuai
usia anak adalah: 5-11 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12
tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari. Pseudoephedrine, dosis pemberian
sesuai usia anak adalah : 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4 kali/hari; 6-12
tahun : 30 mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4
kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3
kali/hari.
VIII. PROGNOSIS Alergi makanan yang mulai pada usia 2 tahun
mempunyai prognosis yang lebih baik karena ada kemungkinan kurang
lebih 40% akan mengalami grow out. Anak yang mengalami alergi pada
usia 15 tahun ke atas cenderung untuk menetap.
2. ALERGI OBATI. BATASAN Alergi obat adalah respon abnormal
seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi
imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang
terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk
kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction),
yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi
dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan
dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek obat
selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau
interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang
timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat
dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak
diketahui.
II. PATOFISIOLOGI Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4
mekanisme hipersensitifitas, yaitu :
1. Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat
atau metabolitnya berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik
dan berikatan dengan sel mast di jaringan atau sel basofil di
sirkulasi.
2. Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG
dan IgM yang mengenali antigen obal di membran sel. Dengan adanya
komplemen serum, maka sel yang dilapisi antibodiakan dibersihkan
atau dihancurkan oleh sistem monosit-makrofag.
3. Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks
soluble dari obat atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan
IgG.
4. Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type
hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi
oleh limfosit T yang spesifik obat.
Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut
terhadap satu obat,namun yang tersering melalui tipe I dan IV.
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut
waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilakukan. Pada umumnya
laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan
penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu asam
mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion. Namun
demikian yang paling sering dihubungkan dengan alergi adalah
penisilin dan sulfa. Alergi obat biasaya tidak terjadi pada paparan
pertama. Sensitisasi imunologik memerlukan paparan awal dan
tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum terjadi reaksi
alergi. Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat
dengan berat molekul yang kecil tidak dapat langsung merangsang
sistem imun bila tidak bergabung dengan bahan lain untuk bersifat
sebagai allergen,disebut sebagaai hapten. Hapten dapat membentuk
ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan
ikatan ini akan tetap utuh selama diproses didalam makrofag dan
dipresentasikan pada sel limfosit. Sebagian kecil obat mempunyai
berat molekul besar misalnya insulin, antisera, ekstrak organ
bersifat sangat imunogenik dapat langsung merangsang sistem imun
tubuh. Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa
bergabung dengan protein lain. Mekanismenya belum jelas, tetapi
diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang. Setelah paparan
awal maka obat akan merangsang pembentukan antibody dan aktifasi
sel imun dalam masa induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-20
hari.
III. GEJALA KLINIK Gejala kilinis alergi obat sangat bervariasi
dan tidak spesifik untuk obat tertentu. Satu macam obat dapat
menimbulkan berbagai gejala pada seseorang, dapat berbeda dengan
orang lain, dapat berupa gejala ringan sampai berat. Erupsi kulit
merupakan gejala klinis yang paling sering,dapat berupa gatal,
urtika, purpura, dermatitis kontak, eritema multiforme, eritema
nodusum, erupsi obat fikstum, reaksi fotosensifitas, dermatitis
eksfoliatif, erupsi vesikobulosa dan sidroma Steven Johnson. Gejala
klinis yang memerlukan pertolongan tepat dan segera adalah reaksi
anafilaksis, karena adanya hipotensi, spasme bronkus, sembab
laring, angioudema atau urtikaria generalisata. Demam dapat
merupakan gejala tunggal alergi obat atau bersama gejala lain yang
timbul beberapa jam setelah pemberian obat tetapi biasanya pada
hari 7-10 dan menghilang dalam waktu 48 jam setelah penghentian
obat atau beberapa hari kemudian. Demam disebabkan karena pelepasan
sitokin. Beberapa obat dapat sebagai pirogen langsung misalnya
amfoterisis B, simetidin, dextran, besi kalsium dan dimerkaprol.
Mekanismenya belum jelas pada anak, epinefrin dapat menimbulkan
demam karena bersifat vasokostriktor, dengan demikian menghambat
pengeluaran panas tubuh. Demikian juga pemberian atrofin serta
fenotiasin dapat menimbulkan demam dengan menghambat pembentukan
keringat. Beberapa obatseperti alupurinol, azatioprim, barbiturat,
produk darah, sefalosporin, hidroksiurea, yodida, metildopa,
penisilamin, penisilin, fenitoin, prokainamid dan kuinidin sering
menimbulkan demam tanpa disertai gejala alergi lain.
Tabel 1 : Klasifikasi alergi obat menurut gejala
klinisAnafilaksisSembab laring , hipotensi , bronkospasme
Erupsi kulitUrtikaria/angioudema , pruritus , ruam
makulopapular, erupsi obat fikstum, dermatitis kontak,
vaskulitis,eritema nodusum, eritema multiforme,sindroma Steven
Johnson, nekrolisis epidermal toksik, dermatitis eksfoliatif,
reaksi fotosensitif.
Kelainan hematologiAnemia
hemolitik,netropenia,trobositopenia.
Kelainan paruPneumonitis interstitialis/aveolaris,edema
paru/fibrosis paru.
Kelainan renalNefritis interstitialis,glomerulonefritis,sindroma
nefrotik.
Penyakit Serum
Demam obat
Vaskulitis sistemik
Limfadenopati
IV. DIAGNOSIS Diagnosis alergi obat sering sulit dibuktikan
walaupun dugaan sudah kuat. Dasar diagnosis obat yang terpenting
adalah anamnesis rinci tentang berbagai hal penting. Gejala klinis
umumnya tidak khas, kecuali beberapa bentuk erupsi kulit seperti
pruritus generalisata, urtikaria, erupsi fikstum, atau reaksi
anafilaksis yang memenuhi kriteria anamnesis di atas. Beberapa
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk kelengkapan diagnosis,
berupa uji in vivo dan in vitro terdapat obat atau metabolitnya.
Uji in vivo berupa uji kulit dan uji provokasi. Uji in vitro
terbata sebagai sarana penelitian dan bukan merupakan prosedur
rutin. Kesulitan yang terbesar dalam membuat diagnosis adalah untuk
mengetahui apakah benar ada hubungan antara manifestasi klinis
dengan pemberian obat dan apakah gejala klinis tersebut bukan
merupakan bagian dari perjalanan penyakitnya sendiri yang sedang
diobati. Diagnosis alergi obat berdasarkan klinis dan uji
laboratoris. Secara klinis yang terpenting adalah anamnesa rinci
tentang berbagai hal penting yaitu bahwa reaksi yang timbul bukan
merupakan efek farmakologi obat, biasanya terjadi beberapa hari
setelah pemberian obat (kecuali jika telah terpapar sebelumnya).
Gejala klinis akan menghilang beberapa waktu setelah penggantian
obat dan gejala yang sama akan timbul dengan pemberian ulang obat
yang sama atau dengan struktur obat yang sama. Gambaran fisik
terutama erupsi kulit ada pola gambaran tertentu untuk
masing-masing obat (Tabel 2).
Tabel 2. : Pola Reaksi Klinis dan Obat Tersangka
Exanthems :Ampicillin,
penicillinPhenilbutazoneSulphonamidesPhenitoinCarbamazepineGoldAllopurinol
Lichenoid eruptions :Anti maalarialsBeta
blockersChlorpropamideGoldMethyl
dopaPenicillaminePhenylbutazoneSterptomycin.
Erythema multiforme and StevenJohnson
Syndrome:Trimetrprim,SmxPenicillinGriseofulvin
TetracyclinesNSADsGoldAnticonvulsant
Toxicepidermal
necrolysisAllopurinolApirinPenicillinPhenytoinSulfasalazineAcneform
eruptions :CortcosteroidsAnabolic steroidsAndrogens (in female)Oral
contraceptivesIodides and bromidesLithiumIsoniazid
V. UJI LABORATORIUM1. Uji invivo. Uji kulit yang tepat dilakukan
memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen
dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non
iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat
terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang
sudah diketahui dan tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit
hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul: insulin,
antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh ini hanya
dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Uji provokasi
dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur
diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu
terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat
yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka
uji provokasi merupakan indikasi kontra untuk alergi obat yang
berat misalnya anafilaksis, sindroma Steven Johnson, dermatitis
eksfoliatif, kelainan hematology, eritema vesiko bulosa. Uji
provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari
masa paruh setiap obat.
2. Uji in vitro.
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam
penelitian. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM
spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST, uji
pelepasan histamin,uji sensitisasi jaringan (basofil/lerkosit serta
esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti
IgE total dan spesifik, uji Coombs, uji komplemen dan lain-lain
bukanlah untuk konfirmasi alergi obat.
VI. PENATALAKSANAAN
Dasar utama penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat
yang dicurigai kemudian mengatasi gejala klinis yang
timbul.Penghentian obat : Kalau mungkin semua obat dihentikan dulu,
kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab
reaksi alergi atau menggantikan dengan obat lain. Bila obat
tersebut dianggap sangat penting dan tak dapat digantikan, dapat
terus diberikan atas persetujuan keluarga, dan dengan cara
desensitisasi.Pengobatan : Manifestasi klinis ringan umumnya tidak
memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus, urtikaria atau edema
angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya, diphenhidramin,
loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan
pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3
mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3
kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4
kali/24 jam. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah :
2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,
1 kali/hari. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah :
2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1
kali/hari. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah :
6-11 tahun : 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2
kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari. Bila gejala klinis sangat
berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik,
sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan
hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif
dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi,
antibiotik profilaksis dan perawatan kulit seperti pada luka bakar
untuk kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal
toksik dan Sindroma Steven Johnson. Prednison diberikan sebagai
dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai
keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5
mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid
parenteral yang digunakan adalah metil prednisolon atau
hidrokortison, 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan
dilewati disusul rumatan prednison oral. Cairan dan elektrolit
dipenuhi dengan pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau
Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl dengan jumlah rumatan dan dehidrasi
yang ada. Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah
perlekatan, parut atau kontraktur. Reaksi anafilaksis harus
mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya. Kortikosteroid topikal
diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan
memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Pemilihan
sediaan dan macam obat tergantung luasnya lesi dan tempat. Prinsip
umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid potensi rendah. Krim
mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk lesi basah
tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih
melindungi kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan
gatal dan folikulitis. Sediaan semprotan digunakan pada daerah
kepala dan daerah berambut lain. Pada umumnya steroid topikal
diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari.
Tidak boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit
yang tipis misalnya muka, leher, ketiak dan selangkangan..
VII. PROGNOSISEstimasi saat ini menunjukkan angka kejadian
alergi obat makin meningkat. Dengan penatalaksanaan yang baik,
prognosis alergi obat adalah baik bahkan untuk alergi obat yang
berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan kulit, kontraktur,
simblefaron, kebutaan bila tindakan tidak tepat dan terlambat
dilakukan. Angka kematian dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, pada
sindroma Steven Johnson kematian sebesar 5-15%.3. RINITIS
ALERGIKA
I. BATASANRinitis Alergika secara klinis didefinisikan sebagai
gangguan fungsi hidung, terjadi setelah paparan alergen melalui
peradangan mukosa hidung yang diperantarai IgE.
II. PATOFISIOLOGIGejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh
beberapa faktor :
Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan
gejala rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung
sari merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika
dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan
masih merupakan penyebab yang penting.
PolutanFakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat
rinitis. Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok,
sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon oksida,
nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh
polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas.
Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan
rinitis alergika pada penderita tertentu.
Rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi
dengan perantaraan IgE. Selain granulosit, perubahan kualitatif
monosit merupakan hal penting. Terjadi respons selular yang
meliputi : kemotaksis, pergerakan selektif dan migrasi sel-sel
transendotel. Pelepasan sitokin dan kemokin antara lain IL-8,
IL-13, eotaxin dan RANTES berpengaruh pada penarikan sel-sel radang
yang selanjutnya menyebabkan inflamasi alergi.
Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya terjadi peningkatan
ekspresi sitokin termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5,
IL-9, IL-10 yang merangsang IgE, dan sel Mast. Selanjutnya sel Mast
menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan tryptase pada epitel. Mediator
dan sitokin akan mengadakan upregulasi ICAM-1. Khemoattractant IL-5
dan RANTES menyebabkan infiltrasi eosinofil, basofil, sel Th-2, dan
sel Mast. Perpanjangan masa hidup sel terutama dipengaruhi oleh
IL-5. Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya
histamin dan cystenil-leukotrien yang merupakan mediator utama
dalam rinitis alergika menyebabkan gejala rinorea, gatal, dan
buntu. Penyusupan eosinofil menyebabkan kerusakan mukosa sehingga
memungkinkan terjadinya iritasi langsung polutan dan alergen pada
syaraf parasimpatik, bersama mediator Eosinophil Derivative
Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala bersin.
Hipereaktivitas nasal akibat dari respons imun di atas, merupakan
tanda penting rinitis alergika.
III. GEJALA KLINIS Manifestasi utama adalah rinorea, gatal
hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung. Pembagian rinitis
alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi
:
Rinitis musiman (seasonal allergic rhinitis)
Rinitis sepanjang tahun (perenial allergic rhinitis)
Rinitis akibat kerja (occupational allergic rhinitis). Gejala
rinitis sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Tanda-tanda
fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang
abnormal, maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar
bisa bernafas), allergic shiners (kulit berwarna kehitaman dibawah
kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse
nasal crease), edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan.
Pemeriksaan rongga hidung dengan spekulum sering didapatkan sekret
hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan
(boggy and bluish). Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi
antara lain kesulitan belajar dan masalah sekolah, kesulitan
integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga.
Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas.
Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif
maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup,
sedangkan non sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap
kualitas hidup.
Pembagian lain yg lebih banyak diterima adalah dengan
menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, menjadi intermiten
ringan-sedang-berat, dan persisten ringan-sedang-berat.
IV. CARA PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA Diagnosis rinitis alergika
berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji
laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita
dengan riwayat keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa
adanya infeksi saluran nafas atas merupakan kunci penting dalam
membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik meliputi
gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah
pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE
spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji
Provokasi nasal masih terbatas pada bidang penelitian.
V. DIAGNOSA BANDINGRinitis alergika harus dibedakan dengan :
1. Rinitis vasomotorik
2. Rinitis bakterial
3. Rinitis virus
VI. PENYULIT Sinusitis kronis (tersering) Poliposis nasal
Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal
dan sensitive terhadap aspirin) Asma Obstruksi tuba Eustachian dan
efusi telingah bagian tengah Hipertyopi tonsil dan adenoid Gangguan
kognitif VII. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan rinitis alergika
meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan
imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam
penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya
merupakan bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama
bila alergen penyebab dapat diidentifikasi. Edukasi sebaiknya
selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang
berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama
dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus
menggunakan kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi
sangat efektif bila penyebabnya adalah alergen hirupan.
Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan obat,
efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan
andalan utama sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3
menunjukkan obat-obat yang biasanya dipakai baik tunggal maupun
dalam kombinasi. Kombinasi yang sering dipakai adalah antihistamin
H1 dengan dekongestan.
Pemilihan obat-obatan Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan
mempertimbangkan beberapa hal antara lain :
1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
2. Tidak menimbulkan takifilaksis.3. Beberapa studi menemukan
efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian pilihan
terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.
Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan
sehubungan dengan adanya efek samping sistemik.
Tabel 3. : Jenis obat dan efek terapetik.Jenis
obatBersinRinoreaBuntuGatal hidungKeluhan mata
Antihistamin H1
Oral
Intranasal
Intraokuler++
++
0++
++
0+
+
0+++
++
0++
0
+++
Kortikosteroid intranasal+++++++++++++
Kromolin
Intranasal
Intraokuler+
0+
9+
0+
00
++
Dekongestan
Intranasal
Oral0
00
0+++
+0
00
0
Antikolinergik0++000
Antilekotrien9+++0++
Jenis obat yang sering digunakan : Kromolin, obat semprot
mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari Setirizin,
dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari. Loratadin,
dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 25 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari. Feksofenadin,
dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2
kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari,
4 kali/hari. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah:
511 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2
kali/hari. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak
adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun :
30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari.
Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.
Kortikosteroid intranasal Digunakan pada pasien yang memiliki
gejala yang lebih persisten dan lebih parah. Efektif untuk semua
gejala dengan inflamasi eosinofilik. Fluticasone intranasal
diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari. Mometasone intranasal diberikan
dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1 semprotan/dosis, 1
kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.
Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia
> 6 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide
mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan keamanannya lebih baik.
Leukotrien antagonisZafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20
mg/dosis 2 kali/24jam.4. DERMATITIS ATOPIKI. BATASANDermatitis
atopik (DA) adalah penyakit kulit reaksi inflamasi yang didasari
oleh faktor herediter dan faktor lingkungan, bersifat kronik
residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan
pruritus yang hebat. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau
alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan. II.
PATOFISIOLOGI Multifaktor DA mempunyai penyebab multi faktorial
antara lain faktor genetik, emosi, trauma, keringat,
imunologik.
Respon Imun SistemikTerdapat IFN-g yang menurun. Interleukin
spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer
(interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi
Eosinophilia dan peningkatan IgE. Imunopatologi Kulit Pada DA, sel
T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan
CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan menyeberangi
endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer pasien DA, sel
T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan petanda
CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel
yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang
menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan
apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein
extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g
yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan
menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis
keratinocyte diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan
sel-sel T atau yang berada di microenvironment Respon imun
kulitSel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang diisolasi
dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer,
terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan
kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi
pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan
IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF,
IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil.
GenetikPengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom
5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga
melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada
peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan
bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Resiko
seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA
adalah 86%. III. GEJALA KLINIK Onset. Sekitar 50% gejala muncul
pata tahun pertama kehidupan. Sekitar 30% terdiagnosa pada usia 1-5
tahun. Macam-macam lesi. Lesi akut, sub-akut atau kronik. Lesi akut
ditandai oleh papula dan papula-vesikula yang sangat gatal dengan
eksudat serosa yang dilatarbelakangi eritema. Lesi kronik ditandai
likenifikasi (penebalan kulit dan penonjolan pola permukaan kulit)
dan prurigo nodularis (papula fibrotik). Bentuk klinis1. Bentuk
infantil : Berlangsung sampai 2 tahun, predileksi pada daerah muka
terutama pada pipi lebih sering pada bayi yang lebih muda.2. Bentuk
anak : Lanjutan dari bentuk infantil, berupa kulit kering dengan
predileksi daerah fleksura antikubiti, poplitea, tangan, kaki dan
periorbita.3. Bentuk dewasa : Terjadi pada usia 20 tahun, umumnya
berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas, dan
ekstremitas.IV. CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSISUntuk memudahkan
diagnosa, telah dibuat banyak kriteria, diantara kriteria-kriteria
tersebut yang sering dipakai adalah : Untuk Bayi : Modifikasi
Kriteria Hanifin and Rajka pada bayi : 1. Kriteria mayor : Riwayat
keluarga DA Dermatitis dengan tanda gatal Dermatitis yang typical
facial atau eczematous ekstensor atau dermatitis likenifikasi2.
Kriteria minor :Xerosis/iktiosis/hyperlinear palmsPerifollicular
accentuationChronic scalp scalingPeriauricular fissuresDiagnosa
bisa ditegakkan bila ada sedikitnya 2 gambaran pada kriteria mayor
atau 1 gambaran pada kriteria mayor plus 1 gambaran pada kriteria
minor. Untuk Anak : Kriteria Hanifin untuk anak : 1. Krireria mayor
(harus punya 3)PruritusMorfologi dan distribusi typical Lesi yang
melibatkan muka dan ekstensor selama bayi dan masa anakFlexural
lichenification dan linearity by adolescenceDermatitis kronik atau
dermatitis kronik kambuhan2. Kriteria minorXerosisIktiosis/palmar
hyperlinearity/keratosis pilarisIgE reactivity (increased serum
IgE, RAST, or prick test positivity)Hand/foot
dermatitisCheilitisDermatitis kulit kepala (e.g., cradle
cap)Kepekaan terhadap infeksi kulit (khususnya S. aureus dan herpes
simplex)Perifollicular accentuation (especially in pigmented
races)V. DIAGNOSA BANDINGDermatitis Kontak Alergi
Dermatophytosisataur dermatophytidsSindrom defesiensi imun Sindrom
Wiskott-AldrichSindrom Hyper-IgE Penyakit NeoplastikLangerhans'
cell histiocytosis Penyakit HodgkinDermatitis Numularis
SkabiesDermatitis Seborrheic
Differential Diagnosis of Atopic Dermatitis VI. PENYULIT Pada
anak penderita DA 75% akan disertai penyakit alergi lain dikemudian
hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mendapat infeksi
virus (herpes simplex) maupun bakteri (impetigo, folikulitis,
abses), vaksinia, molluscum contagiosum. VII. PENATALAKSANAAN
Membutuhkan terapi yang integral dan sistemik, meliputi hidrasi
kulit, terapi topikal, identifikasi dan eliminasi faktor penyebab
dan pencetus dan bila perlu terapi sistemik. Penatalaksanaan dasar
diberikan untuk semua kasus baik yang ringan, sedang maupun berat,
berupa berupa perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal,
antihistamin, tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan
eliminasi faktor-faktor pencetus kekambuhan. Perawatan KulitHidrasi
adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah
peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan
menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi selama
15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak
menambahkan oil (minyak) karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun
dengan moisturizers disarankan Setelah mandi memberihkan sisa air
dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling
baik setelah mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik. Pada
pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-in-oil
moisturizers sediaan lactic acid. Kortikosteroids
topikalKortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi,
antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu diperhatikan
pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah: segera setelah mandi
dan diikuti berselimut untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih
dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa
menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya cukup baik;
bentuk lotion dan spray untuk daerah yang berambut; pilihannya
adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah; efek samping
yang harus diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne
dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan supresi dari
hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi
pemakaian diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih
rendah; bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan terapi
difokuskan pada hidrasi. AntihistaminMerupakan terapi standar,
tetapi belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena
rasa gatal pada DA bisa tak terkait dengan histamin. TarsMempunyai
efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti
kortikosteroid topikal pada manajemen penyakit kronik. Efek samping
dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis kontak.
Antibiotik sistemikKadang-kadang diperlukan karena infeksi sekunder
dapat menyebabkan kekambuhan dan penyulit. Infeksi di curigai bila
ada krusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S.
aureus yang resisten penisilin merupakan penyebab tersering dari
flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin
atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama.
Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama,
dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin,
teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila
eritomisin resisten adalah klindamisin. Identifikasi dan eliminasi
faktor-faktor eksaserbasiSabun dan baju yang bersifat iritatif
dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga keringat
dapat juga mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus
dihindari. Eliminasi alergen makanan, binatang dan debu rumah.
VIII. PENATALAKSANAAN DERMTITIS ATOPIK BERAT Perlakuan khusus
diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan gradasi
berat-ringannya DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Langeland
sebagaimana tabel berikut :I. Luasnya lesi kulit
fase anak/dewasa
< 9% luas tubuh 1
9-36% luas tubuh 2
> 36 % luas tubuh 3
fase infantil
< 18% luas tubuh 1
18-54% luas tubuh 2
> 54% luas tubuh 3
II. Perjalanan penyakit
remisi > 3 bulan/tahun 1
remisi < 3 bulan/tahun 2
kambuhan 3
III. Intensitas penyakit
gatal ringan, gangguan tidur + 1
gatal sedang, gangguan tidur + 2
gatal berat, gangguan tidur + 3
Penilaian skor 3-4 : ringan 5-7 : sedang 8-9 : berat Selain
manajemen dasar dilaksanakan pada DA berat terapi imunomodulasi
sudah harus dilaksanakan. Kortikosteroid sistemik. Efek
perbaikannya cepat, tetapi flare yang parah sering terjadi pada
steroid withdrawal. Bila tetap harus diberikan, tapering dan
perawatan intensif kulit harus dijalankan. Thymopentin. Untuk dapat
mengurangi gatal-gatal dan eritem digunakan timopentin subkutan 10
mg/ dosis 1 kali/hari selama 6 minggu, atau 3 kali/minggu selama 12
minggu. Interferon-gamma. Dosis yang digunakan g /m2/ hari subkutan
diberikan selama 12 minggu.(g-100(antara 50 Siklosporin A.
Pemberian per oral 5 mg/kg/hari selama 6 minggu. Dapat pula
diberikan secara topikal dalam bentuk salep atau gel 5%.
Tacrolimus. Digunakan takrolimus 0,1 % dan 0,03 % topikal dua kali
sehari. Obat ini umumnya menunjukan perbaikan pada luasnya lesi dan
rasa gatal pada minggu pertama pengobatan. Tacrolimus tidak
mempengaruhi fibroblasts sehingga tidak menyebabkan atropi kulit.
PimecrolimusPemakaian pimecrolimus 1,0 % mereduksi gejala sebesar
35 %. GammaglobulinBekerja sebagai antitoksin, antiinflamasi dan
anti alergi. Pada DA Gammaglobulin intravena (IVIG) adalah terapi
yang sangat mahal, namun harus dipertimbangkan pada kasus kasus
khusus. ProbiotikLactobacillus rhamnosus GG 1 kapsul (109)
kuman/dosis dalam 2 kali/hari memperbaiki kondisi kulit setelah 2
bulan. IX. PROGNOSISMenghindari faktor pencetus biasanya memberikan
prognosis yang baik. Infeksi mumnya akan memberikan respons buruk
terhadap pengobatan topikal.5. SINDROM STEVEN-JOHNSON I.
BATASANSindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala
klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada
kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala
umum berat. II. PATOFISIOLOGI Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan
pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya
sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor
penyebab timbulnya SSJ diantaranya : Infeksi (virus, jamur,
bakteri, parasit), Obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol,
tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), Makanan (coklat)
Fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), Lain-lain (penyakit
polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini
belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan
oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan
antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi
yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.III. GEJALA
KLINIKGejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam,
malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal
otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan
kombinasi gejala tersebut.Setelah itu akan timbul lesi di : Kulit
berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada
hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi,
ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi
mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran
mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan
meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan
gambaran utama. Mata : konjungtivitas kataralis,
blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema
dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi
kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa
okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset
sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai
dari beberapa bulan sampai 31 tahun.IV. DIAGNOSIS Diagnosis
ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan
kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang
secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi,
kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat
lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat
dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya
normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar
IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun
dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit
direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa
membantu diagnosa kasus-kasus atipik. V. DIAGNOSIS BANDINGDiagnosis
banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana
manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat
lebih buruk daripada SSJ. VI. PENATALAKSANAAN Pada umumnya
penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang
diberikan biasanya adalah : Cairan dan elektrolit, serta kalori dan
protein secara parenteral. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya
berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi
kulit dan darah. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal
1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6
jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang
mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa
menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang
signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan
dan menyelamatkan nyawa. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada
rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan
dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15
mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan
kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. Bula di kulit
dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. Tidak diperbolehkan
menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberi
kenalog in orabase. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang
jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal
dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16
mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.VII. PROGNOSIS Pada
kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi
dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus
berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan
tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang
lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
PAGE Divisi Alergi dan Imunologi