-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu usaha dan
kebijaksanaan yang bertujuan untuk
meningkatkan taraf hidup dan kemakmuran rakyat secara adil dan
merata. Agar tujuan tersebut terwujud,
maka diperlukan komitmen dan oritentasi yang jelas untuk
menunjang dan menjaga kesinambungan serta
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi pembangunan. Pembangunan
perkebunan ditujukan untuk
meningkatkan produksi dan memperbaiki mutu hasil, meningkatkan
pendapatan, memperbesar nilai
ekspor, mendukung industri, menciptakan dan memperluas
kesempatan kerja, serta pemerataan
pembangunan di semua wilayah. Ada tiga asas yang menjadi acuan
dalam pembangunan perkebunan
yang mendasari kebijakan pembangunan dalam lingkungan ekonomi
dan pembangunan nasional. Ketiga
asas tersebut antara lain adalah : (1) Mempertahankan dan
meningkatkan sumbangan bidang perkebunan
bagi pendapatan Nasional, (2) Memperluas lapangan kerja, (3)
Memelihara kekayaan dan kelestarian
alam dan meningkatkan kesuburan sumber daya alam.
Perkebunan di Kabupaten Jember terdapat komoditas perkebunan
yang terdiri dari tebu, kelapa,
tembakau, kopi, pinang, kapuk, cengkeh, panili, jambu mete dan
lada. Produksi komoditas perkebunan
kopi menempati urutan kelima dengan tingkat produksi dalam
bentuk kering sebesar 1976,87 ton, setelah
produksi komoditas kelapa, komoditas tembakau dan komoditas
tebu.
Di indonesia yang terdiri dari banyak pulau dengan berbagai
sukunya menyimpan kekayaan dan
keberanekaragaman budaya kompleks. Oleh sebab itu diperlukan
perencanaan pembangunan yang sesuai
dengan kondisi bangsa Indonesia. Salah satu aspek perencanaan
pembangunan ekonomi di Indonesia
adalah perencanaan pembangunan regional atau wilayah. Perhatian
terhadap pengembangan regional
menjadi amat penting mengingat Indonesia merupakan sebuah negara
yang memiliki pola persebaran
spesial dan kondisi geografis yang luas dengan potensi daerahnya
yang beraneka ragam. Dewasa ini,
pembangunan regional memiliki tahapan baru yang sangat
menentukan, tidak hanya bagi pengembangan
potensi ekonomi daerah saja tetapi berpengaruh juga terhadap
pembentukan perekonomian nasional
dimasa yang akan datang.
Permasalahan daerah terbelakang yang berimplikasi harus
diperlakukan sebagai masalah nasional,
bukan sebagai sekedar masalah. Melepaskan daerah dalam
kesulitannya masing-masing merupakan
kesalahan fatal, mengingat pertumbuhan ekonomi secara nasional
tidak lebih dan tidak kurang merupakan
penjumlahan ekonomi daerah. Karena perannya yang demikian
strategis baik pada jangka pendek maupun
jangka panjang, maka ulasan mengenai perkiraan perubahan
lingkungan strategis atau agenda subsektor
perkebunan dalam memasuki awal abad ke-21 perlu dicermati. Hal
ini disebabkan, agribisnis perkebunan
-
2
dalam memasuki awal abad ke-21 mengalami berbagai perubahan,
baik menyangkut aspek teknis,
ekonomi, kelembagaan, dan lingkungan. Sebagai contoh,
perkembangan teknologi baik pada industri hulu
dan hilir perkebunan akan sangat berpengaruh terhadap kinerja
subsektor perkebunan. Dari aspek
pemasaran, implementasi liberalisasi perdagangan diyakini akan
berpengaruh terhadap kinerja
perkebunan. Berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
pengembangan perkebunan dan
otonomi daerah tentu akan sangat mewarnai keberhasilan subsektor
perkebunan pada masa mendatang.
Akhirnya, gema yang semakin kuat terhadap tuntutan perbaikan
lingkungan tentu akan berpengaruh
terhadap subsektor perkebunan.
Di Kabupaten Jember saat ini sedang giat membangun sejak awal
era orde baru hingga era
reformasi saat ini. Keberhasilan pembangunan ekonomi sangat
dipengaruhi oleh pertumbuhan jumlah
penduduk, karena pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak bisa
terkendalikan akan berpengaruh buruk
terhadap pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Untuk mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi maka harus dapat dicapai dengan kenaikan produksi
barang-barang dan jasa di berbagai sektor
ekonomi, termasuk sub sektor perkebunan dalam penyediaan
barang-barang dan jasa yang dibutuhkan
masyarakat banyak.
Tabel 1.1 PDRB Kabupaten Jember Atas Harga Konstan 2000 tahun
2009-2013
No Tahun PDRB Jember (milyar Rp) Pertumbuhan
1 2009 10.891,61 5,55
2 2010 11.550,55 6,05
3 2011 12.359,52 7,00
4 2012 13.250,98 7,21
5 2013 14.165,90 6,90
Rata-rata - 7,23
Sumber : BPS Kabupaten Jember tahun 2013
Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa dari perhitungan PDRB pada
Kabupaten Jember pada tahun
2009-2013 dapat diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi
tertinggi pada tahun 2012 yaitu sebesar
7,21 %, dari PDRB Kabupaten jember Rp 13.250,98 Milyar,
sedangkan rata rata pertumbuhan ekonomi
terendah Kabupaten Jember pada tahun 2009, dengan nilai
pertumbuhan 5,55% dari nilai PDRB
kabupaten Jember sebesar Rp 10.891,61 Milyar. Maka Perubahan
tersebut menyebabkan pendapatan
masyarakat meningkat sehingga akan mendorong permintaan konsumsi
masyarakat menjadi lebih kuat
serta menciptakan permintaan baru bagi barang dan jasa.
-
3
Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Jember dapat mengalami
peningkatan, dengan adanya bantuan
oleh komoditas lainnya. Saat ini pertumbuhannya terus meningkat,
seperti sub sektor perkebunan,
diperkirakan pertumbuhan ekonomi di Jember di tahun 2012 lebih
tinggi dibandingkan tahun lalu. Hal ini
tentu saja didukung oleh faktor-faktor, salah satunya adalah
kemajuan teknologi yang membantu
masyarakat dalam pengetahuan dan informasi yang dapat mendorong
adanya lahan bisnis dikalangan
masyarakat.
Dampak perubahan lingkungan strategis terhadap subsektor
perkebunan tentu perlu dicermati
ataupun dianalisis. Dengan analisis tersebut, berbagai pihak
yang terlibat dalam agribisnis perkebunan,
seperti produsen/petani, pedagang, dan pemerintah, dapat
mengambil langkah-langkah antisipatif guna
mengembangkan subsektor perkebunan secara optimal. Dengan
demikian alokasi sumberdaya pada
subsektor perkebunan dapat berjalan secara efisien, sehingga
pada akhirnya kesejahteraan masyarakat
perkebunan dapat dicapai secara optimal. (Suhadi , 2001)
menunjukkan bahwa secara keseluruhan tujuan
dari suatu pertumbuhan harus konsisten dengan aspirasi dari
sebagian besar masyarakat, dalam arti
menaikkan kemakmuran, distribusi pendapatan dan kualitas
hidupnya, dengan sumber-sumber yang
tersedia. Jadi usaha pertama bagi perencanaan pembangunan adalah
memilih target laju pertumbuhan
produksi yang berarti dan realistis sesuai dengan kapasitas
masyarakat dalam membangun capital stock.
Langkah selanjutnya adalah memperkirakan seberapa besar kapital
yang harus diakumulasikan setiap
tahun agar dapat memberikan kenaikan secukupnya bagi kapasitas
produksi.
Perkebunan di Kabupaten Jember sangat dikenal karena komoditas
ekspornya, Luas lahan
perkebunan di Kabupaten Jember terdiri dari : (1) Perkebunan
rakyat dengan luas lahan sebesar 55.000
hektar (Ha), (2) PTP (BUMN) dengan luas lahan sebesar 26.000
hektar (Ha), (3) Perkebunan swasta besar
dengan luas lahan sebesar 12.000 hektar (Ha). Usaha yang
dilakukan untuk tanaman budidaya adalah
dengan melaksanakan usaha diversifikasi dan intensifikasi atas
areal lahan tanaman semusim seperti
tembakau, tanaman teh, tanaman kapas biasanya berumur panjang
dan banyak diusahakan secara
monokultur. Salah satu tugas pokok dari pembangunan perkebunan
adalah menemukan cara-cara
berkebun yang baik, yang dapat dipraktekkan secara efektif dan
efisien oleh para petani kebun yang
memiliki kemampuan cara-cara praktis guna peningkatan produksi
di satu pihak dan peningkatan
kesuburan tanah di lain pihak (Mosher, 1968).
Perkebunan rakyat masih banyak yang bersifat tradisional,
sedangkan PTP (BUMN) atau
perkebunan swasta besar telah menggunakan teknologi maju,
meskipun banyak yang terkait adat setempat
akan tetapi telah menggunakan laboratorium percobaan. Usaha
perkebunan swasta besar dan perkebunan
besar PTP (BUMN) selalu menggunakan teknologi maju yang selalu
berubah dan berkembang. Hal ini
dapat dimengerti karena sifatnya yang profit motive yaitu
mengutamakan keuntungan yang tinggi.
-
4
Didalam konsep pengembangan daerah, di era otonomi daerah harus
mempunyai perencanaan
pembangunan yang matang dan didasarkan pada potensi-potensi yang
dimiliki. Subsektor perkebunan
yang merupakan bagian dari sektor pertanian, merupakan komponen
yang penting dalam menghasilkan
devisa, menyediakan lapangan kerja, dan sumber penghasilan bagi
sebagian masyarakat Jawa Timur.
Kegiatan subsektor ini dibedakan menjadi dua subsektor yaitu:
perkebunan rakyat, yang biasanya
memiliki lahan kurang dari 25 hektar, dan perkebunan besar, yang
biasanya memiliki lahan lebih dari 25
hektar. Dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas, maka
setiap komoditas yang diperdagangkan
harus mempunyai daya saing yang lebih tinggi dan salah satu
keunggulan sub sektor perkebunan adalah
memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan sektor
lainnya.
Di masa yang akan datang setiap Kabupaten di Indonesia
diharapkan memiliki suatu produk yang
diandalkan dan merupakan penentu daya saing daerah. Kemampuan
berkompetisi ini merupakan upaya
untuk infrastruktur yang kuat dengan didasari pola pemetaan yang
geografis (Geographical Mapping)
yang baik untuk mengetahui potensi-potensi daerah yang bisa
dikembangkan. Kebijakan-kebijakan yang
diterapkan oleh Pemerintah daerah haruslah didasarkan pada
kekhasan daerah yang bersangkutan
(Endogenous Development) dengan menggunakan potensi sumberdaya
manusia, kelembagaan dan
sumberdaya fisik secara lokal. Bagaimanapun juga pemerintah dan
masyarakat berperan dalam mengelola
sumber daya yang ada dengan membentuk suatu pola kemitraan
antara pemerintah daerah dan sektor
swasta untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan
memacu perkembangan kegiatan ekonomi
dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1997 ; 274).
1.2 Perumusan Masalah
Pada dasarnya subsektor perkebunan memiliki pengaruh yang sangat
signifikan terhadap
pengembangan wilayah. Hal tersebut akan berdampak positif bagi
terciptanya kesempatan kerja,
pemerataan dan peningkatan pendapatan, serta pertumbuhan
ekonomi. Didukung oleh fakta bahwa
subsektor perkebunan mempunyai wilayah yang cukup luas, maka sub
sektor ini mempunyai potensi yang
cukup besar terhadap pembentukan PDRB..
Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana prospek
daya saing sub sector
perkebunan di Kabupaten Jember :
a. Bagaimana kondisi daya saing sub sektor perkebunan Kabupaten
Jember?
b. Bagaimana dampak pergeseran sub sector perkebunan terhadap
pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Jember?
c. Bagaimana perkembangan daya saing sub sektor perkebunan di
Kabupaten Jember?
-
5
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka
tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui daya saing sub sektor perkebunan di
Kabupaten Jember.
b. Untuk mengetahui dampak pergeseran sub sektor perkebunan
terhadap pertumbuhan ekonomi di
Kabupaten Jember.
c. Untuk mengetahui perkembangan daya saing sub sektor
perkebunan di Kabupaten Jember.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini dapat digunakan sebagai :
1. Bahan pertimbangan dalam usaha meningkatkan potensi sektor
perkebunan di Kabupaten Jember;
2. Bahan pertimbangan bagi Dinas perkebunan Kabupaten Jember,
Pemerintah Daerah Kabupaten
Jember untuk menentukan kebijakan yang lebih baik tentang sektor
perkebunan;
3. Bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.
-
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian Priyono (2000) dengan judul Analisis Dampak
Pengembangan Komoditas Terhadap
Perkebunan Tembakau Wilayah Kabupaten Jember. Menyimpulkan
dengan alat analisis Input-Output
bahwa komoditas dilihat dari : 1) keterkaitan antar sektor
memberikan peran yang cukup besar dengan
menempati peringkat ke enam keterkaitan langsung kedepan, dan
keterkaitan langsung tidak langsung
kedepan, sedangkan peringkat kedelapan keterkaitan langsiung
kebelakang, dan keterkaitan langsung
tidak langsung kebelakang; 2) berdasarkan dampak pengganda ouput
total dan dampak tenaga kerja tipe
II, komoditas tembakau memberikan dampak yang tinggi dengan
besar koefisien masing-masing sebesar
2,32 dan 2,48; 3) berdasarkan daya penyebaran dan derajat
kepekaan, komoditas tembakau memberikan
tingkat keterkaitan kebelakang yang cukup besar, dengan indeks
penyebaran 1,0040. Sedangkan indeks
derajat kepekaannya kecil sekali, artinya tingkat keterkaitan
kedepan komoditas tersebut terhadap sektor
lain kecil.
Penelitian Arifianto (2003) dengan judul Analisis Peranan Sub
Sektor Perkebunan Terhadap
Pengembangan Perekonomian Wilayah di Kabupaten Banyuwangi,
menyimpulkan dengan
menggunakan analisis Input-Output bahwa 1) berdasarkan hasil
analisis keterkaitan langsung (kedepan
0,1765 dan kebelakang 0,1688) maupun sub sektor perkebunan
mempunyai nilai koefisien yang rendah
dibandingkan sektor lainnya dalam perekonomian Kabupaten
Banyuwangi. Rendahnya nilai koefisien
keterkaitan tersebut dikarenakan output subsektor perkebunan
tidak bisa dikonsumsi atau digunakan
langsung oleh masyarakat. Akan tetapi jika dibandingkan dengan
subsektor lainnya dalam sektor
pertanian, nilai koefisien keterkaitan langsung kedepan,
langsung dan tidak langsung kedepan sektor
perkebunan adalah yang tertinggi. 2) berdasarkan angka pengganda
output, subsektor perkebunan
mempunyai nilai koefisien tertinggi dibandingkan sektor ekonomi
lainnya di Kabupaten Banyuwangi,
yakni sebesar 3,23. Implikasi dari pengganda output subsektor
perkebunan tersebut adalah apabila kita
menambah investasi sebesar Rp. 1.000.000 maka output subsektor
ini akan naik menjadi Rp. 1.360.000.
Pada sisi pengganda tenaga kerja tipe II sektor keuangan,
persewaan, dan jasa perusahaan (13,37)
mempunyai nilai koefisien tertinggi dibandingkan sektor lainnya,
sedangkan subsektor perkebunan
menempati urutan kelima dengan nilai koefisien sebesar 2,48.
Berdasarkan koefisien pengganda
pendapatan tipe II, peringkat 1 ditempati oleh sektor industri
pengolahan (3,20), sedangkan koefisien
subsektor perkebunan sebesar 2,15 (peringkat 9). Dampak dari
analisis pengganda pendapatan tipe II ini
yaitu apabila terjadi perubahan permintaan akhir sebesar Rp.
660.000, maka pendapatan subsektor
-
7
perkebunan akan meningkat menjadi Rp. 2.150.000 sebagai akibat
dari perbandingan antara pengganda
pendapatan total dengan koefisien rumah tangga tersebut.
2.2. Landasan teori
2.2.1 Teori Perencanaan Pembangunan
Menurut Tjokrohamidjojo (1999), perencanaan pembangunan adalah
suatu penggunaan sumber-
sumber pembangunan yang terbatas adanya untuk mencapai
tujuan-tujuan keadaan sosial ekonomi yang
lebih baik secara lebih efisien dan efektif. Widjojo
Nitisasmitro secara jelas memerinci apa yang tercakup
dalam perencanaan pembangunan yaitu, pertama penentuan pilihan
secara sadar mengenai tujuan-tujuan
yang konkret atas kehendak yang akan dicapai dalam jangka waktu
tertentu atas dasar nilai yang dimiliku
masyarakat yang bersangkutan dan kedua, adalah pilihan diantara
cara-cara alternatif yang efisien dan
rasional guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Salah satu aspek yang sering kali kurang mendapatkan perhatian
di dalam teori-teori perencanaan
pembangunan adalah kurangnya perhatian kepada
persoalan-persoalan regional. Sebagai bagian intergal
dari sistem nasional, masalah-masalah regional seyogyanya
menjadi bagian penting didalam isu
perencanaan sistem nasional, karena didalamnya menyangkut
kondisi-kondisi khusus yang berbeda antara
satu wilayah dengan wilayah lainnya, kondisi khusus yang mungkin
berbeda tersebut adalah menyangkut
(Wibowo, 2 ; 1998) :
a. Kualitas dan kuantitas penyebaran dari sumber daya potensial
(resources endowment), sehingga
keunggulan komparatif (comparative advantage) wilayah menjadi
sangat berbeda antara wilayah
yang satu dengan lainnya. Suatu wilayah tertentu tidaklah dapat
dipaksakan untuk menjadi wilayah
pertanian atau industri jika resource base-nya tidak mengijinkan
untuk pembangunan sektor-sektor
tersebut.
b. Dalam konteks pembangunan nasional, kualifikasi dampak dari
pembangunan sering tidak atau
kurang mendapat perhatian lebih atau maslah yang penting untuk
diperhitungkan. Akan tetapi
dalam konteks regional (wilayah), kualifikasi dampak (impact
multiplier) semacam itu menjadi
masalah yang harus di analisis dan diperhitungkan secara
seksama, jika diinginkan resultan
pembangunan (pertanian) dapat lebih mendorong keterkaitan dengan
ekonomi pedesaan, khususnya
dalam masalah-masalah out-put, pendapatan dan
ketenagakerjaan.
Menurut Wibowo (1998), pembahasan utama di dalam perencanaan
pembangunan sudah saatnya
lebih memperhatikan persoalan bagaimana cara memanfaatkan sumber
daya potensial wilayah yang
bersangkutan agar dapat mendorong pencapaian tujuan pertumbuhan
ekonomi, peningkatan pendapatan,
-
8
perluasan kesempatan kerja, distribusi pendapatan, sera menjaga
kelestarian Sumber Daya Alam dan
lingkungan hidup, yang sejauh mungkin dapat ditangkap oleh
wilayah yang bersangkutan.
Menurut Aziz (1994), paling tidak terdapat 2 kerangka konseptual
perencanaan pembangunan
daerah yang digunakan secara luas, disamping beberapa lainnya
yang sedikit banyak merupakan variasi
keduanya. Pertama adalah konsep basis ekonomi, konsep ini
dipengaruhi oleh pemilikan masa depan
terhadap pembangunan daerah. Teori ini beranggapan bahwa
permintaan terhadap input hanya dapat
meningkatkan melalui perluasan permintaan terhadap output yang
diproduksi oleh sektor basis (ekspor)
dan sektor non basis (lokal). Menurut teori basis ekonomi,
ekspor daerah merupakan faktor penentu
dalam pembangunan ekonomi. Kedua, beranggapan bahwa tingkat
imbalan (rate of return) lebih
dibedakan oleh perbedaan dalam lingkungan dan prasarana,
daripada ketidak seimbangan rasio modal-
tenaga kerja. Daerah merupakan wilayah terbelakang bukan karena
tidak beruntung atau kegagalan pasar,
tetapi produktivitas yang rendah.
Seperti halnya sebagian besar ilmu sosial, pemanfaatan ilmu
regional dalam kehidupan masyarakat,
khususnya yang menyangkut formulasi kebijakan dan perencanaan
pembangunan, menuntut keterkaitan
dengan ilmu yang lain. Menurut Arsyad (1997), pengertian daerah
berbeda-beda tergantung tinjaunnya,
dari aspek ekonomi daerah mempunyai tiga pengertian : 1) Satu
daerah dianggap sebagai ruang dimana
kegiatan ekonomi terjadi dan didalam pelosok ruang tersebut
terdapat sifat-sifat yang sama (pendapatan
perkapita, sosial budaya dan geografinya); 2) Satu daerah
dianggap suatu ekonomi ruang yang dikuasai
oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi (disebut daerah
nodal); 3) Satu daerah adalah satu
ekonomi ruang yang berada di bawah administrasi tertentu seperti
propinsi, kabupaten, kecamatan, dan
sebagainya. Daerah seperti ini dibagi berdasarkan administrasi
suatu negara.
Pada dasarnya pembagian wilayah menurut kategorinya menunjukkan
kekhususan peubah-peubah
yang diperlakukan di dalam menyusun pembagian wilayah. Dengan
kata lain, berbagai peubah dapat
dilakukan dalam pembagian wilayah untuk tujuan-tujuan tertentu,
sehingga akan menunjukkan tingkat
diferensiasi atau pembedaan dari wilayah (regionalisasi)
berdasarkan kategori-kategori atau peubah-
peubah yang menyusunnya. Pada umumnya penggolongan yang sangat
sering diperlakukan dalam
regionalisasi wilayah dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok
wilayah (Wibowo, 1998 ; 22) :
a. Wilayah Berdimensi Tunggal (single topic region)
Wilayah ini merupakan region yang eksistensinya hanya didasarkan
pada satu macam peubah atau
persoalan saja sehingga jenis wilayah ini dapat merupakan
wilayah formal atau wilayah fungsional;
b. Wilayah Berdimensi Gabungan (combined topic region)
Wilayah ini pada dasarnya hampir sama dengan jenis wilayah
berdimensi tunggal, akan tetapi
mempunyai perbedaan diantara keduanya yakni pada unsur
pembentukannya yang terdiri atas
-
9
beberapa peubah sehingga mempunyai cakupan analisis yang dirinci
(seperti tingkat pendapatan,
tingkat konsumsi perkapita, aset dan sebagainya);
c. Wilayah Multi Dimensi (multiple topic region)
Adalah suatu wilayah yang eksistensinya mendasarkan pada
beberapa dimensi yang berbeda satu
sama lain. Secara umum dapat diidentifikasikan bahwa di dalam
wilayah multi dimensi
mendasarkan pada beberapa topik yang berbeda-beda tetapi masih
berhubungan satu sama lain.
Sebagai contoh adalah dalam rangka untuk mengevaluasi suatu
daerah pertanian. Maka faktor-
faktor yang berhubungan dengan pertanian digunakan sebagai dasar
untuk pembagian (iklim,
keadaan tanah, hidrologi, geomorphologi, dan lainnya);
d. Wilayah Berdimensi Total (total region)
Bahwa dalam wilayah tersebut semua unsur wilayah tercakup dalam
definisinya untuk membentuk
suatu wilayah. Salah satu keuntungannya terletak pada kemudahan
didalam pelaksanaan
regionalisasinya, terutama jika ditinjau dari segi
administrative convinience-nya, akan tetapi
luasnya persoalan atau peubah-peubah yang harus diperhatikan
atau dicakup didalam pertimbangan
analisisnya justru menampakkan kesulitan daripada
kemudahannya;
e. Wilayah Compage
Merupakan suatu wilayah yang bukan terdiri dari banyak atau
sedikitnya variable yang menjadi
pertimbangan utama, akan tetapi menonjolkan kegiatan manusia.
Orientasi tidak lagi
menitikberatkan pada physical setting-nya, melainkan bobot dari
kegiatan manusia ditinjau dari
kepentingan lokal maupun nasional.
2.2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Pendapatan
Pertumbuhan ekonomi dapat dinilai sebagai dampak kebijaksanaan
pemerintah, khususnya dalam
bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan
yang dibentuk dari berbagai
macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan
tingkat pertumbuhan yang terjadi dan
sebagai indikator penting bagi daerah untuk mengevaluasi
keberhasilan pembangunan (Sirojuzilam, 2008
: 18).
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah peningkatan volume variabel
ekonomi dari suatu sub spasial
suatu bangsa atau negara dan juga dapat diartikan sebagai
peningkatan kemakmuran suatu wilayah.
Pertumbuhan yang telah terjadi dapat ditinjau dari peningkatan
produksi sejumlah komoditas yang
diperoleh suatu wilayah.
Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah
tersebut. Pertumbuhan industri-industri yang
-
10
menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan
baki untuk diekspor, akan
menghasilkan kekayaan daerah penciptaan peluang kerja (Arsyad,
1999: 300). Asumsi ini memberikan
pengertian bahwa suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan
apabila daerah tersebut dapat
memenangkan persaingan pada sektor yang sama dengan daerah lain
sehingga dapat menghasilkan
ekspor. Untuk menganalisis basis ekoomi suatu wilayah, salah
satu teknik yang lazim digunakan adalah
kuosien lokasi (Location Quotient, LQ) Location Quotient
digunakan untuk mengetahui seberapa besar
tingkat spesialisasi sektor-sektor basis atau unggulan (leading
sectors). Dalam teknik LQ berbagai peubah
(faktor) dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan wilayah,
misalnya kesempatan kerja (tenaga
kerja) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah.
Secara garis besar proses
pertumbuhan perekonomian yang dibayangkan oleh Ricardo ditandai
oleh ciri-ciri sebagai berikut (dalam
Budiono, 1982; 9) :
a. Tanah terbatas jumlahnya, hal ini akan berakibat pada
penurunan pertumbuhan penduduk
(tenaga kerja), sehingga akan menghasilkan produk marginal yang
semakin menurun;
b. Tenaga kerja yang meningkat (atau menurun) sesuai dengan
apakah tingkat upah diatas atau
dibawah tingkat upah minimum (tingkat upah alamiah). Dari segi
faktor produksi tanah dan
faktor produksi tenaga kerja, ada satu kekuatan dinamis yang
selalu menarik perekonomian
kearah tingkat upah minimum, yaitu bekerjanya the Law of
Diminishing Return;
c. Akumulasi kapital terjadi apabila tingkat keuntungan yang
diperoleh pemilik kapital berada
diatas keuntungan minimum yang diperlukan untuk menarik mereka
melakukan investasi.
Akumulasi kapital hanya akan dilakukan apabila menerima imbalan
(keuntungan) yang cukup.
Proses akumulasi kapital ini akan berenti apabila tingkat
keuntungan yang diperoleh penanaman
modal turun sampai pada tingkat keuntungan minimum yang
diperlukan untuk mendorong
mereka melakukan investasi;
d. Adanya kemajuan teknologi dari waktu ke waktu, kemajuan
teknologi akan meningkatkan
produktivitas tenaga kerja dan produktivitas modal;
e. Sektor pertanian dominan, pada dasarnya inti dari proses
pertumbuhan ekonomi (kapitalis)
menurut Ricardo adalah proses tarik menarik antara dua kekuatan
dinamis, yaitu : (1) The Law
of Diminishing Return dan; (2) Kemajuan teknologi.
Hampir sama dengan pendapatan yang dikemukakan oleh soemitro
bilamana sekarang memikirkan
lebih lanjut kehidupan manusia dalam perkembangan dunia, maka
akan disadari betapa kemajuan dan
kesejahteraan manusia terpengaruh sekali oleh hubungan timbal
balik antar peranan sumber daya manusia
dan peranan teknologi, yaitu cara teknik bagaimana manusia dapat
mempertemukan dan mengandalkan
keadaan sekitarnya.
-
11
Dalam kaitan ini ekonom klasik berpendapat bahwa pertumbuhan
ekonomi yang cepat akan
menghasilkan pemecahan, permasalahan sosial, ekonomi, politik,
sebagaimana juga permasalahan
pemerataan pendapatan. Akan tetap orientasi pembangunan yang
menitikberatkan pencapaian
pertumbuhan ekonomi dengan cepat tidak serta merta
mengindikasikan bahwa pembangunan yang
dilaksanakan di suatu negara akan tercapai maksimum, bahkan
akibat dari pertumbuhan ekonomi yang
telalu kuat telah menciptakan permasalahan dalam pembangunan
yang antara lain : ketidakmerataan
pendapatan yang semakin tinggi, kesejangan antar golongan
masyarakat dan antar wilayah semakin lebar,
meningkatnya angka kriminalitas sebagai akibat kecemburuan
sosial.
Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
cepat ternyata belum
mampu menjadi indikator utama keberhasilan pembangunan. Selama
ini pertumbuhan ekonomi secara
positif telah diasosiasikan dengan pengurangan kemiskinan,
dimana pengurangan kemiskinan tersebut
berhubungan dengan pertumbuhan yang sangat bervariasi, seperti
halnya yang terjadi pada kemajuan
sosial dan perbaikan kesejahteraan hidup baik dalam kesehatan
maupun pendidikan. Akan tetapi yang
lebih bermakna dalam pertumbuhan adalah kesejahteraan, yang
terdiri dari konsumsi, pembangunan
manusia, dan kelestarian lingkungan, serta kualitas, distribusi
dan stabilitas mereka.
Fokus pada pertumbuhan ekonomi haruslah dilengkapi oleh suatu
kajian atas pola-pola alternatif
pertumbuhan (yang berkesinambungan). Menurut Bank Dunia (2001)
alternatif yang cukup baik adalah
pertumbuhan yang ditimbulkan oleh perluasan modal manusia,
fisik, dan alam yang tidak terdistorsi dan
seimbang, sehingga dapat dilestarikan untuk jangka waktu yang
panjang. Seimbang disini lebih menunjuk
kepada akumulasi aset sebagai tanggapan terhadap kerangka kerja
kebijakan yang tidak terdistorsi. Pola
seperti itu lebih cenderung bisa mengurangi kemiskinan dan dapat
memperbaiki distribusi pendapatan.
Pada gilirannya, hal ini dapat menciptakan kondisi bagi
pertumbuhan yang lebih pesat dan memperbaiki
kesejahteraan dengan lebih cepat pula. Maka mencegah terjadinya
kekurangan investasi dalam modal
manusia dan alam merupakan salah satu cara untuk mempromosikan
pertumbuhan yang pesat dan
berkesinambungan (Bank Dunia, 2001 : 32).
Kontribusi akumulasi modal manusia dapat melalui pelatihan,
sekolah (pendidikan), dan pelayanan
kesehatan dimana layanan tersebut bisa disediakan oleh pihak
swasta maupun pemerintah sehingga
masyarakat yang berpendapatan rendah hingga menengah dapat
menikmati layanan tersebut. Pada sisi
investasi lainnya, dimana kebijakan pertumbuhan tanpa mengkaji
lingkungan yang komplementer yang
dapat merusak lingkungan pada saat akumulasi modal fisik
mengalami percepatan. Secara khusus, hal ini
terjadi pada negara-negara dengan keunggulan komparatif dalam
industri padat sumber daya alam yang
juga banyak membutuhkan banyak modal fisik untuk eksplorasinya,
seperti pertambangan, kehutanan,
dan perikanan. Oleh sebab itu, investasi modal terhadap manusia
dan alam haruslah sesuai tepat sasaran
dan melalui suatu kajian yang mendalam.
-
12
Masalah pertumbuhan dan pemerataan pendapatan yang terjadi di
Indonesia cupuk kompleks. Pada
umumnya daerah-daerah dengan pusat pertumbuhan tinggi terletak
di Pulau Jawa mengingat kebijakan
pembangunan lebih dikonsentrasikan di Jawa, dengan demikian
masyarakat Indonesia yang lebih banyak
menikmati pemerataan pendapatan adalah penduduk yang tinggal di
pulau jawa itu pun lebih terpusat di
Jakarta.
Antisipasi dan pemecahan permasalahan pembangunan yang berupa
ketimpangan pendapatan
antara masyarakat dan wilayah, Indonesia menggunakan strategi
pembangunan yang berorientasi pada
pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dengan disertai
oleh pemerataan pembangunan dalam
masyarakat strategi tersebut dirumuskan dakam Garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Tujuan umum yang
ingin dicapai oleh pembangunan nasional yang dirumuskan dalam
visi pembangunan Indonesia yang
tercantum dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya masyarakat
Indonesia yang damai, demokratis,
berdaya saing, maju, dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), yang
didukung oleh manusia Indonesia yang berkualitas
(MPR,1999:46).
2.2.3 Pembangunan Pertanian
Pertanian adalah proses produksi yang didasarkan atas proses
pertumbuhan tanaman dan hewan.
Sedangkan definisi dari pembangunan pertanian adalah suatu
proses dalam meningkatkan pola produksi
dan produktivitas yang terdapat dalam pertanian dengan tujuan
meningkatkan produksi, memenuhi
kebutuhan bahan baku bagi industri dalam negeri maupun luar
negeri yang menghasilkan devisa negara,
memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan
pemerataan kesempatan berusaha seta
mendukung pemerintah daerah dengan tetap memperhatikan
kelestarian sumberdaya (Soeratno,1996 :
81).
Menurut mubyarto (1994 : 121) pembangunan ekonomi dengan
memberikan prioritas pada sektor
pertanian tidak merupakan kasus yang khusus, tetapi merupakan
garis kebijaksanaan. Dalam keadaan
demikian, kebijaksanaan dianggap lebih tepat apabila mampu
menciptakan daya tukar (term of trade)
yang lebih menguntungkan sektor industri, supaya sektor ini
dapat berkembang lebih cepat. Karena
bagaimanapun juga sektor pertanian merupakan sektor penyedia
bahan-bahan mentah sektor industri.
Pembangunan sektor pertanian merupakan bagian penting dalam
pembangunan dan tidak terpisahkan dari
pembangunan ekonomi maupun pembangunan nasional. Fakta
menunjukkan bahwa sebagian besar
penduduk Indonesia bekerja dan menggantungkan hidupnya disektor
pertanian, yang sebagian besar
hidup dibawah garis kemiskinan.
Soekarwati (1996) mengemukakan tanggapannya tentang 5 syarat
pembangunan pertanian dari
Mosher, bahwa adanya kemajuan illmu dan teknologi yang
mempengaruhi corak berfikir produsen,
-
13
konsumen, dan pelaku pembangunan pertanian yang lain, maka perlu
adanya perubahan dan arahan baru,
yakni :
1. Pemanfaatan sumberdaya dengan tanpa merusak lingkungannya
(Recources Endowment).
Keberadaan sumberdaya yang dimiliki bangsa Indonesia sudah
sepantasnya untuk dimanfaatkan
secara optimal, namun dalam pemanfaatannya tidak harus terjadi
akses kerusakan lingkungan;
2. Pemanfaatan teknologi yang senantiasa berubah (Technological
Endowment). Peningkatan
produksi pertanian oleh pemakaian cara-cara atau teknik baru
dalam usaha tani. Termasuk
didalamnya berbagai kombinasi jenis-jenis usaha oleh petani agar
dapat menggunakan tenaga
dan tanah mereka sebaik mungkin;
3. Pemanfaatan institusi (kelembagaan) yang saling
menguntungkan. Pengenalan teknologi
pertanian yang baru seharusnya segera disampaikan kepada
masyarakat petani dan hal ini bisa
dilaksanakan dengan memanfaatkan lembaga-lembaga yang ada (Balai
Penyuluh Pertanian);
4. Pemanfaatan budaya (Cultural Endowment) untuk keberhasilan
pembangunan pertanian. Seperti
adanya sistem subak ataupun sistem gugur gunung.
Pada saat ini, di Indonesia perkembangan paradigma di bidang
pertanian sebagai upaya
mengantisipasi pertanian masa depan telah mendapat perhatian
dari banyak kalangan, hal ini dilandasi
oleh beberapa faktor kritikal, yaitu (Wibowo,200:43):
1. Agenda pembangunan ekonomi nasional telah menempatkan
pertanian sebagai sektor unggulan
dan basis kekuatan ekonomi nasional;
2. Pembangunan pertanian diarahkan pada peningkatan Sumber Daya
Manusia dalam mengelola
Sumber Daya Alam dan Hayati secara optimal untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat
petani;
3. Pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan azaz otonomi
daerah dan pemerataan
pembangunan;
4. Peran pemerintah dalam pembangunan pertanian semakin terbatas
pada memfasilitasi dan
memberdayakan setiap pelaku pembangunan agar mampu melaksanakan
kegiatan ekonominya
secara mandiri.
Dengan cara berfikir demikian, maka diperlukan
penyesuaian-penyesuaian sehingga sasaran
pembangunan pertanian dapat dicapai secara optimal yakni
bagaimana mengantisipasi kebijakan yang
harus ditempuh sektor pertanian, terutama dalam menghadapi
dinamika otonomi, desentralisasi dan juga
globalisasi.
Dalam perekonomian sektor pertanian mempunyai peranan penting
terutama disebabkan oleh: 1)
sebagian besar dari penduduk memiliki usaha dan menggantungkan
hidupnya dari sektor pertanian; 2)
-
14
sektor pertanian merupakan penyedia utama pemenuhan kebutuhan
pokok masyarakat; 3) sektor pertanian
merupakan penyedia terbesar untuk menunjang pembangunan
sektor-sektor lainnya terutama sektir
industri (dalam hal tenaga kerja); 4) kemampuan yang tinggi
dalam penyediaan Sumber Daya Alam dan
sumber dana dalam menggerakkan dan memacu pertumbuhan ekonomi;
5) sektor pertanian merupakan
pasar yang potensial bagi produk-produk dari sektor industri
(Kamaludin, 1999: 112).
2.2.4 Pembangunan Subsektor Perkebunan
Subsektor perkebunan yang merupakan bagian dari sektor
pertanian, dimana subsektor pertanian
ini juga merupakan komponen penting dalam menghasilkan devisa,
menyediakan lapangan kerja, dan
sumber penghasilan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Pembangunan perkebunan harus
memperhatikan kondisi tanah, air, iklim dengan tetap menjaga
kelestarian, kemampuan sumber-sumber
alam dan lingkungan hidup serta memperhatikan pola kehidupan
masyarakat setempat, selanjutnya
pembangunan perkebunan difokuskan untuk meningkatkan ekspor dan
memenuhi kebutuhan industri
dalam negeri melalui peremajaan, rehabilitasi, perbaikan mutu
tanaman, penganekaragaman jenis dan
pemanfaatan lahan transmigrasi, lahan kering, dan rawa yang
ditangani secara lebih intensif dan
sistematis (Departemen Pendidikan Budaya, 199: 59).
Pada tahun 1973 (dalam Mubyarto, 1989) luas perkebunan yang
tersebar di wilayah Indonesia
mencapai 2.225.645 hektar, dimana sebagian besar adalah milik
negara. Perkebunan milik negara ini
umumnya merupakan peninggalan dari penjajahan Belanda yang
modalnya sudah dibeli oleh Pemerintah
Indonesia.
Pembangunan perkebunan rakyat di Kabupaten Jember terdiri dari
tanaman perkebunan semusim
dan tanaman budidaya perkebunan. a) tanaman semusim: yaitu umur
tanaman pada umumnya pendek,
yang biasanya sama dengan musimnya mulai tanaman hingga dipanen.
Misal tembakau, tanaman teh dan
tanaman kapas. b) tanaman budidaya perkebunan umumnya tidak
panjang sehingga dapat berkali-kali
dipanen, misal kelapa, kopi, cengkeh, dan pirang. Sedangkan
komoditi perkebunan besar negara dan
swasta di Kabupaten Jember terdiri dari karet, kopi, kakao,
cengkeh, teh, dan kelapa (Qosyim, 1992: 11).
Komoditas Produksi Tahun
1999 (ribu ton)
Pangsa Produksi
(%)
Pertumbuhan
(1974-1999) %
per tahun
Pertumbuhan
(1989-1999) %
per tahun
Karet 1714 9,8 3,01 3,56
Kelapa sawit 5989 34,4 12,06 11,79
Kelapa 2778 15,9 2,95 2,26
Kopi 466 2,7 4,64 1,50
-
15
Kakao 461 2,7 22,01 15,36
Teh 154 0,9 0,52 0,88
Lainnya 4492 25,8 5,81 7,92
Total 17424 100,0 5,90 7,09
Sejalan dengan pertumbuhan areal, produksi perkebunan juga
meningkatkan dengan konsistensi
dengan laju 5,90 persen (%) per tahun dalam 25 tahun terakhir
atau 7,09 persen (%) pada dekade terakhir
(tabel 2). Pada tahun 1974, volume produksi subsektor perkebunan
adalah sekitar 4,154 juta ton,
sedangkan tahun 1999 volume produksi sudah mencapai sekitar
17.424 juta ton. Seperti juga areal,
pertumbuhan produksi tercepat dicapai oleh tanaman kakao dengan
laju 22,01 persen (%) per tahun.
Pertumbuhan tercepat kedua dicapai oleh kelapa sawit dengan laju
peningkatan produksi sekitar 12,06
persen (%) per tahun. Perkembangan produksi tanaman lainnya
berkisar antara 0,05-5 persen, kecuali
tanaman tebu yang mengalami penurunan produksi dengan laju
penurunan -0,45 persen per tahun.
Penurunan produksi gula disebabkan oleh berbagai faktor, baik
yang bersifat internal seperti penurunan
produktivitas dan biasa kebijakan pemerintah, maupun pasar gula
internasional yang sangat distortif
sehingga harga gula terus mengalami penurunan (Susila dan
Susmiadi ; 2000).
2.2.5 Analisis Model Input Output
Analisis model Input-Output diperkenalkan oleh Prof. Wassily W.
Liontief 1951 yang merupakan
pengembangan teknik yang dipergunakan oleh Francois Quesnay,
dengan mempublikasikan tableu
Econimique yang merupakan diagram-diagram yang memperlihatkan
bagaimana pengeluaran-
pengeluaran ekonomi dapat dilacak melalui perekonomian dengan
metode sistematis (Kuncoro dkk, 1997
: 257).
Menurut Prof. J.R. Hies input adalah sesuatu yang dibeli untuk
perusahaan, sedangkan output
diproduksi. Jadi input merupakan pengeluaran perusahaan,
sedangkan output merupakan penerimaannya,
jumlah nilai uang input merupakan biaya total suatu perusahaan
kemudian jumlah nilai uang dari output
merupakan total penerimaan (Jhingan, 2002 : 592).
Menurut Soekarwati (1990) keunggulan teknik ini adalah semua
sektor ekonomi dan komponen-
komponennya dapat dipakai semuanya dalam sekali analisis. Dengan
demikian semua informasi antar
subsektor dalam ekonomi dapat dilihat kaitannya satu sama lain
agar kebijakan yang dibuat ada sifat
berkelanjutan (Sustainable) dengan tanpa menimbulkan
permasalahan sosial dan ekonomi. Masih
menurut Soekarwati, ada beberapa asumsi yang lazim digunakan
analisis I-O ini adalah sebagai berikut:
-
16
1. Bahwa teknologi dianggap tidak ada, karena teknologi tersebut
diasumsikan tetap (Fixed
Technology). Hal ini sebagai akibat adanya analisis yang
menggunakan dara kerat silang dan
juga perubah harga input tidak mempengaruhi komposisi input
dipakan dalam proses produksi;
2. Bahwa proporsi input yang diperlukan untuk memproduksi output
dalam tiap-tiap sektor
dianggap konstan;
3. Bahwa masing-masing sektor hanya dapat menghasilkan
produk;
4. Bahwa sebagai konsekuensi dari asumsi ketiga tersebut maka
gabungan dari beberapa produk
tidak dapat dihasilkan oleh beberapa sektor.
Menurut Boediono (dalam Kuncoro, 2001 : 239) daya tarik utama
model I-O adalah menyajikan
gambaran rinci mengenai struktur ekonomi pada suatu kurun waktu
tertentu. Struktur ekonomi dapat
mencakup suatu negara, daerah, maupun antar daerah. Oleh sebab
itu, manfaat tabel I-O adalah : (1)
memberikan gambaran yang lengkap tentang aliran barang, jasa,
dan input antar sekolah; (2) dapat
digunakan sebagai alat peramal mengenai pengaruh suatu perubahan
situasi ekonomi atau kebijakan
ekonomi.
Pada model perencanaan daerah yang memasukkan unsur keterkaitan
antara daerah secara eksplisit,
dibanyak negara telah terbukti banyak membantu proses
pembangunan daerah, karena tabel I-O
menunjukkan dua fungsi yang terpisah yaitu: 1) menggambarkan
hubungan kerangka kerja (frame Work)
antara industri atau sektor dalam suatu perekonomian dan antara
input-output; 2) memberikan kepastian
asumsi ekonomi tentang fungsi produksi alamiah yang dapat
digunakan sebagai alat untuk mengukur
pengaruh gangguan autonomus (Autonomus Disturbance) pada output
ekonomi dan pendapatan.
2.2.6 Metode RAS
Dalam analisis Input Output digunakan metode RAS (matriks r,a,s)
yang merupakan metode non
survey yang memproyeksikan suatu tabel I-O yang baru dengan
menggunakan koefisien-koefisien tabel I-
O yang lama. Dengan menggunakan metode RAS suatu set angka
pengganda dapat diperoleh suatu tabel
I-O dasar selanjutnya angka pengganda tersebut dapat digunakan
untuk melakukan penyesuaian terhadap
baris maupun kolom pada tabel I-O dasar tersebut sehingga
sel-sel dalam tabel I-O baru dapat diperoleh.
Matriks koefisien tabel I-O, yaitu: A = (aij), terbentuk dua
pengaruh, yaitu pengaruh substitusi dan
fabrikasi (pembuatan). Apabila pengganda subtitusi diberi notasi
r dan pengganda fabrikasi diberi notasi
s, sedangkan A0 adalah matriks koefisien input nasional adalah
At adalah matriks regional. Maka secara
matematis dirumuskan sebagai berikut:
At = r A0 s
-
17
Proses penyusunan matriks dengan menggunakan pengganda baris
ke-r dan pengganda kolom ke-s,
berkelanjut terus sampai diperoleh suatu matriks, dimana jumlah
angka untuk masing-masing baris sama
dengan jumlah permintaan antara masing-masing sektor dan jumlah
angka masing-masing kolom sama
dengan jumlah input antara masing-masing sektor. Koefisien input
atau teknologi dari suatu tabel I-O
diperoleh dengan membandingkan antara output sektor ke-i yang
digunakan sebagai input oleh sektor ke-j
(Xij) dengan input total sektor bersangkutan (Xj). Secara
sistematis dirumuskan sebagai berikut:
Aij = Xij / Xj
Selanjutnya masing-masing nilai aij tersebut dapat disusun ke
dalam bentuk persamaan linear, yaitu:
A11X1 + a12X2 + .......... + a1nXn + Y1 = X1
A21X2 + a22X2 + .......... + a2nXn + Y2 = X2
An1X1 + an2Xn + .......... + anmXn + Yn = Xn atau bentuk
matriks:
AX + Y = X < > Y = X AX < > Y = [ I A ] X ..........
(1)
Dimana
A = matriks koefisien input teknik
X = vektor kolom ouput total
Y = vektor kolom permintaan akhir
[I A ] = merupakan matriks Leontief
Dari persamaan (1) dapat diubah menjadi :
X = [ I A ]-1 Y ....................................... (2)
Selanjutnya, [ I A ]-1 merupakan matriks kebalikan Leontif atau
disebut juga koefisien arah, yang
berperan penting dalam analisis pembangunan suatu wilayah.
Koefisien arah tersebut menunjukkan
keterkaitan antara tingkat permintaan akhir dengan output yang
dihasilkan oleh suatu perekonomian.
2.3. Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
2.3.1 Persamaan
Persamaan yang paling menonjol dari penelitian yang penulis
lakukan saat ini dengan dua
penelitian yang terdahulu adalah sama-sama menggunakan Tabel
Input-Output, Analisis Keterkaitan, dan
Analisis Pengganda.
2.3.2 Perbedaan
-
18
Perbedaanya adalah jika penelitian milik Priyono (2000) membahas
analisis mengenai kontribusi
komoditas tanaman perkebunan Tembakau di Wilayah Kabupaten
Jember. Kemudian pada Penelitian
milik Arifianto (2003) membahas mengenai Analisis Subsektor
Perkebunan di Wilayah Kabupaten
Banyuwangi pada periode tahun 2000. Kemudian Penelitian oleh
Abdul membahas mengenai Analisis
Subsektor Perkebunan di Wilayah Kabupaten Jember pada periode
tahun 2005. Dan penelitian Mulyono
membahas mengenai Analisis Perkembangan Daya saing Subsektor
Perkebunan di Kabupaten Jember.
-
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan berdasarkan deskriptif, yaitu
memberikan gambaran secara sistematik,
faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, keterkaitan subsektor
perkebunan maupun analisis
penggandanya terhadap sektor lain dalam perekonomian Propinsi
Jawa Timur.
3.1.2 Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah aktivitas ekonomi
subsektor perkebunan dan
keterkaitannya dengan sektor lain di Provinsi Jawa Timur. Dalam
aktivitas subsektor perkebunan akan
diketahui dengan mengukur daya saing sub sektor dan
keterkaitannya pada sektor-sektor lain.
3.1.3 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah sektor ekonomi khususnya
subsektor perkebunan di Provinsi
Jawa Timur. Kajian dalam penelitian ini difokuskan pada tahun
2004, dimana penentuan lokasi ditetapkan
di Provinsi Jawa Timur dengan pertimbangan wilayah provinsi Jawa
Timur yang cukup luas dan kondisi
geografis yang mendukung untuk dikembangkan lebih baik lagi.
Oleh sebab itu perlu dilihat sejauh mana
pengaruh subsektor perkebunan daya saing terhadap sektor
lainnya. Selain itu ketersediaan data tabel I-O
terakhir adalah tahun 2000, sedangkan tabel I-O 2005 masih belum
dipublikasikan oleh Badan Pusat
Statistik.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mencatat
kembali data yang diterbitkan
oleh instansi-instansi seperti Badan Pusat Statistik (BPS)
Propinsi Jawa Timur, Badan Perencanaan
Daerah (BAPPEDA) Jawa Timur, dan instansi terkait lainnya serta
studi pustakan. Data yang digunakan
untuk menunjang penelitian ini adalah data sekunder yang
berupa:
a. Data Input-Output Kabupaten Jember 15 x 15 sektor tahun
b. Data Produk Domestik Regional Bruto PDRB Kabupaten Jember
tahun 2011
c. Data Tenaga Kerja Per sektor Kabupaten Jember tahun 2011
d. Data Input-Output Propinsi Jawa Timur tahun 2011
3.3 Spesifikasi Data
-
20
Rincian sektor yang digunakan dalam analisis I-O untuk
penelitian ini dengan ukuran dimensi
sebanyak 15 sektor yang meliputi (1) Pertanian tanaman bahan
makanan (2) Perkebunan lainnya; (3)
Tembakau; (4) Peternakan; (5) Kehutanan; (6) Perikanan; (7)
Pertambangan dan Penggalian; (8) Industri
pengolahan; (9) Listrik, gas, dan air bersih; (10) Bangunan
(Kontruksi); (11) Perdagangan, hotel, dan
restoran; (12) Pengangkutan dan komunikasi; (13) Keuangan,
persewaan, dan jasa perusahaan; (14)
pemerintahan umum, dan pertahanan; (15) dan jasa.
3.4 Metode Analisis Data
3.4.1 Metode Analisis Tabel Input-Output
Adapun metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini
adalah metode Input-Output.
Tabel Input-Output.
Tabel 1. Input-Output
Alokasi Output
Susunan Input
Permintaan Antara Permintaan Akhir
Jumlah
Output
Sektor Produksi
i . . . j . . . n RT KP I S E
Input
Anta
ra
Sek
tor
Pro
duksi
1
i
n
X1i
Xii
Xni
. . .
. . .
. . .
X1j
Xij
Xnj
. . .
. . .
. . .
X1n
Xin
Xnn
RT1
Rti
RTn
KP1
Kpi
KPn
I1
Ii
In
S1
Si
Sn
E1
Ei
En
X1
Xi
Xn
Upah dan Gaji RT Li . . . Lj . . . Ln
Nilai Tambah Lain Vi . . . Vj . . . Vn
Impor Mi . . . Mj . . . Mn
Jumlah Input Xi . . . Xj . . . Xn
Sumber : Data Pusat Statistik (BPS), 2000
Xij = Banyaknya output sektor I yang digunakan sebagai input
sektor ke-j
Yi = Permintaan akhir sektor I
= RTi + KPi + Ii + Si + Ei
-
21
Dimana :
RTi = Konsumsi rumah tangga terhadap sektor ke-i
KPi = Konsumsi pemerintah sektor ke-i
Ii = Pembentukan modal tetap (output sektor ke-i menjadi barang
modal)
Si = Perubahan Stock (output dari sektor ke-i yang menjadi
perubahan stock)
Ei = Ekspor barang dan jasa terhadap sektor ke-i
Bentuk umum tabel Input-Output pada tabel diatas dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Tabel baris menunjukkan bagaimana output suatu sektor
dialokasikan, sebagian dialokasikan untuk
permintaan antara (Intermediate Demand) dan sebagian untuk
permintaan akhir (Final Demand).
Permintaan akhir dalam tabel terdiri dari : (1) Pengeluaran
konsumsi rumah tangga; (2) Pengeluaran
konsumsi pemerintah; (3) Pembentukan modal tetap; (4) Perubahan
stock; (5) dan Ekspor. Tabel kolom
menunjukkan input antara maupun input primer yang disediakan
oleh sektor lain untuk pelaksanaan
produksi (Gazperz, 1990: 218).
Secara umum, dengan asumsi bahwa perekonomian hanya terdiri dari
tiga sektor, dapat dinyatakan bahwa
struktur input j terdiri dari input antara Xij (i=1, 2, 3) dan
input primer Vj dengan demikian alokasi ouput
sektor i dapat dinyatakan sebagai berikut :
Struktur input sektor j dinyatakan sebagai :
3.4.2 Analisis Keterkaitan Antar Sektor
Untuk mengetahui tingkat keterkaitan antara subsektor perkebunan
terhadap sektor-sektor lain
dalam perekonomian Propinsi Jawa Timur digunakan analisis Back
Linkage (keterkaitan kebelakang),
analisis Forward Linkage (keterkaitan ke depan), analisis
keterkaitan langsung tidak langsung ke depan,
dan analisis kaitan langsung tidak langsung ke belakang.
1. Analisis Keterkaitan Langsung ke Belakang
Untuk mengetahui derajat kaitan subsektor perkebunan terhadap
sektor lain yang menyumbang
input kepadanya maka digunakan analisis keterkaitan kebelakang.
Formula keterkaitan
kebelakang dapat dinyatakan sebagai berikut (Kuncoro, 1997 :
337) :
-
22
=
Dimana : KLKB = indeks kaitan ke belakang
Xj = nilai dari produk ke j
X ij = nilai input jasa i yang disediakan dari dalam Negeri
untuk memproduksi produk
j
aij = koefisien input output Leontief
2. Analisis Keterkaitan Langsung ke Depan
Untuk mengetahui derajat keterkaitan antara subsektor perkebunan
yang menghasilkan output
bagi sektor-sektor lain yang digunakan sebagai input, digunakan
analisis keterkaitan kedepan.
Formulasi keterkaitan ke depan diperoleh dari invers kaitan ke
kebelakang dan dapat dinyatakan
sebagai berikut (Kuncoro, 1997 : 337) :
KLKD = ij - 1
dimana: KLKD = indeks kaitan ke depan
ij = koefisien input-output Leontif
3. Analisis Keterkaitan Langsung Tidak Langsung ke Depan
Keterkaitan langsung tidak langsung ke depan, ditujukan untuk
mengukur akibat dari subsektor
perkebunan terhadap sektor ekonomi lain yang menyediakan output
bagi subsektor perkebunan
baik langsung maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan
total, dirumuskan dengan :
Dimana: KLTLKD = keterkaitan langsung tidak langsung ke
depan
Cij = unsur matriks kebalikan Leontif terbuka baris ke-i kolom
ke-j
4. Analisis Keterkaitan Langsung Tidak Langsung ke Belakang
Keterkaitan langsung tidak langsung kebelakang, ditujukan untuk
mengukur dampak dari
subsektor perkebunan terhadap sektor-sektor yang menyediakan
input antara bagi subsektor
-
23
perkebunan baik langsung maupun tidak langsung menurut kenaikan
permintaan total, dengan
rumus:
Dimana: KLTLKB = keterkaitan langsung tidak langsung
kebelakang
Cij = unsur matriks kebalikan Leontif terbuka baris ke-i kolom
ke-j
3.4.3 Analisis Pengganda
Untuk mengetahui besarnya angka pengganda output, angka
pengganda pendapatan, dan angka
pengganda tenaga kerja subsektor perkebunan di Propinsi Jawa
Timur digunakan analisis sebagai berikut
:
1. Analisis Pengganda Output
Analisis pengganda output digunakan untuk menghitung total nilai
produksi dari semua sektor
ekonomi yang diperlukan untuk memenuhi nilai permintaan akhir
dari output subsektor perkebunan.
formulasi matematisnya adalah (Kuncoro, 1997: 348):
Dimana: Oj = Pengganda output sektor ke-j
ij = Permintaan akhir yang baru dari sektor lain
2. Analisis Pengganda Pendapatan
Analisis pengganda pendapatan digunakan menghitung jumlah total
pendapatan yang diterima
oleh sektor rumah tangga sebagai penyedia faktor produksi
sebagai akibat adanya tambahan
permintaan akhir sebesar satu satuan mata uang. Formulasi
matematisnya adalah (Kuncoro, 1997:
351):
Dimana: Hj = Angka pengganda pendapatan
-
24
n = koefisien teknologi
ij = permintaan akhir yang baru dari sektor-sektor lain
3. Analisis Pengganda Tenaga Kerja
Analisis pengganda tenaga kerja digunakan untuk mengetahui
perubahan yang terjadi terhadap
tingkat penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian sebagai
akibat dari adanya perubahan
permintaan akhir sebesar satu satuan mata uang. Formulasi
matematisnya adalah (Kuncoro,
1997:351):
Dimana: Ej = Angka pendapatan tenaga kerja
Wn = koefisien input tenaga kerja
ij = permintaan akhir yang baru dari sektor-sektor yang lain
3.5 Definisi Variabel Operasional dan Pengukurannya
Definisi variabel operasional adalah suatu definisi variabel
yang akan digunakan dalam operasional
penelitian. Hal ini diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang
tepat dan menghindari meluasnya
permasalahan. Oleh sebab itu, batasan-batasan berupa definisi
variabel dari analisis yang digunakan
antara lain:
1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat diinterpretasikan
menurut 3 pengertian:
a. Produksi adalah jumlah nilai produk barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh berbagai
unit produksi di dalam suatu daerah dalam jangka waktu tertentu
(satu tahun);
b. Pendapatan adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh
faktor-faktor produksi yang ikut
serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu
tertentu (satu tahun) dalam
satuan rupiah;
c. Pengeluaran adalah jumlah semua pengeluaran untuk konsumsi
rumah tangga, konsumsi
lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi pemerintah
pembentukan modal
tetap domestik bruto, perubahan stok, dan perubahan netto pada
suatu daerah dalam jangka
waktu tertentu (satu tahun) dalam satuan rupiah;
2. Total output adalah jumlah seluruh nilai produksi (baik
barang maupun jasa) yang dihasilkan
oleh sektor-sektor ekonomi dalam suatu negara atau daerah
dihitung dalam satuan rupiah.
3. Nilai tambah bruto adalah balas jasa terhadap faktor produksi
yang tercipta karena adanya
kegiatan produksi dalam satuan rupiah.
-
25
4. Output domestik adalah nilai produksi dari proses produksi
yang dihasilkan dalam suatu negara
atau daerah dalam satuan rupiah.