Top Banner

of 95

PD3I - NOVAN ARYANDI - FK BAITURRAHMAH

Mar 09, 2016

Download

Documents

Novan Aryandi

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

IMUNISASI PD3I

CAMPAKa. Definisi

Campak merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dan secara khas terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium prodromal, erupsi, dan konvalesens.2 Penyakit ini umumnya menyerang anak dan sangat mudah menular. Seseorang yang menderita campak dapat menularkan pada 90% orang yang belum mendapat imunisasi apabila kontak dengannya.3

Manusia merupakan satu-satunya reservoir untuk campak. Oleh karena itu penyakit ini sebenarnya dapat dieradikasi, sebagaimana smallpox.4 Campak (measles, Ing.) disebut juga rubeola ( nama ilmiah ). Nama lainnya yaitu : hard measles, red measles, seven-day measles, eight-day measles, nine-day measles, 10-day measles, dan morbili. Penyakit ini sering salah diartikan dengan rubella, yang merupakan nama ilmiah dari campak German, yang disebabkan oleh virus yang berbeda.5 b. Etiologi

Campak disebabkan oleh Morbilivirus, salah satu virus RNA dari famili Paramyxoviridae.1 Dengan sifat:

1. Bentuk Virus Virus berbentuk bulat dengan tepi kasar dan bergaris tengah 140 nm dan dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang bulat lonjong terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA), merupakan struktur heliks nukleoprotein dari myxovirus. Selubung luar sering menunjukkan tonjolan pendek, satu protein yang berada di selubung luar muncul sebagai hemaglutinin.1

2. Ketahanan Virus Pada temperatur kamar virus campak kehilangan 60% sifat infeksifitasnya selama 3-5 hari, pada 37C waktu paruh umurnya 2 jam, pada 56C hanya satu jam. Pada media protein ia dapat hidup dengan suhu -70C selama 5,5 tahun, sedangkan dalam lemari pendingin dengan suhu 4-6C dapat hidup selama 5 bulan. Virus tidak aktif pada PH asam. Oleh karena selubung luarnya terdiri dari lemak maka ia termasuk mikroorganisme yang bersifat ether labile, pada suhu kamar dapat mati dalam 20% ether selama 10 menit dan 50% aseton dalam 30 menit. Dalam 1/4000 formalin menjadi tidak efektif selama 5 hari, tetapi tidak kehilangan antigenitasnya. Tripsin mempercepat hilangnya potensi antigenik.1

Gambar 1. Virus Campak Dikutip dari Wikipedia (2008).6

3. Struktur Antigenik Infeksi dengan virus campak merangsang pembetukkan neutralizing antibody, complement fixing antibody, dan haemagglutinine inhibition antibody. Imunoglobulin kelas IgM dan IgG muncul bersama-sama diperkirakan 12 hari setelah infeksi dan mencapai titer tertinggi sekitar 21 hari. Kemudian IgM menghilang dengan cepat sedangkan IgG tinggal tidak terbatas dan jumlahnya terukur, sehingga IgG menunjukkan bahwa pernah terkena infeksi walaupun sudah lama. Antibodi protektif dapat terbentuk dengan penyuntikkan antigen hemagglutinin murni.1c. Epidemiologi

Biasanya penyakit ini timbul pada masa anak dan kemudian menyebabkan kekebalan seumur hidup. Usia puncak insidens penyakit ini adalah umur 5-10 tahun, di negara yang belum berkembang insidens tertinggi pada umur 2 tahun. Wabah terjadi pada kelompok anak yang rentan terhadap campak, yaitu di daerah dengan populasi balita banyak mengidap gizi buruk dan daya tahan tubuh yang lemah. Hampir semua anak Indonesia yang mencapai usia 5 tahun pernah terserang penyakit campak, walaupun yang dilaporkan hanya sekitar 30.000 kasus pertahun. Kejadian luar biasa campak lebih sering terjadi di daerah pedesaan terutama karena akses pelayanan kesehatan yang sulit, khususnya dalam program imunisasi. Di daerah transmigrasi sering terjadi terjadi wabah dengan angka kematian yang tinggi. Daerah urban yang padat dan kumuh merupakan daerah rawan dan sumber kejadian luar biasa terhadap penyakit yang sangat menular seperti campak.1 d. Patogenesis

Manusia adalah satu-satunya inang asli untuk virus campak. Penularan campak terjadi secara droplet melalui udara, terjadi antara 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Infeksi dimulai di mukosa hidung/faring. Di tempat awal infeksi, penggandaan virus sangat minimal dan jarang dapat ditemukan virusnya. Virus masuk ke dalam limfatik lokal, bebas maupun berhubungan dengan sel mononuklear mencapai kelenjar getah bening lokal. Virus kemudian bermultiplikasi dengan sangat perlahan dan disitu mulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikular (RES) seperti limpa, dimana virus menyerang limfosit. Virus campak dapat bereplikasi dalam limfosit tertentu yang membantu penyebaran ke seluruh tubuh.4 5-6 hari sesudah infeksi awal, fokus infeksi terbentuk yaitu ketika ketika virus masuk ke dalam pembuluh darah (viremia primer) dan menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran napas, kulit, kandung kemih, dan usus. Pada hari 9-10 fokus infeksi yang berada di epitel saluran napas dan konjungtiva, mengalami nekrosis pada satu sampai dua lapisan. Pada saat itu virus dalam jumlah banyak masuk kembali ke dalam pembuluh darah (viremia sekunder) dan menimbulkan manifestasi klinis dari sistem pernafasan diawali dengan keluhan batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak merah.

Pada stadium prodromal terdapat hiperplasia jaringan limfe. Distribusi yang luas dari giant cell multinuklear (sel retikuloendotel Warthin-Finkeldey) akibat fusi-fusi sel dan inklusi intranuklear terlihat dalam jaringan limfoid di seluruh tubuh (limfoid, tonsil, terutama appendix). Keadaan tersebut terjadi selama masa inkubasi, biasanya 9-11 hari.4 Sebagai reaksi terhadap virus, terjadi proses peradangan epitel saluran pernafasan, konjungtiva dan kulit yang mana terbentuk eksudat yang serous dan proliferasi sel mononukleus dan beberapa sel polimorfonukleus di sekitar kapiler. Respon imun ini diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit berat dan ruam yang menyebar ke seluruh tubuh, tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak Koplik, merupakan tanda pasti untuk menegakkan diagnosis.1 Ruam pada kulit terjadi sebagai akibat respon delayed hypersensitivity terhadap antigen virus, sebagai hasil interaksi sel T imun dan sel yang terinfeksi virus dalam pembuluh darah kecil dan berlangsung sekitar 1 minggu. Kejadian ini tidak tampak pada kasus yang mengalami defisit sel T 4. Pada kulit, reaksi terutama terjadi di sekitar kelenjar sebacea dan folikel-folikel rambut.7

Gambar 2. Patogenesis Campak Dikutip dari Stanford ED (2005).8e. Manifestasi Klinis

1. Fase Prodromal

Fase ini berlangsung 2-4 hari, virus terdapat dalam air mata, sekresi hidung dan tenggorokan, urin, serta darah. Pada stadium prodromal dapat ditemukan enantema di mukosa pipi yang merupakan tanda patognomonis campak yaitu bercak koplik, conjungtivitis, coryza, dan cough (tanda 3C), disertai demam ringan sampai sedang. Bercak koplik adalah bintik-bintik berwarna putih kelabu, berukuran sebesar butir pasir dikelilingi areola berwarna kemerahan, kadang-kadang bercak tersebut bersifat hemoragis. Selain itu cenderung timbul berhadapan dengan gigi molar bawah, tetapi dapat menyebar tidak teratur mengenai seluruh permukaan mukosa pipi. Meski jarang, bercak dapat pula ditemukan pada bagian tengah bibir bawah, langit-langit dan karunkula lakrimalis. Bercak koplik terdiri atas eksudat serosa dan proliferasi sel-sel endotel, serupa dengan yang terdapat pada lesi-lesi kulit. Bercak tersebut muncul dan menghilang dengan cepat dalam waktu 12-18 jam. Ketika menghilang pada mukosa penderita masih ditemukan bercak diskolorisasi mukosa kemerahan.7

Gambar 3. Koplik Spot Dikutip dari Visualdx (2008).9Kelenjar limfe pada sudut rahang dan daerah servikal posterior sering mengalami pembesaran disertai splenomegali ringan. Limfadenopati mesenterik menyebabkan timbulnya rasa nyeri abdomen. Perubahan patologis campak yang khas pada lapisan mukosa usus buntu mengakibatkan penyumbatan lumen disusul munculnya gejala apendisitis. Perubahan ini cenderung mereda dengan menghilangnya bercak koplik.7

2. Fase Erupsi

Ruam makulopapular muncul 14 hari setelah awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi. Ruamruam kulit biasanya mulai sebagai makula tidak tegas, terdapat pada bagian samping atas leher penderita, di belakang telinga, sepanjang batas rambut dan pada bagian belakang pipi. Setiap lesi berubah menjadi makulopapular bersamaan dengan penyebaran cepat ruam kulit di seluruh muka, leher, lengan atas dan bagian atas dada dalam waktu kurang lebih 24 jam pertama, disertai panas tinggi. Dalam 24 jam berikutnya, lesi-lesi menyebar menutupi punggung, abdomen, seluruh lengan dan paha. Proses menghilangnya ruam kulit berlangsung dari atas ke bawah dengan urutan sesuai proses pemunculannya. Lesi pada wajah mulai menghilang pada hari ke 2-3, yaitu pada saat lesi mencapai kaki. Derajat penyakit berhubungan langsung dengan luas dan penyatuan ruam-ruam tersebut.7

Gambar 4. Ruam makulopapular pada stadium erupsi Dikutip dari CDC (2007).103. Fase Konvalesens

Pada fase akhir, ruam menjadi hiperpigmentasi dan kadang-kadang deskuamasi, gejala-gejala lainnya menghilang.

f. Diagnosis

Diagnosis campak biasanya dapat dibuat berdasarkan gejala klinis yang sangat berkaitan, yaitu koriza dan konjungtivitis disertai batuk dan demam tinggi pada beberapa hari serta diikuti timbulnya ruam yang memiliki ciri khas, yaitu diawali dari belakang telinga kemudian menyebar ke ke muka, dada, tubuh, lengan dan kaki bersamaan dengan meningkatnya suhu tubuh dan selanjutnya mengalami hiperpigmentasi dan deskuamasi. Jadi diagnosis campak dapat ditegakkan secara klinis. Campak yang bermanifestasi tidak khas disebut campak atipikal.1g. Pemeriksaan Penunjang

1. Jumlah leukosit cenderung menurun disertai limfositosis relatif.7

2. Isolasi dan identifikasi virus : Swab nasofaring dan sampel darah yang diambil dari pasien 2-3 hari sebelum onset gejala sampai 1 hari setelah timbulnya ruam kulit (terutama selama masa demam campak) merupakan sumber yang memadai untuk isolasi virus. Selama stadium prodromal, dapat terlihat sel raksasa berinti banyak pada hapusan mukosa hidung.7

3. Serologis: konfirmasi serologi campak berdasarkan pada kenaikan empat kali titer antibodi antara sera fase akut dan fase penyembuhan atau pada penampakkan antibodi IgM spesifik campak antara 1-2 minggu setelah onset ruam kulit. Bagian utama dari respon imun ditujukan langsung pada protein NP. Hanya pada kasus campak yang tidak khas, yang pasti bereaksi terhadap protein M yang ada.4

h. Komplikasi

1. Laringitis akut

Laringitis timbul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran nafas, bertambah parah pada saat demam mencapai puncaknya, ditandai dengan distres pernafasan, sesak, sianosis, dan stridor. Ketika demam menurun, keadaan akan membaik dan gejala akan menghilang.1

2. Bronkopneumonia

Bronkopneumonia adalah komplikasi campak yang sering dijumpai (75,2%). yang sering disebabkan invasi bakteri sekunder, terutama Pneumokokus, Stafilokokus, dan Hemophilus influenza.7 Pneumonia terjadi pada sekitar 6% dari kasus campak dan merupakan penyebab kematian paling sering pada penyakit campak.1 3. Kejang demam

Kejang dapat timbul pada periode demam, umumnya pada puncak demam saat ruam keluar.1

4. Ensefalitis

Ensefalitis adalah penyulit neurologik yang paling sering terjadi, biasanya terjadi pada hari ke 4-7 setelah timbul ruam, dan sejumlah kecil pada periode pra-erupsi. Ensefalitis simptomatik timbul pada sekitar 1:1000. Diduga jika ensefalitis terjadi pada waktu awal penyakit maka invasi virus memainkan peranan besar, sedangkan ensefalitis yang timbul kemudian menggambarkan suatu reaksi imunologis. Gejala ensefalitis dapat berupa kejang, letargi, koma, dan iritabel. Keluhan nyeri kepala, frekuensi nafas meningkat, twitching, disorientasi, juga dapat ditemukan. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis ringan, dengan predominan sel mononuklear, peningkatan protein ringan, sedangkan glukosa dalam batas normal.1

5. Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE)

SSPE (Dawsons disease) merupakan kelainan degeneratif susunan saraf pusat yang disebabkan oleh infeksi oleh virus campak yang persisten, suatu penyulit lambat yang jarang terjadi. Semenjak penggunaan vaksin meluas, kejadian SSPE menjadi sangat jarang. Kemungkinan untuk menderita SSPE pada anak yang sebelumnya pernah campak adalah 0,6-2,2 per 100.000. Masa inkubasi timbulnya SSPE rata-rata 7 tahun.1 Sebagian besar antigen campak terdapat dalam badan inklusi dan sel otak yang terinfeksi, tetapi tidak ada partikel virus matur. Replikasi virus cacat karena kurangnya produksi satu atau lebih produk gen virus, seringkali adalah protein matrix. Keberadaan virus campak intraseluler laten dalam sel otak pasien dengan SSPE menandakan kegagalan sistem imun untuk membersihkan infeksi virus.4

Gejala SSPE didahului dengan gangguan tingkah laku, iritabilitas dan penurunan intelektual yang progresif serta penurunan daya ingat, diikuti oleh inkoordinasi motorik, dan kejang yang umumnya bersifat mioklonik. Selanjutnya pasien menunjukkan gangguan mental yang lebih buruk, ketidakmampuan berjalan, kegagalan berbicara dengan komprehensi yang buruk, dysphagia, dapat juga terjadi kebutaan. Pada tahap akhir dari penyakit, pasien dapat tampak diam atau koma. Aktivitas elektrik di otak pada EEG menunjukkan perubahan yang progresif selama sakit yang khas untuk SSPE dan berhubungan dengan penurunan yang lambat dari fungsi sistem saraf pusat. Laboratorium : Peningkatan globulin dalam cairan serebrospinal, antibodi terhadap campak dalam serum meningkat (1: 1280).11

6. Otitis media

Invasi virus ke telinga tengah umumya terjadi pada campak. Gendang telinga biasanya hiperemia pada fase prodromal dan stadium erupsi. Jika terjadi invasi bakteri menjadi otitis media purulenta.1 7. Enteritis dan diare persisten

Beberapa anak yang menderita campak mengalami muntah dan mencret pada fase prodromal. Keadaan ini akibat invasi virus ke dalam sel mukosa usus. Diare persisten bersifat protein losing enteropathy sehingga dapat memperburuk status gizi.1 8. Konjungtivitis

Ditandai dengan mata merah, pembengkakan kelopak mata, lakrimasi dan fotofobia. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Virus campak atau antigennya dapat dideteksi pada lesi konjungtiva pada hari-hari pertama sakit. Konjungtivitis diperburuk dengan terjadinya hipopion dan pan-oftalmitis yang dapat menyebabkan kebutaan. 9. Miokarditis

10. Hemorrhagic (black) measles

11. Reaktivasi atau memberatnya penyakit TB

12. Trombositopenia. i. Diagnosa Banding

Ruam kulit pada campak harus dibedakan dari eksantema subitum, rubela, mononukleosis infeksiosa, meningokoksemia, demam skarlatina, penyakit riketsia, penyakit serum dan ruam kulit akibat obat, dan lain-lain.7

NoPenyakitGejala Klinis

1.Rubella (Campak Jerman)Tidak diawali suatu masa prodromal yang spesifik. Remaja dan dewa muda dapat menunjukkan gejala demam ringan serta lemas dalam 1-4 hari sebelum timbulnya kemerahan. Pembesaran kelenjar getah bening khususnya pada daerah belakang telinga dan oksipital sangat menunjang diagnosis rubella.

2.Eksantema Subitum Gejala demam tinggi selama 3-4 hari disertai iritabilitas biasanya terjadi sebelum timbulnya kemerahan pada kulit dan diikuti dengan penurunan demam secara drastis menjadi normal

3.Demam Skarlatina Kelainan kulit pada demam skarlatina biasanya timbul dalam 12 jam pertama sesudah demam, batuk dan muntah. Gejala prodromal ini dapat berlangsung selama 2 hari. Lidah berwarna merah stroberi serta tonsilitis eksudativa atau membranosa.

4.Steven-Johnson, drug eruption. Tidak memiliki gejala prodromal

5.Penyakit Kawasaki Demam tidak spesifik disertai nyeri tenggorokan sering mendahului kemerahan pada penyakit ini selama 2-5 hari. Sering juga ditemui konjungtivitis bilateral.

6.Infeksi virus lain Demam biasanya tidak tinggi, menghilang saat timbulnya kemerahan. Pada infeksi Coxsackie kadang-kadang terjadi bersamaan dengan kemerahan.

7.Meningococcemia Kemerahan pada kulit 24 jam pertama. Gejala : demam, muntah, kelemahan umum, gelisah, dan kemungkinan adanya kaku kuduk.

8.Penyakit Rikets Erupsi papulovesikular secara menyeluruh, biasanya tidak mengenai wajah, sering didahului oleh adanya gejala seperti influenza. Sakit kepala lebih menonjol

9.Staphylococcal toxic shock syn.

Demam tinggi, nyeri kepala, batuk, muntah serta diare, dan renjatan sering mendahului atau juga bersamaan dengan keluarnya kelainan kulit

Tabel 1. Dignosis Banding Ruam Makulopapular.j. Penatalaksanaan

1. Supportif :

Memperbaiki keadaan umum

Istirahat cukup

Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi (cukup cairan dan kalori)

Perawatan kulit dan mata

Perawatan lain sesuai penyulit yang terjadi

2. Simptomatik : Antipiretik, antitutif, ekspektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan.

3. Antibiotik bila ada infeksi bakteri sekunder.

4. Vitamin A dosis tinggi (rekomendasi WHO dan UNICEF):

Usia 6 bln-1 thn : 100.000 unit dosis tunggal p.o

Usia >1 thn : 200.000 unit dosis tunggal p.o

Dosis tersebut diulangi pada hari ke-2 dan 4 minggu kemudian bila telah didapt tanda defisiensi vitamin A. Apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari2. k. Prognosis

Biasanya campak sembuh dalam 7-10 hari setelah timbul ruam. Bila ada penyulit infeksi sekunder/malnutrisi berat, maka penyakit menjadi berat. Kematian disebabkan karena penyulit (pneumonia dan ensefalitis).2

l. Pencegahan

1. Imunisasi aktif

Pencegahan campak dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif pada bayi berumur 9 bulan atau lebih. Pada tahun 1963 telah dibuat dua macam vaksin campak, yaitu (1) vaksin yang berasal dari virus campak hidup yang dilemahkan (tipe Edmonstone B), dan (2) vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (dalam larutan formalin dicampur dengan garam alumunium). Namun sejak tahun 1967, vaksin yang berasal dari virus campak yang telah dimatikan tidak digunakan lagi, oleh karena efek proteksinya hanya bersifat sementara dan dapat menimbulkan gejala atypical measles yang hebat.1 Vaksin yang berasal dari virus campak yang dilemahkan berkembang dari Edmonstone strain menjadi strain Schwarz (1965) dan kemudian menjadi strain Moraten (1968). Dosis baku minimal pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 0,5 ml, secara subkutan, namun dilaporkan bahwa pemberian secara intramuskular mempunyai efektivitas yang sama. Vaksin campak sering dipakai bersama-sama dengan vaksin rubela dan parotitis epidemika yang dilemahkan, vaksin polio oral, difteri-tetanus-polio vaksin dan lain-lain. Laporan beberapa peneliti menyatakan bahwa kombinasi tersebut pada umumnya aman dan tetap efektif.2 2. Imunisasi pasif

Campak dapat dicegah dengan Immune serum globulin (gamma globulin) dengan dosis 0,25 ml/kgBB intramuskuler, maksimal 15 ml dalam waktu 5 hari sesudah terpapar, atau sesegera mungkin. Perlindungan yang sempurna diindikasikan untuk bayi, anak-anak dengan penyakit kronis, dan para kontak di bangsal rumah sakit serta institusi penampungan anak. Setelah hari ke 7-8 dari masa inkubasi, maka jumlah antibodi yang diberikan harus ditingkatkan untuk mendapatkan derajat perlindungan yang diharapkan.7

Kontraindikasi vaksin : reaksi anafilaksis terhadap neomisin atau gelatin, kehamilan, imunodefisiensi (keganasan hematologi atau tumor padat, imunodefisiensi kongenital, terapi imunosupresan jangka panjang, infeksi HIV dengan imunosupresi berat.2 Daftar Pustka

1. Soegeng Soegijanto. Campak. Dalam : ed. Sumarno S. Poorwo Soedarmo, Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I. 2010. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI : Jakarta. p 125-136.

2. Herry Garna, Alex Chaerulfatah, Azhali MS, Djatnika Setiabudi,. Morbili (Campak, Rubeola, Measles). Dalam : ed. Herry Garna, Heda Melinda D. Nataprawira. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III. 2005. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD : Bandung. p 234-236.

3. Mayo Clinic. Measles. 2007. http://www.nlm.nih.gov/ medlineplus/ measles.html. 4. Brooks, Geo F., Butel, Janet S., Morse Stephen A. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi I. Terjemahan. 2005.Salemba Medika : Jakarta

5. HOOKER, EDMOND., STPPLER, MELISSA CONRAD. MEASLES (RUBEOLA). 2008 WWW.MEDICINENET.COM/MEASLES_RUBEOLA/ ARTICLE.HTM.6. Wikipedia. Measles. 2008. (http://en.wikipedia.org/wiki/measles.htm)

7. Phillips, Carol.F. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 2. Terjemahan. 1993. EGC : Jakarta. p 198- 203.

8. STANFORDEDUCATION. PARAMYXOVIRUS. 2005. (HTTP: // WWW. STANFORD.EDU/GROUP/ VIRUS/PARAMYXO/2005)9. Visual Health.Rubeola. 2008. (http://www.visualdxhealth.com/child/ rubeolaMeasles.htmt) 10. CENTERS FOR DISEASE CONTROL AND PREVENTION. WHAT WOULD HAPPEN IF WE STOPPED VACCINATIONS?. 2007. HTTP://WWW.CDC.GOV/VACCINES/VAC-GEN/SIDE EFFECTS.HTM# MMR

11. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Subacute Sclerosing Panencephalitis.2007. http://www.ninds.nih.gov/disorders /subacute_panencephalitis/subacute_panencephalitis.htm.

POLIOMIELITISA. Definisi dan Terminologi

Penyakit polio adalah penyakit infeksi paralisis yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk kedalam tubuh melalui mulut dan menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan masuk ke sistem saraf pusat yang mengakibatkan terjadinya kelemahan otot dan terkadang menyebabkan kelumpuhan. Infeksi virus polio terjadi didalam saluran pencernaan yang menyebar ke kelenjar limfe regional terjadi sebagian kecil penyebaranya ke sistem saraf. Sistem saraf yang diserang adalah saraf motorik otak bagian grey matter dan kadang-kadang menimbulkan kelumpuhan.(1,2,3,4)

B. Etiologi

Poliomielitis disebabkan oleh infeksi virus dari genus enterovirus yang dikenl sebagai poliovirus (PV). Virus yang tergolong virus RNA ini biasanya berada di traktus digestivus. PV hanya menginfeksi dan menyebabkan manifestasi penyakit pada manusia. Strukturnya sederhana, tersusun oleh satu genom RNA yang terbungkus protein yang disebut capsid. Selain melindungi materi genetic dari virus tersebut, protein capsid memungkinkan PV untuk menyerang beberapa jenis sel lain.Ada 3 serotipe yang telah diidentifikasi yakni tipe 1 (PV1, Bruhilde), tipe 2 (PV2, Lansing) dan tipe 3 (PV3, Leon). Masing-masing memiliki protein capsid yang sedikit berbeda. Ketiganya sangat virulen dan menyebabkan gejala yang sama. Walaupun demikian PV1 adalah strain yang paling sering ditemukan, dan paling sering menyebabkan kelumpuhan. Suatu infeksi poliomyelitis dapat disebabkan satu atau lebih tipe tersebut, yang dapat dibuktikan dengan 3 macam zat anti dalam serum penderita. Epidemi yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh Tipe 1, Tipe 3 menyebabkan epidemic ringan, sedang Tipe 2 menyebabkan epidemic sporadic.Poliovirus menyebar dari Tractus Intestinal ke Sistem Saraf Pusat (SSP, dimana mengakibatkan meningitis aseptic dan poliomyelitis. Poliovirus cukup kuat dan bisa bertahan aktif selama beberapa hari dengan suhu kamar, dan bias tersimpan dalam wujud beku -20oC. Poliovirus menjadi tidak aktif bila terkena panas, formaldehid, klorin dan sinar ultraviolet. Virus ini juga tumbuh baik di berbagai biakkan jaringan dan mengakibatkan efek sitopatik dengan cepat.Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun dalam deep freeze. Dapat tahan terhadap banyak bahan kimia termasuk sulfonamide, antibiotic (streptomisin, penisilin, kloromisetin), eter, fenol, dan gliserin. Virus dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan pemberian zat oksidator kuat seperti peroksida atau kalium permanganate. Reservoir alamiah satu-satunya ialah manusia, walaupun virus juga terdapat pada sampah atau lalat.Masa inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang-kadang terdapat kasus dengan inkubasi antara 3-35 hari.(2,4,6)

Gambar.1 Poliovirus

(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)

C. Epidemiologi

Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat transmisi virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negara-negara Barat, eliminasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di seluruh dunia, kecuali beberapa Negara yang sampai saat ini masih ada transmisi virus polio liar yaitu India, Timur Tengah dan Afrika. Reservoir virus polio liar hanya pada manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala. Goar (1955) dalam uraiannya tentang poliomyelitis di Negara berkembang dengan sanitasi yang kurang baik berkesimpulan bahwa pada daerah-daerah tersebut epidemic poliomyelitis ditemukan pada 90% anak bawah umur 5 tahun. Ini disebabkan penduduk telah mendapatkan infeksi atau imunitas pada masa anak, sehingga seperti juga halnya Indonesia penyakit ini jarang ditemui pada dewasa. Selama tahun 1953-1957 di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, dari 21 penderita, 67% diantaranya berusia 1-5 tahun.(3,7)

Dari tahun 1996 sampai tahun 2005 negara Indonesia pernah dikatakan bebas polio, tetapi pada bulan maret tahun 2005 sebuah kasus AFP tercatat dan dalam waktu 23 minggu virus terus menyebar ke 4 provinsi di Jawa dan 2 provinsi di Sumatra. Pada bulan April 2005 dilakukan isolasi terhadap virus ini yang diambil dari pemeriksaan tinja dari penderita yang berada di daerah Sukabumi, dan ditemukan merupakan virus polio liar tipe 1 yang merupakan virus impor strain Nigeria yang masuk ke Indonesia melalui jalur Timur Tengah dan juga menjadi penyebab terjadinya outbreak di Indonesia. Transmisi virus polio liar tertinggi terjadi dari bulan Mei Juni tahun 2005 dan transmisi rendah mulai bulan Oktober 2005. Ditemukan jumlah kasus polio liar mencapai 305 penderita tersebar di 47 kabupaten. Selain itu juga ditemukan 46 kasus VDPV dimana 45 kasus terjadi di Pulau Madura (4 kabupaten) dan 1 kasus di probolinggo.

Setelah dilakukan upaya penguatan imunisasi rutin dan tambahan (PIN) yang intensif, jumlah kasus polio liar menurun. Pada tahun 2006 hanya ditemukan 2 kasus. Kasus terakhir (virus polio liar tipe 1) ditemukan di Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Aceh dengan onset tanggal 2 Februari 2006. Dua setengah tahun setelah kasus terakhir, belum ada lagi kasus baru yang dilaporkan.(7,8,9)

Gambar.2 Epidemiologi Poliomielitis (diambil dari http://journals.cambridge.org/fulltext_content/ERM/ERM1_13/S1462399499000848sup022.gif)

Sejak tahun 1980, Indonesia telah mengenal program imunisasi polio dengan Oral Polio Vaccine (OPV). Dan sejak tahun 1990 telah mencapai UCI (universal of child immunization).Poliomielitis jarang ditemui pada usia kurang dari 6 bulan, mungkin karena imunitas pasif yang didapat dari ibunya, walaupun poliomyelitis pada bayi baru lahir pernah dilaporkan. Penyakit dapat ditularkan oleh karier sehat atau kasus abortif. Bila virus prevalen pada suatu daerah, maka penyakit ini dapat dipercepat penyebarannya dengan tindakkan operasi seperti tonsilektomi, ekstraksi gigi yang merupakan port d entre atau penyuntikkan.(4)

D. Patogenesis dan Patologi

Kerusakan saraf merupakan ciri khas poliomyelitis, virus berkembang biak pertama kali didalam dinding faring atau saluran cerna bagian bawah, virus tahan terhadap asam lambung, maka bisa mencapai saluran cerna bawah tanpa melalui inaktivasi. Dari faring setelah bermultiplikasi, menyebar ke jaringan limfe dan pembuluh darah. Virus dapat dideteksi pada nasofaring setelah 24 jam sampai 3-4 minggu. Dalam keadaan ini timbul: 1. perkembangan virus, 2. tubuh bereaksi membentuk antibody spesifik. Bila pembentukkan zat anti tubuh mencukupi dan cepat maka virus dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau tidak terdapat sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus tersebut. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat daripada pembentukkan zat anti, maka akan timbul viremia dan gejala klinis.Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi akibat replikasi cepat virus ini. Virus polio menempel dan berkembang biak pada sel usus yang mengandung polioviruses receptor (PVR) dan telah berkoloni dalam waktu kurang dari 3 jam. Sekali terjadi perlekatan antara virion dan replikator, pelepasan virion baru hanya butuh 4-5 jam saja.Virus yang bereplikasi secara local kemudian menyebar pada monosit dan kelenjar limfe yang terkait. Perlekatan dan penetrasi bias dihambat oleh secretory IgA local. Kejadian neuropati pada poliomyelitis merupakan akibat langsung dari multiplikasi virus di jaringan patognomik, namun ridak semua saraf yang terkena akan mati. Keadaan reversibilitas fungsi sebagian disebabkan karena sprouting dan seolah kembali seperti sediakala dalam waktu 3-4 minggu setelah onset., Terdapat kelainan dan infiltrasi interstisiel sel glia.(1,5)

Gambar.3 Patogenesis Poliomielitis (diambil dari http://www.medindia.net/patients/patientinfo/images/poliomyelitis.gif)

Daerah yang biasanya terkena lesi pada poliomyelitis ialah:

1. medulla spinalis terutama kornu anterior

2. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta formation retikularis yang mengandung pusat vital

3. serebelum terutama inti-inti pada vermis

4. Midbrain terutama masa kelabu, substantia nigra dan kadang-kadang nucleus rubra

5. Talamus dan hipotalamus

6. palidum

7. Korteks serebri, hanya daerah motorik

Gambaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada system retikuloendotelial, terutama jaringan limfe, kerusakan terjadi pada sel motor neuron karena virus ini sangat neurotropik, tetapi tidak menyerang neuroglia, myelin atau pembuluh darah besar. Terjadi juga peradangan pada sekitar sel yang terinfeksi sehingga kerusakkan sel makin luas. Kerusakan pada sumsum tulang belakang, terutama terjadi pada anterior horn cell, pada otak kerusakan terutama terjadi pada sel motor neuron formasi retikuler dari pons dan medulla, nuclei vestibules, serebellum, sedang lesi pada korteks hanya merusak daerah motor dan premotor saja. Pada jenis bulber, lesi terutama mengenai medulla yang berisi nuclei motorik dari saraf otak. Replikasi pada sel motor neuron di SSP akan menyebabkan kerusakan permanen.Secara mendasar, kerusakan saraf merupakan cirri khas pada poliomyelitis. Virus berkembang di dalam dinding faring atau saluran cerna bagian bawah, menyebar masuk ke dalam aliran darah dan kelenjar getah bening dan menembus dan berkembang biak di jaringan saraf. Pada saat viremia pertama terdapat gejala klinik yang tidak spesifik berupa minor illness. Invasi virus ke susunan saraf bias hematogen atau melalui perjalanan saraf. Tapi yang lebih sering melalui hematogen. Virus masuk ke susunan saraf melalui sawar darah otak (blood brain barrier) dengan berbagai cara yaitu :

Transport pasif dengan cara piknositosis

Infeksi dari endotel kapiler

Dengan bantuan sel mononuclear yang mengadakan transmisi ke dalam susunan saraf pusat.

Kemungkinan lain melalui saraf perifer, transport melalui akson atau penyebaran melalui jaras olfaktorius.(1,3,4,5)E. Gejala Klinis

Tanda-tanda klinis yang timbul akan sesuai dengan kerusakan anatomic yang terjadi. Biasanya, masa inkubasin adalah 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi dalam waktu 7-21 hari. Replikasi di motor neuron terutama terjadi di sumsum tulang belakang yang menimbulkan kerusakan sel dan kelumpuhan serta atrofi otot, sedng virus yang berbiak di batang otak skan menyebabkan kelumpuhan bulbar dan kelumpuhan pernafasan.Pada setiap anak yang datang dengan panas disertai dengan kesulitan menekuk leher dan punggung, kekakuan otot yang diperjelas dengan tanda head drop, tanda tripod saat duduk, tanda brudzinsky dan Kernique, harus dicurigai adanya poliomyelitis.(8,9)

Infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi, dari gejala yang ringan sampai terjadi paralysis. Infeksi virus polio dapat diklasifikasikan menjadi minor illnesses (gejala ringan) dan major illnesses (gejala berat, baik paralitik, maupun non-paralitik). Gejala lumpuh layuh (paralisis) yang dapat ditemukan pada anak, gejalanya bervariasi antara lain :

a) Berjalan pincang atau tidak dapat berjalan

b) Tidak dapat meloncat menggunakan satu kaki

c) Tidak dapat berjongkok lalu berdiri lagi

d) Tidak dapat berjalan pada ujung jari atau tumit

e) Tidak dapat mengangkat kakinya saat ditempat tidur

f) Terasa lemas, tidak ada tahanan

g) Kaki mengecil (atrofi otot)

Gambar 4. Gejala klinis poliomyelitis

(http://www.medindia.net/patients/patientinfo/images/poliomyelitis.gif)Minor Illnesses

1. Asimtomatis (silent infection)

Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka tidak terdapat gejala klinis sama sekali. Pada suatu epidemic diperkirakan terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap virus tersebut. Merupakan proporsi kasus terbanyak (72%).2. Poliomielitis abortif

Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemic, terutama yang diketahui kontak dengan penderita poliomyelitis yang jelas. Diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemi. Timbul mendadak, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Biasanya sekitar 2-10 hari. Gejala berupa infeksi virus, seperti malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, konstipasi dan nyeri abdomen. Diagnosis pasti hanya bias dengan menemukan virus di biakan jaringan.Diagnosis banding : influenza atau infeksi bakteri daerah nasofaringMajor Illnesses

1. Poliomielitis non-paralitik (Meningitis Aseptik Non-paralitik)

Gejala klinis sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala, nausea dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari, kadang-kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau masuk dalam fase kedua dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini adalah adanya nyeri atau kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai dengan hipertonia mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior. Bila anak berusaha duduk dari posisi tidur, maka ia akan menekuk kedua lutut ke atas sedangkan kedua tangan menunjang kebelakang pada tempat tidur (Tripod sign) dan terlihat kekakuan otot spinal oleh spasme, Kaku kuduk terlihat secara pasif dengan Kernig dan Brudzinsky yang positif. Head drop yaitu bila tubuh penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak sehingga menyebabkan kepala terjatuh ke belakang. Refleks tendon biasanya tidak berubah dan bila terdapat perubahan maka kemungkinan akan terdapat poliomyelitis paralitik. Diagnosis Banding dengan meningitis serosa, meningismus, tonsillitis akut yang berhubungan dengan adenitis servikalis.

2. Poliomielitis paralitik

Gejala yang terdapat pada poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis akut. Pada bayi ditemukan paralysis vesika urinaria dan atonia usus.

Secara klinis dapat dibedakan beberapa bentuk sesuai dengan tingginya lesi pada susunan saraf :

a. Bentuk spinal

Dengan gejala kelemahan/paralysis/paresis otot leher, abdomen, tubuh, diafragma, toraks dan terbanyak ekstremitas bawah. Tersering otot besar, pada tungkai bawah otot kuadriceps femoris, pada lengan otot deltoideus. Sifat paralisis asimetris. Refleks tendon mengurang/menghilang. Tidak terdapat gangguan sensibilitas.

Gambar. 5 Letak motor neuron pada kornu anterior Medulla Spinalis

(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)Diagnosis banding :

Pseudoparalisis non neurogen : tidak ada kaku kuduk, tidak ada pleiositosis. Disebabkan oleh trauma/kontusio, demam reumatik akut, osteomielitis. Polyneuritis: gejala para plegi dengan gangguan sensibilitas, dapat dengan paralysis palatum molle dan gangguan otot bola mata

Poliradikuloneuritis (Sindrom Guillain Barre): Biasanya diawali demam, paralysis tidak akut tapi perlahan-lahan, bilateral simetris, pada fase permulaan likuor serebrospinalis SGB protein meningkat sedangkan Poliomielitis pleiositosis, SGB bias sembuh tanpa gejala sisa, SGB ada gangguan sensorik

Miopatia (kelainan progresif dari otot-otot dengan paralysis dan kelelahan disertai rasa nyeri).(2,7,8)

Gambar. 6 Gambar penderita Poliomielitis

(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)

b. Bentuk bulbar

terjadi akibat kerusakan motorneuron pada batang otak sehingga terjadi insufisiensi pernafasan, kesulitan menelan, tersedak, kesulitan makan, kelumpuhan pita suara dan kesulitan bicara. Saraf otak yang terkena adalah saraf V, IX, X, XI dan kemudian VII. Sebagaimana kelainan saraf lainnya, tidak dapat digantikan atau diperbaiki. Perbaikan secara klinik terjadi akibat kerja neuron yang rusak akan diambil oleh neuron yang berdekatan (sprouting) atau alih fungsi oleh otot lain atau perbaikan sisa otot yang masih berfungsi.Gangguan motorik satu atau lebih saraf otak dengan atau tanpa gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi

Gambar.7 Lokasi dari region bulbar

(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)

c. Bentuk bulbospinal

Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbard. Bentuk ensefalitik

Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang menurun, tremor dan kadang-kadang kejang.(6,7)

F. Diagnosis

Diagnosis polio dibuat berdasarkan:

Pemeriksaan virologik dengan cara membiakkan virus polio baik yang liar maupun vaksin. Virus poliomyelitis dapat diisolasi dan dibiakkan secara biakan jaringan dari apus tengorok, darah, likuor serebrospinalis dan feses.

Pengamatan gejala dan perjalanan klinik.

Banyak sekali kasus yang menunjukkan gejala lumpuh layu yang termasuk Acute Flaccid Paralysis. Bisa dilihat dari gejala-gejala klinis diatas. Cara menegakkannya ialah dengan menambahkan pola neurologik yang khas seperti kelumpuhan proksimal, unilateral, tidak ada gangguan sensori. Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan hantaran saraf dan elektromiografi dapat merujuk secara lebih tepat kerusakan saraf secara anatomic. Cara ini akan dapat mempermudah memisahkan polio dengan kelainan lain akibat demielinisasi pada saraf tepi, sehingga boisa membedakan polio dengan kerusakan motor neuron lainnya misalnya Sindrom Guillain-Barre. Pemeriksaan lain seperti MRI dapat menunjukkan kerusakkan di daerah kolumna anterior. Pemeriksaan Residual Paralisis

Dilakukan 60 hari setelah kelumpuhan, untuk mencari deficit neurologik.(7,8,9,10)

G. Pemeriksaan Penunjang Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena poliomyelitis. Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat diagnostic, tetapi hal itu jarang dikerjakan. Dalam pengumpulan spesimen tinja tergantung dari lamanya kelumpuhan kasus AFP.Spesimen tinja harus sudah diambil dalam waktu 10 mm. Ini berarti bahwa :

pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas.

pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.

Semua anak yang kontak dengan penderita harus dilakukan pemeriksaan sediaan langsung dari hidung dan tenggorok.

Bila hasil (-)

Eritromisin 40 50 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis, maksimal 2 gr/hari, peroral, selama 7 hari

Imunisasi DPT / DT pada anak yang belum pernah diimunisasi, ulangan pada anak yang telah mendapatkan imunisasi.

Bila hasil (+)

Pada anak tanpa gejala (karier) : Eritromisin 40 50 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis, maksimal 2 gr/hari, peroral, tiap 6 jam selama 7 hari

Imunisasi DPT / DT pada anak yang belum pernah diimunisasi, ulangan pada anak yang telah mendapatkan imunisasi.

Selama pemberian obat anak harus diawasi ketat. Bila menunjukkan gejala ( segera dirawat.

I. Komplikasi Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul komplikasi ini. Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio kordis. Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernafasan. Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke ginjal

J. Prognosis

Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotic lebih baik daripada sebelumnya. Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50 %. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis. Di Indonesia pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Bila antitoksin diberikan pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 akan menyebabkan angka kematian meningkat sampai 30%. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena :

1. obstruksi jalan napas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteri,

2. adanya miokarditis dan gagal jantung

3. paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.

Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.

Prognosa tergantung pada :

1. Usia penderita

Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran difteri.

2. Waktu pengobatan antitoksin

Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin

3. Tipe klinis difteri

Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring(48,4%) dan faring (10,5%)

4. Keadaan umum penderita

Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik

Daftar Pustaka

1. Difteri. Dalam : Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro, Hindra Irawan Satari. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi II. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010. h. 312 -21.

2. Difteri pada anak. Edisi 2009. Diunduh dari www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=201111411912

3. Difteri. Edisi 2012. Diunduh dari http://dokteranakku.net/articles/2011/10/difteri.html

4. Difteria. Dalam : Herry Garna, Heda Melinda D. Nataprawira, Sri Endah Rahayuningsih, editor. Diagnosis dan terapi ilmu kesehtan anak. Edisi III. Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, 2005. H. 205-8.

5. What is diphtheria. Edisi 26 Desember 2010. Diunduh dari http://nationalnursingreview.com/tag/diphtheria-treatment/

PERTUSISA. DefinisiPertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun1,2,3.

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun4.

B. EpidemiologiPertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun1,2,3,5,6.

Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun6. Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:11,3. Namun berdasarkan (Farizo, 1992), perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27%7.

Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas, dan terendah sepanjang kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 19765.

Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan1.

C. Etiologi

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis. B. pertussiscirinya kecil, tidak bergerak, cocobacillus gram (-).Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertussis, dan biasanya tumbuh baik pada glycerin-potato-blood agar media (border-gengou). Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada manusia 8.

Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin klasifikasi sebagai spesies yang berbeda.Organisme yang didapat umumnya tipe virulen (disebut fase I). Pasase dalam kultur dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II, III, dan IV). Strain fase I berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif.4HanyaB. pertussisyang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen utama.B.pertussisjuga menghasilkan beberapa bahan aktif, yang banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Aerosol, hemaglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (FIM2-FIM3), dan protein permukaannonfimbria 69-kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran pernapasan. Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, factor dermonekrotik dan adenilat siklase diterima secara dominant menyebabkan cedera epitel local yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP.2,3,4TP mempunyai 2 sub unit, yaitu A dan B. TP (B) akan berikatan dengan reseptor pada sel taret dan mengaktivasi TP(A) pada membran sel yang merangsang pengeluaran enzim. TP akan merangsang pengeluaran Adenosin Diphosphate (ADP) sehingga akan mempengaruhi fungsi dari leukosit, limfosit, myocardial sehingga bermanifestasi peradangan saluran napas dengan hyperplasia kelenjar lymph peribronchial dan meningkatkan produksi mucus yang akan menutupi permukaan silia. Yang pada akhirnya bias mengarah ke komplikasi bronchopneumonia, infeksi sekunder bakteri lain (ex: Pneumococcus,Haemophilus influenzae, S.aureus, S.pyogenes), sianosis karena apnea danventilation perfusion mismatch.2,3TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis1.D. Patogenenis

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik1,9.

Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough1,9.

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi1,9.

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah1,9.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru1,9.

Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia1.

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.

E. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak1.

Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan1,10:

1. Tahap Kataral

Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan :

Bersin-bersin

Mata berair

Nafsu makan berkurang

Lesu

Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang hari)

2. Tahap Paroksismal

Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).

Muka anak akan merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher selama serangan.

Episode batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi mucous plug pada saluran nafas menghilang.

Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva.Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara.

Emesis sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas sehingga anak dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada whoop. Anak akan terlihat apatis dan berat badan menurun.

Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.

3. Tahap Konvalesen

Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.

F. Diagnosis

1. Anamnesis

Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat imunisasi.

2. Pemeriksaan fisikGejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.

3. Pemeriksaan laboratorium Pada minggu pertama dapat terjadi leukopenia seperti gambaran infeksi virus. Pada minggu kedua, hitung limfosit absolut >10.000.

Reaksi lukomoid ditandai dengan peningkatan leukosit 20.000-50/000 / UI dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain1,3,10.

Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya1,3,10.

Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis10,12.

4. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis atau emfisema.

G. Diagnosis Banding

Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.1. Bronkiolitis (RSV) pada bayi < 6 bulan

2. Asma

3. Obstruksi di trakea, benda asing, penekanan dari kelenjar lkimfe hilus karena TBC atau tumor mediastinal

4. Pneumonia

5. Leukemia akut (Reaksi lukomoid), pada pertusis terjadi peningkatan limfosit bukan limfoblas

Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab1.H. Penatalaksanaan

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam1,11. Pada kasus ringan, umumnya anak-anak umur 6 bulan, dilakukan pengobatan rawat jalan. Sedangkan pada anak < 6 bulan perlu dirawat di Rumah sakit. Selain itu, anak dengan penyulit juga perlu dirawat, misalnya pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan setelah batuk.15Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus, pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons1,11.

Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut1,11,12 :

1. Agen Antimikroba

Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.

2. Salbutamol

Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan gejala-gejala dari stimulan (2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan dengan aerosol memicu paroksismal.

3. Kortikosteroid

Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.

I. Pencegahan

1. Imunisasi aktif :

Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi1,11,13,14.

Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar13,14.

Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam1,11,14.

Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, high picth cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.5 C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis1,11,13,14.

2. Kontak dengan penderita :

Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala penyakit1,11,12.

Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi1,11,12.

J. Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada berbagai macam sistem, terutama sistem respirasi dan saraf pusat1,11.

1. Pneumonia merupakan komplikasi paling sering. Pada 90% kasus, kematian pada anak-anak bukan disebabkan karena B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)1,11.

2. TBC laten dapat menjadi aktif.

3. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental. Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia. Infeksi sekunder terjadi dan dapat menimbulkan demam tinggi.4. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.

5. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.

6. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi1,11.

7. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan oleh temperatur tinggi1,10.

8. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)10.

K. Prognosis

Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4 %12. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain1,12.

Daftar Pustaka1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181: 960-965.

2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.3. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendigs : Disorders of Respiratory Tract in Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective therapy 8 (2): 16373.

5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162. Accessed on May 14th 2014.6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059. Accessed on May 14th 2014.7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663. Accessed on May 14th 2014.8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone, Philadelphia. p.2701. Available at http://www.uptodate.com/contents/microbiology-pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3. Accessed on May 13rd 2014.9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Available at http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html. Accessed on May 13rd 2014.10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.

12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Available at https://online.epocrates.com/u / 2951682/Pertussis /FollowUp /Overview. Accessed on May 15th 2014.14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices. Available at: http://www.cdc.gov/mmwr/preview/ mmwrhtml/00046738.html. Accessed on May 15th 2014.15. Pertusis. International Child Health Review Collaboration. Available at http://www.ichrc.org/47-pertusis. Accessed on May 15th 2014TETANUS

A. Definisi

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, tanpa gangguan kesadaran. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin.1

B. Etiologi

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 25 um dan lebar 0,30,5 um memiliki sifat:1,2,3 Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.

Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.

Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121C selama 1015 menit), kekeringan dan desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun.

Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran pencernaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.

Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospamin yang dapat menyebabkan penyakit tetanus, merupakan toksin yang neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Tetanospasmin merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5 ng/kgBB atau 175 ng untuk 70 kilogram (154lb) manusia. Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase dan indol positif.

Gambar 1. Mikroskopis Clostridium tetaniC. Epidemiologi

Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas fisiknya.1

Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum. Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung kotoran ternak, kuda dan sebagainya, sehingga risiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran di mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik (dermatol), ataupun pada alat suntik dan operasi.1Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan attack rate berupa cara mengubah lingkungan fisik atau biologis. Port dentre tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:1,21. Luka tusuk (paku, serpihan kaca, injeksi tidak steril, injeksi obat, tindik), patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas

2. Luka operasi (benang terkontaminasi), luka yang tak dibersihkan (debridement) dengan baik (goresan-goresan upacara, sirkumsisi wanita).

3. Otitis media, karies gigi, abses gigi, luka kronik (ulkus kronik), gangren

4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.

D. PatogenesisBiasanya penyakit ini terjadi setelah luka yang dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor, luka bakar dan patah tulang juga akan mengakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan C. tetani ini. Walaupun demikian luka-luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga, atau tonsil dan traktus digestivus serta gigitan serangga dapat pula merupakan port dentr (tempat masuk) dari C. tetani.

Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan anerobik, berubah menjadi vegetatif dan berbiak cepat sambil menghasilkan toksin. Dalam jaringan yang anaerobik ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya benda asing, seperti bambu, pecahan kaca dan sebagainya.1,2

Hipotesis mengenai cara absorbsi dan bekerjanya toksin:1,2,41. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa ke kornu anterior susunan saraf pusat.

2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat.Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor endplate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar ke seluruh susunan saraf pusat, lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motor. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ekstra aksional dan menimbulkan perubahan potensial membrane dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang, terutama pada otot yang besar.Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamine, dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.4Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba, dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin.4Dampak Toksin

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh karena eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.

2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus

3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gaya keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block atau takikardia

E. Manifestasi KlinisVariasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari. Makin lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini.1,2,4-7Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan:1 TrismusAdalah kekakuan otot maseter sehingga sukar membuka mulut. Pada neonates kekakuan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari. Risus sardonikus

Akibat spasme otot muka, sehingga tampak dahi mengkerut, alis tertarik ke atas, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.

Opistotonus

Adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot leher (kaku kuduk), otot badan, dan trunk muscles. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat. Ketegangan otot dinding perut sehingga dinding perut seperti papan.

Kejang umum

Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya terjadi setelah dirangsang (karena toksin terdapat di kornu anterior), misalnya dicubit, digerakkan dengan kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun masa istirahat kejang semakin pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.

Asfiksia dan sianosis Terjadi akibat kejang yang terus menerus atau serangan pada otot pernapasan dan laring (spasme laring). Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot sfingter uretra. Fraktur tulang panjang dan kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat. Gangguan saraf autonom

Pengaruh toksin terhadap saraf autonom menyebabkan gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah, suhu tubuh yang tinggi (febris) atau keringat banyak.

Gambar 2. Opistotonus

Ada 4 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:1. Localized tetanus Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fiksator). Hal ini merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progres dan biasanya menghilang secara bertahap.

Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari tetanus klasik atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.2. Chepalic TetanusCephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung. Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya saraf kranial VII yang paling sering terlibat. Tetanus Ophthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang setelah menembus luka mata dan luka dalam dengan kelumpuhan dari saraf kranial III dan adanya ptosis. Selain itu bisa juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X, XI, dapat sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan.

Tetanus sefalik dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosisnya buruk.3. Generalized tetanusBentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa risus sardonicus (Sardonic grin), opistotonus, dan kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianosis, dan asfiksia. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi dapat mencapai 40o C. Bila dijumpai hipertermi atau hipotermi, tekanan darah tidak stabil, dan dijumpai takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis. Klasifikasi tetanus umum berdasarkan derajat panyakit menurut modifikasi dari klasifikasi Abletts dapat dibagi menjadi 4 diantaranya, yaitu(8): Derajat I (tetanus ringan)

Trismus ringan sampai sedang (3cm)

Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan

Tidak dijumpai disfagia atau ringan

Tidak dijumpai kejang

Tidak dijumpai gangguan respirasi

Derajat II (tetanus sedang)

Trismus sedang (3cm atau lebih kecil)

Kekakuan jelas

Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan

Takipneu

Disfagia ringan

Derajat III (tetanus berat)

Trismus berat (1cm)

Otot spastis, kejang spontan

Takipne, takikardia

Serangan apne (apneic spell)

Disfagia berat

Aktivitas sistem autonom meningkat

Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan :

Gangguan autonom berat

Hipertensi berat dan takikardi, atau

Hipotensi dan bradikardi

Hipertensi berat atau hipotensi berat 4. Tetanus neonatorum

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik: trismus, opistotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi, dan kegagalan jantung paru.F. Diagnosis Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang sangat membantu. Anamnesis yang teliti dan terarah selain membantu menjelaskan gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti diagnostik dan prognostik.

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:1 Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah atau gigitan binatang

Apakah pernah keluar nanah dari telinga

Apakah menderita gigi berlobang

Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir

Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan kejang yang pertama (period of onset)

Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Temuan laboratorium:1- Leukosit normal atau leukositosis ringan

- Glukosa dan kalsium darah normal

- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat

- Enzim otot serum, SGOT, serum aldolase mungkin meningkat

- EKG dan EEG biasanya normal

- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)G. Diagnosis Banding4PENYAKITGAMBARAN DIFFERENTIAL

INFEKSI

MeningoencephalitisPolioRabiesLesi oropharyngeal

Peritonitis Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF

Trismus tidak ada, paralisa tipe flasid, abnormal CSF

Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharingeal spasm

Hanya lokal, rigiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada

Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada

KELAINAN METABOLIK

Tetani

Keracunan strihnin

Relaksasi phenothiazineHanya carpopedal dan laryngeal spasm, hipokalsemia

Relaksasi komplit diantara spasme

Distonia, respons dengan diphenhydramine

PENYAKIT CNS

Stastus epilepticus

Hemorrhage atau tumor Sensorium depressi

Trismus tidak ada, sensorium depressi

KELAINAN PSIKIATRIK

Hysteria Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme

KELAINAN MUSKULOSKLETAL

TraumaHanya local

H. Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada:4,5 Sistem saluran pernafasanOleh arena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air liur, makanan, dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi dan atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan emfisema mediastinal biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.

Sistem kardiovaskular

Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer, dan ransangan miokardium.

Sistem muskuloskeletalPada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.

Komplikasi yang lain :

Laserasi lidah akibat kejang

Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja

Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat oengatur suhu.

Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa bronkopneumonia, cardiac arrest, septicemia, dan pneumotoraks.I. Penatalaksanaan

Pengobatan pada tetanus terdiri dari penatalaksanaan umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan luka atau portd entre lain. Sedangkan penatalaksanaan khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.1Penatalaksanaan umum

Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus memberikan obat-obatan dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Setelah kejang mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.

Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi

Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup

Mengurangi spasme dan mengatasi kejang

Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia < 2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg/3 jam. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB < 10 kg dan 10 mg untuk BB > 10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis pasien. Alternatif lain untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB/hari untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infuse kontinu 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui OGT. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai kejang spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik, tidak dijumpai gangguan nafas. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih kejang atau mengalami spasme laringm sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis setiap 2 hari)

Penatalaksanaan khusus

Antibiotik

Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang diberikan adalah metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus setiap 6 jam selama 7-10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak usia > 8 tahun). Penyulit yang ada diberikan antibiotik yang sesuai.

Anti serum

Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan 50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya