1 Tinjauan PustakaSindrom MetabolikArista Juliani Wala y/10201027 4 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara no. 6–Jakarta Barat 11470 No. Telp. 021-56 942061. Email:[email protected]Pendahuluan Berdasarkan pengamatan di banyak negara, baik di negara maju maupun yang sedang berkembang, jumlah orang dengan kelainan sindrom metabolic semakin banyak. Oleh karena itu telah banyak peringatan dan anjuran untuk segera melakukan upaya untuk mencegah timbulnya sindrom metabolik. Upaya pertama adalah dengan mengenal terlebih dahulu kelainan, faktor-faktor yang berperan, patofisiologinya kemudian diikuti dengan upaya pencegahan dan penatalaksanaannya Dalam upaya tersebut telah dikemukakan beberapa definisi mengenai kelainan apa saja yang perlu diperhatikan dan kriteria batasan nilainya. Antara beberapa rekomendasi tersebut banyak persamaannya tetapi ada pula perbedaannya, bahkan timbul perdebatan kontroversial antara para ahli sehingga membingungkan para pengguna, yaitu para dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Diinginkan adanya suatu pedoman yang bersifat universal yang dapat d ipakai bersama di semua negara.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
ditandai dengan hepatomegali, peningkatan serum aminotransferase dan gambaran
histologi yang menyerupai hepatitis alkoholik tanpa adanya penggunaan alkohol
berlebihan. Terjadinya fatty liver (yang dideteksi melalui ultrasonografi) yang disertai
dengan adanya inflamasi (ditandai dengan peningkatan hsCRP dan
hipoadiponektinemia), proses fibrosis (ditandai dengan peningkatan collagen type IV )
serta adanya kematian sel (ditandai dengan peningkatan enzim SGPT) merupakan
kondisi yang terjadi pada NASH.
USG Abdomen
USG abdomen diperlukan untuk mendiagnosis adanya fatty liver karena kelainan ini dapat
dijumpai walaupun tanpa adanya gangguan faal hati.
3
Diagnosis
Diagnosis Kerja
Sindrom Metabolik
Sejak munculnya sindrom resistensi insulin, beberapa organisasi berusaha membuat
kriteria sindrom metabolik supaya dapat diterapkan secara praktis klinis sehari-hari. Secaraumum, semua kriteria yang diajukan memerlukan minimal 3 kriteria untuk mendiagnosis
sondrom metabolik atau sindrom resistensi insulin. World Health Organization (WHO)
merupakan organisasi pertama yang mengusulkan kriteria sindrom metabolik pada tahun
1998. Menurut WHO pula, istilah sindrom metabolik dapat dipakai pada penyandang! DM
mengingat penyandang DM juga dapat memenuhi kriteria tersebut dan menunjukkan
besarnya risiko terhadap kejadian kardiovaskular. Setahun kemudian pada tahun 1999, the
European Group for Study of Insulin Resistance (EGIR) melakukan modifikasi pada kriteria
WHO. EGIR cenderung menggunakan istilah sindrom resistensi insulin. Berbeda dengan
WHO, EGIR lebih memlih obesitas sentral dibandingkan IMT dan istilah sindrom resistensi
insulin tidak dapat dipakai pada penyandang DM karena resistensi insulin merupakan faktor
risiko timbulnya DM. Pada tahun 2001, National Cholesterol Education Program (NCEP)
Adult Treatment Panel III (ATP III) mengajukan kriteria baru yang tidak mengharuskan
adanya komponen resistensi insulin. Meski tidak pula mewajibkan adanya komponen
obesitas sentral, kriteria ini menganggap bahwa obesitas sentral merupakan faktor utama
yang mendasari sindrom metabolik. Nilai cut off lingkar perut diambil dari National Institute
Untuk membedakan kedua gambaran tersebut, telah ditemukan suatu cara untuk menentukan
apakah seseorang berbentuk seperti buah apel atau seperti buah pir, yaitu dengan menghitung
rasio pinggang dengan pinggul. Pinggang diukur pada titik yang tersempit, sedangkan
pinggul diukur pada titik yang terlebar; lalu ukuran pinggang dibagi dengan ukuran pinggul.
Seorang wanita dengan ukuran pinggang 87,5 cm dan ukuran pinggul 115 cm, memiliki rasio
pinggang-pinggul sebesar 0,76. Wanita dengan rasio pinggang:pinggul lebih dari 0,8 atau pria
dengan rasio pinggang:pinggul lebih dari 1, dikatakan berbentuk apel.
Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh tidak begitu sensitif dalam
menggambarkan risiko kardiovaskular dan gangguan metabolik yang teijadi. Studi
menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan oleh lingkar perut (dengan cut-off
yang berbeda antara jenis kelamin) lebih sensitif dalam memprediksi gangguan metabolik dan risiko kardiovaskular. Lingkar perut menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan
vis- ceral. Meski dikatakan bahwa lemak viseral lebih berhubungan dengan komplikasi
metabolik dan kardiovaskular, hal ini masih kontroversial. Peningkatan obesitas berisiko pada
peningkatan kejadian kardiovaskular. Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak
metabolik maupun kardiovaskular dari suatu obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak
berkembang menjadi resistensi insulin, dan sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan
pada individu tanpa obes (lean subjects). Interaksi faktor genetik dan lingkungan akan
memodifikasi tampilan metabolik dari suatu resistensi insulin maupun obesitas.
Metoda yang paling berguna dan banyak digunakan untuk mengukur obersitas adalah BMI
(BodyMass Index), yang didapat dengan cara membagi berat badan (kg) dengan kuadrat dari
tinggi badan (meter)> nilai BMI yang didapat tidak tergantung pada umur dan jenis kelamin.
Keterbatasan BMI adalah yang tidak dapat digunakan lagi:
Anak-anak dalam masa pertumbuhan
Wanita hamil
Orang yang sangat berotot, contohnya atlet
BMI dapat digunakan untuk menentukan seberapa besar seseorang dapat terkena resiko
penyakit tertentu yang disebabkan karena berat badannya. Seseorang dikatan obes dam
membutuhkan pengobatan bila mempunyai BMI diatas , dengan kata lain orang tersebut
Kekurangan latihan olahraga akan meningkatkan resiko sindrom metabolic
sebanyak 20-25%. Meskipun latihan olahraga teratur akan menurunkan resistensi
insulin, manfaatnya akan hilang bila latihan olahraga tersebut dihentikan.
Merokok dapat sedikit meningkatnkan resistensi insulin, sedangkan minuman
beralkohol 1-2 gelas/hari tidak meningkatkan tendensi sindrom metabolic.5
Epidemiologi
Di US, peningkatan kejadian obesitas mengiringi peningkatan prevalensi sindrom metabolik.
Prevalensi sindrom metabolik pada populasi usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada usia > 50
tahun sebesar 45%. Pandemi sindrom metabolik juga berkembang seiring dengan
peningkatan prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia. Studi
yang dilakukan di Depok (2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik menggunakan
kriteria National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III)
dengan modifikasi Asia Pasifik, terdapat pada 25.7% pria dan 25% wanita. Penelitian
Soegondo (2004) melaporkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,13% dan
menunjukkan bahwa kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT) obesitas >25 kg/m2 lebih cocok
untuk diterapkan pada orang Indonesia. Penelitian di DKI Jakarta pada tahun 2006melaporkan prevalensi sindrom metabolik yang tidak jauh berbeda dengan Depok yaitu
26,3% dengan obesitas sentral merupakan komponen terbanyak (59,4%). Laporan prevalensi
sindrom metabolik di beberapa daerah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Prevelensi Sindrom Metabolik di Beberapa Daerah di Indonesia.4
Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh ini
belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp
merupakan teknik yang ideal namun tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan
glukosa plaama puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya
dijumpai pada 10% sindrom metabolik. Pengukuran Homeostasis Model Asessment (HOMA)
dan Quantitative Insulin Sensitivity Check Index (QUICKI) dibuktikan berkorelasi erat
dengan pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin.
Bila melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan jaringan adiposa dan sistem
kekebalan tubuh, maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan
insulin (seperti rumus HOMA dan QUICKI) perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya,
penggunaan rumus ini secara rutin di klinis belum disarankan maupun disepakati.4
Dislipidemia
Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan
trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun
mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL. Peningkatan
konsentrasi trigliserida plasma dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak bebas kehati sehingga terjadi peningkatan produksi trigliserida. Namun studi pada manusia dan hewan
menunjukkan bahwa peningkatan trigliserida tersebut bersifat multifaktorial dan tidak hanya
diakibatkan oleh peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati.
Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida sehingga terjadi
transfer trigliserida ke HDL. Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan konsentrasi
trigliserida normal dapat ditemukan penurunan kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat
mekanisme lain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL disamping peningkatan
trigliserida. Mekanisme yang dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan lipid post
prandial pada kondisi resistensi insulin sehingga terjadi gangguan produksi Apolipoprotein
A-I (Apo A-l) oleh hati yang selanjutnya mengakibatkan penurunan kolesterol HDL. Peran
sistem imunitas pada resistensi insulin juga berpengaruh pada perubahan profil leipid pada
subyek dengan resistensi insulin. Studi pada hewan menunjukkan bahwa aktivasi sistem imun
akan menyebabkan gangguan pada lipoprotein, protein transport, reseptor dan enzim yang
berkaitan sehingga terjadi perubahan profil lipid.4
Otot rangka merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap insulin didalam
tubuh, dan merupakan target utama terjadinya resistensi insulin. Latihan fisik terbukti
dapat menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin didalam otot rangka. Pengaruh latihan
fisik terhadap sensitivitas insulin terjadi dalam 24 – 48 jam dan hilang dalam 3 sampai 4
hari. Jadi aktivitas fisik teratur hendaklah merupakan bagian dari usaha untuk
memperbaiki resistensi insulin. Pasien hendaklah diarahkan untuk memperbaiki dan
meningkatkan derajat aktifitas fisiknya. Manfaat paling besar dapat diperoleh bila pasien
menjalani latihan fisik sedang secara teratur dalam jangka panjang. Kombinasi latihan
fisik aerobik dan latihan fisik menggunakan beban merupakan pilihan terbaik. Dengan
menggunakan dumbbell ringan dan elastic exercise band merupakan pilihan terbaik
untuk latihan dengan menggunakan beban. Jalan kaki dan jogging selama 1 jam perhari
juga terbukti dapat menurunkan lemak viseral secara bermakna pada laki2 tanpa
mengurangi jumlah kalori yang dibutuhkan.6
Diet
Sasaran utama dari diet terhadap Sindrom Metabolik adalah menurunkan risiko
penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus. Review dari Cochrane Database
mendukung peranan intervensi diet dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.
Bukti-bukti dari suatu studi besar menunjukkan bahwa diet rendah sodium dapat
membantu mempertahankan penurunkan tekanan darah. Hasil-hasil dari studi klinis diet
rendah lemak selama lebih dari 2 tahun menunjukkan penurunan bermakna dari kejadian
komplikasi kardiovaskular dan menurunkan angka kematian total.
The Seventh Report of the J oint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (J NC 7) merekomendasikan tekanan
darah sistolik antara 120 – 139 mmHg atau diastolik 80 – 89 mmHg sebagai stadium pre
hipertensi, sehingga modifikasi gaya hidup sudah mulai ditekankan pada stadium ini
untuk mencegah penyakit kardiovaskular. Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches
to Stop Hypertension (DASH), pasien yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dantinggi karbohidrat terbukti mengalami penurunan tekanan darah yang berarti walaupun