BAB I
BAB I PENDAHULUANKolestasis didefinisikan sebagai hambatan
aliran empedu, dengan manifestasi sebagai conjugated
hyperbilirubinemia disertai hambatan bahan-bahan (seperti
bilirubin, asam empedu dan kolesterol) dan secara histopatologis
terlihat penumpukan empedu di dalam hepatosit dan bilier. Kadar
bilirubin direk > 2mg/dl atau > 20% kadar bilirubin total dan
biasanya terjadi pada usia 90 hari kehidupan (Roberts, 2004).Akibat
penumpukan empedu di sel hati, bayi terlihat ikterik, urin berwarna
lebih gelap dan tinja berwarna lebih pucat sampai seperti dempul.
Kolestasis harus dipikirkan sebagai salah satu penyebab ikterus
pada bayi baru lahir bila, ikterus menetap setelah bayi berusia 2
minggu (Roberts, 2004).Penyebab kolestasis pada bayi ini sangat
beragam, berupa penyakit atau kelainan fungsional. Diantaranya
adalah infeksi, kelainan genetik, kelainan metabolik yang
menimbulkan kolestasis intrahepatik yang disebut kolestasis
hepatoseluler atau berbagai kelainan yang mempengaruhi saluran
bilier ekstrahepatik yang disebut juga kolestasis obstruktif yang
dapat berupa kolestasis obstruktif intrahepatik atau kolestsis
obstruktif ekstrahepatik. Lebih dari 90% penyebab kolestasis
obstruktif adalah atresia bilier yang memerlukan tindakan operasi
dini (Roberts, 2004).Kolestasis menunjukan suatu keadaan yang
patologis pada hepatobilier, betapapun ringannya ikterus tersebut.
Oleh karena itu harus dilakukan pemeriksaan intensif sedini mungkin
agar dapat mencegah kerusakan hati yang permanen dan progresif.
Pada atresia bilier bila intervensi bedah dilakukan kurang dari 8
minggu, angka keberhasilannya adalah 80% sedangkan pembedahan yang
dilakukan pada usia lebih dari 12 minggu angka keberhasilanya hanya
20%. Tanpa intervensi bedah, rata-rata usia kematian adalah 12
bulan. Pada saat ini dengan intervensi bedah dini sejumlah 36-56%
pasien hidup sampai usia 5 tahun. Bila pasca operasi, aliran empedu
hanya mengalami perbaikan parsial, paling tidak anak mendapat
kesempatan tumbuh dan berkembang sebaik mungkin sebelum diputuskan
perlu tidaknya dilakukan transplantasi hati (Magnus et al,
2010).Dari data yang dihimpun bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia , sebagian besar kolestasis pada
bayi adalah jenis KIH, yaitu sebesar 60%. Mayoritas KIH disebabkan
oleh infeksi pada masa prenatal. Terdapat kasus KIH akibat infeksi
virus yang sembuh dengan sendirinya. Namun jika disebabkan oleh
infeksi kuman yang berat (sepsis) maka diperlukan terapi
antibiotika yang tepat. Ada pula kasus KIH yang disebabkan oleh
gangguan metabolisme yakni metabolisme karbohidrat, protein, lemak
atau asam empedu. Sedangkan kasus KEH pada bayi-bayi Asia sebagian
besar disebabkan oleh atresia bilier, yaitu gangguan pada saluran
empedu, dimana saluran itu tidak dapat dipakai mengeluarkan
bahan-bahan yang seharusnya dibuang ke tinja. Bisa juga diakibatkan
oleh kista saluran empedu yang memicu berbagai komplikasi termasuk
pecahnya kista dan kematian (Magnus et al, 2010).Penanganan bayi
kolestasis merupakan suatu masalah yang cukup pelik karena
penyebabnya sangat bervariasi dan sebagian besar masih belum jelas
patogenesisnya. Oleh karena itu tugas klinisi dalam menghadapi
kolestasis adalah menegakkan kolestasis sedini mungkin, melakukan
evaluasi diagnostik sedini mungkin untuk mengetahui penyebabnya
(intra atau ekstrahepatik), intervensi dini untuk mencegah skuele
jangka panjang (Magnus et al, 2010).BAB II TINJAUAN PUSTAKAA.
DEFINISI Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk
duodenum dalam jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari
membrana-basolateral dari hepatosit sampai tempat masuk saluran
empedu ke dalam duodenum. Dari segi klinis didefinisikan sebagai
akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin,
asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh.
Secara patologi-anatomi kolestasis adalah terdapatnya timbunan
trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier (Roberts, 2004).B.
EPIDEMIOLOGI
Kolestasis pada bayi terjadi pada 1:25000 kelahiran hidup.
Insiden hepatitis neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier
1:10000 - 1:13000, defisiensi -1 antitripsin 1:20000. Rasio atresia
bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1, sedang
pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik (A-Kader HH, 2004).
Di Kings College Hospital England antara tahun 1970-1990,
atresia bilier 377 (34,7%), hepatitis neonatal 331 (30,5%), -1
antitripsin defisiensi 189 (17,4%), hepatitis lain 94 (8,7%),
sindroma Alagille 61 (5,6%), kista duktus koledokus 34 (3,1%).
Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara
tahun 1999 - 2004 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96
penderita dengan neonatal kolestasis. Neonatal hepatitis 68
(70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus koledukus 5 (5,2%),
kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1 (1,04%)
(A-Kader HH, 2004).C. ETIOLOGI
Gangguan aliran empedu bisa terjadi di sepanjang jalur antara
sel-sel hati dan usus duabelas jari (duodenum, bagian paling atas
dari usus halus). Meskipun empedu tidak mengalirtetapi hati terus
mengeluarkan bilirubin yang akan masuk ke dalam aliran darah.
Bilirubin kemudian di endapkan di kulit dan dibuang ke air kemih
dan menyebabkan jaundice (sakit kuning). Untuk tujuan diagnosis dan
pengobatan, penyebab kolestasis dibagi menjadi 2 kelompok (Magnus
et al, 2010):1. Berasal dari hati :a. Hepatitisb. Penyakit hati
alkoholikc. Sirosis bilier primerd. Akibat obat-obatane. Akibat
perubahan hormon selama kehamilan (kolestasis pada kehamilan)2.
Berasal dari luar hatia. Batu di saluran empedub. Penyempitan
saluran empeduc. Kanker saluran empedud. Kanker pankrease.
Peradangan pankreasD. MANIFESTASI KLINISTanpa memandang
etiologinya, gejala klinik utama pada koestasis neonatal adalah
ikterus, tinja berwarna lebih pucat sampai dempul (akolik), dan
urin yang berwarna gelap. Selanjutnya akan muncul manifestasi
klinis lainnya, sebagai akibat terganggunya aliran empedu dan
bilirubin. Adapun manifestasi klinis utama terjadinya kelainan yang
menyebabkan kolestasis adalah (Roberts, 2004) :
1. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi (>2mg/dl atau
> 20% dari kadar bilirubin total ).
2. peningakatan asam empedu serum (>10 mmol/L)
3. Warna tinja akolik (seperti dempul) dengan variasinya.
4. Urin warna gelap.
5. Hepatomegali
Secara klinis, kolestasis dihubungkan dengan gejala ikterik
serta pruritus berdasarkan peningkatan kadar bilirubin direk,
-glutamil transferase, alkali-fosfatase dan malabsorpsi lemak.
Perubahan warna tinja serta urobilinogen urin sejalan dengan jenis
serta beratnya hambatan empedu tersebut dan berkorelasi pula dengan
lamanya kolestasis berlangsung. Pada kolestsis kronik, anak akan
mengalami malnutrisi dan retardasi dalam pertumbuhan serta gejala
defisiensi vitamin yang larut dalam lemak, yaitu terjadi penebalan
kulit, rabun senja, osteopsnia, degenerasi neuromuskular, anemia
hemolitik, hipoprotrombimnemia serta kelainan hati menjadi
progresif dan selanjutnya terjadi sirosis bilier dengan berbagai
komplikasinya (Roberts, 2004).
E. ANAMNESIS
Anamnesis yang dapat dilakukan kepada penderitas kolestasis
yaitu (Magnus et al, 2010) :
1. Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja
akolis yang persisten harus dicurigai kolestasis
2. Adanya penyakit hati dan saluran bilier.
Hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir
prematur atau berat badan lahir rendah. Sedangkan atresia bilier
sering terjadi pada anak perempuan dengan berat badan lahir normal,
dan memberi gejala ikterus dan tinja akolis lebih awal
3. Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis, maka
kemungkinan besar merupakan suatu kelainan genetik/metabolik
(fibro-kistik atau defisiensi 1-antitripsin).
4. Sepsis diduga sebagai penyebab kuning pada bayi bila
ditemukan ibu yang demam atau disertai tanda-tanda infeksi. Riwayat
kehamilan dan kelahiran perlu ditanyakan. Riwayat obstetri ibu
(infeksi TORCH, hepatitis B, dan infeksi lain), berat badan lahir
(pada atresia bilaris biasanya didapatkan Sesuai Masa Kehamilan),
infeksi intrapartum, morbiditas perinatal, dan riwayat pemberian
nutrisi parenteral.F. DIAGNOSISUntuk membedakan antara kolestasis
intrahepatal dengan kolestasis ekstrahepatal, dilakukan denan cara
(Magnus et al, 2010) :
1. Anamnesa
a. Riwayat keluarga
Bila ada saudara kandung pasien yang menderita kolestasis,
kemungkinan besar merupakan suatu kelainan genetik/metabolik.
Atresia bilier jarang mengenai suadara pasien yang lain.
b. Riwayat kehamilan dan kelahiran
Riwayat obstetrik ibu (infeksi TORCH, hepatitis B dan infeksi
lain), BBL, infeksi intrapartum, morbiditas perinatal dan riwayat
pemberian nutrisi parenteral. Bayi atresia bilier biasanya lahir
dengan BB normal, sedangkan bayi dengan kolestasis intrahepatal
biasanya lahir dengan BB rendah.
2. Klinis
Menurut Alagille (1985), bahwa ada 4 keadaan klnis yang dipakai
sebagai patokan untuk membedakan antara kolestasis ekstrahepatik
dengan intahepatik, yaitu :
a. BB lahir
b. Warna tinja
c. Umur penderita saat tinja mulai akolik
d. Keadaan hepar
Tabel 2.1 Kriteria klinis untuk membedakan kolestasis
Intra/EkstrahepatalKlinisEkstrahepatalIntrahepatal
Warna tinja selama dirawat
Pucat /dempul
Kuning
BB lahir
Usia tinja akolik
Gambaran klinis hati
Hati normal
Hepatomegali
Konsistensi :
Normal
Padat
Keras
Biopsi hati
Fibrosis porta
Profilerasi duktus
Thrombus empedu importal 79%
21%
( 3000 gram
2 minggu
13%
12%
63%
24%
94%
86%
63%
26%
74%
< 3000 gram
4 minggu
47%
35%
47%
6%
47%
30%
1%
Kolestasiss ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang
akolik, maka sebagai upaya pertama untuk membedakan kolestasis
intra/ekstrahepatik adalah mengumpulkan tinja 3 porsi dalam wadah
berwarna gelap.
1. Porsi I pkl 06.00 14.00
2. Porsi II pkl 14.00 22.00
3. Porsi III pkl 22.000 06.00
Pada saat tinja dikumpulkan, pemberian kolestiramin dihentikan.
Bila selama beberapa hari ketiga porsi tinja tetap dempul, maka
kemungkinan besar diagnosisnya adalah kolestasis ekstrahepatik.
Pada kolestasis intrahepatik, umumnya dempul pada pemeriksaan tinja
3 porsi akan berfluktasi.
G. PEMERIKSAAN FISIKPada umumnya gejala ikterik pada neonatus
baru akan terlihat bila kadar bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara
klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna kehijauan bila
kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi
biliverdin. Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang
mempunyai afinitas tinggi terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan
sklera lebih sensitive (Roberts, 2004).
Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm
dibawah arkus kota pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan
hati yang keras, tepi yang tajam dan permukaan noduler diperkirakan
adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang teraba pada epigastrium
mencerminkan sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan lobus kanan
yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati diperkirakan adanya
distensi kapsul Glisson karena edema. Bila limpa membesar, satu
dari beberapa penyebab seperti hipertensi portal, penyakit storage,
atau keganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa
pembesaran organ lain dengan gangguan fungsi hati yang minimal
mungkin suatu fibrosis hepar kongenital. Perlu diperiksa adanya
penyakit ginjal polikistik (Roberts, 2004). Asites menandakan
adanya peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati yang
memburuk. Pada neonatus dengan infeksi kongenital, didapatkan
bersamaan dengan mikrosefali, korioretinitis, purpura, berat badan
rendah, dan gangguan organ lain. Alagille mengemukakan 4 keadaan
klinis yang dapat menjadi patokan untuk membedakan antara
kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan kriteria tersebut
kolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan kolestasis
ekstrahepatik 82% dari 133 penderita (Roberts 2004).H. PEMERIKSAAN
PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah (Magnus et
al, 2010) :a. Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis dilakukan pemeriksaan kadar
komponen dari bilirubin untuk membedakanya dari hiperbilirubinemia
fisiologis. Juga dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji
fungsi hati termasuk transaminase serum (SGOT, SGPT, Gamma Glutamil
Transferase), alkali fosfatase, waktu protrombin dan tromboplastin,
UL, FL.
b. Pemerksaan khusus
Pemeriksaan Uji Aspirasi Duodenum (UAD) jarang dilakukan karena
beberapa pernyataan mengatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih
baik dari pemeriksaan tinja 3 porsi.
c. Pencitraan
Pencitraan dilakukan untuk mengetahui patensi duktus dan menilai
keadaan parenkim hati. Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan antara
lain:
Pemeriksaan USG
Theoni (1990) mengemukakan bahwa akurasi diagnostik USG 77% dan
dapat ditingkatkan bila pasien dilakukan dalam 3 fase yaitu pada
saat puasa, saat minum dan sesudah minum.
Pemeriksaan USG merupakan prosedur yang sederhana dan
noninvasif, sehinggga dapat dilakukan terhadap bayi dengan
kolestasis.
Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi dapat digabung dengan DAT, dengan akurasi
diagnosis sebesar 98,4%.7 Pemeriksaan kolangiografi
Prosedur ini jarang dilakukan karena memerlukan anestesi umum
dengan instrumen yang canggih dan teknis pelaksanaan yang
sulit.
d. Biopsi hati
Gambaran histopatologis hati dapat membantu menentukan perlu
atau tidaknya laparotomi eksplorasi. Pada hepatitis neonatal
umumnya ditemukan infiltratif inflamasi di lobulus yang disertai
dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat gambaran lobuler
yang kacaua, serta ditemukan sel raksasa, fibrosis porta, dan
proliferasi duktus ringan. Pada atresia bilier didapat gambaran
proliferasi duktuus bilier dan sumbatan empedu, fibrosis porta dan
edema tetapi arsitektur lobulernya masih nomal.
PATOGENESISEmpedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna
hijau kekuningan merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan
kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu, kolesterol,
phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein,
dan bilirubin terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan
bagian terbesar dari empedu sedang bilirubin terkonyugasi merupakan
bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi
enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial
dimana permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah portal
sedang permukaan apikal (kanalikuler) berbatasan dengan empedu.
Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan
pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme
dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut
kedalam empedu.Salah satu contoh adalah penanganan dan
detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi (bilirubin indirek)
(Roberts, 2004). Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut dalam
lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran basolateral,
dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450
menjadi bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan
kedalam empedu oleh transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang
bertanggungjawab terhadap aliran bebas asam empedu. Walaupun asam
empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam empedu oleh transporter
lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan dimana aliran
asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga
terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang
terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik,
dan iskemia menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier
menyebabkan penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi
terkonjugasi (Roberts, 2004)I. PATOFISIOLOGISPada kolestasis yang
berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan structural
(Roberts, 2004): 1. Proses transpor hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada
fungsi polaritas dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti
bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan lemak kedalam empedu
melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu.
2. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu
akan menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi,
glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan terganggu. 3. Sintesis
protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan
meningkat sedang produksi serum protein albumin-globulin akan
menurun.
4. Metabolisme asam empedu dan kolesterol
Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis
asam empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang
tinggi menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase
menyebabkan penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio
trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan
detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi
produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus
menurun.
5. Gangguan pada metabolisme logam
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang
menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi
kerusakan hepatosit oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi
sehingga tidak toksik.
6. Metabolisme cysteinyl leukotrienes
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan
vasoaktif dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis
terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya akan meningkat
menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis.
Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan
vaksokonstriksi pada ginjal.7. Mekanisme kerusakan hati
sekunder
a. Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang
menyebabkan kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya
yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid
dari sistim membran sehingga intregritas membran akan terganggu.
Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na+, K+-ATPase,
Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat
terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui
membran juga terganggu. Sistim transport kalsium dalam hepatosit
juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan dalam kerusakan
hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran
utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam empedu.
b. Proses imunologis
Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display
secara abnormal pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II
diekspresi pada saluran empedu sehingga menyebabkan respon imun
terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan
terjadi sirosis bilier. J. GAMBARAN HISTO-PATOLOGI
Hepatosit pada penderita kolestasis akan terlihat bintik coklat
kehijauan pada sitoplasma. Kanalikulus empedu antara satu hepatosit
dengan hepatosit lain juga dapat terdeteksi. Kanalikulus tersebut
merepresentasikan bahwa terdapat obstruksi pada kanalikulus
sehingga empedu yang dikeluarkan tidak dapat mengalir normal. Jika
akumulasi empedu terlalu banyak, saluran empedu akan pecah dan
menyebabkan nekrosis hepatosit jika terkena empedu tersebut. Daerah
yang telah terkena empedu disebut danau empedu (Narang dan Will,
2010). Gambar. Gambaran Histopatologi Kolestasis.
K. TERAPI LAMAPengobatan paling rasional untukkolestasisadalah
perbaikan aliran empedu ke dalam usus.Padaprinsipnyaada beberapa
hal pokok yang menjadi pedoman dalam penatalaksanaannya, yaitu
(Magnus et al., 2010). 1.Perbaikan terhadap adanya gangguan aliran
empedu.2. Mengobati komplikasi yang telah terjadi akibat adanya
kolestasis.3. Memantau sedapat mungkin untuk mencegah kemungkinan
terjadinya keadaan fatal yang dapat mengganggu proses regenerasi
hepar.4. Melakukan usaha-usaha yang dapat mencegah terjadinya
gangguan pertumbuhan.5. Hindari segala keadaan yang dapat
mengganggu/merusak hepar.Salah satu terapi yang dilakukan untuk
memperbaiki aliran empedu adalah dengan pemberian obat. Obat-obat
yang dapat mengatasi gangguan aliran empedu adalah fenobarbital,
kolestiramin, dan ursodioxy cholic acid (UDCA) (Copple et al.,
2010).
Selain itu, pemberian nutrisi bagi penderita juga dapat membantu
terapi. Nutrisi yang dibutuhkan pada penderita kolestasis ada
beberapa macam, yakni diet tinggi karbohidrat, diet rendah lemak,
diet tinggi vitamin larut lemak dan natrium, serta pemberian air
putih yang cukup. Diet tinggi karbohidrat diperlukann karena
penderita kolestasis sangat membutuhkan energi utama selain lemak
yang penguraiannya terganggu akibat tersumbatnya saluran empedu.
Karbohidrat juga memiliki tekstur dan rasa yang lebih diterima oleh
pasien dibandingkan dengan lemak. Akan tetapi, pemberian
karbohidrat yang berlebihan dapat menyebabkan intoleransi pada
sebagian kecil orang seperti diare. Pemberian vitamin larut lemak,
seperti vitamin A, D, E, dan K juga dilakukan untuk mencegah
pembentukan radikal bebas pada hati (Copple et al., 2010).
L. TERAPI BARUOperasi Kasaiatau hepatoportoenterostomy procedure
diperlukan untuk mengalirkan empedu keluar dari hati, dengan
menyambungkan usus halus langsung dari hati untuk menggantikan
saluran empedu (lihat gambar di bawah).Untuk mencegah terjadinya
komplikasicirrhosis, prosedur ini dianjurkan untuk dilakukan
sesegera mungkin, diupayakan sebelum anak berumur 90 hari. Perlu
diketahui bahwa operasi Kasai bukanlah tatalaksana definitif dari
kolestasis dengan atresia biliaris, namun setidaknya tindakan ini
dapat memperbaiki prognosis anak dan memperlambat perjalanan menuju
kerusakan hati (Magnus et al, 2010). Gambar. Gambar Skematis
Operasi Kasai (Narang dan Will, 2010).
M. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolestasis adalah
gagal hati. Komplikasi terjadi jika penanganan tidak dilakukan
dengan baik dan benar (Narang dan Will, 2010).
N. PROGNOSISPrognosis kolestasis tergantung dari penyakit
penyebab dan banyaknya kerusakan sel-sel hati. Kolestasis yang
terjadi oleh sepsis, prognosisnya baik. Pada kasus kolestasis
ekstrahepatik seperti atresia billier, setelah dilakukan operasi
Kasai (post kasai procedure) 30-60% bisa bertahan sampai lima tahun
(Copple et al., 2010).
BAB III KESIMPULAN
1. Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk
duodenum dalam jumlah normal.2. Tanpa memandang etiologinya, gejala
klinik utama pada koestasis neonatal adalah ikterus, tinja berwarna
lebih pucat sampai dempul (akolik), dan urin yang berwarna gelap.3.
Pengobatan paling rasional untukkolestasisadalah perbaikan aliran
empedu ke dalam usus.4. Komplikasi yang dapat terjadi pada
penderita kolestasis adalah gagal hati5. Prognosis kolestasis
tergantung dari penyakit penyebab dan banyaknya kerusakan sel-sel
hati.
DAFTAR PUSTAKA
A-Kader HH, BalisteriWF. 2004. Neonatal cholestasis. In:
Behrman, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics 17th Ed.
Saunders : 1314-19.
Copple, B et al. 2010. Oxidative stress and the pathogenesis of
cholestasis. Europe Pubmed Medicine. Vol. 30 (2): 195-204.
Magnus, Pauli et al. 2010. Genetic determinants of drug-induced
cholestasis and intrahepatic cholestasis of pregnancy. Europe
Pubmed Medicine. Vol 30 (2): 147-159.
Narang, Tarun dan Will Ahrens. 2010. Postliver transplant
cholestatic hepatitis C: A systematic review of clinical and
pathological findings and application of consensus criteria. Wiley
Online Library. Vol. 16 (11): 1228-1235.
Roberts EA. 2004. The jaundiced baby. In: Deirdre A
Kelly.Disease of the liver and biliarysystem 2nd Ed. Blackwell
Publishing : 35-73. PAGE 17