Top Banner
422 PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia” ISBN: 978-623-7496-14-4 PASSAPU SA’DAN-TORAJA Karta Jayadi dan Dian Cahyadi Universitas Negeri Makassar Abstrak. Penelitian ini ditujukan mengidentifikasi artefak hasil kebudayaan pada masyarakat dalam lingkup etnis Bugis-Makassar-Toraja terkait asal-usul, ragam bentuk, ciri khas (alat identifikasi) yang terbentuk dari hasil karsa produk kebudayaan tak benda. Khususnya pada etnik Sa’dan-Toraja. Identifikasi produk kebudayaan ini ditujukan untuk membuat batasan-batasan perimeter kebudyaan sebagai penciri. Metode membangun identitas ini ditujukan sebagai bentuk pertanggungjawaban komunitas adat terhadap bentukan karakter sifat dan sikap anggota komunitas kebudayaannya terhadap komunitas kebudayaan sekitarnya. Secara sosiologi merupakan bentuk iklusi-eksklusi kebudayaan bagi komunitas-komunitas kebudayaan pada entitas suku/etnis Bugis-Makassar-Toraja. Dimana karakter- karakter tersebut merupakan pengejewantahaan dari konsepsi nilai-nilai filosofi dan falsafah kebudayaan etnis Bugis- Makassar-Toraja yang terangkum dalam “Pangadereng”. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bentuk ‘Passapu’ pada etnis Sa’dan-Toraja yang dikenal dengan berbagai ragam penamaan dan bentuknya, dengan memaparkan perbedaan-perbedaan dan tinjauan aspek-aspek dan unsur-unsur pembentuknya (Tinjauan antropologi/Sosiologi Seni) Hasil identifikasi penelitian ini diharapkan akan menjadi materi rujukan keilmuan pada hasil kebudayaan tak benda suku Makassar. Kata Kunci: Passapu, Identitas Adat, Kebudayaan Tak Benda, Antropologi/Sosiologi Seni. Abstract. This study aims to identify artifacts of cultural products in the community within the ethnic scope of Bugis-Makassar-Toraja related to the origin, variety of forms, characteristics (identification tools) formed from the results of intangible cultural products. Especially in Sa'dan-Toraja ethnicity. The identification of cultural products is intended to make the perimeter boundaries of culture as a characteristic. This method of constructing identity is intended as a form of accountability for the indigenous community towards the formation of the character characteristics and attitudes of members of the cultural community towards the surrounding cultural community. Sociologically it is a form of cultural exclusions for cultural communities in the Bugis-Makassar-Toraja ethnic entity. Where these characters are manifestations of the conception of philosophical values and cultural philosophies of Bugis-Makassar-Toraja ethnicity summarized in "Pangadereng". The specific purpose of this study is to identify the form of 'Passapu' in the Sa'dan-Toraja ethnic group, which is known for its various names and forms, by describing the differences and reviewing the aspects and their constituent elements (Anthropological / Art Sociological Review) Results identification of this research is expected to be a scientific reference material on the intangible cultural results of the Makassar tribe. Keywords: Passapu, Traditional Identity, Intangible Culture, Anthropology / Sociology of Art PENDAHULUAN Salah satu kebudayaan Sulawesi Selatan yang bersifat tradisional dan memiliki keistimewaan tersendiri adalah busana adat. Di Sulawesi Selatan terdapat 3 suku bangsa, yaitu suku Bugis, Makassar, dan Sa’dan-Toraja. Sa’dan_Toraja merupakan fokus lokasi penelitian ini. Definisi Sa’dan-Toraja merupakan penyebutan kewilayahan adat dari kelompok etnis Toraja yang tersebar di tengah-tengah pulau Sulawesi. Sebagaimana dikemukakan oleh Noy-Palm; [Toraja is a collective name for all people who inhabit the mountains of Southwest- and Central-Sulawesi. These mountain dwe11ers, however, exhibit differences among themselves in language and culture which formerly prompted sorting them into West-, South- and Eastor Central-Toraja. The name Toraja (without any prefix) is used by the Buginese and the Makassarese, and above all by the inhabitants of Luwu', to denote the Sa'dan-Toraja. According to Adriani (see N. Adriani and A. C. Kruyt, De Bare'e sprekende Toradja, lIl, 1914: 1-2; see also Adriani 1930), the name comes from the Buginese To-ri-a;a, The People of the Interior, The People of the Highlands (to means man or people; it is a contraction of tau which has the same denotation).] (Noy-Palm, 1979 ) Penelitian ini fokus untuk meneliti tentang Passapu dalam lingkungan adat Sa’dan-Toraja. Passapu merupakan hiasan kepala lelaki Bugis- Makassar yang popular di gunakan pada kegiatan- kegiatan seremonial terutama pada kegiatan atraksi adat di Sulawesi Selatan. Passapu juga disebut sebagai ‘Patonro’di Makassar yang menunjukkan identitas khas bagi masyarakat etnis Bugis Makassar selain Songkok Recca/Songkok Nibiring/Songkok Guru/Songkok To Bone. Passapu, Patonro’ penyebutan bagi hiasan kepala yang kebiasaannya diguna pakai oleh lelaki Bugis-
12

PASSAPU SA’DAN-TORAJA

Oct 16, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PASSAPU SA’DAN-TORAJA

422

PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”

ISBN: 978-623-7496-14-4

PASSAPU SA’DAN-TORAJA

Karta Jayadi dan Dian Cahyadi Universitas Negeri Makassar

Abstrak. Penelitian ini ditujukan mengidentifikasi artefak hasil kebudayaan pada masyarakat dalam lingkup etnis

Bugis-Makassar-Toraja terkait asal-usul, ragam bentuk, ciri khas (alat identifikasi) yang terbentuk dari hasil karsa

produk kebudayaan tak benda. Khususnya pada etnik Sa’dan-Toraja. Identifikasi produk kebudayaan ini ditujukan

untuk membuat batasan-batasan perimeter kebudyaan sebagai penciri. Metode membangun identitas ini ditujukan

sebagai bentuk pertanggungjawaban komunitas adat terhadap bentukan karakter sifat dan sikap anggota komunitas

kebudayaannya terhadap komunitas kebudayaan sekitarnya. Secara sosiologi merupakan bentuk iklusi-eksklusi kebudayaan bagi komunitas-komunitas kebudayaan pada entitas suku/etnis Bugis-Makassar-Toraja. Dimana karakter-

karakter tersebut merupakan pengejewantahaan dari konsepsi nilai-nilai filosofi dan falsafah kebudayaan etnis Bugis-

Makassar-Toraja yang terangkum dalam “Pangadereng”. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi

bentuk ‘Passapu’ pada etnis Sa’dan-Toraja yang dikenal dengan berbagai ragam penamaan dan bentuknya, dengan memaparkan perbedaan-perbedaan dan tinjauan aspek-aspek dan unsur-unsur pembentuknya (Tinjauan

antropologi/Sosiologi Seni) Hasil identifikasi penelitian ini diharapkan akan menjadi materi rujukan keilmuan pada

hasil kebudayaan tak benda suku Makassar.

Kata Kunci: Passapu, Identitas Adat, Kebudayaan Tak Benda, Antropologi/Sosiologi Seni.

Abstract. This study aims to identify artifacts of cultural products in the community within the ethnic scope of Bugis-Makassar-Toraja related to the origin, variety of forms, characteristics (identification tools) formed from the

results of intangible cultural products. Especially in Sa'dan-Toraja ethnicity. The identification of cultural products is

intended to make the perimeter boundaries of culture as a characteristic. This method of constructing identity is

intended as a form of accountability for the indigenous community towards the formation of the character characteristics and attitudes of members of the cultural community towards the surrounding cultural community.

Sociologically it is a form of cultural exclusions for cultural communities in the Bugis-Makassar-Toraja ethnic entity.

Where these characters are manifestations of the conception of philosophical values and cultural philosophies of

Bugis-Makassar-Toraja ethnicity summarized in "Pangadereng". The specific purpose of this study is to identify the form of 'Passapu' in the Sa'dan-Toraja ethnic group, which is known for its various names and forms, by describing

the differences and reviewing the aspects and their constituent elements (Anthropological / Art Sociological Review)

Results identification of this research is expected to be a scientific reference material on the intangible cultural results

of the Makassar tribe.

Keywords: Passapu, Traditional Identity, Intangible Culture, Anthropology / Sociology of Art

PENDAHULUAN

Salah satu kebudayaan Sulawesi Selatan yang

bersifat tradisional dan memiliki keistimewaan

tersendiri adalah busana adat. Di Sulawesi Selatan

terdapat 3 suku bangsa, yaitu suku Bugis,

Makassar, dan Sa’dan-Toraja. Sa’dan_Toraja

merupakan fokus lokasi penelitian ini. Definisi

Sa’dan-Toraja merupakan penyebutan

kewilayahan adat dari kelompok etnis Toraja yang

tersebar di tengah-tengah pulau Sulawesi.

Sebagaimana dikemukakan oleh Noy-Palm;

[Toraja is a collective name for all

people who inhabit the mountains of

Southwest- and Central-Sulawesi. These

mountain dwe11ers, however, exhibit

differences among themselves in

language and culture which formerly

prompted sorting them into West-,

South- and Eastor Central-Toraja. The

name Toraja (without any prefix) is used

by the Buginese and the Makassarese,

and above all by the inhabitants of

Luwu', to denote the Sa'dan-Toraja.

According to Adriani (see N. Adriani

and A. C. Kruyt, De Bare'e sprekende

Toradja, lIl, 1914: 1-2; see also Adriani

1930), the name comes from the

Buginese To-ri-a;a, The People of the

Interior, The People of the Highlands (to

means man or people; it is a contraction

of tau which has the same denotation).]

(Noy-Palm, 1979 )

Penelitian ini fokus untuk meneliti tentang

Passapu dalam lingkungan adat Sa’dan-Toraja.

Passapu merupakan hiasan kepala lelaki Bugis-

Makassar yang popular di gunakan pada kegiatan-

kegiatan seremonial terutama pada kegiatan atraksi

adat di Sulawesi Selatan. Passapu juga disebut

sebagai ‘Patonro’’ di Makassar yang menunjukkan

identitas khas bagi masyarakat etnis Bugis

Makassar selain Songkok Recca/Songkok

Nibiring/Songkok Guru/Songkok To Bone.

Passapu, Patonro’ penyebutan bagi hiasan kepala

yang kebiasaannya diguna pakai oleh lelaki Bugis-

Page 2: PASSAPU SA’DAN-TORAJA

423

PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”

ISBN: 978-623-7496-14-4

Makassar pada kegiatan-kegiatan resmi bersifat

seremonial tradisi atau kegiatan seremonial adat

istiadat. Masyarakat Bugis-Makassar terdapat

berbagai ragam jenis Passapu yang model dan

bentuknya disesuaikan dengan status atau

kedudukan sosial atau fungsi simbolik penggunaan

Passapu.

Nilai keindahan (aesthetic values) dalam

berbusana tradisi bagi masyarakat merupakan

bagian dari tatakrama. Busana tradisional

memiliki aturan tersendiri dalam pemakaiannya.

Penataan pemakaian busana dilakukan demikian

dengan maksud untuk mengangkat kualitas

kehidupan bermasyarakat. Hal ini didasarkan

karena masyarakat tradisi memiliki pandangan

atau norma dan etika tersendiri dalam berbusana

dan selalu diajarkan setiap keluarga kepada

anak-anaknya. (Suciati, 2008)

Busana tradisional Indonesia umumnya

berasal dari bentuk dasar busana bungkus,

bentuk kutang, bentuk kaftan dan bentuk celana.

Kaftan menurut Arifa (Arifah, 2003, hal. 81)

merupakan busana bagian atas seperti blouse

yang memiliki belahan pada bagian muka,

sedangkan menurut Oxford Advanced Learner’s

Dictionary (Dictionary, 2000, hal. 704) “kaftan

also caf-tan is a long loose piece of clothing,

usually with a belt at the waist, worn by men in

Arab countries, and a woman’s long loose dress

with long wide sleeves”. Salah satu bentuk busana

bungkus yang merupakan milineris adalah tutup

kepala. Milineris merupakan benda-benda yang

melengkapi busana dan berguna langsung bagi

pemakainya, seperti alas kaki, tas, topi, ikat

pinggang, kaus kaki, sarung tangan, selendang atau

kain bahu (scarf, syawl dan stola), sedangkan

aksesoris adalah benda-benda yang menambah

keindahan bagi pemakainya di antaranya cincin

dan gelang, giwang dan anting, serta kalung.

Kedua jenis pelengkap busana ini dipakai

wanita dan pria dengan berbagai bentuk, warna,

model dan tentunya berbagai kesempatan

berbusana. (Suciati, 2008)

Tutup kepala (head cover/Head-Dressed)

merupakan bagian dari kelengkapan berbusana

baik busana tradisional maupun busana moderen.

Secara umum busana tradisional Indonesia untuk

pria menggunakan tutup kepala sebagai salah satu

pelengkap dalam berbusana, baik berbentuk topi

maupun ikat kepala. Tutup kepala yang berbentuk

ikat kepala, merupakan salah satu jenis tutup

kepala yang terbuat dari kain. Tutup kepala di

Indonesia memiliki kekhasan pada setiap daerah

baik dari segi bentuk maupun bahan

pembuatannya.

KAJIAN LITERATUR

Busana Khas

Busana tradisional Indonesia umumnya

berasal dari bentuk dasar busana bungkus,

bentuk kutang, bentuk kaftan dan bentuk celana.

Kaftan menurut Arifa (Arifah, 2003, hal. 81)

merupakan busana bagian atas seperti blouse

yang memiliki belahan pada bagian muka,

sedangkan menurut Oxford Advanced Learner’s

Dictionary (Dictionary, 2000, hal. 704) “kaftan

also caf-tan is a long loose piece of clothing,

usually with a belt at the waist, worn by men in

Arab countries, and a woman’s long loose dress

with long wide sleeves”. Salah satu bentuk busana

bungkus yang merupakan milineris adalah tutup

kepala. Milineris merupakan benda-benda yang

melengkapi busana dan berguna langsung bagi

pemakainya, seperti alas kaki, tas, topi, ikat

pinggang, kaus kaki, sarung tangan, selendang atau

kain bahu (scarf, syawl dan stola), sedangkan

aksesoris adalah benda-benda yang menambah

keindahan bagi pemakainya di antaranya cincin

dan gelang, giwang dan anting, serta kalung.

Kedua jenis pelengkap busana ini dipakai

wanita dan pria dengan berbagai bentuk, warna,

model dan tentunya berbagai kesempatan

berbusana. (Suciati, 2008)

Perkembangan busana tradisional dari waktu

ke waktu selalu mengalami perkembangan

walaupun dapat terjadi secara lambat.

Perkembangan busana tradisional Indonesia tidak

terlepas dari perkembangan trend mode yang

terjadi di masyarakat. Bermacam-macam model,

warna dan jenis tekstil yang digunakan dalam

perkembangan busana tradisional dapat saja terjadi

namun bentuk dasar busana tradisional selalu

tergambar dalam perkembangannya.

Passapu

Secara umum, ‘Passapu’ sebagai salah satu

produk kebudayaan etnis Bugis-Makassar-Toraja.

Bahkan produk artefak sejenis ‘Passapu’ juga juga

dimiliki kebudayaan etnis lainnya di nusantara,

seperti; Jawa, Sunda, Melayu, NTT, NTB, Maluku

dsb, oleh masyarakat nusantara juga disebutkan

dengan perujukan nama pada setiap daerah.

Sesungguhnya terdapat perbedaan secara mendasar

berdasarkan aspek penamaan/penyebutan namun

hampir memiliki kemiripan fungsi pada aspek

simbolisnya.

Passapu atau Pattonro yang lebih dikenal

oleh orang Makassar menjadi ciri identitas yang

sangat dikenal oleh masyarakat Nusantara. Hal ini

disebabkan oleh pencitraan yang kuat melalui figur

sosok pahlawan Nasional yakni Sultan Hasanuddin

yang sangat dikenal dengan penggunaan Pattonro

berwarna merahnya. Pattonro juga menjadi lebih

populer oleh penggunaan seniman-seniman

Page 3: PASSAPU SA’DAN-TORAJA

424

PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”

ISBN: 978-623-7496-14-4

pertunjukan seni tradisi yang identikal dicitrakan

melalui seni pertunjukan seni Ganrang Bulo,

A’raga, dan seni pertunjukan lainnya. Sehingga

model-model Passapu lainnya tidak begitu

dikenal di khalayak nusantara.

Penyebutan nama Passapu dikenal bagi

masyarakat adat Sa’dan-Toraja yang hingga saat

ini masih lestari penggunaannya di berbagai

kegiatan ritual Aluk yang dilaksanakan oleh

masyarakat Toraja. Passapu kemudian menjadi

piranti busana adat yang mengemuka digunakan

hingga ke acara-acara resmi pemerintahaan seperti

penyambutan tamu penting pemerintahaan yang

melakukan kunjungan di Kabupaten Tana Toraja

dan Kabupaten Toraja Utara.

METODE PNELITIAN

Penelitian ini terkait dengan masalah

kebudayaan dan estetika tentang pakaian adat baju

Bodo. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa

“Perbandingan Pakaian Adat Baju Bodo Sulawesi

Selatan”, menggunakan pendekatan kebudayaan,

estetika dan komparatif. Penelitian ini

menggunakan metode kualitatif yang dinyatakan

untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-

kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang dalam

perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2001, hal.

3).

Pengumpulkan data dilakukan dengan kajian

pustaka, observasi/wawancara langsung dan

dokumentasi. Implikasi dari penelitian ini adalah

sebagai upaya untuk memberikan pemahaman

terhadap pembaca khususnya tentang ragam

Passapu di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian ini

juga merekomendasikan agar hasil penelitian ini

ditindaklanjuti oleh akademisi yang tertarik

dengan penelitian sejenis. Hal tersebut

dimaksudkan agar terjadi perkembangan penelitian

kedepannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Passapu Sebagai Bagian Busana Tradisional

Busana tradisional sangat sulit mengalami

perubahan karena dipercayai masyarakat sebagai

suatu sistem aturan yang harus dipegang dan

dilestarikan, bahkan telah membentuk pola

perilaku dan menjadi kebiasaan. Menurut Soerjono

Soekanto (1975 : 254-255) seperti dikutif Arifah,

beliau mengemukakan : “Setiap pola masyarakat

membentuk adat atau kebiasaan yang merupakan

pola-pola perilaku bagi anggota masyarakat dalam

memenuhi kebutuhankebutuhan pokoknya… adat

atau kebiasaan yang mencakup bidang …. cara-

cara berpakaian yang tertentu telah terbiasa

sedemikian rupa sehingga sukar untuk diubah”.

(Arifah, 2003)

Perubahan sosial yang terjadi membawa

perubahan pada seluruh segi kehidupan, maka

muncullah masyarakat terorganisir dengan segala

bentuk peraturan. Ikatan kerjasama kemudian

menciptakan pembagian kerja dan pada akhirnya

timbul kepandaian tertentu seperti membuat

kerajinan tangan sebagai perhiasan seperti gelang

dan kalung, menenun pakaian dari bahan tekstil

dan membuat periuk belanga.

Ketentuan atau tata cara berbusana pada

masyarakat Sulawesi Selatan telah diatur dalam

sebuah kitab suci yaitu Patuntung atau tuntunan

yang merupakan pedoman dalam menjalankan

kaidah kerohanian. Selain itu kitab suci tersebut

berisi mantera untuk pengobatan, mandi dan

pernikahan. Kitab suci tersebut berasal dari

warisan kepercayaan asli yaitu animisme dan

dinamisme sebagai sistem religi dan agama serta

kepercayan yang benar yang terbagi ke dalam

Toani Tolotang (Sidrap), Patuntung (Kajang) dan

Aluk Todolo (Sa’dan-Toraja).

Adaptasi ekonomi juga memperlihatkan

perbedaan, seperti semi nomaden yang berpindah-

pindah, menanam padi, nelayan, pedagang dan

industri rumah tangga. Struktur masyarakat

ditandai oleh adanya perbedaan secara vertikal

antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup

tajam, sedang struktur politik tradisional terdapat

mulai dari anak suku sampai pada kerajaan.

Namun demikian masyarakat mengembangkan

kepercayaan bahwa mereka berasal dari satu

keturunan yaitu dari Dinasti Sawerigading yang

didukung mitos yang hidup dalam masyarakat.

Busana dikembangkan manusia bukan

semata-mata terdorong kebutuhan biologis untuk

melindungi tubuh, tetapi juga terdorong oleh

kebutuhan budaya. Seandainya budaya itu

dikembangkan oleh manusia hanya terdorong oleh

kebutuhan biologis saja maka wujud dan ragamnya

tidak sebanyak sekarang ini. Busana juga

dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan

budaya, adat istiadat serta pandangan hidup yang

beragam.

Busana tradisional dapat menunjukkan

tingkatan budaya masyarakat diwilayah tertentu.

Busana adat hanya dipakai pada hari-hari tertentu

atau upacara-upacara adat, karena umumnya

kurang praktis, seperti yang dikemukakan

Soekanto, (1975, hal. 250) “….., orang-orang

Indonesia dewasa ini, pada umumnya memakai

pakaian yang bercorak Barat,….. karena lebih

praktis. Jarang yang memakai pakaian tradisional,

kecuali pada kesempatan-kesempatan tertentu”.

Busana tidak dapat melepaskan diri dari estetika,

karena manusia pada umumnya senang melihat

sesuatu yang serasi dan indah. Untuk

berpenampilan serasi dan indah dibutuhkan

penerapan nilai-nilai estetis dalam berbusana.

(Hariana, 2010)

Page 4: PASSAPU SA’DAN-TORAJA

425

PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”

ISBN: 978-623-7496-14-4

Menurut Sachari, Budaya Rupa, (2005, hal.

119) bahwa: Pendekatan estetik dapat dilakukan

atas dua sisi, (1) Pendekatan melalui filsafat seni

dan (2) Pendekatan melalui kritik seni. Dalam

kajian filsafat seni, objek desain dapat diamati

sebagai sesuatu yang mengandung makna

simbolik, makna sosial, makna budaya, makna

keindahan, makna ekonomi, makna penyadaran,

ataupun makna religius. Sedangkan dalam kajian

kritik seni, objek amatan cenderung diamati

sebagai objek yang mengandung dimensi kritis,

seperti dinamika gaya, teknik pengungkapan, tema

berkarya, ideologi estetik, pengaruh terhadap gaya

hidup, hubungan dengan perilaku, dan berbagai hal

yang sementara ini memiliki dampak terhadap

lingkungannya. (Hariana, 2010)

Budaya merupakan suatu kebiasaan yang

mengandung nilai-nilai yang fundamental yang

diwariskan dari generasi ke generasi. Warisan

tersebut harus dijaga agar tidak luntur atau hilang

sehingga dapat dipelajari dan dilestarikan oleh

generasi berikutnya. Budaya tersebut dari banyak

unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan

politik, adat istiadat, dan lain sebagainya. Budaya

adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya

bersifat abstrak dan luas, banyak kegiatan sosial.

Dalam adat kebudayaan tersebut terdapat

juga hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Adat

istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam

kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan

masyarakat yang heterogen. Indonesia terdiri atas

suku bangsa dengan adat istiadat masing-masing

yang berusaha dipadukan dalam konsep Negara

“Bhineka Tunggal Ika”, yaitu konsep kesatuan

dalam keanekaragaman.

Beberapa suku dengan poulasi terbesar

seperti suku Jawa, Sunda, Bali, Minangkabau,

Melayu, Deli, Ambon, Aceh, Papua, Bugis,

Makassar dan berpuluh-puluh dengan populasi

relative kecil lainnya, telah dikenal adat istiadatnya

yang spesifik dengan karakternya masing-masing.

Sistem pelaksanaan adat yang berbeda antara satu

suku kekayaan budaya bangsa tak ternilai dan

patut untuk dipertahankan sebagai bagian dari

sistem budaya nasional.

Kedudukan Passapu bagi Masyarakat Sa’dan-

Toraja

Suku Bugis, Makassar, dan Toraja

merupakan tiga suku utama yang mendiami

Sulawesi Selatan. Selain itu terdapat juga suku

kecil dan masyarakat lokal dengan bahasa dan

dialeknya masing-masing (diluar empat bahasa

daerah utama) yaitu Massenrenpulu (Enrekang),

Selayar, Luwu, Kajang dan Balangnipa. Suku

tersebut kecuali suku Toraja yang mayoritas

Kristen dan masih kuat menganut adat

“Alu’Tolodo” yaitu adat turun temurun yang

cenderung animisme, maka hampir semua suku

lainnya menganut Agama Islam. Di daerah

pedesaan terdapat beberapa kelompok masyarakat

yang masih memegang tradisi yang ditinggalkan

oleh para leluhurnya. (Rahman, 2016)

Etnis/suku Bugis-Makassar-Toraja-Mandar

merupakan entitas pembentuk kebudayaan di

Sulawesi Selatan di samping entitas etnis

pendatang lainnya seperti Melayu, Arab, Jawa

yang menambah warna homogen pada kebudayaan

Sulawesi Selatan saat ini. Ke-empatnya memiliki

kaitan kekerabatan sangat erat dan saling

mempengaruhi aspek produk kebudayaan setiap

sukunya. Terkhusus hubungan relasi

kekerabatannya dengan suku Bugis yang sangat

lebur, sehingga secara umum (nasional) banyak

yang belum menyadari perbedaan keduanya.

Makassar termasuk dalam rumpun deutro-melayu.

Selain etnis Bugis, Mandar, dan Sa’dan-Toraja,

etnis Bugis-Makassar-Sa’dan-

Toraja merupakan kelompok etnik dengan wilayah

asal Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok

etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga

pendatang-pendatang Melayu dan Minangkabau

yang pergi merantau ke Sulawesi (Kerajaan Gowa-

Tallo sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi

dan pedagang, dimana entitas etnis tersebut telah

terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang

Bugis. (PaEni, 2008)

Begitu pula dalam entitas etnis Sa’dan Toraja

itu sendiri yang terbangun dari relasi-relasi

kekerabatan antar sub-entitas yang kemudian

mengkoloni membentuk rangkuman entitas yang

kemudian dikenal sebagai etnis Sa’dan-Toraja.

Entitas etnis ini membangun sistem dalam

komunitasnya dengan membangun struktur sistim

strata yang tentunya memiliki pengaruh pada

kebudayaannya. Struktur dan stratifikasi sosial

yang berlaku di masyarakat Sa’dan-Toraja

biasanya berdasarkan garis keturunan, kekayaan,

usia, dan pekerjaan.

Sebelumnya, khususnya pada masa pra-

kolonial, ada tiga strata sosial pada masyarakat

Toraja yakni, aristokrat (puang atau parengnge),

orang biasa/awam (to buda), dan budak (kaunan).

Status yang ditentukan oleh kelahiran, meski

sebenarnya seseorang itu sukses secara finansial

atau bahkan gagal beberapa orang diperbolehkan

menerobos rintangan sosial ini. Ini tentu saja

berbeda dengan sistem dan struktur sosial pada

masyarakat modern saat ini. Tetapi pada umumnya

dalam masyarakat suku toraja dikenal ada empat

strata sosial yang disebut Tana’, strata yang

dimaksud antara lain:

a. Tana’ Bulawan : lapisan sosial golongan

bangsawan tinggi.

b. Tana’ Bassi : lapisan sosial golongan

bangsawan menengah.

Page 5: PASSAPU SA’DAN-TORAJA

426

PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”

ISBN: 978-623-7496-14-4

c. Tana’ Karurung : lapisan sosial

golongan rakyat biasa/rakyat merdeka.

d. Tana’ Kua-kua : lapisan sosial

golongan hamba/budak. \

Sementara secara fungsional, klasifikasi

kepemimpinan dalam masyarakat Toraja adalah

sebagai berikut:

a. Toparengnge’: Kelompok ini berfungsi

sebagai penasehat dan pemelihara

keyakinan Aluk Todolo. Di setiap desa

memiliki 4 sampai 8 orang toparengnge’

b. Tobara’: Kelompok ini adalah asisten

Toparengnge’. Fungsi mereka adalah

memelihara kebiasaan (adat) dan tradisi

lama keyakinan Aluk Todolo. Biasanya

mereka terdiri dari 2 orang atau bahkan

lebih di setiap desa.

c. Tominaa: Kelompok ini adalah pemimpin

adat dan agama. Mereka pemimpin setiap

upacara-upacara adat dan acara kematian,

dan pesta syukuran. Mereka tidak

menerima bayaran atas kewajiban

mereka. Mereka juga termasuk orang

yang rendah hati.

d. Ambe’ tondok: Kelas ini adalah

pemimpin kampung. Seorang Ambe’

Tondok bisa juga dipilih sebagai kepala

kampung. Ambe’ Tondok dipilih oleh para

pemimpin sosial informal. Mereka terdiri

dari beberapa orang di suatu kampug.

e. Tobulo dia’pa: Kelas ini merupakan kelas

terendah dalam masyarakat Toraja secara

fungsional. Mereka tidak memiliki hak

atau kekuasaan, tetapi pada saat

bersamaan mereka diwajibkan

melaksanakan praktek ajaran Aluk Todolo

dan menaati perintah keempat kelas di

atas.

Sistem sosial yang berkembang di Sa’dan-

Toraja turut mempengaruhi tipe kepemimpinan

dan otoritas tradisional di daerah ini. Bahkan

sampai kini otoritas tradisonal ini coba

dipertahankan dengan berbagai cara. Misalnya

dengan berafiliasi kepada organisasi sosial

tertentu, mempertegas kembali fungsi-fungsi adat,

dan bahkan pengembalian fungsi lembang seperti

sebelumnya. (Lambe’, 2013)

Fokus kajian ini adalah untuk menggali dan

menemu-kenali identitas-identitas pembentuk

kebudayaan Passapu pada etnis Sa’dan-Toraja,

yakni ‘Passapu’ sebagai salah satu produk artefak

hasil kebudayaan. Secara umum, ‘Passapu’

sebagai salah satu produk kebudayaan etnis

Sa’dan-Toraja sangat dikenal luas dengan

kekhasan bentuknya. Hal ini terekam hingga saat

ini melalui ragam aktivitas ritual Aluk To Dolo

yang terus dilestarikan hingga saat ini.

Di Sulawesi Selatan, selain di Sa’dan-Toraja,

penggunaan Passapu atau Pattonro yang juga

lebih dikenal umum tetap dilestarikan oleh orang

Makassar, dan Kajang selain Sa’dan-Toraja dan

menjadi ciri identitas yang dikenal luas oleh

masyarakat Nusantara. Hal ini disebabkan oleh

pencitraan yang kuat melalui figur sosok pahlawan

Nasional yakni Sultan Hasanuddin. Juga populer

digunakan oleh seniman-seniman pertunjukan seni

tradisi yang identikal dicitrakan melalui seni

pertunjukan seni.

Gambar 1. Passapu Randanan, khas Sa’dan-

Balusu, Toraja Utara. Presiden ke-6 RI Soesilo

Bambang Yoedoyono dan Presiden ke-7 RI Joko

Widodo dianugerahkan Passapu Randanan

sebagai Tokoh Pemangku Adat Kehormatan

Tertinggi adat Sa’dan-Toraja.

Sesungguhnya Passapu dalam tradisi

penggunaannya bagi masyarakat adat di Sa’dan-

Toraja sangat sarat dengan makna dan

perlambangan, baik personafikasi pribadi hingga

terkait perlambangan strata dalam kebudayaan

aslinya yang di atur dalam Aluk Pamali (ajaran

tentang aturan dan batasan-batasan tuntunan

hidup).

Hilangnya pengetahuan terkait Passapu di

Sulawesi Selatan sendiri menjadi kabur dan

tergeser oleh wujud kebudayaan lainnya yang

kemudian mewarnai kebudayaan di Sulawesi

Selatan sejak memasuki abad modern. Hal ini

terkait dengan ciri manusia Bugis-Makassar yang

dikenal sangat dinamis dan homogen terhadap

perubahan dan perkembangan jaman. Sehingga

tradisi menggunakan Passapu kemudian menjadi

Page 6: PASSAPU SA’DAN-TORAJA

427

PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”

ISBN: 978-623-7496-14-4

langka dan cenderung hilang dari aspek filosofi

dan falsafahnya. Hal ini tentu saja berdampak

tercerabutnya akar jati diri warisan kebudayaan

asli masyarakat di Sulawesi Selatan.

Passapu bagi masyarakat adat di Sa’dan-

Toraja memiliki kedudukan yang sangat vital

terhadap setiap individu dalam komunitas adatnya.

Sangat sarat dengan fungsi perlambangan dan

fungsi filosofis. Kedudukan seseorang dapat

terlihat dari aksesoris yang digunakannya dalam

pelaksanaan Aluk dan dikehidupan sehari-hari.

Sebagaimana dikatakan oleh Margaretha Dani

Bulo Pong Labba (95); “...Ten ia komi disanga to

batik tandi sapui ulunna” artinya “...anda tidak

akan dikenali sebagai keturunan bangsawan jika

tidak menutupi kepala”. Lebih lanjut “...saba

disanga nasang komi to batik lako manarang na

kina’a” artinya “...sebab itulah kalian dikatakan

sebagai seorang keturunan bangsawan tak lain

pandai nan bijaksana”, “...pa’sapu ri pallawanna

gau siturusan” artinya “...passapu menjadi pagar

(fungsi kontrol) segala perbuatan”. Pernyataan

M.D. Bulo Pong Labba sebagai salah seorang

keturunan penguasa adat tertinggi dalam

lingkungan adat Aluk Sanda Pitunna-Tallu

Loloqna-Appa O’toqna di Sa’dan-Balusu diperkuat

dengan pernyataan ibu Beatrix Bulo Pong Labba

(87) selaku budayawati kebudayaan Sa’dan-

Toraja, bahwa “kedudukan seorang bangsawan

mestilah senantiasa terjaga segala tindak

tanduknya, Passapu adalah salah satu bentuk

pagar dirinya sebagai pengingat dan kontrol diri

dihadapan Aluk yang dijadikan panduan hidup.

Passapu sebagai bagian tak terpisahkan

dalam tatanan berbusana di Sa’dan-Toraja

digunakan sehari-hari

Ornamen Motif Passapu Sa’dan-Toraja

Passapu bagi masyarakat Sa’dan Toraja adalah

identitas yang hingga saat ini masih lestari

digunakan dengan fungsi dan tujuan simbolik.

Passapu Sa’dan Toraja menggunakan kain persegi

empat dengan panjang sedepa (dari ujung jari

kanan melintang hingga bahu sebelah kiri).

Menggunakan kain batik khas Sa’dan-Toraja

yang umum disebut kain Ma’a/Mawa, ditengahnya

terdapat bahagian putih/kuning berbentuk persegi

sebagai pusat. Motif kain Ma’a/Mawa Passapu

memiliki motif;

a. Pa’ Todi, motif ini dipakai pada bentuk

Passapu Kapuangan/Sanrima, Randanan,

Tallu Siloloq, Pa’lindo Para dan Pa’sossoran

Renge’. Di tengah Passapu terdapat warna

putih polos persegi empat. Jika dilipat warna

putih tersebut di letakkan pada bagian depan

(dahi). Bermakna filosofi bahwa pemakainya

merupakan pemimpin, penata adat, pengurus

adat yang diharapkan dapat memikirkan dan

mempertimbangkan dengan bijaksana segala

keputusan dan arahan hidup (Pa’tanggaran

melo)

b. Pa’Tombang; motif ini dipakai pada bentuk

Passapu Pekapuangan/Pangngulu Kada, dan

Pattalo/Pattala. Di tengah Passapu terdapat

warna putih polos persegi empat. Jika dilipat

warna putih tersebut di letakkan pada bagian

belakang. Bermakna filosofi bahwa

pemakainya diharapkan dapat menjadi

pengayom, suri teladan, senantiasa

memikirkan dan mempertimbangkan orang-

orang dibelakang mereka dengan bijaksana

segala keputusan dan arahan hidup

(Pa’tanggaran melo)

c. Motif kain Ma’a/Mawa biasa tanpa persegi

putih di tengah boleh digunakan untuk seluruh

kalangan dengan model Pa’lindo Para,

Pa’lindo Banua, Pattali, dan sabagainya.

Model-Model Passapu Sa’dan-Toraja.

Penggunaan model Passapu digunakan

berdasarkan fungsi simbolik, seperti berikut di

bawah ini;

a. Passapu Pantiti’/Kadeataan, model Passapu

ini sudah tidak eksis lagi saat ini atau sudah

sangat jarang digunakan. Umumnya

penggunaan simbolisasinya yang umum

digunakan saat ini digunakan oleh wanita

yakni dengan penggunaan Pa’sapi’/Manik

Tata. Namun untuk mengetahui bentuknya

dapat dilihat dari bentuk pada Panggulu

Gayang Bulawan Manurung atau grip keris-

keris emas pusaka di tiap-tiap Tongkonan.

Page 7: PASSAPU SA’DAN-TORAJA

428

PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”

ISBN: 978-623-7496-14-4

Gambar 2. Gambaran Passapu

Pantiti’/Kadeataan tercermin dari bentuk

yang terdapat pada hulu gayaman Gayang

Bula’an (Pusaka-Pusaka Keris Emas)

yang menjadi simbol kebangsawanan

tertinggi di Toraja yang umumnya

diwarisi oleh Tongkonan-Tongkonan

Sokkong Bayu dan Tongkonan-

Tongkonan Layuk di Sa’dan-Toraja.

Sumber: Ganjawulung, 2007, diakses

12/10/2019.

http://www.vikingsword.com/vb/showthr

ead.php?t=12969&page=2

Muh. Saleh Husain, 2019 (Kanan)

Simbolisme penggunaan Pa’sapi’ tidak hanya diperuntukan oleh wanita sebagai pelengkap busana adat Sa’dan-Toraja, juga digunakan oleh kaum laki-laki bangsawan tinggi. Termasuk penggunaan Sokkong Bayu. Sebagaimana pada gambar di bawah ini penggunaan Pa’sapi’ sebagai simbol wanita bangsawan tertinggi di Sa’dan-Toraja yang diatur berdasarkan derajat kebangsawanan.

Perbedaan antara laki-laki dan wanita hanya pada

penggunaan Passapu saja yang tidak digunakan

oleh wanita. Untuk wanita dibuatkan dari anyaman

menyerupai songkok dan pada bagian belakang

dibuat anyaman berbentuk segitiga menyerupai

muka rumah tongkonan (bentuk ini lazim

digunakan oleh penari-penari saat ini.

Adapun gambaran bentuk tersebut dapat

dilihat pada gambar berikut dibawah ini.

Gambar 3. Jenis Pa’sapu

Pantiti’/Kadeataan (To

Manurung/Manurunnge) yang

menggunakan simbolisme Pa’sapi’ yang

diikatkan melingkar di Sokko Ulu yang

digunakan oleh wanita (kiri-tengah) dan

pada Passapu yang digunakan oleh laki-

laki bangsawan keturunan To

Manurung/Manurunnge (ilustrasi tengah

dan kanan). Ilustrasi Passapu Pantiti’

yang dulu digunakan di Kapuangan

Sa’dan (kiri bawah) dan Kapuangan

Balusu (tengah bawah). Penggunaan

Passapu Pantiti’ yang diaplikasikan pada

Tau-Tau pada salah satu keturunan di

wilayah Kapuangan Sa’dan (To’ Nangka)

dengan dua susun Pa’sapi’ pada lilitan

Passapu Parengngenya.(Kanan bawah)

Sumber: Pia Sa’dan (kiri dan tengah atas),

Dian Cahyadi (ilustrasi tengah atas, kiri

bawah dan tengah bawah) Wilcox, 1949-

49 (kanan bawah)

b. Passapu Kapuangan/Sanrima, model

Passapu ini serupa dengan Passapu model

Pa’tallu Siloloq dengan ketiga ujung kain

tegak berdiri perbedaan hanya pada Passapu

Kapuangan/Sanrima dilengkapi dengan

penggunaan Pa’sapi’ sebanyak 1 hingga 3

susun sebagai simbolisme bangsawan

tertinggi dan memegang jabatan adat tertinggi

pula. Passapu jenis ini hanya digunakan oleh

para keturunan pewaris adat Aluk Sanda Pitu.

Untuk penggunaan khusus pada kegiatan

ritual-ritual atau seremoni, menggunakan

aksesoris Pa’sapi’ sebanyak tiga susun.

Pa’sapi’ digunakan sebagai simbol “Tata”

atau pranata kepemimpinan dan

Page 8: PASSAPU SA’DAN-TORAJA

429

PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”

ISBN: 978-623-7496-14-4

kebangsawanan tinggi (Sanrima). Namun

untuk penggunaan sehari-hari Beberapa

pendapat juga mengatakan hanya boleh

digunakan oleh keturunan To Manurung

maupun garis Manurung. Namun dalam

praktiknya sangat sedikit yang menggunakan

Passapu jenis ini. Termasuk dari kalangan

keturunan To Manurung pewaris ”Aluk Tallu

Loloqna – Appa O’toqna” saat ini.

(Wawancara: Ibu Beatrix Bulo, Desember

2006).

Gambar 4. Passapu Kapuangan/Sanrima.

c. Passapu Randanan, model Passapu ini hanya

digunakan oleh pemimpin masyarakat adat

penganut Aluk Sanda Pituna (baca: Toraja

Utara saat ini). Menyerupai Passapu Tallu

Siloloq/Lolokna, namun ujung tertinggi pada

bagian tengah ditappikan/ditekuk kebelakang

dan diselipkan masuk sehingga membentuk

lengkungan menyerupai atap Tongkonan.

Sehingga terlihat empat puncak atau ujung

kain menghadap/menjulang ke atas. Kain

Ma’a (batik) yang digunakan adalah dengan

kain yang memiliki bidang kosong berbentuk

segi empat pada bagian tengah. Umumnya

berwarna putih, kuning, merah). Ornamen

sesuai Tongkonan pemakai. Umumnya

menggunakan ornamen corak Pa’Barana,

Pa’bare Allo, Pa’Kapu Baka, Pa’To

Rongkong, Pa’Karua..(Wawancara: Ibu

Beatrix Bulo, Desember 2006)

Gambar 5. Passapu Randanan, khas

Sa’dan-Balusu, Toraja Utara. Presiden ke-

6 RI Soesilo Bambang Yoedoyono (kiri)

dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo

(kanan) dianugerahkan Passapu

Randanan sebagai Tokoh Pemangku

Adat Kehormatan Tertinggi adat Sa’dan-

Toraja.

Ilustrasi arah tiga ujung kain Passapu

Randanan (tengah bawah)

Para pejabat tinggi menggunakan

Passapu Randanan (bawah)

Sumber: dari berbagai sumber daring.

Gambar 6. Keturunan

penguasa/bangsawan tinggi menggunakan

model Passapu Randanan dengan balutan

Pa’Sapi’ di kedua lengan pada acara

Rambu Soloq di Tongkonan To’ Barana’.

Sumber: https://gramho.com/ (kiri)

d. Passapu Pa’tallu Siloloq, bentuknya dengan

ketiga ujung kain/sudut kain tegak berdiri.

Bentuk ini juga termasuk hanya digunakan

untuk kalangan strata tertinggi dalam tatanan

budaya dan masyarakat adat Sa’dan Toraja.

Kain Ma’a (batik) yang digunakan adalah

dengan kain yang memiliki bidang kosong

berbentuk segi empat pada bagian tengah.

Umumnya berwarna putih, kuning, merah).

Umumnya menggunakan ornamen corak

Page 9: PASSAPU SA’DAN-TORAJA

430

PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”

ISBN: 978-623-7496-14-4

Pa’Barana, Pa’bare Allo, Pa’Kapu Baka,

Pa’To Rongkong, Pa’Karua. (Pong Barumbun

dari garis keturunan Ne’ Reba Sarungallo,

2017)

Gambar 7. Passapu Pa’tallu Siloloq

dengan ketiga ujung kain tegak berdiri.

e. Pa’lindo Para, bentuknya pada bagian depan

berbentuk piramida atau lindo banua (muka

rumah/fasad). Digunakan untuk generasi

Tongkonan atau orang-orang yang tinggal di

Tongkonan tapi tidak memiliki jabatan adat.

Tidak ada ujung kain yang ke atas atau ke

bawah. Kain Ma’a (batik) yang digunakan

kain dengan motif biasa atau umum dan tanpa

acuan ornamen. (Pong Barumbun dari garis

keturunan Ne’ Reba Sarungallo, 2017)

Gambar 8. Passapu Pa’lindo Para

Sumber: Albert Grubauer, 1911 (kiri);

https://gramho.com (kanan)

f. Passapu Kapa’rengngesan/Pangngulu Kada,

berbentuk menyerupai Suso’ (siput) condong

ke arah belakang dengan satu ujung kain

menghadap ke atas menyerupai daun. Di kiri

sebagai simbol jabatan adat dan di kanan

sebagai simbol To Batiq

Kaparengesan/Panggulu Kada. Pemasangan

kain segi tiga dilipat satu-dua-tiga, dimulai

dengan menmpatkan bagian tengah pada

bagian belakang kepala (bertolak belakang

dengan teknik pasang Passapu Pa’Tallu

Siloloq) kemudian dililit melingkari kepala

bergantian dengan satu ujung kain dijepit

oleh kain yang ujungnya akan diselipkan

menghadap ke atas. (Wawancara: Ibu Beatrix

Bulo, Desember 2006)

Gambar 9. Pong Tiku (kiri) dan Pong

Maramba (kanan). Keduanya adalah

penguasa adat wilayah/lili’ tana di

Pangala dan di Rantepao. Keduanya

menggunakan Passapu

Kapa’rengngesan/Pangngulu Kada.

Sumber: Dian Cahyadi (foto kiri); Albert

Grubauer, 1911 (foto kanan)

g. Pa’sossoran Rengnge’ (Pengkalossoran),

bentuk yakni kedua ujung passapu

menghadap ke bawah di pelipis kiri dan

kanan pemakai dan tidak ada ujung kain yang

menghadap ke atas. Passapu jenis ini

digunakan oleh pejabat, pendoa/imam. Kain

Ma’a/Mawa’ (batik) yang digunakan adalah

dengan kain yang memiliki bidang kosong

berbentuk segi empat pada bagian tengah.

Umumnya berwarna putih, kuning, merah).

Page 10: PASSAPU SA’DAN-TORAJA

431

PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”

ISBN: 978-623-7496-14-4

Ornamen yang digunakan umum dan boleh

dengan ornamen sesuai sifat tingkatan asal

Tongkonan pemakai ataupun menggunakan

ornamen batik dari luar, batik Jawa misalnya.

(Pong Barumbun dari garis keturunan Ne’

Reba Sarungallo, 2017)

Gambar10. Passapu Pengkalossoran

Sumber: Nurul, 2017.

h. Pattalli, bentuknya (Passapu) digulung sekira

4 jari lalu dililit di atas kepala dan

disimpulkan seperti menyimpul tali pada

umum (disimporro’), digunakan oleh para

pekerja adat atau pekerja pemerintahan.

Tidak ada ujung Passapu yang naik maupun

turun. (Pong Barumbun dari garis keturunan

Ne’ Reba Sarungallo, 2017)

Gambar11. Passapu Pattalli

Sumber: Albert Grubauer, 1911.

i. Passapu Panggau/Ponggawa, bentuknya

berbentuk menyerupai Passapu Pa’sossoran

Rengnge’ namun terdapat satu ujung kain

mengarah ke arah samping atau melintang

pada lapisan paling bawah atau awal

memutarkan lilitan kain di kepala hingga

ujung kain lainnya diselipkan masuk ke

dalam lipatan lilitan kain. Passapu ini hanya

digunakan oleh pimpinan pasukan perang (To

Barani/Pa’barani/Pa’takin). Kain yang

digunakan umumnya hanya berwarna hitam

tanpa ornamen ragam hias. Pada prakteknya

banyak yang menggunakan kain bercorak

umum atau tanpa pakem ornamen.

(Wawancara: Ibu Beatrix Bulo, Desember

2006)

Gambar 12. Panglima perang Pong

Maramba (kiri), model Panglima Perang

(kanan)

Sumber: Albert Grubauer, 1911 (kiri);

Asdem tindoki, 2018 (kanan)

j. Passapu Pattalo/Pattala, bentuknya

menyerupai lilitan Passapu Tallu Siloloq.

Namun ujung segitiganya ditegakkan berdiri

pada bagian belakang kepala dengan ketiga

ujung kain menjulang ke atas. Umum

digunakan oleh bangsawan tinggi bagi pewaris

kepenguasaan wilayah adat tinggi, baik

Kapuangan maupun

Kaparengngesan/Pangngulu Kada. Bedanya

bagi Kaparengngesan dengan dua ujung

menjulang dan Pangngulu Kada’ hanya satu

ujung saja atau hanya pada bagian tengah saja.

(Wawancara: Ibu Beatrix Bulo, Desember

2006)

Gambar 13. Passapu Pattalo/Pattala.

Sumber: Albert Grubauer, 1911(foto kiri);

Leven (1906-1941) (foto kanan)

k. Passapu Beke, sesungguhnya model ini tidak

dapat dikategorikan sekapada kelompok model

Passapu. Namun narasumber termasuk

mengkalsifikasikannya. Hal ini di dasarkan

pada kategori jenis penutup kepala berbahan

kain dan merujukkan pula pada penggunaan

kain Ma’a/Mawa sebagai bahan utamanya

pula. Beke adalah penutup kepala yang

digunakan oleh beberapa ketua komunitas adat,

pinata Aluk To Dolo, panglima perang, prajurit

Page 11: PASSAPU SA’DAN-TORAJA

432

PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”

ISBN: 978-623-7496-14-4

perang. Hingga saat ini penggunaan Beke

identik digunakan oleh para To

Ma’randing/Paranding. Juga digunakan oleh

pinata Aluk To Dolo dalam ritual-ritual mistis

memanggil roh-roh dari alam gaib, seperti pada

ritual Manganda. Yakni sebuah ritual

memanggil pasukan-pasukan gaib yang

ditujukan untuk mengawal mengiring

keamanan sebuah ritual dari ancaman mahluk

gaib lainnya. Pelantikan pemimpin adat,

pendirian Tongkonan baru, panen, dsb.

Gambar 14. Penggunaan Beke oleh

Pinata/Imam Adat Aluk To Dolo (Head of

Priest) (kiri), Pa’Manganda (kanan).

Sumber: Marét, R. de. 1937.; Claire Holt,

1938.

A. Fungsi Praktis Passapu Sa’dan-Toraja.

Pada masyarakat biasa, Passapu selain

berfungsi untuk menutupi rambut dan

melindungi kepala, juga berfungsi sebagai

senjata dan alat tangkis untuk membela diri bila

tiba-tiba terjadi penyerangan. Selain itu

berfungsi sebagai alat untuk menyimpan,

membawa barang dan pengikat.

B. Fungsi Estetis Passapu Sa’dan-Toraja.

Passapu dapat memperindah

penampilan laki-laki, penambah wibawa dan

menjadi unsur pelengkap berbusana yang serasi

pada pria-pria di Sa’dan-Toraja. (Noy-Palm,

1979 )

C. Fungsi Simbolis Passapu Sa’dan-Toraja.

Nilai simbolis pada Passapu misalnya

ada beberapa jenis bentuk Passapu yang hanya

dipergunakan untuk kalangan tertentu atau

kesempatan tertentu yang dipakai berdasarkan

status atau kepentingan tertentu pemakainya.

Untuk beberapa kasus namun dalam

praktiknya saat ini sudah jarang ditemui yakni

digunakan sebagai bahasa pengambilan

keputusan, kesepakatan. Seperti contoh dalam

hal bertransaksi dengan cara menutupkan

passapu tangan kedua orang yang saling

berjabat tangan pada saat bertransaksi

menentukan harga jual kerbau atau babi di

pasar. Caranya dengan cara saling colekan

garis di telapak tangan lawan (kode garis dan

titik). Kesemuanya tentunya dengan harga

bulat/utuh atau setengah (tanda titik untuk

setengah dan satu garis untuk utuh) mirip kode

morse. Jika terjadi kesepakatan maka pihak

yang setuju mengakhiri dengan jabatan tangan

erat.

Dalam hal pengambilan keputusan

seorang pengambil keputusan akan

menegakkan ujung kain bagia tengahnya dan

menjatuhkan ke arah kanan jika si pengambil

keputusan sepakat dan ke arah kiri jika tidak

sepakat, dan diarahkan ke belakang jika

memberikan isyarat untuk meminta masa untuk

berpikir.

Penggunaan Pa’Sapi’ sebagai

aksesoris pelengkap bersifat penegasan

simbolik terkait derajat status penggunanya,

yakni;dua hingga tiga susun untuk golongan

Tana’ Bula’an/Bulawan, dan satu susun untuk

golongan Tana’ Bassi.

Passapu menjadi simbol mawas diri,

kecakapan, kepandaian, keberanian, kejujuran,

ketegasan, kehormatan, kebijaksanaan,

integritas diri bagi oran Sa’dan-Toraja.

KESIMPULAN

Passapu bagi kebudayaan di sebagian

besar kebudayaan di Sulawesi Selatan khususnya

di kebudayaan Sa’dan-Toraja memiliki kedudukan

khusus sebagai peruntukan per orangan maupun

komunal dalam komunitas, pranata secara simbolik

dalam komunitas setiap masyarakat adat yang

terbagi-bagi pada sub-komunitasnya lagi. Juga

memiliki fungsi-fungsi estetis, praktis dengan

segala manifestasinya. Penggunaan pada masa lalu

tentunya tidak digunakan oleh sembarang orang

dan hanya digunakan oleh orang-orang dari

kelompok pranata dari Tana’ Bulawan, Tana

Bassi, Tana Karurung (umumnya dipilih sebagai

pekerja adat).

Kedudukan Passapu bagi masyarakat

Sa’dan_Toraja sangat vital sehingga hampir

diseluruh aspek kehidupan hingga ritual-ritual Aluk

To Dolo menjadi syarat dan pranata inti.

Saat ini penggunaan Passapu di Sa’dan-

Toraja hanya digunakan untuk keperluan ritual,

acara penyambutan tamu pemerintahan, pesta

pernikahan saja. Keadaan ini tentunya masih dapat

dikatakan belum punah secara eksistensi, namun

telah punah secara esensi pemaknaan maupun

simboliknya.

[ “...Ten ia komi disanga to batik tandi

sapui ulunna” artinya “...anda tidak akan dikenali

sebagai keturunan bangsawan jika tidak menutupi

kepala”. Lebih lanjut “...saba disanga nasang komi

to batik lako manarang na kina’a” artinya

Page 12: PASSAPU SA’DAN-TORAJA

433

PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”

ISBN: 978-623-7496-14-4

“...sebab itulah kalian dikatakan sebagai seorang

keturunan bangsawan tak lain pandai nan

bijaksana”, “...pa’sapu ri pallawanna gau

siturusan” artinya “...passapu menjadi pagar

(fungsi kontrol) segala perbuatan”]. Margaretha

Dani Bulo Pong Labba (95).

ACKNOWLEDGEMENT

Terima kasih kepada Rektor UNM beserta

jajarannya, Ketua Pasca Sarjana UNM beserta

jajarannya atas kesempatan pembiayaan PNBP

Pasca Sarjana kepada kami, Ketua LP2M UNM

beserta jajarannya, serta seluruh pihak yang telah

berkontribusi dalam penelitian ini. Serta kolega

dosen di UNM. Terima kasih-Kurre Sumanga’.

In Memoriam narasumber Ibu Margaretha Dani

Bulo Pong Labba (1916-2016)

REFERENSI

Alkaisar. (2017). KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

PADA TARIAN PA’BITTE PASSAPU

DI TANAH ADAT AMMATOA

KECAMATAN KAJANG KABUPATEN

BULUKUMBA. MAKASSAR:

FAKULTAS DAKWAH DAN

KOMUNIKASI UIN ALAUDDIN .

Arifah. (2003). Teori Desain Busana. Bandung:

Yapemdo.

Dictionary, O. A. (2000). Oxford Advanced

Learner’s Dictionary .

Hariana. (2010). TINJAUAN PAKAIAN ADAT

SULAWESI SELATAN (Studi

Komparatif Baju Bodo Suku Bugis-

Makassar-Mandar). Buletin Sibermas

Vol. 4 No. 4 , 76-95.

Lambe’, S. F. (2013). Pertunjukan tari Pa’randing

pada upacara Rambu Solo’ Kecamatan

Rembon Lembang Batusura’ Kabupaten

Tana Toraja. (skripsi). Makassar: Fak.

Seni dan Desain. UNM.

Moleong, L. J. (2001). Metodelogi Peneliti

Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda

Karya.

Noy-Palm, H. (1979 ). The Sa’dan-Toraja: A Study

of Their Social Life and Religion.

Netherlands: THE HAGUE -

MARTINUS NIJHOFF .

PaEni, M. (2008, 12 24). Melayu-Bugis-Melayu

dalam Arus Balik Sejarah. Jurnal ATL

(Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi

Peneliti dan Pemerhati Tradisi Lisan)

No. 1, Vol.1, Edisi IV.

Rahman. (2016). Sumber Sistem Kewarisan Desa

Tanah Towa ditinjau dari Hukum Islam.

Makassar: Fakultas Syariah dan Hukum.

Sachari, A. (2005). Pengantar Metodologi

Penelitian Budaya Rupa. Jakarta:

Erlangga.

Soekanto, S. (1975). Sosiologi Suatu Pengantar.

Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas

Indonesia.

Suciati. (2008). Karakteristik Iket Sunda di

Bandung dan Sumedang Periode Tahun

1968-2006. ITB Journal Visual Art &

Design., Vol. 2, No. 3, , 237-260 .