BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang 1. Tujuan dan fungsi Buku ini ditulis dengan tujuan antara lain: a. Mendapatkan pemahaman yang sama tentang konsep pendidikan moral melalui pendekatan perkembangan kognitif yang dilakukan dengan menggunakan diskusi dilema moral di lingkungan keluarga oleh orang tua dan di lingkungan sekolah oleh para guru. b. Untuk memperoleh pemahaman yang sama tentang konsep pembentukan kepribadian, khususnya yang berkaitan dengan cara-cara berpikir moral bagi seseorang untuk berhubungan dengan orang lain, sehingga dapat mengatasi personality problem atau masalah kepribadian yang banyak dihadapi orang dalam pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. c. Menyamakan persepsi dan wawasan yang sama tentang cara-cara pendidikan moral yang dikembangkan berdasarkan pengembangan kognitif yang dilakukan dengan diskusi tentang dilema moral oleh orang tua di lingkungan rumah dan oleh guru di lingkungan sekolah. d. Untuk mencapai gerakan dan usaha yang sejalan dan berkesinambungan dalam pendidikan moral bagi anak yang dilakukan oleh orang tua di lingkungan rumah 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
1. Tujuan dan fungsi
Buku ini ditulis dengan tujuan antara lain:
a. Mendapatkan pemahaman yang sama tentang konsep pendidikan moral
melalui pendekatan perkembangan kognitif yang dilakukan dengan
menggunakan diskusi dilema moral di lingkungan keluarga oleh orang tua
dan di lingkungan sekolah oleh para guru.
b. Untuk memperoleh pemahaman yang sama tentang konsep pembentukan
kepribadian, khususnya yang berkaitan dengan cara-cara berpikir moral
bagi seseorang untuk berhubungan dengan orang lain, sehingga dapat
mengatasi personality problem atau masalah kepribadian yang banyak
dihadapi orang dalam pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya.
c. Menyamakan persepsi dan wawasan yang sama tentang cara-cara
pendidikan moral yang dikembangkan berdasarkan pengembangan
kognitif yang dilakukan dengan diskusi tentang dilema moral oleh orang
tua di lingkungan rumah dan oleh guru di lingkungan sekolah.
d. Untuk mencapai gerakan dan usaha yang sejalan dan berkesinambungan
dalam pendidikan moral bagi anak yang dilakukan oleh orang tua di
lingkungan rumah dan yang dilakukan guru di lingkungan sekolah demi
membentuk kepribadian yang baik, sehingga terwujud komunitas
masyarakat yang lebih tenteram dan damai.
2. Manfaat
Buku ini diharapkan memberikan manfaat kepada:
a. Para guru, sebagai panduan dalam usaha memahami konsep moral dan
pertimbangan moral, sebagai konsep pengukuran moral, pendidikan moral
yang berlandaskan pada perkembangan kognitif melalui diskusi dilema
moral, serta bagaimana cara-cara pengukurannya dalam rangka
pengembangan kepribadian yang baik bagi peserta didiknya.
1
b. Para orang tua, sebagai panduan dalam usaha memahami konsep moral
dan pertimbangan moral, konsep pengukuran moral, dan sebagai
pendidikan moral yang berlandaskan pada perkembangan kognitif melalui
diskusi dilema moral, serta bagaimana cara-cara pengukurannya dalam
rangka pengembangan kepribadian yang baik bagi putera puterinya.
c. strategi pembelajaran serta usaha Sekolah, sebagai alternatif pilihan dalam
menetapkan atau menerapkan memahami konsep moral, serta pendekatan
alternatif dalam pengembangan pendiddikan moral yang berlandaskan
pada perkembangan moral kognitif melalui metode diskusi dilema moral,
serta bagaimana cara-cara pengukurannya dalam rangka melahirkan para
lulusan yang memiliki kepribadian lebih baik.
d. Lingkungan masyarakat dan negara, apabila digunakan pendekatan atau
strategi yang benar dalam pendidikan moral, maka akan lahir masyarakan
dan warga negara yang memiliki kpribadian moral lebih baik, sehingga
rasa menghormati terhadap orang lain akan lebih tinggi dan kehidupan
dalam masyarakat akan lebih baik dan lebih terasa aman serta nyaman.
B. Rasional
Lulusan program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), guru SD-MI dapat
dipandang dari dua segi, yaitu segi substansi dan segi tataran kompetensi. Dari
substansinya dapat dikelompokkan kedalam empat kompetensi yaitu:
1. Penguasaan Bidang Studi
Pada kompetensi ini mencakup 2 sisi yaitu; 1) penguasaan disiplin ilmu
dan 2) penguasaan kurikuler. Pada penguasaan disiplin ilmu berkaitan dengan
penguasaan guru terhadap substansi dari dasar keilmuan bidang studi (Bahasa
Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan PKn) yang diajarkan diSD. Penguasaan
kurikuler, berhubungan dengan pemilihan, penataan, pengemasan dari materi
yang diajarkan. Pada kompetensi penguasaan bidang studi ini perlu
menghindari pembelajaran yang bersifat mekanistik (cookbook approach)
selain itu dalam hal ini hendaknya tidak menyediakan materi dan bahan ajar
yang bersifat kaku yang akan menimbulkan miskonsepsi sebagaimana sering
ditemukan dilapangan.
2
2. Pemahaman tentang Peserta Didik
Kompetensi ini merujuk pada kemampuan yang harus dimiliki guru dalam
memberikan layanan pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan siswa.
Dalam hal ini guru harus memahami dengan baik kondisi siswa, hal ini
bertujuan untuk mencapai sasaran pendidikan di SD. Ada 3 hal yang
mencakup dalam pemahaman peserta didik yaitu; 1) pemahaman bahwa siswa
sebagai pribadi yang unuk dengan kelebihan, kekurangan dan kebutuhannya;
2) pemahaman tentang lingkungan keluarga sosial budaya masyarakat sebagai
tempat tumbuh kembang bagi siswa; 3) pemahaman tentang kemajemukan
masyarakat besar Indonesia dan dunia. Ketiga unsur ini membentuk
kompetensi utama bagi guru SD-MI.
3. Penguasaan Pembelajaran yang Mendidik
Pada kompetensi ini guru harus memiliki kemampuan pengelolaan
pembelajaran yang berorientasi pada karakteristik dan kebutuhan belajar
siswa. Kemampuan ini tercermin dari kecermatan dan kejelian seorang guru
dalam memanfaatkan peluang yang berdampak pada pengiring pembelajaran
(nurturant effects). Apabila guru memiliki kompetensi ini dengan baik maka
kompetensi yang diinginkan pada siswa akan tercapai (capabilities building).
4. Pengembangan kepribadian dan Keprofesionalan
Kompetensi ini dapat dicerminkan dari kemampuan guru dalam
mengetahui, mengukur, dan mengembangkan kemampuannya secara mandiri.
Guru yang memiliki profesionalisme yang baik harus memiliki kepribadian
yang baik (terstandar) sebelum ia melaksanakan tugasnya untuk
membentuk kepribadian siswanya.
Ditinjau dari substansi kompetensi guru SD-MI mengenai penguasaan
pembelajaran yang mendidik, buku ini terkait dengan kepemilikan kemampuan
guru dalam pengelolaan pembelajaran bidang studi PKn. Dengan demikian,
penguasaan pembelajaran yang mendidik bagi guru PKn akan mencakup
tercapainya tujuan pembentukan kepribadian yang baik bagi para siswanya
menjadi suatu hal yang harus dikuasai oleh guru.
3
Sebagai seorang guru yang memegang amanat untuk mengembangklan
kepribadian anak bangsa, buku ini dapat membantu guru dalam pembentukan
kepribadian moral yang baik yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan pada
diri siswa. Sebagai guru yang mengemban tugas membentuk kepribadian, buku ini
diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam mengajarkan kepribadian pada
siswa sehingga, mampu melahirkan anak bangsa yang yang memiliki kepribadian
unggul dalam kehidupannya. Dalam pemberian materi pembelajaran kepribadian
dengan pertimbangan moral seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik
terlebih dahulu, dan kepribadian tersebut tercermin dalam pengelolaan
pembelajaran PKn.
Pembentukan kepribadian yang dilakukan guru PKn dapat dilakukan dengan
menerapkan beberapa metode, dan strategi yang sesuai dengan perkembangan
peserta dididik berdasarkan karakteristiknya. Diantara pendekatan yang dapat
digunakan adalah pendekatan perkembangan moral kognitif (Cognitive Moral
Development) penggunaan pendekatan ini bertujuan untuk mengubah cara
berpikir moral (moral thinking) siswa dalam menentukan perilakunya yang
didasarkan pada pertimbangan moral (moral judgment) yang dimilikinya.
Perubahan cara berpikir moral siswa ini akan tampak melalui tahapan-tahapan
pertimbangan moral yang ada padannya. Artinya, tinggi rendah tahapan ini akan
menentukan kualitas perilaku moralnya, yang dapat dilihat dari perilaku
keseharian siswa.
Kepribadian (personality) adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang
membedakan orang lain, akan tetapi kepribadian bukan sesuatu yang statis sebab
kepribadian memiliki sifat kedinamisan yang disebut dinamika pribadi
(personality dynamics). Dinamika ini sangat berkembang pesat pada diri siswa SD
karena mereka pada dasarnya belum memiliki kepribadian yang matang, yaitu
masa pembentukan kepribadian. Sebagai sesuatu yang memiliki kedinamisan,
maka karakter kepribadian seseorang dapat berubah dan berkembang.
Perkembangan ini dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dan dari pengalamn
hasil belajar. Berdasarkan sifat kepribadian yang dapat berkembang tersebut,
maka kepribadian adalah sesuatu yang dapat dibentuk sesuai dengan yang
4
diinginkan dan hal ini bisa dilakukan dilingkungan rumah dengan orang tua yang
membentuk dan di lingkungan sekolah dilakukan oleh guru.
Apabila para orang tua dan guru PKn mampu meletakkan dasar-dasar cara
berpikir moral secara benar, maka kemungkinan adanya kontradiksi dalam
pengembangan moral anak dapat dihindari. Apabila persepsi antara orang tua dan
guru tidak sejalan, maka antara lingkungan satu dengan lingkungan lainnya akan
merusak perilaku moralitas anak. Kesamaan persepsi, dan pola pembinaan yang
serasi tentang upaya memperkenalkan dan menumbuh kembangkan cara berpikir
moral pada anak sedini mungkin akan dapat membantu mereka berpikir dan
berperilaku moral secara bertahap.
Pembinaan pendidikan moral melalui kebiasaan dinyatakan tidak lagi cukup
kuat dalam menghadapi pergeseran dan perubahan nilai-nilai pada era sekarang
ini yang merupakan dampak dariperkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Oleh sebab itu buku ini penting untuk dipahami bersama oleh
seluruh komponen terutama orang tua dan guru PKn, agar terbina anak bangsa
yang lebih beradap dalam mengembangkan dan melestarikan kehidupan di era
global ini.
5
BAB II
ISI
KEPRIBADIAN DAN PEMBENTUKANNYA
A. Konsep dan Tipe Kepribadian
Kepribadian menurut pengertiannya adalah suatu istilah yang mengacu
kepada gambaran-gambaran sosial tertentu yang di terima oleh individu dari
kelompoknya atau masyarakatnya. George Kelly (2005) menyatakan bahwa
kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-
pengalaman hidupnya. Menurut Gordon Allport (2005) bahwa kepribadian
merupakan suatu suatu organisasi ya ng dinamis dari sitem psikofisik individu
yang menentukan tingkah laku individu tersebut. Menurut Paul Gunadi (2005)
kepribadian di golongkan jadi lima yaitu:
1. Tipe Sanguin
Memiliki ciri-ciri gairah hidup tinggi, bersemangat dapat membuat lingkungan
gembira, kelemahannya sering bertindak sesuai keinginannya sendiri dan
mudah dipengaruhi oarng lain.
2. Tipe Flegmatik
Memiliki ciri-ciri pembawaan tenang tidak mudah emosi cenderung dapat
menguasai diri, kelemahan yang dimiliki tipe ini mereka cenderung kurang
mau berkorban untuk orang lain.
3. Tipe Melankolik
Memiliki ciri-ciri perasaan sangat sensitiv dan cenderung ingin sempurna
dalam segala hal, kelemahannya mudah dikuasai oleh perasaannya dan kurang
menggunakan logika.
4. Tipe Kolerik
Memiliki ciri-ciri disiplin kerja sangat tinggi dan bertanggung jawab terhadap
tugas yang di embannya, kelemahannya kurang mampu merasakan perasaan
dan penderitaan orang lain.
6
5. Tipe Asertif
Memiliki ciri-ciri kritis, suka berpendapat, tetapi perasaannya halus sehingga
tidak suka menyakiti orang lain.
B. Faktor yang mempengaruhi Kepribadian
1. Faktor Internal
Faktor ini merupakan faktor yang berasal dari diri orang itu sendiri. dan faktor
ini merupakan faktor genetis atau bawaan sejak lahir.
2. Faktor Eksternal
Faktor ini berasal dari luar diri seseoarang dan merukalan pengaruh dari
lingkungan baik keluarga maupun masyarakat selain itu faktor ini bisa berasal
dari berbagai media.
Levine (2005) menyatakan bahwa orang tua yang merupakan penyumbang
dari dua faktor di atas memiliki pengaruh besar terhadap kepribadian anak.
Pengaruh yan g terjadi di sebabkan cara mendidik anak tersebut di lingkungan
keluarga. Ada sembilan tipe orang tua dalam mendidik anak yaitu:
1. Penasihat moral, terlalu menekankan pada perincian, analisis dan moral.
2. Penolong, terlalu mengutamakan kebutuhan anak dan mengabaikan akibat dari
tindakan si anak.
3. Pengatur, bekerja sama dengan anak dan menciptakan tugas-tugas yang akan
memperbaikai keadaan.
4. Pemimpi, berupaya menghubungkan secara emosional dengan si anak dalam
tiap keadaan dan mencari solusi kreatif bersama-sama.
5. Pengamat, selalau mencari sudut pandang yang menyeluruh, berupaya
mengutamakan perspektif dan abjektivitas.
6. Pencemas, selalu melakukan tanya jawab mental, selalu memiliki gambaran
buruk sampai mereka yakin anak benar-benar memahami situasi.
7. Penghibur, selalau menerapkan gaya yang lebih santai.
8. Pelindung, suka mengambil alih tanggung jawab selalu bersikap melindungi.
9. Pendamai, di pengaruhi kepribadian mereka yang selalu menghindar dari
konflik.
7
Dari sembilan tipe orang tua dalam mendidik anak secara moralitas,
terdapat tiga tipe yang sejalan dengan pembentukan kepribadian melalui
peningkatan pertimbangan moral, yaitu: pengatur, pengamat, dan pencemas.
C. Struktur Kepribadian dan Tindakan Moral
Menurut Hogan dan Bush (1984) ada dua sudut pandang tentang moral,
yaitu pandangan psikologi perkembangan-kognitif dan teori tentang
pembelajaran-sosial modern. Kedua pandangan tersebut telah berjasa
mengembangkan teorinya berkenaan dengan berbagai aspek proses ke-moral-an
(moralitas). Perkembangan moral yang ada dapat dipahami dari sudut pandang
teori kepribadian yang dibagi dalam beberapa aspek yaitu:
1. Struktur Kepribadian
Kebutuhan manusia tentang pergaulan dan saling berhubungan secara
teratur memerlukan moralitas agar terbina keteraturan. Sebaba itu moralitas,
hendaknya dilihat dari dua segi, yaitu sudut pandangan sosial (moralitas
tampil sebagai suatu aturan yang memverifikasi hak dan kewajiban)dan dari
sudut pandangan individual, moralitas dirumuskan secara fenomenologis
(orientasi pribadi secara subjektif terhadap aturan dan nilai yang berlaku
dalam lingkup budayanya).
2. Perkembangan Kepribadian
Perkembangan kepribadian ini berlangsung melalui tiga fase, yaitu:
a. Mulai usia kelahiran sampai usia 5 tahun.
b. Masa kanak-kanak dan masa remaja.
c. Masa dimana manusia masuk dunia keja dan berkeluarga.
Pada fase pertama anak lebih peduli terhadap gambaran dirinya sendiri
sebagaimana diarahkan oleh orang tuanya (orang harus mengakui
kewibawaan), fase kedua anak mulai menyesuaikan dirinya dengan rekan
sebayanya (orang mengatur bagaimana ia harus bergaul dengan teman
sebayanya), sedang fase ketiga dimana mereka mulai merintis tujuan
hidupnya serta merencanakan strategi yang akan ditempuhnya dalam
mengejar tujuan hidup yang akan dipilihnya (orang harus memantapkan
gaya hidup tertentu yang hendak direalisasikannya).
8
3. Perbedaan Individual, Kepribadian, dan Perilaku Moral
Berdasarkan kajian tentang tindakan moral dimana perkembangan moral
diletakkan dalam perkembangan pribadi sebagai suatu keseleruhan, maka
simpulannya sebagai berikut:
a. Cara seseorang bereaksi terhadap aturan yang berlaku.
b. Kepribadian seseorang mencerminkan setiap riwayat perkembangan
moral.
c. Kepribadian yang dimiliki orang satu dengan satunya memiliki perbedaan.
d. Setiap tipe kepribadian memiliki orientasi moralnya yang khas.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa peningkatan pertimbangan moral
pada diri seseorang yang dirancang secara sengaja baik melalui pendidikan di
sekolah maupun di rumah, dapat membantu kepribadian seseorang.
D. Etika, Moral, Norma, Nilai, Akhlak, dan Estetika dalam Budi Pekerti
Etika adalah sebuah cabang filsafat yang membicarakan nilai dan norma
yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Menurut Bertens (1999:6)
etika mempunyai tiga arti: Pertama, etika dalam arti nilai-nilai atau norma-norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok orang dalam
mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam arti kumpulan asas atau nilai
moral. Ketiga, etika dalam arti ilmu tentang yang baik atau buruk.
Moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mos, (adat-istiadat, kebiasaan, cara,
tingkah laku, kelakuan), mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara
hidup (Lorens Bagus, 1996:672). Moral adalah hal yang mendorong manusia
untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”.
Moral dapat diartikan sebagai sarana untuk mengukur benar tidaknya atau baik-
tidaknya tindakan manusia.
Moralitas mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan “moral”,
tetapi kata moralitas mengandung makna “segala hal yang berkaitan dengan
moral”. Moralitas adalah seluruh kualitas perbuatan manusia yang dikaitkan
dengan nilai baik dan buruk. Etika dan moral mempuyai fungsi yang sama, yaitu
memberi orientasi bagaimana seseorang harus melangkah dalam hidup ini.
9
Norma berarti ukuran, garis pengarah, atau aturan, kaidah bagi
pertimbangan dan penilaian. Nilai yang menjadi milik bersama dalam satu
masyarakat dan telah tertanam secara emosional yang mendalam, sehingga
menjadi norma yang tersepakati bersama.
Nilai atau value (bahasa inggris) atau valere (bahasa latin) berarti berguna,
mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang
menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat
menjadi objek kepentingan. Menurut Steeman (dalam Darmaputra, 1999) nilai
adalah yang memberi warna kepada hidup, yang memberi kepada hidup ini titik-
tolak, isi, dan tujuan. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang
mempengaruhi tindakan seseorang. Nilai seseorang diukur melalui tindakan, oleh
sebab itu etika sering disangkutkan dengan nilai seseorang.
Akhlak adalah istilah yang berasal dari kata bahasa Arab yang memiliki
arti budi pekerti. Akhlak mengajarkan tentang hubungan seseorang dengan Tuhan
dan hubungan dengan sesama manusia. Sedangkan Budi Pekerti berasal dari
bahasa sansekerta dan memiliki persamaan dengan “Tata Krama”. Estetika
(aesthetic) adalah hal yang berhubungan dengan keindahan, dan hal tersebut dapat
diwujudkan dalam niat, keindahan dalam proses dan keindahan dalam hasil.
Keindahan ini merupakan hal yang menjadi bagian yang dari nilai yang perlu
dimiliki siswa. Sebab itu pendidikan budi pekerti semestinya juga memasukkan
nilai-nilai estetika sebagai bagian dari yang sepatutnya diajarkan.
E. Hubungan Kepribadian dengan Moral, Nilai, dalam Budi Pekerti.
Kepribadian yang dimiliki oleh seseorang akan berpengaruh terhadap
akhlak, moral, budi pekerti, etika, dan estetika orang tersebut dalam berinteraksi
dan berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, etika,
moral, norma, nilai, dan estetika, yang dimiliki seseorang akan akan menjadi
landasan perilakunya dan membentuk menjadi budi pekerti sebagai wujud norma
moral yang terdapat pada sekelompok manusia.
Pembentukan kepribadian melalui peningkatan pertimbangan moral secara
mendasar mendukung untuk mewujudkan nilai positif dan menolak mewujudkan
nilai dan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh pendidikan budi pekerti. Seperti
10
moral budi pekerti memiliki kaitan yang erat dengan kepribadian, kepribadian
yang baik dapat mengapresiasinilai-nilai yang terkandung dalam budi pekerti.
Dalam arti lain, penanaman nilai budi pekerti yang baik sejak dini akan membantu
membentuk kepribadian yang berbudi pekerti yang luhur.
11
BAB III
MORAL DAN PERTIMBANGAN MORAL
A. Konsep Moral dan Teori Pendidikan Moral
1. Konsep Moral
Menurut Harshorne dan May dalam (Kohlberg, 1971) bahwa pendidikan
moral di sekolah dikategorikan menjadi dua, yaitu:
a. Pendidikan watak atau karakter dan pengajaran agama di kelas, tidak
mempengaruhi perbaikan perilaku moral.
b. Pendidikan etika yang dilakukan dengan cara pengklarifikasian nilai yaitu
pengaturan tentang aturan-aturan berperilaku benar dan baik di sekolah
sedikit berpengaruh terhadap pembentukan moral sebagaimana yang
dikehendaki.
Dari penelitian yang dilakukan diinterprestasikan bahwa pendidikan
moral di sekolah tidak efektif, hal tersebut disebabkan oleh karakter moral
telah dibentuk lebih awal di rumah karena pengaruh orangtua. Pendidikan
moral bertujuan membina terbentuknya perilaku moral yang baik bagi setiap
orang. Artinya, pendidikan moral bukan sekedar memahami tentang aturan-
aturan benar dan salah atau mengetahui tentang ketentuan-ketentuan baik dan
buruk, tetapi harus benar-benar meningkatkan perilaku seseorang. Karena itu,
evaluasi keberhasilannya harus menggunakan perwujudan perilaku moral
sebagai ukurannya.perilaku moral. Untuk menemukan perilaku moral yang
sebenarnya hanya dapat ditelusuri melalui pertimbangannya. Artinya,
pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang
tampak saja, melainkan harus melihat pertimbangan-pertimbangan moral yang
medasari keputusan perilaku moral itu, dengan demikian tinggi rendahnya
moral yang dimiliki seseorang dapat diukur.
Piaget (dalam Lee, 1971) menyatakan bahwa perkembangan tingkat
pertimbangan moral seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal dapat dipengaruhi dari orang tua dan teman sebaya, sedangkan
faktor eksternal dipengaruhi oleh tingkat intelektual. Kedua faktor tersebut
12
tidak dapat dipisahkan karena pertumbuhan tingkat perkembangan moral
memerlukan keseiringan satu dengan lainnya.
Perilaku moral sebenarnya sesuatu yang tersembunyi dalam pikiran
seseorang, karena tersimpan dalam cara-cara berpikirnya. Artinya untuk
mengetahui keadaan moral seseorang yang sebenarnya, maka seseorang yang
mengamati mungkin bisa tersesat oleh fenomena yang ditunjukkan oleh
perilaku nyata seseorang. Sebab, perilaku moral tidak cukup bila hanya diukur
melalui tindakan moral secara objektif yang bisa diamati, tetapi juga harus
dilihat melalui pertimbangan moral yang bersumber dari pemikiran moralnya.
2. Teori Pendidikan Moral
Dewey (dalam Kohlberg, 1977) menyatakan bahwa pada dasarnya
tujuan pendididkan adalah mengembangkan kemampuan intelektual dan
moral. Shaver (1972) mengemukakan bahwa sekolah sebagai lembaga
pendidikan bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan
kecakapan siswa dalam menetapkan suatu keputusan untuk bertindak atau
tidak bertindak. Kemampuan tersebut terkait dengan nilai-nilai, terutama nilai
yang bersifat humanis. Karena itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan
mempunyai beban dan tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan moral
dan membantu siswa mengembangkan cara-cara berpikirnya dalam
menetapkan keputusan moralitasnya.
Goods (1945) menegaskan bahwa negara yang mengakui agama dan
sekolah agama, maka pendidikan moral disekolah diajarkan melalui
pendidikan agama atau sekolah agama, sedangkan negara yang mengakui
agama, pendidikan moral diajarkan melalui pendidikan kewarganegaraan atau
civics. Dengan demikian negara Indonesia merupakan negara yang
memberikan perhatian dalam pembinaan moral. Sebab selain mengajarkan
agama sekolah juga memberikan pendidikan moral.
Ardhana (1985) menyatakan bahwa melalui pengajaran tentang moral di
sekolah merupakan usaha yang dilakukan dari pihak sekolah untuk
menanggulangi kebobrokan moral, baik secara preventif maupun represif agar
peserta didik tidak mengalami kebobrokan moral. Rosjidan (1990) dari
13
penelitiannya yang menggunakan responden siswa,orang tua, dan guru,
mengungkapkan bahwa faktor penyebab adanya perilaku moral yang negatif
dari para siswa ialah karena kurang efektifnya pendidikan moral di sekolah.
Ryan (1985) menyatakan bahwa terdapat tiga teori tentang
pengembangan moral di sekolah yaitu: pertama teori perkembangan
kognitif, menurut teori ini moral manusia tumbuh dan berkembang sesuai
dengan urutan tahap-tahap perkembangan berdasarkan tingkat-tingkat
pertimbangan moral. Urutan tersebut tetap yaitu, dari tingkatan yang rendah
menuju kearah yang lebih tinggi. Teori kedua adalah teori belajar sosial
(social learning theory) teori ini memandang bahwa manusia seperti kertas
kosong yang siap ditulisi masyarakat dan membentuk pengalamannya.
Pengertian lain dari teori ini adalah bahwa perilaku moral seseorang
merupakan perilaku baik dan buruk yang ditetapkan oleh kelompok
masyarakat dan mereka juga menetapkan sanki-sanksi sosial, Maccoby (1980)
pada teori ini berbeda dengan teori perkembangan kognitif yang
mengutamakan taraf berpikir dan penalaran moral dari siswa. Teori ketiga
adalah teori psikoanalitik, menurut teori ini perilaku moral manusia
ditentukan oleh tiga faktor yang terdapat dalam diri seseorang yaitu: id, ego,
dan super-ego. Id merupakan sesuatu yang terdapat pada diri sesorang yang
mendorong individu untuk berperilaku mengikuti nafsu (animalistuc urges
and desire), ego merupakan penentu terbentuknya perilaku riil, sedangkan
super-ego merupakan pengembang elemen pendorong dan berfungsi sebagai
agen pengendali yang memberikan pertimbangan dan selaku kontrol kepada
individu apakah hal yang dilakukan tersebut baik atau buruk (Ryan,
1985:3408).
Dari beberapa teori yang dikemukakan maka pemerintah melalui
pendidikan formal berusaha mengembangkan pendidikan moral melalui
pelajaran PKn di tiap-tiap sekolah.
B. Tujuan pendidikan Moral
Frankena (1971) menyatakan, tugas program pendidikan moral
menyampaikan dan mempertahankan moral sosial, meningkatkan kemampuan
14
berpikir moral secara maksimal. Pada tahun 1971, Kohlberg menggabungkan
tujuan pendidikan moral dengan tujuan pendidikan Civivs (Pendidikan
Kewarganegaraan). Tujuan pendidikan moral, dapat ditemukan dalam cakupan isi
dan tujuan yang dikehendaki oleh bidang studi PKn yang diajarkan di sekolah,
yaitu yang bersumber dari nilai-nilai sila kedua Kemanusiaan yang adil dan
Beradap. Strommen (1983) menyatakan, bahwa tujuan pendidikan moral di
sekolah mengefektifkan meningkatan dan mengembangkan pertimbangan-
pertimbangan siswa. Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, dapat dipahami
bahwa pada dasarnya tujuan pendidikan moral di sekolah dapat membantu siswa
mempertinggi tingkat pemikiran, pertimbangan dan penalaran moralnya.
C. Moral dalam Pembelajaran
Setiap pembelajaran adalah masalah moral, disini seorang guru dapat
menetapkan suatu prinsip dasar bahwa tujuan dari pembelajaran yang berhasil
ialah penyesuaian moral secara konstruktif terhadap kehidupan siswa. Selam ini
kesalaha yang dilakukan para guru adalah melakukan jalan pintas untuk mencapai
tujuan pembelajaran tanpa memperhatikan implikasi moral dari proses
pembelajaran bagi siswa. Untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan
moral, guru harus berperan sebagai pembelajar sekaligus pendidik, dan
melaksanakan pembelajaran untuk mengubah cara siswa memandang dirinya
sendiri dan orang lain. Jika berhasil, maka pembelajaran akan mampu mengubah
cara berpikir moral siswa. Moral dalam pembelajaran akan dapat diwujudkan oleh
guru yang memiliki kompetensi, dan kompetensi yang harus dimiliki adalah;