III. TINJAUAN PUSTAKA
III.1. Definisi Spondilitis tuberkulosa adalah suatu peradangan
tulang vertebra yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosa. 11 III.2. Sejarah Tuberkulosa dapat muncul dalam
berbagai bentuk, termasuk yang menyerang tulang dan menyebabkan
deformitas skeletal. Jaringan keras seperti tulang dapat
dipertahankan selama beribu tahun, memungkinkan identifikasi
individu dengan tuberkulosa tulang yang meninggal lebih dari 4.000
tahun lalu. Dijumpainya tulang yang terkubur yang disertai
deformitas pada mesir kuno menunjukkan bahwa penyakit ini sering
dijumpai pada populasi tersebut. Penemuan tulang dengan deformitas
yang serupa pada berbagai daerah di Italia, Denmark dan
negara-negara di timur tengah juga menunjukkan bahwa tuberkulosis
dijumpai di seluruh dunia sejak 4000 tahun yang lalu.12 Penyakit
ini pertama kali diuraikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang
menemukan adanya hubungan antara kelemahan ekstremitas bawah dengan
kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan
dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh
Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi
jelas.13 III.3. Epidemiologi Insidensi spondilitis tuberkulosa
bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan
kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia
serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis
tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada
negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana
malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi masalah utama. 13
Berdasarkan data surveilans dan survei, WHO memperkirakan terdapat
9.27 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2007 (139 per 100.000
populasi). Dari 9.27 kasus baru ini, diperkirakan 44% atau 4.1 juta
(61 per 100.000 populasi) adalah kasus baru dengan smear-positif.
India, China, Indonesia, Nigeria dan Afrika Selatan menduduki
peringkat pertama hingga kelima dalam hal jumlah total insiden
kasus. Menurut laporan WHO tahun 2009, insidensi tuberkulosa di
Indonesia pada tahun 2007 adalah 528.000 kasus atau 228 per 100.000
populasi per tahun. Dari jumlah ini, 236.000 merupakan kasus dengan
smear positif atau 102 per 100.000. Prevalensi tuberkulosis di
Indonesia pada tahun 2007adalah 566.000 atau 244 per 100.000
populasi per tahun. 14 Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa,
keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus
13, dan lebih kurang 50% kasus tuberkulosa tulang adalah
spondilitis tuberkulosa.10 Lebih kurang 45% pasien dengan
keterlibatan spinal mengalami defisit neurologis.6 Tulang belakang
adalah daerah yang paling sering terlibat, yaitu 50% dari seluruh
kasus tuberkulosa tulang, 15% dari kasus tuberkulosa ekstrapulmonal
dan 3-5% dari seluruh kasus tuberkulosa. 15 Walaupun setiap tulang
atau sendi dapat terkena, namun tulang yang mempunyai fungsi untuk
menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan cukup besar
(mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain.
Tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena
tuberkulosa tulang, diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan
tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan
jarang terkena.13 Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah
(umumnya T10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling
sering terlibat 9,13 karena pada area ini pergerakan dan tekanan
dari weight bearing mencapai maksimum, lalu diikuti dengan area
servikal dan sakral.13 Insidensi keterlibatan daerah servikal
adalah 2-3%.9 Pada penelitian oleh Androniku, et al (2002),
terhadap 42 pasien spondilitis tuberkulosa, destruksi korpus
vertebra paling sering melibatkan vertebra torakalis (83%), diikuti
vertebra lumbal (23%) dan vertebra servikal (13%).8 III.4. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil.
Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium
tuberculosis (Mt), walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun
dapat juga bertanggung jawab, seperti Mycobacterium africanum
(penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine
tubercle baccilus,ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak
ditemukan pada penderita HIV).13 Mycobacteria adalah bakteri aerob,
berbentuk batang yang tidak membentuk spora. Dalam jaringan, basil
tuberkel merupakan batang ramping lurus berukuran kira-kira 0.4 X 3
m. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini
tahan terhadap penghilangan warna oleh asam atau alkohol dan karena
itu dinamakan basil tahan asam. Teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen
dipergunakan untuk identifikasi bakteri ini. Terdapat tiga
formulasi umum yang dapat dipergunakan untuk perbenihan, yaitu agar
semi sintetik (misalnya middlebrook, perbenihan telur tebal
(misalnya Lowenstein-Jensen), dan perbenihan kaldu. Biakan positif
dapat dideteksi dalam waktu 3-6 minggu. 16,17 Dinding Mt sangat
kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi. Penyusun utama
dinding sel Mt adalah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa
dimikolat yang disebut cord factordan mycobacterial sulfolipids
yang berperan dalam virulensi. Unsur lain adalah polisakarida
seperi arabinogalaktan dan arabinomanan. Komponen antigen ditemukan
di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,polisakarida dan
protein.12,18 III.5. Patogenesa Tuberkulosis biasanya memiliki pola
seperti yang diuraikan oleh Wallgreen, yang membagi perkembangan
dan resolusi penyakit menjadi 4 tahap. Tahap pertama, yang
berlangsung dari 3 hingga 8 minggu setelah Mt yang terhirup
tertahan di alveoli, bakteri tersebar melalui sirkulasi limfatik ke
kelenjar limfe regional di paru, membentuk apa yang disebut sebagai
kompleks Ghon atau kompleks primer. Pada saat ini, terdapat
konversi reaktivitas tuberkulin.12 Individu dengan tuberkulosa paru
aktif mengeluarkan droplet yang mengandung basil tuberkul yang
dapat dihirup oleh individu lain (gambar 1). Jika droplet ini
memasuki ruang alveolar, sel dendritik paru dan makrofag akan
menangkap mikroorganisme. Beberapa makrofag yang terinfeksi akan
tetap pada jaringan paru, sedangkan beberapa sel dendritik yang
terinfeksi akan bermigrasi ke kel limfe. Sel T di kelenjar limfe
akan teraktivasi dan bermigrasi untuk mengenali fokus mycobacteria
di paru. Lesi granulomatosa terbentuk dan mengandung bakteri,
mencegah perkembangan penyakit. Pada pasien dengan imunokompeten,
infeksi berhenti pada tahap ini. Walapun begitu, kontrol infeksi
tidak lengkap dan patogen tidak dimusnahkan, sehingga terdapat
risiko reaktivasi, bahkan bertahun-tahun setelah infeksi.19
Gambar 1. Infeksi, perjalanan penyakit dan mekanisme imun pada
tuberkulosis
Tahap kedua, berlangsung selama 3 bulan, ditandai oleh
penyebaran bakteri secara hematogen ke berbagai organ; pada saat
ini pada beberapa individu, dapat terjadi penyakit akut dan
kadang-kadang fatal, dalam bentuk meningitis tuberkulosa atau
tuberkulosa milier. Inflamasi pada pleura dapat terjadi pada tahap
ketiga, yang berlangsung 3 hingga 7 bulan dan menyebabkan nyeri
dada berat, namun tahap ini dapat berlangsung hingga 2 tahun. Tahap
akhir atau resolusi kompleks primer, dimana penyakit ini tidak
berkembang, dapat berlangsung hingga 3 tahun. Pada tahap ini, lesi
ekstrapulmonal yang lebih perlahan berkembang, misalnya pada tulang
dan sendi, yang sering muncul sebagai nyeri punggung kronik dapat
terjadi pada beberapa individu. 12,20 Spondilitis tuberkulosa
biasanya terjadi akibat penyebaran hematogen atau penyebaran
langsung dari nodus limfatikus paraorta atau melalui jalur limfatik
ke tulang dari fokus infeksi tuberkulosa ekstraspinal.13,21 Sumber
infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan
genitourinarius.13 Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri
interkostalis atau lumbal yang memberikan suplai darah ke dua
vertebra yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra di
atasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus
Batsons yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan
banyak vertebra yang terkena.13,22 Lesi mendasar pada spondilitis
tuberkulosa adalah kombinasi dari osteomielitis dan artritis yang
biasanya melibatkan lebih dari satu vertebra. Aspek anterior dari
corpus vertebra yang berdekatan dengan subchondral plate biasanya
terkena. Tuberkulosa dapat menyebar dari daerah tersebut ke diskus
intervertebralis di dekatnya. Pada orang dewasa, penyakit pada
diskus terjadi sekunder akibat penyebaran infeksi dari korpus
vertebra. Pada anak-anak, karena vaskularisasinya, diskus dapat
merupakan tempat infeksi primer. 21 Seperti yang diuraikan
sebelumnya, penyebaran basil tuberkulosa secara hematogen merupakan
hal utama dalam patogenesis spondilitis tuberkulosa. Keterlibatan
langsung dari suatu tempat paraspinal yang berdekatan jarang
dijumpai. Penyebaran vena retrograde melalui pleksus Batsons, yang
berjalan secara subchondral pada korpus vertebra dan mengalirkan
darah pada vena basivertebral di tengah korpus vertebra, telah
diusulkan, namun tampaknya kurang diterima. Hal yang lebih umum
diterima adalah bahwa penyebaran hematogen terjadi melalui jalur
arteri. Pada orang dewasa, korpus vertebra memiliki suplai arteri
anterior dan posterior. Di anterior, arteri lumbal, interkostal
atau vertebra yang berdekatan bercabang menjadi sepasang arteri
segmental yang menembus ke korteks vertebra tanpa arteriol
anostomose. Di posterior, arteri spinal bercabang pada tiap foramen
intervertebral dan membentuk jaringan anastomotik kraniokaudal
dengan level yang berdekatan. (gambar 2a). Arteri nutrien, yang
mensuplai vertebra, bercabang menjadi end arterioles yang berakhir
ke aspek anterior dari vertebral endplates. Mycobacteria dapat
terperangkap (tertahan) di arteriol ini. (gambar 2b). Perluasan
lebih lanjut dari infeksi akan mengganggu korteks dan menyebar ke
celah diskus yang berdekatan (gambar 2c). Ini menyebabkan sedikit
penyempitan celah diskus, namun sangat minimal jika dibandingkan
dengan penyempitan diskus pada spondilitis piogenik. Seiring dengan
perkembangan infeksi, bagian lateral dan anterior dari korpus
vertebra dapat hancur dan menyebabkan kolaps angular. Penyebaran
subligamentosa lebih lanjut di bawah ligamen longitudinalis
anterior menyebabkan perluasan kraniokaudal dari infeksi ke
multipel korpus vertebra yang berdekatan, dengan ciri destruksi
tulang anterior.5
Gambar 2. Patogenesis Spondilitis Tuberkulosa
Terjadinya nekrosis perkijauan yang meluas mencegah pembentukan
tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi
avaskular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di
regio torakal. Diskus intervertebralis yang avaskular relatif lebih
resisten terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus
terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus,
hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus
vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi
diskus,sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end
plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya
end arteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.13 Bersamaan
dengan perubahan pada tulang, terdapat infeksi jaringan lunak
dengan pembentukan abses dingin paravertebral dan/atau keterlibatan
epidural. Abses paraspinal dapat menjadi sangat besar sehingga
menekan struktur sekitarnya.5 Pembentukan abses paravertebral
terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya korpus vertebra
maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang
nekrotik akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di
bawah ligamentum longitudinalis anterior.13 Pada kasus infeksi
servikalis atas, abses paravertebral dapat terlihat sebagai abses
retrofaring.5
Gambar 3. Penyebaran basil tuberkel pada vertebraInfeksi Bakteri
dan Patologi Tulang Sejumlah bakteri, termasuk Mt, tampaknya
terlibat dalam patologi tulang. Terdapat tiga kemungkinan bagaimana
bakteri menyebabkan hilangnya tulang yang patologis yaitu : (1)
bakteri secara langsung menghancurkan komponen nonseluler tulang
dengan membebaskan asam dan protease; (2) bakteri menyebabkan
proses seluler yang menstimulasi degradasi tulang, atau (3) bakteri
menghambat sintesis matriks tulang (gambar 4).23
Gambar 4. Komponen Bakteri dan Patologi TulangTidak diketahui
secara pasti bagaimana infeksi Mt pada tulang menyebabkan
penghancuran tulang. Tulang yang sehat dipertahankan oleh
keseimbangan dinamis antara sel osteoblast yang membentuk matriks
tulang dan sel osteoclast yang meresoprsi tulang. Infeksi Mt pada
tulang belakang tampaknya mengubah keseimbangan dinamis ini,
menyebabkan hilangnya matriks ekstraseluler dari tulang vertebra
dan kolaps vertebra. 24 Sekarang telah diketahui bahwa bakteri yang
terlibat dalam penyakit tulang mengandung atau memproduksi molekul
dengan efek poten terhadap sel tulang. Salah satu dari molekul ini
adalah chaperonin, yang merupakan subgrup chaperones. 24 Chaperones
atau protein stres atau heat-shock protein adalah protein yang
disintesis sebagai respon terhadap stres. Chaperone terlibat dalam
berbagai fungsi seluler esensial, seperti metabolisme, pertumbuhan,
diferensiasi dan kematian sel terprogram, dan mempengaruhi aktivasi
enzim dan reseptor. Salah satu subgrupchaperone, yaitu chaperonin ,
kini banyak menjadi fokus perhatian. Chaperonin terdiri dari dua
kelompok protein, yaitu chaperonin 60 (cpn60) dan chaperonin 10
(cpn10). 25 Bukti menunjukkan bahwa molekul chaperone memiliki aksi
biologis selain aktivitas untuk protein-folding intraseluler.24
Aktivitas yang sangat poten dari cpn60 adalah resorpsi tulang.
Hilangnya tulang adalah faktor kunci pada penyakit spondilitis
tuberkulosa.25 Chaperonin60 adalah faktor osteolitik yang aktif.
Telah dilaporkan bahwa cpn60 tertentu juga dapat menstimulasi
sintesis sitokin. Penelitian terkini menunjukkan bahwa kerja dari
cpn60 pada tulang mungkin disebabkan oleh aktivasi langsung
osteoklas dan perekrutan osteoklas. 23 Dalam suatu studi ditemukan
bahwa aktivitas resorpsi tulang dari Mt disebabkan oleh cpn10 yang
sama aktifnya dengan sitokin osteolitik yang paling poten,
interleukin-1. Chaperonin 10 dari Mt juga menghambat proliferasi
dari osteoblas yang dikultur.24 Selain menstimulasi penghancuran
tulang secara in vitro dan pada kultur sel, cpn10 Mt juga
menginduksi monosit secara invitro untuk mensintesa dan mensekresi
sitokin pro-inflamasi.25 Cpn10 dipostulasikan sebagai komponen
utama yang bertanggung jawab terhadap resorpsi tulang pada
spondilitis tuberkulosa.26 III.6. Patofisiologi Destruksi progresif
tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan
menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat
badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dan timbul
deformitas berbentuk kifosis (angulasi posterior) yang
progresifitasnya tergantung dari derajat kerusakan,level lesi dan
jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini,
maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah
meluas.13 Deformitas kifosis disebabkan kolaps pada vertebra
anterior. Suatu abses dingin dapat terbentuk jika infeksi meluas ke
ligamen dan jaringan lunak di dekatnya.21 Di regio torakal kifosis
tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di area
lumbal hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis
dimana sebagian besar dari berat badan akan ditransmisikan ke
posterior sehingga terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian
servikal, kolaps hanya bersifat minimal.13,21 Sejumlah mekanisme
yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien dengan
spondilitis tuberkulosa.Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi
karena kelainan pada tulang (kifosis) atau pada kanalis spinalis
(karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa
keterlibatan tulang. Kanalis spinalis dapat menyempit oleh abses,
jaringan granulasi atau invasi dura secara langsung, menyebabkan
kompresi medula spinalis dan defisit neurologis. 13,27,28Fakta
bahwa defisit neurologis sering dijumpai pada daerah servikal dapat
dijelaskan oleh diameter melintang kanalis spinalis yang relatif
kecil terhadap diameter medula spinalis servikalis. Gejala
neurologis dapat disebabkan oleh satu atau lebih penjelasan berikut
: subluksasi vertebra, penekanan medula spinalis oleh tulang,
diskus atau abses, respon inflamasi lokal dan vaskulitis
tuberkulosa.9III.7. Gambaran Klinis Gambaran klinis dari
spondilitis tuberkulosa sangat bervariasi. Tipe dan intensitas
gejala bergantung pada level keterlibatan spinal, keparahan
penyakit dan durasi infeksi.6 Pasien biasanya muncul dengan
kombinasi dari manifestasi sistemik seperti penurunan berat badan,
demam, fatigue dan malaise dan nyeri punggung.1,6 Rasa nyeri
bervariasi dari ringan dan menetap hingga berat dan berhubungan
dengan aktivitas. Nyeri biasanya terlokalisir pada tempat yang
terlibat dan paling sering dijumpai pada vertebra torakalis. Nyeri
dapat bersifat konstan dan ringan, menggambarkan destruksi
progresif dari celah diskus dan elemen vertebra yang terlibat, atau
dapat juga berat dan secara langsung berhubungan dengan pergerakan
spinal dan weight-bearing, yang disebabkan oleh disrupsi diskus
lebih lanjut dan instabilitas spinal, kompresi akar saraf atau
fraktur patologis.6 Abses dalam kanalis spinalis dapat menekan
medula spinalis, dan gejala neurologis dapat muncul dengan cepat.
Bergantung pada level keterlibatan,abses spinal dapat menyebabkan
gejala penekanan akar saraf, menyerupai herniasi diskus atau dapat
menyebabkan kompresi medula spinalis yang progresif menyebabkan
paraplegia atau tetraplegia jika tidak ditangani.6 Gejala
neurologis dari keterlibatan spinal tampak tidak jelas pada
awalnya, namun akan berkembang seiring waktu. Level keterlibatan
medula spinalis menentukan level gangguan. Jika tuberkulosis
servikal berkembang dan menyebabkan kompresi medula spinalis atau
akar saraf, tanda-tanda awal adalah kelemahan, nyeri, dan kebas
pada ekstremitas atas dan bawah. Deformitas atau abses pregresif
kemudian akan meningkatkan tekanan pada medula spinalis, dan gejala
akhirnya berkembang menjadi tetraplegi.6 Spondilitis tuberkulosa
servikalis merupakan gambaran yang jarang dijumpai, namun lebih
serius karena komplikasi neurologis yang serius lebih cenderung
terjadi. Kondisi ini dicirikan dengan nyeri dan kaku pada leher.
Pasien dengan lesi yang melibatkan vertebra servikal bawah dapat
mengalami disfagi atau stridor. Gejala dapat mencakup tortikolis,
suara parau dan defisit neurologis.21 Hampir semua pasien dengan
spondilitis tuberkulosa menunjukkan berbagai derajat deformitas
vertebra (kifosis). Defisit neurologis dapat terjadi pada awal
perjalanan penyakit, yang bergantung pada level kompresi medula
spinalis. Spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra
servikalis atas dapat menyebabkan gejala yang berkembang cepat.
Abses retrofaring dijumpai pada hampir semua kasus. Manifestasi
neurologis terjadi pada awal penyakit dan bervariasi dari
kelumpuhan saraf tunggal hingga hemiparese atau tetraparese.21
Banyak penderita spondilitis tuberkulosa (62-90% pasien pada suatu
studi) tidak menunjukkan bukti adanya tuberkulosis ekstraspinal,
yang menyulitkan diagnosis yang segera.21 III.8. Prosedur
Diagnostik Diagnosis spondilitis tuberkulosa harus dijajaki jika
terdapat kecurigaan klinis, bahkan jika tidak dijumpai gambaran
radiologi paru yang mendukung. Spondilitis tuberkulosa juga harus
selalu diduga jika gambaran radiologis menunjukkan proses destruksi
vertebra.21 Algoritma diagnostik untuk infeksi tulang belakang
dapat dilihat pada gambar 5. Terlepas dari agen penyebabnya, gejala
klinis yang paling sering adalah nyeri punggung dan spasme otot
para vertebral. 29
Gambar 5. Algoritma Diagnostik Infeksi Tulang Belakang.III.8.1.
Anamnese Bukti-bukti infeksi tuberkulosa primer harus dijajaki.
Demam berulang, menggigil, keringat malam atau penurunan berat
badan menunjukkan adanya penyakit sistemik yang bersifat
granulomatosa atau piogenik (misalnya akibat stafilokokus,
streptokokus, haemophilus atau Escherichia coli). Perjalanan
penyakit yang lebih bersifat perlahan mendukung diagnosis penyakit
granulomatosa. Pasien dengan immunocompromised, akibat obat-obatan
atau infeksi HIV, memiliki risiko tinggi untuk menderita
tuberkulosa aktif. 6 Gambaran adanya penyakit sistemik, berupa
kehilangan berat badan,keringat malam,demam yang berlangsung secara
intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia mendukung
adanya infeksi tuberkulosa. Begitu pula jika dijumpai riwayat batuk
lama (lebih dari tiga minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri
dada.13 Pasien biasanya mengeluhkan nyeri punggung,baik berupa
nyeri yang terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa
nyeri yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan
tampak sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke
lengan. Lesi di torakal atas akan menyebabkan nyeri yang terasa di
dada atau interkostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri
dapat berupa menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya
menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan
menahan punggungnya menjadi kaku. Pola berjalan merefleksikan
rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek,
karena mencoba menghindari nyeri di punggung. 13,20 Bila infeksi
melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk
dalam posisi dagu disangga oleh satu tangannya,sementara tangan
lainnya di oksipital. Kekakuan pada leher pada bersifat asimetris
sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis tortikolis. Pasien
juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika
terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses
yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakea sehingga akan
menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar,
sementara kompresi medula spinalis pada orang dewasa akan
menyebabkan tetraparesis.13 III.8.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan
tulang belakang dapat menunjukkan adanya nyeri tekan pada prosesus
spinosus 6 dan spasme otot protektif disertai keterbatasan
pergerakan di segmen yang terkena.13 Bila terdapat abses maka akan
teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di atasnya terasa sedikit
hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik
yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa
iliaka, retrofaring, atau di sisi leher (di belakang otot
sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi.13 Tes
range-of-motion (ROM) menyebabkan nyeri yang sangat hebat, dan
pasien dapat terlihat bertahan secara agresif terhadap gerakan
memutar, membungkuk atau meluruskan. Pasien biasanya merasa lebih
nyaman berbaring dan mengalami gejala yang lebih berat jika berdiri
tegak dan berjalan.6 Pada penyakit tahap lanjut, kifosis fokal
dapat terlihat pada pemeriksaan fisik, biasanya pada tulang
belakang midthoracic hingga thoracolumbar. Angulasi tajam
menyebabkan penonjolan prosesus spinosus pada level kolaps
vertebra, menyebabkan pasien harus membungkuk ke depan.6 III.8.3.
Pemeriksaan Penunjang III.8.3.1. Laboratorium Darah Dapat dijumpai
peningkatan laju endap darah (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih
dari 100mm/jam. Pemeriksaan apus darah tepi menunjukkan
leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif. 13
III.8.3.2. Radiologis III.8.3.2.1. Foto Polos Vertebra Foto polos
anterior-posterior dan lateral merupakan pemeriksaan imejing awal
yang dilakukan pada tiap pasien dengan nyeri punggung kronis dan
progresif. Pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa, gambaran
radiologis bergantung pada luas dan durasi infeksi. Gambaran
radiologis awal dapat terlihat normal pada penyakit tuberkulosis,
namun seiring perjalanan waktu, penyempitan celah diskus dan reaksi
end-plate dapat menjadi gambaran yang menonjol.6 Foto polos harus
dievaluasi untuk destruksi tulang, sklerosis tulang, disrupsi
end-plate,destruksi pedikel, diskus intervertebralis dan jaringan
lunak paravertebral.28 Gambaran radiologis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis mencakup keterlibatan banyak level, relatif tidak
terkenanya diskus intervertebralis, abses paravertebral yang besar,
dan penyebaran subligamentosa.2
Gambar 6. Foto Polos Vertebra pada Spondilitis
TuberkulosaDestruksi endplate dan destruksi korpus vertebra adalah
dua tanda yang paling bermanfaat pada foto polos untuk mendiagnosa
spondilitis tuberkulosa dengan sensitifitas dan spesifisitas yang
tinggi (>79%). Adanya jaringan lunak paravertertebral dan
destruksi pedikel memiliki spesifisitas yang tinggi namun
sensitifitas yang rendah, sedangkan penyempitan diskus memiliki
sensitifitas yang tinggi namun spesifisitas yang rendah. Secara
keseluruhan, sensitifitas dan spesifisitas dari foto polos adalah
82.8% dan 83.9% secara berurutan.Pada foto polos, temuan dini yang
paling sering adalah penyempitan diskus dan osteolisis vertebra.
Kemudian diikuti dengan bayangan paravertebra, kolaps vertebra dan
angulasi vertebra pada kasus lanjut. Abnormalitas ini mungkin tidak
dijumpai pada foto polos hingga 8 minggu.28,30 III.8.3.2.2.
Computed Tomography Scan (CT Scan) Kalsifikasi di sekitar
paraspinal paling baik terlihat dengan CT Scan, yang juga paling
baik untuk menunjukkan sejumlah fragmen tulang kecil yang mungkin
masih berada di daerah tulang yang rusak. CT scan juga paling baik
menunjukkan perluasan anatomis dari destruksi tulang, terutama
elemen posterior dan juga membantu untuk mengklarifikasi apakah
gangguan pada kanalis spinalis disebabkan oleh keterlibatan
jaringan lunak atau tulang. 30 III.8.3.2.3. Magnetic Resonance
Imaging (MRI) Magnetic resonance imaging (MRI) adalah modalitas
pilihan untuk evaluasi adanya infeksi tulang belakang.31 Magnetic
resonance imaging adalah metode investigasi pilihan untuk diagnosis
spondilitis karena berbagai keuntungannya, mencakup sensitifitas
yang tinggi pada tahap awal, gambaran epidural dan paravertebral
yang lebih jelas, keterlibatan medula spinalis dan kemungkinan
untuk membedakan infeksi tuberkulosa dari yang lain.28
Mycobacterium tuberculosis membentuk tuberkel dengan nekrosis
central caseating yang menunjukkan intensitas sinyal intermediat
pada gambaran T2-weighted. Spondilitis tuberkulosa menunjukkan
derajat edema marrow yang kurang luas dibandingkan spondilitis
piogenik. 32Pada MRI, berbagai gambaran yang perlu dievaluasi
adalah intensitas sinyal dari vertebra dan diskus intervertebralis
yang terlibat pada T1W, T2W dan gambaran contrast-enhanced,
destruksi korpus vertebra dan vertebral end plate, luasnya
keterlibatan korpus vertebra, massa jaringan lunak paraspinal atau
pembentukan abses, derajat gangguan kanalis spinalis dengan atau
tanpa kompresi akar saraf atau medula spinalis dan alignment
vertebra.28 Penelitian oleh Kotze dkk (2006) terhadap gambaran MRI
23 pasien spondilitis tuberkulosa yang telah dikonfirmasi secara
histologis dan menemukan gambaran sebagai berikut : pembentukan
abses paravertebral yang melibatkan banyak level, penyebaran
subligamentosa ke berbagai level, hiperintensitas pada vertebra
yang terkena pada gambaran T2 dan hipointensitas vertebra yang
terkena pada gambaran T1.27III.8.2.4. Biopsi Jarum Jika terdapat
kecurigaan klinis terhadap adanya suatu spondilitis tuberkulosa dan
gambaran radiologis menunjukkan lesi destruktif yang membutuhkan
terapi bedah, maka debridement lesi akan menyediakan materi yang
cukup banyak untuk kultur dan diagnosis. Namun, jika ditemukan pada
awal perjalanan penyakit, mungkin tidak ada indikasi untuk
intervensi bedah. Untuk kasus ini, biopsi jarum yang diarahkan
dengan CT atau MRI dapat memberikan material diagnostik. Dengan
arahan imejing, jarum halus dapat ditujukan ke rongga abses melalui
dinding otot posterior. Jika didapatkan cairan abses, cairan ini
dapat ditarik melalui jarum halus tanpa kesulitan. Jika dijumpai
jaringan granulasi, mungkin diperlukan suatu trocar untuk
memperoleh spesimen jaringan. 6 III.8.2.5. Konfirmasi Diagnostik
Jika muncul kecurigaan adanya spondilitis tuberkulosa, maka
diperlukan pemeriksaan primer untuk infeksi sistemik.6 III.8.2.5.1.
Foto Toraks Foto toraks dapat menunjukkan lesi apikal atau kompleks
Ghon karakteristik dari adanya tuberkulosis paru.6 Gambaran
radiologi yang dicurigai sebagai lesi tuberkulosis aktif adalah :
bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah; kavitas, terutama lebih dari
satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular; bayangan
bercak milier; efusi pleura unilateral.18III.8.2.5.2. Tes
Tuberkulin Tes tuberkulin (purified protein derivative/PPD)
merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk adanya paparan penyakit
namun tidak menunjukkan penyakit aktif atau menunjukkan derajat
infeksi. Tes ini juga dapat sedikit positif jika pasien pernah
menerima vaksin BCG.6 Di Indonesia, dengan prevalensi tuberkulosis
yang tinggi,uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit
kurang berarti pada orang dewasa. 18 Tes tuberkulin didasarkan pada
fakta bahwa infeksi Mt menghasilkan reaksi hipersensitifitas tipe
lambat terhadap komponen antigenik tertentu dari organisme yang
terkandung dalam ekstrak filtrat kultur yang disebut tuberkulin.
Sebagian besar konstituen PPD adalah protein kecil dengan massa
molekuler lebih kurang 10.000 Da, namun juga dijumpai polisakarida
dan lipid. Ukuran konstituen pada PPD yang relatif kecil adalah
alasan mengapa PPD tidak mensensitisasi individu yang tidak pernah
terpapar terhadap mycobacteria.1 III.8.2.5.3. Pemeriksaan
Bakteriologis dan Kultur Deteksi basil tahan asam secara
mikroskopis pada sediaan yang telah diwarnai adalah bukti
bakteriologis pertama dari adanya mycobacteria di spesimen klinis.
Teknik ini merupakan prosedur yang paling mudah dan paling cepat
yang dapat dilakukan. Prosedur pewarnaan yang umum digunakan adalah
metode carbolfuchsin, yang mencakup metode Ziehl-Neelsen dan
Kinyoun, dan prosedur fluorochrome menggunakan auramin-0 atau
auramine-rhodamin. Sejumlah studi kuantitatif menunjukkan bahwa
harus terdapat 5.000 hingga 10.000 basil per mililiter spesimen
untuk memungkinkan deteksi bakteri pada pewarnaan. Sebaliknya,
10-100 organisme dibutuhkan untuk kultur positif.1 Diagnosis pasti
dibuat jika dijumpai basil tuberkulosis tahan asam pada kultur
sputum, urin atau bahan biopsi. Basil tuberkulosis tumbuh lambat
pada kultur, sekitar 6-8 minggu.6 Seluruh spesimen klinis yang
dicurigai mengandung mycobacteria harus diinokulasi ke media kultur
untuk empat alasan : (1). Kultur lebih sensitif dibanding
mikroskopis, mampu mendeteksi sampai sesedikit 10 bakteria/ml
material; (2) pertumbuhan organisme diperlukan untuk identifikasi
spesies dengan tepat; (3) uji sensitifitas obat membutuhkan kultur
organisme ; (4) genotyping organisme yang dikultur dapat bermanfaat
untuk identifikasi hubungan epidemiologi antara pasien atau untuk
mendeteksi kontaminasi antar laboratorium. Secara umum sensitifitas
kultur adalah 80-85%, dengan spesifisitas lebih kurang
98%.1III.8.2.5.4. Metode Amplifikasi Asam Nukelat Dalam
perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. 18 Kemajuan
dramatis dalam deteksi dan identifikasi Mt diperoleh dengan metode
menggunakan teknik amplifikasi asam nukleat. 1 Beberapa tekniknya
mencakup polymerase chain reaction (PCR), transcription mediated
amplification, strand dispalcement amplification, ligase chain
rection.33,34 Tes PCR sangat spesifik untuk basil tuberkulosis dan
memberikan konfirmasi cepat dari kultur yang positif.6 Bahan
pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ektraparu sesuai dengan
organ yang terlibat.18 Sensitifitas PCR untuk deteksi langusng Mt
mencapai 80% sedangkan spesifisitasnya 97%. 33 III.9. Diagnosa
Banding Diagnosis banding spondilitis tuberkulosa cukup luas.
Selain spondilitis piogenik, infeksi yang memiliki gambaran
radiologis yang mirip adalah Salmonella typhi, brucella, jamur
(actinomycosis, blastomycosis) dan syphilis.Baik tumor jinak
(hemangioma, giant cell tumor, kista) maupun tumor ganas (Ewings
sarcoma, osteosarcoma,multiple myeloma, metastase) juga termasuk
dalam diagnosis banding.2 Membedakan spondilitis tuberkulosa dari
spondilitis piogenik biasanya cukup sulit. Secara klinis, infeksi
tuberkulosis secara umum mengenai orang dewasa pada dekade keempat
dan kelima sedangkan insidensi puncak spondilitis piogenik adalah
pada dekade keenam atau ketujuh. Batas halus dari abses dingin,
yang memiliki penyebaran subligamentosa, berkebalikan dengan batas
irreguler dari abses piogenik, dimana enzim proteolitik dapat
menghancurkan ligamen paraspinal. Keterlibatan korpus vertebra
multipel lebih jarang dijumpai pada spondilitis piogenik. Ukuran
massa paraspinal biasanya lebih besar pada infeksi tuberkulosis
dibanding infeksi piogenik. Kolaps korpus vertebra jarang dijumpai
pada infeksi spinal piogenik namun sering dijumpai pada spondilitis
tuberkulosa. Pada tahap kronik, spondilitis tuberkulosa menunjukkan
sinyal hiperintense korpus vertebra pada gambaran T1-weighted,
sedangkan spondilitis non-tuberkulosa menunjukkan intensitas sinyal
rendah.28 Gambaran klinis, laboratorium dan radiologis yang
membedakan infeksi vertebra akibat infeksi baktetri, tuberkulosis
atau brucella terlihat pada tabel 4. 29Lesi metastatik akibat
malignansi sistemik merupakan kelainan yang harus dibedakan dari
spondilitis tuberkulosa. Metastatik memiliki ciri tidak mengenai
diskus, seperti halnya spondilitis tuberkulosa. Bahkan karena
spondilitis tuberkulosa juga tidak mengenai celah diskus dan dapat
mengenai vertebra multipel, gambarannya dapat disalahartikan
sebagai metastatik malignansi. Faktor yang menunjukkan dan
membedakan spondilitis tuberkulosa dari neoplastik adalah adanya
abses paravertebral dan penyebaran subligamentosa. Walapun jarang,
spondilitis fungal sulit dibedakan dengan spondilitis tuberkulosa
berdasarkan gambaran imejing dan gambaran klinis. Gambaran
klinisnya mirip dan mencakup relatif tidak terkenanya diskus dan
lesi paravertebral. Tidak mungkin menegakkan diagnosis tanpa
melakukan prosedur biosi dengan panduan CT scan untuk evaluasi
histopatologis.30III.10. Penatalaksanaan Pada pasien dengan infeksi
spinal, tujuan terapi adalah untuk menghilangkan penyakit dan untuk
mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas
spinal.6 Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa masih kontroversi;
beberapa penulis menganjurkan pemberian obat-obatan saja sedangkan
yang lain merekomendasikan pemberian obat-obatan dengan intervensi
bedah. Penatalaksanaan optimal spondilitis tuberkulosa bersifat
individual pada tiap kasus. Strategi manajemen optimal bergantung
pada luas dan lokasi destruksi tulang, adanya deformitas spinal dan
instabilitas, dan keparahan gangguan neurologis.9 Dekompresi
agresif, pemberian obat antituberkulosa selama 9-12 bulan dan
stabilisasi spinal dapat memaksimalkan terjaganya fungsi
neurologis.9 III.10.1. Penatalaksanaan Medis/Konservatif 1.
Pemberian Nutrisi yang Bergizi13
Istirahat dan Immobilisasi Istirahat dapat dilakukan dengan
memakai gips untuk melindungi tulang belakang dalam posisi ekstensi
terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini
ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan
deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat
berlangsung 3-4 minggu, sampai dicapai keadaan yang tenang dengan
melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. 13
Immobilisasi leher dapat dilakukan dengan menggunakan cervical
brace selama 6-18 bulan.20
Pemberian Obat Anti Tuberkulosa Pemberian obat-obatan tetap
menjadi prinsip utama penatalaksanaan pada individu dengan
tuberkulosis. Awalnya dianggap bahwa tuberkulosa skeletal
memerlukan penatalaksanaan selama 12-18 bulan akibat penetrasi yang
buruk dari obat antituberkulosis ke struktur tulang; walaupun
begitu terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa tuberkulosa
skeletal dapat diterapi dengan pemberian obat yang lebih singkat.
Untuk infeksi spondilitis tuberkulosa tanpa komplikasi, British and
American Thoracic Societies merekomendasikan pengobatan selama 6
bulan. Respon pengobatan dapat dinilai dengan radiologis, perbaikan
nyeri punggung, dan kembalinya defisit neurologis,jika ada. Jika
pasien tidak menunjukkan respon terhadap terapi, pengobatan harus
diperpanjang hingga 9-12 bulan. Terapi untuk individu yang sensitif
terhadap obat terdiri dari 2 fase yaitu fase inisial atau intensif
selama 2 bulan dengan 4 jenis obat, yaitu isoniazid (H)
(5mg/kgBB/hari 10 mg/kgBB/hari hingga 300 mg/hari) , rifampicin (R)
(10 mg/kgBB/hari hingga 600 mg/hari), pyrazinamide (Z) (15-30
mg/kgBB/hari) dan etambutol (E) (15-25 mg/kgBB/hari) , diikuti
dengan fase lanjutan 4-7 bulan, dengan isoniazid dan rifampicin.
13,15,21 Menurut The Medical Research Council, terapi pilihan untuk
spondilitis tuberkulosa di negara yang sedang berkembang adalah
isoniazid dan rifampicin selama 6-9 bulan.13 Menurut pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, lama pengobatan untuk
tuberkulosa tulang adalah 9-12 bulan, dengan panduan OAT yang
diberikan adalah 2 RHZE/ 7-10 RH. 18 III.10.2. Penatalaksanaan
Bedah Intervensi bedah diperlukan pada kasus lanjut dengan
destruksi tulang ekstensif, pembentukan abses atau gangguan
neurologis. Tujuan pembedahan adalah untuk mencegah atau
memperbaiki defisit neurologis dan deformitas spinal. Pembedahan
juga memfasilitasi kemoterapi yang sukses, karena kavitas abses
menimbulkan lingkungan yang melindungi basil dari antibiotik
sistemik. Ketika diperlukan pembedahan, hasilnya paling baik jika
dilakukan pada awal proses penyakit, sebelum terbentuk fibrosis dan
jaringan parut. Selanjutnya,pembentukan jaringan parut yang padat
menyebabkan perlekatan ke pembuluh darah besar atau struktur vital,
menyebabkan diseksi dan paparan pembedahan menjadi berbahaya.
Respon klinis terhadap pembedahan juga lebih cepat dan lebih
lengkap pada pasien dengan penyakit aktif jika dibandingkan dengan
pasien dengan penyakit kronis dan deformitas.6,36 Indikasi untuk
pembedahan pada spondilitis tuberkulosa secara umum mencakup
defisit neurologis (perburukan neurologis akut, paraparesis),
deformitas spinal dengan instabilitas atau nyeri, tidak menunjukkan
respon terhadap terapi medis (kifosis atau instabilitas yang terus
berlanjut), abses paraspinal yang besar, biopsi diagnsotik.9,15,21
Indikasi pembedahan mencakup faktor klinis (keterlibatan saraf,
paraplegia, dan abses retrofaring besar yang menyebabkan gangguan
ventilasi atau menelan), faktor pengobatan (defisit persisten atau
progresif saat pemberian terapu konservatif yang sesuai, faktor
imejing yaitu keterlibatan panvertebral (skoliosis atau kifosis
berat pada foto polos,destruksi global pada CT atau MRI) atau
kompresi ekstradural (kompresi medula spinalis akibat jaringan
granulasi pada MRI) dan faktor pasien (spasme yang menyakitkan atau
kompresi akar saraf).2 Keterlibatan vertebra servikalis cukup
jarang dan pasien biasanya menunjukkan gejala nyeri, kaku dan
tortikolis. Abses yang besar dapat menyebabkan suara serak, stridor
dan disfagia. Indikasi untuk pembedahan adalah jika abses
menyebabkan disfagia, stridor, atau kesulitan bernafas.2 Pada
spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra servikalis, faktor
yang membenarkan intervensi bedah dini adalah defisit neurologis
dengan frekuensi dan keparahan yang berat, kompresi abses yang
berat yang menyebabkan disfagi atau asfiksia, instabilitas vertebra
servikalis.21 Dengan indikasi yang tepat, tindakan bedah lebih
unggul dalam mencegah perburukan neurologis, mempertahankan
stabilitas, pemulihan dan mobilisasi segera. Oguz et al (2008)
menerapkan suatu sistem klasifikasi untuk panduan terapi dan
membagi spondilitis tuberkulosa menjadi tiga tipe. (table 6)
37III.11. Prognosis Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa
sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan umum pasien,
derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang
diberikan. 13 Secara umum, prognosis untuk pemulihan cukup baik
jika disfungsi neurologis berkembang secara bertahap dan memiliki
durasi singkat. Prognosis buruk jika pasien menunjukkan paraplegia
komplit, perkembangan cepat, durasi gejala yang lama dan onset
penyakit yang lambat.2
DAFTAR PUSTAKA 1. American Thoracic Society. Diagnostic
standards and classification of tuberculosis in adults and
children. Am J respir Crit. 2000 ; 161 : 1376-1395.
2. Spiegel DA, Singh GK, Banskota AK. Tuberculosis of the
Musculoskeletal System. Techniques in Orthopaedics. 2005 ; 20 (2) :
167-178.
3. Harisinghani M G, McLoud T C, Shepard J, et al. Tuberculosis
from Head to Toe. Radiographics. 2000 ; 20 : 449-470
4. Golden M P,Vikram H R. Extrapulmonary tuberculosis : An
overview. Am Fam Physician. 2005 ; 72 : 1761-8.
5. Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of
musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 :
1809-1819.
6. McLain RF, Isada C. Spinal Tuberculosis Deserves A Place On
The Radar Screen. Cleveland Clinic Journal of Medicine.2004;
71:537-49.
7. Ringhausen FC, Tannapfel A, Nicolas V, et al. A fatal case of
spinal tuberculosis mistaken for metastatic lung cancer : recalling
ancient Potts disease. Annals of Clinical Microbiology and
Antimicrobials. 2009 ; 8 : 32
8. Androniku S, Jadwat S, Douis H. Patterns of disease on MRI in
53 children with tuberculous spondylitis and the role of
gadolinium. Pediatr Radiol. 2002 ; 32 : 798-805.
9. Abdeen K. Surgery for tuberculosis of the cervical spine. The
Internet Journal of Neurosurgery. 2006 ; 3 : 2
10. Palama E, Golias C, Illiadis I, et al. Pulmonary miliary
tuberculosis complicated with tuberculous spondylitis : an
extraordinary rare association : a case report. Cases Journal. 2009
; 2 : 7983
11. Pedoman Penatalaksanaan spondilitis Tuberkulosa. Departemen
Neurologi FK USU Medan. 2008.
12. Smith I. Mycobacterium tuberculosis pathogenesis and
molecular determinants of virulence. Clinical Microbiology Reviews.
2003 ; 16 : 463-496
13. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. 2002. Available from :
pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/spondilitis_tuberkulosa.pdf
14. Global tuberculosis control : epidemiology, strategy,
financing : WHO report 2009. Available from :
www.who.int/tb/publications/...report/2009/en/index.html
15. McDevitt P, Moyer MT, Goldman JN, Mathew A, et al.
Extrapulmonary tuberculosis presenting as Potts disease with
associated paraesophageal fistula. Hospital Physician. 2008 :
36-40
16. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Jawetz,Melnick &
Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran.Edisi 20. Jakarta : EGC. 1996. p.
302-310.
17. Kayser FH, Bienz KA, Eckert J. Medical Microbiology.2005.
New York. Thieme.
18. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta. 2006
19. Kaufmann S H. New Issue in tuberculosis. Ann Rheum Dis. 2004
;63(Suppl II) : ii50-ii56)
20. Solomon L, warwick DJ, Nayagam S. Apleys system of
orthopaedics and fractures. Eight edition. New York :Oxford
university press, 2001.
21. Hidalgo JA. Pott Disease (Tuberculous Spondylitis). 2008.
Available from : emedicine.medscape.com/article/226141
22. Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the
musculoskeletalsystem. Third edition. Philadelphia : Lippincott
William & Wilkins, 1999 : 226-231.
23. Nair S P, Meghi S, Wilson M, et al. Bacterially induced bone
destruction : mechanisms and misconceptions. Infection and
Immunity. 1997 ; 64 (7) : 2371-2380.
24. Meghji S, White PA, Nair S P, et al. Mycobacterium
tuberculosis chaperonin stimulates bone resorption : a potential
contributory factor in Potts disease. J Exp Med. 1997 ;
1241-1246.
25. Ranford JC, Coates A R M, Henderson B. Chaperonins are
cell-signalling proteins : the unfolding bioligy of molecular
chaperones. Expert reviews in molecular medicine. 2000. Available
from : http://www.ermm.cbcu.cam.ac.uk
26. Qamra R, Mande SC, Coates ARM, et al. The unusual
chaperonins of Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis. 2005 ; 85
: 385-394.
27. Kotze D J, Erasmus L J. MRI findings in proven mycobacterium
tuberculosis spondylitis. SA journal of Radiology. 2006 ; 10 (2) :
6-12.
28. Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al. Diagnostic
accuracy of MR imaging in tuberculous spondylitis. J Med Assoc
Thai. 2007 ; 90(8) : 1581- 1589.
29. Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections :
evolving concepts. Curr Opin Rheumatol. 2008 ; 20 (4) :
471-479.
30. Joseffer SS, Cooper PR. Modern imaging of spinal
tuberculosis. J Neurosurg Spine. 2005 ; 2: 145-150.
31. Ledermann H P, Schweitzer M E, Morrison W B, et al. MR
imaging findings in spinal infections : rules or myths ?. RSNA.
2003 ; 228 (2) : 506-514
32. Hong SH, Kim SM, Ahn JM,et al. Tuberculous versus pyogenic
arthritis: MR imaging evaluation. Radiology. 2001 ; 218 :
848-853.
33. Kurth R, Haas WH. Epidemiology, diagnostic possibilities and
treatment of tuberculosis. Ann Rheum Dis. 2002 ; 61 (Suppl II) :
ii59-ii61.
34. Gamboa F, Dominguez J, Padilla E, et al. Rapid diagnosis of
extrapulmonaru tuberculosis by ligase chain reaction amplification.
Journal of Clinical Mycrobiology. 1998 ; 36 (5) : 1324-1329.
35. Manelfe C. Infections of the spine imaging. Available from :
www.star-program.com/resource.ashx/abstract/232
36. Ge Z, Wang Z, Wei M. Measurement of the concentration of
three antituberculosis drugs in the focus of spinal tuberculosis.
Eur Spine . 2008 ; 17 : 1482-1487.
37. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M,et al. A new
classification and guide for surgical treatment of spinal
tuberculosis. International Orthopaedics. 2008 ; 32 : 127-133.