PANDANGAN MUI JAKARTA UTARA TENTANG POLIGAMI Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: ABDURRAHMAN SALEH BUGIS NIM: 1111044100021 K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/2014 M
84
Embed
PANDANGAN MUI JAKARTA UTARA TENTANG POLIGAMI Di krepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30393/1...PANDANGAN MUI JAKARTA UTARA TENTANG POLIGAMI. Skripsi . Di. ajukan Untu.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PANDANGAN MUI JAKARTA UTARA TENTANG POLIGAMI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ABDURRAHMAN SALEH BUGIS
NIM: 1111044100021
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2014 M
iv
ABSTRAK
Abdurrahman Saleh Bugis. NIM 1111044100021. PANDANGAN ULAMA
JAKARTA UTARA TENTANG POLIGAMI. Konsentrasi Peradilan Agama,
Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. X + 72 halaman + lampiran-
lampiran.
Masalah utama dalam skripsi ini adalah bagaimanakah sebenarnya Pandangan
Ulama Jakarta Utara Tentang Poligami? Skripsi ini bertujuan mendeskripsikan dan
menganalisa Pengetahuan Hukum, Pemahaman Hukum, Sikap Hukum dan
Pandangan Hukum Pengurus.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dimana penyusun
berpijak dari peristiwa yang berlangsung, sumber data diperoleh melalui wawancara.
Dari ketiga ulama yang penyusun wawancarai kesemuanya memiliki
pengetahuan yang sama, tetapi memiliki pemahaman yang berbeda yaitu dua
diantaranya menyebutkan bahwa hukum poligami adalah Rukhsah, dan satu orang
ulama lagi menyebutkan Azimah, hal ini berakibat pada pemahaman dari dua ulama
bahwa poligami itu hanya bisa dilakukan pada kondisi darurat atau adanya alasan
saja. Sedangkan yang satu ulama lagi membolehkan poligami tanpa ada alasan atau
kondisi darurat apapun.
Begitu juga, pemahaman tentang syarat adil sebagai syarat hukum atau syarat
agama, dua di antara mereka memahami bahwa syarat adil adalah syarat hukum dan
satu diantara mereka memahaminya sebagai syarat agama. Perbedaan pemahaman itu
berakibat pada sah atau tidak perkawinan poligami. Jika orang yang berpoligami itu
tidak adil, bagi ulama yang menyatakan adil itu sebagai syarat hukum, maka poligami
tidak sah jika suami tidak adil.Sedangkan bagi ulama yang menyatakan adil itu
sebagai syarat agama, maka suami hanya berdosa jika tidak berlaku adil. Tidak
berpengaruh pada sah atau tidak sah nya hukum perkawinan poligami tersebut.
Terkait izin poligami dari Pengadilan Agama dan Istri dua diantaranya
menyatakan setuju dengan peraturan tersebut dan satu diantaranya menyatakan tidak
setuju. Ulama yang menyatakan tidak setuju dengan peraturan bahwa poligami baru
dapat dilakukan apabila telah ada izin dari Pengadilan Agama, beralasan bahwa
aturan yang demikian tidak terdapat dalam Al-Quran dan Hadits.Dari perbedaan
pemahaman inilah yang berakibat pada prilaku ketiga ulama tersebut yaitu dua
diantaranya tidak melakukan poligami dan satu diantaranya melakukan poligami.
Ketiga ulama tersebut menyatakan bahwa urusan perkawinan adalah urusan
pribadi jadi tidak masalah bila dalam kepengurusan MUI kota administrasi Jakarta
utara melakukan perkawinan poligami tanpa melalui proses izin terlebih dahulu
melalui pengadilan agama.
Kata Kunci : Pengetahuan Hukum, Pemahaman Hukum, Sikap Hukum
dan Pandangan Hukum, MUI Jakarta Utara.
Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini. MAg.
Daftar Pustaka : Tahun 1981 s.d. Tahun 2012.
v
KATA PENGANTAR
بسن الله الرحوي الرحين
يا والديي، والصالة والسالم عل ى أشرف الورسليي، بيا الحود هلل رب العالويي، وبه ستعيي على أهىر الد
آله وأصحابه والتابعيي وهي تبعهن بإحساى إلى يىم الدييهحود صلى اهلل عليه وسلن وعلى
Segala puji hanya milik Allah Rabb Alam Semesta, kepada Allah kita memohon
pertolongan atas segala urusan dunia dan agama, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah
atas sebaik-baik Rasul yaitu Nabi Muhammad SAW, dan atas semua keluarganya, para
sahabatnya, para tabi`in, dan semua yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari
pembalasan.
Dengan izin dan ridho Allah SWT, skripsi dengan judul “PANDANGAN MUI
JAKARTA UTARA TENTANG POLIGAMI” telah selesai disusun guna memenuhi salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana syariah (S.sy) strata satu dalam Konsentrasi
Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud
tanpa ada bantuan dari berbagai pihak. Maka tidak lupa penyusun mengucapkan terimakasih dan
jazakumullah khoirujaza kepada:
1. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajarannya, baik
bapak/ibu dosen yang telah membekali penyusun dengan ilmu pengetahuan, maupun para
staff yang telah membantu kelancaran administrasi.
vi
2. Kamarusdiana, S.Ag., M.H selaku Ketua Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah dan
Sri Hidayati, M.Ag selaku Sekretaris Prodi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah.
3. Dr. Hj. Mesraini, MAg selaku Dosen Pembimbing yang telah rela meluangkan waktu di
tengah kesibukan untuk membimbing dan mengarahkan penyusun dalam pembuatan
skripsi.
4. Dr. H. M. Supriyadi Ahmad selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak
memberikan sokongan dan dukungan kepada penyusun hingga skripsi ini selesai.
5. Pengurus Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
menyediakan berbagai macam literature dalam proses belajar di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syaruf Hidayatullah Jakarta, khususnya pada saat pembuatan skripsi.
6. Kepala seluruh Ulama dalam kepengurusan Majelis Ulama Indonesia Kota Administrasi
Jakarta Utara yang telah meluangkan waktu dan bersedia diwawancara sebagai
narasumber dalam penelitian ini.
7. Orang tua saya, Drs. Muhammad Basri Ghazali, Nur Barokah, Kakak dan adik saya, dan
semua keluarga baik yang dari suku Jawa maupun dari suku Bugis yang telah
memberikan semangat dan motivasi.
8. Kepada seluruh teman-teman di organisasi HMI ciputat baik cabang maupun di
komisariat, yang selalu mendoakan.
9. Sahabat-sahabat dari HMPS (Himpunan Mahasiswa Program Studi) Hukum Keluarga,
Terima kasih atas kebersamaan selama penyusun menuntut ilmu di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
10. Kepada seluruh teman-teman di LKBHMI (Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum
Mahasiswa Islam) yang telah memberikan motivasi dan mendukung kelancaran dalam
menyusun skripsi.
11. Serta berbagai pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan seluruhnya, semoga amal baik
mereka diterima Allah SWT dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin.
Saran dan kritik yang membangun, sangat ditunggu demi kesempurnaan penulisan
skripsi ini dan wawasan ilmu penyusun. Besar harapan penyusun, skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.
Tahap terakhir dalam sebuah penelitian setelah data dikumpulkan
adalah analisis data. Tahapan tersebut dilakukan dengan menganalisis data
yang telah terkumpul dengan tujuan memperoleh suatu kesimpulan dalam
penelitian. Sedangkan kesimpulan ditarik dari metode induktif, yaitu
dengan menghimpun data dari konsep-konsep Al-Qur‟an dan Hadist, serta
ditunjang dalam Perundang-undangan yang telah diberlakukan dan hasil
wawancara dari Ulama dalam structural/pengurus Majelis Ulama
Indonesia Kota Administrasi Jakarta Utara. Data yang telah terkumpul
tersebut dianalisis dan ditarik kesimpulan sehingga dapat menjawab inti
batasan dan rumusan masalah penelitian.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Skripsi yang berjudul “PANDANGAN MUI
JAKARTA UTARA TENTANG POLIGAMI” ini dibagi menjadi lima Subab
dan susunan pembahasannya sebagai berikut :
BAB I, Pendahuluan, Mengenai uraian masalah tekhnis penulisan yakni :
Latar Belakang, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Metode Penelitian, Riview Studi Terdahulu, Sistematika
Penulisan.
BAB II, Kerangka Teoritis, A. Pengertian Poligami, B. Poligami Dalam
Pandangan Fukaha: 1. Hokum melakukan poligami. 2. Jumlah istri dalam
poligami. 3. Syarat melakukan poligami. C. Poligami Menurut Peraturan
16
Perkawinan di Indonesia: 1. Hukum melakukan poligami 2. Jumlah istri
dalam poligami 3. Tata cara dan prosedur poligami.
BAB III, Metodologi Penelitian A. Gambaran umum tentang Majelis Ulama
Indonesia Kota Administrasi Jakarta Utara:1. Sejarah Terbentuknya Majelis
Ulama Indonesia.2. Struktur Organisasi.3. Tugas Pokok dan Fungsi.B.
Poligami menurut pengurus Majelis Ulama Indonesia Kota Administrasi
Jakarta Utara periode 2015– 2020: 1. Pengetahuan hukum pengurus MUI
Jakarta utara tentang syarat dan prosedur poligami di Indonesia. 2.
Pemahaman hukum pengurus MUI Jakarta utara tentang syarat dan prosedur
poligami di Indonesia. 3. Sikap Hukum atau Prilaku pengurus MUI Jakarta
utara tentang poligami. 4. Pandangan/sikap pengurus MUI Jakarta utara jika
ada pengurus MUI Jakarta utara yang melakukan poligami tanpa memenuhi
persyaratan dan prosedur yang sudah diatur dalam perundang-undangan di
Indonesia.
BAB IV, Analisis Data A. Analisis terhadap pengetahuan hukum pengurus
MUI Jakarta utara tentang syarat dan prosedur poligami. B. analisis terhadap
pemahaman hukum pengurus MUI Jakarta utara tentang persyaratan dan
prosedur poligami di Indonesia. C. Analisis terhadap sikap hukum atau
prilaku pengurus MUI Jakarta utara tentang poligami. D. Analisis terhadap
Pandangan/sikap pengurus MUI Jakarta utara yang melakukan poligami tanpa
memenuhii persyaratan dan prosedur yang sudah diatur dalam perundang-
undangan di Indonesia
17
BAB V, Penutup, Bab ini berisi Kesimpulan dan Saran.
18
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Poligami dan Sejarahnya
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologis, poligami
merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang
berarti istri atau pasangan. Poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri
lebih dari satu orang secara bersamaan.1 Adapun secara terminologis,
poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan di mana seorang suami
memiliki istri lebih dari satu orang. Seorang suami yang berpoligami dapat
saja beristri dua orang, tiga orang, empat orang, atau bahkan lebih, dalam
waktu bersamaan.
Dalam bahasa Arab poligami disebut Ta‟addud al-Zaujat, sedangkan
dalam bahasa Indonesia disebut “madu”.2 Menurut Arij Abdurrahman al-
sanan dalam bukunya Al-„adl Baina Al-Zaujat, yang dimaksud dengan
Ta‟addud Al-Zaujat adalah perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam
tanggungannya dua sampai empat orang istri, tidak lebih darinya.3 Seseorang
1 Nashruddin Baidan, Tafsir Bial-Ra‟yi, Upaya Penggalian Konsep Perempuan dalam Al-
quran (Mencermati Konsep Kesejajaran Perempuan dalam Al-quran), Cet. I, Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 1999, 94. 2 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaa Marwa,
2007) Cet 1, h. 29. 3 Arij Abdurrahman al-Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami, (Jakarta : PT. Global
Media Cipra Publishing, 2003), h. 25.
19
dikatakan melakukan poligami berdasarkan jumlah istri yang dimilikinya pada
saat yang bersamaan, dan bukan jumlah perkawinan yang pernah dilakukan.
Suami yang ditinggal mati istri pertamanya, kemudian menikah lagi tidak
dapat dikatakan berpoligami, karena dia hanya menikahi satu orang istri pada
satu waktu. Sehingga apabila seseorang melakukan pernikahan sebanyak
empat kali atau lebih, tetapi istri yang terakhir berjumlah satu orang, maka dia
tidak dapat dikatakan poligami.
Penjelasan di atas berbeda dengan pendapat Henry Pratt Farchild, yang
mengatakan bahwa uraian tentang poligami tersebut tidak tepat bila dikatakan
sebagai poligami, tetapi lebih tepat disebut poligini. Sebab istilah poligami
dapat diartikan sebagai perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari
seorang istri, atau antara seorang perempuan dengan lebih dari seorang suami.
Istilah poligami dapat dilakukan oleh suami dan juga istri, sedangkan istilah
poligini hanya untuk seorang suami.4
Menurut Islah Gusman, ia mengartikan poligami adalah banyak nikah.
Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada praktik perkawinan lebih dari satu
suami atau istri sesuai dengan jenis kelamin orang yang bersangkutan. Ia
berpendapat bahwa poligami dan poligini adalah berbeda. Poligini
menurutnya adalah banyak perempuan, istilah ini digunakan untk menunjuk
4 Henry Pratt Fairchild, Dictionary of Sosiology, dikutip oleh J.N.D. Anderson, Hukum Islam
di Dunia Modern, terj. Machnun Husein, Cet. I, Surabaya: Amarpress, 1991, 45.
20
pada seorang pria yang melakukan praktik banyak nikah dengan banyak
perempuan (pada masa yang sama, dan bukan karena kawin cerai).5
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan poligami
adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan dan berpoligini berarti
menjalankan poligami.6
Namun perbedaan pemaknaan istilah tersebut tidak menjadi
permasalahan dalam pemaknaan terhadap perilaku suami yang memiliki lebih
dari satu istri. Sebab pada perkembangan selanjutnya, istilah poligami
dihadapkan pada istilah poliandri, yaitu seorang istri yang memiliki lebih dari
satu suami dalam waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, dengan sendirinya
istilah poligami menjadi bersifat khusus, yaitu seorang lelaki yang
mempunyai lebih dari satu isteri secara bersamaan.
Islam dikenal sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, yaitu agama
pembawa kesejahteraan bagi seluruh alam. Salah satu yang diperkenalkan
islam untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan perkawinan, yang
bertujuan membangun keluarga yang tentram dan penuh cinta kasih antara
orang yang ada di dalamnya. Hal ini ditunjukan dalam firman Allah dalam
Surah ar-Ruum (30): 21 sebagai berikut:
5 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa,
2007) h. 26. 6 Depdikbud, kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), Cet. Ke-7, h.
21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”.7
Menurut Islam, perkawinan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
manusia dengan tanpa mengabaikan hak dan kewajiban suami dan istri dalam
posisinya sebagai makhluk yang sama, baik di mata masyarakat ataupun di
mata Allah SWT. Terdapat satu jenis perkawinan yang dibolehkan oleh islam
untuk dilakukan umat Islam. Bentuk perkawinan itu ialah poligami,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah an-Nisaa‟ (4): 3:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.8
7 Al-quran dan terjemahnya, semarang: CV. Toha Putra, 1989, 644
8 Al-quran dan terjemahnya, semarang: CV. Toha Putra, 1989., 115
22
Perhatian penuh islam terhadap poligami sebagaimana ayat di atas ini
tidak semata-mata tanpa syarat. Islam menetapkannya dengan syarat, yaitu
keadilan dan pembatasan jumlah. Keadilan menjadi syarat karena istri
mempunyai hak untuk hidup dan bahagia. Adapun pembatasan jumlah
menjadi syarat karena jika tidak dibatasi maka keadilan akan sulit ditegakkan.
Pembatasan ini juga memberikan toleransi yang tinggi baik kepada laki-laki
maupun perempuan. Seorang laki-laki dengan segala kelebihannya dapat saja
beristri lebih dari empat, tetapi Islam memberikan jalan tengah dengan beristri
maksimal empat orang. Bagi perempuan pun, persyaratan tersebut dapat
membuat lebih terjaganya kehidupan dan kebahagiaan, dibandingkan dengan
tanpa pembatasan jumlah.
Islam bukanlah agama pertama yang melegitimasi poligini. Karena
sejarah membuktikan bahwa poligini sudah umum dilakukan sebelum
datangnya Islam oleh berbagai suku bangsa. Diantaranya bangsa Ebre dan
arab pada zaman Jahiliyah, juga terdapat pada suku bangsa „salafiyun‟ yaitu
Negara-negara yang sekarang disebut Rusia, letonia, Cekoslawakia dan
Yugoslavia juga terdapat disebagian Negara jerman dan inggris. Tidak hanya
hal itu, rupanya Agama Yahudi memperbolehkan poligami tanpa batas. Nabi-
nabi yang namanya disebut dalam Taurat, semuanya berpoligami tanpa
pengecualian. Ada keterangan dalam Taurat, bahwa Nabi Sulaiman AS
23
mempunyai tujuh ratus orang isteri yang merdeka dan tiga ratus isteri yang
berasal dari budak.9
Meskipun dalam Taurat tidak melarang poligami dan tidak
menghalangi seorang laki-laki untuk menikahi dengan berapa saja banyaknya
isteri, namun pendeta-pendeta Yahudi membenci poligami itu. Lalu mereka
berusaha mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan
banyaknya isteri hanya empat saja, dan menetapkan harus ada faktor-faktor
pendorong yang sah menurut agama, untuk bolehnya laki-laki menikah
dengan isteri baru.10
Agama Kristen pun pada asalnya tidak melarang poligami. Karena
larangan itu tidak ditentukan dalam injil maupun dalam surat-surat para Rasul
(Sahabat-sahabat Yesus) yang dikenal dengan kitab Perjanjian Baru. Dalam
kitab itu tidak ada keterangan yang jelas mengenai larangan poligami. Dr.
Kahfi sebagaimana yang dikutip oleh Abbuttawab Haikal mengatakan bahwa
kebiasaan poligami itu sudah ada pada Bangsa Israil sebelum Nabi Isa diutus,
ia kemudian menetapkan kebiasaan poligami itu. Bahkan Nabi Musa
mewajibkan seseorang untuk mengawini janda saudara laki-laki sendiri yang
meninggal dan tidak memiliki anak, walaupun ia sendiri sudah berkeluarga.
Apa yang diperbolehkan dalam taurat, sejauh tidak ada nash yang pasti dalam
9 Musthafa as Siba‟I, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1997), cet. 1. h. 100. 10
Abdul Nasir Taufiq al-„Atthar, Poligami ditinjau dari Agama, Sosial dan Perundang-
undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), cet. 1. H. 80.
24
Injil yang melarangnya, maka diperbolehkan juga dalam agama Kristen,
termasuk di dalamnya poligami. Karena tidak ada nash (keterangan) yang
melarang poligami dalam injil. Sejarah membuktikan bahwa umat-umat
Kristen terdahulu dan para pemuka agama banyak melakukan poligami.11
George Zaidan, sebagaimana yang dikutip al-Siba‟I berkata bahwa tidak ada
keterangan yang jelas dalam agama Kristen yang melarang para pengikutnya
berpoligami dengan dua orang isteri ataupun lebih. Kalau sekiranya orang-
orang Kristen itu mau, tentu saja mereka boleh berbuat demikian. Sebaliknya
terjadi bagi bapak-bapak gereja itu yang mencukupkan seorang isteri saja, hal
itu demi untuk menjaga kerukunan rumah tangga mereka, seperti terdahulu
yang terjadi di kalangan Romawi. Kemudian mereka membawa idenya itu
dalam menafsirkan ayat-ayat tentang perkawinan dalam kitab suci mereka,
seperti yang sudah kita ketahui secara popular.12
Sekarang kita lihat gereja-gereja di Afrika mengakui bolehnya
poligami, karena para petugas penyiar agama Kristen itu menemukan diri
mereka berhadapan dengan susunan masyarakat yang biasa berpoligami, yaitu
di kalangan bangsa-bangsa Afrika yang beragama Animisme. Bapak-bapak
gereja berpendapat bahwa kalau mereka terus-menerus melarang poligami,
maka akhirnya masalah poligami itu akan menjadi penghalang bagi bangsa-
11
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW. Poligami dalam Islam VS
Monogami Barat, (Jakarta ; Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. 1. H. 49. 12
Mustafa al-Siba‟I, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1997), h. 104.
25
bangsa Afrika untuk memasuki agama Kristen. Mereka lalu
mempropagandakan bolehnya poligami tanpa batas. Dan dalam masyarakat
tradisional Afrika, banyaknya jumlah istri merupakan kebanggaan tersendiri,
lambang kesuksesan dan status social tinggi serta menandakan kesejahteraan.
Poligami merupakan adat warisan leluhur orang-orang Afrika, buka saja
dianggap sebagai kewajaran bahkan hampir sebagai kelembagaan.13
Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah
mempraktikan poligami bahkan tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan
bahwa rata-rata pemimpin suku memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit
kepala suku yang mempunyai sampai ratusan istri.14
Nabi Muhammad SAW
melakukan poligami diantara masyarakatnya karena hal itu telah dipraktikan
juga oleh orang-orang Yunani dan bangsa-bangsa lain. Bahkan seorang istri
bukan hanya dapat dipertukarkan, tetapi juga bisa diperjualbelikan secara
lazim antara mereka.15
Dalam konteks perkawinan, kedatangan islam jelas
memberikan suatu arah baru untuk memperoleh kebahagiaan dan rahmat bagi
kedua belah pihak. Inheren di dalamnya adalah usaha-usaha pembelan dan
sekaligus pemberdayaan atas perempuan. Ini dilakukan Islam, karena
perempuan sebelumnya pada masyarakat Arab pra Islam sama sekali tidak
13
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), cet. 1. H. 120. 14
dihargai dan bahkan dilecehkan. Lalu perempuan diangkat martabatnya oleh
Islam menjadi subjek yang bermanfaat.16
Dalam analisa Rahmat Hakim, kedatangan Islam sekedar membatasi
jumlah wanita yang dapat dimiliki pria dalam berpoligami agar tidak
terjadinya kesewenang-wenangan laki-laki terhadap wanita. Jadi, kalau diteliti
lebih jauh, lahirnya syariat ini adalah dalam upaya mengangkat derajat wanita,
seperti apa yang diharapkan dalam hakikat perkawinan itu sendiri.17
B. Poligami Dalam Pandangan Fuqoha
1. Hukum Melakukan Poligami
Para ulama sepakat menyatakan bahwa poligami adalah
diperbolehkan, namun tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban
bagi kaum muslimin.
Adapun dasar hukumnya dalam Surah An-Nisa ayat 3 dan 4 sebagai
berikut :
16
Islah Gusmian, Mengapa Muhammad berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2007), h.
38. 17
Ibid.
27
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.18
Perbedaan pendapat dikalangan mereka terjadi berkenaan dengan
status hokum kebolehan tersebut, azimah dan rukhsah dan Tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa yang dimaksud dengan adil
di sini adalah adil secara lahir, yakni keadilan yang dapat dilakukan
manusia seperti adil dalam masalah tempat tinggal, pakaian, dan
sebagainya. Bukan adil secara bathin seperti kecenderungan hati kepada
salah seorang istri, karena adil secara batin tidak dapat disanggupi oleh
manusia sebagaimana diketahui dari ayat tersebut.19
2. Jumlah istri dalam poligami
Jumhur ulama berpendapat bahwa kebolehan berpoligami terbatas
sampai empat wanita, pendapat jumhur ulama mengacu kepada Surah An-
Nissa ayat 3 :
18
Al-quran dan terjemahnya, semarang: CV. Toha Putra, 1989, 644 19
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2003), cet 1.
28
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.20
Dan juga hadist tentang Qais Ibnu Al-Harits yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dan Ibnu Majah:
ي ثما ن وسىة. فا تيت الىبي عه قيش به الحارث قال: اسلمت وعىد
صل اهلل علي وسلم: فقلت ذ لك , فقال: اختر مىهه اربعا. رواي ابه ماج
“Dari Qais Ibnu Al-Harits ia berkata: ketika masuk islam saya memiliki
delapan istri, saya menemui Rasulullah dan menceritakan keadaan saya,
lalu beliau bersabda: “pilih empat diantara mereka”. (H.R. Ibnu Majah).21
Jadi penulis menyimpulkan jumlah batasan berpoligami dalam islam
hanya diperbolehkan hingga 4 (empat orang istri saja) dan selebihnya
tidak boleh atau bisa dikatakan haram
.
20
Badran Abu al-‘Ainain Badran, az-Zawaj wa at-Talaq fi al-Islam, hal, 88-92; asy-Syaukani, Nail al-Autar, juz VI, hal. 289-290 dan 320; Rasyid Rida, Tafsir Al-Manar, juz IV. Hal. 374-375; Fakhr ar-Razi, Tafsir Fakhir ar-Razi, jilid III, hal. 137-138; Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz II, hal. 40.
21 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
tentang pengecualian dari pasal 3 ayat 1 yakni „Pengadilan dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan‟.25
Alasan-alasan tersebut tercantum di dalam pasal 4 ayat 2 dan pasal 5
yaitu :
Pasal 4 ayat 2
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anak mereka.26
Dalam Pasal 57 KHI pun mengaturnya:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan berkewajiban sebagi isteri
b. Isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.27
Adapun poligami khusus untuk Pegawai Negeri Sipil yang di atur
dalam PP. No. 10 Tahun 1983 yaitu :
25
UU. No 1 Tahun 1974 : Tentang Perkawinan. 26
UU. No. 1 Tahun 1974 : Tentang Perkawinan 27
Inpres No. 1 Tahun 1991 : Kompilasi Hukum Islam
33
Pasal 4
a. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang,
wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat
b. Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil
c. Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
d. Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3)
diajukan secara tertulis.
e. Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari
permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk
menjadi isteri kedua/ketiga/keempat.28
2. Jumlah Isteri Dalam Poligami
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak mengatur
secara jelas berapa jumlah isteri yang diperbolehkan oleh suami dalam
melakukan poligami, tetapi secara eksplisit kita bisa menjumpai ketentuan
tersebut.
Di dalam pasal 2 ayat 1 UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
disebutkan: „Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu‟.29
Dalam hal ini umat islam di Indonesia perkawinannya berpedoman
kepada Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam yang diatur dalam Pasal 55 yaitu : „Beristeri lebih dari satu orang
pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang‟.
28
PP. No. 45 Tahun 1983 : Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil 29
UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
34
Jadi penulis menyimpulkan bahwa jumlah istri dalam berpoligami
dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia khususnya untuk umat
islam berjumlah hingga 4 (empat) orang istri.
3. Tata Cara dan Prosedur Poligami
Mengenai tata cara dan prosedur pelaksanaan poligami diatur didalam
Pasal 40, 41, 43 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu :
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka
ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :
a. Ada atau tidaknya alsan yang memungkinkan seorang suami kawin
lagi, ialah :
- Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
- Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan
maupun tertulis, apabila persetujuan merupakan persetujuan lisan,
persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan;
c. Ada atau tida adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang
ditandtangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. Surat keteragan lain yang dapat diterima oleh pengadilan;
d. Ada atau tidak adanya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataaan atau
janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 43
Apabila pengadilan berpendapat, bahwa cukup alasan bagi pemohon
untuk beristeri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan
putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan tersebut diatas, oleh
Menteri Agama RI mengeluarkan ketentuan-ketentuan pelaksanaanya
35
yang dituangkan dalam peraturan Menteri Agama (Permenag) No. 3
Tahun 1975. Ketentuan ini sebagai pedoman pelaksanaan teknis yang
harus dipatuhi oleh Hakim Pengadilan Agama dalam memberikan
putusan/penetapan Izin Berpoligami, maupun oleh Pejabat Pencatat Nikah
dalam penyelenggarakan Pencatatan Perkawinan Poligami.30
Ketentuan-ketentuan dari Permenag No. 3 Tahun 1975 antara lain :
Pasal 8 ayat 2
Bagi suami yang hendak beristeri lebih dari seorang, harus membawa
surat izin dari Pengadilan Agama.
Pasal 1 ayat 2h
Izin beristeri lebih dari seorang dari pengadilan Agama ialah
penetapan yang berupa izin beristeri lebih dari seorang.
Pasal 14 ayat 1
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang
maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis disertai alasan-
alasannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya
dengan membawa kutipan akte nikah yang terdahulu dan surat-surat lain
yang diperlukan; (Permenag No. 3/1975 pasal14 (1) ).
Yang dimaksud oleh permenag pasal 1 ayat 1 di atas adalah atau
syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal 4 ayat 2 dan pasal 5 UUP,
sebagaimana pula dalam PP pasal 41. Selanjutnya Permenag No. 3 Tahun
1975 tadi, menentukan:
Pasal 15 ayat 4
Apabila Pengadilan Agama berpendapat, bahwa cukup alasan bagi
pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama
memberikan penetapan yang berupa izin untuk beristeri lebih dari
seorang kepada pemohon yang bersangkutan.31
Dapat ditambahkan, bahwa dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 5 ayat 2
menentukan: Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-
30
Anwar Sitompul, Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Peradilan Agama (Bandung:
CV. ARMICO, 1984). Cet. 1. Hal. 67 31
Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975
36
kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Jadi penulis menyimpulkan bahwa suami yang ingin melakukan
poligami harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Pengadilan Agama,
dan surat izin dari Pengadilan Agama tersebut harus dibawa ketika
mendaftarkan perkawinan poligaminya di KUA, surat tersebut akan
dijadikan bukti untuk dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Pegawai Pencatat Nikah tidak boleh atau dilarang mencatatkan
perkawinan poligami seorang suami, jika sang suami tersebut tidak
mempunyai atau mendapatkan surat izin tertulis dari Pengadilan Agama,
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 44 PP. No. 9. Tahun 1975.32
32
Tim Citra Umbara, UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Bandung : Citra
Umbara), cet. IV, hal. 59
37
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Gambaran Umum tentang Majelis Ulama Indonesia Kota Administasi
Jakarta Utara.
1. Sejarah Terbentuknya Majelis Ulama Indonesia
Peristiwa terbentuknya Majelis Ulama Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari kondisi pasang-surutnya peran ulama di tengah
masyarakat, baik sebelum maupun sesudah kolonialisme. Peran
tersebut, tidak terbatas pada persoalan-persoalan ibadah dan agama
saja, melainkan juga menyangkut persoalan-persoalan politik.
Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa seperti Demak, Cirebon
dan Banten pada abad keenam belas tidak dapat dilepaskan sebagai
hasil dari perjuangan dan peran serta para ulama.1 Ini tentunya
merupakan bukti kongkrit di mana peran ulama mencakup dari
keseluruhan aspek social dan politik di masyarakat.
Pada tanggal 1 juli 1975, Departemen Agama mengumumkan
penunjukan sebuah panitia pembentukan majelis ulama tingkat
nasional. Panitia waktu itu terdiri dari : H. Sudirman, pensiunan
Jenderal Angkatan Darat, selaku ketua, serta Tiga orang ulama
terkenal selaku penasehat : Dr. Hamka, K.H Syukri Ghozali dan K.H
1 M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah studi tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta : INIS, 1993), h. 53.
38
Abdullah Syafi’i. tiga minggu kemudian muktamar nasional
dilangsungkan sejak tanggal 21 hingga 27 juli 1975, yang dihadiri oleh
para wakil majelis-majelis ulama daerah, para wali pengurus pusat
sepuluh organisasi islam, sejumlah ulama bebas dan empat
cendikiawan Islam dari ABRI. Pada akhir muktmar dibuat suatu
deklarasi yang ditandatangani oleh 53 orang peserta, yang
mengumumkan terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) degan
ketua terpilih, Dr. Hamka.2
Lahirya Majelis Ulama Indonesia memang melalui perjalanan
yang cukup panjang dan ini tidak dapat dilepaskan dari kekecewaan
yang menyelimuti umat islam terhadap pemerintah yang dianggap
merugikan umat di massa sebelumnya kekecewaan yang berujung
pada kecurigaan ini sangat beralasan. Atho Mudhzar mencatat tiga hal
mengapa umat islam kurang respon atas usul pemerintah tentang
pembentukan majelis ulama ini. Pertama adalah pemilihan umum
tahun 1971, yang dimenangkan oleh Golkar (sebuah organisasi
konfederasi golongan-golongan karya), telah mengecewakan umat
islam. Apalagi partai islam terbesar, masyumi tidak diperkenankan
oleh pemerintah untuk dihidupkan kembali. Pemilih yang curang
merupakan pukulan yang telak bagi partai-partai islam waktu itu.
2 M. Atho Mudzhar, fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, (Jakarta : INIS, 1993), h. 56
39
Mereka hanya memperoleh 26% suara dari 360% kursi yang
diperebutkan. Sedang Golkar memenangkan 65% suara. Angka yang
diperoleh partai Islam saat itu jauh sekali bila dibandingkan dengan
pemilu pertama 1955, yakni memperoleh 45% dari jumlah kursi yang
diperebutkan.3
Kedua, adanya upaya-upaya depolitisasi umat islam melalui
fraksi sejumlah partai-partai politik yang berhaluan sama pada tahun
1973. Melalui undang-undang ditetapkan bahwa hanya dua partai
politik dan satu golongan karyalah yang akan menjadi kontestan
pemilu pada masa-masa yang akan datang. Bagi umat islam sendiri
ketetapan ini tentunya amat mengecewakan. Sebab bagaimanapun bagi
umat, partai islam itu identik dengan Islam itu sendiri.4
Terakhir adalah rancangan undang-undang perkawinan yang
bersifat sekular, yang diajukan pemerintah kepada parlemen tanggal
31 juli 1973. Ada beberapa pasal oleh umat Islam dianggap tidak
sesuai dengan kaidah-kaidah agama. Misalnya, tentang sahnya suatu
pernikahan hanya jika telah terdaftar oleh badan-badan pemerintah
yang bersangkutan tanpa menyebutkan segi keagamaan dari keabsahan
itu. Rancangan undang-undang itu menimbulkan kemarahan yang luar
3 Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, (Jakarta : INIS, 1993), h. 58-59 4 Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, (Jakarta : INIS, 1993). H. 59-60
40
biasa dari umat Islam. Demonstrasi-demonstrasi pun digelar sembari
meneriakan yel-yel “Allahu Akbar”.5
Demikianlah peristiwa-peristiwa yang terjadi menjelang,
dibentuknya majelis ulama oleh pemerintah. Dengan mengikuti
peristiwa-peristiwa yang mengiringi kemunculan majelis ulama itu
dapat dimaklumi jika kemudian penolakan dan kecurigaan menjadi
sebab kenapa umat sulit menerima kehadiran majelis tersebut.
2. Struktur Organisasi
SURAT KEPUTUSAN DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA
Nomor : 01.B-SK/MUI-DKI/I/2015
Tentang
PENGUKUHAN DEWAN PENASEHAT MAJELIS ULAMA
INDONESIA KOTA ADMINISTRASI JAKARTA UTARA MASA
KHIDMAT : 2015-2020
Ketua : KH. Zulfa Mustofa MY
Wakil Ketua : 1. Walikota Administrasi Jakarta Utara
2. Asisten Kesmas Setko. Adm. Jakarta Utara
3. Ka.Kantor Kemenag Kota Adm. Jakarta Utara
4. H. Bambang Sugiyono, SE, M.Si
5. DR.KH. Nur Alam Bakhtiar
6. Drs. KH. Oman Syahroni
7. Drs. KH. Musytari A. Gani
8. H. Abdul Halim, SE
Sekretaris Ex. Officio. Sekretaris Umum MUI Kota Administrasi
Jakarta Utara
5 Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, (Jakarta : INIS, 1993). H. 60-61
41
Anggota-anggota : 1. Habib Abdullah Al-Atthos
2. KH. Achmad Munir
3. KH. Ihsanudin
4. KH. Sfafi’I Al-Fudhola
5. KH. Mulki bin H. Dali
6. DR. H. Nasir Hartono, M.Pd
7. KH. A. Madjazi
8. KH. M. Faizin
9. Habib Yusuf As-Syatiry
10. Drs. H. Mansyur Syape’I, HS
11. H. Ramly Hi Muhammad, M. Si
12. Capt. H. Subandi
13. H. Tubagus Arif, S. Ag
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 06 Januari 2015 M
15 Rabiul Awwal 1436 H
SURAT KEPUTUSAN DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA
Nomor : 01.A-SK/MUI-DKI/I/2015
Tentang
PENGUKUHAN DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA
INDONESIA KOTA ADMINISTRASI JAKARTA UTARA MASA
KHIDMAT : 2015-2020
Ketua Umum : KH. A. Ibnu Abidin, Lc
Sekertaris Umum : Drs. KH. Wirta Amin Assalaf, M.Si
Bendahara Umum : Hj. Yusriyah Dzinnun
Komisi Fatwa
Ketua : Drs. KH. Sodikin Maksudi
Sekretaris : Drs. KH Misbahul Munir
Komisi Pendidikan
Ketua : Drs. KH.Masyuf Sudarto
Sekretaris : A. Chalabi, MA
Komisi Ukhuwah
Ketua : Drs. Abi Ichwanuddin, M.Si
Sekretaris : Drs. KH. Ade Purnama Hadi, Lc
Komisi Dakwah
42
Ketua : Drs. KH. Wahid Sya’roni
Sekretaris : DR. KH. Masruhin
Komisi Sosial Politik
Ketua : KH. Angku Safdinal
Sekretaris : Drs. H. Asep Lukman Hamzah, M,Ag
Komisi Informasi dan Komunikasi
Ketua : Drs. H. M. Thoif A. Manan, MM
Sekretaris : Drs. A. Toyib
Komisi Litbang
Ketua : Drs. H. Makmun Al-Ayyubi
Sekretaris : Drs. Daloh Abdaloh, M.Kom.I
Komisi Perempuan dan PA
Ketua : Hj. Ummu Kalsum
Sekretaris : Hj. Khulwatin Syafi’ah, S,Th.I
Di tetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 06 januari 2015 M
15 Robiul Awwal 1436 H
3. Peran dan Fungsi
a. Komisi Fatwa : Memberikan solusi tentang problem-problem sosial
kemasyarakatan mengenai penetapan hukum agama.
b. Komisi Pendidikan : Mengelola PDU (pendidikan dasar ulama) yang
diselengarakan oleh MUI untuk penerimaan anggota MUI yang baru
c. Komisi Ukhuwah : Memberikan pengarahan guna memperkecil
kesenjangan antar umat beragama agar tidak ada perselisihan yang
berada dimasyarakat.
d. Komisi Dakwah : Memberikan atau melaksanakan program-program
dakwah yang diselenggarakan dimasjid-masjid pada umumnya.
e. Komisi Sospolek : Memberikan pengarahan kepada masyarakat
mengenai masalah-masalah sosial maupun politik.
43
f. Komisi Infokom : Memberikan informasi dan komunikasi terkait
kepengurusan pada MUI Kota Administrasi Jakarta Utara.
g. Komisi Litbang : Menyelenggarakan penelitian-penelitian yang
dilakukan oleh pengurus MUI guna menghasilkan penemuan-
penemuan yang digunakan sebagai bahan pengembangan.
B. Poligami Menurut Pandangan Pengurus MUI Kota Administrasi Jakarta
Utara Periode 2015-2020
Poligami adalah salah satu hal dalam perkawinan yang kerap menjadi
persoalan yang sudah lama terjadi. Poligami pun biasanya dipandang oleh
masyarakat dengan sangat kontroversi, ada yang memandangnya sebagai
suatu hal yang biasa dan ada juga yang memandangnya sebagai suatu
masalah. Bagi mereka yang Pro terhadap poligami biasanya menanggapi
poligami merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW yang memiliki esensi
ibadah, lain halnya bagi mereka yang kontra biasanya beranggapan poligami
merupakan hal yang dianggap diskriminatif dan melecehkan perempuan.
Berikut adalah Pandangan Pengurus MUI Jakarta Utara terhadap Poligami:
1. Pengetahuan Hukum Pengurus MUI Jakarta Utara tentang Syarat
dan Prosedur Poligami di Indonesia
Menurut pandangan Bapak Drs. KH. Sodikin Maksudi (ketua komisi
fatwa) MUI Jakut, poligami bukan sesuatu yang wajib melainkan hanya
kebolehan saja(halal) tetapi dengan atau melalui proses ridha atau izin dari
44
sang istri tidak serta merta sang suami begitu saja meninggalkan sang istri
pertama sebagaimana dalam surat An-Nissa ayat 3 :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Adapun proses melalui peraturan perundang-undangan beliau
mengetahui tentang syarat dan prosedur poligami yang di atur di dalam
UU. No. 1 Tahun 1974 Pasal 4 ayat 2 dan 5 ayat 1 yaitu sebagai berikut :
pasal 4 ayat 2; pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila, a. isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan
atau penyakit yng tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.6
Begitu pula sama hal nya dengan pendapat Bapak KH. Drs. Misbahul
Munir (sekretaris bidang fatwa) beliau pun mengetahui syarat dan
prosedur poligami yang diatur didalam peratuan perundang-undangan di
6 Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Sodikin Marsudi (ketua komisi fatwa), jl. Kp Bahari 2
tg. Priuk Jakarta utara 6 february 2015.
45
Indonesia yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 dan Komilasi Hukum Islam bahwa
syarat dan prosedur poligami harus mendapatkan izin terlebih dahulu
melalui pengadilan agama.7
Kemudian menurut Pandangan Drs. KH. Masryuf Sudarto (ketua
komisi pendidikan) sama pula halnya dengan kedua pendapat diatas
bahwa syarat dan prosedur polgami di Indonesia yang diatur didalam UU.
No. 1 Tahun 1974 harus melalui proses izin dari pengadilan agama dan
memenuhi persyaratan-persyaratan yang berlaku.8
2. Pemahaman Hukum Pengurus MUI Jakut tentang syarat dan
prosedur poligami di Indonesia
Menurut Bapak Drs. KH. Masyruf Sudarto (ketua komisi pendidikan)
mengenai pemahaman syarat dan prosedur poligami adalah beliau lebih
mengedepankan pendapat syarat adil dalam berpoligami adalah syarat
hukum jika suami berlaku adil dalam berpoligami, maka hukum
poligaminya itu sah dan jika ternyata sang suami tidak dapat berlaku adil
maka hukum perkawinannya adalah fasid.9
Mengenai persyaratan dan prosedur poligami dalam Perundang-
undangan di Indonesia yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 beliau sangat setuju
sekali dengan diberlakukan peraturan seperti itu (kebetulan beliau adalah