TUGAS PEMBUATAN MAKALAH STUDI AL-QUR’AN BAB I – BAB IX Penyusun : Nur Alfiyatur Rochmah (B062133037) Kelas : Ilmu Komunikasi 1-F4 Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Aswadi, M. Ag. PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2013
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TUGAS PEMBUATAN MAKALAH STUDI AL-QUR’AN
BAB I – BAB IX
Penyusun :
Nur Alfiyatur Rochmah (B062133037)
Kelas :
Ilmu Komunikasi 1-F4
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Aswadi, M. Ag.
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2013
Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
berupa wahyu, yang mana dikumpulkan pada satu mushaf mulai dari surat Al-Fatihah
sampai surat An-Naas dengan perantara malaikat Jibril yang disampaikan kepada kita secara
mutawatir, yang mana jika kita membaca dan mempelajarinya merupakan suatu ibadah yang
tak terhitung jumlah pahalanya.
Banyak sekali sumber-sumber ilmu yang terdapat didalam Al-Qur’an, kita sendiri
sebagai umat islam yang beriman perlu mengetahui pengertian dari Al-Qur’an itu sendiri.
Selain itu, kita wajib memahami apa saja yang terkandung didalam Al-Qur’an, sejarah
turunnya, nama-namanya, ilmu-ilmunya bahkan kita wajib untuk mempelajarinya.
Mempelajari isi Al-Qur’an dapat menambah pengetahuan, wawasan, memeperluas
pandangan mengenai agama islam. Lebih pentingnya lagi, kita lebihyakin akan keunikan
isinya yang menunjukkan betapa Maha Besarnya Allah sebagai Maha Cipta semua yang ada
di bumi ini.
Al-Qur’an diturunkan di bumi ini dalam bentuk bahasa Arab. Sebagaimana yang kita
ketahui, bahasa Arab adalah suatu bahasa yang tidak mudah untuk dipelajari karena
beragam dan banyaknya variasi bentuknya. Banyak orang yang bisa membaca Al-Qur’an,
akan tetapi banyak pula yang tidak bisa memahami dan menafsirkan kandungan dari Al-
Qur’an itu sendiri. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-
Qur’an. Maka dari itu, untuk dapat mengetahui isi dari kandungan Al-Qur’an, diperlukanlah
ilmu yang mempelajari bagaimana tata cara menafsiri Al-Qur’an yaitu Ulumul Qur’an.
Dengan adanya pembahasan ini, kita sebagai orang islam bisa dengan mudah mengenal
lebih jauh tentang isi sekaligus arti dari ayat suci tersebut.
Kita sebagai umat islam wajib mengetahui sejarah turunnya Al-Qur’an itu sendiri.
Selain itu, kita harus memahami apa yang terkandung didalam Al-Qur’an.
Didalam makalah ini, kita akan membahas semua persoalan-persoalan yang
menyangkut dengan sejarah turunnya Al-Qur’an serta isi kandungan yang ada didalam Al-
Qur’an. Dengan tujuan, kita dapat mengetahui sekaligus memahami kandungan yang ada
didalam Al-Qur’an. Objek, metode dan tujuan dari Ulumul Qur’an, kita akan memepelajari
hal-hal yang berhubungan dengan Ulumul Qur’an.
Pada dasarnya Al-Qur’an merupakan pedoman bagi umat Islam sampai akhir zaman.
Oleh karena itu, marilah kita mengenal lebih jauh apa yang menjadi objek Al-Qur’an
sehingga banyak ilmu tentang Al-Qur’an yang lebih kita kenal dengan Ulumul Qur’an.
Dengan adanya pembahasan ini, kita sebagai generasi-generasi islam supaya lebih
mengenal semua yang ada didalam Al-Qur’an.
Surabaya, 24 Desember 2013
(Nur Alfiyatur Rochmah)
I. Sejarah Al-Qur’an dan Ilmu-ilmu Al-Qur’an
A. Pengertian Al-Qur’an dan Sejarah Al-Qur’an
Kata “Al-Qur’an“ menurut bahasa mempunyai arti bacaan atau yang dibaca. Al-
Qur’an merupakan “mashdar” yang diartikan dengan arti isim maf’ul, yaitu “maqru yang
berartikan yang dibaca”
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para
Nabi-Nya, Muhammad SAW, diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
An-Naas.
Al-Qur’an adalah firman atau wahyu yang berasal dari Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat jibril sebagai pedoman serta petunjuk
seluruh umat manusia semua masa, bangsa dan lokasi. Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT
yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil yang diturunkan melalui para rasul.
Al-Qur’an menurut istilah adalah firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan
perantaraan malaikat jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafal
arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi Rasulullah bahwasannya dia adalah utusan
Allah SWT, sebagai undang-undang sekaligus petunjuk bagi manusia, dan sebagai sarana
pendekatan (seorang hamba kepada Tuhannya) sekaligus sebagai ibadah bila dibaca. Al-
Qur’an disusun diantara dua lembar, diawali surat Al-Fatihah dan diakhiri surat An-Naas,
yang sampai kepada kita secara teratur (tidak terputus) secara tulisan maupun lisan, dari
generasi ke generasi, terpelihara dari adanya perubahan dan penggantian yang dibenarkan
dengan firman Allah SWT :
(QS.Al-Hijr ayat 9)1
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-
benar memeliharanya”
Menurut istilah ahli agama (‘uruf Syara’), Al-Qur’an merupakan “Nama bagi
kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang ditulis dalam mashhaf”
(1)
Al-Qur’an menurut pendapat ahli kalam, ialah : yang ditunjuk oleh yang dibaca itu,
yakni “ kalam azali yang berdiri pada dzat Allah yang senantiasa, bergerak (tak pernah
diam) dan tak pernah ditimpa sesuatu bencana”.2
1Prof. Dr. Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta; Pustaka Amani, 2003), hlm 17.
Dari definisi di atas terdapat lima bagian penting:
1. Al-Qur’an adalah firman Allah SWT (QS 53:4), wahyu yang datang dari Allah Yang
Maha Mulia dan Maha Agung. Maka firman-Nya (Al-Qur’an) pun menjadi mulia dan
agung juga, yang harus diperlakukan dengan layak, pantas, dimuliakan dan dihormati.
2. Al-Qur’an adalah mu’jizat. Manusia tak akan sanggup membuat yang senilai dengan
Al-Qur’an, baik satu mushaf maupun hanya satu ayat.
3. Al-Qur’an itu diturunkan ke dalam hati Nabi SAW melalui malaikat Jibril AS (QS
26:192). Hikmahnya kepada kita adalah hendaknya Al-Qur’an masuk ke dalam hati
kita. Perubahan perilaku manusia sangat ditentukan oleh hatinya. Jika hati terisi
dengan Al-Qur’an, maka Al-Qur’an akan mendorong kita untuk menerapkannya dan
memasyarakatkannya. Hal tersebut terjadi pada diri Rasululullah SAW, ketika Al-
Qur’an diturunkan kepada beliau. Ketika A’isyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW,
beliau menjawab: Kaana khuluquhul qur’an; akhlak Nabi adalah Al-Qur’an.
4. Al-Qur’an disampaikan secara mutawatir. Al-Qur’an dihafalkan dan ditulis oleh
banyak sahabat. Secara turun temurun Al-Qur’an itu diajarkan kepada generasi
berikutnya, dari orang banyak ke orang banyak. Dengan cara seperti itu, keaslian Al-
Qur’an terpelihara, sebagai wujud jaminan Allah terhadap keabadian Al-Qur’an. (QS
15:9).
5. Membaca Al-Qur’an bernilai ibadah, berpahala besar di sisi Allah SWT. Nabi
bersabda: “Aku tidak mengatakan alif laam miim satu huruf, tetapi Alif satu huruf,
laam satu huruf, miim satu huruf dan satu kebaikan nilainya 10 kali lipat” (al-Hadist).
B. Sejarah Pembukuan Dan Pambakuan Al-Qur’an
Jika ditelusuri sejarah Al-Qur’an, mulai diterima oleh Nabi Muhammad SAW
sampai kepada pertumbuhan dan perkembangan berikutnya, maka terdapat tiga tahap
pembukuan Al-Qur’an, yaitu pada masa Nabi, Abu Bakar dan Utsman bin Affan. Ketiga
tahap pembukuan ini mempunyai ciri, karakter, tujuan serta latar belakang yang berbeda.
Pada Masa Rasulullah SAW
2M. hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Jakarta ; NV. BulanBintang,
1954) Hlm 1-2
.Pada masa Rasulullah, Al-Qur’an ‘setiap kali diturunkan’ ditulis dan dihafal oleh para
sahabat. Tidak ada ayat yang berlalu begitu saja, kecuali semuanya mereka hafal dan
mereka tulis. Penulisan Al-Qur’an pada masa ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang
tertentu yang ditunjuk Nabi sebagai sekretaris wahyu, di mana naskah yang ditulis itu
spesial untuk Nabi. Akan tetapi, masing-masing sahabat yang pandai menulis, juga
menulis Al-Qur’an untuk pribadinya, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud dan Ali bin
Abi Thalib.3
Pada masa ini untuk menulis teks Al-Qur’an sangat terbatas, sampai-sampai para
sahabat menulis Al-Qur’an di pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu dan
dikeping-keping tulang hewan, meskipun Al-Qur’an sudah tertulis pada masa Nabi, tapi
Al-Qur’an masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf. Karena pada saat itu
memang sengaja dibentuk hafalan yang tertanam didada para sahabat. Sedangkan untuk
penulisannya tidak dibukukan dalam satu mushaf, dikarenakan Rasulullah masih
menunggu wahyu yang akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an ada yang
di mansukh oleh ayat yang lain, apabila Al-Qur’an segera dibukukan pada masa rasulullah,
tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang turun lagi.
Berdasarkan keterangan diatas dapat diketahui bahwasannya kebiasaan Nabi
Muhammad memanggil juru tulis ayat-ayat yang baru turun, jadi ketika masa Rasulullah
seluruh Al-Qur’an sudah tersedia dalam bentuk tulisan.4
Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Setelah Rasulullah wafat pada tahun ke-11 H, para sahabat secara aklamasi meilih
Abu Bakar untuk memegang tampuk pemerintahan sekaligus menjadi khalifah. Pada awal
permerintahannya Abu bakar, banyak menghadapi persoalan diantaranya banyaknya orang
islam yang murtad, munculnya gerakan anti zakat dan orang-orang yang mengaku sebagai
Nabi yang dopelopori oleh Musailamah al-kaddab.
Akhirnya dengan jiwa kepemimpinannya Umar mengirim pasukan untuk
memeranginya. Tragedi ini dinamakan perang YAMAMAH (12 H), yang menewaskan
sekitar 70 para Qori’ dan Huffadz,(penghafal Al-Qur’an), dari sekian banyaknya para
huffadz yang gugur, Umar khawatir Al-Qur’an akan punah dan tidak akan terjaga,
kemudian umar mengusulkan pada Abu Bakar yang saat itu menjadi khalifah untuk
membukukan Al-Qur’an yang masih berserakan kedalam satu mushaf.
3 Dr. Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an edisi kedua, (Jakarta : Amzah, 2012) hlm 37 4 Ibid., hlm 37-38
Pada awalnya Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak dilakukan pada masa
Rasulullah, akhirnya dengan dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk
melestarikan Al-Qur’an, Umar berkata kepada Abu Bakar “ Demi Allah ini adalah baik “,
dengan terpaksa dan terbukanya hati Abu Bakar, akhirnya usulan Umar diterima. Dan
kemudian Abu bakar membentuk sebuah tim yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit yang
dibantu oleh beberapa orang sahabat yaitu, Umar bin Khattab, Ubay bin Al-Ka’ab, Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Salim bin Ma’qi.
Mulanya Zaid bin Tsabit juga menolak akan ajakan Umar bin Khattab dikarenakan
pembukuan Al-Qur’an tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah, sebagaimana Abu
Bakar menolaknya untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Alasan Umar agar
segera membukukan Al-Qur’an agar tetap terjaga eksistensinya ditengah-tengah umat.
Ada 2 rambu-rambu yang dipegang oleh Zaid bin Tsabit dalam menjalankan tugasnya
sebagai ketua : (1) ayat-ayat Al-Qur’an tersebut ditulis dihadapan Rasulullah, (2) ayat-ayat
yang ditulis tersebut harus di hafal harus juga dihafal oleh para sahabat pada masa itu. Dan
Umar tidak menerima ayat dari seseorang tanpa terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya
oleh dua orang saksi.
Maka sejak itu panitia yang dibentuk oleh Abu Bakar mulai menyusun dan
mengumpulkan dari pelepah kurma, tulang-tulang, batu-batu tipis, serta dari hafalan para
sahabat, hingga ia dapatkan akhir dari surah At-Taubah pada diri Khuzaimah al-Anshari
yang tidak ia temukan dari yang lainnya, yaitu QS. At-Taubah : 128.
Karena sangat telitinya, sampai pengambilan di akhir surah At-Taubah sempat terhenti
karena tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa surah At-
Taubah tersebut ditulis dihadapan Rasulullah, kecuali kesaksian Khuzaimah saja. Para
sahabat tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah
telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah. Setelah kesaksian Khuzaimah sebanding
dengan kesaksian dua orang muslim yang adil, barulah mereka menghimpun lembaran
yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Akhirnya, selesai sudah tugas pengumpulan Al-Qur’an yang sangat berat akan tetapi
sangat mulia nilainya. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan Al-Qur’an ini bukan untuk
ditulis dalam satu mushaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah
ditulis dihadapan Rasulullah SAW ke dalam satu tempat.
Lembaran-lembaran Al-Qur’an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya.
Kemudian berada di Umar bin Khattab selama hidupnya. Kemudian bersama Ummul
Mu’min Hafshah binti Umar sesuai wasiat Umar bin Khattab.
Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, wilayah Islam sudah semakin luas, banyak
orang non-Arab memeluk Islam. Sampai Tripoli Barat, Armenia dan Azarbajian. Pada
waktu itu islam tersebar dibeberapa wilayah Afrika, syiria dan Persia. Para penghafal Al-
Qur’an akhirnya tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru yaitu silang pendapat
dikalangan kaum muslim mengenai bacaan (qira’at) Al-Qur’an.
Akhirnya sahabat Nabi yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman terkejut melihat
terjadinya perbedaan dalam membaca Al-Qur’an. Hudzaifah melihat penduduk Syam
membaca Al-Qur’an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab, mereka membacanya dengan sesuatu
yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak
membaca Al-Qur’an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak
pernah didengar oleh penduduk Syam.
Implikasi dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling mengkafirkan diantara
sesame muslim. Perbedaan tersebut juga terjadi antar penduduk Kufah dan Basrah. Karena
penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Mas’ud sedangkan penduduk Basrah membaca
qiraat Abu Musa.
Sekitar tahun 25 H, datanglah Hudzaifah menghadap Amirul Mu’minin Utsman bin
Affan di Madinah. Kemudian Hudzaifah berkata “wahai Amirul Mu’minin, sadarkanlah
umat ini sebelum mereka berselisih tentang kitab (Al-Qur’an) sebagaimana perselisihan
Yahudi dan Nasrani”.
Adanya perbedaan dalam bacaan Al-Qur’an bukan barang baru, sebab Umar sudah
mengantisipasinya bahaya ini sejak zaman pemerintahannya. Dengan mengutus Ibnu
Mas’ud ke Irak, setelah Umar diberitahukan bahwa dia mengajarkan Al-Qur’an dalam
dialek Hudhail (sebagaimana Ibnu Mas’ud mempelajarinya), dan Umar tampak naik pitam.
Kemudia Umar berkata “sesungguhnya Al-Qur’an telah turun dalam dialek Quraisy, maka
ajarkanlah menggunakan dialek Quraisy, bukan menggunakan dialek Hudhail”
Selanjutnya Utsman mengutus seseorang datang kepada Hafshah agar mengirimkan
lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin kedalam
beberapa mushaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi. Hafshah pun mengirimkan
lembaran-lembarn Al-Qur’an kepada Utsman.
Khalifah Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin
al-‘Ash dan Abdurahman bin Harits bin Hisyan untuk menyakinnya kedalam beberapa
mushaf. Sedangkan untuk penulisannya diserahkan kepada Zaid bin Tsabit karena dia
merupakan penulis dizaman Rasulullah SAW, untuk yang membacakan agar mudah untu
diketiknyya kembali dipilih Said bin al-‘Ash, karena dia paling pintar bahasa arabnya.
Ada dua hal yang membedakan mushaf yang ditulis pada masa Utsman ini dengan
mushaf-mushaf yang ada sebelumnya, yaitu susunan surah dan qira’at.5 Saat proses
penyalinan mushaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami kesulitan, yakni adanya
perbedaan pendapat tentang penulisan kata “at-Taabuut”. Seperti diketahui, yang
membacakannya adalah Said bin al-‘Ash dan yang menulisnya adalah Zaid bin Tsabit.
Semua dilakukan dihadapan para sahabat. Ketika Said bin al-‘Ash membacakan kata at-
Taabuut maka Zaid bin Tsabit menulisnya Sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-
Taabuuh, karena memang begitulah menurut bahasa mereka dan begitulah mereka
menulisnya. Tetapi anggota tim lain memeberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata
itu tertulis didalam lembaran-lembaran Al-Qur’an dengan Ta’ Maftuhah, dan mereka
memperlihatkannya ke Zaid bin Tsabit. Lalu Zaid memandang perlu menyampaikan hal itu
kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin teguh. Utsman lalu
memerintahkan mereka agar kata itu ditulis dengan kata seperti dalam lembaran-lembaran
Al-Qur’an yaitu Ta’Maftuhah. Sebab hal itu merupakan bahasa orang Quraisy, lagipula
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.
Demikianlah akhirnya, mereka tidak mempersoalkan mengenai perbedaan pendapat
antara satu dengan yang lainnya, karena mereka hanya menyalin tulisan yang sama dengan
yang ada pada lembaran-lembaran Al-Qur’an dan bukan berdasarkan ijtihad mereka.
Hasil kerja tersebut berjudul empat mushaf Al-Qur’an standar. Tiga diantaranya
dikirim ke Syam, Kufah dan Basrah sedangkan satu mushaf ditinggal di Madinah untuk
Utsman sendiri yang dikenal sebagai al Mushaf al Imam. Ada juga riwayat yang
mengatakan bahwa jumlah pengadaan mushaf sebanyak lima buah, ada juga riwayat yang
mengatakan sembilan buah. Naskah Al-Qur’an yang berbeda dengan naskah Mushaf
Utsmani ini dimusnahkan guna menghindari perpecahan.6
C. Jumlah Surat Dan Ayat-Ayat Al-Qur’an
Mengenai Jumlah Ayat Al-Qur’an memang terjadi perbedaan pendapat ulama,
namun untuk jumlah ayat Al-Qur’an dengan mushaf ustmani yang ada pada umat muslim
saat ini, berikut adalah jumlahnya berdasarkan hitungan saya dengan metode
menjumlahkan jumlah ayat dalam setiap surat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an terdiri dari 114
Surat dan 6.236 Ayat.
5 Adnan Muhammad Zarzur, ‘Ulum Al-Qur’an, hlm 90 6 Dr. kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an edisi kedua, (Jakarta : Amzah, 2012) hlm 39
D. Nama-Nama Al-Qur’an Dan Surat Al-Fatihah
Sesuai dengan keanekaragaman Al-Qur’an yang menyentuh segala macam sisi-sisi
kehidupan manusia. Berikut adalah nama –nama lain Al Qur’an
1) Al-Furqan.
Al-Qur’an juga disebut Al-Furqan, yaitu pembeda antara yang hak dan yang batil.
“Dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan
Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(QS.
Al-Anfal 41)
2) Al-Burhan.
Artinya ialah bukti yang menunjukkan kebenaran.
”Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu.
(Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang
terang benderang (Al Quran).” (QS. An-Nisaa 174)
3) Al-Kitab
Artinya tulisan atau buku.
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang
(ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu.
Dengan kata lain, takwil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan
makna yang bukan merupakan makna lahirnya.
Kata sebagian ulama : “Ta‘wil ialah mengembalikan sesuatu kepada ghayahnya, yakni
menerangkan apa yang dimaksud daripadanya.” Sebahagian yang lain berkata : “Ta‘wil
ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafadh.”16
Perbedaan antara keduanya dapat dipaparkan di bawah ini.
1. TAFSIR
Pemakaiannya banyak dalam lafazh- lafazh dan mufradat
Jelas diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih
Banyak berhubungan dengan riwayat
Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas)
Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki.
2. TAKWIL
Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
Kebanyakan diistinbath oleh para ulama
Banyak berhubungan dengan dirayat
Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas)
Menerangkan hakikat yang dikehendaki17
Terjemah ialah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang terkandung dalam
suatu bahasa dengan kalam yang lain dan dengan menggunakan bahasa yang lain (bukan
bahasa pertama), lengkap dengan semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya.
Kata “terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1). Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz
yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua
sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
16 Dr. kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an edisi kedua, (Jakarta : Amzah, 2012) hlm 123 17 Ibid,. hlm. 126
2). Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan
dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau
memperhatikan susunan kalimatnya.
Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui
bahwa terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dapat
dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya tetap
dipertahankan. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal
tertib bagian-bagian kalimatnya.
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam terjemah, baik terjemah
harfiyah maupun terjemah tafsiriyah adalah:
1. Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama
maupun bahasa terjemahnya;
2. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari
kedua bahasa tersebut;
3. Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki
oleh bahasa pertama;
4. Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah
tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.
IV. FAWATIH AL-SUWAR DAN KHAWATIM AL-SUWAR
A. Aneka Bentuk Fawatih Dan Khawatim Al-Suwar Dalam Al-Qur’an
Secara etimilogis, Fawatih Al-Suwar berarti pembukaan-pembukaan surat, karena
posisinya berada di awal surat-surat dalam Al Qur’an. Manna Khalil Al Qhatthan dalam
kitabnya Mabahits fi ulumil Qur’an mengidentikan fawatihus suwar dengan huruf-huruf
yang terpisah (Al ahruful muqotho’ah).
V. ISI POKOK KANDUNGAN AL-QUR’AN
A. Isi Pokok Kandungan Surat Al-Fatihah
Surah al-Fatihah adalah 'Mahkota Tuntunan Ilahi'. Dia adalah 'Ummul Qur'an' atau
'Induk Al-Qur’an'. Banyak nama yang disandangkan kepada awal surah Al-Qur’an itu.
Tidak kurang dari dua puluh sekian nama. Dari nama-nama itu dapat diketahui betapa
besar dampak yang dapat diperoleh bagi pembacanya. Tidak heran jika doa dianjurkan
agar ditutup dengan al-hamdu lillahi rabbil ‘alamin atau bahkan ditutup dengan surah ini.
Kata fath yang merupakan akar kata nama ini berarti menyingkirkan sesuatu yang
terdapat pada suatu tempat yang akan dimasuki. Tentu saja bukan makna harfiah itu yang
dimaksud. Penamaannya dengan al-Fatihah karena ia terletak pada awal Al-Qur’an dan
karena biasanya yang pertama memasuki sesuatu adalah yang membukanya. Kata fatihah
di sini berarti awal Al-Qur’an.
Surah ini awal dari segi penempatannya pada susunan Al-Qur’an, bukan seperti
dugaan segelintir kecil ulama bahwa ia dinamai demikian karena surah ini adalah awal
surah Al-Qur’an yang turun. Kita juga dapat berkata bahwa al-Fatihah adalah Pembuka
yang sangat agung bagi segala macam kebajikan.18
Keutamaan Al-Fatihah
Obat penyembuh dari sengatan binatang.
Obat penyembuh Gila
B. Fungsi Al-Qur’an
1.Petunjuk bagi Manusia.
Allah swt menurunkan Al-Qur’ansebagai petujuk umar manusia,seperti yang
dijelaskan dalam surat (Q.S AL-Baqarah 2:185 (QS AL-Baqarah 2:2) dan (Q.S AL-
Fusilat 41:44)
2. Sumber pokok ajaran islam.
Fungsi Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui
kebenarannya oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya meliputi persoalan
kemanusiaan secara umum seperti
hukum,ibadah,ekonomi,politik,social,budaya,pendidikan,ilmu pengethuan dan seni.
3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia.
Dalam Al-Qur’an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat
terdahulu,baik umat yang taat melaksanakan perintah Allah maupun yang mereka
yang menentang dan mengingkari ajaran Nya.Bagi kita,umat uyang akan datang
kemudian rentu harus pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang
diterangkan dalam Al-Qur’an.
4. sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW
Turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang dimilki oleh nabi
Muhammad saw.
18 Taysir Al-Ali Al-Qadir li Ikhtishar Tafsir Ibni Katsir Hlm. 6-7
VI. ILMU MUNASABAH
A. Ilmu munasabah dalam Al-Qur’’an
Secara etimologi, munasabah semakna dengan musyakalah dan muqarabah,
yang berarti serupa dan berdekatan Secara istilah, munasabah berarti hubungan atau
keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al-Qur’an. Manna’ al-qathan mengatakan
bahwa munasabah dalam pengertian bahasa berarti Al-muqarrabah (kedekatan).
Misalnya pada kalimat “si A munasabah dengan si B”, berarti si A mendekati atau
menyerupai si B. Bisa juga di ma’nai sebagai suatu pernyatan yang dapat
mensejeniskan antara dua hal yang berbeda, seperti: “singa adalah hewan carnivore!
karena ia memakan daging, sedangkan anjing juga memakan daging! maka ia adalah
carnivore.” Jadi yang mensejeniskan singa dengan anjing adalah sama-sama pemakan
daging. Contoh lain: “bawang adalah makruh! karena bawang itu bau. Pete itu bau!
Maka pete adalah makruh”. Jadi yang menghubungkan bawang dan pete adalah makruh
karena sama-sama bau.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka pada
prinsipnya munasabah Al-Qur’an mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat serta
antar surat. Jika diperinci maka macam-macamnya adalah sebagai berikut :
VII. ILMU NUZUL AL-QUR’AN DAN ILMU ASBABUL NUZUL
A. Perbedaan antara ilmu nuzul Al-Qur’an dan ilmu asbabul nuzul
Asbab adalah bentuk plural (jama’) dari kata sabab yang dalam bahasa indonesia
diartikan: sebab, alasan, motif, latar belakang dan lain-lain, sedangkan Nuzul merupakan
bentuk masdar dari anzala yang berarti turun. Pengertian asbab an-nuzul secara istilah
adalah sesuatu yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat, yang mencakup suatu
permasalahan dan menerangkan suatu hukum pada saat terjadi peristiwa-peristiwa.19
Dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik dua kategori mengenai sebab turunnya
suatu ayat. Pertama, suatu ayat turun ketika terjadi suatu peristiwa. Sebagaimana
diriwayatkan Ibn Abbas tentang perintah Allah kepada Nabi SAW untuk memperingatkan
kerabat dekatnya. Kemudian Nabi SAW naik ke bukit Shafa dan memperingatkan kaum
kerabatnya akan azab yang pedih. Ketika itu Abu Lahab berkata, “Celakalah engkau,
19 Dr. Usman, M.ag,Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Sukses offset, 2009), hlm. 103
apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?”, lalu ia berdiri. Maka
turunlah surat Al-Lahab.
Kedua, suatu ayat turun apabila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah
ayat Al-Qur’an yang menerangkan hukumnya. Seperti pengaduan Khaulah binti Sa’labah
kepada Nabi SAW berkenaan dengan zihar yang dijatuhkan suaminya, Aus bin Samit,
padahal Khaulah telah menghabiskan masa mudanya dan telah sering melahirkan
karenanya. Namun sekarang ia dikenai zihar oleh suaminya ketika sudah tua dan tidak
melahirkan lagi. Kemudian turunlah ayat, “Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya”, yakni Aus bin Samit.
a) Cara mengetahui Asbabun Nuzul berupa riwayat yang sahih adalah:
Apabila perawi sendii menyatakan lafal sebab secara tegas. Dalam hal ini adalah
nash yang nyata, seperti kata-kata perawi sebab turunya ayat begini…”
b) Bila perawi menyatakan riwayatnya dengan memasukan huruf “Fa Ta’qibiyah” pada
kata “Nazala” seperti kata-kata perawi.
Sedangkan kriteria cara mengetahi Asababun Nuzul menurut para ulama melalui
riwayat adalah:
1. Apabila ada dua periwayat yang berbeda, dan salah satunya lebih sahih dari lainnya
maka yang dipegang adalah riwayat yang lebih sahih.
2. Apabila sanad dari dua riwayat tersebut shahihnya maka salah satunya diutamakan
apabila perawinya menyaksikan peristiwa atau karena ada pertimbangan-pertimbangan
semacamnya. Contoh yang diketengahkan para ulama untuk tipe ini adalah perbedaan
riwayat Ibnu Mas’ud dengan riwayat Ibnu Abbas mengenai sebab turunya firman Allah:
“Dan mereka akan bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, roh itu termasuk
masalah Tuhanku, ilmu yang diberikan kepada kalian hanyalah sedikit.” Jadi dapat
disimpulkan yang shahih bukanlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud. Meskipun ia
menurunkan riwayatnya, menyaksikan turunnya ayat. Hal inilah yang menyebabkan
munculnya asumsi adanya ayat turun dua kali, sekali di Makah dan sekalih di Madinah.
3. Apabila dua riwayat tersebut sulit di tarjih maka pemecahanya dalah diasumsikan ayat
turun berulang-ulang setelah ada dua sebab atau sebab-sebab yang disebutkan. Asumsi
ini menyebabkan kita harus membicarakan masalah tentang satu ayat turun berulang-
ulang karena sebab yang banyak, dan juga mengharuskan kita membicarakan sisi lain,
yaitu beberapa ayat turun dengan satu sebab.
Kita sepakat bahwa Al Quran diturunkan secara berangsur-angsur, artinya tidak
diturunkan sekaligus dalam bentuk kitab yang utuh melainkan diturunkan sebagian-
sebagian. Untuk mengetahui kapan ayat-ayat Al Quran diturunkan kita harus merujuk
kepada Asbabun Nuzulnya. Tapi sayangnya tidak semua ayat Al Quran terdapat asbabun
nuzul yang shahih menjelaskan sebab turunnya. Berdasarkan hal ini maka ayat-ayat dalam
al Quran dibagi menjadi
1. Ayat Al Quran yang memiliki Asbabun Nuzul atau sebab turunnya. Maksudnya ayat ini
turun berkaitan dengan peristiwa atau tujuan tertentu. Hal ini diketahui dengan hadis
asbabun nuzul yang shahih.
2. Ayat Al Quran yang tidak memiliki Asbabun Nuzul atau sebab turunnya karena
memang tidak ada asbabun nuzul yang shahih yang menjelaskan sebab turunnya
Sebenarnya Ada dua cara untuk mengetahui siapa yang dituju oleh suatu Ayat dalam
Al Quran.
Cara yang pertama adalah dengan melihat ayat sebelum dan ayat sesudah dari ayat
yang dimaksud, memahaminya secara keseluruhan dan baru kemudian menarik
kesimpulan.
Cara kedua adalah dengan melihat Asbabun Nuzul dari Ayat tersebut yang terdapat
dalam hadis yang shahih tentang turunnya ayat tersebut.
Cara pertama yaitu dengan melihat urutan ayat, jelas memiliki syarat bahwa ayat-ayat
tersebut diturunkan secara bersamaan atau diturunkan berkaitan dengan individu-individu
yang sama. Dan untuk mengetahui hal ini jelas dengan melihat Asbabun Nuzul ayat
tersebut. Jadi sebenarnya baik cara pertama atau kedua sama-sama memerlukan asbabun
nuzul ayat tersebut. Seandainya terdapat dalil yang shahih dari asbabun nuzul suatu ayat
tentang siapa yang dituju dalam ayat tersebut maka hal ini jelas lebih diutamakan
ketimbang melihat urutan ayat baik sebelum maupun sesudahnya. Alasannya adalah ayat-
ayat Al Quran tidaklah diturunkan secara bersamaan melainkan diturunkan berangsur-
angsur. Oleh karenanya dalil shahih dari Asbabun Nuzul jelas lebih tepat menunjukkan
siapa yang dituju dalam ayat tersebut.
Berbeda halnya apabila tidak ditemukan dalil shahih yang menjelaskan Asbabun
Nuzul ayat tersebut. Maka dalam hal ini jelas lebih tepat dengan melihat urutan ayat baik
sebelum maupun sesudahnya untuk menangkap maksud kepada siapa ayat tersebut
ditujukan.Jadi ini bukan mutilasi ayat tapi memang ayatnya turun sendiri terpisah dari ayat
sebelum maupun sesudahnya dan ditujukan untuk pribadi-pribadi tertentu.
B. Faedah dari ilmu nuzul dan ilmu asbabul nuzul
Berikut ini adalah manfaat mengetahui asbabun nuzul Al-Qur’an
1) Menjelaskan hikmah ata syariat Islam dan mengetahui tujuan diberlakukannya
syari’at bagi umat islam.
2) Mengetahui wilayah cakupan suatu hukum kendati ayat tersebut diturunkan dalam
bentuk yang umum. Hal ini untuk menjawab persoalan-persoalan khilafiah
(perbedaan pendapat) yang tidak mungkin tidak terjadi ditegah kehidupan
masyarakat.
3) Jika structur lafaz pada ayat yang diturunkan bersifat umum tapi memiliki
pengkhususan hukum, maka dengan mengetahui asbabun nuzul-nya kita akan tahu
bahwa ayat seperti itu tidak boleh dijadikan dasar untuk ijtihad.
4) Memudahkan pemahamam terhadap makana yang terkandung dalam Al-Qur’an.
5) Memberikan pengetahuan konteks turunya ayat.
Adapun faedah dari ilmu Asbabun Nuzul dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Mengetahui bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam hukum suatu ayat.
2) Menentukan hokum dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa suatu
ibarat dinyatakan berdasarkan khususnya sebab.
3) Menghidarkan prasangka bahwaarti hasr dalam suatu ayat yang zahirnya hasr.
4) Mengetahui orang atau kelompok yang menjadi kasus turunya ayat serta memberika
5) Dan lain-lain yang ada hubunganya dengan faedah ilmu Asbabun Nuzul
VIII. BENTUK, METODE DAN PENDEKATAN TAFSIR
A. Pengertian Tafsir
Istilah tafsir di dalam Al-Qur’an dapat dilihat pada surat al-Furqan (25):33 yang
artinya: Tidaklah orang-orang kafir itu datag kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil
melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik penafsirannya
(penjelasannya).20
Secara harfiyah, kata kata tafsir yang berasal dari bahasa arab dan merupakan bentuk
masdar dari kata fassara serta terdiri dari huruf fa’,sin dan ra itu itu berarti keadaan jelas
(nyata dan terang) dan memberikan penjelasan. Banyak ulama’ yang mengemukakan
pengertian tafsir yang pada intinya bermakna menjelaskan hal-hal yang masi samar yang
dikandung dalam ayat Al-Qur’an sehingga dapat dengan mudah di mengerti, mengeluarkan
hukum yang terkandung di dalamnya untuk di terapkan dalam kehidupan sebagai suatu
ketentuan hukum.
B. Bentuk atau Jenis-Jenis Tafsir
Tafsir bila ditinjau secara umum, maka ia terbagi menjadi dua macam:
a. Tafsir bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur ialah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an, sunah,
atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-
Qur’an dengan As Sunah Nabawiyah21.
Tafsir bi al-ma’tsur menurut sebagian pendapat adalah corak tafsir Al-Qur’an yang
dalam operasional penafsirannya mengutip dari ayat-ayat Al-Qur’an sendiri dan apa-apa
yang dikutip dari hadits Nabi, pendapat sahabat dan tabi’in, namun bagi sebagian mufassir
lainnya tidak memasukkan pendapat tabi’in kepada tafsir bi al-matsur tetapi sebagai tafsir
bi al ra’yi.
Dari penjelasan di atas maka dapat dipertegas lagi, bahwa penafsiran bil al-ma’tsur
ialah: Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, penafsiran ayat-ayat Al-
Qur’an dengan Hadits, dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan Asar yang datang dari
para sahabat.
b. Tafsir bir ra’yu
Kata al ra’yu secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al
ra’yu adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan
titik tolak penafsiran setelah mufassir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-
20 M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Cet. III, (Sleman ; Teras, 2010), hlm 26-27 21Mohammad Ali as-Sabuniy, Pengantar Study Al-Qur’an, (Bandung : Al Ma’arif, 1996), hlm 205.
aspek dilalah (pembuktian) nya dan mufasari juga menggunakan syair-syair arab jahili
sebagai pendukung, di samping memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh,
qira’at dan lain-lain22.
Berdasarkan pengertian diatas tafsir bir ra’yu terbagi dalam dua bagian:
I. Tafsir mahmud (terpuji)
Tafsir mahmud ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara’ jauh dari kejahilan dan
kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang pada uslub-
uslubnya dalam memahami teks Al-Qur’an. Atau Penafsiran dengan ijtihad yang
menggunakan kaidah dan persyaratan, sehingga jauh untuk menyimpang.
II. Tafsir mazmum (tercela)
Tafsir mazmum ialah bila Al-Qur’an ditafsirkan tanpa ilmu atau menurut sekehendak
hatinya tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syari’at, atau kalam Allah itu ditafsirkan
menurut pendapat yang salah dan sesat, serta Kalam Allah hanya berdasarkan pengetahuan
semata. Dan penafsirannya tidak memenuhi beberpa persyaratan, sehingga ia berada
dalam kesesatan dan kejahilan
C. Metode Tafsir
Al-Farmawi menggambarkan Al-Qur’an sebagai lautan yang luas dan dalam yang
tidak dapat diungkap seluruh misteri yang ada di dalamnya. Untuk mengungkap berbagai
misteri tersebut, maka bermunculanlah tafsir-tafsir, dan berbagai macam metode untuk
memehaminya. Metode-metode tersebutpada garis besarnya terbagi atas tahlily, ijmaly,
muqaran, dan maudhui.23
a) Metode Tahily
Metode tahily adalah metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-
Qur’an dari seluruh aspeknya. Mufasir yang menggunakan metode ini menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur’an dari awal hingga akhir derdasarkan mushaf. Ia menjelaskan ayat demi ayat
surat demi surat dengan menjelaskan makna mufradatnya, juga unsur I’jaz dan balaghahnya.
Penafsiran yang menggunakan metode ini juga tidak mengabaikan asbab nuzul al-ayat dan
munasabah al-ayat.
b) Metode Ijmali
22 Ibid,. hlm 213 23 M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Cet. III, (Seleman ; Teras, 2010), hlm 149-152
Metode ijmali secara umum menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengemukakan
makna ijmali. Dengan metode ini, mufasir menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sesuai
dengan susunan ayat yang terdapat pada mushaf sebagaimana halnya pada bagian pertama.
Karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah Tafsir Al-Qur’an nulkarim oleh
Muhammad Farid Wajdi, dan Tafsir Jalalain oleh jalaluddin al-suyuthi dan jalaluddin al-
Mahalli.
c) Metode Muqaran
Metode ini dipakai oleh penulis untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara
membandingkan pendapat-pendapat pera mufasir. Ia membahas ayat-ayat Al-Qur’an dengan
mengemukakan pendapat para mufasir terhadap tema tertentu, lalau membandingkannya,
bukan untuk menentukan benar dan salah, tetapi menentukan variasi penafsiran terhadap
ayat Al-Qur’an.
d) Metode Maudhu’i
Metode ini juga dikenal dengan metode tematik karene pembahasannya di dasarkan
pada tema-tema khusus Al-Qur’an seperti yang telah ditentukan oleh mufsir. Untuk
menghasilkan karya tafsir semacam ini dibituhkan kecermatan dalam menghimpun ayat-
ayat yang berkenaan dengan tema yang dipilih.
IX. PENGERTIAN MAKIYAH DAN MADANIYAH
A. Pengertian Makiyah dan Madaniyah
Ada beberapa definisi tentang al-Makiy dan al-Madaniy yang diberikan oleh para
ulama, yang masing-masing berbeda satu sama lain. Perbedaan ini disebabkan oleh
perbedaan kriteria yang ditetapkan untuk menetapkan Makiy atau Madaniy sebuah surat
atau ayat.
Ada tiga pendapat yang dikemukakan ulama tafsir dalam hal ini :
1. Berdasarkan tempat turunnya suatu ayat.
“ Makkiyah ialah suatu ayat yang diturunkan di Mekkah, sekalipun sesudah hijrah,
sedang Madaniyah ialah yang diturunkan di Madinah”.
Berdasarkan rumusan di atas,Makkiyah adalah semua surat atau ayat yang
dinuzulkan di wilayah Mekkah dan sekitarnya. Sedangkan Madaniyyah adalah
semua surat atau ayat yang dinuzulkan di Madinah. Adapun kelemahan pada
rumusan ini karena tidak semua ayat Al-Qur’an dimasukkan dalam kelompok
Makiyyah atau Madaniyyah. Alasannya ada beberapa ayat Al-Qur’an yang
dinuzulkan jauh di luar Mekkah dan Madinah.
2. Berdasarkan khittab/ seruan/ panggilan dalam ayat tersebut.
“ Makkiyah ialah ayat yang khittabnya/panggilannya ditujukan kepada penduduk
Mekkah, sedang Madaniyah ialah yang khittabnya ditujukan kepada penduduk
Madaniyah”.
Berdasarkan rumusan di atas, para ulama menyatakan bahwa setiap ayat atau surat
yang dimulai dengan redaksi يا أيها الناس (wahai sekalian manusia) dikategorikan
Makkiyyah, karena pada masa itu penduduk Mekkah pada umumnya masih kufur.
Sedangkan ayat atau surat yang dimulai dengan يا أيها الذين أمنوا (wahai orang-orang yang
beriman) dikategorikan Madaniyyah, karena penduduk Madinah pada waktu itu telah
tumbuh benih-benih iman di dada mereka. Adapun kelemahan-kelemahan pada rumusan
ini, antaa lain:
a. Tidak semua ayat atau surat di mulai oleh redaksi يا أيها الناس atau يا أيها الذين أمنوا.
Maksudnya, tidak selalu yang menjadi sasaran surat atau ayat penduduk Mekkah
atau Madinah.
b. Tidak semua ayat atau surat di mulai oleh redaksi يا أيها الناس meski Makkiyyah dan
yang dimulai dengan redaksi يا أيها الذين أمنوا meski Madaniyyah.
3. Berdasarkan masa turunnya ayat tersebut.
كة ان كاانا نزوله بغاير ما سول ,وا ة الر انزلا قابلا هجرا كي ما الما ا
انزلا باعدا هاذه داني ما الما كةا وا ان كاانا نزوله بما ة وا الهجرا
“ Makkiyyah ialah ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun
turunnya di luar Mekkah, sedang Madaniyah ialah yang diturunkan sesudah Nabi
hijrah, sekalipun turunnya di Mekkah”.
Dibanding dua rumusan sebelumnya , tampaknya rumusan al-Makkiy dan al-
Madaniy ini lebih populer karena di anggap tuntas dan memenuhi unsur penyusunan
ta’rif (definisi).
A. Klasifikasi Ayat-Ayat dan Surat-Surat Al-Qur’an
Pada umunya, para ulama membagi surat-surat Al-Qur’an menjadi dua kelompok,
yaitu surat-surat Makiyyah dan Madaniyyah. Mereka berbeda pendapat dalam
menetapkan jumlah masing-masing kelompoknya. Sebagian ulama mengatakan bahwa
jumlah surat Makiyyah ada 94 surat, sedangkan Madaniyyah ada 20 surat. Sebagian
ulama lain mengatakan bahwa jumlah surat Makiyyah ada 84 surat, sedangkan yang
Madaniyyah ada 30 surat.
Perbedaan-perbedaan pendapat para ulama itu dikarenakan adanya sebagian surat
yang seluruhnya ayat-ayat Makkiyyah atau Madaniyyah dan ada sebagian surat lain
yang tergolong Makiyyah atau Madaniyyah, tetapi di dalamnya berisi sedikit ayat yang
lain statusnya. Surat-surat Al-Qur’an itu terbagi menjadi empat macam :
1. Surat-surat Makiyyah murni, yaitu surat-surat Makiyyah yang seluruh ayat-ayatnya
juga berstatus Makiyyah semua, tidak ada satupun yang Madaniyyah.
2. Surat-surat Madaniyyah murni, yaitu surat-surat Madaniyyah yang seluruh ayat-
ayatnya juga berstatus Madaniyyah semua, tidak ada satupun yang Makiyyah.
3. Surat-surat Makiyyah yang berisi ayat Madaniyyah, yaitu surat-surat yang
sebetulnya kebanyakan ayat-ayatnya adalah Makiyyah, sehingga berstatus
Makiyyah, tetapi di dalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Madaniyyah.
4. Surat-surat Madaniyyah yang berisi ayat Makiyyah, yaitu surat-surat yang
sebetulnya kebnyakan ayat-ayatnya adalah Madaniyyah, sehingga berstatus
Madaniyyah, tetapi di dalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Makiyyah.
B. Karakteristik Makiyyah dan Madaniyyah
Para ulama telah menetapkan karakteristik Makiyyah dan Madaniyyah sebagai
berikut :
a. Karakteristik Makiyyah
Ada beberapa karakteristik yang dimiliki Makiyyah di antaranya :
1. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kata كل Kata ini dipergunakan untuk
memberi peringatan yang tegas dan keras kepada orang-orang Mekkah yang
keras kepala.
2. Setiap surat yang di dalamnya terdapat ayat sajdah termasuk Makiyyah.
3. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kisah para Nabi dan umat-umat
terdahulu termasuk Makiyyah, kecuali surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran yang
keduanya termasuk Madaniyyah. Adapun surat al-Ra’d yang masih
diperselisihkan.
4. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kisah Nabi Adam dan Iblis termasuk
Makiyyah, kecuali surat Al-Baqarah yang tergolong Madaniyyah.
5. Setiap surat yang dimulai dengan huruf abjad, alphabet (tahjjiy) ditetapkan
sebagai Makiyyah, kecuali Al-Baqarah dan Ali ‘Imran. Huruf tahjjiy yang
dimaksud di antaranya م ح ,س ي ه ط ,ص ع ي ه ك, dll
6. Mengandung seruan (nida’) untuk beriman kepada Allah dan hari kiamat dan
apa-apa yang terjadi di akhirat. Di samping itu, ayat-ayat Makiyyah ini
menyeru untuk beriman kepada para rasul dan para malaikat serta
menggunakan argumen-argumen akal, kealaman dan jiwa.
7. Membantah argumen-argumen kaum Musyrikin dan menjelaskan kekeliruan
mereka terhadap berhala-berhala mereka.
8. Mengandung seruan untuk berakhlak mulia dan berjalan di atas syariat yang
hak tanpa terbius oleh perubahan situasi dan kondisi, terutama hal-hal yang
berhubungan dengan memelihara agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan.
9. Terdapat banyak redaksi sumpah dan ayatnya pendek-pendek.
b. Karakteristik Madaniyyah
Seperti halnya dalam Makiyyah, Madaniyyah pun mempunyai karakteristik :
1. Setiap surat yang berisi hukum pidana, hukum warisan, hak-hak perdata dan
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata serta kemasyarakatan
dan kenegaraan, termasuk Madaniyyah.
2. Setiap surat yang mengandung izin untuk berjihad, urusan-urusan perang,
hukum-hukumnya, perdamaian dan perjanjian, termasuk Madaniyyah.
3. Setiap surat yang menjelaskan hal ihwal orang-orang munafik termasuk
Madaniyyah, kecual surat Al-Ankabut yang di nuzulkan di Makkah. Hanya
sebelas ayat pertama dari surat tersebut yang termasuk Madaniyyah dan ayat-
ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang munafik.
4. Menjelaskan hukum-hukum amaliyyah dalam masalah ibadah dan muamalah,
seperti shalat, zakat, puasa, haji, qisas, talak, jual beli, riba, dan lain-lain.
5. Sebagian surat-suratnya panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya panjang-
panjang dan gaya bahasanya cukup jelas dalam menerangkan hukum-hukum
agama.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahaby, Muhammad Husain. At- Tafsir wal Mufassirun. Kairo : Dar el Hadits.2005.
Ash Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Jakarta : NV.
Bulan Bintang. 1954
Ash-shiddieqy, TM Hasbi. Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra. 2010.
As-Suyuthi. Al Itqon Fi Ulumil Quran. Beirut : Darul fikr.
Bukhari, Al. Shohihul Bukhari Jilid I hadits no. 723. Imam Muslim, Shohih Muslim (Al-
Jami’us Shohih), Jilid hadits no 34.
Dekdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Cet. Ke II. 1989