OPTIMALISASI PELESTARIAN HUTAN BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DENGAN METODE AGROFORESTRY DALAM RANGKA PENGENTASAN KEMISKINANDAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Zaqi Mubarok, M. Faqih HidayatullahUniversitas Negeri
[email protected], [email protected]
ABSTRAK: Hutan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia, karena hutan
mempunyai peranan yang penting terhadap kelangsungan hidup manusia
yaitu memberikan sumber kehidupan bagi kita semua. Hancurnya hutan
dapat pula bermakna hancurnya kelangsungan hidup manusia dan akan
muncul kemiskinan. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan hutan
yang baik dan pelestarian hutan yang tepat untuk menjamin
kelangsungan multi manfaat yang disediakan oleh hutan guna menjamin
berbagai kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya. Pengelolaan
hutan bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang perlu
menjadi perhatian bersama, baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun
dunia usaha. Pemanfaatan nilai ekonomis hutan harus seimbang dengan
upaya perlestarian lingkungan hidup sehingga hutan tetap dapat
dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan. Dalam hal ini,
pelestarian hutan tentunya akan melibatkan masyarakat, sehingga
perlu adanya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian hutan
dengan metode agroforestry. Agroforestry sebagai pengelolaan hutan
berbasis masyarakat dengan perpaduan antara pertanian dan proses
pengembangan lingkungan atau kondisi hutan. Hal ini akan menitik
beratkan dalam pembangunan pertanian secara berkelanjutan adalah
masyarakat secara mandiri dalam pengelolaan hutan yang
berkelanjutan yang terus menerus dan memiliki konsep
berkeadilan.
Keyword : Pelestarian Hutan, Pemberdayaan Masyarakat,
Agroforestry, Pengentasan Kemiskinan, Pembangunan Berkealnjutan
Hutan merupakan paru-paru bumi tempat berbagai satwa hidup,
pohon-pohon, hasil tambang dan berbagai sumberdaya lainnya yang
bisa kita dapatkan dari hutan yang tak ternilai harganya bagi
manusia. Hutan juga merupakan sumberdaya alam yang memberikan
manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible
yang dirasakan secara langsung, maupun intangible yang dirasakan
secara tidak langsung. Manfaat yang dirasakan secara langsung
seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil tambang. Sedangkan
manfaat tidak langsung yang dapat dirasakan seperti manfaat
rekreasi alam, perlindungan dan pengaturan tata air, pencegahan
erosi.Dengan luas total kawasan hutan sekitar 133,46 juta ha atau
sekitar 70% dari total luas wilayah daratan, Indonesia merupakan
salah satu negara yang memiliki kawasan hutan tropis terluas ketiga
di dunia setelah Brazil dan Zaire (Republik Demokrasi Kongo). Hutan
di Indonesia terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam
(19,88 juta ha), Hutan Lindung (31,55 juta ha), Hutan Produksi
Terbatas (22,43 juta ha), Hutan Produksi Tetap (36,75 juta ha),
Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (22,68 juta ha), dan Taman
Buru (167,6 ribu ha)[footnoteRef:1]. [1: Kementrian Kehutanan.
2010. Pemantauan Hutan Indonesia. Kemenhut]
Hutan Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang
sangat tinggi yang meliputi: 16% spesies burung, 11% spesies
tumbuhan dunia, 10% spesies mamalia, termasuk mamalia yang paling
berharga di dunia, yaitu orangutan, harimau, badak, dan gajah, 7%
spesies reptilia, 6% ikan air tawar, dan 6% amfibi[footnoteRef:2].
Namun karena pengelolaan hutan yang kurang bijak, maka selama 50
tahun terakhir banyak kawasan hutan yang rusak atau bahkan pada
beberapa daerah ada yang sudah tidak memiliki tutupan
pohon/vegetasi sama sekali sehingga mengakibatkan beberapa spesies
flora dan fauna terancam punah. [2: FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan
Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington
D.C.: Global Forest Watch. Hlm. 46]
Di sisi lain, di dalam dan sekitar hutan tinggal masyarakat yang
kehidupannya sangat tergantung pada hutan dan dikategorikan sebagai
penduduk miskin. Bagi mereka, hutan merupakan sumber kehidupan, di
mana mereka memanfaatkan berbagai jenis produk hasil hutan, baik
kayu maupun non kayu[footnoteRef:3] (Suhartini, 1991). Mereka
umumnya hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terpencar di
daerah yang terisolir dan jauh dari jangkauan berbagai fasilitas
pelayanan pemerintah. Akibatnya, kerusakan sumberdaya hutan
merupakan suatu bencana bagi mereka karena sumber kehidupan mereka
terganggu. Dengan kata lain rusaknya hutan dapat pula bermakna
hancurnya kelangsungan hidup manusia dan akan muncul kemiskinan.
Karena bagaimanapun hutan mempunyai peranan yang sangat penting
terhadap kelangsungan hidup manusia yaitu memberikan sumber
kehidupan bagi kita semua. [3: Suhartini. Kajian Kearifan Lokal
Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan
MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009.
Hlm. 219]
Hampir semua lahan di Indonesia pada awalnya merupakan hutan
alam yang secara berangsur dialih-fungsikan oleh manusia menjadi
berbagai bentuk penggunaan lahan lain seperti pemukiman dan
pekarangan, pertanian, kebun dan perkebunan, hutan produksi atau
tanaman industri, dan lain-lain. Alih fungsi guna lahan itu terjadi
secara bertahap sejak lama dan sampai sekarangpun terus terjadi
dengan demikian luas lahan hutan di Indonesia semakin berkurang.
Perluasan lahan pertanian dan/atau penggembalaan ternak. Dalam
skala nasional, dalam kurun waktu tiga dekade terakhir, setidaknya
terdapat dua trend utama proses alih fungsi lahan yang menonjol,
yakni proses deforestasi dan
urbanisasi-suburbanisasi[footnoteRef:4]. Proses deforestasi
terutama sebagai akibat dari aktifitas loging, pengembangan areal
pertanian dan pemukiman baru (transmigrasi). Pada umumnya pembukaan
lahan pertanian baru oleh petani kecil atau tradisional adalah
dengan cara tebas bakar (tebang dan bakar/slash and burn). Selain
itu adanya permintaan pasar dan nilai ekonomi kayu. Pohon di hutan
ditebang, diambil kayunya untuk diperdagangkan, baik skala kecil
maupun skala besar (commercial logging), sehingga sampai terjadi
pula illegal logging. Penebangan bisa dilakukan secara selektif
tetapi tidak jarang juga dilakukan tebang habis, pemukiman. tempat
penampungan air, penggalian bahan tambang bencana alam. Pada
daerah-daerah seputar perkotaan ekspansi aktifitas urban
(suburbanisasi) merupakan faktor utama terjadinya alih fungsi
lahan-lahan pertanian ke aktifitas urban. Dengan demikian sebagian
besar magnitude proses alih fungsi lahan berlangsung di kawasan
perdesaan, khususnya pada kawasan-kawasan perbatasan kota-desa dan
perbatasan kawasan budidaya-non budidaya. [4: Ernan Rustiadi. Alih
Fungsi Lahan Dalam Perspektif Lingkungan Perdesaan. (Disampaikan
pada Lokakarya Penyusunann Kebijakan dan Strategi Pengelolaan
Lingkungan Kawasan Perdesaan di Cibogo, Bogor, tanggal 10-11 Mei
2001). Hlm 1.]
Kini kawasan hutan di Indonesia tercatat hanya seluas
104.876.635 atau sekitar 54,6% dari keseluruhan total luas daratan.
Rinciannya, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
perairan 5.085.209 hektar (terdiri atas 27 unit) dan daratan
18.154.507 hektar (339 unit). Kawasan hutan tersebut terbagi dalam
dua kategori. Pertama, kawasan suaka alam yang terdri atas cagar
alam 2.283.142 hektar (168 unit) dan suaka margasatwa 3.612.323
hektar (4 unit). Sementara kawasan hutan pelestarian alam meliputi
Taman Wisata 299.117 hektar (75 unit), Taman Buru 248.932 hektar
(13 unit), Taman Nasional 11.458.993 hektar (30 unit) dan Taman
Hutan Raya 252.089 hektar (11 unit). Selain kawasan suaka alam dan
pelestarian alam, luas dan distribusi kawasan hutan juga terdiri
atas hutan lindung seluas 30.581.753 hektar yang terdiri atas 472
Daerah Aliran Sungai (DAS). 62 DAS diantaranya termasuk DAS
prioritas I, 232 DAS prioritas II dan 176 DAS prioritas III.
Terakhir, kawasan hutan produksi yang terdiri atas Hutan Produksi
Terbatas (HPT) 17.063.682 hektar, Hutan Produksi Tetap (HPT) seluas
28.675.881 hektar dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas
13.717.786 hektar[footnoteRef:5] (Nugraha, 2004). [5: Agung
Nugraha. 2004. Menyonsong Perubahan Menuju Evitalisasi Sektor
Kehutanan. Jakarta : Wirma Aksara. Hlm. 58-59]
Di Indonesia sendiri hutan yang telah beralih fungsi berjumlah
125.000 hektar untuk kebutuhan masyarakat setiap tahunnya. hutan
yang dialihfungsikan untuk kebutuhan masyarakat seperti pembangunan
permukiman, pembukaan lahan perkebunan maupun untuk kebutuhan
industri tersebut telah membuat hutan di negara ini semakin
berkurang dari tahun ke tahun. Hal ini membuat hutan sebagai
paru-paru dunia di negara ini semakin berkurang dan mengancam
kelestarian lingkungan. Sementara itu, berdasarkan data Dinas
Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 kawasan hutan yang
telah dialihfungsikan seluas 270.375,135 ha terdiri atas penggunaan
tambang seluas 270.183,58 ha, stasiun klimatologi oleh BMG seluas
0.03 ha, sebagaian besar (85.6%) areal pertambangan berada di dalam
hutan lindung. Semenjak krisis ekonomi 1997-1998 banyak sekali
perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Indonesia terutama
terjadi di kota-kota besar. Lahan-lahan hutan yang dulunya
produktif tak lagi ada fungsinya sebagai penghasil sumber daya
ekonomi yang produktif. Kebanyakan lahan dikomersilkan untuk
kebutuhan pembangunan. Menurut Firman (1997) lebih dari 500-30.00
ha lahan di Jakarta diproyeksikan menjadi kawasan Jakarta
Metropolitan Area[footnoteRef:6] (Firman, 2000:14). Di Surabaya
yang merupakan kota terbesar kedua di Indonesia tercatat 200-1000
ha sawah telah terkonversikan menjadi lahan kawasan permukiman,
komersil area yang meliputi hotel, kantor, bank, dan
swalayan[footnoteRef:7]. [6: Tommy Firman. 1997. Rural to urban
land conversion in Indonesia during boom and bust periods. Land Use
Policy 17 (2000), 13-20. Hlm. 14] [7: Ahmad Budiman, Verbenasari,
A., Salim, W., 1996. The identi"cation of phenomenon of
Gerbangkertasusila mega-urban region and Malang-Surabaya Corridor.
Undergraduate Thesis. Department of Regional and City Planning.
Institute of Technology. Bandung, (in Indonesian), seperti dikutip
oleh Tommy Firman. 1997. Rural to urban land conversion in
Indonesia during boom and bust periods. Land Use Policy 17 (2000).
Hlm 14.]
Hutan merupakan sistem penggunaan lahan yang tertutup dan tidak
ada campur tangan manusia. Masuknya kepentingan manusia secara
terbatas misalnya pengambilan hasil hutan untuk subsisten tidak
mengganggu hutan dan fungsi hutan. Tekanan penduduk dan ekonomi
yang semakin besar mengakibatkan pengambilan hasil hutan semakin
intensif (misalnya penebangan kayu) dan bahkan penebangan hutan
untuk penggunaan yang lain misalnya perladangan, pertanian atau
perkebunan. Gangguan terhadap hutan semakin besar sehingga fungsi
hutan juga berubah. Tekanan penduduk dan ekonomi ini terjadi
dikarenakan adanya pertambahan penduduk yang secara alami terus
meningkat merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya alih
fungsi kawasan hutan. Peningkatan jumlah penduduk berpengaruh nyata
terhadap alih-fungsi lahan. Kebutuhan terhadap lahan baik untuk
pertanian maupun pemukiman meningkat dengan meningkatnya jumlah
penduduk. Perubahan kepadatan penduduk, khususnya di daerah
pedesaan, akan meningkatkan permintaan lahan untuk kebutuhan
pertanian. Kondisi ini diperparah dengan tidak jelasnya sistem
kepemilikan lahan sehingga mendorong penduduk untuk membuka kawasan
hutan. Disamping itu juga kebijakan pemerintah untuk meningkatkan
nilai tambah dari pertanian dan pembangunan jalan akan mendorong
migrasi penduduk ke daerah pedesaan (Shoutgate et al dalam
Djaenudin). Tekanan terhadap sumberdaya hutan tidak hanya oleh
penduduk pedesaan. Penduduk kota turut berkontribusi dalam
pembukaan kawasan hutan. Mahapatra and Kant (2005) dalam Djaenudin
menjelaskan bahwa dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk,
kebutuhan akan kayu untuk pertukangan akan meningkat pula, hal ini
akan mendorong penebangan kayu di hutan. Fraser (1996) dalam
Sunderlin dan Resosudarmo (1996) menyimpulkan bahwa pertumbuhan
penduduk berkontribusi terhadap deforestasi di
Indonesia[footnoteRef:8]. Tutupan kawasan hutan berkurang sebesar
0,3 persen untuk setiap peningkatan jumlah penduduk satu persen.
[8: Sunderlin, Resosudarmo. Laju dan Penyebab Deforestasi di
Indonesia: Penelaahan Kerancuanan dan Penyelesaiannya. Vol. 1 No.9
Maret 1997. Hlm. 10]
Berbagai upaya rehabilitasi dan penanggulangan kerusakan hutan
telah dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan banyak pihak,
tetapi belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini terjadi
karena pada awalnya kegiatan rehabilitasi hutan menggunakan
pendekatan yang lebih menekankan aspek teknis dan kurang
memperhatikan aspek sosial ekonomi dan kelembagaan, sehingga kurang
memberikan manfaat bagi masyarakat. Selain itu, program kegiatan
umumnya bersifat rigid/kaku dengan pendekatan yang top-down serta
umumnya tidak berkesinambungan. Kenyataan inilah yang kemudian
mengilhami lahirnya UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan setelah era
reformasi digulirkan. Semangatnya, harus ada pemberdayaan
masyarakat di sekitar hutan dan adanya akses yang memadai terhadap
hutan. Kementerian Kehutanan sudah memiliki pola/konsep pemanfaatan
sumberdaya hutan secara lestari dengan melibatkan masyarakat di
bawah payung besar social forestry atau Perhutanan Sosial yang
diatur pada pasal 3 Undang-Undang No. 41/1999 tentang kehutanan.
Pemanfaatan sumberdaya hutan melalui pola ini pada dasarnya
memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengelola, mengusahakan
dan mamanfaatkan sumberdaya hutan dengan tujuan agar sumberdaya
hutan tetap lestari dan masyarakat sejahtera[footnoteRef:9]
(Suhartini, 2009). Memperhatikan kondisi seperti tersebut diatas,
maka penulis memiliki suatu gagasan atau ide yang dimuat dala
sebuah karya tulis yang berjudul optimalisasi pelestarian hutan
berbasis pemberdayaan masyarakat dengan metode agroforestri dalam
rangka pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan dengan
besar harapan untuk kelestarian hutan di Indonesia dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Menjamin pelestarian hutan
berarti menjamin kelangsungan multi manfaat yang disediakan oleh
hutan guna menjamin berbagai kebutuhan manusia demi kelangsungan
hidup masyarakat. [9: Suhartini. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat.
Seminar Nasional FMIPA UNY. 16 Mei 09, hlm 207]
Optimalisasi Agroforestri di IndonesiaAgroforestri merupakan
suatu program penanganan pengelolaan hutan yang ditujukan untuk
efisiensi garapan lahan dengan cara mengkombinasikan sistem
kehutanan dengan sistem bertani dengan memperhatikan kondisi
lingkungan fisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang
berperan serta. Dalam beberapa hal agroforestri juga sering dilihat
sebagai upaya untuk melindungi dan melestarikan hutan dengan
melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatannya. Hal ini tidak lain
karena latar belakang rakyat Indonesia yang merupakan masyarakat
agraris. Pada masa lalu pertanian sering digunakan untuk membabat
habis hutan yang oleh karenanya sistem seperti ini (ladang
berpindah) juga sudah mulai dilarang praktiknya. Oleh karena itu
muncullah program-program kreatif seperti agroforestri. Namun dalam
beberapa tahun garapan agroforestri saat ini belum dianggap memberi
dampak nyata pada kehidupan sosial masyarakat sekitar. Berbagai
program pengelolaan kawasan hutan berbasis masyarakat telah
dikembangkan Kementerian Kehutanan, seperti Hutan Kemasyarakatan
(HKm), Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Pada tahun 2011,
Kementerian Kehutanan meluncurkan program Pengembangan Perhutanan
Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (PPMPBK) berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P66/Menhut-II/2011.33 Strategi
Nasional Penelitian Agroforestri 2013-2030 Program tersebut
bertujuan untuk mendukung peningkatan pertumbuhan (pro growth),
pengurangan kemiskinan (pro poor), penyerapan tenaga kerja (pro
job) dan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan hidup (pro
environment)[footnoteRef:10]. Program dilaksanakan dengan cara
memberikan bantuan langsung masyarakat (BLM) sebesar maksimal Rp 50
juta kepada masing-masing kelompok masyarakat, dengan target
sasaran di 32 provinsi dan total sebanyak 2.000 kelompok, yang akan
dilaksanakan sampai tahun 2014. Menurut Herawati (2011) faktanya
program tersebut juga mengalami kegagalan dikarenakan putusan yang
sentralistik dari lembaga kepemimpinan di tingkat atas tanpa
mengetahui konteks di lapangan. [10: BPTA Ciamis. Tanpa tahun.
Tantangan dan Peluang dalam Penelitian Agroforestri. BPTA Ciamis.
Ciamis. Hlm.33]
Dalam suatu proses pengelolaan maupun pelestarian lingkungan,
tentunya terdapat suatu parameter atau indicator untuk menilai
perubahan yang cepat dalam lingkungan dan memberikan beberapa
langkah-langkah dari suatu ekosistem, yaitu Geoindicators.
Geoindicators mengukur perubahan lingkungan dengan cara yang dapat
dianggap signifikan dalam rentang waktu dipertimbangkan, serta
mengungkapkan parameter lingkungan dan proses yang mampu berubah
dengan atau tanpa intervensi manusia.Menurut Jayakumar dan Liu K
Terdapat 27 Geoindicators perubahan lingkungan yaitu dampak dari
pengaruh alam dan manusia, serta keperluan untuk memulihkan kembali
lingkungan.Tabel 2. 27 Geoindicators perubahan lingkungan yang
dipengaruhi oleh alam, manusia, dan pemulihan
lingkungan.NoGeoindicatorsPerubahanPengaruh AlamPengaruh
ManusiaPemulihan
1.Mineral dan pola pertumbuhanSuhu air permukaan,
salinitasHHH
2.Lapisan permukaan gurun pasir dan retakanKegersanganHML
3.Formasi gumuk pasir dan reaktivasiKecapatan arah angina,
kelembaban, kekeringa, dan ketersediaan sedimenHMM
4.Badai yang besar, berdurasi lama dan frekuensi
tinggiPengangkutan debu, aridification, dan penggunaan lahanHMM
5.Aktifitas pembekuan tanahHidrologi, gerakan lereng bawah
terutama di lapisan aktifHMH
6.Fluktuasi GlacierHujan, insolasi dan run-offHLH
7.Kimia air tanah di zona tak jenuhPelapukan, penggunaan
lahanHHH
8.Tingkatan air tanahAbstraksi, mengisi ulangMHL
9.Kualitas air tanahIndustri, plusi pertanian dan perkotaan,
pelapukan batuan dan tanah, penggunaan lahan, curah hujan asam,
radioaktivitasMHL
10.Kegiatan karstKimia air tanah dan aliran, tutupan vegetasi,
proses fluvialHMH
11.Telaga dan salinitasPenggunaan lahan debit sungai, aliran air
tanahHHM
12.Permukaan laut relativePenurunan dan pengangkatan pesisir,
penarikan cairan, transportasi sedimen, dan deposisiHMH
13.Urutan dan komposisi sedimenPenggunaan lahan, erosi dan
pengendapanHHH
14.GempaAlam dan manusia yang disebabkan adanya tekanan
bumiHML
15.Posisi garis pantaiErosi pantai, penggunaan lahan, permukaan
air laut, transportasi sedimen dan deposisiHHH
16.Kerusakan lereng, longsorStabilitas lereng, gerakan massa,
penggunaan lahanHHM
17.Tanah dan erosi sedimenLimpasan permukaan, angin, kualitas
penggunaan lahanHHM
18. TanahPenggunaan lahan, kimia, biologi dan proses fisik
tanahMHH
19.Aliran sungaiHujan, lembah discharge, penggunaan lahanHHL
20.Aliran dan saluran morfologiBeban sdimen, laju aliran, iklim,
penggunaan lahan, perpindahan permukaanHHL
21.Aliran penyimbanan ban sedimenBeban sedimen, laju aliran,
iklim, penggunaan lahan, lembah dischargeHHM
22.Suhu rezim di bawah permukaan tanahAliran panas, penggunaan
lahan, tutupan vegetasiHMH
23.Pemindahan permukaanPengangkatan dan penurunan tanah,
kekurangan, ekstraksi kualitas cairanHMM
24.Kualitas permukaan airPenggunaan lahan, interaksi air tanah
batuan, laju aliranHHL
25.Gemuruh volcanicGerakan permukaan magma, aliran panas,
magmatic degassingHLH
26.Memperluas tanah yang subur, struktur dan hidrologiPenggunaan
lahan, produktifitas biologi, aliran sungaiHHH
27.Erosi anginaPenggunaan lahan, tutupan vegetasiHMM
Keterangan : H = Sangat dipengaruhi; M = Dipengaruhi; L =
Pengaruh rendah[footnoteRef:11] [11: Jayakumar, Ramasamy and Liu
Ke. 2007. Geo-indicators in Sustainable Management of Geoparks.
Natural Sciences Sector in,UNESCO. Geoparks Newsletter : Beijing.
Hlm 1-9]
Dari tabel Geoindicators diatas, dapat disimpulkan bahwa
perubahan lingkungan dapat dipengaruhi oleh alam, manusia dan
pemulihan kembali lingkungan tersebut yang signifikan, karena alam
bersifat dinamis yang selalu berubah dalam ruang dan waktu
tergantung ada campur tangan manusia atau tidak, karena manusia
merupakan bagian integral dari alam.
Pemberdayaan MasyarakatPemberdayaan berarti meningkatkan
kemampuan atau meningkatkan kemandirian. Pemberdayaan masyarakat
desa hutan merupakan tindakan sosial dimana penduduk sebuah
komunitas masyarakat desa hutan mengorganisasikan diri dalam
membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah
sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan
sumberdaya yang dimiliki.Selama ini, disadari ataupun tidak, sumber
daya hutan kurang memberikan manfaat sesuai dengan harapan
masyarakat. Hal ini memicu timbulnya tindakan yang bertentangan
dengan kaidah kelestarian hutan. Akibatnya adalah tidak adanya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan masyarakat akan mencari
alternatif usaha lain. Kondisi seperti ini akan menimbulkan
kecemburuan sosial terhadap kelompok lain yang mendapatkan manfaat
dari sumber daya hutan, karena harapan masyarakat pedesaan
memperoleh manfaat dari sumber daya hutan tidak terpenuhi, maka
akhirnya dapat mendorong terjadinya urbanisasi.Isu sumber daya
hutan juga berkaitan erat dengan ketergantungan masyarakat terhadap
sumber daya hutan. Di satu sisi, tingginya ketergantungan
masyarakat terhadap sumber daya hutan mengakibatkan eksploitasi
sumber daya hutan semakin besar dan hutan semakin rusak. Namun di
sisi lain, dengan tingginya ketegantungan masyarakat terhadap
sumber daya hutan maka diharapkan kesadaran masyarakat menjaga,
memelihara, dan melestarikan kelestarian sumber daya hutan juga
semakin besar.Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
pelestarian sumber daya hutan menyebabkan tidak adanya rasa
memiliki sumber daya hutan dan sulit mencapai pengelolaan hutan
yang lestari. Kurangnya keterlibatan masyarakat juga dapat memicu
konflik dalam pengelolaan sumber daya hutan atau bahkan sebaliknya
masyarakat justru apatis dalam pengelolaan sumber daya hutan dan
masyarakat semakin tidak berdaya. Oleh karena kurang bermanfaat
bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.Seringkali terjadi
pemberian pemahaman yang keliru dan cenderung membodohi masyarakat,
bahkan masyarakat dijadikan kendaraan politis untuk kepentingan
suatu kelompok. Sehingga yang terjadi adalah bukannya untuk
mensejahterakan masyarakat lokal, tetapi melainkan menyengsarakan
masyarakat lokal sendiri. Inilah yang harus diperhatikan agar
kepentingan yang ada benar-benar murni mewakili kepentingan
masyarakat, bukan kepentingan beberapa orang yang mengatas namakan
masyarakat yang ada di dalam dan sekitar hutan.Kenyataan yang ada
selama ini untuk menjadikan renungan berkaitan dengan pemberdayaan
masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah :a. Proyek-proyek yang
berorientasi pada pengembangan swadaya masyarakat baik yang
dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga kerja sama
lainnya menunjukkan bahwa lembaga/organisasi yang dibentuk dalam
rangka proyek tersebut tidak dapat berkembang dan bahkan hanya
mampu bertahan selama adanya proyek.b. Lembaga-lembaga pelaksana
pembangunan yang menyeponsori pembentukan organisasi baru di
masyarakat (sebagai wadah pengembangan swadaya masyarakat)
cenderung menerapkan peraturan dan kebijakan sesuai dengan skema
proyek dengan menetapkan struktur terstandarisasi.c. Banyak pihak
tidak memahami perbedaan antara pengorganisasian dan pengembangan
lembaga dengan pembentukan organisasi.Suhardjito (2012)
mengemukakan bahwa, pada sisi lain masyarakat desa hutan hidup
miskin dan infrastruktur sosial ekonominya belum terbangun
sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat hutan. Berdasarkan data
PODES (Potensi Desa) tahun 2006 dan 2008, jumlah desa hutan yang
tersebar di 32 provinsi sebanyak 19.410 desan atau 26,7 %. Jumlah
penduduk desan hutan mencapai lebih dari 37 juta jiwa atau 17,1 %
dari penduduk Indonesia (Badan Planologi Kehutanan dan Badan Pusat
Statistik, 2007).Melihat kenyataan diatas, kondisi di lapangan
menunjukkan demikian tingginya sinergitas keterkaitan dan
ketergantungan antara masyarakat dengan alam. Akhirnya,
permasalahan penting tersebut harus segera diatasi tentunya dengan
kebijakan atau program yang lebih efektif. Dalam hal ini,
pengelolaan hutan dengan metode agroforestri dirasa paling efektif,
karena agroforestri merupakan sistem pemanfaatan lahan secara
optimal berasaskan kelestarian lingkungan dengan mengusahakan atau
mengkombinasikan tanaman kehutanan dan pertanian (perkebunan,
ternak) sehingga dapat meningkatkan perekonomian petani di
pedesaan. Selain itu, metode ini pun dilakukan dengan memberdayakan
masyarakat sekitar hutan. Terdapat pula beberapa program kehutanan
di lingkup Kementerian Kehutanan dalam pengelolaan dan pelestarian
hutan berbasis pemberdayaan masyarakat yang dapat dimanfaatkan dan
dilakukan, karena untuk mendukung program pengadaan pangan nasional
pula, diantaranya adalah Hutan Tananman Industri, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, Rehabilitasi
Lahan Kritis dan Usaha Tani Konsevasi dan Hutan Rakyat.Pemberdayaan
masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan lestari dengan
metode agroforestri merupakan suatu kegiatan dalam memberdayakan
masyarakat agar masyarakat dapat ikut andil, berperan serta, dan
berpartisipasi mengelola hutan secara langsung. Suatu kegiatan
dilakukan yang implementasinya diharapkan dapat mengurangi tingkat
kemiskinan masyarakat di sekitar hutan yang terbatas tingkat
pendidikan, kesehatan dan akses. Selain itu juga dapat tetap
menjaga kelestarian hutan dan pengoptimalan dalam pengelolaan
hutan. Karena karakteristik sosial masyarakat sekitar hutan pada
umumnya mengikuti adat istiadat yang membudaya dan masih menjadi
kebiasaan di kehidupan mereka, sehingga masih menyatu dengan
alam.Kegiatan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan
menjadi sebuah keharusan agar seluruh program yang berkaitan dengan
pemberdayaan masyarakat dalam lingkup kehutanan dapat dilaksanakan
secara efektif dan efisien. Skema pemberdayaan masyarakat
berdasarkan UU seperti tergambar di bawah ini.
UU 32/2004PP 38/2007UU 41/1999PP 6/2007 Jo PP 3/2008
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN
HUTAN KEMASYARAKATANPERMENHUT.NO.P.37/MENHUT-II/2007
HUTAN DESAPERMENHUT.NO.P.49/MENHUT-II/2008
KEMITRAAN
Gambar 1. Pemberdayaan Masyarakat berdasarkan Peraturan Sektor
KehutananPenekanannya lebih kepada menciptakan kemandirian di
masyarakat agar mempunyai posisi yang lebih diperhitungkan. Dengan
pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan diharapkan mereka mampu
mendiskusikan permasalahan-permasalahan dengan pihak-pihak luar,
dan mereka tidak hanya sebagai pendengar, tapi juga memberikan ide
atau gagasan dalam rangka memecahkan suatu masalah. Dengan
memberikan pemahaman yang betul-betul tepat sasaran, maka
masyarakat memang akan mampu memberikan kontribusi yang cukup
signifikan didalam suatu pengelolaan sumberdaya alam. Namun juga
harus digaris bawahi, bahwa pemahaman tersebut juga harus dibarengi
dengan pengetahuan-pengetahuan dasar, sehingga pandangan-pandangan
mereka tetap dengan arah yang positif.Pengembangan konsep
agroforestri marupakan salah satu solusi dalam menyelesaikan
permasalahan pertanian dan masalah kehutanan di Indonesia. Hal ini
karena sektor pertanian telah lebih berorientasi pada komoditas
tanaman pangan, holtikulturan dan perkebunan, sehingga pangsa
pasarnya sangat besar. Sementara sektor kehutanan masih
berorientasi pada potensi otoritas kawasan dan hasil hutan saja dan
sangat lemah dalam hal tata kelolanya sehingga banyak kawasan hutan
yang tidak dikelola yang menyebabkan masyarakat masuk dan mengelola
untuk kepentingan usaha taninya. Disarankan pula agar pada lahan
terlantar dan kawasan hutan yang tidak produktif untuk
mengembangkan Desa Agroforesti.
Budaya dan Peran Serta Masyarakat dalam AgroforestriPersepsi
masyarakat tentang hutan yang begitu beragam, akan mewarnai sikap
masyarakat yang beragam pula terhadap keberadaan hutan, dan akan
membentuk perilaku masyarakat dalam memandang keberadaan hutan.
Sebagian warga masyarakat menyatakan bahwa hutan berfungsi sebagai
sumber kehidupan manusia, berperilaku eksploitatif terhadap hutan,
yakni hanya memanfaatkan hutan untuk diambil hasilnya saja. Dan
sebagian lagi hanya mengambil manfaat hutan dengan mengolah hutan
serta mengolah lahan di hutan, namun juga menjaga keletarian hutan
dengan menambah jenis tanaman yang sudah ada. Persepsi masyarakat
tentang hutan serta pemahaman masyarakat perihal fungsi hutan,
kemudian perilaku masyarakat terhadap hutan yang cenderung
eksploitatif, mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan.Namun pada
dasarnya masyarakat sekitar hutan lebih mampu mengelola dan
melestarikan kekayaan alam yang ada di dalam hutan. Pemanfaatan
hutan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya berdasarkan
warisan dari Nenek moyang secara turun temurun. Konsep agroforestri
secara keseluruhan menempatkan masyarakat sebagai subjek, yang
secara aktif berupaya dengan daya dan kapasitas yang dimiliki untuk
turut memecahkan permasalahan kebutuhan, menghadapi tantangan, dan
memanfaatkan peluang kehidupan. Mengolah lahan beserta unsur
lingkungan hayati dan non-hayati lainnya dari sekedar elemen alami
menjadi sumber daya yang bernilai, bertujuan menjaga eksistensi dan
meningkatkan taraf kehidupan pribadi, keluarga dan
komunitasnya.Oleh karena itu, implementasi agroforestri selama ini
juga memiliki peranan penting dalam aspek sosial budaya masyarakat
setempat. Tentu saja, aspek sosial budaya tersebut akan lebih erat
dijumpai pada praktek-praktek agroforestri yang telah
berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun sudah ada di tengah
masyarakat atau biasa dikenal dengan agroforestri tradisional,
dibandingkan pada sistem agroforestri yang baru diperkenalkan dari
luar. Karena praktek-praktek agroforestri tradisonal merupakan
produk pemikiran dan pengalaman yang telah berjalan lama di
masyarakat dan teruji sepanjang peradaban masyarakat setempat dalam
upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, serta produk dan fungsi-fungsi
yang dihasilkan oleh komponen penyusun agroforestri tradisional
memiliki manfaat bagi implementasi kegiatan budaya masyarakat yang
bersangkutan[footnoteRef:12]. [12: Widianto, Kurniatun Hairiah,
Didik Suharjito dan Mustofa Agung Sardjono. 2003. Fungsi dan Peran
Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) : Bogor. Hlm
26.]
Widianto, dkk (2003), mengemukakan meskipun fungsi sosial budaya
agroforestri diakui lebih banyak dijumpai pada sistem yang
tradisional, akan tetapi perlu digaris bawahi pula bahwa hal
tersebut tidak merupakan faktor pembatas yang bersifat mutlak,
dikarenakan:a. Budaya suatu masyarakat pada hakekatnya tidak pernah
bersifat statis, tetapi senantiasa bersifat dinamis sesuai dengan
perkembangan waktu serta kebutuhan. Dalam mengembangkan
agroforestri seringkali disebutkan tidak berarti kembali ke jaman
batu, dengan mengulang berbagai teknik pemanfaatan lahan kuno,
tetapi juga harus progresif dan oleh karenanya memerlukan inovasi
dan pengetahuan modern. b. Setiap pengenalan sistem atau teknologi
agroforestri baru juga penting memperhatikan sosial budaya
setempat, misalnya dalam pemilihan jenis pohon, desain dan
teknologi. Hal ini dimaksudkan guna meningkatkan kemampuan
masyarakat lokal untuk mengimplementasikannya sesuai dengan kondisi
sosial budaya yang dimiliki.c. Tingkat adopsi yang tinggi terhadap
suatu sistem atau teknologi agroforestri, akan meningkatkan
produktivitas dan sustainabilitas sebagai kriteria penting lainnya
dari agroforestri itu sendiri.Dalam konteks perkembangan dan
pelestarian hutan rakyat, terdapat beberapa nilai budaya positif
sebagai sebuah manifestasi nilai keberanian dan kebesaran jiwa yang
tinggi pada masyarakat. Beberapa bentuk budaya positif masyarakat
tersebut antara lain, budaya ikhlas dan sabar, budaya kreatif dan
bekerja keras, budaya usaha tani campuran (agroforestri),
berwawasan ke depan, gotong royong dan realistis. Budaya positif
tersebut tentunya saling berkesinambungan, terlebih lagi pada
budaya agroforestri. Selain budaya positif, terdapat pula nilai
budaya negatif yang ada pada komunitas atau masyarakat desa didalam
dan sekitar hutan, yaitu masyarakat desa didalam dan sekitar hutan
pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dikarenakan
mereka tidak memiliki cukup biaya untuk dapat menempuh jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, dan akses jalan yang biasanya cukup
sulit menjangkau suatu sekolah tempat sarana pendidikan. Selain
itu, budaya masyarakat desa memiliki kecenderungan hanya
beradaptasi dan kurang menonjolkan adanya suatu pembaharuan, serta
bekerja keras dalam sektor pertanian.Aspek topografi mendasari
bagaimana kearifan lokal masyarakat adat yang tinggal di sekitar
hutan dalam pengelolaannya. Berikut ini merupakan konsep topografi
yang digunakan oleh masyarakat adat Baduy dalam pengelolaan
hutan.
Gambar 2. Profil pengelolaan agroforestri masyarakat adat
Baduy.Berdasarkan keletakannya (topografi), menurut penjelasan dari
para narasumber dan informan (Permana et al, 2011)[footnoteRef:13],
hutan Baduy terbagi atas tiga bagian: [13: Permana, RCE., Nasution,
IP,. Gunawijaya, J. 2011. Kearifan lokal tentang mitigsi bencana
pada masyarakat Baduy. Jurnal Makara, Sosial Humaniora: Volume 15
Nomor 1. Hlm. 24]
1. Hutan tua (leuweung kolot), Hutan tua disebut juga hutan
titipan (leuweung titipan) terdapat pada puncak-puncak bukit atau
gunung. Pohon-pohon yang terdapat di hutan tua ini tidak boleh
dibuka untuk ladang (huma) dan tidak boleh ditebang, kecuali
diambil kayunya secara terbatas untuk kayu bakar. Kearifan dari
konsepsi budaya ini bahwa pohon-pohon besar di puncak bukit akan
menjadi payung yang menaungi bukit itu agar tidak terjadi erosi
atau tanah longsor ketika hujan turun. Pohon-pohon di atas bukit
juga berguna untuk menyimpan air sehingga ketersediaan air tanah
tidak kekurangan dan kesuburan tanah tetap terjaga (Permana et al
2011) 2. Hutan ladang (leuweung reuma) 3. Hutan kampung (leuweung
lembur). Pembagian hutan tersebut ditinjau dari kearifan lokal
merupakan bentuk pengetahuan yang turun temurun agar sumberdaya
hutan lestari dan berkelanjutan. Sehingga pembagian hutan tersebut
berdasarkan fungsi dari ekologi, ekonomi dan sosial dari masyarakat
adat Baduy tersebut, jika ditinjau secara ilmiah bahwasanya
pengelolaan lingkungan secara lestari (sustainibility environment)
telah diterapkan dalam kearifan lokal itu sendiri.Agroforestri yang
bersifat tradisional sebagai sistem atau teknologi penggunaan lahan
memiliki kaitan yang erat dengan berbagai aspek sosial budaya di
masyarakat. Upaya untuk mempertahankan nilai-nilai sosial budaya
yang positif di masyarakat serta mengembangkannya guna pencapaian
tujuan pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat tidak berarti harus mempertahankan pola-pola
agroforestri pada bentuk atau praktek aslinya. Hal ini seringkali
justru menjadi tidak efektif dan efisien, karena pola yang statis
justru sulit untuk memenuhi tuntutan dinamika sosial budaya dan
tentunya termasuk aspek ekonomi masyarakat yang demikian pesat
berkembang. Praktek pola-pola pengelolaan hutan oleh masyarakat
dengan mengutamakan pengetahuan masyarakat yang kreatif dan dinamis
hasil proses belajar dari kehidupan sehari-hari. Sehingga memiliki
berbagai manfaat bagi masyarakat dan lingkungan setempat, baik
secara ekonomi, sosial budaya, religi dan lingkungan ekologis
setempat (Suharjito dkk, 1999 dalam Hakim dkk, 2010). Perkembangan
aspek sosial ekonomi dan budaya saat ini memang jauh lebih cepat
dibandingkan dengan perubahan fisik lingkungan alam, seperti
contohnya peningkatan jumlah populasi manusia, perubahan pola
pikir, dan sebagainya. Dalam kaitan ini setiap pengembangan
agroforestri tradisional atau teknologi agroforestri baru harus
senantiasa mencoba untuk menyesuaikan tidak hanya dengan lingkungan
alam dan kebutuhan masyarakat, tetapi juga fenomena sosial ekonomi
dan budaya yang berkembang di masyarakat yang terkait dengan
pelestarian nilai-nilai sosial budaya itu sendiri, serta tentunya
terkait pula dengan pelestarian hutan. Hubeis (1990), menambahkan
bahwa bentuk peran serta masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh
latar belakang lingkungan budaya di mana mereka bertempat tinggal.
Kearifan lokal merupakan salah satu manifestasi kebudayaan sebagai
sistem yang cenderung memegang erat tradisi sebagai sarana untuk
memecahkan persoalan yang kerap dihadapi oleh masyarakat lokal.
Dalam hal ini masyarakat bekerjasama dengan masyarakat sekitar
hutan yang berada di daerah lain untuk saling tukar pikiran dan
pengalaman tentang pengelolaan hutan, pengawasan pelestarian fungsi
hutan agar generasi yang akan datang dapat menikmati keanekaragaman
kehidupan didalam hutan dan pemanfaatan kekayaan sumber daya alam
bisa diselamatkan dengan cara pengelolaan hutan secara
berkelanjutan oleh masyarakat setempat dan keamanan yang terjamin
demi kelangsungan hidup masyarakat yang bertempat tinggal di
sekitar hutan.
Jenis Agroforestri yang Proposional yang Dapat Diterapkan di
IndonesiaAgroforestri pada dasarnya digunakan untuk meminimalisir
pemakaian lahan serta untuk memperoleh hasil yang maksmimal dari
usaha kehutanan yang dilaksanakan. Bentuk agroforestri sederhana
yang paling banyak dibahas di Jawa adalah tumpangsari. Sistem ini,
dalam versi Indonesia, dikenal dengan taungya yang diwajibkan di
areal hutan jati di Jawa dan dikembangkan dalam rangka program
perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada lahan tersebut petani
diijinkan untuk menanam tanaman semusim di antara pohon-pohon jati
muda. Hasil tanaman semusim diambil oleh petani, namun petani tidak
diperbolehkan menebang atau merusak pohon jati dan semua pohon
tetap menjadi milik Perum Perhutani. Bila pohon telah menjadi
dewasa, tidak ada lagi pemaduan dengan tanaman semusim karena
adanya masalah naungan dari pohon. Jenis pohon yang ditanam khusus
untuk menghasilkan kayu bahan bangunan (timber) saja, sehingga
akhirnya terjadi perubahan pola tanam dari sistem tumpangsari
menjadi perkebunan jati monokultur. Sistem sederhana tersebut
sering menjadi penciri umum pada pertanian
komersialPengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada
berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya.
Pengklasifikasian ini bukan dimaksudkan untuk menunjukkan
kompleksitas agoroforestri dibandingkan budidaya tunggal
(monoculture; baik di sektor kehutanan ataupun di sektor
pertanian). Akan tetapi pengklasifikasian ini justru akan sangat
membantu dalam menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri
yang dijumpai di lapangan secara lebih mendalam, guna
mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau para
pemilik lahan. Klasifikasinya dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk
yakni:
a. AgrisilvikulturAgrisilvikultur adalah sistem agroforestri
yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman
berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman
non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree
crops) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual
crops). Dalam agrisilvikultur, ditanam pohon serbaguna atau pohon
dalam rangka fungsi lindung pada lahan-lahan pertanian
(multipurpose trees/shrubs on farmlands, shelterbelt, windbreaks,
atau soil conservation hedges Nair, 1989; dan Young,
1989)[footnoteRef:14]. [14: Young, Anthony. 1989. Agroforestry for
Soil Conservation. CAB International: Wallingford, Inggris. Hlm.
47]
Seringkali dijumpai kedua komponen penyusunnya merupakan tanaman
berkayu (misal dalam pola pohon peneduh gamal/Gliricidia sepium
pada perkebunan kakao/Theobroma cacao). Sistem ini dapat juga
dikategorikan sebagai agrisilvikultur (Shade trees for plantation
crops Nair, 1989). Pohon gamal (jenis kehutanan) secara sengaja
ditanam untuk mendukung (pelindung dan konservasi tanah) tanaman
utama kakao (jenis perkebunan/pertanian). Pohon peneduh juga dapat
memiliki nilai ekonomi tambahan. Interaksi yang terjadi (dalam hal
ini bersifat ketergantungan) dapat dilihat dari produksi kakao yang
menurun tanpa kehadiran pohon gamal. Keunggulan agrisilvikultur
adalahproduktifitas total agrisilvikultur jauh lebih tinggi
dibandingkan monokultur, sehingga mengurangi tingkat kegagalan
panen serta dapat menghasilkan diversitas (keragaman) yang tinggi,
baik menyangkut produk maupun jasa. Di sisi lain system ini juga
memiliki kelemahan di mana memerlukan biaya yang lebih bsar dari
pertanian monokultur[footnoteRef:15]
(http://diarbeauxhommez.blogspot.com/). [15: Anonim, Sistem
Budidaya Agroforestry Agrisilvikultur di Dusun Manggis, Desa
Sukorambi, Kabupaten Jember. Internet.
http://diarbeauxhommez.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_02.html.
Diakses tanggal 22 Juli 2014]
b. SilviopasturalSistem agroforestri yang meliputi komponen
kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (atau
binatang ternak/pasture) disebut sebagai sistem silvopastura.
Beberapa contoh silvopastura, antara lain: Pohon atau perdu pada
padang penggembalaan (Trees and shrubs on pastures), atau produksi
terpadu antara ternak dan produk kayu[footnoteRef:16]. [16: Anonim.
Jenis Agroforestri. Internet. acehpedia.org, diakses tanggal 22
Juli 2014]
Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada
ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak
di bawah tegakan pinus, atau yang lebih ekstrim lagi adalah sistem
cut and carry pada pola pagar hidup/living fences of fodder hedges
and shrubs; atau pohon pakan serbaguna/multipurpose fodder trees
pada lahan pertanian yang disebut protein bank). Meskipun demikian,
banyak pegiat agroforestri tetap mengelompokkannya dalam
silvopastura, karena interaksi aspek konservasi dan ekonomi (jasa
dan produksi) bersifat nyata dan terdapat komponen berkayu pada
manajemen lahan yang sama. Keunggulan dari system ini adalah
diversifikasi jenis usahanya yang lebih banyak sehingga partisipasi
masyarakat juga dapat lebih maksimal. Namun di sisi lain persaingan
antara tanaman kayu daan pakan dapat mengurangi kesuburan tanah
selain itu pengembalaan ternak juga akan dapat merusak tanaman muda
yang asih dalam pembibitan[footnoteRef:17]. [17: Masnyur,dkk.
Silvapastura sebagai Suatu Jawaban untuk Penyediaan Hijauan Pakan
dalam Pengembangan Sapi Perah. Semiloka Nasional Prospek Industri
Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Universitas Padjajaran
Bandung. Tanpa Tahun]
c. AgrosilvipasturaTegakan hutan alam bukan merupakan sistem
agrosilvopastural, walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa
dijumpai dalam ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam
agrosilvopastura dilakukan secara terencana untuk mengoptimalkan
fungsi produksi dan jasa (khususnya komponen berkayu/kehutanan)
kepada manusia/masyarakat (to serve people). Tidak tertutup
kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung oleh permudaan
alam dan satwa liar. Interaksi komponen agroforestri secara alami
ini mudah diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai
contoh, adalah peranan tegakan bagi penyediaan pakan satwa liar
(a.l. buah-buahan untuk berbagai jenis burung), dan sebaliknya
fungsi satwa liar bagi proses penyerbukan atau regenerasi tegakan,
serta sumber protein hewani bagi petani pemilik lahan.Yang
dibutuhkan dalam sistem agroforestri saat ini adalah sistem yang
mengakomodir kepentingan rakyat yakni melibatkan berbagai elemen
masyarakat terutama masyarakat dekat hutan. Dengan kata lain
agroforestri dikatakan sistem yang ampuh jika juga dapat menyerap
tenaga kerja serta menguntungkan secara ekonomis. Untuk itu jika
dilihat lebih lanjut sistem agroforestri membutuhkan skema
pengambilan keputusan yang matang agar nantinya diperoleh hasil
yang maksimal. Kenali kesesuaian penggunaannya menurut jenis
wilayahPahami keuntungan dan kekurangan dari masing-masing
sistem
Pilih jenis agrofores system yang ingin di-aplikasikanHubungkan
dengan Geo-Indikator mengenai pengaruh yang ditimbulkan manusia di
dalamnya
Evaluasi aplikasi agroforest system
Gambar 3: Skema pengambilan keputusan Agroforest SystemSeperti
yang tercatat dalam geo-indikator bahwasanya faktor manusia juga
merupakan elemen penting dalam mensukseskan program agroforestri
yang ada sehingga menimbulkan efek retasan yang bagus dimana
tercipta partisipasi yang aktif dari masyarakat. Oleh karenanya
aspek kebudayaan harus dapat ditarik lebih ke dalam pelaksanaan
program agroforestri. Menurut Herawati (2011) pada awal-awal
penerapan program ini telah terungkap bahwasanya kebijakan yang
dibuat oleh Kementrian Kehutanan justru membingungkan dan sulit
dilaksanakan pada tahap praktek[footnoteRef:18]. [18: BPTA Ciamis.
Tanpa tahun. Tantangan dan Peluang dalam Penelitian Agroforestri.
BPTA Ciamis. Ciamis. Hlm 34]
Sebenarnya terdapat beberapa contoh Agrosilvopastura di
Indonesia, baik yang berada di Jawa maupun di luar Jawa. Contoh
praktek agrosilvopastura yang luas diketahui adalah berbagai bentuk
kebun pekarangan (home-gardens), kebun hutan (forest-gardens),
ataupun kebun desa (village-forest-gardens), seperti sistem Parak
di Maninjau (Sumatera Barat) atau Lembo dan Tembawang di
Kalimantan, dan berbagai bentuk kebun pekarangan serta sistem Talun
di Jawa[footnoteRef:19]. [19: Anonim. Jenis Agroforestri. Internet.
acehpedia.org, diakses tanggal 22 Juli 2014]
KesimpulanPengembangan konsep agroforestri marupakan salah satu
solusi dalam menyelesaikan permasalahan pertanian dan masalah
kehutanan di Indonesia. Pengembangan agroforestri mempunyai prospek
yang cukup baik dalam kontribusinya terhadap kesejahteraan
masyarakat didalam dan sekitar hutan, serta menjaga keamanan dan
kelestarian hutan bersama masyarakat didalam dan sekitar hutan.
Konsep ini dilakukan dengan memberdayakan masyarakat sekitar hutan
dengan budaya kearifan lokal. Kegiatan pemberdayaan masyarakat di
dalam dan sekitar hutan menjadi sebuah keharusan agar seluruh
program yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dalam lingkup
kehutanan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Konsep
agroforestri secara keseluruhan menempatkan masyarakat sebagai
subjek, yang secara aktif berupaya dengan daya dan kapasitas yang
dimiliki untuk turut ikut aktif berperan serta dalam memecahkan
permasalahan kebutuhan, menghadapi tantangan, dan memanfaatkan
peluang kehidupan dalam pengelolaan dan pelestarian hutan.Sistem
tumpangsari atau agroforestri yang diatur dengan baik akan
meningkatkan kesuburan lahan yang berdampak pada peningkatan
produktifitas tanaman. Sulitnya perluasan areal tanam dengan
penambahan luas baku lahan terutama di Pulau Jawa, membuat
kebijakan ini merupakan salah satu alternatif dalam perluasan areal
pertanaman pangan, terutama di wilayah yang dominasi arealnya
merupakan areal hutan. Agroforestri pada dasarnya digunakan untuk
meminimalisir pemakaian lahan serta untuk memperoleh hasil yang
maksmimal dari usaha kehutanan yang dilaksanakan untuk pembangunan
berkelanjutan. Implementasi agroforestri selama ini juga memiliki
peranan penting dalam aspek sosial budaya masyarakat setempat.
Diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat di
sekitar hutan yang terbatas tingkat pendidikan, kesehatan dan
akses.
SaranDalam implementasi agroforestri, masih dijumpai beberapa
permasalahan yang perlu mendapat perhatian baik terkait dengan
aspek teknis maupun sosial dan budaya. Misalnya saja budaya
masyarakat desa didalam dan sekitar hutan pada umumnya memiliki
kecenderungan yang hanya beradaptasi dan kurang menonjolkan adanya
suatu pembaharuan, serta bekerja keras dalam sektor pertanian.
Walaupun nilai postitif budaya suatu masyarakat pada hakekatnya
tidak pernah bersifat statis, tetapi senantiasa bersifat dinamis
sesuai dengan perkembangan waktu serta kebutuhan. Namun setidaknya
beberapa kearifan lokal atau karakter budaya di Jawa baik nilai
positif maupun negatif yang perlu diperhatikan berkaitan dengan
kepedulian masyarakat hutan dapat dilihat sebagai berikut:Tabel 3.
Karakter budaya di Jawa baik nilai positif maupun negatifSuku
BangsaNilai PositifNilai Negatif
JawaAnggapan hutan merupakan daerah yang angker sehingga
masyarakat dilarang melakukan hal-hal disosiatif disana. Selain itu
tradisi nyadran tiap tahun yang diadakan untuk membersihkan
lingkungan sekitar merupakan ciri khas masyarakat Jawa mencintai
lingkungannya. Bahkan berkaitan dengan agroforestry masyarakat Jawa
punya sistem tani talun yang berguna jika dikembangkan
(acehpedia.org).Budaya komersialisasi lahan dengan anggapan bahwa
semua pemberian Tuhan harus diolah secara nyata yang mengakibatkan
banyak lahan-lahan yang mungkin subur namun memiliki kemiringan
tinggi dibuat untuk pertanian dan budidaya sayuran
Orang SaminPandanganmasyarakatSaminterhadap lingkungan sangat
positif, mereka memanfaatkanalam(misalnya mengambilkayu) secukupnya
saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan
pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan
apa adanya.Tanahbagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah
memberi penghidupan kepada mereka. Sebagaipetani tradisionalmaka
tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya. Dalam pengolahan lahan
(tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya
berdasarkanmusimsaja.
Sunda dan Badui Hukum adat pikukuh merupakan tulang punggung
utama masyarakat badui dalam membangun hubungan dengan lingkungan
sekitarnya. Contoh nyatanya adalah pelarangan masuk hutan larangan
(leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang atau
mengambil hasil hutan lainnya. Serta melarang menebang jenis
pohon-pohon tertentu (anonim, 2009).Pelarangan teknologi kimia,
misalnya menggunakan pupuk, dan obat pemberantas hama penyakit dan
menuba atau meracuni ikan mungkin akan mengurangi produktivitas
dari pertanian itu sendiri.
Dari ketiga suku bangsa atau adat yang ada di Jawa tersebut,
masing-masing suku bangsa memiliki nilai budaya positif dan negatif
yang berbeda-beda, tetapi dapat di sinkronisasi. Hal tersebut
merupakan karakter budaya yang perlu untuk diperhatikan agar dampak
positifnya akan jauh lebih besar bagi pembangunan berkelanjutan dan
peningkatan pengentasan kemiskinan demi kesejahteraan masyarakat
didalam hutan dan sekitar hutan. Dengan kata lain masyarakat
bekerjasama dengan masyarakat sekitar hutan yang berada di daerah
lain untuk saling tukar pikiran dan pengalaman tentang pengelolaan
hutan, pengawasan pelestarian fungsi hutan agar generasi yang akan
datang dapat menikmati keanekaragaman kehidupan didalam hutan dan
pemanfaatan kekayaan sumber daya alam bisa diselamatkan dengan cara
pengelolaan hutan secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat dan
keamanan yang terjamin demi kelangsungan hidup masyarakat yang
bertempat tinggal di sekitar hutan. Selain itu, perlu juga adanya
sinkronisasi dengan program dari pemerintah pusat maupun
daerah.
DAFTAR PUSTAKABukuBPTA Ciamis. Tanpa tahun. Tantangan dan
Peluang dalam Penelitian Agroforestri. BPTA Ciamis. CiamisBudiman,
A., Verbenasari, A., Salim, W., 1996. The identi"cation of
phenomenon of Gerbangkertasusila mega-urban region and
Malang-Surabaya Corridor. Undergraduate Thesis. Department of
Regional and City Planning. Institute of Technology. Bandung, (in
Indonesian).Djaenuddin, Deden. Beberapa Penyebab Terjadinya Alih
Fungsi Kawasan Hutan Ke Non Hutan. Staff Peneliti Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan.Firman, Tommy. 1997. Rural
to urban land conversion in Indonesia during boom and bust periods.
Land Use Policy 17 (2000), 13-20.FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan
Indonesia. Bogor , Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington
D.C.: Global Forest WatchHakim I, dkk. 2010. Social Forestry Menuju
Restorasi Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Kampus Balitbang
Kementerian Kehutanan : Bogor.Jayakumar, Ramasamy and Liu Ke. 2007.
Geo-indicators in Sustainable Management of Geoparks. Natural
Sciences Sector in,UNESCO. Geoparks Newsletter : Beijing.Kitamura,
T. and E. Rustiadi. 1997. Indonesia Model. Center for Global
Environmental Research. ISSN 1341-4356. CGER-1027-97.Nugraha,
Agung. 2004. Menyonsong Perubahan Menuju Evitalisasi Sektor
Kehutanan. Jakarta : Wirma AksaraSumargo, Wirendro.dkk.2011. Potret
Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. Forest Watch
Indonesia: JakartaSupriadi, 2011. Hukum Kehutan dan Hukum
Perkebunan Di Indonesia. Jakarta : Sinar GrafikaWidianto, Kurniatun
Hairiah, Didik Suharjito dan Mustofa Agung Sardjono. 2003. Fungsi
dan Peran Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) :
Bogor.Young, Anthony. 1989. Agroforestry for Soil Conservation. CAB
International: Wallingford, Inggris.
MakalahMasnyur,dkk. Silvapastura sebagai Suatu Jawaban untuk
Penyediaan Hijauan Pakan dalam Pengembangan Sapi Perah. Semiloka
Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020.
Universitas Padjajaran Bandung. Tanpa TahunSuhartini. Kajian
Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan
Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16
Mei 2009.
JurnalFP UB. Pengembangan dan Penguatan Agroforestri Berbasis
Pemberdayaan Masyarakat. Soemarno. Tanpa TahunPermana, RCE.,
Nasution, IP,. Gunawijaya, J. 2011. Kearifan lokal tentang mitigsi
bencana pada masyarakat Baduy. Jurnal Makara, Sosial Humaniora:
Volume 15 Nomor 1.Sunderliin, Resosudarmo. Laju dan Penyebab
Deforestasi di Indonesia: Penelaahan Kerancuanan dan
Penyelesaiannya. Vol. 1 No.9 Maret 1997
InternetAnonim, Sistem Budidaya Agroforestry Agrisilvikultur di
Dusun Manggis, Desa Sukorambi, Kabupaten Jember. Internet.
http://diarbeauxhommez.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_02.html.
Diakses tanggal 22 Juli 2014Anonim. Jenis Agroforestri. Internet.
acehpedia.org, diakses tanggal 22 Juli 2014