Page 1
OBAT ANESTESI INTRAVENA NON OPIOID
Dr. L. Sandhie Prasetya
Dikenalnya thiopental pada praktek klinik pada tahun 1934 menandai diawalinya teknik anestesi intravena modern. Thiopental dan barbiturate lainnya, sebenarnya, bukan obat anestesi intravena yang ideal, terutama karena hanya dapat menimbulkan hipnosis saja. Obat anestesi yang ideal dapat menimbulkan hipnosis, amnesia, analgesia dan relaksasi otot tanpa depresi kardiak dan respiratorik yang tidak diinginkan. Karena tidak ada obat tunggal yang ideal, banyak obat-obatan lain yang digunakan, sering bersama-sama, yang dapat menghasilkan efek-efek obat yang diinginkan.
Sebuah penelitian pada tahun 1988 mengungkapkan bahwa penggunaan kombinasi obat-obat anestesi adalah lebih aman dibandingkan bila hanya menggunakan satu atau dua jenis obat. Walaupun data tersebut sebenarnya tidak mudah untuk diinterpretasikan, penggunaan baberapa obat akan memberikan manfaat dalam pengelolaan anestesi. Bab ini akan memberikan informasi tentang beberapa obat anestesi intravena non-opioid yang tersedia dan dapat digunakan.
PROPOFOL
SEJARAH
Propofol adalah obat anestesi intravena yang paling sering digunakan saat ini. Dimulai pada tahun 1970-an dihasilkan dari substitusi derivate phenol dengan materi hipnotik yang kemudian menghasilkan 2,6-diisopropofol. Uji klinik yang pertama kali dilakukan, dilaporkan oleh Kay dan Rolly tahun 1977, memberikan konfirmasi penggunaan propofol sebagai obat induksi anestesi. Propofol tidak larut dalam air dan pada awalnya tersedia dengan nama Cremophor EL (BASF A.G.) Dikarenakan oleh reaksi anafilaktik yang berkaitan dengan Cremophor EL pada formulasi awal propofol, obat ini tersedia dalam bentuk emulsi. Propofol digunakan untuk induksi dan rumatan anestesi, demikian pula untuk sedasi baik di dalam maupun di luar kamar operasi.
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA
Propofol (Gambar 10-1) adalah salah satu dari grup alkylphenol yang dapat menimbulkan hipnosis pada hewan. Alkylphenols berbentuk minyak pada suhu kamar, tidak larut dalam air tetapi kelarutannya tinggi dalam lemak. Formula baru yang menyisihkan Cremophor tersusun atas 1 % (berat/volume) propofol, minyak kedelai 10 %, glycerol 2,25 % dan 1,2 % purified egg phosphitide. Disodium edentate ditambahkan untuk memperlambat pertumbuhan bakteri pada emulsi. Formula ini memiliki pH 7, viskositasnya rendah, berwarna putih susu. Formulasi berikutnya yang mengandung metabisulfite sebagai antimicrobial diperkenalkan di Amerika. Di Eropa formula 2 % juga tersedia, dimana emulsinya mengandung campuran dari trigliserida rantai pendek dan menengah. Semua formula yang tersedia bersifat stabil pada suhu kamar dan tidak sensitive terhadap cahaya. Perubahan kelarutan akan sedikit menimbulkan perubahan farmakokinetik, memecah emulsi, degradasi spontan propofol dan kemungkinan merubah efek farmakologis.
Page 2
METABOLISME
Propofol dimetabolisme secara cepat di hati dengan cara konjugasi menjadi glukoronide dan sulfat untuk membentuk senyawa yang larut dalam air yang diekskresi ginjal. Kurang dari 1 % propofol tidak berubah saat dieksresi melalui urine, dan 2% diekskresi melalui feses. Karena kliren propofol melebihi aliran darah hepar, diperkirakan terjadi eliminasi ekstrahapatal atau ekstrarenal. Paru-paru diperkirakanmemegang peranan penting dalam proses ini, dimana paru bertanggung jawab atas kira-kira 30 % dari uptake dan eliminasi fase pertama. Pada studi invitro diketahui juga bahwa mikrosom pada ginjal dan usus manusia mampu membentuk senyawa propofol glukoronide. Propofol sendiri menunjukkan inhibisi cytochrome-450 yang tergantung pada konsentrasi, yang mungkin dapat merubah metabolism obat-obat yang tergantung pada system enzim tersebut (contohnya obat-obat opioid).
FARMAKOKINETIK
Evaluasi farmakokinetik propofol banyak dilakukan dengan interval dosis yang lebar seperti pemberian melalui infuse kontinyu, dan dijelaskan dalam model dua atau tiga kompartemen (lihat Tabel 10-1). Setelah injeksi bolus, kadar propofol dalam darah menurun cepat sebagai akibat redistribusi dan eliminasi (Gbr. 10-2). Klirens propofol sangat tinggi – 1,5 sampai 2,2 L/mnt. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya kliren ini melebihi aliran darah hepar dan terjadi metabolisme ekstahepatal. Konstanta ekuilibrium propofol berpedoman pada supresi electroencephalogram (EEG) (yang berkorelasi kuat dengan penurunan kesadaran) adalah sekitar 0,3 per menit, dan waktu paruh ekuilibrium antara konsentrasi plasma dan efek EEG adalah 2,5 menit. Waktu untuk mencapai puncak efek adalah 90 sampai 100 detik.
Beberapa faktor dapat menjadi penyebab perubahan farmakokinetik propofol, antara lain jenis kelamin, berat badan, umur, penyakit penyerta, dan pengobatan lain. Peningkatan kardiak output akan menurunkan konsentrasi propofol di dalam plasma dan sebaliknya. Pada keadaan hemorrhagic shock konsentrasi propofol meningkat sampai 20 % sampai terjadi kondisi shock yang tidak terkompensasi, suatu point dimana terjadi penigkatan konsentrasi propofol yang sangat cepat. Pada anak
Page 3
FARMAKOLOGI
Efek pada Susunan Saraf Pusat
Sifat utama propofol adalah hipnotik. Mekanisme kerjanya masih belum jelas sepenuhnya, namun beberapa bukti menunjukkan bahwa sebagian besar kinerja hipnosis propofol adalah dengan potensiasi γ-aminobutiric acid (GABA)-induced chloride current, dengan berikatan pada subunit β dari reseptor GABAA. Subunit β1 (M286), β2 (M286), β3 (M286) pada domain transmembran merupakan area kritis aksi hipnotik propofol. Melalui mekanisme pada reseptor GABAA di hippocampus, propofol menghambat pelepasan acethylcholine pada hippocampus dan kortek prefrontal. Aksi ini sangat penting untuk efek sedasi propofol. Propofol disebutkan juga menghambat reseptor glutamate subtype N-methyl-D-aspartate (NMDA) melalui mekanisme modulasi sodium channel. Propofol juga mendepresi neuron kornu posterior medulla spinalis melalui reseptor GABAA dan glysine.
Propofol memiliki dua efek samping yang menarik yaitu efek antiemetik dan adanya sense of well-being setelah pemberian propofol. Efek antiemetic ini disebabkan oleh penurunan kadar serotonin pada area postrema yang kemungkinan dikarenakan kerja propofol pada reseptor GABA.
Onset hipnosis propofol sangat cepat (one arm-brain circulation) setelah pemberian dengan dosis 2,5 mg/kg, dengan efek puncak terlihat setelah 90 -i 100 detik. Median dosis efektif (ED 50) propofol untuk hilangnya kesadaran adalah 1 – 1,5 mg/kg setelah pemberian bolus. Durasi hipnosis tergantung pada dosis (dose dependent) kira-kira 5 – 10 menit setelah pemberian 2 – 2,5 mg/kg. Usia mempengaruhi dosis induksi, dimana dosis tertinggi adalah pada usia lebih muda dari 2 tahun (ED95 pada 2,88 mg/kg) dan menurun dengan bertambahnya usia. Efek pertambahan usia pada penurunan konsentrasi propofol yang dibutuhkan untuk terjadinya penurunan kesadaran ditunjukkan pada Gambar 10-4.
Beberapa penelitian menyebutkan propofol dapat digunakan untuk penanganan kejang epilepsy dengan dosis 2 mk/kg. Demikian pula propofol dapat digunakan dalam pengobatan chronic refractory headache dengan pemberian 20 – 30 mg setiap 3 – 4 menit (maksimal 400 mg).
Propofol dapat menurunkan tekanan intracranial (TIK) pada pasien dengan TIK normal maupun meningkat. Pada pasien dengan TIK normal terjadi penurunan TIK (30 %) yang berhubungan dengan penurunan sedikit tekanan perfusi serebral (10 %). Pemberian fentanyl dosis rendah bersama dengan propofol dosis suplemen mencegah kenaikan TIK pada intubasi endotrakeal. Pada pasien dengan peningkatan TIK, penurunan TIK (50 %) berkaitan dengan penurunan yang bermakna pada tekanan perfusi serebral.
Efek pada Sistem Respiratorik
Periode apnea terjadi setelah pemberian propofol dengan dosis induksi, durasi dan insidensinya tergantung dari dosis pemberian, kecepatan induksi dan pemberian premedikasi. Dosis induksi propofol menyebabkan 25 – 30 % insiden apnea. Durasi apnea bias lebih dari 30 detik, dimana kejadian ini bias
Page 4
disebabkan pemberian opioid, baik sebagai premedikasi maupun pemberian sebalum induksi. Onset apnea terlihat dari penurunan volume tidal dan takipnea.
Propofol menyebabkan bronkodilatasi pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik.
Efek pada Sistem Kardiovaskuler
Efek kardiovaskular propofol telah dievaluasi baik pada saat induksi maupun rumatan (Tabel 10-2). Efek yang paling bermakna adalah penurunan tekanan darah arterial selama induksi anestesi. Pada pasien dengan tanpa gangguan kardiovaskuler, induksi dengan dosis 2 – 2,5 mg/kg menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 25 – 40 %. Perubahan yang sama terlihat pada tekanan darah rata-rata dan tekana diastolik. Penurunan tekanan arterial berkaitan dengan penurunan kardiak output/kardiak index (≈ 15 %), stroke volume index (≈ 20 %) dan tahanan vaskuler sistemik ( 15 – 25 %). Index kerja ventrikel kiri juga berkurang ((≈ 30 %). Pada pasien dengan kelainan katup, tekanan arteri pulmonal dan tekanan kapiler pulmonal juga berkurang, dan hal ini disebutkan karena adanya penurunan preload dan afterload. Penurunan tekanan sistemik setelah induksi propofol dapat disebabkan oleh vasodilatasi dan kemungkinan juga oleh depresi miokard.
Mekanisme lain yang diperkirakan dapat menyebabkan penurunan kardiak output adalah aksi propofol pada sympathetic drive jantung. Propofol dengan konsentrasi tinggi (10 µg/mL) mengurangi efek inotropik dari stimulasi α- bukan β-adrenoreseptor dan meningkatkan efek lusitropik (relaksasi) dari stimulasi β. Secara klinis, efek depresi miokardial dan vasodilatasi kelihatannya tergantung pada dosis dan konsentrasi plasma.
Frekuensi denyut jantung tidak mengalami perubahan yang signifikan setelah pemberian propofol dosis induksi. Diperkirakan propofol mereset atau menghambat baroreflek, mengurangi respon takikardi pada hipotensi. Propofol menurunkan tonus parasimpatis jantung sesuai dengan derajat sedasi yang timbul.
Pada pemeliharaan anestesi dengan propofol denyut jantung dapat meningkat, menurun atau tidak berubah. Pemberian infus propofol menunjukkan penurunan signifikan pada aliran darah miokard dan konsumsi oksigen, suatu hal yang dapat menjaga rasio suplai dan kebutuhan oksigen miokard secara umum. Propofol mengurangi disfungsi mekanik, menurunkan cedera jaringan, memperbaiki aliran koroner dan menurunkan metabolic dearrangement.
Efek lain
Propofol, seperti thiopental, tidak mempotensiasi blok neuromuscular yang disebabkan oleh obat blok neuromuscular depolarisasi dan non-depolarisasi. Propofol tidak memicu hiperpireksi maligna dan mungkin merupakan pilihan pada pasien dengan kondisi tersebut.Pada pasien dengan multipel alergi, propofol harus digunakan dengan berhati-hati.Propofol juga memiliki efek antiemetic yang bermakna pada dosis rendah (subhipnotik). Propofol digunakan untuk mengatasi rasa mual post operasi dengan dosis bolus 10 mg.
Page 5
PENGGUNAAN
Induksi dan Pemeliharaan Anestesi
Propofol sesuai bila digunakan untuk induksi maupun pemeliharaan anestesi dan telah disetujui untuk digunakan pada anestesi neurologik dan cardiak (tabel 10-3). Dosis induksi bervariasi mulai dari 1,0 sampai 2,5 mg/kg dan ED95 pada pasien dewasa yang tidak dipremedikasi adalah 2,25 - 2,5 mg/kg. Karakteristik fisiologis yang menjadi penentu dosis induksi adalah umur, massa tubuh dan volume darah sentral. Premedikasi dengan opioid atau benzodiazepin, atau keduanya, akan mengurangi dosis induksi. Dosis 1 mg/kg (dengan premedikasi) sampai 1,75 mg/kg (tanpa premedikasi) direkomendasikan untuk induksi anestesi pada pasien lebih tua dari 60 tahun (lihat juga bab 62). Untuk mencegah hipotensi pada pasien dengan penyakit lebih berat atau mereka yang akan menjalani operasi bedah jantung, pemberian loading cairan harus diberikan, dan propofol harus diberikan dalam dosis kecil (10 – 30 dengan infus) sampai pasien kehilangan kesadaran.ED 95 (2,0 – 3,0 mg/kg) untuk induksi pada anak meningkat, terutama karena disebabkan perbedaan farmakokinetik. Saat digunakan sebagai induksi anestesi, propofol menunjukkan pemulihan serta kembalinya fungsi motorik yang lebih cepat secara signifikan dibandingkan dengan thiopental atau methohexital. Kejadian mual dan muntah pada propofol juga lebih rendah, mungkin disebabkan efek antimuntahnya. Propofol dapat diberikan secara bolus intermitten atau infus kontinyu untuk pemeliharaan anestesi. Setelah pemberian dosis induksi yang sesuai, bolus 10 – 40 mg dibutuhkan setiap 5 menit untuk pemeliharaan. Karena pemberian ini harus dilakukan berulang, akan lebih mudah bila diberikan dengan infus kontinyu. Berbagai metode infus kontinyu telah banyak digunakan untuk mencapai konsentrasi plasma yang adekuat. Kecepatan infus tergantung pada kebutuhan masing-masing individu dan stimulus pembedahan. Bila dikombinasikan dengan propofol, midazolam, clonidine, morphine, fentanyl, sulfentanil, alfentanil atau ramifentanil mengurangi kecepatan dan konsentrasi infus (lihat juga bab 12)Bertambahnya usia berhubungan dengan penurunan kebutuhan terhadap propofol, sedangkan pada anak dan bayi kebutuhan ini meningkat.Untuk operasi singkat (< 1 jam) pada permukaan bagian tubuh, keuntungan akan pemulihan yang cepat dan berkurangnya mual – muntah masih terbukti pada penggunaan propofol. Bila digunakan pada operasi yang lebih lama, kecepatan pemulihan dan kjadian mual - muntah propofol hampir sama dengan penggunaan thiopental/isoflurane.
Sedasi
Page 6
Propofol telah dievaluasi untuk penggunaan sebagai sedasi selama pembedahan dan pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik di ICU. Propofol dengan infuse kontinyu memberikan tinkatan sedasi yang dapat dititrasi dan pemulihan yang singkat setiap kali infuse dihentikan.
EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI
Induksi anestesi dengan propofol dikaitkan dengan beberapa efek samping, termasuk nyeri saat injeksi, myklonus, apneu, penurunan tekanan darah arterial dan jarang , trombophlebitis pada vena lokasi injeksi propofol. Nyeri dapat direduksi dengan pemilihan vena yang besar, mengindari vena di dorsum manus, dan menambahkan lidokain pada larutan propofol. Apneu pada pemberian propofol sering terjadi dan hampir sama dengan pemberian thiopental dan methohexital; namun propofol menyebabkan kejadian yang lebih sering dan periode apneu lebih dari 30 menit. Pemberian opioid meningkatkan insidensi apneu khususnya apneu yang prolong.
Efek samping yang paling signifikah. n adalah penurunan tekanan darah sistemik. Penambahan opioid sebelum induksi cenderung menambah penurunan tekanan darah. Mungkin pemberian dengan dosisi lebih kecil dan cara pemberian pelan serta rehidrasi yang adekuat akan mengatasi penurunan tekanan darah. Berlawanan dengan hal tersebut, efek laringoskopy dan intubasi endotrakeal dan peningkatan MAP, denyut nadi dan tahanan vascular sistemik kurang signifikan pada propofol jika dibandingkan dengan thiopental.
Propofol infusion syndrome jarang terjadi namun letal, dikaitkan dengan infuse propofal 5 mg/kg/jam atau lebih dari 48 jam atau lebih. Gejala klinik berupa kardiomiopati dengan gagal jantung akut, asidosis metabolic, miopati skeletal, hiperkalemia, hepatomegali dan lipemia. Bukti yang ada menunjukkan kemungkinan sindrom ini disebabkan kegagalan metabolism asam lemak bebas yang disebabkan inhibaisi masuknya asam lemak bebas ke mitokondria dan gangguan rantai respirasi mitokondria.
Barbiturat
Sejarah
Asam barbiturik yang terdiri dari kombinasi urea dan asam melonik yang semakin berkurang potensi sedatifnya pertama kali disintesis oleh J.F.W. Adolph von Baeyerpada tahun 1864.278 Barbital (diethylbarbituric acid) merupakan barbiturate yang pertama dengan potensi sedative telah dilaporkan oleh Fischer dan von Mering pada tahun 1903. ObatHipnotik oral ini mempunyai aksi potensial yang panjang dan dikenal sebagai sedatif dalam praktek klinik. Dengan dikenalkannya Somnifen, sejenis campuran antara dietilbarbiturik (garam barbiturat) dan asam diallybarbiturik, pada tahun 1920 maka barbiturate intravena menjadi popular untuk penggunaan klinik. Pada tahun 1920, Somnifen telah diperkenalkan oleh Redomet dan pertama kali digunakan secara klinik oleh Bardet pada tahun 1921 dalam proses persalinan. Somnifen pertama kali digunakan dalam tindakan bedah pada tahun 1924 oleh Fredet dan Perlis. Sejak itu, Somnifen digunakan pada tahun-tahun berikutnya di Prancis dan Jerman
Page 7
Barbiturat “ultra-shortacting” yang pertama, hexobarbital ditemukan oleh Kropp dan Taub dan telah digunakan dalam pemakaian klinik pada bulan Juli tahun 1932 oleh W. Weese dan W. Scharpff. Hexobarbital digunakan secara luas di Eropa tetapi tidak begitu popular di Amerika Utara. Pada tahun 1929, Zerfas dkk telah melaporkan penggunaan amobarbital (Amytal) dan hal ini memacu berkembangnya penggunaan barbiturat.
Thiobarbiturat pertama dikenal pada tahun 1930. Oleh karena eksperimen yang fatal pada anjing, maka penggunaanya tidak dieksplorasi sehingga tahun 1930. Pada tahun 1935, Tabern dan Volwiler telah berhasil mensintesis barbiturate yang mengandung sulfur (thiopental). Thiopental diperkenalkan secara klinik oleh Palph Waters dan John Lundy dan langsung menjadi pilihan secara klinik. Ini adalah karena onsetnya yang cepat dan durasinya yang singkat tanpa efek eksitatori hexobarbital.
Walaupun dikritik setelah banyak korban luka-luka sewaktu serangan pada “Pearl Harbour”, barbiturat tetap digunakan secara luas sebagai agen eutanasia yang ideal dalam situasi klinik. Banyak derivate barbiturate yang telah disintesis pada beberapa dekade lalu tetapi tidak ada satu pun yang sepopular thiopental. Thiopental telah berhasil melewati uji coba waktu sebagai obat anestesia intravena. Diskripsi yang lebih rinci tentang barbiurat dalam anestesia bisa ditemukan di sumber yang lain.
Karakteristik fisikokimia
Barbiturat adalah substan hipnotis aktif yang berasal dari asam barbiturik (2.4.6-trioxohexahydropyrimidine). Barbiturat terdiri dari dua divisi yand utama. Yang pertama adalah barbiturate yang mengandung oksigen pada posis 2 (oksibarbiturat) dan barbiturat yang mengandung sulfur pada posisi 2 (thiobarbital). Lewat taumerisasi keto-enol, oksigen atau sulfur pada posisi 2 menjadi sepsis yang reaktif dalam format enol yang menghasilkan garam barbiturate yang larut dalam air di solusi basa. Kelarutan ini memungkinkan barbiturate digunakan secara intravena. Unsure hipnotik barbiturat dihasilkan lewat proses substitusi pada hydrogen yang bercantum pada atom karbon di posisi 5 oleh kelompok aryl atau alkyl. Barbiturat hipnotis aktif bisa dilihat pada Tabel 10-4. Dari tabel tersebut, hanya thiobarbital thiopental dan thianylal dan oksibarbiturat methohexital sering digunakan untuk induksi anestesia. (Fig 10-8)
Formulasi barbiturate melibatkan preparasi barbiturate sebagai garam natrium (dicampur dengan 6% anhydrous natrium karbonat) yang dicampur dengan air ataupun normal saline untuk menghasilkan 2.5% solusi thiopental, 2.0% solusi thiamylal atau 1.0% solusi methohexital. Thiobarbiturat adalah stabil selama 1 minggu kalau disimpan di kulkas dan methohexital bisa digunakan selama 6 minggu setelah direkonstitusi. Nilai basa solusi yang berkurangan bisa mengakibatkan barbiturate mengendap sebagai asam bebas. Ini adalah alasan kenapa ia tidak bisa direkonstitusi dengan solusi Ringer Lactat atau dicampur dengan solusi asidik yang lain. Contoh obat yang tidak bisa diberikan secara bersama atau dicampurkan dalam solusi dengan barbiturat adalah pancuronium, veruronium, atracurium, alfentanil, sufentanil dan midazolam. Studi telah membuktikan bahwa induksi secara cepat,
Page 8
mencampurkan thiopental dengan vecoronium atau pancuronium akan menyebabkan formasi endapan yang akan mengoklusi pembuluh darah vena.
Hubungan Struktur-Aktivitas
Substitusi pada posisi 5,2 dan 1 menghasilkan nucleus barbiturate yamg mempunyai aktivitas farmakologik yang berbeda. Substitusi pada posis 5 dengan kelompak aryl atau alkyl menghasilkan efek hipnotis dan sedative. Kelompok phenyl yang disubstitusi pada posisi C5 menghasilkan aktivitas antikonvulsan. Penambahan panjang rantai di salah satu atau kedua hujung rantai kelompok alkyl pada C5 meningkatkan potensi hipnotis. Barbiturate yang digunakan dalam praktek klinis mempunyai oksigen atau sulfur di C2. Substitusi sulfur pada posisi C2 meningkatkan onset aksinya. Penambahan metil atau kelompok etil pada posisi 1 akan meningkatkan onsetnya tapi akan menyebabkan beberapa efek samping. Misalnya tremor, tipertonus dan gerakan involunter. Perbandingan antara potensial, onset aksi, durasi aksi dan efek samping dipaparkan dalam Tabel 10-5.
BENZODIAZEPINE
Sejarah
Benzodiazepine secara tidak sengaja ditemukan sebagai obat sedatif-hypnotic. Sternbach
mensintesiskan chlorodiazepoxide (Librium) pada tahun 1955, tapi Librium ini dibuang tanpa dites
terlebih dahulu karena dianggap lamban kerjanya. Akan tetapi, pada tahun 1957, ditemukan bahwa obat
ini ternyata mempunyai efek-efek “hypnotic, sedatif, dan antistrychnine pada tikus”. Benzodiazepine
pertama ini diperkenalkan untuk digunakan secara oral pada tahun 1960 dan pada tahun tersebut,
dengan dosis-dosis yang cukup tinggi, chlorodizepoxide mempunyai kandungan hypnotic dan amnestic
yang tinggi meskipun dalam anastesi, obat ini tidak tersedia dalam bentuk parenteral. Tapi, seorang
pasien yang diberi chlorodiazepoxide ketika kecelakaan sacrumnya jatuh dan retak; kecelakaan ini atau
rasa sakit tidak dapat diingat oleh pasien tersebut sehingga menunjukkan bahwa benzodiazepine
mempunyai efek tidak dapat mengingat kejadian atau rasa sakit (pembedahan). Diazepam (Valium)
disintesiskan dengan lebih baik oleh Sternbach pada tahun 1959 ketika mencari senyawa yang lebih baru
dan lebih baik. Valium pertama kali digunakan sebagai agent induksi anastesi intravenous pada tahun
1965. Oxazepam (Serax), metabolit diazepam, disintesiskan pada tahun 1961 oleh Bell dan dipasarkan
oleh perusahaan farmasi berbeda. Lorazepam (Ativan), 2’-chloro, produk pengganti oxazepam,
disintesiskan pada tahun 1971 untuk menghasilkan benzodiazepine yang lebih poten. Pencapaian besar
Page 9
lainnya adalah sintesis midazolam (Versed) Walser dkk (benzodiazepine larut dalam air pertama yang
digunakan secara klinis). Belum jelas benzodiazepine apa yang pertama kali digunakan untuk
menginduksi anastesi, tapi pada tahun 1966 beberapa kelompok melaporkan adanya penggunaan
diazepam untuk anastesi. Dengan demikian, midazolam merupakan benzodiazepine pertama yang
digunakan dalam anastesi.
Benzodiazepine memiliki banyak karakteristik. Mereka bekerja dengan menempati reseptor
benzodiazepine seperti yang pertama kali didiskusikan di Milan pada tahun 1971. Barnett dan Fiore
meneliti reseptor benzodiazepine dan pada tahun 1977, reseptor-reseptor benzodiazepine tertentu
terjelaskan dengan ditemukannya interaksi antara ligand-ligand dengan reseptor central. Penemuan dan
pemahaman tentang mekanisme reseptor benzodiazepine telah mendorong para ahli kimia
mengembangkan banyak senyawa agonist dan bahkan memproduksi antagonist tertentu untuk
penggunaan klinis.
Karakteristik-Karakteristik Fisikokimia
Beberapa agonist reseptor benzodiazepine biasa digunakan pada praktik anestesi di Amerika Serikat;
midazolam, diazepam, dan lorazepam (gambar 10-10 dan tabel 10-7). Semua molekul ini relatif kecil dan
larut dalam lipid dengan pH fisiologis. Setiap milliliter larutan diazepam (5 mg) mengandung 0.4 mL
benzyl alcohol, dan sodium benzoate/benzoic acid cair untuk injeksi (pH 6.2 hingga 6.9). Larutan
lorazepam (2 atau 4 mg/mL) mengandung 0.18 mL polyethylene glycol dengan 2% benzyl alcohol
sebagai larutan preservatif. Larutan midazolam mengandung 1 atau 5 mg/mL midazolam ditambah 0.8
sodium chloride dan 0.01% disodium edentate, dengan 1% benzyl alcohol yang digunakan sebagai
larutan preservatif. pH disesuaikan hingga 3 dengan hydrochloric acid dan sodium hydroxide. Midazolam
lebih dapat larut dalam lipid dibanding ketiga obat lainnya in vivo, tapi karena kemampuan larutnya
dalam lipid tergantung pH, midazolam larut dalam air ketika diformulasikan dalam medium acidic buffer
(pH 3.5). Cincin imidazole midazolam menghasilkan kestabilan dalam larutan dan metabolisme yang
cepat. Lipophilicitas ketiganya menyebabkan efek CNS mereka cepat, dan volume distribusi mereka
relatif besar.
Metabolisme
Page 10
Biotransformasi benzodiazepine terjadi dalam liver. Dua saluran utama melibatkan oksidasi microsomal
hepatic (N-dealkalisasi atau hydroxilasi aliphatic) atau konjugasi glucorinide. Perbedaannya pada dua
saluran tersebut signifikan karena oksidasi rentan terhadap pengaruh dari luar dan dapat terganggu oleh
karakteristik-karakteristik populasi pasien tertentu (misalnya hepatic cirrhosis), atau pemberian obat-
obat lain secara bersamaan yang dapat mengganggu kapasitas oksidasi (misalnya cimetidine). Konjugasi
kurang rentan terhadap faktor-faktor ini. Midazolam dan diazepam mengalami reduksi oksidasi atau
reaksi tahap 1 dalam liver. Cincin imidazole midazolam yang difusikan di oksidasi dengan cepat oleh
liver, jauh lebih cepat dari kelompok methylene cincin diazepine dalam beberapa benzodiazepine.
Oksidasi cepat menyebabkan pembersihan hepatic midazolam lebih besar dari diazepam. Lorazepam
kurang terpengaruh oleh induksi enzim dan beberapa enzim tahap 1 lainnya. Sebagai contoh, inhibisi
fungsi enzim oksidatif oleh cimetidine mengganggu pembersihan diazepam, tapi tidak mempengaruhi
lorazepam. Usia menurunkan pembersihan diazepam sedangkan merokok meningkatkannya, tapi
keduanya tidak mempunyai efek pada biotransformasi midazolam. Kebiasaan mengkonsumsi alcohol
meningkatkan pembersihan midazolam. Ras, karena perbedaan pada beberapa isoenzim menyebabkan
hydroxylasi, menghasilkan perbedaan genetik pada metabolisme obat. Frekuensi tinggi alleles termutasi
pada orang Asia dalam gen yang mengkodekan CYP2C19 dapat menjelaskan biotransformasi hepatic
diazepam.
Metabolit-metabolit benzodiazepine menjadi penting. Diazepam membentuk dua metabolit
aktif, oxazepam dan desmethyldiazepam, dimana keduanya menambah dan memperpanjang efek obat.
Midazolam di biotransformasikan menjadi hydroxymidazolam yang mempunyai aktivitas dan, ketika
diberikan dalam waktu yang lebih lama, dapat berakumulasi. Akan tetapi, metabolit-metabolit ini
dengan cepat dikonjugasi dan diekskresi dalam urin. 1-Hydroxymidazolam mempunyai potensi klinis
20% hingga 30% daripada potensi klinis midazolam. 1-Hydroxymidazolam sebagian besar diekskresikan
oleh ginjal dan dapat menyebabkan sedasi dalam pada pasien dengan gangguan renal. Dibanding
midazolam, hydroxymetabolit dibersihkan lebih cepat pada pasien sehat (tabel 10-8). Dengan demikian,
metabolit-metabolit menjadi kurang poten dan secara normal lebih cepat dihilangkan daripada
midazolam, jadi metabolit-metabolit tersebut bukan masalah besar pada pasien dengan fungsi renal dan
hepatic normal. Lorazepam mempunyai 5 metabolit, tapi metabolit utama dikonjugasi menjadi
glucuronide. Metabolit ini tidak aktif, larut dalam air, dan secara cepat diekskresi oleh ginjal.
Farmakokinetik
Page 11
Tiga benzodiazepine yang digunakan dalam anastesi diklasifikasikan menjadi benzodiazepine short
acting (midazolam), intermediate acting (lorazepam) dan long lasting (diazepam) menurut metabolisme
dan pembersihan plasmanya (lihat tabel 10-1). Kurva penghilangan plasma semua benzodiazepine dapat
disesuaikan dengan model dua atau tiga kompartemen. Pengikatan protein dan volume distribusi tidak
berbeda antara ketiga benzodiazepine ini, tapi pembersihannya sangat berbeda. Kecepatan
pembersihan midazolam berkisar 6 hingga 11 mL/kg/menit, sedangkan pembersihan lorazepam 0.8
hingga 11 mL/kg/menit dan pembersihan diazepam 0.2 hingga 0.5 mL/kg/menit. Karena tiga perbedaan
pembersihan plasma ini, obat-obat tersebut mempunyai kurva pembersihan plasma yang berbeda
(gambar 10-11 hingga 10-13). Mereka juga mempunyai perbedaan dalam context-sensitive half-time
(lihat gambar 10-3). Meskipun berhentinya aksi obat-obat ini diakibatkan redistribusi obat dari CNS ke
tissue-tissue lain setelah digunakan dalam anastesi, tingkat darah midazolam akan menurun lebih cepat
dari tingkat darah obat-obat lain karena pembersihan hepaticnya yang lebih besar setelah pemberian
harian (jangka panjang) atau setelah infusi berkelanjutan yang lama. Dengan demikian, para pasien yang
diberi infusi berkelanjutan atau bolus yang berulang-ulang midazolam selama beberapa hari akan
mengalami awaken lebih cepat daripada yang diberi diazepam atau lorazepam.
Faktor-faktor yang terdeteksi mempengaruhi farmakokinetik benzodiazepine adalah usia,
gender, ras, induksi enzim dan penyakit hepatic dan renal. Diazepam sensitif terhadap factor-faktor ini,
terutama usia. Bertambahnya usia cenderung mengurangi pembersihan diazepam secara signifikan dan
membuat tingkat pembersihan midazolam lebih kecil. Lorazepam resistan terhadap efek-efek
farmakokinetik usia, gender, dan penyakit ginjal. Ketiga obat ini semuanya dipengaruhi oleh obesitas.
Volume distribusi meningkat setelah obat meninggalkan plasma dan masuk ke tissue adipose. Meskipun
pembersihan tidak berubah, waktu half-life eliminasi memanjang karena kembalinya obat ke plasma
tertunda pada orang yang mengalami obesitas. Pada umumnya, sensitifitas terhadap benzodiazepine
pada beberapa kelompok pasien, seperti pasien yang lebih tua, lebih besar meskipun efek-efek
farmakokinetik relatif kecil; dengan demikian, faktor-faktor selain farmakokinetik harus
dipertimbangkan ketika obat ini digunakan.
Farmakologi
Semua benzodiazepine mempunyai sifat hypnotic, sedatif, anxiolytic, amnesic, anticonvulsant dan
muscle relaxant yang diproduksi secara central. Obat-obat ini berbeda potensi dan efektifitasnya dalam
Page 12
kaitannya dengan setiap aksi farmakodinamik. Struktur kimia setiap obat menentukan sifat fisikokimia
dan farmakodinamik tertentu obat tersebut serta karakteristik-karakteristik pengikatan reseptornya.
Pengikatan benzodiazepine ke reseptor respektifnya mempunyai afinitas tinggi dan stereospesific serta
dapat disaturasi; urutan afinitas reseptor (dan potensi) tiga agonist ini adalah lorazepam > midazolam >
diazepam. Midazolam sekitar 3 hingga 6 kali dan lorazepam 5 hingga 10 kali lebih poten dari diazepam.
Mekanisme kerja benzodiazepine mudah dipahami dengan baik. Interaksi ligand dengan
reseptor benzodiazepine adalah satu dari beberapa contoh mekanisme kerja dimana system biokimia
yang kompleks, farmakologi molecular, mutasi genetik, dan pola-pola klinis dapat terjelaskan.
Mekanisme kerja benzodiazepine lebih mudah dipahami daripada mekanisme kerja obat anestesi
general lain. Melalui penelitian genetic terbaru, ditemukan bahwa subtype-subtipe GABAA memediasi
efek-efek berbeda (amnesic, anticonvulsant, anxiolytic, dan tidur). Kandungan sedasi, anterograde
amnesia, dan anticonvulsant dimediasi melalui resptor-reseptor , dan anxiolytic dan relaksasi otot
dimediasi oleh reseptor GABAA . Efek obat adalah fungsi tingkat darah. Dengan menggunakan data
konsentrasi plasma dan simulasi farmakokinetik, didapatkan bahwa tingkat penempatan reseptor
benzodiazepine yang kurang dari 20% cukup untuk menghasilkan efek anxiolytic, sedasi teramati dengan
30% hingga 50% penempatan reseptor, dan ketidaksadaran membutuhkan 60% atau lebih tinggi
penempatan reseptor-reseptor agonist benzodiazepine.
Telah diketahui bahwa benzodiazepine menghasilkan efek-efeknya dengan menempati reseptor
benzodiazepine yang memodulasi GABA, neurotransmitter inhibitori mayor di otak. Neurotransmisi
adrenergic GABA mempunyai factor yang menghalangi efek pengaruh neurotransmitter excitatory.
Reseptor-reseptor benzodiazepine ditemukan paling banyak di dalam olfaktori bulb, cerebral cortex,
cerebellum, hippocampus, substantia nigra, dan inferior colliculus, tapi lebih sedikit di striatum, bagian
brainstem bawah, dan spinal cord. Meskipun ada dua reseptor GABA; reseptor benzodiazepine adalah
bagian kompleks reseptor GABAA pada membrane subsynaptic affector neuron. Kompleks reseptor ini
terdiri dari tiga subunit protein— — yang tersusun sebagai kompleks glycoprotein pentameric
(gambar 10-14). Protein-protein ini mengandung beberapa tempat pengikatan ligand reseptor GABAA
seperti tempat-tempat pengikatan benzodiazepine, GABA, dan barbiturate. Tempat pengikatan
benzodiazepine terletak pada subunit , dan subunit mengandung tempat pengikatan untuk GABA.
Dengan aktivasi reseptor GABAA, pembukaan dan penutupan channel untuk ion-ion chloride terjadi. Sel
menjadi ter-hyperpolarisasi dan oleh karenanya resistan terhadap eksitasi neuronal. Sekarang ini
ditemukan bahwa efek-efek hypnotic benzodiazepine dimediasi oleh perubahan-perubahan flux ion
Page 13
kalsium yang tergantung potensi. Tingkat modulasi fungsi reseptor GABA mempunyai keterbatasan yang
menjelaskan relatif tingginya kemanan dengan benzodiazepine.
Temuan yang membanggakan dan signifikan secara terapeutik adalah bahwa spektrum
farmakologic beberapa ligand meliputi tiga tipe atau kelas berbeda yang disebut agonist, antagonist, dan
inverse agonist (gambar 10-15), nama-nama yang sesuai dengan aksinya. Beberapa agonist (misalnya
midazolam) merubah konformasi kompleks reseptor GABAA sehingga afinitas pengikatan untuk GABA
meningkat dengan pembukaan resultan channel chloride. Beberapa agonist dan antagonist mengikat
(atau setidaknya menutupi) wilayah reseptor dengan membentuk beberapa ikatan reversible dengan
reseptor. Efek yang terkenal dari sebuah agonist kemudian muncul (aksi anxiolysis, hypnosis, dan
anticonvulsant). Beberapa antagonist (misalnya flumazenil) menempati reseptor benzodiazepine, tapi
mereka tidak menghasilkan aktivitas dan oleh karena itu memblok aksi-aksi agonist dan inverse agonist.
Inverse agonist menurunkan efisiensi transmisi synaptic adrenergic GABA, dan karena GABA inhibitori,
hasil dari penurunan GABA adalah stimulasi CNS. Potensi ligand ditentukan oleh afinitasnya untuk
reseptor benzodiazepine dan untuk durasi efek ditentukan oleh kecepatan pembersihan obat dari
reseptor.
Pemberian jangka panjang benzodiazepine menghasilkan toleransi, yang didefinisikan sebagai
sebuah penurunan efektifitas obat terhadap waktu. Meskipun mekanisme toleransi kronik tidak
sepenuhnya dipahami, pemberian benzodiazepine jangka panjang menyebabkan penurunan pengikatan
dan fungsi reseptor (downregulasi kompleks reseptor benzodiazepine GABAA). Penurunan ini
menjelaskan menurunnya kebutuhan dosis benzodiazepine untuk anastesi pada pasien yang diberi
benzodiazepine jangka panjang. Yang menarik, setelah penghentian penggunaan benzodiazepine jangka
panjang, kompleks reseptor menjadi upregulasi yang berarti meningkatnya kerentanan terhadap
benzodiazepine selama periode setelah penggunaan terakhir.
Onset dan durasi dosis bolus intravenous benzodiazepine tergantung pada kemampuan obat
larut dalam lipid, sebuah temuan yang dapat menjelaskan perbedaan onset dan durasi kerja ketiga
benzodiazepine yang digunakan dalam praktik klinis di Amerika Serikat. Midazolam dan diazepam
mempunyai onset yang lebih cepat (60 hingga 120 detik). Waktu half-life ekuilibrium antara konsentrasi
plasma dan efek EEG midazolam sekitar 2 hingga 3 menit dan tidak terpengaruh oleh usia. Half-life ini
sekitar dua kali lebih lama daripada half-life diazepam, tapi ketika dibandingkan dengan diazepam,
midazolam mempunyai potensi intrinsik enam kali lebih besar. Data lain yang serupa tentang
benzodiazepine belum ada. Seperti onset, durasi efek juga berhubungan dengan kemampuan larut
Page 14
dalam lipid dan tingkat darah. Redistribusi midazolam dan diazepam yang lebih cepat dari lorazepam
(karena kemampuan larut dalam lipid yang lebih rendah dibanding lorazepam) menyebabkan durasi
kerja mereka lebih pendek.
Efek-Efek Pada System Syaraf Pusat
(lihat Bab 21)
Beberapa benzodiazepine mengurangi CMRO dan CBF dengan cara yang berhubungan dengan dosis.
Midazolam dan diazepam mempertahankan rasio CBF terhadap CMRO yang relatif normal. Pada
sukarelawan sehat, midazolam, 0.15 mg/kg menginduksi tidur dan mengurangi CBF 34% meskipun ada
sedikit peningkatan PaCO2 dari 34 menjadi 39 mm Hg. Brown dkk meneliti penelusuran EEG setelah
pemberian midazolam intravenous dan menunjukkan adanya aktivitas beta ritmik pada 22 Hz dalam 15
hingga 30 detik pemberian pada sukarelawan sehat. Dalam 60 detik, ritme beta kedua muncul pada 15
Hz. Ritme alpha mulai muncul kembali dalam 30 menit; tapi setelah 60 menit, aktivitas beta ritmik
resistan teramati pada amplitude 15 hingga 20 V. Beberapa perubahan EEG sama dengan efek-efek
EEG dengan diazepam dan bukan tanda light sleep, meskipun pasien secara klinis tidur. Metode yang
paling baik untuk memonitor kedalaman dengan midazolam adalah dengan menggunakan indeks BIS
EEG.
Midazolam, diazepam, dan lorazepam meningkatkan batas minimum mulainya seizure obat
anestesi lokal dan menurunkan mortalitas pada tikus yang diberi dosis lethal obat anestesi lokal.
Midazolam dan diazepam menginduksi efek protektif yang berhubungan dengan dosis terhadap cerebral
hypoxia yang ditunjukkan dengan memanjangnya waktu ketahanan tikus ketika diberi 5% oksigen.
Proteksi yang dihasilkan midazolam lebih baik daripada diazepam tapi kurang dari pentobarbital. Efek-
efek antiemetic tidak muncul pada tiga benzodiazepine ini.
Efek-Efek Pada Sistem Respiratori
Benzodiazepine, seperti kebanyakan obat anestesi intravenous, menghasilkan depresi sistem respiratori
sentral yang berhubungan dengan dosis. Depresi respiratori bisa lebih besar dengan midazolam
daripada dengan dizepam dan lorazepam meskipun penelitian komparatif ketiga obat tersebut belum
Page 15
ada. Lorazepam (2.5 mg secara intravenous [IV] menurunkan volume tidal dan minute ventilation yang
sama tapi berakhir lebih pendek daripada diazepam (10 mg IV) pada pasien dengan penyakit paru-paru.
Penurunan puncak minute ventilation (setelah midazolam 0.15 mg/kg) hampir sama dengan yang
dihasilkan pada pasien sehat yang diberi diazepam (0.3 mg/kg) sebagaimana ditunjukkan oleh data
respon karbondioksida. Kemiringan kurva respon ventilatori terhadap karbondioksida lebih rata dari
normal (kontrol) tapi tidak bergeser ke kanan seperti dengan beberapa opioid. Dilihat dari tingkat
plasma dan kecuraman efek dosis-respon kurva PaCO2 (gambar 10-16), midazolam kurang lebih lima
hingga sembilan kali lebih poten dari diazepam. Onset puncak depresi vantilatori dengan midazolam
(0.13 hingga 0.2 mg/kg) cepat (sekitar 3 menit), dan depresi signifikan berlanjut sekitar 60 hingga 120
menit. Kecepatan pemberian midazolam mempengaruhi waktu onset depresi ventilatori puncak;
semakin cepat obat diberikan, semakin cepat depresi puncak terjadi. Depresi respiratori yang
berhubungan dengan midazolam lebih sering muncul dan lebih lama durasinya pada pasien dengan
penyakit paru-paru obstruktif kronis, dan durasi depresi ventilatorinya lebih lama dengan midazolam
(0.19 mg/kg) daripada dengan thiopental (3.3 mg/kg). Lorazepam tunggal (0.05 mg/kg) tidak
menurunkan respon karbondioksida, tapi ketika lorazepam dikombinasikan dengan meperidine, depresi
respiratori muncul. Beberapa benzodiazepine bisa menghasilkan depresi respiratori aditif atau supra-
aditif (synergistic), meskipun mereka bekerja dalam reseptor yang berbeda.
Apnea terjadi dengan benzodiazepine. Terjadinya apnea setelah induksi anastesi dengan
thiopental atau midazolam sama. Apnea terjadi pada 20% dari 1130 pasien yang diberi midazolam untuk
induksi dan 27% dari 580 pasien yang diberi thiopental dalam sebuah percobaan klinis dengan
midazolam. Apnea berhubungan dengan dosis benzodiazepine dan lebih cenderung terjadi karena
adanya opioid. Usia tua, penyakit yang sangat lemah, dan obat-obat depresant juga dapat meningkatkan
kejadian dan tingkat depresi respiratori dan apnea dengan benzodiazepine.
Efek-Efek Pada Sistem Cardiovascular
Ketika digunakan sebagai obat tunggal, benzodiazepine mempunyai efek-efek hemodinamik kecil.
Perubahan-perubahan hemodinamik terjadi dengan dosis induksi anastetik diazepam, midazolam, dan
lorazepam ditunjukkan pada tabel 10-2. Nilai-nilai ini menunjukkan efek hemodinamik puncak dalam 10
menit pertama setelah pemberian dan didapatkan dari penelitian subjek sehat dan pasien dengan
Page 16
penyakit jantung ischemic dan valvulvar. Perubahan hemodinamik yang dominan adalah sedikit
menurunnya tekanan darah arterial yang disebabkan penurunan resistan vascular sistemik. Mekanisme
dimana benzodiazepine mempertahankan hemodinamik yang relatif stabil melibatkan tetapnya
mekanisme refleks homestatic, tapi beberapa bukti menunjukkan bahwa baroreflex terganggu oleh
midazolam dan diazepam. Midazolam menyebabkan penurunan yang sedikit lebih besar pada tekanan
darah arterial daripada benzodiazepine lain, tapi efek hypotensifnya minimal dan kurang lebih sama
seperti yang nampak dengan thiopental. Tanpa ada hypotensi, midazolam, bahkan dengan dosis
setinggi 0.2 mg/kg aman dan efektif untuk induksi anastesi bahkan pada pasien dengan aortic stenosis
parah. Efek-efek hemodinamik midazolam dan diazepam berhubungan dengan dosis: semakin tinggi
tingkat plasma, semakin besar penurunan tekanan darah sistemik; tapi, terdapat efek obat plasma
plateau dimana diatas efek tersebut terjadi sedikit perubahan tekanan darah arterial. Tingkat plasma
plateau untuk midazolam adalah 100 ng/mL, dan untuk diazepam sekitar 900 ng/mL. Heart rate,
tekanan pengisian ventricular, dan output cardiac tetap setelah induksi anastesi dengan
benzodiazepine-benzodiazepine tersebut. Pada pasien dengan peningkatan tekanan pengisian
ventricular kiri, diazepam dan midazolam menghasilkan efek “mirip nitroglycerin” dengan menurunkan
tekanan pengisian dan meningkatkan output cardiac.
Stres intubasi endotracheal dan pembedahan tidak terblok oleh midazolam. Dengan demikan,
obat anastesi adjuvant, biasanya opioid, sering dikombinasikan dengan benzodiazepine. Kombinasi
benzodiazepine dengan opioid dan nitrous oxide telah diteliti pada pasien dengan penyakit jantung
ischemic dan valvulvar. Jika penambahan nitrous oxide pada midazolam (0.2 mg/kg) dan diazepam (0.5
mg/kg) menghasilkan beberapa konsekuensi, kombinasi benzodiazepine dengan opioid menghasilkan
efek supra-aditif. Kombinasi diazepam dengan fentanyl atau sufentanul, midazolam dengan fentanyl
atau sufentanul, dan lorazepam dengan fentanyl atau sufentanil menghasilkan penurunan yang lebih
besar pada tekanan darah sistemik daripada ketika obat-obat tersebut digunakan secara tunggal.
Kombinasi benzodiazepine tersebut dengan remifentanil bisa juga menghasilkan efek yang sama.
Mekanisme efek hemodinamik synergistic belum sepenuhnya dipahami, tapi mungkin berhubungan
dengan pengurangan tone sympathetic ketika obat-obat tersebut diberikan secara bersamaan. Terdapat
bukti bahwa diazepam dan midazolam menurunkan catecholamine, sebuah temuan yang sesuai dengan
hipotesis ini.
Penggunaan
Page 17
Sedasi intravenous
Beberapa benzodiazepine digunakan untuk sedasi sebagai premedikasi preoperatif, intraoperatif selama
anestesi regional atau lokal dan postoperatif. Anxiolysis, amnesia, dan peningkatan batas minimum
seizure obat anestesi lokal adalah kerja dari benzodiazepine. Dosis obat harus dititrasi untuk
penggunaan ini; tujuan titrasi adalah cukupnya sedasi atau dysarthria (tabel 10-9). Onset aksi lebih cepat
dengan midazolam, dengan efek puncak biasanya tercapai dalam 2 hingga 3 menit pemberian; waktu
untuk efek puncak sedikit lebih lama denga diazepam dan masih lebih lama dengan lorazepam. Durasi
kerja ketiga obat ini tergantung pada dosis yang digunakan. Meski onsetnya lebih cepat dengan
midazolam daripada dengan diazepam setelah pemberian bolus, recoverynya sama, mungkin karena
kedua obat tersebut mempunyai pola-pola penguraian plasma yang sama (redistribusi) (lihat gambar 10-
11 dan 10-12). Dengan lorazepam, onset sedasi dan khususnya amnesia lebih lambat dengan durasi
lebih panjang daripada dengan dua jenis benzodiazepine lainnya. Perbedaan tingkat sedasi dibanding
kemunculan amnesia (pasien sadar tapi mereka amnesic terhadap kejadian-kejadian dan instruksi)
sering terlihat dengan ketiga jenis benzodiazepine. Lorazepam tidak dapat diprediksi dalam kaitannya
dengan durasi amnesia, dan ketidakmampuan diprediksi tersebut tidak terjadi pada pasien yang harus
atau perlu kembali setelah periode postoperative. Tingkat sedasi dan amnesia yang reliable serta
tetapnya fungsi hemodinamik dan respiratori secara keseluruhan lebih baik dengan benzodiazepine
daripada obat-obat sedatif-hypnotic yang digunakan untuk sedasi sadar. Ketika midazolam dibandingkan
dengan propofol untuk sedasi, dua jenis obat ini secara umum sama kecuali lebih cepatnya emergence
atau wake-up dengan propofol. Propofol lebih memerlukan pengawasan karena depresi respiratorinya.
Meskipun margin keamanan besar dengan benzodiazepine, fungsi respiratori harus dimonitor ketika
obat-obat ini digunakan untuk sedasi untuk mencegah tingkat depresi respiratori yang tidak diinginkan.
Terdapat sedikit aksi synergistic antara midazolam dengan anestesi dalam hal ventilasi. Dengan
demikian penggunaan midazolam untuk sedasi selama anestesi regional dan epidural membutuhkan
kewaspadaan dalam hal fungsi respiratori ketika obat-obat ini digunakan dengan beberapa opioid.
Misalnya, sedasi untuk periode yang lebih lama di ruang ICU dilakukan dengan beberapa
benzodiazepine. Infusi yang panjang akan mengakibatkan akumulasi obat, dan dalam kasus midazolam,
konsentrasi metabolit aktif yang signifikan. Beberapa review telah menemukan manfaat
benzodiazepine. Manfaat yang paling utama adalah amnesia dan kestabilan hemodinamik, dan
kerugiannya yang berhubungan dengan propofol kadang-kadang hilangnya efek-efek propofol yang
lebih lama ketika infusi dihentikan. Kelebihan sebuah obat dibandingkan obat lain belum ditemukan;
Page 18
kedua obat harus selalu dititrasi menurun untuk mempertahankan sedasi seperti yang dibutuhkan.
Pendosisan jangan tetap; tapi harus terus dikurangi untuk menghindari akumulasi parent atau metabolit
selama infusi panjang.
Sedasi oral
Selama beberapa tahun diazepam telah diberikan secara oral untuk sedasi preoperatif. Diazepam masih
digunakan dengan dosis 5 hingga 15 mg pada orang dewasa untuk tujuan ini. Yang lebih baru lagi,
formulasi oral midazolam telah digunakan untuk premedikasi oral pada pasien pediatrik. Dosis 0.5
mg/kg dan satu preparat berasal dari formulasi parenteral Roche 0.5 mg/mL (Roche Laboratories, Inc.,
Nutley, NJ) dicampur dengan 10 mg/kg acetaminophen oral (McNeil-PPC, Inc., Fort Washington, PA).
Preparat-preparat lain telah dikembangkan seperti glukosa rasa strawberi (pH 4.5) yang dipreparatkan
oleh farmasi yang stabil selama 8 minggu. Dosis oral 0.5 mg/kg bekerja cepat; dosis ini menghasilkan
amnesia reliable selama 10 menit dan secara efektif menghasilkan sedasi bagi anak-anak untuk induksi
anestesi.
Induksi dan Maintenance Anestesi
Midazolam adalah pilihan benzodizepine untuk induksi anestesi. Meskipun diazepam dan lorazepam
telah digunakan untuk induksi anestesi general, onset yang lebih cepat dan tidakadanya komplikasi
venous membuat midazolam lebih cocok digunakan. Dengan midazolam, induksi anestesi ditentukan
dengan ketidakresponsifan terhadap perintah dan hilangnya refleks bulu mata. Ketika midazolam
digunakan dengan dosis yang pas (lihat tabel 10-9), induksi terjadi kurang cepat daripada thiopental,
tapi amnesianya lebih reliabel. Banyak faktor mempengaruhi kerja midazolam dan beberapa
benzodiazepine lain ketika digunakan untuk induksi anestesi general termasuk dosis, kecepatan injeksi,
tingkat premedikasi, usia, status fisik American Society of Anesthesiologosts (ASA), dan obat anestesi
lain yang diberikan pada waktu yang bersamaan. Pada pasien sehat yang dipremedikasi dengan baik,
midazolam (0.2 mg/kg diberikan dalam 5 hingga 15 detik), induksi terjadi dalam 39 detik. Pasien yang
lebih tua memerlukan dosis midazolam yang lebih rendah daripada pasien lebih muda (gambar 10-17).
Pasien yang lebih dari 55 tahun dan mereka dengan status fisik ASA lebih tinggi dari kelas III
membutuhkan 20% pengurangan yang lebih besar dosis induksi midazolam. Dosis induksi midazolam
Page 19
yang biasa diberikan pada pasien yang di premedikasi antara 0.05 dan 0.15 mg/kg. Ketika midazolam
digunakan dengan obat anestesi lain (koinduksi), interaksi synergistic terjadi, dan dosis induksinya
kurang dari 0.1 mg/kg (gambar 10-18). Sinergi nampak ketika midazolam digunakan dengan beberapa
opioid atau hypnotics lain seperti thiopental dan propofol.
Awakening setelah anestesi benzodiazepine adalah akibat dari redistribusi obat dari otak ke
tissue-tissue yang kurang diperfusi dengan baik. Emergence (didefinisikan sebagai keadaan mengetahui
tempat atau waktu) sukarelawan muda dan sehat yang diberi midazolam intravenous 10 mg terjadi
sekitar 15 menit, dan setelah dosis induksi 0.15 mg/kg terjadi sekitar 17 menit. Waktu emergence
berhubungan dengan dosis midazolam dan dosis obat anestesi adjuvant. Emergence dari midazolam
(0.32 mg/kg) / anestesi fentanyl sekitar 10 menit lebih lama daripada emergence dari thiopental (4.75
mg/kg)/anestesi fentanyl dan lebih panjang daripada dengan propofol. Perbedaan membuat beberapa
anestesiologist lebih suka induksi propofol untuk prosedur operasi pendek.
Beberapa benzodiazepine tidak mempunyai kandungan analgesik dan harus digunakan dengan
obat-obat anestesi lain untuk menghasilkan analgesia yang cukup; akan tetapi, sebagaimana obat-obat
anestesi maintenance selama anestesi general, beberapa benzodiazepine menghasilkan hypnosis dan
amnesia. Penelitian double-blind yang membandingkan midazolam dan thipoental sebagai komponen
anestesi hypnotic telah menunjukkan bahwa midazolam lebih bagus digunakan karena amnesia yang
lebih baik dan aliran hemodinamik yang lebih halus. Kebutuhan opioid menjadi kecil dengan midazolam.
Midazolam (0.6 mg/kg) menurunkan MAC halothane 30% dan mempunyai efek yang sama pada obat
anestesi inhalasi lain. Masalah skema pendosisan ulang optimal setelah induksi ketika midazolam
digunakan sebagai komponen hypnotic maintenance anestesi general belum terjawab. Periode amnesic
setelah dosis anestetik sekitar 1 hingga 2 jam. Infusi midazolam telah digunakan untuk memastikan
kedalaman anestesi yang cukup dan konstan. Pengalaman menunjukkan bahwa tingkat plasma lebih dari
50 ng/mL, ketika digunakan dengan beberapa opioid adjuvant (misalnya fentanyl) atau obat anestesi
inhalasi (misalnya nitrous oxide, obat anestesi volatile) atau kedua-duanya, tercapai dengan dosis bolus
0.05 hingga 0.15 mg/kg dan infusi berkelanjutan 0.25 hingga 1 g/kg/menit. Dosis ini cukup untuk
membuat pasien tetap tidur dan amnesic tapi dapat dibangunkan di akhir pembedahan. Dosis infusi
lebih rendah bisa dibutuhkan pada beberapa pasien dan dengan beberapa opioid tertentu. Midazolam,
serta diazepam dan lorazepam, akan berakumulasi didalam darah dengan pemberian obat anestesi
bolus atau dengan infusi berkelanjutan, seperti dengan pemberian sebagian besar obat-obat anestesi
intravenous dengan injeksi berulang-ulang. Jika benzodiazepine benar-benar berakumulasi dengan
Page 20
pemberian berulang-ulang, waktu arousal dapat diantisipasi. Ini tidak menjadi masalah dengan
midazolam daripada dengan diazepam dan lorazepam karena context-sensitive half-time yang lebih
pendek dan pembersihan yang lebih besar midazolam.
Efek-efek samping dan kontraindikasi
Beberapa benzodiazepine merupakan obat yang sangat aman. Mereka relatif mempunyai margin
keamanan yang tinggi, terutama ketika dibandingkan dengan barbiturate. Mereka juga bebas efek
allergenic dan tidak mensupresi adrenal gland. Masalah yang paling signifikan dengan midazolam adalah
depresi respiratori. Efek-efek samping terbesar lorazepam dan diazepam, disamping depresi respiratori,
adalah iritasi venous dan thrombophlebitis, masalah-masalah yang berhubungan dengan ketidaklarutan
dalam air dan perlunya solvent. Ketika digunakan sebagai sedatif atau untuk induksi dan maintenance
anestesi, benzodiazepine dapat menghasilkan tingkat atau interval panjang yang tidak bagus dalam
kaitannya dengan amnesia, sedasi, dan kadang-kadang depresi respiratori postoperatif. Efek-efek
residual ini dapat dinormalkan dengan flumazenil.
Beberapa Benzodiazepine Baru
Hambatan utama midazolam sebagai obat yang paling cocok untuk anestesi, adalah onset yang lebih
lambat dan offset yang lama ketika dibandingkan dengan hypnotic seperti propofol. Agonist-agonist
benzodiazepine lain telah digunakan dalam percobaan klinis, tapi mereka perlu dikembangkan lagi.
Untuk onset yang lebih cepat dan durasi yang lebih pendek, benzodiazepine baru yang paling bagus
adalah benzodiazepine yang secara cepat dimetabolismekan oleh esterase seperti yang nampak dengan
remifentanil. Dengan penemuan subtipe-subtipe GABAA, obat-obat tertentu yang baru dapat
dikembangkan untuk menghasilkan aksi agonsit-agonist tertentu yang bebas dari efek samping yang
tidak diinginkan seperti depresi respiratori.
FLUMAZENIL
Flumazenil (Anexate, Romazicon) adalah antagonist benzodiazepine pertama yang banyak digunakan
secara klinis. Penelitian farmakologis preklinik dengan flumazenil menunjukkan bahwa flumazenil
Page 21
menjadi ligand reseptor benzodizepine dengan afinitas tinggi, specifitas tinggi, dan efek intrinsik
minimal. Flumazenil, seperti agonist-agonist yang digantikannya pada reseptor benzodiazepine,
berinteraksi dengan reseptor dengan cara yang tergantung pada konsentrasi. Karena flumazenil
merupakan antagonist kompetitif pada reseptor benzodiazepine, antagonismenya reversibel dan sangat
bagus. Flumazenil mempunyai aktivitas intrinsik minimal yang berarti bahwa efek-efek agonist reseptor
benzodiazepine sangat lemah, secara signifikan lebih kecil daripada efek-efek pada agonist klinis.
Flumazenil, seperti antagonist-antagonist lain pada reseptor, tidak menempati agonist tapi menempati
reseptor ketika sebuah agonist terpisah dari reseptor. Half-time (atau half-life) ikatan reseptor-ligand
beberapa milidetik hingga beberapa detik, dan ikatan reseptor-ligand kemudian segera terbentuk.
Situasi dinamis ini menghasilkan kemampuan agonist atau antagonist untuk dengan mudah menempati
reseptor. Proporsi reseptor yang ditempati oleh agonist ketika terdapat antagonist sesuai dengan
hukum mass action dan tergantung pada afinitas dan konsentrasi kedua ligand tersebut. Persamaan 1
menunjukkan hubungan ini
dimana [RAgo] adalah konsentrasi reseptor agonist, [Rt] adalah jumlah total reseptor, Kago adalah
konstanta dissosiasi untuk agonist, KAnt adalah konstanta dissosiasi untuk antagonist, [Ago] adalah
konsentrasi antagonist pada reseptor.
Rasio agonist terhadap reseptor total menghasilkan efek-efek obat agonist, tapi sebuah
antagonist dapat merubah rasio ini, tergantung pada konsentrasinya dan konstanta disosiasinya (lihat
persaman 1). Dengan demikian, flumazenil, yang merupakan ligand avid (afinitas tinggi), akan mengganti
agonist yang relatif lemah seperti diazepam sepanjang diberikan dengan dosis yang cukup ([Ant] tinggi]).
Akan tetapi, flumazenil dibersihkan relatif cepat, dan hasil akhirnya adalah bahwa [Ant] terus berkurang
dibanding dengan [Ago]; dengan demikian, proporsi reseptor yang ditempati oleh agonist akan
meningkat, dan potensi untuk sedasi muncul (gambar 10-19). Situasi ini jarang terjadi ketika flumazenil
digunakan untuk menormalkan midazolam yang pembersihannya lebih cepat daripada agonist
benzodiazepine. Temuan penting lainnya adalah bahwa dengan dosis agonist sangat tinggi (misalnya
ketika kesalahan dalam pendosisan terjadi atau percobaan bunuh diri), flumazenil dosis rendah
mengurangi kedalaman depresi CNS (hilang kesadaran, depresi respiratori) dengan mengurangi
Page 22
penempatan reseptor fraksional oleh agonist tanpa menurunkan efek-efek agonist (mengantuk, dan
amnesia). Sebaliknya, ketika dosis agonist rendah, dosis tinggi flumazenil menormalkan hampir semua
efek agonist. Flumazenil dapat menghilangkan gejala-gejala fisik pada binatang atau manusia tergantung
pada agonist reseptor benzodiazepine. Gejala-gejala tersebut tidak menjadi masalah ketika flumazenil
digunakan untuk menormalkan agonist reseptor benzodiazepine dalam anestesi.
Karakteristik-karakteristik fisikokimia
Flumazenil, yang disintesiskan pada tahun 1979 sama dengan midazolam dan benzodiazepine-
benzodiazepine klasik kecuali dalam hal tidak adanya kelompok phenyl yang digantikan oleh kelompok
carbonyl (lihat gambar 10-10). Flumazenil membentuk bubuk crystalline tanpa warna, mempunyai
konstanta disosiasi 1.7 dan mempunyai kemampuan larut dalam air lemah tapi cukup untuk melarutkan
preparatnya dalam air. Koefisien partisi oktanol/aqueous buffer adalah 14, dan menunjukkan
kemampuan larut dalam lipid sedang pada pH 7.4.
Metabolisme
Flumazenil, seperti benzodiazepine-benzodiazepine lain, yang dimetabolismekan dalam liver,
dibersihkan dengan cepat dari plasma, dan mempunyai tiga metabolit, N-desmethylflumazenil, N-
desmethylflumazenil acid, dan flumazenil acid. Kerja dari ketiga metabolit ini dan glucoronide nya belum
diketahui sampai sekarang. Glucoronide-glucoronide tersebut mungkin diekskresi dalam urine.
Farmakokinetik
Flumazenil adalah senyawa berumur pendek. Tabel 10-1 berisi rangkuman farmakokinetik flumazenil
yang dijelaskan dalam berbagai setting klinis. Yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa ketika
dibandingkan dengan beberapa agonist reseptor benzodiazepine, flumazenil mempunyai pembersihan
paling tinggi dan half-life eliminasi lebih pendek. Half-life plasma flumazenil sekitar 1 jam—flumazenil
Page 23
merupakan benzodiazepine yang paling pendek hidupnya dalam praktek anastesi dibanding
benzodiazepine-benzodiazepine lain. Half-life pendek menunjukkan bahwa muncul potensial antagonist
untuk dibersihkan, dengan konsentrasi yang cukup agonist yang tertinggal di tempat reseptor untuk
menyebabkan resedasi. Untuk mempertahankan tingkat darah terapeutik konstan selama periode yang
panjang dibutuhkan pemberian berulang-ulang atau infusi berkelanjutan. Kecepatan infusi 30 hingga 60
g/menit (0.5 hingga 1 g/kg/menit) telah digunakan untuk tujuan ini. Cepatnya pembersihan darah
flumazenil mendekati aliran darah hepatic, temuan yang menunjukkan bahwa pembersihan liver
sebagian tergantung pada aliran darah hepatic. Ketika dibandingkan dengan benzodiazepine lain,
flumazenil mempunyai proporsi obat tak terikat relatif tinggi; pengikatan proteinnya rendah, dengan
fraksi bebas berkisar dari 54% hingga 64%. Sifat flumazenil ini dapat menghasilkan onset cepat dan
pembersihan lebih besar, tapi hipotesis semacam ini belum terbukti.
Farmakologi
Ketika diberikan dengan tidak ada agonist reseptor benzodiazepine, flumazenil mempunyai sedikit efek
CNS yang tampak. Meskipun efek-efek intrinsik (agonist dan inverse agonist) ada dalam flumazenil, efek-
efek tersebut secara klinis tidak penting. Dengan dosis rendah, efek yang menstimulasi dapat terlihat
dan dengan dosis tinggi efek depressant central menjadi lebih muncul. Ketika diberikan pada
sukarelawan dan pasien dengan dosis yang relevan secara klinis, flumazenil tidak mempunyai efek pada
EEG atau metabolisme cerebral. Pada binatang, flumazenil tidak mempunyai kandungan anticonvulsant
dan bahkan menormalkan kandungan anticonvulsant benzodiazepine pada seizure yang diinduksi obat
anestesi lokal. Ketika diberikan pada pasien yang mengalami depresi CNS yang diinduksi benzodiazepine,
flumazenil menghasilkan penormalan keadaan tidak sadar, depresi respiratori, sedasi, amnesia, dan
disfungsi psikomotor yang cepat dan reliable. Flumazenil dapat diberikan sebelum, selama, atau setelah
agonist untuk memblok atau menormalkan efek-efek CNS agonist. Secara klinis, yang harus dilakukan
adalah menormalkan efek-efek agonist yang diberikan sebelum flumazenil. Flumazenil telah berhasil
mernormalkan efek-efek midazolam, diazepam, lorazepam, dan flunitrazepam. Onset flumazenil cepat,
dengan efek puncak 1 hingga 3 menit, yang terjadi secara bersamaan dengan deteksi C-flumazenil pada
otak manusia. Flumazenil menormalkan agonist dengan menggantinya pada reseptor benzodiazepine,
dan onset dan durasinya yang cepat ditentukan dengan hukum mass action (lihat persamaan 1). Tingkat
plasma terapeutik untuk flumazenil adalah 20 ng/mL; tapi, karena karakteristik-karakteristik pengikatan
Page 24
relatif agonist dan antagonist menentukan penempatan reseptor oleh agonist residual, dibutuhkan dosis
dan tingkat plasma flumazenil yang berbeda untuk menormalkan efek-efek agonist tertentu.
Durasi kerja flumazenil ditentukan oleh dosisnya, dosis agonist, dan agonist tertentu yang
dinormalkan. Durasinya ditentukan oleh factor-faktor dalam persamaan 1. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa selama infusi konstan agonist, durasi aksi flumazenil tergantung dosis, tapi 45
hingga 90 menit antagonisme bisa dicapai setelah dosis intravenous 3.0 mg atau 2 hingga 3 jam setelah
dosis 0.8 mg/kg. Setting ini hanya kira-kira karena dalam praktek klinis, flumazenil diberikan setelah
pemberian agonist dihentikan.
Flumazenil bebas dari efek-efek depressan respiratori dan depressan cardiovascular agonist
reseptor benzodiazepine. Dosis flumazenil relatif tinggi (0.1 mg/kg) yang diberikan kepada sukarelawan
tidak menghasilkan depresi respiratori signifikan. Akan tetapi, flumazenil yang diberikan ketika terdapat
agonist, efek-efek respiratori signifikan terjadi karena flumazenil menormalkan depresi respiratori yang
disebabkan agonist (misalnya ketika diberikan kepada sukarelawan yang dibuat apneic dengan
midazolam). Penormalan depresi respiratori yang diinduksi midazolam (0.13 mg/kg) dengan flumazenil
(1.0 mg/kg) berakhir antara 3 sampai 30 menit. Agonist-agonist lain dan dosis-dosis lain akan
mempunyai durasi antagonisme depresi respiratori yang berbeda. Jika depresi respiratori berhubungan
dengan pemberian opioid, flumazenil tidak akan menormalkannya. Dosis yang meningkat, sampai 2 mg
secara intravenous, pada pasien dengan penyakit jantung ischemic tidak menghasilkan efek signifikan
pada variabel-variabel cardiovascular. Pemberian flumazenil kepada pasien yang diberi agonist akan
bebas dari efek-efek cardiovascular, tidak seperti penormalan opioid dengan naloxone. Yang harus
diperhatikan adalah efek penormalan agonist reseptor benzodiazepine dengan flumazenil pada plasma
catecholamine karena efek ini pada cathecolamine adalah mekanisme yang dicurigai respon
hiperdinamik pada penormalan opioid. Meskipun flumazenil menormalkan sedasi, flumazenil tidak
berhubungan dengan tingkat catecholamine yang lebih tinggi daripada yang ditemukan pada pasien
yang diberi saline, tapi peningkatan catecholamine yang menyertai arousal lebih cepat setelah
flumazenil.
Penggunaan
Penggunaan antagonist benzodiazepine yang relatif sedikit (tabel 10-10) meliputi penormalan diagnostik
dan terapeutik efek-efek agonist reseptor benzodiazepine. Untuk penggunaan diagnostik dengan
Page 25
benzodiazepine yang tercurigai overdosis, flumazenil dapat diberikan dengan dosis intravenous yang
tinggi 0.2 hingga 0.5 mg. Jika tidak terjadi perubahan pada sedasi CNS, mungkin depresi CNS hanya
karena overdosis benzodiazepine. Yang lebih sering terjadi dalam anastesi, flumazenil digunakan untuk
menormalkan sedasi pasien yang masih mengalami depresi setelah pemberian benzodiazepine untuk
sedasi sadar atau untuk anastesi general. Flumazenil dapat menormalkan sedasi tersebut, depresi
respiratori, dan amnesia yang diinduksi oleh benzodiazepine. Akan tetapi, saat ini ada bukti beberapa
efek penormalan yang berbeda pada aksi agonist berbeda. Dengan demikian, flumazenil cenderung
menormalkan efek-efek hypnotic dan respiratori lebih dari efek-efek amnesic benzodiazepine agonist.
Petunjuk dosis dapat dilihat di tabel 10-10 tapi harus diketahui bahwa penelitian tentang pendosisan
skala besar belum selesai dilakukan. Dosis bervariasi dengan benzodiazepine yang sedang dinormalkan,
dan durasi penormalan tergantung pada kinetika agonist dan flumazenil. Disarankan untuk melakukan
pemeriksaan jika benzodiazepin long-acting dinormalkan dengan pemberian tunggal flumazenil karena
efeknya yang relatif pendek. Flumazenil dapat diberikan dengan infusi berkelanjutan untuk mencegah
resedasi dengan agonist reseptor benzodiazepine yang berakhir lebih lama. Dikemukakan bahwa
ketersediaan flumazenil akan menambah manfaat beberapa agonist benzodiazepine, meskipun akan
merubah keamanan kelompok obat ini.
Beberapa efek samping dan kontraindikasi
Flumazenil telah diberikan dengan dosis oral dan intravenous dengan sangat sedikit reaksi toksisitas.
Flumazenil bebas dari kandugnan iritasi tissue atau iritasi lokal, dan tidak mempunyai organotoksisitas.
Seperti semua benzodiazepine, flumazenil mempunyai margin keamanan yang tinggi, mungkin lebih
tinggi dari margin keamanan beberapa agonist karena flumazenil tidak menghasilkan depresi CNS
signifikan. Yang harus diwaspadai adalah bahwa resedasi dapat terjadi karena half-life obat yang relatif
pendek.
PHENCYCLIDINE (KETAMINE)
Sejarah
Di kelasnya, phencyclidine merupakan obat pertama yang digunakan untuk anastesi. Obat ini di
sintesiskan oleh Maddox dan mulai digunakan secara klinis pada tahun 1958 oleh Greifenstein dkk dan
Page 26
pada tahun 1959 oleh Johstone dkk. Meskipun phencyclidine terbukti bermanfaat sebagai obat anestesi,
obat ini menghasilkan efek psikologis yang sangat tinggi (halusinasi dan delirium) pada periode recovery
postanesthetic. Cyclohexamine, obat sejenis phencyclidine, telah dicoba secara klinis pada tahun 1959
oleh Lear dll, tapi terbukti kurang efektif daripada phencyclidine dalam hal analgesi dan disamping itu
mempunyai banyak efek psychotomimetic. Saat ini kedua obat tersebut tidak lagi digunakan secara
klinis, meski terkadang phencyclidine digunakan untuk aktivitas yang melanggar hukum. Ketamine
(Ketalar) disintesiskan pada 1962 oleh Stevens dan pertama kali digunakan pada manusia pada tahun
1965 oleh Corssen dan Domino. Ketamine dipilih dari 200 turunan phencyclidine dan terbukti menjadi
obat yang paling menjanjikan pada percobaan dengan binatang. Ketamine di perkenalkan untuk
penggunaan klinis pada tahun 1970 dan masih digunakan pada beberapa setting klinis ekarang ini.
Ketamine berbeda dengan sebagian besar agent-agent induksi anestetik dimana ketamine mempunyai
efek analgesic signifikan. Ketamine biasanya tidak menurunkan system cardiovascular dan system
respiratory, tapi mempunyai beberapa efek psikologis yang menghawatirkan seperti efek-efek yang
ditemukan dengan jenis phencyclidine lain. Ketamine terdiri dari dua stereoisomer: S-(+) dan R-(–).
Isomer S-(+) lebih poten dan lebih sedikit menimbulkan efek samping. Perhatian pada ketamine terus
meningkat akhir-akhir ini karena efek-efeknya pada hyperalgesia dan toleransi opiate, serta
ketersediaan ketamine S-(+) (di beberapa negara).
Karakteristik-Karakteristik Fisikokimia
Ketamine (gambar 10-20) mempunyai berat molekuar 238kd, sebagian larut dalam air, dan membentuk
crystalline salt putih dengan log negatif konstanta ionisasi acid (pKa) 7.5. Ketamine mempunyai
kemampuan larut dalam lipid 5 hingga 10 kali daripada thiopental. Ketamine dipreparat dalam larutan
acidic (pH 3.5 hingga 5.5), dan campuran racemic bercampur dalam konsentrasi 10-, 50-, dan 100-mg
basa ketamine per milliliter larutan sodium chloride yang mengandung benzethonium chloride
preservatif. Molekul ketamine mengandung chiral center dan oleh karenanya berbentuk dua isomer dan
enantiomer optical yang dapat larut. Preprat racemic yang banyak tersedia adalah campuran
enantiomer [S-(+) dan
R-(–) dengan jumlah yang sama. Ketamine S-(+) tersedia dalam konsentrasi 5 dan 25 mg/mL.
Page 27
Metabolisme
Ketamine dimetabolismekan oleh enzim microsomal hepatic. Saluran utama melibatkan N-demethylasi
untuk membentuk norketamine (metabolite I) yang kemudian di hydroxylasikan menjadi
hydroxynorketamine. Hasil dari ini semua di konjugasikan dengan turunan glucoronide yang dapat larut
di air dan di ekskresikan dalam urine. Aktivitas metabolit utama ketamine belum diteliti dengan baik,
tapi norketamine terbukti mempunyai aktivitas yang kurang signifikan (antara 20% dan 30%) daripada
senyawa utamanya. Aktivitas metabolit lain baru sedikit diketahui, tapi mungkin ketamine lah obat aktif
paling utama.
Farmakokinetik
Farmakokinetik ketamine belum diteliti dengan baik seperti kebanyakan obat anestesi intravena lainnya.
Farmakokinetik ketamine teramati setelah pemberian bolus dosis anastesi (2 hingga 2.5 mg/kg) dan
setelah infusi berkelanjutan (level plasma keadaan stabil 2000 ng/mL). Tanpa memperhatikan dosis,
penghilangan plasma ketamine dapat dijelaskan dengan model dua-kompartemen. Tabel 10-1 berisi
nilai-nilai farmakokinetik dari penelitian pemberian bolus. Yang penting untuk dicatat adalah distribusi
cepat yang dihasilkan dengan waktu half-life yang relatif lambat dan singkat 11 hingga 16 menit (gambar
10-21). Kemampuan larut lipid yang tinggi ketamine ditunjukkan dengan volume distribusinya yang
relatif besar, hampir 3 L/kg. Pembersihan juga relatif tinggi dan berkisar dari 890 hingga 1227 mL/menit
yang menyebabkan waktu half-life eliminasi yang relatif pendek 2 hingga 3 jam. Pembersihan tubuh
total (1.4 L/menit) kira-kira sama dengan aliran darah liver yang berarti bahwa beberapa perubahan
dalam aliran darah liver mempengaruhi pembersihan. Dengan demikian, pemberian obat seperti
halothane yang mengurangi aliran darah hepatic menurunkan pembersihan ketamine. Alfentanil dosis
rendah meningkatkan volume distribusi dan pembersihan ketamine yang menyebabkan konsentrasi
plasmanya lebih tinggi. Disamping itu, alfentanil meningkatkan distribusi ketamine ke otak.
Farmakokinetik kedua siomer berbeda. Ketamine S-(+) mempunyai pembersihan eliminasi yang
lebih besar dan volume distribusi yang lebih besar daripada ketamine R-(+). Enantiomer S-(+) juga lebih
poten dalam mensupresi EEG daripada S-(–) campuran racemic.
Farmakologi
Page 28
Efek-efek pada Sistem Syaraf Sentral
Ketamine menyebabkan tidak sadar dan analgesia yang berhubungan dengan dosis. Keadaan teranastesi
tersebut diistilahkan anastesi dissosiatif karena pasien yang diberi ketamine tunggal mengalami keadaan
cataleptic, tidak seperti keadaan anastesi lain yang menunjukkan tidur normal. Pasien yang dianastesi
ketamine mengalami analgesia dalam tapi mata mereka tetap terbuka dan refleks-refleks mereka tetap
ada. Refleks-refleks corneal, batuk, dan menelan ada tapi jangan diasumsikan protektif. Pasien tidak
dipanggil kembali untuk pembedahan atau anastesi, tapi dengan benzodiazepine amnesia tidak
semenonjol dengan ketamin. Karena ketamine mempunyai berat molecular rendah, pKa yang mendekati
pH fisiologis dan kemampuan larut lipid relatif tinggi, ketamine melewati batas otak-darah dengan cepat
dan oleh karenanya mempunyai onset aksi selama 30 detik dari pemberian. Efek maksimal terjadi
sekitar 1 menit. Setelah pemberian ketamine, pupil melebar dan terjadi nystagmus. Lakrimasi dan
salivasi biasa terjadi, seperti meningkatnya tone otot skeletal yang sering disertai gerakan lengan, kaki,
trunk, dan kepala yang terkoordinasi tapi tanpa tujuan. Meski antar individu sangat berbeda, tingkat
plasma 0.6 hingga 2.0 g/mL dianggap sebagai konsentrasi minimum untuk anastesi general, tapi anak-
anak bisa membutuhkan tingkat plasma yang sedikit lebih tinggi (0.8 hingga 4.0 g/mL). Durasi anestesi
ketamine setelah pemberian tunggal dosis anestesi general (2 mg/kg IV) terjadi selama 10 hingga 15
menit (lihat gambar 10-21), dan kembalinya kemampuan mengenali orang, tempat, dan waktu terjadi
selama 15 hingga 30 menit.
Enantiomer S-(+) mempercepat recovery (beberapa menit) daripada campuran racemic.
Recovery yang lebih cepat diyakini karena lebih rendahnya dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan
efek equi-anestetik dan karena biotransformasi hepatic yang 10% lebih cepat.
Durasi anastesi ketamine ditentukan oleh dosis; semakin tinggi dosis semakin lama anastesi, dan
penggunaaan obat anastesi lain secara bersamaan juga memperpanjang waktu emergence. Karena
korelasi yang bagus antara tingkat darah ketamine dan efek CNS, durasi aksi ketamine yang relatif
pendek disebabkan redistribusinya dari otak dan darah ke tissue-tissue di seluruh tubuh. Dengan
demikian, berhentinya efek setelah pemberian bolus tunggal ketamine disebabkan oleh redistribusi dari
tissue-tissue yang diperfusi dengan baik ke tissue-tissue yang diperfusi dengan kurang baik. Pemberian
dengan benzodiazepine (biasa dilakukan) dapat memperpanjang efek ketamine. Ketika dikombinasikan
dengan benzodiazepine, enantiomer S-(+) tidak berbeda dalam hal kesadaran 30 menit, tapi lebih baik
120 menit daripada campuran racemic. Analgesi terjadi ketika tingkat darah lebih rendah daripada
hilang kesadaran.
Page 29
Ketamine menghasilkan analgesi postoperatif penting. Tingkat plasma dimana batas minimum
rasa sakit meningkat adalah 0.1 g/mL atau lebih tinggi, yang berarti bahwa ada periode panjang
analgesi postoperatif setelah anastesi general ketamine dan bahwa dosis subanastetik dapat digunakan
untuk menghasilkan analgesi. Ketamine terbukti menghambat hipersensitisasi sentral nociceptiv.
Ketamine juga mengurangi batas toleransi akut setelah pemberian opiate. Ketamine mengurangi
kebutuhan opiate postoperatif ketika digunakan sebagai komponen tindakan analgesia
preventif/preemptif.
Tempat utama aksi CNS ketamin adalah pada system proyeksi thalamoneocortical. Ketamine
secara selektif menurunkan fungsi neuronal pada beberapa bagian cortex (terutama area-area yang
berhubungan) dan thalamus ketika secara bersamaan menstimulasi bagian-bagian system limbic,
termasuk hippocampus. Proses ini menciptakan apa yang disebut disorganisasi fungsional saluran
nonspesifik pada beberapa area midbrain dan thalamic. Ada juga bukti bahwa ketamine menurunkan
transmisi impuls pada formasi reticular medullary medial yang penting untuk transmisi komponen-
komponen afektif-emosional nocicepsi dari spinal cord ke pusat otak yang lebih tinggi. Blokade channel
sodium CNS terbukti tidak menjadi mekanisme kerja dimana ketamine menghasilkan anastesi. Beberapa
bukti menunjukkan bahwa ketamine menempati wilayah reseptor opiate di otak dan spinal cord, dan
sifat ini menyebabkan beberapa efek. Enantiomer S(+) terbukti mengalami aktivitas -reseptor opioid
yang sebagian menyebabkan efek analgesic. Interaksi reseptor NMDA dapat memediasi efek-efek obat
anastesi general dan beberapa aksi analgesic ketamine. Efek analgesic spinal cord ketamine diyakini
karena inhibisi horn dorsal, aktivitas neuronal kisaran dinamik-lebar. Meskipun beberapa obat telah
digunakan untuk mengantagonis ketamin, belum ada reseptor antagonis tertentu yang menormalkan
kembali efek-efek CNS ketamine.
Ketamine meningkatkan metabolisme cerebral, CBF, dan ICP. Karena efek-efek CNS eksitatori
yang dapat dideteksi dengan perkembangan aktivitas gelombang theta EEG dan dengan aktivitas seperti
seizure pada hippocampus, ketamine meningkatkan CMRO2. Jika aktivitas gelombang theta
menunjukkan aktivitas analgesic ketamine, gelombang alpha tidak menunjukkan adanya aktivitas
tersebut. Terdapat peningkatan CBF yang lebih tinggi daripada peningkatan CMRO2. Dengan
peningkatan CBF dan peningkatan respon system syaraf sympathetic, ICP akan meningkat setelah
pemberian ketamine. Peningkatan CMRO2.dan CBF dapat diblok dengan penggunaan thiopental atau
diazepam. Responsifnya cerebrovascular terhadap carbon dioxide dipertahankan oleh ketamin; oleh
karena itu, menurunkan Paco2 mengurangi peningkatan ICP setelah ketamine. Ketamin juga telah
Page 30
terbukti mempunyai ischemia cerebral dan reperfusi yang tidak sempurna untuk mengurangi necrosis
dan meningkatkan outcome neuralgic pada model binatang. Penurunan tone sympathetic dan inhibisi
aliran ion yang dimediasi reseptor NMDA diyakini menjadi penyebab penurunan kematian sel necrotic.
Ketamine, seperti phencyclidine lain, menghasilkan reaksi psikologis yang tidak diharapkan
selama awakening dari anastesi yang disebut reaksi emergence. Tanda-tanda umum dari reaksi ini, yang
bervariasi dalam hal keparahan dan klasifikasi, adalah mimpi indah, pengalaman extracorporeal
(perasaan mengangkat tubuh orang lain) dan ilusi (salah menginterpretasikan pengalaman sensory
eksternal yang nyata). Terjadinya mimpi dan ilusi ini sering disebabkan perasaan antusias, bingung,
euphoria, dan takut. Mereka terjadi saat jam pertama emergence dan biasanya berkurang dalam 1
hingga beberapa jam. Reaksi-reaksi emergence ini terjadi setelah penurunan nuclei relay visual dan
auditory yang diinduksi ketamin sehingga menyebabkan mispersepsi atau misinterpretasi (atau
keduanya) rangsang visual dan auditory. Kejadian-kejadian ini bervariasi dari serendah 3% higga 5%
sampai setinggi 100%. Rentang relevan secara klinis mungkin 10% hingga 30% pada pasien dewasa yang
diberi ketamine sebagai teknik anestetik tunggal atau sebagai bagian dari teknik anestetik lainnya.
Beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya reaksi emergence adalah usia, dosis, gender,
kerentanan psikologis, dan obat yang diberikan secara bersamaan. Memainkan musik selama anestesi
tidak mengurangi terjadinya reaksi psychotomimetic. Pasien pediatric tidak menunjukkan tingkat
kejadian reaksi emergence setinggi pada pasien dewasa, begitu juga pasien pria dibandingkan wanita.
Dosis yang lebih tinggi dan pemberian dosis tinggi secara cepat tidak menyebabkan pasien mengalami
tingkat kejadian yang lebih tinggi efek-efek tadi. Yang terakhir, kepribadian cenderung menyebabkan
perkembangan reaksi emergence. Pasien yang nilai psychoticism nya tinggi pada Eysenck Personality
Inventory mempunyai kecenderungan berkembangnya reaksi-reaksi emergence, dan orang-orang yang
biasa bermimpi di rumah lebih cenderung mengalami mimpi postoperative di rumah sakit setelah
pemberian ketamine. Banyak obat yang telah digunakan untuk mengurangi kejadian dan tingkat
keparahan reaksi-reaksi postoperative ketamine, dan benzodiazepine tampaknya menjadi kelompok
obat yang paling efektif dalam mengurangi atau menangani reaksi-reaksi emergence ketamine.
Midazolam, lorazepam, dan diazepam berguna untuk mengurangi reaksi terhadap ketamine. Mekanisme
belum diketahui, tapi aksi sedative dan amnesic benzodiazepine lebih baik daripada obat hypnotik-
sedatif lain. Midazolam telah terbukti mengurangi efek psychotomimetic enantiomer S-(+).
Efek-Efek Pada System Respiratory
Page 31
Ketamine mempunyai efek yang kecil pada respiratory sentral sebagaimana ditunjukkan dengan tidak
berubahnya respon terhadap carbondioxide. Penurunan minute ventilasi dalam waktu yang pendek (1
hingga 3 menit) dapat terjadi setelah pemberian bolus dosis induksi ketamine (2 mg/kg IV). Kadang-
kadang dosis tinggi menyebabkan apnea, tapi efek ini jarang terlihat. Nilai gas darah arterial biasanya
tetap ketika yang digunakan untuk anestesi atau analgesia hanya ketamine saja. Akan tetapi, dengan
penggunaan sedatif atau obat-obat anestetik adjuvant, depresi respiratori dapat berkembang. Ketamin
terbukti mempengaruhi control ventilatory pada anak-anak dan harus dipertimbangkan penggunaan
depressant respiratory ketika ketamine diberikan dengan dosis bolus.
Ketamine merupakan relaxant otot halus bronchila. Ketika diberikan pada pasien yang
mengalami penyakit airway reaktif dan bronchospasm, pemenuhan pulmonary ditingkatkan. Ketamin
sama efektifnya dengan halothan atau enflurane dalam mencegah bronshospasm yang diinduksi secara
eksperimental. Mekanisme untuk efek ini mungkin akibat dari respon sympathomimetic terhadap
ketamine, tapi penelitian otot halus bronchial telah menunjukkan bahwa ketamine dapat
mengantagonis efek-efek spasmogenic carbachol dan histamine secara langsung. Karena efek
bronchodilasi, ketamine telah digunakan untuk mengatasi status asthmaticus yang tidak responsif
terhadap terapi konvensional.
Masalah respiratory potensial, terutama pada anak-anak, adalah salivasi yang meningkat setelah
pemberian ketamine (lihat juga bab 60). Salivasi tersebut dapat menyebabkan gangguan airway atas
yang kemudian dapat diperparah oleh laryngospasm. Peningkatan sekresi juga menyebabkan atau
memperparah laryngospasm. Disamping itu, meskipun refleks menelan, batuk, bersin, dan gag relatif
bagus setelah pemberian ektamine, ada bukti yang menunjukkan bahwa aspirasi tersembunyi dapat
terjadi selama anastesi ketamine.
Efek-Efek System Cardiovascular
Ketamine juga mempunyai efek cardiovascular unik; ketamine menstimulasi system cardiovascular dan
biasanya meningkatkan tekanan darah, heart rate, dan output cardiac (lihat tabel 10-2). Obat induksi
anastetik lain menyebabkan atau merubah variabel hemodinamik atau menyebabkan vasodilatasi
dengan depresi cardiac. Meskipun ada harapan bahwa dengan mengurangi dosis setengah (potensi
equal-anastetik) akan mengurangi efek-efek sampingnya, enantiomer S-(+) sama dengan campuran
racemic dalam hal respon hemodinamik. Peningkatan variabel hemodinamik disebabkan peningkatan
Page 32
kerja dan konsumsi oksigen myocardial. Jantung yang sehat dapat meningkatkan suplai oksigen dengan
meningkatkan output cardiac dan menurunkan resistan vascular coronary sehingga airan darah coronary
sesuai untuk konsumsi oksigen yang meningkat. Perubahan-perubahan hemodinamik tidak
berhubungan dengan dosis ketamine (tidak ada perbedaaan hemodinamik antara pemberian 0.5 dan 1.5
mg/kg IV). Menarik juga bahwa dosis kedua ketamine lebih sedikit menghasilkan efek hemodinamik
daripada dosis pertama. Perubahan-perubahan hemodinamik setelah pemberian induksi anastesi
dengan ketmaine cenderung sama pada pasien sehat dan mereka yang mengalami penyakit jantung
congenital atau penyakit jantung acquired. Pasien dengan penyakit jantung congenital tidak mengalami
perubahan yang signifikan dalam direksi atau fraksi shunt atau pada oksigenasi sistemik setelah induksi
anastesi ketamine. Pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan arteri pulmonary (seperti pasien
dengan mitral valvular dan beberapa jejas cogenital) ketamine dapat lebih meningkatkan resistan
pulmonary daripada resistan sistemik.
Mekanisme dimana ketamine menstimulasi system sirkulatori masih belum diketahui.
Mekanisme tersebut bukan mekanisme peripheral seperti inhibisi barorefleks, tapi lebih seperti sentral.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa ketamine menurunkan fungsi baroreseptor melalui efek reseptor
NMDA pada nucleus tractus solitarius. Ketamine yang diinjeksikan secara langsung kedalam CNS
menghasilkan respon hemodinamik system syaraf sympathetic. Ketamine juga menyebabkan
sympathoneuronal release norepinephrine yang dapat ditemukan dalam darah venous. Blockade efek
ini sering dengan barbiturate, benzodiazepine, dan doperidol. Ketamine in vitro bisa mempunyai efek
inotropik negatif. Depresi myocardial telah ditemukan pada jantung kelinci yang terisolasi, anjing
normal, anjing yang secara kronis diberi instrument, dan preparat jantung canine terisolasi, ketamine
merupakan depresan paling kecil dari semua obat induksi besar. Temuan bahwa ketamin dapat
menghasilkan efek-efek myocardial dengan bekerja pada aliran ionic myocardial (yang dapat
menghasilkan efek-efek berbeda dari spesies satu dengan yang lain atau pada jenis-jenis tissue berbeda)
dapat menjelaskan varian model binatang dan tissue dalam aksi myocardial langsung.
Respon sympathetic terhadap ketamine yang dimediasi secara sentral biasanya menghambat
efek-efek depresan langsung ketamine. Beberapa aksi system saraf peripheral memainkan peran yang
tidak jelas pada efek hemodinamik obat. Ketamine menghambat penyerapan catecholamine pada efek
mirip kokain dan penyerapan norepinephrine extraneuronal.
Stimulasi system caridiovascular tidak selalu dapat dilakukan, dan beberapa metode
farmakologis tertentu telah digunakan untuk memblok tachycardia dan hypertensi sistemik yang
Page 33
diinduksi ketamine. Metode-metode yang sukses meliputi penggunaan adrenergic antagonis ( dan )
dan beberapa jenis vasodilator dan clonidine. Akan tetapi, teknik yang paling banyak digunakan adalah
pemberian benzodiazepine. Dosis paling kecil diazepam, flunitrazepam, dan midazolam mengurangi
efek-efek hemodinamik ketamine. Bisa saja kita mengurangi tachycardia dan hipertensi yang disebakan
oleh ketamine dengan menggunakan teknik infusi berkelanjutan dengan atau tanpa benzodiazepine.
Obat anastesi general lain, terutama obat anastesi inhalasi, mengurangi efek-efek hemodinamik
ketamine. Ketamine dapat menyebabkan depresi hemodinamik pada setting anastesis ketika respon-
respon sympathetic tidak muncul setelah pemberian ketamin.
Penggunaan
Fitur-fitur famakologi ketamine, terutama kecenderungannya menyebabkan reaksi emergence yang
tidak diinginkan, membuat ketamine jarang digunakan secara rutin. Tapi, ketamine mempunyai posisi
penting dalam praktek anestesiologi ketika muncul aktivitas sympathomimetik unik dan kemampuan
bronchodilatasinya selama induksi anestesi. Ketamine digunakan untuk premedikasi, sedasi, induksi, dan
maintenance anestesi general (lihat tabel 10-11). Penggunaan ketamine dosis kecil (10 hingga 20 mg)
terus meningkat untuk analgesi preventif dan untuk menghambat toleransi opiate dan hyperaglesia.
Induksi Dan Maintenance Anastesi
Pasien beresiko kecil (kelompok ASA IV) dengan disorder respiratory dan system cardiovascular (selain
penyakit jantung ischemic) adalah mayoritas pasien yang diberi induksi ketamin; induksi tersebut
terutama cocok untuk pasien dengan penyakit airway bronchospastic atau mereka dengan bahaya
hemodinamik berdasarkan hypovolemia atau cardiomyopathy (bukan penyakit arteri coronary).
Bronchodilatasi dan analgesi dalam yang membutuhkan konsentrasi oksigen tinggi membuat ketamine
menjadi pilihan paling bagus untuk induksi pasien dengan penyakit airway reaktif. Disisi lain, korban
trauma sehat yang blood loss nya banyak, juga diberi rapid-sequence induction dengan ketamine.
Ketamine bermanfaat juga untuk pasien dengan shock septic. Akan tetapi, pada situasi shock septic, efek
depresan myocardial intrinsik ketamin dapat muncul jika trauma atau sepsis telah mengurangi
catecholamine sebelum pasien tiba di ruang operasi. Penggunaan ketamine pada pasien-pasien ini tidak
menghilangkan kebutuhan preparat preoperatif, termasuk restorasi volume darah. Penyakit cardiac lain
Page 34
yang dapat diatasi dengan baik dengan anastesi ketamine adalah cardiac tamponade dan pericarditis
restriktif. Temuan bahwa ketamine mempertahankan heart rate dan tekanan atrial kanan dengan efek-
efek stimulasi sympatheticnya membuat ketamine menjadi obat untuk induksi dan maintenance
anestesi yang paling bagus dalam setting ini. Ketamine juga sering digunakan pada pasien dengan
penyakit jantung congenital, terutama mereka dengan kecenderungan shunting kanan-ke-kiri.
Disamping itu, ketamine juga digunakan pada pasien yang rentan terhadap hipertensi malignant yang
mempunyai massa mediastinal anterior besar ketika ventilasi spontan dan obat anestesi inhalasi
menjadi kontraindikasi.
Ketamine yang dikombinasikan dengan diazepam atau midazolam dapat diberikan dengan infusi
berkelanjutan untuk menghasilkan anastesi cardiac yang sukses pada pasien dengan penyakit jantung
ischemic dan valvulvar. Kombinasi benzodiazepine atau benzodiazepine ditambah sufentanil dengan
ketamine mengurangi atau menghilangkan tachycardia dan hipertensi yang tidak diharapkan serta
gangguan psikologis. Teknik ini menghasilkan gangguan hemodinamik kecil, analgesi yang dalam,
amnesia yang berkurang, dan recovery yang tak terduga. Belum ada perbandingan teknik ini dengan
teknik benzodiazepine-opioid berkelanjutan.
Pada pasien dengan depresi terdeteksi, dosis kecil ketamine yang diberikan dengan induksi
secara signifikan akan meningkatkan keadaan depresif postoperatif ketika dibandingkan dengan
pengontrol lain.
Ketamine dosis kecil telah digunakan sebagai analgesic setelah pembedahan thoracic; sifat-sifat
depresan respiratory dan redanya rasa sakit yang sama dengan mepiridine membuat ketamine dosis
kecil sebagai pilihan ketiga ketika ingin menghindari narkotik karena alasan efek-efek depresan
respiratori narkotik dan karena alasan menghindari agent-agent nonsteroidal seperti ketorolac.
Penggunaan analgesic tambahan dapat dipertimbangkan pada pasien asthmatic. Ketamine yang
diberikan dengan dosis kecil 10 hingga 20 mg sebelum operasi mengurangi konsumsi analgesic
postoperatif. Pasien yang diberi hingga tiga dosis 0.25 mg/kg ketamine dikombinasikan dengan 0.15
mg/kg morphine, atau hanya 0.3 mg/kg morphine, mempunyai skor rasa sakit analog visual yang lebih
baik, lebih awas, dan mengalami mual dan muntah yang lebih kecil. Ketamine yang diberikan dengan
kombinasi satu-satu dengan morphine dan penggunaan interval penghambatan 8-menit menghasilkan
analgesia postoperatif yang optimal. Pemberian ketamine caudal/epidural (0.5 hingga 1 mg/kg) terus
meningkat. Meskipun efektifitas dosis-dosis ketamine ini belum pasti, keamanan teknik ini masih
Page 35
diperdebatkan. Pengawet pada campuran racemic berpotensi neurotoxic, tapi beberapa penelitian
menunjukkan bahwa ketamin S-(+) bebas pengawet aman digunakan.
Sedasi
Ketamine cocok untuk sedasi pasien anak-anak yang menjalani prosedur tidak di ruang operasi. Pasien
anak-anak lebih sedikit mengalami reaksi emergence daripada pasien dewasa, dan sifat ini membuat
penggunaan ketamin pada anak-anak lebih cocok. Ketamine digunakan untuk sedasi atau anastesi
general, atau keduanya, untuk prosedur pediatric berikut ini: catheterisasi cardiac, terapi radiasi,
pemeriksaan radiologic, perubahan dressing, dan kerja gigi. Disarankan untuk hati-hati ketika
menggunakan ketamine untuk catheterisasi cardiac pada pasien anak-anak dengan peningkatan resistan
vascular pulmonary karena resistan tersebut bisa meningkat dengan ketamine.
Ketamine sering digunakan berulang-ulang pada pasien yang sama. Sayangnya, beberapa
literatur tidak memberikan informasi berapa kali anastesi ketamine dapat diberikan dengan aman pada
satu pasien, apakah frekuensi pemberiannya berhubungan dengan batas toleransi setelah pemberian
berulang-ulang, dan apakah penggunaan jangka panjang/terus menerus dapat menyebabkan efek-efek
detrimental.
Biasanya, dosis subanastetik ( 1.0 mg/kg IV) digunakan untuk perubahan dressing (penutupan
luka); dosis ini menghasilkan kondisi operasi yang cukup tapi fungsi normal kembali dengan cepat
termasuk mulai makan lagi, yang semuanya itu penting dalam mempertahankan cukupnya nutrisi pada
pasien terbakar. Seringkali, ketamine dikombinasikan dengan premedikasi yang mengandung
barbiturate atau benzodiazepine dan antisialagogue (seperti glycopyrrolate) untuk mempermudah
manajemen. Premedikasi mengurangi kebutuhan dosis ketamine, dan antisialgogue mengurangi salivasi
yang terkadang menyulitkan.
Pada orang dewasa dan anak-anak, ketamine dapat digunakan sebagai supplemen atau
tambahan anastesi regional untuk menambah manfaat anastesi utama (anastesi lokal). Dalam setting ini,
ketamine dapat digunakan sebelum pemberian blok-blok rasa sakit, tapi lebih biasa digunakan untuk
sedasi atau anastesi supplemental selama prosedur lama atau menjenuhkan. Ketika digunakan untuk
tambahan anastesi regional, ketamine (0.5 mg/kg IV) yang dikombinasikan dengan diazepam (0.15
mg/kg IV) lebih dapat diterima dengan baik oleh pasien dan tidak menimbulkan lebih banyak efek
Page 36
samping dibanding pada pasien yang di sedasi. Ketamine dengan dosis kecil dapat juga dikombinasikan
dengan nitrous oxide dan propofol untuk suplementasi anastesi konduksi atau anastesi lokal. Teknik-
teknik pemberian ketamin ini digunakan pada setting pasien rawat jalan dan pasien rawat inap, dan
meskipun pasien-pasien nyaman dan kooperatif, mimpi dan reaksi emergence lain dapat muncul. Pada
pasien rawat jalan, premedikasi dengan midazolam, infusi propofol secara bersamaan, dan sesekali
ketamine (untuk analgesia) disarankan dengan dosis kurang dari 3 mg/kg.
Dosis-Dosis Dan Rute Pemberian
Ketamine telah diberikan secara intravenous, intramuscular, oral, nasal, rectal, dan sebagai larutan
bebas pengawet secara epidural. Sebagian besar penggunaan klinis menggunakan rute intravenous dan
intramuscular dimana dengan rute tersebut obat dengan cepat mencapai tingkat terapeutik. Dosis
tergantung pada efek terapeutik yang diinginkan dan rute pemberian. Tabel 10-11 berisi dosis-dosis
yang direkomendasikan untuk pemberian ketamine intravenous dan intramuscular untuk beberapa
tujuan terapeutik. Karena efek-efek samping mereka, sebagian besar obat anastesi perlu diturunkan
untuk pasien lebih tua dan sakit serius; rekomendasi ini cocok dengan ketamine, meski data yang
menunjukkan rekomendasi ini belum ada. Pasien yang mengalami sakit kritis dalam periode waktu yang
lama bisa kehabisan cadangan catecholamine dan bisa mengalami efek-efek depresan ketamine.
Ketamine dapat diberikan secara epidural dan intratechal untuk mengontrol rasa sakit operatif dan
postoperatif. Dosis intratechal 1 mg ketamine yang dikombinasikan dengan 0.15 hingga 0.2 mg
morphine intratechal menghasilkan pereda rasa sakit kanker yang efektif dibanding dengan 0.4 mg
morphine intratechal saja. Ketamine S-(+) (0.5 mg/kg) juga telah dikombinasikan dengan bupivacaine
untuk meningkatkan durasi analgesia. Aksi puncak setelah pemberian intravenous terjadi dalam 30
hingga 50 detik. Onset terjadi kira-kira 5 menit, dengan efek puncak yang terjadi sekitar 20 menit setelah
pemberian intramuscular. Dosis oral 3 hingga 10 mg/kg menghasilkan efek sedasi dalam 20 hingga 45
menit. Infusi berkelanjutan ketamine intravenous dengan atau tanpa disertai obat lain merupakan
metode yang sukses untuk mempertahankan tingkat darah dalam rentang terapeutik (lihat juga Bab 12).
Penggunaan obat-obat secara bersamaan seperti benzodiazepine membutuhkan ketamine dengan dosis
lebih kecil ketika meningkatkan recovery dengan mengurangi reaksi emergence. Interaksi ketamine
dengan propofol hanya bersifat additif, tidak synergistic; dengan demikian dosis masing-masing obat
tersebut perlu dikurangi kira-kira setengah ketika digunakan secara bersamaan untuk induksi. Untuk
sedasi, ketamine dapat diberikan secara intramuscular jika pasien tidak mau melihat penempatan
Page 37
catheter intravenous. Ketamine juga diberikan secara oral dengan dosis 3 hingga 10 mg/kg, dengan 6
mg/kg menghasilkan kondisi optimal dalam 20 hingga 25 menit pada sebuah penelitian dan 10 mg/kg
menghasilkan sedasi pada 87% anak-anak dalam 45 menit pada penelitian lain. Setidaknya, dalam satu
kasus, tidur lelap dihasilkan oleh dosis oral sedatif.
Beberapa Efek Samping Dan Kontraindikasi
Reaksi-reaksi emergence psikologis yang biasa muncul telah kita bahas sebelumnya. Kontraindikasi
terhadap ketamine berhubungan dengan aksi-aksi farmakologis tertentu dan penyakit pasien. Pasien
dengan peningkatan ICP dan dengan jejas massa intracranial jangan diberi ketamine karena dapat
meningkatkan ICP dan menyebabkan apnea. Enantiomer S-(+) juga meningkatkan CBF sehingga menjadi
kontraindikasi. Disamping itu, ketamine berkontraindikasi pada pasien dengan luka mata yang terbuka
atau disorder ophthalmologic lain dimana pada pasien ini peningkatan tekanan intraocular yang
diinduksi ketamine akan berbahaya. Karena ketamine mempunyai kecenderungan menyebabkan
hipertensi dan tachycardia dengan peningkatan yang sama pada konsumsi oksigen myocardial, ketamine
menjadi kontraindikasi sebagai obat anestesi tunggal pada pasien dengn penyakit jantung ischemic.
Begitu juga, tidak diperbolehkan memberikan ketamine pada pasien dengan vascular aneurysms karena
kemungkinan perubahan tiba-tiba pada tekanan arterial. Pada penyakit psikiatrik seperti schizophrenia
atau sejarah beberapa reaksi, ketamine atau salah satu obat sejenisnya juga menjadi kontraindikasi.
Disamping itu, harus hati-hati dalam menggunakan ketamine ketika terdapat kemungkinan delirium
postoperatif dari penyebab lain (seperti delirium tremen, kemungkinan trauma kepala) dan efek
psikomimetik yang diinduksi ketamine akan menyulitkan diagnosis.
Efek-efek samping yang lain adalah peningkatan blokade neuromuscular nondepolar oleh
mekanisme yang belum diketahui. Terakhir, karena pengawet ketamine (chlorobutanol) terbukti
neurotoxic, pemberian subarachnoid menjadi kontraindikasi. Karena alasan ini, tidak diperbolehkan juga
memberikan obat ini secara epidural. Ketamine S-(+) tersedia dalam larutan bebas pengawet. Badan
Pemberian Obat dan Makanan belum menyetujui penggunaan ketamine epidural atau intratechal.
ETOMIDATE
Sejarah
Page 38
Etomidate (Amidate, Hypnomidate) disintesiskan pada tahun 1964 dan diperkenalkan dalam praktek
klinis pada 1972. Sifat-sifat etomidate meliputi stabilitas hemodinamik, depresi respiratory minimal,
proteksi cerebral, dan farmakokinetik yang membuat recovery berlangsung cepat setelah infusi dosis
tunggal atau berkelanjutan. Pada binatang, etomidate juga memberikan margin keamanan yang lebih
besar (dosis efektif median/dosis lethal median [ED50/LD50] daripada dosis thiopental (26.4 banding
4.6). Sifat-sifat yang bermanfaat ini menyebabkan etomidate digunakan secara luas untuk induksi, untuk
maintenance anastesi, dan untuk sedasi pada pasien sakit kritis. Akan tetapi, antusiasme para
anestesiologis pada etomidate terganggu oleh beberapa laporan bahwa obat ini dapat menyebabkan
inhibisi sementara sintesis steroid setelah dosis dan infusi tunggal. Efek ini, yang disertai dengan
beberapa kerugian kecil (rasa sakit injeksi, superficial thrombophlebitis, myoclonus, dan kemunculan
mual dan muntah yang relatif tinggi) menyebabkan beberapa editorial majalah dan koran mengangkat
masalah peran etomidate pada praktek klinis modern. Penggunaan obat ini menurun secara signifikan
setelah kemunculan beberapa editorial ini, tapi kemudian meningkat lagi karena penemuan kembali
sifat fisiologis yang bermanfaat yang disertai dengan tidak adanya laporan baru yang menunjukkan
suppresi adrenocortical yang signifikan secara klinis setelah dosis induksi atau infusi singkat.
Beberapa Karakteristik Fisikokimia
Etomidate adalah turunan imidazole (R-(+)-pentylethyl-1H-imidazole-5 carboxylate sulfate). Struktur
kimianya diilustrasikan di gambar 10-22. Etomidate muncul sebagai dua isomer, tapi hanya isomer (+)
yang aktif sebagai hypnotic. Berat molecularnya adalah 342.36 kd. Etomidate tidak larut dalam air dan
tidak stabil dalam larutan netral. Oleh karena itu etomidate diformulasikan dengan beberapa solvent. Di
Amerika Serikat etomidate disuplai sebagai 2 mg/kg propylene glycol (35% oleh volume) larutan dengan
pH 6.9 dan osmolalitas 4640 mOsm/L. Di Eropa, formulasi baru dalam emulsi lipid telah diperkenalkan
dalam usaha mengurangi beberapa efek samping etomidate. Tidak seperti thiopental sodium, ketika
etomidate dicampur dengan agent anestetik lain yang biasa digunakan seperti pemblok neuromuscular,
obat-obat vasoactiv, atau lidocaine, tidak menyebabkan precipitasi.
Metabolisme, Induksi, dan Maintenance Anestesi
Page 39
Etomidate dimetabolismekan dalam liver terutama oleh hydrolysis ester menjadi carboxylic acid
etomidate (metabolit utama) atau oleh N-dealkylasi. Metabolit utama tidak aktif. Hanya 2% dari obat ini
yang tidak dieksresi, yang separuhnya diekskresi sebagai metabolit oleh ginjal (85%) dan dalam bile
(13%).
Etomidate telah digunakan untuk induksi dan maintenance anestesi (tabel 10-12). Dosis induksi
etomidate bervariasi dari 0.2 hingga 0.6 mg/kg, dan dikurangi oleh premedikasi dengan opiate,
benzodiazepine, atau barbiturate. Onset anestesi setelah dosis induksi rutin etomidate 0.3 mg/kg cepat
(one arm-brain circulation) dan sama dengan onset yang didapat dengan dosis induksi thiopental atau
methohexital. Durasi anestesi setelah dosis induksi tunggal berhubungan secara linear dengan dosis
tersebut—setiap 0.1 mg/kg yang diberikan menghasilkan sekitar 100 detik kehilangan kesadaran. Dosis
etomidat berulang-ulang, baik dengan bolus atau infusi, memperpanjang durasi hypnosis. Recovery
setelah dosis banyak atau infusi etomidate biasanya cepat. Penambahan dosis kecil fentanyl dengan
etomidate untuk prosedur pembedahan pendek mengurangi dosis etomidate yang dibutuhkan dan
menghasilkan kesadaran yang lebih cepat. Pada anak-anak, induksi dengan pemberian rectal etomidate
dicapai dengan 6.5 mg/kg. Hypnosis terjadi dalam 4 menit. Pada dosis ini, hemodinamik obat tidak
berubah, dan recovery masih cepat.
Beberapa skema infusi telah disusun untuk menggunakan etomidate sebagai sebuah agent
maintenance untuk komponen hypnotic anestesi (lihat Bab 12). Sebagian besar penanganan medis
bertujuan mencapai tingkat plasma 300 hingga 500 ng/mL yang merupakan konsentrasi yang
dibutuhkan untuk hypnosis. Infusi dua tahap dan tiga tahap telah digunakan dengan sukses.
Penanganan-penanganan medis ini terdiri dari infusi cepat awal 100 g/kg/menit selama 10 menit
setelah itu diikuti dengan 10 g/kg/menit atau 100 g/kg/menit selama 3 menit, 20 g/kg/menit
selama 27 menit, dan setelah itu 10 g/kg/menit. Hilang kesadaran dengan teknik-teknik ini terjadi
setelah 100 hingga 120 detik. Infusi biasanya dihentikan 10 menit sebelum waktu sadar yang telah
ditentukan.
Farmakokinetik
Farmakokinetik etomidate dihitung setelah dosis bolus dan setelah infusi berkelanjutan (lihat tabel 10-
1). Waktu penghilangan plasma setelah bolus 0.3 mg/kg dapat dilihat di gambar 10-23. Kinetika
etomidate paling mudah dijelaskan dengan model tiga-kompartemen terbuka. Obat ini mempunyai
Page 40
waktu half-life distribusi awal 2.7 menit, half-life distribusi ulang 29 menit, dan half-life eliminasi yang
bervariasi dari 2.9 hingga 5.3 jam. Pembersihan etomidate oleh liver tinggi (18 hingga 25 mL/kg/menit),
dengan rasio ekstraksi hepatic 0.5 0.9. Dengan demikian obat-obat yang mempengaruhi aliran darah
hepatic merubah waktu half-life eliminasi etomidate. Karena redistribusi adalah mekanisme dimana efek
bolus etomidate dihilangkan, disfungsi hepatic tidak akan merubah recovery dari efek hypnotic nya.
Volume redistribusi pada keadaan stabil adalah 2.5 hingga 4.5 L/kg. Etomidate adalah 75% ikatan
protein. Kondisi-kondisi patologis yang merubah protein-protein serum (misalnya penyakit ginjal atau
hepatic) merubah jumlah fraksi bebas (tidak terikat) dan dapat menyebabkan dosis tertentu mempunyai
efek farmakodinamik lebih parah. Model shock hemorrhagic pada babi kehabisan darah hingga tekanan
rata-rata 50 mm Hg tidak merubah farmakokinetik atau farmakodinamik etomidate. Temuan ini
berlawanan dengan perubahan-perubahan yang nampak pada model yang sama dengan obat anastesi
intravenous lain.
Pada pasien dengan cirrhosis, volume distribusi dua kali lipat, tapi pembersihan normal; hasilnya
adalah waktu half-life eliminasi yang dua kali normal. Ini menunjukkan bahwa half-life distribusi awal
dan efek klinis tidak berubah. Bertambahnya usia menyebabkan lebih kecilnya volume distribusi awal
dan menurunya pembersihan etomidate. Half-life eliminasi etomidate yang relatif pendek dan
pembersihan etomidate yang cepat membuatnya cocok diberikan dengan dosis tunggal, dosis multiple,
atau infusi berkelanjutan.
Farmakologi
Efek-efek pada Sistem Syaraf Sentral
Aksi utama etomidate pada CNS adalah hypnosis, yang dicapai dengan one arm-brain circulation seteleh
dosis induksi normal (0.3 mg/kg). Etomidate tidak menghasilkan aktivitas analgesik. Tingkat plasma yang
dibutuhkan selama maintenance anastesi sekitar 300 hingga 500 ng/mL, tingkat plasma untuk sedasi
150 hingga 300 ng/mL, dan untuk sadar 150 hingga 250 ng/mL (lihat gambar 10-23). Mekanisme dimana
etomidate menghasilkan hypnosis belum sepenuhnya jelas; akan tetapi, sebagian besar (tapi tidak
semua) berhubungan dengan sistem adrenergic GABA. Aksinya dapat diantagonisir oleh antagonis-
antagonis GABA. Secara umum, mekanisme kerja etomidate sangat sama dengan mekanisme kerja
Page 41
propofol (lihat bagian selanjutnya). Untuk aksi hypnoticnya bagi etomidate, subunit dan lebih
bermanfaat daripada subunit GABA.
Dengan dosis 0.2 hingga 0.3 mg/kg, etomidate menyebabkan CBF (34%) dan CMRO (45%)
tanpa merubah tekanan arterial rata-rata. Dengan demikian, tekanan perfusi cerebral tetap atau
meningkat, dan terdapat peningkatan akhir rasio supply-demand oksigen yang bermanfaat. Ketika
diberikan dengan dosis yang cukup untuk menghasikan supresi semburan EEG, etomidate secara akut
menurunkan ICP hingga 50% pada pasien yang telah mengalami peningkatan ICP, dan ICP kembali
mendekati nilai normal. Penurunan ICP tetap pada periode segera setelah intubasi (lihat juga Bab 21).
Untuk mempertahankan efek etomidate pada ICP, perlu kecepatan infusi yang tinggi (60 g/kg/menit).
Situasi berbeda muncul dengan agent neuroprotektif lain seperti thiopental dimana pengurangan ICP
dan maintenance supresi semburan tidak berhubungan dengan penurunan tekanan arterial rata-rata.
Karena reaktifitas vascular cerebral masih tetap setelah pemberian etomidate, hyperventiltsi secara
teoritis dapat mengurangi ICP ketika digunakan bersama dengan etomidate. Pada binatang, etomidate
telah mengurangi penyakit otak setelah gangguan ischemic cortical akut. Pada 1993, Takanobu dkk
melaporkan bahwa kualitas etomidat sama dengan thiopental dan lebih baik dari isoflrane pada model
tikus. Peneliti lain tidak sependapat tentang kualitas neuroprotektif etomidate. Struktur yang lebih
dalam seperti brainstem bukanlah proteksi ischemic yang dapat diberikan etomidate.
Dosis 0.3 mg/kg dengan cepat menurunkan tekanan intraocular 30% hingga 60%. Penurunan
tekanan intraocular setelah dosis tunggal berakhir dalam 5 menit, tapi penurunannya dapat
dipertahankan dengan infusi 20 g/kg/menit (lihat Bab 65).
Etomidate menghasilkan perubahan EEG yang sama dengan perubahan yang dihasilkan
barbiturate. Terdapat peningkatan awal pada amplitudo gelombang alpha dengan semburan sharp beta
yang diikuti dengan gelombang campuran delta-theta, dengan aktivitas gelombang delta mendominasi
sebelum onset supresi semburan periodik. Tidak adanya gelombang beta pada tahap awal induksi
dengan etomidate adalah perbedaan utama pada perubahan EEG yang diinduksi thiopental. Etomidate
terbukti menghasilkan peningkatan aktivitas EEG pada foci epileptogenic. Sifat ini terbukti bermanfaat
untuk mengetahui foci seizure intraoperatif sebelum ablasi pembedahan. Etomidate juga berhubungan
dengan tingginya kejadian gerakan myoklonik. Myoclonus tidak dianggap berhubungan dengan aktivitas
EEG yang mirip seizure. Dengan memberikan etomidate pada pasien yang tidak diberi premedikasi,
Page 42
etomidate meningkatkan aktivitas EEG pada 22% pasien dibanding 17% mereka yang diberi thiopental.
Gerakan myoclonic diyakini berasal dari aktivitas dalam brainstem atau dalam struktur cerebral dalam.
Efek etomidate terhadap potensial yang dihasilkan pendengaran sama dengan yang dihasilkan
oleh obat anestesi inhalasi dengan peningkatan latensi yang tergantung dosis dan penurunan amplitudo
komponen-komponen cortical awal (Pa dan Nb). Amplitude dan latensi potensial yang dihasilkan
somatosensory cortical limb bagian atas dipengaruhi secara positif setelah 0.4 mg/kg etomidate, yang
secara teoritis akan sulit menyebabkan luka neurologic selama pemposisian segera setelah induksi
anestesi. Respon-respon yang ditimbulkan brainstem tidak berubah setelah pemberian etomidate.
Karena penurunan amplitude kurang, etomidate lebih baik dari propofol sebagai agent induksi ketika
memonitorr respon yang ditimbulkan motor terhadap stimulasi.
Efek-Efek Pada Sistem Respiratory
Etomidate menghasilkan efek minimal pada ventilasi. Etomidate tidak menginduksi pelepasan histamine
pada pasien sehat atau mereka dengan penyakit airway reaktif. Respon ventilatori terhadap carbon
dioxide berkurangi dengan etomidate, tapi respon ventilatori dengan tekanan karbon dioxide tertentu
lebih besar daripada setelah dosis methohexital yang sama-sama poten. Induksi dengan etomidate
menghasilkan periode hyperventilasi singkat, kadang-kadang diikuti dengan periode apnea yang juga
singkat yang menyebabkan sedikit peningkatan PaCO2 ( 15%) tapi tidak merubah PaO2. Munculnya
apnea dirubah dengan premedikasi. Cegukan atau batuk dapat menyertai induksi etomidate, dan
kejadian tersebut juga terjadi setelah induksi methohexital.
Pada model laboratorium, etomidate sama efektifnya dengan propofol dalam merelaksasi cincin
tracheal prekontraksi, tapi kurang efektif dari propofol dalam mencegah kontraksi cincin tracheal oleh
agonist muscarinic.
Etomidate mengurangi respon vasorelaxant arteri pulmonary terhadap acetylcholine dan
bradykinin dengan menginhibisi komponen-komponen yang dimediasi nitric oxide dan EDHF, mungkin
dengan menginhibisi endothelial [Ca ] transien ketika merespon aktivasi reseptor. Aksi-aksi pada tone
vascular pulmonary ini sama dengan aksi-aksi yang muncul dengan propofol dan ketamine.
Page 43
Efek-Efek Pada Sistem Cardiovascular
Efek minimal etomidate pada fungsi cardiovascular membuatnya berbeda dari agent-agent induksi
beronset cepat lain (lihat tabel 10-2). Dosis induksi 0.3 mg/kg etomidate yang diberikan pada pasien
cardiac untuk pembedahan noncardiac tidak menghasilkan perubahan pada heart rate, tekanan arterial
rata-rata, tekanan arteri pulmonary, tekanan wedge kapiler, tekanan venous central, volume stroke,
index cardiac, dan resistan vascular sistemik dan pulmonary. Dosis relatif tinggi etomidate, 0.45 mg/kg
(yang 50% lebih tinggi dari dosis induksi normal) juga menghasilkan beberapa perubahan minimal pada
parameter cardiovascular. Pada pasien dengan penyakit jantung ischemic atau penyakit valvulvar,
etomidate (0.3 mg/kg) menghasilkan perubahan minimal yang sama pada beberapa parameter
cardiovascular. Pada pasien dengan penyakit mitral atau katup aortik, etomidate dapat menghasilkan
perubahan yang lebih besar pada tekanan arterial rata-rata (penurunan sekitar 20%) daripada pasien
tanpa penyakit valvulvar cardiac. Pada beberapa strip otot myocardial yang diambil dari jantung yang
failure dan tidak failure, etomidate menghasilkan efek inotropik negatif tergantung pada dosis yang
sifatnya reversible dengan stimulasi adrenergic . Dengan konsentrasi terapeutik klinis etomidate,
kemunculan efek-efek inotropik negatif minimal dan bahkan tidak mempunyai pengaruh klinis. Setelah
induksi (18 mg) dan infusi (2.4 mg/kg), etomidate menyebabkan 50% penurunan aliran darah myocardial
dan konsumsi oksigen dan 20% hingga 30% peningkatan saturasi oksigen darah sinus coronary. Dengan
demikian rasio suppy-demand oksigen myocardial tetap. Etomidate menghasilkan efek minimal pada
interval QT.
Kestabilan hemodinamik yang tampak dengan etomidate sebagian karena tidak adanya efek
unik pada sistem syaraf sympathetic dan fungsi baroreseptor. Akan tetapi, etomidate, yang efektifitas
analgesiknya kurang, dapat menghilangkan secara total respon sympathetic terhadap laryngoscopy dan
intubasi. Karena gangguan hemodinamik yang sangat kecil melalui rangkaian induksi/intubasi, dosis
rendah (1.5 hingga 5.0 g/kg) fentanil sering dikombinasikan dengan etomidate.
Pada penelitian kecil 30 pasien yang menjalani prosedur vascular, etomidate (dibanding
thiopental) menyebabkan inhibisi fungsi platelet (waktu pendarahan yang meningkat dan inihibisi
adenosine diphospate dan bersatunya platelet yang diinduksi collagen) dengan blood loss yang
meningkat.
Efek-Efek Endocrine
Page 44
Masalah seputar efek-efek endocrine etomidate muncul dari surat yang ditulis Ledingham dkk pada
1983 yang menangani pasien yang diberi infusi sedatif etomidate jangka panjang ketika sedang
diventilasikan secara mekanikal selama 5 hari atau lebih. Para peneliti ini menunjukkan bahwa separuh
pasien yang secara mekanikal diventilasikan, dan mengalami banyak trauma, tingkat kematiannya lebih
tinggi selama tahun 1981 hingga 1982 dibanding pada pasien sama yang ditangani selama 1979 hingga
1980. Kelompok pertama mendapatkan morphine dan benzodiazepine untuk sedasi, sedangkan pasien
pada tahun 1981 hingga 1982 diberi etomidate untuk sedasi. Oleh karena itu supresi adrenocortical
setelah infusi etomidate jangka panjang menjadi penyebab tingginya tingkat kematian. ICU lain dengan
pasien yang sama yang mendapatkan etomidate tidak menyebabkan tingginya tingkat kematian; pasien-
pasien ini diberi steroid dosis tinggi sebagai bagian protokol penanganan trauma. Temuan ini
mendukung hipotesis diatas.
Efek-efek endocrine yang muncul dengan etomidate adalah inhibisi reversible yang tergantung
dosis enzim 11 hydroxylase yang merubah 11 deoxycortisol menjadi cortisol, dan efek yang relatif kecil
pada 17 hydroxylase (gambar 10-24). Efek-efek ini menyebabkan peningkatan cortisol percursor 11-
deoxycortisol dan 17-hydroxyprogesterone dan peningkatan ACTH. Blokade 11 hydroxylase dan, yang
lebih jarang, 17 hydroxylase berhubungan dengan radical imidazole cytochrome P450 pengikatan
etomidate. Blokade tersebut menyebabkan inhibisi asorbic acid resynthesis, yang dibutuhkan untuk
menghasilkan steroid pada manusia. Blokade enzim 11 hydroxylase yang tergantung cytochrome P450
juga menyebabkan menurunnya produksi mineralocorticoid dan meningkatnya beberapa intermediari
(11-deoxycorticosterone). Suplementasi vitamin C menormalkan kembali tingkat cortisol setelah
penggunaan etomidate. Karena efek-efek supresif adrenocortical kecil terbukti muncul bahkan setelah
dosis bolus tunggal, muncul juga masalah yang berkaitan dengan penggunaan etomidate untuk induksi
anestesi. Belum ada penelitian prospective yang telah dilakukan, tapi beberapa penelitian kecil telah
memberikan sedikit pandangan tentang supresi adrenocortical setelah dosis induksi.
Duthie dkk menunjukkan bahwa pasien sehat yang menjalani pembedahan periperal kecil,
tingkat cortisol plasmanya sedikit menurun dari tingkat preinduksi hingga 1 jam pasca operasi. Titik nadir
tingkat cortisol rata-rata tidak menjauh dari rentang normal. 11-deoxycorticosterone (substrasi
etomidate yang diinhibisi 11 hydroxylase) berada pada tingkat yang sangat tinggi ketika dibandingkan
dengan kelompok kontrol thiopental. Dalam penelitian lain, pasien bedah ortopedi menjalani induksi
etomidate yang diikuti dengan infusi etomidate (dosis total rata-rata, 68 mg). Supresi adrenocortical
sementara, sebagaimana diukur dengan respon yang berkurang terhadap stimulasi ACTH, adalah 6 jam
Page 45
pasca operasi dan kembali normal 20 jam pasca operasi. Tingkat cortisol postoperatif pada pasien
penelitian etomidate tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok pasien yang diberi induksi
midazolam. Sama seperti penelitian Duthie dkk, tingkat cortisol rata-rata pada kelompok pasien
etomidate tetap pada rentang normal pasca operasi. Penelitian lain menunjukkan hasil yang sama ketika
mengevaluasi dosis induksi etomidate; tidak ada outcome yang meleset dari perkiraan setelah supresi
adrenocortical jangka pendek.
Akan tetapi, pada setiap penelitian etomidate prospective yang mengkaji supresi adrenocortical
tanpa menyebabkan sequelae klinis, kesimpulan tentang keamanan belum ada. Alasannya adalah bahwa
penelitian-penelitian ini tidak mengkaji prosedur high-stress dimana manfaat tingginya tingkat cortisol
dalam merespon tekanan besar dapat muncul dan blokade respon terhadap ACTH etomidate dapat
berbahaya. Sebagai bagian dari program jaminan kualitas, kami mengkaji isu ini dengan analisis
retrospective kecil induksi etomidate untuk prosedur high-stress (pembedahan vascular, thoracic, intra-
abdominal mayor, dan retroperitoneal mayor) pada tahun 1993. Indeks-indeks fungsi adrenocortical dan
outcome perioperatif pada pasien yang diberi dosis induksi etomidate dibandingkan dengan pasien
kelompok kontrol yang diberi thiopental. Kejadian infeksi bidang bedah perioperatif, sepsis, infeksi
miscellaneous, infarksi myocardial, dan support inotropik dievaluasi bersama dengan tingkat sodium
serum. Tidak ditemukan perbedaan antara pasien yang diberi etomidate dan mereka yang diberi agent-
agent induksi lain untuk beberapa prosedur high-stress ini. Pada tahun 1994, tingkat cortisol selama dan
setelah bedah bypass arteri coronary dibandingkan pada pasien yang diberi anastesi intravenous total
dengan etomidat/fentanyl (dosis etomidate rata-rata 87 3 mg) dibanding midazolam/fentanyl. Kecuali
untuk jam pertama setelah induksi, tingkat cortisol sama atau lebih tinggi pada kelompok pasien
etomidate daripada kelompok midazolam, sebuah temuan yang menunjukkan bahwa kemampuan
tubuh merespon tingkat stress pembedahan yang tinggi masih bagus meski dosis etomidate relatif
tinggi. Penelitian ini kemudian membuktikan bahwa etomidate bisa aman untuk digunakan pada
pembedahan besar.
Kesimpulannya, ada tiga fakta yang menunjukkan bahwa isu tentang supresi adrenocortical
sementara setelah dosis induksi etomidate tidak signifikan secara klinis: (1) tidak ada laporan mengenai
outcome klinis yang negatif yang disebabkan induksi etomidate meski berjuta-juta kali dilakukan; (2)
setelah induksi etomidate, titik nadir tingkat cortisol biasanya tetap dalam rentang rendah-normal, dan
supresi adrenocortical menjadi fenomena yang kemunculannya relatif sebentar; dan (3) pembedahan
Page 46
dengan tingkat stress tinggi dapat mengatasi supresi adrenocortical sementara yang disebabkan
etomidate.
Efek-Efek Lain
Meskipun etomidate menghasilkan kestabilan hemodinamik dan penurunan kecil pada respiratori,
etomidate berhubungan dengan beberapa efek yang merugikan ketika digunakan untuk induksi
termasuk mual dan muntah, rasa sakit injeksi, gerakan myoclonik, dan cegukan. Etomidate
menyebabkan tingginya kejadian mual dan muntah (30% hingga 40%). Sebaliknya, dengan methohexital
dan thiopental kejadian mual dan muntah 10% hingga 20%, tapi pada beberapa penelitian tidak
ditemukan perbedaan. Yang lebih baru lagi, etomidate pada emulsi lipid berhubungan dengan kejadian
mual postoperatif yang sama dengan propofol. Penambahan fentanyl pada etomidate meingkatkan
kejadian mual dan muntah. Mual dan muntah adalah alasan yang paling umum yang mengganggu
anestesi dengan etomidate. Dengan demikan akan lebih baik menghindari etomidate pada pasien yang
mengalami mual dan muntah.
Superficial thrombophlebitis vena yang digunakan dapat terjadi 48 hingga 72 jam setelah injeksi
etomidate. Kejadian ini bisa setinggi 20% ketika hanya etomidate yang diberikan melalui jarum
intravenous kecil (ukuran 21). Injeksi intra-arterial etomidate tidak menyebabkan penyakit vascular atau
lokal. Rasa sakit injeksi, yang juga terjadi dengan propofol, dapat dihilangkan sepenuhnya dengan
menyuntikkan lidocaine segera sebelum penyuntikan etomidate; rendah saja, 20 hingga 40 mg sudah
cukup. Rasa sakit injeksi kemudian dikurangi dengan menggunakan vena besar. Cara yang kurang sukses
tapi efektif adalah premedikasi dengan benzodiazepine ditambah narkotik. Kejadian rasa sakit injeksi
bervariasi dari 0% hingga 50%. Formulasi lipid etomidate juga menurunkan kejadian rasa sakit injeksi,
thrombophlebitis, dan pelepasan histamine saat injeksi.
Terjadinya gerakan otot (myoclonus) dan cegukan juga bervariasi (0% hingga 70%), tapi
myoclonus berkurang dengan premedikasi dengan narkotik atau benzodiazepine. Teknik injeksi cepat
dan pelan juga telah digunakan untuk mengurangi myoclonus.
Etomidate meningkatkan blokade neuromuscular pemblok-pemblok neuromuscular nondepolar.
Fungsi hepatik tidak berubah dengan etomidate. Etomidate in vitro menginhibisi aminoleulinic acid
Page 47
synthetase, tapi ketika diberikan pada pasien dengan porphyria etomidate ini tidak menginduksi
serangan porphyria akut.
Pembawa etomidate, propylene glycol, juga terbukti memiliki beberapa efek negatif. Beberapa
laporan menunjukkan bahwa propylene glycol dapat menyebabkan hemolysis ringan. Disamping itu,
infusi panjang dosis tinggi terbukti menghasilkan toksisitas propylene glycol.
Penggunaan
Penggunaan etomidate lebih cocok pada pasien dengan penyakit cardiovascular, penyakit airway reaktif,
hipertensi intracranial, atau kombinasi disorder-disorder yang memerlukan sebuah agent induksi
dengan efek samping fisiologis yang bermanfaat. Kestabilan hemodinamik etomidate lebih unik diantara
agent-agent induksi beronset cepat lainnya.
Etomidate telah banyak digunakan pada pasien sakit. Pada banyak penelitian, etomidate telah
digunakan untuk induksi pada pasien dengan sistem cardiovascular berbahaya yang menjalani
pembedahan bypass arteri coronary atau pembedahan valve, pada pasien yang membutuhkan induksi
anastesi general untuk percutaneous transluminal coronary angioplasty, dan pada beberapa situasi
serupa lainnya. Pada pembedahan cardiovascular, terutama pembedahan untuk aortic aneurysms,
etomidate merupakan obat anestesi induksi yang sangat bagus. Ketika penggunaan etomidate
dikombinasikan dengan fentanyl, mentitrasikan etomidate hingga 0.6 mg/kg mempertahankan tekanan
darah dan heart rate pada rentang sempit; tekanan perfusi coronary tetap pada pasien ini dengan
kemungkinan penyakit arteri coronary ketika respon terhadap intubasi berkurang dan stress yang tidak
perlu pada aneurysm terhindari. Untuk prosedur cardiothoracic, terutama transplantasi cardiac dan
paru-paru, rapid-sequence induction dan kestabilan hemodinamik yang diperlukan membuat etomidate
menjadi obat pilihan untuk induksi. Untuk pasien dengan penyakit arteri coronary dan penyakit airway
reaktif yang terjadi bersamaan, dosis induksi etomidate tidak melepaskan histamine, dan dosis relatif
tinggi (0.6 mg/kg) dapat dititrasikan untuk menghasilkan tingkat anastesi yang dalam untuk intubasi
tanpa membahayakan hemodinamik dan tekanan perfusi coronary. Untuk cardioversi, onset cepat,
recovery cepat, dan maintenance tekanan darah pada pasien yang secara hemodinamik sangat lemah,
dikombinasikan dengan respirasi spontan, membuat etomidate menjadi pilihan yang bagus, meskipun
dalam sebuah kasus myoclonus terganggu dengan evaluasi electrocardiography. Meskipun bukti definitif
efek neuroprotektif etomidate pada manusia kurang, kombinasi data binatang dan beberapa laporan
Page 48
anecdotal penggunaan etomidate yang sukses untuk prosedur aneurysm sangat banyak membuat
etomidate menjadi pilihan tepat selama induksi neurosurgical. Disamping itu, karena kemampuannya
mengurangi peningkatan ICP, etomidate harus diberikan ketika maintenance tekanan perfusi coronary
atau cerebral. Pasien trauma dengan status volume yang meragukan dapat diberi induksi dengan
etomidate. Meskipun efek sympathomimetic tidak langsung yang muncul dengan induksi ketamine tidak
tampak, tidak terjadi depresi myocardial langsung dan tidak memunculkan keraguan pada diagnosis
delirium postoperatif. Ini sangat penting pada pasien yang traumanya disebabkan oleh penggunaan obat
atau alkohol (atau keduanya).
Selama infusi, status hemodinamik dipertahankan dengan baik dengan ventilasi spontan yang
cukup, thrombophlebitis cenderung jarang dengan teknik infusi. Bentuk etomidate terkonsentrasi untuk
infusi berkelanjutan di Eropa tidak tersedia di Amerika.
Sedasi jangka pendek dengan etomidate bermafaat pada pasien yang tidak stabil secara
hemodinamik, seperti mereka yang membutuhkan cardioversi, mereka dengan infarksi myocardial akut
atau angina tidak stabil yang membutuhkan sedasi untuk prosedur operasi kecil, atau mereka yang
membutuhkan intubasi di UGD atau ICU. Disamping itu, etomidate telah digunakan untuk menghasilkan
sedasi jangka pendek untuk penempatan blok retrobular dan untuk terapi elektrokonvulsi dimana
selama periode tersebut maintenance respiratori spontan dan recovery cepat menjadi fitur yang
penting. Ketika digunakan selama terapi elektrokonvulsiv, etomidate dapat menghasilkan seizure yang
lebih lama daripada dengan obat hypnotic lain.
Sedasi yang lama untuk pasien di ruang ICU, meskipun seringnya setelah pelepasan etomidate,
menjadi kontraindikasi karena inhibisi produksi corticosteroid dan mineralcorticoid dan peningkatan
morbiditas.
BEBERAPA AGONIST ADRENERGIC : DEXMEDETOMIDINE
Sejarah
Reseptor-reseptor adrenergic pertama kali diturunkan menjadi dan oleh Ahlquist berdasarkan
respon mereka terhadap beberapa amine. Agonist adrenergic menghasilkan sedasi, anxiolysism, dan
hypnosis, serta analgesia dan sympathotholysis. Ide pertama penggunaan beberapa agonis pada
Page 49
anestesi berasal dari observasi yang dilakukan pada pasien yang selama anastesi diberi terapi clonidine.
Ini kemudian segera diikuti dengan pengurangan MAC halothan oleh clonidine. Dexmedetomidine jauh
lebih agonis selektif dengan 1600 kali lebih selektif untuk reseptor daripada .
Dexmedetomidine telah lama digunakan untuk sedasi singkat.
Karakteristik Fiskokimia
Medetomidine merupakan agonist adrenergic yang sangat selektif. Dexmedetomidine adalah
stereoisomernya dan tersedia dalam formulasi parenteral. Strukturnya diilustrasikan pada gambar 10-
25.
Metabolisme Dan Farmakokinetik
Dexmedetomidine didistribusikan dengan cepat dan dimetabolismekan secara ekstensif pada liver dan
diekskresikan melalui urin dan feces. Dexmedetomidine mengalami konjugasi (41%), N-methylasi (21%),
atau hydroxylasi yang diikuti dengan konjugasi. Dexmedetomidine merupakan 94% ikatan protesin, dan
rasio konsentrasinya antara whole blood dan plasma adalah 0.66. Dexmedetomidine mempunyai efek
yang dalam pada parameter cardiovascular dan dengan demikian dapat merubah farmakokinetiknya.
Dengan dosis yang tinggi dapat menyebabkan vasokonstriksi tidak lazim yang bisa mengurangi volume
distribusi obat. Dengan demikian, pada dasarnya dexmedetomidine menghasilkan farmakokinetik linear.
Karena obat ini akan diberikan hanya dalam rentang terapeutik kecil 0.5 hingga 1.0 ng/mL, ada baiknya
kita membahas parameter dalam rentang dosis ini. Dalam rentang dosis ini, Dyck dkk menemukan
bahwa faramakokinetik dexmedetomidine pada sukarelawan lebih dapat dijelaskan dengan model tiga-
kompartemen (tabel 10-1). Parameter-parameter farmakokinetik ini tidak berubah dengan usia, berat
badan atau renal failure, tapi pembersihannya merupakan fungsi tinggi badan. Half-life eliminasi
dexmedetomidine 2 hingga 3 jam, dengan half-time sensitif konteks yang berkisar dari 4 menit setelah
infusi 10 menit hingga 250 menit setelah 8 jam infusi. Pasien postoperatif yang di sedasi dengan
dexmedetomidine menunjukkan farmakokinetik yang sangat sama dengan farmakokinetik yang muncul
pada sukarelawan.
Page 50
Farmakologi
Efek-Efek Pada Sistem Syaraf Pusat
Beberapa agonist menghasilkan efek sedatif-hypnotic dengan aksi pada reseptor-reseptor dalam
locus cerules dan menghasilkan efek analgesi dengan beraksi pada reseptor-reseptor didalam locus
cerules dan spinal cord. Observasi yang menarik adalah bahwa kualitas sedasi yang dihasilkan
dexmedetomidine berbeda dengan yang dihasilkan sedatif lain melalui sistem GABA. Beberapa agonis
beraksi melalui saluran yang menyebabkan tidur untuk menghasilkan efek sedasi mereka. Mereka
menurunkan aktivitas mengarahkan locus ceruleus ke ventrolateral preoptic necleus. Aksi ini
meningkatkan GABAergic dan pelepasan galanin dalam tubermammillary nucleus dan mengakibatkan
menurunnya pelepasan histamine dalam arah cortical dan sucortical. Beberapa agonist menginhibisi
konduktansi ion melalui channel kalsium tipe-A atau tipe-L dan untuk mempermudah konduktansi
melalui channel potassium voltage-gated calcium-activated. Beberapa agonist bermanfaat dimana
efek-efek mereka mudah di reversible oleh antagonist adrenergic (misalnya atipamezole). Seperti
reseptor-reseptor adrenergic lain, beberapa agonist juga menghasilkan toleransi setelah pemberian
yang lama. Akan tetapi karena dexmedetomidine hanya digunakan untuk sedasi jangka pendek,
toleransi, ketergantungan, atau penambahan tidak menjadi masalah. Sebaliknya, dexmedetomidine
telah digunakan untuk rapid opioid detoxification, pembersihan cocaine, dan benzodiazepine yang
diinduksi latrogenic dan toleransi opioid setelah sedasi yang lama. Pada binatang, dexmedetomidine,
tidak seperti opioid, tidak menyebabkan hyperaglesia atau allodynia setelah pembersihannya. Tikus-
tikus yang tolerir terhadap morphine juga menunjukkan penurunan efektifitas efek hypnotic dan
analgesic dexmedetomidine. Setelah toleransi terhadap opioid meningkat, recovery efek hypnotic
dexmedetomidine lebih cepat daripada recovery efektifitas analgesiknya. Data-data ini cenderung
mengindikasikan toleransi menyilang terhadap reseptor-reseptor.
Pada model binatang yang reperfusi dan cerebral ischemianya tidak sempurna,
dexmedetomidine mengurangi cerebral necrosis dan meningkatkan outcome neurologic. Pada model
focal ischemia pada kelinci, dexmedetomidine yang diberikan dengan dosis yang mengurangi 50% MAC
halothane menyebabkan lebih sedikit kerusakan cortical neuronal daripada ketika halothane saja yang
diberikan dengan konsentrasi MAC yang sama-sama efektif. Efek-efek pemberian tunggal
dexmedetomidine pada ICP dan CBF baru sedikit yang diketahui. Pada pasien setelah pembedahan
pitultary, konsentrasi target 600 ng/mL dexmedetomidine tidak meningkatkan tekanan CSF lumbar.
Page 51
Pada anjing yang diberi obat anestesi volatile dan dexmedetomidine, CBF meurun dan konsumsi oksigen
tetap. Kecepatan CBF, setelah diukur dengan transcranial Doppler, menurun dengan meningkatkan
konsentrasi dexmedetomidine bersamaan dengan menurunkan tekanan arterial rata-rata dan
meningkatkan karbondioksida arterial. Pada sukarelawan, dexmedetomidine konsentrasi rendah (402
hingga 530 pg/mL) dan konsentrasi tinggi (524 hingga 732 pg/mL) menurunkan 30% CBF keseluruhan.
Penurunan ini terjadi selama sekurang-kurangnya 30 menit setelah infusi dihentikan. Pada model tikus
yang mengalami seizure, dexmedetomidine menunjukkan aksi prokonvulsan yang signifikan yang sesuai
dengan temuan sebelumnya bahwa inhibisi transmisi noradrenergic central memicu munculnya seizure.
Akan tetapi, belum ada laporan terjadinya seizure pada manusia. Dexmedetomidine juga dapat
menurunkan kekakuan otot setelah pemberian opioid dosis tinggi. Pada sukarelawan dalam kondisi
istirahat, dexmedetomidine meningkatkan pertumbuhan sekresi hormon tergantung dosis yang
digunakan, tapi tidak pada hormon pituitary. Dexmedetomidine dosis tertentu menghilangkan memori.
Dengan konsentrasi yang digunakan untuk sedasi klinis (0.7 ng/mL), pasien masih bisa mengingat kartu
bergambar. Peningkatan konsentrasi 2 ng/mL dexmedetomidine menghilangkan kemampuan mengingat
dan mengenali kartu bergambar.
Efek-Efek Pada Sistem Respiratori
Pada sukarelawan, dexmedetomidine dengan konsentrasi yang menghasilkan sedasi signifikan
mengurangi minute ventilation tapi mempertahankan penurunan respon ventilatory terhadap
peningkatan CO2. perubahan pada ventilasi sangat sama dengan perubahan yang teramati selama tidur
alami. Ebert dkk menginfusi 15 ng/mL pada sukarelawan yang bernafas secara spontan dan
menunjukkan tidak ada perubahan pada oksigenasi atau pH arterial. Dengan konsentrasi paling tinggi,
PaCO2 meningkat 20%. Kecepatan respiratori meningkat dengan meningkatkan konsentrasi dari 14
hingga 25 breath/menit. Ketika dexmedetomidine dan propofol dititrasi hingga titik akhir sedatif yang
sama (indeks BIS 85) tidak merubah kecepatan respiratory. Dosis 1 hingga 2 g/kg dexmedetomidine
menginduksi peningkatan ringan pada PaCO2 (45 mm Hg) dan perubahan ke arah kanan dan penurunan
kurva respon karbondioksida. Perubahan respirasi yang paling menonjol adah penurunan volume tidal
dengan sedikit perubahan pada frekuensi respiratori. Ketika dikombinasikan dengan alfentanil,
dexmedetomidine meningkatkan analgesia tanpa menyebabkan penurunan respiratori lagi.
Page 52
Efek-Efek Pada Sistem Cardiovascular
Efek-efek utama agonist pada sistem cardiovascular adalah menurunnya heart rate, menurunnya
resistan vascular sistemik, dan penurunan tidak langsung kontraktilitas myocardial, output cardiac, dan
tekanan darah sistemik. Dengan mengembangkan agonist yang sangat selektif, diharapkan beberapa
efek cardiovascular yang merugikan dapat berkurang dan sifat-sifat hypnotic-analgesik yang diinginkan
dapat dimaksimalkan. Efek-efek hemodinamik bolus dexmedetomidine pada manusia menunjukkan
respon biphasic. Injeksi intravenous akut 2 g/kg meningkatkan tekanan darah (22%) dan menurunkan
heart rate (27%) dari keadaan awal yang terjadi 5 menit setelah injeksi. Peningkatan awal pada tekanan
darah ini bisa disebabkan efek dexmedetomidine pada beberapa reseptor periperal. Heart rate
kembali ke keadaan semula dalam 15 menit, dan tekanan darah terus menurun hingga sekitar 15%
dibawah keadaan semula dalam 1 jam. Setelah injeksi intramuscular dosis yang sama, peningkatan awal
pada tekanan darah tidak terlihat, dan heart rate dan tekanan darah tetap dengan 10% dari nilai
keadaan semula. Ebert dkk melakukan penelitian yang sangat bagus pada sukarelawan dimana target-
controlled infusion system digunakan untuk meningkatkan konsentrasi (0.7 hingga 15 ng/mL)
dexmedetomidine (gambar 10-26). Dua konsentrasi terendah menurunkan tekanan arterial rata-rata
(13%) yang terus diikuti dengan peningkatan (12%). Konsentrasi dexmedetomidine yang meningkat juga
menghasilkan penurunan terus menerus pada heart rate (maksimum 29%) dan output cardiac (35%).
Infusi dexmedetomidine pada sukarelawan juga terbukti menghasilkan pengurangan pada tone
sympathetic sistemik tanpa perubahan pada sensitifitas barorefleks. Dexmedetomidine juga mengurangi
heart rate dan respon sympatgetic sistemik terhadap berkeringat tapi kurang efektif dalam mengurangi
respon sympathetic cardiac terhadap menggigil. Pada beberapa penelitian dengan pemberian secara
intravenous dan intramuscular, dexmedetomidine menyebabkan bradicardia dalam (<40 beat/menit)
dan kadang-kadang sinus arrest/pause pada prosentase pasien yang kecil. Periode-periode ini biasanya
kembali normal secara spontan atau dengan mudah ditangani dengan anticholinergic tanpa outcome
yang jelek. Dari sifat ini dexmedetomidine dapat menunjukkan beberapa efek yang bermanfaat pada
jantung ischemic melalui penurunan konsumsi oksigen dan redistribusi aliran koroner dari zona-zona
nonischemic ke zona-zona ischemic setelah oklusi singkat yang akut. Dexmedetomidine juga
menurunkan tingkat lactate serum pada model anjing ischemia koroner dengan penurunan heart rate
dan catecholamine. Disamping itu, dexmedetomidine menghasilkan 35% peningkatan rasio aliran darah
endocardial-epicardial.
Page 53
Efek-efek lain
Efek samping dexmedetomidine yang sering terjadi adalah mulut kering, yang disebabkan penurunan
produksi saliva.
Penggunaan
Tidak seperti obat-obat lain yang telah dijelaskan di bab ini, dexmedetomidine tidak digunakan untuk
induksi atau maintenance anastesi. Kerjanya sekarang ini adalah sebagai sedasi postoperatif yang sangat
terbatas hingga singkat (<24 jam). Tapi, ada adjuvant selama anestesi untuk mengurangi kebutuhan
hypnotic dan opioid untuk sedasi sadar dan dapat digunakan selama periode perioperatif pada pasien
beresiko tinggi myocardial ischemia.
Sedasi
Sebagai obat premedikasi dengan dosis intravenous 0.33 hingga 0.67 g/kg yang diberikan 15 menit
sebelum pembedahan, dexmedetomidine efektif ketika meminimalkan efek samping cardiovascular
hipotensi dan bradicardia. Dalam rentang dosis ini, dexmedetomidine mengurangi kebutuhan thiopental
( ) untuk prosedur pendek, mengurangi kebutuhan obat anestesi volatile ( 25%), dan ketika
dibandingkan dengan 2 g/kg fentanyl lebih efektif mengurangi respon hemodinamik terhadap intubasi
endotracheal. Dexmedetomidine juga telah dievaluasi sebagai injeksi intramuscular (2.5 g/kg ) dengan
atau tanpa fentanyl yang diberikan 45 hingga 90 menit sebelum pembedahan. Penanganan medis ini
dibandingkan dengan midazolam plus fentanyl intramuscular dan ditemukan menghasilkan anxolysis,
pengurangan respon terhadap intubasi, mengurangi kebutuhan obat anestesi volatile, dan mengurangi
terjadinya menggigil postoperatif yang sama, tapi dengan kejadian bradycardia yang lebih tinggi.
Atipamezole, sebuah antagonist selektif, efektif dengan dosis 50 /kg dalam menormalkan kembali
sedasi dexmedetomidine dan 2 /kg secara intramuscular ketika digunakan untuk menghasilkan sedasi
Page 54
untuk prosedur operasi pendek. Kembalinya efek-efek ke keadaan normal menyebabkan recovery yang
lebih cepat daripada yang terjadi setelah dosis midazolam yang sama-sama sedatif.
Pada beberapa penelitian, dexmedetomidine lebih bermanfaat dari propofol untuk sedasi pada
pasien yang diventilasi secara mekanikal pada periode postoperatif. Ketika kedua obat ini dititrasi hingga
tingkat sedasi yang sama sebagaimana diukur dengan indeks BIS (sekitar 50) dan skor sedasi Ramsay (5),
dexmedetomidine yang dibutuhkan lebih sedikit dari alfentanil (2.5 dibanding 0.8 mg/jam). Heart rate
lebih pelan dengan kelompok dexmedetomidine, sedangkan tekanan arterial rata-rata sama. Yang
menarik, rasio PaO2/FIO2 lebih tinggi secara signifikan dengan kelompok dexmedetomidine. Waktu
menuju ekstubasi setelah pengehentian infusi sama: 28 menit. Pasien yang diberi dexmedetomidine
perlu lebih lama di ICU. Beberapa penelitian lain menunjukkan penurunan kebutuhan opioid (lebih dari
50%) ketika dexmedetomidine digunakan untuk sedasi daripada propofol atau beberapa
benzodiazepine. Sebagian besar penelitian juga menunjukkan hemodinamik yang lebih stabil pada
pasien beresiko tinggi myocardial ischemia. Untuk sedasi di ICU, digunakan dosis 2.5 hingga 6.0
/kg/jam yang diberikan selama periode 10 menit. Kecepatan infusi yang lebih pelan berhubungan
dengan bradycardia parah dan gangguan hemodinamik lain. Dosis ini diikuti dengan kecepatan infusi 0.1
hingga 1 /kg/jam yang bisanya dibutuhkan untuk mempertahankan cukupnya sedasi.
Ketika digunakan untuk sedasi intraoperatif, dexmedetomidine (1 /kg selama periode 10
menit) menghasilkan onset yang lebih lambat daripada propofol (75 /kg/menit selama periode 10
menit) tapi sama efek cardiorespiratori nya ketika dititrasi sampai tingkat sedasi yang sama. Kecepatan
infusi rata-rata dexmedetomidine periode intraoperatif untuk mempertahankan nilai indeks BIS 70
hingga 80 adalah 0.7 /kg/jam. Sedasi menjadi lebih lama setelah penghentian infusi seperti juga
recovery tekanan darahnya. Tapi, dosis yang lebih rendah opioid dibutuhkan dalam jam-jam pertama.
Clonidine dengan dosis 3 hingga 5 /kg secara oral yang biasanya diberikan 30 hingga 90 menit
sebelum pembedahan juga mengurangi MAC obat anestesi volatile poten (30% hingga 50%),
mengurangi kebutuhan opioid, mengurangi respon hemodinamik terhadap intubasi, dan biasanya
menghasilkan hemodinamik yang lebih stabil pada periode intraoperatif, meski muncul bradycardia dan
hypotensi signifikan selama dan segera setelah induksi. Pengurangan pada kebutuhan obat anestesi ini
juga menyebabkan awakening yang lebih cepat setelah pembedahan. Clodnidine juga mengurangi
tekanan intraocular, caecholamine perioperatif, dan kebutuhan analgesik postoperatif dan mencegah
memburuknya fungsi ginjal setelah bypass aortocoronary. Sama dengan clonidine, tekanan intraocular
Page 55
menurun (33%), sekresi catecholamine menurun, kebutuhan analgesic perioperatif juga berkurang, dan
recovery lebih cepat setelah pemberian dexmedetomidine.
Maintenance Anastesi
Dexmedetomidine juga telah digunakan sebagai infusi maintenance yang dimulai dengan dosis 170
ng/kg/menit selama 10 menit dan kemudian diikuti dengan infusi 10 ng/kg/menit. Tindakan medis ini
sedikit menurunkan konsentrasi plasma kurang dari 1 ng/mL. Setelah induksi dengan thiopental dan
70% nitrous oxide, dexmedetomidine mengurangi kebutuhan isoflurane 90% ketika dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Interaksi dexmedetomidine, fentanyl, dan enflurane pada pengurangan MAC
dan hemodinamik telah dievaluasi pada anjing. Tiga kombinasi ini kompleks, tapi dexmedetomidine
kemudian meningkatkan penurunan MAC enflurane dengan fentanyl. Akan tetapi, tiga interaksi ini tidak
mengurangi kemungkinan hipotensi atau bradycardia ketika menghasilkan anastesi yang cukup. Pada
pasien yang menjalani pembedahan vascular, tiga kecepatan infusi dexmedetomidine dibandingkan
dengan infusi placebo yang dimulai 1 jam sebelum pembedahan dan diberikan sampai 48 jam setelah
pembedahan. Pada kelompok pasien yang diberi dexmedetomidine, lebih banyak agent vasoactive yang
dibutuhkan untuk mempertahankan hemodinamik pada periode intraoperatif, tapi lebih sedikit
tachycardia postoperatif yang terjadi. Tidak ada perbedaan signifikan yang muncul antara kelompok-
kelompok pasien ini.
Agonist adrenergic mempunyai banyak karakteristik penting yang berguna untuk anastesi.
Akan tetapi, didalam konsentrasi anastetik pada manusia, efek-efek cardiovascular (hipotensi,
bradycardia) obat-obat ini bisa menjadi masalah yang mencegah mereka digunakan sebagai obat
anestesi utama sehingga peran mereka hanya terbatas untuk digunakan sebagai adjuvant untuk obat-
obat anastesi. Peran utama dexmedetomidine baik sebagai premedicant atau sebagai adjuvant obat
anastetik intravenous masih harus ditentukan. Akan tetapi, dexmedetomidine menjadi sedatif yang
sangat efektif untuk pasien di ruang ICU dimana obat ini lebih memberikan manfaat daripada sedatif-
sedatif lain yang ada karena minimalnya efek pada respirasi, efektifitas analgesiknya, dan
hemodnamiknya. Penggunaan dexmedetomidine untuk sedasi jangka panjang perlu penelitian lanjutan.
DROPERIDOL
Page 56
Sejarah
Anastesi general dengan obat anastesi inhalasi dan barbiturate menurunkan keseluruhan CNS dengan
cara yang belum diketahui. Laborit dan Huguenard pada tahun 1950an mengemukakan bahwa teknik
anastesi yang dapat menghasilkan “hibernasi artificial” tanpa depresi respiratori dan sirkulatori. Konsep
mereka adalah menggunakan obat yang dapat menghasilkan blokade neuro-vegetatif (inhibisi
multifocal) mekanisme cellular, autonomic, dan endocrine yang biasanya aktif ketika merspon stress.
Percobaan pertama pengembangan konsep ini adalah lytic cocktail yang mengandung analgesic
(meperidine), dua tranquilizer (chlorpromazine dan promethazine), dan atropine. Meskipun kombinasi
obat-obat ini banyak digunakan untuk sedasi sadar, kombinasi ini menghasikan depresi respiratori dan
tidak digunakan untuk anastesi general. Janssen mensintesiskan haloperidol (kelompok butyrophenone)
dan menjadi komponen neuroleptic utama dalam neuroleptanestesi (NLAN). DeCastro dan Mundeeer
pada 1959 mengkombinasikan haloperidol dengan phenoperidine (turunan meperidine juga
disintesiskan oleh Janssen) dalam praktek pertama NLAN. Droperidol, sebuah turunan haloperidol, dan
fentanyl, sejenis phenoperidine, yang disintesiskan oleh Janssen, digunakan oleh DeCastro dan
Mundeleer dengan cara dikombinasikan dan menunjukkan bahwa mereka lebih bagus daripada
haloperidol dan phenoperidine. Kombinasi NLAN menghasilkan onset analgesia lebih cepat, depresi
respiratori lebih sedikit, dan lebih sedikit efek samping extrapyramidal. Kombinasi yang pas droperidol
dan fentanyl, yang dipasarkan dengan nama Innovar di Amerika Serikat, merupakan obat yang paling
banyak digunakan untuk NLAN. Penggunaan NLAN telah banyak dihilangkan dalam praktek anastesi.
Penggunaan utama droperidol dalam anastesi adalah sebagai antiemetic dan yang lebih jarang lagi,
sebagai sedatif dan antipruritic. Droperidol sekarang dilarang masuk ke Amerika Serikat karena
berpotensi menimbulkan arrhytmia fatal dan disarankan supaya obat ini diberikan hanya dengan
monitoring electrocardiography. Akan tetapi, dengan penarikan droperidol dari beberapa negara
tertentu dan lebih banyak larangan karena potensi arrhythmia, penggunaan droperidol menjadi
menurun tajam. Validitas resiko droperidol dosis rendah yang menyebabkan pemanjangan QT,
dysrhytmia, dan kematian telah ditentang oleh banyaknya tanggapan yang muncul pada editorial,
artikel, dan surat.
Droperidol adalah butyrophenone, turunan flurinasi phenothiazine (gambar 10-27).
Butyrophenon menghasilkan depresi CNS yang ditandai dengan tranquilitas dan immobilitas cataleptic.
Butyrophenon merupakan antiemitic poten. Droperidol adalah butyrophenon poten, dan seperti yang
lainnya, menghasilkan aksinya secara sentral di tempat dimana dopamine, norepinephrine, dan
Page 57
serotonin beraksi. Dikemukakan bahwa butyrophenon dapat menempati reseptor GABA pada membran
postsynaptic yang dengan demikian mengurangi transmisi synaptic dan menghasilkan akumulasi
dopamine di intersynaptic cleft. Secara khusus, droperidol, menghasilkan inhibisi subunit GABAA , ,
dan yang kurang maksimal, dan menghasilkan inhibisi maksimal reseptor acetylcholine . Kurang
maksimalnya inhibisi reseptor-reseptor GABA ini oleh droperidol dapat menyebabkan kecemasan,
dysphoria, dan tidak bisa istirahat. Ketidakseimbangan dopamine dan acetlcholine terjadi dan
mengakibatkan perubahan pada transmisi normal signal-signal dalam CNS. Zona sensitif cemoreseptor
adalah emetic center, dan pentransportasian astrocyte “merah” molekul-molekul neurolept dari kapiler
ke dopaminergic synapses dalam zona sensitif chemoreceptor, dimana mereka menempati reseptor-
reseptor GABA (gambar 10-28). Ini diyakini sebagai mekanisme dimana droperidol menghasilkan efek
antiemitiknya.
Metabolisme Dan Farmakokinetik
Droperidol di biotransformasikan dalam liver menjadi dua metabolit utama, dan penguraian plasmanya
dapat dijelaskan dengan dua model-kompartemen. Farmakokinetiknya ditunjukan di tabel 10-1.
pembersihan droperidol relatif besar (14 mL/kg/menit), dan half-life eliminasi relatif pendek (103 hingga
134 menit). Waktu penghilangan dari plasma sama dengan fentanyl, tapi penurunan durasi efek
keduanya banyak ditentang karena keduanya diformulasikan bersama dalam Innovar. Aksi CNS yang
lebih lama droperidol telah diteliti untuk membuktikan bahwa droperidol mempunyai kecenderungan
menduduki reseptor-reseptor CNS dan bahwa droperidol lebih mengikat reseptor daripada fentanyl.
Farmakologi
Efek-Efek Pada Sistem Syaraf Pusat
Efek-efek neuroleptanestetik pada CBF dan CMRO2 manusia belum diteliti. Pada anjing, droperidol
menyebabkan vasokonstriksi cerebral poten yang mengakibatkan 40% penurunan CBF. Tidak terjadi
perubahan signifikan pada CMRO2 selama pemberian droperidol. EEG pada pasien sadar menunjukkan
beberapa penurunan frekuensi yang kadang-kadang melambat. Droperidol dosis rendah juga terbukti
menyebabkan gangguan ketidakseimbangan pada saat pulang dari rumah sakit ketika diberikan dengan
Page 58
dosis yang digunakan untuk antiemitic prophylaxis. Droperidol dapat menghasilkan tanda-tanda
extrapyramidal dan memperparah gejala-gejala penyakit Parkinson. Droperidol bisa juga menyebabkan
sindrom malignant neuroleptic tiba-tiba meski ini jarang terjadi.
Efek-Efek Pada Sistem Respiratori
Ketika digunakan sebagai obat tunggal, droperidol menghasilkan sedikit efek pada sistem respiratori.
Droperidol (0.044 mg/kg) yang diberikan pada pasien bedah menghasilkan sedikit pengurangan pada
kecepatan respiratori, dan pemberian 3 mg secara intravenous tidak menghasilkan efek signifikan pada
volume tidal sukarelawan. Penelitian respiratori yang lebih detail belum ada.
Efek-efek pada sistem cardiovascular
Seperti kebanyakan antipsychotic, droperidol dapat memperpanjang interval QT dengan menunda
repolarisasi myocardial dan menyebabkan torsades de pointes. Efek ini tergantung pada dosis dan dapat
bisa bertambah buruk ketika penyebab pemanjangan QT lain juga ada. Droperidol dapat juga
menyebabkan efek-efek antiarrhytmic yang sangat mirip dengan yang dihasilkan quinidine. Droperidol
menghasilkan vasodilatasi dengan penurunan tekanan darah (lihat tabel 10-2). Efek ini dianggap sebagai
akibat blokade adrenergic . Peningkatan aliran darah renal yang diinduksi dopamine (metodologi
meter aliran arteri renal) tidak secara signifikan tidak tergganggu oleh pemberian droperidol. Droperidol
mempunyai efek kecil pada kontraktilitas myocardial.
Penggunaan
Penggunaan droperidol pada periode perioperatif sekarang ini sangat terbatas pada efek-efek sedatif
dan antiemetic. Droperidol adalah antiemetic yang efektif, dosis untuk antiemetic bervariasi antara 10
dan 20 g/kg (0.6 dan 1.25 mg untuk orang dengan berat badan 70 kg). Dosis-dosis droperidol ini untuk
anestesi berbagai operasi yang berakhir 1 jam, mengurangi terjadinya mual dan muntah sekitar 60%.
Page 59
Ketika diberikan untuk induksi, dosis-dosis ini menghasilkan efek yang kecil pada waktu sadar, tapi jika
mereka digunakan di akhir operasi akan menghasilkan beberapa efek hypnotic residual. Droperidol juga
efektif pada pasien anak-anak ketika obat ini diberikan dengan dikombinasikan dengan metoclopramide
oral (0.15 mg/kg). Keseluruhan efektifitas antiemetic droperidol tunggal sama dengan ondansetron;
droperidol menghasilkan jumlah efek samping yang sama tapi lebih murah. Efektifitas droperidol
sebagai antiemtic meningkat ketika digunakan dengan kombinasi beberapa antagonist serotin atau
dexamethasone, atau dengan keduanya.
Penggunaan yang lebih baru droperidol adalah sebagai antiemetic yang kadang-kadang
diberikan sebagai obat adjunctive atau sebagai infusi berkelanjutan untuk pereda rasa sakit postoperatif
sebagai bagian dari tindakan medis pasien terkontrol. Droperidol juga terbukti efektif dalam
penanganan dan pencegahan pruritus setelah pemberian opioid. Droperidol telah diberikan secara
intravenous dan kedalam ruang epidural untuk tujuan ini. Ketika digunakan dengan cara ini, droperidol
juga efektif mengurangi mual, tapi meningkatkan sedasi. Tapi, keamanan pemberian droperidol epidural
belum sepenuhnya dievaluasi sehingga belum banyak yang mendukung pemberian dengan cara ini.
RINGKASAN
Tersedia berbagai macam obat intravenous untuk digunakan pada perawatan pasien yang
membutuhkan anastesi general. Pemilihan obat tertentu harus berdasarkan pada kebutuhan hypnosis,
amnesia, dan analgesia masing-masing pasien. Pemilihan obat harus menyesuaikan fisiologi atau
patofisiologi (atau keduanya) masing-masing pasien dengan farmakologi obat tertentu. Dengan
demikian, untuk pemeriksaan pasien shock yang membutuhkan induksi anastesi harus diberi obat yang
akan menghasilkan onset efek yang cepat tanpa menyebabkan bahaya hemodinamik. Pengetahuan
tentang farmakologi klinis setiap obat anastesi intravenous memungkinkan dokter menginduksi dan
mempertahankan sedasi atau anastesi general secara aman dan efektif. Karena tidak ada obat yang
sempurna untuk pasien tertentu, para praktisi harus menggunakan obat atau obat-obat yang cocok
sebaik mungkin dalam praktek penanganan anastesi yang bagus.
POIN-PON PENTING
Page 60
1. pengenalan thiopental dalam praktek klinis pada tahun 1934 menandai dimulainya anastesia
modern. Saat ini, obat-obat anastesi intravenous digunakan untuk induksi anestesi,
maintenance anestesi, dan untuk sedasi sadar.
2. obat anestesi intravenous yang biasa digunakan adalah propofol, sebuah alkylphenol yang
diformulasikan dalam emulsi lipid. Propofol menghasilkan onset dan offset cepat dengan
peningkatan waktu context-sensitif sekitar 10 menit ketika diinfusikan kurang dari 3 jam dan
dalam 40 menit ketika diinfusikan hingga 8 jam. Mekanisme kerja propofol diyakini
mempotensiasi aliran chloride yang diinduksi GABA. Dengan dosis terapeutik, propofol
menghasilkan efek depresan pada ventilasi. Ini menyebabkan penurunan tekanan darah yang
tergantung pada dosis terutama dengan menurunnya output cardiac dan resistan vascular
sistemik. Aksi unik propofol adalah efek antiemetic yang tetap ada pada konsentrasi dibawah
konsentrasi yang menghasilkan sedasi. Dosis induksi 1 hingga 2 mg/kg untuk hilangnya
kesadaran dengan infusi maintenance adalah 100 hingga 200 g/kg/menit. Untuk sedasi sadar,
kecepatan 25 hingga 75 g/kg/menit biasanya cukup.
3. hingga sekarang, agent-agent induksi intravenous yang biasa digunakan adalah barbiturate.
Thiopental menghasilkan onset dan offset cepat ketika digunakan dengan dosis tunggal, tapi
thiopental berakumulasi dengan cepat dengan pemberian yang lama dan menyebabkan
recovery yang lambat. Methohexital mempunyai onset dan offset cepat yang sama dengan
propofol untuk prosedur yang berakhir dalam 2 jam. Barbiturate diberikan sebagai sodium salt
yang diencerkan dalam basa air dengan pH alkaline. Seperti halnya propofol, barbiturate diyakini
menghasilkan efek-efek hypnotic dengan beraksi pada reseptor GABAA. Barbiturate
menghasilkan proteksi cerebral dan pada umumnya digunakan untuk tujuan ini. Barbiturate
menyebabkan sedangnya penurunan yang tergantung pada dosis (terutama disebabkan
vasodilasi peripheral) dan arah respiratory. Barbiturate menjadi kontraindikasi pada pasien
dengan porphyria. Dosis induksi thiopental adalah 4 mg/kg, dan dosis induksi methohexital
adalah 2 mg/kg. Methohexital dapat digunakan untuk maintenance anestesi dengan 200
g/kg/menit atau untuk sedasi sadar 25 hingga 75 g/kg/menit.
4. beberapa benzodiazepine banyak digunakan terutama sebagai premedicant untuk anxiolysis dan
amnesia atau untuk sedasi sadar. Benzodiazepine midazolam yang larut dalam air paling banyak
digunakan secara intravenous karena onset dan offsetnya yang relatif cepat dan tidak adanya
metabolit-metabolit aktif jika dibandingkan dengan benzodiazepine lain (misalnya diazepam).
Onset midazolam lebih lambat dari onset propofol dan barbiturate, dan offsetnya, terutama
Page 61
ketika digunakan dengan dosis yang lebih tinggi atau dengan infusi panjang, lebih lama daripada
propofol atau methohexital. Benzodiazepine beraksi melalui reseptor GABA. Flumazenil
merupakan antagonist benzodizepine tertentu. Flumazenil dapat digunakan untuk menormalkan
efek-efek benzodiazepine. Pada umumnya, benzodiazepine hanya menghasilkan penurunan
ringan tekanan darah dan depresi respiratori ringan hingga sedang. Dosis midazolam untuk
anxiolysis dan sedasi ringan adalah 0.015 hingga 0.03 mg/kg secara intravenous dan biasanya
diulangi dalam 30 hingga 60 menit jika perlu.
5. ketamine adalah turunan phencyclidine yang telah digunakan untuk induksi dan maintenance
anestesi. Ketamine beraksi tapi tidak seluruhnya melalui reseptor NMDA. Ketamine
menghasilkan keadaan dissosiatif hypnosis dan analgesia. Ketamine berhubungan dengan efek-
efek psikologis yang signifikan dengan dosis yang lebih tinggi dan beberapa efek samping
lainnya. Oleh karena itu, saat ini ketamine banyak digunakan karena kandungan analgesiknya.
Ketamine memiliki onset cepat dan offset relatif cepat, bahkan setelah infusi beberapa jam.
Ketamine mempunyai aksi sympathomimetic yang mempertahankan fungsi cardiac. Ketamine
memiliki efek minimal pada respirasi dan cenderung mempertahankan refleks-refleks otonom.
Dosis induksi ketamine 2 hingga 4 mg secara intravenous. Infusi ketamine akan menghasilkan
analgesia dan dapat diberikan dengan propofol dengan teknik anestesi intravenous total. Dosis
10 hingga 20 mg pada periode preoperatif terbukti menghasilkan analgesia preemptive.
6. etomidate merupakan turunan imidazole yang banyak digunakan untuk induksi anestesi,
terutama pada pasien tua yang mempunyai bahaya cardiovascular. Etomidate mempunyai onset
efek cepat dan offset cepat bahkan setelah infusi berkelanjutan. Akan tetapi, infusi panjang
mengakibatkan inhibisi adrenocortical synthesis dan potensi mortalitas pada pasien ICU.
Manfaat utama etomidate adalah efek minimalnya pada sistem cardiovascular dan sistem
respiratori. Etomidate berhubungan dengan tingginya tingkat kejadian terbakar ketika injeksi,
thrombophlebitis, dan mual dan muntah postoperatif sehingga mengurangi kepopuleran
penggunaan etomidate. Dosis induksi etomidate adalah 0.2 hingga 0.3 mg/kg.
7. dexmedetomidine merupakan obat anastesi intravenous yang paling baru. Obat ini merupakan
agonist adrenergic selektif yang menghasilkan sedasi, hypnosis, dan analgesia.
Dexmedetomidine saat ini hanya bisa digunakan untuk sedasi postoperatif singkat (< 24 jam).
Aksi utamanya pada reseptor-reseptor dalam locus ceruleus. Dexmedetomidine
menghasilkan efek yang kecil pada respiratori. Dexmedetomidine menghasilkan efek biphasic
pada tekanan darah: dengan konsentrasi rendah tekanan darah rata-rata menurun, dan dengan
Page 62
konsentrasi yang lebih tinggi tekanan darah meningkat. Heart rate dan output cardiac
menunjukkan penurunan yang tergantung pada konsentrasi. Pendosisan untuk sedasi adalah 2.5
hingga 6.0 g/kg selama periode 10 menit, yang diikuti dengan infusi 0.1 g/kg/jam.
8. droperidol (sebuah butyrophenone dan tranquilizer utama) pertama kali digunakan untuk
menghasilkan keadaan neuroleptanestesi. Masalah yang muncul akhir-akhir ini yang berkaitan
dengan efek droperidol pada memanjangnya interval QT telah menyebabkan ditariknya obat
peredaran ini dari beberapa beberapa negara dan penggunaannya dibatasi pada penanganan
mual dan muntah postoperatif di Amerika Serikat. Pemanjangan interval QT dengan dosis yang
digunakan untuk mual dan muntah postoperatif (0.625 hingga 1.25 mg) ditentang oleh beberapa
editorial, dan efek ini tidak terbukti dengan penelitian laporan beberapa kasus atau penelitian
literatur. Droperidol dengan dosis rendah tetap tersedia sebagai salah satu terapi antiemetic
yang paling efektif.