1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dari dulu sampai sekarang, rumah sakit selain sebagai tempat berobat untuk peyakit yang diklasifikasikan berat, rumah sakit juga menjadi tempat bersarangnya bibit penyakit, bibit penyakit di rumah sakit bukan jenis bibit penyakit biasa, melainkan bibit penyakit yang sudah resisten terhadap antibiotika, jenis kuman resisten seperti ini yang bercokol di pelosok ruangan rumah sakit, bisa saja melekat di alat-alat pemeriksaan medis, alat-alat bantu medis, alat-alat bedah, serta perlengkapan rumah sakit lainnya yang mungkin lolos dari prosedur sanitasi dan sterilisasi (Anis, 2006) Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok yang berisiko mendapat infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien (Alan, 2013). Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat penderita ketika penderita tersebut dirawat di rumah sakit, atau pernah dirawat di rumah sakit. Nosokomial berasal dari kata Yunani nosocomium yang berarti rumah sakit. Jadi kata nosokomial artinya "yang berasal dari rumah sakit”, sementara kata infeksi artinya terkena hama penyakit (Anies, 2006). Infeksi ini baru timbul sekurang-kurangnya dalam waktu 3 x 24 jam sejak mulai dirawat, dan bukan infeksi kelanjutan perawatan sebelumnya. Rumah sakit merupakan tempat yang memudahkan penularan berbagai penyakit infeksi (Kasuarina, 2006). Pengetahuan tentang pencegahan infeksi sangat penting untuk mahasiswa kesehatan yang nantinya akan menjadi petugas di Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya merupakan sarana umum yang rawan untuk terjadi infeksi (Alan,2013). Cara penanggulangan dalam penularan infeksi di Rumah Sakit, dan upaya pencegahan infeksi adalah hal yang harus diperhatikan dalam mengatasi infeksi nosokomial. Namun selain itu, alat medis yang menjadi salah satu faktor penting yang sangat berpengaruh dalam penularan infeksi tersebut. Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh. Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto infection, sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya. Jika infeksi disebabkan oleh mikroorganisme, maka perlu dilakukan pengujian mengenai bakteri tersebut. Umumnya kuman penyebab infeksi nosokomial adalah kuman yang sudah resisten terhadap banyak antibiotik. Golongan Beta lactam antara lain cefalosporin, cefoperazone baik digunakan meskipun ada gangguan ginjal dan neutropenia (Guris,2010).
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dari dulu sampai sekarang, rumah sakit selain sebagai tempat berobat
untuk peyakit yang diklasifikasikan berat, rumah sakit juga menjadi tempat
bersarangnya bibit penyakit, bibit penyakit di rumah sakit bukan jenis bibit
penyakit biasa, melainkan bibit penyakit yang sudah resisten terhadap antibiotika,
jenis kuman resisten seperti ini yang bercokol di pelosok ruangan rumah sakit,
bisa saja melekat di alat-alat pemeriksaan medis, alat-alat bantu medis, alat-alat
bedah, serta perlengkapan rumah sakit lainnya yang mungkin lolos dari prosedur
sanitasi dan sterilisasi (Anis, 2006)
Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien
merupakan kelompok yang berisiko mendapat infeksi nosokomial. Infeksi ini
dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien
lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada
pasien (Alan, 2013). Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat
penderita ketika penderita tersebut dirawat di rumah sakit, atau pernah dirawat di
rumah sakit. Nosokomial berasal dari kata Yunani nosocomium yang berarti
rumah sakit. Jadi kata nosokomial artinya "yang berasal dari rumah sakit”,
sementara kata infeksi artinya terkena hama penyakit (Anies, 2006). Infeksi ini
baru timbul sekurang-kurangnya dalam waktu 3 x 24 jam sejak mulai dirawat, dan
bukan infeksi kelanjutan perawatan sebelumnya. Rumah sakit merupakan tempat
yang memudahkan penularan berbagai penyakit infeksi (Kasuarina, 2006).
Pengetahuan tentang pencegahan infeksi sangat penting untuk
mahasiswa kesehatan yang nantinya akan menjadi petugas di Rumah Sakit dan
sarana kesehatan lainnya merupakan sarana umum yang rawan untuk terjadi
infeksi (Alan,2013). Cara penanggulangan dalam penularan infeksi di Rumah
Sakit, dan upaya pencegahan infeksi adalah hal yang harus diperhatikan dalam
mengatasi infeksi nosokomial. Namun selain itu, alat medis yang menjadi salah
satu faktor penting yang sangat berpengaruh dalam penularan infeksi tersebut.
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar
tubuh. Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang
sudah ada didalam tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan
self infection atau auto infection, sementara infeksi eksogen (cross infection)
disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan dari satu
pasien ke pasien lainnya. Jika infeksi disebabkan oleh mikroorganisme, maka
perlu dilakukan pengujian mengenai bakteri tersebut. Umumnya kuman penyebab
infeksi nosokomial adalah kuman yang sudah resisten terhadap banyak antibiotik.
Golongan Beta lactam antara lain cefalosporin, cefoperazone baik digunakan
meskipun ada gangguan ginjal dan neutropenia (Guris,2010).
2
Pengujian ini belum pernah sama sekali dilakukan di RSUP Kota
Kendari, sehingga dalam usulan ini akan dilakukan isolasi dan uji resistensi
antibiotik terhadap bakteri penyebab infeksi nosokomial di RSUP Abunawas
Kendari.
I.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis bakteri apa saja penyebab infeksi nosokomial nosokomial di RSUD
Abunawas Kendari?
2. Antibiotik apakaha yang resisten terhadap bakteri penyebab infeksi
nosokomial?
3. Antibiotik apakah yang cocok sensitif terhadap bakteri penyebab infeksi
nosokomial ?
I.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui jenis bakteri penyebab infeksi nosokomial di RSUD
Abunawas Kendari.
2. Untuk mengetahui antibiotik yang resisten terhadap bakteri penyebab
infeksi nosokomial.
3. Untuk mengetahui antibiotik yang sensitif terhadap bakteri penyebab
infeksi nosokomial.
I.4 Luaran yang Diharapkan
Adapun luar yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Menghasilkan sebuah pengetahuan mengenai infeksi nosokomial yang
terjadi di rumah sakit.
2. Publikasi ilmiah pada jurnal mengenai isolasi dan uji resistensi antibiotik
terhadap bakteri penyebab infeksi nosokomial di RSUP Abunawas
Kendari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Uji resistensi
Uji resistensi merupakan pengujian yang dilakukan untuk mengetahui
kepekaan bakteri terhadap suatu antibiotik. Penggunaan antibiotik yang berlebih
atau tidak terkendali menyebabkan efek samping yang berbahaya, yang
menyebabkan bakteri-bakteri tertentu resisten (tahan) terhadap antibiotik
(Syahrurrahman dkk, 2013).
Resistensi terhadap antibiotika adalah fenomena yang alami. Bila suatu
antibiotika digunakan, bakteri yang mengalami resistensi terhadap antibiotika
tersebut memiliki kesempatan yang lebih besar untuk dapat terus hidup
daripada bakteri lain yang lebih “rentan.” Bakteri yang rentan akan dapat
3
dibasmi atau dihambat pertumbuhannya oleh suatu antibiotika, menghasilkan
suatu tekanan selektif terhadap bakteri lain yang masih bertahan hidup untuk
menciptakan turunan yang resisten terhadap antibiotika. Namun demikian,
bakteri yang mengalami resistensi terhadap antibiotika dalam jumlah yang
sangat tinggi sekarang ini disebabkan karena adanya penyalahgunaan dan
penggunaan antibiotika secara berlebihan. Di beberapa negara dan melalui
internet, antibiotik dapat dibeli tanpa adanya resep dokter. Pasien kadang-
kadang minum antibiotik meskipun ia tidak membutuhkannya, untuk
mengobati penyakit yang disebabkan oleh virus (Rostinawati, 2009).
Ada tiga metode umum yang biasa dilakukan untuk menentukan kepekaan
suatu bakteri terhadap antibiotika, yaitu (Pelczar dkk,2005):
Cara penipisan kaldu pepton (serial broth dilution method).
Membuat penipisan antibiotika pada sederetan tabung reaksi yang
berisi perbenihan cair. Ke dalam tabung-tabung tersebut dimasukkan
kuman yang akan diperiksa dengan jumlah tertentu dan kemudian dieram.
Dengan cara ini akan diketahui konsentrasi terendah antibiotika yang
menghambat pertumbuhan kuman yang disebut Konsentrasi Hambat
Minimal (KHM) atau Minimal Inhibitory Concentration (MIC).
Cara difusi agar/kertas cakram (the agar difussion method/medicated paper
disc method).
Menggunakan cakram kertas saring yang mengandung
antibiotika/bahan kimia lain dengan kadar tertentu yang diletakkan di atas
lempeng agar yang ditanami kuman yang akan diperiksa, kemudian di
inkubasi. Apabila tampak adanya zona hambatan pertumbuhan kuman
disekeliling cakram antibiotika, maka kuman yang diperiksa sensitif
terhadap antibiotika tersebut, Cara ini disebut juga cara difusi agar, yang
lazim dilakukan adalah cara Kirby-Bauer.
Cara penipisan seri agar lempeng (plate dilution method).
Pada umumnya cara ini hampir sama dengan cara tabung atau
penipisan kaldu pepton, perbedaannya terletak pada media yang digunakan
yaitu pada cara ini menggunakan media padat. Kelemahan cara ini adalah
tidak dapat di gunakan untuk semua jenis bakteri. Untuk beberapa bakteri
tertentu seperti bakteri yang membentuk koloni yang sangat halus dalam
media agar kaldu pepton (contoh:Streptococcus) atau bakteri yan gakan
menyebar pertumbuhannya dalam media padat (contoh : Proteus)cara ini
tidak dapat digunakan.
II.2 Antibiotik
Penemuan antibiotik diinisiasi oleh Paul Ehrlich yang pertama kali
menemukan apa yang disebut “magic bullet’, yang dirancang untuk
menangani infeksi mikroba. Pada tahun 1910, Ehrlich menemukan antibiotika
4
pertama, Salvarsan yang digunakan untuk melawan syphilis. Ehrlich
kemudian diikuti oleh Alexander Fleming yang secara tidak sengaja
menemukan penicillin pada tahun 1928.Tujuh tahun kemudian, Gerhard
Domagk menemukan sulfa, yang membuka jalan penemuan obat anti TB,
isoniazid. Pada 1943, anti TB pertama ,streptomycin, ditemukan oleh Selkman
Wakzman dan Albert Schatz. Wakzman juga orang pertama yang
memperkenalkan terminologi antibiotik. Sejak saat itu antibiotika ramai
digunakan klinisi untuk menangani berbagai penyakit infeksi (Zhang, 2007).
Antibiotika, yang pertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrich pada 1910,
sampai saat ini masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kasus
penyakit infeksi. Pemakaiannya selama 5 dekade terakhir mengalami
peningkatan yang luar biasa, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga
menjadi masalah di negara maju seperti Amerika Serikat. The Center for
Disease Control and Prevention in USA menyebutkan terdapat 50 juta
peresepan antibiotik yang tidak diperlukan (unnescecery prescribing) dari 150
juta peresepan setiap tahun (Akalin,2002).
Terdapat pembagian lain dalam klasifikasi antibiotika, yaitu berdasar cara
kerja maupun spektrum kerjanya. Penggunaan pembagian ini secara klinis
masih kurang bermanfaat. Dalam prakteknya, klasifikasi yang paling sering
dipakai klinisi adalah berdasar susunan senyawa kimia. Lebih sering dipakai
karena sifatnya yang praktis, nama obat yang dipakai langsung terkait dengan
golongan senyawa kimia masing-masing. Antibiotika yang dibagi berdasar
senyawa kimianya antara lain golongan penicillin, cephalosporin, amfenikol,
aminoglikosida, tetrasiklin, makrolida, linkosamid, polipeptida, dan
antimikobakterium (kucers,use of antibiotic). Di samping antibiotika yang
telah disebutkan di atas, akhir-akhir ini juga mulai diperkenalkan jenis-jenis
baru dari golongan beta laktam misalnya kelompok monosiklik beta laktam
yakni aztreonam, yang terutama aktif terhadap kuman Gram negatif, termasuk
pseudomonas. Juga antibiotika karbapenem (misalnya imipenem) yang
dikatakan tahan terhadap penisilinase dan aktif terhadap kuman-kuman Gram
positif dan Gram negatif (Utami, 2011).
Antibiotika dapat ditemukan dalam berbagai sediaan, dan penggunaanya
dapat melalui jalur topical, oral, maupun intravena. Banyaknya jenis
pembagian, klasifikasi, pola kepekaan kuman, dan penemuan antibiotika baru
seringkali menyulitkan klinisi dalam menentukan pilihan antibiotika yang
tepat ketika menangani suatu kasus penyakit. Hal ini juga merupakan