Laporan Penelitian Non Performing Loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Diserahkan kepada: GTZ dan BANK INDONESIA Disiapkan oleh: Bramantyo Djohanputro & Ronny Kountur Juli 2007
Laporan Penelitian
Non Performing Loan (NPL)
Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Diserahkan kepada:
GTZ dan BANK INDONESIA
Disiapkan oleh:
Bramantyo Djohanputro & Ronny Kountur
Juli 2007
i
RINGKASAN EKSEKUTIF
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya NPL Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia. Dengan mengetahui
faktor-faktor tersebut, perumusan ketentuan Bank Indonesia akan lebih efektif
dalam mengarahkan BPR dalam menekan NPL yang saat ini cukup tinggi.
Penelitian ini mengklasifikasikan faktor-faktor penyebab NPL ke dalam tiga
kategori, yaitu faktor internal BPR, faktor debitur, dan faktor eksternal selain
debitur. Data terkait dengan faktor-faktor tersebut dikumpulkan dari tiga sumber,
yaitu para pemeriksa Bank Indonesia, pengurus BPR, dan nasabah BPR.
Metode kuantitatif dan kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Metode
kuantitatif multiple regression dengan dummy variables dan logistic regression.
Data diperoleh dengan menyebarkan kuesioner kepada 223 BPR dan 917
nasabah sampel yang tersebar di 7 wilayah di Indonesia yaitu Jabotabek, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan
Nusa Tenggara Barat. Dummy variables digunakan untuk variabel-variabel
kualitatif yang perlu diuji dan variabel tersebut dapat dikategorikan ke dalam nilai
1 dan 0.
Dalam analisis kuantitatif, terdapat dua model yang digunakan. Model pertama
menggunakan NPL sebagai variabel dependen dan 30 variabel independen yang
diturunkan dari kondisi internal BPR. Model kedua menggunakan tingkat
kolektibilitas sebagai variabel dependen dan 32 variabel independen yang
diturunkan dari kondisi debitur maupun kondisi eksternal selain debitur. Kedua
model tersebut menghasilkan 12 variabel independen yang signifikan
mempengaruhi NPL atau tingkat kolektibilitas kredit BPR dengan tingkat
signifikansi maksimum 10%.
Untuk mengkonfirmasi hasil analisa regresi dan mendapatkan variabel lain yang
belum tercakup dan tidak diwakili melalui analisis secara kuantitatif, serta untuk
mengkonfirmasi keterkaitan antar variabel tersebut, penelitian ini menggunakan
ii
metode in-depth interview melalui focus group discussion dengan peserta para
Pengawas BPR dari Bank Indonesia. Sampel penelitian dengan metode ini berasal
dari 5 wilayah yang tersebar di Indonesia, yaitu Jabotabek, Bandung, Semarang,
Medan, dan Palembang.
Berdasarkan kedua metode analisis tersebut ditemukan 12 penyebab terjadinya
NPL Keduabelas variabel tersebut adalah sebagai berikut:
• Integritas pemilik, pengurus dan pegawai BPR berupa intervensi yang
bersumber pada tiga hal: ketidakjelasan prosedur, ketidakdisiplinan
pencatatan, dan kurangnya perhatian dan pengawasan pemilik.
• Kompetensi pemilik dan pengurus, baik terhadap ketentuan Bank
Indonesia maupun dalam menjalankan proses bisnis BPR.
• Pergantian direksi BPR yang dapat menyebabkan perpindahan nasabah
dengan kolektibilitas yang lancar.
• Kompetensi pegawai BPR dalam menerapkan prosedur, penerapan 5C,
pengawasan dan penanganan kredit bermasalah, dan administrasi.
• Pembayaran dengan pemotongan gaji dari tabungan, sekalipun efektif
tetapi menimbulkan potensi penyimpangan.
• Pembayaran kredit dengan jemputan dapat berdampak negatif.
• Strategi pemasaran BPR yang masih lemah dan perlu mendapat perhatian.
• Perlunya peningkatan penggunaan analisis pemberian kredit yang lebih
baik dan konsisten.
• Pengikatan agunan yang tidak hati-hati.
• Tidak mempertimbangkan kondisi nasabah
• Kerjasama pemberian kredit dengan pihak luar.
• Sistem dan mekanisme pengawasan dan program recovery kredit.
Berdasarkan keduabelas sumber pemasalahan tersebut, rekomendasi yang dapat
kami berikan kepada BI adalah sebagai berikut:
- Perlunya program sertifikasi dan pendidikan reguler baik untuk pengurus
maupun karyawan BPR.
- Perlunya pembinaan dan pengawasan terhadap ketersediaan kelengkapan
sistem dan prosedur di BPR.
iii
- Perlunya pedoman mengenai agunan dan membantu ketersediaan
lembaga fiducia atau sejenisnya.
- Perlunya penelitian lanjutan untuk menguji beberapa faktor yang diduga
mempengaruhi NPL tidak termasuk dalam ruang lingkup penelitian ini,
yaitu asal daerah, usia, dan lainnya.
iv
DAFTAR ISI Hal.
Ringkasan Eksekutif i
Daftar Isi iv
Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Lingkup Penelitian 2
Kerangka Konsep 3
Metodologi 8
Metode Penelitian 8
Penentuan Sampel 9
Instrumen Penelitian 9
Prosedure Pengumpulan Data 10
Teknik Analisa Data 10
Diskripsi Model Prediksi 12
Gambaran Umum BPR dan Debitur yang Diteliti 12
Model Prediksi NPL BPR 18
Interpretasi Model Prediksi NPL BPR 23
Model Prediksi Kolektibilitas Kredit 26
Interpretasi Model Prediksi Kolektibilitas Kredit 30
Analisa Data In-Depth Interview 34
Penyebab NPL dari Kondisi Internal 34
Penyebab NPL dari Kondisi Eksternal 44
Hasil Temuan Penyebab NPL 48
Kesimpulan dan Saran 63
Kesimpulan 63
Rekomendasi 65
Lampiran 1: Kuesioner 69
Lampiran 2: Faktor-Faktor Kondisi Internal BPR 84
Lampiran 3: Hasil Pengolahan Data Kondisi Internal BPR dan
Rasio NPL 87
Lampiran 4: Faktor-Faktor Kondisi Debitur dan Kondisi Eksternal 92
v
Lampiran 5: Hasil Pengolahan Data Kondisi Debitur dan Kondisi
Eksternal 95
Lampiran 6: Profil BPR 99
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan salah satu tulang punggung penting dalam pembangunan nasional. Di dalam kerangka perbankan nasional, seperti tertuang di dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan cetak biru Pengembangan BPR, BPR diharapkan untuk berperan serta dalam mendorong pembangunan sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan memberikan akses finansial kepada mereka. Peran BPR juga menjadi semakin penting sejalan dengan program Pemerintah untuk mendukung dan mengembangkan UMKM sebagai salah satu tulang punggung perekonomian. Oleh karena itu, kinerja dan kesehatan BPR menjadi sangat penting untuk menjaga kesehatan sektor perbankan, yang berpengaruh pada pertumbuhan sektor UMKM.
Dalam arahan Gubernur Bank Indonesia pada acara Bankers’ Dinner disampaikan
bahwa sudah saatnya untuk menempatkan sektor informal (seperti petani kecil di pedesaan, pedagang di pasar-pasar tradisional, penjual rokok dan pedagang warung kelontong) di barisan terdepan dalam penetapan kebijakan Bank Indonesia (Putting the Last First). Terkait dengan hal tersebut, serta dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan sektor informal, peran dan kontribusi BPR sebagai ujung tombak lembaga keuangan daerah dalam pembiayaan sektor informal tentunya menjadi sangat penting. BPR dianggap yang paling dekat dan paling mengetahui nasabahnya dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya.
Kinerja BPR secara nasional pada kurun waktu akhir tahun 2004 hingga 2006
menunjukkan peningkatan baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Namun demikian, hal tersebut diikuti dengan memburuknya rasio NPL BPR dari tahun ke tahun masing-masing sebesar 7,59%; 7,98% dan 9,73%.
Berdasarkan review terhadap data NPL diketahui bahwa kredit dengan skala usaha mikro memiliki rasio NPL tertinggi dibandingkan skala usaha kecil dan menengah, dan apabila dirinci lebih lanjut rasio NPL terbesar disumbangkan oleh kredit mikro dengan plafon di bawah Rp. 5 juta. Selain itu, kredit dengan agunan memiliki NPL yang lebih tinggi (11,51%) dibandingkan dengan kredit tanpa agunan yang memiliki NPL (6,15%).
2
Buruknya rasio NPL tersebut tentunya cukup memprihatinkan mengingat berbagai upaya
telah dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan peran dan kontribusi BPR dalam melayani UMKM seperti beberapa kebijakan Bank Indonesia yaitu pelaksanaan Linkage
Program, penyelenggaraan workshop/seminar pembiayaan sektor produktif dan relaksasi ketentuan dalam Paket Oktober-November 2006.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan tingginya dan terus meningkatnya rasio NPL BPR di beberapa wilayah di Indonesia.
2. Agar Bank Indonesia dapat menyusun rumusan ketentuan dan kebijakan yang dapat mendorong terciptanya industri BPR yang sehat dan kuat yang tercermin dari rendahnya rasio NPL.
Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian ini mencakup seluruh BPR di Indonesia, namun tidak dilakukan terhadap seluruh populasi tetapi berdasarkan sampel. Penelitian ini mengambil sampel BPR dari 7 wilayah, yaitu Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi), Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Ketujuh wilayah tersebut dipilih dengan pertimbangan sebaran BPR terbanyak di Indonesia berada di ketujuh wilayah dengan rasio NPL yang cenderung meningkat sehingga dianggap sudah dapat merepresentasikan BPR di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam penelitian ini, faktor-faktor penyebab NPL dikelompokkan menjadi 3, yaitu: (1)
kondisi internal BPR, (2) kondisi debitur, dan (3) faktor eksternal yang berhubungan dengan persaingan dan kondisi usaha.
Faktor-faktor lain seperti budaya, latar belakang asal-usul suku dan agama pemilik/pengelola BPR, latar belakang asal-usul suku dan agama debitur dan peran Bank Indonesia tidak termasuk dalam lingkup penelitian ini.
3
Kerangka Konsep Non Performing Loan (NPL) adalah kredit yang masuk ke dalam kategori kredit Kurang
Lancar, Diragukan, dan Macet berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Status NPL pada prinsipnya didasarkan pada ketepatan waktu bagi nasabah untuk membayarkan kewajiban, baik berupa pembayaran bunga maupun pengembalian pokok pinjaman. Proses pemberian dan pengelolaan kredit yang baik diharapkan dapat menekan NPL sekecil mungkin. Dengan kata lain, tingginya NPL sangat dipengaruhi oleh kemampuan BPR dalam menjalankan proses pemberian kredit dengan baik maupun dalam hal pengelolaan kredit, termasuk tindakan pemantauan (monitoring) setelah kredit disalurkan dan tindakan pengendalian bila terdapat indikasi penyimpangan kredit maupun indikasi gagal bayar.
Faktor-faktor utama penyebab NPL dapat dikategorikan dalam 3 kelompok yaitu: faktor
internal BPR, faktor kondisi debitur (termasuk calon debitur), dan faktor eksternal. Kerangka konsep penyebab NPL ditunjukkan dalam Gambar 1.
Faktor internal BPR adalah hal-hal berkaitan dengan kondisi Sumber Daya Manusia
(SDM) BPR itu sendiri, kualitas proses bisnis BPR, dan keterlibatan pihak lain dalam bisnis. Kondisi SDM menyangkut seberapa jauh integritas, kelalaian, kesengajaan, dan kemungkinan melakukan moral hazard dari komisaris, direksi, dan karyawan untuk memenuhi kebutuhan BPR dalam menjalankan bisnisnya. Kualitas proses bisnis BPR berkaitan dengan strategi pemasaran yang diterapkan, kualitas proses persetujuan kredit, syarat pemberian kredit, kualitas proses penagihan, dan proses pengawasan dan pengendalian. Sedangkan keterlibatan pihak lain dalam bisnis BPR terutama terkait dengan penerapan linkage program dalam pengembangan usaha BPR melalui kerjasama dengan pihak lain seperti bank umum.
4
Gambar 1
KERANGKA KONSEP PENYEBAB NPL BPR
• Proses Persetujuan Kredit • Syarat Pemberian Kredit • Proses Penagihan • Strategi Pemasaran • Peran Pemilik/Pengelola • Kapasitas AO • Proses Pengendalian • Linkage Program
• Persaingan • Kondisi Usaha
• Integritas Debitur • Keadaan Debitur • Profil Kredit • Kategori Kredit • Pemanfaatan Kredit • Pengelolaan Administrasi
Kredit
KONDISI INTERNAL BPR
KONDISI EKSTERNAL BPR
DEBITUR
LINGKUNGAN
5
Faktor kondisi debitur umumnya dikategorikan berdasarkan 5C (character, capacity,
capital, collateral, dan condition). Pada prakteknya kelima komponen C tersebut diterjemahkan ke dalam credit rating atau credit scoring sehingga BPR dapat menilai risiko yang akan ditanggungnya pada saat menyalurkan kredit kepada nasabah-nasabahnya. Dengan demikian, BPR dapat memutuskan pemberian kredit ke nasabah yang bersangkutan, mengenai jumlah pinjaman, suku bunga, dan jatuh tempo, berdasarkan rating atau scoring tersebut. Penerapan 5C bagi nasabah besar (biasanya oleh bank umum) bisa berbeda dengan penerapannya bagi nasabah mikro, kecil, dan menengah karena masalah teknis. Misalnya, ketidaktersediaan laporan keuangan, dan pengelolaan keuangan yang tidak terpisah antara keuangan usaha dan keuangan rumah tangga. Dalam penelitian ini, faktor kondisi debitur adalah integritas debitur, keadaan debitur, profil kredit, kategori kredit, pemanfaatan kredit, dan pengelolaan administrasi kredit.
Faktor eksternal pada dasarnya dapat dimasukkan ke dalam komponen condition.
Termasuk ke dalam faktor eksternal ini adalah persaingan usaha, kondisi usaha, dan faktor alam. Istilah-istilah yang digunakan pada kerangka konsep diatas diartikan sebagai berikut:
Proses Persetujuan Kredit. Proses persetujuan kredit adalah cara BPR melakukan penilaian terhadap usulan kredit. Dalam proses persetujuan kredit yang ingin diketahui adalah jenjang persetujuan kredit, waktu persetujuan kredit dalam hari, intervensi pemilik, dan intervensi komisaris.
Syarat Pemberian Kredit. Dalam memberikan kredit, BPR menilai syarat utama yang harus dipenuhi debitur. Beberapa syarat yang ingin dilihat antara lain nilai agunan, kesanggupan debitur memperoleh pendapatan, riwayat debitur, keabsahan/legalitas usaha, karakter calon debitur, dan hubungan antara pengurus/pemilik BPR dengan calon debitur.
Proses Penagihan. Proses penagihan adalah cara BPR menagih kredit dari debitur. Hal-hal yang dilihat dalam proses penagihan adalah cara pembayaran angsuran, adanya kunjungan rutin account officer (AO) dalam mengamati kemampuan debitur membayar, sistem insentif bagi AO yang berhasil menagih, serta adanya petugas khusus untuk menagih angsuran.
6
Strategi Pemasaran. Strategi pemasaran adalah cara yang digunakan BPR dalam menjaring debitur. Strategi pemasaran menyangkut target market keterlibatan direksi dalam pemasaran dan penyebaran lokasi target market.
Peran Pemilik/Pengelola. Peran pemilik/pengelola mencakup keterlibatan pemilik/pengelola dalam operasional BPR dan bisnis lain yang dimiliki oleh pemilik atau komisaris selain bisnis BPR, pemenuhan sertifikasi dari Lembaga Sertifikasi Profesi oleh Direksi BPR serta perputaran direksi selama tiga tahun terakhir.
Kapasitas Account Officer (AO). Kapasitas AO mencakup tingkat pendidikan AO, pelatihan kepada AO, rasio antara AO dan nasabahnya, tingkat perputaran AO selama satu tahun serta masa kerja AO (dalam tahun).
Proses Pengendalian. Proses pengendalian mencakup pengendalian BPR atas kegiatan operasionalnya serta pemeriksaan terhadap pekerjaan AO.
Linkage Program. Keikutsertaan BPR dalam kerjasama Linkage Program dengan Bank Umum.
Integritas Debitur. Itikad debitur dan tanggung jawab debitur untuk mengembalikan kreditnya.
Keadaan Debitur. Keadaan debitur mencakup jangka waktu debitur menjadi nasabah BPR, hubungan antar debitur dan pemilik/pengelola BPR, status kepemilikan tempat usaha dan tempat tinggal debitur serta kondisi debitur.
Profil Kredit. Profil kredit menyangkut besarnya plafon kredit, besarnya baki debit, besarnya suku bunga yang diberikan, besarnya biaya tambahan yang dibebankan, dan jangka waktu pelunasan kredit (dalam bulan).
Kategori Kredit. Kategori kredit mencakup pola pemberian kredit (kelompok atau individu), kepemilikan agunan, nilai agunan, asuransi kredit dan status kredit (baru atau pengulangan).
Pemanfaatan Kredit. Pemanfaatan kredit mencakup tujuan penggunaan kredit (konsumsi, modal kerja, investasi) dan sektor pembiayaan kredit (pertanian, perindustrian, perdagangan, jasa, lainnya).
7
Pengelolaan Administrasi Kredit. Pengelolaan keuangan debitur untuk pembayaran angsurannya (terpisah dari keuangan keluarga atau menyatu).
Persaingan. Persaingan mencakup pesaing utama dan tingkat persaingan.
Kondisi Usaha. Kondisi usaha yang dialami debitur pada saat dia menunggak.
8
METODOLOGI Metodologi menyangkut metode penelitian yang digunakan, teknik menentukan sampel dan besar sampel, instrumen yang digunakan, prosedur pengumpulan data, serta teknik analisa data yang digunakan.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Tujuan penggunaan kedua pendekatan tersebut adalah untuk saling melengkapi informasi dan analisis. Dalam pendekatan kualitatif, penelitian ini menerapkan in-depth group interview melalui Focus Group Discussion
(FGD) kepada para pengawas BPR di 5 wilayah di Indonesia yaitu Jabotabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Metode ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi NPL BPR. Dalam FGD ini, pengawas BPR dipilih karena memiliki akumulasi informasi, pengetahuan, dan pengalaman mengenai bisnis BPR dan hal-hal yang terkait dengan kinerja BPR, khususnya dalam aspek NPL. Melalui pendekatan kualitatif dapat diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya NPL, baik faktor yang sulit dikuantifikasi maupun faktor yang dapat dikuantifikasi. Dalam hal faktor yang dapat dikuantifikasi, temuan faktor penyebab NPL dengan pendekatan kualitatif dapat memperkuat kesimpulan mengenai pengaruh faktor tersebut terhadap NPL.
Pendekatan kuantitatif diterapkan dengan mengunakan model multiple regression dan logistic regression. Variabel-variabel yang bersifat kualitatif dikonversi menjadi variabel kuantitatif dengan menggunakan dummy variable. Dengan pendekatan kuantitatif diharapkan dapat ditemukan faktor-faktor yang menjadi penyebab NPL, dan faktor-faktor tersebut dapat digeneralisasi atau diberlakukan secara umum. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi Bank Indonesia dalam membuat ketentuan atau kebijakan bagi BPR.
9
Penentuan Sampel Pengawas-pengawas Bank Indonesia di 5 wilayah yaitu Jabotabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan dipilih untuk dijadikan responden dalam in-depth group
interveiw. Pengalaman dan fakta-fakta yang mereka temukan di lapangan ketika memeriksa BPR digali secara berkelompok dalam FGD.
Beberapa variabel yang dianggap berpengaruh pada NPL kemudian diuji pada sampel yang diambil dari 7 wilayah di Indonesia yaitu Jabotabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada ketujuh wilayah tersebut, terdapat kecenderungan bahwa rasio NPL terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir dengan jumlah BPR yang cukup besar di wilayah dimaksud. Dengan demikian, pemilihan sampel di ketujuh wilayah tersebut diharapkan dapat menggali faktor-faktor penyebab NPL secara komprehensif.
Sampel yang terpilih terdiri dari 223 BPR dan 915 debitur yang tersebar di 7 wilayah tersebut. Gambaran umum tentang sampel dapat dilihat pada Lampiran 6. Profil yang digambarkan menyangkut bentuk organisasi BPR, jumlah kreditnya, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyetujui kredit, cara pembayaran angsuran kredit, sertifikasi direksi, karakteristik debitur utama, kolektibilitas kredit, dan linkage program. Selain itu, juga disajikan gambaran tentang jenis usaha debitur, suku bunga yang dikenakan kepada debitur, persentase tambahan biaya-biaya pinjaman selain bunga, tujuan penggunaan kredit, dan sektor ekonomi yang dibiayai oleh pinjaman. Sedangkan keterangan lebih terperienci tentang profil BPR di masing-masing wilayah yang diambil sebagai sampel dari penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 7.
Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner merupakan hasil dari FGD yang dilakukan kepada para direksi dan komisaris BPR. Dari hasil FGD diperoleh beberapa pertanyaan yang dikelompokkan kedalam 3 kelompok pertanyaan yaitu (1) pertanyaan-pertanyaan tentang “Proses Pemberian Kredit,” (2) pertanyaan-pertanyaan tentang “Status Kredit Debitur,” dan (3) pertanyaan-pertanyaan tentang “Nasabah BPR.” Masing-masing kelompok pertanyaan ini kemudian menjadi kuesioner sehingga
10
terdapat 3 kuesioner. Validitas dari kuesioner diuji melalui pilot testing kepada beberapa direksi dan komisaris BPR yang berada di Jakarta dan sekitarnya. Maksud dari pilot testing ini adalah untuk mengetahui apakah pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner sudah baik secara format dan benar secara content. Masukan dari pilot testing ini kemudian digunakan untuk memperbaiki kuesioner yang telah dibuat.
Kuesioner akhir dihasilkan dan terdiri dari tiga jenis, masing-masing menyangkut (1) Proses Pemberian Kredit, (2) Status Kredit Debitur, dan (3) Nasabah BPR. Kuesioner pertama dan kedua ditujukan kepada BPR untuk diisi sedangkan kuesioner ketiga ditujukan kepada. Contoh kuesioner disajikan di Lampiran 2.
Prosedur Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui in-depth interview dan melalui kuesioner. In-depth interview dengan cara Focus Group Discussion (FGD) dilakukan terhadap para pengawas BPR di 7 wilayah. FGD menghasilkan sejumlah faktor atau variabel yang menjadi penyebab NPL berdasarkan pengalaman pemeriksa BPR. Faktor-faktor atau variabel tersebut diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi faktor yang dituangkan ke dalam kuesioner supaya hasil FGD dapat dipadukan dengan hasil dari kuesioner.
Pengisian kuesioner dilakukan oleh peneliti yang secara langsung melakukan wawancara kepada responden sekaligus melakukan pengisian kuesioner berdasarkan hasil wawancara tersebut. Teknik ini dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan dalam menginterpretasikan pertanyaan serta mendapatkan hasil yang akurat. Sebelumnya diadakan pembekalan kepada para pewawancara mengenai panduan pengisian kuesioner, cara input data serta input data pada worksheet.
Teknik Analisa Data Data dianalisa dengan dua pendekatan yaitu pendekatan (1) kuantitatif dan (2) pendekatan kualitatif.
Pada pendekatan kualitatif, analisa data dilakukan dengan mengumpulkan temuan-temuan berupa pernyataan-pernyataan pemeriksa Bank Indonesia yang mengindikasikan
11
penyebab NPL yang dicatat dari beberapa kali in-depth interview yang dilakukan dalam bentuk FGD. Hasil temuan pada catatan-catatan yang dikumpulkan tersebut kemudian disusun sesuai dengan kategori yang telah ditetapkan, yaitu faktor internal BPR, faktor eksternal BPR yang yang berkaitan dengan debitur dan lingkungan. Catatan yang telah dikumpulkan kemudian disusun sesuai dengan coding tertentu. Cara ini dilakukan untuk menjamin bahwa penelitian ini objective,
auditable, dan credible sebagai syarat dalam penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sangat rentan terhadap subyektifitas, itu sebabnya diperlukan suatu
pendekatan yang dapat meminimalisasi subjektifitas ini sehingga hasil yang diperoleh dapat dianggap obyektif. Obyektifitas penelitian kualitatif harus dapat dibuktikan sehingga dapat diperiksa kebenarannya atau dikenal dengan istilah auditable (dapat diperiksa kebenarannya). Penggunaan coding dan kategorisasi adalah salah satu cara untuk menjamin objectivity dan auditability penelitian kualitatif. Oleh karena penelitian kualitatif sangat rentan terhadap subyektifitas, penelitian kualitatif harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman dan telah dilatih dalam melakukan penelitian kualitatif sehingga kredibilitas hasil penelitian dapat dijamin. Pada pendekatan kuantitatif, data dianalisa dengan menggunakan teknik statistik yang diuji pada tingkat signifikansi (level of significant) 10% atau pada tingkat keyakinan (confidence
level) 90%. Teknik statistik yang digunakan adalah:
1. Multiple regression with dummy variables, dan 2. Logistic regression.
Untuk mempermudah pengolahan data kuantitatif, piranti lunak SPSS (statistical program for
social sciences) digunakan.
12
DESKRIPSI MODEL PREDIKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor berpengaruh terhadap
NPL BPR di Indonesia. Faktor-faktor ini dikelompokkan ke dalam 2 kelompok
besar yaitu faktor-faktor internal BPR dan faktor-faktor eksternal BPR. Faktor
eksternal terdiri dari 2 aspek yaitu debitur dan lingkungan sebagaimana yang
ditunjukkan pada Gambar 1 di bab pendahuluan.
Variabel-variabel yang berhubungan dengan kondisi internal BPR digunakan untuk
menentukan Rasio NPL. Sedangkan variabel-variabel yang berhubungan dengan
kondisi eksternal BPR (debitur dan lingkungan) digunakan untuk menentukan
Kolektibilitas Kredit. Rasio NPL adalah variabel dependen yang digunakan untuk
BPR sedangkan Kolektibilitas Kredit adalah variabel dependen yang digunakan
untuk nasabah sebagai pihak eksternal. Namun sebelum melihat pengaruh
kondisi internal dan eksternal BPR terhadap NPL dan kolektibilitas kredit, akan
diberikan gambaran umum tentang BPR dan debitur yang diteliti.
Gambaran Umum BPR dan Debitur yang Diteliti
Penelitian tentang penyebab tingginya rasio NPL di Indonesia dilakukan dengan
memperoleh data dari tujuh wilayah di Indonesia yaitu Jabotabek, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa
Tenggara Barat (NTB). Responden terdiri dari direksi BPR dan debitur BPR.
Masing-masing wilayah memiliki profil BPRnya sendiri-sendiri sebagaimana yang
dapat dilihat pada Lampiran 6. Masing-masing wilayah mungkin saja memiliki
keunikannya sendiri-sendiri atau bisa saja malah tidak ada perbedaan. Untuk
mengetahui hal ini maka dilakukan analisa apakah memang ada perbedaan yang
menyolok untuk beberapa aspek. Setelah dianalisa didapati bahwa:
• Sebagian besar BPR yang diteliti berbentuk perseroan terbatas (PT), bahkan
dibeberapa wilayah seperti di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan seluruh
BPR yang ditieliti berbentuk PT. Kecuali didaerah NTB, sebagian besar BPR
berbentuk perusahaan daerah (PD).
13
• Dibeberapa wilayah, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyetujui kredit
berkisar antara 1 s/d 3 hari seperti didaerah Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Namun didaerah lain, rata-rata
waktu yang diperlukan untuk menyetujui kredit antara 4 s/d 7 hari seperti
didaerah Jabotabek, Sumatera Utara, dan NTB.
• Sebagian besar BPR menerapkan cara pembayaran angsuran dengan
meminta debitur menyetor langsung ke BPR. Ini berlaku diseluruh wilayah.
Cara lain yang dilakukan adalah dengan mengambil ke debitur, sedangkan
yang dipotong langsung pada gaji atau tabungan hanya sedikit. Khusus
daerah Jabotabek dan Jawa Barat, ada beberapa BPR yang pembayaran
cicilan kreditnya dilakukan dengan mentransfer ke rekening BPR.
• Masyarakat umum (mereka yang tidak punya hubungan istimewa dengan
BPR seperti non karyawan/kerabat) adalah debitur utama BPR. Rata-rata
85% debitur BPR adalah masyarakat umum. Ini berlaku diseluruh wilayah
yang diteliti.
• BPR yang tidak mengikuti linkage program lebih banyak dari pada yang
mengikuti linkage program, bahkan dibeberapa daerah seperti Sulawesi
Selatan dan NTB perbedaannya sangat menyolok yaitu 2 : 8.
• Sebagian besar (54 s/d 83 persen) BPR di ketujuh wilayah yang diteliti
memiliki debitur yang berusaha pada bidang perdagangan. Hanya sedikit
yang bergerak dalam bidang pertanian, industri, dan jasa. Yang bergerak
dalam bidang ini hanya berkisar antara 2 s/d 16 persen.
• Suku bunga per bulan yang dikenakan berkisar antara 1 s/d 4 persen
walaupun ada sebagian kecil yang mengenakan diatas 4 persen. Sebagian
besar BPR mengenakan biaya bunga antara 2 s/d 3 persen flat perbulan.
Kecuali wilayah Jawa Tengah dan Sumatera Utara sebagian besar BPRnya
mengenakan biaya bunga antara 1 s/d 2 persen flat per bulan.
14
• Pada umumnya BPR mengenakan biaya tambahan diluar biaya bunga
berkisar antara 1 s/d 3 persen dari nilai pinjaman yang dibayarkan sekali saja
(bukan per bulan). Namun ada juga yang tidak mengenakan biaya tambahan.
Khusus wilayah Jabotabek, Jawa Barat dan Sumatera Selatan cukup banyak
(18 s/d 23 persen) BPR yang mengenakan biaya tambahan lebih besar dari 4
persen.
• Tujuan penggunaan kredit pada umumnya untuk modal kerja. 64 s/d 89
persen debitur diseluruh wilayah menggunakan kredit untuk modal kerja.
Sedangkan untuk konsumsi rata-rata hanya 11 persen. Investasi rata-rata
hanya 4 persen.
• Sektor ekonomi debitur pada umumnya perdagangan. Itu berarti pinjaman
terbesar adalah untuk modal kerja pada sektor ekonomi perdangangan dan
ini berlaku diseluruh wilayah yang diteliti.
Menyangkut sebaran rasio NPL yang rendah dan tinggi, dapat dilihat pada
Gambar 2. Wilayah Jabotabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan
NTB jumlah BPR memiliki rasio NPL yang tinggi/high (lebih besar atau sama
dengan 10%) lebih banyak dibandingkan BPR dengan NPL yang rendah (lebih
kecil dari 10%). Sedangkan sebaran debitur di ketujuh wilayah yang diteliti dapat
dilihat pada Gambar 3. Pemilihan debitur sampel didasarkan atas populasi
debitur yang berada di setiap wilayah dan karena jumlah debitur di Jateng, Jabar
dan Jabotabek lebih banyak maka nampak bahwa jumlah debitur terbesar
berasal dari wilayah-wilayah tersebut. Sedangkan Sumatera Utara dan Sumatera
Selatan hanya terpilih sedikit debitur.
15
Gambar 2
SEBARAN RASIO NPL RENDAH DAN TINGGI
0
5
10
15
20
25
30
35
Jabo
tabek
Jaba
r
Jateng
Sumut
Sumse
l
Sulsel
NTB
Wilayah
BPR
LowHigh
Gambar 3
SEBARAN DEBITUR
0
50
100
150
200
250
Jabo
tabek
Jaba
r
Jateng
Sumut
Sumse
l
Sulsel
NTB
Wilayah
Deb
itur
Dari segi plafon kredit yang diberikan kepada debitur, dapat dilihat pada Gambar
4, dari 917 nasabah yang diteliti sebagian besar pinjaman berada pada plafon Rp
5 juta s/d Rp 25 juta dan pinjaman Rp 1 juta s/d Rp 5 juta. Proporsi kredit yang
lancar dan tidak lancar hampir sama pada semua plafon dimana yang lancar
lebih sedikit. Kecuali pada plafon Rp 50 s/d Rp 500 juta kredit yang lancar sama
16
dengan yang tidak lancar. Dari segi proporsi kredit yang lancar dan tidak lancar
nampaknya tidak ada perbedaan yang berarti pada setiap plafon.
Gambar 4
PLAFON KREDIT
0
50
100
150
200
250
300
350
< 1jt 1jt - 5jt 5jt -25jt
25jt -50jt
50jt -500jt
> 500jt
Plafon
Nas
abah Lancar
Tidak Lancar
Menyangkut jawaban yang diberikan oleh BPR maupun debitur, ada beberapa
pertanyaan yang sama tentang debitur yang diberikan baik kepada BPR maupun
kepada debitur. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan pengecekan silang (cross-
check). Gambar 5 menunjukkan jawaban yang diberikan BPR dan yang diberikan
debitur untuk pertanyaan tentang kondisi usaha yang sedang dijalankan.
Dari Gambar 5 tersebut dapat dilihat bahwa jawaban yang diberikan relatif
hampir sama. Kecuali pada jawaban kategori A dan D (lihat Lampiran 1 tentang
kuesioner) yang kelihatannya ada perbedaan namun tidak signifikan. Jika terjadi
perbedaan maka jawaban yang dianggap lebih akurat adalah yang diberikan oleh
debitur mengingat yang paling memahami kondisi usaha yang sedang dijalankan
adalah debitur itu sendiri.
17
Gambar 5
PERBANDINGAN JAWABAN BPR DAN DEBITUR
0
50
100
150
200
250
300
350
400
A B C D E
Kategori Pertanyaan
Res
pond
en
BPRDebitur
Dari segi jenis kelamin dan kolektibilitas kredit, didapati bahwa proporsi
kredit yang lancar pada pria dan wanita sama saja. Dari Gambar 8 dapat
dilihat bahwa ada 209 debitur pria yang kreditnya lancar dibandingkan
dengan 388 debitur pria yang kreditnya tidak lancar atau dengan proporsi
1 : 1,85. Sedangkan pada wanita, ada 112 debitur wanita yang lancar
dibandingkan dengan 208 yang tidak lancar atau dengan proporsi yang
sama yaitu 1 : 1,85.
18
Gambar 6
Jenis Kelamin dan Kolektibilitas
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Pria Wanita
Jenis Kelamin
Jum
lah
Debi
tur
Lancar Tidak Lancar
Model Prediksi NPL BPR
Besarnya rasio NPL suatu BPR ditentukan oleh kolektibilitas kreditnya karena
rasio NPL adalah perbandingan antara kredit yang tidak lancar dengan jumlah
kredit yang diberikan.
Namun, ada beberapa variabel internal BPR yang bisa secara langsung dan tidak
langsung berpengaruh pada rasio NPL sebagaimana yang ditunjukkan pada
Gambar 1 di bab pendahuluan. Disini akan diketahui apakah variabel-variabel
internal BPR dari hasil in-depth interview dapat digunakan untuk menentukan
rasio NPL? Hipotesa penelitian (H1) adalah variabel-variabel internal BPR dapat
digunakan menentukan rasio NPL.
Kuesioner tentang kondisi internal BPR diberikan kepada 223 BPR untuk diisi
oleh direksi. Data yang diperoleh dari kuesioner diuji dengan teknik statistik
multiple linear regression. Teknik ini dipilih oleh karena variabel dependen
terukur dengan skala interval yang merupakan syarat menggunakan multiple
regression. Predictors (independent variables) pada umumnya dalam bentuk
nominal dan interval, oleh karena itu maka teknik regresi yang digunakan adalah
multiple linear regression with dummy variable.
19
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa dari 26 variabel yang berhubungan
dengan kondisi internal BPR yang diteliti (sebagaimana yang dapat dilihat pada
Lampiran 2), 22 faktor ternyata tidak signifikan untuk digunakan dalam
menentukan rasio NPL. Pengujian ini dilakukan dengan tingkat signifikansi 10%
atau pada tingkat keyakinan 90% (lihat Lampiran 3). Hanya 4 variabel yang
signifikan dimana satu variabel terdiri dari 2 variabel dummy sehingga seluruhnya
ada 5 variabel yaitu (1) pembayaran kredit dengan jemputan, (2) cara
pembayaran dengan potongan, (3) insentif kepada Account Officer (AO), (4)
perputaran direksi, dan (5) program linkage.
Oleh karena ada variabel-variabel yang signifikan analisa data diulang dengan
hanya memasukkan variabel-variabel yang signifikan ini saja. Setelah variabel-
variabel yang signifikan ini dimasukkan, uji ANOVA (uji F) seperti yang dapat
dilihat pada Tabel 1 menunjukkan nilai yang signifikan yaitu 0,000 lebih kecil dari
0,10 tingkat signfikansi yang disyaratkan. Itu berarti bahwa predictors (cara
pembayaran dengan menjemput, cara pembayaran dengan potongan, insentif
yang diberikan kepada AO, perputaran direksi, dan program linkage) dapat
digunakan untuk menentukan rasio NPL.
Tabel 1
ANOVA(b)
a Predictors: (Constant), LINKAGE, TURNOVER, BAYARC, INSENTIF, BAYARB b Dependent Variable: RASIONPL
Hasil pengolahan data dengan SPSS seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2,
selanjutnya menunjukkan nilai Adjusted R Square = 0,149 yang berarti bahwa
14,9% variasi pada rasio NPL bisa dijelaskan oleh variasi dari cara pembayaran
dengan menjemput, cara pembayaran dengan potongan, pemberian insentif
kepada AO, perputaran direksi, dan program linkage. Walaupun angka ini
kelihatan kecil namun perlu diketahui bahwa variabel yang terbesar
mempengaruhi rasio NPL adalah kolektibilitas kredit yang akan dianalisa
Model
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
1 Regression ,997 5 ,199 8,624 ,000(a) Residual 4,924 213 ,023 Total 5,921 218
20
kemudian pada model penentu kolektibilitas kredit. Faktor lain diluar
kolektibilitas kredit memang diharapkan tidak sebesar kolektibilitas kredit.
21
Tabel 2
Model Summary(b)
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
Durbin-Watson
1 ,410(a) ,168 ,149 ,15204 1,896 a Predictors: (Constant), LINKAGE, TURNOVER, BAYARC, INSENTIF, BAYARB b Dependent Variable: RASIONPL
Hasil uji t seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kelima
predictors yaitu cara pembayaran dengan menjemput (BAYARB), cara
pembayaran dengan potongan (BAYARC), pemberian insentif kepada AO
(INSENTIF), perputaran direksi (TURNDIR), dan program linkage (LINKAGE)
signifikan dengan nilai dibawah tingkat signifikansi yang disyaratkan yaitu 0,10.
Signifikan disini berarti bahwa variabel independen (predictors) yaitu kelima
variabel diatas berpengaruh pada variabel dependen yaitu Rasio NPL.
Tabel 3
Coefficients(a)
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta
Tolerance VIF
1 (Constant) ,191 ,019 9,802 ,000 BAYARB ,057 ,025 ,148 2,309 ,022 ,954 1,049 BAYARC -,071 ,032 -,142 -2,223 ,027 ,955 1,047 INSENTIF -,037 ,021 -,113 -1,781 ,076 ,973 1,028 TURNOVE
R ,031 ,014 ,141 2,253 ,025 ,995 1,005
LINKAGE -,090 ,022 -,262 -4,146 ,000 ,975 1,025 a Dependent Variable: RASIONPL
Model regresi yang baik adalah predictors (independen variables) tidak saling
berkorelasi atau dengan istilah statistik yang dikenal dengan multicollinearity.
Angka VIF (Variance Inflation Factor) dan Tolerance pada Tabel 3 menunjukkan
nilai VIF yang berada pada sekitar angka 1, dan nilai TOLERANCE mendekati 1. Ini
berarti bahwa model regresi ini bebas collinearity. Dengan kata lain, tidak
terdapat multicolinearity. Begitu juga dengan uji scedasticity sebagaimana yang
dapat dilihat pada Gambar 2. Sebaran pada Gambar 2 tidak menunjukkan suatu
pola tertentu yang teratur. Tidak ada pola tertentu pada titik-titik yang menyebar
22
diatas dan dibawah angka 0 dari sumbu Y. Ini berarti bahwa tidak terdapat
heteroscedasticity. Model regressi yang baik adalah jika tidak terdapat
heteroscedasticity yaitu error variance dari variabel-variabel independen maupun
dependen sama. Jika error variance berbeda, model regresi tidak dapat
memberikan hasil yang baik.
Gambar 7
Scatterplot
Dependent Variable: RASIONPL
Regression Standardized Predicted Value
3210-1-2-3
Reg
ress
ion
Stud
entiz
ed R
esid
ual
6
5
4
3
2
1
0
-1
-2
Setelah yakin bahwa model ini baik, maka model ini dapat digunakan
untuk menentukan rasio NPL BPR sehingga model ini disebut MODEL
PENENTU NPL, dengan persamaan sebagai berikut:
YNPL = 0,191 + 0,057X1 – 0,071X2 – 0,037X3 + 0,031X4 – 0,09X5
Dimana:
YNPL = rasio NPL
X1 = Pembayaran kredit dengan jemputan. Jika ada, diberikan
nilai 1 dan jika tidak ada diberikan nilai 0.
X2 = Pembayaran kredit dengan potongan. Jika BPR melakukan
pembayaran kredit dengan memotong dari gaji atau
tabungan debitur, maka nilai yang diberikan adalah 1 jika
23
tidak 0. Seandainya BPR memberlakukan cara lain selain
pemotongan gaji/tabungan bersama-sama, maka yang
dilihat adalah mana jumlah kredit yang paling besar. Jika
kredit yang paling besar dilakukan dengan memotong
gaji/tabungan maka nilai yang diberikan 1 jika tidak 0.
X3 = Pemberian insentif kepada account officer atas kredit yang
ditagih. Jika BPR memberikan insentif atas kredit yang
ditagih kepada account officer maka nilai yang diberikan 1
jika tidak 0.
X4 = Perputaran direksi. Berapa kali direksi keluar dalam tiga
tahun terakhir.
X5 = Program linkage. Apabila BPR menjalankan program
linkage maka nilai yang diberikan adalah 1 jika tidak 0.
Interpretasi Model Penentu NPL:
Pembayaran Angsuran dengan Jemputan (X1)
BPR yang menerapkan pembayaran angsuran kredit dengan menjemput
cenderung meningkatkan rasio NPL. Rasio NPL akan meningkat 0,284 atau
28,4% (diperoleh dari 0,191 + 0,057) jika BPR menerapkan pembayaran
angsuran dengan jemputan. Asumsi, variabel-variabel lain yang berpengaruh
pada rasio NPL tetap.
Pembayaran angsuran kredit yang dilakukan dengan menjemput hanya akan
efektif apabila: (1) Ada pengawasan yang ketat oleh BPR pada petugas yang
menjemput angsuran, (2) petugas yang menjemput angsuran perlu dirotasi pada
waktu-waktu tertentu, dan (3) petugas penagih secara rutin dan konsisten
menjemput angsuran. Jika ketiga syarat ini tidak dipenuhi, pembayaran angsuran
kredit dengan menjemput justru cenderung meningkatkan rasio NPL.
Pengawasan BPR yang lemah dan petugas tetap melayani debitur tanpa rotasi
membuat peluang bagi petugas penagih untuk melakukan fraud dan ini justru
akan memperbesar rasio NPL. Demikian pula kunjungan petugas penagih yang
tidak rutin membuat kolektibilitas kredit tidak lancar. Debitur mengharapkan
24
angsuran dijemput dan jika tidak dijemput debitur cenderung tidak akan
membayar dan terkesan seolah-olah tidak mau membayar padahal karena
angsuran tidak dijemput sehingga rasio NPL justru meningkat.
Selain itu, dari hasil in-depth interview diketahui pula kalau sebagian BPR
memiliki sistem pengendalian yang lemah, satu orang petugas per lokasi yang
tidak berubah-ubah; dan sebagian BPR tidak melakukan pembinaan dan
pemantauan penggunaan kredit secara rutin. Hasil in-depth interview ini dapat
menjelaskan mengapa justru angsuran yang dijemput cenderung meningkatkan
rasio NPL. Namun apabila ketiga persyaratan tersebut dipenuhi, menjemput
angsuran dapat menurunkan rasio NPL. Dari in-depth interview diketahui pula
kalau ada beberapa BPR yang menjemput angsuran memiliki rasio NPL yang
lebih baik.
Pembayaran Angsuran dengan Potongan (X2)
BPR yang melakukan pembayaran angsuran kredit dengan potongan akan
menurunkan rasio NPL sebesar 0,116 atau 11,6% (diperoleh dari 0,191 - 0,071).
Asumsi, variabel-variabel lain yang berpengaruh pada rasio NPL tetap.
Dengan memotong langsung pada tabungan atau gaji, permasalahan keengganan
debitur untuk membayar langsung ke BPR karena lokasi yang jauh menjadi
tersolusi. Demikian pula kemungkinan fraud yang bisa dilakukan oleh petugas
penagih menjadi tidak ada. Bagi debitur dengan plafon kredit yang besar dapat
disyaratkan untuk memiliki tabungan dengan minimal sejumlah uang sehingga
BPR dapat langsung memotong angsurannya dari tabungan tersebut. Dengan
cara seperti ini diharapkan rasio NPL akan lebih baik.
Pemberian Insentif kepada AO (X3)
BPR yang memberikan insentif kepada AO atas kredit yang tertagih cenderung
menurunkan rasio NPL sebesar 0,154 atau 15,4% (diperoleh dari 0,191 – 0,037)
dengan asumsi bahwa semua variabel-variabel lainnya yang berpengaruh pada
rasio NPL tetap.
25
Dari in-depth interview diketahui kalau kunjungan rutin AO kepada debitur untuk
memantau penggunaan kredit dapat memperkecil rasio NPL BPR. Pembinaan
harus sudah dilakukan sebelum kredit menjadi tidak lancar agar kredit tersebut
bisa tetap lancar. Demikian pula komunikasi yang baik antara BPR dan debitur
yang dilakukan oleh AO berdampak pada rasio NPL yang lebih kecil.
Kunjungan rutin AO dalam memantau penggunaan kredit hanya dapat dilakukan
dengan baik jika AO tersebut termotivasi. Itu sebabnya BPR yang memberikan
insentif kepada AO atas kredit yang tertagih dapat memotivasi AO untuk
melaksanakan tugas pembinaan dan penagihan yang lebih baik sehingga rasio
NPL dapat ditekan untuk semakin kecil.
Perputaran Direksi (X4)
BPR yang dalam tiga tahun terakhir mengalami perputaran direksi cenderung
meningkatkan rasio NPL sebesar 0,16 atau 16% (diperoleh dari 0,191 ─ 0,031)
untuk setiap kali perputaran. Ini menunjukkan kalau peran direktur dalam
mengelola debiturnya cukup signifikan mengingat BPR dengan tingkat perputaran
direksi yang cukup besar berdampak pada peningkatan rasio NPL. Semakin
tinggi perputaran direksi cenderung semakin tinggi pula rasio NPL dari BPR
tersebut.
Program Linkage (X5)
BPR yang menjalankan linkage program cenderung mempunyai rasio NPL yang
lebih kecil. BPR yang menjalankan linkage program nampaknya dapat
mengecilkan rasio NPL sebesar 0,11 atau 11% (diperoleh dari 0,191 – 0,09)
dengan asumsi variabel-variabel lain yang mempengaruhi rasio NPL tetap.
Namun, perlu diketahui pula bahwa bisa saja terjadi bank umum hanya mau
bekerja sama untuk linkage program pada BPR dengan NPL yang kecil sehingga
cenderung mereka yang mendapatkan linkage program adalah BPR yang rasio
NPLnya kecil. Walaupun demikian, linkage program dapat dijadikan salah satu
indikator yang menunjukkan penurunan rasio NPL.
26
Model Prediksi Kolektibilitas Kredit
Rasio NPL adalah juga kolektibilitas kredit oleh karena rasio NPL adalah
perbandingan antara kredit yang tidak lancar dan jumlah kredit yang diberikan.
Semakin lancar kolektibilitas kredit semakin baik rasio NPL. Namun dalam
penelitian ini, rasio NPL digunakan sebagai dependent variabel untuk BPR dan
kolektibilitas kredit digunakan sebagai dependent variabel untuk nasabah.
Ada 19 variabel yang berhubungan dengan debitur dan ada 2 variabel yang
berhubungan dengan lingkungan yang dapat mempengaruhi kolektibilitas kredit
sebagaimana yang dapat dilihat pada Lampiran 4. Dengan demikian ada 21
variabel. Data dikumpulkan dari 917 debitur yang tersebar ditujuh wilayah di
Indonesia dan dianalisa menggunakan teknik statistik multiple linear regression
with dummy variables dengan tingkat signifikansi 10% atau pada tingkat
keyakinan 90%. Hasil dari pengujian ini sebagaimana yang dapat dilihat pada
Lampiran 4, menunjukkan bahwa hanya 8 variabel yang signifikan sementara ada
13 varibel yang berpengaruh namun tidak signifikan.
Agar interpretasi hasil pengolahan data bisa lebih baik, mengingat dependent
variable lebih tepat diinterpretasi sebagai variabel dengan skala nominal maka
dalam pengolahan data selanjutnya digunakan teknik statistik logistic regression
dengan tingkat signifikansi 10%. Dengan demikian kedelapan variabel yang
diketahui signifikan kemudian diolah kembali dengan teknik logistic regression.
Dengan menggunakan SPSS dan diolah dengan logistic regression diperoleh hasil
sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Kelayakan model
logistic regression ini diuji dengan Hosmer and Lemeshow Test. Model layak
apabila nilai signifikansi Hosmer and Lemeshow diatas 0,10 tingkat signifikansi
yang disyaratkan. Dari Tabel 4. diketahui bahwa nilai Hosmer and Lemeshow =
0,599 jauh diatas 0,10 yang disyaratkan. Ini berarti bahwa model regresi ini
dapat digunakan.
27
Tabel 4
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig. 1 6,434 8 ,599
Pada Tabel 5 nampak bahwa ada tiga variabel yang tidak signifikan yaitu
ASURANSI, TUJUAND, dan USAHAB dengan nilai signifikan lebih besar dari 0,10
tingkat signifikansi yang disyaratkan.
28
Tabel 5
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 1(a)
BUNGA ,359 ,164 4,790 1 ,029 1,432
JNSTB ,813 ,211 14,842 1 ,000 2,255 NILAIAGC -1,232 ,300 16,889 1 ,000 ,292 ULANG -,288 ,082 12,343 1 ,000 ,750 ASURANSI -,002 ,198 ,000 1 ,990 ,998 TUJUAND 1,525 ,985 2,397 1 ,122 4,593 KONDISB 1,765 ,565 9,758 1 ,002 5,841 KONDISC 1,286 ,479 7,212 1 ,007 3,619 KONDISD -1,400 ,310 20,391 1 ,000 ,247 ADM ,396 ,199 3,970 1 ,046 1,486 USAHAB ,348 ,244 2,035 1 ,154 1,416 USAHAC 2,443 ,265 84,996 1 ,000 11,510 Constant ,528 ,545 ,938 1 ,333 1,695
a Variable(s) entered on step 1: BUNGA, JNSTB, NILAIAGC, ULANG, ASURANSI, TUJUAND, KONDISB, KONDISC, KONDISD, ADM, USAHAB, USAHAC.
Karena ada variabel yang tidak signifikan dan ada yang signifikan maka
pengolahan data diulang dengan hanya memasukkan variabel-variabel yang
signifikan saja. Setelah pengulangan, hasil uji Hosmer and Lemeshow
menunjukkan nilai yang lebih baik dari sebelumnya yaitu 0,952 sebagaimana
dapat dilihat pada Tabel 6. Ini berarti bahwa model logistic regression ini dapat
digunakan.
Tabel 6 Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig. 1 2,704 8 ,952
Dari Tabel 7 diketahui bahwa variabel-variabel berupa tingkat bunga (BUNGA),
jenis agunan (JNSTB), nilai agunan (NILAGC), pengulangan kredit (ULANG), kondisi
debtur (KONDB, KONDC, dan KONDD), pengelolaan administrasi kredit (ADM), dan
kondisi usaha (USAHAC) signifikan yang berarti dapat digunakan untuk
menentukan kolektibilitas kredit. Jika variabel-variabel yang signifikan ini diuji
dengan multiple linear regression menghasilkan nilai adjusted R square sebesar
29
41,4%. Artinya 41,4% variance dari kolektibilitas kredit dapat dijelaskan oleh
kesembilan variabel predictors ini.
Tabel 7
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 1(a)
BUNGA ,363 ,163 4,950 1 ,026 1,438
JNSTB ,821 ,209 15,486 1 ,000 2,272 NILAIAGC -1,211 ,296 16,750 1 ,000 ,298 ULANG -,295 ,081 13,137 1 ,000 ,745 KONDISB 1,842 ,563 10,712 1 ,001 6,310 KONDISC 1,349 ,476 8,029 1 ,005 3,855 KONDISD -1,414 ,308 21,089 1 ,000 ,243 ADM ,415 ,198 4,408 1 ,036 1,514 USAHAC 2,224 ,212 110,04
6 1 ,000 9,242
Constant ,748 ,511 2,141 1 ,143 2,112 a Variable(s) entered on step 1: BUNGA, JNSTB, NILAIAGC, ULANG, KONDISB, KONDISC, KONDISD, ADM, USAHAC.
Model regresi logistik yang dihasilkan dari hasil pengolahan data ini disebut
sebagai MODEL PENENTU KOLEKTIBILITAS KREDIT dengan persamaan sebagai
berikut (nilai constant tidak dimasukkan oleh karena tidak signifikan):
YK = 0,363X1 + 0,821X2 – 1,211X3 – 0,295X4 + 1,842X5 + 1,349X6 –
1,414X7 + 0,415X8 + 2,224X9
Dimana:
YK = Probabilitas kolektibilitas kredit menjadi tidak lancar.
X1 = Tingkat bunga. Besarnya tingkat bunga yang dikenakan
pada kredit yang diterima nasabah. Tingkat bunga ini
dinyatakan dalam persentasi angka dan bukan dalam
desimal.
X2 = Jenis agunan. Jika agunan menggunakan tanah atau tanah
dan bangunan, nilai yang diberikan 1 jika tidak 0.
X3 = Nilai agunan. Jika nilai agunan lebih besar dari nilai kredit,
nilai yang diberikan 1 jika tidak 0.
30
X4 = Pengulangan kredit. Jika kredit yang diterima merupakan
pengulangan, nilai yang diberikan 1 jika tidak 0.
X5 = Masalah keluarga. Jika debitur memiliki masalah keluarga
yang serius, nilai yang diberikan 1 jika tidak 0.
X6 = Kehilangan pekerjaan (PHK)/bisnis bangkrut. Jika debitur
kehilangan pekerjaan atau bisnis debitur bangkrut, nilai yang
diberikan 1 jika tidak 0.
X7 = Integritas debitur. Jika debitur punya etikat untuk
mengembalikan kredit, nilai yang diberikan 1 jika tidak 0.
X8 = Pengelolaan administrasi kredit. Jika debitur
menggabungkan administrasi keuangan kredit dengan
administrasi keuangan pribadi, nilai yang diberikan 1 jika
tidak 0.
X9 = Persaingan. Jika usaha debitur mengalami persaingan yang
serius, nilai yang diberikan 1 jika tidak 0.
Interpretasi Model Prediksi Kolektibilitas Kredit
Tingkat Bunga (X1)
Meningkatkan bunga pinjaman akan membuat kredit semakin tidak lancar. Jika
tingkat bunga dinaikkan 1% saja ada kemungkinan 36,3% kredit tersebut tidak
lancar.
Jenis Angsuran (X2)
Kredit yang diagunkan dengan tanah lebih tidak lancar jika dibandingkan dengan
kredit yang diagunkan dengan agunan yang lain selain tanah atau bahkan tanpa
agunan sama sekali dengan probabilitas 82,1%. Mengapa demikian? Bagi BPR,
agunan dengan tanah atau tanah dan bangunan dianggap lebih aman jika
dibandingkan dengan agunan yang lain karena jika kredit tidak tertagih agunan
dapat dijual untuk menggantikan kredit yang tak tertagih tersebut dengan nilai
yang kurang lebih sama atau bahkan lebih besar sehingga pada saat pemberian
kredit, selama agunan mencukupi, kredit cenderung diberikan tanpa banyak
31
mempertimbangkan faktor lainnya seperti potensi usaha, kondisi persaingan, dan
karakter debitur. Ternyata tidak mudah bagi BPR untuk menyita agunan oleh
karena biaya yang dikeluarkan justru sangat besar. Bahkan dari in-depth
interview diketahui kalau ada legalitas agunan yang tidak jelas sehingga
mempersulit eksekusi jika kredit ternyata macet. Akhirnya pihak bank
membiarkan kredit tersebut dan berusaha untuk menagih daripada menyita
agunan dan ini yang membuat rasio NPL BPR yang lebih tinggi pada kredit-kredit
yang diagunkan dengan tanah atau tanah dan bangunan.
Bank ketika memberikan kredit yang tanpa agunan atau dengan agunan lain
selain tanah lebih berhati-hati sehingga kreditnya cenderung lebih baik daripada
kredit yang diagunkan dengan tanah/tanah dan bangunan.
Nilai Agunan (X3)
Kredit yang agunannya lebih besar dari nilai kreditnya memiliki kemungkinan
kolektibilitas 1,2 kali lebih lancar dari kredit yang agunannya sama atau lebih
kecil dari nilai kreditnya. Ini berlaku untuk bentuk agunan apa saja.
Pengulangan Kredit (X4)
Kredit yang diulang lebih lancar dibandingkan dengan kredit perdana. Ada
kemungkinan 29,5% kredit yang diulang lebih lancar dari kredit perdana. Kredit
yang diulang berarti nasabah telah melunasi kredit sebelumnya, sehingga
kemungkinan kredit pengulangan ini lebih lancar dibandingkan dengan kredit
yang masih pertama kali (perdana) karena integritas debitur pada umumnya
sudah diketahui oleh BPR.
Masalah Keluarga (X5)
Kolektibilitas kredit akan lebih buruk pada debitur yang memiliki masalah
keluarga yang serius. Kemungkinan kolektibilitas kredit tidak lancar pada debitur
yang memiliki masalah keluarga yang serius 1,84 kali dari mereka yang tidak
memiliki masalah keluarga yang serius. Dengan demikian penting bagi BPR
32
untuk memperhatikan masalah keluarga calon debitur sebelum kredit disetujui,
tentu jika hal ini memungkinkan.
33
Kehilangan Pekerjaan/Bangkrut (X6)
Kemungkinan besar kredit akan macet pada debitur yang kehilangan pekerjaan
atau usahanya bangkrut. Kolektibilitas kredit pada debitur yang kehilangan
pekerjaan atau usahanya bangkrut 1,35 kali lebih buruk dari yang tidak
kehilangan pekerjaan atau usahanya bangkrut. Ini menunjukkan bahwa banyak
kredit yang tidak lancar dikarenakan usaha debitur bangkrut atau debitur
kehilangan pekerjaan jika kreditnya kredit konsumtif. BPR harus cukup jeli untuk
melihat risiko bisnis debitur apakah memiliki kemungkinan bangkrut yang cukup
besar atau kemungkinan hilang pekerjaan yang cukup besar sehingga lebih
berhati-hati dalam memberikan kredit.
Integritas (X7)
Integritas debitur sangat penting mengingat kolektibilitas kredit dari debitur yang
tidak memiliki itikad baik untuk mengembalikan kredit 1,4 kali lebih buruk dari
mereka yang punya itikad baik untuk mengembalikan kreditnya.
Administrasi Keuangan Kredit (X8)
Lebih baik memisahkan administrasi keuangan kredit dari pada menggabungkan
dengan administrasi keuangan keluarga karena debitur yang memisahkan
administrasi keuangan kredit dengan keuangan keluarga mempunyai
kemungkinan 41,5% lebih lancar kolektibilitas kreditnya dari debitur yang
menggabungkan administrasi keuangan kredit dengan keuangan keluarga.
Persaingan (X9)
Persaingan adalah variabel yang paling besar pengaruhnya pada kolektibilitas
kredit. Kolektibilitas kredit debitur yang memiliki usaha dengan persaingan yang
serius 2,2 kali lebih buruk dibandingkan yang tidak punya persaingan bisnis yang
serius. Nampaknya sangat penting bagi BPR untuk memperhatikan faktor
persaingan dalam proses persetujuan kredit.
34
Analisa Data In-Depth Interview
In-depth interview dilakukan melalui focus group discussion di 5 wilayah di
Indonesia. Data dari in-depth interview ini kemudian dianalisa untuk mengetahui
penyebab NPL BPR. Analisa dilakukan dengan mengelompokkan penyebab NPL
dari faktor-faktor menyangkut kondisi internal BPR dan menyangkut kondisi
eksternal BPR.
Penyebab NPL dari Kondisi Internal
Para direktur dan komisaris BPR termasuk juga para pengawas BPR Bank
Indonesia adalah pihak-pihak yang paling mengetahui kondisi internal BPR.
Untuk mendapatkan informasi tentang faktor-faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi rasio NPL BPR, dilakukan wawancara mendalam (in-depth
interview) kepada para direksi, komisaris, dan terutama pengawas-pengawas BPR
Bank Indonesia. Wawancara dilakukan dalam bentuk focus group discussion
(FGD).
Dari hasil beberapa kali FGD diperoleh 8 kelompok variabel internal BPR yang
dianggap berpengaruh pada rasio NPL BPR seperti yang dapat dilihat pada
Lampiran 3. Kedelapan faktor ini adalah (1) Proses Persetujuan Kredit, (2) Syarat
Pemberian Kredit, (3) Proses Penagihan, (4) Strategi Pemasaran, (5) Peran
Pemilik/Pengelola, (6) Kapasitas AO, (7) Proses Pengendalian, dan (8) Linkage
Program.
Proses Persetujuan Kredit
Beberapa persoalan menyangkut proses persetujuan kredit terungkap dari in-
depth interview yang dilakukan terutama kepada para pengawas BPR Bank
Indonesia. Diketahui bahwa BPR dengan rasio NPL yang tinggi pada umumnya
memberikan kredit tidak melalui prosedur yang benar. Ada tiga aspek pada
proses persetujuan kredit yang dilakukan dengan tidak benar yang teridentifikasi
yaitu pada aspek (a) wewenang, (b) intervensi, dan (c) pengendalian.
35
Wewenang. Wewenang memutuskan dan mencairkan kredit seharusnya
mengikuti prosedur yang sehat diantaranya ada jenjang persetujuan kredit. Kredit
dengan jumlah tertentu cukup disetujui pada tingkat manajer sedangkan pada
jumlah tertentu disetujui pada tingkat direktur, seterusnya sampai pada tingkat
komite kredit. Namun, didapati bahwa beberapa BPR yang rasio NPL-nya tinggi
karena wewenang menyetujui dan mencairkan kredit dilakukan diluar jenjang
persetujuan kredit internal manajemen BPR. Misalnya diketahui ada BPR yang
kreditnya diputuskan dan dicairkan di pos pelayanan.
Ada juga BPR yang bekerja sama dengan kantor pos untuk menagih angsuran
kredit pensiunan. Pembayaran pensiunnya dilakukan lewat kantor pos dimana
kantor pos akan memotong dari gaji sebesar angsuran kreditnya. Namun
ternyata kantor pos bukan saja berperan sebagai penagih tetapi dapat
memutuskan untuk memberikan kredit. Kredit yang diputuskan oleh kantor pos
menjadi tidak lancar oleh karena kantor pos bukan institusi yang memiliki
kompetensi dalam menganalisa dan memutuskan kredit. Disamping itu, kantor
pos tidak menanggung risiko kredit sehingga memungkinkan dalam pemberian
kredit tidak dilakukan analisa yang benar dan teliti.
Demikian pula BPR yang bekerja sama dengan koperasi dalam memberikan dan
menagih kredit. Ketika koperasi diberikan wewenang untuk memutuskan
persetujuan kredit, disini kredit menjadi bermasalah. Koperasi akan mendanai
kredit yang baik sedangkan kredit yang bermasalah diberikan kepada BPR.
Dengan demikian BPR yang menanggung kredit yang bermasalah ini.
Jenjang persetujuan kredit apakah cukup disetujui sampai pada tingkat manager,
atau harus sampai tingkat direksi dan seterusnya sampai tingkat komite kredit
diteliti pada 223 BPR. Dengan tingkat keyakinan 90% ternyata tidak ada
hubungan yang signifikan terhadap rasio NPL. Apakah pemberian kredit perlu
berjenjang atau seluruhnya harus disetujui oleh direksi atau komite kredit
ternyata tidak berpengaruh pada rasio NPL. Hal ini mungkin terjadi oleh karena
alat analisa yang digunakan baik pada manajemen tingkat bawah maupun pada
tingkat yang lebih tinggi sama sehingga apakah persetujuan kredit berjenjang
tidak berpengaruh pada rasio NPL. Namun diketahui pula kalau ada BPR yang
berbentuk perusahaan daerah (PD) memberikan insentif kepada para
36
manajemen-nya atas kredit yang diberikan. Semakin banyak kredit yang
diberikan semakin besar insentif yang diterima. Ini membuat manajemen
berusaha untuk sebanyak-banyaknya menyetujui kredit tanpa memperhatikan
dengan teliti kelayakannya. Dengan cara seperti ini justru membuat rasio NPL di
BPR ini menjadi sangat besar. Jika demikian maka jenjang persetujuan kredit
diperlukan supaya ada kontrol pada level yang lebih tinggi untuk menghindari
pemberian kredit yang tidak sesuai terutama jika jumlahnya besar. Cara lain yang
bisa dilakukan adalah dengan memberikan insentif berdasarkan kredit yang
lancar dan bukan kredit yang diberikan.
Nampaknya yang membuat rasio NPL tinggi bukan pada jenjang persetujuan
kredit internal manajemen BPR (apakah pemberian kredit perlu berjenjang mulai
dari manajer atau seluruhnya harus disetujui oleh direksi atau komite kredit)
tetapi justru apabila wewenang persetujuan kredit diberikan pada pihak diluar
internal manajemen BPR seperti diberikan pada kantor pos, koperasi, atau pada
pos pelayanan. Walaupun kantor pelayanan dapat dianggap sebagai bagian dari
internal BPR namun masih diluar internal manajemen BPR sehingga
memungkinkan rasio NPL yang tinggi.
Intervensi. Intervensi pemilik dan komisaris dalam pemberian kredit ditanyakan
kepada 223 BPR. Apakah pemilik atau komisaris ikut memberikan rekomendasi
calon debitur tertentu berpengaruh pada rasio NPL BPR? Dengan tingkat
keyakinan 90% didapati bahwa tidak ada hubungan yang signifikan. Pemilik
ataupun komisaris bisa saja ikut atau tidak ikut campur dalam memberikan
rekomendasi calon debitur yang akan dibiayai.
Namun dari hasil in-depth interveiw kepada para pengawas BPR Bank Indonesia
diketahui kalau BPR yang berbentuk perusahaan daerah (PD) sering kali memiliki
rasio NPL yang tinggi oleh karena intervensi pemilik (dalam hal ini pemerintah
daerah) dalam pemberian kredit.
Pemerintah Daerah (Pemda) merasa memiliki BPR PD namun tidak perduli
apakah BPR tersebut akan untung atau rugi sebab jika rugi, BPR akan meminta
pembiayaan dari pemerintah. Itu sebabnya, debitur yang direkomendasikan
Pemda dengan debitur yang direkomendasi pemilik atau komisaris BPR yang non
PD berbeda. Pemilik atau komisaris BPR non PD pada umumnya
37
merekomendasikan debitur yang baik mengingat jika BPRnya rugi dia juga
sebagai pemilik atau komisaris akan rugi. Namun berbeda jika pemiliknya
pemda. Pemda cenderung merekomendasikan debitur yang mempunyai
hubungan-hubungan istimewa tertentu walaupun debitur tersebut sebenarnya
tidak layak mendapatkan kredit. Itu sebabnya intervensi pemilik BPR PD (dalam
hal ini Pemda) cenderung membuat rasio NPL lebih besar. Sedangkan intervensi
pemilik atau komisaris BPR pada umumnya (sebagian besar berbentuk perseroan
terbatas) tidak berpengaruh pada rasio NPL.
Pengendalian. Dari hasil in-depth interview diketahui kalau ada BPR yang
memberikan kredit kepada debitur tanpa memeriksa dengan benar apakah
usulan pinjaman kredit tersebut sudah benar. Dalam hal ini BPR lepas kendali.
Kredit menjadi macet oleh karena ternyata nama-nama karyawan yang diajukan
untuk mendapatkan kredit sebenarnya sudah mendapatkan kredit dari bank lain
dan nama mereka digunakan untuk diajukan lagi di BPR. Hal ini bisa terjadi
karena ketidak mampuan BPR dalam mengecek calon debiturnya. Diperlukan
prosedur pengendalian yang baik dimana dalam prosedur tersebut dimasukkan
pengecekan pada calon debitur. Dari in-depth interview diketahui kalau banyak
BPR yang prosedur pemberian kreditnya masih sangat lemah. Ditambah lagi,
lemahnya fungsi dewan komisaris dan dewan pengawas. Akan menjadi lebih
parah lagi jika insentif bagi manajemen diberikan atas dasar banyaknya kredit
yang diberikan sehingga cenderung untuk memberikan lebih banyak kredit tanpa
pengendalian yang baik. Permasalahan ini bisa diatasi jika BPR memiliki
prosedur pemberian kredit yang baik, dan dewan komisaris/dewan pengawas
menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik.
Syarat Pemberian Kredit
Menyangkut syarat pemberian kredit, diketahui kalau banyak BPR dengan rasio
NPL yang tinggi memberikan kredit tidak mengikuti syarat 5C yang benar. Kredit
tidak memiliki agunan yang sesuai (collateral), integritas debitur yang kurang
baik (character), dan kapasitas pengembalian yang kurang (capacity).
Agunan. Beberapa BPR dengan rasio NPL yang tinggi mensyaratkan agunan yang
tidak sesuai. Nilai agunan lebih kecil dari nilai kredit. Khusus pada pemberian
38
kredit motor-motor buatan China (mochin) banyak yang macet oleh karena nilai
motor setelah beberapa lama menjadi lebih kecil dari nilai kredit. Ketika pemilik
motor mendapat kesulitan membayar cicilan, mereka cenderung untuk
membiarkan motor diambil dari pada berusaha untuk mengembalikan kreditnya.
Dengan demikian rasio NPL menjadi tinggi. Namun didapati pula kalau BPR
dengan rasio NPL yang kecil karena mensyaratkan agunan yang bergerak.
Ternyata agunan yang bergerak lebih mudah dilikuidasi.
Dengan demikian, penggunaan agunan yang bergerak lebih baik selama nilai
agunannya lebih besar dari nilai kredit. Jika tidak, debitur cenderung membiarkan
agunannya disita pada saat mendapatkan kesulitan membayar angsuran.
Karakter. Dari in-depth interview terungkap kalau ada cukup banyak debitur yang
integritasnya kurang baik. Debitur dengan sengaja tidak mau memenuhi
kewajibannya kepada bank. Bahkan ada yang merasa bahwa kredit yang
diberikan itu sebagai pemberian dan tidak harus dikembalikan.
Beberapa BPR nampaknya belum memiliki keahlian yang diperlukan atau
alat/metode untuk mendeteksi integritas debitur sehingga memungkinkan cukup
banyak debitur yang sebenarnya tidak mempunyai keinginan untuk
mengembalikan pinjamannya diberikan kredit. Dari in-depth interview diketahui
memang terungkap banyak BPR yang tidak memiliki sumber daya manusia (SDM)
yang kompeten.
Namun ada juga yang sukses menangani permasalahan karakter ini. Ada direktur
BPR yang memanggil calon debitur sebelum diberikan kredit untuk diberikan
penjelasan secara pribadi bahwa hutang harus dibayar dan jika tidak akan
diberikan sangsi. Sangsi benar-benar dilaksanakan jika debitur lalai membayar
angsuran. Cara ini dilakukan untuk mengantisipasi debitur yang menganggap
bahwa kredit yang diberikan itu tidak perlu dikembalikan. BPR dengan cara
seperti ini ternyata memiliki rasio NPL yang hampir nihil.
Kapasitas. Kemampuan debitur mengembalikan kredit tergantung pada
penghasilannya. Ketika penghasilan tidak sesuai dengan yang diharapkan, kredit
menjadi tidak lancar yang menyebabkan rasio NPL BPR meningkat. Ditemukan
39
ada beberapa BPR yang rasio NPLnya tinggi karena debiturnya petani atau
nelayan yang gagal panen. Namun dari hasil kuesioner yang diberikan pada
sampel BPR diketahui bahwa tidak semua debitur yang tujuan kreditnya untuk
pertanian mengalami ketidak lancaran tagihan. Sehingga memang diperlukan AO
yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai mengenai sektor
tertentu.
Dari in-depth interview dapat teridentifikasi tiga ”C” dari 5C seperti yang
diutarakan diatas. Untuk mengetahui prioritas ”C” mana yang lebih diutamakan
dalam menentukan syarat kredit, pertanyaan diajukan kepada sampel BPR untuk
melihat kalau ada hubungan yang signifikan antara syarat utama pemberian
kredit yang diberlakukan BPR dengan rasio NPL. Ternyata pada tingkat keyakinan
90%, tidak ada hubungan antara syarat pemberian kredit dan rasio NPL. Ini
berarti apakah BPR mensyaratkan kesanggupan debitur memperoleh pendapatan
(capacity) lebih utama dari integritas debitur (character) atau sebaliknya tidak
berpengaruh pada rasio NPL BPR demikian juga untuk ”C” yang lainnya. Namun,
ini hanya berlaku selama syarat 5C digunakan. Jika syarat 5C diabaikan ada
kemungkinan rasio NPL meningkat sebagaimana yang terungkap dari in-depth
interview.
Proses Penagihan
Proses penagihan berhubungan dengan: (a) cara pembayaran angsuran, dan (b)
perlakuan terhadap personel yang terlibat dalam penagihan.
Cara Pembayaran Angsuran. Beberapa BPR bekerjasama dengan kantor pos
dalam proses pembayaran angsuran kredit. Kantor pos memotong langsung
angsuran kredit dari gaji yang akan diambil oleh karyawan (khususnya para
pensiunan) di kantor pos. Permasalahan yang membuat rasio NPL BPR
meningkat adalah kantor pos tidak secara otomatis memotong angsuran setiap
bulan. Angsuran dipotong hanya pada saat debitur mengambil gajinya.
Bagaimana jika gajinya diambil setelah enam bulan? Angsuran kredit akan
tertunggak sampai enam bulan tersebut.
40
Selain itu, ada beberapa debitur yang lokasinya jauh dari BPR sehingga
menimbulkan kesulitan ketika akan membayar angsuran kredit setiap bulan
apalagi jika dia harus menyetor langsung ke BPR. Itu sebabnya ada beberapa
BPR yang sukses menurunkan rasio NPL karena penagihan kredit dilakukan
secara menjemput bola. Namun ternyata ”menjemput bola” ini bisa menjadi
bumerang apabila pengawasan bank terhadap account officer (AO) lemah.
Ditambah lagi jika penempatan AO pada suatu lokasi tidak berubah-ubah. Fraud
bisa saja dilakukan oleh AO tersebut. Selain itu, tagihan dengan menjemput bola
ini harus dilakukan secara konsisten oleh karena jika AO lalai, debitur cenderung
tidak akan ke BPR untuk melunasi angsurannya karena berharap tagihannya
akan dijemput.
Hubungan antara cara pembayaran angsuran dan rasio NPL diteliti pada 223 BPR
dengan tingkat keyakinan 90%, didapati bahwa ada hubungan yang signifikan
antara cara pembayaran dan rasio NPL.
BPR yang melakukan pembayaran dengan jemput bola justru membuat rasio NPL
meningkat sebesar 24,8% dengan asumsi variabel-variabel lainnya yang
berpengaruh pada rasio NPL tetap. Hal ini dapat terjadi oleh karena sebagian
besar BPR yang melakukan jemput bola kemungkinan lemah dalam pengawasan
pada petugas penagih dan penempatan yang tidak pernah berubah-ubah
sehingga memungkinkan timbulnya fraud yang seterusnya menyebabkan rasio
NPL justru meningkat. Diperparah lagi jika kunjungan petugas penagih tidak rutin
menyebabkan angsuran beberapa kredit terkesan tidak lancar bukan karena
debitur yang tidak mau membayar tetapi petugas tidak menjemput angsuran
tersebut.
Angsuran kredit yang dilakukan dengan memotong langsung dari gaji (pada
debitur karyawan) atau dengan memotong langsung dari tabungan debitur
(debitur yang memiliki tabungan) dapat menurunkan rasio NPL sebesar 11,6%
dengan asumsi variabel-variabel lain yang berpengaruh pada rasio NPL tetap dan
sistem pembayaran seperti ini dilakukan oleh sebagian debitur dari BPR tersebut.
Apabila hanya sebagian kecil debitur yang melakukan pembayaran seperti ini
maka dampaknya pada rasio NPL akan lebih kecil dari 11,6%. Dengan
memotong langsung pada tabungan atau gaji, permasalahan keengganan debitur
41
untuk pergi membayar langsung ke BPR karena lokasi yang jauh menjadi tidak
bermasalah. Demikian pula kemungkinan fraud yang bisa dilakukan oleh petugas
penagih menjadi tidak ada.
Perlakuan AO. Diketahui bahwa kunjungan yang rutin AO kepada debitur dalam
memantau penggunaan kredit akan dapat memperkecil rasio NPL BPR. BPR
yang tidak melakukan pembinaan dan pemantauan penggunaan kredit baru
menyadari setelah kredit menjadi tidak lancar dan sudah terlambat. Pembinaan
harus sudah dilakukan sebelum kredit menjadi tidak lancar agar kredit tersebut
bisa tetap lancar. Demikian pula komunikasi yang baik antara BPR dan debitur
yang dilakukan oleh AO berdampak pada rasio NPL yang lebih kecil.
Kunjungan rutin AO dalam memantau penggunaan kredit dan komunikasi yang
baik hanya dapat dilakukan dengan efektif jika AO tersebut termotivasi. BPR
yang memberikan insentif kepada AO atas kredit yang tertagih akan termotivasi
untuk melakukan pemantauan dan komunikasi dengan baik sehingga dapat
menurunkan rasio NPL dengan probability sebesar 15,4%.
Strategi Pemasaran
Aspek strategi pemasaran yang terungkap dari in-depth interview kepada
pengawas BPR Bank Indonesia adalah menyangkut target market kredit
berkelompok. Diketahui kalau kredit yang diberikan berkelompok kepada
mereka yang mempunyai usaha misalnya pertanian atau perkebunan, sesuai
dengan hasil in-depth interview membuat rasio NPL BPR lebih baik oleh karena
dengan target market seperti ini kredit menjadi lebih mudah tertagih. Selama
penyebaran anggotanya tidak terlalu jauh kredit berkelompok baik namun jika
penyebaran anggota dalam satu kelompok jauh satu sama lain, kredit
berkelompok tidak efektif karena jika terlalu jauh dan pembayaran angsuran
dengan menyetor langsung ke BPR akan berpengaruh pada kelancaran
pembayaran.
42
Peran Pemilik/Pengelola
Dari hasil in-depth interview diketahui bahwa pemilik dan pengelola BPR berperan
dalam memperburuk atau memperbaiki rasio NPL. Peran pemilik maupun
pengelola terutama menyangkut integritas, kompetensi, dan pengawasan.
Integritas. Rekayasa kredit fiktif, pencatatan palsu, dan pemberian kredit yang
melanggar prinsip kehati-hatian dilakukan oleh pengelola BPR lebih dikarenakan
faktor integritas. Pengola memang tidak memiliki etikad yang baik dalam
menjalankan BPR. Hal-hal seperti ini ditemukan pemeriksa Bank Indonesia di
beberapa BPR.
Kompetensi. Pada umumnya kualitas sumber daya manusia (SDM) BPR
sebagaimana yang terungkap pada saat in-depth interview lemah. Ini
kemungkinan disebabkan karena insentif yang diberikan tidak menarik. Itu
sebabnya SDM yang berkualitas cenderung tidak tertarik bekerja di BPR. Kecuali
pada beberapa BPR yang sanggup memberikan insentif yang menarik kepada
pengelolanya.
Peran direktur dalam mengelola debiturnya cukup signifikan mengingat BPR
dengan tingkat perputaran direksi yang besar berdampak pada rasio NPL.
Semakin tinggi perputaran direksi cenderung menunjukkan semakin tinggi pula
rasio NPL dari BPR tersebut.
Pengawasan. Didapati beberapa koperasi memberikan kredit yang bermasalah
kepada BPR sehingga BPR yang menanggung ketidak lancaran pembayaran
angsuran kredit tersebut. Hal ini terjadi oleh karena pengelola BPR adalah juga
pengurus koperasi. Fungsi pengawasan komisaris sebagai pengelola BPR
menjadi tidak berfungsi oleh karena rangkap jabatan yang memiliki conflict of
interest.
Demikian juga didapati bahwa ada pengurus BPR yang memiliki usaha
sampingan sehingga dalam mengelola BPR tidak serius.
43
Peran Account Officer (AO)
Account officer (AO) memiliki peran yang cukup penting dalam suatu BPR oleh
karena AO-lah yang mengelola dan memelihara debitur. Dari in-depth interview
terungkap beberapa aspek kualitas dan kuantitas AO.
Kualitas. Didapati kalau kualitas SDM AO pada umumnya rendah. Rendahnya
kualitas SDM ini bukan karena tingkat pendidikan tetapi pada pemahaman atas
praktek-praktek perbankan. Dari sampel BPR yang diteliti didapati bahwa tidak
ada hubungan yang berarti antara tingkat pendidikan AO dan rasio NPL.
Demikian pula dengan keberadaan pelatihan, apakah ada tidaknya pelatihan
pada AO yang diberikan BPR tidak berdampak pada rasio NPL. Temuan Ini
menunjukkan kalau tingkat pendidikan AO apakah lulus SMP, SMA, atau diploma
belum dapat memberikan sumbangan pada perbaikan NPL. Jika pelatihan yang
diberikan tidak berpengaruh pada semakin baiknya rasio NPL bukan berarti
bahwa keberadaan pelatihan tidak diperlukan tetapi materi dari pelatihan
tersebut yang mungkin perlu diperbaiki. Perlu diketahui apakah materi pelatihan
sudah sesuai dengan kebutuhan AO dalam usaha memperbaiki rasio NPL.
Terungkap dari hasil in-depth interview kalau pelatihan staf kredit di BPR sangat
lemah. Petugas kredit masih banyak yang kurang memahami prosedur
pemberian kredit.
Kuantitas. Di beberapa BPR khususnya yang berbentuk PD, terdapat jumlah SDM
yang cukup banyak. Jumlah yang banyak ini ternyata tidak dapat memperbaiki
rasio NPL malah justru meningkatkan rasio NPL. Jumlah SDM yang banyak ini
dikarenakan titipan dari Pemda. Dengan jumlah SDM yang banyak ini justru
memperumit birokrasi persetujuan maupun penagihan kredit sehingga rasio NPL
di BPR tersebut justru tinggi.
44
Proses Pengendalian
Pada umumnya BPR tidak memiliki internal control yang baik karena ukurannya
yang kecil. Jumlah personel yang sedikit tidak memungkinkan terlaksananya
sistem internal control yang baik. Dari hasil in-depth interview diketahui kalau
sistem internal control yang tidak baik ini yang turut membuat rasio NPL BPR
menjadi semakin besar.
Ditambah lagi, beberapa BPR tidak mempunyai action plan penyelesaian kredit
yang bermasalah. Ini yang membuat semakin besarnya rasio NPL di BPR-BPR
tersebut.
Linkage Program
Dari hasil in-depth interview diketahui kalau BPR pada umumnya mengejar target
sehingga asal memberikan kredit dari linkage program ini. Namun, dari hasil
penelitian pada sampel BPR didapati bahwa BPR yang menjalankan linkage
program justru cenderung memiliki rasio NPL yang lebih kecil dibandingkan
mereka yang tidak menjalankan linkage program. Namun bisa saja sebaliknya
bahwa bank umum hanya mau bekerja sama dengan BPR yang memiliki rasio
NPL yang kecil sehingga seolah-olah linkage program membuat NPL lebih kecil.
Walaupun demikian, linkage program dapat digunakan sebagai indikator NPL
yang lebih kecil.
Penyebab NPL dari Kondisi Eksternal
Kolektibilitas kredit ditentukan oleh sedikitnya dua aspek yaitu aspek debitur dan
aspek lingkungan. Kedua aspek ini merupakan kondisi eksternal BPR.
Ada 5 variabel penting dari aspek debitur yaitu (1) profil kredit yang diterima
debitur, (2) kategori kredit yang diterima debitur, (3) pemanfaatan kredit oleh
debitur, (4) keadaan debitur, dan (5) pengolahan administrasi kredit yang
dilakukan debitur. Sedangkan aspek lingkungan menyangkut variabel (6)
persaingan, dan (7) kondisi usaha.
45
Profil Kredit
Dari hasil in-depth interview ada yang menemukan kalau plafon dibawah Rp 5
juta rupiah lebih lancar kolektibilitasnya dibandingkan kredit dengan plafon yang
lebih besar. Namun ada juga yang menemukan kalau kredit pada BPR yang
berbentuk PT justru tidak lancar pada plafon dibawah Rp 5 juta dan yang lancar
kolektibilitas kreditnya dibawah Rp 5 juta adalah BPR milik Pemda (PD).
Selanjutnya, diketahui kalau ada BPR yang sengaja menciptakan kredit yang
kecil-kecil karena Bank Indonesia cuma memeriksa kredit yang besar, bahkan
sengaja dimacetkan karena NPL sehat syaratnya terlalu tinggi.
Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara besarnya plafon dengan tingkat
kolektibilitas kredit, data dari 917 debitur dikumpulkan. Ternyata setelah diuji
dengan tingkat keyakinan 90% tidak ada hubungan yang berarti antara besarnya
plafon dan tingkat kolektibilitas kredit. Itu berarti bahwa memang ada sebagian
kredit dengan plafon dibawah Rp 5 juta yang kolektibilitasnya lancar dan ada pula
sebagian lagi yang kolektibilitasnya justru tidak lancar.
Kategori Kredit
Kredit dapat dikategorikan sebagai kredit berkelompok atau berdiri sendiri, kredit
dengan atau tanpa agunan, dan kredit dengan atau tanpa asuransi.
Kelompok. Disebagian daerah kredit berkelompok lebih lancar kolektibilitasnya
dibandingkan kredit berdiri sendiri, namun pada sebagian daerah yang lain
didapati bahwa kredit berkelompok justru kolektibilitasnya tidak lancar. Dengan
demikian apakah kredit berkelompok atau tidak, tidak berpengaruh pada tingkat
kolektibilitas kredit.
Agunan. Sebagian kredit diberikan dengan agunan dan sebagian lagi tanpa
agunan. Dari in-depth interview terungkap kalau kredit dengan agunan motor
China (mochin) cenderung tidak lancar.
46
Didapati pula kalau beberapa kredit agunannya tidak jelas. Bahkan didapati ada
kredit yang diagunkan dengan tanah kuburan tanpa diketahui oleh BPR. Selain
itu, beberapa agunan yang legalitasnya tidak jelas sehingga sulit dieksekusi
apabila kreditnya macet.
Untuk mengetahui apakah jenis agunan berpengaruh pada kolektibilitas kredit,
data dari 917 debitur dianalisa dengan tingkat keyakinan 90% dan didapati kalau
kredit yang diangunkan dengan tanah atau tanah dan bangunan justru
kemungkinan besar tidak lancar dengan probability sebesar 82,1% dibandingkan
jika kredit diagunkan dengan bentuk agunan yang lain atau yang tidak diagunkan
(interpretasi lebih lanjut pada analisa tentang model penentu kolektibilitas). Juga
didapati kalau besar nilai agunan menentukan tingkat kolektibilitas kredit.
Agunan yang nilainya lebih besar dari nilai kredit cenderung lebih lancar jika
dibandingkan agunan yang nilainya lebih kecil dari nilai kredit.
Asuransi. Diketahui kalau beberapa kredit yang kolektibilitasnya lancar adalah
kredit yang diasuransikan. Dengan diasuransikannya kredit, pihak asuransi juga
turut menilai kredit tersebut dan tentu pihak asuransi akan cenderung
memberikan perlindungan pada kredit yang diketahui kolektibilitasnya lancar.
Pemanfaatan Kredit
Didapati bahwa ada sebagian debitur yang menyalah gunakan kredit yang
diberikan. Kredit diperuntukkan pada tujuan yang berbeda dengan usulan.
Perlakuan debitur seperti ini yang membuat kolektibilitas kredit tidak lancar.
Pada umumnya, kredit konsumtif karyawan yang angsurannya dipotong dari gaji,
kolektibilitasnya lancar. Namun didapati kasus debitur sudah mendapatkan
kredit dari bank umum dengan pembayaran melalui pemotongan gaji dan
meminta lagi dari BPR. Akhirnya, debitur tidak mampu mengembalikan
angsurannya.
47
Keadaan Debitur
Banyak ditemukan debitur yang memiliki kredit di tempat lain dan ini membuat
kolektibilitas kreditnya menjadi tidak lancar. Bahkan ada debitur yang
mendapatkan kredit lebih dari satu BPR. Hal ini dapat terjadi oleh karena BPR
tidak bisa memperoleh informasi jika calon debitur sudah memiliki kredit
ditempat lain.
Selanjutnya diketahui kalau beberapa debitur yang kolektibilitasnya tidak lancar
dikarenakan tidak memiliki tempat usaha yang tetap. Tempat usahanya
berpindah-pindah sehingga sulit bagi BPR untuk melacak sekiranya
kolektibilitasnya tidak lancar.
Pengelolaan Administrasi Kredit
Beberapa debitur diketahui menggabungkan administrasi kredit dengan
administrasi keuangan keluarga, terutama pada kredit dengan jumlah yang kecil.
Namun ada juga yang memisahkan urusan administrasi kredit dan administrasi
keuangan keluarga. Debitur yang memisahkan administrasi kredit dengan
administrasi keuangan keluarga memiliki tingkat kolektibilitas kredit yang lebih
baik dengan probabilitas sebesar 41,5% lebih baik dibandingkan administrasi
yang digabungkan.
48
HASIL TEMUAN PENYEBAB NPL
Berdasarkan hasil analisis kuantitatif dan FGD, berikut ini disajikan faktor-faktor
yang menjadi penyebab NPL di lingkungan BPR. Daftar berikut ini tidak disusun
terhadap besarnya kontribusi masing-masing faktor pada NPL. Susunan faktor-
faktor yang disajikan berikut ini disajikan dengan pendekatan proses bisnis
pemberian kredit.
Integritas Pemilik, Pengurus, dan Pegawai BPR
Hasil FGD di seluruh wilayah sampel menunjukkan adanya temuan berkaitan
dengan masalah integritas pihak internal BPR, baik komisaris, pengurus, maupun
pegawai BPR. Indikasi dominan ditunjukkan adanya intervensi pihak internal
sehingga terjadi penyimpangan kredit, antara lain: munculnya kredit fiktif dan
kepada pihak terkait tanpa melalui analisis kredit yang benar dan akurat dan
tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian, dan ditemukannya penyalahgunaan
kredit berupa kredit topengan atau transaksi tidak tercatat (unrecorded
transaction).
• Temuan di lapangan juga menunjukkan, terdapat kecenderungan bahwa
intervensi yang kuat oleh pemilik terhadap operasional BPR terjadi pada BPR
berstatus PD. Sebaliknya, intervensi pemilik relatif kecil di BPR berstatus
selain PD. Terdapat kemungkinan bahwa operasional BPR berstatus PD
terpengaruh oleh gaya birokrasi pemerintahan sedangkan BPR berstatus
bukan PD lebih berorientasi pada pendekatan bisnis.
• Selain status BPR, rendahnya integritas pemilik dan pengurus diperkuat oleh
tiga hal berikut. Pertama, ketidakjelasan atau ketidaktersediaan prosedur
baku dan pedoman dalam proses pemberian kredit. Termasuk di dalam
prosedur adalah penjenjangan wewenang dalam memutuskan kredit. Hal
tersebut membuka peluang pemilik dan pengurus untuk mencampuri
keputusan pemberian kredit yang tidak sepantasnya. Didapati ada pemilik
dan pengelola BPR yang juga pengurus koperasi yang memutuskan
49
memberikan kredit kepada nasabah yang sudah ditolak oleh koperasi. Hal ini
menyebabkan kredit menjadi tidak lancar. Kedua, tidak disiplinnya
pencatatan pemberian dan pelunasan kredit sehingga memudahkan pihak-
pihak yang terkait dengan pemutusan kredit untuk memanfaatkan celah
kelemahan tersebut. Misalnya ditemukan kredit topengan. Ketiga, kurangnya
perhatian dan pengawasan pemilik pada perkembangan BPR antara lain
karena kesibukan di luar BPR dan lokasi pemilik yang jauh dari BPR sehingga
pegawasan menjadi tidak efektif.
• Integritas pegawai BPR juga perlu mendapat perhatian. Beberapa indikasi
masalah integritas pegawai antara lain: terdapat kredit fiktif dan
penyalahgunaan kredit yang melibatkan pegawai, ditemukannya pelunasan
kredit yang tidak didukung bukti penerimaan setoran, ditemukannya angsuran
kredit yang tidak disetorkan ke bank oleh pegawai.
Kompetensi Pemilik dan Pengurus
• Juga terdapat indikasi adanya masalah kompetensi pemilik, pengurus, dan
pegawai di beberapa BPR. Kemungkinan terdapat masalah pemahaman
terhadap ketentuan perbankan, khususnya BPR, dan ketidaksanggupan
bertindak dengan cepat sehingga ketentuan-ketentuan tersebut tidak dapat
dipenuhi sesuai jadwal. Kurang terlibatnya komisaris dalam pengawasan
operasional BPR dan terjadinya kesalahan dalam pemutusan pemberian
kredit juga diduga sebagai akibat kurangnya kompetensi pengurus dalam hal
bisnis BPR, selain disebabkan karena integritas.
• Kompetensi pengurus BPR perlu mendapat perhatian supaya proses bisnis
BPR berjalan dengan baik. Temuan menunjukkan tiga hal pokok. Pertama,
kompetensi pengurus dalam hal manajemen strategi dan manajemen
operasional BPR perlu mendapat peningkatan. Salah satu indikasinya adalah
kekeliruan dalam menerapkan sistem insentif dalam penyaluran kredit yang
terlalu menekankan pada target penyalurannya tetapi kurang memperhatikan
unsur kehati-hatian. Hal tersebut mendorong penyaluran kredit secara kurang
hati-hati sehingga potensial menjadi NPL. Kedua, kompetensi dalam
perumusan prosedur dan kebijakan perkreditan. Peningkatan kompetensi ini
50
akan sangat membantu dalam meminimalisasi masalah integritas dan
pengelolaan bank oleh pihak internal BPR. Ketiga, pemahaman mengenai
pengawasan dan pendokumentasian transaksi juga perlu mendapat perhatian,
terutama dalam hal pendokumentasian transaksi pemberian kredit,
penagihan kredit, dan biaya representasi.
51
Pergantian Direksi
• Analisis kuantitatif menunjukkan, pergantian direksi karena keluar dari BPR
(turnover direksi) mempengaruhi NPL secara signifikan. Semakin sering direksi
keluar dan berganti, semakin tinggi nilai NPL.
• Penelitian tidak berhasil mendapatkan data lebih lanjut mengenai hubungan
antara pergantian direksi dengan NPL. Namun berdasarkan kebiasaan yang
terjadi di perusahaan keuangan, termasuk perbankan, karyawan kunci
perusahaan, termasuk direksi, mampu mempengaruhi nasabah untuk
mengikutinya. Dengan demikian, kemungkinan besar direksi yang keluar dan
berpindah ke bank lain cenderung mempengaruhi nasabah untuk ikut beralih
ke perusahaan direksi yang baru. Nasabah yang diajak berpindah hanya
nasabah yang baik sedangkan nasabah yang tidak baik dibiarkan berada di
BPR yang bersangkutan. Akibatnya, kualitas BPR secara rata-rata menurun
dan NPL cenderung meningkat.
• Dalam in-depth interview diketahui pula bahwa pergantian direksi dilakukan
oleh pemilik BPR karena kinerja BPR yang buruk antara lain ditandai dengan
rasio NPL yang tinggi. Direksi baru diharapkan dapat memperbaiki kinerja
BPR tersebut.
Kompetensi Pegawai BPR
• Masalah kompetensi pegawai BPR dapat dikategorikan ke dalam tiga
kelompok: masalah prosedur, penerapan 5C, pengawasan dan penanganan
kredit bermasalah, dan administrasi.
• Pertama, terdapat indikasi kurangnya pemahaman prosedur pemberian kredit
sehingga menjadi sumber potensi penyimpangan dan kesalahan penyaluran
kredit. Beberapa BPR memiliki sistem dan prosedur pemberian kredit namun
pegawai tidak dapat menjalankan prosedur tersebut dengan baik. Salah satu
sumber tingginya NPL adalah bila keputusan kredit melibatkan, bahkan
menyerahkan kepada kantorpos, koperasi, dan kantor pelayanan. Ditemukan
52
kasus, bahwa keputusan kredit dapat dibuat oleh kantor pos yang
bekerjasama dengan BPR sebagai tempat penagihan angsuran kredit
pensiunan. Yang dilakukan oleh kantor pos tentunya tidak mengikuti prosedur
pemberian kredit berdasarkan prinsip kehati-hatian. Ada juga BPR yang
bekerjasama dengan koperasi untuk menyalurkan kredit. Masalah yang
dihadapi adalah, ditemukan bahwa nasabah yang baik diberi kredit oleh
koperasi yang bersangkutan sedangkan nasabah yang kurang baik diserahkan
ke BPR untuk mendapatkan kredit. Hal ini sangat potensial menimbulkan NPL.
• Kedua, kurangnya pemahaman dalam melakukan analisis kredit, yaitu dalam
hal menerapkan prinsip 5C dalam melakukan analisis. Kekurangan
pemahaman ini menyebabkan pegawai menekankan pada ketersediaan dan
nilai agunan. Namun demikian, penilaian dan penetapan agunan pun tidak
selalu akurat untuk mengatasi recovery rate bila terjadi gagal bayar,
khususnya bila agunan berupa sepeda motor. Untuk beberapa kasus, nilai
kredit yang masih tertunggak lebih besar dari nilai pasar sepeda motor setelah
kredit berjalan sehingga recovery rate jauh di bawah 100%.
• Ketiga, kurangnya kompetensi dalam mengawasi dan menangani kredit
bermasalah. Pegawai kurang dalam pengawasan penggunaan kredit oleh
nasabah dan dalam melakukan kunjungan sehingga temuan kredit
bermasalah dan gagal bayar terlambat. Selain itu, terdapat indikasi bahwa
pegawai juga kurang memiliki kemampuan untuk membuat rencana tindakan
untuk mengatasi kredit bermasalah tersebut.
• Keempat, terdapat kelemahan administrasi dalam perkreditan, baik sebelum
kredit disalurkan, pada saat kredit disalurkan, pengawasan kredit,
pengawasan kondisi debitur, maupun administrasi penyetoran cicilan.
• Untuk beberapa BPR, masalah kompetensi pegawai diperparah oleh
kurangnya jumlah pegawai. Di satu sisi, kekurangan pegawai menyebabkan
tidak optimalnya penanganan nasabah dalam hal analisis kredit, penanganan
kredit, dan penagihan.
53
Pembayaran dengan pemotongan gaji/tabungan
• Pembayaran atau penyicilan kredit dengan cara pemotongan gaji/tabungan
diharapkan meningkatkan kelancaran pembayaran dan menurunkan NPL. Hal
ini karena dapat mengurangi ketidaknyaman nasabah untuk menyetor dan
meringankan beban pegawai BPR. Secara umum, seperti dibuktikan melalui
analisis kuantitatif, terdapat kecenderungan bahwa pembayaran dengan
sistem ini mampu menekan NPL secara signifikan.
• Namun demikian, terdapat kasus yang perlu mendapat perhatian berkaitan
dengan penerapan metoda ini, khususnya berkaitan dengan pemotongan gaji
melalui kantor pos. Pemotongan hanya dilakukan bila nasabah mengambil
gaji dan kemudian kantor pos melakukan pemotongan. Masalah yang muncul
adalah, terjadi beberapa kasus bahwa nasabah tidak mengambil gaji ke
kantor pos untuk periode yang cukup lama, ada yang sampai enam bulan. Hal
ini menyebabkan kantor pos tidak dapat memotong gaji dan menyetor ke BPR
sehingga menimbulkan kemacetan kredit.
Pembayaran kredit dengan jemputan (jemput bola) justru berdampak negatif
• Demikian pula dengan sistem jemput bola, di mana pegawai BPR mendatangi
nasabah untuk menagih. Hal ini diharapkan dapat menekan NPL karena dapat
mengurangi ketidaknyamanan nasabah untuk membayar tagihan kredit. Dari
sisi nasabah, cara ini cukup efektif. Namun tidak demikian halnya dari sisi
BPR. Analisis kuantitatif menunjukkan, cara menjemput bola justru
meningkatkan NPL secara signifikan. Hal ini berarti terdapat masalah di
dalam BPR, dan masalah ini terjadi secara umum di seluruh wilayah.
• Ternyata ditemukan penyimpangan yang signifikan. Pertama, Account Officer
(AO) tidak secara disiplin dan rutin untuk mengunjungi nasabah sehingga tidak
dilakukan penagihan. Dalam kondisi ini, nasabah tidak merasa perlu berupaya
menyetor langsung ke BPR. Kunjungan yang tidak rutin ini bisa karena jadwal
AO yang padat atau penjadwalan yang tidak baik. Kedua, dicurigai bahwa AO
yang bertugas terlalu lama untuk berhubungan dengan nasabah tertentu dan
54
menggunakan sistem jemput bola dapat memunculkan terjadinya fraud.
Ketiga, terkait dengan masalah integritas di atas, AO dengan sengaja tidak
menyetorkan atau menunda penyetoran hasil tagihan.
• NPL sebagai akibat penerapan sistem jemput bola dapat ditekan bila sistem
administrasi dan pengawasan cukup baik. Administrasi dan pencatatan
kunjungan AO perlu dilakukan dengan baik dan diketahui oleh atasan
sehingga atasan dapat melakukan pengawasan. Demikian juga administrasi
terhadap hasil kunjungan, termasuk pembayaran kredit atau cicilan oleh
nasabah, sangat penting untuk memastikan bahwa setoran nasabah masuk
ke bank.
Strategi pemasaran BPR perlu mendapat pembenahan
• Strategi pemasaran terkait dengan beberapa aspek, terutama aspek bauran
pasar, target pasar, dan penetapan harga (suku bunga), dan sistem insentif
bagi AO.
• Dalam hal bauran pasar, ditemukan bahwa sebagian besar NPL tertanam
pada sektor perdagangan dan konsumsi. Kenyataannya, kredit BPR terpusat di
kedua sektor ini karena sebagian besar BPR melayani usaha mikro dan kecil
di daerah perkotaan, dan kedua sektor tersebut yang paling menjanjikan.
Namun demikian, kurangnya diversifikasi sektor dalam penyaluran kredit
meningkatkan risiko portofolio kredit.
• Dalam hal target pasar, terdapat kecenderungan bahwa kredit yang diberikan
kepada kelompok cenderung lebih baik dengan NPL lebih rendah. Hal ini
terutama bila pembayaran juga dilakukan dalam pool. Misalnya, penyaluran
kredit secara kelompok kepada karyawan suatu institusi. Dalam hal ini, yang
perlu mendapat perhatian adalah prosedur, administrasi, dan pengawasan
dalam penagihan kredit. Ditemukan kasus bahwa bagian pemotong gaji
menyalahgunakan hasil pemotongan gaji untuk kepentingan sendiri dan tidak
langsung disetorkan ke BPR. Hal ini menimbulkan NPL.
55
• Dalam hal penetapan suku bunga, analisis kuantitatif menujukkan bahwa
semakin tinggi suku bunga menyebabkan NPL semakin tinggi, dan
dampaknya signifikan. Sekalipun suku bunga pinjaman BPR rata-rata lebih
tinggi dari suku bunga pinjaman bank umum, BPR tetap perlu memperhatikan
kemampuan membayar dari nasabah untuk memastikan kelancaran
pembayaran pinjaman.
• Dalam hal insentif bagi AO, analisis kuantitatif menunjukkan bahwa sistem
insentif yang diberikan kepada AO cukup efektif dan secara signifikan
mendorong penyaluran kredit dengan baik sehingga NPL rendah. Namun
demikian, seperti disampaikan di atas, kompetensi pengurus BPR perlu
mendapat perhatian untuk memastikan bahwa desain dan impementasi
sistem insentif cukup baik untuk menghindari kecenderungan AO yang
berusaha menyalurkan kredit sebanyak mungkin untuk mengejar insentif
tetapi mengabaikan kualitas nasabah. Seperti ditemukan di beberapa kasus,
AO berusaha mengejar target penyaluran target tetapi mengorbankan kualitas
kredit.
• Selain hal-hal tersebut di atas, ditemukan juga bahwa beberapa BPR
meringankan persyaratan kredit supaya dapat memperoleh nasabah karena
situasi persaingan yang sudah ketat di suatu wilayah. Tindakan ini tentu saja
sangat potensial menyebabkan terjadinya NPL.
Perlunya peningkatan penggunaan analisis pemberian kredit dengan lebih baik
dan konsisten
• Terdapat temuan yang cukup kuat bahwa penggunaan analisis kredit dengan
berdasarkan 5C masih perlu mendapat pembenahan untuk menekan NPL.
• Penerapan analisis kelayakan kredit berdasarkan 5C memerlukan dua
prayarat yang perlu dipenuhi, dan dalam kenyataan kedua hal tersebut tidak
dipenuhi oleh sebagian BPR. Prasyarat pertama adalah kompetensi petugas
atau analis kredit untuk menerapkan analisis. Seperti disampaikan di bagian
depan, sebagian BPR menghadapi masalah kurangnya kompetensi analis
56
kredit, selain masalah jumlah tenaga yang kurang. Prasyarat kedua adalah
tersedianya data atau dokumen yang akurat dan terkini (up to date) untuk
kepentingan analisis kredit, baik untuk kredit bagi nasabah baru maupun
perpanjang kredit. Selain kedua prasyarat tersebut masih menjadi masalah,
temuan di sebagian BPR menunjukkan kurangnya pemeriksaan ulang oleh
direksi terhadap keakuratan dan kekinian data dan terhadap hasil analisis dari
bawahannya.
• Berkaitan dengan karakter debitur, temuan di seluruh wilayah sampel
menunjukkan bahwa karakter atau itikad debitur merupakan masalah
penting, yang menyangkut beberapa hal. Menurut hasil analisis kuantitatif,
itikad debitur secara signifikan mempengaruhi NPL. Semakin baik karakter
debitur, semakin rendah NPL, demikian juga sebaliknya. Menurut temuan
dalam FGD, BPR mengalami kesulitan untuk mendapatkan debitur yang
memiliki karakter yang baik di suatu daerah. Kemungkinan besar yang terjadi
adalah ketidakmampuan BPR untuk mengidentifikasi karakter calon debitur
sehingga kredit hanya disalurkan kepada yang beritikad baik.
• Karakter yang tidak baik diketahui setelah terjadi kredit bermasalah dalam
berbagai bentuk, misalnya: debitur sulit atau tidak dapat ditemui, pindah
domisili atau tugas tetapi tidak memberitahu ke bank, berada dalam tahanan
polisi, gaji debitur tidak dapat dipotong untuk membayar pinjaman karena
dalam kondisi minus, tidak menunjukkan kemauan untuk memenuhi
kewajiban kepada bank, penggunaan dana pinjaman untuk keperluan yang
tidak sesuai dengan peruntukan kredit, pinjaman diserahkan dan digunakan
oleh pihak lain tanpa sepengetahuan bank, dan munculnya kredit fiktif
sehingga berakibat pada kredit bermasalah.
• Kredit yang merupakan pengulangan, atau dari nasabah yang sama,
cenderung lebih aman. Berdasarkan analisis kuantitatif, diperoleh kesimpulan
bahwa kredit yang berulang cenderung berakibat pada NPL yang rendah, dan
hubungan antara pengulangan kredit dengan rendahnya NPL ternyata
signifikan. Hal ini karena BPR sudah mengenal debitur sehingga keputusan
pemberian kredit menjadi lebih baik dan data tentang debitur berdasarkan
57
track record selama menjadi nasabah cukup baik dijadikan pedoman penilain
karakter nasabah yang bersangkutan. Berdasarkan kesimpulan ini, perbaikan
metoda penilaian karakter bagi nasabah baru perlu mendapat prioritas untuk
mengurangi potensi terjadinya NPL.
• Untuk kredit kelompok, terdapat dua temuan yang berakibat pada NPL.
Pertama, terjadi penyalahgunaan angsuran kredit oleh ketua kelompok.
Sekalipun menurut anggota kelompok seharusnya kredit tidak bermasalah,
menurut bank kredit tersebut menjadi bermasalah karena tidak ada setoran
yang masuk ke bank. Demikian juga bila terjadi penyimpangan oleh petugas
pemotong gaji untuk pembayaran cicilan pinjaman yang tidak langsung
menyetorkan cicilan tersebut ke bank.
• BPR juga relatif lemah dalam melakukan analisis kelayakan kredit
berdasarkan kemampuan pemenuhan kewajibannya (capacity to repay oleh
debitur). Beberapa kasus yang berhasil diidentifikasi adalah sebagai berikut.
Pertama, terdapat kesalahan dalam pemberian kredit sepeda motor karena
tidak didukung oleh analisis yang akurat. Setelah kredit diberikan, nilai
pinjaman masih tinggi tetapi nilai pasar motor sudah turun jauh di bawah nilai
pinjaman. Akibatnya, debitur membiarkan pinjaman menjadi macet dan
menyerahkan sepeda motornya untuk disita. Kedua, petugas BPR melakukan
kesalahan dalam memprediksi kemampuan membayar dari nasabah
berdasarkan gaji, karena gaji tersebut sudah digunakan untuk keperluan lain.
Bahkan ditemukan juga ternyata debitur tidak dapat membayar karena
penghasilan debitur dalam kondisi minus. Ketiga, beberapa petugas BPR tidak
mampu menghitung kebutuhan modal kerja sehingga terjadi kesalahan dalam
menetapkan besarnya kredit yang disetujui. Keempat, petugas tidak
memasukkan faktor risiko dalam menghitung kelayakan kredit.
• Kekurangan lainnya adalah dalam memprediksi kondisi debitur, baik yang
berkaitan dengan kondisi debitur itu sendiri maupun kondisi usaha. Oleh
karena itu, BPR kemudian bergantung pada agunan. Tetapi ternyata agunan
tidak menjamin rendahnya NPL, seperti diuraikan di bawah ini.
58
Pengikatan agunan yang tidak hati-hati
• Seperti telah diidentifikasi oleh bank Indonesia, dan didukung oleh hasil
analisis, pengikatan agunan tidak otomatis bisa menekan NPL. Hasil analisis
kuantitatif menunjukkan fenomena bahwa jenis agunan dan nilai agunan
berpengaruh pada tingginya NPL.
• Dalam hal nilai agunan, analisis kuantitatif menunjukkan bahwa semakin
tinggi nilai agunan maka tingkat NPL semakin rendah secara signifikan. Hasil
ini seperti yang diperkirakan. Di sisi lain, agunan tanah dan bangunan
cenderung berdampak pada tingginya NPL dibandingkan dengan agunan jenis
lain.
• Temuan dari analisis kuantitatif dan FGD menunjukkan, masalah agunan
terletak pada kemudahan likuidasi dan recovery rate. Temuan di hampir
semua wilayah menunjukkan, pengikatan agunan berupa tanah dan bangunan
menghadapi masalah legal. Selain itu, ditemukan juga bahwa survey tanah
dan bangunan oleh petugas BPR kurang memadai.
• Pengikatan agunan seringkali tidak memadai dari sisi hukum sehingga BPR
mengalami kesulitan pada saat melakukan eksekusi pada saat terjadi kredit
bermasalah. Salah satu kesulitan pengikatan yang memadai adalah karena
tidak tersedianya lembaga fiducia di kota kecil atau daerah. Lembaga fiducia
hanya terdapat di kota-kota besar. Dengan demikian BPR yang berada di kota
kecil atau daerah harus menanggung biaya yang besar bila harus melakukan
pengikatan di lembaga fiducia.
• Hal-hal tersebut di atas menyebabkan kesulitan bagi BPR untuk menjual tanah
dan bangunan sitaan, sekalipun agunan tersebut memiliki sertifikat yang
lengkap. Sebagai akibatnya, recovery rate menjadi rendah dan tidak cukup
untuk menutup NPL.
59
Faktor Persaingan
• Persaingan pendanaan bagi sektor UMKM juga semakin besar dengan
munculnya lembaga-lembaga pendanaan yang menawarkan dana, dan saat
ini di beberapa daerah sudah terasa kelebihan dana. Persaingan yang
dihadapi oleh BPR di suatu wilayah tidak saja terhadap sesama BPR tetapi
juga dengan pihak lain, di antaranya koperasi. Di Nusa tenggara Barat,
misalnya, persaingan BPr dengan koperasi sangat ketat.
• Salah satu akibatnya, BPR harus menggali pasar baru atau sektor yang belum
banyak digarap. Selama ini, sebagian besar dana BPR disalurkan ke sektor
perdagangan. BPR yang menyalurkan sebagian besar dananya ke sektor
pertanian sangat sedikit, sekalipun sektor ini cukup besar dan diharapkan oleh
BI untuk mendapat pendanaan dari BPR.
Perkembangan Perekonomian
• Salah satu sumber NPL yang dirasakan cukup besar adalah memburuknya
kondisi perekonomian, yang ditandai dengan tingginya laju inflasi. Laju inflasi
yang tinggi sehingga meningkatkan biaya hidup rumah tangga dan
menurunkan daya beli masyarakat sedangkan debitur tidak dapat dengan
cepat merespon kondisi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan
penjualan, penurunan order, bahkan pembatalan order, yang kemudian
berakibat pada kemunduran bahkan kegagalan usaha debitur. Secara khusus,
kenaikan harga BBM, tarif listrik, dan transportasi menyebabkan tingginya
biaya produksi. Hal ini berdampak pada kemampuan debitur BPR untuk
mengembalikan kewajiban pinjaman, dan menurunnya permintaan
pendanaan.
• Dampak penurunan kondisi ekonomi pada NPL diperparah oleh dua kondisi.
Pertama, kondisi BPR yang kurang melakukan diversifikasi sektoral cenderung
terkena dampak yang semakin besar. Kedua, ketersediaan dan pengikatan
agunan yang kurang kuat secara hukum, dan kemudahan dala eksekusi ikut
mempengaruhi tingginya NPL pada saat ekonomi terlanjur terpuruk.
Kondisi Spesifik Nasabah
60
• Kondisi spesifik yang dimaksud di sini dapat dikelompokkan ke dalam empat
jenis. Pertama, terjadinya double financing, yang kemungkinan besar tidak
disengaja oleh BPR karena ketidaktahuan.
• Kedua, hal-hal yang terjadi pada nasabah yang berkaitan dengan kehidupan
pribadi di luar bisnis mereka tetapi mempengaruhi kelangsungan dan kinerja
bisnis. Kondisi spesifik tersebut antara lain debitur menikah lagi, uang
terpakai untuk biaya sekolah atau kuliah anak, modal usaha terpakai untuk
menikahkan anak, uang digunakan untuk ke dokter karena sakit, kecelakaan,
bahkan meninggal dunia.
• Ketiga, nasabah kehilangan pekerjaan sehingga tidak dapat memenuhi
kewajiban pinjaman, khususnya untuk kredit konsumsi.
• Keempat, nasabah yang mencampuradukkan keuangan usaha dengan
keuangan keluarga cenderung memiliki NPL yang tinggi secara signifikan.
Faktor alam
• Selain itu, faktor alam juga mempengaruhi NPL. Beberapa kasus
menunjukkan, kemarau berkepanjangan menyebabkan gagal panen dan
berakibat kredit macet di sektor pertanian. Demikian juga dengan bencana
alam, seperti banjir dan gempa bumi, berdampak pada kinerja debitur.
• Berbeda dengan bank umum yang memiliki wilayah operasi lebih luas, BPR
sangat rentan terhadap kejadian-kejadian alam seperti di atas, yang umumnya
terjadi di wilayah terbatas. Sebagai contoh, BPR di Yogyakarta mengalami
masalah serius dengan adanya bencana alam di wilayah DIY. Tidak demikian
dengan BRI. Sekalipun BRI yang beroperasi di wilayah DIY mengalami
musibah yang parah, misibah tersebut dinilai kecil oleh BRI secara korporat.
Kerjasama pemberian kredit dengan pihak luar
• BPR melakukan kerjasama dengan beberapa pihak, antara lain koperasi,
institusi, dan kantor pos. Kerjasama dengan koperasi bertujuan untuk
menyalurkan kredit kepada anggota koperasi sedangkan kerjasama dengan
institusi dalam rangka penyaluran kredit kepada karyawan dari institusi yang
bersangkutan. Kerjasama dengan kantor pos bertujuan untuk menyalurkan
kredit kepada pensiunan.
61
• Kredit melalui kerjasama tersebut menimbulkan NPL biasanya terkait dengan
dua hal pokok: kewenangan pihak luar yang terlalu besar dan penyalahgunaan
uang oleh pihak luar.
• Pertama, pemberian wewenang kepada pihak luar terlalu besar. Dalam
beberapa kasus, lembaga-lembaga tersebut diberi wewenang untuk
memutuskan kredit, yang seharusnya diputuskan oleh BPR setelah melalui
analisis kredit. Lembaga-lembaga tersebut tidak melakukan analisis dengan
baik sehingga kualitas kredit rendah sejak awal.
• Dalam hal koperasi, BPR cenderung menerima nasabah yang berkualitas
rendah. Nasabah-nasabah yang baik dan berkualitas tinggi diambil dan diberi
kredit oleh koperasi yang bersangkutan sedangkan nasabah yang dianggap
kurang baik diserahkan ke BPR untuk diberi kredit.
• Dalam hal kantor pos, beberapa BPR memberi kewenangan untuk
memutuskan pemberian kredit sehingga keputusan tidak melalui mekanisme
analisis yang baik.
• Kedua, dana kredit yang diserahkan kepada lembaga tersebut oleh BPR dan
cicilan yang diserahkan oleh nasabah digunakan sendiri oleh oknum dari
lembaga terssebut.
Sistem dan mekanisme pengawasan dan program recovery
• Pengawasan dan tindakan terhadap penyimpangan kredit relatif lemah di
hampir semua wilayah sampel. Beberapa masalah yang terkait dengan sistem
dan mekanisme ini adalah sebagai berikut. Pertama, BPR kurang melakukan
pengawasan terhadap penggunaan kredit oleh nasabah dan penyimpangan
biasanya diketahui setelah kredit berstatus kredit non lancar atau NPL. Kedua,
BPR kurang melakukan kunjungan ke nasabah setelah kredit diberikan.
Ketiga, BPR gagal menagih. Keempat, kurangnya tindakan recovery yang baik
bila ditemukan penyimpangan atau NPL.
• Hal tersebut dapat terjadi diduga karena faktor berikut. Pertama, sistem dan
prosedur pengawasan tidak dibakukan sehingga setiap petugas menjalankan
pengawasan berdasarkan kebiasaan atau kewajaran. Kedua, kompetensi
petugas yang kurang memadai dalam hal pengawasan dan penyusunan
recovery plan. Ketiga, sistem insentif hanya ditekankan pada penyaluran
62
kredit tetapi tidak dikaitkan pada kesehatan kredit, tingkat NPL atau tingkat
pengembalian dari kredit.
63
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Untuk meneliti faktor-faktor penyebab NPL di BPR, penelitian ini berhasil
mengidentifikasi tigabelas dari 62 variabel independen yang diuji secara
kuantitatif. Dengan dilakukan konfirmasi dan dilengkapi melalui metoda kualitatif
dengan cara focus group discussion, dapat disimpulkan duabelas faktor penyebab
munculnya NPL.
Faktor-faktor penyebab munculnya NPL adalah sebagai berikut:
• Masalah integritas pemilik, pengurus dan pegawai BPR berupa intervensi yang
bersumber pada tiga hal: ketidakjelasan prosedur, ketidakdisiplinan
pencatatan, dan kurangnya perhatian dan pengawasan pemilik. Lemahnya
integritas tersebut memunculkan beberapa persoalan, terutama munculnya
kredit fiktif, kredit kepada pihak terkait tanpa melalui prosedur yang sesuai,
kredit topengan, dan adanya transaksi yang tidak dicatat.
• Masalah kompetensi pengurus, baik terhadap ketentuan Bank Indonesia
maupun dalam menjalankan proses bisnis BPR. Yang perlu mendapat
perhatian adalah: kemampuan pemenuhan ketentuan Bank Indonesia,
kemampuan merumuskan strategi dan operasionalisasi BPR, kompetensi
perumusan prosedur dan kebijakan perkreditan, dan pemahaman tentang
pengawasan dan pendokumentasian transaksi.
• Masalah kompetensi pegawai BPR dalam menerapkan prosedur, penerapan
5C, pengawasan dan penanganan kredit bermasalah, dan administrasi. Hal-
hal yang perlu mendapat perhatian adalah: kesalahan dalam menerapkan
prosedur perkreditan, kesalahan dalam melibatkan pihak luar dalam
keputusan kredit, terlalu menekankan pada penggunaan agunan untuk
menutupi kelemahan analisis kelayakan kredit, kurangnya kompetensi
menangani kredit bermasalah, dan kelemahan dalam administrasi kredit.
64
• Pembayaran dengan pemotongan gaji/tabungan, sekalipun efektif tetapi
menimbulkan potensi penyimpangan. NPL muncul terutama disebabkan oleh
ketidakteraturan nasabah untuk mengambil gaji sehingga setoran cicilan
kredit tidak dapat diterima oleh BPR.
• Pembayaran kredit dengan jemput bola yang dapat berdampak negatif. NPL
dapat terjadi karena ketidakdisiplinan dan ketidakrutinan AO untuk menagih,
kemungkinan terjadi fraud oleh AO, dan terdapat kemungkinan AO tidak
menyetorkan hasil penagihan ke BPR.
• Strategi pemasaran BPR yang masih lemah dan perlu mendapat perhatian.
NPL dapat muncul karena kurangnya diversifikasi portofolio kredit nasabah,
kredit diberikan kepada individu yang cenderung memunculkan NPL lebih
tinggi dibandingkan dengan pemberian kredit kepada kelompok, tingginya
suku bunga, dan ketidaktepatan menerapkan sistem insentif yang terlalu
menekankan pada target penyaluran kredit.
• Perlunya peningkatan penggunaan analisis pemberian kredit dengan lebih
baik dan konsisten. NPL tinggi karena kurang disiplinnya penerapan 5C dalam
analisis kredit terutama karena masalah kompetensi pegawai BPR kurang
tersedianya data/ dokumen nasabah, dan kurangnya pemeriksaan ulang oleh
direksi.
• Pengikatan agunan yang tidak hati-hati. Kelemahan analisis kredit
menyebabkan BPR tergantung pada agunan. Namun pengikatan dan kualitas
agunan ternyata menjadi masalah.
• Tingginya persaingan antara sesama BPR dan antara BPR dengan lembaga
keuangan lainnya, terutama koperasi, mendorong BPR untuk melakukan
ekspansi ke sektor atau pasar yang belum terlalu dikenal.
• Menurunnya kondisi perekonomian, yang ditunjukkan oleh tingginya laju
inflasi atau kenaikan harga komoditas pokok, menyebabkan aktivitas
65
perekonomian menurun dan kemampuan nasabah untuk memenuhi
kewajibannya menurun.
• Faktor-faktor khusus nasabah yang berpengaruh terhadap NPL antara lain:
perilaku nasabah sehingga menimbulkan double financing, kehidupan
keluarga nasabah yang dapat menyebabkan penyimpangan penggunaan
keuangan, kehilangan pekerjaan, dan pencampuradukan keuangan bisnis dan
rumah tangga.
• Faktor alam seperti bencana, sekalipun terjadi di satu daerah saja, bisa
berdampak secara signifikan terhadap NPL BPR karena wilayah operasional
BPR yang dibatasi pada wilayah kabupaten/kota. Secara khusus, bencana
alam juga sering mengakibatkan gagal panen sehingga NPL dapat tinggi bagi
BPR yang menyalurkan pinjaman ke sektor pertanian.
• Kerjasama pemberian kredit dengan pihak luar secara potensial
memunculkan NPL karena pemberian kewenangan kepada pihak luar yang
terlalu besar, terutama karena pihak luar berwenang memutuskan kredit, dan
penyalahgunaan setoran cicilan oleh pihak luar tersebut.
• Sistem dan mekanisme pengawasan dan program recovery, terutama karena
kurangnya pengawasan penggunaan kredit, kurangnya kunjungan ke
nasabah, kelalaian menagih, dan masalah kompetensi BPR untuk mendesain
program recovery.
Rekomendasi
Terkait dengan temuan-temuan di atas, beberapa tindakan yang dapat diambil
Bank Indonesia untuk menekan NPL BPR adalah sebagai berikut.
• Program sertifikasi dan pendidikan reguler. Program sertifikasi bagi pengurus
BPR tetap diperlukan. Demikian juga program sertifikasi bagi karyawan BPR,
khususnya petugas analisis dan pengelola kredit, perlu dipertimbangkan.
Selain itu, pendidikan rutin untuk pemilik, pengurus, dan karyawan secara
reguler perlu dipertimbangkan. Bagi pemilik dan pengurus, program
66
pendidikan reguler bertujuan untuk media informasi dan komunikasi terhadap
perkembangan baru, termasuk ketentuan BI, supaya selalu diikuti dan
dipahami oleh pemilik dan pengurus. Bagi direksi BPR, pendidikan tersebut
bertujuan untuk memastikan kompetensi dalam hal perumusan strategi BPR
sehingga mampu merumuskan kebijakan yang sejalan dengan upaya
penyaluran kredit sekaligus menjaga kesehatan BPR. Bagi karyawan BPR,
tujuan pendidikan reguler adalah untuk memastikan kompetensi karyawan
dalam melalukan analisis kredit, mengawasi, dan melakukan tindakan
recovery bila terjadi masalah dengan kredit.
Program sertifikasi disarankan mengingat adanya indikasi permasalahan
kompetensi pada pengurus, pengelola, dan karyawan BPR termasuk
permasalahan integritas. Namun, oleh karena didapati pula kalau variabel
sertififkasi tidak signifikan menentukan NPL padahal keberadaannya sangat
dibutuhkan dalam pengembangan kompetensi sumber daya manusia di BPR-
BPR maka diperlukan perubahan pada materi dan metode ujian sertifikasi
termasuk pelatihan-pelatihannya. Dalam rangka memperoleh kurikulum yang
benar-benar sesuai dengan ketutuhan, disarankan untuk:
1. Dilakukan studi lanjutan tentang efektifitas pelaksanaan sertifikasi
pengurus BPR.
2. Dilakukan training need assessment untuk mengetahui kebutuhan
pelatihan yang benar-benar dibutuhkan untuk program-program
pelatihan/pendidikan reguler bagi pengurus maupun karyawan BPR.
Salah satu modul pelatihan yang sudah teridentifikasi dan diperlukan oleh
BPR adalah analisis kredit untuk sektor di luar perdagangan, khususnya kredit
sektor pertanian.
• Pembinaan dan pengawasan kelengkapan sistem dan prosedur. Bank
Indonesia perlu memastikan tersedianya sistem dan prosedur terhadap
analisis kredit, pemantauan kredit, pembayaran angsuran kredit, recovery
action, dan prosedur persetujuan kredit, dan pedoman kerjasama dengan
pihak lain.
67
• Pedoman agunan. Perlu juga disediakan pedoman penetapan agunan
sehingga pengikatan agunan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bank
Indonesia dirasa perlu untuk membantu untuk mendorong berdirinya
lembaga fiducia atau sejenisnya supaya BPR di daerah atau kota kecil dapat
mengurus pengikatan agunan dengan biaya yang terjangkau.
• Oleh karena ditemukan kalau pemberian insentif kepada AO atas kredit yang
tertagih dapat memperbaiki NPL, sedangkan terdapat indikasi NPL tinggi oleh
karena pemberian insentif yang keliru (memberikan insentif sesuai dengan
banyaknya kredit yang diberikan) kepada pengurus BPR, maka BI dapat
menyarankan BPR untuk memiliki sistem insentif, baik kepada AO maupun
kepada pengurus atas dasar kredit yang tertagih dan bukan banyaknya kredit
yang diberikan. Pemberian insentif yang benar yang diberikan atas dasar
kredit yang tertagih dapat memperkecil rasio NPL BPR.
• Mengingat kredit yang diberikan BPR adalah kepada nasabah-nasabah kecil
yang pada umumnya adalah sektor informal maka cara penilaian kelayakan
kredit yang digunakan perbankan pada umumnya perlu disesuaikan dengan
kondisi nasabah BPR. Beberapa variabel pada Model Penentuan Kolektibilitas
Kredit yang ditemukan pada penelitian ini dapat diusulkan kepada BPR untuk
digunakan sebagai kriteria dalam mengevaluasi kelayakan kredit. Kriteria
dan pembobotan yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
Kriteria Bobot
1. Jenis agunan yang digunakan adalah tanah/bangunan + 0,8
2. Nilai agunan lebih besar dari nilai kredit - 1,2
3. Merupakan kredit pengulangan - 0,3
4. Memiliki masalah keluarga yang serius + 1,8
5. Ada indikasi/kesan akan mengembalikan kredit - 1,4
6. Menggabungkan administrasi kredit dan pribadi + 0,4
7. Persaingan bisnis debitur cukup ketat + 2,2
Jika kriteria tidak sesuai, berarti bobot yang diberikan adalah 0. Misalnya
pada kriteria pertama, jika jenis agunan yang digunakan bukan
tanah/bangunan maka bobot yang diberikan adalah 0 (nol). Demikian juga
pada kriteria kedua, jika nilai agunan ternyata lebih kecil dari nilai kredit
68
bobot yang diberikan 0, demikian seterusnya. Setelah itu jumlahkan
bobotnya. Total bobot yang diperoleh menunjukkan angka probabilitas
apakah akan menurunkan atau malah meningkatkan NPL. Jika total bobot
menunjukkan angka yang negatif berarti menurunkan NPL sedangkan jika
positif berarti meningkatkan NPL. Total bobot dengan nilai negatif yang
diharapkan dan semakin kecil total bobotnya semakin baik. Nilai negatif dan
semakin kecil berarti bahwa kemungkinan kolektibilitasnya akan semakin
lancar.
• Diperlukan lembaga pengaman risiko kredit. BPR menghadapi risiko kredit
tidak tertagih. Dengan NPL yang tinggi membutktikan bahwa risiko kredit
tidak tertagih cukup besar. Untuk itu, dirakasan perlu untuk membentuk
badan penjamin risiko kredit, misalnya lembaga pemberi asuransi kredit.
• Penelitian lanjutan diperlukan. Seperti disampaikan di bab Pendahuluan,
penelitian tidak memasukkan beberapa variabel yang kemungkinan
mempengaruhi tingkat NPL dari kredit BPR, antara lain faktor asal daerah,
usia, dan lainnya. Bank Indonesia perlu mempertimbangkan untuk melakukan
penelitian tentang pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap NPL untuk
melengkapi informasi sehingga kebijakan dan ketentuan yang dibuat bisa
lebih komprehensif.
69
Lampiran 1
Kuesioner
70
Kuesioner ini Digunakan dalam Penelitian Non Performing Loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
PROSES PEMBERIAN KREDIT KETERANGAN :
• Angket ini dibuat semata-mata untuk maksud penelitian/survey dan bukan untuk maksud evaluasi atau penilaian. Informasi yang ingin diketahui menyangkut proses pemberian kredit di suatu BPR. Semua informasi yang diperoleh dari angket ini akan disimpan kerahasiaannya.
• Orang yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang proses pemberian kredit adalah Direksi di BPR yang bersangkutan. Peneliti diharapkan menuntun Direksi dalam mengisi angket ini. Cara mengisi angket adalah dengan menuliskan pada tempat yang telah disediakan (pada titik-titik) atau dengan memilih salah satu jawaban yang sesuai dengan cara memberi tanda silang (X) pada kotak didepan jawaban.
• Posisi kredit adalah per 31 Desember 2006.
1. Data umum BPR Saudara:
Nama BPR : ………………………………………………………………………………….. Alamat : ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Kabupaten/Kota : ………………………………………………………………………………….. Propinsi : ………………………………………………………………………………….. No. Telepon : ………………… ………… fax: …………………………..........………….. Bentuk organisasi: [ ] PT [ ] PD [ ] Koperasi
2. Berapa jumlah kredit BPR Saudara? Rp ........................................ dan berapa yang dikategorikan sebagai non Lancar (Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet)? Rp..................................................
3. Faktor mana yang paling menentukan di BPR Saudara ketika akan menilai
kelayakan suatu kredit? [ ] Nilai agunan.
[ ] Kesanggupan debitur memperoleh pendapatan.
KUESIONER UNTUK BPR
71
[ ] Riwayat peminjam. [ ] Keabsahan/legalitas usaha. [ ] Karakter calon debitur. [ ] Hubungan antara pengurus/pemilik dengan debitur.
4. Berapa rata-rata waktu yang BPR Saudara butuhkan untuk menyetujui kredit? ........... hari
5. Bagaimana proses persetujuan kredit yang berlaku di BPR Saudara?
[ ] Persetujuan kredit dilakukan secara berjenjang (sampai tingkat manajer atau Direktur atau Komite Kredit) sesuai dengan besarnya plafond kredit
[ ] Persetujuan kredit dilakukan secara berjenjang (sampai tingkat Direktur atau Komite Kredit) sesuai dengan besarnya plafond kredit
[ ] Semua persetujuan kredit harus dilakukan melalui Komite Kredit 6. Bagaimana cara pembayaran angsuran kredit yang paling dominan di BPR
Saudara? [ ] Angsuran disetor langsung ke BPR [ ] Angsuran diambil/dijemput ke debitur [ ] Angsuran dipotong secara langsung dari gaji/tabungan debitur [ ] Angsuran dibayar secara transfer ke rekening BPR di bank umum
7. Apakah Direktur di BPR Saudara telah memiliki sertifikat kelulusan dari Lembaga
Sertifikasi Profesi (LSP LKM Certif)? [ ] Ya [ ] Tidak 8. Apakah Saudara sebagai anggota Direksi ikut memasarkan kredit?
[ ] Ya [ ] Tidak, yang melaksanakan: ........................................................................
………… 9. Selama tiga tahun terakhir, sudah berapa kali direksi di BPR Saudara keluar atau
pindah kerja? [ ] Belum pernah [ ] Satu kali [ ] Dua kali [ ] Lebih dari dua kali
10. Apa peran Dewan Pengawas atau Dewan Komisaris dalam melakukan
pengawasan kegiatan operasional di BPR Saudara? [ ] Memantau dan memberikan tanggapan terhadap pencapaian target yang
telah ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran BPR [ ] Memantau pemenuhan/kepatuhan BPR pada ketentuan terkait [ ] Telah menjalankan kedua fungsi di atas [ ] Belum melakukan fungsi tersebut di atas
72
11. Bagaimanakah peran Pemilik dalam pemberian kredit? [ ] Ikut merekomendasikan calon debitur tertentu yang akan dibiayai [ ] Tidak pernah ikut campur dalam pemberian kredit [ ] Merekomendasikan sebagian besar calon debitur yang akan dibiayai
12. Bagaimanakah peran Komisaris dalam pemberian kredit?
[ ] Ikut merekomendasikan calon debitur tertentu yang akan dibiayai [ ] Tidak pernah ikut campur dalam pemberian kredit [ ] Merekomendasikan sebagian besar calon debitur yang akan dibiayai
13. Apakah Pemilik memiliki bisnis selain usaha BPR?
[ ] Tidak memiliki bisnis lain sama sekali [ ] Memiliki bisnis lain di bidang pembiayaan,
sebutkan.................................................. [ ] Memiliki bisnis lain di luar bidang pembiayaan,
sebutkan........................................... 14. Apakah Komisaris memiliki bisnis selain usaha BPR?
[ ] Tidak memiliki bisnis lain sama sekali [ ] Memiliki bisnis lain di bidang pembiayaan,
sebutkan.................................................. [ ] Memiliki bisnis lain di luar bidang pembiayaan,
sebutkan........................................... 15. Siapakah debitur utama Saudara?
[ ] Keluarga/teman/kenalan [ ] Karyawan perusahaan/instansi pemerintah dalam rangka kerjasama
dengan pengurus perusahaan/instansi tersebut [ ] Masyarakat sekitar
16. Apakah Saudara memiliki debitur yang merupakan binaan Konsultan Keuangan
Mitra Bank (KKMB)? [ ] Ya [ ] Tidak
17. Bagaimana kolektibilitas kredit dari debitur yang merupakan binaan KKMB tersebut?
[ ] Seluruhnya lancar [ ] Lebih dari 50% debitur mempunyai kolektibilitas kredit Lancar [ ] Lebih dari 50% debitur mempunyai kolektibilitas kredit Non Lancar
18. Apa persyaratan pendidikan minimal dalam merekrut Account Officer?
[ ] Lulus SMP [ ] Lulus SMA [ ] Lulus Diploma [ ] Lulus Sarjana Strata 1
73
19. Apakah BPR Saudara melakukan pelatihan khusus kepada Account Officer? [ ] Ya [ ] Tidak, alasan: .............................................................................. ……………………..
20. Berapa besar perbandingan antara Account Officer dengan jumlah nasabah di
BPR Saudara? .............................. 21. Selama 1 (satu) tahun terakhir, berapa banyak Account Officer yang sudah
keluar/dikeluarkan atau pindah kerja? ...................... orang. Berapa jumlah Account Officer di BPR Saudara saat ini? ...................... orang.
22. Berapa rata-rata masa kerja sebagai Account Officer di BPR Saudara? ...............
tahun 23. Bagaimana penyebaran lokasi usaha debitur yang ditangani oleh masing-masing
Account Officer di BPR Saudara? [ ] Mengelompok [ ] Tersebar
24. Apakah Account Officer Saudara melakukan kunjungan rutin dalam rangka memonitor kondisi dan kegiatan usaha nasabah?
[ ] Ya. Frekuensi kunjungan: ............................ per bulan. [ ] Tidak. Alasan: ............................................................................................................
25. Apakah ada pemantauan yang dilakukan untuk memeriksa pekerjaan staf
pemasaran (Account Officer) dalam rangka penagihan? [ ] Ya, berupa: ............................................................................................................ [ ] Tidak, alasan: ........................................................................................................
26. Apakah BPR Saudara menerapkan sistem insentif bagi Account Officer?
[ ] Ya, berupa: ............................................................................................................ [ ] Tidak
27. Apakah BPR Saudara telah memiliki petugas/bagian khusus yang menangani kredit bermasalah?
[ ] Ya [ ] Tidak, alasan: ..........................................................................................................
28. Apakah dalam struktur organisasi BPR Saudara memiliki tim pengendalian intern? [ ] Ya
74
[ ] Tidak, alasan: ..........................................................................................................
29. Siapa pesaing utama dalam penyaluran kredit (pilih satu)?
[ ] Sesama BPR [ ] Koperasi [ ] Bank umum [ ] Lembaga keuangan non bank [ ] Lainnya, sebutkan: .....................................................................................................
30. Seberapa besar dampak persaingan BPR Saudara dengan lembaga keuangan lain dalam pemberian kredit ?
[ ] Rendah [ ] Sedang [ ] Tinggi [ ] Sangat Tinggi
31. Apakah BPR Saudara mendapatkan kredit dari bank umum dalam rangka Linkage Program?
[ ] Ya, jumlah plafond : Rp .................................. Baki debet : ........................................ [ ] Tidak
75
Kuesioner ini Digunakan dalam Penelitian Non Performing Loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
STATUS KREDIT DEBITUR KETERANGAN :
• Angket ini dibuat semata-mata untuk maksud penelitian/survey dan bukan untuk maksud evaluasi atau penilaian. Semua informasi yang diperoleh akan disimpan kerahasiaannya.
• Tujuan angket ”Status Kredit Debitur” ini adalah untuk memperoleh informasi tentang status kredit debitur di suatu BPR. Orang yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang debitur adalah Direksi atau salah satu Account Officer di BPR tersebut.
• Peneliti harus memilih debitur dari setiap BPR yang menjadi sampel dengan jumlah yang proporsional. Debitur yang dipilih diharapkan:
o Sama dengan debitur yang menjadi responden dalam angket nasabah BPR
o Berdomisili disekitar BPR agar lebih mudah dijangkau.
o Terdiri dari debitur dengan kredit kurang dari Rp 5 juta dan sebagiannya lagi adalah debitur dengan kredit yang sama atau lebih besar dari Rp 5 juta. Diharapkan proporsinya sama.
o Merepresentasikan debitur yang kreditnya lancar, kurang lancar, diragukan, dan macet.
• Peneliti memberikan angket ini kepada Direksi atau Account Officer untuk diisi. Cara mengisi angket ini adalah dengan menuliskan pada tempat yang telah disediakan (pada titik-titik) atau dengan memilih salah satu jawaban yang sesuai dengan cara memberi tanda silang (X) pada kotak didepan jawaban.
• Posisi kredit adalah per 31 Desember 2006.
32. Debitur yang akan dinilai:
Nama : …………………………................…………………………………………… Alamat : …………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………. Kabupaten/Kota : …………………………………………………………………………………. Propinsi : …………………………………………………………………………………. Jenis Usaha : ………………………………………………………………………………….
KUESIONER UNTUK BPR
76
No. Telp. : ………………………………….
33. Berapa besar plafond kredit yang diberikan kepada debitur ini? [ ] < Rp 1 jt. [ ] Rp 1 jt. s/d < Rp 5 jt. [ ] Rp 5 jt. s/d < Rp 25 jt. [ ] Rp 25 jt. s/d < Rp 50 jt. [ ] Rp 50 jt. s/d < Rp 500 jt. [ ] > Rp 500 jt.
34. Berapa besar baki debet kredit tersebut? Rp ........................................ 35. Berapa besar suku bunga yang dikenakan pada kredit tersebut? .................. %
(flat per bulan).
36. Berapa persen tambahan biaya yang dikenakan BPR selain bunga? ................ % (dibandingkan dengan plafond).
37. Berapa lama jangka waktu pelunasannya? .................... bulan.
(jangka waktu yang terlama apabila debitur tersebut memperoleh lebih dari satu fasilitas kredit)
38. Apakah kredit yang diberikan ini dalam bentuk berkelompok? [ ] Ya [ ] Tidak 39. Saat ini (pada posisi 31 Desember 2006), bagaimana kolektibilitas kredit debitur?
[ ] Lancar [ ] Kurang Lancar [ ] Diragukan [ ] Macet
40. Apa tujuan dari pengajuan kredit tersebut?
[ ] Dipakai untuk keperluan pribadi (konsumsi). [ ] Digunakan untuk membiayai operasional usaha (modal kerja). [ ] Digunakan untuk membeli peralatan/mendirikan usaha baru (investasi). [ ] Digunakan untuk beberapa tujuan (kombinasi) [ ] Lainnya, sebutkan:
....................................................................................................
41. Masuk pada sektor ekonomi apa penggunaan dari kredit tersebut? [ ] Pertanian [ ] Perindustrian [ ] Perdagangan [ ] Jasa-jasa [ ] Lainnya (untuk keperluan konsumtif atau lainnya), sebutkan: ..................................
77
42. Apakah kredit tersebut memiliki agunan?
[ ] Ya, agunan kendaraan. [ ] Ya, agunan tanah. [ ] Ya, agunan tanah dan bangunan. [ ] Ya, agunan lainnya, sebutkan: ................................................................................... [ ] Tidak
43. Bagaimana nilai agunan jika dibandingkan dengan plafond kredit?
[ ] Nilai agunan lebih kecil dari nilai kredit. [ ] Nilai agunan sama dengan nilai kredit. [ ] Nilai agunan lebih besar dari nilai kredit. [ ] Tidak ada agunan sehingga tidak dapat dibandingkan.
44. Sudah berapa kali debitur yang bersangkutan mendapat fasilitas kredit di BPR
Saudara? [ ] Baru pertama kali. [ ] Sudah kedua kalinya. [ ] Sudah yang ketiga kalinya. [ ] Sudah lebih dari tiga kali.
45. Apakah terdapat program asuransi dalam pemberian kredit terhadap debitur tersebut?
[ ] Ya. Sebutkan .................. (asuransi jiwa/asuransi kredit) [ ] Tidak Khusus untuk debitur dengan kolektibilitas Lancar 46. Bagaimana keadaan debitur pada akhir tahun 2006 (bln Desember)?
[ ] Memiliki masalah kesehatan yang serius. [ ] Memiliki masalah keluarga yang serius. [ ] Kehilangan pekerjaan (PHK/perusahaan bangkrut/dll) [ ] Tidak punya itikad untuk mengembalikan kredit. [ ] Baik-baik saja
47. Bagaimana kondisi usaha yang sedang dijalankan debitur pada akhir tahun 2006
(bln Desember)? [ ] Tidak mengalami masalah [ ] Mengalami musibah (bencana alam, kecelakaan, penipuan). [ ] Mengalami persaingan usaha yang sangat ketat. [ ] Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga. [ ] Lainnya, sebutkan:
....................................................................................................
78
Khusus untuk debitur dengan kolektibilitas non lancar (Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet) 48. Bagaimana keadaan debitur pada saat kredit mulai menunggak?
[ ] Memiliki masalah kesehatan yang serius. [ ] Memiliki masalah keluarga yang serius. [ ] Kehilangan pekerjaan (PHK/perusahaan bangkrut/dll) [ ] Tidak punya itikad untuk mengembalikan kredit. [ ] Baik-baik saja
49. Bagaimana kondisi usaha yang sedang dijalankan debitur pada saat kredit mulai menunggak?
[ ] Tidak mengalami masalah [ ] Mengalami musibah (bencana alam, kecelakaan, penipuan). [ ] Mengalami persaingan usaha yang sangat ketat. [ ] Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga. [ ] Lainnya, sebutkan:
....................................................................................................
79
Kuesioner ini Digunakan dalam Penelitian Non Performing Loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
NASABAH BPR KETERANGAN :
• Tujuan angket ini adalah untuk memperoleh informasi tentang kondisi nasabah dari suatu BPR.
• Angket ini dipegang oleh peneliti (research assistant) sebagai bahan dalam mewawancarai nasabah/debitur. Angket ini diisi oleh peneliti.
• Sebelum memulai wawancara, sangat penting untuk mengingatkan responden (dalam hal ini debitur) bahwa angket ini dibuat untuk maksud penelitian/survey dan bukan untuk bahan evaluasi. Semua informasi yang diperoleh akan disimpan kerahasiaannya.
• Cara mengisi angket ini adalah dengan menuliskan pada tempat yang telah disediakan (pada titik-titik) atau dengan memilih salah satu jawaban yang sesuai dengan cara memberi tanda silang (X) pada kotak didepan jawaban.
• Posisi kredit adalah per 31 Desember 2006.
• Debitur yang yang menjadi responden dalam angket ini sama dengan debitur yang dipilih untuk angket status kredit debitur.
50. Tuliskan nama dan alamat Saudara:
Nama : …………………………………………...................………………… Jenis Kelamin : [ ] Pria [ ] Wanita Usia : ……….. tahun. Status : [ ] Kawin [ ] Belum kawin [ ] Cerai Jumlah Tanggungan : ................ orang Jenis Pekerjaan/Usaha : …………………………………………………………….…………. Lama Usaha/Pekerjaan : ............... tahun No. Telp : ....................................................................................................
51. Sudah berapa lama Saudara menjadi nasabah kredit di BPR ini? ............... bulan.
KUESIONER UNTUK DEBITUR BPR
80
52. Berapa besar kredit yang diberikan?
[ ] Sama dengan yang diminta [ ] Lebih kecil dari yang diminta
Darimana kekurangan dana diperoleh untuk mencukupi kebutuhan usaha? .................................................................................................................................
[ ] Lebih besar dari yang diminta Untuk apa kelebihan dana yang didapatkan? .........................................................
53. Apakah Saudara memiliki kredit di bank atau lembaga keuangan lain atau pihak
lainnya? [ ] Ya, sebutkan: ........................................................................................................... [ ] Tidak
54. Apakah kredit yang Saudara terima masuk pada kategori kredit berkelompok? [ ] Ya [ ] Tidak 55. Hubungan apa yang Saudara miliki dengan pengurus/pemilik bank?
[ ] Keluarga/saudara [ ] Pertemanan [ ] Tidak ada
56. Bagaimana status kepemilikan tempat tinggal Saudara?
[ ] Milik sendiri [ ] Sewa [ ] Milik orangtua/saudara/teman
57. Bagaimana status kepemilikan tempat usaha Saudara? [ ] Milik sendiri [ ] Sewa [ ] Milik orangtua/saudara/teman
58. Bagaimana anda menangani keuangan untuk pembayaran angsuran kredit
Saudara? [ ] Dipisahkan dari keuangan keluarga. [ ] Digabung dengan keuangan keluarga.
59. Apakah terdapat program asuransi dalam kredit yang Saudara terima?
[ ] Ya. Sebutkan ......................................................... (asuransi jiwa/asuransi kredit)
[ ] Tidak
81
Khusus untuk debitur dengan kolektibilitas Lancar 60. Bagaimana keadaan Saudara pada akhir tahun 2006 (bln Desember)?
[ ] Memiliki masalah kesehatan yang serius. [ ] Memiliki masalah keluarga yang serius. [ ] Kehilangan pekerjaan (PHK/perusahaan bangkrut,dll)
[ ] Baik-baik saja 61. Bagaimana kondisi usaha Saudara pada akhir tahun 2006 (bln Desember)?
[ ] Meningkat [ ] Tetap [ ] Menurun
62. Bagaimana kondisi usaha yang sedang Saudara jalankan pada akhir tahun 2006
(bln Desember)? [ ] Tidak mengalami masalah apapun. [ ] Mengalami musibah (bencana alam, kecelakaan, penipuan). [ ] Mengalami persaingan usaha yang sangat ketat. [ ] Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga. [ ] Lainnya, sebutkan: ................................................................................................
Khusus untuk debitur dengan kolektibilitas Non Lancar (Kurang Lancar, Diragukan, Macet) 63. Bagaimana keadaan Saudara pada saat kredit mulai menunggak?
[ ] Memiliki masalah kesehatan yang serius. [ ] Memiliki masalah keluarga yang serius. [ ] Kehilangan pekerjaan (PHK/perusahaan bangkrut,dll)
[ ] Baik-baik saja 64. Bagaimana kondisi usaha Saudara pada saat kredit mulai menunggak?
[ ] Meningkat [ ] Tetap [ ] Menurun
82
65. Bagaimana kondisi usaha yang sedang Saudara jalankan pada saat kredit mulai
menunggak? [ ] Tidak mengalami masalah apapun. [ ] Mengalami musibah (bencana alam, kecelakaan, penipuan). [ ] Mengalami persaingan usaha yang sangat ketat. [ ] Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga. [ ] Lainnya, sebutkan: ................................................................................................
83
Lampiran 2
Kondisi Internal BPR
84
KONDISI INTERNAL BPR
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Proses Persetujuan Kredit
1. Jenjang persetujuan kredit
2. Lama kredit memperoleh persetujuan
3. Intervensi pemilik dalam pemberian kredit
4. Intervensi komisaris dalam pemberian kredit
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Syarat Pemberikan Kredit
5. Syarat permberian kredit
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Proses Penagihan Kredit
6. Cara pembayaran
7. Kunjungan rutin Account Officer
8. Sistem insentif bagi Account Officer
9. Keberadaan petugas khusu penagihan.
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Strategi Pemasaran Kredit.
10. Direksi ikut memasarkan
11. Target market tertentu
12. Mendapatkan binaan keuangan
13. Sebaran lokasi dibitur
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Peran Direksi dan Komisaris
14. Direksi memiliki bisnis lain
15. Komisaris memiliki bisnis lain
16. Pengawasan komisaris
17. Sertifikasi yang diperoleh oleh direksi
18. Perputaran direksi
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Peran Account Officer
19. Tingkat pendidikan formal
85
20. Pelatihan yang diberikan
21. Rasio antara Account Officer dan nasabah
22. Perputaran Account Officer
23. Masa kerja
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Proses Pengendalian
24. Keberadaan internal auditor
25. Pemantauan rutin kepada Account Officer
Variabel-variabel yang berhubungan dengan linkage program
26. Pemanfaatan linkage program
86
Lampiran 3
Hasil Pengolahan Data
Kondisi Internal BPR dan Rasio NPL
87
HASIL PENGOLAHAN DATA
KONDISI INTERNAL BPR DAN RASIO NPL
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Proses Persetujuan Kredit:
a Dependent Variable:
RASIONPL b Predictors: (Constant), KOMISC, BIROKRB, WAKTU, PEMILIKB, KOMISB,
BIROKRC, PEMILIKC
Faktor yang berhubungan dengan Syarat Pemberikan Kredit
(Pengecualian, khusus faktor Syarat Pemberian Kredit diuji dengan Chi-
Square)
χ2computed = 18,71.
Sedangkan χ2 dari tabel,
χ2table = 25
Oleh karena χ2computed < χ2tabel , Syarat Pemberikan Kredit tidak
berhubungan dengan rasio NPL
Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta 1 (Constant) ,175 ,046 3,835 ,000
BIROKRB -,016 ,028 -,044 -,568 ,571
BIROKRC -,003 ,026 -,008 -,102 ,919
WAKTU ,005 ,005 ,072 1,047 ,296
PEMILIKB -,026 ,039 -,051 -,651 ,515
PEMILIKC ,028 ,080 ,028 ,355 ,723
KOMISB -,014 ,024 -,044 -,598 ,550
KOMISC ,043 ,053 ,059 ,801 ,424
88
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Proses Penagihan Kredit
a Predictors: (Constant), TAGIH, BAYARC, INSENTIF, BAYARD, KUNJUNG, BAYARB b Dependent Variable: NPL
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Strategi Pemasaran Kredit.
a Predictors: (Constant), LOKASI, BINAAN, TARGETC, DIREKSI, TARGETB b Dependent Variable: RASIONPL
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta 1 (Constant) ,244 ,041 5,886 ,000 BAYARB ,052 ,026 ,133 1,976 ,049 BAYARC -,083 ,033 -,165 -2,484 ,014 BAYARD -,079 ,052 -,100 -1,510 ,133 KUNJUNG -,038 ,039 -,064 -,979 ,329 INSENTIF -,049 ,021 -,149 -2,270 ,024 TAGIH -,024 ,027 -,060 -,905 ,367
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) ,081 ,089 ,911 ,363
DIREKSI ,017 ,028 ,043 ,620 ,536
TARGETB ,032 ,088 ,072 ,367 ,714
TARGETC ,053 ,084 ,125 ,638 ,524
BINAAN -,063 ,042 -,102 -1,490 ,138
LOKASI ,031 ,030 ,074 1,045 ,297
89
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Peran Direksi dan Komisaris
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) ,208 ,069 3,026 ,003
DIREKSIB -,052 ,043 -,093 -1,208 ,228
DIREKSIC -,016 ,026 -,049 -,604 ,546
KOMISB -,088 ,062 -,101 -1,419 ,158
KOMISC -,008 ,027 -,022 -,286 ,775
ENGAWB ,019 ,081 ,017 ,236 ,813
PENGAWC -,037 ,026 -,108 -1,426 ,155
PENGAWD ,010 ,057 ,013 ,179 ,858
SERTIFIK -,030 ,061 -,035 -,499 ,619
TURNOVER ,046 ,015 ,215 3,027 ,003
a Predictors: (Constant), TURNOVER, PENGAWD, ENGAWB, KOMISB, DIREKSIC, SERTIFIK, KOMISC, PENGAWC, DIREKSIB b Dependent Variable: RASIONPL
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Peran Account Officer
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) -,018 ,170 -,108 ,914
LULUSB ,107 ,166 ,323 ,645 ,520
LULUSC ,090 ,165 ,266 ,545 ,587
LULUSD ,085 ,167 ,202 ,508 ,612
PELATIH ,062 ,039 ,107 1,577 ,116
RASIO ,074 ,431 ,012 ,171 ,864
TURNOVER ,076 ,041 ,133 1,861 ,064
MKERJA ,004 ,003 ,076 1,065 ,288
a Predictors: (Constant), MKERJA, PELATIH, LULUSD, RASIO, TURNOVER, LULUSC, LULUSB b Dependent Variable: RASIONPL
90
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Proses Pengendalian
a Predictors: (Constant), PANTAU, INTAUDIT b Dependent Variable: RASIONPL
Faktor yang berhubungan dengan linkage program
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) ,198 ,013 15,082 ,000
LINKAGE -,097 ,022 -,284 -4,401 ,000
a Predictors: (Constant), LINKAGE b Dependent Variable: RASIONPL
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) ,171 ,052 3,305 ,001
INTAUDIT -,021 ,027 -,053 -,773 ,440
PANTAU ,008 ,051 ,010 ,147 ,883
91
Lampiran 4
Kondisi Eksternal BPR
92
KONDISI EKSTERNAL BPR
KONDISI DEBITUR
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Profil Kredit Debitur
27. Plafon kredit yang diberikan
28. Baki debit yang diperoleh
29. Suku bunga yang diberikan
30. Biaya tambahan selain bunga
31. Jangka waktu pelunasan
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Kategori Kredit yang diperoleh
Debitur
32. Apakah berkelompok atau tidak
33. Jenis agunan yang digunakan
34. Nilai agunannya
35. Kredit berupa pengulangan atau tidak
36. Apakah kredit diasuransikan atau tidak
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Pemanfaatan Kredit oleh Debitur
37. Tujuan pengajuan kredit
38. Sektor ekonomi penggunaan kredit
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Keadaan Debitur
39. Lama menjadi debitur
40. Memiliki kredit ditempat lain
41. Hubungan dengan BPR
42. Status tempat tinggal
43. Status tempat usaha
44. Kondisi pribadi debitur
93
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Administrasi Kredit oleh Debitur
45. Pengelolaan administrasi kredit
KONDISI LINGKUNGAN
Variabel yang berhubungan dengan Tingkat Persaingan
46. Persaingan
Variabel yang berhubungan dengan Kondisi Usaha
47. Kondisi usaha
94
Lampiran 5
Hasil Pengolahan Data
Kondisi Eksternal BPR
95
HASIL PENGOLAHAN DATA KONDISI EKSTERNAL BPR
FAKTOR KONDISI DEBITUR
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Profil Kredit Debitur
a Predictors: (Constant), WKTLUNAS, BIAYA, KREDITC, KREDITB, BUNGA, PLAFON
b Dependent Variable: KOLEK
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kategori Kredit yang diperoleh Debitur
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 3,035 ,223 13,583 ,000 KELOMPOK -,009 ,175 -,002 -,049 ,961 JNSAGB ,311 ,116 ,100 2,671 ,008 JNSAGC ,440 ,098 ,176 4,505 ,000 JNSAGD ,004 ,138 ,001 ,028 ,978 JNSAGE -,336 ,283 -,072 -1,190 ,234 NLAGB ,011 ,301 ,002 ,037 ,970 NLAGC -,709 ,208 -,226 -3,400 ,001 NLAGD ,039 ,280 ,010 ,141 ,888 ULANG -,104 ,032 -,108 -3,248 ,001 ASURANSI -,182 ,078 -,078 -2,339 ,020
a Predictors: (Constant), ASURANSI, NLAGC, ULANG, JNSAGB, KELOMPOK, JNSAGD, NLAGB, JNSAGC, JNSAGE, NLAGD b Dependent Variable: KOLEK Pada analisa selanjutnya, variabel JNSAGB dan variabel JNSAGC digabung menjadi variabel JNSTB.
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 2,326 ,168 13,825 ,000 PLAFON -,070 ,047 -,052 -1,465 ,143 KREDITB ,065 ,082 ,026 ,790 ,430 KREDITC ,340 ,414 ,027 ,822 ,412 BUNGA ,032 ,017 ,064 1,883 ,060 BIAYA ,035 ,023 ,049 1,485 ,138 WKTLUNAS -,001 ,004 -,007 -,199 ,842
96
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Pemanfaatan Kredit oleh Debitur
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 2,316 ,256 9,030
,000
TUJUANB -,004 ,193 -,001 -,020 ,984 TUJUANC -,171 ,261 -,029 -,657 ,511
TUJUAND ,611 ,313 ,077 1,954
,051
TUJUANE ,241 ,229 ,041 1,054
,292
EKONB -,102 ,254 -,021 -,402 ,688
EKONC -,042 ,204 -,017 -,206 ,836
EKOND -,095 ,222 -,029 -,430 ,668 EKONE ,175 ,260 ,050 ,673 ,501
a Predictors: (Constant), EKONE, TUJUAND, TUJUANC, EKONB, EKOND, TUJUANE, TUJUANB, EKONC b Dependent Variable: KOLEK
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Keadaan Debitur
a Predictors:
(Constant), KONDISID, LAIN, USAHAC, RUMAHB, HUBUNGB, LAMA, USAHAB, RUMAHC, KONDISIB, KONDISIC, HUBUNGC b Dependent Variable: KOLEK
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 2,456 ,240 10,211 ,000 LAMA -
8,923E-05
,001 -,004 -,127 ,899
LAIN ,001 ,082 ,000 ,014 ,989 HUBUNGB ,059 ,238 ,017 ,249 ,804 HUBUNGC ,104 ,222 ,033 ,469 ,639 RUMAHB ,188 ,137 ,042 1,372 ,170 RUMAHC ,102 ,114 ,028 ,893 ,372 USAHAB ,005 ,084 ,002 ,054 ,957 USAHAC ,032 ,134 ,008 ,238 ,812 KONDISIB ,255 ,143 ,072 1,787 ,074 KONDISIC ,475 ,126 ,172 3,769 ,000 KONDISID -,780 ,113 -,334 -6,878 ,000
97
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Administrasi Kredit oleh Debitur
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 2,161 ,050 42,958 ,000
ADM ,338 ,077 ,143 4,373 ,000
a Predictors: (Constant), ADM b Dependent Variable: KOLEL
KONDISI EKSTERNAL
Faktor yang berhubungan dengan Tingkat Persaingan
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) ,134 ,040 3,376 ,001 PESAINGB -,006 ,040 -,011 -,153 ,879 PESAINGC -,026 ,025 -,078 -
1,033 ,303
PESAINGD -,034 ,041 -,059 -,827 ,409 PESAINGE ,020 ,084 ,016 ,231 ,817 TINGKAT ,018 ,016 ,078 1,134 ,258
a Predictors: (Constant), TINGKAT, PESAINGD, PESAINGE, PESAINGB, PESAINGC b Dependent Variable: RASIONPL
Faktor yang berhubungan dengan Kondisi Usaha
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 1,554 ,080 19,309 ,000
KONDISIB ,326 ,102 ,128 3,196 ,001
KONDISIC 1,257 ,093 ,538 13,444 ,000
a Predictors: (Constant), KONDISIC, KONDISIB b Dependent Variable: KOLEK
98
Lampiran 6
Profil BPR yang Diteliti
Hal.
Profil BPR Jabotabek 99 Profil BPR Jawa Barat 107
Profil BPR Jawa Tengah 116 Profil BPR Sumatera Utara 129
Profil BPR Sumatera Selatan 139 Profil BPR Sulawesi Selatan 146
Profil BPR Nusa Tenggara Barat (NTB) 166 Kesimpulan 175
99
Profil BPR Jabotabek
Dilaporkan oleh: Diyah Duma Sari Siregar (Lembaga Manajemen PPM)
Survey tentang faktor pemicu meningkatnya NPL di BPR Jabodetabek rencananya
dilakukan terhadap 48 BPR yang tersebar di KBI Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
dan Bekasi. Namun ada satu BPR yang tidak bersedia di survey. Sehingga total BPR yang
disurvey adalah 47 BPR. BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran. Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 bentuk
hukum BPR dapat berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, dan Koperasi.
Hampir seluruh BPR yang disurvey di wilayah Jabodetabek atau sebanyak 46 BPR (98%)
berbentuk PT dan hanya 1 BPR (2 %) berbentuk PD.
Gambar 1. Bentuk Organisasi BPR Yang Disurvey
PT98%
PD2%
PT PD
Status badan usaha apakah PT atau PD memiliki peluang yang sama untuk menarik
nasabah. Artinya tidak selalu BPR yang berbadan usaha PT memiliki posisi kredit lebih besar
bila dibandingkan dengan BPR yang berbadan usaha PD. Dari survey diperoleh gambaran
bahwa dari 47 BPR yang berbentuk PT, 20 diantaranya memiliki posisi kredit dibawah BPR
yang berbentuk PD. Dari 47 BPR yang disurvey sebagian besar yakni 40 BPR memiliki posisi
kredit per Desember 2006 di bawah 20 milyar rupiah. Dengan demikian hanya 7 BPR yang
memiliki posisi kredit per Desember 2006 di atas 20 milyar rupiah. Dari 7 BPR tersebut
kesemuanya berbentuk PT yang berlokasi di wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok
dan Bekasi. Namun demikian tidak selalu BPR yang terletak di wilayah pusat aktivitas
ekonomi, memiliki posisi kredit yang tinggi. Bahkan dari sampel yang diambil terdapat BPR
100
yang berlokasi di pusat aktivitas ekonomi - Jakarta sudah terhenti aktivitasnya selama kurun
waktu tertentu.
Gambar 2. Posisi Kredit BPR Per Desember 2006
5
10
67
4
15
0
2
4
6
8
10
12
14
16
<2000 2000-3999 4000-5999 6000-7999 8000-9999 >10000
Jumlah Kredit (Juta Rupiah)
Jum
lah
BPR
Hasil survey menunjukan bahwa sebagian besar BPR yakni 59% hanya membutuhkan
waktu rata-rata empat sampai tujuh hari untuk menyetujui kredit. Sebanyak 30% perlu waktu
satu sampai tiga hari, sedangkan BPR yang membutuhkan waktu hingga dua minggu untuk
menyetujui kredit 11% atau 5 BPR. Dengan demikian hampir seluruh BPR yakni 89%
membutuhkan waktu tidak lebih dari tujuh hari untuk menyetujui kredit.
101
Gambar 3. Rata-rata Waktu Menyetujui Kredit
1 s/d 330%
8 s/d1411%
4 s/d 759%
1 s/d 3 4 s/d 7 8 s/d14
Dalam melakukan pembayaran angsuran sebagian besar disetor langsung ke BPR atau
diambil ke debitur. Terdapat empat BPR dari 47 BPR yang disurvey yang menyatakan bahwa
angsuran dibayar secara bervariasi antara disetor langsung, diambil langsung ke debitur dan
transfer ke rekening BPR.
Gambar 4. Cara Pembayaran Angsuran Kredit
18 18
6
11
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Disetor langsung keBPR
Diambil ke debitur Dipotong langsung darigaji/tabungan debitur
Transfer ke rekeningBPR
Cara Pembayaran Angsuran Kredit
JUm
lah
BPR
Hal ini menggambarkan bahwa kemudahan dalam bertransaksi pembayaran bukanlah
hal yang utama yang ditawarkan oleh BPR kepada debiturnya, tetapi BPR lebih menawarkan
kemudahan dalam memperoleh pinjaman. Walaupun BPR tidak menawarkan kemudahan
dalam pembayaran, hal ini tidak menyurutkan keinginan calon debitur untuk meminjam di
BPR. Kenyataan ini semakin memperkuat pernyataan bahwa BPR tetap dipilih bukan karena
kemudahan dalam pembayaran atau kedekatan lokasi, namun karena keunggulan kemudahan
memperoleh pinjaman dengan nilai kredit yang tergolong mikro.
102
Kemudahan memberikan kredit mikro oleh BPR sesuai eksistensi mereka yang bermain
di segmen pasar masyarakat menengah ke bawah. Meskipun demikian mereka tetap
menjalankan bisnis perbankan mikro ini dengan prinsip kehati-hatian dan mengikuti aturan
Bank Indonesia. Salah satu buktinya, dari 47 BPR hampir seluruh direksi BPR yang disurvey,
atau 45 BPR telah memiliki sertifikasi. Sedangkan 2 direksi BPR belum memiliki sertifikasi.
Gambar 5. Debitur Utama BPR
Keryaw an perusahaan/instansi
pemerintah18%
Keluarga/teman/kenalan2%
Masyarakat sekitar80%
Keluarga/teman/kenalan Keryaw an perusahaan/instansi pemerintah Masyarakat sekitar
Hasil survey menunjukan bahwa sebanyak 39 dari 47 BPR yang disurvey menyatakan
kreditnya tersalurkan ke masyarakat sekitar. Hanya 18% yakni 9 BPR yang menyalurkan
kreditnya ke karyawan perusahaan dan PNS dan 2% yakni 1 BPR yang menyalurkan kreditnya
disekitar keluarga, teman dan kenalan.
Kenyataan bahwa sebagian besar BPR menyalurkan kredit ke masyarakat sekitar
memberikan harapan besar untuk terjadinya pengembangan usaha mikro yang berkelanjutan.
Untuk merealisasikan hal ini dan mencegah kredit non lancar diperlukan pendampingan
terhadap debitur yang berbentuk fasilitas konsultasi yang terkait dengan usahanya. Namun
disayangkan seluruh BPR yang disurvey di Jabodetabek tidak satu pun BPR yang memiliki
debitur yang merupakan binaan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB).
Dalam perkembangan beberapa tahun terakhir penurunan Rasio NPL BPR. Bila
berkelanjutan, permasalahan ini bisa menghambat kesinambungan eksistensi BPR sebagai
lembaga keuangan yang telah berperan signifikan dalam mendorong pengembanga usaha
mikro.
Memburuknya rasio NPL cukup memprihatinkan karena berbagai upaya telah dilakukan
oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan peran dan kontribusi BPR diantaranya linkage
program antara Bank Umum dan BPR dalam rangka penyaluran kredit kepada usaha kecil dan
mikro (UKM). Berdasarkan hasil survey diketahui 21 BPR dari 47 BPR yang disurvey yang telah
mengikuti linkage program.
103
Gambar 6. BPR Yang Mengikuti linkage program
Mengikuti45%
Tidak Mengikuti55%
Mengikuti Tidak Mengikuti
Sebagian besar kredit dari BPR yang disurvey dialokasikan ke jenis usaha
perdagangan. Dari 180 debitur yang dijadikan sampel, sebanyak 95 atau 54% merupakan
debitur yang menggeluti usaha perdagangan.
Gambar 7. Jenis Usaha Debitur
Pengolahan4%
Karyaw an12%
Jasa-jasa24%
Lain-lain4%
Perdagangan54%
Pertanian2%
Jasa-jasa Karyaw an Pengolahan Perdagangan Pertanian Lain-lain
Jenis usaha perdagangan terbesar di jalankan oleh debitur adalah perdagangan eceran
komoditas pangan dan kelontongan yang tersebar di hampir seluruh wilayah survey.
Sedangkan debitur yang bergerak di sektor jasa-jasa diantaranya jasa angkutan, bengkel, dan
kesehatan besarnya 24%. Hanya 4 BPR yang tersurvey yang memberikan kredit kepada petani,
sehingga persentase pembiayaan sektor pertanian paling rendah diantara seluruh jenis usaha
yakni 2%.
Dalam memberikan kredit kepada debitur, antar BPR menetapkan suku bunga secara
flat yang sangat bervariasi. Sebagian besar BPR menetapkan suku bunga pinjaman secara flat
antara 2% – 2,9%. Dari 180 debitur yang jadi sampel, 77 debitur dibebani suku bunga sebesar
2% – 2,9% per bulan. Bahkan sebanyak 58 debitur menanggung bunga sebesar 3% - 3,9% secara
flat per bulannya. Mengejutkan, ada pula debitur yang membayar bunga di atas 4% per
bulannya. Dibandingkan dengan bank umum besaran suku bunga tersebut jelas jauh lebih
besar. Kondisi yang ironis, pelaku usaha skala mikro ini harus menanggung biaya modal yang
104
sangat tinggi. Dimungkinkan kebijakan BPR menetapkan suku bunga sebesar itu untuk
menutup biaya operasi yang tinggi per satuan kredit yang dikucurkannya.
Gambar 8. Suku Bunga Yang Dikenakan
1-1,99923%
2-2,99943%
3-3,99932%
>42%
1-1,999 2-2,999 3-3,999 >4
Selain besaran suku bunga, debitur pun terkena biaya tambahan disaat akad kredit
yang besarnya cukup signifikan. Sebanyak 89% dari total debitur dikenakan biaya tambahan
yang bervariasi. Bahkan ada debitur yang dikenakan biaya tambahan hingga 8,6%
Gambar 9. Besarnya Biaya Tambahan
2-2,99934%
1-1,9996%
011%
3-3,99926%
>423%
0 1-1,999 2-2,999 3-3,999 >4
Ada pula BPR yang tidak mengenakan biaya tambahan, hal ini dialami oleh 19 debitur.
Mengejutkan, terdapat debitur dibebani biaya tambahan di atas 4%. Dilihat berdasarkan
besarnya pinjaman tampaknya tidak terdapat korelasi antara besarnya biaya tambahan
dengan pinjaman. Berdasarkan temuan ini menunjukan bahwa dibalik kemudahan prosedur
peminjaman dan kecepatan pencairan sebenarnya biaya transaksi perolehan kredit di BPR
sangat tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan fungdi BPR sebagai pendorong pengembangan
usaha mikro menjadi tidak sinkron, karena pembebanan ini dikhawatirkan bukannya
mendorong usaha malah menghambat.
Survey terhadap 180 debitur, 22% merupakan debitur dengan kolektibilitas non lancar
dimana 27% nya merupakan debitur yang kolektibilitasnya macet.
105
Gambar 11. Kolektibilitas Kredit Debitur
Lancar28%
Kurang Lancar22%
Diragukan23%
Macet27%
Lancar Kurang Lancar Diragukan Macet
Kenyataan yang dihadapi BPR yang bermasalah bahwa sebagian besar nasabahnya memiliki
kolektibilitas non lancar dapat menjadi ancaman terhadap keberlangsungan usahanya.
Menurut pihak BPR sebagian besar tujuan pemakaian kredit tersebut untuk kredit modal
kerja. Namun kenyataannya terdapat pula nasabah yang menggunakan pinjaman tersebut
untuk keperluan konsumsi. Dari lapangan diperoleh informasi salah satu contoh penggunaan
pinjaman untuk keperluan konsumsi adalah untuk renovasi rumah.
106
Gambar 12. Tujuan Penggunaan Kredit
Modal Kerja74%
Kombinasi2%Investasi
5%
Lainnya2% Konsumsi
17%
Konsumsi Modal Kerja Investasi Kombinasi Lainnya
Berdasarkan survey terhadap 180 debitur, terdapat 133 debitur atau 74% nya
memanfaatkan kredit untuk membiayai operasional usaha atau modal kerja. Menariknya
sektor usaha yang paling banyak digeluti debitur adalah sektor perdagangan. Artinya,
dimungkinkan modal kerja yang dimaksud adalah pembelian barang untuk dijual kembali
tanpa proses nilai tambah produk. Hal ini diperkuat oleh hasil survey dimana sektor industri
hanya menyerap 4% dari total kredit yang disalurkan oleh BPR.
Gambar 13. Alokasi Kredit Per Sektor Ekonomi
Perdagangan58%
Perindustrian4%
Pertanian1%
Lainnya18%
Jasa-jasa19%
Pertanian Perindustrian Perdagangan Jasa-jasa Lainnya
Kenyataan ini mengandung resiko tinggi, bahwa fluktuasi harga dan lemahnya
pengelolaan usaha para debitur menggiring pada macetnya kredit. Apabila debitur tidak lihai
dalam mengelolan pinjaman sebagai biaya operasionalnya, hal ini akan mendatangkan
kerugian dan sangat memungkinkan terjadinya kredit macet. Oleh karena itu sangat penting
digalakkan program dari BPR untuk melibatkan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) sebagai
pembina debitur.
107
Profil BPR Jawa Barat
Dilaporkan oleh: Tim Peneliti Universitas Islam Bandung
Survey tentang faktor pemicu meningkatnya NPL di BPR Jawa Barat dilakukan
terhadap 40 BPR yang tersebar di KBI Wilayah Bandung, Tasikmalaya dan Cirebon. BPR adalah
bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 bentuk hukum BPR dapat berupa Perseroan
Terbatas, Perusahaan Daerah, dan Koperasi.
Sebagian besar yakni 67,5% BPR yang disurvey di wilayah Jawa Barat berbentuk PT
dan 37,5% berbentuk PD. Perusahaan Daerah BPR umumnya dimiliki oleh tiga pihak yakni
Pemprov Jabar, Pemda setempat dan Bank Jabar. Sedangkan yang berbentuk PT, murni
dimiliki oleh swasta.
Gambar 1. Bentuk Organisasi BPR Yang Disurvey
PD33%
PT67%
PT PD
Status badan usaha apakah PT atau PD ternyata tidak menghambat operasi aktivitas
BPR. Artinya, mereka tetap memiliki peluang yang sama untuk menarik nasabah. Hal ini
tercermin pada besarnya posisi kredit BPR Desember 2006 baik yang berbentuk PT maupuan
PD, secara umum tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Dari 40 BPR yang disurvey
sebagian besar yakni 31 BPR memiliki posisi kredit per Desember 2006 di bawah 20 milyar
rupiah. Dengan demikian hanya 9 BPR yang memiliki posisi kredit per Desember 2006 di atas
20 milyar rupiah. Dari 9 BPR tersebut yang berbentuk PT sebanyak 8 dengan lokasi di wilayah
Bandung (Kota dan Kabupaten Bandung) dan 1 BPR berbentuk PD yang berlokasi di Kota
Cirebon. Hal ini secara implisit menunjukan bahwa BPR yang berada di pusat aktivitas
108
ekonomi, memiliki peluang usaha relatif lebih besar. Kota/Kabupaten Bandung dan Kota
Cirebon merupakan wilayah industri dan jasa sekaligus, dimana terdapat banyak pelaku usaha
di dua sektor ekonomi tersebut yang tersebar di kota dan pinggirannya.
Gambar 2. Posisi Kredit BPR Per Desember 2006
5
72.5
7.5 7.5
2.5 2.5 2.5
0
10
20
30
40
50
60
70
80
< 1000 1000 - 19999 20000 - 39999 40000 - 59999 60000 - 79999 80000 - 99999 > 100000
Jumlah Kredit (Juta Rupiah)
Pers
enta
se
BPR besar tersebut mampu meraih nasabah diluar batas administrasi lokasi bank.
Contoh kasus BPR di Kota Bandung, nasabahnya tersebar sampai ke Kabupaten Bandung dan
Kota Cimahi. Demikian halnya BPR di Kota Cirebon, banyak nasabahnya berada di Kabupaten
Cirebon. Performa ini menunjukan bahwa BPR memiliki daya tarik tersendiri bagi kelompok
masyarakat tertentu untuk dijadikan mitra usaha sekalipun lokasi jauh dari tempat
tinggalnya. Dimungkinkan salah satu daya tariknya tersebut adalah kecepatan pencairan dana
dan kemudahan cara pembayaran angsuran.
Hasil survey menunjukan bahwa sebagian besar BPR yakni 52% hanya membutuhkan
waktu rata-rata satu sampai tiga hari untuk menyetujui kredit. Sebanyak 43% perlu waktu
empat sampai tujuh hari. Dengan demikian hampir seluruh BPR yakni 95% membutuhkan
waktu tidak lebih dari tujuh hari untuk menyetujui kredit. Hanya terdapat dua BPR yang
memerlukan waktu sampai dua minggu untuk menyetujui kredit.
109
Gambar 3. Rata-rata Waktu Menyetujui Kredit
8 s/d 110%
12 s/d 145%
1 s/d 352%4 s/d 7
43%
1 s/d 3 4 s/d 7 8 s/d 11 12 s/d 14
Namun ternyata dalam membayar angsuran sebagian besar disetor langsung ke BPR.
Hanya delapan BPR dari 40 BPR yang disurvey yang menyatakan bahwa angsuran diambil
langsung ke debitur.
Gambar 4. Cara Pembayaran Angsuran Kredit
55
20 20
5
0
10
20
30
40
50
60
Disetor langsung ke BPR Diambil/dijemput langsungke debitur
Dipotong secara langsungdari gaji/tabungan debitur
Transfer ke rekening BPRdi bank umum
Cara Pembayaran Angsuran Kredit
Pers
enta
se
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa sebagian besar BPR tidak memberikan fasilitas
kemudahan dalam membayar. Hal ini bisa dipahami karena pengambilan cicilan oleh bank
atau fasilitas lainnya akan menimbulkan biaya operasi buat BPR. Namun di sisi lain, nasabah
yang jauh dari lokasi bank harus menanggung biaya transportasi yang lebih tinggi untuk setiap
kedatangan dalam membayar cicilannya. Kenyataan ini semakin memperkuat pernyataan
bahwa BPR tetap dipilih bukan karena kedekatan lokasi, namun karena keunggulan
kemudahan memperoleh pinjaman dengan nilai kredit yang tergolong mikro.
Kemudahan memberikan kredit mikro oleh BPR sesuai eksistensi mereka yang bermain
di segmen pasar masyarakat menengah ke bawah. Meskipun demikian mereka tetap
menjalankan bisnis perbankan mikro ini dengan prinsip kehati-hatian dan mengikuti aturan
Bank Indonesia. Salah satu buktinya, seluruh direksi BPR yang disurvey memiliki sertifikasi.
110
Selain itu, mereka tidak memilih nasabah karena ada hubungan khusus. Sebagian besar BPR
menyalurkan kredit ke masyarakat sekitar.
Gambar 5. Debitur Utama BPR
Masyarakat Sekitar82%
Keluarga/Teman/ Kenalan
0%
Karyawan Perusahaan/
Instansi Pemerintah18%
Keluarga/Teman/Kenalan Karyawan Perusahaan/Instansi Pemerintah Masyarakat Sekitar
Hasil survey menunjukan bahwa sebanyak 33 dari 40 BPR yang disurvey menyatakan
kreditnya tersalurkan ke masyarakat sekitar. Hanya 18% yakni 7 BPR yang menyalurkan
kreditnya ke karyawan perusahaan dan PNS. Kredit khusus untuk karyawan perusahaan terjadi
di BPR dimana pemilik dan dewan komisarisnya merangkap sebagai pemilik dan dewan
komisaris sebuah perusahaan swasta. Sedangkan kredit khusus untuk PNS lebih banyak
dilakukan oleh BPR milik pemerintah.
Kenyataan bahwa sebagian besar BPR menyalurkan kredit ke masyarakat sekitar
memberikan harapan besar untuk terjadinya pengembangan usaha mikro yang berkelanjutan.
Untuk merealisasikan hal ini dan mencegah kredit non lancar diperlukan pendampingan
terhadap debitur yang berbentuk fasilitas konsultasi yang terkati dengan usahanya. Namun
disayangkan seluruh BPR yang disurvey di Jawa Barat tidak ada satu pun BPR yang memiliki
debitur yang merupakan binaan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB).
Dalam perkembangan beberapa tahun terakhir kinerja BPR menunjukan peningkatan
baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Namun sayangnya, kinerja
tersebut diikuti dengan memburuknya Rasio NPL BPR. Permasalahan ini bisa menghambat
kesinambungan eksistensi BPR sebagai lembaga keuangan yang telah berperan signifikan
dalam mendorong pengembanga usaha mikro.
Memburuknya rasio NPL cukup memprihatinkan karena berbagai upaya telah dilakukan
oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan peran dan kontribusi BPR diantaranya linkage
program antara Bank Umum dan BPR dalam rangka penyaluran kredit kepada usaha kecil dan
mikro (UKM). Berdasarkan hasil survey diketahui ternyata hanya 15 BPR dari 40 BPR yang
disurvey yang telah mengikuti linkage program.
111
Gambar 6. BPR Yang Mengikuti linkage program
Tidak62%
Mengikuti38%
Mengikuti Tidak
Dari 15 BPR tersebut, sebagian besar yakni 67% mendapatkan plafon kredit di bawah
tiga milyar rupiah. Hanya terdapat dua BPR yang memperoleh plafon kredit di atas lima
milyar rupiah.
Sebagian besar kredit dari BPR yang disurvey dialokasikan ke jenis usaha
perdagangan. Dari 193 debitur yang dijadikan sampel, sebanyak 104 atau 54% merupakan
debitur yang menggeluti usaha perdagangan.
Gambar 7. Jenis Usaha Debitur
37
54
1512
5 4
0
10
20
30
40
50
60
Pertanian IndustriPengolahan
Perdagangan Jasa-Jasa Pegawai Profesi Lainnya
Jenis Usaha Debitur
Pers
enta
se
Usaha perdagangan yang dimaksud merupakan usaha kecil dan mikro yang sebagian
besar meliputi perdagangan eceran komoditas pangan dan kelontongan. Debitur yang
bergerak di usaha perdagangan ini mencakup seluruh wilayah survey. Sedangkan debitur yang
bergerak di sektor jasa-jasa diantaranya jasa angkutan terkonsentrasi di Kabupaten/Kota
Bandung. Hanya satu BPR yang tersurvey yang memberikan kredit kepada petani, sehingga
persentase pembiayaan sektor pertanian paling rendah diantara seluruh jenis usaha yakni 3%
atau enam orang debitur.
112
Dalam memberikan kredit kepada debitur, antar BPR menetapkan suku bunga secara
flat yang sangat bervariasi. Hanya dua BPR yang menetapkan sistem bunga menurun dengan
besaran antara 3% dan 4% yang dialami oleh 10 debitur. Sebagian besar BPR menetapkan suku
bunga pinjaman secara flat antara 2% – 2,9%. Dari 193 debitur yang jadi sampel, 97 debitur
dibebani suku bunga sebesar 2% – 2,9% per bulan. Bahkan sebanyak 42 debitur menanggung
bunga sebesar 3% - 3,9% secara flat per bulannya. Mengejutkan, ada pula debitur yang
membayar bunga sebesar 4% per bulannya. Dibandingkan dengan bank umum besaran suku
bunga tersebut jelas jauh lebih besar. Kondisi yang ironis, pelaku usaha skala mikro ini harus
menanggung biaya modal yang sangat tinggi. Dimungkinkan kebijakan BPR menetapkan suku
bunga sebesar itu untuk menutup biaya operasi yang tinggi per satuan kredit yang
dikucurkannya.
Gambar 8. Suku Bunga Yang Dikenakan
< 218%> 4
6%
2 - 2,99953%
3 - 3,9923%
< 2 2 - 2,999 3 - 3,99 > 4
Selain besaran suku bunga yang sangat fantastis, debitur pun terkena biaya tambahan
disaat akad kredit yang besarnya cukup signifikan. Sebanyak 51% dari total debitur dikenakan
biaya tambahan 2% - 4% dari total kredit yang diajukannya.
Gambar 9. Besarnya Biaya Tambahan
21
9
2625
19
0
5
10
15
20
25
30
0 1 - 1,992 2 - 2,999 3 - 3,99 > 4
Biaya tambahan (%)
Per
sent
ase
113
Ada pula BPR yang tidak mengenakan biaya tambahan, hal ini dialami oleh 41 debitur.
Mengejutkan, terdapat debitur dibebani biaya tambahan di atas 4% yakni sampai 8% dan 10%.
Dilihat berdasarkan besarnya pinjaman tampaknya tidak terdapat korelasi antara besarnya
biaya tambahan dengan pinjaman. Berdasarkan temuan ini menunjukan bahwa dibalik
kemudahan prosedur peminjaman dan kecepatan pencairan sebenarnya biaya transaksi
perolehan kredit di BPR sangat tinggi. Ketika dikaitkan dengan eksistensi BPR sebagai
pendorong pengembangan usaha mikro menjadi tidak sinkron, karena dikhawatirkan bukannya
mendorong usaha malah menghambat.
Kekhawatiran tersebut ternyata terbukti, tercermin pada besarnya kredit macet di
BPR. Dari 40 BPR yang disurvey rata-rata kredit macetnya 19,5% dari posisi kredit per
Desember 2006.
Gambar 10. Kondisi Kredit Non Lancar Di BPR
27
9
2 2
0
5
10
15
20
25
30
<20 20-39,99 40-59,99 >60
Persentase Kredit Non Lancaar
Jum
lah
BP
R
Bahkan terdapat empat BPR yang memiliki kredit non lancar di atas 40% dan 60% yang
berada di wilayah KBI Tasikmalaya dan Cirebon. Faktor utama yang paling menentukan BPR
yang sangat kronis tersebut dalam menyalurkan kreditnya selama ini adalah nilai agunan dan
kesanggupan debitur memperoleh pendapatan. Kesulitan membayar cicilan dari sebagian
besar pihak debitur yang tidak terantisipasi sejak dini berdampak pada besarnya kredit non
lancar.
Survey terhadap 193 debitur, 74% merupakan debitur dengan kolektibilitas non lancar
dimana 34% nya merupakan debitur yang kolektibilitasnya macet.
114
Gambar 11. Kolektibilitas Kredit Debitur
26
2119
34
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Lancar Kurang Lancar Diragukan Macet
Kolektibilitas Kredit Debitur
Pers
enta
se
Kenyataan yang dihadapi BPR yang bermasalah bahwa sebagian besar nasabahnya memiliki
kolektibilitas non lancar dapat menjadi ancaman terhadap keberlangsungan usahanya.
Menurut pihak BPR sebagian besar tujuan pemakaian kredit tersebut untuk kredit modal
kerja. Namun kenyataannya terdapat pula nasabah yang menggunakan pinjaman tersebut
untuk keperluan konsumsi.
Gambar 12. Tujuan Penggunaan Kredit
14
77
3 25
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Konsumsi Modal Kerja Investasi Kombinasi Lainnya
Tujuan Kredit
Pers
enta
se
Berdasarkan survey terhadap 193 debitur, terdapat 148 debitur atau 77% nya
memanfaatkan kredit untuk membiayai operasional usaha atau modal kerja. Menariknya
sektor usaha yang paling banyak digeluti debitur adalah sektor perdagangan. Artinya,
dimungkinkan modal kerja yang dimaksud adalah pembelian barang untuk dijual kembali
tanpa proses nilai tambah produk. Hal ini diperkuat oleh hasil survey dimana sektor industri
hanya menyerap 3% dari total kredit yang disalurkan oleh BPR.
115
Gambar 13. Alokasi Kredit Per Sektor Ekonomi
3 3
63
1713
0
10
20
30
40
50
60
70
Pertanian Perindustrian Perdagangan Jasa - Jasa Lainnya/Konsumtif
Sektor Ekonomi
Pers
enta
se
Kenyataan ini mengandung resiko tinggi, bahwa fluktuasi harga dan lemahnya
pengelolaan usaha para debitur menggiring pada macetnya kredit. Apalagi sebagian besar
debitur cenderung menyatukan keuangan keluarga dengan usahanya.
116
Profil BPR Jawa Tengah
Dilaporlan oleh: Tim Peneliti Universitas Kristen Satya Wacana 1. Pendahuluan
Telah disadari bahwa selama ini sebagian besar pengusaha mikro dan kecil, serta
masyarakat di daerah pedesaan belum mendapatkan pelayanan jasa keuangan
perbankan secara memadai. Adapun lembaga keuangan yang tepat dan strategis
untuk melayani kebutuhan masyarakat tersebut adalah Bank Perkreditan Rakyat
(BPR), hal ini sesuai dengan UU nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan
sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 10 tahun 1998. Perkembangan industri
BPR yang terus mengalami peningkatan secara pesat, baik dari sisi total aset,
penghimpunan dana pihak ketiga, maupun kredit yang diberikan, menunjukkan
bahwa jangkauan pelayanan BPR semakin luas dan keberadaan BPR semakin
dibutuhkan oleh masyarakat.
Gubernur Bank Indonesia pada acara Bankers’ Dinner memberikan arahan bahwa
sudah saatnya untuk menempatkan sektor informal (seperti petani kecil di pedesaan,
pedagang di pasar-pasar tradisional, penjual rokok dan pedagang warung kelontong)
di barisan terdepan dalam penetapan kebijakan Bank Indonesia (Putting the Last
First). Terkait dengan hal tersebut, dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan
sektor informal, peran dan kontribusi BPR sebagai ujung tombak lembaga keuangan
daerah dalam pembiayaan sektor informal tentunya menjadi sangat penting.
Kinerja BPR secara nasional pada kurun waktu akhir tahun 2004 hingga 2006
menunjukan peningkatan baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana.
Namun demikian, hal tersebut diikuti dengn memburuknya rasio NPL BPR dari tahun
ke tahun (masing-masing sebesar 7.59%; 7.98% dan 9.73%). Berdasarkan review
terhadap data NPL diketahui bahwa kredit dengan skala usaha mikro memiliki rasio
NPL tertinggi dibandingkan skala usaha kecil dan menengah, dan apabila dirinci lebih
lanjut rasio NPL terbesar disumbangkan oleh kredit mikro dengan plafon di bawah Rp
5 juta. Di lain pihak kredit tanpa agunan memiliki NPL yang lebih rendah (6.15%)
dibandingkan dengan kredit dengan agunan (11.51). Memburuknya rasio NPL tersebut
tentunya cukup memprihatinkan mengingat berbagai upaya telah dilakukan oleh Bank
Indonesia dalam rangka meningkatkan peran dan kontribusi BPR dalam melayani
117
UMKM seperti beberapa kebijakan Bank Indonesia yaitu pelaksanaan Linkage
Program, penyelenggaran workshop/seminar pembiayaan sektor produktif dan
relaksasi ketentuan dalam Paket Oktober-November 2006.
2. Gambaran Umum BPR di Jawa Tengah
Secara kuantitas jumlah BPR di Jawa Tengah terus mengalami penurunan karena
adanya penggabungan (merger). Langkah ini sesuai dengan kebijakan KBI Semarang
yang mendorong dilakukannya merger antar BPR, khususnya PD BPR BKK. Dengan
langkah tersebut diharapkan mampu memperkuat permodalan dan meningkatkan
kemampuan BPR dalam menghimpun dana dan menyalurkan kredit, sehingga pada
akhirnya mampu meningkatkan daya saing BPR.
Tabel 1.
Perkembangan BPR di Jawa Tengah
Tahun Jml BPR %
2004 598 -
2005 526 12.04
2006 395 24.90 Sumber : Perkembangan Perekonomian Daerah Jawa Tengah
Dalam tiga tahun terakhir, jumlah BPR di Jawa Tengah telah berkurang sebanyak 203
bank, atau telah berkurang hampir sebesar 40%. Sebagian besar BPR yang merger
tersebut adalah PD BPR yang tersebar di 18 kabupaten dan diantara itu, terdapat
juga 2 PT BPR. Total aset BPR di Jawa Tengah pada akhir tahun 2006 tercatat sebesar
Rp.5.709 milyar, meningkat 15,43% dibandingkan dengan posisi yang sama tahun
sebelumnya. Peningkatan tersebut sejalan dengan peningkatan dana pihak ketiga
sebesar 16,26% dibanding tahun sebelumnya sehingga menjadi Rp. 4.076 milyar.
Sementara itu kredit meningkat sebesar 12,58% dibanding tahun sebelumnya sehingga
menjadi Rp.4.421 milyar.
Dilihat dari fungsi intermediasinya, peningkatan dana pihak ketiga tidak sebanding
dengan peningkatan kredit, hal ini mengakibatkan nilai LDR pada akhir tahun 2006
menurun dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 112,28% menjadi 108,46%. Nilai
LDR yang melebihi angka 100% tersebut menunjukkan bahwa selain dari dana pihak
ketiga, BPR telah menggunakan sebagian modal yang dimiliki untuk disalurkan dalam
118
bentuk kredit. Namun demikian, perkembangan kualitas aktiva produktif BPR nampak
kurang menggembirakan. Trend kenaikan NPL masih terjadi pada kredit yang
disalurkan BPR di Jawa tengah, yaitu dari 10,03% pada akhir tahun 2005 menjadi
13,55% pada akhir tahun 2006.
3. Hasil awal penelitian
Di Jawa Tengah pengumpulan data primer dilakukan dengan cara penyampaian
kuesioner dan pelaksanaan in depth interview kepada responden. Fokus dari sampel
penelitian akan ditujukan pada BPR dan debitur BPR terkait. Sesuai dengan TOR
penelitian, jumlah sampel BPR di Jawa Tengah sebanyak 58 BPR dan 198 debitur
yang bersangkutan. Sebagai gambaran awal hasil penelitian akan disajikan hasil
olahan data primer beberapa variabel di bawah ini.
3.1. Profil BPR Dari 58 BPR yang menjadi sampel dalam penelitian ini, 55% atau 26 BPR berbentuk
Perusahaan Daerah (PD) dan 45% atau 32 BPR berbentuk PT (Perseroan Terbatas). PD
BPR memiliki dua pola, pola pertama dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah daerah
setempat umumnya merupakan PD Bank Pasar dan umumnya merupakan BPR gaya
lama (berdiri sebelum 1988), sedang pola kedua dimiliki oleh pemerintah daerah
setempat, pemerintah provinsi dan Bank Jateng (Eks BPD Jateng) umumnya
merupakan PD BPR BKK. Sedangkan yang berbentuk PT umumnya dimiliki oleh swasta
murni.
Gambar 1. Bentuk Organisasi
26(45%)
32(55%)
0(0%)
PT PD Koperasi
Sumber : Data Primer, 2007 Nilai penyaluran kredit terendah dari responden yang ada adalah sebesar Rp. 3,2
milyar dan tertinggi Rp. 168,5 milyar. Distribusi nilai penyaluran kredit responden
BPR di Jawa Tengah berdasarkan posisi akhir tahun 2006 dapat dilihat pada gambar 2
di bawah. Sebagian besar responden BPR (40%) memiliki posisi penyaluran kredit
119
kepada masyarakat berkisar antara RP. 1 milyar dan Rp. 25 milyar. Bahkan terdapat 5
BPR atau 9% responden BPR memiliki posisi penyaluran kredit di atas Rp.100 milyar.
Gambar 2. Posisi Penyaluran Kredit 31 Desember 2006
Sumber : Data Primer, 2007 Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa telah terjadi peningkatan angka
NPL BPR baik di tingkat nasional maupun tingkat regional jawa tengah. Berdasarkan
data mengenai jumlah kredit non-lancar BPR responden, sebagian besar (71%) atau
yang dialami oleh 41 BPR memiliki jumlah kredit non-lancar pada kisaran Rp. 1 milyar
hingga Rp. 10 milyar, seperti yang nampak pada gambar 3 mengenai Jumlah kredit
non-lancar. Jumlah kredit terkecil adalah sebesar Rp.263,8 juta dan yang tertinggi
adalah Rp.23,4 milyar. Secara umum nampak bahwa, BPR-BPR dengan NPL yang tinggi
adalah BPR-BPR yang dimiliki oleh pemerintah daerah, terutama BPR BKK.
Salah satu ciri yang membedakan industri keuangan dengan jenis industri yang lain
adalah aturan yang lebih ketat. Aturan yang ketat tersebut diperlukan untuk
menekan terjadinya resiko adverse selection dan moral hazard dalam setiap transaksi
keuangan yang terjadi.
1 milyar - 25 milyar, 23 (40%)
50 milyar - 75 milyar 10, (17%)
75 milyar - 100 milyar 2, (3%)
100 milyar < 5 (9%)
25 milyar - 50 milyar 18, (31%)
120
Gambar 3. Jumlah Kredit Non-Lancar
Sumber : Data Primer, 2007
Namun dipihak lain adanya aturan yang ketat tersebut dipersepsikan sebagai birokrasi
perbankan yang berbelit. Hal itu juga yang sering dikeluhkan masyarakat terhadap
pelayanan jasa keuangan oleh pihak perbankan. Dari survey yang dilakukan ternyata
hal tersebut tidak terbukti. Hal tersebut nampak pada gambar 4 di bawah.
Gambar 4. Rata-rata waktu (hari) Menyetujui kredit
Sumber : Data Primer, 2007
Persetujuan kredit menurut responden BPR rata-rata atau sebagian besar (48%) memakan waktu 3-4 hari dari sejak permohonan diajukan. Bahkan 29% responden cukup memprosesnya dalam 1-2 hari.
1 milyar - 10 milyar 41, (71%)
< 1 milyar 8, (14%)
> 20 milyar 2, (3%)
10 milyar - 20 milyar 7, (12%)
3-4 hari 28, (48%)
5-6 hari 5, (9%)
7-8 hari 6, (10%)
9-10 hari 1,(2%)
11-12 hari 1,(2%)
1-2 hari 17 (29%)
0
5
10
15
20
25
30
121
Gambar 5. Cara pembayaran angsuran kredit
44 (76%)
8 (14%)
6 (10%)
Angsuran disetor Langsung ke BPR
Angsuran diambil/dijemput ke debitur
Angsuran dipotong langsung dari gaji/tabungan debitur
Sumber : Data Primer, 2007
Sedangkan mengenai cara pembayaran angsuran kredit, 76% responden BPR
menyatakan bahwa angsuran disetorkan langsung ke BPR. Cara angsuran yang
langsung disetorkan ke BPR dari satu sisi menjamin keamanan pembayaran uang
angsuran debitur dari penyelewengan setoran, namun dipihak lain menimbulkan
biaya transaksi dalam hal pengeluaran biaya transport, waktu yang harus dikorbankan
oleh seorang debitur. Cara kedua yang cukup banyak dipraktekkan adalah angsuran
diambil/dijemput ditempat debitur (14%). Hal ini, mayoritas dilakukan oleh PT BPR.
Tingkat persaingan antar BPR mendorong untuk bisa memberikan pelayanan jasa
perbankan yang unik. Meskipun dalam cara ini riskan munculnya resiko
penyelewengan. Cara ketiga yang dilakukan oleh responden BPR adalah angsuran
dipotong langsung dari gaji/tabungan debitur (10%). Cara ketiga ini banyak dilakukan
oleh PD BPR.
Dalam hal kepemilikan sertifikasi oleh pengelola BPR, mayoritas (93%) responden BPR
menyatakan telah memilikinya. Dari 7% responden BPR yang belum memilikinya
terdiri dari 2 PD BPR dan 2 PT BPR. Sebagian besar alasan yang diajukan adalah baru
saja BPR yang bersangkutan melakukan pergantian direksi.
122
Gambar 6. Direksi yang memiliki sertifikasi
54 (93%)
4 (7%)
Tidak Ya
Sumber : Data Primer, 2007
3.2. Status Pinjaman Debitur
Berdasarkan informasi dari para responden BPR dalam survey ini, mayoritas BPR (64%)
menetapkan tingkat bunga kredit sebesar antara 1,1% - 2% perbulan atau 13,2% - 24%
pertahun. Bahkan ada 33% BPR yang menetapkan tingkat bunga kredit antara 2,1%-3%
perbulan atau 25,2% - 36% pertahun, relatif tinggi dibandingkan tingkat bunga kredit
bank umum.
Gambar 7. Suku Bunga (dalam %)
129 (64%)
65(33%)
1(1%) 3(2%)
1 1.1 - 2 2.1 - 3 > 3
Sumber : Data Primer, 2007
123
Gambar 8. Tambahan Biaya (dalam %)
79(40%)
95(47%)
9(5%)15(8%)
1-2 2.1 - 3 3.1 - 4 > 4
Sumber : Data Primer, 2007
Debitur responden BPR juga membayar biaya-biaya tambahan, seperti asuransi,
provisi dll, yang besarnya berkisar antara 2,1%-3% dari total pinjaman, hal itu
dilakukan oleh 47% responden BPR. Sebagian besar lainnya (40%) menetapkan biaya-
biaya tambahan lebih rendah, antara 1%-2% dari total pinjaman. Namun ada juga
yang menetapkan di atas 4%, hal itu dilakukan oleh 8% responden BPR. Relatif
tingginya biaya-biaya tambahan yang ditetapkan oleh BPR tentu akan semakin
memberatkan debitur dalam mengembalikan pinjaman. Sehingga BPR perlu didorong
untuk lebih meningkatkan efisiensi biaya transaksi agar mampu menekan biaya-biaya
tambahan tersebut.
124
Gambar 9. Kolektibiltas Kredit
13(7%)
67(38%)96(55%)
Lancar Kurang Lancar Diragukan
Sumber : Data Primer, 2007
Tingkat kolektibilitas kredit para debitur responden BPR nampak pada gambar 8 di
atas. Proporsi kolektibilitas kredit kurang lancar cukup besar, yaitu mencapai 38%
dan kelektibilitas diragukan sebesar 7%. Hal ini merupakan gambaran kinerja yang
cukup buruk. Sehingga perlu dicari solusi atas fakta tersebut, agar fungsi BPR
sebagaii lembaga penyedia layanan jasa perbankan untuk masyarakat pedesaan
menjadi lebih bermakna dan mampu mendorong dinamika ekonomi masyarakat
pedesaan.
Gambar 10.Tujuan Kredit
165 (83%)
12(6%) 4(2%) 17(9%)
Keperluan Pribadi Modal Kerja Investasi Kombinasi
Sumber : Data Primer, 2007
Berdasarkan pengajuan kredit yang dilakukan oleh dibitur, tujuan pemanfaatan
kredit sebagian besar (83%) adalah untuk modal kerja, dan hanya 6% yang
menggunakannya untuk keperluan membiayai tujuan investasi. Melihat relatif
tingginya tingkat bunga kredit yang ditetapkan oleh BPR responden, cukup beralasan
apabila hanya sedikit debitur yang menggunakannya bagi keperluan tujuan investasi.
125
Melihat gambaran temuan di atas bisa diambil suatu kesimpulan bahwa rendahnya
efisiensi BPR, seperti yang tercermin pada relatif tingginya tingkat bunga kredit
maupun biaya-biaya tambahan yang harus ditanggung oleh debitur, menjadi salah
satu alasan yang cukup kuat bagi terciptanya kinerja kredit BPR yang buruk, tanpa
mengabaikan faktor-faktor lainnya, seperti pengelolaan kredit oleh BPR, SDM
pengelola kredit dll. Tren penurunan tingkat bunga yang terjadi akhir-akhir ini,
apabila kualitas kredit BPR masih buruk, maka akan menjadi hambatan yang besar
bagi BPR untuk melakukan penyesuaian dengan tren tersebut. Akhirnya menjauhkan
kesempatan bagi masyarakat di pedesaan untuk turut menikmati tingkat bunga kredit
yang rendah dan menjadi hambatan bagi pemulihan sektor riil, khususnya di
pedesaan.
3.3. Profil Debitur
Sesuai dengan tujuan pembentukan BPR sebagai lembaga perbankan yang
memfokuskan pelanannya kepada masyarakat pedesaan, debitur utama responden
BPR mayoritas (72%) adalah masyarakat sekitar BPR yang bersangkutan. Adapun
sisanya 28% debitur utamanya adalah perusahaan/instansi pemerintah. Hal ini tidak
mengherankan karena 55% responden BPR berbentuk Perusahaan Daerah (PD) BPR.
Gambar 11. Debitur Utama
42(72%)
0(0%)16(28%)
Keluarga/Teman/Kenalan
Karyaw an Perusahaan/instansi pemerintah
Masyarakat Sekitar
Sumber : Data Primer, 2007
Temuan menarik dalam survey ini adalah sebagian besar resonden memiliki usaha
produktif. Meskipun 28% debitur adalah karyawan instansi/perusahaan daerah, namun
mereka umumnya memiliki usaha sampingan. Hanya 4 orang debitur saja yang
mengaku tidak memiliki usaha. Hal itu nampak pada gambar 12 di bawah.
126
Sebagian besar usaha debitur merupakan usaha perdagangan dan jasa. Pada gambar
tersebut 49 orang memiliki usaha perdagangan makanan atau usaha yang sejenis,
69 orang usaha perdagangan eceran. Dan 29 orang debitur memiliki usaha non
perdagangan dan jasa, seperti pertanian, peternakan, furnitur dll. Melihat kenyataan
ini, kredit yang disalurkan oleh BPR memiliki potensi yang tinggi dalam
pengembangan UMKM di pedesaan.
Gambar 12. Jenis Usaha Debitur
1111
81
21
211
211
311
125
13
111
33
223
4649
103
11
4
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Penjualan Sepeda MotorAngkutan Jalan Raya
Industri Barang Dari Kayu DsbIndustri Barang Dari Logam
Industri FurnitureIndustri Lainnya
Industri MakananIndustri Pakaian Jadi
Industri Pemintalan, Pertenunan, Pengolahan AkhirIndustri Penggergajian Kayu, Dll
Industri Penggilingan Padi-padian, TepungIndustri Pengolahan Tanah LiatIndustri Pengolahan Tembakau
Industri Peralatan ListrikIndustri Percetakan DllJasa Kegiatan Lainnya
Jasa Konsultasi Arsitek, Tehnik, DllJasa Penunjang Angkutan
Jasa Perorangan Yang Melayani Rumah TanggaJasa Pertanian, Perkebunan dan Peternakan
Kegiatan Perfilman, Radio, Televisi dan hiburan Organisasi Bisnis, Pengusaha, Dll
PenggalianPenjualan Mobil
Penjualan Sepeda MotorPenjualan Suku Cadang
Perdagangan Eceran Barang BekasPerdagangan Eceran Berbagai Macam Barang
Perdagangan Eceran LainnyaPerdagangan Makanan, Minuman atau tembakau
Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan, DllPeternakan
Real Estate, sew a, kontrakanRestoran/Rumah Makan, Bar dan Jasa Boga
Tidak Punya Usaha
Sumber : Data Primer, 2007
Apabila jenis usaha pada gambar 12 dikelompokkan berdasarkan pada sektor
usahanya, maka penggunaan kredit berdasarkan sektor usaha debitur terdistribusi
seperti pada tabel 2 di bawah ini. Nampak sektor usaha yang dominan adalah
perdagangan (66,7%), disusul sektor jasa-jasa 13,6%.
127
Tabel 2. Sektor Usaha Debitur
Sumber : Data Primer, 2007
3.4. Linkage Program
Di bawah ini diperoleh gambaran mengenai linkage program yang dilakukan oleh
responden BPR. 60% responden BPR menyatakan tidak memiliki linkage program. Dari
40% BPR yang memiliki linkage program adalah BPR-BPR besar dan berkinerja bagus.
Nampak bahwa BU partner sangat selektif dalam memilih partner BPR dalam linkage
program.
Gambar 13. Linkage Program
Ya, 23, 40%
Tidak, 35, 60%
Sebagian besar responden BPR (65%) memiliki plafon antara 1-25 milyar. Namun ada
19% yang mampu menyerap plafon hingga di atas Rp. 25 milyar. Hal ini menandakan
masih kurang meratanya akses linkage program diantara BPR yang ada. Padahal
dalam era tren penurunan tingkat bunga seperti sekarang ini, program ini menjadi
lebih menarik untuk diterapkan.
Gambar 14. Plafon Linkage Program
No Sektor Jumlah %1 Pertanian 10 5.1
2 Perindustrian 19 9.6
3 Perdagangan 132 66.7
4 Jasa-jasa 27 13.6
5 Lainnya 10 5.1
Total 198 100
128
15(65%)
3(13%)1(4%)2(9%)
2(9%)
< 1 milyar 1 - 25 milyar 25 milyar - 50 milyar50 milyar - 75 miyar > 75 milyar
Sumber : Data Primer, 2007
4. Kesimpulan
1. BPR dengan NPL yang tinggi adalah BPR yang dimiliki oleh pemerintah daerah,
terutama BPR BKK
2. Rata-rata waktu yang digunakan untuk melakukan pencairan kredit kurang
dari 4 hari.
3. Cara pembayaran angsuran yang langsung disetorkan ke BPR menjamin
keamanan pembayaran uang angsuran debitur dari penyelewengan setoran,
namun dari sisi debitur menambah biaya transport, dan waktu.
4. Manajemen BPR sudah ditangani oleh orang yang kompeten dibidangnya, hal
ini ditunjukkan dengan kepemilikan sertifikat pada jajaran direksinya.
5. Tingkat suku bunga yang dikenakan pada debitur BPR cukup tinggi hal ini
ditunjukkan dengan bunga yang dikenakan lebih dari 3% flat/bulan.
6. Biaya tambahan yang dibebankkan kepada debitur cukup tinggi, sehingga BPR
perlu didorong untuk lebih meningkatkan efisiensi biaya transaksi sehingga
dapat menurunkan biaya tambahan yang ditanggung debitur.
7. Sektor perdagangan merupakan sektor terbesar menyerap dan memanfaatkan
kredit dari BPR.
8. Linkage program belum banyak dilakukan oleh BPR, hal ini menunjukkan
masih kurang meratanya akses linkage program.
129
Profil BPR Sumatera Utara
Dipersiapkan oleh: Tim Peneliti Universitas Nomensen Medan
LATAR BELAKANG
Survey ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor penyebabnya meningkatnya NPL (kredit macet) yang ada di BPR. Ini sangat penting diketahui dikarenakan BPR adalah lembaga keuangan mikro yang langsung berhubungan dengan masyarakat kecil dan indutri kecil dan rumah tangga. Di Sumatera Utara, survey dilakukan pada 24 BPR yang telah ditentukan terlebih dahulu dan tersebar di beberapa kabupaten/kota yang ada di propinsi ini. Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang dilakukan oleh enumerator pada BPR dan debitur BPR yang telah ditentukan. DESKRIPSI HASIL PENGUMPULAN DATA Dari hasil survey yang dialkuakn terhadap 24 BPR, maka diperoleh data bahwa keseluruhan BPR berbentuk PT (Perseroan Terbatas) yang dimiliki oleh pribadi maupun kelompok. Tidak ada satupun yang berbentuk Perusahaan Daerah (PD) ataupun Koperasi. Walaupun berbentuk PT, beberapa diantaranya memiliki dewan komisaris, sedangkan sisanya tidak memiliki dewan komisaris atau pengawas.
0
10
20
30
Jumlah
Jenis Organisasi
Gambar 1. Jenis Organisasi BPR
Jenis Org
Jenis Org 24 0 0PT PD Koper
Posisi kredit per Desember 2006 menunjukkan hasil yang berbeda antar BPR. Dari 24 BPR, 5 diantaranya memiliki posisi kredit di atas 10 milyar rupiah. Setelah dilihat lebih mendalam ternyata ke-5 BPR tersebut adalah BPR yang berlokasi di kota besar dan berada dekat dengan
130
pusat-pusat ekonomi sehingga memiliki nasabah yang cukup banyak. BPR lainnya memiliki jumlah kredit di bawah 10 milyar rupiah karena berada pada daerah pinggiran kota dan atau berada pada kabupaten/kota yang bukan merupakan pusat-pusat perekonomian. Akan tetapi, secara keseluruhan posisi kredit BPR tersebut sudah cukup besar bila dibandingkan dengan kegiatannya yang hanya membantu keuangan masyarakat kecil dan industri mikro dan kecil.
3
8
2
5
1
5
012345678
0 - 2 2,01 - 44,01 - 66,01 - 8 8,01 -10
> 10
Gambar 2. Jumlah Kredit
Kredit
Dalam melakukan pinjaman di BPR, maka seorang nasabah harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan sehinnga proses peminjaman bisa berlangsung beberapa hari kerja. Berdasarkan data yang diperoleh rata-rata proses peminjaman kredit dilakukan antara 3 – 6 hari kerja (19 BPR) dan sisanya proses peminjaman kredit dilakukan lebih kecil dari 3 hari (2 BPR) dan lebih dari 6 hari kerja (3 BPR). Perbedaan waktu yang terjadi secara umum diakibatkan oleh perbedaan besar dan tujuan penggunaan kredit yang diajukan oleh debitur. Tetapi secara umum, proses pencairan pinjaman dilakukan dengan secepat mungkin apabila bisa dilakukan dengan melakukan pertimbangan-pertimbangan yang cepat bagi kelayakannya.
131
Gambar 3. Waktu Proses Peminjaman
< 38%
3,01 - 679%
> 613%
< 33,01 - 6> 6
Dalam melakukan pembayaran kembali kredit yang diperoleh, debitur dapat memilih beberapa cara, seperti bisa langsung membayar di BPR, diambil ketempat usaha/rumah, dipotong dari tabungan dan melakukan transfer antar bank. Dari data yang dikumpulkan, ternyata sebagian besar debitur lebih suka melakukan pembayaran langsung ke BPR (16), dijemput (7) dan hanya 1 yang melakukannya dengan memotong tabungan yang ada di BPR tersebut. Gejala ini memperlihatkan bahwa BPR memang lembaga keuangan mikro yang dekat dengan masyarakat dimana masyarakat perlu untuk datang ke BPR untuk melakukan diskusi atau pembicaraan apabila mereka menemukan beberapa masalah dalam pelaksanaan kegiatan usaha dan lainnya.
Gambar 4. Cara Pembayaran
16
71 0
05
101520
A(L
angs
ung
dise
tor)
B(A
ngsu
ran
dije
mpu
t)
C (P
oton
gG
aji)
D (T
rans
fer
reke
ning
)
Jenis Pembayaran
JUm
lah
Cara Pembayaran
Pengelolaan suatu usaha yang baik akan dipengaruhi oleh kemampuan pengelolanya atau pimpinannya sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan baik. Demikian juga dengan BPR dimana pimpinan juga memerlukan sertifikasi dalam bidang perbankan sehingga dapat mengelola BPR dengan baik. Dari hasil survey dapat dilihat bahwa 23
132
BPR telah memiliki pimpinan yang bersertifikat dan hanya 1 yang pimpinannya belum ada sertifikat. Apabila dilihat dari pengelolaan kredit, maka BPR yang pimpinannya belum memiliki sertifikat hanya mampu mengelola kredit dalam jumlah yang kecil. Ini menunjukkan bahwa sertifikasi sangat diperlukan untuk mengelola BPR.
Gambar 5. Sertifikasi Pimpinan BPR
1 (Memiliki Sertifikat)
96%
0 (Tidak memiliki sertifikat)
4% 1 (MemilikiSertifikat)0 (Tidak memilikisertifikat)
Kehidupan BPR akan sangat tergantung dari jumlah atau banyaknya nasabah yang dimiliki karena mereka tidak dapat bertahan apabila nasabahnya tidak cukup besar untuk menopang perputaran dana yang tersedia. Kemampuan marketing officer yang dimiliki oleh BPR sangat dinutuhkan dalam mendatangkan nasabah. Sumber nasabah bisa berasal dari keluarga/teman, bisa berasal dari karyawan dan bisa berasal dari masyarakat/dunia usaha sekitar BPR tersebut. Dari data yang diperoleh, terlihat bahwa nasabah BPR rata-rata berasal dari masyarakat/dunia usaha sekutarnya (22) dan sisanya berasal dari keluarga/teman (1) dan karyawannya sendiri (1). Dengan melihat jumlah ini, maka tujuan BPR untuk membatu keuangan dari industri dan masyarakat kecil dapat dipenuhi.
1 1
22
05
10152025
A (Keluarga) C(Masyarakat
sekitar)
Gambar 6. Debitur Utama
Debitur Utama
Jenis debitur BPR biasanya dapat dibagi menjadi 2, yaitu debitur yang merupakan bekas anggota KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank) dan yang bukan anggota KKMB. Dengan menjadi anggota KKMB, maka debitur tersebut dapat mengelola kredit atau pinjamannya dengan benar sehingga tidak akan terjadi kredit kurang lancar atau macet. Ternyata
133
dari data yang diperoleh, terlihat bahwa hanya 3 BPR yang memiliki debitur anggota KKMB dan sisanya diluar itu. Dihubungkan dengan pembayaran kredit/pinjaman yang dilakukan, maka terlihat bahwa debitur anggota KKMB tersebut dapat dengan lancar membayar pinjamannya 100%. Ini berimplikasi bahwa seharusnya debitur secara bertahap harus menjadi anggota KKMB sehingga pengembalian kredit/pinjaman dapat berlangsung dengan lancar dan baik.
Gambar 7. Kolektibilitas
KKMB dan Lancar
13%
Bukan anggota KKMB87%
KKMB dan Lancar
Bukan anggotaKKMB
BPR dapat melakukan pinjaman pada Bank Umum yang ada melalui suatu program yang dinamakan Linkage Program guna memenuhi kebutuhan likuiditas BPR tersebut atau tujuan-tujuan lainnya. Dengan melakukan linkage program, maka BPR dalat melakukan pinjaman pada bank umum. Dari 24 BPR sampel di Sumatera Utara, BPR yang melakukan linkage program sebanyak 9 dan yang tidak melakukan sebanyak 15. Ini menunjukkan bahwa kebanyakan BPR yang ada masih memiliki kemampuan dana yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya atau dengan kata lain, pemiliki memiliki dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dana BPRnya. Dar5i 9 BPR yang melakukan linkage program 6 diantaranya melakukan pinjaman di bawah 2 milyar rupiah, 1 melakukan pinjaman antara 2 sampai 5 milyar rupiah dan hanya 2 yang melakukan pinjaman di atas 5 milyar rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tingkat keuangan yang dimiliki oleh BPR ini masih cukup besar dengan melihat tidak terlalu besarnya jumlah pinjaman yang dilakukan. Kemudian, pinjaman yang dicairkan/disetujui bank umum juga tidak sebesar plafond pinjaman yang dilakukan. Hal ini dapat dilihat bahwa hanya 7 BPR yang mendapatkan baki debet antara 0 – 2 milyar rupiah dan hanya 2 yang memperoleh di atas 2 - 5 milyar rupiah.
134
Gambar8. Linkage Program
1 (Ya)38%
0 (Tidak)62%
1 (Ya)0 (Tidak)
Gambar 9. Plafond Linkage Program
0 - 267%
2 ,01 - 522%
> 511%
0 - 22 ,01 - 5> 5
Gambar 10. Baki Debet Linkage Program
0 - 278%
> 222%
0 - 2> 2
Kemanakah kredit/dana yang dipinjam dari BPR ditujukan oleh kreditur dalam penggunaannya? Ini merupakan pertanyaan yang penting untuk dijawab agar pengembalian kredit dapat dilakukan dengan lancar. Tanpa tahu kemana digunakan, maka akan mempengaruhi pengembalian kredit yang dilakukan. Dari 72 orang debitur yang melakukan pinjaman, maka jenis usaha yang dilakoni oleh debitur tersebut juga berbeda-beda. Kebanyakan debitur memiliki jenis usaha perdagangan atau berdagang (42), diikuti oleh bidang pertanian (11), bidang jasa (10), lainnya (6) dan industri (3). Hal ini menunjukkan bahwa memang debitur BPR sebagian besar adalah pedagang yang berada di sekitar BPR tersebut yang sangat membutuhkan dana secara cepat untuk melakukan pembelian barang. Ini menandakan perputaran uang yang dilakukan relatif lebih
135
cepat dibandingkan dengan debitur yang berada di bidang pertanian yang mengandalkan musim untuk mengembalikan pinjamannya.
113
42
10 60
1020304050
Pertanian Jasa
Gambar 11. Jenis Usaha
Jenis Usaha
Pinjaman yang diberikan oleh BPR, seperti layaknya pinjaman yang dilakukan pada bank umum, juga harus dikembalikan dengan bunganya. Dari data yang diperoleh, terlihat bahwa rata-rata bungan yang dibebankan pada debitur berkisar antara 2 – 3% per bulannya (56), < 2% per bulannya (12) dan lebih besar dari 3% per bulannya (4). Ini menandakan bahwa walaupun BPR tersebut terletak pada kabupaten/kota yang berbeda, mereka rata-rata menerapkan besaran suku bunga yang hanpir sama. Dengan rata-rata bunga yang dibayar 2 – 3% perbulannya, maka besaran bunga ini memang lebih besar dari bunga bank umum, akan tetapi nasabah BPR tersebut tetap melakukan pinjaman. Ini menandakan bahwa BPR memang memiliki kelebihan dibandingkan dengan bank umum dalam melakukan pendekatan pada masyarakat dan industri kecil dengan jumlah pinjaman yang cukup kecil.
Gambar 12. Suku Bunga
< 220%
2,01 - 35%
> 375%
< 22,01 - 3> 3
Disamping membayar bunga, debitur juga biasanya dibebankan biaya lain-lain termasuk biaya administrasi dan biaya lainnya. Hal ini juga terlihat pada debitur BPR. Debitur yang dibebankan membayar biaya
136
tambahan 2 – 3% merupakan yang terbesar (34), 1 – 2% menempati urutan berikutnya (26), yang tidak dibebankan biaya (7) dan yang dibebankan biaya cukup besar > 3% ada 5 debitur. Apabila dihubungkan dengan variabel lain dalam daftar pertanyaan, terlihat bahwa besaran biaya tambahan yang dikenakan akan sangat tergantung dari jenis pinjaman, besarnya pinjaman dan tujuan pinjaman, serta lamanya proses pelaksanaan pinjaman dan pemrosesan pinjaman. Kelihatannya, besaran tambahan biaya ini merupakan hal yang biasa di BPR, karena terlihat bahwa sebagian besar diharuskan membayar biaya tambahan dan hanya 7 debitur yang tidak dibebankan atau sekitar 10%.
Gambar13. Biaya Tambahan
010%
1,01 - 236%
2,01 - 347%
> 37% 0
1,01 - 22,01 - 3> 3
Dalam melakukan pengembalian kredit, ada beberapa kategori yang dimiliki oleh BPR, yaitu lancar, kurang lancar, diragukan dan macet. Ternyata, dari data diperoleh bahwa pengembalian kredit yang dilakukan menunjukkan tingkat yang kurang lancar (41%), lancar (33%), diragukan dan macet masing-masing 13%. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh BPR terhadap pengembalian kredit belum sepenuhnya baik, dimana sebagian besar masih dalam kategori kurang lancar dan di bawahnya (67%) dan hanya 33% yang tergolong lancar. Hal ini harus diatasi oleh BPR sehingga NPL BPR tidak bertambah dari waktu ke waktu seperti yang tercantum dalam data saat ini, dimana NPL BPR menunjukkan angka yang meningkat. Kondisi yang ditemui di lapangan ini sejalan dengan indikasi data dan ini menunjukkan bahwa BPR harus lebih hati-hati lagi dalam menyalurkan kreditnya sehingga pengembalian modal dapat dilakukan dengan baik. Prinsip ketelitian dan kehati-hatian harus segera diterapkan agar persoalan pengembalian kredit bisa berjalan dengan lancar di kemudian hari.
137
Gambar 14. Kolektibilitas Kredit Debitur
A ((Lancar)33%
B (Kurang Lancar)
41%
C (Diragukan)
13%
D (Macet)13% A ((Lancar)
B (Kurang Lancar)C (Diragukan)D (Macet)
Dalam melakukan pinjaman, seorang debitur harus menunjukkan alasan penggunaan kredit yang akan diperolehnya. Dari daftar pertanyaan yang tersedia terlihat bahwa tujuan kredit bisa dilakukan untuk konsumsi, modal kerja, investasi, kombinasi dan lainnya. Dari data yang dikumpulkan, terlihat bahwa tujuan peminjaman dana sebagian besar dilakukan untuk modal kerja (83%) dan sisanya untuk kebutuhan lainnya. Hal ini sangat menggembirakan karena dengan m,enggunakannya sebagai modal kerja, maka ini akan menjalan roda perekonomian sektor riil sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Hanya saja sekarang diperlukan bagaimana menggalakkan sektor riil tersebut sehingga pengembalian pinjaman dapat dilakukan dengan baik. Tak dapat dipungkiri, dengan data yang dikumpulkan, bahwa telah terbukti bahwa pinjaman yang dilakukan memang betul-betul digunakan untuk kebutuhan yang menjadi kelemahan industri kecil saat ini, yaitu sektor permodalan.
Gambar15. Tujuan Dari Kredit
4%
83%
6% 3% 4% A (Konsumsi)B (Modal Kerja)C (Investasi)D(Kombinasi)E (Lainnya)
Kredit yang diperoleh dari BPR oleh nasabah akan digunakan pada usaha mereka. Terlihat bahwa jenis usaha debitur sebagian besar berada pada sektor perdagangan (68%) diikuti oleh sektor jasa (13%), sektor lain (8%), sektor pertanian (7%) dan sektor industri (4%). Ini menandakan bahwa debiturnya merupakan pelaku pasar dalam bidang perdagangan atau dunia usaha. Pertanian yang merupakan tulang
138
belakang perekonomian propinsi ini, hanya kecil saja memanfaatkan kebutuhan dana dari BPR yang hanya ditunjukkan oleh persentase yang cukup kecil dalam keterlibatannya dalam menggunakan dana BPR.
Gambarl 16. Sektor Ekonomi Penggunaan Kredit
A (Pertanian)7%
B (Perindustrian)
4%
C (Perdagangan)
68%
D (Jasa)13%
E (Lainnya)8% A (Pertanian)
B (Perindustrian)C (Perdagangan)D (Jasa)E (Lainnya)
KESIMPULAN SECARA UMUM Dari penjelasan (deskripsi) terhadap data yang diperoleh, maka secara umum telah dapat dilihat benang merah kondisi BPR yang ada di Sumatera Utara, siapa debiturnya dan bagaimanakah pengelolaan kredit yang dilakukan oleh BPR. Secara umum terlihat bahwa sebagian besar dana yang dipinjamkan oleh BPR berada pada tengan pedagang kecil dan masyarakat kecil dimana pengembaliannya masih tergolong kurang lancar yang diakibatkan kendala-kendala yang dihadapi di perekonomian (pasar). Pengembalian yang lancar hanya dilakukan oleh debitur yang usahanya memang benar-benar meyakinkan sehingga kelancaran pengembalian kredit bisa dilakukan dengan tepat waktu.
139
PROFIL BPR SUMATERA SELATAN
Dipersiapkan oleh: Tim Peneliti Universitas Sriwijaya
Bentuk organisasi semua BPR yang menjadi sampel penelitian adalah berbentuk perseroan terbatas (PT) yang berarti telah berbadan hukum.
Tabel 1
Bentuk Organisasi
No. Nama BPR Kabupaten Bentuk Organisasi
1. Agitrans Batumarta OKU Timur PT 2. Cinta Manis Agroloka OI PT 3. Multidana Mandiri Palembang PT 4. Musi Artha Lestari OKU Timur PT 5. Prabumengah Kencana Palembang PT 6. Rarat Ganda Banyuasin PT 7. Sukasada Palembang PT 8. Tahap Ganda Prabumulih PT 9. Tiur Ganda OI PT 10 Tri Gunung Selatan Palembang PT
Jumlah kredit masing-masing BPR yang telah disalurkan mulai dari Rp
3.590.207.118 sampai dengan Rp 25.708.517.585, sedangkan yang
dikategorikan kredit non lancar (kurang lancar, diragukan, dan macet) mulai dari
Rp 11.769.300 sampai dengan Rp 11.300.000.000. Berarti terdapat
kecenderungan semakin besar krdit yang disalurkan maka semakin besar pula
kredit non lancar masing-masing BPR.
140
Tabel 2
Jumlah Kredit
No. Nama BPR Kabupaten Nilai Kredit 1. Agitrans Batumarta OKU Timur 7.310.597.521
2. Cinta Manis Agroloka OI 4.183.066.500 3. Multidana Mandiri Palembang 23.450.000.000 4. Musi Artha Lestari OKU Timur 3.590.207.118
5. Prabumengah Kencana Palembang 15.604.965.437 6. Rarat Ganda Banyuasin 3.939.115.500 7. Sukasada Palembang 25.708.517.585
8. Tahap Ganda Prabumulih 6.647.067.800 9. Tiur Ganda OI 5.630.073.250 10 Tri Gunung Selatan Palembang 23.498.695.845
Tabel 3
Jumlah Kredit Non Lancar
No. Nama BPR Kabupaten Nilai Kredit 1. Agitrans Batumarta OKU 224.305.085 2. Cinta Manis Agroloka OKI 345.493.500
3. Multidana Mandiri Palembang 11.300.000.000 4. Musi Artha Lestari OKU Timur 177.453.021 5. Prabumengah Kencana Palembang 517.578.241
6. Rarat Ganda Musi Banyuasin 59.072.000 7. Sukasada Palembang 807.019.775 8. Tahap Ganda Prabumulih 11.769.300
9. Tiur Ganda OKI 152.243.000 10 Tri Gunung Selatan Palembang 968.537.751
Waktu yang dibutuhkan BPR untuk menyetujui kredit mulai dari 3 hari
sampai dengan 7 hari, jadi tidak ada patokan waktu yang sama dan singkat
dalam pemberian kredit ke nasabah, semua membutuhkan proses dari
pengajuan, penilaian sampai dengan persetujuan dan pencairan dana kredit.
141
Tabel 4
Rata-Rata Waktu Menyetujui Kredit
5 50.0 50.0 50.01 10.0 10.0 60.01 10.0 10.0 70.03 30.0 30.0 100.0
10 100.0 100.0
3567Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Cara pembayaran angsuran kredit yang palin dominan adalah dengan
angsuran disetor langsung ke BPR sebanyak 8 responden (80%), dan dipotong
secara langsung dari gaji/tabungan debitur sebanyak 2 responden (20%).
Tabel 5
Cara Pembayaran Angsuran Kredit
8 80.0 80.0 80.02 20.0 20.0 100.0
10 100.0 100.0
Disetor Langsung Ke BPRDipotong Langsung Dari Gaji/TabunganTotal
ValidFrequency Percent
ValidPercent
CumulativePercent
Direktur / Direksi BPR semuanya telah memiliki sertifikat kelulusan dari
Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP LKM Certif) sehingga BPR tersebut memiliki
pimpinan yang telah memenuhi syarat mengenai seluk beluk perkreditan dan
perbankan.
Tabel 6
Direktur Memiliki Sertifikat Kelulusan (LSP LKM Certif)
10 100.0 100.0 100.0YaValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Hampir semua debitur utama masing-masing BPR adalah masyarakat
sekitar sebesar 9 responden (90%), sisanya sebesar 1 responden (10%) adalah
karyawan perusahaan/instansi pemerintah dalam rangka kerjasama dengan
pengurus perusahaan/instansi tersebut..
142
Tabel 7
Debitur Utama BPR
1 10.0 10.0 10.0
9 90.0 90.0 100.010 100.0 100.0
Karyawan Perusahaan /Instansi PemerintahMasyarakat SekitarTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Kolektibilitas kredit dari debitur yang merpakan binaan KKMB tersebut,
seluruhnya lancer.
Tabel 8
Kolektibilitas Kredit
Kolektibilitas Kredit KKMB
Frequency Percent
Valid Percen
t Cumulative
Percent Valid Seluruhnya
lancar 2 20.0 100.0 100.0
Missing System 8 80.0 Total 10 100.0
Dari 10 responden BPR, hanya 3 responden BPR (30%) yang memiliki linkage program, sedangkan sisanya 7 responden BPR (70%) tidak memiliki linkage program.
Tabel 9
Linkage Program
7 70.0 70.0 70.03 30.0 30.0 100.0
10 100.0 100.0
TidakYaTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Jenis usaha para debitur yang menjadi nasabah BPR beraneka ragam, mulai
dari petani, pedagang, pengusaha industri kecil, pegawai negeri sipil, dan lain-
lain (Ibu rumah tangga, sopir, dan pegawai swasta).
143
Tabel 1
Jenis Pekerjaan / Usaha
10 16.4 16.4 16.428 45.9 45.9 62.36 9.8 9.8 72.15 8.2 8.2 80.3
12 19.7 19.7 100.061 100.0 100.0
PetaniPedagangIndustri KecilPNSLainnyaTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Besar suku bunga yang ditetapkan di masing-masing BPR bervariasi mulai dari 1 persen sampai dengan 3 persen per bulannya, yang paling banyak adalah nasabah yang ditetapkan tingkat bunga sebesar 2,5 persen pertahun sebanyak 21 responden (34,4%).
Tabel 2
Besar Suku Bunga (Persen/Bulan)
1 1.6 1.6 1.62 3.3 3.3 4.92 3.3 3.3 8.28 13.1 13.1 21.31 1.6 1.6 23.01 1.6 1.6 24.62 3.3 3.3 27.94 6.6 6.6 34.45 8.2 8.2 42.63 4.9 4.9 47.53 4.9 4.9 52.51 1.6 1.6 54.1
21 34.4 34.4 88.56 9.8 9.8 98.41 1.6 1.6 100.0
61 100.0 100.0
.00
.901.001.161.251.461.501.671.751.912.002.082.502.753.00Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Tambahan biaya yang dikenakan BPR selain bunga sebanyak 15 nasabah
(24,6%) tidak dikenakan biaya tambahan, dan yang lain berfluktuasi mulai 1
persen sampai dengan 16,3 persen.
144
Tabel 3
Besar Tambahan Biaya (Persen)
15 24.6 24.6 24.61 1.6 1.6 26.21 1.6 1.6 27.91 1.6 1.6 29.55 8.2 8.2 37.71 1.6 1.6 39.31 1.6 1.6 41.0
14 23.0 23.0 63.93 4.9 4.9 68.97 11.5 11.5 80.31 1.6 1.6 82.01 1.6 1.6 83.66 9.8 9.8 93.41 1.6 1.6 95.11 1.6 1.6 96.71 1.6 1.6 98.41 1.6 1.6 100.0
61 100.0 100.0
.001.001.301.772.002.252.462.503.003.504.414.425.006.436.5012.0016.30Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Pada posisi Desember 2006, kolektibiltas kredit debitur lancar sebanyak
11 nasabah (18%), kurang lancar sebanyak 11 nasabah (18%), diragukan
sebanyak 19 nasabah (31,1%) dan macet sebanyak 20 nasabah (32,8%).
Tabel 4
Kolektibilitas Kredit Debitur
11 18.0 18.0 18.011 18.0 18.0 36.119 31.1 31.1 67.220 32.8 32.8 100.061 100.0 100.0
LancarKurang LancarDiragukanMacetTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Tujuan dari pengajuan kredit tersebut, dipakai untuk keperluan pribadi
(konsumsi) sebanyak 14 nasabah (23%), digunakan untuk membiayai
operasional usaha (modal kerja) sebanyak 39 nasabah (63,9%), digunakan
untuk membeli perlatan/mendirikan usaha baru (investasi) sebanyak 1
145
nasabah (1,6%), digunakan untuk beberapa tujuan (kombinasi) sebanyak 1
nasabah (1,6%), dan lainnya sebanyak 6 nasabah (9,8%).
Tabel 5
Tujuan Pengajuan Kredit
14 23.0 23.0 23.039 63.9 63.9 86.91 1.6 1.6 88.51 1.6 1.6 90.26 9.8 9.8 100.0
61 100.0 100.0
KonsumsiModal KerjaInvestasiKombinasiLainnyaTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Penggunaan kredit tersebut digunakan untuk berbagai sektor, yakni kredit
di sektor pertanian sebanyak 7 nasabah (11,5%), perindustrian sebanyak 3
nasabah (4,9%), perdagangan sebanyak 34 nasabah (55,7%), dan jasa-jasa
sebanyak 5 nasabah (8,2%) serta lainnya sebanyak 12 nasabah (19,7%).
Tabel 6
Sektor Ekonomi Kredit
7 11.5 11.5 11.53 4.9 4.9 16.4
34 55.7 55.7 72.15 8.2 8.2 80.3
12 19.7 19.7 100.061 100.0 100.0
PertanianPerindustrianPerdaganganJasa-JasaLainnyaTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
146
PROFIL BPR DI SULAWESI SELATAN
Dipersiapkan oleh: Tim Peneliti Universitas Hasanuddin
1. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat di Sulawesi Selatan
a. Perkembangan Kantor
Sampai saat ini (per september 2006), jumlah kantor BPR termasuk BPR
Syariah yang berada di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia Makassar sebanyak
30 buah, termasuk 7 BPR Syariah di dalamnya. Jumlah ini sangat sedikit jika
dibandingkan dengan pulau Jawa dan Bali, yang rata-rata mempunyai sekitar 150-
an kantor BPR dan BPRS.
Gambar 1. Sebaran BPR di Propinsi Sulawesi Selatan
Sumber : Bank Indonesia Makassar.
b. Kegiatan Usaha BPR Sulsel
Kegiatan usaha BPR Sul-Sel secara umum menunjukkan perkembangan
yang cukup memuaskan. Penghimpunan dana dan penyaluran dana mengalami
peningkatan dari tahun ketahun. Peningkatan penyaluran dana dan
Makassar • BPR : 7 • BPRS : 3
Luwu Utara • B
PR
Tator • BPR : 2 (KK) : 1
Palopo • BPR : 1 (KK) :1
Bone • BPR : 1
Luwu Timur • BPR : 1
Wajo • BPR : 2 (KK) : 6 • BPRS : 2
Gowa • BPR : 2 • BPRS : 2
Maros • BPR : 1
Takalar • BPR : 2 • BPRS : 1
147
penghimpunan dana secara terus menerus selama kurun waktu 5 tahun tersebut
seiring dengan meningkatnya jumlah BPR Sulawesi Selatan.
Penyaluran dana khususnya kredit untuk tahun 2002 sebesar 38,219,511
mengalami peningkatan sebesar 16,32 % dari tahun sebelumnya, tahun 2003
nilai nominal kredit yang dapat disalurkan sebesar 42,778,469 yang artinya
meningkat sebesar 20,83 % dari tahun sebelumnya, peningkatan yang sangat
besar terjadi di tahun 2004, penyaluran kredit mencapai angka nominal
57,033,598 mencapai peningkatan sebesar 57,36 %, dan untuk tahun 2005
nominal kredit yang dapat tersalurkan secara umum sebesar 75,517,118
meningkat sebesar 16,99 %, seperti yang terlihat pada tabel 1. di bawah ini.
Untuk penghimpunan dana, peningkatan yang terbesar dalam kurun waktu
5 tahun terjadi di tahun 2004, nominal DPK (Dana Pihak Ketiga) yang dapat
terhimpun sebesar 56,409,614 meningkat sebesar 71,75 % dari tahun
sebelumnya, di tahun 2005 dana yang dapat terhimpun sebesar 60,317,708
TABEL 1. KEGIATAN USAHA BPR SUL-SEL TAHUN 2001-2005(dalam ribu rupiah )
KEGIATAN USAHA 2001 2002 2003 2004 2005
* Penyaluran Dana 32,775,320 38,219,511 42,778,469 68,157,899 75,517,118
a. Kredit 25,785,518 29,995,110 36,243,149 57,033,598 66,728,119
b. Antar Bank Aktiva 6,989,802 8,224,401 6,535,320 11,124,301 8,788,999
* Penghimpunan Dana 24,610,072 29,820,259 32,844,043 56,409,614 60,317,708
a. DPK 19,969,992 22,144,961 26,382,019 39,513,970 43,096,095
Deposito 9,306,644 6,951,894 9,860,736 17,998,626 25,815,486
Tabungan 10,663,348 15,193,067 16,521,283 21,515,344 17,280,609
b. Antar Bank Passiva 1,282,197 2,819,980 2,988,085 8,707,972 8,159,007
c. Pinjaman Yang Diterima 3,121,992 4,535,416 3,148,018 7,385,386 8,389,786
d. Kewajiban Segera 235,891 319,902 325,921 802,286 672,820
* Beberapa Komponen Modal
a. Modal disetor 8,441,928 11,382,193 13,823,551 19,032,851 22,247,851
b. Cadangan 433,715 545,448 350,464 825,857 1,083,786
c. L/R Tahun Berjalan 959,352 319,643 1,129,821 1,614,747 1,447,433
d. L/R Tahun Lalu (1,458,847) (2,417,083) (2,895,395) (3,295,860) (3,437,360) Data: Hasil Olahan
148
meningkat sebesar 6,92 %, sangat jauh dibanding dengan tanun sebelumnya. Hal
ini disebabkan telah terbentuknya provinsi Sulawesi Barat sehingga BPR yang
masuk wilayah Sulawesi Barat tidak terhitung lagi dalam BPR Sulawesi Selatan.
c. Kinerja BPR Sulsel
Kinerja BPR memberikan gambaran tentang efisiensi alokasi sumber daya
keuangan, hal ini dapat mencerminkan kondisi internal perusahaan.
Dua aspek penting yang paling perlu diperhatikan dalam analisis kinerja
perbankan adalah profitabilitas (profitability) dan likuiditas (liquidity). Profitabilitas
mencerminkan seberapa besar kemampuan bank mencetak keuntungan.
Sedangkan liquiditas mencerminkan kemampuan bank untuk memenuhi
kewajiban kepada nassabah, khususnya penarikan uang tunai dari deposito
maupun tabungan masyarakat.
Aspek permodalan merupakan elemen yang paling penting dalam dunia
perbankan. Kesehatan sebuah BPR dan kualitas manajerialnya dapat diukur dari
ketaatan memenuhi ketentuan permodalan.
a) CAR (Capital Adequacy Ratio)
Kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) bagi BPR didasarkan pada
risiko aktiva yang tercantum pada neraca. Kecukupan modal BPR diukur
berdasarkan prosentase antara modal dengan Aktiva Tertimbang Menurut
Risiko (ATMR) dengan prosentase di atas atau lebih dari 4% (>4%), apabila
kurang atau di bawah dari 4% maka BPR ditetapkan dalam pengawasan
khusus dan pembekuan kegiatan usaha.
Dari pengolahan data selama kurun waktu penelitian CAR BPR Sul-Sel
tahun 2001-2005 menunjukkan prosentase yang berfluktuasi namun tetap
sesuai dengan rasio kecukupan modal yang ditetapkan oleh BI. Rasio
kecukupan modal yang terbesar selama tahun penelitian terjadi pada
tahun 2001 yaitu sebesar 35,70 % dan kemudian menurun ditahun 2002
sebesar 3,84%, sehingga prosentase CAR menjadi 34,33%, di tahun 2003,
prosentase CAR meningkat sebesar 0,36% sehingga prosentase CAR
mencapai 34,46 %, selanjutnya untuk tahun 2004 prosentase CAR
menurun sebesar 9,95 % sehingga CAR menjadi 31,03%, tahun 2005 CAR
149
meningkat sebesar 7,68 % sehingga prosentase nilai CAR di akhir tahun
penelitian sebesar 33,41 %.
b) CR (Cash Ratio)
Likuiditas merupakan kemampuan BPR untuk memenuhi kewajiban-
kewajibannya yang jatuh tempo dalam jangka pendek. Salah satu cara
untuk melihat kemampuan BPR dalam memenuhi kewajiban-
kewajibannya yang jatuh tempo adalah dengan melihat Cash Ratio.
Kecukupan cash ratio BPR diukur berdasarkan prosentase antara alat
liquid dengan hutang lancar, dengan prosentase CR di atas atau lebih dari
3% (>3%)
TABEL 3.13. PERMODALAN DAN LIQUIDITAS BPR SUL-SEL TAHUN 2001-2005
2001 2002 2003 2004 2005
* CAR (%) 35.70 34.33 34.46 31.03 33.41 Modal (Rp.000) 11,167,974 12,327,173 14,594,144 20,849,803 25,555,991
ATMR (Rp.000) 31,279,464 35,904,070 42,353,845 67,195,084 76,486,895
* CR (Cash Ratio) (%) 37.99 34.46 25.47 12.41 7.61
a. Alat Liquid (Rp.000) 7,677,011 7,742,071 6,802,922 5,001,375 3,332,273
Kas (Rp.000) 1,969,406 2,337,650 3,255,687 2,585,046 2,702,281
(ABA-ABP) (Rp.000) 5,707,605 5,404,421 3,547,235 2,416,329 629,992
b.Hutang Lancar (Rp.000) 20,205,883 22,464,863 26,707,940 40,316,256 43,768,915
Kewajiban Segera (Rp.000) 235,891 319,902 325,921 802,286 672,820
Tabungan (Rp.000) 10,663,348 15,193,067 16,521,283 21,515,344 17,280,609
Deposito (Rp.000) 9,306,644 6,951,894 9,860,736 17,998,626 25,815,486
* LDR (Loan to Deposit Ratio) (%) 77.20 74.34 79.74 76.41 81.26
Total Kredit (Rp.000) 25,785,518 29,995,110 36,243,149 57,033,598 66,728,119
Penghimpunan Dana (Rp.000) 24,610,072 29,820,259 32,844,043 56,409,614 60,317,708
Modal Inti (Rp.000) 8,788,719 10,526,960 12,608,817 18,229,416 21,799,945
Data : Hasil Olahan
TABEL 2. PERKEMBANGAN CAR, CR DAN LDR BPR SUL-SEL TAHUN 2001-2005
2001 2002 2003 2004 2005
CAR (%) 0 (3.84) 0.36 (9.95) 7.68
CR (%) 0 (9.29) (26.09) (51.30) (38.63)
LDR (%) 0 (3.71) 7.26 (4.17) 6.34
Data : Hasil Olahan
150
GAMBAR 2. PERKEMBANGAN CAR, CR DAN LDR BPR SUL-SEL
TAHUN 2001-2005
PERKEMBANGAN CAR, CR DAN LDR BPR SUL-SEL TAHUN 2001-2005
0(3.84)
0
(26.09)
(51.30)
(38.63)
0
7.68
(9.95)
0.36
(9.29)
6.34(4.17)
7.26
(3.71)
(60)
(50)
(40)
(30)
(20)
(10)
0
10
20
2001 2002 2003 2004 2005
T a h u n
Pros
enta
se (%
)
CAR CR LDR
Data: Hasil olahan
2. Hasil Survey
Survey tentang faktor pemicu meningkatnya NPL di BPR Sulawesi Selatan
dilakukan terhadap 14 BPR yang tersebar di KTI Wilayah Makassar, Maros, Bone,
Wajo, Palopo, Gowa dan Takalar. BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional. Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998
bentuk hukum BPR dapat berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, dan
Koperasi.
Lokasi BPR Menurut Daerah
7
11
2
11 1 Makassar
MarosTakalarGowaPalopoBoneWajo
151
a. Menyangkut BPR (dari kuesioner "Proses Pemberian Kredit"):
• Bentuk organisasinya (pertanyaan no. 1)
Sebagian besar yakni 86% BPR yang disurvey di wilayah Sulawesi
Selatan berbentuk PT dan 7% berbentuk PD serta 7% berbentuk
koperasi. Perusahaan Daerah BPR dimiliki oleh satu pihak yakni
Pemerintah Kodya Makassar dan Koperasi BPR dimiliki oleh koperasi
Abang Pasar. Sedangkan yang berbentuk PT, murni dimiliki oleh
swasta.
Gambar 1. Bentuk Organisasi Yang Di Survei
86%
7% 7%
PTPDKoperasi
• Jumlah kreditnya (no. 2)
Status badan usaha apakah PT, PD dan Koperasi ternyata tidak
menghambat operasi aktivitas BPR. Artinya, mereka tetap memiliki
peluang yang sama untuk menarik nasabah. Hal ini tercermin pada
besarnya posisi kredit BPR Desember 2006 baik yang berbentuk PT,
PD, maupun Koperasi secara umum tidak terdapat perbedaan yang
mencolok. Dari 14 BPR yang disurvey sebagian besar yakni 11 BPR
memiliki posisi kredit per Desember 2006 di atas 1 milyar rupiah.
Dengan demikian hanya 3 BPR yang memiliki posisi kredit per
Desember 2006 di bawah 1 milyar rupiah. Dari 11 BPR tersebut yang
berbentuk PT sebanyak 9 dengan lokasi di wilayah Sulawesi Selatan
(Kota dan Kabupaten) dan 1 BPR berbentuk PD yang berlokasi di Kota
Makassar serta 1 BPR berbentuk Koperasi. Hal ini secara implisit
menunjukan bahwa BPR yang berada di pusat aktivitas ekonomi,
memiliki peluang usaha relatif lebih besar. Kota/Kabupaten Makassar
merupakan wilayah niaga dan jasa sekaligus, dimana terdapat banyak
152
pelaku usaha di dua sektor ekonomi tersebut yang tersebar di kota dan
pinggirannya.
• Rata-rata waktu menyetujui kredit (no. 4)
Hasil survey menunjukan bahwa sebagian besar BPR yakni 58% hanya
membutuhkan waktu rata-rata tiga hari untuk menyetujui kredit.
Sebanyak 7% perlu waktu 2 hari, sebanyak 21% membutuhkan waktu
4 hari serta 14% membutuhkan membutuhkan waktu 6 hari. Dengan
demikian hampir seluruh BPR yakni 100% membutuhkan waktu tidak
lebih dari enam hari untuk menyetujui kredit.
RATA-RATA WAKTU PENCAIRAN KREDIT
7%
58%
21%
14%
2 Hari3 hari4 hari6 hari
• Cara pembayaran angsuran kredit (no. 6) ok
BPR besar tersebut mampu meraih nasabah diluar batas administrasi
lokasi bank. Contoh kasus BPR di Kota Makassar, nasabahnya tersebar
sampai ke Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa. Demikian halnya
BPR di Kabupaten Gowa, banyak nasabahnya berada di Kota Makassar.
Performa ini menunjukan bahwa BPR memiliki daya tarik tersendiri
bagi kelompok masyarakat tertentu untuk dijadikan mitra usaha
sekalipun lokasi jauh dari tempat tinggalnya. Dimungkinkan salah satu
daya tariknya tersebut adalah kecepatan pencairan dana dan
kemudahan cara pembayaran angsuran. Namun ternyata dalam
membayar angsuran sebagian besar disetor langsung ke BPR.
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa sebagian besar BPR tidak
memberikan fasilitas kemudahan dalam membayar. Hal ini bisa
dipahami karena pengambilan cicilan oleh bank atau fasilitas lainnya
akan menimbulkan biaya operasi buat BPR. Namun di sisi lain,
nasabah yang jauh dari lokasi bank harus menanggung biaya
153
transportasi yang lebih tinggi untuk setiap kedatangan dalam
membayar cicilannya. Kenyataan ini semakin memperkuat pernyataan
bahwa BPR tetap dipilih bukan karena kedekatan lokasi, namun karena
keunggulan kemudahan memperoleh pinjaman dengan nilai kredit
yang tergolong mikro.
• Direksi yang memiliki sertifikasi (no. 7)
Kemudahan memberikan kredit mikro oleh BPR sesuai eksistensi
mereka yang bermain di segmen pasar masyarakat menengah ke
bawah. Meskipun demikian mereka tetap menjalankan bisnis
perbankan mikro ini dengan prinsip kehati-hatian dan mengikuti aturan
Bank Indonesia. Salah satu buktinya, seluruh direksi BPR yang disurvey
memiliki sertifikasi. Selain itu, mereka tidak memilih nasabah karena
ada hubungan khusus. Sebagian besar BPR menyalurkan kredit ke
masyarakat sekitar.
• Debitur utama (no. 15)
Hasil survey menunjukan bahwa sebanyak 11 BPR yang disurvey
menyatakan kreditnya tersalurkan ke masyarakat sekitar. Kenyataan
bahwa sebagian besar BPR menyalurkan kredit ke masyarakat sekitar
memberikan harapan besar untuk terjadinya pengembangan usaha
mikro yang berkelanjutan. Untuk merealisasikan hal ini dan mencegah
kredit non lancar perlu pendampingan terhadap debitur yang berbentuk
fasilitas konsultasi yang terkait dengan usahanya. Namun disayangkan
seluruh BPR yang disurvey di Sulawesi Selatan tidak ada satu pun BPR
yang memiliki debitur yang merupakan binaan Konsultan Keuangan
Mitra Bank (KKMB).
Dalam perkembangan beberapa tahun terakhir kinerja BPR
menunjukan peningkatan baik dari sisi penghimpunan dana maupun
penyaluran dana. Namun sayangnya, kinerja tersebut diikuti dengan
memburuknya Rasio NPL BPR. Permasalahan ini bisa menghambat
kesinambungan eksistensi BPR sebagai lembaga keuangan yang telah
berperan signifikan dalam mendorong pengembanga usaha mikro.
154
Memburuknya rasio NPL cukup memprihatinkan karena berbagai
upaya telah dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka
meningkatkan peran dan kontribusi BPR diantaranya linkage program
antara Bank Umum dan BPR dalam rangka penyaluran kredit kepada
usaha kecil dan mikro (UKM). Berdasarkan hasil survey diketahui
ternyata hanya 2 BPR dari 14 BPR yang disurvey yang telah mengikuti
linkage program.
• Kolektibilitas kredit (no. 17)
Dari 14 BPR tersebut, sebagian kecil yakni 21% mendapatkan plafon
kredit di bawah satu milyar rupiah. Hanya terdapat tiga BPR yang
memperoleh plafon kredit di atas lima milyar rupiah.
4%
0%
6%
33%
13%2%2%5%3%
8%
13%5% 3% 3%
PD. BPR KODYA TK IIMAKASSAR
PT. BPR TARUNAJUJUR SAKTI
PT. BPR SULAWESIDANAJAYA
PT. BPR HASAMITRA
PT. BPR SulawesiMandiri
• Linkage program (no. 31)
Dari 14 BPR tersebut, hanya 3 BPR yang mengikuti Linkage program
155
Program Linkage & Non Linkage
21%
79%
Linkage ProgramNon Linkage
b. Menyangkut debitur (dari kuesioner "Status Kredit Debitur")
• Jenis usaha (no. 1) Sebagian besar kredit dari BPR yang disurvey dialokasikan ke jenis
usaha perdagangan. Dari 100 debitur yang dijadikan sampel, sebanyak
83 atau 83% merupakan debitur yang menggeluti usaha perdagangan.
Usaha perdagangan yang dimaksud merupakan usaha kecil dan mikro
yang sebagian besar meliputi perdagangan eceran komoditas pangan
dan kelontongan. Debitur yang bergerak di usaha perdagangan ini
mencakup seluruh wilayah survey.
Perdagangan & Non Perdagangan
83%
17%
PerdaganganNon Perdagangan
• Suku bunga yang dikenakan (no. 4)
Dalam memberikan kredit kepada debitur, antar BPR menetapkan
suku bunga secara flat yang sangat bervariasi. Sebagian besar BPR
menetapkan suku bunga pinjaman secara flat antara 1% – 3%. Dari
100 debitur yang jadi sampel, 99 debitur dibebani suku bunga sebesar
156
1% – 3% per bulan. Bahkan hanya 1 debitur menanggung bunga
sebesar 3,5% secara flat per bulannya. Dibandingkan dengan bank
umum besaran suku bunga tersebut jelas jauh lebih besar. Kondisi yang
ironis, pelaku usaha skala mikro ini harus menanggung biaya modal
yang sangat tinggi. Dimungkinkan kebijakan BPR menetapkan suku
bunga sebesar itu untuk menutup biaya operasi yang tinggi per satuan
kredit yang dikucurkannya.
Suku Bunga Yang Dikenakan Pada Nasabah BPR
1%1%1%1% 7%
24%
9%
55%
1%
1%1.125%1.2%1.25%1.8%2%2.25%2.5%3.5%
• Persentasi tambahan biaya selain bunga (5)
Selain besaran suku bunga yang sangat fantastis, debitur pun terkena
biaya tambahan disaat akad kredit yang besarnya cukup signifikan.
Sebanyak 97% dari total debitur dikenakan biaya tambahan sampai 4%
dari total kredit yang diajukannya.
Ada pula BPR yang tidak mengenakan biaya tambahan, hal ini dialami
oleh 23 debitur. Mengejutkan, terdapat debitur dibebani biaya
tambahan di atas 4% yakni sampai 5%. Dilihat berdasarkan besarnya
pinjaman tampaknya tidak terdapat korelasi antara besarnya biaya
tambahan dengan pinjaman. Berdasarkan temuan ini menunjukan
bahwa dibalik kemudahan prosedur peminjaman dan kecepatan
pencairan sebenarnya biaya transaksi perolehan kredit di BPR sangat
tinggi. Ketika dikaitkan dengan eksistensi BPR sebagai pendorong
pengembangan usaha mikro menjadi tidak sinkron, karena
dikhawatirkan bukannya mendorong usaha malah menghambat.
157
Tambahan Biaya
23%
2%
7%
2%27%
7%
16%
2%
5%6%
1%
2%0%0,135%0,25%0,5%1%1,5%2%2,5%3%4%3,5%5%
• Kolektibilitas kredit (no. 8)
Kekhawatiran tersebut ternyata terbukti, tercermin pada besarnya
kredit macet di BPR. Dari 14 BPR yang disurvey rata-rata kredit
macetnya 64% dari posisi kredit per Desember 2006.
Survey terhadap 100 debitur, 64% merupakan debitur dengan
kolektibilitas non lancar dimana 34% nya merupakan debitur yang
kolektibilitasnya macet.
Kredit Lancar & Non Lancar
LancarNon Lancar
• Tujuan kredit (no. 9)
Kenyataan yang dihadapi BPR yang bermasalah bahwa sebagian besar
nasabahnya memiliki kolektibilitas non lancar dapat menjadi ancaman
terhadap keberlangsungan usahanya. Menurut pihak BPR sebagian
besar tujuan pemakaian kredit tersebut untuk kredit modal kerja.
Namun kenyataannya terdapat pula nasabah yang menggunakan
pinjaman tersebut untuk keperluan konsumsi.
158
• Sektor ekonomi kredit (no. 10)
Berdasarkan survey terhadap 100 debitur, terdapat 90 debitur atau
90% nya memanfaatkan kredit untuk membiayai operasional usaha
atau modal kerja. Menariknya sektor usaha yang paling banyak digeluti
debitur adalah sektor perdagangan. Artinya, dimungkinkan modal kerja
yang dimaksud adalah pembelian barang untuk dijual kembali tanpa
proses nilai tambah produk. Hal ini diperkuat oleh hasil survey dimana
sektor industri hanya menyerap 3% dari total kredit yang disalurkan
oleh BPR.
Kenyataan ini mengandung resiko tinggi, bahwa fluktuasi harga dan
lemahnya pengelolaan usaha para debitur menggiring pada macetnya
kredit. Apalagi sebagian besar debitur cenderung menyatukan
keuangan keluarga dengan usahanya.
Penggunaan Pinjaman
90%
10%
Pengembangan UsahaKonsumtif
c
3. Deskripsi Surveyor terhadap Hasil Survey di Lapangan
a. BPR Kotamadya
• Nasabah pengambil Kredit yang masuk kategori kurang lancar , diragukan
dan macet banyak berkelit ketika diwawancara
• Masih ada beberapa nasabah kategori lancar belum beritikad mambayar
cicilan pinjaman kreditnya
159
b. BPR Taruna Jujur Sakti
• Manajemen Baru yang menyebabkan belum maksimalnya kegiatan
operasional seperti perekrutan karyawan
• Berpindah Kantor.(Kantor sebelumnya bertempat di maros sekarang Jl.
Gunung Bawakaraeng )
• Jumlah Nasabah yang masih minim diikuti dengan minimnya SDM para
karyawan.
• Nasabah yang masuk kategori Kurang Lancar banyak berkelit dan cenderung
tidak ingin diwawancarai langsung
• Banyaknya Nasabah yang belum mampu melunasi pinjamannya dikarenakan
musibah ( Penipuan)
c. Sulawesi Danajaya
• Tinggi tingkat bunga yang ditawarkan oleh BPR kepada nasabah yang
disebabkan oleh berbagai faktor.
• Persyaratan kredit yang ditawarkan khususnya mengenai nilai agunan
cenderung lebih memberatkan nasabah
• Tidak adanya solusi yang dilakukan BPR dalam menangani nasabah yang
terkena musibah penipuan
• Kurangnya SDM BPR dalam mengelola dan memasarkan produk-
produknya
160
d. BPR Hasa Mitra
• Pada akhir desember 2006 ,akumulasi nilai kredit bagi nasabah yang
tergolong lancar lebih tinggi daripada kredit macet ,diragukan dan kurang
lancar tergolong rendah.
• Kebanyakan nasabah berasal dari kalangan PNS yang mana tujuan utama
pengambilan kredit lebih cenderung untuk konsumtif
e. BPR Sulawesi Mandiri
• Nasabah pengambil Kredit yang masuk kategori kurang lancar , diragukan
dan macet banyak berkelit ketika diwawancara
• Bunga Pinjaman agak Terlalu tinggi
• Jangka Waktu Pelunasan yang cepat
f. BPR Batara Wajo
Alamat nasabah kredit yang menjadi responden dalam penelitian NPL
pada umumnya berada di wil. Daya, namun terdapat beberapa Responden Non
lancar yang sulit ditemui, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
melakukan wawancara, berikut Masalah- masalah yang dihadapi oleh PT.BPR
BATARA WAJO dalam hal pengembalian kredit dari nasabah –nasabah yang
termasuk dalam kategori kolektibilitas Non Lancar :
1. Nasabah sulit ditemui
2. Penundaan oleh nasabah untuk membayar angsuran pada saat
penagihan oleh AO
161
Komentar-komentar Responden (Non – Lancar), mengenai masalah – masalah
yang dihadapi :
1. Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga
2. Memiliki masalah keluarga yang serius
3.Tidak memiliki itikad baik untuk mengembalikan kredit
Adapun mengenai Suku bunga yang ditetapkan oleh PT.BPR Batara Wajo,
menurut beberapa responden cukup tinggi bila dibandingkan dengan bank umum
sehingga responden tersebut juga menjadi nasabah kredit bank umum.
Berdasarkan Informasi yang diperoleh enumerator, pekerjaan beberapa nasabah
yang termasuk dalam kolektibilitas non lancar adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS)
g. BPR Makkareso Leteng Pammase
Alamat nasabah kredit yang menjadi responden dalam penelitian NPL
terhadap PT.BPR Makkareso relative mudah didapat, meskipun jarak antara BPR
ini dengan alamat beberapa responden cukup jauh, terutama setelah
dipindahkannya lokasi dari Maros ke Makassar.
Pada umumnya responden sangat kooperatif dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh enumerator sehingga tidak ditemukan
kesulitan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat dikemukakan berikut
adalah masalah-masalah yang dihadapi oleh PT.BPR MATEPE dalam hal
pengembalian kredit dari nasabah –nasabah yang termasuk dalam kategori
kolektibilitas Non Lancar :
1. Penundaan oleh nasabah untuk membayar angsuran pada saat penagihan
oleh AO
2. Tidak memiliki itikad baik untuk mengembalikan kredit, meskipun pada
umumnya nasabah tidak mempunyai masalah dengan usaha yang dirintis.
162
Komentar-komentar Responden (Non – Lancar), mengenai masalah – masalah
yang dihadapi :
1. Kehilangan pekerjaan
2. Kondisi usaha mengalami penurunan
3. Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga
4. Mengalami musibah.
Adapun mengenai Suku bunga yang ditetapkan oleh PT.BPR Makkareso tidak
mendapat keluhan dari Responden begitupun dengan prosedur administrasi.
h. BPR Abang Pasar
Alamat nasabah kredit yang menjadi responden dalam penelitian NPL
pada umumnya berada di wil. Sungguminasa – Gowa. Responden cukup tanggap
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari enumerator.
Masalah- masalah yang dihadapi oleh Koperasi Abang Pasar dalam hal
pengembalian kredit dari nasabah –nasabah yang termasuk dalam kategori
kolektibilitas Non Lancar :
1. Nasabah sulit ditemui
2. Penundaan oleh nasabah untuk membayar angsuran pada saat
penagihan oleh AO
Komentar-komentar Responden (Non – Lancar), mengenai masalah – masalah
yang dihadapi :
1. Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga
2. Persaingan usaha
i. BPR Gerbang Masa Depan
Tangapan BPR terhadap Nasabah
163
1.Banyak Debitur yang kurang mempunyai kesadaran untuk
membayar.
2.Jaminan Banyak Yang milik Orang Lain dan Bukan Atas Nama
peminjam.
Tangapan Nasabah Terhadap BPR
1.Bank Tersebut memberikan kredit lebih kecil dari jaminan.
2.Bunga Kredit tinggi
3.Kurangnya sosialisasi pihak BPR tentang bagaimana mengelola
usaha dengan baik sehinga para debitur bisa mengembangkan
usahanya.
j. BPR Pataru Laba
Tanggapan BPR terhadap Nasabah
1.Banyak Debitur yang telah pindah rumah.
2.Banyak Debitur yang kurang kesadaran untuk membayar.
Tanggapan Nasabah Terhadap BPR
1. Bank Tersebut memberikan kredit lebih kecil dari jaminan.
2. Bunga Kredit tinggi
k. BPR Dana Niaga Mandiri
• Tingginya tingkat bunga yang ditawarkan oleh BPR kepada nasabah lebih
banyak disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya cost of fund, biaya
operasional termasuk besarnya pemotongan untuk biaya lain diluar bunga
untuk pengembalian kredit
164
• Minimnya SDM BPR didalam mengelola dan mengembangkan produk-
produknya
• Keterbatasan jumlah modal BPR yang menghambat mereka melakukan
perluasan kredit
• Keterlambatan nasabah membayar kredit dalam beberapa hari dikenakan
denda dan bunga yang tinggi sehingga nasabah merasa terbebani oleh
bunga kredit yang diberikan BPR
Saran Nasabah :
• Agar sebaiknya BPR itu ditutup dikarenakan bunga yang terlalu tinggi
terutama bagi BPR yang bermitra dengan Bank Konvensional atau Umum
l. BPR Suar Data
Tangapan BPR terhadap Nasabah ;
1.Nasabah Kurang kesadaran akan waktu pembayaran sehingga
petugas kami yang harus sering menagih.
2.Nasabah Banyak yang meminta kredit tinggi tapi tidak sesuai dengan
jaminan.
Tangapan Nasabah Terhadap BPR
1.Kredit yang diminta tidak sesuai dengan yang diberikan.
2.Jaminan Nilainya Lebih besar daripada kredit yang diberikan.
m. BPR Puangrimanggalatung
Pihak BPR Puangrimanggalatung mempunyai komentar terhadap nasabah,
antara lain:
165
1) Banyak dari nasabah BPR puangrimanggalatung yang telah menunggak
dalam jangka yang lama dan telah pindah tempat tinggal dan tempat
usaha. Oleh karena itu, pihak BPR sendiri kewalahan dalam hal menagih.
2) Pihak BPR sendiri ingin mencoba menarik jaminan nasabah yang
menunggak, akan tetapi, pihak BPR belum mempunyai kekuatan akan hal
tersebut.
Komentar dari pihak nasabah terhadap BPR Puangrimanggalatung adalah
sebagai berikut:
1) Dimungkinkan kepada pihak BPR untuk mengurangi jaminan/agunan
dalam pemberian kredit.
2) Pihak BPR mengerti terhadap kondisi ekonomi pada saat ini.
n. BPR Daramandiri
Banyak dari nasabah yang telah meninggalkan lokasi usaha dan tempat
tinggal mereka sehingga pihak keluarga mengambil alih usaha mereka dan
melanjutkan cicilan tunggakan mereka.
Saran terhadap pihak BPR agar lebih dipermudah dalam proses
administrasi dan kiranya membuka kantor kas pembantu untuk daerah-daerah
pelosok. Dan dimohon agar bunga kredit diturunkan dan pihak BPR mengerti
kondisi ekonomi saat sekarang ini.
166
Profil BPR Nusa Tenggara Barat
Dipersiapkan oleh: Tim Peneliti Universitas Mataram
Survey tentang faktor pemicu meningkatnya NPL pada BPR di Propinsi NTB dilakukan
pada 30 BPR yang tersebar di wilayah kerja KBI Mataram meliputi dua pulau yaitu Pulau
Lombok dan Pulau Sumbawai. Propinsi NTB terdiri dari 7 pemerintah daerah kabupaten dan 2
pemerintah kota. Kegiatan pengumpulan data dilakukan pada 30 BPR yang tersebar di 5
kabupaten/kota sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi BPR yang disurvey
Persentase
Lombok Barat36%
Lombok Tengah27%
Lombok Timur27%
Mataram3%
Sumbawa7%
Lombok BaratLombok TengahLombok TimurMataramSumbawa
Terkait dengan bentuk organisasi, hasil pengumpulan data menunjukkan sebagian
besar yakni 63% BPR yang disurvey di wilayah kerja KBI Mataram berbentuk PD dan 37%
lainnya berbentuk PT. Perusahaan Daerah BPR umumnya dimiliki oleh dua pihak yakni
Pemprov NTB dan Pemda Kabupaten setempat dengan komposisi kepemilikan pemprop 80%
dan pemkab 20%. Sementara itu, BPR yang berbentuk PT, kepemilikannya dimiliki oleh pihak
swasta. Proporsi bentuk organisasi pada 30 BPR wilayah kerja KBI Mataram ditunjukkan pada
Gambar 2 di bawah.
167
Gambar 2. Bentuk Organisasi BPR Yang Disurvey
PD63%
PT37%
PD PT
Hasil survey menunjukan bahwa sebagian besar BPR yakni 73% membutuhkan waktu
rata-rata empat sampai tujuh hari untuk menyetujui kredit. Sebanyak 20% membutuhkan
waktu satu sampai tiga hari, dan 7% membutuhkan waktu antara delapan sampai sepuluh hari
untuk menyetujui kredit. Dengan demikian hampir seluruh BPR yakni 93% membutuhkan
waktu tidak lebih dari tujuh hari untuk menyetujui kredit. Hanya terdapat dua BPR yang
memerlukan waktu lebih dari tujuh hari untuk menyetujui kredit.
Gambar 3. Rata-rata Waktu Menyetujui Kredit
Waktu Proses Pinjaman
1 s/d 320%
4 s/d 773%
8 s/d107%
1 s/d 34 s/d 78 s/d10
Data isian mengenai cara pembayaran angsuran kredit menunjukkan bahwa sebagian
besar angsuran kredit disetor langsung oleh debitur ke BPR. Tercatat hanya duabelas BPR dari
30 BPR yang disurvey yang menyatakan bahwa angsuran kredit diambil langsung ke debitur.
168
Gambar 4. Cara Pembayaran Angsuran Kredit
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa sebagian besar BPR tidak memberikan fasilitas
kemudahan dalam membayar. Hal ini bisa dipahami karena pengambilan cicilan oleh bank atau
fasilitas lainnya akan menimbulkan biaya operasi buat BPR. Namun di sisi lain, nasabah yang
jauh dari lokasi bank harus menanggung biaya transportasi yang lebih tinggi untuk setiap
kedatangan dalam membayar cicilannya. Kenyataan ini semakin memperkuat pernyataan
bahwa BPR tetap dipilih bukan karena kedekatan lokasi, namun karena keunggulan kemudahan
memperoleh pinjaman dengan nilai kredit yang tergolong mikro.
Kemudahan memberikan kredit mikro oleh BPR sesuai eksistensi mereka yang bermain
di segmen pasar masyarakat menengah ke bawah. Meskipun demikian mereka tetap
menjalankan bisnis perbankan mikro ini dengan prinsip kehati-hatian dan mengikuti aturan
Bank Indonesia. Salah satu buktinya, seluruh direksi pada 30 BPR yang disurvey telah memiliki
sertifikasi. Bukti dipedomaninya prinsip kehati-hatian tampak tercermin bahwa mereka tidak
memilih nasabah karena ada hubungan khusus. Terkait dengan penyaluran kredit, tampak
bahwa sebagian besar BPR menyalurkan kredit ke masyarakat sekitar.
Cara Pembayaran Angsuran Kredit
15
12
3
50%
40%
10%
0 2 4 6 8
10 12 14 16
disetor langsung dijemput C Cara Pembayaran
Jumlah
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Persentase
jumlah Persentase
169
Gambar 5. Debitur Utama BPR
Debitur Utama BPR
C, 93%
A, 0%B, 7%
Hasil survey menunjukan bahwa 93% dari 30 BPR yang disurvey menyatakan kreditnya
tersalurkan ke masyarakat sekitar. Hanya 7% BPR yang menyalurkan kreditnya ke karyawan
perusahaan dan PNS. Kredit khusus untuk karyawan perusahaan terjadi di BPR dimana pemilik
dan dewan komisarisnya merangkap sebagai pemilik dan dewan komisaris sebuah perusahaan
swasta. Sedangkan kredit khusus untuk PNS lebih banyak dilakukan oleh BPR milik
pemerintah.
Kenyataan bahwa sebagian besar BPR menyalurkan kredit ke masyarakat sekitar
tampaknya sesuai dengan tujuan dibentuknya BPR. Untuk merealisasikan hal ini dan mencegah
kredit non lancar diperlukan pendampingan terhadap debitur yang berbentuk fasilitas
konsultasi yang terkati dengan usahanya. Namun disayangkan dari 30 BPR yang disurvey di
Propinsi NTB tercatat hanya satu BPR yang memiliki debitur yang merupakan binaan
Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB).
Dalam perkembangan beberapa tahun terakhir kinerja BPR menunjukan peningkatan
baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Namun sayangnya, kinerja
tersebut diikuti dengan memburuknya Rasio NPL BPR. Permasalahan ini bisa menghambat
kesinambungan eksistensi BPR sebagai lembaga keuangan yang telah berperan signifikan dalam
mendorong pengembanga usaha mikro.
Memburuknya rasio NPL cukup memprihatinkan karena berbagai upaya telah
dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan peran dan kontribusi BPR
diantaranya linkage program antara Bank Umum dan BPR dalam rangka penyaluran kredit
kepada usaha kecil dan mikro (UKM). Berdasarkan hasil survey diketahui ternyata hanya 6 BPR
dari 30 BPR yang disurvey yang telah mengikuti linkage program.
170
Gambar 6. BPR Yang Mengikuti linkage program
BPR yang mengikuti linkage program
Tidak, 80%
Ikut, 20%
Tidak Ikut
Sebagian besar kredit dari BPR yang disurvey dialokasikan ke jenis usaha perdagangan.
Dari 110 debitur yang dijadikan sampel, sebanyak 82 atau 73% merupakan debitur yang
berusaha disektor perdagangan.
Gambar 7. Jenis Usaha Debitur
211
82
16
2 2%14%
73%
10%2%
0102030405060708090
Perta
nian
Indu
stri P
engo
lahan
Perd
agan
gan
Jasa
-jasa
Lainn
ya
Jumlah Tiap JenisUsaha DebiturPersentase
Usaha perdagangan yang dimaksud merupakan usaha kecil dan mikro yang sebagian
besar meliputi perdagangan eceran komoditas pangan dan kelontongan. Debitur yang berusaha
di sektor perdagangan ini mencakup seluruh wilayah survey. Hasil survey menunjukkan
terdapat 14% dari 110 debitur berusaha di sektor jasa, dan selebihnya 2% merupakan debitur
yang berusaha di sektor pertanian.
Terkait dengan suku bunga yang dibebankan kepada debitur, masing-masing BPR
menetapkan suku bunga flat yang cukup bervariasi. Sebagian besar BPR menetapkan suku
bunga pinjaman secara flat antara 2,1 persen – 3,5 persen. Berturut-turut berikutnya 26% BPR
yang disurvey menetapkan tingkat bunga yang berkisar antara 1 persen sampai dengan 2
persen, dan hanya 3% BPR yang disurvey menetapkan tingkat bunga di atas 3,6 persen kepada
debitur. Memperbandingkan dengan tingkat bunga bank umum, tentu saja tingkat bunga yang
ditetapkan oleh BPR masih tinggi. Hal ini menjadi konsekuensi bagi debitur sebagai pelaku
usaha skala mikro yang harus menanggung biaya modal yang tinggi. Dimungkinkan kebijakan
BPR menetapkan suku bunga sebesar itu disebabkan karena BPR sendiri memperoleh
pendanaan yang berbiaya tinggi.
171
Gambar 8. Suku Bunga Yang Dikenakan
Suku Bunga yang dikenakan
1% s/d 2%26%
2.1% s/d 3.5%71%
di atas 3.6%3%
1% s/d 2% 2.1% s/d 3.5% di atas 3.6%
Terungkap pula berdasarkan survey bahwa debitur dikenakan biaya tambahan disaat
akad kredit yang besarnya cukup signifikan
Tampaknya tidak terdapat korelasi antara besar/kecilnya biaya tambahan dengan
besar/kecilnya pinjaman debitur. Temuan ini menunjukan bahwa sebenarnya biaya transaksi
perolehan kredit di BPR lebih tinggi dibandingkan dengan bank umum walaupun masih lebih
rendah dibandingkan dengan koperasi. Realitas menunjukkan bahwa walaupun biaya bunga
dan biaya tambahan yang dibebankan Koperasi lebih tinggi dibandingkan BPR, para pelaku
usaha khususnya usaha mikro di NTB pada umumnya lebih cenderung menjadi debitur
Koperasi tersebut. Di kalangan pelaku usaha mikro tersebut, populer apa yang disebut dengan
“Bank Subuh” atau “Bank Rontok”- rontok diambil dari bahasa daerah setempat yang mengacu
pada arti mengetuk pintu-. Fenomena ini dimungkinkan karena proses pemberian
kredit/pinjaman oleh Koperasi dipandang jauh lebih mudah, lebih cepat dan tidak
membutuhkan agunan.
Telah diungkapkan di atas, bahwa BPR telah menerapkan prinsip kehati-hatian dan
mematuhi aturan yang digariskan oleh Bank Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar BPR selalu
dapat dikategorikan sebagai bank yang sehat. Salah satu indikator kesehatan BPR yang harus
dipertahankan adalah NPL. Hasil survey menunjukkan dalam pelaksanaannya BPR tidak dapat
menghindari munculnya kredit bermasalah. Kondisi kredit yang dikategorikan sebagai kredit
non lancar pada 30 BPR yang disurvey dapat dilihat pada Gambar 10.
172
Gambar 10. Kondisi Kredit Non Lancar Di BPR
0
2
4
6
8
10
12
0% s/d11%
12% s/d19.99%
20% s/d30.99%
di atas31%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
jumlah BPR
persentase kredit nonlancar
Berdasarkan Gambar 10 di atas, 33% dari 30 BPR yang disurvey memiliki kredit non
lancar per Desember 2006 dibawah 11 persen. Selanjutnya berturut-turut 54% BPR yang
disurvey memiliki tingkat kredit non lancar berkisar antara 12 persen hingga 30 persen. Sisanya
sebesar 13% dari BPR yang disurvey memiliki kredit non lancar diatas 31 persen.
Menarik untuk diungkapkan adanya pengakuan dari pihak BPR yang menyatakan
bahwa karakter debitur (character) menjadi faktor ekstern yang dominan menjadi pemicu
meningkatnya tingkat NPL. Atas pernyataan ini tim peneliti memperoleh kenyataan tidak
sedikit dari debitur yang didatangi sebenarnya mampu untuk memenuhi kewajibannya
mengangsur/melunasi pinjaman. Pihak BPR juga mengakui kelemahan mendasar yang melekat
yaitu pada bagian analis kredit. Kelemahan ini mereka akui sebagai salah satu faktor intern yang
signifikan memberikan kontribusi pada meningkatnya angka NPL.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, tim peneliti juga menemukan adanya
side streaming yaitu penyimpangan penggunaan kredit yang dilakukan oleh debitur sebagai
faktor ekstern yang kontribusinya cukup besar mempengaruhi angka NPL. Temuan yang cukup
mengejutkan diperoleh pada salah satu BPR yang disurvey yaitu ketidak telitian dalam
memutuskan persetujuan kredit yang mengakibatkan melonjaknya angka NPL pada BPR
tersebut. Di samping itu, tidak dapat dihindarkan adanya pengaruh bencana alam pada sektor
usaha pertanian sebagai faktor ekstern yang mempengaruhi meningkatnya NPL.
Terkait dengan faktor-faktor yang telah diuraikan secara singkat di atas, Gambar 11
berikut ini menunjukkan kolektibilitas kredit debitur pada 30 BPR yang disurvey.
173
Gambar 11. Kolektibilitas Kredit Debitur
3936
1820
35%
32%16%
18%
Lancar kurang lancar diragukan Macet
Secara umum, Gambar 11 menunjukkan dari 113 debitur yang disurvey 65% termasuk sebagai
debitur kategori kredit non lancar dan sisanya 35% merupakan debitur kategori kredit lancar.
Hal ini dapat mengancam keberlangsungan usaha BPR apabila tidak mendapat perhatian dan
penanganan yang tepat dari pengelola.
Gambar 12. Tujuan Penggunaan Kredit
Tujuan Penggunaan Kredit
2
101
0 4 62% 0% 4% 5%
89%
0
20
40
60
80
100
120
Konsumsi Modal Kerja Investasi Kombinasi Lainnya
Tujuan
Jum
lah
Debi
tur
Berdasarkan survey terhadap 113 debitur, 89% debitur memanfaatkan kredit untuk
modal kerja. Modal kerja yang diperoleh dari pinjaman tersebut oleh debitur dialokasikan pada
sektor perdagangan. Tercatat hanya sebagian kecil saja dari kredit yang digunakan oleh debitur
pada sektor pertanian. Hal ini agak mengherankan karena kondisi alam NTB khususnya Pulau
Lombok sebenarnya termasuk subur. Gamabar 13 menunjukkan alokasi kredit per sektor
ekonomi.
174
Gambar 13. Alokasi Kredit Per Sektor Ekonomi
Alokasi Kredit Per Sektor
0.689198649
0.162658724
0.0481671220.084406057
0.015569448
Pertanian Perdagangan Lainnya
Sektor Ekonomi
Pers
enta
se A
loka
si
175
Kesimpulan
Penelitian tentang penyebab tingginya rasio NPL di Indonesia dilakukan dengan
memperoleh data dari tujuh wilayah di Indonesia yaitu Jabotabek, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa
Tenggara Barat (NTB). Responden terdiri dari direksi BPR dan debitur BPR.
Masing-masing wilayah memiliki profil BPRnya sendiri-sendiri sebagaimana yang
telah ditunjukkan sebelumnya.
Masing-masing wilayah mungkin saja memiliki keunikannya sendiri-sendiri atau
bisa saja malah tidak ada perbedaan. Untuk mengetahui hal ini maka dilakukan
analisa apakah memang ada perbedaan yang menyolok untuk beberapa aspek
sebagaimana yang telah diuraikan dalam profil BPR per wilayah. Setelah
dianalisa didapati bahwa:
• Sebagian besar BPR yang diteliti berbentuk perseroan terbatas (PT), bahkan
dibeberapa wilayah seperti di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan seluruh
BPR yang ditiliti berbentuk PT. Kecuali didaerah NTB, sebagian besar BPR
berbentuk perusahaan daerah (PD).
• Dibeberapa wilayah, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyetujui kredit
berkisar antara 1 s/d 3 hari seperti didaerah Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Namun didaerah lain, rata-rata
waktu yang diperlukan untuk menyetujui kredit antara 4 s/d 7 hari seperti
didaerah Jabotabek, Sumatera Utara, dan NTB.
• Sebagian besar BPR menerapkan cara pembayaran angsuran dengan
meminta debitur menyetor langsung ke BPR. Ini berlaku diseluruh wilayah.
Cara lain yang dilakukan adalah dengan mengambil ke debitur, sedangkan
yang dipotong langsung pada gaji atau tabungan hanya sedikit. Khusus
daerah Jabotabek dan Jawa Barat, ada beberapa BPR yang pembayaran
cicilan kreditnya dilakukan dengan mentransfer ke rekening BPR.
176
• Masyarat adalah debitur utama BPR. Rata-rata 85% debitur BPR adalah
masyarakat umum (bukan karyawan atau kerabat). Ini berlaku diseluruh
wilayah yang diteliti.
• BPR yang tidak mengikuti linkage program lebih banyak dari pada yang
mengikuti linkage program, bahkan dibeberapa daerah seperti Sulawesi
Selatan dan NTB perbedaannya sangat menyolok yaitu 2 : 8.
• Sebagian besar (54 s/d 83 persen) BPR di ketujuh wilayah yang diteliti
memiliki debitur yang berusaha pada bidang perdagangan. Hanya sedikit
yang bergerak dalam bidang pertanian, industri, dan jasa. Yang bergerak
dalam bidang ini hanya berkisar antara 2 s/d 16 persen.
• Suku bunga yang dikenakan berkisar antara 1 s/d 4 persen walaupun ada
sebagian kecil yang mengenakan diatas 4 persen. Sebagian besar BPR
mengenakan biaya bunga antara 2 s/d 3 persen flat perbulan. Kecuali
wilayah Jawa Tengah dan Sumatera Utara sebagian besar BPRnya
mengenakan biaya bunga antara 1 s/d 2 persen flat per bulan.
• Pada umumnya BPR mengenakan biaya tambahan diluar biaya bunga
berkisar antara 1 s/d 3 persen. Namun ada juga yang tidak mengenakan
biaya tambahan. Khusus wilayah Jabotabek, Jawa Barat dan Sumatera
Selatan cukup banyak (18 s/d 23 persen) BPR yang mengenakan biaya
tambahan lebih besar dari 4 persen.
• Tujuan penggunaan kredit pada umumnya untuk modal kerja. 64 s/d 89
persen debitur diseluruh wilayah menggunakan kredit untuk modal kerja.
Sedangkan untuk konsumsi rata-rata hanya 11 persen. Investasi rata-rata
hanya 4 persen.
• Sektor ekonomi debitur pada umumnya perdagangan. Itu berarti pinjaman
terbesar adalah untuk modal kerja pada sektor ekonomi perdangangan dan
ini berlaku diseluruh wilayah yang diteliti.