MARKAS BESAR
PAGE 10
OPTIMALISASI PEMBERDAYAAN ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION (ADR)
GUNA PENYELESAIAN MASALAH HUKUM YANG BER KEADILAN SOSIAL DALAM
RANGKA HARKAMTIBMASBAB I
PENDAHULUAN1. Latar BelakangUU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri
secara eksplisit menyatakan bahwa tugas pokok Polri adalah
memelihara Kamtibmas, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, dan
melayani masyarakat. Dalam rangka melaksanakan tugas pokok
tersebut, Polri telah merubah paradigma dari paradigma yang
militeristik bergeser menjadi paradigma polisi sipil (civilian
police), mengaktualisasikan kode etik profesi, dan
mengimplementasikan strategi Polmas (community policing) di era
reformasi. Polri berkomitmen untuk mematuhi peraturan disiplin
anggota Polri dan etika profesi Polri sehingga terwujud kinerja
anggota Polri yang profesional, bermoral, dan modern.
Polri mengalami transformasi dari orientasi abdi penguasa yang
militeristik, arogan, dan melanggar HAM pada masa Orde Baru menuju
Polri yang berorientasi pada nilai-nilai polisi sipil sebagai
paradigma baru dimana sikap dan perilaku anggota POLRI harus
humanis, demokratis, protagonis, transparan, akuntabel, dan
bermoral. POLRI menyadari bahwa masyarakat merupakan stakeholder
yang utama sehingga harus mendapatkan prioritas pelayanan. Sebagai
pelayan masyarakat, Polri harus mampu menjawab tuntutan dan harapan
masyarakat agar supaya PolriI mampu memberikan pelayanan yang
cepat, tepat, efektif dan efisien kepada masyarakat tanpa adanya
diskriminasi, tanpa pandang bulu, dan tanpa pilih kasih.Dalam
perspektif kepolisian modern, eksistensi Polisi sangat dibutuhkan
oleh masyarakat. Kehadiran Polisi di tengah masyarakat merupakan
sebuah keharusan mengingat Polisi merupakan sarana mediasi,
fasilitasi, dan katalisasi terhadap berbagai persoalan yang terjadi
di tengah masyarakat. Pentingnya eksistensi polisi ini kemudian
melahirkan adagium dimana ada masyarakat disitu ada polisi yang
menegaskan bahwa polisi dan masyarakat merupakan sesuatu yang
bersifat inheren atau tidak dapat dipisahkan.
Dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat, Polri
mengeluarkan kebijakan dan program reformasi birokrasi Polri
melalui strategi QTAP (quick response, transparancy,
accountability, dan professional), dengan teknik quick wins
(keberhasilan segera) terhadap pelaksanaan tugas Polri.
Selanjutnya, Polri menerbitkan Skep Kapolri No. 37 Tahun 2008
Tanggal 27 Oktober 2008 Tentang Program Akselerasi Transformasi
Polri Menuju Polri Yang Mandiri, Profesional, Dan Dipercaya
Masyarakat, yang merupakan penegasan tekad untuk melakukan
perubahan perilaku setiap anggota Polri dalam menjalankan
tugas-tugasnya menjawab tuntutan dan harapan masyarakat akan
pelayanan prima Polri dan terwujudnya rasa aman masyarakat. Sebagai
pengemban fungsi penegakkan hukum yang merupakan salah satu fungsi
pemerintahan negara, Polri juga tidak terlepas dari kritik,
tuntutan dan harapan masyarakat yaitu Polri profesional, transparan
dan akuntabel melayani masyarakat secara prima dalam pelaksanaan
tugas pokok pemelihara kamtibmas, pelindung, pengayom dan pelayan
masyarakat dan selaku penegak hukum yang dipercaya masyarakat. Oleh
karena itu, Polri telah berupaya melakukan perubahan-perubahan pada
aspek instrumental, struktural dan kultural agar selaras dengan
dinamika tuntutan dan harapan masyarakat tersebut. Perubahan pada
aspek instrumental dan struktural telah berjalan dengan baik hingga
saat ini, namun diperlukan konkretisasi dan akselerasi transformasi
pada aspek kultural yang dinilai masyarakat belum memuaskan.
Catatan media yang gencar selama tahun 2009 tentang kasus Bibit
Samad dan Chandra Hamzah yang terbebas dari hukum dengan dukukungan
massa dan penanganan kasus Mbok Minah yang mencuri Buah Kakao yang
berakhir di meja hijau, berdampak pada penurunan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri secara umum. Padahal
kepercayaan masyarakat menjadi modal dasar bagi terbangunnya peran
serta masyarakat dalam rangka Harkamtibmas .Tanpa dukungan dan
partisipasi secara aktif oleh masyarakat selaku stakeholders,
efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan peran
Polri menjadi tidak optimal. Namun, peran serta masyarakat hanya
muncul apabila ada kepercayaan terhadap institusi Polri. Maka,
Grand Strategi Polri tahun 2005 2025 telah meletakkan terwujudnya
kepercayaan masyarakat sebagai sasaran obyektif tahap I (pertama)
tahun 2005-2009, kemudian terwujudnya kemitraan dan networking
(Partnership Buliding) pada tahap II (kedua) tahun 2010 -2014 dan
terakhir tahap III (ketiga) Polri menuju organisasi unggulan yang
mampu memberikan pelayanan prima secara profesional, transparan dan
akuntabel yang berorientasi pada kesempurnaan (strive for
excelence) tahun 2015-2025. Pada hakekatnya perumusan tahapan Grand
Strategi Polri selaras visi dan misi pembangunan nasional
sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
Tantangan tugas yang makin berat dan perkembangan jaman yang
semakin maju, mendorong Polri untuk menggulirkan Program
Revitalisasi POLRI Menuju Pelayanan Prima Guna Meningkatkan
Kepercayaan Masyarakat, yang merupakan kebijakan KAPOLRI agar Polri
memiliki sikap yang melayani, pro-aktif, transparan, dan akuntabel
dalam rangka terwujudnya pelayanan prima, yang pada gilirannya akan
meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam kerangka terwujudnya
reformasi birokrasi Polri. Program prioritas dan revitalisasi POLRI
dilaksanakan ke dalam 4 (empat) tahapan yang dimulai dari bulan
November 2010 sampai dengan bulan Desember 2013. Di era reformasi
sekarang ini, Polri menghadapi ujian yang sangat berat karena
adanya berbagai kasus hukum yang diduga melibatkan oknum anggota
Polri sehingga mendapatkan liputan pemberitaan media massa yang
luas yang pada akhirnya mencoreng citra penegakkan hukum Polri.
Sebagai aparat penegak hukum, Polri merupakan ujung tombak dalam
mencegah, menangani, mengungkap, dan memberantas berbagai tindak
pidana dan kasus hukum yang terjadi di level kepemerintahan,
kemasyarakatan, dan instansi publik lainnya. Maraknya kejahatan dan
tindak pidana, mulai dari kejahatan konvensional, kejahatan
transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, dan kejahatan
yang berimplikasi kontijensi, telah mendorong Polri untuk
meningkatkan kemampuan, kualitas, dan kompetensi sehingga
diharapkan dapat menegakkan hukum secara transparan, akuntabel,
professional, dan humanis. Tidak bisa dipungkiri bahwa telah banyak
prestasi yang diukir oleh Polri dalam menegakkan hukum terhadap
tindak pidana, khususnya tindak pidana narkoba dan tindak pidana
terorisme. Namun semua itu, tertutup oleh isu dan pemberitaan
adanya oknum penyidik yang dinilai kurang profesional dan melanggar
prosedur dalam penanganan tindak pidana korupsi.Dalam menegakkan
hukum, Polri menghadapi dilema hukum. Di satu sisi, Polri
berkomitmen untuk menegakkan hukum berdasarkan KUHP terhadap siapa
saja yang melanggar hukum tanpa pandang bulu, tanpa pilih kasih,
dan tanpa diskriminasi. Hal ini dibuktikan dengan penanganan
berbagai tindak pidana / kasus baik dalam skala besar maupun skala
kecil, termasuk misalnya penanganan kasus bibit candra maupun
penanganan kasus kakao di Banyumas. Namun demikian, di sisi lain,
Polri dituntut untuk menerapkan hukum yang berkeadilan sosial
masyarakat, yang ditandai dengan protes elemen masyarakat terhadap
pembebasan bibit candra yang terindikasi melanggar hukum dan kasus
kakao ibu minah yang memang nyata melanggar hukum sekecil apapun
yang telah diatur oleh Hukum Positif kita.Kondisi penegakkan hukum
di Indonesia sekarang ini seolah-olah telah dikalahkan oleh opini
publik dan konsensus masyarakat yang tentunya belum sepenuhnya
benar. Kekuatan masyarakat dipergunakan sebagai alat bagi kelompok
tertentu untuk membuat konsensus masyarakat dan penciptaan opini
publik untuk menekan dan mempengaruhi Polri dalam menegakkan hukum
sehingga membuat wajah buram penegakkan hukum Indonesia dan
menjadikan beban psikologis khususnya bagi anggota Polri yang
bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan dibuat bingung,
ragu, khawatir, dan cemas. Penyidik Polri menjadi ragu dam bimbang
karena segala tindakan hukum yang dilakukan secara benar
berdasarkan KUHP ternyata seringkali dianggap salah oleh sejumlah
kelompok masyarakat. Inilah potret buram perjalanan penegakkan
hukum Indonesia pada era reformasi yang mengalami dinamika
paradoksal dan anomali hukum.Dalam persepsi masyarakat, proses
penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polri selama ini dinilai belum
mengedepankan rasa keadilan sosial masyarakat. Polri dianggap masih
memakai kacamata kuda dalam menangani, mengungkap, dan memberantas
segala tindak pidana yang terjadi di tengah masyarakat tanpa
melihat aspek sosiologi hukum masyarakat. Polri dipandang hanya
memprioritaskan penegakkan hukum formalistik tanpa mengindahkan
aspek yang berhubungan dengan sosiologis dan antropologis yang
melingkupi kasus / tindak pidana yang ditanganinya. Aspek
sosiologis hukum di sini maksudnya adalah sebagai cara pandang
peraturan dengan cara memperhatikan apa yang senyatanya terjadi dan
bukan hanya yang tercantum dalam naskah undang-undang. Rasa
keadilan sosial yang dinilai masyarakat kurang diindahkan tersebut
tentunya bermuara pada melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap
Polri. Padahal, dalam konteks reformasi Polri, saat ini Polri telah
mencapai pada trust building dan mulai merajut pada partnership
building dalam rangka menuju strive for excellence.Polri perlu
melakukan rekayasa sosial (social engineering) sehingga setiap
pihak yang terlibat dalam kasus hukum / tindak pidana / sengketa
dapat menerima kesepakatan dan usulan perdamaian berdasarkan
win-win solution. Polri seyogyanya menggali nilai-nilai kearifan
lokal masyarakat setempat dalam menyelesaikan setiap permasalahan
dan persoalan. Polri tidak boleh secara kaku dan (bahasa
jawa:saklek) untuk menyelesaikan setiap persoalan hukum di tengah
masyarakat.Polri harus berprinsip bahwa langkah pertama dan utama
dalam menyelesaikan suatu kasus hukum / tindak pidana di tengah
masyarakat adalah menekankan pendekatan sosial budaya, kearifan
lokal, musyawarah mufakat, dan penyelesaian secara adat istiadat
setempat. Masyarakat didorong untuk menyelesaikan sendiri persoalan
mereka dan Polri hanyalah sebagai penengah / fasilitator /
mediator. Apabila cara-cara ini tidak dapat mendamaikan antar pihak
yang bertikai, maka barulah langkah terakhir ditempuh melalui jalur
hukum. Model penegakan hukum inilah yang disebut dengan ADR
(alternative dispute resolution). Dalam menyelesaikan setiap kasus
hukum yang terjadi di tengah masyarakat, Polri perlu pula
mengembangkan alternative dispute resolution (proses penyelesaikan
sengketa / kasus melalui cara-cara alternatif di luar proses
hukum), khususnya dalam menangani kasus-kasus tindak pidana yang
mempunyai kerugian materi/ ekonominya kecil, telah disepakati oleh
para pihak yang berperkara dengan mengedepankan prinsip musyawarah
mufakat yang disaksikan oleh tokoh masyarakat setempat dengan
melibatkan dengan petugas Polmas sebagai garda terdepan.
Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa banyak kasus-kasus / tindak
pidana yang dilaporkan masyarakat kepada Polri di berbagai wilayah
(Polda, Polres dan polsek) berkategori tindak pidana ringan,
seperti pencurian ayam, pencurian kambing, pencurian buah,
penggelapan uang kurang dari 10 juta, pemukulan / penganiayaan
ringan, dan hutang piutang kurang dari 10 juta. Dalam konteks
penanganan kasus ringan tersebut di atas sebagai contoh, Polri
dapat menerapkan ADR dengan mengundang berbagai pihak terkait dan
pihak yang bersengketa untuk duduk bersama mendiskusikan dan
memusyawarahkan kasus yang terjadi dan dicari solusi yang terbaik
dan dibuat perjanjian / kesepakatan lisan dan tertulis
ditandatangani oleh pihak yang bersengketa, disaksikan oleh aparat
RT dan RW setempat, dan difasilitasi / mediasi oleh petugas Polmas
setempat, tanpa harus diteruskan ke meja hijau / pengadilan.Oleh
karena itu, setelah menguraikan mengenai perkembangan hukum di
Indonesia dan dikaitkan dengan pelaksanaan tugas pokok Polri
sebagai pengemban fungsi Kamtibmas sebagaimana tertuang dalam UU
No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri, maka penulis tertarik untuk
menyajikan Naskah Karya Perorangan (NKP) dengan mengangkat judul:
Optimalisasi Pemberdayaan Alternative Dispute Resolution (ADR) Guna
Penyelesaian Masalah Hukum Yang Berkeadilan Sosial Dalam Rangka
Harkamtibmas.
2. Pokok Permasalahan Berdasarkaan latar belakang tersebut di
atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :
Mengapa mekanisme alternative dispute resolution (ADR) kurang
optimal pemberdayaannya dalam proses penegakan hukum, sehingga
kurang mampu memberikan pemecahan persoalan hukum yang berkeadilan
sosial di masyarakat, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap
Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat?.
3. Pokok-Pokok Persoalan
Adapun pokok-pokok persoalan dalam tulisan ini diuraikan dalam
pertanyaan sebagai berikut :
a. Bagaimana kompetensi personil / anggota dalam memberdayakan
mekanisme ADR?.
b. Bagaimana sistem dan metode yang dikembangkan dalam
memberdayakan ADR? 4. Ruang Lingkup
Dalam tulisan ini, penulis menetapkan ruang lingkup atau
pembatasan mengingat permasalahan dan persoalan yang dibahas sangat
luas. Pembatasan bidang didasarkan pada upaya nyata Pimpinan dalam
memberdayakan alternative dispute resolution (ADR), yang dilihat
dari aspek kompetensi personil dan sismet yang dikembangkan guna
menciptakan penyelesaian hukum yang berkeadilan sosial di
masyarakat dalam rangka harkamtibmas. Sedangkan pembatasan tempat /
wilayah ditetapkan di satuan Polda Jawa Timur.5. Maksud dan
Tujuan
a. Maksud
Maksud penulisan NKP ini adalah untuk memberikan gambaran secara
detail dan komprehensif tentang optimalisasi pemberdayaan ADR guna
menciptakan penyelesaian hukum yang berkadilan sosial, sekaligus
untuk memenuhi salah satu persyaratan masuk dalam Pendidikan
Sespimen Polri Dikreg Ke-52 T.P. 2012.
b. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan NKP ini adalah untuk memberikan
masukan dan sumbangan pemikiran yang kiranya dapat berguna dan
bermanfaat bagi pelaksanaan tugas Polri di masa mendatang,
khususnya kepada pimpinan Polda Jawa Timur yang terlibat langsung
dalam penanganan penegakan hukum yang berkeadilan sosial.
6. Metode dan Pendekatan
a. Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan NKP ini adalah metode
deskriptif analisis, yaitu metode yang mendasarkan pada hasil
pengumpulan data / fakta, sehingga dapat diperoleh gambaran
permasalahan yang ada, selanjutnya dikaji dan dianalisa untuk dapat
menemukan solusi permasalahan yang ada. Teknik pengumpulan data
melalui studi kepustakaan / dokumentasi dan observasi empiris di
lapangan sehingga validitas dan reliabilitas data dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan NKP ini dengan
menggunakan pendekatan empiris, pendekatan fungsi dan tugas, serta
pendekatan manajemen. Pendekatan empiris menekankan pada kejadian,
gejala, peristiwa di lapangan sehingga menjadi data yang dapat
diolah dan dianalisis secara ilmiah. Fakta yang dapat ditangkap
dengan panca indera di lokasi kajian akan dikumpulkan, diolah dan
dianalisis melalui metodologi ilmiah. Pendekatan fungsi dan tugas
menekankan pada tugas, wewenang, tanggung jawab normatif dan
yuridis Polri sebagaimana tertuang dalam UU No 2 Tahun 2002 Tentang
Polri. Pendekatan manajemen menekankan pada tata kelola sumber daya
organisasi, baik personil, materiil, anggaran, dan sismet, di
lingkungan organisasi Polri.7. Tata Urut
BAB I PENDAHULUAN
BAB II
LANDASAN TEORIBAB IIIKONDISI SAAT INI
BAB IVFAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
BAB VKONDISI YANG DIHARAPKAN BAB VIUPAYA PEMECAHAN MASALAHBAB
VIIPENUTUP
BAB II
LANDASAN TEORI8. DEFINISI-DEFINISI
a. Optimalisasi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, optimalisasi adalah
upaya, usaha, kegiatan untuk membuat sesuatu menjadi paling baik,
paling tinggi. Pada NKP ini, optimalisasi mengandung arti segala
upaya, usaha dan kegiatan Ditpolair Polda Jatim dalam rangka
memberdayakan seluruh potensi sumber daya yang ada guna tercapainya
tingkat kemampuan tertinggi dalam penegakkan hukum di bidang
pelayaran.
b. Alernatif Disbute Resolution
Definisi secara akademis dikemukakan oleh Philip D. Bostwick
bahwa ADR merupakan serangkaian praktek dan teknik-teknik hukum
yang ditujukan untuk :
1) Memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaiakan diluar
pengadilan untuk keuntungan atau kebaikan para pihak yang
bersengketa
2) Mengurangi biaya atau keterlambatan kalau sengketa tersebut
diselesaikan melalui litigasi konvensional 3) Mencegah agar
sengketa-sengketa hukum tidak di bawa ke pengadilan
Dengan demikian ADR merupakan kehendak sukarela dari pihak-pihak
yang berkepentingan untuk menyelesaikan sengketa mereka di luar
pengadilan, dalam arti diluar mekanisme ajudikasi standar
konvensional. Oleh karena itu, meskipun masih berada dalam lingkup
atau sangat erat dengan pengadilan, tetapi menggunakan prosedur
ajudikasi non standar, mekanisme tersebut masih merupakan ADR.
Dalam praktik, hakikatnya ADR dapat diartikan sebagai Alternative
to litigation atau alternative to adjudication. Alternative to
litigation berarti semua mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, sehingga dalam hal ini arbitrase termasuk bagian dari
ADR. Sedangkan Alternative to adjudication berarti mekanisme
penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif,
tidak melalui prosedur pengajuan gugatan kepada pihak ke tiga yang
berwenang mengambil keputusan. Termasuk bagian dari ADR adalah
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan pendapat ahli,
sedangkan arbitrase bukan termasuk ADR. Di Amerika sendiri, ADR
diartikan sebagai alternative to adjudication, karena output dari
proses adjudikasi umumnya berupa win-lose solution (menang-kalah),
padahal yang dikehendaki pihak-pihak yang bersengketa adalah
win-win solution atau mutual acceptable solution. c. Keamanan dan
ketertiban masyarakat (kamtibmas)
Kamtibmas yaitu suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah
satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam
rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai dengan terjaminnya
keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya
ketentraman yang mengandung kemampuan serta mengembangkan potensi
dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi
segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya
yang dapat meresahkan masyarakat.
9. Teori HukumDalam Perspektif teori hukum dinyatakan bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum sehingga setiap persoalan yang
terjadi di tengah masyarakat harus diselesaikan secara hukum. Unsur
penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus
saling bahu membahu melakukan penegakan hukum sehingga tercipta
kepastian hukum di tengah masyarakat dalam rangka terwujudnya
keadilan sosial. Penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri selalu
didasarkan pada aturan perundang-undangan yang berlaku yang dibuat
oleh pemerintah dan DPR sehingga sah / legal secara yuridis. Dalam
menegakan hukum, Polri telah menetapkan SOP penegakkan hukum yang
sering dikenal dengan langkah dan tindakan preemptif, preventif,
dan represif/gakkum. Polri harus terus melakukan akselerasi untuk
terlebih dahulu mengedepankan tindakan preemtif dan preventif
dibandingkan dengan langkah represif / gakkum. Tindakan represif /
gakkum dilakukan apabila langkah preemptif dan preventif tidak
mampu lagi menangani berbagai kasus yang terjadi di tengah
masyarakat. Proses penegakan hukum yang dikembangkan oleh Polri
juga mengedepankan mekanisme ADR (alternative dispute resolution).
Artinya, proses penyelesaian masalah, persoalan, kasus, tindak
pidana dilakukan dengan menggunakan cara-cara lain di luar jalur
hukum, dengan memanfaatkan hukum adat, hukum sosial, norma dan
potensi kearifan lokal yang berkembang di suatu masyarakat
masing-masing, di mana pihak yang bersengketa lebih mengutamakan
musyarawah mufakat dihadiri oleh para pihak yang terlibat,
disaksikan oleh para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan
petugas Polri yang berperan sebagai mediator dan fasilitator.
Di dalam undang undang No.30 Tahun 1999 tentang Penyelesaian
Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution) mencantumkan
beberapa bentuk ADR yang dapat diterapkan dalam penyelesaian
sengketa, yaitu Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan
Penilaian Ahli.
1. Konsultasi. Konsultasi adalah upaya penyelesaian sengketa
dengan cara meminta masukan dari pihak yang diyakini sebagai
Narasumber berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dapat
memfasilitasi penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan bersama.
Biasanya, Narasumber yang dimintai konsultasi oleh para pihak
adalah Nara sumber yang levelnya lebih tinggi dan memiliki
kompetensi yang jelas.2. Negosiasi. Negosiasi (berunding) berasal
dari bahasa inggris Negotiation yang berati perundingan. Namun
secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian
sengketa para pihak dengan cara berhadapan langsung mendiskusikan
secara transparan, harmonis suatu masalah atau sengketa untuk
mencapai kesepakatan bersama.3. Mediasi. Mediasi berasal dari
bahasa inggris yaitu Mediation artinya menengahi, penengah. Jadi,
Penengah (Mediator) adalah orang yang memediasi suatu kegiatan.
Dalam kontek penyelesaian sengketa, Pola mediasi adalah upaya
penyelesaian sengketa dengan cara menengahi para pihak yang
bersengketa. Fungsi Mediator adalah sebagai Wasit, yang memutuskan
sengketa adalah para pihak yang berperkara. Karena itu Mediator
harus benar-benar orang yang bersikap Netral dan dapat diterima
oleh pihak yang bersengketa. Mediator dapat dipilih dari tokoh
masyarakat, tokoh pendidik, tokoh permepuan, tokoh agama, dll yang
mengetahui, memahami dan mengerti pokok masalah yang dipilih oleh
para pihak yang bersengketa. Mediator yang dipilih bisa bersifat
tetap atau ad hoc.4. Konsiliasi. Konsiliasi dalam bahasa Indonesia
diartikan sebagai usaha mempertemukan pihak yang berselisih untuk
mencapai persetujuan dalam rangka penyelesaian sengketa. Konsiliasi
dapat diserahkan kepada sebuah Tim (Konsiliator) yang berfungsi
menjelaskan fakta-fakta, membuat usulan-usulan penyelesaian, tetapi
sifatnya tidak mengikat. Konsiliator dapat dibentuk bersifat tetap
dan ad hoc. 5. Penilaian Ahli. Penilaian Ahli adalah suatu upaya
mempertemukan pihak yang berselisih dengan cara menilai pokok
sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang ahli di
bidang terkait dengan pokok sengketa untuk mencapai persetujuan.
Penilaian ahli berupa keterangan tertulis yang merupakan hasil
telaahan ilmiah berdasarkan keahlian yang dimiliki untuk membuat
terang pokok sengketa yang sedang dalam proses. Penilaian ahli ini
dapat diperoleh dari seseorang atau Tim ahli yang dipilih secara ad
hoc.6. Penyelesaian Masalah Melalui Arbitrase. Arbitrase berasal
dari bahasa latin arbitrare yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan suatu perkara menurut kebijaksanaan. Dalam hal ini
ditunjuk satu atau beberapa orang yang diberi kewenangan untuk
memutuskan suatu perkara. Hampir sama dengan mediasi dimana
penyelesaian perkara melibatkan pihak ketiga. Namun bila dalam
mediasi mediator tidak berhak memutus perkara sedang arbitrator
memiliki kewenangan untuk memutuskan suatu perkara.7. Penyelesaian
Masalah Melalui Pola Tradisi Lokal. Penyelesaian masalah dengan
pola tradisi lokal yang hidup dan berlaku di masyarakat adat dapat
dipandang cukup efektif dan efisien. Paling tidak dari sisi waktu
dan biaya penyelesaian sengketa tidak memerlukan waktu dan biaya
yang cukup lama. Pola penyelesaian dengan pendekatan ini tidak sama
dengan pola penyelesaian masalah ketika hukum adat masih berlaku.
Agar hasil keputusannya mempunyai kekuatan hukum, maka para pihak
wajib mendaftarkan ke Pengadilan Negeri untuk ditetapkan dengan
penetapan Pengadilan.10. Teori Manajemen Sumber Daya
OrganisasiMenurut Hadari Nawawi, manajemen pada dasarnya mengandung
pengertian upaya mendayagunakan dan mengarahkan penggunaan sumber
daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif.
Efisiensi penggunaan sumber daya menjadi ukuran yang tidak kalah
pentingnya dari ukuran efektifitas. Dalam pandangan George R Terry,
dinyatakan bahwa secara harfiah, manajemen adalah suatu proses yang
tegas yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
dan pengawasan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah
dinyatakan sebelumnya dengan menggunakan sumber daya manusia dan
sumber daya yang lainnya.
Organisasi adalah perkumpulan dua orang atau lebih yang memiliki
komitmen untuk melakukan kerjasama yang saling menguntungkan dan
bersinergis untuk mencapai tujuan bersama. Antar anggota dalam
organisasi bisa bersatu karena adanya cita-cita dan target yang
sama sehingga soliditas, kekompakan dan keterpaduan antar anggota
organisasi diperlukan sehingga setiap program dan kegiatan
organisasi dapat tercapai dengan baik.
Agar supaya visi, misi, tujuan, dan target organisasi bisa
terwujud, maka diperlukan sumber daya organisasi. Sumber daya
organisasi meliputi sumber daya manusia, sumber daya materiil,
sumber daya anggaran, dan sumber daya sistem/metode organisasi.
Sumber daya organisasi harus dikelola dengan baik sehingga dapat
mendukung apa yang diinginkan oleh organisasi tersebut.
Sumber daya manusia atau sering pula disebut dengan personil /
personalia / human resource merupakan sumber daya utama organisasi
karena berperan mengawaki gerak laju dan perjalanan organisasi.
Sumber daya manusia menempati posisi strategis dalam melaksanakan
setiap program dan kegiatan organisasi sehingga dapat berhasil
dengan baik.
Sumber daya materiil atau sering disebut dengan dukungan sarana
prasarana, logistik, dan peralatan pendukung, merupakan faktor
penunjang dalam pelaksanaan program dan kegiatan organisasi.
Sebagus apapun sumber daya manusia dalam organisasi, namun apabila
sumber daya materiil kurang mendukung, maka program dan kegiatan
dalam organisasi akan mengalami hambatan dan kendala.
Sumber daya anggaran yang sering pula disebut dengan sumber daya
keuangan atau sumber daya dana atau sumber finansial merupakan
faktor krusial keberhasilan dan kegagalan penerapan program
organisasi. Setiap program dan kegiatan yang direncanakan dan
diterapkan oleh suatu organisasi, apabila tidak didukung oleh
faktor pembiayaan / sumber daya anggaran, maka program dan kegiatan
tersebut akan mengalami kesulitan. Sumber daya anggaran yang
memadai akan mampu mengakselerasi visi dan misi organisasi.
Sumber daya yang berbasis pada sistem / metode / hubungan tata
cara kerja dalam organisasi sangat penting dirumuskan sehingga akan
terwujud sarana / wahana / media yang efektif dalam melaksanakan
suatu program atau kegiatan.
Dalam setiap program dan kegiatan yang akan diterapkan, harus
dirumuskan atau direncanakan terlebih dahulu tentang uraian kerja
dan job description masing-masing anggota dan unit kerja dalam
melaksanakan program dan kegiatan tersebut. Pengorganisasian
program dan kegiatan, khususnya yang mengatur tentang siapa berbuat
apa, bagaimana mengerjakannya, metode apa yang dipergunakan, kapan
dikerjakan, dan mengapa dikerjakan, harus tercermin dalam suatu
program dan kegiatan yang dijalankan suatu organisasi.Dengan
demikian, dapat ditegaskan bahwa manajemen adalah suatu proses yang
dilakukan melalui tahapan perencanaan (Planing), pengorganisasian
(organizing), penggerakan, pelaksanaan dan pengendalian dengan
memberdayakan sumber daya organisasi, berupa personil, materiil,
anggaran, sistem / metode yang dimiliki oleh suatu organisasi dalam
rangka memanfaatkan ilmu maupun seni, agar dapat menyelesaikan
tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
11. Teori Analisis SWOTDalam buku Manajemen Strategik karangan
Sondang P. Siagian, menjelaskan bahwa perumusan strategik kegiatan
yang dilakukan serta untuk pengambil keputusan dalam suatu
organisasi memerlukan suatu strategi yang disebut SWOT yang
mempunyai arti Strengths atau kekuatan, Weaknesses atau kelemahan,
Opportunities atau peluang dan Threats atau ancaman. Faktor
kekuatan dan kelemahan terdapat dalam lingkungan tubuh suatu
organisasi, sedangkan faktor peluang dan ancaman merupakan
faktor-faktor lingkungan yang dihadapi oleh organisasi atau
perusahaan yang bersangkutan.
Analisis SWOT merupakan instrumen yang ampuh dalam melakukan
analisis strategik, keampuhan tersebut terletak pada kemampuan para
penentu strategi organisasi untuk memaksimalkan peranan faktor
kekuatan dan pemanfaatan sehingga sekaligus berperan sebagai alat
penekan dampak ancaman yang timbul dan harus dihadapi. Berikut ini
akan diuraikan mengenai empat unsur dalam analisis SWOT tersebut
:
a. Strength (kekuatan) adalah suatu kenyataan tentang kondisi
sumber daya dan kemampuan yang dimiliki organisasi sebagai
pembanding yang positif dalam suatu organisasi.
b. Weakness (kelemahan) adalah aspek negative dalam internal
organisasi yang dapat mempengaruhi kinerja organisasi. Untuk itu
diperlukan penanganan yang baik dalam menutupi maupun mengurangi
kelemahan yang ada dengan cara memanfaatkan kemampuan dan sumber
daya yang ada.
c. Opportunities (Peluang) adalah kondisi masa depan dalam suatu
lingkungan yang memungkinkan untuk dicapai demi kelangsungan
organisasi. Kondisi ini diyakini akan membawa perubahan pada
organisasi tersebut jika mampu mencapainya secara optimal terutama
dalam jangka panjang.
d. Treaths (Ancaman), adalah sebuah kondisi yang akan terjadi
dimasa datang, yang secara potensial akan mempengaruhi kelangsungan
usaha suatu organisasi. Pengamatan lingkungan masa depan yang baik
serta penguasaan teknologi yang selalau berkembang, tentunya akan
membantu meminimalisir ancaman yang ada.
Setiap organisasi tidak dapat mengelak dari keempat faktor
tersebut, kekuatan dan kelemahan adalah dimensi internal organisasi
yang harus dikenali secara akurat sehingga kekuatan yang dimiliki
harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal guna menghadapi
tantangan maupun memanfaatkan peluang yang ada. Kelemahan yang
telah dikenali menuntut dikelola agar kondisi itu tidak akan
mengganggu atau menggagalkan pencapaian tujuan organisasi.
Demikian pula peluang dan kendala merupakan dimensi eksternal
dari organisasi yang harus ditelusuri, dikenali (scanning) agar
situasi dan kondisi riil itu dapat diantisipasi. Peluang eksternal
harus dapat dipadukan dengan kekuatan atau dimanfaatkan untuk
meminimalkan kelemahan organisasi guna menghadapi tantangan dan
kendala sehingga organisasi tetap dapat mencapai tujuannya dengan
efektif dan efisien.
BAB III
KONDISI SAAT INI12. Kompetensi Personil / Anggota Dalam
Memberdayakan Mekanisme ADR di Polda Jawa Timur Saat Inia.
Berdasarkan data dari Laporan Satuan Polda Jawa Timur, pada tahun
2012 terdapat data personil, kamtibmas dan kriminalitas sebagai
berikut:
1) Data Personil
NOKEPANGKATANJUMLAHJUMLAH
DSPPRIILKURANGLEBIH
01
02
03
04
05
06
JUMLAH
Sumber : Lapsat Polda Jawa Timur Tahun 20122) Data Gangguan
Kamtibmas
NoUraianTAHUNTrend
Tahun 2011Tahun 2012
1Jumlah TP
2Penyelesaian TP
3Prosentase penyelesaian TP
4Selang waktu terjadi TP
Sumber : Lapsat Polda Jawa Timur Tahun 20123) Data Kasus
KriminalitasNOURAIANTAHUN 2011TAHUN 2012TREND
LSLSLS
1PERKOSAAN
2KEBAKARAN
3PERZINAAN
4PERJUDIAN
5PEMBUNUHAN
6ANIRAT
7ANISA
8ANIRING
9CURAT
10CURAS
11PENGGELAPAN
12PENIPUAN
13PENGRUSAKAN
14CURANMOR
15CABUL
16UPAL
17SAJAM
18CURI BIASA
19KROYOK
20PERAMPASAN
21PENADAHAN
22NARKOBA/PSYKO
23ILEGAL LOGING
24LAIN-LAIN
JUMLAH
Sumber : Lapsat Polda Jawa Timur Tahun 2010
b. Pengetahuan Personil. Pengetahuan personil dalam memahami
adat istiadat, budaya lokal, kebiasaan masyarakat dan berbagai
pranata sosial kemasyarakatan di wilayahnya bertugas masih cukup
lemah. Personil kurang memahami pengetahuan masyarakat sehingga
kurang mampu memberdayakan mekanisme ADR ketika dibutuhkan dalam
penyelesaian tindak pidana, seperti pencurian ayam, pencurian
kambing, cekcok antar tetanga, dan konflik antar pemuda kampung.c.
Keterampilan Personil. Keterampilan personil melafalkan bahasa
daerah, menggali potensi kearifan lokal untuk sarana resolusi
konflik, dan mengembangkan kegiatan sosial keagamaan masih cukup
lemah sehingga kurang mampu pemberdayaan ADR ketika terjadi
permasalahan hukum / tindak pidana ringan di wilayah penugasannya
masing-masing.d. Kepribadian personil. Kepribadian personil dalam
berkomunikasi, berkoordinasinasi, bersilaturahmi, bertutur kata,
bertatapmuka, dan bertindak di tengah masyarakat masih kaku,
saklek, dan antagonis sehingga cenderung kurang diterima oleh
komponen masyarakat yang pada akhirnya sulit untuk memberdayakan
ADR apabila muncul kasus hukum di tengah masyarakat.13. Sistem Dan
Metode Yang Dikembangkan Dalam Memberdayakan ADR di Polda Jawa
Timur Saat Inia. SOP Tentang Pelaksanaan ADR. Sampai dengan saat
ini belum ada semacam SOP / prosedur kerja baku / buku pedoman
tentang pelaksanaan ADR yang detail, komprehensif dan jelas. Selama
ini mekanisme ADR hanya disosialisaikan oleh pimpinan Polda melalui
APP ataupun rapat koordinasi, namun masih abstrak sehingga setiap
personil belum memahami secara jelas apa itu ADR, bagaimana ADR,
dan apa manfaat ADR bagi penegakan hukum.b. Uraian Kerja / Job
Description. Selama ini belum ditetapkan tentang siapa yang berhak
melakukan mekanisme ADR, fungsi teknis mana di satuan Polda yang
berhak melakukan ADR, apakah reskrim, lantas, intelkam, atau
petugas Polmas. Sejauh ini, belum dibuat juklak / juknis / jukmin
tentang uarian kerja setiap personil, setiap satuan kewilayahan
(polres dan polsek) dan satuan fungsional dalam melaksanakan ADR.c.
Kejasama dengan Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, dan Tokoh Adat.
Kerjasama dengan instansi / pihak / lembaga lintas sektoral dan
stakeholder terkait dalam pemberdayaan ADR masih lemah. Padahal,
ADR dapat dilaksanakan dengan syarat apabila terwujud mekanisme
kerjasama, kemitraan, koordinasi, dan komunikasi yang intensif
antara Polda dengan instansi terkait, termasuk tokoh masyarakat,
tokoh agama, tokoh adat, dll.BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI14. Internal
a. Kekuatan
1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yang merupakan payung hukum
dan dasar yuridis dalam memberdayakan alternative dispute
resolution (ADR) di Polda Jawa Timur.
2) Tri brata dan catur prasetya yang merupakan pedoman filosofis
bagi Kapolda dalam memberdayakan alternative dispute resolution
(ADR) di Polda Jawa Timur.3) Kode etik profesi dan peraturan
disiplin anggota Polri yang dapat dijadikan sebagai koridor bagi
anggota Polda dalam memberdayakan alternative dispute resolution
(ADR) di Polda Jawa Timur.4) Renstra Polda Jawa Timur 2010-2014
yang dapat dijadikan sebagai panduan perencanaan bagi Pimpinan dan
jajarannya dalam memberdayakan alternative dispute resolution (ADR)
di Polda Jawa Timur.5)Butir 10 pada 10 Komitmen Polri tahun 2012
hasil Rapim Polri tahun 2012 yang bunyinya Mengoptimalkan strategi
pemolisian komunitas, dalam upaya penyelesaian masalah sosial dalam
masyarakat dengan menggunakan pendekatan social justice, yang
didukung legitimasib. Kelemahan
1) Masih terbatasnya sarana prasarana, anggaran dan sismet Polda
sehingga berpengaruh dalam memberdayakan alternative dispute
resolution (ADR) di Polda Jawa Timur.
2) Masih lemahnya pemahaman, penguasaan, dan pengetahuan setiap
personil Polda tentang filosofi, hakekat, dan manfaat ADR bagi
proses penegakan hukum di tengah masyarakat. 3) Masih lemahnya
komunikasi sosial anggota Polda sehingga menyulitkan dalam
menangani masalah / sengketa melalui tradisi lokal masyarakat.4)
Masih adanya oknum anggota Polri yang enggan melakukan mekanisme
ADR dalam penyelesaian sengketa karena dianggap akan memperkecil
ketergantungan masyarakat terhadap Polri.15. Eksternal
a. Peluang
1) UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang dapat dijadikan sebagai pegangan hukum
bagi Polri dalam memberdayakan alternative dispute resolution (ADR)
di Polda Jawa Timur. 2) Adanya kebijakan pemerintah SBY yang selalu
mencanangkan penegakan hukum yang humanis dengan mengadopsi potensi
kearifan lokal masyarakat agar supaya Polri bersinregi dengan
masyarakat secara berkelanjutan.
3) Adanya dukungan komisi III DPR yang selalu melakukan
pengawasan mendalam terhadap perilaku, sikap dan kinerja Polri
dalam menegakan hukum di tengah masyarakat.4) Adanya potensi
kearifan lokal masyarakat, berupa musyawarah mufakat, musyawarah
desa, musyarawarah kelurahan, hukum adat, dan berbagai resolusi
konflik / sengketa sehingga dapat dijadikan oleh Polri sebagai
mekanisme ADR. b. Kendala
1) Masih adanya sikap, perilaku dan emosi masyarakat yang
temperamental sehingga setiap sengketa selalu berujung pada
kekerasan, anarkisme dan kerusuhan yang membehayakan kamtibmas.2)
Belum adanya aturan teknis yang detail dalam bentuk PP atau Perpres
sebagai turunan dan penjabaran dari UU No 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sehingga menyulitkan
Polri dalam menerapkan ADR.
3) Masih ada sebagian masyarakat yang belum memahami tentang
alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan (ADR) sehingga
setiap sengketa dilakukan melalui jalur hukum formal yang
kadangkala waktunya lama, prosesnya lamban, dan biayanya besar.BAB
V
KONDISI YANG DIHARAPKAN 16. Kompetensi Personil / Anggota Dalam
Memberdayakan Mekanisme ADR Di Polda Jawa Timur Yang Diharapkan
a. Diharapkan terwujud pengetahuan personil yang mampu memahami,
menguasai, dan menghayati berbagai potensi lokal masyarakat baik
adat istiadat, budaya, kebiasaan, kearifan lokal, dan mekanisme
hukum adat yang berkembang sehingga dapat diberdayakan secara
intensif untuk kepentingan ADR terhadap sengketa yang terjadi di
tengah masyarakat.b. Diharapkan terwujud keterampilan personil yang
mampu mahir berbahasa daerah / bahasa lokal / bahasa adat dan mampu
menggali berbagai mekanisme resolusi konflik lokal yang berkembang
sehingga mendukung pemberdayaan ADR di tengah masyarakat. c.
Diharapkan terwujud kepribadian personil yang sopan, santun, ramah,
luwes, simpatik, senyum, sapa, salam dan mawas diri serta membaur
di tengah masyarakat sehingga dapat diterima oleh semua komponen
dan potensi masyarakat sehingga menjadi modal sebagai mediator
terhadap setiap sengketa yang terjadi di tengah masyarakat tanpa
harus menempuh jalur hukum.17. Sistem Dan Metode Yang Dikembangkan
Dalam Memberdayakan ADR di Polda Jawa Timur Yang Diharapkana.
Diharapkan terwujud SOP tentang pelaksanaan ADR sehingga dapat
dijadikan sebagai pedoman bagi setiap pihak dalam menyelesaikan
sengketa diluar pengadilan. Harapannya, dalam menyelesaikan suatu
kasus di tengah masyarakat harus menekankan pendekatan sosial
budaya, kearifan lokal, musyawarah mufakat, dan penyelesaian secara
adat istiadat setempat. Masyarakat didorong untuk menyelesaikan
sendiri persoalan mereka dan Polri hanyalah sebagai penengah /
fasilitator / mediator. Apabila cara-cara ini tidak dapat
mendamaikan antar pihak yang bertikai, maka barulah langkah
terakhir ditempuh melalui jalur hukum.b. Diharapkan terwujud uraian
kerja masing-masing personil Polda dalam memberdayakan ADR sehingga
akan terlihat jelas siapa berbuat apa, mengapa berbuat, bagaimana
berbuat, apa dasar hukumnya, dan bagaimana dampaknya terhadap
penegakan hukum. Proses ADR dilakukan agar supaya masyarakat
terlibat aktif dalam suatu kesepakatan perdamaian sehingga akan
merasa berkepentingan untuk menjaga berbagai kesepakatan dalam
perjanjian perdamaian. Sebagai contoh kasus konflik antar kampung
yang dipicu oleh persoalan sepele, misalnya rebutan pacar, selisih
paham antar pemuda, dll, yang semuanya dikedepankan melalui ADR
bersama-sama dengan komponen masyarakat. c. Diharapkan terjalin
kerjasama yang harmonis dengan berbagai instansi / pihak / lembaga
lintas sektoral, khususnya terhadap semua komponen masyarakat dan
berbagai potensi pranata sosial kemasyarakatan yang berkembang
sehingga dapat mempercepat pemberdayaan ADR di tengah masyarakat.
BAB VI
UPAYA PEMECAHAN MASALAH
18. Visi
Visi yang ditetapkan adalah sebagai berikut : Mewujudkan
pemberdayaan alternative dispute resolution (ADR) yang optimal di
wilayah Polda Jawa Timur melalui peningkatan kompetensi personil
dan pengembangan sismet yang sempurna sehingga akan dapat
menciptakan kepastian hukum yang tepat dalam rangka terciptanya
keadilan sosial.19. Misi
a. Mewujudkan kompetensi personil yang mumpuni, professional,
dan berkualitas dalam melaksanakan ADR sehingga akan mampu
mendukung penegakan hukum yang berkeadilan di tengah masyarakat.b.
Mewujudkan sismet yang sempurna, baik, dan lengkap sehingga akan
mampu mendorong proses penegakan hukum yang transparan dan
akuntabel dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat.20.
Tujuan
a. Menciptakan sebuah penegakan hukum yang berkeadilan di tengah
masyarakat dengan menggali potensi kearifan lokal masyarakat
sehingga akan mampu menciptakan kepastian hukum.b. Menciptakan
keadilan sosial bagi masyarakat dalam proses penanganan berbagai
perkara, tindak pidana, dan kejahatan yang terjadi di tengah
masyarakat dengan memberdayakan masyarakat lokal.21. Sasaran
a. Terciptanya pemahaman personil tentang mekanisme teknis ADR
sehingga dapat diterapkan dan diaplikasikan kedalam proses
penegakan hukum di tengah masyarakat.b. Terciptanya kesadaran
masyarakat dalam menyelesaikan masalah melalui mediasi Polri
sehingga akan menciptakan budaya penyelesaian masalah secara damai
tanpa adanya penggunaaan kekerasan dan anarkisme.22. Kebijakan
a. Kebijakan pembinaan. Melakukan pemberdayaan terhadap sumber
daya organisasi, baik sumber daya personil, anggaran, sarana
prasarana dan sismet dalam rangka mendukung optimalisasi
pelaksanaan ADR di wilayah Polda Jawa Timur.b. Kebijakan
operasional. Melakukan pemberdayaan satuan operasional / fungsional
seperti reskrim, lantas, binmas, intelkam, dan sabhara, dalam
mendukung implementasi ADR di wilayah Polda Jawa Timur.23.
Strategi
a. Strategi Jangka Pendek. Melakukan sosialisasi ADR kepada
semua personil Polda Jawa Timur secara rutin sehingga terwujud
pemahaman yang sama dalam melaksanakan ADR.b. Strategi Jangka
Sedang. Melakukan operasionalisasi ADR secara konsisten di tengah
masyarakat dengan memberdayakan polsek, petugas polmas, dan
babinkamtibmas sebagai ujung tombak di lapangan.c. Strategi Jangka
Panjang. Melakukan evaluasi pelaksanaan ADR secara rutin dengan
pemberian reward and punishment sehingga ADR dapat dilaksanakan
secara baik dan benar.24. Upaya a. Upaya Meningkatkan Kompetensi
Personil / Anggota Dalam Memberdayakan Mekanisme ADRUpaya yang
harus dilakukan oleh Kapolda dalam meningkatkan kompetensi personil
guna memberdayakan mekanisme ADR di Polda Jawa Timur adalah dengan
cara antara lain :1) Pimpinan memberikan pengarahan kepada setiap
personil Polda tentang pengetahuan yang berhubungan dengan ADR,
seperti apa itu ADR, apa latar belakang munculnya, bagaimana
mekanisme kerjanya dan bagaimana posisi Polri dalam mekanisme ADR
tersebut dalam menghadapi sengketa di tengah masyarakat.2) Pimpinan
memberikan pembekalan kepada setiap personil Polda tentang
bagaimana langkah yang harus dilakukan secara teknis oleh setiap
personil dalam menerapkan mekanisme ADR, bagaimana persyaratan ADR,
bagaimana mediator ADR, dan bagaimana mengikat kesepakatan antara
pihak yang bersengketa di tengah masyarakat.3) Pimpinan memberikan
sosialisasi kepada personil Polda tentang tindak pidana atau
masalah atau sengketa apa saja yang dapat ditempuh melalui
mekanisme ADR sehingga ketika personil di lapangan dapat menerapkan
ADR secara detail, jelas dan tepat.4) Pimpinan menyelenggarakan
simulasi penerapan mekanisme ADR dalam penanganan sengketa di
tengah masyarakat, misalnya sengketa tanah atau sengketa konflik
antar kampong, sehingga dapat melatih keahlian personil dalam
menerapkan mekanisme ADR di tengah masyarakat.5) Pimpinan
menyelenggarakan pelatihan kepada personil Polda tentang bagaimana
menggali potensi yang ada di tengah masyarakat, seperti forum RW,
forum desa, Musyawarah adat, dan berbagai resolusi konflik yang ada
di tengah masyarakat untuk ditransformasikan menjadi mekanisme ADR
yang baik bagi terjadinya sengketa di kemudian hari.6) Pimpinan
melakukan pembinaan kepada setiap personil Polda untuk memahami
berbagai nilai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat,
seperti adat istiadat, bahasa, kebiasaan, kultur, dan budaya yang
berkembang sehingga setiap persoalan yang terjadi di tengah
masyarakat dapat didekati dengan pendekatan sosial budaya
masyarakat / pendekatan adat istiadat / pendekatan kearifan lokal,
sebagai bagian dari rekayasa sosial.7) Pimpinan memberikan
pembinaan mental, rohani, dan spiritual kepada setiap personil
Polda agar supaya sikap, perilaku, dan perbuatannya di tengah
masyarakat diterima oleh semua pihak sehingga menjadi modal untuk
menjadi mediator / penengah apabila terjadi sengketa antar pihak di
tengah masyarakat.b. Upaya Meningkatkan Sistem Dan Metode Yang
Dikembangkan Dalam Memberdayakan ADRUpaya yang harus dilakukan oleh
Kapolda dalam meningkatkan sistem dan metode yang dikembangkan
Polda Jawa Timur guna memberdayakan ADR, adalah dengan cara antara
lain :1) Pimpinan membuat regulasi berupa menyusun buku petunjuk /
SOP tentan penanganan sengketa melalui ADR sehingga dapat dijadikan
sebagai pegangan bagi setiap personil dalam menerapkan ADR di
tengah masyarakat.2) Pimpinan menyusun juklak / juknis / jukmin
tata cara teknis penerapan ADR yang menguraikan tentang pembagian
kerja dan siapa berbuat apa serta bagaimana cara mengerjakannya
terhadap setiap personil sehingga setiap personil jelas kewenangan,
peran, tugas, dan posisinya dalam mekanisme ADR.3) Pimpinan
menekankan kepada setiap personil agar supaya mengutamakan tindakan
preemptif dalam menegakan hukum. Artinya, Jajaran Polda harus
melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada seluruh komponen
masyarakat agar supaya mereka memahami dan menyadari permasalahan
hukum secara menyeluruh sehingga tidak melakukan protes, unjuk
rasa, dan demonstrasi ketika ada temannya atau kelompoknya yang
ditangkap karena melakukan pelanggaran hukum, misalnya melakukan
pemukulan, perjudian, atau tindakan anarkisme lainnya, dengan
catatan apabila cara-cara mekanisme ADR tidak bisa lagi dilakukan.
4) Kapolda menekankan kepada setiap personil agar supaya
mengutamakan tindakan preventif dalam menegakan hukum. Artinya,
jajaran Polda harus mengembangkan program Polmas secara cepat di
tengah masyarakat sehingga terbentuk kewaspadaan dan kepedulian
masyarakat terhadap lingkungannya berupa pemberdayaan siskamling,
ronda, pamswakarsa, dan lain-lain dalam kerangka pencegahan tindak
pidana. Apabila terjadi sengketa, maka dikedepankan mekanisme ADR
sehingga setiap masalah diselesaikan dengan cara musyawarah, dan
kalau mekanisme ADR tidak menyelesaikan masalah maka baru ditempuh
jalur hukum.5) Pimpinan merancang sistem yang mengedepankan petugas
polmas dengan perangkat FKPM dan BKPM nya untuk dijadikan sebagai
ujung tombak dalam pemberdayaan ADR di tengah masyarakat sehingga
setiap sengketa yang muncul dapat diselesaikan melalui mediasi oleh
petugas polmas.6) Pimpinan melakukan kemitraan / kerjasama /
komunikasi / koordinasi dengan berbagai komponen masyarakat
sehingga mekanisme ADR dapat diterapkan, antara lain, sebagai
berikut : a) Komponen masyarakat, seperti Ormas, dalam hal ini
misalnya, NU dan Muhammadiyah, telah memberikan dukungan dan
partisipasi yang sangat besar kepada Polda dalam menciptakan
kerukunan antar umat beragama di wilayah Jawa Timur. NU dan
Muhammadiyah selalu melakukan misi sosial menyelenggarakan
sosialisasi pentingnya hidup rukun dan melakukan advokasi terhadap
konflik-konflik yang berbau agama, sehingga mempengaruhi Polda Jawa
Timur dalam menegakan hukum.b) Komponen masyarakat, seperti
LSM/NGO, misalnya ICW, IPW, Walhi, Kontras, dan lain-lain, telah
memberikan bantuan yang sangat besar kepada Polda dalam menangani
konflik-konflik sosial di tengah masyarakat sekaligus memberikan
informasi, data, fakta tentang potensi ancaman terhadap Kamtibmas.
Komunitas LSM selalu memberikan masukan data dan informasi tentang
berbagai hal, baik dalam hal praktek korupsi, penyakit sosial di
tengah masyarakat, aksi kejahatan di jalanan, dan premanisme di
tempat umum sehingga dapat dijadikan sebagai deteksi dini.
Komunitas LSM juga melakukan advokasi, mediasi, dan pendampingan
terhadap korban konflik sosial sehingga akan mendukung upaya Polri
dalam menegakan hukum.c) Komponen masyarakat, seperti tokoh
masyarakat yang ada di tingkat RT dan RW mampu menyelenggarakan
sistem keamanan lingkungan (Siskamling) di daerahnya masing-masing
sehingga akan mendukung Polri (program Polmas) dalam menciptakan
kamtibmas. Siskamling yang merupakan wujud nyata kearifan lokal
masyarakat Indonesia akan menjadikan masyarakat sebagai polisi di
lingkungannya masing-masing, sehingga akan sangat membantu Polri
dalam menegakan hukum.d) Komponen masyarakat, seperti tokoh adat,
akan mendukung dalam menyelesaikan persoalan dan permasalahan
masyarakat di wilayah pedalaman atau wilayah pesisir yang masih
memegang nilai-nilai adat yang kuat. Melalui peranan tokoh adat,
setiap konflik sosial akan dapat diselesaikan secara adat, penyakit
adat di budaya masyarakat tertentu, seperti perjudian, sabung ayam
dan minum tuak, dapat diselesaikan melalui eksistensi tokoh adat,
sehingga akan memberikan kontribusi yang besar kepada Polri dalam
memberdayakan mekanisme ADR. e) Komponen masyarakat, seperti tokoh
agama, dapat membantu memberdayakan ADR, khususnya dalam
penyelesaian konflik yang bersentuhan dengan agama maupun dalam
menengahi atau menangani konflik yang terjadi di tengah masyarakat.
Dalam masyarakat yang masih primitif, masyarakat cenderung lebih
percaya dan mengikuti perkataan dan petuah para tokoh agama
dibandingkan dengan pejabat kelurahan atau desa setempat. Hal ini
tentu potensial untuk dimanfaatkan oleh Polri untuk menegakan hukum
melalui mekanisme ADR.f) Komponen masyarakat, seperti tokoh pemuda
dan organisasi kepemudaan, akan mampu bersinergi dalam
memberdayakan ADR. Tokoh pemuda yang tergabung dalam KNPI, Kosgoro,
FKPPI, MKGR, Karang Taruna, dan para pemuda yang tergabung dalam
Banser NU, Pemuda Muhammadiyah, satgas partai politik, dan satgas
ormas lainnya, dapat memberikan pengaruh positif dalam melakukan
pemberdayaan ADR dan menciptakan rasa aman masyarakat dari aksi
kejahatan, aksi narkoba, aksi terorisme, aksi Miras, dan lain-lain,
sehingga membantu tugas pokok Polri. Berbagai komunitas dan
organisasi kepemudaan dapat dijadikan sebagai wahana untuk kegiatan
yang positif di tengah masyarakat sehingga akan menghindarkan dari
aksi anarkisme massa, kerusuhan massal, dan tawuran antar siswa,
pelajar maupun mahasiswa.BAB VII
PENUTUP
25. Kesimpulan
a. Kompetensi personil / anggota dalam memahami, menguasai,
menghayati, dan menerapkan mekanisme ADR terhadap sengketa yang
terjadi di tengah masyarakat masih lemah sehingga kurang mendukung
kepastian hukum. Oleh karena itu, langkah yang perlu dilakukan
Kapolda adalah melakukan pengarahan, pembekalan, sosialisasi,
simulasi, komunikasi dan koordinasi.b. Sistem dan metode yang
dikembangkan dalam memberdayakan ADR masih belum lengkap dan belum
sempurna sehingga menyulitkan bagi setiap personil Polda dalam
menerapkan mekanisme ADR apabila terjadi sengketa di tengah
masyarakat. oleh karena itu, langkah yang perlu dilakukan Kapolda
adalah melakukan regulasi, komunikasi, koordinasi, dan pembuatan
piranti lunak / SOP lainnya.26. Rekomendasia. Perlunya Mabes Polri
membuat semacam buku pedoman / petunjuk pelaksanaan / SOP mengenai
tata cara teknis penerapan ADR yang didalamnya berisi tentang
bagaimana proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
bagaimana peran Polri, bagaimana agar bersifat mengikat kesepakatan
antar pihak, dan bagaimana kompetensi potensi lokal dalam mekanisme
ADR, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi Polda dalam
memberdayakan ADR.b. Dalam merumuskan Alternative Dispute
Resolution (ADR) memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:1)
Membuat dan menyusun mekanisme penyelesaian secara musyawarah
mufakat melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) yang berisikan
antara lain.
a) Inisiatif penyelesaian masalah muncul dari kedua belah pihak
yang bersengketa.
b) Kepentingan korban terpenuhi.
c) Penyelesaian masalah didampingi oleh pihak ketiga yang
ditokohkan oleh masyarakat.
d) Penyelesaian kasus melalui musyawarah mufakat bersifat
final
e) Penyelesaian kasus merupakan crime clearance2) Menyusun
perkara - perkara yang menjadi ruang lingkup penyelesaian secara
musyawarah mufakat antara lain tindak pidana ringan dan perkara
yang tidak ringan tetapi nilai ekonominya sangat murah dan perkara
lainnya yang menurut pihak pelapor dan terlapor telah memenuhi rasa
keadilan bagi keduanya.
3) Melaksanakan sosialisasi mekanisme penyelesaian perkara
secara musyawarah mufakat / Alternative Dispute Resolution (ADR).4)
Melaksanakan inventarisasi terhadap tokoh - tokoh (Tokoh agama,
Tokoh masyarakat, Tokoh Adat dan lainnya) yang dapat menjadi
mediator dan saksi dalam proses penyelesaian masalah.
c. Perlunya Pemda dan DPRD Propinsi Jawa Timur membuat dan
mengesahkan Perda Tentang Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan
dengan mengundang dan meminta masukan dari unsur CJS (Polda,
kejari, dan pengadilan negeri) sehingga akan menguatkan proses
penegakan hukum di Indonesia.DAFTAR PUSTAKA1. Widnyana, I Made.
2007. Arternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Jakarta: Indonesia
Business Law Center (IBLC) bekerjasama dengan Kantor Hukum Gani
Djemat & Partners.2. Hadimulyo. 1997. Mempertimbangkan ADR
(Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan).
Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).3. Laporan
Satuan Polda Jawa Timur, Tahun 20124. Sadjiono, Polri Dalam
Perkembangan Hukum Indonesia, Yogyakarta, Laksbang Pressindo,
2008
5. Sadjiono, Etika Profesi Hukum, Malang, UMM Press, 2006
6.
http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/01/18/289202/polri-akui-pelayanan-penegak-hukum-buruk/
7.
http://id.shvoong.com/society-and-news/news-items/2021924-penanganan-masalah-melalui-alternative-dispute/
8.
http://fhunipassingaraja.blogspot.com/2010/02/pengaturan-alternative-dispute.html
9.
http://www.kesimpulan.com/2009/04/alternatif-penyelesaian-sengketa.html
Mabes Polri, Visi, Misi, Tupoksi Polri, Jakarta, 2009
Mabes Polri, Paradigma Baru Polisi Sipil, Jakarta, 2009
Mabes Polri, Etika Profesi Polri, Jakarta, 2009
Mabes Polri, Polmas (Community Policing), Jakarta, 2009
Mabes Polri, Polri Dalam Rangka Meraih Keberhasilan Segera
(Quick Wins), Jakarta, 2009
Lampiran Skep Kapolri No. 37 Tahun 2008 Tanggal 27 Oktober 2008
Tentang Program Akselerasi Transformasi Polri Menuju Polri Yang
Mandiri, Profesional, Dan Dipercaya Masyarakat
Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Strategi Polri beralih dari Trust Building menjadi Partnership
and Networking, HYPERLINK
"http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b3c13b8dea09/strategi-polri-beralih-dari-trust-building-menjadi-partnership-and-networking"http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b3c13b8dea09/strategi-polri-beralih-dari-trust-building-menjadi-partnership-and-networking
, diakses pada tanggal 3 Maret 2011.
Ahmad Bahar, TIMUR PRADOPO : Memberi keteladanan menuai
kearifan, 2011, Media Pressindo Jogyakarta, hal 22.
Lihat buku I, II, dan III, Program Kerja Akselerasi Transformasi
Polri Menuju Polri Yang Mandiri, Profesional dan Dipercaya
Masyarakat beserta Penjabaran dan Pedoman Kerja.
Lihat lampiran UU No. 17 Tahun 2007 dimana tertuang bahwa salah
satu misi pembangunan nasional adalah mewujudkan Indonesia yang
aman, damai dan bersatu yang ditandai dengan Polri yang profesional
dan partisipasi kuat masyarakat di bidang keamanan. Maka arah
pembangungan keamanan adalah untuk meningkatkan profesionalisme
Polri (yang dicapai melalui pembangunan kompetensi pelayanan inti,
perbaikan police ratio, pembinaan SDM, pemenuhan kebutuhan alut dan
peningkatan pengawasan dan mekanisme kontrol lembaga kepolisian)
dan meningkatkan peran serta masyarakat yang dibangun melalui
mekanisme pemolisian masyarakat.
Arah Kebijakan KAPOLRI tentang Revitalisasi POLRI Menuju
Pelayanan Prima Guna Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat Tahun
2010.
http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/01/18/289202/polri-akui-pelayanan-penegak-hukum-buruk/
Sadjiono, Polri Dalam Perkembangan Hukum Indonesia, Yogyakarta,
Laksbang Pressindo, 2008
Sadjiono, Etika Profesi Hukum, Malang, UMM Press, 2006
Serafina Shinta Dewi. Perancang Peraturan Perundang-undangan
Kanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia DIY.diakses pada
http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/390-negara-modern-dan-sosiologi-hukum.
http://fhunipassingaraja.blogspot.com/2010/02/pengaturan-alternative-dispute.html
Surat Kapolri No.Pol. : B/3022/XII/2009/SDEOPS tentang
Penanganan Kasus Melalui Alternative Disbute Resolution
http://www.kesimpulan.com/2009/04/alternatif-penyelesaian-sengketa.html
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1995), hal. 26.
Sudarwin Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Jakarta, Pustaka
Setia, 2001, hal. 68
Al Chaedar Wasilah, Pokoknya Kualitatif, Bandung, Pustaka Setia,
2004, hal 21 - 22
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi keempat), Departemen P dan
K, Jakarta, 2008.
http://id.shvoong.com/law-and-politics/1909002-mengenal-adr-alternative-dispute-resolution/
Undang-Undang No. 2 tahun 2002 Bab 1 Pasal 1 ayat 5, tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia
Andi Hamzah, Teori Hukum dan Keadilan Sosial, Jakarta, Pustaka
Pelajar, 2004, hal. 37
Widnyana, I Made. 2007. Arternatif Penyelesaian Sengketa (ADR).
Jakarta: Indonesia Business Law Center (IBLC) bekerjasama dengan
Kantor Hukum Gani Djemat & Partners.
Hadimulyo. 1997. Mempertimbangkan ADR (Kajian Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan). Jakarta: Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Hadari Nawawi, Dasar-Dasar Manajemen, Bandung, Mandar Maju,
1995
William H.Newman, Charless E Summer, dan E. Kirby Warren, The
Process of Management, Englewood Clifs N.J. Prentice Hall, Inc.,
1967.
Sedarmayanti, Organisasi Publik Di Tengah Arus Globalisasi,
Bandung, Mandar Maju, 1997
Rusadi Kantaprawira, Organisasi Sebagai Suatu Sistem, Bandung,
UNPAD, 2002
The Liang Gie, Administrasi Perkantoran Modern, Yogyakarta :
Penerbit Liberti bekerjasama dengan Yayasan Studi Ilmu dan
Teknologi, 1992, hal. 15
Sondang P. Siagian, Manajemen Strategik, Bandung, Rosdakarya,
1995
Ibid.
Laporan Satuan Polda Jawa Timur, Tahun 2010
PAGE