Top Banner
newsletter Melindungi Ekosistem Laut Indonesia untuk Generasi Mendatang PROYEK USAID SUSTAINABLE ECOSYSTEMS ADVANCED (USAID SEA) MENUJU KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN YANG DIKELOLA SECARA EFEKTIF Talking SEA EDISI NO. 3 / JANUARI / 2019
32

newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Aug 10, 2019

Download

Documents

doanhanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

newsletter

Melindungi Ekosistem Laut Indonesia untuk Generasi Mendatang

PROYEK USAID SUSTAINABLE ECOSYSTEMS ADVANCED (USAID SEA)

MENUJU KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN YANG

DIKELOLA SECARA EFEKTIF

Talking SEA

EDISI NO. 3 / JANUARI / 2019

Page 2: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

i | Talking SEA No. 3

Daftar Isi

Kata Pengantar 2Apa itu Kawasan Konservasi Perairan? 2Bagaimana cara kerja KKP? 4

Sejarah Singkat KKP di Indonesia 6Bagaimana membangun KKP 7Riwayat hidup yang menyenangkan Spesies: Gurita 9

Ekowisata dalam KKP: Tantangan atau Peluang 10Cerita dari lapangan Lelaki Sederhana dengan Mimpi Besar 13

Memperkuat Kebijakan untuk Mendukung Pembangunan dan Pengelolaan KKP yang Efektif dan Jejaring KKP 14Apa itu Jejaring KKP? 15

Tata Kelola Tradisional Ekosistem Pesisir dan Laut di Indonesia 16

Cerita dari lapangan Penduduk Asli Imekko: Mempertahankan Udang Sorong Selatan 18

Membangun Keterampilan untuk Pelaku KKP 19Penegakan Berbasis Masyarakat di KKP 20Mengubah Perilaku 21Melindungi Spesies Langka dan Terancam 22Riwayat hidup yang menyenangkan Spesies: Dugong 24

Pemenang lomba foto 25

KKP di Indonesia: Menatap ke Depan 26

Foto

: CTC

Page 3: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Talking SEA No. 3 | 1

Prakata

Proyek USAID SEA, yang dilaksanakan dengan bermitra dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan pemerintah

daerah, sekarang sudah memasuki tahun ketiga pelaksanaannya dan sangat dalam keterlibatan-nya dalam mengatasi tantangan yang dihadapi pengelolaan perikanan dan konservasi keaneka-ragaman hayati laut di Indonesia. Talking SEA edisi ini difokuskan pada kebutuhan akan pening katan implementasi pengelolaan kawasan kons-ervasi laut (KKP) di Indonesia dan tantangannya.

Tim Proyek SEA bekerja secara langsung di 15 KKP di Indonesia timur dan belajar banyak tentang realitas pengelolaan KKP di tingkat provinsi, kabupaten, dan desa. Dengan hasil praktis dan ilmiah kami beberapa tahun terakhir, kami tahu bahwa KKP yang dikelola dengan baik berkontribusi sangat besar pada pemeliharaan ekosistem laut, produktivitasnya dalam hal perikanan, dan memberikan manfaat ekonomi dan ketahanan pangan yang nyata bagi masyarakat pesisir. Kami juga mengetahui merupakan hal yang sangat penting bahwa satu bagian dari suatu KKP perlu dilindungi sepenuhnya dari ekstraksi dan kerusakan yang disebakan penggunaan oleh manusia, agar organisme dapat bereproduksi dan ekosistem dapat berfungsi secara normal.

Akan tetapi, tantangan yang masih terus berlanjut untuk KKP di Indonesia - dan terutama untuk lokasi-lokasi yang sepenuhnya dilindungi seperti zona larang ambil di dalam-nya - adalah bahwa lokasi itu sering dianggap tidak sesuai dengan pola penggunaan tradisional dan memarginalkan orang-orang yang bergantung pada perairan tersebut untuk pangan dan pendapatan. Dengan demikian, peren- canaan, implementasi, dan pengelolaan KKP harus mem- pertimbangkan komunitas dan lembaga manusia yang biasanya secara otomatis merupakan pengambil keputus- an untuk pemanfaatan dan perlindungan sumber daya. Pengalaman dari KKP di Indonesia dan negara-negara lain menegaskan bahwa perencanaan untuk KKP perlu peka terhadap konteks sosial, budaya, dan lingkungan. Tiga fak-tor sangat penting yang saling terkait untuk meningkatkan kapasitas dan efektivitas KKP secara keseluruhan adalah:

1. KKP dirancang dengan baik dan dikelola secara efektif. Agar dapat berkontribusi pada keberhasilan jangka panjang konservasi laut dan pengelolaan perikanan, KKP harus dirancang dengan hati-hati secara ekologis, memiliki zona larang ambil yang diberlakukan dengan ukur-an yang memadai, dan dikelola secara efektif. Zona larang ambil harus meliputi setidaknya 20 persen dari wilayah habitat kritis dan ukurannya sesuai dengan yang

dapat diberlakukan dalam konteks lokal. Tindakan utama untuk meningkatkan efektivitas meliputi: (a) mengidentifikasi lokasi yang sesuai untuk zona larang ambil dalam hubungannya dengan habitat kritis, tempat pemijahan, proses ekologis esensial, dan wilayah sumber daya paling berharga dalam suatu KKP; (b) mengembangkan rencana pengelolaan yang diterima dan dapat diterapkan di masing-masing KKP; (c) memastikan bahwa KKP dan zona larang ambilnya memiliki badan pengelola yang jelas dan akuntabel; dan (d) mengembangkan dan mengintegrasikan praktik pengelolaan profesional untuk penegakan hukum, pengelolaan pengunjung, pemantauan, dan perencanaan adaptif.

2. Sistem pemantauan, evaluasi, dan umpan balik. Diperlukan sistem untuk memantau KKP dan zona larang ambilnya, sebuah sistem yang dapat mendeteksi perubahan dalam habitat dan parameter biota laut terkait dengan tingkat perlindungan dan mekanisme tata kelola. Alat penilaian efektivitas pengelolaan (E-KKP3K) untuk meningkatkan KKP telah ada di Indonesia, tetapi perlu diadopsi dan diimplementasikan sepenuhnya.

3. Integrasi faktor sosial ekonomi yang mendukung KKP. Memahami biaya dan manfaat ekonomi KKP sangat penting untuk justifikasi KKP, untuk peren- canaan dan pengelolaan keuangan, dan untuk membangun kapasitas yang berkelanjutan untuk mengelola KKP. Pertimbangan sosial ekonomi dan budaya harus diinteg- rasikan ke dalam perencanaan KKP, untuk mendorong kegiatan yang memaksimalkan manfaat positif yang diper- oleh dari KKP, dan untuk mengatasi biaya sosial ekonomi lokal. Walaupun kapasitas di Indonesia untuk integrasi yang berarti dari faktor sosial ekonomi dan budaya ke dalam perencanaan masih lemah, penting dilakukan survei sosial ekonomi dan persepsi manusia di setiap KKP utama, serta memasukkan hasil survei tersebut ke dalam proses pengelolaan adaptif dan rencana pengelolaan KKP.

Akhirnya - dan disoroti dalam edisi ini - pentingnya me- libatkan para pemangku kepentingan utama, sejak pem- bentukan KKP baru hingga penetapan wilayah dan peren- canaan pengelolaan. Karena walaupun pemerintah pusat melakukan perekaman data cakupan keseluruhan dari kawasan yang secara ‘legal’ memperoleh perlindungan untuk mencapai target nasional dan inter-nasionalnya, angka-angka tersebut tidak ada artinya jika masyar-akat lokal tidak terlibat penuh dan kawasan yang secara hukum dilindungi tidak dikelola secara ‘efektif’: ini adalah tantangan yang nyata bagi kita semua. #

Alan White, Ph.D. Chief of Party

Foto

: Van

gie W

hite

Selamat membaca dan menikmati Talking SEA ini. Kami menyambut baik umpan balik atau pendapat dari Anda!

Page 4: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

2 | Talking SEA No. 3

Perairan pesisir dan laut Indonesia merupakan sebagian tempat alami yang paling berharga dan mempesona

di dunia.

Laut Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, dengan lebih dari 600 spesies terumbu karang dunia (76 persen), lebih dari 1.300 spesies ikan terumbu karang dunia (37 persen), dan dengan banyak spesies tumbuhan dan hewan laut lainnya yang unik dan indah.1 Indonesia juga merupakan tempat hidup banyak spesies ikan komersial yang penting secara global dan lokal, serta populasi utama spesies karismatik, langka, dan terancam seperti penyu, lumba-lumba, duyung, dan paus. Terletak di ‘pusat’ global keanekaragaman hayati laut, laut di negeri ini penuh harta karun bagi para ahli ekologi laut dan penggemar dunia di bawah air, dan - yang lebih penting - menyediakan sumber daya vital untuk mempertahankan mata pencaharian dan kebutuhan nutrisi masyarakat.

Akan tetapi, aset laut ini dalam kondisi terancam, dan berisiko menghilang. Penangkapan ikan secara ilegal dan tidak diatur, eksploitasi berlebihan, pem-bangunan dan degradasi pesisir, serta perubahan iklim hanyalah sebagian dari ancaman yang dihadapi ekosistem laut ini. Selama beberapa dekade terakhir, dampaknya telah dirasakan di seluruh Indonesia dan telah membuat mata pencaharian dan ketahanan pangan, serta kelangsungan hidup spesies laut di masa mendatang terancam.

Oleh karena itu, untuk melindungi ekosistem laut dan mempertahankan produktivitasnya, penting untuk melindungi habitat dan kawasan-kawasan utama yang digunakan spesies laut pada berbagai tahap siklus kehidupannya, seperti kawasan tempat mereka mencari makan dan berkembang biak. Membangun KKP di lokasi-lokasi strategis, dengan jumlah dan skala yang memadai, adalah salah satu cara untuk mencapai hal ini dan Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk membentuk 30 juta hektar KKP yang dikelola secara efektif selambat-lambatnya pada tahun 2030.2

Apa itu Kawasan Konservasi Perairan?Ada banyak definisi KKP, tetapi yang paling umum digunakan adalah defenisi dari International Union for the Conservation of Nature (IUCN) yaitu:

‘Sebuah ruang geografis yang batas-batasnya jelas, diakui, didedikasikan dan dikelola, melalui cara-cara legal atau efektif lainnya, untuk mencapai konservasi alam jangka panjang dengan jasa

ekosistem dan nilai-nilai budaya yang terkait’.3

Sebuah KKP pada dasarnya adalah suatu wilayah di lautan di mana aktivitas manusia diatur dengan lebih ketat dibandingkan perairan di sekitarnya - sehingga mirip dengan suaka alam yang kita miliki di darat. KKP yang dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat tidak hanya bagi konservasi keanekaragaman hayati di suatu daerah, tetapi juga bagi ekonomi lokal dan warisan budaya.

Di dunia ada beberapa jenis KKP, dari kawasan kecil tunggal hingga KKP dengan zonasi yang l ebih besar, hingga jaringan yang terdiri dari beberapa KKP. Masing-masing dirancang untuk memenuhi tujuan pengelolaan yang relevan di kawasan tersebut.

Kata PengantarOleh Stacey Tighe, Proyek USAID SEA.

Foto: USAID SEA / N K Saputri

Page 5: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Di Indonesia, ada beberapa klasifikasi KKP, tergantung pada tujuan pengelolaan dan kerangka tata kelolanya.

Jaringan KKP

Sebuah jaringan dari beberapa KKP yang dibentuk untuk melindungi

habitat yang beragam yang diperlukan untuk berbagai tahapan kehidupan spesies laut, dan untuk memastikan bahwa transportasi larva terjadi di seluruh kawasan.

Talking SEA No. 3 | 3

1 MMAF & USAID SEA Project (2018). State of the Sea: Indonesia, Volume One: An Overview of Marine Resource Management for Small-Scale Fisheries and Critical Marine Habitats in Indonesia. Jakarta, pp. 156.

2 Surat no. 1612/PRL.5/VIII/2017, KKP.3 Day J et al. (2012) Guidelines for applying

the IUCN Protected Area Management Categories to Marine Protected Areas. Gland, Switzerland: IUCN. pp. 36.

4 Sala, E. & Glakoumi, S. (2018). ‘No-take marine reserves are the most effective protected areas in the ocean’, in ICES Journal of Marine Science, Volume 75, Issue 3, 1 May 2018, pp 1166-1168

5 Gombos, M., et al. (2013). Designing Effective Locally Managed Areas in Tropical Marine Environments: A Booklet to Help Sustain Community Benefits through Management for Fisheries, Ecosystems, and Climate Change. Jakarta, Indonesia: USAID Coral Triangle Support Partnership.

Berbagai jenis KKP untuk mencapai berbagai tujuan pengelolaan

Klasifikasi KKP di IndonesiaInisiasi KKP

Taman Nasional Perairan

Suaka Alam Perairan

Taman Wisata Perairan

Kawasan Konservasi Perairan Daerah (termasuk Taman Pesisir)

Secara regional:

Suaka Perikanan

Daerah Perlindungan Laut

Daerah Perlindungan Mangrove

Inisiasi Kemenhut

Taman Nasional Laut

Taman Wisata Alam Laut

Suaka Margasatwa Laut

Cagar Alam Laut

melanjutkan

Kawasan Kecil Tunggal

Sebuah KKP yang dibentuk untuk melindungi habitat yang unik, tahapan siklus

hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal

karam, atau wilayah yang signifikan secara spiritual).

Kawasan Besar

Tunggal

Sebuah KKP yang dibentuk untuk melindungi kawasan

pembibitan spesies dan habitat penting lainnya dari tekanan penangkapan atau kegiatan merusak yang lebih luas.

Page 6: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

4 | Talking SEA No. 3

KKP yang dikelola dengan baik dapat melindungi ekosistem laut sehingga lebih tangguh, dan lebih dapat menahan gangguan dibandingkan sistem yang rusak - seperti halnya vitamin dan tidur yang baik dapat membantu menyembuhkan tubuh manusia. Sebagai contoh, suatu KKP terumbu yang tangguh dan terlindungi dengan baik dapat mendukung pemulihan karang dari ‘pemutihan’ (yang disebabkan oleh suatu periode panas ekstrem), atau kerusakan (yang disebabkan oleh banjir dan sedimentasi ber-lebih). Mereka juga menyediakan tempat perlindun-gan bagi spesies, termasuk spesies yang terancam punah, untuk ‘beristirahat dan memulihkan diri’ dari berbagai tekanan yang dihadapi di kawasan yang tidak dilindungi (mis. Karena adanya pembangunan, tekanan penangkapan, dan/atau kegiatan wisata).

Banyak KKP memiliki zona larang-ambil yang ketat, yang kadang disebut sebagai ‘suaka perikanan’, yang melindungi lokasi pemijahan dan memungkinkan ikan bereproduksi dan tumbuh sampai ukuran dewasa, sehingga meningkatkan keseluruhan pro-duktivitas kawasan tersebut. Zona larang ambil telah terbukti menghasilkan jumlah ikan yang lebih tinggi dan keanekaragaman ekologis yang lebih besar, dan ini meningkatkan ‘tumpahan’ kelimpahan untuk

memulihkan stok di kawasan penangkapan ikan yang berdekatan, dan membuat KKP - dan khususnya zona larang ambil – menjadi alat penting untuk mendukung perikanan dan mata pencaharian lokal.4

Walaupun kawasan larang ambil merupakan fitur yang umum dalam KKP, mungkin ada juga berbagai fitur pengelolaan lainnya yang disesuaikan deng-an kebutuhan kawasan. Fitur tersebut misalnya: daerah dengan akses terbatas musiman, kawasan rehabilitasi (dengan transplantasi dan penanaman karang untuk mendukung pemulihan suatu lokasi atau untuk mengusahakan keragaman genetik), atau pembatasan alat tangkap ikan, atau kuota atau ukuran tangkapan ikan. Setiap KKP adalah unik, dan pilihan tindakan pengelolaannya perlu didasarkan pada kebutuhan ekologis kawasan, ancaman yang dihadapi, konteks manusia, dan juga tujuan pengelo-laan secara keseluruhan.

KKP juga dapat didirikan karena alasan budaya, sep-erti mempertahankan praktik tradisional, melestari-kan warisan suatu wilayah, atau melindungi mata pencaharian lokal yang bergantung pada sumber daya laut. Pada skala yang lebih luas, jaringan KKP yang dikelola secara kolaboratif juga penting, ter- utama untuk spesies yang bermigrasi (seperti penyu

ZONA PEMULIHAN STOK TERIPANG

ZONA PEMULIHAN STOK PERIKANAN LARANG TANGKAP

Arah arusArah arus

Arah arus

PENUTUPAN MUSIMAN

PERATURAN KKP

Bagaimana cara kerja KKP?

Page 7: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Talking SEA No. 3 | 5

KKP dalam Portofolio Proyek USAID SEA

MA

LUK

U

UTA

RA

Morotai (baru) 58.011 haGuraici 95.086 haMakian (baru) 42.799 haMare 7.611 haWidi 7.690 haSula (baru) 123.436 ha

MA

LUK

U

Buano (baru) 33.989 haLease 81.573 haSawai (baru) 106.249 haAy-Rhun 47.969 haKoon-Neiden 9.901 ha

PAPU

A

BAR

AT South Sorong (baru) 338.324 ha

Bintuni Bay (baru) 66.921 haBerau Bay (baru) 99.018 haNusalasi (baru) 248.272 ha

“ Kesan saya untuk proyek MPA SEA Project sangatlah menunjang perkembangan kawasan konservasi di Maluku. SEA Project dengan konsorsiumnya WWF dan

CTC memberikan bantuan dan dukungan yg luar biasa, mulai dari inisiasi dan pencadangan. bantuan dan dukungan dari SEA Project sudah sangat baik. Namun harapan kami kiranya bantuan untuk menumbuhkan kesadaran

masyarakat tentang keberadaan kawasan konservasi melalui pelatihan bisa terus di lanjutkan. Agar nantinya pengelolaan kawasan konservasi jauh lebih

baik karena masyarakat dapat berpartisipasi aktif. Pelatihan pengelolaan pengelolaan kawasan konservasi juga kiranya dapat diberikan kepada kami di

DKP Maluku, yang akan bertindak sebagai lembaga pengelola Kawasan.”Ibu Fatma S. Rumagia,

S.Pi, M.Si. Kepala Seksi Konservasi dan

Keanekaragaman Hayati Laut, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku

Cara kerja KKP: zonasi dan penegakan KKP yang efektif akan mendukung kesehatan dan kelimpahan sumber daya laut di dalam suatu KKP. 5

dan paus), dan untuk menyebarkan risiko degradasi ekosistem.

Akan tetapi, KKP hanyalah satu alat dalam kotak peralatan pengelolaan sumber daya alam dan tidak akan menyelesaikan semua masalah kelautan. KKP tidak dapat menghentikan naiknya permukaan laut yang disebabkan oleh pencairan gletser, atau peng- asaman laut yang disebabkan oleh peningkatan kar- bon dioksida di atmosfer, dan diperlukan lankah- langkah iklim lainnya secara global untuk mengatasi ancaman ini. KKP pada umumnya juga tidak dapat mengatasi polusi laut, karena ancaman ini ber- gerak melintasi lautan, dan hanya dapat dipecahkan dengan memperbaiki pengelolaan limbah di daratan. Namun, KKP dapat mencakup daerah garis pantai yang berdekatan untuk membantu menghentikan ancaman dan polusi dari darat yang terlokalisasi.

Kegiatan pengelolaan dalam KKP dibatasi oleh batas wilayahnya, dan diperlukan langkah-langkah peleng-kap di luar KKP untuk dapat mencapai perubahan yang berkelanjutan, termasuk: perencanaan tata ruang laut dalam skala lebih luas yang efektif (sep-erti jalur pelayaran, zona terbatas dll.), pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan di seluruh perairan nasional, dan pengelolaan pesisir terpadu.

Seperti itulah Proyek USAID SEA melaksanakan kegiatan lima tahunnya (2016-2021) dalam mening-katkan produktivitas perikanan, keamanan pangan, dan mata pencaharian berkelanjutan di Indonesia timur dengan empat pilar utama: memajukan pen-dekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan, perencanaan tata ruang laut, penegakan hukum, dan pengelolaan KKP. Pendekatan terpadu ini sangat penting untuk memerangi berbagai ancaman yang dihadapi lingkungan laut.

Proyek ini bertujuan untuk mendukung pengem-bangan dan pengelolaan efektif dari enam KKP yang ada dan sembilan KKP baru, yang gabungan luas kawasannya mencakup lebih dari satu juta hektar di tiga provinsi sasaran di Indonesia Timur. Selain itu, proyek ini mendukung pembentukan jaringan KKP. Dukungan ini meliputi membantu mengidentifikasi dan menilai area-area prioritas untuk peningkatan konservasi dan perikanan, memperkuat pendekatan ilmiah untuk desain KKP, melibatkan masyarakat di lokasi untuk mendukung pengelolaan kolaboratif kawasan tersebut, serta memberikan pelatihan dan pengembangan kapasitas kepada para pengelola KKP dan pemangku kepentingan yang lebih luas untuk pengelolaan yang efektif .

Pada akhirnya dibutuhkan lebih banyak KKP – dan dikelola lebih baik, di tempat yang tepat, dan pada waktu yang tepat (sekarang), khususnya di daerah- daerah di mana konservasi sangat mendesak baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. #

Page 8: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

6 | Talking SEA No. 3

Melestarikan dan mengelola lingkungan pesisir dan laut Indonesia telah menjadi gaya hidup masyarakat pesisir

selama ratusan tahun, sejak zaman sebelum Indonesia menjadi sebuah negara.

Sistem pengelolaan tradisional hadir dalam berbagai bentuk, berdasarkan pada pemeliharaan secara adat, dan pengetahuan tradisional masyarakat nelayan yang kuat (lihat halaman 16). Namun, dengan cepatnya pertumbuhan populasi, migrasi manusia dan budaya, serta naiknya permintaan akan sumber daya ikan dan laut, kerangka kerja tradisional ini mulai memudar di banyak daerah sejak awal abad ke-20.

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, konservasi laut bukan merupakan prioritas sampai didirikannya badan pemerintah Direktorat Perlindungan dan Konservasi Alam pada tahun 1971. Fokus badan ini adalah konservasi di daratan hingga tahun 1990, ketika disusun kriteria pertama untuk membangun KKP (UU no. 5/1990). Sampai tahun 1997 Indonesia telah membentuk 24 KKP yang mencakup wilayah sekitar dua juta hektar.

Walaupun merupakan langkah maju yang penting, hal itu belum cukup untuk sebuah negara dengan garis pantai terbesar kedua di dunia (lebih dari 95.000 km 6). Pada tahun 1999 diakui kebutuhan akan pengelolaan pesisir dan laut yang khusus dengan pembentukan badan lain

yaitu Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (yang saat ini menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan). Di bawah lembaga ini, momentum pengelolaan berkelanjutan sumber daya pesisir dan laut di Indonesia mulai tumbuh secara signifikan.

Pada tahun 2009, Presiden Indonesia, Bapak Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, mengumumkan komitmen Indonesia untuk memperluas cakupan KKP hingga 20 juta hektar pada tahun 2020, sebagai bagian dari sumbangan Indonesia terhadap perjanjian enam negara Prakarsa Segitiga Terumbu Karang tentang Terumbu Karang, Perikanan dan Ketahanan Pangan. Ini semakin mempercepat perluasan KKP, dan sampai tahun 2017 telah dibentuk 165 KKP di seluruh Indonesia. Pembentukan KKP ini berkontribusi pada komitmen Indonesia terhadap Konvensi Internasional Keanekaragaman Hayati, yang mewajibkan semua negara penanda tangan melindungi setidaknya 10 persen lingkungan lautnya. Pada tahun 2017, pemerintah Indonesia mengumumkan rencana memperluas cakupan KKP menjadi 30 juta hektar paling lambat tahun 2030.7

Singkatnya, pada abad ke-21 telah terjadi pertumbuhan pesat dalam hal didirikannya secara resmi KKP di Indonesia. Namun, membangun KKP di atas kertas, dan secara efektif mengelolanya di lapangan, adalah dua hal yang sangat berbeda. Jadi, bagaimana cara untuk tidak hanya membentuk, tetapi juga secara efektif mengelola, suatu KKP? #

Sejarah Singkat KKP di Indonesia

Foto: Rare

Oleh Rudyanto dan Alan White, Proyek USAID SEA.

Page 9: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Talking SEA No. 3 | 7

Bagaimana membangun KKP dan secara efektif kelola

^ Indonesia memiliki berbagai undang-undang, peraturan, dan pedoman untuk membangun dan mengelola KKP.

Pertama-tama, KKP diinisiasi dengan meng-identifikasi kawasan yang diminati dan melakukan studi biofisik dan sosial ekonomi untuk menilai kesesuaiannya untuk perlindungan. Jika dianggap tepat, lokasi ini secara resmi dicadangkan se-bagai KKP. Untuk wilayah pesisir hingga 12 mil laut dari pantai, penunjukan, pengembangan, dan pengelolaan KKP adalah tanggung jawab pemerintah provinsi (wilayah di atas 12 mil laut dikelola oleh pemerintah pusat). Pengecualian terhadap aturan ini adalah bila wilayah yang ditetapkan adalah ‘Taman Nasional Laut,’ yang dikelola di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan kabupaten.

Setelah lokasi dicadangkan, dibentuklah unit pengelolaan, dan disusun rencana pengelolaan lokasi. Rencana ini mencakup pemetaan wilayah dan identifikasi berbagai jenis zona untuk berbagai kegiatan (termasuk ‘zona larang ambil’ sebagai ‘tempat perlindungan’, di mana tidak diizinkan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan ekstraktif). Rencana tersebut juga mendokumentasikan tujuan KKP, yang harus mencakup konservasi dan pelestarian lingkungan laut, dukungan untuk perikanan berkelanjutan, dan proses untuk memastikan bahwa masyarakat lokal di dalam dan sekitar KKP mendapat

manfaat dari keberadaannya. Oleh karena itu, penyusunan rencana ini membutuhkan banyak konsultasi dengan masyarakat lokal serta organisasi dan industri yang mungkin terkena dampak dengan dijadikannya kawasan tersebut sebagai kawasan yang dilindungi. Setelah finalisasi, diperlukan persetujuan Gubernur, dan setelah disetujui, KKP dianggap telah ‘ditetapkan’.

Namun, itu baru awalnya. Mengubah rencana pengelolaan menjadi tindakan pengelolaan membutuhkan upaya lebih banyak. Unit pengelolaan penanggung jawab KKP perlu memiliki staf lengkap, terlatih, dan memiliki perangkat yang memadai. Praktik pengelolaan dan prosedur operasional harus sudah ada dan diberlakukan, dan agar KKP dapat diakui secara resmi sebagai bagian sistem kawasan lindung nasional diperlukan keputusan menteri. Setelah diakui di tingkat nasional, KKP dapat diberi batas (misalnya dipasang penanda sehingga nelayan di laut mengetahui di mana letak KKP tersebut). Pada tahap ini, dapat dilakukan peningkatan upaya dengan memulai pelaksanaan rencana pengelolaan. Tahap ini pada umumnya perlu pelibatan, keterlibatan, dan dukungan kuat masyarakat, dan juga pendanaan yang memadai untuk memastikan kegiatan pengelolaan – termasuk patroli, pengawasan, dan penegakan – dapat dilaksanakan secara teratur.

Kita jumpai Chrysiptera uswanasi - spesies baru damselfish yang ditemukan oleh para peneliti Conservation International di perairan Fakfak di Papua Barat.

Ikan kecil yang lincah ini adalah pengingat penting tentang seberapa banyak kita harus belajar tentang lingkungan laut kita. Para ilmuwan memperkirakan bahwa hingga dua pertiga spesies yang hidup di bawah air tidak terdeskripsikan, dan ketika ekosistem laut terus berkurang secara global karena aktivitas manusia, kita akan bertanya-tanya berapa banyak spesies yang mungkin hilang bahkan sebelum kita mengetahui keberadaannya ...? Ikan kecil yang dinamai sesuai nama Bupati Fakfak, Bapak Mohammed Uswanas ini, sebagai pengakuan atas komitmennya dalam membangun KKP untuk melestarikan warisan laut yang kaya di daerah tersebut, sekarang telah bergabung dengan banyak spesies yang telah terdokumentasi!

Fakta CepatS E A

* Referensi: Allen et al. (2018). ‘Chrysiptera uswanasi, a new microendemic species of damselfish (Teleostei: Pomacentridae) from West Papua Province, Indonesia,’ in Journal of the Ocean Science Foundation, Vol. 31, pp. 74-86.

Foto: Gerald R. Allen

Oleh Rudyanto dan Alan White, Proyek USAID SEA.

melanjutkan

Page 10: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

8 | Talking SEA No. 3

Untuk mengukur efektivitas pengelolaan, Indonesia saat ini menggunakan sistem evaluasi yang disebut E-KKP3K.8

Alat ini mengidentifikasi lima tingkat ke arah pencapaian pengelolaan yang efektif. Setiap tingkat diberi kode warna, dengan tingkat terendah (1– merah) berarti KKP telah dimulai hingga tingkat tertinggi (5 - emas), berarti KKP telah mandiri. Saat ini tidak ada KKP di Indonesia yang telah mencapai tingkat 5 atau status emas. Bahkan KKP yang terkenal di Raja Ampat masih di tingkat 4 (biru), dan sebagian besar KKP masih tetap di tingkat 1 (merah). Jelas masih banyak yang harus dilakukan agar KKP yang ada dan sedang berkembang di Indonesia dapat dianggap ‘dikelola secara efektif’.

Untuk ke depannya, dilakukan upaya untuk mempercepat pembentukan dan pengelolaan KKP yang efektif. Provinsi-provinsi di seluruh Indonesia baru-baru ini telah menyusun ‘rencana tata ruang laut’ pertamanya, yang mencakup daerah-daerah yang ditunjuk menjadi KKP. Kebijakan dan peraturan yang dijadikan pedoman pengembangan KKP disederhanakan (lihat halaman 14), dan sistem evaluasi (E-KKP3K) sedang direview untuk memastikan dipertimbangkannya dampak jangka panjang pengelolaan dalam memelihara dan melestarikan ekosistem laut. Semua berjalan sesuai rencana untuk mencapai target memiliki 30 juta hektar KKP selambat-lambatnya tahun 2030, tetapi masih dibutuhkan lebih banyak komitmen dan investasi dalam hal infrastruktur, personalia dan pengembangan keterampilan agar semua KKP ini dapat dikelola secara penuh dan efektif. #

2Source: MMAF. Produced by SSIC.

7. Dukungan pembiayaan pengelolaan6. Sarana dan prasarana pendukung

pengelolaan didirikan5. Rencana pengelolaan

dan zonasi- lembaga pengelola telah terbentuk- rencana pengelolaan tersedia

4. Unit organisasi pengelola denganSumber Daya Manusia

KKP DIKELOLA OPTIMUM15. Pengelolaan sosial ekonomi

dan budaya14. Pengelolaan sumberdaya kawasan13. Pelembagaan KKP diperkuat12. Penataan batas kawasanStandar Operasional Prosedur (SOP) diberlakukan; komunikasi dan penjangkauan secara sistematis berlangsung

3. Pencadangan kawasan2. Survei dasar dilakukan1. Kawasan konservasi diusulkan

$$

Batasan KKP

1

3

4

5

11. Penetapan Kawasan Konservasi Perairan

10. Pelaksanaan rencanapengelolaan dan zonasi

9. SOP diterapkan untuk pengelolaan Pengesahan rencana pengelolaandan zonasi

8.

KKP sudah dilengkapi dengan personellengkap, sarana, prasarana, danperalatan untuk pengelolaan

KKP DIKELOLA MINIMUM

KKP DIDIRIKAN

KKP DIINISIASI

Lima peringkat untuk mencapai pengelolaan KKP secara efektif

KKP MANDIRI

17. Pendanaan berkelanjutanPeningkatan kesejahteraanmasyarakat

16.

6 COREMAP (2013). Facts and Figures on Indonesia’s Natural Resources. ADB.

7 MMAF and USAID SEA Project (2018). 8 MMAF (2012). Decree of the Director General of Marine,

Coasts and Small Island, KepMen no: 44/ KP3K/2012 Concerning Technical Guidelines for Evaluating the Management Effectiveness of Aquatic, Coasts and Small Island Conservation Areas (Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - E-KKP3K). Jakarta: MAFF, DJKP3K, DGKKJI.

Jadi, bagaimana mengetahui apakah KKP Anda telah dikelola secara efektif?

Page 11: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Talking SEA No. 3 | 9

Sebagian ilmuwan percaya bahwa gurita mungkin adalah hewan laut yang paling pintar. Mereka tidak hanya memiliki otak yang lebih besar dibandingkan cephalopoda lainnya, tetapi juga memiliki keterampilan memecahkan masalah yang luar biasa.

Berjumpa dengan Hewan Terpandai (dan induk yang paling penuh kasih sayang) di LautOleh Asri Lestari, Proyek USAID SEA.

Gurita Kelapa

Pada tahun 2009, para peneliti dari Museum Victoria di Melbourne, Australia, mendokumentasikan contoh gurita kelapa (Amphioctopus marginatus) yang mengumpulkan batok kelapa yang dibuang, dan membawanya ke mana-mana sebagai aksesoris. Ketika berhadapan dengan bahaya mereka hanya ‘membalik’ batok tersebut di atas diri mereka untuk digunakan sebagai perisai. Di Akuarium Seattle di A.S., para ilmuwan memberikan tantangan kepada gurita untuk membuka botol (memancing mereka dengan camilan kepiting di dalam botol tersebut), dan sukses besar. Hal ini menyebabkan akuarium di seluruh dunia juga memberikan tantangan kepada gurita dalam perawatan mereka, dan pada tahun 2014 ‘Ozy the Octopus’, dari Pusat Pendidikan Kelautan Island Bay di Wellington, Selandia Baru, menjadi pemegang rekor dunia tidak resmi untuk membuka botol tercepat (54 detik).

Sebagai jawabannya, Akuarium Seattle memutuskan untuk menaikkan tingkat kesulitannya, dan memberikan botol tablet anti-anak (jenis tekan-dan-putar) kepada gurita-gurita mereka untuk dibuka. Billye, gurita pasifik raksasa (Enteroctopus dofleini) adalah yang pertama mencobanya, dan membutuhkan waktu 55 menit untuk mengetahui cara membuka tutup botol. Tetapi, dia menjadi lebih cepat dengan latihan, dan kemudian berhasil membukanya dalam rata-rata hanya lima menit. Ini menunjukkan bahwa keterampilan memecahkan masalah gurita mungkin lebih baik daripada rata-rata balita manusia (dan ketekunan serta kesabaran mereka tentu jauh lebih tinggi!).

Namun, hidup tidak semuanya permainan dan bersenang-senang bagi gurita di alam. Hidup sebagai makhluk soliter, perkawinan bisa merupakan hal yang mengerikan. Sebagian gurita betina memiliki kecenderungan untuk memakan pasangan mereka setelah kawin, yang kurang menguntungkan bagi jantannya. Untuk

menghindari hal ini, gurita jantan kemudian mengembangkan lengan yang dimodifikasi (hektocotylus) agar dapat memberikan sperma mereka dari kejauhan. Mengingat kurangnya kepedulian yang ditunjukkan gurita betina kepada pasangan mereka, sangat mengherankan bahwa mereka adalah induk yang sangat penuh kasih sayang. Mereka menunggui telur mereka, mengeraminya seperti induk ayam, dan terus-menerus mengalirkan air beroksigen segar ke atasnya untuk membantu perkembangan anaknya. Mereka tidak pergi mencari makanan. Mereka berlapar-lapar untuk merawat telur-telur mereka. Dan begitu anak-anaknya menetas, gurita betina - lelah dan kelaparan – pada umumnya mati. Gurita jantan juga tidak begitu beruntung, karena mereka juga biasanya mati dalam beberapa bulan setelah kawin pertama.

Makhluk luar biasa ini adalah pengingat bahwa kecerdasan, dan terutama kasih sayang, dapat muncul dalam berbagai bentuk. #

Foto: Depositphotos.com

Gambar kartun (atas): Squidward, gurita toska dalam SpongeBob SquarePants

Page 12: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

10 | Talking SEA No. 3

Apabila tidak dikelola dengan baik, pariwisata dapat menciptakan masalah besar. Tingginya jumlah wisatawan dapat menyebabkan degradasi budaya, memicu konflik masyarakat, dan merusak aset alam yang menjadi daya tarik yang mengundang pengun-jung. Di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Candi Borobudur di Jawa atau Taman Nasional Ko-modo, tempat wisata ‘dicintai sampai mati’ sehingga memerlukan pengelolaan yang ketat untuk menjaga kualitas dan daya tariknya.

Jika dikelola dengan baik, pariwisata dapat mem- bawa peluang besar bagi daerah. Pariwisata menye-diakan lapangan pekerjaan dan dapat meningkatkan infrastruktur, peluang ekonomi lokal yang lebih luas, dan kemajuan dalam jejaring sosial. Dikaitkan dengan aset alam, pariwisata dapat memotivasi masyarakat setempat dan pemangku kepentingan lainnya untuk melindungi sumber daya alam dan budaya. Contoh terbaik adalah tempat-tempat yang menerapkan ‘ekowisata’ dan memiliki rencana konservasi laut dan pengembangan pariwisata yang dirancang dengan baik, se-perti Raja Ampat di Papua Barat, di mana banyak pemangku kepentingan setempat mendapat manfaat dengan pekerjaan, peningkatan kesadaran, dan perikanan berkelanjutan yang dihasilkan industri wisata bahari.

Jadi, apa yang dimaksud dengan ‘ekowisata’ ...?Global Ecotourism Network mendefinisikan ekowisata sebagai “perjalanan yang bertanggung jawab ke tempat-tempat alami dengan menjaga

kelestarian lingkungan, meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat, dan mengandung pengalaman interpretatif dan pendidikan (untuk staf, masyarakat, dan pengunjung)”.

Ekowisata bukan sekadar ‘pariwisata alam’. Per-tama-tama, ekowisata mengharapkan semacam tanggung jawab dalam melindungi aset alam, baik bagi pengunjung maupun dalam men-dukung pengelolaan konservasi. Kedua, harus menjaga kesejahteraan masyarakat setempat. Keterlibatan masyarakat sangat penting. Dengan adopsi eko- wisata, diharapkan masyarakat setempat dapat meningkatkan mata pencaharian, tidak lagi melaku-kan kegiatan yang merusak lingkungan, serta meng- hormati konservasi dan pengelolaan berkelanjutan daya tarik alam dan budaya daerahnya. Ketiga, eko- wisata memberikan pendidikan. Bila dijalankan dengan benar, ekowisata diharapkan dapat men-ingkatkan kesadaran dan pengetahuan pengunjung, pengelola, dan masyarakat tentang nilai keaneka- ragaman hayati dan pentingnya konservasi.

Ada banyak contoh di Indonesia di mana peng-elolaan sumber daya yang buruk atau merusak berhasil diubah melalui eko- wisata berbasis masyarakat. Di sebagian daerah, pelaku pe-rusakan lingkungan (seperti penebang liar, pemburu burung gelap, dan pengebom ikan) menjadi penye-dia ekowisata yang sukses dan pelindung tempat wisata alam. Ada juga contoh kolab-orasi yang baik antara perusahaan sektor swasta

Foto: USAID SEA / Mawar Minora Sihotang

Banyak KKP di Indonesia berlokasi di daerah dengan keindahan alam yang luar biasa. Karakteristik yang membuat kawasan tersebut penting untuk dikelola

(terumbu karang yang sehat, populasi ikan yang banyak dan sehat, dll.) adalah karakteristik yang menarik wisatawan. Ini dapat menciptakan tantangan maupun peluang.

Oleh Ary Suhandi, INDECON dan Stacey Tighe, Proyek USAID SEA.

Ekowisata dalam KKP:

Page 13: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

KKP yangdiusulkan

SULABES

MANGOLI

LIFMATOLA

126°33'0"E126°24'0"E126°15'0"E126°6'0"E125°57'0"E

1°45

'0"S

1°54

'0"S

2°3'

0"S

2°9'

0"S

2°18

'0"S

2°27

'0"S

0 105 km

!

!

!

!

!^

Maluku Utara

MangroveTerumbu karang

Calon wilayah KKP Kepulauan Sula dengan lokasi kunci penyu

Diproduksi oleh SSIC.

Indonesia adalah surga bagi penyu, dan KKP melindungi habitat yang mereka butuhkan

untuk makan dan berkembang biak.

Di Kepulauan Sula, peneliti CTC mencatat 41 penyu hanya dalam satu survei! Ini

termasuk penyu sisik yang langka (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau yang terancam

(Chelonia mydas). Kepulauan Sula berada pada tahap akhir untuk ditetapkan menjadi KKP, yang

meliputi wilayah seluas 123.436 hektar.

Fakta CepatS E A

* Referensi: Welly et al. (2017). Kondisi Biofisik dan Sosial ekonomi, Kepulauan Sula, Maluku Utara. Jakarta: USAID SEA Project.

Talking SEA No. 3 | 11

Foto: Y Putra / CTC

dan organisasi masyarakat lokal untuk pengelola- an ekowisata (seperti pelaku bisnis perhotelan dan investor yang melakukan kerja sama dengan mas-yarakat setempat). Kelompok masyarakat Kon-servasi Mangrove Tiga Warna Clungup di Malang Selatan, Jawa Timur, contohnya, melakukan pen-dekatan praktik terbaik dengan menetapkan kuota pengunjung setiap objek wisata, memiliki zona bebas emisi yang penerapannya ketat, dan kebijakan mengurangi limbah plastik. Mereka juga memutus- kan kapan akan menutup wilayahnya untuk peng- unjung, misalnya selama acara budaya penting (se- perti Natal, Idul Fitri, dan Tahun Baru) agar daerah tersebut dapat ‘beristirahat’. Masyarakat setempat diberi wewenang untuk berkata “cukup” kapanpun mereka mau; menghindari godaan keuntungan ekonomi untuk memastikan ekosistem, dan ekon- omi mereka, berkelanjutan dalam jangka panjang.

Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa ekowisata dapat diterapkan asal semua pemangku kepentingan memiliki visi yang sama dan bekerja bersama untuk menyelaraskan peningkatan ekonomi dan perlindungan ekologis.

Perencanaan ekowisata meliputi mengkaji daya dukung lokasi dan membangun sistem untuk me- minimalkan dampak negatif (misalnya limbah) pengunjung. Lokasi ekowisata harus menyusun informasi dan panduan berkualitas bagi pengunjung tentang bagaimana program mendukung ekosistem dan masyarakat setempat, dan tempat wisata ter-sebut harus dipantau dan dikelola dengan dukungan

penuh masyarakat.

Oleh karena itu, ekowisata yang dikelola dengan baik di KKP

dapat memberikan peluang besar bagi masyarakat setempat untuk diversi-fikasi mata pencahari-an, yang pada gilirannya akan memberi mereka insentif penting untuk terlibat dalam pengelo-

laan kolaboratif wilayah mereka. Ekowisata yang

diterapkan secara efektif dalam KKP menunjukkan bahwa

Foto: USAID SEA / Mawar Minora SihotangPetualang snorkeling

Tantangan atau Peluang?

keberhasilan konservasi, pengelolaan berkelanjutan, dan kemakmuran dapat saling terkait untuk masa depan yang berkelanjutan. #

Page 14: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Fakta CepatS E A

(1) Kahn et al. (2017). Technical Report: A rapid ecological assessment (REA) for marine mammals in the Banda and Ceram seas. Jakarta: USAID SEA Project.

(2) Hidayat et al. (2018). Penilaian Bio-Ekologi dalam rangka Rencana Pengelolaan dan Pengembangan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan Fakfak di Papua Barat. Tetra Tech: USAID SEA Project.

Sebuah wilayah yang disebut Sebakor, di Fakfak, Papua Barat, mungkin merupakan bagian dengan keanekaragaman hayati laut paling beragam di planet ini!

Hanya dalam satu penyelaman di Sebakor, para peneliti Conservation International mencatat lebih dari 300 spesies! Di Kokas, yang ada di dekatnya, habitat lautnya sangat unik sehingga survei baru-baru ini menemukan tujuh spesies yang belum dikenal dalam sains, termasuk spesies baru ikan pipa, damselfish, dan gobi udang.

Keanekaragaman Hayati & Konservasi di Fakfak (2)

Laut Seram yang menakjubkan di Provinsi Maluku adalah daerah yang sangat penting bagi paus. Dalam survei yang dilakukan oleh CTC dan APEX Environment, dalam Proyek USAID SEA, ada dua spesies paus yang menarik yang terlihat di perairan ini – paruh dan biru. Dengan prevalensi tinggi gugusan gunung bawah laut, Laut Seram menyediakan habitat penting bagi paus paruh bergigi yang menyelam dalam (keluarga Ziphildae). Paus biru (famili Balaenoptera) adalah hewan terbesar di dunia, tumbuh hingga 30 meter dan beratnya mencapai 173 ton. Secara global, penampakan spesies langka ini jarang terjadi, jadi Anda bisa bayangkan kegembiraan para peneliti Proyek SEA ketika menemukan 19 dari spesies cantik ini dalam dua tahun pertama proyek.

Paus Biru

Foto: Depositphotos.com

“Jika Anda adalah paus, berparuh atau biru, Laut Seram adalah tempat

bagi Anda!”Paus di Laut Seram(1)

12 | Talking SEA No. 3

Survei sosial ekonomi untuk KKP

Manado

Ternate

S e r a m S e a

MALUKU

Papua

Seram

Morotai

Buru

Produced by SSIC.

MALUKU UTARA

PAPUABARAT

39

78

28

Ambon

Manokwari

Survei ini mencakup survei rumah tangga untuk menilai kondisi kehidupan masyarakat pesisir di wilayah tersebut, serta pendapatan dan survei sosiologis lainnya untuk dijadikan dasar informasi dan pedoman perencanaan Proyek SEA. Memahami realitas sosial ekonomi penduduk yang hidup di dalam dan di sekitar suatu KKP merupakan hal penting untuk dapat memasukkan pertimbangan sosial dan budaya ke dalam desain dan pembangunan KKP.

Foto: CI

“Terima kasih atas dukungan USAID-SEA dan CI sehingga semua warga bisa mendapat informasi

mengenai konservasi. Harapannya konservasi bisa berlangsung hingga puluhan

tahun. Semoga bisa mengatasi masalah sulitnya mencari ikan yang harus jauh.”

Mahmud Bauw, Kepala Desa,

Desa Tuberwasa, Kabupaten Fakfak, KKP Van Den Bosch

Teluk Nusalasi

Dalam dua tahun pertama Proyek USAID SEA, survei sosial ekonomi dilakukan di 145 desa di Indonesia timur.

Page 15: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Foto: Nurcholis Efendi / Komunitas Baronda Ambon

Talking SEA No. 3 | 13

Foto: Depositphotos.com

Kita temui Muhammad Miftah Watimena (dikenal sebagai Vitho di kalangan teman-temannya). Vitho adalah Pangeran Kataloka, sebuah wilayah adat yang terletak di Koon, sebuah pulau kecil terpencil di tenggara Pulau Seram, Maluku. Dia adalah seorang lelaki muda yang sederhana, dengan mimpi besar. Dengan gelar dalam ilmu politik, dan saat ini sedang belajar untuk mendapatkan gelar master dalam bidang antropologi, Vitho tahu bahwa dangkalan Koon - wilayah tiga pulau kecil (Koon, Grogos dan Nukus) yang berada di bawah kekuasaan ayahnya, Raja Kataloka – memiliki banyak kekayaan laut. Ini adalah daerah dengan keanekaragaman hayati laut yang luar biasa, dan mungkin merupakan salah satu tempat pemijahan ikan karang terbesar di Maluku, bahkan mungkin di seluruh Indonesia bagian timur.

Perairan laut di daerah ini sudah dilindungi melalui Keputusan Ngam (peraturan sasi setempat), dan bekerja sama dengan Raja Kiltai yang bertetangga, daerah Koon-Neiden yang lebih luas telah diputuskan sebagai KKP formal melalui Keputusan Gubernur. Namun, Vitho tahu bahwa meskipun memiliki status dilindungi, pengelolaan di lapangan adalah segalanya, dan karena kawasan ini menjadi tujuan wisata yang semakin populer, perlu didorong prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan di daerah tersebut.

Lelaki sederhana dengan mimpi besar

Cerita dari lapangan

“Saya ingin mendirikan pusat penelitian di Koon di mana orang bisa datang, tidak hanya sebagai

turis untuk menikmati pemandangan yang indah, tetapi juga berkontribusi

pada sains dan konservasi.”

Oleh Rudyanto, Proyek USAID SEA.

“ Saya yakin ini bisa dicapai dan baik, tidak hanya untuk lingkungan

tetapi juga untuk ekonomi

setempat.”

Ini adalah impian Vitho: dia ingin masyarakat di kawasan ini menjadi makmur, tetapi tidak ingin daerahnya rusak. Bagi Vitho, solusinya adalah pengembangan ‘ekowisata berbasis penelitian’:

Ini berarti tidak ada pariwisata massal, dan pemasaran daerah tersebut kepada ‘target pasar’ khusus – bukanlah pekerjaan kecil. Vitho tahu ini akan membutuhkan banyak pekerjaan, dan akan membutuhkan kemitraan dengan LSM, lembaga penelitian, operator pariwisata yang bertanggung jawab, dan pemerintah daerah. Tapi itu tidak membuatnya mundur. #

Page 16: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

14 | Talking SEA No. 3

9 Green et. al. (2014). Designing Marine Reserves for Fisheries Management, Biodiversity Conservation, and Climate Change Adaptation, Coastal Management, 42:2, 143-159.

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia dan sumber daya lautnya melimpah. Namun, Indonesia

mengeksploitasi sumberdayanya secara berlebihan. Untuk memulihkan sumber daya yang sangat penting ini - baik untuk konservasi keanekaragaman hayati maupun ketahanan pangan – Indonesia ini telah membangun lebih dari 20 juta hektar KKP. Namun, sebagian besar KKP ini masih dalam tahap inisiasi (tingkat 1 - merah), dan hanya sedikit yang telah cukup berkembang untuk mencapai pengelolaan efektif yang memadai untuk menghasilkan manfaat ekologis atau sosial.

Hal ini terutama disebabkan oleh: (a) proses panjang dan rumit dalam mendirikan KKP operasional berdasarkan kebijakan dan peraturan saat ini; (b) tujuan yang tidak jelas untuk masing-masing KKP, ditambah kesulitan dalam mengukur efektivitas pengelolaannya, dan (c) kesadaran bahwa beberapa tujuan konservasi memerlukan KKP dengan wilayah yang sangat luas atau jaringan strategis KKP.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan di atas, pada tahun 2018 Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) di Kementerian Kelautan dan Perikanan, mulai menyusun peraturan menteri baru, pedoman teknis, dan alat penilaian untuk pengembangan dan pengelolaan KKP dan jejaring KKP. Didukung oleh Proyek USAID SEA, proses ini mengajak dan melibatkan lebih banyak unit di Kementerian dan lembaga pemerintah terkait, universitas dan LSM.

Salah satu peraturan menteri yang sedang dikembangkan bertujuan menggabungkan dan menyederhanakan tiga peraturan yang ada, tentang desain KKP (penetapan batas dan zonasi), dan langkah yang diperlukan untuk pembentukan, pengembangan kapasitas dan pengelolaan operasional. Peraturan baru ini juga bertujuan memperjelas peran dan tanggung jawab berbagai

tingkat pemerintahan (khususnya pemerintah provinsi) terkait pengelolaan KKP.

Pekerjaan ini didukung Proyek SEA, dan telah diusulkan kerangka kerja baru yang mencakup kriteria yang jelas berbasis sains untuk membangun KKP dan jejaring KKP (dengan mempertimbangkan, misalnya, persentase wilayah yang dilindungi, jarak antara lokasi-lokasi yang terhubung, dan faktor-faktor lain, untuk memastikan bahwa lokasi dapat menjadi KKP yang kuat dan tangguh). Kerangka kerja ini, yang dikembangkan dengan dukungan mitra Proyek SEA: The Nature Conservancy, membantu mengidentifikasi target untuk tujuan konservasi (seperti mengisi kembali dan meningkatkan stok ikan, atau melindungi rute migrasi, wilayah mencari makan dan pembiakan penyu, lumba-lumba dan paus).9

Juga, pada skala yang lebih besar, sedang dilakukan pekerjaan untuk memperkuat peraturan menteri tentang penyusunan mekanisme administratif (seperti perjanjian pengelolaan kolaboratif) untuk mengawasi banyak jaringan KKP. Peraturan yang direvisi ini mencakup alat yang lebih kuat dan sederhana untuk menilai efektivitas pengelolaan, dengan memasukkan pertimbangan integritas ekosistem seiring waktu, dan indikator sosial ekonomi serta tata kelola.

Ke-15 KKP dalam portofolio Proyek USAID SEA termasuk yang pertama menerapkan pendekatan dalam peraturan baru ini, dan kriteria berbasis sains akan digunakan dalam desain jejaring KKP berbasis provinsi pertama (di Maluku Utara, Maluku, dan Papua Barat). Selain itu, sistem administrasi yang sedang disusun untuk mendukung banyak jejaring KKP akan diuji di wilayah kerja Proyek SEA (WPP 715) untuk memaksimalkan konektivitas dan produktivitas jejaring-jejaring provinsi ini. #

Memperkuat Kebijakan untuk Mendukung Pembangunan dan Pengelolaan KKP yang Efektif dan Jejaring KKP Oleh Tim WCS

Page 17: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Dr. Firdaus Agung Kurniawan

Kepala SubDirektorat Jejaring Kawasan

Konservasi Laut dan Konvensi Internasional

Talking SEA No. 3 | 15

KKP yang dirancang dengan baik dan dikelola secara efektif dapat mencapai berbagai tujuan ekologis dan sosial. Namun, juga penting untuk melindungi sistem eko-regional yang lebih luas, yang mencakup banyak habitat dan wilayah untuk berbagai tahap kehidupan spesies laut.

Sayangnya, melindungi wilayah laut yang luas sangat mahal dan tidak praktis, sehingga para ilmuwan mempelajari bagaimana merancang ‘jejaring KKP individu yang lebih kecil, yang - jika dirancang dan dibentuk di posisi yang baik - secara efektif dapat ‘melindungi’ wilayah yang jauh lebih besar.

Misalnya, jika Anda ingin membuat jejaring KKP untuk melindungi spesies yang bermigrasi, seperti paus atau penyu, Anda perlu membuat serangkaian KKP di berbagai lokasi yang penting bagi siklus hidup mereka. Ini mungkin akan meliputi daerah di mana spesies tersebut memijah, di mana mereka berkembang biak, dan di mana mereka makan. Jika memungkinkan, Anda juga ingin melindungi rute yang mereka lalui di antara lokasi-lokasi tersebut. Untuk mengelola jejaring KKP secara efektif, dibutuhkan kolaborasi di antara berbagai KKP dalam jejaring tersebut. #

MALUKU UTARA

FILIPINA PULAU PASIFIK

PAPUA BARAT

MALUKU

KKP / Zona KKP Individu

Perairan Provinsi / Batas Jaringan KKP (ilustrasi)

Hubungan Jaringan KKP Provinsi

Hubungan Jaringan KKP Nasional (lebih dari satu provinsi dan / atau perairan nasional)

ILUSTRASI JARINGAN KKP DI INDONESIA

Habitat Penting Stok Ikan

Apa itu Jejaring KKP?

“ Pengembangan jejaring KKP di Indonesia berpedoman pada diberlakukannya Keputusan Menteri No. 13/2015. Meskipun ada beberapa dokumen dan pedoman, sebagian besar berfokus pada

jejaring (atau rangkaian) KKP atau pada kerangka kerja konseptual. Melalui Proyek SEA kami berencana untuk menyusun pedoman

praktis dan implementasi nyata jejaring KKP dalam WPP 715. Ini merupakan tantangan karena pada dasarnya pengelolaan jejaring

KKP lebih kompleks daripada pengelolaan KKP individual, tetapi karena Proyek SEA telah mengumpulkan sumber daya dan para

pakar terbaik yang ada di Indonesia dan kawasan ini, kami yakin kita akan segera memiliki jejaring KKP yang fungsional di Indonesia.”

Oleh Stacey Tighe, Proeyk USAID SEA..

Page 18: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

SasiUmumnya berlangsung di Indonesia timur, sistem ini menerapkan penutupan sementara wilayah tertentu untuk penangkapan ikan atau ekstraksi, agar ekosistem dan spesies perikanan terkait dapat beregenerasi. Di masa lalu, sasi digunakan untuk meningkatkan sumber daya untuk kegiatan-kegiatan utama masyarakat (seperti perayaan atau pesta), untuk memastikan adanya panen yang maksimal ketika wilayah tersebut dibuka kembali sesaat sebelum acara.

Penutupan dilakukan selama periode yang berlangsung dari beberapa bulan hingga beberapa tahun dan umumnya dimaksudkan untuk mendorong regenerasi spesies sessile dekat pantai, seperti kerang, teripang, dan trochus (kerang lola). Di beberapa kelompok masyarakat, konsep sasi memiliki berbagai nama; kera kera di Fakfak (Papua Barat), tabob di Maluku tenggara, lilifuk di Kupang, dan yot dan yutut di Kepulauan Kei.

Pangalima laotBerlangsung di Aceh (ujung barat Indonesia), lembaga tradisional ini memiliki mandat adat untuk menjadi pedoman kegiatan mata pencaharian nelayan. Telah dilaksanakan sejak abad ke-17, istilah ini secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai ‘komandan laut’ dalam bahasa Aceh, dan kepala Panglima Laot di daerah tertentu berfungsi sebagai penghubung antara nelayan dan perwakilan pemerintah. Lembaga ini juga menyelesaikan perselisihan antar nelayan, dan mendorong praktik-praktik yang disepakati baik untuk perbaikan mata pencaharian nelayan maupun masyarakat luas.

10 MMAF and USAID SEA Project (2018).

16 | TALKING SEA No. 2

Dahulu, di seluruh Indonesia praktik tata kelola laut tradisional aktif di tingkat lokal selama ratusan tahun. Praktik-praktik ini biasanya ditetapkan oleh para pemimpin masyarakat dan didukung oleh para pemimpin spiritual (adat) setempat. Namun, dengan populasi

yang berkembang pesat, permintaan akan sumber daya ikan dan laut yang semakin besar, serta migrasi manusia dan budaya, kerangka kerja tradisional ini mulai memudar di banyak daerah pada awal abad ke-20. Saat ini sedang dilakukan upaya untuk melegalkan kembali praktik-praktik adat ini, dan mengintegrasikannya ke dalam sistem pengelolaan formal dengan memasukkan praktik pengelolaan masyarakat ke dalam desain dan pembangunan KKP.

Tata Kelola Tradisional Ekosistem Pesisir dan

Page 19: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Mane’eDipraktikkan di sebagian Sulawesi Utara selama ratusan tahun, Mane’e adalah kesepakatan di antara nelayan untuk melarang penangkapan ikan di daerah-daerah penting, biasanya selama satu tahun. Praktik ini sangat terikat pada tradisi di bawah ‘eha’ (peraturan lokal), dan ditetapkan melalui lembaga adat setempat. Ketika diizinkan, penangkapan ikan dilakukan pada saat air surut, dengan alat penangkap yang terbuat dari akar dan daun kelapa, yang disiapkan oleh seluruh masyarakat sebagai tanda penghormatan terhadap lautan.

Awig-awig Dipraktikkan di daerah Lombok dan Bali. Awig-awig adalah pengaturan adat untuk menyusun peraturan adat setempat dalam mengatur penggunaan sumber daya dan konflik. Katanya ini untuk menciptakan hubungan yang harmonis antar manusia dan dengan Tuhan. Melalui awig-awig, masyarakat dapat berkumpul dan membuat kesepakatan tentang masalah akses, serta kerangka kerja tata kelola lainnya untuk mengelola lingkungan pesisir dan laut mereka.

Perayaan pada upacara deklarasi adat di Sorong Selatan

TALKING SEA No. 2 | 17

Disarikan dan diadaptasi dari ‘Kondisi Laut: Indonesia’ 10

Foto: WWF

Laut di Indonesia

Page 20: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

18 | Talking SEA No. 3

“Ketika saya melihat pohon bakau di sepanjang pantai Imekko - dari Kokoda, Metemani, Inanwatan, Kais, Warongge,

hingga Sungai Bakoi - kerusakannya luar biasa dibandingkan 30 tahun yang lalu.”

Johanes Regoy, anggota masyarakat Imekko di Sorong Selatan, Papua Barat, berbagi keprihatinan ini dengan banyak tetangganya. Hutan bakau di wilayah ini menyediakan habitat penting bagi per- ikanan udang yang menjadi andalan masyarakat Imekko; dan telah berkurang dengan cepat dalam beberapa dekade terakhir.

Tiga puluh tahun yang lalu, dan di kawasan ini penangkapan dilakukan hampir secara eksklusif oleh orang-orang Imekko dan tetangga mereka orang Papua Barat. Tetapi selama bertahun-tahun setelahnya, berdatangan nelayan dari daerah lain di Indonesia dalam jumlah yang semakin banyak untuk mengeksploitasi perairan yang kaya ini.

“Kami, masyarakat Imekko, tidak bisa melakukan apa-apa. Aturan masyarakat

kami untuk melindungi daerah penangkapan kami tidak tertulis, tidak diakui, dan tidak dapat dilaksanakan.”

Sejak diluncurkannya Proyek USAID SEA, WWF-Indonesia bekerja sama dengan masyarakat Imekko untuk memberlakukan kembali sistem pengelolaan adat di daerah tersebut, dengan penetapan sasi. Daerah-daerah sasi ditentukan

berdasarkan komoditas utama bagi para nelayan (udang, kepiting bakau, dan ikan), dan untuk melindungi spesies asli di wilayah tersebut (terutama hiu, penyu, dan burung pesisir yang endemik di Sorong Selatan). Daerah-daerah ini kemudian akan menjadi dasar untuk KKP yang lebih formal, dengan persetujuan dan dukungan dari pemerintah provinsi dan pusat.

Dengan kegiatan yang dilakukan bersama masyarakat Imekko – termasuk peningkatan kesadaran, pelatihan, dan forum masyarakat – masyarakat telah mengakui bahwa tujuan kon-servasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan berkelanjutan selaras dengan tujuan adat mereka sendiri untuk keberadaan yang berkelanjutan. Johanes Regoy, yang kemudian menjadi pelopor pembentukan KKP Sorong Selatan, menyimpulkan hal itu ketika dia mengatakan:

“Doa saya sudah terkabul.”Pada tahun 2018, sebuah deklarasi adat mem-berikan dukungan yang jelas untuk penetapan sasi, dan menunjukkan dukungan masyarakat terhadap upaya yang sedang berlangsung di wilayah ini. Deklarasi tersebut menyatakan:

‘Masyarakat - melalui para kepala adat, kelompok perempuan, kepala suku, dan kepala desa - berharap bahwa proyek ini akan membantu kita meningkatkan

standar kehidupan di masa depan. Karena sumber daya laut adalah kebutuhan bagi kita, anak-anak kita dan cucu-cucu kita, dan kita perlu memahami

bagaimana melindungi lingkungan pesisir’. #

Penduduk Asli Imekko:

Mempertahankan Udang Sorong Selatan

Cerita dari lapangan

Oleh Siti Yasmina Enita dan Ehdra Beta Masran, World Wide Fund for Nature – Indonesia.Foto: USAID SEA / Topandi

Page 21: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Pelatihan masyarakat untuk desain KKP

Pelatihan pengantar KKP

Talking SEA No. 3 | 19

Seiring bertambahnya jumlah dan kematangan KKP di Indonesia, sangat penting untuk memastikan ada

orang-orang yang cukup terampil untuk mengoperasikan dan mengelolanya.

Setiap provinsi dan KKP membutuhkan sekitar 15 orang staf terlatih atau lebih, serta mitra yang cakap, untuk mengelola KKP secara efektif. Keterampilan perlu dibangun di antara staf PNS di semua tingkatan (di lembaga kelautan pusat, provinsi, dan kabupaten), serta di antara LSM, masyarakat setempat, dan sektor swasta.

Pada tahap awal pengembangan KKP, pengembangan keterampilan biasanya difokuskan untuk memastikan pemahaman dasar yang kuat tentang manfaat KKP (untuk produktivitas perikanan, mata pencaharian, dan keanekaragaman hayati), serta bagaimana merancang, membangun, dan mengoperasikan KKP. Hal ini mencakup memahami berbagai sistem pengelolaan bersama yang dapat dipakai untuk melibatkan, memotivasi, dan memberdayakan pemangku kepentingan setempat (KKP 101). Staf terkait KKP, khususnya Petugas Penyuluh Perikanan di jajaran pegawai negeri sipil, juga perlu belajar bagaimana melakukan penjangkauan dan berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat setempat, untuk berbagi informasi tentang perikanan berkelanjutan, dan untuk menjelaskan peran KKP (dan terutama kawasan larang ambil) dalam membantu pemulihan dan pertumbuhan stok ikan. Mereka membutuhkan keterampilan untuk terlibat dengan nelayan dan masyarakat setempat, serta untuk memahami

Membangun Keterampilan untuk Pelaku KKP

persepsi dan sikap lokal, agar dapat menyelaraskan proses pengembangan KKP dengan kepentingan dan kepedulian lokal. Selain itu, staf pemerintah perlu memiliki kesadaran penuh tentang instrumen hukum seputar pembentukan dan pengelolaan KKP, penegakan hukum, dan pemantauan (termasuk pemantauan biofisik maupun sosial ekonomi).

Pada tingkat yang lebih tinggi, para manajer dan pemangku kepentingan KKP perlu belajar tentang zonasi dan desain KKP, agar dapat merancang rencana zonasi dan rencana pengelolaan. Bergantung pada kebutuhan lokasi, bentuk-bentuk pelatihan umum lainnya dapat meliputi: pelatihan menyelam (untuk pemantauan ilmiah), pelatihan bahasa Inggris, pelatihan patroli, dan pendidikan tentang pariwisata berkelanjutan dan pengelolaan perikanan.

Sejak peluncuran Proyek USAID SEA, lebih dari 1.000 orang telah memperoleh pelatihan dan hampir 50 persennya dilaksanakan oleh mitra Proyek SEA, Coral Triangle Center (CTC). CTC telah lama menjadi mitra Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan membantu persiapan standar kompetensi formal tingkat nasional untuk staf pegawai negeri sipil. Pada tahun 2018, dua standar kompetensi KKP baru ditetapkan secara hukum - satu untuk pengelolaan wisata bahari di KKP, dan satu untuk penjangkauan KKP. Pelembagaan pelatihan dan peningkatan kapasitas ini sangat penting untuk memastikan pengembangan keterampilan memperoleh dukungan secara nasional untuk pengelolaan KKP yang efektif sampai masa-masa mendatang. #

Foto

: CTC

Foto: Agustin Capriati / CTC

Oleh Rein Paat dan Hesti Widodo, Coral Triangle Center.

Page 22: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

20 | Talking SEA No. 3

Jadi, Anda sudah mendirikan KKP. KKP itu telah sah secara hukum, dizonasikan, dan semua orang telah mengetahuinya. KKP tersebut dirancang untuk meningkatkan stok ikan, dan melindungi keanekaragaman hayati. Wisatawan tertarik ke daerah tersebut untuk melihat keindahan alamnya yang menakjubkan.

Tetapi bagaimana jika para nelayan melanjutkan saja kegiatannya seperti biasa? Bagaimana jika mereka menangkap ikan di kawasan larang ambil? Atau menggunakan metode penangkapan ikan yang merusak? Bagaimana jika peraturan KKP diabaikan begitu saja? Ini merupakan bagian penting yang perlu dipertimbangkan para manajer KKP. Tidak cukup hanya membangun KKP dan mengharapkannya berfungsi. Pengguna sumber daya perlu mengubah perilaku mereka untuk mematuhi aturan KKP, dan peraturan harus ditegakkan.

Menegakkan peraturan KKP sangat penting untuk pengelolaan yang efektif.

Jika kawasan larang ambil diabaikan, atau alat tang-kap merusak yang tidak diizinkan digunakan, seluruh integritas kawasan akan rusak, dengan ke-rugian besar tidak hanya untuk spesies laut, namun juga bagi mereka yang pekerjaannya bergantung pada produktivitas laut. Pada saat yang sama, penegakan hukum yang keras oleh pengelola KKP dapat membuat pengguna sumber daya setempat merasa tidak terlibay - yang dapat memecah dukungan untuk wilayah tersebut, dan tidak produktif untuk keberlanjutan jangka panjang.

Di Indonesia telah berkembang sistem penting pelibatan anggota masyarakat dalam kegiatan pengawasan dan penaatan. Sistem ini memiliki potensi yang sangat besar untuk mendorong penerimaan, keterlibatan, dan dukungan pengguna sumber daya lokal, serta menyediakan layanan pengamatan rutin, yang seringkali terlalu mahal untuk dilaksanakan oleh unit pengelolaan KKP. Dikenal sebagai POKMASWAS, ‘kelompok pengawasan masyarakat’ ini diakui oleh peraturan nasional, dan didukung dengan pelatihan sehingga dapat secara efektif memantau dan mengumpulkan informasi dalam KKP mereka.

Proyek USAID SEA mendukung pekerjaan POKMASWAS di berbagai tingkat. Di tingkat nasional, sedang dilakukan upaya untuk mengubah

peraturan menteri yang penting yang mengatur peran kelompok ini, agar dapat mengharmoniskan praktik pengawasan formal menurut hukum nasional dengan yang beroperasi di tingkat daerah sesuai hukum adat. Program pelatihan juga sedang disusun di tingkat nasional untuk mendukung POKMASWAS di seluruh Indonesia, dengan pendekatan modul pelatihan bertahap.

Di provinsi Maluku Utara, Maluku, dan Papua Barat, sedang dilakukan upaya mendukung pembentukan kelompok-kelompok POKMASWAS baru dalam KKP Proyek. Pelatihan tingkat nasional sedang diujicobakan pada mereka, dan mencakup topik-topik seperti: mengenali ancaman pada ekosistem KKP; melakukan zonasi dan perencanaan pengelolaan KKP; berkomunikasi secara efektif dengan pemangku kepentingan untuk mendorong kepatuhan terhadap rencana zonasi dan pengelolaan; dan memahami jenis-jenis pelanggaran yang dapat terjadi dalam KKP (cara mengenali maupun cara melaporkannya). Proyek SEA juga melibatkan mereka dalam berbagai kajian dan survei untuk memperkuat rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap lingkungan laut.

Pelibatan dan pemberdayaan masyarakat setempat– yang memastikan mereka memperoleh pengakuan dan respek sebagai pengelola kolaboratif sumber daya mereka sendiri - adalah langkah kunci untuk mencapai kepatuhan daerah terhadap KKP dan, pada akhirnya, pencapaian pengelolaan KKP yang efektif. #

Penaatan Hukum Berbasis MasyarakatOleh Christiana Yuni, Proyek USAID SEA.

Page 23: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Talking SEA No. 3 | 21

Mengelola KKP adalah mengelola orang. Mereka yang menggunakan dan bergantung pada sumber daya

KKP harus menyesuaikan perilakunya agar mematuhi peraturan KKP.

Menghentikan penangkapan ikan di zona larang ambil, atau mengganti alat tangkap agar tidak merusak lingkungan, atau membatasi tangkapan ikan dari suatu daerah, atau tidak menangkap spesies yang dilindungi - itu semua berujung pada perubahan perilaku orang.

Sayangnya, mengubah perilaku tidak mudah. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pilihan perilaku orang dan masyarakat. Karena itu, untuk memulainya Anda perlu memahami apa yang mempengaruhi orang. Apa motivasi dan persepsi masyarakat sasaran? Apa yang membuat orang memilih perilaku tertentu?

Kadang, Anda mungkin menjumpai bahwa orang tidak menyadari kerusakan lingkungan akibat perilaku mereka saat ini - penangkapan ikan yang merusak, ekstraksi karang, atau pengambilan spesies yang terancam punah - dan dalam hal ini pendidikan dan peningkatan kesadaran sangat penting . Namun, hal ini sering tidak cukup untuk membawa perubahan (kita mungkin tahu ada yang salah, atau buruk bagi kita, seperti merokok, tetapi kita sering masih melakukannya). Mengubah perilaku perlu perubahan sikap, dan membawa perilaku baru.

Disarikan dan diadaptasi dari ‘Kondisi Laut: Indonesia’.11 Gambar dari Gombos, M., et al. (2013).

Mengubah PerilakuJuga, semua hambatan bagi perubahan perilaku perlu dihilangkan (misalnya, nelayan ingin beralih ke alat tangkap ramah lingkungan, tetapi tidak mampu membelinya). Perubahan perlu dukungan. Jalan menuju perubahan harus jelas, mungkin, dan praktis.

Untuk berubah banyak orang memerlukan dukungan dan bantuan dari orang-orang di sekitar mereka. Dalam semua masyarakat ada ‘pemengaruh kunci’ - pemimpin sipil, musisi lokal, tetua atau pemimpin agama yang dihormati - yang perilaku dan sikapnya dapat mempengaruhi orang lain dan mendorong perubahan. Sering disebut ‘agen perubahan’, atau ‘pelopor’, mereka adalah orang-orang yang Anda inginkan secara terbuka dan bersemangat mengadvokasi perubahan perilaku di KKP. Orang mendengarkan mereka dan akan terpengaruh oleh mereka.

Dalam Proyek USAID SEA, sedang dilakukan identifikasi dan pelibatan ‘pelopor’ dalam ke-15 KKP fokus proyek. Hingga saat ini, telah diidentifikasi 143 pelopor, dalam lebih dari 60 kelompok masyarakat di dalam KKP-KKP tersebut. Melalui pelopor ini, dan penggunaan pemasaran sosial dan alat-alat komunikasi yang lebih luas, perubahan dapat terjadi. Perubahan dapat –dan harus – terjadi jika ingin KKP berkelanjutan dan produktif sampai kelak. #

11 MMAF and USAID SEA Project (2018).

Page 24: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Kondisi Laut: Indonesia adalah buku tiga jilid yang menyajikan gambaran umum tentang pengelolaan pesisir dan laut di Indonesia, termasuk wawasan rinci tentang pembentukan dan pengelolaan KKP yang efektif.

Buku untuk kalangan non-teknis maupun profesional dalam pengelolaan pesisir dan laut ini ramah pembaca, berisi kisah Indonesia: apa yang terjadi pada lingkungan laut dalam beberapa dekade terakhir, dan apa yang sedang dilakukan untuk mengatasi tantangan yang dihadapi.

Diterbitkan bersama oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Proyek USAID SEA, buku ini diluncurkan bulan Oktober 2018 dalam Our Ocean Conference, tersedia dalam bentuk cetak, dalam PDF dan e-book yang dapat diunduh, dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.

Dapatkan dari kantor Proyek USAID SEA (alamatnya ada di sampul belakang), atau online di: https://www.sea-indonesia.org/resources/stateofthesea

Ingin lebih tahu?

22 | Talking SEA No. 3

Indonesia memiliki biota laut yang luar biasa dan langka. Spesies flamboyan dan mempesona sering dipamerkan di media, menarik perhatian di dalam maupun di luar negeri.

Para selebritis ini menciptakan kesadaran akan keanekaragaman dunia bawah laut, tetapi juga, tragisnya, dapat memicu kegiatan yang dapat mengancam kelangsungan hidup spesies.

Misalnya, film Finding Dory menyebabkan pengambilan untuk koleksi lalu penurunan jumlah ikan leter enam (Paracanthurus hepatus). Ikan yang relatif langka ini tidak dapat bereproduksi di penangkaran. Banyak spesies lain ditangkap dan dijadikan koleksi mulai dari akuarium pribadi hingga kebun binatang. Di habitat alami, mereka dapat terganggu oleh wisatawan, diambil untuk keperluan keagamaan atau budaya, atau dijadikan hidangan eksotis, kadang-kadang melampaui batas di mana mereka mampu mempertahankan populasi yang sehat.

Karena perilaku ini, beberapa spesies laut yang unik dan karismatik yang dulu berlimpah di Indonesia kini langka atau terancam punah. Spesies ini (dan spesies tanaman laut) perlu dilindungi di semua tahap siklus hidup mereka untuk mengubah tren ini. KKP adalah suatu cara utama, untuk mencapainya, karena KKP dapat:

Melarang penangkapan: Untuk spesies langka atau ditangkap berlebihan, larangan tangkap dapat memberikan perlindungan penting; larangan dapat sementara (sementara populasinya mengalami pemulihan), atau permanen (untuk spesies sangat langka). Biasanya, hewan yang paling berisiko adalah yang membutuhkan beberapa tahun untuk mencapai kematangan berbiak, dan/atau dengan tingkat reproduksi rendah (yaitu beberapa keturunan yang jarang) seperti ikan coelacanth (dianggap sudah punah, tetapi lalu ditemukan kembali), serta duyung, lumba-lumba, paus, dan hiu. Oleh karena itu, Indonesia baru-baru ini melarang penangkapan ikan pari manta, dan negara-negara lain melarang penangkapan hiu sepenuhnya (tidak ada izin tangkap di seluruh negeri, dan tangkapan ilegal dikenai denda besar). Apabila menjadi tangkapan sampingan dan mati, ikan ini harus diserahkan kepada ilmuwan untuk dipelajari, tidak dijadikan makanan atau produk lainnya. Karena mengawasi laut sulit, KKP memberikan tempat berlindung bagi hewan-hewan ini, dan dapat membantu melindungi populasi yang sehat sehingga mereka dapat pulih dari penurunan.

Melindungi habitat: Selain melarang penangkapan spesies terancam, melindungi habitat mereka juga penting sehingga ada tempat berlindung yang aman untuk berkeliaran, mencari makan, dan bersembunyi di semua tahap siklus hidup mereka. Pedoman umum adalah melindungi 20 hingga 30 persen habitat (lebih jika mungkin) dengan mengklasifikasikan daerah-daerah kunci sebagai ‘kawasan larang ambil’. Jika populasi sangat terancam, rekomendasinya adalah 30 hingga 40 persen. Daerah tempat spesies muda atau anakan lahir dan tumbuh harus dilindungi secara khusus, untuk memastikan

Melindungi Spesies Langka

Page 25: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Talking SEA No. 3 | 23

Oleh Stacey Tighe, Proyek USAID SEA.dan Terancam

Melindungi lokasi pembiakan/pemijahan

Banyak ikan memijah dalam lokasi yang terkait siklus bulan, dan selama ratusan tahun nelayan telah belajar untuk menyasar tempat ini, karena mereka dapat menangkap banyak ikan dalam satu kali melaut. Praktek ini membuat beberapa pemijah terbesar (dan paling produktif) diambil dari populasi dan, setiap tahunnya, makin sedikit ikan yang memijah. Bahkan spesies yang memiliki banyak keturunan, atau melepaskan banyak telur, membutuhkan perlindungan untuk anakan mereka. Karena itu, penting sekali melindungi lokasi pemijahan ini dari penangkapan. Selama terjadi pemijahan yang signifikan (seperti pemijahan ikan kerapu atau karang), aktivitas harus dibatasi untuk menghindari gangguan pada proses pemijahan, dan untuk menghindari kerusakan pada larva/telur saat mereka hanyut di air.

Tidak hanya di air, pesisir juga penting untuk pembiakan penyu dan burung laut, dan keadaan alaminya perlu dipertahankan. Pembangunan pesisir sering merusak pantai tempat penyu membuat sarang, dan tempat berbiak dapat terganggu oleh pemburu dan pengumpul, sehingga daerah ini penting untuk dilindungi. KKP dapat membuat wilayah berbiak di air maupun di sepanjang garis pantai sebagai zona ‘larang ambil’, baik permanen atau setidaknya selama musim kawin.

Melindungi habitat kelahiran dan remaja

Anakan spesies perlu perlindungan selama fase juvenil dan rentan. Wilayah terumbu karang dan bakau sangat penting bagi anakan spesies laut. Banyak hiu, misalnya, melahirkan di daerah bakau, di mana anakan dapat makan mangsa kecil dan terlindungi sampai dapat menangkap mangsa yang lebih besar di laut. Bakau juga merupakan tempat aman bagi berbagai ikan karang dan sejumlah ikan pelagis muda (terekam dari: dulu saya biasa menangkap anakan barakuda dalam jaring di hutan bakau saya). Oleh karena itu, pedoman umumnya adalah melindungi 20 hingga 30 persen wilayah kunci untuk juvenil, tanpa penangkapan, serta melindungi habitat dari polusi, pengambilan, dan kegiatan ekstraksi lainnya. KKP dapat melakukan hal ini dengan memasukkan habitat yang sangat penting ini dalam zonasi agar anakan dapat tumbuh dengan aman.

Melindungi daerah tempat hidup

Dalam peralihan dari masa muda ke dewasa, banyak spesies terancam punah memerlukan habitat dan kondisi tertentu untuk tetap hidup, dan ini juga perlu dilindungi. Misalnya, kuda laut tertentu seumur hidup tinggal pada satu kipas laut (sea fan). Mereka dapat

ditemukan di sana setiap hari dan menjadi sasaran empuk para

kolektor, dan hanya mengandalkan kamuflase untuk perlindungan. Dalam

situasi seperti itu, adanya aturan larang ambil sangat penting, tetapi perlindungan dari ancaman yang

lebih luas (seperti penetapan jarak minimum penyelam wisata SCUBA dapat mendekati kipas laut sehingga penyelam pemula tidak dapat tanpa sengaja menghancurkannya dengan tendangan) juga tidak kalah penting. Begitu pula, untuk penyu hijau dan duyung, yang membutuhkan lamun sehat untuk makan, tidak boleh ada aktivitas di kawasan lamun yang bisa membuat jangkar atau jaring terseret di sepanjang dasar laut dan merusak lamun. Selain itu, kawasan tersebut perlu dilindungi dari pembangunan pesisir (yang mungkin, misalnya, mengubah padang lamun menjadi bar atau restoran). Pembatasan ini dapat diterapkan melalui peraturan zonasi KKP.

Itu adalah beberapa cara KKP dapat melindungi spesies yang langka atau terancam. Namun, ini hanya dapat berfungsi jika KKP dikelola secara efektif. Dibutuhkan staf yang berpengetahuan untuk melakukan patroli, melindungi, dan merawat spesies langka dan terancam, dan peraturan larang ambil harus ditegakkan secara ketat, dengan hukuman berat bila dilanggar. Ketika berhasil, wisata yang dikelola dengan cermat untuk melihat spesies langka juga dapat menghasilkan pendanaan berkelanjutan untuk pengelolaan KKP. #

bahwa mereka dapat tumbuh cukup kuat untuk bermigrasi dengan induknya atau bertahan hidup sendiri. Jika dikelola dengan baik, suaka alam seringkali dapat memperoleh dukungan ekonomi melalui pariwisata yang dikelola dengan cermat dan/atau dari masyarakat internasional.

Page 26: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

MANTA TOW

S E A Fakta CepatDalam dua tahun pertama Proyek SEA

USAID, para penyelam SCUBA melakukan survei habitat dan spesies laut di

lokasi sasaran sebanyak 3.097 kali!Ini termasuk 1.372 transek yang disurvei

dengan manta tow, diikuti 1.149 transek untuk menilai habitat terumbu, dan 576 survei

ikan karang. Selain itu, dilakukan 11 survei agregasi pemijahan dan 39 survei lamun.

24 | Talking SEA No. 3

Sapi Laut yang Setia

Lautan Indonesia adalah tuan rumah bagi mamalia unik yang nampak seperti pemalas yang dikenal sebagai duyung

(Dugong dugon). Sering disebut sebagai ‘sapi laut’, hewan ini memakan lamun dan suka tidur dan beristirahat (dan sering mereka lakukan!) terombang-ambing di muka air.

Tumbuh hingga sepanjang tiga meter, dan mencapai berat 500 kilogram, hewan besar ini suka hidup di perairan pantai yang hangat, terutama teluk-teluk yang tenang, tempat mereka dapat menemukan padang lamun untuk mencari makan. Sebagai mamalia, mereka perlu menghirup udara di permukaan laut, tetapi mampu berada di bawah air, merumput dengan riang, hingga enam menit.

Legenda menyatakan hewan-hewan ini secara historis mungkin keliru dianggap ‘putri duyung’, ketika mereka bersantai di muka air, ‘lengan’ mereka terlipat dalam posisi berbaring, tetapi mampu dengan cepat menyelam ke dalam air dengan kibasan ekor. Mata mereka juga mirip mata manusia, dan menghasilkan ‘air mata’, makin menambah mistiknya. Mungkin yang paling menarik, duyung memiliki hubungan monogami, setia kepada pasangan seumur hidup, seperti pasangan yang sudah menikah, dan berkomunikasi satu sama lain dengan bahasa rumit semacam kicauan, cericit, gonggongan, dan bunyi seperti peluit.

Duyung mencapai kematangan sekitar usia sepuluh tahun dan memiliki harapan hidup hingga 70 tahun. Ketika memiliki anak, kehamilan duyung berlangsung satu tahun penuh, dan ketika anaknya lahir, ia membentuk ikatan yang kuat dengan induknya, yang biasanya tinggal bersamanya selama 18 bulan pertama kehidupan.

Oleh Asri Lestari, Proyek USAID SEA.

Sebagai perenang yang lamban, hewan besar ini menghadapi ancaman dari pemangsa seperti hiu, paus pembunuh, dan buaya. Namun, ancaman terbesar mereka adalah manusia. Bukan hanya padang lamun tempat mereka mencari makan menghilang dengan kecepatan yang mengkhawatir-kan karena pembangunan pantai, ekstraksi, dan polusi, tetapi kebiasaan mereka beristirahat di muka air membuat mereka berisiko tinggi tertabrak kapal atau terkena baling-baling mesin. Tak hanya itu, para pedagang yang tidak etis juga menangkap mereka untuk dijual di pasar gelap, ke kebun binatang pribadi dan pedagang barang antik.

Pada pertengahan 1990-an, diperkirakan populasi duyung di Indonesia telah berkurang dan tersisa hanya 1.000 ekor. Dewasa ini, duyung diklasifikasi- kan ‘rentan’ terhadap kepunahan, dan kita tidak tahu berapa banyak yang masih tersisa. Yang kita ketahui adalah bahwa duyung adalah hewan langka dan istimewa, dan mereka perlu secara aktif dilindungi di mana pun masih bertahan. ##

Foto: Depositphotos.com

Page 27: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Talking SEA No. 3 | 25

Pada bulan Agustus 2018, sebuah lomba foto diluncurkan oleh ‘Friends of the SEA’ dan diikuti peserta dari seluruh Indonesia. Dari foto-foto menakjubkan yang diterima, dua (lihat di bawah) dinyatakan sebagai pemenang oleh juri (fotografer dok-umenter terkenal, Tantyo Bangun). Keduanya- Fahreza Ahmad dan Adiprayogo Liemena - mendapatkan kesempatan mengunjungi salah satu lokasi Proyek USAID SEA untuk memotret lingkungan yang menakjubkan dan menangkap gambar kegiatan proyek.

Diambil di Teluk Lhok Seudu (di desa Teupin Layeu, Kabupaten Aceh Besar), foto ini menangkap nelayan yang kembali ke pantai dengan banyak ikan. Di wilayah ini, nelayan palong umumnya mulai menangkap ikan dini hari, berangkat ke laut sekitar pukul 2.30 pagi. Teknik palong memakai alat manual sederhana (jaring dan lampu untuk menerangi air untuk menangkap ikan), dan tiap perahu umumnya mengangkut hingga empat orang, dengan dua perahu bekerja bersama mengoperasikan alat tangkap.

Sasaran mereka biasanya adalah ikan teri (seperti tampak di sini), tetapi mereka juga menangkap cumi-cumi atau ikan lain yang berkelompok. Karena tidak membawa es untuk mengawetkan ikan, setelah matahari mulai naik, mereka kembali ke pantai untuk menjual hasil tangkapan di Rumah Lelang Lhok Seudu. Dari sana, ikan langsung diasinkan dan diproses, yang menghasilkan sebagian dari ikan asin berkualitas tertinggi di Provinsi Aceh.

Di foto yang diambil di Alor, Nusa Tenggara Timur, ini terlihat perangkap ikan tradisional (‘bubu’). Bubu, dalam berbagai bentuk, diperkirakan telah ribuan tahun digunakan nelayan di Indonesia. Bubu secara tradisional terbuat dari bambu, dan dianyam dengan corong untuk menangkap ikan dan krustasea. Biasanya ditempatkan di daerah terumbu, pada kedalaman hingga enam meter, sehingga nelayan dapat dengan mudah berenang ke bawah untuk meletak- kan, dan kemudian mengambilnya. Sayang, kalau penempatannya kurang benar, bubu dapat merusak karang yang rapuh, dan para nelayan didorong untuk menempat-kannya di daerah berbatu atau berpasir.

Pada umumnya nelayan ‘menandai’ letak perangkap mereka dengan pelampung atau pengapung. Tetapi di Alor nelayan sering meninggalkan perangkap tanpa tanda, hanya mengingat di mana mereka meletakkannya. Walaupun perangkap diletakkan relatif dekat dengan pantai dan dekat tanda yang dikenal, tetap saja untuk menemukannya lagi bukanlah pekerjaan yang mudah, seperti halnya kembali ke tempat tertentu di laut tanpa bantuan navigasi sama sekali. Hal ini menunjukkan keterampilan nelayan Alor maupun keakraban serta hubungan mereka yang dalam dengan laut di sekitar mereka.

Pemenang lomba foto

SELAMAT kepada Fahresa & Adiprayoga !

Kembali Pulang

Fahreza Ahmad

Bubu

Adiprayogo Liemena

Page 28: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

26 | Talking SEA No. 3

Indonesia memiliki lingkungan laut yang san-gat istimewa. Fokus yang kuat pada pengelo-laan laut tingkat nasional yang dipraktikkan di

Indonesia dan masyarakat global selama lebih dari dua dekade. Hal ini sangat penting dilakuk-an saat kita menghadapi tantangan peningkat- an populasi manusia, berkurangnya sumber daya, perubahan iklim, dan ancaman lainnya.

Pemerintah pusat memiliki posisi yang paling baik untuk mengatasi ancaman eksternal, seperti pen-angkapan ikan asing dan ilegal, dan masalah-masalah lingkungan global. Namun, sejarah telah menun-jukkan bahwa adalah orang-orang di lapangan - masyarakat setempat dan pemangku kepentingan pesisir - yang pada akhirnya mendukung atau meng-hambat upaya konservasi. Karenanya, pendekatan gabungan - menggunakan desain, pembangunan, dan strategi pengelolaan ‘top-down’ dan ‘bottom-up’- sangat penting untuk mencapai konservasi laut.

Artikel-artikel dalam dokumen ini memberikan pandangan sekilas ke banyak elemen yang men-dukung KKP. Secara bersama-sama, komponen- komponen ini dapat membantu menciptakan dan mengoperasikan KKP yang efektif di Indonesia.

Kebijakan dan tata kelola: Kerangka kerja kebijakan dan peraturan yang logis, didukung den-gan ilmu pengetahuan dan pengalaman terkini, merupakan dasar dari tata kelola KKP yang baik. Tahun ini pekerjaan untuk merevisi dan menginte-grasikan peraturan konservasi laut melalui Ke-menKP memiliki potensi besar untuk revitalisasi program di tahun-tahun mendatang. Tantangan utama sekarang adalah untuk terus memperkuat kemampuan pemerintah provinsi untuk mengambil tanggung jawab baru mereka mengembangkan dan mengelola KKP. Yang juga sudah siap untuk inovasi dan upaya adalah pengembangan kemitraan yang kuat bagi masyarakat, individu, universitas, sektor bisnis swasta, dan lembaga pemerintah, untuk men-ciptakan jalinan halus antara sumber daya dan jasa lingkungannya, serta kapasitas dan pengguna, untuk menanamkan KKP yang efektif ke dalam lemba-ga-lembaga Indonesia.

Pengembangan kapasitas: Meskipun pen-ingkatan kapasitas adalah satu elemen terpenting dalam manajemen yang efektif, hal tersebut sangat sulit untuk dilakukan dengan baik, dan membutuh- kan dukungan kepada pemerintah dan pengguna

sumber daya selama beberapa generasi. Proyek SEA bekerja untuk melembagakan pengembangan kap- asitas dalam organisasi seperti pegawai negeri sipil pemerintah, universitas, LSM, dan masyarakat. Indo- nesia telah mencapai banyak kemajuan, dan seka-rang menghasilkan staf terlatih yang dapat bergab- ung dengan provinsi dalam mengelola KKP mereka. Jejaring belajar dan media sosial juga menyediakan sarana untuk mempercepat pembelajaran inovatif di antara sesama rekan. Yang dibutuhkan sekarang ada-lah platform yang lebih terintegrasi untuk memban-tu meningkatkan penggunaan alat-alat ini, dan waktu untuk melakukan pelatihan yang berkelanjutan.

Pengelolaan bersama masyarakat: Seperti diketahui, masyarakat adalah kunci! Dua aspek yang dibahas di sini sangat penting dalam memelihara sumber daya laut untuk kepentingan masyarakat setempat yang bergantung pada sumber daya terse-but: (1) POKMASWAS mungkin menyediakan cara yang tercepat dan paling efektif untuk mendor-ong kepatuhan terhadap peraturan KKP setempat, meskipun bisa sulit untuk membangunnya dan membutuhkan waktu dan sumber daya; (2) Pen-dekatan pengelolaan adat memberdayakan masyarakat untuk melindungi warisan alam mereka, seringkali berhasil dengan baik di tingkat daerah, meskipun agak sulit untuk diadopsi dan dikem-bangkan pada skala yang lebih besar. Indonesia, lebih dari banyak negara lain, mengakui pendekatan pengelolaan bersama masyarakat ini dan mengalami peningkatan jumlah program untuk mendukungnya.

Spesies langka dan terancam punah: KKP secara tradisional dikenal sebagai daerah me- le-starikan spesies khusus atau terancam. Selain kon-trol pasar (mis. peraturan terhadap pengambilan, pembelian, penjualan, impor, atau ekspor spesies ini) KKP berfungsi sebagai alat terbaik untukmemasti-kan kelang- sungan hidup mereka, terutama ketika didirikan dalam kemitraan dengan masyarakat se-tempat yang tahu di mana hewan-hewan ini berada, dan yang ingin melindungi mereka. KKP diharapkan bisa membantu membangun kembali populasi yang terancam punah melalui perluasan zona larang ambil, pendidikan, dan penegakan hukum.

Pembiayaan KKP dan ekowisata: Pem-biayaan KKP dapat berupa berbagai mekanisme, termasuk pendanaan pemerintah, dana abadi, iuran pengguna, dan pariwisata. Seiring pertumbuhan pari- wisata di seluruh dunia, wisatawan dan pengelola sumber daya perlu mendesak agar kita mengikuti ‘prinsip pariwisata berkelanjutan’, dan

KKP di Indonesia: Menatap ke Depan Oleh Stacey Tighe, Proyek USAID SEA.

Page 29: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Talking SEA No. 3 | 27

menjaga stan- dar ekowisata di dalam KKP setinggi mungkin. Tetapi, kuncinya adalah masyarakat: pariwisata bisa mem-bawa pengunjung ke rumah penduduk setempat, jalan, dan pantai, dan meminta penduduk setempat berbagi sumber daya alam mereka yang berharga. Inovasi untuk pembiayaan untuk ekowisata dapat dilakukan, dari crowdfunding sampai jejaring pembelajaran media sosial.

Penelitian: Meskipun tidak banyak dibahas dalam dokumen ini, penelitian dalam konservasi laut membutuhkan dukungan dan pendanaan yang kuat, tanpa batas. Dalam proses pemetaan ancaman dan sasaran konservasi, kita berhadapan dengan ketidak- pastian: Apakah pantai A atau B tempat bersarang yang lebih penting untuk dilindungi dulu? Di mana saja lokasi pemijahan? Penelitian sangat penting untuk memahami suatu wilayah dan dampak manusianya, serta mempelajari cara terbaik untuk melindungi ekosistem demi integritas dan jasanya. Universitas-universitas di Indonesia menghasilkan para ilmuwan untuk menjawab pertanyaan-pertan-yaan ini, tetapi lebih dari itu diperlukan program yang mendukung penelitian KKP.

Dr. Alan White memulai newsletter ini dengan menyarankan tiga kunci untuk mendukung KKP yang efektif – jadi bagaimana kondisi KKP saat ini dan bagaimana selanjutnya?

KKP yang dirancang dengan baik dan dikelola secara efektif. Kita sekarang telah memiliki pemahaman yang baik tentang bagaimana merancang KKP. Peraturan baru di Indonesia akan memberikan pedoman yang jelas, dan pada awalnya akan diterapkan di ke-15 KKP dalam portofolio Proyek USAID SEA. Tetapi ada 31 provinsi lain dan lebih dari 100 KKP lain di Indonesia. Untungnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong mereka untuk meninjau kembali dan merevisi de- sain dan zonasi mereka agar dapat lebih baik dalam mengatasi masalah konservasi dan perikanan. Be- berapa program dalam dua dekade terakhir telah menghasilkan contoh-contoh praktik yang baik dan model pengelolaan KKP yang efektif. Kita sekarang membutuhkan upaya yang besar untuk dapat mem- peroleh pengalaman yang lebih banyak dalam meng- operasikan KKP, menstandarkan pengembangan dan pendekatan pengelolaan KKP untuk konteks Indonesia, dan membangun tenaga teknis dan peng- elolaan yang memadai, terutama di tingkat provinsi. Rencananya adalah membantu KKP untuk ‘naik kelas’ dari pengembangan masing-masing KKP, ke je-

jaring KKP, yang dapat lebih melindungi tujuan kon-servasi sepanjang masa hidup dan habitat mereka.

Sistem pemantauan, evaluasi, dan ump-an balik. Tidak ada jejaring KKP atau KKP yang dapat dianggap ‘dikelola dengan baik’ tanpa peman-tauan sumber daya alam dan penggunaannya secara terus-menerus. Upaya pemantauan kuantitatif dan kualitatif perlu dimasukkan ke dalam pengelolaan adaptif suatu daerah, seperti halnya hasil penelitian yang menginformasikan kepada kita tentang tren lokal dan global. Pendekatan terhadap pengelolaan ini masih baru di Indonesia, dan sebagian besar ber-basis lokasi, serta masih dalam proses institusional- isasi. Namun, program-program ini menjanjikan dan hanya membutuhkan fokus yang berkelanjutan, up- aya, waktu, dan sumber daya yang stabil untuk berkembang.

Integrasi faktor sosial ekonomi yang mendukung KKP. Salah satu alasan kega-galan KKP yang paling umum adalah konflik sosial atas penggunaan sumber daya. Para pemangku ke- pentingan setempat dan kebutuhan mereka HARUS diintegrasikan ke dalam desain program KKP sejak awal, membangun kepercayaan dan keterlibatan untuk memberdayakan masyarakat untuk secara kolaboratif mengelola suatu wilayah. Kita telah melihat kemajuan dalam bidang ini di Indonesia selama dua dekade terakhir, tetapi studi kasus dan penelitian ilmiah tidak selalu digunakan oleh praktisi ilmiah yang ditugasi merancang KKP. Dibutuhkan tim ahli yang terintegrasi - dari bidang sains, ilmu sosial, ekonomi, dan tata kelola - untuk membuat semuanya berfungsi. Indonesia memiliki ratusan KKP, dan semuanya saat ini menghadapi transisi tata kelola ke provinsi-provinsi. Transisi ini akan menyebabkan frustrasi besar, tetapi juga peluang-peluang yang hebat untuk pengelolaan dan inovasi - khususnya bila kita dapat menemukan cara untuk mendesentralisasi tindakan pengelolaan kunci kepada pemerintah dan masyarakat setempat.

Pengingat terakhir adalah bahwa semua yang terli-bat dalam KKP bekerja sebagai tim.

Ini adalah era baru tata kelola dan pengelolaan KKP di Indonesia, dan kita memiliki dasar yang kuat dan potensi

besar untuk menunjukkan kepada dunia bagaimana kita dapat berhasil

mengembangkan dan mengoperasikan KKP.

Foto: M Welly / CTC

Silakan menjelajahi situs web USAID SEA (www.sea-Indonesia.org) untuk informasi lebih lanjut dan untuk mengakses salinan online dokumen dan laporan USAID SEA

Page 30: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

28 | Talking SEA No. 3

Mendukung penciptaan insentif bagi nelayan tuna (huhate dan pancing ulur) untuk mendorong

praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan, keterampilan tingkat lanjut, dan kemajuan menuju sertifikasi MSC di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715.

Lokasi: Pelabuhan perikanan di Maluku, Maluku Utara, Papua Barat

Memberikan manfaat sosial dan ekonomi langsung kepada masyarakat setempat melalui pengembangan

atau peningkatan usaha masyarakat, termasuk pariwisata berbasis alam.

Lokasi: Maluku Utara (Morotai, Mare)

Dengan fokus pada perikanan ikan teri, UKIP mendukung penelitian, desain intervensi

perikanan, dan pengelolaan perikanan berkelanjutan di daerah sasaran.

Lokasi: Papua Barat (Misool, Teluk Kabui)

Mendorong peningkatan tata kelola sumber daya ikan terbang di daerah sasaran, pekerjaan UNIPA meliputi

penelitian dan pelibatan masyarakat untuk meningkatkan keberlanjutan perikanan, serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

Lokasi: Papua Barat (Fakfak)

Dengan fokus pada Maluku Utara, pekerjaan WCS meliputi: mengkoordinasikan kegiatan dengan

lembaga pemerintah Maluku Utara; melakukan penelitian perikanan; dan mendukung desain intervensi dan implementasi untuk EAFM; menangani praktik penangkapan ikan yang merusak dan perdagangan satwa liar ilegal; mendukung pembentukan dan pengelolaan KKP yang efektif; mendorong penegakan hukum dan peningkatan kapasitas di tingkat provinsi.

Lokasi: Maluku Utara (Morotai, Ternate, Tidore, Mare, Guraici, Weda, Widi)

Mereformasi pengelolaan perikanan melalui penetapan hak pengguna teritorial untuk perikanan (TURF) untuk mendorong

perubahan perilaku dalam masyarakat sasaran agar dapat meningkatkan produktivitas perikanan dan memajukan mata pencaharian berkelanjutan.

Lokasi: Papua Barat (Teluk Mayalibit, Selat Dampier)

Dengan fokus pada perikanan pelagis besar (tuna), tugas-tugas MDPI meliputi: mendorong insentif melalui Fair Trade dan skema-skema terkait untuk penerapan praktik EAFM; mendukung penelitian, desain, dan pengelolaan untuk perikanan berkelanjutan; membentuk forum dan membangun keterampilan.

Lokasi: Maluku Utara (Kayoa, Bisa, Bacan], Sula); Maluku (Sawai, Parigi, Bula)

Menerapkan intervensi multi-level di dalam Proyek SEA, pekerjaan WWF meliputi: mengkoordinasikan kegiatan di Papua Barat; melakukan penilaian

perikanan; memajukan desain dan pelaksanaan Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan (EAFM) melalui Proyek Peningkatan Perikanan dan mekanisme insentif yang lebih luas; mendukung pengelolaan KKP yang efektif; memajukan wisata bahari berkelanjutan di seluruh lokasi; serta meningkatkan keterampilan dan kapasitas di berbagai tingkatan.

Lokasi: Maluku Utara (Ternate, Tidore, Weda); Maluku (Sawai, Koon, Kepulauan Buano); Papua Barat (Sorong Selatan, Sorong, Bintuni)

Kegiatan di dalam Proyek USAID SEA dipimpin oleh Tetra Tech, dan dilaksanakan oleh konsorsium mitra di tingkat nasional, regional, dan lokal.

Mitra

Memajukan pengembangan kapasitas untuk mendukung desain, pembentukan dan pengelolaan KKP yang efektif, pekerjaan CTC meliputi: pelatihan dan pengembangan keterampilan multi-level; mendorong pelibatan masyarakat setempat dan pemberdayaan para pelopor KKP; mendukung desain lokasi KKP yang efektif; mendorong pengelolaan spesies.

Lokasi: Maluku Utara (Sula); Maluku (Buano, Lease, Ay-Rhun)

Membangun jaringan wilayah laut yang dikelola secara lokal;

membangun keterampilan untuk meningkatkan tata kelola masyarakat; memajukan hak tenurial dan inisiatif mata pencaharian untuk mendorong pengelolaan perikanan berkelanjutan.

Lokasi: Maluku (Seram Barat, Maluku Tengah)

Mendukung desain, pembangunan, pembentukan, dan pengelolaan bersama KKP baru di wilayah sasaran.

Lokasi: Papua Barat (Fakfak)

Mendukung pembangunan jejaring KKP untuk setiap provinsi dan di seluruh WPP 715, serta membangun kapasitas dalam aspek teknis desain KKP sebagai alat pengelolaan perikanan.

Lokasi: WPP & di seluruh provinsi

Dengan fokus pada pengembangan dan pemanfaatan metodologi tingkat pengembalian ekonomi (ERR) yang telah disesuaikan sebagai alat untuk pemodelan pola penggunaan dan pertimbangan ekonomi di daerah sasaran, pekerjaan Marine Change bertujuan untuk mengoptimalkan keputusan investasi seputar perikanan maupun pariwisata berkelanjutan.

Lokasi: Maluku Utara (Morotai, Mare, Widi); Maluku (Sawai, Sewa)

Page 31: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

Talking SEA No. 3 | 29

!

!

!!

!!

!

!

!!

!

!

!

!

!

!

!

!!

!

!

!

!

!

!!

!

!

!

! !

!

Man

ado

Am

bon

Man

okw

ari

Tern

ate

M A

L U

K U

Pap

ua

Hal

mah

era

Ser

am

Mor

otai

Bur

u

Talia

bu

Sula

wes

i

010

020

050

km

_̂ !!

Dip

rodu

ksi o

leh

SSIC

.

Ibuk

ota

prov

insi

Loka

si P

erik

anan

uta

ma

Proy

ek S

EA U

SAID

Loka

si K

KP

Proy

ek

SEA

USA

IDW

PP71

5

LOK

ASI

PR

OY

EK

USA

ID S

EA

: M

ALU

KU

UT

AR

A,

MA

LUK

U,

DA

N P

AP

UA

BA

RA

T

MO

RO

TAI

KAY

OA

Saw

aiBU

ANO

FAK

FAK

DAM

PIER

MAY

ALIB

IT

BIN

TUN

I

SO

RO

NG

SELA

TAN

TID

OR

ETE

RN

ATE

WED

A

BISA

/ O

BI

PAR

IGI

SOR

ON

G

KAB

UI

BULA

KOO

N-N

EID

EN

MIS

OO

L

Mar

e

Wid

i

Gur

aici

Deh

egila

-Rao

Sum

ali

Ay-

Rhu

n

Leas

eN

usal

asi

Sela

t D

ampi

er

Bua

no

Koo

n-

Nei

den

Bin

tuni

So

rong

Sela

tan

SAW

AI

Mak

ian!

L a

u t

M a

l u

k u

L a

u t

B a

n d

aL a

u t

S e

r a

m

B A

R A

TP

A P

U A

U T

A R

AM

A L

U K

U

Tel

uk M

ayal

ibit

Tel

ukB

erau

Page 32: newsletter Talking SEA · yang unik, tahapan siklus hidup spesifik lokasi (seperti agregasi pemijahan), atau aset budaya yang unik (mis. kapal karam, atau wilayah yang signifikan

30 | Talking SEA No. 3

Talking SEA:Publikasi untuk para praktisi perikanan dan konservasi laut ini diterbitkan dua kali setahun oleh Proyek USAID SEA (2016 - 2021). Proyek ini dilaksanakan oleh Tetra Tech dengan konsorsium 13 mitra pelaksana. Proyek ini mendukung Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan tata kelola dan pengelolaan berkelanjutan perikanan dan sumber daya laut, dan untuk melestarikan keanekaragaman hayati di tingkat lokal, kabupaten, provinsi, dan nasional.

Talking SEA diterbitkan dengan dukungan USAID sebagaimana yang tercantum dalam kontrak no. AID-497-C-16-00008. Talking SEA didistribusikan tanpa biaya kepada pemangku kepentingan dan pihak lain atas permintaan. Artikel dapat dikutip atau direproduksi dalam publikasi lain dengan menyebutkan sumbernya.

Editor : Alan WhiteEditor Pelaksana: Eleanor CarterAsisten Editor : Stacey Tighe, Ely Andrianita, dan Tiene GunawanDesain, Tata Letak, dan Grafik: Laura Kola dan Mochammad TopandiPenerjemah: Adrian Coen dan Eni Sulistyo Rini

Komentar dan korespondensi akan diterima dengan senang hati dan dapat dialamatkan ke:Editor, Talking SEA, Sona Topas Tower, Lantai 16,Jl. Jendral Sudirman Kav. 26, Jakarta 12920, IndonesiaTelepon: + 62-21-2506262; Email: [email protected]

PERNYATAAN:Newsletter ini dimungkinkan dengan dukungan kemurahan hati Rakyat Amerika melalui USAID dengan kerja sama erat dari Pemerintah Indonesia. Isi dari publikasi ini adalah tanggung jawab Tetra Tech dan tidak selalu mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

Kantor Proyek USAID SEA:Sona Topas Tower Lantai 16Jl. Jendral Sudirman Kav.26

JAKARTA 12920, INDONESIAwww.sea-indonesia.org

@USAIDSEAWave elemen diciptakan oleh Starline - Freepik.com