POLA-POLA HIAS TOPENG (KEDOK), SUATU KAJIAN FUNGSIONAL Haris Sukendar Keywords: mask; functions; ornament; ethnography; ethnoarchaeology How to Cite: Sukendar, H. (1988). Pola-Pola Hias Topeng (Kedok), Suatu Kajian Fungsional. Berkala Arkeologi, 9(2), 32-55. https://doi.org/10.30883/jba.v9i2.529 Berkala Arkeologi https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/ Volume 9 No. 2, September 1988, 32-55 DOI: 10.30883/jba.v9i2.529
25
Embed
New POLA-POLA HIAS TOPENG (KEDOK), SUATU KAJIAN … · 2020. 3. 5. · Pola hies topeng waruga sam bagian ditemukan berbeda kedok ·pada wa r.uga bagian-bagian lengkap baik dan telinga
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
POLA-POLA HIAS TOPENG (KEDOK), SUATU KAJIAN FUNGSIONAL
POLA-POLA HIAS TOPENG (KEDOK), SUATU KAJIAN FUNGSIONAL
. Oleh : Haris Sukendar
L PEM>AH.LUAN
Pola hias kedok (topeng) di Indonesia muncul sejak masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut (epipaleolitik) (Van Heekeren, 1972). Munculnya pahatan kedok pada masa tersebut ditandai dengan bentuk-bentuk muka manusia yang digambarkan pada ceruk-ceruk gua karang.
Bentuk-bentuk kedok pada waktu itu masih sederhana dan tampak distilir. Pola-pola hias kedok tersebut berkembang dan hidup terus pada masa bercocok tanam (neolitik), masa perundagian (logam), dan pada tradisi megalitik. Khususnya pada tradisi megalitik, pola hias ini berkembang sangat subur, dengan variasi yang cukup banyak. Pada masa perundagian, pola-pola hias muka manusia ditemukan pada gerabah (Van Heekeren, 1958; Tatik Sujati, 1984), di samping itu ditemukan pula pada benda-benda logam seperti pada kapak-kapak upacara dari perunggu, nekara-negara perunggu, dan moko.
Pola-pola hias kedok merupakan pola hias yang bersifat universal dan ditemukan tersebar hampir di seluruh dunia, antara lain di Eropa, daratan Asia, Indonesia, dan Pasifik (Van Heekeren, 1972; Peter Belwood, 197 8; E. James, 1962; Tom Harrison, 19 59; Walter Kauder, 1938; R.P. Soejono, 1977).
Persamaan-persamaan ide yang muncul dari nenek moyang manusia pada masa prasejarah di berbagai daerah di seluruh dunia tentunya tidak harus berarti adanya dlftai atau persebaran kebudayaan, tetapi dapat terjadi adanya kebersamaan dalam pola pemikiran terhadap salah satu bentuk kepercayaa·n •ipernaturaL Hal
32
Di Arguni, Irian Timur (Papua Nugini) ditemukan pola-pola hias topeng dengan bentuk-bentuk yang aneh, di antaranya adalah kadal (bengkarung) yang mukanya dipahatkan dengan topeng yang menggambarkan muka manusia (Gambar 1 ).
Gambar 1. Pola hias topeng dari Arguni, lrian Timur (Papua Nugini) ,
b. Kedok (topeng) dari masa bercocok tana m
Pola hias to peng pada masa be rcocok tanarri (neolitik) ditemukan pada beberap a puncak . kendi yang dit emuka n di situs Melolo .. Van Hee keren ( 197 7: 191) me 'rnasukkan situ s ini ke dalam peri ode neoi iti ke
Beberapa kendi Me lolo, Sumba Tir nur , terutan1a bagian pun ca knya dih iasi dengan be rbagai be ntuk t openg yang semuanya digambarkan tanpa telinga. Mat a digambarkan dalam berbaga i bentuk antara lain ova l, dan berupa gar is lurus. Begi tu juga hi dung dan mulut digambarkan dalam bentuk yang bervariasi. Pola hias tersebut dibuat dengan cara gores (incised). Pola-pole
Berkala Arkeologi IX ( 2 ) 33
1n1 jelas dapat dimengerti, karf:na dalam keh_idupan rnasa prasejarah banyak dihadap1 tantangan ,(11 luar j'angkauan pemikiran mereka. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan supernatural itulah yang melandasi munculnya ide untuk menciptakan suatu bentuk kepercayaan yang dianggap dapat memberi kekuatan unt~k melawan kekuatan supernatural yang mengganggu keh1-dupan mereka.
Pola hias kedok pada masa prasejarah digarnbarkan dalam berbaqai bentuk, antara lain terdiri dari
mata dan mulut (Van Heekeren, 1972), hidung dan mata seperti yang terdapat pada menhir Sumatera Barat, ma ta dan mulut yang digayakan (Peter Belwood, 1979, ha l. 26 7), gambar lengkap dengan alls, hidung, mata, mulut, tanpa telinga (Peter Belwood, 1978: 245; Walter Kaudern, 1938: 107), dan gambar mata, hldt.alg, alls, t anpa telinga dan mulut (Walter Kaudern, 1938: 109-111 ).
Dengan bukti-bukti tersebut di atas maka jelas ba hwa penggarnbaran muka manusia (topeng) dari pertode yang berbeda dan bentuk yang berbeda pada pr1nsipnya sama, hanya dalam penampilan secara detil rnen1punyai perbedaan-perbedaan yang tidak prinsip, dan hal ini terjadi karena keinginan dari masing-masing pembuatnya.
T ampaknya pola hias kedok ini terus berkembang sampai dengan masa-masa sekarang. Hal ini dapat dilihat pada situs-situs tradisi megalitik yang masih berlanjut seperti di Sumba Barat dan Sumba Timur yaitu pada kubul'.-~ubur dolmen. Berbagai pahatan yang menggambarkan muka-muka manusia banyak menghiasi kubur ba tu dolmen.
Pada living megalithic tradition atau pada situs tradisi megalitik yang masih berlanjut di daerah Timar Barat, khususnya di Lewalutas, ditemukan gambar-gambar muka manusia yang menghiasi pahatan-pahatan berbentuk tugu. Dengan ditemukannya pahatan-pahatan
34
muka manusia pads berbagai obyek dari masa praseJarah den living mrgeHthlc tradition, akan sangat membantu di dalam memberikan interpretasi. Dalam hal ini, studi analogi etnografi dapat diterapkan di dalam penelitlan tentang latar belakang pahatan atau lukisan topeng.
Sasaran yang ingi n dicapai di dalam penu lisa n ini adalah kejelasan tentang peranan atau fungsi lukisa n, pahatan, atau tonjolan muka manusia yang ber upa t openg di dalam masa prasejarah Indonesia .. Menging a t pahatan-pahatan atau lukisan topeng pada masa pra se jarah ditemukan pada benda-benda yang sudah tidak digunakan lagi dan sudah ditinggalkan oleh penduku ngnya , maka berbagai bukti dari living megalithic tradition dapat dipergunakan sebagai bahan perb~ndingan.
Topeng atau kedok sudah banyak dibahas oleh para ahli pada masa sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Dalam hal ini, para ahli lebih banyak mempergunakan istilah human figure atau human face. Ahli-ahli yang sudah membicarakan masalah topeng, antara lain Patricia R. Whittier dan Herbert L. Whittier (1974), Tom Harrissson (1959), Simone Waisbard (1978), May Veber (1978), Van der Hoop (1949), dan Walter Kaudern ( 1938).
II. DESKRIPSI BERBAGAI TOPENG (KEDOK) P ADA MASA PRASEJARAH
a. T openg (kedok) dari maaa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut (epi-paleolltik)
Di kepulauan Indones ia bagian timur, khususnya di kepulauan Kei dan di pedalaman Irian Jaya, bany_ak ditemukan berbagai pola hies topeng yang dilukiskan pada dinding gua karang. Pola hias topeng ini jugs ditemukan bersama~s ama gambar manusia dslam berbagai posisi den yang paling menarik adalah pole · hies manusia kangkang.
Berkala Arkeologi IX (2) 35
hies t ope ng a tau muka manusla ini di temukan pada kendi yang dlpergunakan sebagai bekal kubur (tt.ieral gift).
~
Beberapa pola hias topeng pada kendi tersebut mempunyai tanda-tanda seperti di bawah ini.
1. Mata bulat , hidung pesek dengan lubang kecil. Mulut berbentu k segitiga samakaki, telinga tidak di
. gambarkan. 2. Mata berbentuk sipi t (slanting), hi dung pesek tanpa
lubang, mulut berben t uk trapesium, dan telinga tidak digarnbarkan.
3. Mata bulat kecil, di atas kedua mata terdapat garis patah, mulut berbentuk belah ketupat, dan hanya salah satu telinga yang digambarkan, sedangkan telinga yang lain tidak jelas.
4. Mata bulat kecil, hidung bulat dan kedua lubangnya digambarkan dengan dua buah garis pendek vertikal. Mulut bulat dan dibelah oleh garis lurus di tengahnya. Motif lingkaran yang seolah-olah menggambarkan subang terletak pada kedua p1p1nya (Gambar 2).
Gambar 2. Beberapa po/a hias topeng pada puncak-puncak kendi dari Melo/a , Sumba.
36
Di Kalumpang, Sulawesi Selatan, Van Heekeren (1958) telah menemukan berbagai gerabah dengan pola hias geometris yang beraneka ragam antar lain deism bentuk meander, bulatan, segi empat, dan garis-garis lurus. Di samping itu ditemukan · pula pole hias topeng pada barang tanah liat dengan tanda-tanda mata bulat (tinggal sebelah), hidung · sempit dan panjang, mulut berbentuk setengah lingkaran, dan tanpa telinga. Pola hias pada barang tanah liat i tu tidak diketahui persamaan fungsinya dengan gerabah Melolo, karena tidak diketahui bentuk benda utuhnya.
c. Topeng (kedok) pada masa ·. peroodagian
Pola hias topeng pada masa perundagian terdiri dari berbagai bentuk yang dilukiskan pada berbagai artef ak perunggu, antara lain di temukan pad a kapak upacara, nekara perunggu, dan moko. Pola hias topeng · pada artef ak perunggu tersebut terdiri dari bentukbentuk yang digayakan dan kadang-kadang digambarkan secara tidak lengkap.
Pada nekara tipe Pejeng dari Pura Penataransasih di Bedulu di temukan pola hias topeng dengan mata bulat, hidung sempit panjang, alis berbentuk bulat sabit, memakai kumis, telinga panjang dengan anting besar sehingga lubang telinga memanjang (seperti wani ta Dayak), dan bibir tipis dengan mulut lebar (R.P.Soejono, 1972: foto 33; Van Heekeren, 1958).
Mako yang di temukan di pulau Alar, Nusa T enggara Timur, pada bagian badannya · ditemukan pola hias topeng dalam bentuk yang lebih sederhana, yaitu hanya digambarkan antara lain dengan mata bulat, mulut oval, hi dung sempi t berupa gar is ke bawah, dan · telinga tidak digambarkan (Van der Hoop, 1949; R.P. Soejono, 1977).
Sebuah kapak upacara yang di temukan di Ujung Pandang yang oleh R.P. Soejono dikelompokkan pada tipe IA, di temukan juga pahatan muka manusia pads
Berkala Arkeologi IX (2 ) 37
bagian lehernya. Pola muka manusia i tu dilukiskan dengan tanda-tanda mats sipit (alantlng), kening menonjol, hldung panjang aemplt dan agak melebar di bagian bawah, mulut berbentuk oval menyudut, dan pada pipi terdapat tonjolan yang menyerupai segitiga (R.P. Soejono, 1977; Van der Hoop, 1949).
Salah satu kapak upacara yang ditemukan di danau Sentani, Irian Jaya (tipe Soejono 1B) terdapat pola hias topeng yang sangat sederhana, hanya digambarkan hidung, mulut, alis, dan dahi. Mata dan telinga tidak kelihatan.
Di pulau Roti di temukan kapak perunggu tipe Soejono VIII, jenis Candl'asa, terdapat kedok yang menggambarkan muka manusia berbentuk sederhana.
Gambar 3. Sa/ah satu po/a hias topeng pada benda perunggu.
d. Topeng (kedok) pada masa berkembangnya tradisi megalitik
Pada masa berkembangnya tradisi megalitik, polapola hias topeng muncul pada peninggalan-peninggalan yang khususnya berkaitan dengan upacara-upacara penguburan. Pola-pola hias topeng di temukan pada berbagai peninggalan an tar a lain pad a waruga, kubur ba tu sekunder di Sulawesi Utara (Bertling, 1931 ), kalamba (stone Vat) dari Sulawesi Tengah (Walter Kaudern,
38
1938), sarkof agus (R.P. Soejono, 1977), kubur-kubur dolmen di Sumba (Haris Sukendar, 1983-1985) dan tugu batu di Timor Barat (Haris Sukendar, 1983).
Pola hias topeng (kedok) pada masa tradisi megalitik ini bersifat universal, sehingga tidak hanya terdapat di Indonesia saja tetapi ditemukan juga di lua r Indonesia. Untuk gambaran tentang bentuk-bent uk pola hias topeng pada peninggalan tradisi megali t ik akan diuraikan satu persatu seperti di bawah ini ..
Pola hies topeng waruga
Pola hias topeng ini di temukan pada bagian samping atas waruga yang bentuknya menyerupai bagian atap sebuah rumah. Pada salah satu waruga ditemukan tiga gambaran muka manusia yang bentuknya berbedabeda. Muka-muka manusia yang berupa kedok ·pada war.uga i tu mempunyai bagian-bagian muka yang lengkap baik alis, mata, hidung dan mulut, sedangkan telinga tidak dipahatkan. Bentuk hidungnya ada yang besar lebar, ada yang sempit panjang dan ada pula yang sedang. Mata bulat melotot dan ada yang bulat kecil. Mulut lebar dan ada juga yang kecil.
Selain bentuk pola hias topeng tersebut di atas, ditemukan juga pahatan-pahatan yang menggambarkan tokoh-tokoh manusia yang dihias dengan phallus.
Pola hiaa topeng pada kalamba
Pola-pol a hias pada· kalamba (atone vats) di temukan di Sulawesi T engah, khususnya di dataran tinggi Napu dan Besoa, kalamba-kalamba yang di temukan di dataran tinggi Bada (Lore Selatan) biasanya poloe. Topeng-topeng yang ada pada kubur kalamba terdapat pada dinding-dinding kalamba bagian luar. T openg tersebut digambarkan dengan bentuk-bentuk aneh. Topeng pada kubur kalamba ini mempunyai variasi yang cukup banyak (Walter Kaudern, 1938), dan digambarkan tidak lengkap.
Berkala Arkeologi IX (2) 39
Bentuk topang tidak lengkap, yaitu hanya terdiri dari rnata serta hidung yang biasanya disertai alis menonjol. Mata biasanya sipit, tetapi ada yang digambarkan dengan garis lengkung dan bulat. Mata sipit dengan posisi miring dipadukan dengan kening menonjol dan hidung mancung. Tetapi ada pula meta sipit dalam posisi miring dipadukan dengan kening menonjol dan hidung lebar. Selain itu, bentuk mate lengkung setengah lingkaran, dipadukan dengan kening menonjol dan hidung panjang. Tetapi ada pule mata bulat, hidung sempit panjang dan kening menonjol.
Seisin itu ditemukan pule bentuk topeng yang digayakan terdiri dari mate dan mulut lebar, mate sipit, alls- menonjol dan hidung sempit panjang, dan mulut berbentuk elips; mate sipit, hidung panjang dengan bentuk mulut sederhana ·
Pola hias topeng pada sarkofagus
Tonjolan-tonjolan yang menggambarkan muka manusia pad a sarkof agus dapat diartikan sebagai topeng yang mempunyai arti khusus dalam upacara penguburan di Bali. Pola-pola hias topeng tersebut beraneka rag 9m dan semuanya mempunyai bentuk yang dapat diklasifikasikan antara lain dalam gaya melawak, dan menakutkan (mengerikan). Lima buah bentuk tonjolan yang merupakan topeng mempunyai tanda-tanda seperti berikut. Mata digambarkan dengan berbagai bentuk antara lain bulat, lonjong (oval) dan sipi t (slanting). Telinga panjang sempit, panjang lebar dan ada pula yang digambarkan tanpa telinga. Mulut digambarkan sangat lebar dengan gigi-gigi besar yang hanya kelihatan pada bagian rahang atas, ada pula mulut yang digambarkan dalam bentuk "monyong" dan terbuka. Di samping itu ada pula yang digambarkan sebagai garis lengkung. Bentuk pipi ada yang menonjol tak beraturan. (Gam bar 4).
40
Gambar 4. Beberapa contoh tonjolan pada sarkofagus yang merupakan topeng ( Kedok). (dari Soejono, 1977).
Berkala Arkeologi IX (2) 41
III. PEMBAHASAN
Topeng a tau kedok oleh para ahli biasanya dikai tkan dengan kekuatan gaib (R.P. Soejono, 1977; Van der Hoop, 1949). Pola hias topeng sebenarnya merupakan gambar yang dianggap oleh pembuatnya mempunyai kekuatan gaib yang dapat menolak suatu bahaya yang datang dari luar. Kekuatan dari topeng diperoleh melalui penggambaran yang aneh, menakutkan, jenaka (melawak). Dengan bentuk-bentuk tersebut, make gambaran bagian tubuh manusia dianggap dapat mengusir bahaya yang datang. Bagian-bagian · tubuh manusia biasanya dianggap mempunyai kekuatan sakti, lebih-lebih bagian muka manusia dan bagian matanya (Van der Hoop, 1949).
Pola-pols hias topeng umumnya di temukan pada obyek-obyek purbakala yang berhubungan dengan kegiatan religius. Pola-pola hias semacam ini ditemukan pada obyek penguburan seperti pada kubur-kubur peti batu (Tom Harrison, 1959; P.R. Whittier dan A.L. Whittier, 1974), kalamba (atone-vats) (Walter Kaudern, 1938), kubur dolmen (Haris Sukendar, 1983, 1985), dan pada sarkofagus (R.P. Soejono, 1977). Di samping ' itu pol a hias topeng juga di temukan pada benda-benda untuk upacara dari berbagai periode, seperti kapak-kapak perunggu, nekara perunggu, dan moko (Van der Hoop, 1949; Van Heekeren, 1958). Tampaknya peranan pola hias dalam bentuk muka manusia (topeng) tidak jauh berbeda dengan pola-pola hias dalam bentuk manusia secara utuh. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh R.P. Soejono (1977) dalam disertasinya.
Pola-pola hies topeng (kedok)
Pola-po la hias tersebut kadang-kadang di temukan pada benda-benda pusaka seperti pada sarung keris, sarung tombak, "cerana" pemujaan di salah satu kediaman raja, dan pada benda-benda lain.
42
Pola-pola hies topeng (kedok) pada masa hindu biasanya dipahatkan pada bagian etas pintu-pintu rnasuk candi dan urnumnya dipahatkan tanpa rehang bawah (Van der Hoop, 1949). Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pola hies topeng rnemang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat dan berkaitan dengan tujuan-tujuan yang be rsif at sakral.
Malena Pola Hiaa T openg dari kehidupan Gua
Dari hasil penelitian Peter Bellwood (1979 : 275) di Lautan T eduh, dapat diketahui berbagai pola hias (motif) muka manusia dari daerah itu. (Gamba r 5).
Gambar 5. Beberapa lukisan kedok (topeng) dari Pasifik.
Pola-pola hias 1n1 digambarkan dengan cat-cat yang berwarna hi tarn dan . merah yang mernang biasa dipakai untuk memberi warna pada benda-benda yang bersifat religius (sakral). Mengenai motif-motif topeng pada gua-gua karang di Kepulauan Pasifik ini masih belum diketahui rnaknanya.
. Berkala Arkeologi IX (2) 43
Wama-warna merah dan hitam banyak dijumpai di berbagai situs dari perk>de yang berbeda. Van der Hoop (1932) telah menyebutkan bahwa warna hltam den warns merah dipergunakan pada kubur-kubur batu Tegurwangi, Sumatra Selatan. Sebagian dari dinding batu berhias cat merah dan hitam itu dapat disaksikan di Museum Nasional (koleksi Prasejarah). Warna-warna lain yang kadang-kadang muncul adalah putih. Pada masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut di Sulawesi Selatan ditemukan gambar-gambar (cap) yang mempergunakan warn a hi tam dan merah (R.P. Sae jono, 1981: 81 ). Di gua-gua di Pulau Seram, Muna, Irian Jaya, cat-cat hitam dan warria merah sangat dominan.
Warna-warna hitam, merah, dan putih yang dipakai pada pola-pola hias masa prasejarah tersebut berkaitan dengan kegiatan religius. Demikian juga warna hitam dan merah pada topeng di Lautan Teduh bentuknya tidak terlepas dari tujuan-tujuan tersebut di atas. Tampaknya penelitian tentang topeng di Lautan Teduh tersebut belum tuntas sehingga belum diketahui latar belakangnya.
Melihat bentuk-bentuk topeng yang kurang proporsional tersebut dapat diperkirakan bahwa topeng-topeng itu merupakan simbul yang mempunyai tujuan tertentu, yang belum diketahui secara pasti. Mungkin topeng i tu merupakan simbul dari supernatural, simbul kematian, simbul kesuburan, kekuasaan atau mungkin pula merupakan simbul lain.
Dalam hal ini apa yang tersirat di dalam lukisanlukisan pola hias topeng di daerah Pasifik mencerminkan bentuk-bentuk yang berorientasi pada matahari. Beberapa i pola hias menunjukkan pancaran sinar-sinar yang d_apat diasosiasikan kepada sinar matahari (Gambar . 5). Hal ini kemungkinan disebabkan bahwa matahari merupakan salah satu sumber kehidupan di lautan Teduh yang luas itu.
44
Pola hias muka manuals topeng yang berkai tan dengan kekuasaan atau kekuatan seorang pimplnan, dapat dlamati melalui data yang telah di tulle oleh Je88e D Jennings ( 1979) di dalam bukunya yang berjudul The Prehlatary , of Polyneala. Jennings telah menguralkan den memberikan berbagai bentuk gambar topeng sebagal hiasan pakaian-pakalan plmpinan di Tahiti (Polynesia). Apa yang telah digambarkan dan diuraikan oleh Jennings memberi petunjuk bahwa pole hies itu berkaitan dengan sesecirang yang mempunyai kekuasaan, yang dituntut menjadi pelindung bagi rakyatnya. Pola hias yang ada pada pakaian pimpinan itu sekaligus mempu nyai unsur-unsur penerang (pelindung). Dengan demikian pola-pola hias muka manusia di daerah itu dapat diartikan sebagai penolak bahaya dan sebagai simbul kekuatan sakti.
Garis-garis lurus yang dilukiskan pada topeng di daerah itu, tampaknya diasosiasikan kepada matahari yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan semua mahluk. Pola-pola hias di Polynesia ini dibuat dalam bentuk sederhana. Kesederhanaan pola-pola hias pada pakaian pimpinan di Polynesia mengingatkan bentuk-bentuk pola hias Neuvulayo di Nias yang hanya dipahatkan pada benda-benda keramat dari pimpinan suku (adat) di daerah itu. Neuvulayo merupakan lambang kekuatan dari pimpinan sehingga setiap bends yang berpola hias tersebut tidak boleh diganggu.
Hampir semua motif muka manusia di Lautan Teduh ini digayakan sehingga terdapat beberapa variasi antara lain muka manusia yang bersinar (seperti matahari), mata dan hidung, digambarkan sederhana.
Pola hias muka manusia pada gerabah lapita, Lautan T eduh, dibuat dengan teknik tera (lmpresaed) yang digambarkan dengan beberapa ciri. Penggambarannya cukup sempurna antara lain, alis lengkung den mata berbentuk elips, hidung sempit dan panjang, mulut hanya digambarkan seperti garis lengkung, kumis tebal
'' t ,~:rPQ¼a~,hias .:topeng ::tPQfl.a.,.)gei:~h laplta ·-~ yang ditemuk£10--dl r·P!Jieu Sa.11l~ __ Cr,~_1;,--ini bentuknya jauh)ebih maju d!baQdlngkan ·dengao -pole topeng . pads puncak kendi Melo lo:. maupun pads gerabah dari situs Kalumpang. Sayang bahwa Peter Bellwood tidak menyebutkan data konkrit tentang situs maupun pertanggalan situs ternpat bend a tersebut di ternukan.
Malena Pola Hise topeng paa obyek ~li~k Tom Harrison (1959) telah rnelakukan penelitian
terhadap pol a · hias top ·eng pada peti batu yang di temukan di Batang Kayan. Pola-pola hias yang te ·rdapat pada kaki sebuah p~tt batu dikerja~c1n sangat rnenarik. Pola hias tersebut ·menggambarkan pola hias · sulur dan tanda X. Salah satu kaki peti batu _ ya.itt.1 pada bagian puncaknya terdapat gambar topeng ·1 dengan; ·tanda-tanda muka berbentuk segi tig~, mata sipi t (slanting), hfdung biasa, mulut oval, alis dan telinga tidak digambarkan.
Pola hias muka manusia lain di temukan pada situs penguburan tel ah di tulis oleh P .R~ ·Whittier dan H.L. Whittier (1974) di dalarn artikel yang -berjudul "Some Apo Kayan Megaliths". Pola hias tarsebut ditemukan pada sebuah kubur batu pahat yang berkaki di Data Dian (Data Dian Tom). Pola muka manusia _dipahatkan . pada bagian kaki. Pola hias ini rnempunyai bentuk sederhana, digambarkan bagian kepala saja dengan matR tanpa alis, hidung, telinga dan mulut. Mata digambarkan dengan garis lurus horizontal, sedang hidung digambarkan dengan gar is lurus vertikal. _
Dari kedua · pola hias topeng yang di ternukan pada kubur-kubur peti batu tersebut di atas, jelas bahwa tidak terdapat tanda-tanda untuk · menggambar atau memahat dalam bentuk yang · lebih proporsional dan
46
lengkap. Ketidakhediran paheten alis meupun telinge pads pola hies dari kubur peti batu di Batang Kayan dan tidak adanya mulut, alls, den telinga pads gambar muka manusia dari peti batu di Oaten Dian, tampaknya mempunyai kesengajaan. Sementara itu mereka dapat memahat kubur peti batu dengan pahatan jauh lebih sulit dari pada membuat pola hias tersebut di atas. Hal ini tentunya sesuai dengan tujuan pembuatan tonjolan sarkofagus yang dibuat dengan bentuk-bentuk mu-lut yang dipahatkan tidak sempurna.
Apa yang telah dituliskan oleh Tom Harrison tentang pola kedok manusia di Malaysia, Kalimantan Utara, telah memberikan sumbangan besar, paling tidak sudah memberi bukti adanya kedok yang mempunyai fungsi dalam kaitannya dengan penguburan. Hal ini terdapat persamaan dengan situs-situs di Indonesia ..
Walter Kaudern seorang arkeolog bangsa Swedia, telah mencoba memberi gambaran tentang berbagai bentuk pola topeng pada dinding Kalamba dari bentuk yang sangat sederhana sampai dengan bentuk yang lebih maju (Walter Kaudern, 1938). Semua topeng digambarkan beraneka ragam, yang semuanya dapat dikatakan kurang proporsional, karena bagian-bagian muka yang lain seperti telinga, mulut dan alis tidak digambarkan.
Tiap-tiap Kalamba mempunyai jumlah dan bentuk pola hias yang berbeda-beda. Bahkan ada satu Kalamba yang mempunyai puluhan pola topeng. Hal ini mungkin berkai tan dengan jumlah individu yang dimakamkan di dalamnya. Setiap individu diwakili oleh satu topeng. Hasil Ekskavasi yang dilakukan penulis pada kalamba di situs padang Birantua memberikan bukti ten tang hal ini. Dalam h satukalamba ditemuken puluhen tengkorek beserta berbagai bekal kubur. Selain mencerminkan jumlah individu, pola-pola hias topeng itu rnungkin jugs berfungsi untuk menjaga keselamatan si mati delam "dunianya".
Berkala Arkeolog1 IX · ( 2 47
Pola-pol a hias manusia pada kubur sarkof agus di Ball telah dibahas secara panjang lebar oleh R.P. Soejono (1977). Pola-pola hias yang berupa tonjolan muka manusia digambarkan dengan bentuk-bentuk yang aneh, tampaknya mempunyai fungsi ganda yai tu praktis, estetis, den rellgius.
Fungsi praktis dari tonjolan yang digambarkan dengan muka manusia itu diperlukan sebagai tempat untuk mengikatkan tali pada waktu mengangkut maupun memasukkan sarkofagus tersebut dalam lubang. Fungsi estetis dan religius, pola hias muka manusia pada sarkof agus itu mempunyai nilai-nilai estetis yang tinggi. Pemahatan ~ be.ntuk-bentuk ) muka manusia sangat halus dan mengandung nilai seni. Penggambaran bentuk-bentuk aneh juga berperan dalam menolak bahaya dan menjamin kehidupan di alam arwah · (R.P. Soejono, 1977).
Kubur yang mempunyai tonjolan berbentuk muka manusia · dijumpai juga pada kubur-kubur dolmen di Sumba. Pada beberapa situs di Melolo ditemukan pola muka manusia yang dipahatkan kaku dengan bagian muka yang tidak lengkap. Pola hias topeng terseb4t ditempatkan pada bagian atas meja batu atau pada penjl (menhir ).
Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat dikatakan bahwa pahatan tersebut merupakaf"' pengawal. Hal ini diartikan sebagai penjaga arwah dari gangguan yang mengancam.
Istilah pengawal ini diberikan oleh penduduk kepada pahatan-pahatan area menhir dari situs Kawangu, Sumba Timur (Haris Sukendar, 1983). Bentuk-bentuk pola hias muka manusia di Sumba ini mempunyai persamaan dengan pola hias topeng pada kubur batu di Kalimantan Utara, Malaysia, khususnya dalam segi bentuk yang sama-sama mempunyai proporsi tidak sempurna den dioahatkan secara tidak lengkap, seperti yang telah dfqt'"81Ran den digambarkan oleh Tom Harriso!1•
48
Pol~-pola hias topeng pada kubur dolmen di Sumba belum dibahas oleh para peneliti terdahulu. Hal ini mengingat bahwa obyek llvlng megalithic tradition Sumba lni belum pernah ditelltl secara rincl baik oleh arkeolog sebelurn Perang Dunia II maupun sesudahnya .
Pola-pol a hias topeng pada kubur batu VJ arug a telah dibahas oleh Bertling walaupun tldak terlalu rinci. Dokumentasi lengkap baru dilakukan oleh Santosa Soegondho, Hadimulyono, dan Sumiati As dalam penelitian di daerah i tu.
Pola-pol a hias topeng pada t radisi megali tik yang berkembang pada masa Islam awal dapat disaksikan di Kata Gadang, Sumatra Barat. Salah satu menhir yang dipergunakan untuk tanda kubur, di puncaknya terdapat pahatan mata dan hidung (Haris Sukendar, 1985; 1986).
Dalam penelitian Barus, Tapanuli Timur, yang dilakukan oleh Bidang Arkeologi Islam, Puslit Arkenas, telah berhasil menemukan pole hias topeng yang dipahatkan pada sebuah puncak nisan Islam. Pola hias ini digayakan sehingga tida~ jelas bahwa lukisan tersebut merupakan sebuah topeng. Mata sebelah kanan terbentuk dari sulur yang merupakan "lingkaran memusar". Bagian hidung juga digayakan, demikian pula bagian mulutnya. Mata sebelah kiri tidak begitu jelas.
Berdasarkan atas uraian di etas jelas bahwa pola hias topeng mempunyai masa hidup yang cukup panjang, yaitu sejak masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut, bercocok tanam, perundagian, tradisi megali tik, sampai masa Islam, dan bahkan sampai sekarang. Pola hies topeng paling dominan pada kubur-kubur megali tik, dan mengacu kepada maksud religius untuk mengatasi pengaruh-pengaruh jahat yang ·dapat berupa arwah moyang, binatang, dan alam.
Dalam kaltannya dengan arwah nenek moyang, topeng telah dluralkan oleh May Veber (1978), dan diaebutkan bahw .a bentuk menyerupai topeng yang dlbuat darl tengkorak manuals yang dllapis tanah llet dlhubungkan dengan pemujaan arwatt nenek moyang.
Berkala Arkeologi IX (2) 49
Selanjutnya Simone Waisbard (1978) memberikan gambaran menarik, berisikan batu merah yang dipahat sebagai topeng atau muka-muka manusia dengan bentuk yang beraneka ragam. Topeng-topeng tersebut ditempatkan pada dinding suatu "candi". Tampaknya topengtopeng yang beraneka ragam erat kaitannya dengan upacara tertentu, yang kemungkinan juga erat kai tannya dengan fungsi dari bangunan itu sendiri.
Pada tahun 400-600 SM sebuah topeng yang dibuat dari tanah liat dan diberi cat merah, coklat dan kuning tel ah di temukan di situs T eotihuacan (Astek). T openg tersebut dipergunakan dalam suatu upacara religius. Pada tempat yang sama, telah di temukan pula sebuah topeng yang dibuat dari semacam batu hijau dilapis dengan kerang dan dihias dengan untaian manik-manik (Olivier de Maguy, 1978). Di Peru topeng manusia dipergunakan untuk menutup muka jenasah pemimpin orang-orang Monica (Casper Montebelli, 1978).
Pola-pola hias topeng yang terdapat pada obyekobyek pemujaan seperti menhir dan tugu peringatan dijumpai juga di Situs Tundrumbaho, Nias _Selatan (Haris Sukendar, 1981 ), di situs Lewalutas :<Jan s~tlals Kiragawalariki (Haris Sukendar, 1983). Pola hias topeng tersebut ditemukan pada obyek-obyek pemujaan seperti pada menhir-menhir dan tugu peringatan.
Pola hias topeng pada living megalithic tradition di Lewalutas dan Kiragawalariki, Timar Barat, mempunyai peranan dalam usaha memperoleh kekuatan agar suku-suku di daerah itu dapat terus bersatu dan tidak saling menyerang atau membunuh. Tampaknya suku di desa tersebut percaya · bahwa dengan menggambar topeng pada tugu yang mereka puja-puja itu akan diperoleh kekuatan gaib. Dalam menggambarkan topeng, mereka dengan sengaja membuat bentuk-bentuk yang anehaneh misalnya mata berbentuk elips tanpa alis, hidung lebar, mulut persegi empat panjang dengan gigi-gigi kecil, dan telinga tidak dipahatkan ~Bentuk-bentuk aneh
50
<
itu jelas disengaja oleh pemahatnya, meskipun dia dapat memahatkan pola-pola hies geometrik dan sulursulur 'yang sangat indah dan halus, yang dipahatkan di sekeliling pahatan muka manusia tersebut.
Berdasarkan data tersebut . tentunya si pemahat dapat menggambarkan bentuk muka m~nusia yang lebih sempurna. Unsur-unsur kekuatan gaib yang akan diperoleh dari pahatan muka manusia tampaknya menjadi konsep dasar dan sumber inspirasi bagi pendukung tradisi megalitik, sehingga bentuk-bentuk yang dihasilkan hanya dalam batas-batas sederhana dan kaku dengan bentuk-bentuk yang tidak proporsional.
Sampai pada masa Klasik maupun . Islam penggambaran topeng tetap kaku, menakutkan dan dengan bagian muka yang kadang-kadang tidak dipahatkan. Sebagai contoh kalamakara pada candi-candi dan pola hias topeng pada salah satu makam di Barus menunjukkan bukti seperti tersebut di atas.
KESIMPULAN
Adanya persamaan-persamaan fungsi topeng yang terdapat di beberapa negara menimbulkan pertanyaan tentang penyebarannya yang hampir mencapai seluruh tempat di dunia.
Bagi seorang difusionis akan mencari sumber kemunculan topeng tersebut, dengan mencari konsep-konsep dasar yang dapat dipakai jawaban mengapa topeng tersebut muncul di tengah-tengah masyarakat.
Kekuatan supernatural tersebut dapat disebabkan oleh berbagai sumber antara lain oleh arwah nenek, orang yang jahat, binatang, dan kekuatan alam. Mereka akan selalu berusaha mencari jalan agar terhaindar dari pengaruh jahat tersebut sehingga mereka akan menciptakan sesuatu yang dapat melindungi mereka baik pada masa mereka menciptakan sesuatu pada kehidupan setelah mati. Sarena yang dianggap dapat mengusir pengaruh jahat tersebut antara lain terdiri dari menhir, area menhir, batu datar, arc~ perwujudan, dan topeng.
Berkala Arkeologi IX (2) 51
T openg yang dibuat dengan bentuk-bentuk mengerikan, jenaka, dan kak:u dianggap dapat mengusir pengaruh jahat yang datang dari luar. Topeng semacam ini dipakai dalam upacara-upacara penguburan, sehingga baik mereka yang masih hidup maupun yang meninggal akan selalu dilindungi oleh kekuatan sakti (magis) yang dimiliki oleh topeng tersebut.
F ungsi religius topeng dapat dilihat baik di beberapa situs di Indonesia maupun di negara-negara lain. Di Indonesia antara lain di temukan di Sulawesi Utara dan Sulawesi T engah, Bali, Sumba, Timor Barat, dan Pulau Nias, sedangkan di luar Indonesia fungsi topeng dapat ditemukan antara lain, di Peru, Meksiko, Pulau Tiahuanaco (Amerika Selatan), Jericho (Mediterania), Mycenia, Yunani (Emmanuelle Hubert, 1978), Kalimanatan Utara (Malaysia), dan di Kepulauan Pasi fik.
Berdasarkan atas perbandingan-perbandingan tersebut di atas maka tampak adanya kecenderungan bahwa topeng mempunyai fungsi yang berkai tan dengan mag is religius yang ditemukan baik pada tempat-tempaf penguburan maupun tempat-tempat pemujaan. Bentuk yang aneh tentunya tidak lepas dari tujuan magis religius. Dengan menggambarkan bentuk-bentuk yang ' luar biasa seperti tersebut di atas diharapkan bahwa topeng mempunyai kekuatan magis yang lebih besar, untuk melindungi masyarakat yang masih hidup atau arwah nenek moyang dari pengaruh jahat.
52
Bank, E. 1937. "Some megalithic remains from the Kalabit country in Sarawak with some notes on the Kalabits themselves, Sarawak Museum." Ionmal no. 15, vol. IV part IV. Kuching, Sarawak.
Bellwood, Peter. 1979. Mans conqnest of the Pacific, New York.
Bellwood, Peter. 1985. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Academic Press.
Bertling, C. T. 1931. "De Minahasische, Waruga en Hockerbestattung", NION, vol. XVI.
Caspar Montibelli. 1978 "The search for Eldorado, land of gold" dalam The worlds last Mysteries, Reader's Digest Sydney.
Harrison, Tom. 1948.Megalithic Remains in South Sumatra and Central Borneo, Journal of The South Seas Society, Vol. V, no.2
Harrison, Tom. 1959. More "Megaliths" from Inner Borneo. The Sarawak Museum Journal vol. IX. no. 13-14. issued by the Museum, Kuching, Sarawak.
Hubert Emmanuelle. 1978. "Gazetteer of mysterious sites around the world", The worlds last mysteries, Reader Digest Sydney.
DAFTAR PUSTAKA
Berkala Arkeologi IX (2) 53
Heekeren, H.R. van. 1931. "Megalithische overblijfselen in Besoeki, Java", Djawa vol. XI, 1 - 18.
Heekeren, H.R. van. 1958. "The Bronze-Iron Age of Indonesia", Verhandelingen van het Koninklijke Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde, vol. XXII, The Hague, Martinus Nijhoff.
Heine Geldern, R. van. 1935. The Archaeology and Art of Sumatra, pp. 305 - 331 of Sumatra by E.M. Loeb.
Heine Geldern, R. van. 1945. "Prehistoric Research in the Netherlands Indies", Science and Scientist in the Netherlands Indies, New York.
Hoop, A.N.J. Th.a. Th. van der. 1932. Megalithic Remains in South Sumatra, Trans. by W. Shirlaw. Zuthpen:. W.J. Thieme.
Hoop, A.N.J. Th.a. Th. van der. 1935. "Steenkistgraven in Goenoeng Kidoel", TITLV, vol. 75, 83 - 100.
Hoop, A.N.J. Th.a. Th. van der. 1938. "De Prehistoire", Geschiedenis van Nederlandsch Indie, Amsterdam, Uitg. Joost van den Vandel.
Hoop, A.N.J. Th.a. Th. van der. 1949. Indonesiasche Siermotieven, Ragam-ragam Perhiasan Indonesia, Indonesian Ornamental Design, Hit gegeven door het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Kaudern, Walter. 1921. "I Celebes obygder" (In Wild Celebes), Stokholm, Albert Bonniers Forlag.
Kaudern, Walter. 1938. Megalithic Finds in Central Celebes. Ethnographical Studies in Celebes, V. Goteborg.
54
Loofs, H.H.E. 1967. Elements of the Megalithic Complex in Southeast Asia, Australian NationalUniversity Press.
May Veber. 1978. "The worlds first cities", The Worlds Last Mysteries, Reader Digest Sydney.
Oliver de Magny. 1978. "Teotihuacan, city of the gods" dalam The Worlds Last Mysteries, Reader Digest Sydney.
Patrick C. McCoy. 1979. "Easter Island", The Prehistory of Polynesia, Harvard University Press·.
Soejono, R.P. 1977. Sistim-sistim penguburan pada akhir masa prasejarah di Bali (disertasi).
Soejono, R.P. 1982. "On the megaliths in Indonesia", Megalithic Cultures in Asia, Monographs, No. 2, Hanyang University Press.
Atmosudiro, S. (1980). TINJAUAN SEMENTARA TENTANG ARCA MENHIR GUNUNG KIDUL. Berkala Arkeologi, 1(1), 24-41. https://doi.org/10.30883/jba.v1i1.274
Whittier, R. Patricia and Whittier L. Herbert. 1974. "Some Apo Kayan Megaliths", SarawakMuseum Journal, special issue. The peoples of Central Borneo, vol. XXII.
Willems, WJA. 1938. "Het Onderzoek der Megalithen te Pakoeman bij Bondowoso", Oudheidkundige Dienst in Nederlands Indie, Rapporten no. 3.