BAB II
NEOLIBERALISME
A. AKAR NEOLIBERALISME
.......Di Hindia, Minke, lain dari di Eropa. Di Hindia manusia tiada berarti di hadapan kekuasaan.
Di Eropa, manusia runtuh di hadapan deretan protozoa
yang bernama modal.
[Pramoedya Ananta Toer, 2001]1
Suatu analisis mengenai neoliberalisme rasanya tidak afdhal jika tidak
menelisiknya lebih jauh pada pemikiran dasarnya. Jika melihat pada akar katanya
neoliberalisme sendiri berasal dari kata liberal yang mendapat imbuhan neo- yang
mengandung makna baru dan akhiran isme yang dapat dimaknai sebagai paham
atau pemikiran. Singkatnya ia menunjuk pada suatu paham (isme) liberal,
kebebasan. Selanjutnya seperti apa sebenarnya pandangan tentang liberalisme itu
sendiri sampai kemudian berevolusi menjadi neoliberalisme?
Liberalisme Klasik
Pandangan tentang liberalisme awalnya merupakan gagasan pemikir
fisiokrat Prancis, Francois Quesnay dengan idiom yang kemudian sangat terkenal
Laizzes-Faire, Laizzes-Passer.2 Inti gagasannya adalah kritik terhadap campur
tangan pemerintah dalam pasar karena umumnya tindakan itu merugikan pasar.
41
42
Gagasan ini kemudian dilanjutkan oleh Adam Smith dengan buah karyanya An
Inquiry into The Nature and Cause of The Wealth of Nations (1776).
Setiap individu selalu berusaha mencari peluang untuk memanfaatkan setiap kapital yang dikendalikannya untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Tentu saja yang dipikirkannya adalah keuntungan bagi dirinya sendiri bukan keuntungan bagi masyarakat. Tetapi ketika mengejar keuntungan pribadi itu, dengan sendirinya, atau lebih tepat, mau tidak mau, ia akan memilih bidang-bidang kegiatan yang paling menguntungkan bagi masyarakatnya. Pejabat pemerintah yang berusaha mengatur cara warga masyarakat menanamkan modal mereka agar sesuai dengan kehendak pemerintah, bukan hanya akan membebani diri sendiri dengan perhatian yang tidak perlu, tetapi juga akan mengambil alih wewenang yang seharusnya (dimiliki oleh rakyat), dan tidak yang lebih berbahaya daripada menaruh wewenang itu di tangan seseorang yang begitu tolol sehingga bermimpi bahwa ia adalah orang yang cocok untuk menjalankan kekuasaan itu.3
Adam Smith yang sangat yakin akan keunggulan mekanisme pasar yang
disebutnya dengan invisible hand dengan serta merta menolak tangan-tangan
negara dalam penguasaan terhadap ekonomi. Ia sangat mendambakan dan
menguatamakan adanya inisiatif individual, pemilikan swasta, dengan campur
tangan pemerintah yang terbatas. Pendekatan liberal memang lebih banyak
mendasarkan pemikiran filsafatnya pada basis pemikiran individualisme
metodologis ala Karl Popper dari Austria yang menganggap bahwa semua
perilaku hanya dapat dipahami dalam kerangka individu. Dengan demikian tidak
ada kesatuan kolektif seperti masyarakat atau pemerintah dengan sifat-sifat yang
berbeda dengan individu. Dengan landasan berpikir semacam itu, tidak aneh jika
kemudian analisa terhadap masyarakat pun dalam kerangka mikro, termasuk di
sini dalam analisa ekonomi. 4
43
Namun sesuatu yang perlu digarisbawahi di sini adalah, mengapa Adam
Smith begitu membenci campur tangan negara dalam urusan ekonomi warganya.
Apa yang ditentang oleh Adam Smith adalah rezim merkantilis Inggris yang
memiliki prinsip bahwa kepentingan nasional harus diperjuangkan dengan cara
memanfaatkan kekuatan negara untuk mendapatkan kekayaan sehingga dapat
dicapai akumulasi kekuatan nasional. Rezim merkantilis meletakkan semua usaha-
usaha ekonomi di bawah penguasaan serta dijalankan oleh negara dan memangkas
inisiatif individual yang pada akhirnya tidak memanusiawikan warga negaranya.
Senada dengan Smith, David Ricardo (1772-1823) mengemukakan
pendapatnya tentang gagasan liberal, khususnya dalam perdagangan internasional.
Ia menganjurkan perdagangan bebas antar bangsa sebagai landasan hubungan
ekonomi antar negara. Perdagangan bebas dapat mempersatukan bangsa-bangsa
seluruh dunia sebagai satu ikatan kepentingan dan interaksi. Dengan ikatan
semacam ini maka hubungan antar negara menjadi efektif dan efisien. Efektif dan
efisien di sini digambarkan sebagai parameter yang sederajat dengan kebebasan.5
Kemudian bagaimana sebenarnya postulat liberalisme itu sendiri. Dalam
perspektif filsafat liberal, manusia diasumsikan sebagai makhluk yang penuh
damai dan memiliki kemauan bekerja sama, kompetitif namun konstruktif, dan
langkah-langkahnya dibimbing oleh nalar, bukannya emosi. Pada sisi lain,
pandangan terhadap negara sangatlah bertolak belakang. Negara digambarkan
sebagai monster yang sangat menyeramkan. Kaum liberal klasik sangat membenci
negara dan menganggap negara menyalahgunakan kekuasaan dan selalu bertindak
44
sewenang-wenang. Mereka kemudian melakukan langkah-langkah reformasi
untuk memperlemah kekuatan dan posisi negara terhadap warganya.6
Madzhab liberal menegaskan bahwa ketegangan antara negara dan pasar
merupakan bentuk konflik antara penindasan dan kebebasan, kekuasaan dan hak
individu, dogma otokratik dan logika rasional.7 Anggapan ini berakar pada
feodalisme raja-raja Eropa dan dogmatisme gereja orthodok yang sangat
sewenang-wenang. Dengan berlandaskan pada pengalaman itu, maka ketika
terdapat konflik antara negara dan pasar maka jelas, kaum liberal akan berpihak
pada pasar dengan serta merta mencerca negara.
Dalam praktek ekonomi politik kaum liberalis akan berpandangan sangat
konservatif dimana negara menjalankan sedikit urusan dimana hal itu memang
tidak dapat dikerjakan oleh individu. Urusan itu misalnya mengenai keamanan,
pembentukan sistem hukum, dan pembuatan mata uang. Ini yang kemudian
dinamakan dengan liberalisme klasik.
John Stuart Mill dan Evolusi Perspektif Liberal
Dalam perkembangannya, terdapat dinamika hubungan antara negara dan
pasar yang kemudian menyebabkan pergeseran pandangan terhadap posisi dan
peran keduanya. Hal ini kemudian melahirkan evolusi terhadap pemikiran
liberalisme. Pada periode ini gagasan liberalisme merupakan elaborasi antara
pemikiran Adam Smith dan David Ricardo namun memiliki beberapa perbedaan.
Tokoh yang cukup penting dalam perkembangan pemikiran liberalisme ini adalah
John Stuart Mill (1805-1873). Mill mewarisi pemikiran Adam Smith dan David
45
Ricardo dari ayahnya, seorang ekonom politik James Mill. JS. Mill kemudian
membuat karya Principles of Political Economy with Some of Their Applications
to Social Philosophy (1848). Karya Mill ini kemudian menjadi rujukan terpenting
dalam penafsiran liberalisme.
Mill melakukan evaluasi terhadap praktek liberalisme selama ini. Ia
melihat bahwa filsafat liberalisme telah sangat berhasil dalam melakukan revolusi
peradaban Eropa dan Amerika Serikat dalam bentuk penguatan peran-peran
individual dan pasar terhadap negara sehingga individu memiliki kebebasan untuk
melakukan tindakan-tindakan ekonomi untuk kesejahteraan pribadi serta untuk
akumulasi kekayaan. Namun lebih jauh Mill mengandaikan sebuah filsafat
tentang kemajuan sosial dalam pengertian kemajuan moral dan spiritual. Dari
situ ia kemudian mengusulkan agar negara melakukan tindakan secara terbatas
dan selektif untuk menjaga pasar, dan mengevaluasi kegagalan dan kelemahannya
sehingga tercapai kemajuan sosial.8
Selanjutnya, Mill berpendapat bahwa negara harus tetap berlepas tangan
terhadap sebagian besar kehidupan warganya. Namun ia melakukan pengecualian,
dimana negara berhak dan bahkan harus melakukan campur tangan dalam bidang-
bidang tersebut. Bidang-bidang tersebut misalnya mengenai pendidikan anak dan
bantuan untuk kaum miskin, dimana inisiatif individu tidak mampu dilakukan
untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.9
Gagasan Mill tentang pendidikan merupakan perkembangan baru dalam
konteks perspektif liberal. Prinsip umum yang dipegang masih sama, yakni
laissez-faire yang memiliki makna campur tangan pemerintah sejauh mungkin
46
dihindari. Namun dalam sebuah ekonomi politik yang mengedepankan hak-hak
individu dan mekanisme pasar, suatu peran negara yang terbatas, dalam keadaan
tertentu diperlukan. Pertanyaannya kemudian adalah, kapan dan atau seberapa
besar intervensi negara dalam aspek-aspek tertentu itu dipermaklumkan? Artinya
di sini pemerintah menggantikan peran individu dan pasar dimana mekanisme
invisible hand berlaku. Pada akhirnya dalam kalangan pemikir liberal sendiri
pertanyaan ini masih menjadi perdebatan.10
John Maynard Keynes dan Konsep Welfare State
Berakhirnya Perang Dunia I menyisakan beragam permasalahan pelik
dalam hal ekonomi, politik dan kesejahteraan umat manusia. Munculnya rezim
Marxis-Leninis Uni Soviet, berbarengan kemudian dengan timbulnya Great
Depression di seluruh dunia pada tahun 1930-an. Keadaan semacam itu
mendapatkan perhatian yang serius dari ekonom Inggris, John Maynard Keynes
(1883-1946).11 Pada saat itu sedang terjadi fundamentalisme negara dalam
kehidupan ekonomi, dimana negara berwatak omnipresent (berada dimana-mana)
dan omnipotent (kuat di segala sektor).12 Lebih jauh peran negara mewujud dalam
bentuk merkantilisme ekonomi yang begitu ekspansionis dengan metode
imperialis. Dengan begitu tidak saja meruntuhkan fondasi keseimbangan
ekonomi, lebih jauh ia bahkan menghancurkan tatanan perdamaian dunia.
Pada sisi lain, malaise tahun 1930-an juga menunjukkan kepada Keynes
bahwa pasar sebagai sebuah kinerja individu yang digerakkan oleh mekanisme
invisible hand ternyata tidak dapat bekerja menurut asumsi pasar yang rasional. Di
47
dalam pasar tidak ada suatu mekanisme yang menjamin persesuaian antara
kepentingan individu dengan kepentingan publik, sehingga tidak dapat berlaku
bahwa setiap pengejaran kepentingan individu juga akan berbanding lurus dengan
keuntungan yang dicapai publik.13
Keynes juga berpandangan bahwa individu dan pasar cenderung akan
menghasilkan keputusan yang tidak bijaksana ketika dihadapkan pada sebuah
keadaan masa depan yang tidak menentu dan tidak ada cara yang efektif untuk
membagi resiko diantara sesama individu dalam pasar sehingga benturan-benturan
antar kepentingan individu tak bisa dielakkan.
Keynes lewat karya yang sangat monumental, General Theory of
Employment, Interest and Money (1936)14 berpendapat bahwa harus ada
keseimbangan kekuatan antara negara dan pasar. Negara dan pasar masing-masing
memiliki kelemahan. Untuk itu Keynes menawarkan kepaduan antara negara yang
kuat dan pasar yang kuat. Keynes menawarkan adanya keterlibatan negara dalam
memperkuat dan memperbaiki beroperasinya mekanisme pasar. Selama ini negara
tidak diperkenankan menggunakan kekuasaannya dengan argumen kepentigan
nasional yang merkantilistik sehingga akhirnya membunuh keseimbangan pasar.
Di sini Keynes masih menjadi pejuang dalam rangka pasar bebas dalam
segala bidang, termasuk di sini adalah perdagangan dan keuangan internasional. Ia
menatap perlunya kehadiran pemerintah untuk mengontrol hal-hal yang berada di
luar mekanisme pasar yang memakai logika invisible hand, terutama di sini adalah
masalah yang muncul akibat ekonomi makro yakni inflasi dan pengangguran.15
48
Keynes kemudian menampilkan sebuah madzhab ekonomi baru dimana
perlunya sebuah mekanisme liberal dalam kancah internasional, namun pada sisi
lain pada ranah domestik, negara memiliki peran yang tegas untuk menanggulangi
hambatan-hambatan berupa resiko, ketidakpastian, dan ketidaktahuan. Di
kemudian hari, gagasan ini mempengaruhi dan menjadi dasar dalam pembentukan
lembaga-lembaga internasional modern, mulai dari sistem perdagangan dan
keuangan internasional pada satu sisi, sampai kepada program asuransi
pengangguran, jaminan sosial, dan asuransi deposito bank, pada sisi lain.16
Pada dekade pasca Perang Dunia II perekonomian sebagian besar negara
Eropa dan peserta perang lainnya terpuruk ke titik stagnasi. Menyikapi
permasalahan tersebut, para pemimpin negara-negara sekutu berkumpul di Bretton
Woods, negara bagian New Hampshire, Amerika Serikat dengan agenda
merumuskan struktur global pasca perang dan malaise ekonomi dunia. Di sinilah
madzhab ekonomi Keynes mendapatkan momentumnya dimana Keynes juga
menjadi salah satu delegasi yang mewakili Inggris.17
Dari hasil pertemuan tersebut, lahirlah apa yang disebut dengan sistem
Bretton Woods sebagai bentuk kompromi Keynesian, sebuah kompromi antara
pasar bebas dengan negara yang kuat atau kemudian dikenal dengan embedded
liberalism (liberalisme terkendali). Dalam sistem ini perdagangan bebas berlaku
dalam kancah internasional, namun masing-masing negara berhak menerapkan
kebijakan yang berkaitan dengan pengurangan inflasi, pengendalian
pengangguran, dan penggalakan pertumbuhan ekonomi.
49
Selanjutnya untuk memenuhi konsep ekonomi ala Bretton Woods,
dibentuklah lembaga-lembaga ekonomi, perdagangan, dan keuangan dunia.
International Monetary Fund (IMF) mewakili lembaga yang bergerak dalam
bantuan ekonomi bagi negara-negara yang terpuruk ekonominya akibat perang.
Bank Dunia mewakili lembaga keuangan dunia yang mengontrol mekanisme
keuangan dunia, serta International Trade Organization (ITO) sebagai
representasi rezim regulasi perdagangan dunia. Lembaga ini kemudian berubah
hanya menjadi semacam kesepatakan yang longgar antar negara dalam General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sebab Amerika Serikat menolak untuk
ikut di dalamnya karena dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan nasional.
Saat kemudian organisasi ini dianggap menguntungkan, Amerika Serikat
kemudian masuk dan selanjutnya lembaga ini berubah menjadi World Trade
Organization (WTO).18
Sejak saat itu perdebatan dalam sistem perekonomian liberal telah
bergeser. Tidak lagi pada perdebatan negara versus pasar, namun seberapa besar
tingkat dan sifat intervensi negara terhadap pasar. Dengan demikian, perbedaan
antara sistem merkantilisme dan liberalisme menjadi kabur dalam beberapa hal.19
Kritik Terhadap Keynesian Economic dan Lahirnya Neoliberalisme
Pada akhir tahun 1970-an dalam perekonomian Amerika Serikat dan Eropa
Barat terjadi stagflasi dan ketidakpastian masa depan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi dunia juga mengalami penurunan disertai dengan tingkat inflasi yang
tinggi dari tahun ke tahun. Melihat kondisi semacam ini, para teoritisi pun banyak
50
memunculkan analisisnya, baik dari aliran post-keynesian economics, rezim
moneter internasional, rational expectation, sampai kepada supply side
economics.20 Wacana yang paling gencar disuarakan berasal dari kelompok yang
tergabung dalam blok kanan baru atau dalam politik Amerika Serikat dikenal
dengan neo-konservatif, sebuah aliran politik yang mengagungkan peran pasar
secara mutlak dalam mekanisme ekonomi, baik pada level nasional maupun
global. Madzhab ini yang kemudian lebih dikenal dengan neoliberal.
Merunut pada pengertian neoliberalisme sebagai varian baru dari
liberalisme, kita akan menjumpai sebuah pengertian yang sangat berbeda antara
pengertian yang berjalan sekarang ini terutama di AS dengan pengertian
awalnya yang berasal dari Eropa. Liberal dalam pemaknaan awalnya adalah
sebuah mekanisme pasar yang bebas dari intervensi negara. Pemaknaan ini
berubah ketika ekonomi Keynesian menjadi paradigma mainstream. Keynes
melakukan penguatan pada peran negara dalam pengendalian dan penguatan
pasar, namun tetap menolak kecenderungan pemaknaan sosialis terhadap sistem
ekonomi ini sebagaimana yang berlaku pada negara-negara blok Soviet. Dari sini
pergeseran pemaknaan liberal dimulai. Pada bagian lain, kaum liberal klasik yang
tergabung dalam partai konservatif kanan mendengungkan kembali liberalisme
tersebut yang kemudian terkenal sesuai dengan aliran politiknya yakni neo
konservatif atau kanan baru (new right). Para teoritisi dan pengamat kemudian
menyebutnya dengan neoliberal sesuai dengan aliran pemikirannya yang
merupakan metamorfosis dari pemikiran liberal klasik ala Adam Smith dan David
Ricardo.21
51
Sebagai metamorfosis dari liberalisme klasik, ternyata neoliberalisme
memiliki perbedaan epistemologis yang cukup substansial dari nenek moyangnya.
Jika liberalisme klasik memandang ekonomi hanya sebagai salah satu mode
hubungan sosial antar aktor, lebih jauh neoliberalisme mengembangkan
paradigma ekonomi sebagai basis epistemologis dalam memandang setiap relasi
antar aktor, baik individu, masyarakat, maupun negara dan hubungan
internasional. Jadi terjadi semacam penciutan pandangan terhadap manusia (visi
antropologis) hanya sebagai homo economicus, makhluk yang hidup dan bekerja
hanya atas dasar naluri dan insting ekonomi. Motif hidup yang hanya mencari
keuntungan (rente seeking) ekonomi tentu tidak akan memperhatikan kepentingan
pihak lain. Yang ada hanyalah persaingan liar antar aktor, sehingga lebih bersifat
naluri hewaniah. Gagasan ini semakin memiliki legitimasi ilmiah dengan
diterbitkannya buku Gary S. Becker, seorang intelektual neoliberal madzhab
Chicago, The Economic Approach to Human Behavior (1976).22
Dalam bahasa yang lebih teknis, George Soros menyebut fenomena
metamorfosis dari kapitalisme neoliberal ini dengan sebutan fundamentalisme
pasar. Gagasannya adalah, bahwa kepentingan bersama dapat terpenuhi ketika
setiap orang dibiarkan bersaing dalam rangka memenuhi kepuasan pribadinya.
Sebaliknya gagasan untuk melindungi kepentingan bersama dalam bentuk
keputusan kolektif misalnya kebijakan pemerintah dalam bentuk subsidi,
proteksi dianggap akan mendistorsi bekerjanya mekanisme pasar.23
Selanjutnya untuk mengembangkan gagasan neoliberal ini dibentuklah
madzhab pemikiran yang tergabung dalam The Mont Pelerin Society (MPS)
52
dengan ideolognya Friedrich August von Hayek (1899-1992), seorang pemikir
neo-Austria. Hayek-lah yang membawa pemikiran ini ke Amerika dan
mendapatkan murid dan teman setianya, Milton Friedman, seorang wartawan New
York Times yang mendapatkan Pulitzer, hadiah paling bergengsi dalam dunia
jurnalistik.24
Karya Hayek yang sangat berpengaruh, The Road to Serfdom (1944)25
yang merupakan kritik terhadap sosialisme dan ekonomi perencanaan, banyak
memberikan gagasan mengenai ancaman sosialisme dan intervensi negara
terhadap kebebasan individual. Mendukung pendapat Hayek, buku Capitalism
and Freedom karya Friedman cukup menjelaskan mengenai pentingnya
minimalisasi intervensi negara dalam kehidupan privat karena sifatnya yang
menimbulkan inefisiensi dan ketimpangan. Selanjutnya, Lexus and The Olive Tree
(2000) semakin menjelaskan mengenai tawaran perdagangan bebas sebagai sarana
meningkatkan kemakmuran sekaligus perdamaian dunia. Friedman melihat bahwa
adanya negara maju dan negara sedang berkembang tidak sebagai sesuatu yang
paradoksal. Dalam sistem perdagangan bebas keduanya memiliki comparative
advantage sehingga masing-masing negara akan dapat menaikkan pendapatan.26
Pada fase berikutnya, Hayek, Friedman dan pendukung-pendukungnya
mempersiapkan kerangka kebijakan yang dijadikan rangka bangun perekonomian
dunia kontemporer dimana bola pendulum sedang mereka pegang. Para praktisi
yang kemudian mengembangkan gagasan mereka adalah Margareth Thatcher,
Perdana Menteri Inggris dan Ronald Reagan, Presiden Amerika Serikat yang
berkuasa saat itu. Thatcher dan Reagan memperjuangkan pasar bebas baik di
53
dalam negeri mereka masing-masing maupun di arena internasional sambil
meminimalisasi intervensi pemerintah dalam semua kegiatan kecuali keamanan.27
Bersamaan dengan itu, perang dingin dengan blok historis komunis Uni Soviet
dan China juga masih sangat hangat. Kampanye pasar bebas sembari
membendung pengaruh rezim Soviet dan China digalakkan ke semua negara
dengan argumen demokratisasi dan keamanan dunia.
Sesuai dengan kampanye pasar bebas yang digalakkan, kebijakan yang
dijalankan pun bernuansa sangat liberal berupa pengurangan kontrol pemerintah
secara sangat mencolok terhadap kegiatan sektor swasta. Di Amerika Serikat
misalnya, kebijakannya berujud pemotongan pajak dan deregulasi pasar. Tarif
pajak pendapatan paling tinggi dipotong secara bertahap 70 % tahun 1980 menjadi
33 % tahun 1986. Industri telepon, penerbangan komersial, dan transportasi truk
menjadi sasaran deregulai besar-besaran. Dengan begitu iklim persaingan dan
kebebasan menentukan harga semakin terbentuk.28
Sementara itu, Inggris dengan kebijakan yang hampir serupa melakukan
deregulasi dengan sangat ekstensif terhadap pemilikan negara atas bisnis dan aset
ekonomi. BUMN dan perumahan yang dijalankan pemerintah diswastanisasi
sehingga merampingkan organisasi pemerintah dan mengurangi pengaruhnya
terhadap keputusan individual.29
Keberhasilan gerakan neoliberal di Amerika Serikat dan Inggris yang
dibarengi dengan runtuhnya komunisme Eropa Timur mendorong persebaran
secara revolusioner dari gerakan ini ke seluruh dunia. Deregulasi dan privatisasi
menjadi trend di seluruh dunia pada tahun 1990-an sampai sekarang ini. Hal-hal
54
yang konsisten diserukan dalam kampanye neoliberal ini adalah pengurangan
negara atas pasar dengan kebijakan deregulasi industri, privatisasi BUMN, dan
pengurangan beban pajak bagi bisnis dan individu.30
Untuk mengukuhkan gerakan neoliberal ini disusunlah sebuah kesepakatan
antara IMF, Bank Dunia dan pemerintah Amerika Serikat yang tersusun ke dalam
sepuluh (10) poin yang kemudian disebut dengan Washington Concensus. (1)
disiplin fiskal, dengan maksud untuk mengurangi defisit perdagangan, (2) public
expenditure, kebijakan pemotongan anggaran subsidi untuk keperluan publik, (3)
pembaharuan pajak, salah satunya adalah pemberian kelonggaran dalam
pembayaran pajak bagi para pengusaha (4) liberalisasi keuangan, dalam bentuk
penentuan bunga bank menurut mekanisme pasar (5) nilai tukar uang yang lebih
kompetitif, dengan jalan melepaskan nilai tukar uang menurut mekanisme pasar
tanpa kontrol pemerintah (6) trade liberalisation barrier, dalam bentuk kebijakan
untuk menyingkirkan segala hal yang merintangi berlakunya perdagangan bebas
dalam bentuk mengganti lisensi perdagangan tarif atau pengurangan tarif (7)
foreign direct investment, dalam bentuk menghilangkan segala peraturan
pemerintah yang menghambat masuknya modal asing (8) privatisasi, kebijakan
negara untuk memberikan kewenangan pengelolaan perusahaan negara kepada
swsta (9) deregulasi kompetisi, (10) intellectual property right atau hak paten.31
B. DIMENSI DAN INFRASTRUKTUR NEOLIBERALISME
Neoliberalisme merupakan ekonomi dan ideologi yang pada intinya
menawarkan liberalisasi, khususnya dalam dunia perdagangan. Sebagai sebuah
55
ideologi ia membutuhkan perangkat teknis untuk melapangkan kerja-kerja
ideologisnya. Dengan tesis bahwa sesuatu (baik fisik maupun non fisik) yang
terlahir dari suatu sistem ideologi tertentu, maka ia juga tidak akan pernah sepi
dari nuansa ideologi tersebut, maka di sini perangkat teknis neoliberal tersebut
juga mengandung dimensi neoliberal pula.
Di sini akan dipaparkan betapa neoliberalisme membutuhkan infrastruktur
yang terdiri dari lembaga perdagangan dunia yang mewujud kemudian dalam
WTO, lembaga pendanaan keuangan internasional (International Financial
Institutions/IFIs), dan aktor yang paling banyak berperan dalam neoliberalisme
yakni MNCs dan negara-negara industri maju. MNCs yang banyak berbasis di
negara-negara industri maju berperan melakukan operasi bisnis dalam pasar
global. Untuk mensukseskan proyeknya, dibutuhkan IFIs untuk, baik mendanai
investasi maupun untuk menyediakan infrastruktur sosial dan fisik di negara-
negara yang akan dijadikan medan operasi MNCs tersebut. Sementara itu demi
menghapus kendala-kendala terkait regulasi perdagangan di ranah global, WTO
menjadi agen yang tidak kalah pentingnya.32 Dan semua perlu dipersiapkan
matang-matang dengan desain terbaik.
Konferensi Bretton Woods pada 1944, memunculkan sebuah kesepakatan
tentang dibentuknya lembaga-lembaga seperti IMF, Bank Dunia (World Bank),
dan GATT (kemudian menjadi WTO) yang oleh Richard Peet disebut dengan The
Unholy Trinity.33 Selain itu, kesepakatan lain adalah terkait dengan dibentuknya
sebuah rezim nilai tukar tetap berdasarkan standar emas. Terkait dengan nilai
tukar tetap berdasar standar emas ini, awalnya cukup dapat berjalan, meskipun
56
mengalami penyimpangan dalam realitas moneter internasional dimana dollar
kemudian dijadikan standar nilai tukar terhadap mata uang seluruh dunia.34
Kurun ini berjalan cukup baik pada era 1950 sd 1960-an. Amereika berada
sebagai negara paling kuat ekonominya sehingga mampu memasok dollar ke
seluruh dunia. Negara-negara Eropa dan Jepang yang mengalami dampak terbesar
akibat PD II dapat bangkit dari keterpurukannya. Sementara ekonomi dunia juga
mengalami suatu era kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya.35
Namun era ini ternyata tidak berjalan lama. Ketika Eropa dan Jepang
tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang tangguh, dollar tidak terlalu dibutuhkan
lagi alirannya ke Eropa dan Jepang. Sementara itu, aliran dollar ke luar negeri
merupakan salah satu cara yang efektif bagi Amerika untuk menstabilkan
ekonomi dalam negerinya yang sedang membutuhkan biaya besar untuk
memerangi kemiskinan dalam negeri serta membiayai perang Vietnam.36
Richard Nixon pada tahun 1971 akhirnya membatalkan adanya nilai tukar
tetap antara emas dan dollar. Dollar kemudian dilepaskan ke pasar dalam
penentuan nilai tukarnya sehingga menjadi nilai tukar mengambang.
Melambungnya harga minyak dunia pada tahun 1973 kemudian benar-benar
mengakhiri sistem nilai tukar tetap Bretton Woods.37
Bersamaan dengan berakhirnya rezim nilai tukar tetap, fungsi lembaga-
lembaga internasional hasil bentukan konferensi Bretton Woods pun berubah.
Pasca peristiwa tersebut lembaga-lembaga itu kemudian berperan sebagai
infrastruktur pendukung neoliberalisme yang memang sedang dirintis saat itu.
Sementara itu korporasi-korporasi multinasional (MNCs) didukung lembaga-
57
lembaga Bretton Woods menjadi penguasa perdagangan dan ekonomi dunia.
Filsafat ekonomi politik welfare system yang mendasari berdirinya lembaga-
lembaga Bretton Woods sebagaimana digagas Keynes betul-betul telah terbalik
180 derajat.
Demi melihat fakta semacam itu, sangat perlu kiranya untuk melihat
bagaimana peran lembaga-lembaga Bretton Woods dan MNCs dalam konstelasi
ekonomi politik neoliberalisme dunia.
World Trade Organization (WTO)
GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang didirikan pada
tahun 1944 merupakan organisasi multilateral yang menangani perdagangan
barang dengan anggota 144 negara. Suara yang dominan dalam tubuh GATT
adalah negara-negara industri maju, dan terutama Amerika. Isu dan komoditas
perdagangan kemudian berkembang tidak hanya sebatas barang (goods), tetapi
juga menyentuh bidang jasa (services), dan Hak Kekayaan Intelektual
(Intellectual Property Right). Ketika GATT dirasa tidak lagi mampu mewadahi
kepentingannya, Amerika yang menjadi kepanjangan tangan dari korporasi-
korporasi multinasional (MNCs) kemudian mendesak untuk didirikannya sebuah
lembaga yang kuat dan memiliki cakupan komoditas perdagangan lebih luas
menyangkut barang, jasa dan HAKI.38
WTO yang berdiri tahun 1994 telah melakukan beberapa kali konferensi
yakni di Singapura, Jenewa (Swiss), dan Seattle (Amerika), Doha (Qatar) dan
Cancun (Meksiko). Konferensi tertinggi dilaksanakan dalam dua tahun sekali
58
yang dihadiri oleh para Menteri Perindustrian masing-masing negara anggota.
Karena itulah konferensi inipun disebut dengan Ministerial Conference
(Konferensi Tingkat Menteri/KTM). Setiap keputusan yang dihasilkan WTO
bersifat legal binding (mengikat secara hukum) sehingga setiap perjanjian yang
dihasilkan mengikat seluruh anggotanya. Jika ada suatu negara yang melanggar
akan dikenakan sanksi hukum. Di dalam WTO semua anggota sama dan setara,
namun dalam kenyataannya yang berperanb besar dan mendominasi adalah
negara-negara industri maju yang menjadi kepanjangan tangan MNCs.39
Sebagai lembaga yang didominasi oleh negara industri maju, WTO
menjadi sarana yang sangat efektif dalam menggolkan keputusan yang pro bisnis.
Untuk mencapai keinginannya mereka tidak senang untuk hanya menggunakan
sarana konferensi yang reguler dan tidak menyeluruh. Negara-negara maju
tersebut kemudian memakai mekanisme pertemuan maraton yang mana di situ
dibahas persoalan yang bersifat menyeluruh, strategis dan dilaksanakan dengan
cepat sehingga kebijakan tersebut dapat efektif berjalan. Urugay round (Putaran
Urugay) adalah salah satu mekanisme yang menjadi skenario negara-negara maju
ini.40
Sebagai lembaga perdagangan dunia yang didominasi oleh para pemodal
korporasi multinasional, maka sasaran yang dituju adalah penghapusan hambatan-
hambatan perdagangan bebas. Dalam KTM I di Singapura paling tidak terdapat
empat hal yang menjadi pembahasan yakni (1) investasi (investment), (2) belanja
pemerintah (government procurement), (3) kebijakan kompetisi (competition
policy), (4) fasilitasi perdagangan (trade facilitation).41
59
Dalam bidang investasi MNCs menuntut diterapkannya kebijakan yang
memungkinkan MNCs menanamkan modalnya sampai dengan 100% pada
bidang manufaktur. Sementara itu kebijakan semacam itu sudah sukses menjadi
kesepatakan dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) untuk
investasi sektor jasa. Sementara itu untuk belanja pemerintah selama ini hanya
dijalankan oleh pemerintah dengan tender nasional. Padahal belanja pemerintah
yang banyak dibelanjakan untuk membangun infrastruktur ini sangat besar. Di
sinilah MNCs merasa berkepentingan. Dengan dimasukkannya dalam perjanjian
multilateral WTO, maka tender akan dilakukan secara internasional, dan
pemenangnya sudah bisa ditebak, akhirnya perusahaan infrastuktur nasional akan
mati dengan sendirinya.42
Kebijakan kompetisi menjadi sasaran WTO dengan tujuan untuk
meningkatkan iklim persaingan di masing-masing negara. Kebijakan ini juga
menyentuh pada sektor-sektor non-perdagangan seperti listrik, air, dan gas dimana
biasanya dimonopoli negara. Dengan kebijakan ini memungkinkan MNCs untuk
langsung masuk dalam perdagangan nasional suatu negara. Indonesia sendiri telah
menjalankan kebijakan persaingan ini sebagai bentuk perjanjian dengan IMF.43
Selanjutnya untuk memperkuat ekspansi MNCs masuk ke perdagangan nasional
suatu negara maka perlu dilaksanakan fasilitasi perdagangan yang mengenai
berbagai aturan non ekonomis seperti masalah kerja sama standar teknis, pabean
dan karantina, pameran dagang, misi perdagangan dan lainnya.44
Selain kerangka empat hal di atas, isu yang juga terus getol disuarakan
untuk diliberalisasi adalah sektor pertanian. Di sini kontroversi berjalan, negara-
60
negara maju mengampanyekan liberalisasi pasar pertanian negara-negara
berkembang namun pada sisi lain, negara industri maju melakukan proteksi
terhadap sektor pertanian mereka. Akhirnya dalam pasaran internasional, produk
pertanian negara-negara berkembang kalah bersaing dengan produk pertanian
negara-negara maju. Sembari demikian, liberalisasi pada setiap sektor terus
menjadi incaran WTO.
International Monetary Fund (IMF)
Mantra paling manjur yang dikeluarkan oleh IMF untuk para korbannya
adalah SAP (Structural Adjusment Programs) yang meliputi (1) liberalisasi impor
dan pelaksanaan aliran uang bebas, (2) nilai tukar mengambang (floating rate), (3)
kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk pembatasan kredit, peningkatan suku
bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga public
utilities dan penekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji.45 Ketiga proyek
SAP tersebut lebih sering dikenal dengan proyek liberalisasi, privatisasi, dan
deregulasi. Dengan mantra tersebut lebih dari 100 negara sedang berkembang dan
bekas negara-negara komunis telah menjadi korbannya. Dengan argumen
pengentasan kemiskinan namun pendekatan yang dipakai ternyata hanya sebatas
stabilitas finansial dan moneter.46 IMF mengasumsikan bahwa dengan stabilitas
finansial dan moneter maka perekonomian suatu negara akan bangkit sehingga
akan merangsang iklim usaha yang berujung pada peningkatan kemakmuran,
resep yang ternyata melenceng jauh. Bahkan kecenderungan yang ada IMF
menjebloskan jutaan orang ke jurang kemiskinan kian dalam.
61
Sebagai lembaga Dana Moneter Internasional kebijakan IMF juga sangat
jelas ditunggangi oleh kepentingan bisnis MNCs. Hal ini misalnya dapat dilihat
dari resep yang dipergunakan untuk menangani setiap negara yang terkena krisis.
Tanpa melihat permasalahan yang berbeda pada setiap negara IMF langsung
menyodorkan sejumlah program penanganan krisis dengan resep SAP tersebut.
Bahkan sebagaimana dipaparkan oleh Joseph Stiglitz, para ahli yang didatangkan
IMF untuk melakukan survei terhadap negara calon penerima bantuan kebanyakan
tidak mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Mereka bukannya melihat
realitas kemiskinan yang ada, namun hanya untuk sekedar numpang tidur di hotel
bintang lima di negara tersebut. Bahkan pernah dijumpai laporan survei yang
ternyata hanya copy and paste dari hasil laporan negara lain, dengan hanya
mengganti dengan nama negara yang bersangkutan.47
Melihat gelagat yang tidak sehat tersebut, ekonom Massachusetts Institute
of Technology (MIT) Paul Krugman menilai bahwa IMF memiliki dua kelemahan
atau keterbataasan yakni, keterbatasan modal dana (limited financial capital) dan
keterbatasan modal politik (limited political capital).48 Indikasi dari perkataan
Krugman, ketika terjadi krisis bersamaan pada tahun 1998 di Brasil, Argentina,
dan Rusia, IMF ternyata hanya mampu menyetor antara 350 hingga 400 juta
dollar setiap 3-4 bulan. Selama lima tahun kontrak Indonesia dengan IMF, dana
IMF yang masuk ke Bank Indonesia hanya sekitar lima milyar dollar. Jumlah
yang jauh dari cukup untuk menanggulangi krisis yang begitu akut.49 Lebih parah
lagi, IMF ternyata sangat tergantung pendanaannya kepada bunga dari para
debitor tersebut. Indikasinya adalah ketika Indonesia, Korsel, Rusia, Argentina,
62
dan Meksiko telah mengembalikan dana pinjamannya karena krisis yang melanda
telah berhasil diatasi, IMF justru kekurangan dana operasionalnya.50 Dengan
logika semacam itu, layak jika IMF justru sangat senang jika ada negara yang
terkena krisis yang tak kunjung pulih, karena dari situlah hidup IMF.
Sementara itu mengenai keterbatasan modal politik, Alan Meltzer,
Profesor di Carnegie Mellon University, Pittsburgh menegaskan, pertama, IMF
dianggap terlalu memberikan toleransi terhadap praktek korupsi di Indonesia.
Kedua, fenomena moral hazard masih subur di Indonesia. Kedua hal tersebut
dianggap kurang tersentuh, meskipun kampanye good corporate governance terus
digembar-gemborkan. Permasalahannya adalah bahwa kampanye tidak diikuti
dengan penegakan hukum secara konsisten.51 Akhirnya kampanye hanya sebatas
omong kosong belaka. Dalam konteks pemulihan ekonomi Indonesia, sebuah
tindakan ekonomi harus diiringi atau justru imperatif tindakan hukum.
Kemudian mengenai keanggotaan dan kekuasaan, pada tahun 2000 IMF
terdiri dari 182 negara. Setiap anggota dikenakan fee atau kuota (saham) sebagai
biaya keanggotaan. Besarnya ditentukan oleh skala perekonomian masing-masing
negara, serta peranan mata uangnya dalam perdagangan dan pembayaran dunia.
Dari dana inilah pinjaman IMF disalurkan ke negara-negara anggota yang
membutuhkan.52
Sementara itu kekuasaan pengambilan keputusan di IMF ditentukan
melalui voting. Sedangkan kekuatan suara diperhitungkan dari besar kecilnya
share saham mereka. Dengan mekanisme semacam ini jelas, negara yang tingkat
perkonomiannya besar seperti Amerika dan negara-negara Eropa dan Jepang
63
memiliki jumlah suara paling besar. Amerika saja memiliki share saham 17,1%
yang juga menunjukkan jumlah suaranya. Sementara Jepang memiliki 6,14%.
Bandingkan dengan share saham dan suara gabungan negara-negara Asia
Tenggara (Indonesia, Brunai, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Singapura, Vietnam,
dll) yang hanya 3,18%, sangat tidak sebanding.53 Dengan jumlah suara pada
negara-negara maju yang begitu dominan, dapat ditebak, hasil-hasilnya pun akan
menguntungkan kepentingan negara-negara maju yang disetir oleh kekuatan
MNCs. Akhjirnya menjadi lumrah jika kebijakan yang diterapkan dalam rangka
pemulihan krisis negara-negara yang menjadi pasiennya tidak didasarkan fakta
empiris objektif kemiskinan yang ada, melainkan pada pemodal.
Wold Bank (Bank Dunia)
Terlahir dengan nama resmi International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD) pada Juli 1944 sebagai salah satu lembaga Bretton Woods.
Sampai sekarang pun nama resminya tetap IBRD namun lebih dikenal dengan
nama World Bank atau Bank Dunia.54 Didirikan untuk membantu pembangunan
dan rekonstruksi teritori para anggotanya dengan cara memfasilitasi investasi
modal untuk tujuan produksi. Sampai sekarang paling tidak ada 181 negara yang
menjadi anggotanya. Direktur Bank Dunia ditentukan berdasarkan besarnya
saham yang ditanamkan di dalamnya.55
Bank Dunia memiliki program pokok pengentasan kemiskinan yang
menjadi satu paket dengan pelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Namun
demikian, ketika Bank Dunia melewati dasawarsanya yang keenam, dalam rangka
64
usahanya memajukan pembangunan, kaum miskin di sebagian besar negara
peminjam justru berada dalam kondisi yang jauh lebih buruk dari kondisi lima
belas tahun sebelumnya. Menurut data UNDP (United Nations Development
Program) sejak tahun 1980, kemerosotan dan stagnasi di bidang ekonomi telah
berdampak pada 100 negara, dimana penyusutan pendapatan terjadi pada 1,6
milyar orang. Bahkan lebih lanjut penduduk termiskin yang jumlahnya seperlima
penduduk dunia telah merasakan bahwa bagian mereka dalam pendapatan global
merosot, dari 2,3% menjadi 1,4% selama 30 tahun terakhir.56
Mengapa keadaan semacam ini bisa terjadi, penyebabnya dapat dilacak
dengan analisis sederhana. Bank Dunia dengan lembaga kreditor partnernya
seperti Asian Development Bank (ADB) dan Consultative Group on Indonesia
(CGI) menyediakan bantuan atau hutang yang dalam bahasa lebih halus disebut
dengan Official Development Assistance (ODA), bantuan resmi pembangunan.57
Bantuan Bank Dunia tersebut ditujukan lebih banyak bagi infrastruktur fisik dan
sosial seperti jalan raya, pembangkit listrik, telekomunikasi, serta pembenahan
birokrasi.58 Disamping masuknya ODA tersebut, Penanaman Modal Asing (PMA)
oleh MNCs pun masuk. Dengan masuknya PMA ini diasumsikan pertumbuhan
ekonomi akan terjadi dengan wujud naiknya pendapatan nasional, penyerapan
tenaga kerja, dan peningkatan perolehan devisa ekspor. Dari sini skenarionya
dapat dilihat, ODA menjadi semacam fasilitas bagi MNCs agar dalam
menjalankan usahanya berjalan tanpa hambatan. Apalagi sebagian besar MNCs
raksasa yang bergerak di negara-negara berkembang bergerak dalam proyek-
proyek industri ekstraktif yang menguras sumber daya alam (SDA). Sementara itu
65
pembagian prosentase keuntungan sangat tidak seimbang. MNCs mendapatkan
porsi sangat besar, sementara negara home base industri pembagiannya sangat
sedikit, sementara SDA-nya dikuras habis-habisan. Akhirnya hasil produksi
MNCs lebih banyak masuk ke kantong-kantong MNCs tersebut dan negara-negara
maju dimana kantor MNCs berpusat.59
Seiring waktu, negara-negara kaya mulai kesulitan karena pengeluarannya
semakin besar. Dana untuk menyumbang negara berkembang melalui ODA mulai
menipis karena sebagiaan negara berkembang tersebut mulai kesulitan membayar,
sedangkan kebutuhannya semakin besar. Salah satu sebabnya juga karena SDA
yang ada sudah terkuras oleh MNCs tersebut.60
Dari fakta semacam itu dapat dilihat bahwa logika yang berjalan tidak
sesuai desain Bank Dunia maupun IMF. Asumsinya negara berkembang diberikan
bantuan demi menutup defisit perdagangan yang ada. Setelah defisit perdagangan
berubah menjadi surplus perdagangan (sesuatu yang hanya dongeng belaka),
maka negara tersebut akan mengembalikan pinjaman tersebut beserta bunganya.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, pinjaman tersebut justru semakin
memperbesar defisit perdagangannya. Jika dulu hanya satu defisit yang harus
dibayar, kini negara tersebut tidak saja harus menutup defisit perdagangannya,
tetapi juga harus menutup cicilan lamanya beserta bunganya. Akhirnya negara
berkembang tersebut terjerat oleh rantai utang yang semakin menjerumuskannya
pada kemiskinan semakin dalam.61
Semakin jelas di sini bahwa kebijakan Bank Dunia sama sekali tidak
memihak pada mayoritas rakyat miskin di dunia ketiga. Ernset Feder, seorang
66
pengamat MNCs bahkan menegaskan bahwa kepentingan utama Bank Dunia
adalah memajukan sistem perusahaan swasta di seluruh dunia ketiga. Karena
Bank Dunia memang banyak dibayai oleh penguasaha MNCs, maka tak heran jika
setiap proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia selalu digiring untuk mendirikan
atau memantapkan perusahaan swasta (termasuk dan terutama MNCs tersebut).62
Buntut dari kebijakan tersebut adalah semakin besarnya kesenjangan ekonomi di
dunia ketiga. Kesenjangan ini berbuntut pada kerusuhan-kerusuhan sosial yang
tak jarang menggoyahkan pemerintahan yang ada. Kerusuhan tersebut kemudian
diredam dengan kekuatan militer yang dibiayai dan dibekingi oleh MNCs dengan
negara industri maju seperti Amerika digunakan sebagai senjata politiknya.
Multinational Corporations (MNCs)
Permasalahan mengenai MNCs telah menimbulkan perdebatan yang
panjang, baik dari sisi tempo maupun pada sisi kerugian dan beneficiaries-nya.
Pasca PD II, industrialisasi di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang dan
Eropa mengalami pertumbuhan yang sangat mengagumkan. Seiring dengan itu,
tumbuhlah sebuah kekuatan industri berskala besar yang kian hari semakin
menjangkau ke luar negaranya. Karena jangkauannya yang begitu melintas batas
negara maka ia disebut dengan Multinational Corporations (MNCs).63
Dalam era perekonomian global sekarang ini MNCs telah memainkan
peranan yang begitu mencengangkan. Hampir dapat dikatakan bahwa era
perekonomian sekarang dikuasai oleh MNCs tersebut. Meskipun tidak dapat
ditampik bahwa kepentingan negara industri maju juga mengiringinya. Lini usaha
67
yang dilaksanakan oleh MNCs tersebut juga sangat beragam, hampir menjangkau
seluruh kebutuhan konsumsi manusia, baik konsumsi yang mendasar maupun
konsumsi yang bersifat artifisial.64
Motivasi MNCs sebagai sebuah korporasi sebenarnya sama dengan
perusahaan pada umumnya yakni kemakmuran yang diwujudkan dalam bentuk
keuntungan perusahaan, namun karena skalanya yang begitu besar, berbeda
dengan korporasi nasional dan lokal, dengan modal, teknologi, pengetahuan dan
keterampilan manajer-manajernya menyebabkan peluang untuk memperoleh
keuntungan dalam jumlah yang jauh lebih besar. Tak heran jika kemudian negara
besar semacam Amerika sendiri merasa terancam kedaulatannya atas keberadaan
MNCs. Ini disebabkan karena otoritas pemerintahan seperti pengendalian uang
beredar, arus impor dan ekspor terganggu oleh gerak MNCs di negaranya.65
Meskipun dalam banyak hal saling terjadi simbiosis mutualisme antara keduanya.
Kecenderungan MNCs sekarang ini melakukan ekspansi pasar ke luar
negeri, terutama negara berkembang dengan menyertakan pabriknya ke negara
tersebut. Faktor yang mendorong hal tersebut adalah, MNCs tersebut memiliki
keunggulan kompetitif yang tidak ingin mereka bagi dengan perusahaan lain baik
sesama MNCs maupun perusahaan nasional dan lokal negara tersebut. Faktor lain
adalah bahwa dengan berekspansi ke luar negeri akan terhindar dari hambatan
perdagangan, dekat dengan pasar, serta tenaga buruh yang murah.66
Motivasi MNCs yang ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya
membuat banyak upaya yang dilakukan oleh MNCs berdampak merugikan
negara dimana MNCs beroperasi (terutama negara berkembang). Pertama, dengan
68
hadirnya MNCs yang padat modal di negara berkembang, maka perusahaan
nasional dan lokal yang memiliki modal kecil akan terhambat perkembangannya.
Bahkan akibat lebih ekstrem, usaha-usaha pribumi akan mati karenanya. Kedua,
hadirnya MNCs ke negara berkembang diharapkan akan meningkatkan kapabilitas
teknis dan keahlian tenaga kerja negara berkembang. Namun dalam kenyataannya,
hal semacam itu tidak dilakukan oleh MNCs. Dari pengalaman, sedikit sekali
didirikn semacam Litbang di dalam perusahaan yang beroperasi di negara
berkembang. Usaha Litbang dan badan tersbeut lebih banyak dilakukan di negara
asal MNCs tersebut dan dilakukan sangat eksklusif. Maka akibatnya ketika MNCs
tersebut pergi tidak ada alih teknologi. Teknologi yang diharapkan berguna bagi
pengembangan dan pembangunan penduduk lokal dan negara tersebut. Alasannya
jelas, bahwa MNCs tentu tidak ingin mendapatkan saingan. Disamping itu, negara
tersebut akan mengalami ketergantungan terhadap MNCs tersebut.67
Ketiga, ketika terjadi alih teknologi, belum tentu teknologi tersebut tepat
guna bagi negara bersangkutan. Apakah cuikup relevan teknologi yang lebih
bersifat padat modal dihadirkan ke Indonesia dengan jumlah angkatan kerja yang
besar dan lebih membutuhkan teknologi yang padat karya. Selain itu barang-
barang konsumsi juga banyak yang tidak sesuai dengan kondisi negara
bersangkutan. Soft drink sebagai produk konsumsi negara industri maju dirasa
tidak relevan dengan kondisi negara miskin di Afrika yang kebutuhan pokoknya
belum terpenuhi. Keempat, MNCs yang beroperasi di negara berkembang
umumnya tidak mau mengembangkan hubungan kemitraan dengan perusahaan
lokal dan menggunakan jasa buruh dan manajer lokal. Pertimbangannya, dengan
69
banyaknya dibangun kemitraan semacam itu, akan menguntungkan ekonomi
lokal. Minimnya hubungan kemitraan MNCs dengan perusahaan lokal
menyebabkan aliran keuntungan kembali mengalir ke MNCs dan negara asal
MNCs tersebut.68
Kelima, MNCs banyak melakukan eksploitasi buruh di negara
berkembang dengan memberikan upah murah dan jaminan keamanan kerja yang
rendah. Santunan yang diberikan kepada buruh juga sangat minim sehingga
peningkatan taraf hidup buruh tidak berubah lebih baik. Keenam, motivasi
relokasi industri MNCs ke negara berkembang adalah isu lingkungan di negara
maju yang sensitif dan berkaitan dengan ketatnya tuntutan hukum. Karena
infrastruktur hukum dalam kaitannya dengan lingkungan di negara berkembang
masih lemah MNCs melakukan usaha-usaha industrinya, baik yang bersifat
ekstraktif maupun konstruktif tanpa mengindahkan keselamatan lingkungan
hidup. Akibatnya kehancuran lingkungan hidup di negara berkembang terjadi
demikian cepat tanpa ada tuntutan hukum yang berarti. Sementara di negara asal
kegiatan semacam itu mendapatkan sanksi hukum dan sanksi ekonomi yang
sangat tinggi. Akibatnya MNCs dianggap telah memindahkan pencemaran
lingkungan dari negara maju ke negara berkembang.69
Lebih lanjut, (ketujuh) keberadaan MNCs juga dapat mempengaruhi
kondisi politik suatu negara. MNCs tentu menginginkan keadaan yang stabil
untuk berinvestasi di suatu negara. Mereka tidak berkepentingan terhadap
demokratisasi dan pelaksanaan HAM dalam suatu negara. Sebuah MNCs dapat
beroperasi dengan lancar meskipun yang memerintah adalah rezim otoriter, baik
70
kanan maupun kiri. Namun ketika kepentingan MNCs di suatu negara terganggu,
ia akan mengerahkan kekuatan ekonominya untuk menundukkan negara tersebut.
Dengan alasan keamanan yang tidak kondusif untuk berinvestasi, mereka akan
dengan mudah meninggalkan negara tersebut. Dalam kondisi lebih ekstrem,
MNCs akan meminta negara asal MNCs untuk menggulingkan kekuasaan negara
bersangkutan.70
Dari beragam dampak keberadaan MNCs dalam suatu negara tersebut,
terlihat bahwa MNCs sebagai bagian dari agenda neoliberal memiliki kepentingan
yang sangat kuat terhadap tatanan neoliberal yang menitikberatkan pada logika
kapital dan pelucutan peran negara dalam regulasi sektor publik. Terlebih
sekarang ini terdapat kecenderungan yang semakin kuat MNCs mempergunakan
negara-negara industri maju sebagai bamper dari kehendak berkuasanya atas
kapital di negera-negara berkembang. Kekuatan MNCs akan semakin nyata
pengaruhnya ketika pejabat-pejabat publik juga merupakan komisaris dari MNCs
tersebut, maka kekuatan modal akan berkolaborasi dengan kekuasaan politik
untuk memuaskan nafsu demi pengurasan kekayaan negara-negara di dunia
ketiga. Kemudian gelombang kemiskinan dan dikrepansi antara negara maju
dengan dunia ketiga akan semakin lebar.
Sebagai sebuah contoh kasus, di Amerika sendiri MNCs telah menguasai
seluruh suara di parlemen. Baik partai pemerintah maupun oposisi, keduanya
mendukung secara penuh usaha-usaha MNCs Amerika untuk memperluas pangsa
pasarnya ke luar negeri. Bahkan dengan mengorbankan program-program sosial
dalam negeri. Jadi dalam hal ini, siapa pun yang berkuasa demokrat maupun
71
republik tidak akan berpengaruh terhadap keberlangsungan dan kedudukan
MNCs Amerika dalam menjalankan usaha-usahanya.71
Akhirnya sampailah pada simpulan bahwa dari sekian institusi neoliberal
tersebut semua mengabdi pada kepentingan modal, dengan MNCs menjadi sangat
penting perannya dalam menjalankan skenario ini. Bahkan dapat dikatakan, semua
institusi neoliberal tersebut, WTO, IMF, Bank Dunia dan dalam banyak
kesempatan negara-negara industri maju, bekerja dalam kerangka penguatan
kekuatan modal yang dikendarai dan demi kepentingan MNCs.
C. NEOLIBERALISME KONTEKS INDONESIA
Liberalizing New Order Indonesia: Ideas, Epistemic Community, and
Economic Policy Change, adalah tesis Rizal Mallarangeng di Ohio State
University.72 Di sini Celli (panggilan akrabnya) mengemukakan bahwa kaum
teknokrat dalam lingkup pemerintahan maupun komunitas intelektual liberal di
luar pemerintahan akan memberi sumbangan besar dalam liberalisasi ekonomi
Orde Baru. Melalui kaum intelektual liberal sebagai wakil komunitas epistemik
liberal di Indonesia publik akan diyakinkan secara persuasif sehingga mau
menerima gagasan tentang kebebasan pasar dan kebebasan ekonomi.
Apa yang diungkapkan Rizal Mallarangeng ternyata tidak banyak
melenceng. Sejak Orde Baru pemerintahan Indonesia memang sudah disetir oleh
tangan-tangan kaum kanan liberal. Para teknokrat Orde Baru adalah juga
intelektual yang sering dijuluki Mafia Berkeley (Universitas California di
Berkeley), almamater dimana sebagian besar teknokrat Orba mengenyam
72
pendidikannya. Para intelektual di universitas dalam negeri pun banyak yang
berhaluan liberal. Sri Mulyani, Anggito Abimanyu, dan tentu saja Rizal
Mallarangeng, adalah segelintir dari sekian banyak intelektual neoliberal tersebut.
Mereka yang juga kemudian menjadi teknokrat pemerintahan sekarang ini.
Proyek neoliberal mulai terasa santer isunya pasca krisis 1998 menempa
Indonesia. Namun sebenarnya ia telah lama bercokol di Indonesia. Bahkan
pemerintahan Orde Baru pun sudah sejak tahun 1980-an mengadakan serangkaian
kebijakan yang dianggap neoliberal seperti misalnya deregulasi. Namun sejak
1997, kebijakan neoliberal yang dimotori IMF melalui Memorandum of Economic
and Financial Policies (MEFP) atau lebih dikenal dengan Letter of Intent (LOI)
terasa lebih kentara.73 Dengan dalih memberikan bantuan ekonomi untuk
mengatasi balance of payment, IMF mengajukan syarat diantaranya, penurunan
tarif impor, dan pembukaan sektor usaha bagi investasi asing. Dalam bidang
pertanian,Indonesia harus membuka diri pada impor pupuk maupun bibit
pertanian, dimana kemudian diiringi dengan kebjakan privatisasi perusahaan
pupuk. Indonesia juga harus secara bertahap melepas BUMN-nya dan
menjadikannya perusahaan swasta.74 Inilah yang banyak dikenal sebagai
Structural Adjusment Program (SAP), yang meliputi liberalisasi, privatisasi, dan
deregulasi.
Jadilah kemudian resep itu dijalankan, liberalisasi perdagangan pun
dimulai. Ketika di kawasan Amerika Utara terdapat NAFTA (North America Free
Trade Area), maka di kawasan Asia Tenggara pun terdapat hal serupa. Pasar
bebas ASEAN akan berlaku bagi Indonesia pada tahun 2010, untuk kemudian
73
mengintegrasikan diri dalam perdagangan bebas dunia pada 2020. Ini dalam skala
makro, dalam skala mikro atau dalam skup negara, ada banyak hal yang harus
dipenuhi agar free trade ini dapat berjalan. Hal ini meliputi kebijakan yang
berkaitan dengan liberalisasi perdagangan, misalnya liberalisasi sektor finansial
yang mengharuskan bahwa sektor finansial lebih liberal agar persaingan kian ketat
sehingga mengalami peningkatan efisiensi. Kebijakan ini diiringi dengan
liberalisasi nilai tukar dimana nilai tukar rupiah terhadap dollar dan mata uang
asing lain dilepas bebas. Dengan kebijakan ini diharapkan juga akan
meningkatkan tingkat kompetisi mata uang rupiah terhadap mata uang lain. Hal
semacam ini sebagai salah satu parameter dimana nilai tukar dapat dikatakan
kredibel. Tidak ada intervensi pemerintah dalam menentukan nilai tukar mata
uangnya. Hal yang tidak terjadi pada era kepemimpinan Suharto dengan kebijakan
uang ketatnya, meskipun kemudian ambruk. 75
Untuk melancarkan liberalisasi perdagangan juga diperlukan adanya
pembatasan terhadap halangan-halangan yang membatasi berlangsungnya sistem
perdagangan bebas, misalnya adalah penghapusan tarif bea impor. Dengan begitu
barang-barang luar negeri akan dengan mudah masuk ke Indonesia tanpa melalui
prosedur yang berbelit-belit dan dengan biaya murah. Pada akhirnya barang-
barang tersebut mudah bersaing dengan barang-barang dalam negeri. Kebanyakan
barang-barang impor tersebut harganya lebih murah daripada barang-barang
produk dalam negeri. Namun jika dilihat lebih jauh, fenomena lebih murahnya
barang-barang tersebut terjadi karena kebijakan negara pengekspor barang-barang
74
tersebut, misalnya dengan politik damping, seperti yang dipraktekkan oleh Jepang
dan China. Atau dengan jalan mensubsidi biaya produksi barang-barang tersebut.
Masuknya barang-barang produksi pertanian dan industri dari luar banyak
kemudian mematikan sektor pertanian dan industri serupa yang ada di Indonesia.
Misalnya dengan kebijakan impor beras dari Vietnam, berakibat pada penurunan
harga beras yang menyebabkan meruginya petani dalam negeri. Dengan harga
sebelum mengalami penurunan saja, dari sisi biaya produksi sudah mengalami
defisit, apalagi setelah dilakukannya impor beras. Selain itu, kebijakan impor
beras tidak memperhitungkan dinamika pasar dalam negeri yang dimungkinkan
menyebabkan naik turunnya harga beras. Harga beras di pasar tidak selalu
diakibatkan oleh kelangkaan beras di pasar, namun sangat terkait dengan
permainan para pedagang beras yang menimbun beras sehingga menimbulkan
langkanya beras yang beredar.
Tabel 176
Komposisi Kepemilikan Saham BUMN Terbuka Tahun 2006
Komposisi Kepemilikan Saham (dalam persen)
Publik
No. BUMN
Pemerintah Non Publik
Domestik Asing
1 Indosat 14,29 40,81 44,9
2 Telkom 51,19 - 2,61 46,20
3 Adhikarya 51,00 - 29,2 19,8
4 Timah 65,00 - 25,41 9,59
5 Bukit Asam Batubara 65,02 - 24,15 10,83
6 Bank BRI 56,97 - 4,72 38,31
7 Bank Mandiri 69,10 - 4,50 26,4
8 ANTAM 65,00 - 4,6 30,4
9 Semen Gresik 51,01 24,90 24,09
10 PGN 55,26 - 44,74
11 Bank BNI 99,11 - 0,88
12 Indofarma 80,66 - 19,34
13 Kimia Farma 90,00 - 10,00
Sumber: Laporan Tahunan Perusahaan. Dalam Sunarsip, 2007
75
Pada bagian berikutnya, sebagai bagian yang mutlak dilakukan dalam
kerangka SAP adalah privatisasi. Sasaran program ini adalah aset-aset pemerintah,
seperti perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh pemerintah (BUMN).
Privatisasi BUMN sendiri banyak diasumsikan bermula dari tesis bahwa selama
ini perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh pemerintah tidak dapat berjalan
efektif dan efisien. Indikasinya adalah banyaknya terjadi pemborosan dan
banyaknya kasus KKN yang berujung pada penggerogotan BUMN tersebut.
Namun yang terjadi tidak sekedar demikian. Seperti dijelaskan oleh Petras dan
Veltmeyer,77 tujuan utama privatisasi BUMN sebagai perusahaan milik seluruh
rakyat Indonesia, bukanlah untuk mengambil alih perusahaan, melainkan untuk
menata ulang struktur perekonomian sebuah negara untuk melapangkan jalan bagi
penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara internasioanl.
Tanpa terkait dengan SAP-nya IMF, sebenarnya Indonesia pernah
melakukan privatisasi, yakni ketika pemerintahan Orde Baru Suharto pada tahun
1988. Namun agenda privatisasi yang berjalan adalah dalam rangka deregulasi
dan debirokratisasi nasional. Titik berat privatisasi BUMN waktu itu adalah
perbaikan kinerja keuangan BUMN. Dengan itu diharapkan kinerja BUMN akan
berjalan efektif dan efisien. Maka dilakukanlah perubahan status BUMN secara
gradual. Perusahaan yang berstatus perusahaan jawatan (perjan) dan perusahaan
umum (perum) diubah menjadi perusahaan perseroan (persero).78
Bertolak dari pengalaman yang ada, dapat dibandingkan dan dikoreksi
bahwa kebijakan privatisasi sebagai bagian SAP adalah dalam rangka perubahan
kepemilikan BUMN kepada pihak swasta atau asing yang syarat dengan
76
kepentingan neoliberal. Bahkan Stiglitz mengemukakan, karena dilaksanakan di
tengah situasi krisis, maka dapat dikatakan bahwa agenda ini ditunggangi
kepentingan modal multinasional (MNCs) yang bersembunyi di belakang IMF
untuk merampok BUMN dengan harga obral.79 Kasus yang cukup mudah dan
masih segar dalam ingatan kita adalah penjualan saham Indosat kepada
perusahaan telekomunikasi Singapura, Singapore Technologies Telemedia (STT).
Hal yang cukup mengkhawatirkan dari praktek privatisasi BUMN ini
adalah tidak dipertimbangkannya aspek eksternalitas BUMN tersebut, artinya
bagaimana nilai strategis BUMN tersebut bagi masyarakat. Hal yang selalu
menjadi pertimbangan hanya aspek kinerja dan keuangan BUMN tersebut.
Padahal aspek eksternalitas ini yang seharusnya diperhatikan dengan serius terkait
dengan amanat pasal 33 UUD 45. Bagaimana kepentingan masyarakat luas
terhadap keberadaan BUMN tersebut. Apakah BUMN tersebut berfungsi untuk
memenuhi hajat hidup orang banyak atau tidak.80
Agenda yang tak kalah pentingnya dalam konteks SAP adalah
deregulasi.81 Deregulasi di sini terkait dengan aturan-aturan atau undang-undang
produk pemerintah yang dirasa menghambat pertumbuhan ekonomi dan
menyebabkan inefisiensi. Jelas di sini agenda neoliberal, bahwa aturan-aturan
yang dibuat kemudian adalah aturan yang akan memudahkan masuknya modal
transnasional ke Indonesia. Muncullah kemudian apa yang disebut dengan UU
Migas, UU Listrik (yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi), dan
UU Sumber Daya Air (SDA). Melalui UU Migas yang disyahkan pada tahun
2001 misalnya, Pertamina, sebagai BUMN yang keberadaannya untuk memenuhi
77
kebutuhan rakyat Indonesia terhadap migas, sekarang tidak lagi menjadi pemain
tunggal dalam pengelolaan Migas di Indonesia. Ia harus bersaing dengan
perusahaan migas multinasional seperti Shell, ExxonMobil, dll.82
Sebagai contoh kasus, dalam penanganan proyek minyak di Blok Cepu
yang berlokasi di perbatasan Jateng dan Jatim, Pertamina harus rela berbagi
keuntungan sama rata (45:45) dengan ExxonMobil. Padahal banyak pengamat
energi menilai, Pertamina sebenarnya mampu mengelola ladang minyak tersebut
sendiri, tanpa harus bekerja sama dengan ExxonMobil, disamping tidak ada alasan
yang logis bagi pemerintah untuk memperpanjang kontrak dengan ExxonMobil
dalam penanganan minyak Blok Cepu.83
Dari beragam kebijakan pemerintah yang bernuansa neoliberal tersebut,
memunculkan implikasi yang dalam dan meluas. Kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah ternyata sangat dirasakan secara langsung oleh rakyat
kecil. Bahwa kebijakan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi tersebut juga
meniscayakan semakin minimnya jaminan sosial atas rakyat kecil dalam bentuk
ditariknya subsidi bagi mereka. Dan yang menarik namun ironis, minimnya atau
ditariknya subsidi tersebut adalah bagian dari kebijakan neoliberal tersebut,
dengan logika bahwa program neoliberal hanya dapat berjalan jika subsidi untuk
rakyat ditiadakan. Subsidi dianggap sebagai pengeluaran pemerintah yang tidak
penting, bahkan tidak perlu. Pengeluaran pemerintah lebih baik diprioritaskan
untuk pos lain yang sesuai dengan agenda neoliberal.
Selanjutnya muncullah kebijakan pemerintah seperti kenaikan tarif bahan
bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), tarif air, dan tarif telepon. Tarif
78
BBM hampir setiap tahun mengalami kenaikan. Pada tahun 2005 saja mengalami
kenaikan sebanyak dua kali, yakni pada 1 Maret dan 1 Oktober 2005). Ini
dilakukan agar harga BBM dalam negeri sama dengan harga internasional.84
Meskipun ironisnya dari sisi kualitas BBM, spesifiknya bensin (premium), masih
dibawah standar internasional, bensin dalam negeri berkadar oktan rendah dan
masih bertimbal.85 Hal ini diiringi dengan kebijakan kenaikan TDL yang pada
tahun 2004 saja mengalami kenaikan sampai 10 kali.86 Tarif air dan telepon juga
mengalami hal serupa, namun hal yang paling mendapat sorotan dan reaksi keras
dari banyak pihak adalah kenaikan BBM dan TDL, karena inilah yang paling
dirasakan oleh rakyat kecil. Dan jadilah rakyat kecil sebagai korbannya.
D. GERAKAN GLOBAL MELAWAN NEOLIBERALISME
Bagaimana mungkin sebuah pertemuan besar mengenai perencanaan
perekonomian global tidak memasukkan agenda kelaparan anak-anak dari
keluarga miskin di negara-negara Afrika Sub Sahara demikianlah celetukan
Gina, seorang wanita lugu dalam suatu summit meeting perwakilan menteri-
menteri keuangan dan perekonomian negara-negara anggota Group Eight (G-8) di
Reykjavik, Eslandia. Sontak saja, Lawrence, peneliti senior pada kementrian
ekonomi Inggris, sang pacar Gina, sangat terpukul dan kemudian mendapatkan
teguran dari menteri keuangannya. Bisa-bisanya dalam forum terhormat ini,
yang dihadiri salah satunya oleh Gerhard Schroeder (Kanselir Jerman) seorang
yang tidak memiliki sopan santun masuk tanpa ijin demikian teguran dari sang
menteri.
79
Itulah sekilas potongan cerita dalam film Girls in Cafe. Sebuah suara
penentangan terhadap praktek bagi-bagi rejeki antara para pemilik modal yang
direpresentasikan oleh negara-negara anggota G-8, ternyata ada di tengah-tengah
mereka. G-8 merupakan forum pertemuan negara-negara industri maju pendukung
neoliberalisme. Hal tersebut menunjukkan bahwa realitas neoliberalisme memang
mengandung kontradiksi yang sangat akut sehingga orang-orang yang berada
dalam inti pusarannya saja melakukan penentangan terhadapnya.
Hal yang dipaparkan di atas mungkin hanya sebatas film, namun film juga
seringkali menunjukkan realitas atau muatan yang sesungguhnya. Begitulah,
ternyata di lapangan penentangan terhadap neoliberalisme juga demikian kuat.
Bentuknya pun sangat beragam. Dari bentuk penentangan melalui gerakan wacana
dan perdebatan intelektual di kampus-kampus, sampai dengan aksi-aksi jalanan.
Level penentangannya pun sangat beragam. Dari mereka yang bergerak di ranah
akar rumput, sampai kepada gerakan yang menegara, dan dari level yang sangat
lokalistik sampai dengan level yang mengglobal.
Untuk penentangan yang bersifat wacana intelektual dapat disimak
misalnya tulisan-tulisan Joseph Stiglitz seorang mantan wakil presiden Bank
Dunia dan pemenang nobel ekonomi tahun 2001 dalam Globalization and Its
Discontent (2002), yang karena pengalamannya sehingga mampu membedah dan
memerinci kontradiksi dalam neoliberalisme yang mewujud dalam globalisasi.
Karya-karya lain misalnya David C. Korten dengan When Corporations Rule the
World (1995), dianggap sebagai buku paling berwibawa yang mengupas
neoliberalisme. Atau Michael Chossudovsky, The Globalization of Poverty,
80
Impact of IMF and World Bank (1998) yang menguliti kebobrokan IMF dan Bank
Dunia dalam aksi pemiskinan global. Penulis dan akademisi lain juga dapat
disebutkan seperti Noreena Heertz, James Petras & Henry Veltmeyer, dan lain
sebagainya.87
Selain dalam bentuk tulisan dan wacana publik, perlawanan terhadap
neoliberalisme juga dilakukan dalam sebuah forum kajian bersama seperti
International Forum on Globalization (IFG), Peoples' Global Action Against Free
Trade and the WTO (PGA) dan World Social Forum (WSF).88 Menariknya,
forum-forum tersebut kemudian mem-follow up-i kajian mereka dengan aksi dan
protes-protes jalanan. Bahkan terkadang beberapa lembaga tersebut didirikan
sebagai think thank atau sebuah langkah strategis untuik melakukan langkah lebih
jauh dan lebih konkret. Sebut saja WSF misalnya dibentuk sebagai rival terhadap
World Economic Forum (WEF) yang merupakan forum pertemuan para
bisnismen dunia dan wakil-wakil negara-negara industri maju. Ketika WEF
mengadakan pertemuannya di Davos Swiss, maka WSF pun mengadakan
pertemuan antara LSM dan aktivis anti neoliberalisme seluruh dunia di Porto
Allegre, sebuah kota kecil di Brasil. Ketika WEF mengadakan pertemuan untuk
merencanakan pengurasan kekayaan alam di berbagai belahan dunia, WSF
mengadakan pertemuan dalam rangka menemukan jalan keluar atas krisis
perekonomian, sosial, dan lingkungan global.89
Gerakan-gerakan yang diorganisir semacam WSF ternyata cukup
menemukan hasil. Dalam konferensi WTO di Seattle Amerika Serikat, para
aktivis anti neoliberalisme ini melakukan aksi pemboikotan. Jalan-jalan protokol
81
menuju ke tempat pertemuan di kawasan paling indah di Amerika Serikat tersebut
diblokade. Pada mulanya aksi berjalan damai, karena ada tekanan dari pihak
aparatmengakibatkan terjadinya bentrokan dan kerusuhan. Akhirnya konferensi
yang sudah direncanakan dan dilakukan di tempat yang eksklusif tersebut gagal
total. Selanjutnya acara-acara yang sejenis dengan itu tidak pernah luput dari
demonstrasi dan penolakan massa rakyat. Dapat disebutkan lokasi misalnya di
kota Washington (2000), Hawaii (2001), Genoa (2001), Chiangmai (2001).90
Neoliberalisme sebagai sebuah sistem ternyata terlalu tangguh untuk
dilawan. Untuk melawan sistem tersebut seharusnya juga menggunakan sistem
lain yang memiliki logika berlawanan dan dengan infrastruktur yang kuat. Hal
semacam itu telah dipraktekkan paling tidak di Amerika Latin. Hugo Chavez,
presiden Venezuela berupaya menarik diri dari IMF dan Bank Dunia. Begitu pula
langkah yang diambil oleh Ganiel Ortega, Presiden Nikaragua yang berencana
menarik diri dari IMF. Chavez menilai bahwa IMF dan Bank Dunia yang berbasis
di Washington merupakan alat dari imperialisme Amerika Serikat. Hal yang tidak
jauh berbeda, Rafael Correa, presiden Ecuador bahkan mengusir perwakilan Bank
Dunia di Quito, ibukota Ecuador dan menarik diri darinya serta menolak bantuan
yang diberikan. 91 Lebih jauh Ekuador bahkan berani melakukan nasionalisasi
terhadap perusahaan sumberdaya gas, bertepatan dengan hari buruh, 1 Mei.92
Negara-negara Amerika Latin memang semakin menjaga jarak terhadap
dua institusi neoliberal tersebut (IMF dan Bank Dunia). Lebih-lebih setelah
negara-negara ini (Venezuela, Brazil, Argentina, dan Ecuador) berhasil membayar
hutang dari IMF dan World Bank pasca krisis ekonomi kemarin (1997).93 Posisi
82
negara-negara Amerika Latin semakin independen terhadap hegemoni neoliberal.
Venezuela yang memiliki cadangan minyak paling besar dan berada di bawah
seorang pemimpin sosialis yang kuat semacam Chavez mungkin paling memiliki
kepercayaan diri. Bahkan pada waktu Amerika Serikat terkena badai Katrina,
Venezuela merupakan salah satu negara yang pertama kali memberikan bantuan,
meskipun kemudian ditolak oleh Amerika Serikat.94
Langkah yang lebih progresif di kawasan Amerika Latin adalah dengan
rencana mendirikan Banco del Sur/Bank of South (Bank Selatan) yang nantinya
akan berfungsi sebagai semacam bank pembangunan regional untuk kawasan
Amerika Latin. Bank ini sementara akan didanai oleh pemerintah Venezuela
bersama dengan Argentina.langkah ini dilakukan salah satunya untuk menandingi
IMF dan Bank Dunia. Menerima bantuan dari IMF sama saja dengan minum air
beracun ucap Chavez, untuk itulah Bank ini begitu penting eksistensinya.95
Upaya lain yang dilakukan di kawasan Amerika Latin dan juga dengan
kawasan Karibia, khususnya Kuba adalah program pertukaran minyak dan dokter.
Para dokter dari Kuba didatangkan ke Venezuela dengan imbal balik berupa
suplai minyak ke Kuba. Venezuela juga memberikan bantuan minyak untuk suplai
energi di Nikaragua. Selain itu Chavez yang juga sekutu sosialis Castro tersebut
juga melakukan pembangunan jalan, penyulingan minyak dan membangun
200.000 rumah.96
Selain itu, terkait dengan minyak, Venezuela juga berencana untuk
membuat jalur pipa gas alam sepanjang 5.000 mil dari Venezuela ke Argentina
dan membuat sebuah perusahaan perminyakan regional dengan nama Petrosur
83
yang dimiliki oleh negara secara joint venture diantara negara-negara Amerika
Latin. TeleSur, sebuah televisi regional juga sedang dibangun. Dan tentu saja
akhirnya adalah pembentukan kawasan perdagangan bebas regional Amerika
Latin (ALBA) untuk menyaingi organisasi sejenis yang diprakarsai Amerika
Serikat Free Trade Area of the Americas (FTAA).97
Dengan program dan perencanaan yang begitu sistematik dan sistemik
seperti yang terjadi di Amerika Latin, bukan tak mungkin gerakan ini mampu
menjadi alternatif bagi gerakan neoliberalisme. Meskipun demikian di sana-sini
perlu ada koreksi terhadap gerakan ini karena kecenderungan sikap reaksioner
sangat kuat. Dengan begitu akan menghindarkan diri dari keterjebakan terhadap
rantai neoliberalisme dalam bentuk lain.
84
Catatan Kaki 1 Pramoedya Ananta Toer, 2001. Anak Semua Bangsa (Tetralogi Pulau Buru). Jakarta: Hasta
Mitra. Hal 107. sekelumit tulisan Pram tersebut menggambarkan tentang pandangan beliau sebagai seorang modernis dalam artian barat sebagai referensi sumber pengetahuan dan kemajuan. Ungkapan itu menggambarkan bentuk formasi sosial yang berbeda antara tanah jajahan Hindia, dengan tuannya negeri Belanda (Eropa). Di Hindia yang berlaku adalah formasi
sosial feodal dimana manusia tunduk pada kekuasaan raja dan para vassalnya. Sementara di Belanda (Eropa) formasi sosial yang berlaku adalah kapitalisme liberal dimana kapital (modal) menjadi tolok ukur kekuasaan seseorang. Meskipun begitu, tulisan ini tidak selalu menunjukkan perbedaan keduanya. Ia bahkan lebih menunjukkan sesuai dengan madzhab pemikiran
modernisnyaproses transformasi formasi sosial yang terjadi di tanah Hindia (Indonesia), dari feodal kepada kapitalisme liberal. Gejala ini dimulai dengan bekerjanya kapitalisme perkebunan yang dimiliki pengusaha swasta Belanda, meskipun kemudian perusahaan kapitalisme perkebunan itu sendiri menghambat proses akselerasi kapitalisme industrial sebagai moda
kapitalisme baru yang sedang mendunia. Lihat. M. Dawam Rahardjo (ed), 1987. Kapitalisme Dulu dan Sekarang. Jakarta: LP3ES. Hal. 52.
2 Mochtar Masoed. 1997. Ekonomi Politik Internasional. Jogjakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM. Hal. 5. Pengertian laizzes-faire kemudian dikritik oleh George
Soros sembari menawarkan konsep fundamentalisme pasar guna menunjukkan pengertian yang lebih mudah diterima di tingkat global yang mayoritas berbahasa inggris. Lihat. George Soros, 2002. Krisis Kapitalisme Global: Masyarakat Terbuka dan Ancaman Terhadapnya. Jogjakarta: Qalam. Hal. 47.
3 Mochtar Masoed. 1997. Ibid. Hal. 5. 4 Syahrir dalam Daniel Bell & Irving Kristol [ed]. 1988. Krisis Teori Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Hal. xx-xxi. 5 Op. Cit. hal. 8 6 Ibid. hal. 8. 7 Ibid. hal. 8. 8 Ibid. hal 11. 9 Ibid. hal. 12-13. 10 Ibid. hal 13. 11 Ibid. hal 15. 12 Syahrir dalam Daniel Bell & Irving Kristol [ed]. 1988. Krisis Teori Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Hal. xii. Pada masa pemerintahan orde baru perekonomian Indonesia juga sangat sentralistis.
Semua dikendalikan dari pusat, baik dari sisi inisiatif, maupun kemudian sampai pada eksekusi kebijakan yang dijalankan pada level daerah. Inisiatif dan peran serta swasta baik di level pusat maupun daerah sangatlah minim. Yang terjadi kemudian adalah oligarkhi ekonomi karena yang menguasai sektor ini adalah kroni-kroni pejabat pemerintah. Lihat juga Syahrir,1988. Ekonomi Politik Deregulasi dalam Prisma. No. 9. XVII. Lihat juga Mochtar Masoed. 1994. Negara, Kapital dan Demokrasi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 45.
13 Mochtar Masoed. Op. Cit hal. 14. 14 Dilihat dari sudut pandang ekonomi, teori Keynes dikembangkan dari kritiknya terhadap Hukum
Say (Jean Baptiste Say), seorang pemikir Prancis madzhab klasik. Hukum Say mengatakan, setiap penawaran akan menciptakan permintaannya sendiri (each supply create its own demand). Dengan begitu equilibrium (keseimbangan) akan secara otomatis berjalan. Kondisi ketidakseimbangan yang terjadi hanya bersifat temporer, untuk selanjutnya akan kembali
seimbang melalui mekanisme harga, dengan begitu tidak diperlukan lembaga pengontrol seperti negara. Say tidak melihat adanya pengangguran (unemployment) sebagai masalah spesifik yang perlu penanganan khusus, sementara masalah ini mendapat perhatian serius dalam pemikiran ekonomi Keynes. Lihat. Sobri, 1987. Ekonomi Makro. Jogjakarta: BPFE UII. Hal. 9.
15 Mochtar Masoed. Op. Cit hal. 14. 16 Ibid. Hal. 15.
85
17 Ibid. Hal. 16. 18 Ibid. hal. 25. 19 Samuelson mencoba merevisi kekaburan dalam penyebutan sistem ekonomi yang sedang
berkembang saat ini (terutama di negara-negara maju) dengan menyebut istilah ekonomi campuran, yakni campuran antara sistem ekonomi liberal pasar dengan sistem ekonomi yang menekankan pada peran pemerintah (sosialisme maupun merkantilisme). Bahasa lain dari koreksi terhadap kapitalisme liberal. Dengan koreksi tersebut, kapitalisme liberal telah
dihilangkan dari sifat-sifat buruknya. Baca Paul A. Samuelson & Peter Timmer, 1976. Economics. Kogakusha: Mc.Graw Hill. Hal. 41-43 dan 831. dalam M. Dawam Rahardjo [ed], 1987. Kapitalisme Dulu dan Sekarang. Jakarta: LP3ES.
20 Masyarakat Sebagai Kekuatan Ekonomi Politik, Negara Sebagai Medan Makna Politik . 2002. dalam Tradem. No. 3. Februari-April. Aliran-aliran pemikiran ini merupakan varian dari liberalisme. Awalil Rizky memetakan pemikiran liberal sbb: liberalisme klasik, keynesianisme, monetarisme, dan neoliberalisme. Dalam skala yang lebih teknis variannya adalah: merkantilisme, rational expectation, institusionalisme, faham welfare state, utilitarianisme dsb. Lihat Awalil Rizky. 2006. Agenda Neoliberalisme di Indonesia: Merumuskan Sikap dan Aksi HMI . Jakarta: PB HMI.
21Mochtar Masoed. 1997. Op. Cit. Hal. 17. 22 B. Herry Priyono, Neoliberalisme Kompas 16 Desember 2005. Lihat juga B. Herry Priyono,
Dalam Pusaran Neoliberalisme dalam I. Wibowo, dkk [ed], 2003. Neoliberalisme. Jogjakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Hal. 54.
23 George Soros, 2002. Krisis Kapitalisme Global: Masyarakat Terbuka dan Ancaman
Terhadapnya. Jogjakarta: Qalam. Hal. 50. 24 The Mont Pelerin Society (MPS) merupakan perkumpulan intelektual dari berbagai bidang yang
berasal dari Amerika Utara dan Eropa. Berkumpul di pegunungan Mont Pelerin, Swiss pada tahun 1947. Mereka antara lain: Milton Friedman, George Stigler, Karl Raimund Popper, Aaron Director, Lionel Robbins, Walter Euchen, Erick Eyk, Wilhelm Ropke, Ludwig von Mises, Stanley Dennison, John Jewkes, Michael Polanyi, Arnold Plant, dll. Pada tahun 1950 Hayek hijrah ke Amerika dan kemudian bergabung dengan pemikir-pemikir Madzhab Chicago yang juga beraliran neoliberal seperti Milton Friedman, George Stigler, dan Gary Becker. Lihat B. Herry Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme dalam I. Wibowo, dkk [ed], 2003.
Neoliberalisme. Jogjakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Hal. 51-52. lihat juga I. Wibowo Pertarungan Wacana Globalisasi Ekonomi: World Economic Forum Vs World Social Forum dalam JB. Kristanto, dkk [ed], 2004. Esei-esei Bentara. Jakarta: Kompas. Hal. 81
25 Dalam pandangan Hayek, sebuah ekonomi perencanaan akan membawa kepada fasisme negara atau minimal sosialisme negara. Ini berdasarkan analisisnya atas kondisi ekonomi yang melingkupi negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat pada era PD II, dimana perang itu sendiri adalah dampak dari persaingan antar negara dalam memperebutkan aset-aset ekonomi dunia. Dengan argumen kepentingan nasional, semua pihak dan semua sumber daya dalam internal negara dikerahkan demi tujuan negara tersebut. Dengan demikian peran individu sebagai pengambil keputusan ekonomi sangat dikesampingkan. Ini menjadi titik tolak pemikiran Hayek mengenai liberalisme ekstremnya. Lihat. Friedrich A. Hayek, 1999. The Road to Serfdom (Condensed Version). London: The Institute of Economic Affairs.
26 Op.Cit. 27 Di sinilah sisi kontradiktifnya kebijakan neoliberal Amerika Serikat. Pada satu sisi mendorong
liberalisasi pasar yang berbasis pada rasionalitas pasar, namun di sisi lain, kekuatan militer turut
berperan dalam menentukan berjalannya pasar (versi Amerika Serikat). Hal ini bahkan termuat dalam The New York Times (28 Maret 2001) yang menunjukkan kebijakan pemerintah Amerika Serikat dalam perdagangan dunia. Salah satu kalimat yang terkenal dalam publikasi tersebut adalah The hidden hand of the market will never work without a hidden fist. Hidden hand
yang menunjuk pada terminologi Adam Smith invisible hand tidak dapat bekerja tanpa adanya tinju yang tersembunyi alias sistem militer Amerika dalam politik perdagangannya di dunia internasional. Lihat. Samir Amin, 2004. The Barcelona Process in The Framework of
86
Neoliberal Globalization dalam Dar Al Islam. The Mediterranean, The World System and The Wider Europe. New York: Nova Sciences Publishers. (Vol. 1). hal. 101
28Mochtar Masoed. 1997.Op. Cit. Hal. 19. 29 Ibid. Hal. 19. 30 Ibid. Hal. 20. 31 Mansour Fakih, 1999. Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik: Jogjakarta: Insist Press &
Pustaka Pelajar. Lihat juga. Mohamad Ikhsan, Pembanguanan Institusi: Kesalahan Strategi
Pembangunan Masa Lalu. Tempo Edisi Akhir Tahun (25/12/00-7/1/01). dan. A. Tony Prasetyantono dalam I. Wibowo & Francis Wahono. Neoliberalisme. Jogjakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Hal 118-119.
32 Mansour Fakih. Ibid. 33 Richard Peet dalam Sofian Effendi, Indonesia Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi. Seputar Indonesia. 10 Maret 2007.
34 Mochtar Masod. Op. cit. hal. 13-14. 35 Ibid. hal 14. 36 Ibid. hal 14. 37 Ibid. hal 14. lihat juga. Gellines dalam Sofian Effendi, Op. Cit. 38 Bonnie Setiawan, Antara Doha dan Cancun: Cengkeraman Neoliberalisme pada Tubuh WTO
dalam I. Wibowo & Francis Wahono, 2003. Op. cit. hal. 85. lihat juga. Walden Bello, WTO:
Menghamba Pada negara Kaya dalam International Forum On Globalization (IFG), 2003. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan. Jogjakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
39 Bonnie Setiawan. Ibid. hal. 85-86. 40 Ibid. hal. 87. 41 Ibid. hal. 88. 42 Ibid. hal. 88. 43 Hadi Soesastro, 2004. Kebijakan Persaingan, Daya Saing, Liberalisasi, Globalisasi,
Regionalisasi, dan Semua Itu. CSIS Working Paper Series. 44 Op. Cit. hal. 89. 45 Bambang Warih Koesoema, Indonesia: Gelombang Krisis dan Perekonomian Global Makalah
dalam Studi Politik Dasar Unisosdem. Jogjakarta 24-26 Oktober 2003. 46 John Cavanagh. et.al. Rumusan IMF: Produksi Kemiskinan dalam International Forum On
Globalization (IFG), 2003. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan. Jogjakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Hal. 81.
47 International Forum On Globalization (IFG), 2003. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan.
Jogjakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. 48 Paul Krugman dalam A. Tony Prasetyantono, IMF (International Monetary Fund) dalam I.
Wibowo & Francis Wahono.ed. Op. Cit. hal. 110. 49 Ibid. hal. 110. 50 Kompas, 2 Oktober 2007. 51 Op. cit. hal. 111. 52 Ibid. hal. 117. 53 Koalisi Anti Utang, Gerakan Anti Utang dan Anti Globalisisi. Jogjakarta: 2004. (makalah tidak
diterbitkan). Hal. 9. 54 Keterangan lain menyebutkan bahwa Bank Dunia sebenarnya merupakan gabungan dari empat
institusi keuangan global yang saling terkait yakni International Development Association (IDA), Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA), International Finance Corporation
(IFC), dan tentu saja IBRD itu sendiri. Yang kemudian lebih dikenal sebagai Bank Dunia adalah IBRD. Lihat. Mansour Fakih, 1999. op. cit. hal.
55 Op.cit. hal. 9. 56 Ditambahkan juga bahwa jumlah kaum miskin yang hidup dengan penghasilan kurang dari 1
dollar/hari meningkat dari 1.197 juta pada 1987 menjadi 1.214 juta pada 1997. hal in diiringi dengan menurunnya angka harapan hidup pada 33 negara, ironis sekali. Lihat Bruce Rich, Tipu Daya Bank Dunia Terhadap Rakyat Miskin dalam International Forum On Globalization (IFG), 2003. Op. cit. hal. 105-106.
87
57 Sebagaimana IMF. Bank Dunia dalam memberikan ODA tersebut pun harus melalui prasyarat
(conditionality) berupa Structural Adjusment Program (SAP) yang isinya merupakan pesanan negara-negara kreditor. Bank Dunia sendiri memang menjadi satu paket dengan IMF dalam pemberian bantuan-bantuannya. Lihat. Koalisi Anti Utang, Gerakan Anti Utang dan Anti Globalisasi. Jogjakarta: 2004. (makalah tidak diterbitkan). Lihat juga. Jerry Mander. et.al. Globalisasi Membantu Kaum Miskin? dalam International Forum On Globalization (IFG), 2003. Ibid. hal. 10-11.
58 Terkait pembenahan infrastruktur sosial, Bank Dunia lebih banyak menyentuh pada dimensi yang sifatnya sangat politis seperti pembenahan birokrasi. Wacana yang dikembangkan adalah konsep good governance yang meliputi demokrasi, legitimasi dan akuntabilitas. Wacana good
governance dikemas dengan sangat menarik dengan argumen bahwa wacana ini bersifat netral, baik secara politik maupun kultural karena hanya bertujuan untuk mengefisienkan dan mengoptimalkan manajemen sumberdaya nasional dan tidak dalam rangka memaksakan sistem pemerintahan tertentu. Namun karena good gavernance adalah wacana barat, tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks nilai barat. Bahkan good gavernance sebagai sesuatu yang memiliki dimensi nilai barat diamini sendiri oleh mantan Menlu Inggris Douglas Hurd, sembari menyatakan bahwa promosi good governance adalah suatu imperatif moral. Lihat. Rita Abrahamsen, 2004. Sudut Gelap Kemajuan, Relasi Kuasa dalam Wacana Pembangunan. Jogjakarta: Lafadl Pustaka. Hal. 64.
59 Awalil Rizky, 2006. Agenda Neoliberalisme di Indonesia: Merumuskan Sikap dan Aksi HMI. Jakarta: PB HMI. Hal. 22-23.
60 Ibid. hal. 23. 61 Cheryl Payer, Masalah Hutang Dunia Ketiga: Gelombang Baru Penunggakan Hutang dalam Prisma. No. 4. April 1977. hal. 73.
62 Ernest Feder, Program Baru Bank Dunia dan Kaum Tani Dunia Ketiga dalam Prisma. No. 3. 1977. hal. 61.
63 Dalam The Penguin Dictionary of Economics terbitan 1975, MNCs didefinisikan sebagai perusahaan yang beroperasi di berbagai negara dan mempunyai fasilitas produksi dan jasa di luar negara asalnya. Dalam Daniel DakhidaeIndonesia di Mata MNC dan MNC di Mata Indonesia dalam Prisma. No. 4. April 1977. hal. 59.
64 Konsumsi yang bersifat artifisial di sini timbul sebagai akibat dari promosi yan