1 NASKAH PUBLIKASI KEPUASAN KERJA DAN BURNOUT PADA POLISI Oleh : KASMA ERVINA HAIDA SUS BUDIHARTO FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2006
1
NASKAH PUBLIKASI
KEPUASAN KERJA DAN BURNOUT
PADA POLISI
Oleh :
KASMA ERVINA HAIDA
SUS BUDIHARTO
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2006
2
KEPUASAN KERJA DAN BURNOUT PADA POLISI
Kasma Ervina Haida
Sus Budiharto
INTISARI Burnout merupakan kondisi penarikan diri oleh seseorang dari pekerjaan
sebagai respon terhadap stres yang berlebihan yang diakibatkan ketidakpuasan dalam pekerjaan. Burnout biasanya terjadi pada individu dengan profesi bidang pelayanan sosial, salah satunya polisi. Burnout pada polisi merupakan keadaan internal negatif yang dirasakan seorang polisi sebagai sindrom kelelahan emosional, depersonalisasi dan berkurangnya penghargaan diri ketika mencoba mencapai suatu tujuan yang dialami dalam jangka waktu yang cukup lama, dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional tinggi atau merupakan tahap akhir dari proses kegagalan penyesuaian stres kerja. Salah satu hal yang memicu burnout adalah kepuasan kerja yang tidak terpenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi.
Responden dalam penelitian ini adalah 111 anggota polisi yang memiliki masa kerja minimal 3 tahun di Polres Banjar, Polsek Kertak Hanyar, Polsek Karang Intan, Polsek Aluh-Aluh, dan Polsek Mataraman. Responden adalah polisi yang ditempatkan pada bidang opsnal yang dalam tugas kesehariannya berinteraksi langsung dengan masyarakat, yaitu Samapta, Lalu Lintas, Intelkam, Reskrim, dan Bina mitra. Adapun alat ukur yang digunakan adalah skala kepuasan kerja menurut Locke (1976) yang berjumlah 45 aitem. Sedangkan skala burnout diambil dari dimensi yang diutarakan Maslach & Jackson (Lee & Ashforth, 1996) yang berjumlah 22 aitem.
Metode analisis data menggunakan korelasi product moment Pearson dari program SPSS 12.00 for windows. Analisis menunjukkan -0,458 dengan p = 0,000 atau p < 0,05 yang artinya ada hubungan negatif yang signifikan antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi. Responden yang memiliki kepuasan kerja tinggi, tingkat burnoutnya rendah. Sebaliknya, responden yang memiliki kepuasan kerja rendah, tingkat burnoutnya tinggi.
Kata kunci : burnout, kepuasan kerja
3
I. Pengantar
Profesi polisi oleh hampir seluruh peneliti dikategorikan sebagai jenis
pekerjaan yang sangat rawan stres (Ahmad, 2004). Stres yang dialami oleh polisi
dapat berasal dari stressor fisik, sosial, psikologis, politik dan ekonomi, juga
dapat berupa stressor kerja seperti beban kerja yang berlebihan, rendahnya gaji,
minimnya sarana, lingkungan kerja yang tidak kondusif, resiko nyawa pada saat
bertugas, rutinitas kerja dan sebagainya. Dengan berbagai keterbatasan internal
dan eksternal tersebut maka tidak mudah menampilkan peran polisi dalam
bentuk ideal. Kendala-kendala tersebut akhirnya menimbulkan stres yang
menyebabkan timbulnya perilaku negatif pada polisi. Polisi lalu lintas yang sering
terlambat datang di jalan macet, atau anggota reskrim yang bermalasan dalam
menuntaskan kasus-kasusnya merupakan contoh gambaran yang dipersepsi oleh
masyarakat tentang polisi. Menurut Adrianus Meliala (Aditama, 2004) salah satu
asumsi munculnya penampilan kerja polisi yang mengecewakan tersebut
disebabkan gejala burnout yang timbul di kalangan anggota polisi.
Peneliti melakukan pengamatan dan perbincangan dengan beberapa
anggota polisi Polri Daerah Kalimantan Selatan Resort Banjar, mereka
menyatakan bahwa kondisi kerja yang dirasakan kurang memuaskan, misalnya
sarana dan perlengkapan kerja kurang memadai, kondisi geografis yang tidak
mengenakkan, jarak tempuh antara tempat tinggal dan tempat dinas yang jauh.
Selain itu kurangnya jumlah personel polisi sehingga terdapat ketidakseimbangan
antara rasio polisi : masyarakat. Polisi juga harus siaga 24 jam, setiap saat ketika
panggilan datang harus cepat dan tanggap, fasilitas asrama polisi juga tidak
memadai, beberapa polsek tidak memiliki asrama bagi anggotanya sehingga
4
ketika terjadi peristiwa darurat maka tidak bisa langsung secepatnya menuju
lokasi dan berpengaruh pada kurangnya pengakuan dan apresiasi dari
masyarakat. Beberapa polisi juga mengeluhkan banyak kasus yang berhasil
ditangani menjadi berubah ketika sampai pada tahap peradilan. Beberapa faktor
di atas merupakan bagian dari terpenuhi atau tidaknya kepuasan kerja Jika
kondisi ini dibiarkan terus berlanjut maka motivasi untuk menjalankan tugas
menjadi menurun. Dalam jangka panjang apabila keadaan seperti itu dibiarkan
berlarut-larut tanpa terpenuhinya sejumlah aspek kepuasan kerja seperti yang
terjadi di lapangan maka mendorong munculnya burnout, misalnya tidak
bersemangat dalam menjalankan tugas karena kelelahan emosional, membuat
jarak dengan orang lain serta bersikap negatif dan merasa kehadiran dirinya
untuk orang lain atau organisasi tidak bermanfaat sehingga pemaknaan terhadap
pekerjaan menjadi berkurang.
Dalam suatu studi terhadap keluarga polisi, polisi yang mengalami
burnout digambarkan sebagai seseorang yang pulang ke rumah dengan keadaan
tegang, cemas, jengkel, dan marah-marah serta selalu mengeluh mengenai
persoalan yang dihadapi dalam pekerjaan. Para polisi ini juga menjadi lebih
pendiam selama berada di rumah, lebih suka menyendiri daripada melewatkan
waktu bersama keluarga. Polisi ini juga mempunyai sikap negatif terhadap orang-
orang yang dilayaninya serta mempunyai sedikit teman (Jackson, 1999).
Munculnya gejala burnout ini menunjuk pada kondisi penarikan diri oleh seorang
polisi dari pekerjaannya, merupakan respon terhadap stres yang berlebihan yang
diakibatkan adanya kepuasan kerja yang tidak terpenuhi (Aditama, 2004).
5
Burnout merupakan gejala yang lebih sering ditemukan pada bidang
pekerjaan pelayanan sosial (human service) dibandingkan pada bidang pekerjaan
lainnya. Pekerjaan polisi jelas memiliki nilai sosial lebih. Hakekat tugas polisi
memang merupakan bagian birokrasi yang benar-benar langsung berhadapan
dengan masyarakat, baik secara fisik maupun psikis. Burnout merupakan
konsekuensi dari situasi yang tidak mengenakkan atau tekanan yang
menyebabkan stres yang sifatnya berkepanjangan di tempat kerja (Tanner dkk,
2002). Burnout jelas merugikan karena mengurangi kemampuan dan efektivitas
kerja polisi. Selanjutnya dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologi polisi,
memberi dampak buruk pada pelayanan kepolisian yang diberikan serta
mengganggu fungsi-fungsi administrasi yang berjalan. Gejala burnout merupakan
hambatan bagi pengembangan kualitas kinerja polisi (Aditama, 2004).
Penelitian Ni’mah (2003) menunjukkan semakin positif persepsi terhadap
iklim organisasi, maka kecenderungan terjadinya burnout semakin rendah.
Apabila iklim organisasi dipersepsi positif dan menyenangkan oleh karyawan
maka akan menimbulkan kepuasan kerja pada karyawan. Deskripsi observasi,
wawancara, literatur, dan penelitian di atas yang mendorong peneliti untuk
meneliti lebih lanjut tentang keterkaitan antara kepuasan kerja dan burnout.
Kepuasan kerja merupakan sikap positif menyangkut penyesuaian diri yang sehat
dari karyawan terhadap kondisi dan situasi kerja, termasuk di dalamnya masalah
upah, kondisi sosial, kondisi fisik dan kondisi psikologis (Anoraga, 1992).
Salah satu teori mengenai kepuasan kerja adalah discrepancy theory oleh
Locke (As’ad, 2003). Locke (As’ad, 2003) menerangkan kepuasan kerja
seseorang bergantung pada discrepancy antara should be (expectation, needs
6
and values) dengan apa yang menurut perasaan atau persepsinya telah
diperoleh atau telah dicapai melalui pekerjaan. Jika polisi memang menghadapi
beban kerja berlebihan, pekerjaan yang diulang-ulang, monoton dan tidak
variatif, namun diiringi juga dengan kurangnya reward, kurangnya pengarahan,
kondisi atasan yang tidak responsif, tidak adanya kesempatan pengembangan
diri, adanya peraturan yang tidak fleksibel yang menyebabkan individu merasa
terperangkap dalam sistem yang tidak adil, polisi tersebut akan memiliki
kepuasan kerja rendah. Apabila kondisi tersebut tidak segera ditangani dan
dibiarkan berlarut-larut, polisi dapat mengalami burnout.
Penulis ajukan perspektif sebagai kerangka berpikir dalam menjelaskan
hubungan kepuasan kerja dan burnout dalam bagan berikut :
7
Bagan 1. Model hubungan antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi
Tidak Terpenuhi Terpenuhi
Kepuasan kerja
Pekerjaan, promosi, pembayaran, tunjangan, pengakuan, kondisi
kerja, supervisi, rekan kerja, perusahaan & manajemen
Positive human
relation, aktualisasi
diri, kesehatan fisik
dan mental
Kelelahan
emosional
Depersonalisasi
Menurunnya
penghargaan
terhadap diri
sendiri
Burnout
8
Menurut Robbins (2005) sebuah pekerjaan menuntut interaksi dengan
rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi
standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering kurang ideal, dan hal
serupa lainnya. Berarti penilaian seorang karyawan terhadap seberapa puas atau
tidak puasnya dia dengan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari
sejumlah unsur pekerjaan yang diskret (terbedakan dan terpisahkan satu sama
lain). Hal inilah yang dihadapi oleh polisi dalam kesehariannya, seorang polisi
dituntut berinteraksi dengan masyarakat, pandai berkomunikasi dengan rekan
kerja, dan loyal terhadap atasan. Dari berbagai dimensi pekerjaan yang harus
dijalani polisi pertimbangan untuk memutuskan merasa puas atau tidak puas
terhadap profesi yang diembannya memang tidak bisa ditilik hanya dari satu
bagian saja, melainkan berbagai macam sudut terakumulasi sehingga menjadi
titik puncak seberapa besar kepuasan kerja atau ketidakpuasan yang dialami
seorang polisi. Dapat ditarik benang merah, jika polisi menganggap kepuasan
terhadap pekerjaannya rendah maka akan berdampak terhadap perilaku atau
tindakan yang akan diambil dalam menghadapi berbagai persoalan yang
berhubungan dengan tanggung jawab profesinya yang akan menimbulkan
adanya kecenderungan burnout.
II. Metode Penelitian
A. Responden Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah polisi yang bertugas
di Polri Daerah Kalimantan Selatan Resort Banjar. Responden yang digunakan
diambil dengan teknik sampel berstrata disproporsional pada anggota Polres
9
Banjar, polsek Karang Intan, polsek Aluh-Aluh, polsek Kertak Hanyar, dan polsek
Mataraman karena jumlah personel yang besar serta alasan statistik untuk
mendapatkan jumlah responden yang sama dari masing-masing sub kelompok.
Karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian ini dikhususkan pada
anggota polisi yang ditempatkan dalam fungsi teknis samapta, lalu lintas,
reskrim, intelijen keamanan, dan bina mitra. Alasan penggunaan responden ini
karena polisi dalam satuan fungsi tersebut merupakan pihak yang lebih banyak
berinteraksi dengan masyarakat atau lebih memberikan pelayanan sosial yang
lebih. Untuk penentuan lokasi penelitian tidak dilaksanakan dengan random
namun lebih merujuk pada kondisi geografis lokasi penyebaran polsek.
Responden penelitian ini juga dikhususkan bagi anggota yang telah menjalankan
masa dinas minimal tiga tahun. Peneliti mengambil keputusan ini dengan
pemikiran bahwa anggota yang telah menjalani masa dinas minimal tiga tahun
diharapkan telah merasakan pengalaman sebagai polisi, telah mengalami
pergantian wilayah penempatan, ataupun pergantian satuan fungsi. Anggota ini
juga telah memiliki pengalaman mengenai kenaikan pangkat atau kenaikan gaji,
dan hal lainnya yang lebih spesifikl. Pertimbangan penentuan responden
penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa populasi penelitian ini cenderung
bersifat heterogen. Dengan latar fungsi satuan berbeda, penempatan wilayah
dinas berbeda, serta rentang waktu masa dinas yang cukup lama akan sangat
mempengaruhi responden dalam melakukan pengisian skala burnout dan skala
kepuasan kerja.
10
B. Metode Pengumpulan Data
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode skala.
Skala yang digunakan adalah :
1. Skala Burnout
Skala ini dibuat berdasarkan aspek burnout oleh Maslach dan Jackson
(Lee & Ashforth, 1996). Aspek-aspek yang akan diungkap oleh peneliti dalam
membuat skala burnout, yaitu : kelelahan emosional, depersonalisasi, dan
berkurangnya penghargaan pada diri sendiri. Skala burnout terdiri dari 22
aitem.
2. Skala Kepuasan Kerja
Skala ini dibuat berdasarkan aspek kepuasan kerja oleh Locke (1976)
yang bertujuan untuk mengetahui tinggi rendahnya kepuasan kerja anggota
Polri Daerah Kalimantan Selatan Resort Banjar, adapun aspek-aspeknya
meliputi : pekerjaan, pembayaran, promosi, pengakuan, tunjangan, kondisi
kerja, supervisi, rekan kerja, serta perusahaan dan manajemen. Skala
kepuasan kerja terdiri dari 45 aitem.
C. Metode Analisis Data
Dengan menggunakan program Statistical Package for Social Science
(SPSS) for windows 12.0 maka analisa statistik yang digunakan untuk menguji
hipotesis penelitian ini adalah analisa korelasi product moment yang terdiri dari
satu variabel bebas dan satu variabel tergantung.
11
III. Hasil Penelitian
A. Deskripsi Data Penelitian.
Deskripsi penyebaran skala dapat dilihat pada tabel 1 berikut :
Deskripsi Penyebaran Skala Penelitian
Bidang opsnal Daerah
penugasan Jumlah
Bina mitra Kota 11
Desa 11
Intelkam Kota 11
Desa 11
Lantas Kota 11
Desa 11
Reskrim Kota 11
Desa 11
Samapta Kota 12
Desa 11
TOTAL 111
Untuk memperoleh gambaran umum mengenai data penelitian dapat
dilihat pada tabel deskripsi data penelitian berisikan fungsi-fungsi statistik dasar
yang disajikan secara lengkap pada tabel berikut ini.
12
Skor yang dimungkinkan
(hipotetik)
SkSkor yang diperoleh (empirik)
X X X X Variabel
max min
Mean SD
max min
Mean SD
Kepuasan
kerja
270 45 157,5 37,5 237 107 178,3063 26,28127
Burnout 88 22 55 11 62 26 43 5,76352
B. Uji Asumsi
Sebelum melakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi
yang mencakup uji normalitas dan uji linearitas.
a. Uji normalitas
Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputer
SPSS for windows 12,0 dengan statistik teknik one sample kolmogorov
smirnov test. Variabel kepuasan kerja menunjukkan K-SZ = 0,567; p = 0,904.
(p > 0,05), dan variabel burnout menunjukkan K-SZ = 1, 182; p = 0,122. (p
> 0,05). Hasil uji normalitas ini menunjukkan bahwa kedua alat ukur ini
memiliki distribusi atau sebaran normal.
b. Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputer SPSS
for windows 12.0 dengan statistik compare mean. Untuk linearity pada
hipotesis yang menyatakan ada hubungan negatif antara kepuasan kerja dan
burnout diperoleh bahwa F = 28, 929 dan p = 0,000 (p < 0,01). Hasil uji
13
linearitas ini menunjukkan bahwa antara kepuasan kerja dan burnout pada
polisi bersifat linear.
C. Uji Hipotesis
Hasil analisis data dengan menggunakan korelasi analisis product moment
pada program komputer SPSS for windows 12.0. Hipotesis yang menyatakan ada
hubungan antara kepuasan kerja dan burnout diperoleh angka korelasi sebesar
0,458 dengan p = 0,00 (p < 0,01). Angka korelasinya bertanda negatif. Hal ini
mengindikasikan bahwa hubungannya bersifat negatif, artinya jika kepuasan
kerja seorang anggota polisi tinggi maka burnoutnya rendah, dan sebaliknya jika
kepuasan kerja anggota polisi rendah, maka terdapat kecenderungan burnout
dalam dirinya atau dapat dikatakan tinggi.
Dalam penelitian ini ditambahkan analisis regresi (anareg) yang bertujuan
untuk memprediksi besarnya nilai yang mempengaruhi tiap aspek pada variabel
independen terhadap variabel dependen. Hasil menunjukkan hanya empat aspek
yang mempengaruhi burnout pada polisi, yaitu aspek kondisi kerja sebesar 21,5
%, aspek tunjangan sebesar 5,5 %, aspek pekerjaan sebesar 4,5 %, dan aspek
supervisi sebesar 2,6 %. Selain itu, peneliti juga melakukan uji t untuk
membedakan kepuasan kerja dan burnout berdasarkan daerah penugasan.
Sebagai syarat dalam melakukan uji beda maka perlu dilakukan uji homogenitas
agar kesimpulan yang ditarik tidak menyimpang dari kebenaran yang
seharusnya, selain uji normalitas di atas. Uji homogenitas dilakukan dengan
menggunakan fasilitas komputer SPSS for wimdows 12.0 dan diperoleh nilai
levene statistic kepuasan kerja sebesar 1,383 dengan p = 0,245; p > 0,05 yang
14
menunjukkan sebaran yang homogen. Sedangkan nilai levene statistic burnout
sebesar 0,463 dengan p = 0,763; p > 0,05 yang menunjukkan sebaran yang
homogen. Syarat untuk melakukan uji beda terpenuhi, yakni uji asumsi yang
terdiri dari uji normalitas (data normal) dan uji homogenitas (data homogen).
Setelah dilakukan perhitungan statistik didapatkan bahwa tidak ada perbedaan
kepuasan kerja berdasarkan daerah penugasan (t = 0,604; p = 0,547; p > 0,05)
dan tidak ada perbedaan burnout berdasarkan daerah penugasan (t = 0,657; p
= 0,513; p > 0,05). Peneliti juga melakukan perhitungan statistik untuk
membedakan kepuasan kerja dan burnout berdasarkan bidang opsnal.
Didapatkan hasil ada perbedaan kepuasan kerja berdasarkan bidang opsnal (F =
8,659; p = 0,000; p < 0,05). Urutannya adalah lalu lintas, samapta, reskrim,
intelkam, bina mitra. Kemudian ada perbedaan burnout berdasarkan bidang
opsnal (F = 2,482; p = 0,048; p < 0,05). Urutannya adalah intelkam, bina mitra,
samapta, reskrim, lalu lintas.
IV. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis yang menyatakan ada
hubungan negatif antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi. Berdasarkan
analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa kepuasan kerja
karyawan memiliki mean empirik 178, 3063, sedangkan mean hipotetiknya
157,5. Berarti secara rata-rata skor responden pada alat ukur lebih tinggi dari
rata-rata hipotetiknya dan mayoritas berada pada taraf sedang sebanyak 53
orang (47,75 %) dan taraf tinggi sebanyak 50 orang (45,04 %). Secara garis
15
besar dapat dikatakan bahwa anggota Polri Daerah Kalimantan Selatan Resort
Banjar cenderung merasakan kepuasan kerja yang sedang dan tinggi.
Sedangkan dalam skala burnout diperoleh hasil bahwa mean empirik 43,
sedangkan mean hipotetiknya sebesar 55. Tampak bahwa rata-rata skor
responden pada alat ukur lebih rendah dari rata-rata hipotetiknya. Sementara
dari deskripsi data diperoleh hasil bahwa anggota polisi yang berada pada
kategori rendah sebanyak 86 orang (77,47 %). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa burnout yang terjadi pada anggota polisi yang ditugaskan di Polri Daerah
Kalimantan Selatan Resort Banjar berada pada kategori rendah.
Analisis data dilakukan dan diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,458
dengan p = 0,000 atau p < 0,05 yang artinya ada hubungan negatif antara
kepuasan kerja dan burnout pada polisi. Semakin tinggi kepuasan kerja maka
burnout pada polisi rendah. Sebaliknya semakin rendah kepuasan kerja maka
burnout pada polisi tinggi.
Hasil dari penelitian ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Baron dan
Greenberg (1990) mengenai salah satu kategori utama yang berhubungan
dengan kepuasan kerja, yaitu faktor organisasi. Menurut peneliti, burnout dapat
disebabkan dari keadaan sebuah organisasi menghadirkan iklim atau budaya
yang berkembang di instansinya. Apabila iklim organisasi dipersepsi positif dan
menyenangkan oleh anggota polisi, maka akan menimbulkan kepuasan kerja
pada dirinya. Adapun kepuasan kerja menurut Lateiner dan Levine (Ni’mah,
2003) adalah karyawan akan merasa senang dalam bekerja sehingga
menimbulkan aktivitas dan sikap yang positif, di mana kepuasan kerja ini akan
mereduksi stres, dan pada akhirnya kecenderungan terjadinya burnout pun
16
semakin rendah. Jika iklim organisasi dipersepsi negatif oleh anggota polisi, maka
dapat menimbulkan ketidakpuasan kerja yang mengarah pada burnout.
Penelitian ini juga dikuatkan oleh pendapat yang diajukan oleh kriminolog
UI Adrianus Meliala (Aditama, 2004). Beliau menyatakan salah satu asumsi
tentang munculnya penampilan kerja polisi yang mengecewakan disebabkan oleh
adanya gejala burnout yang timbul di kalangan anggota polri. Konsep burnout
menunjuk pada kondisi penarikan diri oleh seseorang dari pekerjaan sebagai
respon terhadap stres yang berlebihan atau akibat ketidakpuasan dalam
pekerjaan. Gejala tersebut merupakan bentuk coping yang dipilih individu untuk
mengatasi stres pekerjaan yang dihadapinya. Penarikan diri secara psikologi
tersebut ditandai dengan munculnya perilaku antara lain mudah tersinggung,
menurunnya sikap positif terhadap masyarakat yang dihadapi, menyalahkan
masyarakat, menghindar dari masyarakat yang seharusnya ditangani, berbuat
sewenang-wenang, dan sebagainya. Untuk faktor karakteristik personal, gejala
burnout ini bahkan dapat muncul pada individu yang sebelumnya menunjukkan
dedikasi yang tinggi dalam pekerjaannya.
Gejala burnout jelas merugikan karena akan mengurangi kemampuan dan
efektivitas kerja polisi. Selanjutnya dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologi,
memberi dampak buruk pada proses pelayanan kepolisian yang diberikan serta
mengganggu fungsi-fungsi administrasi yang sedang berjalan. Gejala burnout ini
terdiri atas kelelahan emosional, depersonalisasi dan low personal of
accomplishment (berkurangnya penghargaan dalam diri sehingga mendongkrak
penurunan pencapaian prestasi diri) yang dialami oleh individu yang bekerja
memberikan pelayanan kepada orang lain. Peneliti juga menghitung sumbangan
17
efektif aspek kepuasan kerja terhadap burnout dengan menggunakan analisis
regresi dengan bantuan program SPSS for windows 12.0. Dari hasil analisis
tambahan tersebut, aspek kondisi kerja paling tinggi memberikan sumbangan
efektif terhadap kemungkinan munculnya burnout sebesar 21,5 %. Anggota
polisi akan merasa kepentingannya diperhatikan oleh organisasi apabila
organisasi memperhatikan kondisi kerjanya. Dari observasi yang dilakukan
peneliti, kondisi geografis beberapa polsek yang dijadikan lokasi penelitian
memang masih memprihatinkan, sempitnya jalan dengan kepadatan lalu lintas,
rusaknya jalan penghubung dengan wilayah lain, kurangnya personel polisi yang
ditempatkan, sarana telekomunikasi tidak bisa dikatakan optimal karena masih
ada polsek yang menggunakan handy talkie, sarana patroli yang kurang
sehingga tingkat kesulitan menjalankan pekerjaan menjadi bertambah. Selain itu,
yang termasuk kondisi kerja di sini adalah jam kerja, sementara kita semua telah
mengetahui bahwa jam kerja atau jam siaga seorang polisi selama 24 jam, non
stop dalam sehari.
Aspek kepuasan kerja kedua yang dapat memprediksi munculnya burnout
pada polisi adalah tunjangan (benefits). Salah satu faktor yang menimbulkan
kepuasan kerja adalah tunjangan dalam bentuk fasilitas seperti fasilitas rumah
sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan. Ghiselli & Brown (As’ad, 2003)
menyatakan masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh
terhadap kepuasan kerja.
Aspek kepuasan kerja ketiga yang dapat memprediksi munculnya burnout
adalah aspek pekerjaan. Aspek pekerjaan itu sendiri meliputi isi pekerjaan
termasuk umpan balik dan otonomi, pekerjaan yang menarik dan menantang,
18
tidak membosankan dan yang memberikan status bagi karyawan (Baron &
Greenberg, 1990), bagaimana suatu pekerjaan memberikan anggota organisasi
tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk
menerima tanggung jawab (Smith dkk dalam Luthans, 1998). Karakteristik
pekerjaan yang diemban polisi jelas memiliki tuntutan dan kemampuan adaptasi
tinggi. Jika tidak mampu diatasi akan berpengaruh terhadap munculnya gejala
burnout. Jackson (Rohman, 1997) menyatakan burnout dapat muncul
disebabkan oleh pekerjaan yang diulang-ulang, monoton, dan tidak variatif
karena pekerja cenderung memilih pekerjaan yang memberikan kesempatan
untuk menggunakan keahlian dan menawarkan tugas yang bervariasi,
kebebasan, dan umpan balik mengenai seberapa baik pekerjaan mereka
(Robbins, 1998). Dalam faktor pekerjaan, profesi polisi jelas memiliki beban
pekerjaan yang berat. Kondisi seperti inilah yang seringkali mendukung
munculnya burnout. Maksud peneliti adalah polisi dalam melaksanakan tugasnya
mendapatkan tekanan yang sangat banyak, mereka juga sangat rentan
mengalami stres kerja. Apabila stres kerja dibiarkan begitu saja dan terjadi dalam
jangka waktu yang lama, maka polisi akan mengalami burnout.
Aspek terakhir yang dapat memprediksi munculnya burnout pada polisi
adalah supervisi. Menurut Ghiselli & Brown (As’ad, 2003) salah satu faktor yang
menimbulkan kepuasan kerja adalah mutu pengawasan. Hubungan antara
anggota dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam menaikkan
produktivitas kerja. Kepuasan kerja anggota dapat ditingkatkan melalui perhatian
dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan, sehingga anggota akan
merasa dirinya merupakan bagian penting dari organisasi kerja (sense of
19
belonging). Pengawas atau pimpinan harus tanggap terhadap kelemahan dan
kemampuan setiap bawahan dan harus cepat mengatasi kelemahan-kelemahan.
Dari analisis tambahan lainnya, peneliti juga menemukan tidak ada
perbedaan kepuasan kerja dan burnout berdasarkan wilayah penugasan kota dan
desa. Menurut peneliti, hal ini disebabkan faktor-faktor pemicu kepuasan kerja
sama diterapkan antara polres dan polsek yang berbeda kondisi geografisnya.
Hasil lain yang peneliti peroleh dari penelitian ini adalah ada perbedaan kepuasan
kerja antara polisi yang ditempatkan dalam bidang opsnal yang berbeda, yaitu
bina mitra, intelkam, lantas, reskrim, dan samapta. Hasil perhitungan statistik
menunjukkan bahwa lantas menempati urutan pertama. Hal yang berkaitan
dengan pembagian dan jadwal tugas untuk bidang opsnal lantas menunjukkan
bahwa pimpinan unit lantas cenderung lebih sering melakukan pembagian dan
penetapan jadwal tugas, karena menangani kasus yang relatif beragam sehingga
perlu orang tertentu untuk menangani suatu kasus (Sylvana, 2005), sehingga
menurut peneliti hal ini mendorong lebih terpuaskannya seorang anggota polisi
yang ditempatkan diunit lalu lintas, dan tentu saja tidak menutup kemungkinan
masih banyak faktor lain yang mendorong munculnya kepuasan kerja pada polisi
lantas.
Sedangkan untuk adanya kecenderungan burnout, intelkam menduduki
urutan pertama. Tugas polisi yang berada di jajaran intelkam ini mempunyai
keunikan kerja yang berbeda di banding dengan tugas di bidang opsnal lain,
salah satunya adalah antisipasi terhadap situasi yang mendadak. Oleh karena itu,
peneliti mempunyai sudut pandang bahwa hal ini bisa memicu munculnya
burnout, karena polisi intel harus mampu menguak hal-hal yang terselubung
20
dalam masyarakat dan adanya adanya tuntutan internal dan eksternal yang
kurang dapat dipenuhi oleh individu itu sendiri. Tuntutan eksternal misalnya,
tuntutan yang berasal dari struktur organisasi tempat bekerja (contoh : target
pekerjaan dari pimpinan yang harus diselesaikan dalam satu bulan). Sedangkan
tuntutan internal misalnya harga diri, motivasi, aktualisasi diri, dan sebagainya.
Kelemahan dari penelitian ini salah satunya adalah pemilihan responden
pada Polsek Karang Intan, Polsek Aluh-Aluh, Polsek Kertak Hanyar, dan Polsek
Mataraman kondisi geografis lokasi penyebaran polsek yang tidak memungkinkan
dilakukan random. Hal ini memiliki kemungkinan berdampak pada peneliti tidak
dapat mengetahui lebih lanjut mengenai kemungkinan burnout yang lebih tinggi
pada polisi yang bertugas di daerah dengan kondisi geografis sulit.
V. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan
bahwa :
1. Ada hubungan negatif antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi kepuasan kerja maka semakin rendah burnout
pada polisi. Sebaliknya, semakin rendah kepuasan kerja maka semakin tinggi
burnout pada polisi. Jadi hipotesis yang menyatakan ada hubungan negatif
antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi diterima.
2. Pada analisis tambahan diperoleh :
a. Sumbangan efektif aspek kepuasan kerja terhadap burnout yaitu aspek
kondisi kerja sebesar 21,5 %, aspek tunjangan sebesar 5,5 %, aspek
pekerjaan sebesar 4,5 %, dan aspek supervisi sebesar 2,6 %.
21
b. Perbedaan kepuasan kerja dan burnout berdasarkan daerah penugasan
(1) Tidak ada perbedaan kepuasan kerja berdasarkan daerah penugasan
(2) Tidak ada perbedaan burnout berdasarkan daerah penugasan
c. Perbedaan kepuasan kerja dan burnout berdasarkan bidang opsnal
(1) Ada perbedaan kepuasan kerja berdasarkan bidang opsnal, yang
menunjukkan bahwa bidang opsnal lantas menduduki kepuasan
kerja paling tinggi.
(2) Ada perbedaan burnout berdasarkan bidang opsnal, yang
menunjukkan bahwa bidang opsnal intelkam menduduki urutan
burnout paling tinggi.
VI. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan tersebut, peneliti
mengemukakan beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi responden
Dengan mengetahui ada keterkaitan antara kepuasan kerja dan
burnout maka anggota polisi dapat berupaya mencegah hal-hal yang bisa
menurunkan kepuasan kerja dirinya dan orang lain. Membentengi diri dengan
iman dan nilai diri yang kuat perlu ditumbuhkan dalam diri anggota polisi.
2. Bagi instansi Polri Daerah Kalimantan Selatan Resort Banjar
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian anggota Polres Banjar
memiliki kepuasan kerja yang sedang mengarah ke tinggi dan burnout rata-
rata rendah. Oleh karena itu harus lebih peka menyikapi fenomena yang
berkembang dalam organisasinya. Menciptakan iklim organisasi yang
22
kondusif dan memperhatikan aspek-aspek kepuasan kerja dapat dijadikan
pedoman dalam menjaga adanya kemungkinan burnout berkembang dan
mewabah dalam diri anggota Polri Daerah Kalimantan Selatan Resort Banjar.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk meneliti tema yang
sama, disarankan untuk memilih lokasi penelitian di kota-kota besar, seperti
Jakarta, Surabaya, Makasar, dan lainnya karena tingkat pelanggaran
kamtibmas lebih tinggi yang diprediksi melalui individu yang lebih banyak
disertai kemajuan teknologi yang berkembang pesat sehingga mempengaruhi
cara mendeskripsikan kepuasan kerja oleh polisi. Selain itu, daerah rawan
konflik juga menarik untuk diteliti seperti Papua, Ambon, Palu, dan kota
lainnya karena banyaknya kasus yang ditangani dan mendorong kepuasan
kerja yang tidak terpenuhi dan meninggikan kemungkinan terjadinya
burnout. Peneliti selanjutnya juga menggunakan responden fungsi kepolisian
yang jarang terekspos, atau mengkhususkan pada satu bidang, misalnya
intelkam. Adapun penelitian mengenai burnout sebaiknya dilakukan melalui
metode kualitatif sehingga dapat ditemukan penjelasan lebih mendalam pada
kalangan polisi.
23
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, A. 2004. Fenomena Burnout pada Polisi. Majalah Emphaty. Edisi Juli. Hal 41-42
Ahmad, J. 2004. Menjadi Polisi dengan Hati Nurani. Majalah Emphaty. Edisi Juli.
Hal 2-4 Anoraga, P. 1992. Psikologi Kerja. Jakarta : PT Rineka Cipta
As’ad, M. 2003. Psikologi Industri Seri Ilmu Sumber Daya Manusia. Edisi Keempat. Yogyakarta : Liberty
Baron & Greenberg. 1990. Behavior In Organizations : Understanding and
Managing the Human Side of Work. Third Edition. Massachusetts : Allyn & Bacon
Handoko, T. H. 1987. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi 2.
Yogyakarta : BPFE Jackson, S. E & Randall S. S. 1999. Manajemen Sumber daya Manusia.
Menghadapi Abad Ke-21. Jakarta : Erlangga Lee, R. T & Ashforth, B. E. 1996. A Meta-Analytic Examination of the Correlates
of the Three Dimensions of Job Burnout. Journal of Applied Psychology. Vol 81. Pages 123-133
Locke, E. A. 1976. The Nature and Causes of Job Satisfaction. Handbook of
Industrial and Organizational Psychology. Editor : Dunnete Chicago : Rand Mc Nally
Luthans, F. 1998. Organizational Behavior. Sixth Edition. Singapore : McGraw-
Hill, Inc Munandar, A. S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta : UI Press Ni’mah, M. 2003. Hubungan antara Persepsi Terhadap Iklim Organisasi dengan
Burnout pada Perawat. Intisari Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Robbins, S. P. 1998. Organizational Behavior. Concepts, Controversies,
Applications. Eigth Edition. New Jersey : Prentice Hall International, Inc Robbins, S. P. 2005. Perilaku Organisasi. Jakarta : Prentice Hall
24
Rohman, T. N., dkk. 1997. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Burnout pada Perawat Putri di Rumah Sakit Swasta. Jurnal Psikologika. Nomor 4. Tahun II. Hal 51-59
Schaufelli & Buunk. 1996. Professional Burnout. England : John Wiley & Sons Ltd
Sylvana, A. 2005. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja dan Kepuasan Kerja Anggota Polisi. www.ut.co.id
Tanner, S., et. al. 2002. The Process of Burnout in White-Collar and Blu-Collar
Jobs : Eigth-Year Prospective Study of Exhaustion. Journal of Organizational Behavior. Vol 23. Pages 555-570