MULTIPLIKASI TUNAS KENTANG KULTIVAR GRANOLA PADA DUA SISTEM KULTUR IN VITRO SHINTA MAGDALENA SEPTIANI PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M / 1440 H
MULTIPLIKASI TUNAS KENTANG KULTIVAR GRANOLA
PADA DUA SISTEM KULTUR IN VITRO
SHINTA MAGDALENA SEPTIANI
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
MULTIPLIKASI TUNAS KENTANG KULTIVAR GRANOLA PADA DUA
SISTEM KULTUR IN VITRO
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
SHINTA MAGDALENA SEPTIANI
11140950000005
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
v
ABSTRAK
Shinta Magdalena Septiani. Multiplikasi Tunas Kentang Kultivar Granola
pada Dua Sistem Kultur in vitro. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas
Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2019. Dibimbing oleh Karyanti, M.Si dan Dr. Dasumiati, M.Si.
Minimnya penggunaan benih kentang hasil in vitro oleh petani dikarenakan harga
benih awal yang mahal sehingga akan menambah biaya produksi. Salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk menekan harga benih kentang berkualitas adalah
dengan mengurangi biaya produksi benih di tahap in vitro seperti penggunaan
wadah dalam volume yang besar, mengurangi penggunaan agar pemadat dan
konsentrasi gula pasir dan memanfaatkan hormon alami. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk memperoleh sistem kultur dan konsentrasi gula
pasir yang optimum, serta interaksi antara keduanya dalam multiplikasi eksplan
kentang kultivar Granola. Rancangan percobaan yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap faktorial. Faktor pertama berupa sistem kultur (pemberian
aerasi dengan bioreaktor dan tanpa aerasi). Faktor kedua berupa konsentrasi gula
pasir (0 g/l, 7,5 g/l dan 15 g/l). Hasil penelitian menunjukkan sistem kultur aerasi
memiliki rata-rata tertinggi pada parameter jumlah tunas, jumlah nodus, tinggi
planlet, jumlah akar primer dan jumlah daun berganda. Pada konsentrasi gula
pasir 7,5 g/l menghasilkan rata-rata tertinggi pada parameter jumlah nodus,
jumlah tunas dan jumlah daun berganda. Konsentrasi gula pasir 15 g/l
menghasilkan rata-rata tertinggi pada tinggi planlet dan jumlah akar primer.
Hiperhidrisitas pada planlet ditemukan pada perlakuan sistem aerasi dan sistem
non aerasi dengan konsentrasi gula pasir 0 g/l. Persentase daya hidup planlet saat
aklimatisasi tertinggi terdapat pada perlakuan non aerasi dengan konsentrasi gula
pasir 7,5 g/l sebesar 100%. Sistem kultur yang optimal dalam multiplikasi tunas
kentang adalah sistem aerasi. Konsentrasi gula pasir yang optimal dalam
multiplikasi tunas kentang adalah 7,5 g/l. Interaksi perlakuan sistem kultur dan
konsentrasi gula pasir tidak berpengaruh terhadap seluruh parameter.
Kata kunci: Kultivar Granola; Multiplikasi; Sistem kultur
vi
ABSTRACT
Shinta Magdalena Septiani. Multiplication in Potato Granola Cultivar Shoots
on Two Culture System in vitro. Undergraduete Thesis. Program study of
Biology. Faculty of Science and Technology. State Islamic University Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2019. advised by Karyanti, M.Si and Dr. Dasumiati,
M.Si.
At present farmers prefer to used tubers from a ware crop harvest as an seed
tubers because of the high price of seed tubers from in vitro culture that will be
affected their cost production. To bring price down farmers should used container
with considerable volume, reduce usage of agar, and sugar concentrate so that the
cost production of in vitro’s seeds could be reduce and the farmers would be
afford the quality seed tubers. Because of that, this study aims to get the culture
system and concentrate of sugar optimum, also interaction between of them on
multiplication in explants of potato Granola cultivar. This research was using
factorials completely randomized design. First factor was used culture system
(aeration system use bioreactor and non aeration system). The second factor was
variations concentrate of sugar (0 g/l, 7.5 g/l and 15 g/l). The research showed
aeration system had the highest mean on totally shoot, total nodes, planlet length,
total primary roots and total of multiple leaves. Sugar concentration 7,5 g/l had
the highest mean on totally shoot, total nodes and total of multiple leaves. Sugar
concentration 15 g/l had the highest mean on planlet length and total primary
roots. The use of sugar 0 g/l on both of culture systems resulted high
hyperhydricity shoots. Life percentage during acclimatization showed between
non aeration culture system with sugar 7,5 g/l has the highest percentage, 100%.
The optimal culture system in multiplication of potato shoots is an aeration
system. The optimal concentration of sugar in the multiplication of potato shoots
is 7,5 g / l. The treatment of the type of culture system and the concentration of
sugar is not affecting all parameters.
Keywords: Culture system; Granola cultivar; Multiplication
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
hidayat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Multiplikasi
Tunas Kentang Kultivar Granola Pada Dua Sistem Kultur in vitro”. Sholawat
serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW hingga akhir
jaman.
Penelitian merupakan salah satu kegiatan yang diwajibkan sebagai syarat
untuk lulus studi dan mendapatkan gelar sarjana pada Program Studi Biologi,
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dan membimbing penulis dalam pelaksanaan hingga
penulisan skripsi ini, antara lain kepada :
1. Prof. Dr. Lily Surraya Eka Putri, M.Env.Stud., selaku Dekan Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Priyanti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Biologi, Fakultas Sains
dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatulla Jakarta, serta penguji I pada
seminar proposal dan seminar hasil yang telah memberikan arahan serta
bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
sebaik-baiknya.
3. Karyanti, S.P,M.Si., selaku pembimbing I skripsi atas kesediaan dalam
membimbing dan memberikan arahan secara teknis selama penelitian
kepada penulis.
4. Dr. Dasumiati, M.Si., selaku pembimbing II skripsi atas kesediaan dalam
membimbing dan memberikan arahan secara teknis selama penelitian
kepada penulis.
5. Ir. Junaidi, M. Si selaku penguji II pada seminar proposal dan seminar
hasil yang telah memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
6. Staff laboratorium kultur jaringan, Balai Bioteknologi-BPPT yang selalu
membantu penulis selama melaksanakan penelitian.
viii
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menempuh
pendidikan sampai terbitnya skripsi ini.
Penulis menyadari penyusunan skripsi ini masih kurang dari sempurna,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Jakarta, Agustus 2019
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ........................................................................................................ v
ABSTRACT ..................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 3
1.3. Hipotesis ........................................................................................... 3
1.4. Tujuan Penelitian .............................................................................. 3
1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................ 4
1.6. Kerangka Berpikir ............................................................................ 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kentang ................................................................. 6
2.2. Tanaman Kentang Kultivar Granola ................................................. 9
2.3. Sistem Perbenihan Kentang .............................................................. 10
2.4. Perbanyakan Benih Tanaman Kentang dengan Kultur in vitro ........ 11
2.5. Peran Sukrosa dalam Kultur in vitro ................................................ 12
2.6. Peran Sistem Kultur dalam Kultur in vitro ....................................... 14
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat............................................................................ 16
3.2. Alat dan Bahan ................................................................................. 16
3.3. Rancangan Percobaan ....................................................................... 17
3.4. Cara Kerja ......................................................................................... 17
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Jumlah Tunas Kentang ..................................................................... 23
4.2. Jumlah Nodus Kentang ..................................................................... 26
4.3. Tinggi Planlet Kentang ..................................................................... 32
4.4. Jumlah Akar Primer Planlet Kentang ............................................... 33
4.5. Jumlah Daun Berganda Planlet Kentang .......................................... 35
4.6. Aklimatisasi Planlet Kentang ........................................................... 37
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 41
5.2 Saran .................................................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 42
LAMPIRAN - LAMPIRAN ...................................................................................... 46
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian multiplikasi tunas kentang kultivar
Granola pada dua sistem kultur in vitro ............................................. 5
Gambar 2. Morfologi tanaman kentang (A) dan Umbi kentang (B)
(Laksminiwati et al., 2014) ................................................................ 8
Gambar 3. Eksplan yang digunakan dalam penelitian multiplikasi tunas kentang
kultivar Granola secara in vitro ....................................................... 16
Gambar 4. Wadah kultur yang digunakan untuk kultur eksplan kentang kultivar
Granola ............................................................................................. 18
Gambar 5. Media polybag yang sudah disemai stek tunas mikro kentang kultivar
Granola saat tahapan aklimatisasi .................................................... 21
Gambar 6. Morfologi planlet kentang kultivar Granola 4 MST. Sistem
aerasi+gula pasir 0 g/l (A); gula pasir 7,5 g/l (B); gula pasir 15 g/l
(C) dan Sistem non-aerasi+gula pasir 0 g/l (D); gula pasir 7,5 g/l (E);
gula pasir 15 g/l (F). Garis putih horizontal di bawah gambar sampel
menunjukan skala 1 cm .................................................................... 25
Gambar 7. Kemunculan tunas pada waktu pengamatan 1 minggu pada Sistem
aerasi+ gula pasir 7,5 g/l (A) dan gula pasir 0 g/l (B). Garis putih
horizontal di bawah gambar sampel menunjukan skala 1 cm ......... 26
Gambar 8. Morfologi planlet kentang hiperhidrisitas ........................................ 26
Gambar 9. Morfologi planlet kentang kultivar Granola 4 MST pada sistem
aerasi+gula pasir 0 g/l (A); gula pasir 7,5 g/l (B); gula pasir 15 g/l
(C) dan sistem non aerasi+gula pasir 0 g/l (D); gula pasir 7,5 g/l (E);
gula pasir 15 g/l (F). Garis putih horizontal di bawah gambar sampel
menunjukan skala 1 cm .................................................................... 31
Gambar 10. Jarak antar nodus pada planlet kentang kultivar Granola pada Sistem
kultur aerasi (A) dan Sistem kultur non-aerasi (B) .......................... 31
Gambar 11. Kemunculan akar adventif pada dua sistem kultur Non aerasi pada
waktu pengamatan 2 MST (A) dan aerasi pada waktu pengamatan 3
MST (B). Garis putih horizontal di bawah gambar sampel
menunjukan skala 1 cm .................................................................... 34
Gambar 12. Akar adventif planlet pada umur 4 MST di sistem kultur aerasi (A)
dan sistem kultur non-aerasi (B) dengan konsentrasi gula pasir 15
g/l. Garis horizontal di bawah gambar sampel menunjukan skala 1
cm ..................................................................................................... 35
Gambar 13. Morfologi daun juvenile (A); daun berganda (B) dan daun menguning
(senescence) (C) pada planlet kentang kultivar Granola umur 4 MST.
Garis horizontal di bawah gambar sampel menunjukan skala 1 cm 37
Gambar 14. Planlet hasil aklimatisasi pada kombinasi perlakuan aerasi+0 g/l saat
29 hari setelah tanam ....................................................................... 38
Gambar 15. Persentase hidup planlet saat aklimatisasi. Aerasi+gula pasir 0g/l
(B1G1); aerasi+7,5g/l (B1G2); aerasi+15g/l (B1G3); non aerasi+0g/l
(B2G1); non aerasi+7,5g/l (B2G2); dan non aerasi+15g/l(B2G3) .. 38
Gambar 16. Morfologi hasil aklimatisasi dengan persentase hidup tertinggi pada
sistem kultur aerasi+15 g/l (B1G3) (A) dan non-aerasi+7,5g/l
(B2G2) (B) ....................................................................................... 39
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kombinasi perlakuan sistem kultur dan konsentrasi gula pasir pada
penelitian multiplikasi tunas kentang kultivar Granola secara in vitro... 17
Tabel 2.Jumlah tunas pada multiplikasi tunas kentang kultivar Granola pada dua
sistem kultur in vitro dan penambahan konsentrasi gula pasir yang
berbeda umur 4 minggu setelah tanam ................................................... 24
Tabel 3.Jumlah nodus pada multiplikasi tunas kentang kultivar Granola pada dua
sistem kultur in vitro dan penambahan konsentrasi gula pasir yang
berbeda umur 4 minggu setelah tanam ................................................... 28
Tabel 4. Laju multiplikasi tunas kentang kultivar Granola pada dua sistem kultur
in vitro ..................................................................................................... 29
Tabel 5. Tinggi planlet pada multiplikasi tunas kentang kultivar Granola pada dua
sistem kultur in vitro dan penambahan konsentrasi gula pasir yang
berbeda umur 4 minggu setelah tanam ................................................... 32
Tabel 6. Jumlah akar primer planlet pada multiplikasi tunas kentang kultivar
Granola pada dua sistem kultur in vitro dan penambahan konsentrasi gula
pasir yang berbeda umur 4 minggu setelah tanam .................................. 33
Tabel 7.Jumlah daun berganda planlet pada multiplikasi tunas kentang kultivar
Granola pada dua sistem kultur in vitro dan penambahan konsentrasi gula
pasir yang berbeda umur 4 minggu setelah tanam .................................. 36
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Komposisi larutan stok Murashige and Skoog (MS) 1962 .............. 46
Lampiran 2. Denah perlakuan penelitian multiplikasi tunas kentang kultivar
Granola pada dua sistem kultur secara in vitro. ............................... 47
Lampiran 3. Rekapitulasi hasil uji Two Way Anova jumlah nodus pada umur 4
minggu setelah tanam ..................................................................... 48
Lampiran 4. Rekapitulasi hasil uji Two Way Anova jumlah tunas pada umur 4
minggu setelah tanam ...................................................................... 48
Lampiran 5. Rekapitulasi hasil uji Two Way Anova tinggi planlet pada umur 4
minggu setelah tanam ...................................................................... 48
Lampiran 6. Rekapitulasi hasil uji Two Way Anova daun berganda pada umur 4
minggu setelah tanam ...................................................................... 49
Lampiran 7. Rekapitulasi hasil uji Two Way Anova jumlah akar primer pada umur
4 minggu setelah tanam ................................................................... 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kentang termasuk ke dalam lima kelompok makanan pokok dunia selain
gandum, jagung, beras dan terigu. Bagian utama kentang yang dimanfaatkan
sebagai bahan pangan adalah umbi. Komposisi utama umbi kentang terdiri atas
80% air, 19,1 mg pati, 2 g protein dan 83 kal kalori (Pitojo, 2004).
Konsumsi kentang di Indonesia pada periode tahun 2012-2016 menunjukan
adanya fluktuasi. Tahun 2012 konsumsi kentang sebesar 1,46 kg/kapita/tahun dan
meningkat pada tahun 2013 sebesar 1,56 kg/kapita/tahun. Namun, tahun 2014
konsumsi kentang mengalami penurunan sebesar 1,47 kg/kapita/tahun
dibandingkan tahun sebelumnya kemudian nilai konsumsi kentang kembali
meningkat pada tahun 2015 sampai 2016 sebesar 2,5 kg/kapita/tahun (Herwulan
et a.,2017).
Menurut Subdirektorat statistik hortikltura (2017) penyediaan kentang pada
periode 2012-2016 mengalami fluktuasi. Tahun 2012 nilai produksi kentang
sebesar 1,1 juta ton dan terus meningkat sampai tahun 2014 sebesar 1,3 juta ton.
Namun, tahun 2015 sampai 2016 nilai produksi kentang mengalami penurunan
sebesar 1,2 juta ton. Penurunan nilai produksi kentang dapat disebabkan oleh
gagal panen akibat petani menggunakan umbi hasil panen sebelumnya sebagai
benih. Penggunaan umbi hasil panen sebagai benih menyebabkan tanaman mudah
terserang penyakit dan hama sehingga menyebabkan gagal panen (Lehar, 2012).
Salah satu kultivar kentang yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah
Granola. Kultivar Granola memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
kentang varietas lain, seperti potensi produk yang dapat mencapai 30-35 ton/ha
dengan masa tanam yang tergolong pendek yaitu 80 hari (Samadi, 2007). Waktu
tanam Granola lebih singkat dibandingkan dengan kultivar Atlantik Malang yang
berumur 100 hari dan potensi hasil umbi hanya 8-20 ton/ha (BPTP, 2014).
Berdasarkan fakta tersebut diperlukan solusi penyediaan benih untuk para
petani kentang, agar nilai produksi kentang dapat mencukupi nilai konsumsi
2
kentang masyarakat. Solusi penyediaan benih kentang dapat dilakukan dengan
metode kultur in vitro. Kultur in vitro merupakan suatu metode yang
digunakan untuk memperbanyak dan mempertahankan sifat unggul yang berasal
dari indukan unggul, sehingga menghasilkan benih dengan kualitas yang unggul,
kuantitas yang melimpah dengan waktu singkat dan tidak memerlukan lahan yang
luas, karena benih yang dihasilkan berupa stek batang (Sugihono et al., 2014).
Kultur in vitro saat ini sudah bisa dilakukan dalam skala rumah tangga
sehingga tidak mustahil untuk para petani menghasilkan sendiri benih kentang
dengan kultur in vitro. Namun, biaya komponen media dalam kultur in vitro,
seperti penggunaan zat pengatur tumbuh dapat menjadi kendala dalam proses
perbanyakan kentang dalam skala rumah tangga karena harga yang mahal. Salah
satu komponen media yang bermanfaat sebagai sumber karbon yang sering
digunakan adalah sukrosa. Sukrosa teknis (gula pasir) digunakan sebagai sumber
karbon karena harga yang lebih murah dibandingkan dengan sukrosa murni.
Menurut Rai et al. (2015) gula pasir konsentrasi 5 g/l mampu memberikan respon
pertumbuhan eksplan pada tanaman kentang kultivar Granola.
Menurut Winarto (2005) pertumbuhan eksplan pada kultur in vitro dapat
dipengaruhi oleh sistem kultur yang digunakan. Sistem kultur yang sering
digunakan adalah tidak memberikan aerasi pada lingkungan kultur karna
menggunakan tabung kultur yang ditutup rapat untuk menghindari kontaminasi.
Namun, penggunaan sistem kultur ini menyebabkan terhambatnya pertukaran
udara sehingga mengakibatkan laju multiplikasi dan daya tahan hidup tanaman
menjadi rendah (Nurhaimi-haris et al., 2011).
Untuk mengatasi permasalahan ini dapat digunakan sistem kultur alternatif
yang dapat meningkatkan kualitas udara di dalam wadah kultur dengan cara
memberikan suplai udara sehingga konsentrasi udara di dalam media dalam
keadaan tinggi. Sistem kultur tipe aerasi ini menggunakan wadah khusus, yaitu
bioreaktor. Penggunaan wadah bioreaktor dapat merangsang metabolisme sel
menjadi lebih aktif sehingga kinerja pertumbuhan menjadi lebih aktif dan cepat
(Agismanto et al., 2007).
Inokulasi 40 eksplan kentang granola pada bioreaktor dapat menghasilkan
1000-12000 tunas, selain itu tunas kentang yang diaklimatisasi dapat beradaptasi
3
dengan baik dan tumbuh lebih baik dibandingkan tunas kentang bukan hasil dari
bioreaktor (Agismanto, 2015). Berdasarkan hal tersebut penelitian mengenai
perbanyakan tunas kentang dengan menggunakan sistem aerasi dan variasi
penggunaan konsentrasi gula pasir diperlukan untuk mencari kombinasi metode
sistem kultur cair yang optimal untuk kentang.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1) Apakah penggunaan sistem kultur yang berbeda mempengaruhi multiplikasi
benih kentang kultivar Granola secara in vitro?
2) Apakah konsentrasi gula pasir yang berbeda mempengaruhi multiplikasi
benih kentang kultivar Granola secara in vitro?
3) Apakah interaksi antara sistem kultur dan konsentrasi gula pasir berpengaruh
terhadap multiplikasi benih kentang kultivar Granola secara in vitro?
1.3. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
1) Sistem kultur yang berbeda berpengaruh dalam multiplikasi benih kentang
kultivar Granola secara in vitro.
2) Konsentrasi gula pasir yang berbeda berpengaruh dalam multiplikasi benih
kentang kultivar Granola secara in vitro.
3) Interaksi antara sistem kultur dan konsentrasi gula pasir berpengaruh terhadap
multiplikasi benih kentang kultivar Granola secara in vitro.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Menganalisis sistem kultur yang berbeda mempengaruhi dalam multiplikasi
benih kentang kultivar Granola secara in vitro.
2) Mendapatkan nilai konsentrasi gula pasir yang berbeda untuk mempengaruhi
multiplikasi benih kentang kultivar Granola secara in vitro.
3) Menganalisis interaksi sistem kultur dan konsentrasi gula pasir yang
mempengaruhi multiplikasi benih kentang kultivar Granola secara in vitro.
4
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai metode terbaik dalam
perbanyakan benih kentang dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi dan
memberikan informasi mengenai komposisi media terbaik dan ekonomis dalam
perbanyakan benih kentang dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi sehingga
dapat membantu petani untuk melakukan perbanyakan benih in vitro secara
mandiri.
5
1.6. Kerangka Berpikir
Kerangaka berpikir penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian multiplikasi tunas kentang kultivar
Granola pada dua sistem kultur in vitro
0 g/l
7,5 g/l
15 g/l
Harga benih kentang berkualitas
hasil kultur in vitro relatif mahal
Petani menggunakan umbi hasil
panen untuk benih utama
Stek mikro tunas dapat digunakan sebagai benih
sumber. Tetapi biaya produksi kultur in vitro yang
mahal
Mengurangi penggunaan agar
pemadat dan konsentrasi gula pasir
Konsentrasi
gula pasir
Sistem
kultur
Aerasi
Non
aerasi
Persentase keberhasilan
aklimatisasi tinggi
Menghasilkan benih yang
berkualitas secara cepat dan
ekonomis untuk petani
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani Tanaman Kentang
Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang termasuk ke
dalam lima kelompok makanan pokok dunia bersama gandum, jagung, beras dan
terigu. Bagian tanaman kentang yang dijadikan sebagai bahan makanan pokok
adalah umbi. Umbi kentang memiliki kandungan karbohidrat, vitamin dan mineral
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia. Nilai gizi yang terkandung
dalam 100 g kentang adalah kalori sebanyak 347 kal, protein sebanyak 0,3 g,
lemak 0,1 g, karbohidrat 85,6 g, kalsium (Ca) sebanyak 20 g, fosfor (P) sebanyak
30 mg dan vitamin B sebanyak 0,04 mg (Tim Penelitian dan Pengembangan
Perkreditan dan UMKM, 2011).
Allah SWT menciptakan setiap makhlukNya dengan berbagai macam
bentuk, warna ukuran serta manfaatnya. Hal ini dituangkan dalam firman Allah
SWT di Surat Thaha ayat 53 yang berbunyi,
Artinya : “ (Tuhan) yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu, dan
menjadikan jalan-jalan di atasnya bagimu, dan yang menurunkan air (hujan) dari
langit. Kemudian Kami tumbuhkan dengannya (air hujan itu) berjenis-jenis aneka
macam tumbuh-tumbuhan ” (Thaha 20:53).
Berdasarkan surat tersebut dapat diketahui bahwa antara tumbuhan satu
dengan lainnya memiliki morfologi yang secara spesifik berbeda, salah satunya
adalah tanaman kentang. Tanaman kentang merupakan tanaman dikotil yang
termasuk ke dalam tanaman semusim dan berbentuk semak/herba dengan
filotaksis spiral. Bagian tubuh tanaman kentang tersusun dari akar, batang, daun,
bunga, buah, biji dan umbi (Gambar 2). Tipe perakaran tanaman kentang yang
berasal dari biji memiliki akar tunggang, sedangkan tanaman kentang yang
berasal dari umbi memiliki tipe perakaran akar serabut. Letak akar keduanya
7
tumbuh ke arah bawah dan dapat mencapai kedalaman 45 cm. Stolon akan
muncul dari ruas batang paling bawah, berwarna putih dan akan tumbuh secara
mendatar ke arah samping. Stolon tersebut akan membentuk umbi (Pitojo, 2004).
Letak batang kentang berada di atas permukaan tanah dan berwarna hijau,
kemerahan atau ungu tua. Warna batang tersebut dipengaruhi oleh umur tanaman ,
lingkungan, kesuburan tanah dan keadaan air di dalam tanah. Batang kentang
dapat tumbuh tinggi mencapai 30-100 cm di atas permukaan tanah (Otroshy,
2006). Bentuk batang kentang pada penampang melintangnya adalah bulat (teres)
dan permukaan batang kentang termasuk ke dalam tipe bersayap dan bersudut.
Arah tumbuh batang kentang adalah ke atas secara tegak dan menyebar atau
menjalar (Tjitrosoepomo, 2007).
Daun tanaman kentang bertipe daun majemuk dengan anak daun primer dan
anak daun sekunder. Bentuk anak daun primer bervariasi, yaitu oval, oblong,
abovate atau bulat dengan tulang daun menyirip. Bentuk daun tanaman kentang
berkerut dengan adanya bulu pada permukaan bawah daun. Daun tanaman
kentang tersusun secara berselang-seling pada batang tanaman. Warna duan
bervariasi dari hijau muda sampai dengan hijau tua agak kelabu (Gambar 2 A).
Kerusakan pada daun akan mengakibatkan penurunan produksi umbi (Pitojo,
2004).
Tanaman kentang memiliki bunga yang termasuk ke dalam bunga
sempurna, berukuran kecil, mahkota bunga berbetuk terompet dan memiliki
warna mahkota bunga yang bervariasi: putih ungu atau merah keunguan. bunga
kentang memiliki benang sari berwarna kekuning-kuningan dan letaknya
melingkari tangkai putik (Samadi, 2007). Setelah proses penyerbukan bunga akan
menghasilkan buah dan biji. Buah berbetuk bulat dengan diameter 2,5 cm,
berwarna hijau sampai keunguan dan akan matang setelah 6-8 minggu setelah
proses penyerbukan.
Umbi tanaman kentang merupakan umbi batang, karena pada umbi kentang
tidak memiliki sisa-sisa daun sehingga permukaan umbi tampak licin dan buku
batang tidak terlihat dengan jelas (Tjitrosoepomo, 2007). Umbi kentang berbentuk
bulat, lonjong dan meruncing dengan ukuran umbi yang bervariasi (Gambar 2 B).
Kulit umbi kentang tipis, berwarna putih, kuning atau merah dan daging umbi
8
kentang memiliki warna putih, atau kuning. Pada umbi terdapat mata tunas yang
terletak pada pangkal umbi dan berperan penting dalam budi daya kentang (Pitojo,
2004).
Gambar 2. Morfologi tanaman kentang (A) (Laksminiwati et al., 2014)
dan Umbi kentang (B) (Djuariah et al.,2017)
Tanaman kentang dapat tumbuh dan produksi secara optimal di dataran
tinggi (>1000 mdpl) dengan suhu siang antara 17,7 sampai 23,7 oC (Sofiari et al.,
2015). Pengembangan budidaya kentang lebih sering dilakukan di dataran tinggi,
namun sudah dilakukan langkah lanjutan mengembangkan kentang di dataran
medium (300-700 mdpl) (Laksminiwati et al., 2014). Kultivar kentang yang telah
berhasil dibudidayakan di dataran medium adalah Granola, Morene, Nicola dan
Cipanas (Sahat & Sulaeman, 1989).
Menurut Pitojo (2004), pertumbuhan tanaman kentang dapat dibedakan
menjadi tiga stadium pertumbuhan, sebagai berikut: 1) Stadium awal
pertumbuhan, pada stadium ini tunas dari bibit akan muncul di atas permukaan
tanah, pada 10-14 hari setelah tanam. Bersamaan dengan muncul tunas, stolon
tumbuh dari ketiak daun pertama di dalam tanah. Pertumbuhan stolon terus
berlanjut sampai 25 hari setelah tunas muncul ke permukaan tanah. 2) Stadium
pertumbuhan tinggi masa primordia bunga terjadi kira-kira pada 20 hari setelah
batang tanaman bertunas, stolon di dalam tanah sudah mulai menebal dan
membentuk umbi. Pada stadium ini umbi sudah mulai membesar dan jumlahnya
sudah dapat ditentukan. 3) Stadium penyempurnaan umbi, terjadi pada 75 hari
setelah tunas muncul ke permukaan tanah, daun kentang mulai berubah
menguning. Umbi kentang akan terus membesar hingga daun mati. Umbi siap
A B
9
dipanen setelah tanaman dibiarkan selama 10-15 hari, hal ini bertujuan untuk
memastika kulit umbi sudah kuat dan tidak mudah terkelupas.
2.2. Tanaman Kentang Kultivar Granola
Varietas merupakan sekelompok tanaman dari suatu spesies yang ditandai
oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman dan ekspresi karakteristik genotip
atau kombinasi genotip yang dapat dijadikan pembeda dari spesies yang sama dan
apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan. Istilah varietas dan kultivar
memiliki pengertian yang sama, namun kultivar digunakan untuk menyebut
varietas tanaman yang dibudidayakan (Peraturan pemerintah, 2000).
Varietas tanaman kentang yang dibudidayakan di Indonesia sangatlah
beragam, semenjak tahun 2000 sampai dengan 2014 Badan Penelitian Tanaman
Sayuran (BALITSA) telah melepaskan Varietas kentang Unggul Baru (VUB)
diantaranya adalah varietas Medians, Andina, Amabile, Granola, dan Maglia
(Sofiari et al., 2015). Penambahan jumlah VUB akan terus terjadi karena
perakitan varietas kentang unggul termasuk ke dalam salah satu upaya untuk
meningktakan produktivitas kentang (Zulkarnain et al., 2017).
Kultivar kentang yang dibutuhkan adalah kultivar yang memiliki nilai
produksi yang tinggi dan tahan terhadap hama dan penyakit sehingga kultivar
tersebut dapat melakukan pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan
memiliki nilai produktivitas tinggi. Kultivar unggul kentang di Indonesia yang
saat ini banyak dibudidayakan oleh petani adalah Granola. Granola memiliki nilai
bobot satuan yang tinggi, sehingga memiliki harga jual yang tinggi (Zulkarnain et
al., 2017).
Kultivar kentang Granola merupakan hasil introduksi dari Jerman Barat.
Karakteristik tanaman kentang kultivar Granola adalah sebagai berikut, tinggi
tanaman sekitar 65 cm, batang berwarna hijau dengan urat daun utama berwarna
hijau muda, umbi berbentuk oval, kulit umbi berwarna kuning dan daging umbi
berwarna kuning (Pitojo, 2004). Susunan daun kentang kultivar Granola adalah
terbuka berwarna hijau muda, Granola dapat berbunga apabila ditanam pada
ketinggian >1700 m dpl (Hidayat, 2014). Menurut Purwito et al. (2008), kultivar
Granola memiliki keunggulan berupa umur tanam yang pendek yaitu 100-115
10
hari, hasil panen umbi yang tinggi sekitar 26,5 ton dan tahan penyakit virus PVX
dan PVY.
2.3. Sistem Perbenihan Kentang
Berdasarkan peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.
48/Permentan/SR.120/8/2012 tentang produksi, sertifikasi dan pengawasan
peredaran benih hortikultura benih hortikultura yang selanjutnya disebut benih
adalah tanaman hortikultura atau bagian darinya yang digunakan untuk
memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan tanaman. Pemilihan benih kentang
harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu 1) varietas benar, artinya varietas
tidak tercampur atau sesuai dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh BPSB, 2)
Kualitas umbi benih sehat, tidak cacat atau ada kerusakan mekanis, terserang
hama atau penyakit, 3) benih telah pecah dormansi dan keadaan tunas baik (vigor)
(Humas Balitsa, 2015).
Sistem perbenihan kentang di Indonesia saat ini terdiri atas 5 kelas benih,
yaitu benih sumber, G0, G1, G2, G3 dan G4. Menurut Kementrian pertanian
(2012) dalam peraturan perbenihan hortikultura No 48/Permentan/ SR.120/8/2012
kelas benih sumber merupakan bagian tanaman yang nantinya akan digunakan
untuk perbanyakan benih bermutu secara konvensional maupun kultur in vitro, G0
setara dengan benih perjenis (BS), kelas benih G1 setara dengan benih dasar 1
(BD1), kelas benih G2 setara dengan benih dasar 2 (BD2), kelas benih G3 setara
dengan benih pokok (BP) dan kelas benih G4 setara dengan benih sebar (BR).
Proses awal penyediaan benih kentang adalah dengan melakukan
perbanyakan benih sumber secara konvensional muapun dalam bentuk stek mikro
atau umbi mikro dari kultur in vitro. Stek mikro diaklimatisasi sehingga
membentuk stek mini. Stek mini yang telah terbentuk ditanam di media sekam
dan cocopeat seperti aklimatisasi di screen house, kemudian akan membentuk
umbi mini yang disebut G0. Kelas benih G0 ditanam di media sekam dan
cocopeat di dalam screen house sehingga menghasilkan kelas benih G1. Media
tanah mulai diperbolehkan dipakai untuk menanam G1 namun tidak
diperbolehkan terkena hujan, nanti akan menghasilkan umbi G2. Pada kelas benih
G2 ditanam kembali dengan media tanah di luar screen house sehingga akan
menghasilkan kelas benih G3. Kelas benih G3 ditanam kembali dengan metode
11
yang sama seperti penanaman kelas benih G2 sehingga akan menghasilkan G4.
Kelas benih G4 dapat disebar oleh penangkar ke para petani untuk disemai.
Panjangnya mata rantai untuk pengadaan benih sebar (G4) bagi petani oleh
penangkar menjadi satu faktor penyebab harga benih sebar G4 yang tinggi. Maka
dari itu sudah banyak dilakukan penelitian untuk mempersingkat alur perbenihan
sehingga petani tidak harus menggunakan kelas benih G4 untuk benih semai.
Salah satu penelitian Mulyono et al. (2017) terkait dengan pemotongan mata
rantai pengadaan untuk benih sebar, telah menunjukan dengan penggunaan benih
kelas G3 hasil produksi yang didapatkan lebih tinggi sehingga kelas benih G3
dapat dijadikan benih sebar oleh petani.
2.4. Perbanyakan Benih Tanaman Kentang dengan Kultur in vitro
Kultur jaringan merupakan salah satu metode perbanyakan tanaman yang
dilakukan untuk mengatasi kekurangan dalam perbanyakan tanaman secara
konvensional. Kultur jaringan merupakan istilah yang digunakan untuk
menunjukan kultur aseptik in vitro yang menghasilkan tanaman dengan sifatnya
identik seperti induknya yang unggul ataupun sifat yang diingikan. Teknik ini
digunakan untuk perbanyakan dan modifikasi genetik, produksi biokimia dari
produksi biomassa dan menghilangkan penyakit tanaman (Zulkarnain, 2009).
Perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan memiliki beberapa
keuntungan yaitu tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan sepanjang
tahun tanpa tergantung pada musim, memungkinkan untuk dilakukan manipulasi
genetik, menghasilkan jumlah benih yang banyak dalam waktu yang relatif
singkat, dan pelestarian plasma nutfah (Yusnita, 2004).
Kultur jaringan didasarkan pada teori totipotensi sel yang menyatakan
bahwa setiap sel merupakan suatu satuan otonomi dan memiliki kemampuan
untuk beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Secara umum, tahapan
yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah
seleksi eksplan dan persiapan, inisiasi dan kultur pada media prekondisi, media
multiplikasi, media perakaran dan media aklimitasi (Zulkarnain, 2009).
12
2.5. Peran Sukrosa dalam Kultur in vitro
Keberhasilan dalam kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh komposisi
media yang digunakan. Media Murashige dan Skoog (MS) merupakan media
yang paling sering digunakan dalam kultur jaringan, terutama pada kultur kentang
(Pitojo, 2004).
Media MS saat ini sudah mengalami modifikasi tertentu untuk
mengoptimalkan hasil kultur, terutama dalam hal komposisi karbon. Menurut
Winarto et al. (2009) sebagian besar tanaman pada perbanyakan in vitro
umumnya memerlukan pemberian gula sebagai sumber energi untuk pertumbuhan
dan perkembangannya, karena sel-sel tanaman dalam kultur yang belum
melaksanakan fotosintesis. Hampir semua kultur memperlihatkan respons
pertumbuhan yang optimum dengan pemberian disakarida dalam bentuk sukrosa.
Selain sukrosa sumber karbon yang biasanya digunakan dalam komposisi media
kultur jaringan adalah D-glukosa (Zulkarnain, 2009).
Sukrosa yang digunakan pada media kultur merupakan disakarida yang
terdiri dari glukosa dan fruktosa. Bahan baku utama dari sukrosa adalah tebu,
sama seperti bahan baku komersil yang sering digunakan untuk keperluan rumah
tangga. Keduanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam hal tingkat
kemurniannya. Perbedaan tingkat kemurnian pada kedua jenis sukrosa tersebut
tidak mempengaruhi hasil kultur. Manurut Kristianto (2018), penggunaan sukrosa
murni maupun sukrosa teknis pada media kultur tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap jumlah tunas, tinggi planlet dan jumlah daun planlet kentang.
Sukrosa yang ditambahkan dalam media in vitro akan diubah menjadi
bentuk pati oleh planlet. Pati yang terbentuk akan diakumulasi dan disimpan di
kloroplas dalam bentuk butiran yang tidak larut dalam air. Pati dalam kultur in
vitro berperan sebagai penyedia kerangka karbon, agen osmotik dan sebagai
substrat respirasi (Lakitan, 2011).
Menurut Husna et al. (2014), penambahan konsentrasi sukrosa yang tinggi
akan membuat pekat media kultur sehingga arah gerakan difusi akan bergerak dari
arah konsentrasi molekul terlarut tinggi ke konsentrasi molekul terlarut yang lebih
rendah. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan penggunaan gula pasir sebagai
13
sumber karbon secara tepat untuk pembentukan tunas kentang. Sebagaimana
firman Allah dalam al Quran surat al Qamar ayat 49,
Artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (Al
Qamar:49).
Ayat di atas membicarakan sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan
segala sesuatu untuk memaksimalkan potensi dengan konsentrasi yang cukup.
Respon tanaman sangat bergantung pada konsentrasi gula pasir yang ditambahkan
ke medianya. Penggunaan konsentrasi gula pasir sebesar 30 g/l secara umum
sering digunakan dalam media kultur karena mampu meningkatkan hasil kultur
tunas Tacca leontopetaloides (Hapsari et al., 2015), Stevia rebaudiana
(Sumaryono & Sinta, 2011) dan kentang (Munggarani et al., 2018). Pemberian
konsentrasi sukrosa sebesar 35 g/l mampu memberikan hasil optimal bagi
pertumbuhan kalus pule pandak (Zakaria, 2010). Pemberian konsentrasi sukrosa
sebesar 90 g/l dapat meningkatkan rata-rata jumlah umbi mikro kentang
(Maharani, 2019).
Penggunaan konsentrasi gula pasir yang tinggi telah lumrah dilakukan. Oleh
sebab itu, tanaman in vitro tidak perlu melakukan fotosintesis karena sukrosa
sebagai sumber karbon sudah tersedia dalam media tanam. Akan tetapi, proses
fotosintesis yang tidak terjadi selama masa in vitro akan menyulitkan planlet pada
masa aklimatisasi karena organ fotosintesis seperti stomata daun tidak
berkembang secara baik. Pengurangan konsentrasi sukrosa dapat merangsang
terjadinya proses fotosintesis karena mampu meningkatkan jumlah dan kerapatan
stomata daun, dibandingkan dengan penggunaan konsentrasi sukrosa yang tinggi.
Jumlah stomata yang rendah pada tanaman menunjukan indikator laju fotosintesis
yang rendah (Rai et al., 2015). Pada penelitian Mohamed dan Alsadon (2010)
penggunaan sukrosa sebesar 10 g/l pada kultur kentang varietas Sandy mampu
menghasilkan jumlah nodus lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan
konsentrasi sukrosa lain yang lebih tinggi. Jenis sukrosa dan konsentrasi sukrosa
mampu untuk mempengaruhi morfogenesis dan menyebabkan kelainan fisiologis
pada tanaman in vitro, salah satunya adalah vitrifikasi (Yaseen et al., 2012).
14
2.6. Peran Sistem Kultur dalam Kultur in vitro
Sistem kultur yang digunakan dalam kultur in vitro dapat berupa sistem
aerasi dan non aerasi. Sistem kultur aerasi menggunakan wadah kultur yang
memungkinkan gas atau udara dari luar untuk masuk dan sebaliknya sehingga
akan terjadi pertukaran udara. Sebaliknya sistem non aersi menggunakan wadah
yang tertutup rapat sehingga tidak memungkinkan adanya pertukaran udara.
Pada sistem kultur aerasi wadah yang umum digunakan adalah bioreaktor.
bioreaktor merupakan suatu alat atau sistem berbentuk bejana yang dapat
mendukung aktivitas agensia biologis, seperti sel, embrio atau organ yang
dibiakkan. Bioreaktor harus terbuat dari bahan yang tidak ikut bereaksi dengan
aktivitas biokimia yang sedang terjadi (Saraswati, 2012).
Bioreaktor dihubungkan dengan sumber udara yang disalurkan menuju
kontainer atau bejana yang berisi sel atau organ. Masuknya udara ke dalam
kontainer menyebabkan media mengalami pergerakan, untuk menjaga
homogenitas media. Selain itu, masuknya udara pada kontainer dapat
meningktakan oksigen terlarut sehingga meingkatkan metabolisme dan
mempercepat kinerja sel dalam pertumbuhan (Agismanto, 2007).
Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bahan dan komponen
bioreaktor dalam kultur jaringan, yaitu semua komponen yang menyusun
bioreaktor haruslah dapat disterilkan dengan menggunakan autoklaf, wadah untuk
pertumbuhan harus transparan untuk memaksimalkan cahaya masuk ke dalam
wadah dan terdapat ventilasi untuk suplai oksigen sehingga dapat menghindari
rusaknya sel, jaringan atau organ tumbuhan yang dikultur (Hale et al., 1991).
Bioreaktor dalam kultur jaringan tanaman memiliki beberapa keuntungan
dalam memperbanyak organ ataupun sel yakni (1) penanganan kultur mulai dari
inokulasi sampai waktu panen mudah dan cepat, (2) penyerapan nutrisi lebih
tinggi karena keseragaman media dan kontak langsung sel dengan media sehingga
merangsang laju multiplikasi dan (4) menghasilkan benih bebas penyakit dan
pestisida yang memiliki sifat identik dengan sel induknya (Agismanto et al.,
2007).
Salah satu tipe bioreaktor yang sederhana dan sering digunakan dalam
kultur in vitro adalah bioreaktor airlift. Prinsip kerja bioreaktor airlift adalah
15
aliran udara yang dipasok dari luar wadah akan menyebabkan terbentuknya
gelembung sehingga akan membuat media kultur mengalami pergerakan,
pergerakan inilah yang akan menjaga sirkulasi dan homogenitas media pada
kultur. Tipe ini sering digunakan karena tidak membuat eksplan rusak akibat
adanya pengadukan yang berlebihan (Takayama & Akita, 1994). Penelitian terkait
penggunaan bioreaktor airlift adalah mencari tingkat aerasi pada metode
proliferasi kalus embriogenik Dendrobium Indonesia Raya ‘Ina’ (Rachmawati et
al., 2016) dan induksi umbi mikro kentang varietas Yukishiro (Takayama &
Akita, 1994).
Keuntungan lain dalam penggunaan sistem kultur aerasi adalah mengurangi
adanya planlet yang mengalami vitrifikasi atau hiperhidrisitas. Vitrifikasi atau
hiperhidrisitas merupakan kelainan fisiologis pada planlet hasil kultur yang
ditunjukkan dengan planlet yang transparan seperti kaca, internodus pendek, daun
yang menebal dan penuaan daun. Planlet akan mudah rusak akibat kandungan air
yang terlalu banyak dalam planlet dan kurangnya kandungan klorofil pada planlet
(Yaseen et al., 2012). Vitrifikasi dapat dicegah dengan penggunaan sistem kultur
aerasi karena adanya pertukaran gas pada lingkungan kultur yang membuat
pertumbuhan planlet kentang varietas Haig menjadi vigor (Cournac et al., 1991)
16
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikropropagasi, Balai
Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), gedung 630
kawasan Puspiptek, Kota Tangerang Selatan, Banten. Penelitian dilakukan pada
bulan Maret sampai dengan bulan Juni tahun 2018.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik AND
EK-300i, timbangan presisi Precisisa XB 220A, Laminar Air Flow (LAF), hot
plate Eyela Hotting Stirrer RCH-10, pH meter, bioreaktor terdiri dari botol Schott
ukuran 2l beserta modifikasi tutup botol Schott dengan selang aerator dan
penyaring udara, botol kultur dengan ukuran 1l, pompa aerasi, mikropipet, beaker
glass magnetic stirrer, pinset panjang, gunting, scapel, polybag ukuran 5x8 cm
untuk aklimatisasi, baki, sungkup plastik dan karet ban.
Bahan tanam yang dibutuhkan adalah eksplan kentang kultivar Granola
umur subkultur ke-5 dari koleksi laboratorium mikropropagasi, Balai
bioteknologi, BPPT (Gambar 3), larutan stok media dasar Murashige dan Skoog
(MS) (Lampiran 1), air kelapa, NaOH 0,1 N, HCl 0,1 N, akuades steril, sekam
bakar, cocopeat, bioroot gel 20%, agrept (bakterisida), antrakol (fungisida) dan
gula pasir.
Gambar 3. Eksplan yang digunakan dalam penelitian multiplikasi tunas kentang
kultivar Granola secara in vitro
17
3.3. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
HINTALengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama
berupa perlakuan jenis sistem kultur yang terdiri dari 2 taraf, yaitu pemberian
aerasi dan tanpa aerasi. Faktor kedua merupakan variasi konsentrasi gula pasir
yang terdiri dari 3 taraf, yaitu 0 g/l, 7,5 g/l dan 15 g/l. Terdiri dari 6 kombinasi
perlakuan (Tabel 1) setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 18
satuan percobaan (Lampiran 2). Tiap perlakuan pada setiap ulangan berisi media
tanam 10% dari volume total wadah kultur dan setiap perlakuan pada setiap
ulangan berisi 2 nodus eksplan untuk setiap 5 ml volume media.
Tabel 1. Kombinasi perlakuan sistem kultur dan konsentrasi gula pasir pada
penelitian multiplikasi tunas kentang kultivar Granola secara in vitro
Sistem kultur Konsentrasi gula pasir (g/l)
G1 G2 G3
B1 B1G1 B1G2 B1G3
B2 B2G1 B2G2 B2G3
Keterangan :
B1 : Sistem kultur aerasi;
B2 : Sistem kultur tanpa aerasi;
G1 : Gula pasir konsentrasi 0 g/l;
G2 : Gula pasir konsentrasi 7,5 g/l;
G3 : Gula pasir konsentrasi 15 g/l;
3.4. Cara Kerja
3.4.1. Sterilisasi Alat dan Media
Alat yang disterilisasi adalah botol Schott ukuran 2l untuk bioreaktor
(Gambar 4), botol kultur ukuran 1l (Gambar 4), cawan petri dan alat tanam. Botol
Schott ukuran 2l sebelum disterilisasi pada bagian selang yang berada di luar botol
dibungkus dengan alumunium foil, untuk cawan petri sebelum disterilisasi
dibungkus dengan menggunakan plastik tahan panas, kemudian semua botol dan
cawan petri disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC selama
60 menit pada tekanan 17,5 psi.
18
Sterilisasi alat tanam dilakukan dengan cara mencucinya di bawah air
mengalir menggunakan sabun, selanjutnya alat yang sudah dicuci dikeringkan
dengan menggunakan tisu. Sebelum digunakan alat harus direndam di dalam
larutan alkohol 90%, kemudian dibakar di atas api bunsen.
Gambar 4. Wadah kultur yang digunakan untuk kultur eksplan kentang kultivar
Granola
Sterilisasi juga dilakukan pada LAF sebagai lingkungan kerja dengan cara
menyemprotkan alkohol 70% pada permukaan meja LAF dan dikeringkan
menggunakan tisu. Langkah – langkah ini dilakukan pada saat sebelum
melakukan kultur dan setelahnya.
Media yang sudah dituang dalam wadah kultur disterilisasi dengan
menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC selama 30 menit pada tekanan 17,5 psi.
Setelah dilakukan sterilisasi, kemudian media diinkubasi selama 7 hari untuk
melihat ada atau tidaknya kontaminasi pada media.
3.4.2. Pembuatan Media Multiplikasi
Media dasar yang digunakan untuk multiplikasi tunas adalah media
Murashige and Skoog. Komponen garam mineral dan vitamin dalam bentuk
larutan stok media MS diambil dengan menggunakan pipet sesuai dengan
konsentrasi yang diperlukan untuk pembuatan media sebanyak 1l (Lampiran 1) ke
dalam gelas beaker kemudian ditambahkan air kelapa 150 ml/l dan gula pasir pada
konsentrasi sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Campuran tersebut
kemudian dihomogenkan dan ditera sampai 1l. Lalu campuran tersebut dicek pH
larutan dengan menggunakan pH meter dengan nilai pH 5,8.
Sistem kultur non aerasi
Sistem kultur aerasi
(Bioreaktor)
Filter udara masuk Filter udara keluar
19
Media MS yang telah jadi kemudian dituang ke dalam botol bioreaktor
ukuran 2l sebanyak 250 ml dan botol kultur ukuran 1l sebanyak 100 ml. Volume
media yang dituang pada setiap wadah ditentukan dengan cara;
Volume media = 10% x Volume total wadah
Media kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoklaf kemudian
disimpan dalam ruang kultur. Penambahan volume media pada bioreaktor
sebanyak 50 ml dilakukan untuk menghindari habisnya media sebelum masa
inkubasi selesai.
3.4.3. Penanaman Eksplan dan Pemeliharaan
Penanaman dilakukan di dalam Laminar Air Flow (LAF) secara aseptik.
Pertama yang harus dilakukan menyiapkan eksplan kentang kultivar Granola
dengan umur subkultur ke-5, kemudian eksplan kentang dipotong pada bagian
batang sepanjang 4 nodus di atas cawan petri steril dengan bantuan pinset dan
gunting yang sudah disterilkan. Saat melakukan pemotongan, eksplan dianjurkan
untuk tidak terlalu lama terpapar udara dari blower LAF karena akan
mempercepat layunya eksplan. Setelah itu eksplan ditanam ke dalam botol kultur.
Setiap botol diberi label penanda yang berbeda untuk membedakan tiap
perlakuan. Untuk sistem kultur aerasi, selang dari pompa aerator disambungkan
ke tiap tutup botol Schott yang telah dimodifikasi dengan selang untuk saluran
udara dan penyaring udara. Semua perlakuan disimpan dalam ruang inkubasi pada
suhu 20 ± 2 oC dan intensitas cahaya 1000 lux selama 4 minggu.
Untuk penentuan jumlah eksplan dan jumlah nodus pada setiap botol, setiap
5 ml volume media berisi 2 nodus sehingga penentuan jumlah buku pada setiap
wadah dapat ditentukan dengan persamaan matematika sebagai berikut;
5 ml 2 nodus
=
Total volume media (ml) banyaknya nodus
Berdasarkan penelitian pendahuluan, maka setiap 5 ml volume media akan
berisi 2 nodus. Pada penelitian ini karena pada botol bioreaktor ukuran 2l berisi
volume media sebanyak 250 ml, maka pada botol bioreaktor ukuran 2l berisi
sebanyak 100 nodus, karena 1 eksplan yang ditanam terdiri dari 4 nodus maka
jumlah eksplan yang harus ditanam sebanyak 25 eksplan.
20
Untuk botol kultur ukuran 1l karena berisi volume media sebanyak 100 ml,
maka pada botol kultur ukuran 1l berisi sebanyak 40 nodus, karena setiap eksplan
yang ditanam terdiri dari 4 nodus maka jumlah eksplan yang ditanam adalah
sebanyak 10 eksplan.
Eksplan yang telah ditanam pada media berikutnya dilakukan pengamatan
terkait perubahan morfologi selama inkubasi. Parameter pengamatan yang
dihitung saat 4 minggu setelah tanam adalah sebagai berikut:
1. Jumlah nodus: Nodus tunas adalah ruas yang terbentuk pada batang tanaman
yang ditandai dengan tumbuhnya daun. Nodus dihitung dari nodus paling
bawah hingga ujung dari setiap tunas. Perhitungan jumlah nodus hanya
dilakukan pada umur 4 minggu setelah tanam.
2. Laju multiplikasi: Pembagian antara jumlah nodus awal eksplan yang
digunakan dan jumlah nodus pada minggu ke 4 setelah inkubasi.
3. Jumlah akar primer: Kemunculan akar diamati dari umur 1 sampai 4 minggu
setelah tanam. Perhitungan jumlah akar primer hanya dilakukan pada umur 4
minggu setelah tanam.
4. Jumlah tunas: Kemunculan tunas aksilar diamati dari umur 1 sampai 4
minggu setelah tanam. Perhitungan jumlah tunas hanya dilakukan pada umur
4 minggu setelah tanam.
5. Jumlah daun berganda: Daun berganda merupakan morfologi daun yang
sudah membentuk daun majemuk. Kemunculan daun pecah diamati dari umur
1 sampai 4 minggu setelah tanam. Perhitungan jumlah daun pecah hanya
dilakukan pada umur 4 minggu setelah tanam.
6. Tinggi planlet: Tinggi planlet diukur dari pangkal hingga ujung planlet
menggunakan penggaris bersatuan cm. Pengukuran dilakukan pada umur 4
minggu setelah tanam saat planlet dikeluarkan dari wadah kultur.
3.4.4. Aklimatisasi Planlet
Proses aklimatisasi merupakan penyesuaian benih kentang hasil
perbanyakan dari in vitro ke kondisi ex vitro. Planlet yang diaklimatisasi berusia 4
minggu dari hasil perbanyakan in vitro. Pembuatan media aklimatisasi dilakukan
dengan mencampurkan sekam bakar dan cocopeat dengan perbandingan 1:2.
Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam polybag sosis ukuran 5x8 cm
21
dan disusun di dalam baki yang sudah dilubangi bagian bawahnya (Gambar 5).
Setelah itu baki yang sudah berisi polybag disiram dengan air sampai media
aklimatisasi jenuh dan didiamkan selama 1 hari.
Gambar 5. Media polybag yang sudah disemai stek tunas mikro kentang kultivar
Granola saat tahapan aklimatisasi
Larutan bakterisida (Agrept) dan larutan fungisida (Antrakol) dibuat untuk
merendam planlet sebelum aklimatisasi dengan mencampurkan masing-masing
0,5 g untuk 500 ml larutan. Larutan nutrisi terus diberikan secara berkala selama
waktu aklimatisasi dengan mencampurkan larutan A+B (produk miliki BPPT)
yang berisi unsur hara mikro dan makro masing-masing sebanyak 3 ml untuk 1 l
larutan.
Aklimatisasi dilakukan dengan cara planlet dikeluarkan dari wadah kultur,
kemudian planlet direndam dalam larutan campuran bakterisida dan fungisida
untuk membersihkan planlet dari sisa-sisa media dan mencegah planlet
terkontaminasi oleh bakteri dan jamur selama masa aklimatisasi, setelah itu
planlet dipotong sepanjang ±3 cm dan planlet yang dipotong direndam pada
akuades steril. Planlet potong dicelupkan ke bioroot gel 20% bagian ujungnya saja
untuk merangsang pembentukan akar, kemudian planlet ditanam dalam media
aklimatisasi. Setelah itu baki yang berisi semai planlet disungkup dengan plastik
dan disimpan dalam ruang inkubasi kultur. Planlet diaklimatisasi selama 30 hari
dan kelembabannya terus dijaga dengan disemprotkan larutan nutrisi sebanyak 1
kali sehari.
Planlet yang telah terbentuk pada umur 4 MST diaklimatisasi selama 4
minggu, adapun variabel yang diamati pada tahap ini adalah persentase daya
22
hidup benih. Persentase daya hidup benih dihitung dari jumlah stek mikro tunas
yang tidak busuk dan mati dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
(Jml planlet yang ditanam – jml planlet yang mati) X 100%
% Daya hidup=
Jumlah planlet yang ditanam
3.4.5. Analisis Data
Data yang diperoleh dari seluruh parameter pengamatan dianalisis secara
statistik dengan menggunakan Two-way Analysis of Varians dengan derajat
siginifikasi 5%, kemudian dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple
Range Test pada taraf 5 persen. Analisis data dilakukan dengan menggunakan
program aplikasi statistik XLStat.
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Jumlah Tunas Kentang
Penggunaan sistem kultur yang berbeda memberikan pengaruh (Sig<0,05)
terhadap pembentukan jumlah tunas kentang kultivar Granola secara in vitro pada
minggu ke 4 inkubasi (Lampiran 3). Penggunaan sistem kultur dengan aerasi
menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak (72,22 tunas) dibandingkan dengan
sistem kultur tanpa aerasi (30,778 tunas) pada minggu ke 4 (Tabel 2).
Pemberian konsentrasi gula pasir yang berbeda berpengaruh (Sig<0,05)
terhadap pembentukan tunas pada minggu ke 4 inkubasi (Lampiran 3). Pada setiap
perlakuan mengalami pertumbuhan yang baik, tetapi perlakuan yang paling
optimal menghasilkan tunas adalah konsentrasi gula pasir 7,5 g/l sebesar 68,83
tunas, kemudian 15 g/l sebesar 49,5 tunas dan paling rendah 0 g/l sebesar 36,17
tunas (Tabel 2). Adanya sumber karbon seperti gula pasir yang ditambahkan pada
media berguna untuk meningkatkan akumulasi pati, supaya eksplan mampu
melakukan morfogenesis. Eksplan yang ditanam pada kultur in vitro tidak
memiliki organ sempurna sehingga eksplan tidak memiliki cadangan energi
berupa akumulasi pati yang cukup di dalam plastida untuk membentuk tunas dan
akar (Saji et al., 1998).
Perlakuan penambahan gula pasir 0 g/l menghasilkan jumlah tunas paling
rendah (36,17 tunas) pada minggu ke 4 setelah tanam dibandingkan dengan
konsentrasi lain (Tabel 2). Jumlah tunas yang dihasilkan terbentuk karena adanya
sumber karbon lain selain gula pasir yang ditambahkan ke dalam media yaitu
berasal dari air kelapa yang ditambahkan dalam media.
Interaksi antara perlakuan sistem kultur dan konsentrasi gula pasir tidak
berpengaruh (Sig>0,05) terhadap pembentukan jumlah tunas (Lampiran 3). Hal
ini dikarenakan yang mempengaruhi pembentukan jumlah tunas adalah masing-
masing faktor perlakuan sehingga kedua faktor tersebut tidak saling terkait.
24
Tabel 2. Jumlah tunas pada multiplikasi tunas kentang kultivar Granola pada dua
sistem kultur in vitro dan penambahan konsentrasi gula pasir yang
berbeda umur 4 minggu setelah tanam
Perlakuan
Sistem kultur
Aerasi 72,222a
Non aerasi 30,778b
Konsentrasi gula pasir (g/l)
0 36,167b
7,5 68,833a
15 49,5ab
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama pada satu kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji Duncans
Multiple Range Test (DMRT)
Gula pasir pada media in vitro berperan sebagai sumber energi dan
pengatur tekanan osmotik sehingga dapat mempengaruhi multiplikasi tunas.
Tekanan osmotik dapat bekerja dengan perpindahan molekul berkonsentrasi tinggi
menuju tempat dengan molekul berkonsentrasi rendah (Salisbury, 1995). Keadaan
yang seperti ini pada media dengan konsentrasi molekul tinggi akan membuat
jaringan eksplan mendapatkan unsur hara yang diperlukan untuk multiplikasi
(Ni’mah et al., 2012).
Pengaruh penggunaan kombinasi perlakuan lebih terlihat pada morfologi
planlet (Gambar 6) dibandingkan dengan jumlah tunas yang terbentuk. Pada
perlakuan sistem aerasi dan gula pasir konsentrasi 7,5 g/l dan gula pasir 15 g/l
menunjukkan planlet yang vigor atau normal (Gambar 6B dan 6C) dibandingkan
dengan perlakuan sistem aerasi dan gula pasir 0 g/l (Gambar 6A). Penelitian lain
juga menunjukkan bahwa kualitas planlet terutama dalam fase hardening
ditentukan oleh penambahan konsentrasi sumber karbon, yakni gula pasir
(Aragon, 2010) dan penambahan aerasi sebagai sirkulasi udara dalam wadah (Park
et al., 2004).
Morfologi planlet kentang pada sistem kultur non aerasi terlihat lebih
pendek dan batang terlihat vitreous. Perbedaan yang mencolok terlihat pada
keberadaan akar adventif. Akar adventif pada sistem kultur non aerasi terbentuk
lebih banyak dibandingkan dengan sistem aerasi (Gambar 6D, 6E, dan 6F). Hal
A B C
25
ini dapat dikarenakan planlet mengalami stress karena lingkungan yang tidak ada
sirkulasi udara.
Gambar 6. Morfologi planlet kentang kultivar Granola 4 MST. Sistem aerasi+gula
pasir 0 g/l (A); gula pasir 7,5 g/l (B); gula pasir 15 g/l (C) dan Sistem
non-aerasi+gula pasir 0 g/l (D); gula pasir 7,5 g/l (E); gula pasir 15 g/l
(F). Garis putih horizontal di bawah gambar sampel menunjukan skala
1 cm
Salah satu penyebab yang mempengaruhi rendahnya jumlah tunas pada
konsentrasi gula pasir 0 g/l adalah waktu kemunculan tunas yang lebih lambat
(Gambar 7B) dibandingkan dengan konsentrasi lainnya, terutama konsentrasi 7,5
g/l yang menghasilkan jumlah tunas paling banyak (Gambar 7A). Hal ini
dikarenakan pada perlakuan gula pasir 0 g/l tidak mengandung sumber karbon
tambahan berupa sukrosa teknis. Walaupun pada perlakuan tersebut sudah
ditambahkan air kelapa yang dapat merangsang pembentukan tunas dengan
memacu pembelahan sel (Surachman, 2011) dan secara efektif mampu
meningkatkan multiplikasi tunas pada tanaman krisan (Indriani, 2014) dan
tanaman temulawak (Andini,2016). Namun penambahan air kelapa tanpa
penambahan sukrosa teknis belum mampu mengoptimalkan multiplikas tunas
pada kentang varietas Granola.
D E F
A B C
26
Gambar 7. Kemunculan tunas pada waktu pengamatan 1 minggu pada Sistem
aerasi+ gula pasir 7,5 g/l (A) dan gula pasir 0 g/l (B). Garis putih
horizontal di bawah gambar sampel menunjukan skala 1 cm
Penyebab lain rendahnya jumlah tunas pada konsentrasi gula 0 g/l adalah
karena eksplan yang terendam sepanjang waktu dalam media akan menghasilkan
tunas yang mengandung lebih banyak air, sehingga planlet yang terbentuk akan
transparan (Gambar 8). Ciri-ciri planlet yang telah disebutkan merupakan efek
hiperhidrisitas. Planlet yang mengalami hiperhidrisitas juga ditemukan pada
perlakuan konsentrasi gula pasir 0 g/l di kentang varietas Atlantik dengan sistem
aerasi dan non aerasi (Karyanti et al., 2018).
Planlet hiperhidrisitas disebabkan oleh fase hardening atau penguatan
planlet tidak berjalan baik pada tunas, sehingga membentuk daun dan batang yang
transparan (Gambar 8). Daun yang transparan cenderung berwarna hijau muda
dan tidak memiliki klorofil dalam jumlah yang tinggi, karena warna daun dapat
mengindikasikan rendah atau tingginya kandungan klorofil-a pada daun
(Lizawati, 2012). Kandungan klorofil menjadi sangat penting karna sebagai
komponen dalam fotosintesis, hal ini akan berpengaruh dalam fase aklimatisasi.
Gambar 8. Morfologi planlet kentang hiperhidrisitas
4.2. Jumlah Nodus Kentang
Penggunaan sistem kultur yang berbeda memberikan pengaruh (Sig<0,05)
terhadap jumlah nodus pada umur 4 MST (Lampiran 4). Pada penggunaan sistem
A
B
A B
27
kultur jumlah nodus yang paling banyak dihasilkan pada sistem kultur aerasi
sebanyak 711,56 buku, sedangkan pada sistem non aerasi sebanyak 286,89 buku
(Tabel 3).
Pemberian konsentrasi gula pasir yang berbeda tidak mempengaruhi
(Sig>0,05) pertambahan jumlah nodus pada minggu ke 4 setelah tanam (Lampiran
4). Secara keseluruhan pertambahan jumlah nodus pada masing-masing
konsentrasi berlangsung dengan baik, namun konsentrasi gula pasir yang
menghasilkan jumlah nodus paling optimal adalah konsentrasi 7,5 g/l sebanyak
576 nodus (Tabel 3). Peningkatan konsentrasi gula pasir yang semakin meningkat
akan mengakibatkan turunya nilai potensial osmotik dan membuat lingkungan
kultur menjadi tercekam (Hapsari et al., 2015) sehingga penambahan konsentrasi
gula pasir yang semakin tinggi dapat menurunkan laju pertumbuhan kultur.
Interaksi pada perlakuan sistem kultur dan konsentrasi gula pasir yang
berbeda tidak memberikan pengaruh (Sig>0,05) terhadap pertambahan jumlah
nodus (Lampiran 4). Hal ini dikarenakan yang mempengaruhi pembentukan
jumlah tunas adalah masing-masing faktor perlakuan sehingga kedua faktor
tersebut tidak saling terkait.
Salah satu proses pembentukan benih G0 sebagai benih sumber kentang
dapat berupa bentuk umbi mikro dan stek mikro. Penggunaan benih stek mikro
digunakan karena lebih ekonomis, sehingga dapat mengurangi biaya produksi.
Benih stek mikro akan bergantung dari jumlah nodus yang dihasilkan pada saat
perbanyakan secara in vitro (Tabel 3).
28
Tabel 3. Jumlah nodus pada multiplikasi tunas kentang kultivar Granola pada dua
sistem kultur in vitro dan penambahan konsentrasi gula pasir yang
berbeda umur 4 minggu setelah tanam
Perlakuan
Sistem kultur
Aerasi 711,556a
Non aerasi 286,889b
Konsentrasi gula pasir (g/l)
0 453,5a
7,5 576a
15 468,167a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama pada satu kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji Duncans
Multiple Range Test (DMRT)
Pada awal penanaman jumlah nodus yang ditanam pada setiap sistem
kultur berbeda, karena mengikuti volume total wadah kultur. Pada penggunaan
sistem aerasi nodus awal yang digunakan berjumlah 100 nodus, sedangkan pada
sistem non-aerasi berjumlah 40 nodus (Tabel 4). Nilai laju multiplikasi didapatkan
dari perbandingan jumlah nodus setelah 4 minggu inkubasi dan jumlah nodus
awal penanaman.
Rata-rata laju multiplikasi pada perlakuan sistem kultur aerasi dan non
aerasi berkisar antara 5-8,5 kali. Laju multiplikasi tertinggi adalah pada perlakuan
sistem aerasi dengan pemberian konsentrasi gula pasir 7,5 g/l sebesar 8,44 kali
lebih banyak dibandingkan dengan jumlah nodus awal (Tabel 4). Hal ini
menunjukkan bahwa dengan kombinasi perlakuan yang tepat, laju multiplikasi
tunas kentang dapat dipacu lebih cepat dari pada seharusnya.
Laju multiplikasi setiap perlakuan secara umum sudah baik karena dapat
bermultiplikasi mencapai lebih dari 2 kali dari jumlah nodus semula (Table 4).
Namun morfologi planlet yang dihasilkan menjadi faktor pendukung dalam
keberhasilan aklimatisasi karena benih yang berkualitas adalah benih yang
mampu hidup dan berkembang saat aklimatisati. Planlet yang digunakan untuk
benih stek mikro harus memenuhi syarat yaitu planlet sebagai tanaman induk
masih berada dalam fase juvenile dengan tanda planlet terlihat vigor, tektur batang
tidak keras, jarak antar buku berjauhan, jumlah daun berganda rendah dan warna
daun belum menguning/senescence (Karjadi, 2014).
29
Tabel 4. Laju multiplikasi tunas kentang kultivar Granola pada dua sistem kultur
in vitro
Perlakuan
Jumlah nodus
awal (buah)
Jumlah nodus
4MST (buah)
Laju
multiplikasi
(kali) Sistem kultur
Konsentrasi
gula pasir
(g/l)
Aerasi
(Bioreaktor)
0,0 100 693 6,93
7,5 100 844 8,44
15,0 100 598 5,98
Non-aerasi
0,0 40 214 5,35
7,5 40 308 7,7
15,0 40 338 8,45
Secara keseluruhan morfologi pada sistem kultur non aerasi memiliki jarak
antar nodus yang lebih pendek dibandingkan dengan sistem kultur aerasi (Gambar
9). Selain itu ditemukan banyak pembentukan tunas lateral pada sistem kultur non
aerasi, namun tunas lateral yang terbentuk berukuran pendek, vitreous dan bentuk
daun tidak mengembang dan daun berukuran kecil (Gambar 9 D, E & F). Hal ini
diduga karena ukuran wadah kultur yang tidak terlalu tinggi, sehingga
pertambahan tinggi planlet terbatas dan adanya cekaman lingkungan pada kultur
sehingga planlet membentuk tunas lateral dan akar adventif dengan jumlah yang
tinggi.
Planlet pada perlakuan aerasi dan konsentrasi gula pasir 0 g/l memiliki
morfologi batang yang vitreous sehingga saat dikeluarkan dari wadah batang
planlet mudah patah (Gambar 9 A). Morfologi planlet seperti ini juga ditemui
pada perlakuan non aerasi dan konsentrasi gula pasir 0 g/l (Gambar 9 D). Batang
planlet yang mudah patah karena vitreous akan mengurangi daya hidup planlet
saat aklimatisasi, selain itu planlet akan mengalami pembusukan karna terlalu
banyak kandungan air pada planlet. Bentuk daun pada kombinasi perlakuan ini
tidak mengembang cenderung menutup dan memiliki warna daun transparan
(Gambar 9 A & D). Morfologi daun yang transparan menandakan bahwa daun
mengandung jumlah klorofil yang sedikit sehingga akan mengurangi kemampuan
planlet fotosintesis saat aklimatisasi.
Morfologi planlet pada kombinasi perlakuan aerasi dan konsentrasi gula
pasir 7,5 g/l memiliki batang yang vigor (Gambar 9 B), sehingga batang memiliki
sifat tidak mudah patah namun tidak terlalu keras juga, hal ini menunjukkan
30
bahwa planlet masih muda (juvenile). Hal ini akan memudahkan batang untuk
dipotong dengan scapel dan gunting saat proses persiapan aklimatisasi. Bentuk
daun mengembang dan warna daun hijau tua (Gambar 9 B) menandakan bahwa
planlet dapat melakukan proses fotosintesis saat aklimatisasi dengan baik, karena
bidang permukaan daun memadai dan mengandung cukup klorofil (Lizawati,
2012).
Morfologi planlet dengan penambahan gula pasir 7,5 g/l pada sistem kultur
aerasi berbeda dengan sistem kultur non aerasi walaupun ditambahkan konsentrasi
gula pasir yang sama (Gambar 9). Pada kombinasi non aerasi+gula pasir 7,5 g/l
lebih banyak menghasilkan tunas lateral yang bersifat vitreous (Gambar 9 E).
Jarak antar buku yang lebih pendek dibandingkan dengan perlakuan sistem aerasi
(Gambar 9).
Batang pada planlet hasil perlakuan sistem aerasi dan konsentrasi gula pasir
15 g/l terlihat vigor, namun pada perlakuan tersebut ditemukan daun yang
berwarna kuning (Gambar 9 C). Daun yang berwarna kuning menunjukkan bahwa
keberadan klorofil sudah berkurang. Berkurangnya jumlah klorofil pada daun
akan berdampak pada proses fotosintesis saat planlet berada di tahap aklimatisasi,
hal ini juga akan mengurangi presentase daya hidup planlet saat aklimatisasi.
Morfologi planlet pada kombinasi perlakuan sistem non aerasi+gula pasir 15 g/l
sama seperti dengan morofologi perlakuan non aerasi+7,5 g/l (Gambar 9).
Morfologi pada kedua perlakuan tersebut terlihat lebih banyak menghasilkan
tunas lateral yang vitreous dan memiliki jarak antar buku yang pendek
dibandingkan dengan perlakuan sistem aerasi (Gambar 9 E & F).
A D
31
Gambar 9. Morfologi planlet kentang kultivar Granola 4 MST pada sistem
aerasi+gula pasir 0 g/l (A); gula pasir 7,5 g/l (B); gula pasir 15 g/l
(C) dan sistem non aerasi+gula pasir 0 g/l (D); gula pasir 7,5 g/l (E);
gula pasir 15 g/l (F). Garis putih horizontal di bawah gambar sampel
menunjukan skala 1 cm
Keberhasilan tahap aklimatisasi dengan menggunakan stek mikro
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah jarak antar nodus. Pada
setiap nodus terdapat daun, jarak antar nodus akan semakin dekat jika mendekati
pucuk (Gambar 10). Pada planlet perlakuan sistem kultur aerasi antar nodus
berjarak 3cm (Gambar 10 A), sedangkan pada sistem kultur non-aerasi memiliki
jarak antar nodus lebih pendek sebesar 1,5 cm (Gambar 10 B).
Ukuran stek mikro dari planlet hasil kultur in vitro dipotong sepanjang ±3
cm. Jika menggunakan planlet hasil multiplikasi di sistem kultur aerasi, maka satu
buku dapat digunakan sebagai satu benih stek mikro. Jumlah benih stek mikro
bisa dihasilkan lebih banyak dengan menggunakan sistem kultur aerasi
dibandingkan dengan sistem kultur non-aerasi. Jarak buku yang terlalu dekat akan
menyulitkan proses aklimatisasi, karena jika pemotongan terlalu pendek maka
ketiak daun akan terkubur media aklimatisasi, sehingga akan menghambat
pertumbuhan tunas lateral.
Gambar 10. Jarak antar nodus pada planlet kentang kultivar Granola pada Sistem
kultur aerasi (A) dan Sistem kultur non-aerasi (B)
± 3 cm ± 1,5cm
A B
A B C E F D
32
4.3. Tinggi Planlet Kentang
Penggunaan sistem kultur yang berbeda memberikan pengaruh (Sig<0,05)
terhadap tinggi planlet selama 4 minggu inkubasi (Lampiran 5). Tinggi planlet
pada sistem kultur aerasi adalah 14,35 cm lebih tinggi dibandingkan dengan
sistem kultur non aerasi (9,47 cm) (Tabel 5).
Pemberian konsentrasi gula pasir yang berbeda tidak memberikan pengaruh
(Sig>0,05) terhadap pertambahan tinggi planlet (Lampiran 5). Secara keseluruhan
pada setiap perlakuan mengalami pertumbuhan yang baik namun perlakuan yang
paling optimal adalah perlakuan konsentrasi gula pasir 15 g/l setinggi 12,25 cm
(Tabel 5).
Interaksi antara perlakuan sistem kultur dengan pemberian konsentrasi gula
pasir yang berbeda tidak memberikan pengaruh (Sig>0,05) terhadap pertambahan
tinggi planlet (Lampiran 5). Hal ini dikarenakan pada umur inkubasi 4 minggu
eksplan sudah mulai membentuk planlet dan umur kultur sudah semakin tua,
sehingga laju pertumbuhan sudah statis dan cenderung menurun.
Tabel 5. Tinggi planlet pada multiplikasi tunas kentang kultivar Granola pada dua
sistem kultur in vitro dan penambahan konsentrasi gula pasir yang
berbeda umur 4 minggu setelah tanam
Perlakuan
Sistem kultur
Aerasi 14,350a
Non aerasi 9,472b
Konsentrasi gula pasir (g/l)
0 11,933a
7,5 11,553a
15 12,247a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama pada satu kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji Duncans
Multiple Range Test (DMRT)
Ukuran wadah pada sistem kultur aerasi lebih besar dibandingkan dengan
sistem kultur non aerasi, hal ini pula yang mempengaruhi pertumbuhan eksplan.
Pada penelitian Winarto (2005) menguji pertumbuhan eksplan anyelir pada 3 jenis
wadah berbeda, hasil menunjukkan bahwa semakin besar botol kultur yang
digunakan, maka pertumbuhan yang terjadi akan semakin meningkat.
33
4.4. Jumlah Akar Primer Planlet Kentang
Penggunaan sistem kultur yang berbeda tidak mempengaruhi (Sig>0,05)
pertambahan jumlah akar primer pada minggu ke 4 inkubasi (Lampiran 6).
Peningkatan konsentrasi gula pasir memberikan pengaruh (Sig<0,05) terhadap
pembentukan jumlah akar primer yang dihasilkan pada minggu ke 4 setelah
inkubasi (Lampiran 6). Jumlah akar primer lebih banyak ditemukan pada
penambahan konsentrasi gula pasir 15 g/l (357 buah), gula 7,5 g/l (315,1 buah)
dan yang paling rendah adalah konsentrasi gula pasir 0 g/l (110,6 buah) (Tabel 6).
Interaksi antara perlakuan sistem kultur dengan peningkatan konsentrasi
gula pasir tidak mempengaruhi (Sig>0,05) pertambahan jumlah akar primer pada
minggu ke 4 inkubasi (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan
konsentrasi gula pasir dengan menggunakan sistem kultur apapun dapat
meningkatkan jumlah akar primer. Pembentukan akar memerlukan nutrisi yang
cukup, kandungan unsur hara pada media MS penuh dan kadar sukrosa yang
cukup mampu menyediakan energi yang cukup untuk pembentukan akar
(Purwanto et al., 2007).
Tabel 6. Jumlah akar primer planlet pada multiplikasi tunas kentang kultivar
Granola pada dua sistem kultur in vitro dan penambahan konsentrasi
gula pasir yang berbeda umur 4 minggu setelah tanam
Perlakuan
Sistem kultur
Aerasi 279,222a
Non aerasi 242,667a
Konsentrasi gula pasir (g/l)
0 110,667b
7,5 315,167a
15 357a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama pada satu kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji Duncans
Multiple Range Test (DMRT)
Perhitungan akar dilakukan saat panen pada minggu ke 4 setelah inkubasi
untuk memudahkan perhitungan, karena bentuk akar yang serabut sehingga sulit
untuk menghitung jumlah akar ketika planlet masih di dalam wadah. Kemunculan
akar primer terjadi pada minggu pertama inkubasi di semua perlakuan. Hal ini
34
menunjukkan bahwa eksplan sudah bisa beradaptasi dengan lingkungannya dan
dapat menyerap unsur hara dan nutrisi yang telah disediakan di media tanam.
Akar adventif muncul pada tanaman yang tercekam karena lingkungannya
tidak mendukung pertumbuhannya. Akar adventif muncul sebagai fungsi akar
napas untuk mengambil CO2 atau O2 yang tidak larut dalam media. Akar adventif
pada sistem kultur non aerasi muncul pada minggu ke 2 inkubasi (Gambar 11 A),
hal ini lebih cepat dibandingkan dengan kemunculan akar adventif sistem kultur
aerasi di minggu ke 3 inkubasi (Gambar 11 B).
Gambar 11. Kemunculan akar adventif pada dua sistem kultur Non aerasi pada
waktu pengamatan 2 MST (A) dan aerasi pada waktu pengamatan 3
MST (B). Garis putih horizontal di bawah gambar sampel
menunjukan skala 1 cm
Kondisi lingkungan pada sistem kultur aerasi selalu mengandung CO2 dan
O2 yang terlarut dalam media, karena selalu dipasok oleh pipa yang
menghubungkan antara pompa aerasi dan media. Oleh sebab itu planlet yang
dihasilkan dari sistem aerasi tidak perlu membentuk akar adventif untuk
mengambil gas CO2 dan O2 di udara. Berbeda halnya dengan sistem kultur non-
aerasi yang tidak memiliki suplai udara aktif yang memasok gas O2 maupun CO2
ke dalam media tanam.
Pada minggu ke 4 inkubasi perbedaan keberadaan akar adventif pada dua
sistem kultur yang berbeda di konsentrasi gula pasir 15 g/l semakin terlihat
(Gambar 12). Pada perlakuan sistem kultur aerasi tidak banyak mengalami
penambahan jumlah akar adventif yang terbentuk, sehingga tidak terlalu nampak
di foto (Gambar 12 A). Pada sistem kultur non aerasi jumlah akar adventif yang
terbentuk semakin bertambah (Gambar 12 B) dan banyak yang menempel di
dinding wadah kultur.
A B Akar adventif
35
Gambar 12. Akar adventif planlet pada umur 4 MST di sistem kultur aerasi (A)
dan sistem kultur non-aerasi (B) dengan konsentrasi gula pasir 15
g/l. Garis horizontal di bawah gambar sampel menunjukan skala 1
cm
4.5. Jumlah Daun Berganda Planlet Kentang
Penggunaan sistem kultur yang berbeda memberikan pengaruh (Sig<0,05)
terhadap munculnya jumlah daun berganda pada minggu ke 4 inkubasi (Lampiran
7). Rata-rata kisaran daun berganda pada penggunaan sistem kultur aerasi adalah
164,77 helai, sedangkan pada penggunaan sistem kultur non-aerasi adalah 32,11
helai (Tabel 7). Hal ini dipicu karena pembelahan sel yang lebih aktif di sistem
kultur dengan penambahan aerasi sehingga perkembangan daun menjadi lebih
cepat. Hal ini diduga karena kecepatan aerasi dan jumlah gelembung yang masuk
ke dalam lingkungan kultur tidak bisa terukur, sehingga menyebabkan daun
menjadi lebih cepat tua.
Pemberian konsentrasi gula pasir yang meningkat dan interaksi kombinasi
antara dua perlakuan tidak mempengaruhi (Sig. <0,05) pembentukan jumlah daun
berganda di tunas kentang varietas Granola (Lampiran 7). Hal ini dikarenakan
pada setiap konsentrasi gula pasir ditemukan daun berganda dengan jumlah yang
hamper sama banyaknya (Tabel 7).
Tanda lain bahwa daun mengalami penuaan adalah dengan kemunculan
senescence. Senescence adalah kejadian yang membuat perubahan warna daun
menjadi warna kuning ataupun hitam, karena perombakan klorofil sehingga
kloroplas kehilangan fungsinya (Lakitan, 2011) dan akumulasi pati yang terdapat
di daun tua dikirim ke daun yang lebih muda sehingga daun tua mengalami
senescence (Husna et al., 2014).
A B
36
Tabel 7. Jumlah daun berganda planlet pada multiplikasi tunas kentang kultivar
Granola pada dua sistem kultur in vitro dan penambahan konsentrasi gula
pasir yang berbeda umur 4 minggu setelah tanam
Perlakuan
Sistem kultur
Aerasi 164,778a
Non aerasi 32,111b
Konsentrasi gula pasir (g/l)
0 70a
7,5 121,167a
15 104,167a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama pada satu kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji Duncans Multiple
Range Test (DMRT)
Daun merupakan organ yang sangat diperlukan bagi tumbuhan untuk proses
fotosintesis dan metabolisme lainnya. Walaupun proses fotosintesis yang terjadi di
lingkungan kultur belum terjadi secara maksimal, namun organ daun yang
terbentuk sangat menentukan keberhasilan planlet saat diaklimatisasi.
Bentuk daun pada planlet kentang di lingkungan kultur in vitro biasanya
berbentuk bulat penuh (Gambar 13 A). Bentuk daun yang seperti itu merupakan
bentuk daun yang digunakan sebagai tanaman induk untuk perbenihan karena
planlet masih muda (juvenile). Apabila bentuk daun sudah mengalami perubahan
menjadi berganda atau majemuk (Gambar 13 B) menandakan planlet sudah
mengalami penuaan. Menurut Karjadi (2014) perbanyakan tanaman kentang
dengan menanam stek, sebaiknya stek batang dipanen dari planlet yang masih
muda.
Pada kultur dengan sistem aerasi ditemukan daun berganda dan daun yang
berubah warna menjadi kuning (Gambar 13 C), ciri ini merupakan tanda bahwa
planlet mengalami penuaan (Gambar 13 B). Daun berganda ditemukan di sistem
kultur aerasi pada umur tanaman 2 MST dan daun yang menguning ditemukan
pada umur tanaman 3 MST.
37
Gambar 13. Morfologi daun juvenile (A); daun berganda (B) dan daun menguning
(senescence) (C) pada planlet kentang kultivar Granola umur 4 MST.
Garis horizontal di bawah gambar sampel menunjukan skala 1 cm
4.6. Aklimatisasi Planlet Kentang
Aklimatisasi merupakan satu proses yang dilakukan untuk menempatkan
planlet pada kondisi normal atau ex vitro secara bertahap untuk mendorong
adaptasi morfologi dan fisiologi planlet (Zulkarnain, 2009). Planlet yang akan
diaklimatisasi biasanya dalam bentuk planlet yang sudah berakar ataupun dalam
bentuk potongan-potongan pucuk atau batang sebagai stek mikro seperti pada
aklimatisasi kentang.
Secara umum daya hidup pada semua kombinasi perlakuan masih pada
persentase di atas 50% (Gambar 15) setelah aklimatisasi 29 hari. Berdasarkan
data tersebut dapat terlihat bahwa kombinasi perlakuan non-aerasi+7,5 g/l
memiliki nilai persentasi tertinggi dibandingkan dengan kombinasi perlakuan
yang lain (Gambar 15). Hal ini dikarenakan pemberian gula sebanyak 7,5 g
membantu eksplan mengakumulasi pati yang akan digunakan untuk fase
hardening atau pengerasan organ batang supaya organ batang lebih kuat atau
vigor (Aragon, 2010).
Nilai persentasi paling rendah berasal dari kombinasi perlakuan aerasi+0 g/l
(Gambar 15), hal ini dapat dikarenakan planlet yang dihasilkan lebih banyak yang
mengalami hiperhidrisitas berupa batang yang vitreous dan bentuk daun yang
menggulung atau tidak terbuka secara sempurna (Gambar 9a). Namun persentase
pada kombinsi perlakuan ini masih berada di nilai rata-rata baik karena memiliki
nilai persentasi di atas atau sama dengan 50%. Adanya kematian dikarenakan
daun sudah banyak yang berbentuk majemuk atau berganda dan warna daun
sudah berwarna kuning karena umur yang sudah tua sehingga planlet sulit untuk
a
A B C
38
0
20
40
60
80
100
120
0 7 14 29
Perse
nta
se h
idu
p (
%)
Hari ke-
B1G1
B1G2
B1G3
B2G1
B2G2
B2G3
melakukan fotosintesis, hal inilah yang menyebabkan kematian planlet berupa
busuk dan kering (Gambar 14).
Gambar 14. Planlet hasil aklimatisasi pada kombinasi perlakuan aerasi+0 g/l saat
29 hari setelah tanam
Persentase hidup tanaman hasil aklimatisasi pada sistem kultur aerasi
berkisar 58%-91%, lebih rendah dibandingkan dengan persentasi sistem kultur
non aerasi yang berkisar 87%-100% (Gambar 15). Selain nilai persentase hidup
yang harus diperhatikan dalam hasil aklimatisasi adalah morfologi tanaman hasil
aklimatisasi. Benih hasil aklimatisasi kemudian akan dipotong kembali menjadi
stek batang yang akan menghasilkan benih umbi G0. Maka dari itu planlet harus
diseleksi saat akan dilakukan aklimatisasi sehingga akan menghasilkan stek
batang yang baik.
Gambar 15. Persentase hidup planlet saat aklimatisasi. Aerasi+gula pasir 0g/l
(B1G1); aerasi+7,5g/l (B1G2); aerasi+15g/l (B1G3); non aerasi+0g/l
(B2G1); non aerasi+7,5g/l (B2G2); dan non aerasi+15g/l(B2G3)
Morfologi pada sistem aerasi lebih terlihat tumbuh dengan baik, batang
tanaman tumbuh lebih tegap dan bentuk daun terbuka secara baik (Gambar 16 A).
Sementara itu, pada sistem non-aerasi morfologi batang lebih kurus, sehingga
tidak mampu menahan pertumbuhan tunas, ukuran daun lebih kecil dibandingkan
dengan hasil aklimatisasi milik sistem aerasi (Gambar 16 B). Hal ini dikarenakan
39
stek mikro dari planlet dengan sistem kultur aerasi memiliki morfologi lebih vigor
dibandingkan dengan sistem kultur non-aerasi (Gambar 9).
Pemberian gula pasir dengan konsentrasi yang berbeda dan penggunaan
sistem kultur yang berbeda memberikan pengaruh terhadap morfologi planlet
hasil kultur in vitro, hal ini juga akan mempengaruhi morfologi tunas setelah
aklimatisasi (Gambar 16). Tunas kentang berasal dari stek potong yang diambil
dari batang, maka seleksi planlet di in vitro menjadi hal penting, untuk
menghasilkan benih yang baik saat aklimatisasi. Batang planlet yang vigor maka
tunas aksilar yang dihasilkan setelah proses aklimatisasi akan lebih kuat. Untuk
menghasilkan benih yang vigor sebaiknya aklimatisasi dilakukan pada kultur
umur 3 MST, dimana planlet masih vigor dan masih sedikit daun berganda yang
terbentuk.
Gambar 16. Morfologi hasil aklimatisasi dengan persentase hidup tertinggi pada
sistem kultur aerasi+15 g/l (B1G3) (A) dan non-aerasi+7,5g/l
(B2G2) (B)
Faktor lain yang mempengaruhi hasil aklimatisasi adalah berupa teknik
aklimatisasi itu sendiri. Benih yang digunakan adalah stek mikro yang berupa
potongan sepanjang 3 cm, ukuran nodus menjadi hal yang sangat penting pada
jenis benih ini. Jenis potongan bagian buku lebih sering mengalami kematian,
dibandingkan dengan jenis potongan bagian pucuk. Jika jarak potong terlalu dekat
dengan nodus sebelumnya, maka nodus tersebut akan tertimbun media
aklimatisasi dan munculnya tunas aksilar pada nodus tersebut akan terhambat.
Faktor ini lah yang biasanya mengurangi presentase hidup tunas kentang saat
aklimatisasi.
Ukuran potongan untuk stek mikro yang digunakan sepanjang ±3 cm.
Potongan stek mikro tidak bisa didasarkan dengan jumlah buku karena setiap
planlet memiliki ukuran dan jarak yang berbeda tiap nodusnya. Hal ini akan
A B
40
menguntungkan jika jarak antar nodus yang besar, maka akan semakin sedikit
jumlah nodus pada setiap stek mikro. Faktor lingkungan yang tidak sesuai juga
mempengaruhi keberhasilan aklimatisasi.
Pada penelitian ini aklimatisasi dilakukan di dalam ruang kultur yang
suhunya tidak sesuai dengan pertumbuhan kentang yaitu 18-20oC (Canadian Food
Inspection Agency, 2013). Faktor ini membuat tanaman kentang sulit untuk
beradaptasi, karena lingkungan cenderung lembab akibat frekuensi penyemprotan
yang tidak teratur dan suhu ruang pemeliharaan yang lebih tinggi dibandingkan
lingkungan tumbuh kentang sebenarnya membuat planlet menjadi busuk dan
kering.
41
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari uraian pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Sistem kultur yang optimal dalam multiplikasi tunas kentang adalah sistem
kultur aerasi.
2. Konsentrasi gula pasir yang optimal dalam multiplikasi tunas kentang adalah
7,5 g/l.
3. Interaksi sistem kultur dan konsentrasi gula pasir tidak berpengaruh terhadap
seluruh parameter.
5.2 Saran
1. Untuk mengurangi kontaminasi pada medium multiplikasi, komponen
bioreaktor (seperti selang) harus disterilisasi secara berulang.
2. Perlu dilakukan peneltian lebih lanjut untuk menganalisis kecepatan aerasi
pada sistem kultur aerasi pada pembentukan tunas kentang kultivar Granola.
3. Masa inkubasi dapat dikurangi untuk mencegah kultur terlalu tua.
4. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut terkait aklimatisasi di lokasi budidaya
kentang dataran tinggi.
42
DAFTAR PUSTAKA
Agismanto, D., Arisah, H., & Yunimar. (2007). Bioreaktor dan biopriming
mendukung kemandirian perbenihan nasional menjamin keberlanjutan
produksi tanaman. Iptek hortikultura, 7(2011), 8-11.
Agismanto, D. (2015). Teknologi bioreaktor fasilitas kemandirian perbenihan
hortikultura. Iptek hortikultura, 11(2015), 61-66.
Aragon, C., Escalona, M., Rodrigues, R., Canal, M., Capote, I., Pina, D., &
Gonzalez-olmedo, J. (2010). Effect of sucrose, light and carbon dioxide on
plantain micropropagation in temporary immersion bioreactors. In vitro
Cell, 46, 89-94.
Andini, N. (2016). Penggunaan air kelapa dan ekstrak pisang terhadap
multiplikasi tunas temulawak (Curcuma xan thorriza Roxb.) secara in
vitro (Pascasarjana Tesis). Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
BPTP. (2014). Mengenal beberapa varietas kentang dan manfaatnya. Lembar
Informasi Pertanian BPTP Sumatera Selatan, AGDEX:175.
Canadian Food Inspection Agency. (2013). Seed potato inspection manual,
chapter 3: plant morphology. Canadian Food Inspection Agency:
Guidance Document Repository.
Cournac, L., Dimon, B., Carrier, P., Lohou, A., & Chagvardieff, P. (1991).
Growth and photosynthetic characteristics of Solanum tuberosum planlets
cultivated in vitro in different condition of aeration, sucrose supply and
CO2 enrichment. Physiol Plant, 97,112-1117.
Djuariah, D., Handayani, T., & Sofiari, E. Toleransi tanaman kentang (Solanum
tuberosum) terhadap suhu tinggi berdasarkan kemampuan berproduksi di
dataran medium. J.Hort, 27(1), 1-10.
Kementrian Pertanian. (2012). Peraturan menteri pertanian republik indonesia
No. 48/ Permentan/SR.120/8/2012 tentang produksi, sertifikasi dan
pengawasan peredaran benih hortikultura. Berita negara RI tahun 2012,
N0. 818. Sekretariat Negara. Jakarta
Hale, A., & Young, R.E. (1991). Plant micropropagation bioreactor development.
Am. Soc. Agric. Eng. Meeting.Winter, 91-7542, p.16.
Hapsari, W.B., Martin, F.A., & Ermayanti, M.T. (2015). Pengaruh konsentrasi
gula terhadap pertumbuhan kultur tunas Tacca leontopetaloides. Prosiding
Seminar Nasional XVII “Kimia dalam Pembangunan”, 9(2015), 227-232.
Herwulan, M., Komalasari, B.W., Manurung, M., Rinawati, Sabarella, Sehusman,
Supriati, Y., & Wahyuningsih, S. (2017). Buletin triwulan konsumsi
pangan volume 8 nomor 2 tahun 2017. Jakarta: Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian Sekretariat Jendral, Kementrian Pertanian.
43
Hidayat, S. Y. (2014). Karakteristik morfologi beberapa genotipe kentang
(Solanum tuberosum) yang dibudidayakan di Indonesia (Skripsi). Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Humas Balitsa. (2015). Pemilihan benih kentang harus memenuhi syarat (2019,
Februari 28). Retrieved from http://balitsa.litbang.pertanian.go.id/.
Husna, A.U., Siregar, L.A.M., & Husni, Y. (2014). Pertumbuhan dan
perkembangan nodus kentang (Solanum tuberrosum L.) akibat modifikasi
konsentrasi sukrosa dan penambahan 2-isopenteniladenina secara in vitro.
Jurnal Online Agroekoteknologi, 2(3), 997-1003.
Indriani, B.S. (2014). Efektivitas subtitusi sitokinin dengan air kelapa pada
medium multiplikasi tunas krisan (Chrysanthemum indicum L.) (Skripsi).
Universitas Negeri Semarang, Semarang
Karjadi, A.K. (2014). Pengaruh penyemprotan GA3 dan asal tanaman induk
dalam memperpanjang masa juvenile tanaman kentang. Agrin, 18(2), 97-
106.
Karyanti, Kristianto, G.Y., Khairiyah, H., Novita, L., Sukarnih, T., Rudiyana, Y.,
Sofia, Y.D. (2018). Pengaruh wadah kultur dan konsentrasi sumber karbon
pada perbanyakan kentang atlantik secara in vitro. Jurnal Bioteknologi
Biosains Indonesia, 5(2),117-187.
Kristianto, G.Y. (2018). Pengaruh wadah kultur dan sumber karbon terhadap
perbanyakan tunas kentang varietas Atlantik secara in vitro (Skripsi).
Universitas Surya, Tangerang.
Lakitan, B. (2011). Dasar-dasar fisiologis tumbuhan. Jakarta: Rajawali Press.
Laksminiwati, P., Tonny, K.M., Ineu, S., Tri, H., Juniarti, P.S., Eri, S., Gunadi, N.
(2014). Teknologi budidaya kentang di dataran medium monografi no. 34.
Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Lehar, L. (2012). Kombinasi varietas kentang generasi satu (G1) dengan jarak
tanam terhadap pertumbuhan dan hasil kentang (Solanum tuberosum L.).
PANGAN, 21(2), 149-160.
Lizawati. (2012). Induksi kalus embrionik dari eksplan tunas apikal tanaman jarak
pagar dengan penggunaan 2,4 D dan TDZ. Agriculture Universitas Jambi,
5(1),75-87.
Maharani, F. (2019). Pertumbuhan dan produksi umbi mikro dari beberapa jenis
eksplan kentang (Solanum tuberosum L.) varietas AP-4 pada media
dengan penambahan konsentrasi sukrosa yang berbeda secara in vitro
(Skripsi). Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Mohamed, H. A. M, & Alsadon, A. A. (2010). Influence of ventilation and
sucrose on growth and leaf anatomy of micropropagated potato planlets.
Scientia Horticulturae, 123:295-300.
43
Munggarani, M., Suminar, E., Nuraini, A., & Mubarok, S. (2018). Multiplikasi
tunas meriklon kentang pada berbagai jenis dan konsentrasi sitokinin.
AGROLOGIA, 7(2), 80-89.
Mulyono, D., Syah, J.A.M., Sayekti, L.A., & Hilman, Y.(2017). Kelas benih
kentang (Solanum tuberosum L.) berdasarkan pertumbuhan, produksi dan
mutu produk. J. Hort, 27(2), 209-216.
Ni’mah, F., Ratnasari, E., & Budipramana, S.L. (2012). Pengaruh pemberian
berbagai kombinasi konsentrasi sukrosa dan kinetin terhadap induksi umbi
mikro kentang (Solanum tuberosum L.) kultivar Granola kembang secara
in vitro. LenteraBio, 1(1), 41-48.
Nurhaimi-haris, Ayuningtias, S.N., & Suparto, H. I. (2011). Pengaruh ventilasi
terhadap morfologi, stomata dan kadar klorofil tunas karet yang
diperbanyak melalui microcutting. Menara Perkebunan, 79(2), 57-63.
Otroshy, M. (2006). Utilization of tissue culture techniques in a seed potato tuber
production sheme (Thesis). Wageningen University, Netherland.
Park, S. W., Jeon, H. J., Kim, S. H., Park, M. Y., Aswath, C., & Joung, H. (2004).
Effect of sealed and vented gaseous microenvironments on the
hiperhydricity of potato shoots in vitro. Scientia Horticulturae, 99, 199-
205.
Pemerintah Indonesia. (2000). Undang-undang republik indonesia no. 29 tahun
2000 tentang perlindungan varietas tanaman. Lembaran negara RI tahun
2000, N0. 241. Sekretariat Negara. Jakarta
Pitojo, S. (2004). Benih kentang. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Purwanto, Purwantono, S. D. S., & Mardin, S. (2007). Modifikasi media MS dan
perlakuan penambahan air kelapa untuk menumbuhkan eksplan tanaman
kentang. Jurnal Penelitian dan Informasi Pertanian”Agrin”. 11
(1): 36-42.
Purwito, A., & Wattimena, A. G. (2008). Kombinasi persilangan dan seleksi in
vitro untuk mendapatkan kultivar unggul kentang. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia, 13(3), 140-149.
Rachmawati, F., Winarto, B., Wiendi, A.M.N., Mattjik, A.N., & Purwito, A.
(2016). Perbanyakan in vitro Dendrobium Indonesia raya ‘ina’ melalui
embriogenesisi somatic berbasis sistem bioreaktor. J. Agron, 44(3),306-
314.
Rai, P. S., Wiendi, A. M. N., & Krisantini. (2015). Optimasi produksi bibit
tanaman kentang (Solanum tuberosum) kultivar granola dengan teknik
fotoautotrofik. Bul. Agrohorti, 3(1), 28-38.
Sahat, S. & Sulaeman, H. (1989). Pengujian varietas kentang di dataran medium.
Buletian Penelitian Hortikultura, 18(1), 23-34.
44
Saji K,V., & Sujatha, M. (1998). Embryogenesis and plant regeneration in anther
culture of sunflower (Helianthus anuus L.). Euphytica, 103, 1-7.
Salisbury, F.B., & Ross, C.W. (1995). Fisiologi Tumbuhan. Bandung: Penerbit
ITB.
Samadi, B. (2007). Kentang dan analisis usaha tani. Yogyakarta:Penerbit
Kanisius.
Saraswati, D. R. (2012). Kajian potensi penggunaan bioreaktor terhadap senyawa
Ajimalisin suatu contoh produksi metabolit sekunder tanaman obat. Jurnal
Kefarmasian Indonesia, 2(1), 28-34.
Sofiari, E., Handayani, T., Kurniawan, H., Kusmana, Prabaningrum, L., &
Gunadi, N. (2015). Komoditas kentang sumber karbohidrat bergizi dan
ramah lingkungan. Inovasi Hortikultura Pengungkit Peningkatan
Pendapatan Rakyat, 78-90.
Subdirektorat Statistik Hortikultura. (2017). Statistik tanaman sayuran dan buah-
buahan semusim. Indonesia: Badan Pusat Statistik.
Sugihono, C., & Hasbianto, A. (2014). Perkembangan penggunaan teknik kultur
jaringan pada tanaman kentang (Solanum tuberosum L.). Prosiding
Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”,
Banjarbaru, 7(2014), 435-443.
Sumaryono & Sinta, M.M. (2011). Peningkatan laju multiplikasi tunas dan
keragaan planlet Stevia rebaudiana pada kultur in vitro. Menara
Perkebunan, 79(2), 49-56.
Surachman, D. (2011). Teknik pemanfaatan air kelapa untuk perbanyakan nilam
secara in vitro. Buletin Teknik Pertanian, (16),31-33.
Takayama, S., & Akita, M. (1994). The types of bioreactors used for shoots and
embryos. Kluwer Academic Publishers, 39, 147-156.
Tim Penelitian dan Pengembangan Perkreditan dan UMKM. (2011). Pola
pembiayaan usaha kecil: Budidaya kentang industri. Jakarta: Bank
Indonesia.
Tjitrosoepomo, G. (2007). Morfologi tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Winarto, B. (2005). Perbedaan botol kultur terhadap pertumbuhan eksplan anyelir
hiperhidrisitas. J. Hort, 5(1), 12-17.
Winarto, B., Mattjik, A. N., Purwito, A., & Marwato, B. (2009). Kultur antera
anthurium: pengauh sukrosa dan glukosa terhadap keberhasilan induksi
pembentukan kalus dan regenerasinya. Berk. Penel. Hayati, 14, 165-171.
Yaseen, M., Ahmad, T., Sablok, G., Standardi, A., & Hafiz, I. A. (2012). Review:
role of carbon sources for in vitro plant growth and development.
Molecular Biology Reports, 40(4), 2837-2849.
45
Yusnita. (2004). Kultur jaringan cara memperbanyak tanaman secara efisien.
Jakarta: Agro Media Pustaka.
Zakaria, D. (2010). Pengaruh konsentrasi sukrosa dan BAP (Benzil Amino Purine)
dalam media Murashige Skoog (MS) terhadap pertumbuhan dan kandungan
reserpin kalus pule pandak (Rauvolfia verticillata Lour.) (Skripsi).
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Zulkarnain, H. D., Maharijaya, A., & Syukur, M. (2017). Uji daya hasil klon
harapan kentang (Solanum tuberosum L.) IPB di kabupaten garut jawa
barat. Comm. Hort. J, 1(1), 42-48.
Zulkarnain. (2009). Kultur jaringan tanaman solusi perbanyakan tanaman
budidaya. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
46
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi larutan stok Murashige and Skoog (MS) 1962
Jenis
unsur
hara
Kode
stok Senyawa
Kebutuhan
dalam 1L
media (mg/L)
Kebutuhan
dalam 100x
konsentrasi
(g/L)
Volume
untuk 1L
media
Makro
Nutrien
A NH4NO3 1650 165 10 ml
B KNO3 1900 190 10 ml
C CaCl2.2H2O 440 44 10 ml
D MgSO4.4H2O 370 37 10 ml
KH2PO4 170 17
Mikro
Nutrien E
MnSO4.4H2O 22,3 2,23
10 ml
ZnSO4.7H2O 8,6 0,86
H3BO3 6,2 0,62
KI 0,83 0,083
Na2MoO4.2H2O 0,25 0,025
CuSO4.5H2O 0,025 0,0025
CoCl2.6H2O 0,025 0,0025
Besi F FeSO4.7H20 27,8 2,78 10 ml
Na2EDTA 37,3 3,37 10 ml
Vitamin
+ Asam
Amino
G1 Niacin 0,5 Dibuat stok
tersendiri
dengan
konsentrasi
masing-masing
1000 ppm
Dipipet sesuai
kebutuhan
G2 Pyridoxine HCl 0,5
G3 Thiamin HCl 0,1
G4 Glycine 2
Myo-inositol 100 Ditimbang saat membuat media
47
Lampiran 2. Denah perlakuan penelitian multiplikasi tunas kentang kultivar
Granola pada dua sistem kultur secara in vitro.
B2G11 B2G23 B1G2 3 B2G31 B1G21 B2G22
B1G13 B1G33 B2G32 B1G31 B2G33 B1G12
B2G12 B1G11 B2G13 B1G22 B2G21 B1G32
Keterangan:
Perlakuan B1 : Sistem kultur aerasi (Bioreaktor)
Perlakuan B2 : Sistem kultur non- aerasi
Perlakuan G1 : Konsentrasi gula pasir 0 g/l
Perlakuan G2 : Konsentrasi gula pasir 7,5 g/l
Perlakuan G3 : Konsentrasi gula pasir 15 g/l
1,2,3 : Ulangan
48
Lampiran 3. Rekapitulasi hasil uji Two Way Anova jumlah tunas pada umur 4
minggu setelah tanam
Keterangan: Angka yang diikuti oleh tanda (*) merupakan Sig. <0,05
Lampiran 4. Rekapitulasi hasil uji Two Way Anova jumlah nodus pada umur 4
minggu setelah tanam
Sumber DF JK KT F hitung Sig.
Model 5 477,839 95,568 24,747 < 0,0001
Intercept 1 8471,247 8471,247 2193,597 < 0,0001
Sistem 1 422,726 422,726 109,463 < 0,0001*
Gula 2 25,699 12,849 3,327 0,071
Sistem*Gula 2 29,414 14,707 3,808 0,052
Galat 12 46,342 3,862
Total 17 524,180
Keterangan: Angka yang diikuti oleh tanda (*) merupakan Sig. <0,05
Lampiran 5. Rekapitulasi hasil uji Two Way Anova tinggi planlet pada umur 4
minggu setelah tanam
Keterangan: Angka yang diikuti oleh tanda (*) merupakan Sig. <0,05
Sumber DF JK KT F hitung Sig.
Model 5 58,287 11,657 12,455 0,000
Intercept 1 866,667 866,667 925,943 <0,0001
Sistem 1 38,661 38,661 41,306 < 0,0001*
Gula 2 14,502 7,251 7,747 0,007*
Sistem*Gula 2 5,124 2,562 2,737 0,105
Galat 12 11,232 0,936
Total 17 69,519
Sumber DF JK KT F hitung Sig.
Model 5 2,283 0,457 19,773 < 0,0001
Intercept 1 220,640 220,640 9553,814 < 0,0001
Sistem 1 2,177 2,177 94,269 < 0,0001*
Gula 2 0,040 0,020 0,862 0,447
Sistem*Gula 2 0,066 0,033 1,436 0,276
Galat 12 0,277 0,023
Total 17 2,560
49
Lampiran 6. Rekapitulasi hasil uji Two Way Anova jumlah akar primer pada umur
4 minggu setelah tanam
Keterangan: Angka yang diikuti oleh tanda (*) merupakan Sig. <0,05
Lampiran 7. Rekapitulasi hasil uji Two Way Anova jumlah daun berganda pada
umur 4 minggu setelah tanam
Keterangan: Angka yang diikuti oleh tanda (*) merupakan Sig. <0,05
Lampiran 8. Rekapitulasi hasil uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada
parameter pengamatan umur 4 minggu setelah tanam
Perlakuan Jumlah
nodus
Jumlah
tunas
Tinggi
planlet
Jumlah daun
berganda
Jumlah
akar
primer
Sistem kultur
Aerasi 711,556a 72,222
a 14,350
a 164,778
a 279,222
a
Non aerasi 286,889b 30,778
b 9,472
b 32,111
b 242,667
a
Konsentrasi gula pasir
(g/l)
Jumlah
nodus
Jumlah
tunas
Tinggi
planlet
Jumlah daun
berganda
Jumlah
akar
primer
0 453,5a 36,167
b 11,933
a 70
a 110,667
b
7,5 576a 68,833
a 11,553
a 121,167
a 315,167
a
15 468,167a 49,5
ab 12,247
a 104,167
a 357
a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama pada satu kolom yang sama
tidak berbeda nyata taraf 5% berdasarkan uji Duncan Multiple Range
Test (DMRT)
Sumber DF JK KT F hitung Sig.
Model 5 285,635 57,127 7,056 0,003
Intercept 1 4323,570 4232,570 534,007 <0,0001
Sistem 1 3,184 3,184 0,393 0,542
Gula 2 251,371 125,685 15,523 <0,0001*
Sistem*Gula 2 31,080 15,540 1,919 0,189
Galat 12 97,158 8,096
Total 17 382,792
Sumber DF JK KT F hitung Sig.
Model 5 259,109 51,822 9,191 0,001
Intercept 1 1454,222 1454,222 257,905 <0,0001
Sistem 1 215,973 215,973 38,303 <0,0001*
Gula 2 14,708 7,354 1,304 0,307
Sistem*Gula 2 28,427 14,214 2,521 0,122
Galat 12 67,663 5,639
Total 17 326,772