LAPORAN PBL MODUL 1 (B ERAT BADAN MENURUN) SISTEM ENDOKRINOLOGI DAN METABOLISME DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 3A FAKULTAS KEDOKTERAN
LAPORAN PBL
MODUL 1 (B ERAT BADAN MENURUN)
SISTEM ENDOKRINOLOGI DAN METABOLISME
DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 3A
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Modul 1
yang berjudul BB MENURUN. Laporan ini berisikan tentang berbagai pertanyaan dan
jawaban yang timbul pada pada modul 1. Diharapkan dalam laporan ini khususnya kami
dapat mengerti dan mengaplikasikan hasil tutorial kami di masyarakat.
Mungkin dalam laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Sehingga kami
masihmemerlukan masukan dan kritikan yang membangun bagi kelompok kami.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan laporan ini. Besar harapan kami laporan ini berguna khususnya bagi
kami sendiri, tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Allah SWT.
Makassar, 20 April 2012
SKENARIO 1
Seorang laki-laki umur 53 tahun, mengunjungi dokter oleh karena berat badan
menurun yang dialami sejak 7 bulan terakhir. Penderita juga mengeluh akhir-akhir ini selalu
merasa lemas, lelah dan selalu mengantuk. Setahun yang lalu ia didiagnosis hipertensi pada
saat menjalani pemeriksaan rutin untuk persiapan operasi batu kandung empedu.
KATA SULIT
Hipertensi : Tingginya tekanan darah arteri; berbagai kriteria untuk ambang batasnya
telah diajukan, berkisar dari sistol 140 mmHg dan diastol 90 mmHg hingga
setingi 200 mmHg dan 110 mmHg.
KALIMAT KUNCI
1. Laki-laki umur 53 tahun
2. Berat badan menurun sejak 7 bulan terakhir
3. Perasaan lemas, lelah, dan selalu mengantuk
4. Riwayat hipertensi setahun yang lalu saat persiapan operasi batu kandung empedu
PERTANYAAN
1. Hormon-hormon yang berperan dalam regulasi Berat Badan !
2. Jelaskan etiologi berat menurun dan keterkaitannya dengan semua semua gejala !
3. Hubungan Berat Badan menurun dengan hipertensi!
4. Apa differensial diagnosa pada skenario tersebut?
JAWABAN
1. Hormon-hormon yang berperan dalam regulasi BB
a. Hormon Tiroid dari Kelenjar Tiroid
Anatomi dan histologi
Kelenjar tiroid terdiri dari lobus kanan dan kiri dimana kedua lobus tersebut
dihubungkan oleh isthimus. Kelenjar ini terdapat pada bagian anterior trakea dan
beratnya diperkirakan 15-20 gram. Lobus kanan biasanya lebih besar dan lebih vaskular
dibandingkan lobus kiri. Kelenjar ini kaya akan pembuluh darah dengan aliran darah 4-
6 ml/menit/gram. Pada keadaan hipertiroid, aliran darah dapat meningkat sampai 1
liter/menit sehingga dapat didengar dengan menggunakan stetoskop yang disebut bruit.
Tiroid mendapat persarafan dari adrenegik dan kholinergik yang berasal dari
ganglia servikal dan saraf vagus. Kedua sistem saraf ini mempengaruhi aliran darah
pada kelenjar tiroid yang akan mempengaruhi penghantaran berbagai bahan-bahan yang
dapat mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid,seperti TSH dan iodide. Selain itu, serabut
saraf adrenergik mencapai daerah folikel sehingga persarafan adrenergik diduga
mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid secara langsung melalui persarafannya pada
folikel.
Folikel atau acini yang berisi koloid merupakan unit fungsional dari
kelenjar tiroid. Dinding folikel dilapisi oleh sel kuboid yang merupakan sel tiroid
dengan ukuran yang bervariasi tergantung dari tingkat stimulasi pada kelenjar. Sel akan
berbentuk kolumner bila dalam keadaan aktif, dan berbentuk kuboid bila dalam
keadaan tidak aktif. Setiap 20-40 folikel dibatasi oleh jaringan ikat yang disebut septa
yang akan membentuk lobulus. Disekitar folikel terdapat sel parafolikuler atau sel C
yang menghasilkan hormon kalsitonin.
Didalam lumen folikel terdapat koloid dimana tiroglobulin yang merupakan
suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh sel tiroid akan disimpan. Koloid mampu
menyimpan bahan untuk sintesa hormon tiroid yang cukup untuk 100 hari.
Efek hormon tiroid pada metabolisme
Hormon tiroid merangsang hampir semua aktivitas metabolisme karbohidrat,
seperti uptake glukosa oleh sel, meningkatkan glikolisis, meningkatkan
glukoneogenesis, meningkatkan absorbsi karbohidrat dari saluran cerna, dan
meningkatkan sekresi insulin yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi
metabolisme karbohidrat. Semua efek fisiologis ini kemungkinan disebabkan oleh
meningkatnya aktifitas enzim yang disebabkan oleh hormon tiroid.
Seperti halnya metabolisme karbohidrat, metabolisme lemak juga dipengaruhi
oleh hormon tirod. Lemak akan dimobilisasi dari jaringan lemak, sehingga
meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas dalam plasma; dan selain itu, oksidasi
asam lemak bebas dalam sel juga sangat meningkat. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan lemak dalam tubuh akan berkurang. Konsentrasi kolesterol, fosfolipid, dan
trigliserida plasma juga menurun. Berkurangnya hormon tiroid akan menyebabkan
peningkatan kolesterol, fosfolipid, dan trigliserida sehingga terjadi deposit lemak yang
berlebihan dihati. Hal ini yang menyebabkan sering terjadinya arteriosklerosis pada
penderita hipotiroidisme.
Metabolisme vitamin juga dipengaruhi oleh hormon tiroid. Oleh karena
hormon tiroid meningkatkan jumlah berbagai enzim yang berbeda dan oleh karena
vitamin merupakan bagian yang penting dari enzim atau koenzim, maka hormon tiroid
meningkatkan kebutuhan akan vitamin. Dengan demikian, kekurangan vitamin juga
dapat terjadi pada keadaan hipertiroidisme bila tidak disertai dengan suplementasi
vitamin.
Oleh karena hormon tiroid meningkatkan aktivitas metabolisme hampir semua
jaringan didalam tubuh, maka peningkatan konsentrasi hormon tiroid akan
meningkatkan kecepatan metabolisme basal dan konsumsi oksigen. Hormon tiroid
meningkatkan konsumsi oksigen pada semua jaringan kecuali otak, limpa, dan testis.
Peningkatan konsentrasi hormon tiroid dapat menyebabkan menurunnya berat
badan, dan penurunan konsentrasi tiroid dapat menyebabkan peningkatan berat badan.
Hal ini kemungkinan akibat pengaruh hormon tiroid terhadap metabolisme. Namun, hal
ini selalu terjadi oleh karena pada keadaan hormon tiroid meningkat, nafsu makan juga
meningkat dan hal ini menyebabkan terjadinya keseimbangan antara energi yang masuk
dan yang dipergunakan.
b. Hormon dari Kelenjar Adrenal
Anatomi dan Histologi
Anatomi kelenjar adrenal pertama kali dijelaskan oleh Bartholomeo
Eustachius pada tahun 1563. Kelenjar ini sepasang, masing-masing terletak pada bagian
atas atau posteromedial kedua ginjal (adrenal0 dengan bentuk seperti piramid. Kelenjar
adrenal mempunyai panjang berkisar 4-6 cm dan lebar 2-3 cm dengan tebal kurang
lebih 1 cm. Kelenjar adrenal mulai terbentuk pada usia kehamilan 2 bulan. Pada orang
dewasa 90 % terdiri dari korteks adrenal dan 10 % merupakan medulla adrenal.
Oleh karena fungsinya yang sangat penting, kelenjar adrenal sangat kaya akan
pembuluh darah (11 Atau 12 pembuluh darah kecil) yang berasal dari cabang-cabang
aoarta, a.renalis dan a.phrenicus. Darah arteri masuk ke korteks, mengalir melalui
kapiler yang mempunyai fenestra lalu masuk kedalam medulla membentuk suatu
pleksus. Pada medulla, darah akan masuk ke v.sentralis, selanjutnya ke v.adrenal dan
kemudian ke v.cava inferior. Pada kelenjar adrenal kiri, aliran darah vena akan masuk
ke v.renalis kiri. Struktur vaskularisasi ini penting diketahui untuk pengambilan darah
atau penyuntikan bahan radiografi ke kelenjar adrenal untuk diagnosa berbagai kelainan
pada kelenjar adrenal.
Persarafan kelenjar adrenal dilakukan oleh serabut eferen simpatis dari pleksus
torasikus bagian bawah dan pleksus lumbal bagian atas, serta serabut eferen
parasimpatis dari cabang saraf vagus. Serabut saraf yang berakhir pada sel glomerulosa
mengandung katekolamin, neuropeptida Y dan vasoactive intestinal poeptide (VIP).
Hal ini menyebabkan β-agonis dan VIP dapat mempengaruhi sekresi kortisol dan
aldosteron. Juga terdapat jalur aferen antara kelenjar adrenal dan hipotalamus yang
memungkinkan stres dapat merangsang sekresi ACTH.
Secara histologis, korteks adrenal terdiri dari tiga zona : bagian luar adalah
zona glomerulosa (15%), bagian tengah zona fasiculata (75%), dan bagian dalam zona
retikularis (10 %). Namun, secara fungsional, nampaknya zona fasiculata dan zona
retikularis merupakan satu kesatuan fungsional oleh karena keduanya mengahasilkan
hormon kortisol dan hormon androgen, sedangkan zona gromerulosa menghasilkan
aldosteron. Perkembangan dari zona fasiculata dan zona retikularis dipengaruhi oleh
ACTH; dimana kelebihan ACTH akan menyebabkan hiperplasi dan hipertropi dari
kedua zona ini, sedangkan kekurangan ACTH akan menyebabkan atropi pada kedua
zona ini. Zona fasiculata memberi jawaban terhadap stimulasi akut dari ACTH untuk
meningkatkan produksi kortisol, sedangkan zona retikularis memberi respons terhadap
stimulasi kronik oleh ACTH dan mempertahankan sekresi basal kortisol.
Medulla adrenal mengandung sel-sel kromaffin yang bentuknya tidak teratur.
Sel-sel ini dinamakan sel kromaffin oleh karena pada pemeriksaan histopatologis sel-
sel ini mempunyai afinitas terhadap garam chromium. Sel-sel katekolamin ini berfungsi
untuk sintesa dan sekresi katekolamin. Sel-sel kromaffin ini mengandung granula yang
penting untuk penyimpanan katekolamin, dimana pada manusia, 85% merupakan
epinefrin. Selain pada medulla adrenal, sel-sel kromafin juga terdapat diluar kelenjar
adrenal (extra-adrenal chromaffin), seperti diganglia simpatis. Fungsi sel-sel kromaffin
ekstra adrenal ini sampai sekarang belum jelas.
Efek Fisiologis Hormon Kortisol Terhadap Proses Metabolisme
Pada proses metabolisme karbohidrat, kortisol mempunyai dua efek, yaitu :
1. Meningkatkan proses glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari protein atau
sumber lain selain karbohidrat) di hati, dan
2. Mengurangi penggunaan glukosa oleh sel.
Proses glukoneogenesis terjadi akibat dua mekanisme. Pertama, meningkatnya
enzin-enzim yang mengubah asam amino menjadi glukosa dihati oleh efek kortisol
terhadap proses transkipsi DNA pada inti sel hati. Kedua, kortisol meningkatkan
mobilisasi asam amino dari jaringan ekstrahepatik, terutama dati otot. Akibatnya, lebih
banyak asam amino dalam plasma yang siap mengalami proses glukoneogenesis.
Kortisol juga meningkatkan respon hati terhadap hormon glukagon dan katekolamin
yang merupakan hormon glukoneogenetik. Oleh karena efeknya terhadap metabolisme
glukosa ini, kortisol juga disebut hormon glukokortikoid. Kortisol meningkatkan
sintesa dan penyimpanan glikogen hati dengan meningkatkan aktifitas glikogen sintase
dan dengan menghambat pemecahan glikogen. Efek ini tergantung pada hormon
insulin. Kelebihan hormon kortisol akan meningkatkan konsentrasi gula darah dan
mengurangi sensitifitas terhadap hormon insulin.
Pada proses metabolisme protein, kortisol mengurangi penggunaan jumlah
asam amino untuk pembentukan protein pada semua sel, kecuali di hati. Hal ini
disebabkan oleh berkurangnya sintesa protein dan meningkatnya katabolisme protein.
Kedua efek ini menyebabkan transport asam amino ke jaringan ekstrahepatik
berkurang.
Pada hati, asam amino ditransport ke dalam sel hati dimana akan dipergunakan
untuk proses glukoneogenesis, pembentukan glikogen dan sintesa protein. Peningkatan
sintesa protein di hati akan dilepaskan kesirkulasi sehingga konsentrasi protein akan
meningkat. Glukoneogenesis dari asam amino sangat penting peranannya dalam
keadaan puasa yang lama, oleh karena glukosa dalam sirkulasi dan glikogen dihati akan
dipergunakan dalam waktu kurang dari 24 jam. Kelebihan kortisol akan menyebabkan
kehilangan protein dalam jumlah besar, atropi dan kelemahan otot, kulit menjadi tipis
dan massa tulang akan berkurang.
Pada proses metabolisme lemak, kortisol meningkatkan mobilisasi asam
lemak dan gliserol dari jaringan adiposa dan hati melalui proses lipolisis. Hal ini akan
menyebabkan meningkatnya konsentrasi asam lemak dan gliserol dalam darah untuk
dipergunakan pada proses glukoneogenesis. Walaupun kortisol bersifat lipolitik,
kelebihan kortisol akan menyebabkan deposisi lemak. Hal ini disebabkan oleh karena
kortisol meningkatkan nafsu makan akibat hiperinsulnemia yang terjadi akibat
kelebihan kortisol. Pada keadaan ini, lemak umumnya terdistribusi pada wajah, daerah
servikal, badan dan abdomen. Wajah menjadi bulat sehingga disebut “moon face”.
Mengapa distribusi ini hanya pada lokasi-lokasi tersebut mekanismenya masih belum
jelas.
Efek Fisiologis Hormon Katekolamin Terhadap Proses Metabolisme
Katekolakomin meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi panas. Epek ini
nampaknya melalui aktifasi reseptor β. Katekolamin menyebabkan glikogenolisis
(pembentukan glukosa dari glikogen) di hati dan otot melalui proses fosforilase, serta
mobilisasi lemak dari penyimpanannya. Hal ini menyebabkan tersedianya karbohidrat
dan lemak untuk dipergunakan sebagai sumber energi.
Perangsangan jaringan lemak menyebabkan terjadinya lipolisis dan pelepasan
asam lemak bebas dan gliserol kedalam sirkulasi untuk dipergukan oleh jaringan lain.
Hasil dari efek kalorigenik ini ialah meningkatnya kecepatan metabolisme.
Meningkatnya kecepatan metabolisme kemungkinan disebabkan oleh vasokonstriksi
pembuluh darah kulit, sehingga pelepasan panas berkurang sehingga suhu tubuh
meningkat. Kemungkinan lain adalah meningkatnya aktifitas otot akibat oksidasi asam
laktat di hati.
c. Hormon Kelenjar Pankreas
Anatomi dan Histologi
Pada manusia, pankreas terletak pada dinding posterior abdomen bagian atas
dengan berat sekitar 80 gram. Sebagian besar merupakan kelenjar yang terdiri dari sel-
sel asinus yang menghasilkan enzizm-enzim pencernaan yang akan memasuki duktus
pankreatik menuju ke duodenum. Komponen endokrin pankreas terdiri dari kurang
lebih 0,7 sampai 1 juta sel endokrin yang dikenal sebagai islet of Langerhans atau
pulau-pulau Langerhans yang menyebar diantara komponen eksokrin. Pulau-pulau
Langerhans ini merupakan 1-1,5 % dari seluruh berat pankreas.
Terdapat 4 jenis sel pada pulau-pulau Langerhans, masing-masing sel A (sel
α), sel B (sel β), sel D (sel δ) dan sel F (sel PP). Sel B yang merupakan 70-80 % dari
semua sel-sel yang terdapat pada pulau-pulau Langerhans menghasilkan hormon
insulin. Sel A yang menghasilkan glukagon sekitar 20%, sel D yang menghasilkan
somatostatin 3-5%, dan sisanya merupakan sel F yang menghasilkan pancreatic
polipeptide. Secara fungsional, satu jenis sel dengan jenis sel lainnya pada pulau-pulau
Langerhans ini mempunyai hubungan, sehingga memungkinkan sekresi dari satu
hormon dapat mempengaruhi sekresi dari hormon lainnya. Misalnya, insulin
menghambat sekresi glukagon, dan somatostatin menghambat sekresi insulin dan
glukagon.
Jenis sel dan hormon yang dihasilkan oleh pulau-pulau Langerhans
Jenis sel Hormon yang dihasilkan
Sel A
Sel B
Sel D
Sel F
Glukagon, glucagon-like peptide,
proglukagon
Insulin, proinsulin, GABA,peptide C
Somatostatin
Pancreatic polipeptide
1. Efek insulin terhadap metabolisme karbohidrat di hati
Di hati, insulin meningkatkan sintesa dan penyimpanan glikogen, dan pada
saat yang sama menghambat pemecahan glikogen. Diantara dua waktu makan dimana
konsentrasi glukosa menurun glikogen hati akan dipecah kembali menjadi glukosa dan
dilepaskan ke sirkulasi untuk menjaga agar konsentrasi gula darah tetap normal.
Mekanisme bagaimana insulin meningkatkan uptake dan penyimpanan glukosa di hati
dilakukan dengan jalan :
1. Menghambat enzim fosforilase di hati yang menyebabkan glikogen dipecah
menjadi glukosa.
2. Meningkatkan uptake glukosa dari darah ke sel hati. Hal ini dilakukan dengan
meningkatkan aktifitas enzim glukokinase yang menyebabkan awal proses
fosforilase glukosa sesudah terjadi difusi ke dalam sel hati. Setelah mengalami
fosforilase, glukosa akan disimpan sementara didalam sel hati oleh karena glukosa
yang telah mengalami fosforilase tidak dapat berdifusi kembali melalui membran
sel.
3. Meningkatkan aktifitas enzim yang meningkatkan sintesa glikogen, seperti
fosfofruktokinase, yang merupakan enzim yang berperan dalam tahad kedua
fosforilase glukosa dan enzim glikogen sintase, yang berfungsi untuk polimerisasi
monosakarida membentuk molekul glikogen.
Diantara waktu makan, konsentrasi glukosa akan menurun dan hati akan
melepaskan glukosa kembali kedalam sirkulasi. Beberapa peristiwa yang terjadi pada
proses ini adalah sebagai berikut :
1. Berkurangnya konsentrasi glukosa menyebabkan pankreas mengurangi sekresi
insulin.
2. Berkurangnya insulin menyebabkan sintesa glikogen di hati akan berhenti dan
mencegah uptake glukosa oleh hati.
3. Berkurangnya insulin mengaktifkan enzim fosforilase yang akan mengubah
glikogen menjadi glukosa fosfat.
4. Enzim glukosa fosfatase yang tadinya dihambat oleh insulin, sekarang menjadi
aktif akibat berkurangnya insulin dan menyebabkan radikal fosfat akan lepas dari
molekul glukosa; sehingga glukosa akan berdifusi secara bebas kembali ke
sirkulasi.
Bila jumlah glukosa yang memasuki sel hati melebihi kapasitas penyimpanan,
maka insulin akan mengubah kelebihan glukosa tersebut menjadi asam lemak (fatty
acids). Asam lemak ini akan disimpan sebagai trigliserida dalam very low density
lipoprotein (VLDL) dan di transport ke jaringan lemak kemudian disimpan sebagai
lemak.
Insulin juga menghambat glukoneogenesis terutama dengan jalan mengurangi
jumlah dan aktifitas dari enzim-enzim di hati yang dibutuhkan untuk glukoneogenesis.
Namun, selain itu terhambatnya glukoneogenesis juga disebabkan oleh efek insulin
yang mengurangi pelepasan asam amino dari otot dan jaringan ekstrahepatik lainnya.
Dengan demikian mengurangi tersedianya bahan untuk proses glukoneogenesis.
Otak merupakan jaringan dimana insulin kurang mempunyai pengaruh
terhadap uptake dan penggunaan glukosa. Hal ini disebabkan oleh karena sel otak
permeabel otak terhadap glukosa walaupun tanpa insulin. Sel otak hanya menggunakan
glukosa sebagai sumber energi. Dengan demikian, sangat penting untuk menjaga
konsentrasi glukosa darah selalu dalam keadaan normal. Bila kadar glukosa turun
terlalu rendah, antara 20-50 mg/dl, maka akan timbul gejala-gejala syok hipoglikemik,
seperti menurunnya kesadaran, kejang-kejang dan bahkan koma.
Pengaruh Insulin Terhadap Metabolisme Lemak di Hati
Lemak, dalam bentuk trigliserida merupakan cara penyimpanan energi yang
paling efisien. Energi untuk setiap gram lemak adalah 9 kkal, lebih tinggi bila
dibandingkan dengan karbohidrat dan protein yang hanya berkisar 4 kkal/gram.
Peranan insulin yang meningkatkan penggunaan glukosa pada hampir semua jaringan
tubuh akan menyebabkan penggunaan lemak akan berkurang. Insulin juga merangsang
sintesa asam lemak (fatty acid) dan penggabungan asam lemak menjadi trigliserida di
hati dan jaringan lemak.
Meningkatnya sintesa asam lemak di hati disebabkan oleh :
1. Meningkatnya transport glukosa kedalam sel hati oleh insulin. Glukosa kemudian
akan dipecah menjadi piruvat melalui jalur glikolitik, dan selanjutnya piruvat akan
diubah menjadi asetil-CoA, yang merupakan bahan untuk sintesa asam lemak.
2. Bila banyak glukosa yang dipergunakan untuk energi akan menyebabkan
pembentukan sitrat dan isositrat melalui siklus asam sitrat. Sitrat dan isositrat ini
mempunyai pengaruh langsung terhadap aktifasi enzim asetil-CoA karboksilasi
yang akan membentuk malonil-CoA, yang merupakan tahap pertama sintesa asam
lemak.
Efek insulin terhadap metabolisme lemak di jaringan lemak
Insulin meningkatkan penyimpanan trigliserida pada jaringan lemak dengan
jalan :
1. Mengaktifkan lipoprotein lipase yang terdapat pada dinding kapiler dan sel endothel
jaringan lemak, yang akan menyebabkan hidrolisis trigliserida pada sirkulasi
menjadi asam lemak sehingga mudah untuk diabsorbsi kedalam jaringan lemak,
dimana asam lemak diubah kembali menjadi trigliserida dan disimpan.
2. Meningkatkan transport glukosa kedalam sel lemak yang akan dipergunakan untuk
sintesa asam lemak. Selain itu, insulin meningkatkan pembentukan gliserolfosfat,
suatu bahan yang dipergunakan untuk esterifikasi asam lemak menjadi trigliserida.
3. Menghambat lipolisis intraseluler dari trigliserida yang tersimpan dengan jalan
menghambat lipase intraseluler (hormone sensitive lipase).
Pemecahan dan penggunaan lemak untuk energi akan sangat meningkat bila
konsentrasi insulin sangat rendah, misalnya pada penderita diabetes mellitus. Dalam
keadaan tanpa insulin, terjadi aktifasi lipase intraselluler pada jaringan lemak yang
akan menyebabkan hidrolisis trigliserida, sehingga terjadi pelepasan asam lemak dan
gliserol kedalam sirkulasi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan asam lemak bebas
dalam darah dalam beberapa menit untuk dipergunakan sebagai sumber energi utama
untuk semua jaringan tubuh.
Kelebihan asam lemak akibat tidak adanya insulin akan menyebabkan
perubahan asam lemak menjadi fosfolipid dan kolesterol di hati. Kelebihan fosfolipid,
kolesterol dan trigliserida di hati akan dikeluarkan ke sirkulasi secara bersamaan.
Peningkatan konsentrasi lemak yang tinggi ini terutama kolesterol akan menyebabkan
pembentukan arterosklerosis pada penderita diabetes yang berat, dan dapat
menyebabkan penyakit jantung koroner dan stroke.
Kekurangan insulin juga dapat menyebabkan berlebihnya asam asetoasetik
yang terbentuk di hati. Asam asetoasetik ini sebagian akan diubah menjadi asam
hidroksibutirit dan aseton. Kedua substansi ini dikenal sebagai benda keton.
Meningkatnya konsentrasi benda keton didalam darah disebut sebagai ketosis. Pada
penderita diabetes yang berat, kedua substansi tersebut dapat menyebabkan
ketoasidosis dan koma yang dapat menyebabkan kematian.
Pengaruh insulin terhadap metabolisme protein
Dalam metabolisme protein, insulin mempunyai efek terhadap sintesa,
penyimpanan protein, dan transport asam melalui membran sel. Jadi, efek insulin pada
metabolisme protein adalah meningkatkan pembentukan dan mencegah degradasi
protein.
Insulin meningkatkan sintesa protein dengan jalan meningkatkan translasi
mRNA pada ribosom. Dalam jangka panjang, insulin meningkatkan transkripsi DNA
pada inti sel sehingga banyak terbentuk mRNA. Insulin juga menghambat katabolisme
protein, jadi mengurangi pelepasan asam amino dari sel, terutama dari sel otot.
Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kemampuan insulin untuk menghambat
degradasi normal protein oleh enzim lisosom.
Insulin juga menghambat proses glukoneogenesis dengan jalan mengurangi
aktifitas enzim yang mengaktifkan glukoneogenesis. Oleh karena bahan untuk
glukoneogenesis adalah asam amino dalam plasma, maka penghambatan
glukoneogenesis dapat tersimpan dalam tubuh.
Insulin meningkatkan transport asam amino kedalam sel. Diantara asam amino
yang paling kuat ditransport adalah valin, leusin, isoleusin, tirosin dan fenilalanin. Jadi
insulin bersama hormon pertumbuhan secara sinergis mempercepat proses
pertumbuhan dengan jalan meningkatkan uptake asam amino kedalam sel. Namun,
asam amino yang dipengaruhi oleh kedua hormon ini mungkin berbeda.
2. Efek Fisiologi Glukagon Pada metabolisme
Efek glukagon pada metabolisme glukosa ialah :
1. Pemecahan glikogen di hati (glikogenolisis).
2. Meningkatkan glukoneogenesis pada hati.
Kedua efek ini meningkatkan penyediaan glukosa untuk kebutuhan jaringan.
Glukagon juga meningkatkan lipolisis pada jaringan lemak sehingga tersedia asam
lemak bebas dalam jumlah besar untuk dipergunakan sebagai sumber energi.
Glukagon juga mengambat penyimpanan trigliserida pada hati yang mencegah hati
untuk mengambil asam lemak dari darah. Glukagon juga mempunyai efek ketogenik.
Glukagon konsentrasi tinggi mempunyai efek inotropik pada jantung dengan
jalan meningkatkan cAMP yang selanjutnya akan memfosforilase Ca channel pada
membran sel otot jantung. Glukagon juga meningkatkan sekresi empedu dan
menghambat sekresi asam lambung.
d. Hormon GH dari Kelenjar Anterior Hipophysis
GH mempunyai efek metabolisme, seperti :
1. Meningkatkan kecepatan sintesa protein pada semua jaringan;
2. Meningkatkan mobilisasi asam lemak dari jaringan adiposa dan penggunaan asam
lemak untuk energi; dan
3. Mengurangi penggunaan glukosa oleh jaringan.
GH, melalui IGF-1, meningkatkan sintesa protein dengan jalan :
1. Meningkatkan transport asam amino melalui membran sel ;
2. Meningkatkan transkipsi DNA menjadi mRNA pada inti sel ;dan
3. Meningkatkan translasi mRNA menjadi protein pada ribosom.
Selain itu, GH juga mengurangi katabolisme protein dan asam amino dengan
jalan mobilisasi lemak secara lebih efisien sebagai sumber energi.
GH menyebabkan pelepasan asam lemak dari jaringan adiposa sehingga
meningkatkan konsentrasi asam lemak dalam darah. Pada jaringan lainnya, GH
meningkatkan perubahan asam lemak menjadi asetilkoenzim A yang selanjutnya
dipergunakan sebagai sumber energi. Dengan demikian, dibawah pengaruh GH,
penggunaan lemak sebagai sumber energi lebih banyak dibandingkan karbohidrat dan
protein. Namun, mobilisasi lemak oleh GH memerlukan waktu beberapa jam,
sedangkan pengaruh GH terhadap sintesa protein dapat berlangsung dalam beberapa
menit. Bila terjadi sekresi GH yang berlebihan, mobilisasi lemak dari jaringan adiposa
dapat menyebabkan pembentukan asam asetoasetat oleh hati, sehingga terjadi ketosis.
Kelebihan GH juga dapat menyebabkan perlemakan hati (fatty liver).
Efek GH terhadap metabolisme karbohidrat terdiri dari :
1. Mengurangi penggunaan glukosa untuk sebagai sumber energi.
2. Meningkatkan deposisi glikogen sel
3. Mengurangi uptake glukosa oleh sel
4. Meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi sensitifitas jaringan terhadap
insulin.
Berkurangnya penggunaan glukosa sebagai sumber energi kemungkinan
disebabkan oleh meningkatnya mobilisasi dan penggunaan asam lemak
sebagai sumber energi sehingga terjadi pembentukan asetil-CoA dalam jumlah besar
yang selanjutnya akan memberi efek umpan balik yang menghambat pemecahan
glukosa dan glikogen untuk sumber energi. Oleh karena glukosa dan glikogen tidak
mudah digunakan sebagai sumber energi, glukosa yang masuk kedalam sel dengan
cepat akan mengalami polimerisasi menjadi glikogen dan di deposisi. Dengan
demikian, sel dengan cepat akan mengalami saturasi terhadap glikogen dan
selanjutnya tidak dapat lagi menyimpannya. Meningkatnya konsentrasi glukosa oleh
GH, akan merangsang sel-sel beta pankreas untuk menghasilkan insulin. Selain itu,
GH juga mempunyai efek secara langsung terhadap sel-sel beta pankreas. Kedua efek
ini akan menyebabkan sekresi insulin yang sangat berlebihan sehingga insulin akan
habis. Bila ini terjadi, dapat terjadi diabetes mellitus. Berdasarkan hal tersebut, GH
disebut mempunyai efek diabetogenik.
Dalam menjalankan fungsinya, GH memerlukan insulin dan karbohidrat. Pada
binatang coba, GH tidak dapat merangsang pertumbuhan bila pankreas diangkat, atau
tidak terdapat karbohidrat didalam diet. Jadi, aktifitas insulin yang cukup dan
tersedianya karbohidrat dalam makanan sangat diperlukan agar GH dapat berfungsi
secara optimal. Peranan insulin dan karbohidrat ialah menyediakan energi untuk
metabolisme pertumbuhan, selain itu insulin diperlukan untuk transport asam amino
dan glukosa kedalam sel.
2. Jelaskan etiologi berat menurun dan keterkaitannya dengan semua semua
gejala !
a. Berat Badan menurun
Hilangnya lemak, air/elektrolit, dan protein dapat mengakibatkan terjadinya
penurunan berat badan/ massa tubuh. Protein dan lemak merupakan sumber energi
cadangan tubuh yang disintesa oleh tubuh pada keadaan dimana energi utama
(glukosa) tidak atau sedikit dalam menghasilkan energi.
Kurang atau tidak adanya energi yang dihasilkan melalui glukosa dapat
diakibatkan oleh adanya gangguan metabolisme, gangguan absorpsi sel, atau
gangguan uptake makanan.
Gangguan metabolisme seperti hiperglikemia atau hipertiroid dapat
menyebabkan terjadinya penurunan berat badan.
1) Hiperglikemia adalah suatu keadaan dimana terjadi kelebihan glukosa dalam
darah. Oleh karena gangguan kerja insulin (DM tipe 2) atau gangguan sekresi
insulin (DM tipe 1). Karena insulin yang merupakan pintu masuk glukosa ke
dalam sel mengalami gangguan maka sel tubuh menggunakan energi cadangan.
Pertama, tubuh menggunakan jaringan adiposa sebagai konpensator atau
kurangnya glukosa melalui proses lipolisis, glukoneogenesis dari gliserol.
Pada keadaan hiperglikemia kronik, sel tubuh akan tetap mengalami kelaparan
sehingga tidak hanya lemak yang dilisiskan, bahkan protein sebagai pembentuk
otot akan dilisiskan pula untuk memenuhi kebutuhan energi sel. Berkurangnya
lemak dan protein tubuh akan menyebabkan penurunan massa tubuh.
2) Pada keadaan hipertiroid terjadi peningkatan metabolisme basal 60-100% diatas
normal sehingga lemak dan protein yang digunakan pada keadaan basal akan
mengalami lisis yang terjadi sangat cepat.
3) Gangguan uptake makanan seperti pada keadaan anorexia membuat tubuh
kehilangan asupan energi dan nutrisi khusus glukosa. Jika terjadi kekurangan, sel
dalam tubuh akan mengalami kelaparan, disamping itu tidak dapat disintesis
lemak dan protein sebagai cadangan energi. Dengan kata lain, pada keadaan ini
selain protein dan lemak tidak disintesa, keduanya juga digunakan sebagai energi
alternatif, sehingga terjadi penurunan massa tubuh yang cukup berarti.
Pengaruh Hormon Insulin
Hormon insulin berperan dalam metabolisme glukosa dalam sel. Apabila ada
gangguan pada sekresi dan kerja insulin, misalnya hiposekresi dan resistensi insulin,
maka akan menimbulkan hambatan dalam utilisasi glukosa serta peningkatan kadar
glukosa darah (hiperglikemia). Hiposekresi insulin disebabkan oleh rusaknya sel beta
pankreas sedangkan resistensi insulin disebabkan tidak adanya atau tidak sensitifnya
reseptor insulin yang berada di permukaan sel. Hiposekresi dan resistensi insulin
menyebabkan glukosa tidak masuk ke dalam sel sehingga tidak dihasilkan energi.
Akibatnya, terjadi penguraian glikogen dalam otot dan pemecahan protein sehingga
menyebabkan penurunan berat badan.
Pengaruh Hormon Tiroid
Hormon tiroid berperan dalam metabolisme yang terjadi dalam tubuh. Kelebihan
hormon tiroid menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme basal yang terjadi
dalam tubuh. Apabila glukosa tidak mampu mencukupi kebutuhan metabolisme
tubuh, maka tubuh menggunakan glikogen dan protein sebagai bahan bakar
penggantinya.Akibatnya, massa otot menurun dan berat badan pun menurun.
Pengaruh Hormon Kortisol
Salah satu hormon yang mengatur regulasi berat badan adalah kortisol. Apabila terjadi
penurunan kortisol, akan berakibat pada menurunnya metabolisme dalam tubuh.
Penurunan kortisol ini sendiri dapat disebabkan oleh destruksi korteks adrenal.
Penurunan metabolisme dalam tubuh akan mengakibatkan penurunan jumlah energi
yang diperoleh (ATP menurun). Penurunan produksi ATP menyebabkan otottidak
mendapatkan cukup energi untuk bekerja. Hal ini memicu terjadinya pemecahan di
dalam otot sendiri, sehingga massa otot berkurang. Penurunan massa otot ini pada
akhirnya akan menyebabkan penurunan berat badan.
b. Lemas, lelah (malaise) dan mudah mengantuk
Lemah dan lelah disebabkan oleh penurunan utilisasi glukosa oleh jaringan
(kekurangan energi) dan terjadi peningkatan metabolisme anaerob yang menghasilkan
energi lebih sedikit serta penumpukan asam laktat. Dapat pula disebabkan oleh ketosis
yang kemudian menyebabkan asidosis metabolik, penurunan massa otot akibat
penguraian protein, glikogen danosmosis akibat hiperglikemia. Mengantuk
disebabkan oleh menurunnya suplai oksigen pada otak. Hal ini disebabkan karena
penurunan insulin yang menyebabkan tingginya kadar glukosa dalam darah.
Tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) akan mengakibatkan viskositas
darah meningkat. Peningkatan viskositas darah akan menyebabkan penurunan volume
plasma. Penurunan volume plasma ini juga berarti bahwa volume darah yang dipompa
oleh jantung menurun. Hal ini berdampak pada kurangnya transpor darah ke otak
sehingga otak tidak mendapatkan cukup oksigen. Hal inilah yang menyebabkan
timbulnya rasa kantuk.
3. Hubungan BB menurun dengan hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi terjadi jika tekanan diastol lebih tinggi dari 90
mmHg atau tekanan sistolik lebih tinggi daripada 135 atau 140 mmHg. Proses
terjadinya hipertensi dipengaruhi oleh kinerja ginjal sebagai berikut:
- Kelainan fungsi ginjal (menurunnya fungsi ginjal) yang menyebabkan asupan garam
(Na) dan air meningkat
- Volume cairan ekstraseluler dan volume darah meningkat
- Peningkatan volume darah meningkatkan tekanan pengisian sirkulasi rerata, aliran
balik vena dan curah jantung
- Peningkatan curah jantung meningkatkan tekanan arteri yang menyebabkan
hipertensi
Selain kelainan fungsi ginjal, faktor lain yang dapat menyebabkan peningkatan
reabsorpsi Na dan air adalah peningkatan sekresi aldosteron dan perangsangan sistem
saraf simpatis. Hipersekresi aldosteron dapat disebabkan karena peningkatan kalium
plasma (hiperkalemia) yang terjadi pada seseorang yang menderita defisiensi insulin (DM
tipe 1). Sedangkan perangsangan sistem saraf simpatis dapat disebabkan oleh adanya
resistensi insulin (DM tipe 2). Perangsangan sistem saraf simpatis juga mempengaruhi
transport kation dan mengakibatkan hipertropi sel-sel otot polos pembuluh darah.
Gejala-gejala penderita DM adalah yang terdapat pada skenario yaitu penurunan BB,
lemas dan lelah, serta mudah mengantuk.
4. Differensial diagnosa :
1. A. Diabetes Melitus Tipe 1
B. Diabetes Melitus Tipe 2
Definisi dan Etiologi Definisi
Diabetes tipe II adalah Diabetes Melitus tidak tergantung insulin“Non
Insulin Dependent Diabetes Mellitus”(NIDDM), terjadi akibat penurunan sensitivitas
terhadapinsulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin.
Etiologi
Non Insulin Inpendent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus
Tidak Tergantung Insulin disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh
hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi
defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin
pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan
perangsangsekresi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap
glukosa.
Epidemiologi
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh
dunia menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidensnya
terus meningkatdengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan
bertambah menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat di seluruh
dunia, namun lebih sering(terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan
prevalens terbesar terjadi di Asiadan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan
perubahan gaya hidup, seperti pola makan “Western style” yang tidak sehat. Di Indonesia
sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 24417
responden berusia >15 tahun, 10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar
glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa selama 14 jam dan diberiglukosa oral 75 gram).
Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis dan 4,2%mengalami
Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM maupun TGT lebih banyak ditemukan
pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada golongan dengan tingkat
pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita DM paling tinggi
yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan kelompok usia
penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang
dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya
aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari.
Patofisiologi dan Patogenesis
Diabetes Melitus Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan
dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut:
1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel – sel tubuh yang mengakibatkan naiknya
konsentrasi glukosa darah setinggi 300 – 1200 mg/dl.
2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan
terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrolpada
dinding pembuluh darah.
.3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
Pasien –pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah
makan. Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi ambang ginjal normal
( konsentrasi glukosa darah sebesar 160 – 180 mg/100 ml ), akan timbul glikosuria
karena tubulus – tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa.
Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotic yang menyebabkan poliuri
disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri
menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama
urine maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan
menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibatyang lain adalah astenia atau
kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah danmengantuk yang
disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan jugaberkurangnya
penggunaan karbohidrat untuk energi. Hiperglikemia yang lama akanmenyebabkan
arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Iniakan
memudahkan terjadinya gangren.
Patogenesis DM tipe II
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yaitu yang berhubungan
dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut,terjadi sel resistensi insulin pada diabetes
tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel ini. Dengan demikian insulin
menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.Untuk
mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah,harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan pada penderita toleransi
glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan
kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat.
Namun untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa
akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Pada DM tipe II, kelainan terletak di
beberapa tempat : Sekresi insulin oleh pancreas mungkin cukup, tetapi terdapat
keterlambatan, sehingga glukosa sudah diabsorpsi masuk darah tapi insulin belum
memadai, Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang (antara 20.000– 30.000), pada
obesitas bahkan hanya sekitar 20.000, Jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor
jelek,sehingga insulin tidak efektif. Terdapat kelainan di pasca reseptor, sehingga
proses glikolisis intra seluler terganggu. Adanya kelainan campuran di antara no
1,2,3 dan 4.
Pada DM Tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi
reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel kurang. Reseptor insulin ini
diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk kedalam sel. Pada keadaan tadi jumlah
lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak,
tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan
sedikit, sehingga sel akan kekurangan glukosa dan glukosa di dalam darah akan
meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM Tipe 1. Perbedaanya
adalah DM Tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi, juga kadar insulin tinggi atau
normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin. Faktor-faktor yang banyak berperan
sebagai penyebab resistensi insulin :
1. Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
2. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
3. Kurang gerak badan
4. Faktor keturunan (herediter)
Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 mempunyai dua efek fisiologis. Sekresi insulin
abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran. Ada tiga fase
normalitas. Pertama glukosa plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi urin
karena kadar insulin meningkat. Kedua, resistensi insulin cenderung menurun
sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa bentuk
hiperglikemia. Pada diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin normal, malah mungkin
banyak, tetapi jumlah reseptor pada permukaan sel yang kurang. Dengan demikian,
pada DM tipe 2 selain kadar glukosa yang tinggi, terdapat kadar insulin yang tinggi
atau normal. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin. Penyebab resistensi
insulin sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor berikut ini turut berperan baik pada
DM tipe 1 atau2, jika kadar glukosa dalam darah melebihi ambang batas ginjal, maka
glukosa itu akan keluar melalui urine.
Manifestasi klinis
Manifestasi Klinik DM :
Poliuria
Polidipsia
Polifagia
Penurunan berat badan
Lemah
Kesemutan
Gatal
Mata kabur
Disfungsi ereksi pada pria
Pruritus vulvae pada wanita.
Pemeriksaan Diagnosis
Menjelaskan pemeriksaan dan diagnosis diabetes mellitus. Diagnosis DM
didasarkan atas pemeriksaan kadar glikosa darah dan tidak dapat ditegakkan
hanya atas glukosa saja. Dalam menentukan diagnosis DM harus
diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang
dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa dilakukan di
laboratorium klinik terpecaya. Walaupun demikian sesuai kondisi setempat
dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa
glukosa darah kapiler.
Pemeriksaan Penyaring
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik DM dilakukan pada pasien yang menunjukkan gejala / tanda DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang
punya resiko DM.Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang
hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif. Pemeriksaan
penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu resiko DM sebagai berikut :
Usia > 45 tahun.
Berat badan lebih : BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2.
Hipertensi ( ≥ 140 / 90 mmHg.
Riwayat DM dan garis keturunan.
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000 gram.
Kolestrol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau triglisera ≥ 250 mg/dl.
Catatan : Untuk kelompok resiko tinggi hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,
pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang berusia
> 45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaringnya dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya (mass
screening) tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi
mereka yang positif belum ada.Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan
penyaring bersama penyakit lain (genral check up) adanya pemeriksaan penyaring untuk
DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan. Pemeriksaan penyaring
berguna untuk menjaring pasien DM, TGT, dan GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah
yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT danGDPT merupakan tahapan sementara
menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi
DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya akan tetap normal. Adanya TGT sering berkaitan
dengan insulin. Pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi
dibanding kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular,
hipertensi, dan dislipidemia. Peran aktif pada pengelola kesehatan sangat diperlukan agar
deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat
segera diterapkan. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes
toleransi glukosaoral (TTGO) standar.
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM
(mg/dl) .
Penatalaksanaan Menjelaskan farmakoterapi diabetes mellitus
1. Golongan Sulfonilurea mekanisme Kerja
Golongan obat ini sering disebut sebagai insulin secret stogues, kerjanya
merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β Langerhans pancreas. Rangsangannya
melalui interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada membrane sel-sel β yang
menimbulkan depolarisasi membrane dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. dengan
terbukanya kanal Ca maka ion Ca++ akan masuk sel-sel β, merangsang granula yang berisi
insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida C,
kecuali itu sulfonylurea dapat mengurangi klirens insulin di hepar. Pada penggunaan jangka
panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan hipoglikemia.
Farmakokinetik
Berbagai sulfonylurea mempunyai sifat kinetic berbeda, tetapi absorpsi melalui
saluran cerna cukup efektif. Makanan dan keadaan hiperglikemia dapat mengurangi
absorpsi. Untuk mencapai kadar optimal di plasma, sulfonylurea dengan masa paruh
pendek akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum makan. Dalam plasma sekitar
90% - 99% terikat protein plasma terutama albumin, ikatan ini paling kecil untuk
klorpropamid dan paling besar untuk gliburid. Masa paruh dan metabolisme sulfonylurea
generasi I sangat bervariasi. Masa paruh asetoheksamin pendek tetapi metabolit aktifnya, 1-
hidroksiheksamid masa paruhnya lebih panjang, sekitar 4-5 jam, sama dengan tolbutamid
dan tolazamid. Sebaiknya sediaaan ini diberikan dengan dosis terbagi. Sekitar 10% dari
metabolitnya diekskresi melalui empedu dan keluar bersama tinja. Klorpropamid dalam
darah terikat albumin, masa paruhnya panjang, 24 - 48 jam, efeknya masih terlihat beberapa
hari setelah obat dihentikan. Metabolismenya di hepar tidak lengkap, 20% diekskresi utuh di
urin. Mula kerja tolbutamid cepat, masa paruhnya sekitar 4-7 jam. Dalam darah sekitar 91-
96% tolbutamid terikat protein plasma, dan di hepar di ubah menjadi karboksitolbutamid.
Ekskresinya melalui ginjal. Tolazamid, absorpsinya lebih lambat dari yang lain efeknya
pada glukosa darah belum nyata untuk beberapa jam setelah obat diberikan. Masa paruh
sekitar 7 jam, di hepar di ubah menjadi p-karboksitolazamid, 4-hidroksimetitolazamid dan
senyawa lain, yang diantaranya memiliki sifat hipoglikemik cukup kuat. Sulfonilurea
generasi II, umumnya potensi hipoglikemiknya hampir 100 kali lebih besardari generasi I.
Meski masa paruhnya pendek, hanya sekitar 3-5 jam, efek hipoglikemiknya berlangsung
12-24 jam, sering cukup diberikan 1 kali sehari. Alasan mengapa masa paruh yang pendek
ini, memberikan efek hipoglikemik panjang, belum diketahui.
Glibizid, absorpsinya lengkap, masa paruhnya 3-4 jam. Dalam darah 98% terikat
protein plasma, potensinya 100 kali lebih kuat dari tolbutamid, tetapi efek hipoglikemik
maksimalnya mirip dengan sulfonilurea lain, metabolismenya di hepar, menjadi metabolit
yang tidak aktif, sekitar 10% diekskresi melalui ginjal dalam keadaan utuh. Gliburid
(glibenklamid) potensinya 200 x lebih kuat dari tolbutamid, masa paruhnya sekitar 4 jam.
Metabolismrnya di hepar, pada pemberian dosis tunggal hanya 25% metabolitnya diekskresi
melalui urun, sisanya melalui empedu. Pada penggunaan dapat terjadi kegagalan primer dan
sekunder, dengan seluruh kegagalan kira-kira 21% selama 1,5 tahun. Karena semua
sulfonilurea di metabolisme di hepar dan diekskresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh
diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat.
Efek Samping
Insidens efek samping generasi I sekitar 4%, insidensnya lebih rendah lagi untuk
generasi II. Hipoglikemia, bahkan sampai koma tentu dapat timbul.reaksi ini lebih sering
terjadi pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal, terutama yang
menggunakan sediaan dengan masa kerja panjang. Efek samping lain,reaksi alergi jarang
sekali terjadi, mual,muntah, diare, gejala hematologi, susunan saraf pusat, mata dan
sebagainya. Gangguan saluran cerna ini dapat berkurang dengan mengurangi dosis,
menelan obat bersama makanan atau membagi obat dalam beberapa dosis. Gejala sususnan
saraf pusat berupa vertigo, bingung, atraksia dan sebagainya. Gejala hematologik
Leukopenia dana granulositosis. Efek samping lain gejala hipotiroidisme, ikterus obstruktuf,
yang bersifat sementara dan lebih sering timbul akibat klorpropamid (0,4%). Berkurangnya
toleransi terhadap alkohol juga telah dilaporkan pada pemakaian tolbutamid dan
klorpropamid. Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapat dosis tepat, tidak
makan cukup atau dengan gangguan fungsi hepar dan / atau ginjal. Kecenderungan
hipoglikemia pada orang tua disebabkan oleh mekanisme kompensasi berkurang dan
asupan makanan yang cenderung kurang. Selain itu, hipoglikemia tidak mudah dikenali
pada orang tua karena timbul perlahan tanpa tanda akut (akibat tidak ada refleks simpatis)
dan dapat menimbulkan disfungsi otak sampai koma. Penurunan kecepatan ekskresi kalau
propamid dapat meningkatkan hipoglikemia.
Indikasi
Memilih sulfonilurea yang tepat untuk pasien tertentu sangat penting untuk
suksesnya terapi. Yang menentukan bukanlah umur pasien waktu terapi dimulai, tetapi usia
pasien waktu penyakit DM mulai timbul. Pada umumnya hasil yang baik diperoleh pada
pasien yang diabetesnya mulai timbul pada usia diatas 40 tahun. Sebelum menentukan
keharusan penggunaan sulfonilurea, selalu harus dipertimbangkan kemungkinan mengatasi
hiperglikemia dengan hanya mengatur diet serta mengurangi berat badan pasien. Kegagalan
pasien dengan salah satu derivat sulfonilurea, mungkin juga disebabkan oleh perubahan
farmakokinetik obat, misal penghancuran yang terlalu cepat. Obat hasil terapi yang baik
tidak dapat dipertahankan dengan dosis 0.5 g klorpropamid, 0.75 g tolazamid, sebaiknya
dosis jangan ditambah lagi. Selama terapi, pemeriksaan fisik dan laboratorium harus tetap
dilakukan secara teratur. Pada keadaan yang gawat seperti stres, komplikasi, infeksi dan
pembedahan, insulin tetapmerupakan terapi standar.
1. Meglitinidr
Epaglinid dan nateglinid merupakan golongan meglitinid, mekanisme kerjanya
sama dengan sulfonilurea tetapistruktur kimianya sangat berbeda. Golongan ADO ini
merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel β
pankreas. Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam
waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karena harus diberikan beberapa kali sehari, sebelum
makan. Metabolismeutamanya di hepar dan metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10%
dimetabolisme di ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal harus
diberikan secara berhati-hati. Efek samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran
cerna. Reaksi alergi juga pernah dilaporkan.
2. Biguanid
Sebenarnya dikenal 3 golongan ADO dari golongan biguanid : fenformin,
buformin, dan metformin, tetapi yang pertama telah ditarik dari peredaran karena sering
menyebabkan asidosis laktat. Sekarang yang banyak digunakan adalah metformin.
Mekanisme Kerja
Biguanid tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya
tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin menurunkan produksi glukosa dihepar dan
meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adiposa terhadap insulin. Efek ini terjadi karena
adanya aktivasi kinase di sel (AMP - activated protein kinase). Meski masih
kontroversial, adanya penurunan produksi glukosa hepar, banyak data yang menunjukkan
bahwa efeknya terjadi akibat penurunan glukoneogenesis. Preparat ini tidak mempunyai
efek yang berarti pada sekresi glukagon, kortisol, hormon pertumbuhan, dan somatostatin.
Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat perubahan glukosa menjadi lemak. Pada
pasien diabetes yang gemuk, biguanid dapat menurunkan berat badan dengan mekanisme
yang belum jelas pula pada orang nondiabetik yang gemuk tidak timbul penurunan berat
badan dan kadar glukosa darah. Metformin oral akan mengalami absorpsi di intestin, dalam
darah tidak terikat proteinplasma, ekskresinya melalui urin dalam keadaan utuh. Masa
paruhnya sekitar 2 jam.Dosis awal 2 x 500 mg, umumnya dosis pemeliharaan
(maintenance dose) 3 x 500 mg, dosis maksimal 2,5 g. Obat diminum pada waktu
makan. Pasien DM yang tidak memberikan respon dengan sulfonilurea dapat diatasi dengan
metformin, atau dapat pula diberikan sebagaiterapi kombinasi dengan insulin atau
sulfonylurea.
Efek Samping
Hampir 20% pasien dengan metformin mengalami: mual; muntah, diare serta
kecap logam (metalic taste) tetapi dengan menurunkan dosis keluhan-keluhan tersebut
segera hilang. Pada beberapa pasien yang mutlak bergantung insulin eksogen, kadang-
kadang biguanid menimbulkan ketosis yang tidak disertai dengan hiperglikemia
(starvation ketosis). Hal ini harus dibedakan dengan ketosis karena defisiensi insulin.Pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau sistem kardiovaskular, pemberian biguanid dapat
menimbulkan peningkatan kadar asam laktat dalam darah, sehingga hal ini dapat
mengganggu keseimbangan elektrolit dalam cairan tubuh.
INDIKASI
Sediaan biguanid tidak dapat menggantikan fungsi insulin endogen, dan digunakan
padaterapi diabetes dewasa.Dari berbagai derivat biguanid, data fenformin yang paling
banyak terkumpul tetapisediaan ini kini dilarang dipasarkan di Indonesia karena bahaya
asidosis laktat yang mungkinditimbulkannya. Di Eropa fenformin digantikan dengan
metformin yang kerjanya serupafenformin tetapi diduga lebih sedikit menyebabkan asidosis
laktat. Dosis metformin ialah 1-3gram sehari dibagi dalam 2 atau 3 kali pemberian.
Kontra Indikasi
Biguanid tidak boleh diberikan pada kehamilan, pasien penyakit hepar berat,
penyakit ginjal dengan uremia dan penyakit jantung kongestif dan penyakit paru dengan
hipoksia kronik. Pada pasien yang akan diberi zat kontras intravena atau yang akan di
operasi, pemberian obat ini sebaiknya dihentikan dahulu. Setelah lebih dari 48 jam, biguanid
baru boleh diberikan dengan catatan fungsi ginjal harus tetap normal. Hal ini untuk
mencegah terbentuknya laktat yang berlebihan dan dapat berakhir fatal akibat asidosis laktat.
Insidens asidosis akibat metformin kurang dari 0.1 kasus per 1000 patient-years dan
mortalitasnya lebih rendah lagi.
3. Golongan Tiazolidinedion Mekanisme Kerja
Tiazolidinedion merupakan agonist potent dan selektif PPARγ,
mengaktifkan PPARγ membentuk kompleks PPARγ – RXR dan terbentuklah
GLUT baru. Di jaringan adiposa PPARγ mengurangi keluarnya asam lemak menuju
ke otot, dan karenanya dapat mengurangi resistensi insulin. Pendapat lain, aktivasi hormon
adiposit dan adipokin, yang nampaknya adalah adiponektin. Senyawa ini dapat
meningkatkan sensitivitas insulin melalui peningkatan AMP kinase yang merangsang
transport glukosa ke sel dan meningkatkan oksidasi asam lemak. Jadi agar obat dapat
bekerja harus tersedia insulin. Selain itu glitazon juga menurunkan produksi glukosa hepar,
menurunkan asam lemak bebas di plasma dan remodeling jaringan adipose. Pioglitazon
dan rosiglitazon dapat menurunkan HBA1c (1,0-1,5%) dan berkecenderungan
meningkatkan HDL, sedang efeknya pada trigliserid dan LDL bervariasi. Pada pemberian
oral absorpsi tidak dipengaruhi makanan, berlangsung ± 2 jam.metabolismenya di hepar,
oleh sitokrom P-450 rosiglitazon dimetabolisme oleh isozim 2C8, sedangkan pioglitazon
oleh 2C8 & 3A4 meski demikian, penggunaan rosiglitazon 4 mg 2 x sehari bersama
nifedipin atau kontrasepsi oral (etinil estradiol + noretindron) yang juga dimetabolisme
isozim 3A4 tidak menujukkan efek klinik negatif yang berarti Ekskresinya melalui ginjal,
keduanya dapat diberikan pada insufisiensi renal, tetapi dikontra indikasikan pada gangguan
fungsi hepar (ALT > 2,5 x nilai normal). Meski laporan hepatotoksik baru ada pada
troglitazon, FDA menganjurkan agar pada awal dan setiap 2 bulan sekali selama 12 bulan
pertama penggunaan kedua preparat diatas dianjurkan pemeriksaan tes fungsi hepar.
Penelitian population pharmacokinetic, menunjukkan bahwa usia
tidak mempengaruhi kinetiknya. Glitazon digunakan untuk DM tipe 2 yang tidak memberi
respons dengan diet & latihanfisik, sebagai monoterapi atau ditambahkan pada mereka yang
tidak memberi respons pada obat hipoglikemik lain (sulfonilurea, metformin) atau insulin.
Dosis awal rosiglitazon 4 mg, bila dalam 3-4 minggu kontrol glisemia belum adekuat, dosis
ditingkatkan 8 mg / hari, sedangkan pioglitazon dosis awal 15 – 30 mg bila kontrol glisemia
belum adekuat, dosis dapat ditingkatkan sampai 45 mg. Efek klinis maksimalnya tercapai
setelah penggunaan 6 - 12 minggu.
Efek Samping
Efek samping antara lain, peningkatan berat badan, edema, menambah volume
plasma dan memperburuk gagal jantung kongestif. Edema sering terjadi pada
penggunaannya bersama insulin. Kecuali penyakit hepar, tidak dianjurkan pada gagal
jantung kelas 3 dan 4 menurut klasifikasi New York Heart Association Hipoglikemia
pada penggunaan mono terapi jarang terjadi.
4. Penghambat Enzim Α – Glikosidase Mekanisme Kerja
Obat golongan ini dapat memperlambat absorpsi polisakarida (starch), dekstrin,
dan disakarida di intestin. Dengan menghambat kerja enzim α - glikosidase di
brush border intestin, dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal
dan pasien DM. Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan
menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi
pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa postprandialnya sangat tinggi. Di klinik sering
digunakan bersama antidiabetik oral lain dan / atau insulin. Obat ini diberikan pada waktu
mulai makan dan absorpsi buruk. Akarbose merupakan oligosakarida yang berasal dari
mikroba, dan miglitol suatu derivat deseksinojirimisin, secara kompetitif juga menghambat
glukoamilase dan sukrase, tetapi efeknya pada α - amilase pankreas lemah. Kedua preparat
dapat menurunkan glukosa plasma postprandial pada DM tipe 1 & 2, dan pada DM tipe 2
dengan hiperglisemia yang hebat dapat menurunkan HbA1 secara bermakna. Pada pasien
DM dengan hiperglisemia ringan sampai sedang, hanya dapat mengatasi hiperglisemia
sekitar 30% - 50% dibandingkan antidiabetik oral lainnya (dinilai denganpemeriksaan
HbA1c).
Efek Samping
Efek samping yang bersifat dose-dependent antara lain: malabsorpsi, flatulen,
diare, dan abdominal bloating. Untuk mengurangi efek samping ini sebaiknya dosis
dititrasi, mulai dosis awal 25 mg pada saat mulai makan untuk selama 4 - 8 minggu sampai
dosis maksimal 75 mg setiap tepat sebelum makan. Dosis yang lebih kecil dapat diberikan
dengan makanan kecil (snack). Akarbose paling efektif bila diberikan bersama makanan
yang berserat, mengandung polisakarida, dengan sedikit kandungan glukosa dan sukrosa.
Bila akarbose diberikan bersama insulin, atau dengan golongan sulfonilurea, dan
menimbulkan hipoglikemia, pemberian glukosaakan lebih baik daripada pemberian
sukrose, polisakarida atau maltosa.
2. Obat Hiperglikemik Glukagon Mekanisme Kerja
Glukagon menyebabkan glikogenolisis di hepar dengan jalan merangsang
enzimadenilsiklase dalam pembentukan siklik AMP, kemudian siklik AMP ini
mengaktifkan fosforilase, suatu enzim penting untuk glikogenolisis. Efek glukagon ini hanya
terbatas pada hepar saja dan tidak dapat dihambat dengan pemberian adreno reseptor β.
Glukagon juga meningkatkan glukoneogenesis. Efek ini mungkin sekali disebabkan oleh
menyusutnya simpanan glikogen dalam hepar, karena dengan berkurangnya glikogen
dalam hepar proses deaminasi dan transaminasi menjadi lebih aktif. Dengan meningkatnya
proses tersebut maka pembentukan kalori juga makin besar. Ternyata efek kalorigenik
glukagon hanya dapat timbul bila ada tiroksin dan adrenokortikosteroid. Sekresi glukagon
pankreas meninggi dalam keadaan hipoglikemia dan menurun dalam keadaan
hiperglikemia. Sebagian besar glukagon endigen mengalami metabolisme di hati.
Indikasi
Glukagon terutama digunakan pada pengobatan hipoglikemia yang ditimbulkan
olehinsulin. Hormon tersebut dapat diberikan secara IV, IM atau SK dengan dosis 1 mg.
Bila dalam20 menit setelah pemberian glukagon SK pasien koma hipoglikemik tetapi tidak
sadar, makaglukosa IV harus segera diberikan karena mungkin sekali glikogen dalam hepar
telah habis atautelah terjadi kerusakan otak yang menetap.Glukagon HCl tersedia dalam
ampul berisi bubuk 1 dan 10mg.
1. Diazoksid
Obat ini memperlihatkan efek hiperglikemia bila diberikan oral dan efek
antihipertensi bila diberikan IV. Sediaan ini meningkatkan kadar glukosa sesuai besarnya
dosis dengan menghambat langsung sekresi insulin mungkin juga dengan menghambat
penggunaan glukosa dan perifer dan merangsang langsung sekresi insulin mungkin juga
dengan menghambat penggunaan glukosa di perifer dan merangsang pembentukan glukosa
dalam hepar. Diazoksiddigunakan pada hiperinsulinisme misalnya pada insulinoma atau
hipoglikemia yang sensitif terhadap leusin. Diazoksid 90% terikat plasma protein dalam
darah. Masa paruh bentuk oral 24 - 36 jam, tetapi mungkin memanjang pada takar lajak atau
pada apsien dengan kerusakan dengan kerusakan fungsi ginjal. Karena masa paruh yang
panjang, diperlukan pengamatan jangka panjang. Takar lajak dapat menyebabkan
hiperglikemia berat, kadang-kadang disertai ketoasidosis atau koma hiperosmolar tanpa
ketosis. Meskipun diazoksid termasuk golongan tiazid, obat ini meretensi air dan
natrium.Diuretik tiazid meninggikan efek hiperglikemi dan hiperurisemi obat ini. Diazoksid
oral menimbulkan potensiasi efek obat antihipertensi lain, meskipun bila obat ini digunakan
sendiri efeknya tidak kuat. Efek hiperglikemi diazoksid dilawan oleh obat
penghambat adrenoreseptor β. Diazoksid dapat menimbulkan iritasi saluran cerna,
trombositopeni dan netropeni. Diazoksidbersifat teratogenik pada hewan (kelainan
kardiovaskular dan tulang), juga menyebabkan degenerasi sel β pankreas fetus
sehingga obat ini tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Dosis pada orang
dewasa adalah 3 - 8 mg / kgBB / hari, sedangkan pada anak kecil 8 - 15mg / kgBB / hari.
Obat ini diberikan dalam dosis terbagi 2 - 3 x sehari.
2.HIPERTIROIDISME ( PENYAKIT GRAVES )
Definisi
Penyakit Graves merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah suatu
penyakit autoimun yang biasanya ditandai oleh produksi autoantibodi yang memiliki
kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-
gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran
kelenjar tiroid/struma difus, oftamopati (eksoftalmus/ mata menonjol) dan kadang-
kadang dengan dermopati.
Epidemiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana
penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai
predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga
yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita
penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini
ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada
semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40
tahun.
Patogenesis
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen
yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B
untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan
bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang
pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi
didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan
kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam
patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit
graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping
itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran
sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan
kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakitgraves.
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan
molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk
mempresentasikan antigen pada limfosit T.
Faktor genetik berperan penting dalam proses autoimun, antara lain HLA-B8
dan HLA-DR3 pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-
B17 pada orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis
penyakit tiroid otoimun seperti penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid
manusia akan merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga
sebagai akibat pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif
Yersinia enterocolitica, yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai
reaksi silang dengan otoantigen kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia
enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang dengan TSH-R antibody pada membran
sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves. Asupan yodium
yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin yang bersifat lebih
imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya penyakit tiroid
otoimun. Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan
psikosa manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor
sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid otoimun. Faktor stres juga diduga dapat
mencetuskan episode akut penyakit Graves, namun sampai saat ini belum ada
hipotesis yang memperkuat dugaan tersebut. Terjadinya oftalmopati Graves
melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi sitotoksik lain yang
terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R
pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari
limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga
menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia. Dermopati
Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam jaringan
fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi
glikosaminoglikans
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan
katekolamin, seperti takikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperaktivitas
katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan
reseptor katekolamin didalam otot jantung.
Gejala dan tanda
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal
dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa
goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon
tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi
hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah,
gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat
badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan
kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi
kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan
pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra
melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti
gerakan mata) dan kegagalan konvergensi.
Gambaran Klinik
Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal
hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus. Perubahan pada mata (oftalmopati
Graves) , menurut the American Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut
(dikenal dengan singkatan NOSPECS):
Kelas Uraian
0 Tidak ada gejala dan tanda
1 Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
2 Perubahan jaringan lunak orbita
3 Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
4 Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
5 Perubahan pada kornea (keratitis)
6 Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan
awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya
diobati secara adekuat.
Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.
Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema
periorbita, kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).
Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel
exophthalmometer.
Pada kelas 4 terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif
terutama pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran
menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis,
maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping.
Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).
Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan
kebutaan. Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot
ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh
tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan
menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan
otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola
mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila
pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus
opticus yang akan menimbulkan kebutaan.
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum
ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare,
berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita
muda gejala utama penyakit graves dapat berupa amenore atau infertilitas.
Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses
pematangan tulang. Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi
klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati,
ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan
berat badan. Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif
jarang ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan.
Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi
dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis
autoimun, pengobatan ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan.
Langkah-langkah diagnosis
1. Anamnesis
Menanyakan data pasien : nama, umur, pekerjaan dan alamat
Menanyakan keluhan utama : hal yang menyebabkan pasien datang ke dokter,
hal yang paling menggangu
Menanyakan sudah berapa lama keluhan dirasakan
Menayakan apakah keluhan tersebut timbul secara terus menerus atau hanya
dalam waktu-waktu tertentu
Menayakan keluhan yang menyertai keluhan utama (anamnesis terpimpin)
Menayakan riwayat pengobatan
Menanyakan riwayat penyakit terdahulu pasien
Menanyakan riwayat anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama
Melakukan cross check
2. Inspeksi
Mengamati pasien apakah nampak kelainan dari atas kepala sampai kaki
- silky hair
- Terdapat gangguan psikosis dan labil
- Terdapat oftalmopati
- Leher membesar
- Rasa lemas, capek
3. Palpasi
- Rambut rontok
- Anemia
- Splenomegali
- Tremor
- Kulit lembab
4. Auskultasi
- Takikardi
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk
menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes
supresi tiroksin.
Penanganan
Walaupun mekanisme autoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam
patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves, namun penatalaksanaannya terutama
ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga
jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu : Obat anti
tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung
pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya
struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit
lain yang menyertainya.
1.Medik
Obat Antitiroid : Golongan Tionamid. Terdapat 2 kelas obat golongan
tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama
propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan
karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang
isinya sama dengan metimazol. Obat-obatan Lain seperti iodida inorganik, preparat
iodinated radiographic contrast, potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun
mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai
regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan
pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi
iodium radioaktif.
2.Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma
yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan
pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre
operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang
dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi.
Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan
tiroid yangn harus diangkat. Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali
pada pasein dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu
banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi relaps.
Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan
kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami
tiroidektomi pada penyakit Graves.
3.Terapi Yodium Radioaktif
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang
kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa
yodium dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat
diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat
penyekat beta dan / atau OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif
terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor
imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari.
Prognosis
1. Relaps mungkin terjadi setelah penghentian obat.
2. Hipotiroidisme mungkin merupakan konsekuensi pada banyak penderita
hipertiroidisme.
3. Pembedahan dan yodium radioaktif mungkin yang terutama menyebabkan
hipotiroidisme.
3. PENYAKIT ADDISON
Pertama kali dideskripsikan secara klinik oleh Thomas Addison, merupakan
insufisiensi adenokortikal primer.
Patofisiologi penyakit addison
Penyakit addison (Addison’s disease) merupakan insufisiensi adenokortikal
disebabkan destruksi atau disfungsi dari seluruh korteks adrenal. Hal ini berpengaruh
terhadap fungsi glukokortikoid dan mineralokortikoid. Onset penyakit ini biasanya terjadi
ketika 90% atau lebih dari kedua korteks adrenal mengalami disfungsi atau rusak.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, penyakit addison terjdai pada 40-60 kasus per satu juta
penduduk.
Secara global, penyakit addison jarang terjadi. Bahkan hanya negara-negara tertentu yang
memiliki data prevalensi dari penyakit ini. Prevalensi di Inggris Raya adalah 39 kasus per
satu juta populasi dan di Denmark mencapai 60 kasus per satu juta populasi.
Mortalitas/morbiditas terkait dengan penyakit addison biasanya karena kegagalan atau
keterlambatan dalam penegakkan diagnosis atau kegagalan untuk melakukan terapi pengganti
glukokortikoid dan mineralokortikoid yang adekuat.
Jika tidak tertangani dengan cepat, krisis addison akut dapat mengakibatkan kematian.
Ini mungkin terprovokasi baik secara de novo, seperti oleh perdarahan kelenjar adrenal,
maupun keadaan yang menjadi penyerta pada insufisiensi adenokortikal kronis atau yang
tidak terobati secara adekuat.
Dengan onset lambat penyakit addison kronik, kadar yang rendah signifikan, non
spesifik, tapi melemahkan, maka gejala dapat terjadi.
Bahkan setelah diagnosis dan terapi, risiko kematian lebih dari 2 kali lipat lebih tinggi
dengan penyakit addison. Penyakit kardiovaskuler, keganasan dan penyakit infeksi
bertanggung jawab atas tingginya angka kematian.Penyakit addison predileksinya tidak
berkaitan dengan ras tertentu. Sedangkan penyakit addison idiopatik autoimun cenderung
lebih sering pada wanita dan anak-anak.
Usia paling sering pada penderita addison disease adalah orang dewasa antara 30-50
tahun. Tapi, penyakit ini tidak dapat timbula lebih awal pada pasien dengan sindroma
polyglanduler autoimun, congenital adrenal hyperplasia (CAH), atau jika onset karena
kelainan metabolisme rantai panjang asam lemak.
Gejala penyakit addison
Keluhan pasien biasanya sesuai dengan gambaran keadaan kekurangan glukokortikoid
dan mineralokortikoid. Gejala sering bervariasi tergantung durasi penyakit.
Pasien dapat datang dengan gejala klinik penyakit addison kronik atau krisis addison akut
yang dipercepat dengan faktor stress seperti infeksi, trauma, pembedahan, muntah, diare atau
ketidakpatuhan terhadap terapi pengganti steroid.
Gejala klinik penyakit addison kronik
1. Onset keluhan biasanya samar dan tidak khas
2. Hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa sering mendahului seluruh gejala lain
selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
3. Penemuan kulit yang lain seperti vitiligo, di mana paling sering tampak berkaitan
dengan keadaan hiperpigmentasi addison disease idiopatik autoimun. Hal ini karena
terjadi destruksi autoimun terhadap melanosit.
4. Hampir seluruh pasien mengeluhkan kelemahan progresif, lelah, nafsu makan kurang,
dan kehilangan berat badan.
5. Gejala gastrointestinal prominent dapat berupa pening, mual muntah, dan kadang-
kadang diare. Steatorrhea yang responsif terhadap glukokortikoid telah dilaporkan.
6. Pusing dengan ortostatis karena hipotensi adakalanya dapat memicu sinkop. Hal ini
karena efek kombinasi deplesi volume, kehilangan efek mineralokortikoid aldosteron,
dan kehilangan efek permisif (membolehkan) kortisol dalam meningkatkan efek
vasopresor katekolamin.
7. Mialgia dan paralisis flasid otot dapat terjadi karena hiperkalemia.
8. Pasien dapat memiliki riwayat menggunakan obat yang diketahui untuk
mempengaruhi fungsi adrenokortikal atau untuk meningkatkan metabolisme kortisol.
9. Gejala lain yang dilaporkan meliputi nyeri otot dan sendi, kemampuan indra pembau ,
mengecap, dan mendengar meningkat; dan merasa kurang garam (menjadi lebih suka
garam).
10. Pasien dengan diabetes yang sebelumnya terkontrol dengan baik, tiba-tiba mengalami
penurunan yang tajam dalam kebutuhan insulin dan mengalami hipoglikemi karena
peningkatan sensitivitas terhadap insulin.
11. Impoten dan penurunan libido dapat terjadi pada pasien laki-laki, terutama pada
mereka dengan fungsi testis terganggu atau berada pada batas minimal.
12. Pasien perempuan yang dapat memiliki riwayat amenore karena efek kombinasi dari
kehilangan berat badan dan sakit kronik atau kegagalan ovarium prematur autoimun
sekunder. Hiperprolaktinemia yang responsif terhadap steroid dapat berperan terhadap
penurunan fungsi gonad dan amenore tersebut.
Gejala klinik penyakit addison akut
1. Pasien pada krisis adrenal akut sering mengalami mual, muntah dan kolaps pembuluh
darah. Mereka dapat menjadi syok dan tampak sianotik dan kebingungan.
2. Gejala abdominal dapat menyerupai gejala akut abdomen.
3. Pasien dapat mengalami hiperpireksia, dengan temperatur dapat mencapai 105o F atau
lebih, dan mungkin pingsan.
4. Pada perdarahan adrenal akut, pasien, biasanya pada pengaturan perawatan akut,
memburuk dengan tiba-tiba pingsan, nyeri abdomen atau pinggang, dan muntah
dengan atau tanpa hiperpireksia.
Mendiagnosis Penyakit Addison
Pada tingkatan-tingkatan awalnya, ketidakcukupan adrenal dapat menjadi sulit untuk
didiagnose. Peninjauan ulang sejarah medis pasien berdasarkan pada gejala-gejala, terutama
penggelapan kulit, akan menjurus seorang dokter pada kecurigaan penyakit Addison.
Diagnosis dari penyakit Addison dibuat oleh tes-tes laboratorium. Tujuan dari tes-tes
ini adalah pertama-tama menentukan apakah tingkatan-tingkatan cortisol adalah tidak cukup
dan kemudian menegakkan penyebabnya. Pemeriksaan-pemeriksaan x-ray dari kelenjar-
kelenjar adrenal dan pituitary juga bermanfaat dalam membantu untuk menegakkan
penyebabnya.
Tes Stimulasi ACTH
Ini adalah tes yang paling spesifik untuk mendiagnose penyakit Addison. Pada tes ini,
cortisol darah, cortisol urin, atau kedua-duanya diukur sebelum dan setelah bentuk sintetik
dari ACTH diberikan dengan suntikan. Pada tes ACTH yang disebut pendek atau cepat,
pengukuran cortisol dalam darah diulang 30 sampai 60 menit setelah suntikan ACTH secara
intravena. Respon normal setelah suntikan ACTH adalah kenaikan tingkat-tingkat cortisol
dalam darah dan urin. Pasien-pasien dengan kedua bentuk dari ketidakcukupan adrenal
merespon secara buruk atau tidak merespon sama sekali.
Tes Stimulasi CRH
Ketika respon pada tes pendek ACTH adalah abnormal, tes stimulasi CRH "panjang"
diperlukan untuk menentukan penyebab dari ketidakcukupan adrenal. Pada tes ini, CRH
sintetik disuntikan secara intravena dan cortisol darah diukur sebelum dan 30, 60, 90, dan 120
menit setelah suntikan. Pasien-pasien dengan ketidakcukupan adrenal primer mempunyai
ACTH-ACTH yang tinggi namun tidak memproduksi cortisol. Pasien-pasien dengan
ketidakcukupan adrenal sekunder mempunyai respon-respon kekurangan cortisol namun
tidak hadir atau penundaan respon-respon ACTH. Ketidakhadiran respon-respon ACTH
menunjuk pada pituitary sebagai penyebabnya; penundaan respon ACTH menunjuk pada
hypothalamus sebagai penyebabnya.
Pada pasien-pasien yang dicurigai mempunyai krisis addisonian, dokter harus memulai
perawatan segera dengan suntikan-suntikan dari garam, cairan-cairan, dan hormon-hormon
glucocorticoid. Meskipun diagnosis yang dapat dipercaya adalah tidak mungkin ketika pasien
sedang dirawat untuk krisis, pengukuran-pengukuran cortisol dan ACTH darah selama krisis
dan sebelum glukokortikoid-glukokortikoid (glucocorticoids) diberikan adalah cukup untuk
membuat diagnosis. Sekali krisis terkontrol dan obat-obat telah dihentikan, dokter akan
menunda pengujian yang lebih jauh untuk sampai satu bulan untuk memperoleh diagnosis
yang akurat.
Tes-Tes lain
Sekali diagnosis dari ketidakcukupan adrenal primer telah dibuat, pemeriksaan-
pemeriksaan x-ray perut mungkin diambil untuk melihat apakah adrenal-adrenal mempunyai
tanda-tanda apa saja dari endapan-endapan kalsium. Endapan-endapan kalsium mungkin
mengindikasikan TB. Tes kulit tuberculin juga mungkin digunakan.
Jika ketidakcukupan adrenal sekunder adalah penyebabnya, dokter-dokter mungkin
menggunakan alat-alat imaging (pencitraan) yang berbeda untuk mengungkap ukuran dan
bentuk dari kelenjar pituitary. Yang paling umum adalah CT scan, yang memproduksi
rentetan dari gambar-gambar x-ray yang memberikan gambar (image) potongan melintang
dari bagian tubuh. Fungsi dari pituitary dan kemampuannya untuk memproduksi hormon-
hormon lain juga diuji.
Merawat Penyakit Addison
Perawatan penyakit Addison melibatkan penggantian, atau substitusi, hormon-hormon
yang sedang tidak dibuat kelenjar-kelenjar adrenal. Cortisol digantikan secara oral dengan
tablet-tablet hydrocortisone, glukokortikoid sintetik, yang dikonsumsi sekali atau duakali
sehari. Jika aldosteron juga tak mencukupi, ia digantikan dengan dosis-dosis oral dari
mineralocorticoid yang disebut fludrocortisone acetate (Florinef), yang dikonsumsi sekali
sehari. Pasien-pasien yang menerima terapi penggantian aldosteron biasanya dinasehati oleh
seorang dokter untuk meningkatkan pemasukkan garam mereka. Karena pasien-pasien
dengan ketidakcukupan adrenal sekunder secara normal mempertahankan produksi
aldosteron, mereka tidak memerlukan terapi penggantian aldosteron. Dosis-dosis dari setiap
obat-obat ini disesuaikan untuk memenuhi keperluan-keperluan dari pasien-pasien
perorangan.
Selama krisis addisonian, tekanan darah rendah, glukosa darah yang rendah, dan
tingkatan-tingkatan potassium yang tinggi dapat mengancam nyawa. Terapi standar
melibatkan suntikan-suntikan intravena dari hydrocortisone, saline (air garam), dan dextrose
(gula). Perawatan ini umumnya membawa perbaikan yang cepat. Ketika pasien-pasien dapat
mengkonsumsi cairan-cairan dan obat-obatan secara oral (mulut), jumlah hydrocortisone
dikurangi hingga dosis pemeliharaan tercapai. Jika aldosterone tak mencukupi, terapi
pemeliharaan juga memasukkan dosis-dosis oral dari fludrocortisone acetate.
DAFTAR PUSTAKA
Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31 : 1045
John. E. Hall. Guyton & Hall. Buku Saku Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC. Jakarta: 2010.
Hal: 933
Setiyohadi, Bambang, dkk. 2006. Buku Ajar IlmuPenyakitDalamJilid III Edisi IV. Jakarta;
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI.
Robbins, Stanley L, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 2. Jakart; EGC
John. E. Hall. Guyton & Hall. Buku Saku Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC. Jakarta: 2010.
Hal: 134-138, 226-227
Ilmu Penyakit Dalam. Hal: 1865-1868
John. E. Hall. Guyton & Hall. Buku Saku Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC. Jakarta: 2010.
Hal: 565-606
Price, Sylvia Anderson and Lorraine McCarty Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.