Modul 9 PRILAKU ORGANISASI LINTAS BUDAYA Uraian-uraian pada modul sebelumnya, meski tidak dinyatakan secara eksplisit, berasumsi bahwa semua teori dan konsep tentang prilaku manusia didalam organisasi bisa diterapkan secara universal. Asumsi ini tentunya perlu direvisi jika kita menyadari dan mengakui bahwa setiap masyarakat memiliki budaya yang khas yang berlaku hanya untuk masyarakat tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya tidak bisa dihindari adanya perbedaan prilaku manusia pada masyarakat yang berbeda budaya. Atau dengan kata lain, anggapan bahwa prilaku manusia dan prilaku organisasi bersifat universal sesungguhnya tidak tepat. Situasi ini misalnya tercermin dari banyaknya perusahaan multinasional (MNC) yang gagal menerapkan konsep dan praktik manajemen yang sebelumnya berhasil mereka terapkan di negara asal (peruahaan induk) tetapi gagal dipraktikkan di anak perusahaan yang berlokasi di negara berbeda. Penelusuran lebih jauh menunjukkan bahwa kegagalan ini bukan karena konsep manajemennya keliru tetapi lebih disebabkan karena pola manajemen yang telah diterapkan di perusahaan induk tidak bisa sepenuhnya diterapkan di negara lain (perusahaan anak). Artinya, praktik manajemen di satu negara ternyata tidak selalu kompatibel dengan praktik manajemen di negara lain meski kegiatan bisnis dan pengelolanya sama. Inkompatibilitas ini terjadi utamanya karena adanya perbedaan cara pandang, pola pikir dan budaya masyarakat pada masing-masing negara yang ujung-ujungnya mempengaruhi prilaku manusia dan gaya manajemen. Menyadari akan banyaknya perusahaan multinasional yang gagal menjalankan bisnisnya di negara lain, para teoritisi organisasi dan manajemen lantas melakukan kajian yang kesimpulannya adalah teori organisasi dan atau manajemen yang dikembangkan di satu negara belum tentu bisa diaplikasikan di negara lain karena pengembangan teori tersebut lebih banyak didasarkan pada pengalaman empirik di negara-negara tertentu. Artinya teori tersebut sesungguhnya lebih tepat diterapkan di negara-negara dimana teori 661
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Modul 9PRILAKU ORGANISASI LINTAS BUDAYA
Uraian-uraian pada modul sebelumnya, meski tidak dinyatakan secara eksplisit,
berasumsi bahwa semua teori dan konsep tentang prilaku manusia didalam organisasi
bisa diterapkan secara universal. Asumsi ini tentunya perlu direvisi jika kita menyadari
dan mengakui bahwa setiap masyarakat memiliki budaya yang khas yang berlaku hanya
untuk masyarakat tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya tidak bisa dihindari adanya
perbedaan prilaku manusia pada masyarakat yang berbeda budaya. Atau dengan kata lain,
anggapan bahwa prilaku manusia dan prilaku organisasi bersifat universal sesungguhnya
tidak tepat. Situasi ini misalnya tercermin dari banyaknya perusahaan multinasional
(MNC) yang gagal menerapkan konsep dan praktik manajemen yang sebelumnya
berhasil mereka terapkan di negara asal (peruahaan induk) tetapi gagal dipraktikkan di
anak perusahaan yang berlokasi di negara berbeda. Penelusuran lebih jauh menunjukkan
bahwa kegagalan ini bukan karena konsep manajemennya keliru tetapi lebih disebabkan
karena pola manajemen yang telah diterapkan di perusahaan induk tidak bisa sepenuhnya
diterapkan di negara lain (perusahaan anak). Artinya, praktik manajemen di satu negara
ternyata tidak selalu kompatibel dengan praktik manajemen di negara lain meski kegiatan
bisnis dan pengelolanya sama. Inkompatibilitas ini terjadi utamanya karena adanya
perbedaan cara pandang, pola pikir dan budaya masyarakat pada masing-masing negara
yang ujung-ujungnya mempengaruhi prilaku manusia dan gaya manajemen.
Menyadari akan banyaknya perusahaan multinasional yang gagal menjalankan
bisnisnya di negara lain, para teoritisi organisasi dan manajemen lantas melakukan kajian
yang kesimpulannya adalah teori organisasi dan atau manajemen yang dikembangkan di
satu negara belum tentu bisa diaplikasikan di negara lain karena pengembangan teori
tersebut lebih banyak didasarkan pada pengalaman empirik di negara-negara tertentu.
Artinya teori tersebut sesungguhnya lebih tepat diterapkan di negara-negara dimana teori
661
tersebut dikembangkan. Kesimpulan ini misalnya didukung oleh Erez and Early1 yang
mengatakan bahwa 1255 dari 1699 artikel yang dimuat 13 jurnal ilmiah berbahasa Inggris
yang terbit antara tahun 1982 – 1989 ditulis oleh orang Amerika. Sementara itu Hofstede
mengatakan bahwa hampir 75% studi prilaku organisasi dilakukan di Amerika, oleh
orang Amerika dengan sample juga orang Amerika.2 Oleh karena itu dalam kaitannya
dengan konsep motivasi, kepemimpinan dan organisasi, Hosftede mengajukan pertanyaan
“Do American theory apply abroad?” Pertanyaan ini muncul karena dalam pandangan
Hofstede teori-teori tersebut sesungguhnya lebih cocok diterapkan di Amerika dan atau
negara-negara lain yang memiliki karakteristik (latar belakang budaya) yang sama
dengan Amerika dan boleh jadi tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara lain yang
mempunyai karakteristik berbeda. Dengan demikian budaya merupakan variabel kunci
yang menjadikan praktik manajemen di masing-masing negara berbeda.
Sekedar untuk memberikan ilustrasi yang menggambarkan adanya perbedaan
budaya lintas negara misalnya dalam hal penggunaan nama keluarga. Bagi masyarakat
Barat nama keluarga selalu diletakkan di belakang setelah namanya sendiri tetapi bagi
masyarakat Jepang mungkin karena keluarga dianggap datang lebih dahulu sebelum
dirinya maka nama keluarga diletakkan didepan sebelum namanya dicantumkan.
Demikian juga ketika kita memberi alamat misalnya kepada sopir taksi di Tokyo atau
Beijing, pertama yang disebut adalah nama kota atau distriknya, diikuti oleh nama jalan,
nama gedung yang dituju dan terakhir nomer apartemen atau alamat yang dikehendaki. 3
Contoh-contoh ini sekali lagi memberi gambaran tentang perbedaan cara pandang dan
pola pikir sekelompok masyarakat yang tinggal di satu negara dengan negara lain. Pada
gilirannya perbedaan tersebut akan mempengaruhi perbedaan prilaku dalam melakukan
aktifitas sehari-hari termasuk misalnya dalam mengelola organisasi4.
Dari penjelasan diatas, modul terakhir – modul 9 berupaya membahas beberapa
aspek prilaku organisasi lintas negara atau sering disebut juga sebagai prilaku organisasi
lintas budaya atau prilaku organisasi internasional. Disebut prilaku organisasi lintas
budaya karena dalam banyak hal perbedaan praktik prilaku organisasi disebabkan karena
662
perbedaan budaya khususnya budaya masyarakat. Oleh karena itu pada modul 9 akan
dibahas pengaruh budaya terhadap prilaku organisasi sebagai kegiatan belajar (KB) 1 dan
KB 2 membahas beberapa topik khusus seperti tim kerja lintas negara. Dengan selesainya
modul sembilan dengan demikian mahasiswa diharapkan bisa mempertimbangkan aspek
budaya sebagai salah satu varibel moderasi ketika hendak mempraktikkan teori dan
konsep prilaku organisasi
663
Kegiatan Belajar 1PENGARUH BUDAYA MASYARAKAT
TERHADAP PRAKTIK PRILAKU ORGANISASI
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, sejak awal tahun 1970an pelaku bisnis
lintas negara atau yang biasa dikenal sebagai perusahaan multinasional (MNC) tidak lagi
sekedar mengeksport produknya, tidak pula sekedar memiliki saham perusahaan di luar
negeri melalui Joint Venture atau aliansi strategis tetapi juga melakukan investasi
langsung (direct foreign invetment) ke negara lain. Yang dimaksud dengan investasi
langsung adalah mendirikan perusahaan di negara lain (biasa disebut anak perusahaan)
oleh sebuah perusahaan yang berlokasi di negara berbeda (biasa disebut sebagai
perusahaan induk). Secara manajerial, konsekuensi logisnya adalah perusahaan induk
(parent company) memiliki otoritas untuk mengelola seluruh sumberdaya yang
ditanamkannya (istilah umumnya adalah perusahaan induk melakukan active
management), termasuk didalamnya menetapkan strategi bisnis, menyusun perencanaan,
pengendalian, pengambilan keputusan manajerial dan semua pengelolaan sehari-hari
kegiatan perusahaan5.
Meski investasi langsung bertujuan agar pengelolaan sumber daya lebih efisien
dan dengan demikian memperoleh laba lebih baik, sayangnya tidak semua perusahaan
multinasional berhasil seperti harapan semula karena dalam praktik ternyata banyak
perusahaan multinasional yang gagal. Penyebab kegagalan perusahaan multinasional
mengoperasikan anak perusahaan di luar negeri salah satunya berkaitan dengan persoalan
manajemen dan prilaku manusia didalam organisasi. Pada umumnya perusahaan induk
disamping menempatkan orang-orangnya di perusahaan anak juga membawa serta pola
manajemen perusahaan induk. Asumsi yang biasa digunakan untuk membenarkan praktik
tersebut adalah orang-orang mereka telah berpengalaman dan pola manajemennya telah
berhasil diterapkan dengan baik di perusahaan induk. Sayangnya tidak semua asumsi
664
tersebut benar terutama karena adanya perbedaan budaya yang menyebabkan perbedaan
prikau manusia pada masing-masing negara. Oleh sebab itu pertimbangan budaya baik
budaya masyarakat atau budaya nasional harus menjadi prioritas manakala sebuah
peruusahaan beroperasi secara global. KB 1 mencoba membahas pengaruh perbedaan
budaya masyarakat terhadap prilaku organisasi dan prilaku kerja sebagai langkah awal
untuk memahami praktik-praktik prilaku organisasi lintas budaya. Dengan selesainya KB
organisasi tidak bisa diterapkan secara universal.
Manajemen dan organisasi lintas budayaDewasa ini batas negara sepertinya hanya menjadi batas wilayah sebuah negara tetapi
tidak lagi menjadi batas wilayah perekonomian sebuah negara. Para pelaku bisnis, entah
darimana asalnya, bisa dengan mudah keluar masuk sebuah negara untuk melakukan
kegiatan bisnis.dan mendulang keuntungan dari negara berbeda. Bukan hanya itu, mereka
bahkan secara simultan melakukan bisnis di beberapa negara berbeda dan dari sana pula
keuntungan lebih banyak diperoleh ketimbang keuntungan dari pasar domestik seperti
yang dialami Coca cola dan Pepsicola. Akibatnya kebutuhan akan global manager yang
memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan orang-orang dari negara berbeda
dengan budaya berbeda sangat dibutuhkan. Selain itu, praktik manajemen yang selama
ini menjadi andalan ketika perusahaan masih beroperasi pada lingkup domestik sudah
seharusnya berganti menjadi manajemen lintas budaya karena isu-isu yang dihadapi para
manajer jauh lebih kompleks – bukan hanya apek manajerial tetapi juga aspek kultural.
Dengan menerapkan manajemen lintas budaya yang dipimpin oleh manajer global berarti
perhatian para manajer bukan hanya tertuju pada isu-isu manajemen lokal tetapi juga
pada prilaku manusia lintas negara dan lintas budaya. Para manajer juga dituntut untuk
bisa membandingkan dan mengadaptasi prilaku organisasi lintas negara dan budaya, dan
yang lebih penting lagi para manajer harus memahami dan meningkatkan kemampuan
berinteraksi dengan teman kerja, manajer, eksekutif, klien, supplier, dan partner seantero
665
dunia. Walhasil, lingkup perhatian manajemen lintas budaya jauh lebih luas dan komplek
yang meliputi segala macam isu dalam skala internasional dan multikultural yang begitu
dinamis.
Uraian diatas secara tidak langsung menegaskan adanya perbedaan antara
organisasi berskala domestik dengan organisasi berskala global. Perbedaan ini ditentukan
oleh dua faktor utama yaitu: penyebaran wilayah geografis dan aspek multikutural.
Sebuah organisasi disebut sebagai organisasi global jika wilayah operasinya meliputi
berbagai negara secara bersamaan. Akibat luasnya jangkauan operasi ini, organisasi
global selalu dihadapkan pada masalah fluktuasi nilai tukar mata uang, biaya transportasi
dan komunikasi yang begitu besar, perbedaan aturan keuangan dan perpajakan, dan
perbedaan-perbedaan lain yang sangat kompleks yang dsebabkan karena jarak dan batas
negara.
Sementara itu, tidak kalah penting dari penyebaran wilayah geografis adalah
persoalan multikultur yang dihadapi organisasi global. Persoalan ini muncul karena para
karyawan dari berbagai latar belakang budaya yang berasal dari negara berbeda
berinteraksi setiap hari secara reguler. Konsekuensi logisnya adalah manajer yang
ditempatkan pada organisasi global, jika ingin berhasil, harus memiliki glabal mindset
sebagai landasan berpikir. Cara pikir ini menuntut para manajer untuk selalu berpikir
diluar batas negara dan menempatkan organisasi yang dipimpinnya sebagai entitas yang
berada ditengah-tengah kompleksitas multikultur yang kadang-kadang bertabrakan antara
satu budaya dengan budaya lain. Itulah sebabnya seorang manajer global juga dituntut
untuk secara kognitif membuat trade-off dan keputusan yang tepat diantara berbagai
kepentingan yang saling berlawanan.
Mengapa budaya berbeda? Pengertian budaya pertama kali dikemukakan oleh Edward Tylor. Tylor menyatakan
bahwa budaya adalah hasil karya manusia dalam kedudukannya sebagai anggota
666
masyarakat. Pengertian budaya seperti yang dikemukakan Edward B. Tylor adalah
sebagai berikut6:
"Culture or civilization is that complex whole which includes knowledges, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society"
(Kultur atau peradaban adalah kompleksitas menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan berbagai kapabilitas lainnya serta kebiasaan apa saja yang diperoleh seorang manusia sebagai bagian dari sebuah masyarakat)
atau seperti yang dikemukakan Bronislaw Malinowski7 berikut ini:
.....It (culture) obviously is the integral whole consisting of implements and consumers' goods, the constitutional charters for various social groupings, of human ideas and crafts, beliefs and customs
(kultur adalah keseluruhan kehidupan manusia yang integral yang terdiri dari berbagai peralatan dan barang-barang konsumen, berbagai peraturan untuk kehidupan masyarakat, ide-ide dan hasil karya manusia, keyakinan dan kebiasaan manusia).
Pengertian budaya yang semula bersifat generik seperti disebutkan diatas,
selanjutnya mulai bergeser sejalan dengan terjadinya evolusi kehidupan manusia yang
terus mengalami perkembangan. Dalam hal ini budaya tidak lagi dikaitkan semata-mata
dengan aspek kehidupan manusia secara umum tetapi mulai dikaitkan dengan manusia
sesuai dengan orientasi masing-masing kelompok. Pergeseran orientasi ini dapat dilihat
dari pengertian budaya seperti yang diberikan oleh Melville Herskovits8 sebagai berikut:
“……. is a construct describing the total body of belief, behavior, knowledge, sanctions, values, goals that make up the way of life of a people”
(budaya adalah sebuah kerangka pikir (construct) yang menjelaskan tentang keyakinan, prilaku, pengetahuan, kesepakatan-kesepakatan, nilai-nilai, tujuan yang kesemuanya itu membentuk pandangan hidup (way of life) sekelompok orang)
667
Pengertian budaya dalam disiplin antropologi seperti tersebut diatas menegaskan
bahwa budaya adalah fenomena dan milik kelompok. Skala sebuah kelompok bisa jadi
kecil seperti keluarga atau organisasi, atau berskala besar seperti negara dan masyarakat.
Tidak seperti modul 8 yang menjelaskan budaya dalam konteks organisasi, KB 1 ini
mendefinisikan budaya dalam konteks yang lebih luas yaitu negara atau masyarakat.
Asusmsi ini memberi arti, sesuai dengan definisi diatas, bahwa setiap masyarakat atau
negara memiliki oorientasi budaya berbeda. Seperti dikatakan oleh Nancy Adler9
orientasi kultural sebuah masyarakat merefleksikan interaksi yang sangat kompleks
antara nilai-nilai, sikap dan prilaku yang ditunjukkan oleh para anggota masyarakat.
Seperti tampak pada gambar 9.1, individu-individu anggota masyarakat mengekspresikan
budaya melalui nilai-nilai yang mereka yakini tentang kehidupan dan dunia di sekitarnya.
Selanjutnya nilai-nilai tersebut akan mempengaruhi cara mereka bersikap dan bentuk
prilaku yang dianggap tepat dan efektif pada situasi tertentu. Demikian sebaliknya
perubahan pola prilaku individu dan kelompok pada akhirnya akan mempengaruhi pula
budaya masyarakat. Proses ini akan terus bergulir tanpa henti meski prosesnya itu sendiri
kadang-kadang begitu lambat.
budaya
Nilai-nilaisikap
prilaku
668
Gambar 9.1 : Pengaruh budaya terhadap prilaku dan prilaku terhadap budaya
Untuk memperoleh gambaran lebih jauh tentang landasan filosofis mengapa
budaya setiap masyarakat berbeda, ada baiknya kita merujuk pada tulisan Kluckhohn and
Strodtbeck. Kluckhohn and Strodtbeck dalam bukunya Variation in value orientation10,
mengatakan:
“value orientations are complex but definitely patterned ( rank ordered) principles, resulting from the transactional interplay of three analytically distinguishable elements of the evaluative process – the cognitive, the affective, and the directive elements – which give order and direction to the ever-flowing stream of human acts and thoughts as these relate to the solution of common human problems”
“orientasi nilai adalah sesuatu yang kompleks yang secara definitif merupakan prinsip-prinsip yang terpola (berurutan) hasil dari saling peran antara tiga elemen proses evaluatif yang berbeda – elemen kognitif, afektif dan direktif, dimana ketiga elemen yang saling berinteraksi tersebut menjadikan cara bertindak dan cara berpikir seseorang dalam mengatasi masalah-masalah umum yang dihadapinya cenderung berurutan dan terarah”
Tercakup dari pemahaman tentang orientasi nilai seperti tersebut diatas, bisa
dikatakan bahwa masalah umum yang dihadapi seseorang atau sekelompok orang
sesungguhnya sangat komplek. Meski demikian masalah yang komplek tersebut bisa
ditata dan dibuat urutan sesuai dengan tingkat urgensinya. Itulah sebabnya masalah yang
tadinya begitu komplek akhirnya terkesan menjadi sangat terbatas. Kluckhohn and
Strodtbeck mengidentifikasi lima masalah umum yang dianggap mendesak yakni:
1. masalah yang berkaitan dengan karakter atau sifat dasar manusia
2. masalah yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan alam
3. masalah yang berkaitan dengan orientasi manusia terhadap ruang dan waktu
4. masalah yang berkaitan dengan orientasi manusia dalam menjalankan aktivitas
hidupnya
669
ISSUE VARIATIONSRELATION TO
NATURESubjugation to
natureHarmony
toNature
Mastery over
NaturePast Present
FutureBASIC HUMAN
NATURE Evil Neutral
Good
ACTIVITY Being Controlling
Doing
RELATIONSHIPS Hierarchical
Group
Individualistic
SPACE Private
Mixed Public
TIME ORIENTATION
5. masalah yang berkaitan dengan orientasi manusia dalam hubungannya dengan
manusia lain
Kluckhohn and Strodtbeck lebih lanjut mengatakan, karena masalah yang
dihadapi manusia sangat terbatas maka cara penyelesaiannya juga sama terbatasnya. Cara
penyelesaian tersebut sangat bergantung pada nilai-nilai yang dominan serta variasi dari
nilai-nilai tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di bagian baratdaya Amerika
Serikat, Kluckhohn and Strodtbeck menyimpulkan bahwa orientasi nilai seseorang atau
sekelompok orang bisa dibedakan menjadi 6 (enam) kategori dan masing-masing kategori
memiliki 3 macam variasi seperti tampak pada tabel 9.1.
Tabel 9.1Orientasi Nilai dan Variasinya
sumber : Kluckhohn and Strodtbeck
Seperti tampak pada tabel 9.1, isu-isu penting yang dihadapi seseorang atau
sekelompok orang bisa dibedakan menjadi 5 (lima) macam isu pokok atau 6 (enam) isu
670
jika isu yang berkaitan dengan ruang (space) dan waktu (time) dipisahkan. Setiap isu bisa
diselesaikan sesuai dengan nilai-nilai dominan yang diyakini kebenarannya oleh
seseorang atau sekelompok orang yang terdiri dari 3 (tiga) macam variasi nilai. Hal ini
bisa diartikan bahwa setiap isu hanya ada tiga kemungkinan cara penyelesaian. Dalam
kaitannya dengan hubungan manusia dengan alam misalnya, manusia pada dasarnya
memiliki preferensi yang sangat terbatas yakni: ada sekelompok manusia yang cenderung
pasrah terhadap alam, ada yang lebih memilih menyatu atau harmoni dengan alam dan
ada yang mencoba menguasai alam. Sebagai contoh, seandainya seorang pendiri atau
para pendiri organisasi dan jajaran manajemennya cenderung lebih condong ke harmoni
dengan alam maka dalam menjalankan kegiatannya mereka lebih memilih beradaptasi
dengan lingkungan ketimbang mencoba mengendalikan lingkungan seperti yang akan
terjadi bagi para pendiri dan jajaran manajemen yang orientasi nilainya mencoba
menguasai alam. Adaptasi dengan lingkungan dengan demikian merupakan asumsi dasar
yang dijadikan pedoman bagi organisasi tersebut dalam mengatasi persoalan-persoalan
organisasi termasuk didalamnya yang berhubungan dengan masalah lingkungan
organisasi. Dalam skala yang lebih luas masyarakat Indonesia misalnya cenderung pasrah
pada alam sedangkan amsyarakat Amerika cenderung ingin menguasai alam. Pada
persoalan yang sama misalnya gagal panen maka cara penyelesaian antara masyarakat
Indonesia bebrbeda dengan masyarakat Amerika. Bagi masyarakat Indonesia gagal panen
akan disekipai dengan pasrah karena dianggap semua itu karena kehendak Yang Kuasa.
Akan tetapi bai masyarakat Amerika, mereka harus tahu apa penyebab gagal panen dan
bagaimana agar di lain waktu tidak terjadi lagi.
Lane and DiStefano11 memberikan contoh (lihat tabel 9.2) bagaimana orientasi
nilai seseorang atau sekelompok orang dalam kaitannya dengan hubungan manusia
dengan alam mempengaruhi praktik-praktik manajemen. Lane and DiStefano dalam hal
ini mencontohkan dua praktik manajemen: penentuan tujuan organisasi (goal setting) dan
penyusunan anggaran (budgeting). Bagi sekelompok orang yang meyakini bahwa
hidupnya ditentukan oleh alam maka mereka akan menentukan tujuan secara samar-
671
samar dengan satu asumsi bahwa keberhasilan mereka mencapai tujuan tersebut sangat
bergantung pada pengaruh lingkungan terhadap eksistensi organisasi. Kalau kebetulan
lingkungan sedang kondusif untuk menjalankan aktifitas maka bukan tidak mungkin
tujuan tersebut bisa tercapai tetapi sebaliknya jika lingkungan sedang tidak mendukung
maka tidak tercapainya tujuan bukan suatu masalah yang perlu diributkan. Sedangkan
bagi sekelompok orang yang lebih memilih harmoni dengan alam akan selalu
memperhatikan kondisi lingkungan sebelum tujuan tersebut ditentukan. Artinya
kecocokan antara tujuan dengan lingkungannya menjadi prasyarat agar tujuan organisasi
bisa tercapai. Sebaliknya bagi sekelompok orang yang cenderung menguasai alam akan
secara spesifik dan tegas dalam menentukan tujuannya. Ketegasan ini didasarkan pada
keyakinan bahwa lingkungan bisa diatasi jika kita secara tegas pula menetapkan
keinginan atu tujuannya.
Tabel 9.2Variasi hubungan manusia dengan alam dan
implikasinya terhadap paktik-praktik manajemen
Issue Variasi nilai
Hubungan manusia dengan alam
Pasrah pada alam
Harmoni dengan alam Menguasai alam
Dampak manajerial
Aspek manajerial variasi
Penetapan tujuan Ragu-ragu, samar-samar
Kontingen, moderat Spesifik, konfiden, tidak ambigu
Penyusunan anggaran
Dianggapsia-sia
Yang riil adalah yang sesunggugnya
Riil, relevan dan memiliki nilai guna
672
Sumber : Lane and DiSteffano, halaman 31
Pengaruh perbedaan budaya terhadap prilaku kerjaSekarang sampailah pada pertanyaan pokok: bagaimana perbedaan budaya bisa
mempengaruhi prilaku organisasi dan prilaku kerja? Untuk menjawab pertanyaan ini
Andre Laurent12 – seorang professor dari INSEAD Prancis melakukan studi tentang
filosofi dan prilaku manajer di sembilan negara Eropa Barat, Amerika Serikat, dan tiga
negara Asia (Indonesia, Jepang dan Cina). Laurent misalnya mengajukan pernyataan
sebagai berikut: “Alasan utama hirarkhi organisasi adalah agar setiap orang tahu siapa
yang memiliki ototitas terhadap siapa”. Pernyataan ini ternyata di respon secara beragam.
83% manajer Indonesia setuju dengan penyataan tersebut sedangkan manajer Amerika
yang setuju hanya 17%. Temuan ini mneunjukkan bahwa manajer Indonesia lebih
berorientasi hubungan (relationship oreintation) sedangkan para manajer Amerika lebih
berorientasi tugas (task orientation). Implikasi dari temuan ini adalah manajer Amerika
barangkali akan mengalami kesulitan ketika bekerja di Indoesia karena masyarakat
Indonesia lebih mengedepankan orang sedangkan manajer Amerika lebih
mengedepankan tugas. Bagi masyarakat Indonesia yang penting siapa orangnya dulu
bukan tugasnya tetapi bagi masyarakat Amerika yang penting tugasnya telah dinyatakan
dengan jelas dan orangnya menyusul.
Tentang peran seorang manajer apakah dia sebagai seorang expert atau problem-
solver, Laurent mengajukan pernyataan: sangat penting bagi seorang manajer untuk
memberi jawaban yang pasti ketika anak buah mengajukan pertanyaan tentang pekerjaan
mereka. 73 % manajer Indonesia setuju dengan pernyataan tersebut yang artinya setiap
manajer harus memberi jawaban pasti kepada anak buahnya ketika ditanya sesuatu.
Manajer tidak boleh mengatakan tidak tahu atau merujuk kepada orang lain yang lebih
tahu. Jika melakukan hal itu maka seorang manajer dianggap tidak kompeten. Dengan
kata lain, manajer Indonesia lebih menempatkan diri sebagai seorang expert. Sementara
673
itu manajer Amerika hanya 18 % yang setuju yang menandakan bahwa mereka lebih
sebagai problem solver.
Temuan-temuan diatas tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Hofstede yang
sangat fenomenal tentang sikap kerja dalam lingkup perbedaaan budaya. Hasil temuan
Hofstede belakang dikenal dengan istilah budaya nasional. Hasil penelitian Hofstede
dituangkan dalam sebuah buku berjudul “culture consequences: International differences
in work related values” yang diterbitkan pada tahun 1980 dan buku dan atau artikel lain
sesudahnya. Hofstede boleh jadi bukan orang pertama yang menggunakan istilah budaya
nasional karena embrio konsep tersebut sudah diperkenalkan oleh penulis sebelumnya
seperti Haire, Ghiselli and Porter13. Namun dalam berbagai literatur, khususnya yang
mengkaji aspek kehidupan dan kegiatan manusia lintas budaya (nasional), tulisan-tulisan
Hofstede hampir selalu menjadi rujukan utama dibandingkan misalnya dengan karya-
karya Trompenaars14 meski keduanya sesungguhnya melakukan kajian yang sama yakni
budaya nasional. Dalam melakukan kajian tersebut, keduanya juga menggunakan basis
atau konsep dasar yang sama yakni konsep nilai yang dikemukakan Kluckhohn and
Strodtbeck yang tertuang dalam buku “Variation in value orientation”. Namun sekali lagi
konsep yang dikembangkan oleh Hofstede lebih banyak digunakan termasuk uraian pada
bab ini juga lebih banyak menggunakan konsepnya Hofstede.
Hofstede memberikan pengertian budaya nasional sebagai budaya yang tumbuh
dan berkembang didalam masyarakat yang tinggal di sebuah wilayah (negara). Pengertian
ini menunjukkan bahwa sekelompok orang (masyarakat) yang tinggal di sebuah negara
dianggap memiliki kesamaan-kesamaan dan tujuan publik yang sama. Oleh karenanya
didalam masyarakat tersebut tumbuh dan berkembang sebuah budaya yang disebut
budaya nasional.
Dimensi-dimensi budaya nasionalUntuk sampai pada kesimpulan bahwa budaya nasional adalah budaya yang tumbuh dan
berkembang dalam sebuah negara, Hofstede terlebih dahulu melakukan penelitian yang
674
melibatkan tidak kurang dari 117.000 responden yang tersebar pada 40 negara. Hofstede
sendiri pada mulanya tidak bermaksud meneliti budaya nasional tetapi lebih kepada nilai-
nilai yang berkaitan dengan pekerjaan (work related values) dengan objek penelitian
perusahaan multi nasional IBM dan anak-anak perusahaannya yang tersebar di seluruh
dunia (pada awalnya hanya melibatkan perusahaan IBM di 40 negara tetapi kemudian
diperluas menjadi 50 negara dan 3 region) dan respondennya karyawan perusahaan
tersebut. Namun dari hasil penelitian ini kemudian muncul istilah budaya nasional.
Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode survey dimana para
responden diminta mengisi kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Isi dari
kuesioner antara lain berbagai aspek tentang pengalaman kerja dan nilai-nilai kerja.
Karena tujuan Hofstede dalam penelitian ini adalah untuk membandingkan
perbedaan tata nilai para pekerja di suatu negara dengan tata nilai para pekerja di negara
lain maka besaran sampel penelitian bukannya 117.000 ribu melainkan 40 negara. Atau
dengan kata lain, level of analysis yang digunakan dalam penelitian ini adalah negara.
Meski demikian skor rata-rata yang digunakan untuk membedakan tata nilai tersebut
didasarkan pada rata-rata nilai yang diperoleh pada masing-masing negara. Dari hasil
olah data yang dilakukan dua kali yakni tahun 1967 dan tahun 1973, didukung analisis
statistik yang begitu kompleks dan dibarengi penggunaan analisis faktor seperti umur,
jenis kelamin dan jenis-jenis pekerjaan, hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan
nilai-nilai kerja salah satunya disebabkan karena perbedaan budaya pada masing-masing
negara (budaya nasional).
Secara umum perbedaan nilai-nilai kerja tersebut dibedakan menjadi 4 dimensi
yakni “power distance – jarak kekuasaan”, “individualism – collectivism”, “masculinity –
femininity” dan “uncertainty avoidance – mengindari ketidak-menentuan.” Belakangan,
berdasarkan penelitian lanjutan tentang sistem nilai masyarakat keturunan Cina (Chinese
Value Survey) yang dilakukan oleh Hofstede and Bond15, ditemukan satu dimensi baru
yaitu “short-term – long term orientation.”
675
Tabel 9.3 memberikan gambaran tentang kuesioner dan respon yang diberikan
oleh para responden. Sementara itu hasil skor dan ranking untuk masing-masing
negara/region dapat dilihat pada tabel 9.4.
Tabel 9.3Cuplikan Kuesioner dan Jawabannya
Value Item pertanyaan Respon
Power distance
Uncertainty avoidance
Individualism
Femininity
Masculinity
Seberapa sering, dalam pengalaman saudara, persoalan-persoalan berikut ini muncul: takut untuk menyampaikan ketidaksetujuannya kepada para manajer?
Aturan-aturan perusahaan tidak boleh dilanggar walaupun karyawan yakin bahwa pelanggaran tersebut sesungguhnya demi kepentingan perusahaan
Sampai kapan saudara akan bekerja pada perusahaan ini?
Bagi saudara, seberapa penting memiliki pekerjaan yang memberi waktu yang cukup untuk kehidupan personal dan keluarga saudara?
Bagi saudara, seberapa penting memliki keleluasaan untuk menyelesaikan pekerjaan?
Bagi saudara, seberapa penting memiliki hubungan kerja yang baik dengan manajer atasan?
Bagi saudara, seberapa penting bekerja dengan orang-orang yang bisa bekerja sama satu sama lain?
Bagi saudara, seberapa penting memperoleh kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi?
Bagi saudara, seberapa penting memperoleh pengakuan orang lain ketika bekerja dengan baik?
(sangat sering)
(sangat setuju)
(sampai pensiun)
(sangat penting)
(sangat penting)
(sangat penting)
(sangat penting)
(sangat penting)
(sangat penting)
676
Tabel 9.4Skor untuk Masing-masing Dimensi
Negara/regionPower distance Uncertainty
avoidance Individualism Masculinity
Ranking Index Ranking Index Ranking Index Ranking Index
Afrika SelatanArgentinaAustraliaAustriaBelgiaBrasilCanadaChileColombiaCosta RicaDenmarkEl SalvadorEcuadorFinlandiaGuatemalaHong KongIndonesiaInggrisIndiaIranIrlandiaIsraelItaliaJamaicaJepangJerman (Barat)Korea (Selatan)MalaysiaMexicoNetherlandsNorwegiaNew ZealandPakistanPanamaPerancisPeruPhilippinesPortugal
SingaporeSpanyolSwediaSwissTaiwanThailandTurkiUSAUruguayVenezuelaYugoslaviaYunaniWilayah Afrika TimurWilayah Afrika BaratWilayah Jazirah Arab
1331
47-4845
29-3021-2318-19
3826
5 - 612
27-2821-2310-11
7
745731345864664061817660647780
5310-1549-50
332630
16-17434
21-2281363427
8862958696485461007688112525427
39-4120
10-111444
39-412812950
33-3530
33-3539-4126-27
205171681720379136122735272038
2837-38
524-5
32-3344
31-3315423
48-4918-19
3930-31
23
48425704534456238732157414653
Power Distance
Power distance didefinisikan sebagai “the extent to which the less powerful members of
institutions and organization within a country expect and accept that power is distributed
unequally – sejauhmana anggota-anggota biasa (yang tidak memiliki kekuasaan) sebuah
institusi dan atau organisasi berharap dan mau menerima kenyataan bahwa kekuasaan
tidak didistribusikan secara merata”. Yang dimaksud dengan institusi disini adalah
elemen-elemen utama sebuah masyarakat seperti keluarga, sekolah dan komunitas.
Sedangkan organisasi adalah tempat seseorang melakukan pekerjaan.
Berdasarkan definisi ini, dengan demikian power distance merupakan dimensi
budaya nasional yang mengungkap jarak hubungan (tingkat ketidak-setaraan) antara
bawahan dengan atasan, antara seseorang dengan status sosial lebih rendah dengan
seseorang yang memiliki status sosial lebih tinggi, dan atau antara orang yang tidak
memiliki kekuasaan dengan orang yang berkuasa. Oleh Hofstede, ketidak-setaraan
hubungan tersebut dibedakan menjadi dua yaitu large power distance dan small power
distance.
678
Large power distance. Dalam batas-batas tertentu ada sekelompok masyarakat yang
menyadari bahwa dirinya adalah orang kecil, tidak memiliki wewenang, tidak memiliki
kekuasaan, dan tidak memiliki pengaruh sehingga menyerahkan segala urusan yang
menyangkut nasib dirinya dan kelompoknya kepada orang lain yang dianggap memiliki
apa yang mereka tidak miliki yakni menyerahkannya kepada orang yang memiliki
kedudukan dan berkuasa. Oleh karenanya mereka rela diberi petunjuk, diarahkan
diperintah dan bahkan dimarahi sekalipun. Arahan, petunjuk dan perintah dari para
penguasa kepada orang yang tidak memiliki kekuasaan merupakan sesuatu yang sangat
dinanti dan diharapkan. Kelompok masyarakat ini hampir tidak pernah mengeluh kepada
atasan karena dianggap tidak patut. Keluhan, kalau itu terjadi hanya terbatas pada
kalangan mereka sendiri. Demikian juga, kalaulah mereka terpaksa – atas keinginan
orang yang berkuasa, harus menyampaikan pendapat, kegundahan atau unek-uneknya,
biasanya diiringi dengan sebuah perkataan “yah……inilah unek-unek orang kecil yang
tidak bisa berbuat apa-apa”. Kecendurangan lain dari kelompok masyarakat ini adalah
suka memberi hormat yang berlebihan kepada orang-orang yang memiliki kedudukan
sehingga orang yang memiliki kedudukan tersebut seolah-olah seperti raja yang tidak
pernah berbuat salah. Jika mereka (orang yang dihormati) melakukan kesalahan,
dianggap hal yang lumrah. Sebaliknya jika orang kecil (yang tidak memiliki kekuasaan)
berbuat salah lebih disebabkan karenanya kebodohannya. Demikian juga ketika orang
yang tidak berkuasa terkena amarah dari yang berkuasa, dianggap karena nasib sedang
jelek.
Gambaran diatas menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki kekuasaan
cenderung bergantung kepada orang yang memiliki kekuasaan. Hubungan mereka
memiliki jarak yang cukup lebar dan hirarkhis namun dianggap sesuatu yang normal.
Setiap kelompok, baik yang tidak memiliki kekuasaan maupun yang berkuasa, menyadari
bahwa kedudukan masing-masing berbeda sehingga seolah-olah peran mereka juga
berbeda. Kekuasaan hanya milik orang tertentu yang memiliki kedudukan sehingga
679
distribusinya kepada orang yang tidak berkuasa sangat bergantung kepada kemurahan
hati para penguasa.
Small power distance. Sementara itu kelompok masyarakat yang memiliki
kecenderungan sebaliknya disebut masyarakat yang memiliki jarak kekuasaan yang
sempit (small power distance). Karena jarak hubungan yang relatif sempit maka
kedudukan antara orang yang tidak memiliki kekuasaan dengan orang yang berkuasa
relatif setara. Tidak seperti large power distance dimana tingkat ketergantungan orang
yang tidak memiliki kekuasaan kepada yang memiliki kekuasaan begitu tinggi, pada
small power distance tingkat ketergantungan mereka cenderung rendah, sekali lagi karena
mereka merasa hubungan antar keduanya adalah setara. Atau dengan kata lain, pada
masyarakat small power distance baik kelompok yang berkuasa maupun tidak berkuasa
sesungguhnya saling tergantung. Oleh karenanya bagi orang berkuasa tidak bisa sesuka
hati memonopoli kekuasaan dan mendistribusikan kekuasaannya hanya kepada orang-
orang yang disukainya, sebaliknya kekuasaan cenderung didistribusikan secara lebih
merata.
Diantara negara-negara yang masuk dalam kelompok large power distance dan
small power distance dapat dilhat pada tabel 9.5. Sementara itu manifestasi dari
masyarakat large dan small power distance baik yang terjadi didalam keluarga, lembaga
pendidikan, di tempat kerja maupun di pemerintahan, dapat dilihat pada tabel 9.6
Tabel 9.5Negara-negara yang masuk dalam large dan small power distance
Large power distance Small power distance
1. Malaysia2. Guatemala3. Philippines4. Mexico
1. Austria2. Israel3. Denmark4. New Zealand5. Rep. Irlandia
680
5. Venezuela6. Negara-negara Arab7. Equador8. Indonesia9. India10. Afrika Barat
6. Swedia7. Norwegia8. Jerman9. Swiss10. Amerika Serikat
Tabel 9.6Perbedaan antara masyarakat dengan large dan small power distance
Small power distance Large power distance
KARAKTERISTIK UMUM
1. Ketidaksetaraan diantara anggota masyarakat harus terjadi pada skala yang kecil (sangat minimal)
2. Terjadi saling kebergantungan antara orang yang tidak memiliki kekuasaan dengan orang yang memiliki kekuasaan
DALAM KELUARGA
1. Orang tua memperlakukan anak-anaknya dengan kedudukan setara
2. Anak-anak memperlakukan orang tuanya dengan kedudukan setara
DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH
1. Guru adalah seorang expert yang mentransfer kebenaran
2. Murid-murid memperlakukan guru dengan kedudukan setara
3. Orang-orang yang berpendidikan cenderung tidak otoriter ketimbang yang kurang berpendidikan
KARAKTERISTIK UMUM
1. Ketidaksetaraan diantara anggota masyarakat merupakan hal yang wajar bahkan sangat diharapkan,
2. Orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan sangat bergantung pada orang-orang yang memiliki kekuasaan
DALAM KELUARGA
1. Orang tua mengajari anak-anaknya untuk patuh
2. Anak-anak memperlakukan orang tuanya dengan hormat
DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH
1. Di kelas seorang guru diharapkan mengambil inisiatif untuk seluruh kegiatan
2. Guru tidak mentransfer kebenaran tetapi kearifan pribadi
3. Murid-murid memperlakukan guru dengan hormat
4. Baik orang-orang yang berpendidikan maupun yang kurang pendidikannya cenderung otoriter.
681
DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI
1. Hirarkhi organisasi sekedar untuk membedakan peran masing-masing dan untuk kemudahan semata
2. Desentralisasi sangat disukai3. Perbedaan gaji antara top level dengan low
level manajemen sangat kecil4. Anak buah biasa berharap untuk diajak
konsultasi dalam pengambilan keputusan
DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI
1. Hirarkhi organisasi menunjukkan secara riil perbedaan kedudukan antara level atas dengan level bawah
2. Organisasi cenderung sentralistik3. Perbedaan gaji antara pimpinan puncak
dengan bawahan cukup tinggi4. Bawahan berharap untuk diberi tahu apa
yang seharusnya dikerjakan.
Individualism vs. Collectivism
Jika pada dimensi pertama, perbedaan antara satu negara dengan negara lain, secara
kultural, disebabkan karena perbedaan tingkat kesetaraan masyarakat yakni apakah
masyarakat di negara tersebut cenderung tidak setara (memiliki jarak kekuasaan yang
tinggi) atau sebaliknya, pada dimensi kedua, negara akan diidentifikasi melalui struktur
sosialnya yakni apakah masyarakat yang tinggal di negara tersebut cenderung lebih
individual atau kolektif.
Hofstede memberikan pengertian masyarakat yang individual dan kolektif
sebagai berikut:
“Individualism pertains to societies in which the ties between individuals are loose; every is expected to look after himself or herself and his or her immidiate family. Collectivism as its opposite pertains to societies in which people from birth onwards are integrated into strong, cohesive ingroups, which throughout people’s lifetime continue to protect them in exchange for unquestioning loyalty”
“istilah individualism berkaitan dengan masyarakat dimana hubungan antar individual begitu renggang; setiap orang lebih peduli pada dirinya dan keluarga dekatnya. Sementara itu istilah collectivism, kebalikan dari individualism, berkaitan dengan masyarakat dimana seseorang sejak didilahirkan merupakan bagian integral dari kelompok masyarakat
682
Definisi diatas menunjukkan bahwa masyarakat sesungguhnya memiliki struktur
sosial yang berbeda. Ada sekelompok masyarakat yang cenderung lebih individual,
sementara kelompok masyarakat yang lain lebih kolektif. Perbedaan antara masyarakat
individualism dan collectivism ini tidak saja terjadi pada masyarakat tradisional tetapi
juga pada masyarakat modern, bahkan berbeda antara masyarakat yang tinggal di satu
negara dengan negara lain. Gambaran perbedaan struktur sosial yang secara tradisional
terjadi antara masyarakat kota dan masyarakat desa yang merefleksikan perbedaan antara
masyarakat individualism dan collectivism dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Di kalangan masyarakat desa (biasanya cenderung lebih kolektif) misalnya ada
sebuah pepatah yang sangat populer yakni “sedekat-dekat saudara kandung namun
tinggal di tempat jauh tetap masih lebih dekat tetangga”. Pepatah ini menggambarkan
kedekatan hubungan sosial antar warga masyarakat dan sekaligus menunjukkan pula
betapa pentingnya peran seorang tetangga dalam kehidupan masyarakat desa. Di desa,
hampir tidak mungkin seorang warga tidak membutuhkan dan tidak bergantung kepada
tetangga (warga lain) karena hampir setiap urusan yang melibatkan banyak orang, mulai
dari hajatan pernikahan, kenduri sampai pada upacara kematian pasti melibatkan
tetangga. Dalam hal bantu membantu, para tetangga biasanya melakukannya dengan suka
rela dengan satu pertimbangan mereka suatu ketika juga membutuhkan bantuan tetangga
yang lain. Itulah sebabnya mereka berupaya menjaga hubungan baik (harmoni) diantara
sesama warga. Bahkan hubungan baik antar warga bisa membuahkan sentimen seolah-
olah mereka merupakan sebuah keluarga besar yang memiliki tali persaudaraan.
Sebagai sebuah keluarga besar yang saling bergantung, dengan demikian seorang
warga atau anggota masyarakat tidak bisa mengutamakan kepentingan dirinya atau
keluarganya diatas kepentingan masyarakat. Bahkan dalam batas-batas tertentu hak-hak
individu terkadang harus dikorbankan demi kepentingan masyarakat banyak. Hal ini
misalnya sangat dirasakan betul ketika ada persoalan yang melibatkan antar warga.
Hampir semua persoalan tersebut diselesaikan bersama secara kekeluargaan misalnya
melalui musyawarah, rembug desa, atau melalui acara-acara informal seperti kenduri dan
683
upacara-upacara lain. Yang lebih penting lagi adalah semua persoalan tersebut
diputuskan dengan mengacu pada norma prilaku masyarakat yang secara konvensional
mereka bangun bersama. Dengan demikian norma prilaku masyarakat menjadi elemen
penting dalam bermasyarakat yang harus dipatuhi semua warga dan diharapkan bisa
melindungi semua warga sebagai imbalan atas loyalitas warga kepada masyarakat.
Berbeda dengan kehidupan pedesaan yang begitu akrab, komunal dan kolektif
dimana struktur sosial berpusat pada masyarakat banyak (extended family), masyarakat
perkotaan biasanya memiliki tata nilai yang sangat kontras. Antar sesama warga meski
tempat tinggal mereka berdampingan, terkadang tidak saling mengenal. Apalagi silsilah
keluarga dan pekerjaan bahkan nama tetangga sekalipun terkadang mereka tidak tahu.
Jika di pedesaan saling memberi nasehat merupakan hal yang lumrah bahkan sangat
dibutuhkan, di perkotaan memberi nasehat kepada warga lain yang bukan kerabat
dekatnya atau orang tersebut tidak memintanya bisa berakibat fatal karena dianggap ikut
campur dalam urusan keluarga lain. Oleh karenanya seorang warga biasanya tidak perduli
dengan persoalan-persoalan yang terjadi di tetangga sebelah. Ketidak-pedualian mereka
terhadap tetangga tersebut bukan berarti mereka tidak acuh tetapi lebih bertujuan agar ia
tidak dianggap menganggu privacy kehidupan mereka.
Dari gambaran kehidupan sosial masyarakat perkotaan bisa dikatakan bahwa
struktur sosial kehidupan masyarakat kota tidak berpusat pada masyarakat banyak seperti
pada kehidupan desa, melainkan pada masing-masing individu dan keluarga dekatnya.
Kalaulah di masyarakat tersebut ada aturan yang mengatur kehidupan mereka, peraturan
itu sebatas aturan formal untuk menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak tidak
diinginkan. Walhasil masyarakat perkotaan cenderung lebih indiviual dibanding
masyarkat desa.
Karena masyarakat yang lebih individual biasanya menempatkan dirinya dan
keluarga dekatnya sebagai pusat kehidupan dalam bermasyarkat maka interaksi antar
individu dalam masyarakat biasanya sangat renggang kecuali dengan orang-orang yang
sudah dikenalnya. Meski masyarakat yang demikian lebih perduli terhadap dirinya, pada
684
saat yang sama mereka juga sangat menghormati hak-hak individual orang lain dengan
satu harapan orang lain juga menghormati hak-hak individualnya.
Kehidupan yang kontras antara masyarakat yang begitu komunal/kolektif dengan
masyarakat yang sangat individual sesungguhnya tidak hanya terjadi antara masyarakat
desa dengan masyarakat kota saja tetapi secara umum juga bisa terjadi antara masyarakat
yang tinggal di satu negara dengan negara lain. Meski satu wilayah negara kehidupan
masyarakatnya begitu dinamika dimana setiap orang atau setiap kelompok memiliki
pengalaman hidup dan gaya hidup yang beragam, bahkan seperti digambarkan diatas ada
perbedaan kecenderungan antara masyarakat desa dengan masyarakat kota, namun secara
umum ada negara yang masyarakatnya cenderung lebih individual dan sebaliknya ada
negara lain yang masyarkatnya cenderung lebih kolektif. Perbedaan kecenderungan ini
tidak lain merupakan cerminan perbedaan budaya dan tata nilai masing-masing negara.
Negara-negara yang masyarakatnya cenderung lebih individual dan lebih kolektif
dapat dilihat pada tabel 9.7. Sementara itu tabel 9.8 menggambarkan bentuk manifestasi
dari masyarakat yang cenderung lebih individual dan kolektif baik pada kehidupan rumah
tangga, tempat pendidikan, tempat kerja maupun di pemerintahan.
Tabel 9.7Negara-negara yang masuk dalam individualism dan collectivism
Invidualism Collectivism
1. USA2. Australia3. Inggris Raya4. Canada5. Netherlands6. New Zealand7. Italia8. Belgia9. Denmark10. Swedia
Tabel 9.8Perbedaan antara masyarakat yang cenderung lebih individual dan lebih kolektif
Individualism Collectivism
SECARA UMUM
1. Identitas diri seseorang melekat pada diri orang tersebut.
2. Setiap orang tumbuh dan berkembang untuk bisa menjadi diri sendiri dan melindungi dirinya dan keluarga dekatnya.
DALAM KELUARGA
1. Anak-anak diajari untuk berpikir “siapa saya”.
2. Mengemukakan pendapatnya merupakan karakteristik orang bijak.
3. Berbuat kesalahan merugikan diri sendiri dan harga dirinya.
DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH
1. Pendidikan ditujukan agar seseorang bisa memilki kapasitas untuk belajar (learning to learn)
2. Memiliki ijazah/diploma berarti meningkatkan kesejahteraan ekonomik dan atau harga diri
SECARA UMUM
1. Identitas diri seseorang melekat pada kelompok/masyarakat dimana orang tersebut menjadi bagiannya.
2. Setiap orang dilahirkan sebagai penerus keluarga dan kelompoknya. Sebagai konsekuensi, keluarga dan kelompok tersebut berusaha melindunginya sebagai imbalan atas loyalitas orang tersebut.
DALAM KELUARGA
1. Anak-anak diajari untuk berpikir “siapa kita”
2. Harmoni harus selalu dijaga dan konfrontasi langsung harus dihindarkan
3. Berbuat kesalahan merupakan perbuatan yang memalukan dan menjadikan diri sendiri dan kelompoknya kehilangan muka.
DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH
1. Pendidikan ditujukan agar seseorang bisa belajar mengerjakan sesuatu (learning to do)
2. Memiliki ijazah/diploma merupakan entry point untuk menigkatkan status seseorang didalam kelompoknya.
686
DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI
1. Hubungan kerja antara majikan dan karyawan merupakan hubungan yang didasarkan pada kontrak dan saling menguntungkan kedua belah pihak.
2. Keputusan untuk merekrut dan mempromosikan seseorang semata-mata didasarkan pada kemapuan dan aturan yang berlaku.
3. Manajemen lebih ditekankan pada manajemen individual
4. Tugas yang harus dikerjakan lebih penting ketimbang memperhatikan hubungan antar manusia
DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI
1. Hubungan kerja antara majikan dan karyawan memiliki ikatan moral layaknya dalam sebuah keluarga
2. Keputusan untuk merekrut dan mempromosikan seseorang melibatkan anggota kelompoknya.
3. Manajemen lebih ditekankan pada manajemen kelompok
4. Hubungan antar manausia lebih penting ketimbang tugas pekerjaan.
Uncertainty avoidance
Setiap orang hampir pasti menyadari bahwa masa datang merupakan sesuatu yang tidak
diketahui (unkown), tidak bisa diprediksi (unpredictable) dan tidak menentu/tidak pasti
(uncertain). Meski kesadaran mereka sama, reaksi masing-masing individu terhadap
ketidak-tahuan dan ketidak-pastian tersebut ternyata bermacam-macam. Ada yang
beranggapan bahwa ketidak-pastian itu bagian dari hidup yang tidak perlu dicemaskan.
Toleransi mereka terhadap ketidak-pastian dengan demikian sangat tinggi. Akibatnya
kelompok orang ini tidak menganggap perlu untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu
yang bertujuan hanya sekedar untuk menghindari ketidak-pastian. Sebaliknya, ada juga
sekelompok orang yang sama sekali tidak toleran dan merasa sangat takut terhadap
ketidak-pastian. Mereka menganggap ketidak-pastian merupakan sebuah ancaman dan
oleh karenanya perlu diupayakan dan diantisipasi sedini mungkin tindakan
pencegahannya agar kelak tidak terjadi hal-hal buruk. Bagi mereka serba pasti merupakan
kenyamanan hidup.
Toleransi yang berbeda terhadap ketidak-pastian menunjukkan bahwa rekasi
terhadap ketidak-pastian (uncertainty) sesungguhnya sangat subyektif dan tidak sama
antara satu orang dengan orang lain. Karena bersifat subyektif, reaksi tersebut sangat
687
bergantung pada pengalaman, tata nilai dan kepribadian masing-masing orang. Namun
jika subyektifitas ini juga dituturkan dan diajarkan kepada banyak orang melalui institusi
formal maupun informal boleh jadi reaksi yang pada awalnya subyektif lama kelamaan
bisa menjadi reaksi bersama. Artinya rekasi terhadap ketidak-pastian juga bersifat
kultural. Berdasarkan alasan ini temuan Hofstede menunjukkan bahwa upaya
menghindari ketidak-pastian / ketidak-menentuan (uncertainty avoidance) merupakan
salah satu dimensi budaya nasional. Hofstede16 selanjutnya mendefinisikan upaya
menghindari ketidak-pastian / ketidak-menentuan (uncertainty avoidance) sebagai “the
extent to which the members of a culture feel threatened by uncertain or unknown
situation” – sejauh mana anggota masyarakat merasa terancam oleh situasi yang tidak
menentu atau tidak diketahui sebelumnya.
Definisi diatas menunjukkan bahwa reaksi yang timbul akibat situasi yang tidak
menentu bergantung pada sejauh mana seseorang / sekelompok orang merasa terancam.
Semakin seseorang / sekelompok orang merasa terancam oleh situasi yang tidak menentu
semakin ia bereaksi untuk mengindarinya. Sebaliknya, reaksi untuk menghindari ketidak-
pastian relatif rendah jika mereka tidak memiliki perasaan terancam. Dengan demikian
uncertainty avoidance merupakan dimensi budaya nasional yang menjelaskan toleransi
atau tingkat keterancaman seseorang atau masyarakat terhadap situasi yang tidak
menentu dan reaksinya terhadap situasi tersebut. Secara umum uncertainty avoidance
dibedakan menjadi dua yakni strong uncertainty avoidance dan weak uncertainty
avoidance.
Strong uncertainty avoidance. Yang dimaksud dengan strong uncertainty avoidance
adalah toleransi yang relatif rendah terhadap situasi ketidak-pastian. Rendahnya toleransi
ini mendorong munculnya upaya-upaya yang sangat kuat untuk mengindarinya. Sebagai
contoh, bagi beberapa orang atau beberapa kelompok orang pemutusan hubungan kerja
(PHK) merupakan sebuah ancaman. Bagi mereka PHK adalah pertanda tidak adanya
kepastian masa depan. Oleh karenanya PHK seringkali disikapi dengan sebuah tindakan
688
(bahkan tindakan bersama) misalnya dalam bentuk rame-rame melakukan unjuk rasa
dengan satu tujuan memperjuangkan agar para karyawan tidak diPHK. Dimata mereka
PHK adalah salah satu bentuk ancaman yang harus dihindari sehingga apapun caranya
mereka tempuh. Selain tindakan bersama seperti contoh diatas, pada umumnya upaya
menghindari dan mengendalikan ketidak-pastian bisa dilakukan melalui tiga cara yaitu
menciptakan teknologi, membuat peraturan hukum dan kembali ke agama. Teknologi
biasanya digunakan untuk mengindari ketidak pastian yang berhubungan dengan alam.
Peraturan hukum digunakan untuk mengendalikan prilaku manusia sedangkan agama
merupakan alat transendental untuk kemanan masa datang.
Weak uncertainty avoidance. Jika masyarakat dengan strong uncertainty avoidance
cenderung berupaya untuk menghindari ketidak pastian, sebaliknya masyarakat dengan
weak uncertainty avoidance cenderung toleran terhadap ketidak-pastian. Tingginya
toleransi masyarakat weak uncertainty avoidance menunjukkan bahwa ketidak-pastian
bukan sebuah ancaman. Dalam kasus PHK seperti disebutkan diatas, kelompok orang ini
beranggapan bahwa PHK meski menimbulkan ketidak-pastian merupakan kejadian yang
wajar sehingga tidak perlu diributkan. Mereka barangkali beranggapan bahwa bangrutnya
sebuah perusahaan yang mengakibatkan PHK bisa terjadi dimana-mana dan kali ini
kebetulan menimpa mereka.
Tabel 9.9 memberi gambaran tentang beberapa contoh negara yang tergolong
kedalam kelompok strong dan weak uncertainty avoidance. Sementara itu manifestasi
dari strong dan weak uncertainty avoidance baik yang terjadi didalam keluarga, lembaga
pendidikan, tempat kerja maupun di pemerintahan, dapat dilihat pada tabel 9.10 berikut
ini
Tabel 9.9Negara-negara yang masuk dalam Strong dan Weak Uncertainty Avodance
1. Ketidakpastian dianggap sebagai ancaman sehingga harus diperangi
2. Prilaku agresif dan emosional pada waktu-waktu tertentu dianggap lumrah
3. Hanya resiko yang moderat yang bisa diterima sedangkan resiko besar sangat dihindari demikian juga situasi yang ambigu
DALAM KELUARGA
1. Orang tua menerapkan peraturan yang ketat kepada anak-anaknya terhadap apa yang dianggap kotor dan tabu
2. Perbedaan merupakan hal yang membahayakan
DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH
SECARA UMUM
1. Ketidakpastian merupakan hal yang normal dalam hidup yang harus diterima apa adanya
2. Seseorang tidak perlu menunjukkan prilaku agresif dan emosional
3. Terbiasa berhadapan dengan resiko dan situasi yang ambigu
DALAM KELUARGA
1. Orang tua tidak begitu menerapkan peraturan yang ketat terhadap apa yang dianggap kotor dan tabu
2. Perbedaan justru bisa menarik perhatian
DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH
690
1. Seorang guru harus bisa menjawab semua pertanyaan murid-muridnya
2. Murid-murid lebih menyukai situasi belajar yang terstruktur dan berupaya menjawab pertanyaan secara benar
DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI
1. Secara emosional, ada kebutuhan akan peraturan meski peraturan tersebut kadang tidak bisa jalan.
2. Waktu adalah uang3. Ada kebutuhan secara emosional untuk
tampak sibuk dan ada dorongan dari dalam untuk kerja keras
4. Presisi dan tepat waktu dianggap sebagai sesuatu yang bersifat alami
5. Ada tekanan untuk tidak menyimpang baik dalam ide-ide maupun prilaku. Akibatnya tingkat resistensi dalam inovasi relatif tinggi.
6. Motivasi akan tercipta jika seseorang merasa aman dan memliki self esteem atau rasa memiliki
1. Kepada murid-muridnya, seorang guru boleh mengatakan “saya tidak tahu”
2. Murid-murid lebih menyukai situasi belajar terbuka dan diskusi untuk memecahkan persoalan
DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI
1. Jika tidak perlu, peraturan sebaiknya dihindarkan.
2. Waktu adalah rerangka agar seseorang bisa melakukan orientasi.
3. Pada saat sedang malas, ada kebutuhan akan perasaan nyaman dan kerja keras hanya perlu saat dibutuhkan.
4. Presisi dan tepat waktu adalah sesuatu yang harus dibiasakan.
5. Toleransi terhadap penyimpangan cukup tinggi baik dalam ide-ide maupun prilaku.
6. Motivasi akan tercipta jika seseorang ingin mencapai sesuatu atau memiliki self esteem dan rasa memiliki.
Masculinity dan Femininity
Meski dewasa ini banyak bermunculan organisasi-organisasi nir-laba (LSM) yang
menyuarakan persamaan hak kaum wanita namun harus diakui bahwa kaum wanita
dalam batas-batas tertentu berbeda dengan kaum pria. Secara biologis pria biasanya lebih
kekar dibandingkan seorang wanita atau sebaliknya, seorang wanita biasanya lebih lemah
gemulai. Postur tubuh kaum pria biasanya juga lebih tinggi. Di sisi lain wanita biasanya
lebih cepat pulih dari kelelahan karena metabolisme wanita lebih cepat ketimbang pria.
Disamping perbedaan secara biologis, pria dan wanita juga berbeda secara behavioral.
Wanita biasanya lebih feminin – lebih peduli, sensitif, statis, dan lebih perhatian serta
691
lebih ngemong. Sedangkan pria lebih maskulin – lebih kompetitif, macho, dinamik dan
lebih asertif. Meski kecenderungan ini berlaku umum, bukan berarti tidak ada wanita
yang lebih kekar atau lebih tinggi dari pria, atau tidak ada pria yang lebih lemah gemulai.
Demikian juga bukan berarti tidak ada pria yang lebih feminin atau sebaliknya wanita
lebih maskulin. Pengecualian pasti terjadi namun kecenderung umum seperti tersebut
diatas tampaknya tidak bisa dielakkan.
Perbedaan antara pria dan wanita bahkan bisa dikatakan bersifat kodrati atau
alami utamanya jika ditilik dari kedudukan masing-masing dalam hal regenerasi. Secara
kodrati yang memiliki fungsi regenerasi adalah wanita karena hanya kaum wanita yang
bisa hamil dan melahirkan anak, demikian juga hanya kaum wanita yang menyusui anak-
anaknya. Semuanya itu tidak bisa dilakukan oleh kaum pria. Dengan kata lain, pria dan
wanita sesungguhnya memiliki perbedaan peran jender.
Akibat dari perbedaan peran jender seperti digambarkan diatas, peran masing-
masing dalam kehidupan sosial kemasyarakatan juga berbeda. Namun harus diakui pula
bahwa peran tersebut tidak semata-mata ditentukan oleh perbedaan biologis atau
keprilakuan saja tetapi juga ditentukan oleh tata nilai masyarakat yang berangkutan.
Sebagai gambaran, setiap masyarakat pasti mengakui bahwa beberapa prilaku tertentu
lebih cocok untuk kaum wanita dan prilaku lainnya lebih cocok kaum pria. Akibatnya
pekerjaan atau profesi tertentu dianggap lebih cocok untuk dikerjakan kaum pria,
sementara pekerjaan/profesi lainnya dianggap lebih cocok untuk dikerjakan kaum wanita.
Persoalannya sekarang adalah prilaku mana yang cocok untuk pekerjaan apa sangat
bergantung pada preferensi masyarakat yang bersumber pada tata nilai mereka. Atau
dengan kata lain, perbedaan tata nilai masyarakat pada akhirnya berakibat pada
perbedaan preferensi mereka terhadap prilaku anggota masyarakatnya. Sebagai contoh, di
Indonesia guru Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) cenderung didominasi
oleh guru wanita karena wanita dianggap lebih mempunyai kemampuan untuk ngemong
anak-anak ketimbang guru pria. Sebaliknya pada level pendidikan tinggi, staff dosen
lebih didominasi kaum pria karena pekerjaan pada level ini dianggap lebih kompetitif dan
692
menantang. Selain itu, di Indonesia jumlah dokter gigi lebih banyak wanita dibanding
pria. Demikian juga meski di Indonesia jumlah kaum wanita sedikit lebih banyak
dibanding pria, jumlah anggota dewan legislatif masih didominasi pria.
Karena preferensi dan tata nilai masyarakat berbeda maka pekerjaan-pekerjaan
yang di Indonesia didominasi oleh kaum pria belum tentu di negara lain juga didominasi
kaum pria, demikian sebaliknya. Di Pakistan misalnya, juru ketik lebih didominasi kaum
pria, demikian juga kaum pria mendomiasi pekerjaan perawat di Belanda. Seperti halnya
di Indonesia, di Belgia dokter gigi di dominasi kaum wanita. Sementara itu manajer
berjenis kelamin wanita sangat banyak ditemui di Filipina dan Thailand tetapi sangat
jarang atau hampir tidak ada di Jepang.
Semua contoh diatas menunjukkan perbedaan preferensi masyarakat terhadap
peran jender. Namun terlepas dari semua perbedaan tersebut distribusi peran jender
memiliki kecenderungan yang sama yakni kaum pria cenderung dituntut untuk
menunjukkan prestasinya melalui aktivitas diluar rumah sedangkan kaum wanita dituntut
untuk melakukan aktivitasnya di seputar rumah. Tuntutan tersebut berakibat pada prilaku
kaum pria yang cenderung asertif, kompetitif, tegas dan macho. Sementara kaum wanita
lebih dituntut untuk berprilaku sebaliknya yakni memberi perhatian dan memelihara
anak-anak serta menjalin hubungan antar manusia lebih baik. Bagi kaum wanita tuntutan
seperti ini sangat wajar karena kaum wanita, sebagai orang yang memiliki kemampuan
untuk memberi keturunan, cenderung tinggal di rumah lebih lama paling tidak selama
hamil, melahirkan dan menyusui. Perbedaan pola prilaku ini digambarkan dalam sebuah
falsafah Cina yang sangat populer yakni “Yin dan Yang.” Yin merepresentasikan kaum
wanita yang berorientasi kedalam dan lebih statis sedangkan Yang merepresentasikan
kaum pria yang berorientasi keluar dan lebih dinamis. Meski keduanya berbeda tetapi
saling membutuhkan.
Jika dalam sebuah keluarga – katakan seorang Bapak dan Ibu secara konsisten
membagi peran masing-masing seperti digambarkan diatas yakni Bapak lebih
berorientasi keluar dan Ibu lebih berorientasi kedalam maka sangat tidak mengherankan
693
jika pola pikir ini akan merembes dan tertularkan kepada pola pikir anak-anak mereka
sehingga secara berturut-turut pola pikir tersebut boleh jadi menjadi pola pikir
masyarakat umum.
Berdasarkan uraian diatas, bisa dikatakan bahwa budaya yang berkembang pada
masyarakat pada umumnya dan masyarakat yang tinggal di satu wilayah negara bisa
dilihat dari perbedaan peran jender yang direpresentasikan oleh tingkat masculinity dan
femininity masyarakat tersebut. Dalam hal ini istilah masculinity seperti dikatakan oleh
Hofstede berkaitan dengan pola pikir masyarakat yang membedakan secara tegas peran
jender dimana kaum pria diharapkan lebih asertif, kompetitif, tegas dan macho,
sementara kaum wanita diharapkan lebih lunak, memperhatikan kualitas hidup, memberi
perhatian pada anak-anak dan keluarga serta lebih peduli. Sementara itu yang dimaksud
dengan femininity adalah pola pikir masyarakat yang tidak secara tegas membedakan
peran masing-masing jender dimana baik pria maupun wanita dituntut kompetitif namun
di saat yang sama juga diharapkan kooperatif; keduanya dituntut lebih tegas namun juga
harus bisa negemong. Demikian seterusnya.
Negara-negara yang masyarakatnya masuk dalam kelompok masculinity dan
femininity dapat dilihat pada tabel 9.11 Sementara itu bentuk manifestasi dari masculinity
dan femininity dalam kehidupan keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja maupun di
pemerintahan, dapat dilihat pada tabel 9.12.
Tabel 9.11Negara-negara yang masuk dalam Masculinity dan Femininity
Masculine Feminine
1. Jepang2. Austria3. Venezuela4. Italia5. Swiss
1. Swedia2. Norwegia3. Belanda4. Denmark5. Costa Rica6. Yugoslavia
694
6. Meksiko7. Republik Irlandia8. Jamaika9. Inggris Raya10. Jerman
7. Finlandia8. Cili9. Thailand10. Guatemala
Tabel 9.12Perbedaan antara masyarakat yang Masculine dan Feminine
Masculine Feminine
SECARA UMUM
1. Nilai-nilai masyarakat yang sangat dominan adalah keberhasilan dan kemajuan ekonomi
2. Uang dan harta benda lainnya dianggap sangat penting
3. Seorang pria diharapkan sebagai orang yang asertif, ambisius dan tegas
4. Seorang wanita diharapkan sebagai orang yang sensitif, mencintai dan ngemong
DALAM KELUARGA
1. Dalam kehidupan keluarga, seorang Bapak yang banyak berhubungan dengan fakta dan realita, sedang Ibu dengan perasaan.
2. Anak laki-laki tidak boleh mengangis, hanya anak perempuan yang boleh. Jika anak laki-laki diserang hanya mempertahankan diri dan menyerang balik, sedang anak perempuan tidak boleh.
3. Lebih bersimpati kepada orang yang kuat
DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH
1. Seorang murid harus menjadi yang paling pandai di sekolah
SECARA UMUM
1. Nilai-nilai masyarakat yang sangat dominan adalah peduli dan menjaga hubungan dengan orang lain
2. Manusia jauh lebih penting ketimbang harta benda, demikian juga hubungan baik antar manusia
3. Setiap orang diharapkan berprilaku wajar4. Baik laki-laki maupun perempuan
diharapkan memiliki peran yang sama
DALAM KELUARGA
1. Dalam keluarga, baik bapak maupun ibu diharapkan lebih memperhatikan fakta sekaligus perasaan.
2. Baik anak laki-laki maupun perumpuan boleh menangis tetapi tidak boleh bertengkar.
3. Lebih bersimpati kepada orang yang lemah
DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH
1. Di kelas, norma yang berlaku adalah seorang siswa harus setara dengan yang
695
2. Gagal dalam sekolah berarti bencana.3. Guru akan memberi apresiasi kepada anak
yang paling brilian4. Anak laki-laki dan anak perempuan harus
memilih bidang keahlian yang berbeda.
DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI
1. Orang hidup untuk kerja2. Manajer diharapkan seorang yang tegas
dalam pengambilan keputusan dan asertif.3. Menekankan pentingnya harta milik,
kompetisi dan kinerja4. Cara menyelesaikan konflik dengan adu
argumentasi
lain2. Gagal dalam sekolah hanyalah kecelakaan
kecil3. Persahabatan sejati akan memperoleh
apresiasi4. Baik siswa laki-laki dan perempuan
mengambil bidang studi yang sama
DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI
1. Orang bekerja agar bisa hidup2. Manajer adalah orang yang intiuitif dan
mengambil keputusan berdasarkan konsensus
3. Menekankan pentingnya kesetaraan, solidaritas, kualitas kehidupan kerja
4. Cara menyelesaikan konflik dengan kompromi dan negosiasi
Short-term vs Long-term Orientation
Dimensi terakhir atau dimensi kelima adalah short-term vs long-term orientation. Sesuai
dengan namanya, pada dimensi ini masyarakat dibedakan berdasarkan orientasi mereka
terhadap waktu yakni masyarakat yang berorientasi jangka pendek dan masyarakat yang
berorientasi jangka panjang. Pada mulanya Hofstede tidak memasukkan short-term vs
long-term orientation sebagai dimensi budaya nasional. Short-term vs long-term
orientation baru diakui sebagai dimensi budaya nasional setelah Michael Bond, seorang
warga negara Canada yang sejak tahun 1971 tinggal dan bekerja di Timur Jauh serta
banyak berinteraksi dengan masyarakat Cina, melakukan penelitian dengan
menggunakan model penelitian seperti yang telah dilakukan oleh Milton Rockeah yang
dikenal sebagai Rockeah Value Survey (RVS). Jika Rockeah mengidentifikasi nilai-nilai
manusia berdasarkan dua kriteria umum yaitu nilai tujuan dan nilai alat, Michael Bond
mengidentifikasi nilai-nilai manusia berdasarkan hasil derivasi ajaran Confucius. Nilai-
nilai ini didapat setelah Michael Bond berdialog dengan beberapa ilmuan sosial Hong
696
Kong dan Taiwan. Dari hasil dialog tersebut ditemukan 40 tata nilai yang berasal ajaran
Confucius seperti tampak pada tabel 9.13 berikut ini.
Tabel 9.13Tata Nilai yang Berasal dari Ajaran Confucius
Nilai-nilai confucius Deskripsi
1. Xiao2. Qinlao3. Rongren4. Suihe5. Qianxu6. Zhongyu shangci7. Liyi8. Li shang wang lai9. Renai (Xu, renqing)10. Xueshi11. Tuanjie12. Zhongyong zhidao13. Xiuyang14. Zun bei you xu15. Zhenyigan16. Ein wei bing shi17. Bu zhong jing zheng18. Wenzhing19. Lianjie20. Ai guo21. Chengken22. Qinggao23. Jian24. Naili25. Naixin26. Baoen yu baochue
27. Wenchua youyuegan28. Shiying huanjing29. Xiaoxin30. Xinyong31. Zhi chi32. You limao33. An fen shou ji
Patuh, menghormati pada orang tua, menghormati leluhurKerja kerasToleransi kepada orang lainRukun/harmoni dengan orang lainBersahajaLoyal kepada atasanMenjaga tatacara adatSaling memberi salam dan hadiahBaik hati dan pemaafBerpengetahuanSolidaritas terhadap orang lainTidak menonjolkan diriKemampuan diri untuk memanen hasilMenata dan menjaga hubungan berdasarkan status seseorangBermoralOtoritas yang berpihak pada orang lainNon-kompetitifKeseriusan dan stabilitas personalTidak korupPatriotismeTulusTidak pamrihHematTeguhSabarMembayar kembali kepada orang lain terlepas yang dilakukan orang lain tersebut baik atau jahatMemiliki superioritas budayaMemilki daya adaptasiBerhati-hatiDapat dipercayaMemiliki rasa maluRasa hormatTantangan hidup
KonservatifMelindungi harga diriKedekatan dalam pertemananKesucian bagi seorang wanitaMemilki banyak tujuanMenghormati tradisiKesejahteraan
Keempatpuluh tata nilai diatas dijadikan instrumen penelitian yang belakangan dikenal
sebagai Chinese Value Survey (CVS). Dengan menggunakan skala Likert 1 – 9, Bond
menyebar kuisioner kepada responden terpilih yakni 100 orang mahasiswa S1 (50 pria
dan 50 wanita). Karena keseratus responden tersebut tersebar di 22 negara maka CVS
harus diterjemahkan dari bahasa Cina ke bahasa Inggris dan 8 bahasa lain yang sesuai.
Setelah melalui berbagai uji statistik dan analisis faktor, disimpulkan bahwa masyarakat
yang berorientasi jangka pendek memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan masyarakat yang
berorientasi jangka panjang seperti tampak pada tabel 9.14 berikut ini.
Table 9.14Short-term vs. Long-term orientation
Short-term orientation Long-term orientation
1. Menghormati tradisi
2. Menghormati tanggungjawab dan status sosial tanpa memperhatikan biaya yang harus dikeluarkannya
3. Tekanan untuk menjaga hubungan baik dengan teman walaupun harus menambah biaya
4. Hanya sedikit uang untuk investasi5. Mengharapkan hasil yang cepat
1. Mengadaptasikan tradisi ke dalam konteks modernisme
2. Menghormati status sosial dalam batas-batas yang wajar
3. Hemat
4. Menyediakan cukup dana untuk investasi5. Tidak buru-buru untuk segera memperoleh
hasil
698
6. Memerhatikan harga diri
7. Memperhatikan proses untuk mencari kebenaran
6. Memiliki kemauan untuk menjadi tampak kecil dalam rangka memperoleh hasil yang besar
7. Lebih menekankan dan menghormati syarat-syarat untuk memperoleh kebajikan
LATIHANUntuk memperdalam pemahaman saudara mengenai materi diatas, silakan saudara
kerjakan latihan berikut ini.
1. Dalam banyak kasus sering terjadi perusahaan yang telah berhasil menerapkan
pola manajemen dan praktik prilaku organisasi di negara asal tetapi gagal
menerapkannya di perusahaan anak yang berlokasi di negara lain. Apakah
kegagalan ini disebabkan karena konsep manajemen dan prilaku organisasinya
yang keliru? Jelaskan
2. Mengapa budaya berbeda dan apa pengaruhnya terhadap prilaku kerja? Jelaskan
3. Jelaskan dimensi-dimensi budaya nasional menurut teorinya Hofstede!
Petunjuk jawaban latihan
1. Jawabannya tegas, tidak. Di Indonesia banyak dijumpai perusahaan asing seperti
Exxon Mobile, Vico, Beyond Petrolium (BP), PetroChina untuk perusahaan-
perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan, dan P&G dan Unilever untuk
barang-barang konsumen dan masing banyak lagi perusahaan-perusahaan lain
yang dikategorikan Perusahaan Multinasional. Sebelum beroperasi di Indonesia
tentunya sudah beroperasi di negara asal dan berhasil. Meski demikian ketika
menjalankan bisnisnya di Indonesia perusahaan-perusahaan tersebut tidak serta
merta menggunakan pola manajemen dan prilaku organisasi yang sama seperti di
negara asal. Alasannya bukan karena pola manajemennya keliru tetapi karena
pola manajemen praktik prilaku organisasi tersebut tidak cocok untuk diterapkan
699
di Indonesia yang memiliki budaya berbeda. Boleh jadi prinsip-prinsipnya sama
tetapi penerapannya harus disesuaikan dengan budaya setempat.
2. Budaya masyarakat sesungguhnya tidak lepas dari orientasi nilai masyarakat
tersebut. Masing-masing masyarakat mempunyai orientasi nilai yang berbeda.
Sebagai contoh, ketika berhadapan dengan isu lingkungan alam, sekelompok
masyarakat cenderung lebih pasrah pada alam; kelompok yang lain memilih
berharmoni dengan alam dan kelompok yang lain lagi bahkan cenderung ingin
menguasai alam. Kecenderungan seperti ini pada umumnya tidak terjadi hanya
dalam waktu pendek tetapi berlangsung dalam waktu lama dan persisten. Itulah
sebabnya cara berpikir masyarakat tertentu berbeda dengan cara berpikir
masyarakat lainnya yang berakibat budaya merekapun berbeda. Akibat dari
perbedaan tersebut misalnya masyarakat Indonesia cenderung memilih struktur
organisasi yang layer nya tinggi berjenjang ketimbang masyarakat Amerika
karena masyarakat Indonesia lebih berorientasi hubungan dibandingkan
amsyarakat Amerika yang berorientasi tugas.
3. Hofstede bisa dikatakan orang pertama yang mencoba menjelaskan budaya
masyarakat atau lebih tepatnya budaya nasional berdasarkan dimensi-dimensi
budaya. Pengelompokan ini berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa
negara dengan sampel kurang lebih 117.000 responden. Hasilnya menunjukkan
bahwa budaya nasional bisa dibedakan menjadi 4 dimensi yaitu: masyarakat yang
individualis vs. masyarakat collective; masyarakat yang mempunyai power
distance tinggi vs. amsyarakat yang mempunyai power distance rendah;
masyarakat yang sangat menhindari uncertainty avoidance dan masayrakat yang
bisa menerima ancertainty avoidance, dan masyarakat yang masculine vs.
masyarakat yang feminine. Beberapa tahun kemudian, Hofstede menambahkan
satu dimensi lagi yaitu masyarakat yang berorientasi jangka pendek vs.
masyarakat yang berorientasi jangka panjang.
700
RINGKASANPada dasarnya level analisis KB 1 adalah diluar organisasi (extra organizatioanl) yang
mencoba memahami implikasi dari faktor lingkungan terhadap praktik prilaku organsiasi.
Oleh karena itu, topik-topik penting yang dibahas dalam KB 1 meliputi: manajemen dan
organisasi lintas budaya; pertaanyaan mengapa budaya berbeda; pengaruh perbedaan
budaya terhadap prilaku kerja; dan erakhir dimensi-dimensi budaya nasional. Semua
pokok bahasan tersebut kemudian dirangkum dalam bentuk ringkasan sebagai berikut:
1. Meski prinsip manajemen dan organisasi dalam batas-batas tertentu bersifat
universal, tetapi operasionalisasinya menyesaikan dengan budaya setempat.
Akibatnya tidak setiap prinsip manajemen dan organisasi bisa diterapkan secara
generik.
2. Setiap masyarakat bisa dikatakan memiliki budaya yang khas yang berbeda
dengan budaya masyarakat lain. Perbedaan ini disebabkan karena orientasi nilai
masing-masing masyarakat berbeda.
3. Akibat dari perbedaan budaya masyarakat, praktik prilaku organisasi menjadi
pada masyarakat berbeda. Boleh jadi prinsipnya sama karena prinisp-prinsip
tersebut telah diuji secara akademik, namun praktiknya sekali lagi berbeda.
Indonesia misalnya memiliki kecenderungan menggunakan struktur organisasi
yang tinggi dibandingkan organisasi di Amerika.
4. Seperti dikemukakan Hofstede, budaya nasional bisa dibedakan berdasarkan
dimensi-dimensi budaya. Dimensi-dimensi budaya tersebut adalah: individualism
vs. collectivism; large power distance vs. small power distance; high uncertainty
avoidance vs. low uncertainty avoidance; masculinity vs. femininity; dan short
term orientation vs. long term orientation.
TES FORMATIF 1
701
HONDA MOTOR COMPANY
Nobuhiko Kawamoto, CEO Honda Motor Company merasa risau terhadap keterlambatan dan kesalahan dalam memasuki pasar van, mobil sport dan truk kecil di pasar Amerika. Keterlambatan dan kesalahan ini jika ditelusuri lebih jauh mungkin disebabkan karena persoalan-persoalan perusahaan yang ada dikantor pusat. Sementara penjualan cukup tinggi dan laba yang diperolehnya menyebabkan perusahaan menempati posisi nomer 24 diantara perusahaan besar didunia, Kawamoto merasa bahwa Honda sedang menderita sakit, umumnya sakit yang dialami oleh perusahaan besar yakni perusahaan menjadi stagnant. Olaeh sebab itu Kawamoto merasa bahwa semangat pengambilan keputusan yang bebas, tidak berdasar hirarki dan menggunakan pola brainstorming baik terhadap isu-isu aktual maupun masalah-masalah baru, perlu dihidupkan kembali. Dia juga merasa bahwa kelahiran kembali perusahaan dianggap perlu jika perusahaan, khususnya, anak perusahaan Honda di Amerika hendak meningkatkan tanggung jawabnya terhadap masalah-masalah lingkungan, energi dan keselamatan karyawan. Dengan cara ini, baik perusahaan Honda Amerika maupun induk perusahaannya di Jepang akan memperoleh posisi pasar yang lebih baik.
Kawamoto, seorang insinyur yang dulunya bekerja di departemen R&D Honda, diangkat sebagai CEO pada tahun 1990 sebagai bagian dari tiga serangkai dalam pimpinan puncak perusahaan yang terdiri dari Kawamoto, mantan kepala manufacturing Honda Amerika, dan Direktur Pemasaran. Penunjukkan ini sejalan dengan gaya manajemen yang diterapkan perusahaan dalam hal pengambilan keputusan. Pola seperti ini sudah diterapkan perusahaan sejak pengunduran diri pendiri Honda – Soichiro Honda pada tahun 1973.
Kawamoto sedang menunggu hasil perkembangan dari gaya manajemen Honda Amerika sebagai model perubahan gaya manajemen Honda di Kantor Pusat Jepang. Meski pasar Jepang menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan, Honda menempati posisi pasar urutan keempat di Amerika setelah Chrysler. Menurut Hideo Sugiura, mantan CEO Honda, keberhasilan pasar Amerika tersebut tidak lepas dari kebijakan lokalisasi yang terdiri dari produk, produksi, laba dan manajemen. Menurut Sugiura, agar perusahaan global betul-betul berhasil maka ia harus bisa menciptakan budaya perusahaan yang menggabungkan dua perbedaan budaya. Dalam hal ini, Honda harus bisa menggabungkan model pengambilan keputusan yang cepat ala Amerika dengan model pengambilan keputusan demokratik ala Jepang. Di Honda
702
Amerika, mulai dari Presiden Direktur sampai ke Tukang Sapu memakai seragam yang sama yakni Kemeja Putih, dan pada saat yang sama para desainer dan insinyur otomotif didorong untuk mempertahankan sikap individuality mereka sebagai kekuatan budaya Amerika.
Hal yang menarik dari perubahan ini – mulanya diterapkan di Amerika kemudian dan sekarang juga di Kantor Pusat Jepang, adalah mereka dalam menerapkan gaya manaje-men pada dasarnya mengikuti pola yang dikembangkan oleh pendiri Honda – Seichiro Honda. Honda tergolong ornag yang tidak konvensional dalam kaca mata orang-orang Jepang. Meski membuat keputusannya sendiri, Dia memberi kepercayaan kepada kolega-nya untuk merekrut para expertise dari berbagai disiplin ilmu yang mendorong ter-bentuknya semangat individualism. Itulah yang dikatakan oleh Sugiura bahwa semangat tersebut sejak tahun 1990 di hidupkan kembali
Dengan menggunakan istilah kebijakan lokalisasi berarti bahwa manajemen Honda Amerika berasal dari penduduk negara tersebut. Hanya satu dua pimpinan puncak yang berasal dari Jepang, selebihnya orang Amerika. Meski demikian, para eksekutif Honda mengharapkan para manajer Amerika memahami budaya dan gaya manajemen Jepang. Demikian juga para manajer Amerika diharapkan menerapkan beberapa kebijakan Perusahaan Induk seperti: pengambilan keputusan berdasarkan konsensus di semua level manajemen, menggunakan seragam yang sama dan pusat kegiatan diatur sedemikian rupa agar tugas-tugas bisa di shared diantara anggota team.
Selain itu, para manajer Jepang yang ditugaskan di Amerika juga diharapkan memahami pola dan budaya Amerika. Salah satu kebijakan lokalisasi adalah melakukan reinvestasi dari laba yang diperolehnya bukan saja pada pabrik, ekuipmen, biaya-biaya pemasaran, tetapi juga pada masyarakat dan komunita setempat. Oleh karena itu para manajer (Jepang) harus aktif dalam kehidupan mansyarakat setempat dan memberi donasi pada yayasan-yayasan dan organisasi sosial setempat.
Manajemen Honda Amerika merasa bahwa kebijakan lokalisasi membantu perusahaan dalam mengadaptasi perubahan pasar Amerika yang terjadi pada tahun 1990an. Untuk pertama kali sejak perusahaan ini memasuki pasar Amerika, Honda mengalami per-tumbuhan yang terus meningkat. Meski Honda Amerika masih menunjukkan profita-bilitasnya (pada saat yang sama Tiga Besar Perusahaan Automotif Amerika mengalami kerugian sebesar 3 milyar dolar),
703
masih ada beberapa ribu produksi Honda dari pabrik Ohio yang tidak dapat terjual. Untuk mengatasi hal ini kebijakan Honda tidak meng-gunakan model konsensus seperti model Jepang melainkan menggunakan strategi pemasaran yang biasa di gunakan di Amerika yaitu memberi rabat pada mobil yang tingkat penjualannya kurang baik. Hasilnya peningkatan penjualan yang luar biasa.
Model manajemen diatas akhirnya tidak saja diterapkan pada aspek pemasaran, tetapi juga pada bidang-bidang lain pada semua level manajemen. Pekerja harian juga di-harapkan lebih fleksibel dalam bekerja dan dituntut untuk belajar mengerjakan tugas-tugas lain sehingga mereka bisa mengerjakan tugas-tugas lain tidak seperti serikat kerja di Tiga besar perusahaan Amreika yang bidang tugasnya sangat spesifik. Disamping itu, para pekerja juga untuk untuk memenuhi standar kualitas dan produktifitas yang diterapkan Kantor Pusat Jepang.
Pekerja harian juga diijinkan untuk membentuk team kerja untuk membantu tugas mereka menmenuhi standar kualitas dan produktifitas. Hal yang sama, manajer Jepang dan Amerika diijinkan dan diharapkan membentuk kerja team untuk membuat dan meng-implementasikan pengambilan keputusan mengenai peraturan dan prosedur kerja di lingkungannya. Sebagai hasilnya, semangat kerja di Pabrik Ohio meningkat. Ketika serikat kerja United Auto Workers (UAW) berupaya membuat serikat kerja di pabrik ini, usualnnya ditolak oleh para pekerja pabrik meski ada klaim bahwa para pekerja pabrik Ohio gajinya lebih kecil ketimbang pekerja pabrik-pabrik lain.
Honda Amerika juga pada level tertentu, sepakat untuk merekrut karyawan yang berasal dari etnik minoritas. Perusahaan ini juga menyetujui proposal yang mengusulkan agar para pekerja wanita memperoleh kesempatan promosi yang sama dengan rekan pria, dan memperoleh gaji sesuai dengan jenis dan beban kerjanya.
Dari apa yang telah dilakukan Honda Amerika, yang terjadi adalah meski perusahaan terus berupaya untuk menggabungkan dua budaya yang berbeda seperti yang diharapkan oleh Sugiura, tampaknya Honda Amerika masih jauh dari keinginan untuk memenuhi standard Amerika. Meski demikian, masih ada sedikit argumen bahwa Honda Amerika telah berhasil dalam operasinya.
Pertanyaan yang menyelimuti Kawamoto adalah apakah model penggabungan budaya yang diterapkan Honda Amerika dapat dieksport ke Kantor Pusat Jepang. Dengan mengeksport model ini diharapkan Kantor Pusat dapat kembali
704
mengembangkan semangat individualisme dan entrepreneurshipnya yang sudah terbukti dapat berjalan ketika Honda dipimpin oleh Pendirinya. Disisi lain Kawamoto juga resah bahwa lambannya pengambilan keputusan di Kantor Pusat menyebabkan Honda Amerika masih kalah bersaing dengan The Big Three – Tiga Besar Industri otomotif Amerika.
705
Kegiatan Belajar 2PRAKTIK PRILAKU ORGANISASI DALAM
KERAGAMAN BUDAYA MASYARAKAT
Uraian pada KB 1 menjelaskan pengaruh budaya terhadap prilaku organisasi yang titik
beratnya pada identifikasi perbedaan budaya nasional. Dengan memahami budaya
nasional berarti seorang manajer bagaimana seharusnya mereka beraksi dengan partner
dan rekan kerja dengan latar belakang budaya berbeda. Namun kembali pertanyaannya
adalah ketika sebuah perusahaan sudah menjadi perusahaan multinasional, apakah masih
perlu mempersoalkan perbedaan budaya mengingat dunia bisnis hanya mengenal satu
bahasa – laba? Pertanyaan ini tentunya harus disikapi secara hati-hati karena masih
adanya silang pendapat tentang keuntungan dan kerugian mempertimbangkan aspek
kultural dalam kegiatan bisnis lintas negara dan lintas budaya. Oleh karena itu pada KB 2
ini akan dibahas keuntungan dan kerugian keragaman budaya dan strategi mengelola
keragaman budaya. Selain kedua topik pembuka tersebut akan didiskusikan pula dua
topik lainnya sebagai representasi praktik prilaku organisasi lintas budaya.
Dengan selesainya KB 2 mahasiswa sangat diharapkan bisa memahami bahwa
prilaku organisasi tidak bebas nilai sehingga manakala mahasiswa mengimplementasikan
konsep tersebut dalam dalam dunia nyata bisa secara bijak mempertimbangkan faktor
kontekstual khususnya budaya masyarakat.
Keragaman budaya: keuntungan dan kerugianKetika anda ditanya apakah pernah melihat budaya? Jawabannya pasti belum atau tidak
pernah. Tetapi ketika ditanya kembali apakah anda pernah merasakan bahwa budaya
benar-benar eksis? Jawabannya bisa mendua – bisa ya bisa tidak. Ketika anda hidup di
lingkungan tempat anda dibesarkan sejak kanak-kanak sampai dewasa, anda mungkin
706
telah terkondisikan dengan lingkungan tersebut sehingga tidak merasakan kehadiran
sosok budaya. Jika telah terinternaslisasi, budaya akan menjadi bagian dari hidup anda
sehingga kehadirannya tidak pernah dirasakan dan dipersoalkan. Akibatnya, anda sulit
menggambarkan sesungguhnya budaya itu seperti apa. Semuanya seolah-olah berjalan
secara linier sampai suatu ketika ada orang asing yang berprilaku tidak seperti pada
umumnya masyarakat setempat berprilaku. Saat itu barulah anda merasakan adanya dua
prilaku dan dua budaya berbeda. Hal yang sama juga terjadi ketika anda misalnya baru
pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Filipina. Seketika mungkin anda akan
merasakan keanehan. Cara masyarakat Filipina berprilaku jika dibandingkan dengan
kebiasaan masayarakat yang telah anda kenal sebelumnya berpilaku sangat berbeda.
Perasaan aneh itulah bagian dari pengakuan akan eksistensi perbedaan budaya.
Gambaran diatas mempertegas eksistensi perbedaan budaya – meski tidak bisa
dilihat tetapi bisa dirasakan. Sekarang, seandainya anda seorang manajer dan ditempatkan
di sebuah negara yang sebelumnya tidak anda kenal, dan anda harus bekerjasama dengan
manajer lokal serta memimpin sekian banyak karyawan lokal yang prilaku dan
budayanya sama sekali berbeda dengan pengalaman anda sebelumnya, mungkin anda
akan mengalami apa yang disebut kejutan budaya (culture shock). Di saat yang sama,
sebagai seorang manajer, anda sesungguhnya memiliki kapasitas dan kekuasaan untuk
merubah semua itu jika sekiranya prilaku dan budaya setempat tidak sejalan dengan
kepentingan organisasi yang anda pimpin. Pertanyaannya sekarang adalah apakah anda
akan menutup mata atau sebaliknya mengakui adanya perbedaan budaya?
Pertanyaan ini memang sulit dijawab, namun jika anda seperti pada umumnya
manajer Amerika yang cenderung melihat orang lain sebagai individu bukan sebagai
bagian dari kelompok atau masyarakat, anda akan menutup mata terhadap perbedaan
budaya (culture blind). Pada umumnya manajer Amerika tidak pernah mempersoalkan
jenis kelamin, ras atau etnik. Bagi mereka, seorang karyawan harus preofesional, sejalan
dengan kepentingan organisasi. Kalaulah mereka melihat perbedaan budaya, tetap saja
tidak mau melihatnya, atau paling tidak, tidak berusaha melihatnya. Semua orang
707
dianggap sama, memiliki kebutuhan dan aspirasi yang sama. Sayangnya pendekatan ini
tidak selamanya menguntungkan. Menutup mata terhadap perbedaan budaya justru akan
merugikan diri sendiri karena dengan menutup mata berarti seorang manajer membatasi
kemampuan dirinya untuk mengambil keuntungan dari keragaman tersebut. Seorang
manajer tidak bisa meminimalkan masalah yang disebabkan keragaman budaya dan atau
memaksimalkan keuntungan potensial yang ditawarkan keragaman budaya.
Pandangan kedua adalah mengakui eksistensi perbedaan budaya. Para manajer
mengakui perbedaan budaya ketika mereka menyadari bahwa orang-orang yang berasal
dari budaya berbeda menunjukkan berprilaku berbeda dan perbedaan prilaku tersebut
pada akhirnya mempengaruhi cara kerja fungsi-fungsi organisasi. Dalam lingkungan
masyarakat yang serba beda, pengakuan terhadap perbedaan budaya merupakan langkah
penting yang harus ditempuh seorang maanjer untuk mencapai keberhasilan organisasi.
Meski demikian pengakuan terhadap perbedaan budaya tidak bisa disamakan dengan
penilaian terhadap perbedaan budaya. Keduanya merupakan terminologi yang berbeda.
Menilai budaya berarti menganggap bahwa budaya sebuah masyarakat lebih baik atau
lebih buruk dibandingkan dengan budaya masyarakat lain. Dalam kenyataan bisa
dikatakan tidak ada budaya yang lebih atau lebih buruk dari budaya lain. Jika seorang
manajer melakukan penilaian budaya, misalnya menilai teman kerja atau karyawan
berdasarkan keanggotan mereka dalam sebuah kelompok budaya tertentu, dia bisa
dianggap melakukan tindakan immoral, berprasangka buruk (prejudice) dan mengarah
pada tindakan menyerang pihak lain, rasial, bias jender, dan etnosentrik.
Dengan mengakui eksistensi perbedaan budaya, sejak awal sesungguhnya
seorang manajer mengakui bahwa perbedaan budaya bisa memberi keuntungan dan
sekaligus menimbulkan masalah bagi organisasi. Dengan pengakuan ini pula seorang
manajer bisa bisa meminimalisir persoalan yang ditimbulkan perbedaaan budaya dan
memaksimalkan keuntungan yang ditawarkan oleh perbedaan tersebut. Beberapa
keuntungan dan masalah yang ditimbulkan perbedaan budaya dapat dijelaskan sebagai
berikut:
708
Keuntungan.Sebuah organisasi akan memperoleh keuntungan karena keragaman budaya ketika
organisasi tersebut mengarah pada proses organisasi yang bersifat divergen. Bagi
organisasi yang bermaksud memperluas perspektifnya, strategi, taktik atau pendekatan
baru maka keragaman budaya menjadi sumber kukuatan organisasi. Demikian juga ketika
organisasi bermaksud mereposisi eksistensinya atau mereposisi strateginya, misalnya dari
bricks-and-mortar business (bisnis konvensional) ke click-and-mortar business (bisnis
berbasis internet), para manajer sangat disarankan untuk memanfaatkan keragaman
budaya. Jika keragaman budaya dikelola secara baik, organisasi akan mendapat dua
keuntungan sekaligus yakni: keuntungan karena bisa menciptakan sinergi (synergestic
advantages) dan keuntungan karena bisa bekerja dengan budaya lokal (culture-specific
advantages).
Keuntungan yang bersifat sinergis bisa tercipta karena para manajer bisa
menghadapi masalah dengan memaknai persoalan tersebut menggunakan perspektif lebih
luas. Akibatnya bukan tidak mungkin muncul ide-ide baru, interprestasi dan perspektif
baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Demikian juga dengan keragaman
budaya para manajer memiliki alternatif-alternatif baru sehingga bisa meningkatkan
kreativitas, fleksibelitas dan kemampuan untuk memecahkan berbagai amcam persoalan.
Sementara itu, manajer yang bekerja dengan budaya lokal (culture-specific)
memungkinkan mereka memahami situasi politik, ekonomi, sosial, budaya dan kemanan
setempat lebih. Pemahaman seperti ini sangat penting bagi seorang manajer global,
misalnya yang ingin maemasuki pasar domestik. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan
Jepang berhasil menguasai pasar Indonesia karena para manajernya memahami budaya
masayarakat Indonesia yang khas. Misalnya, sebagaian besar keputusan membeli untuk
produk-produk untuk kepentingan rumah tangga seperti mobil, sepeda motor, televisi dan
alat-alat eletronik lainnya tidak berada di tangan para bapak tetapi di tangan para ibu.
Dari sanalah kemudian desain promosi dikembangkan.
709
Kerugian Jika keuntungan karena keragaman budaya disebabkan karena proses organisasi yang
bersifat divergen, sebaliknya keragaman budaya akan menyebabkan masalah manakala
proses organisasi bersifat konvergen yakni ketika semua karyawan dituntut untuk
berpikiran dan melakukan tindakan dengan cara yang sama. Komunikasi dan integrasi
menjadi semakin sulit kerika keragaman budaya eksis karena masing-masing menuntut
pemaknaan dan tindakan yang konvergen. Padahal keragaman budaya seringkali
menyebabkan dua belah pihak gagal memperoleh pemahaman bersama – sebuah
prasyarat bagi komunikasi yang efektif; mereka juga tidak bekerja dengan cara yang
sama atau irama yang sama – sebuah prasyarat bagi berhasilnya integrasi. Demikian juga,
tidak jarang keragaman budaya meningkatkan ambiguitas, kompleksitas dan kebingungan
di kalangan karyawan karena semuanya serba tidak jelas. Persoalan yang lebih krusial
yang dihadapi oleh para manajer berkaitan dengan culture-specific adalah arogansi
organisasi yang mengabaikan budaya lokal. Persoalan akan muncul manakala seorang
maanjer men-generalisasi semua strategi, kebijakan, prosedur dan praktik organisasi
seolah-olah apa yang telah berhasil diterapkan akan berhasil pula diterapkan pada situasi
lain tanpa memperdulikan variabel budaya lokal.
Secara umum keuntungan dan kerugian karena keragaman budaya dapat dilihat
pada tabel 9. 15 berikut ini.
Tabel 9.15Keuntungan dan kerugian akibat keragaman budaya
Keuntungan Kerugian/Masalah
Keragaman budaya menciptakan keuntungan karena terciptanya sinergi:
Keragaman budaya menimbulkan kerugian karena biaya organisasi meningkat:
Pemaknaan yang lebih luas- lebih terbuka terhadap ide baru- banyak interpretasi- banyak perspektif
Memperluas alternatif- meningkatkan kreatifitas- meningkatkan fleksibelitas
Implementasi strategi yang melibatkan sinergi kultural
Setelah semua desain dan strategi memecahkan masalah berbasis sinergi kultural
ditetapkan, kini giliran untuk mengimplementasikannya. Namun implementasi itu sendiri
harus direncanakan dengan baik. Misalnya, sebelum masing-masing anggota organisasi
harus merubah cara pandangnya, terlebih dahulu mereka harus menyadari orientasi
budaya masing-masing. Artinya mereka harus memahami asumsi dasar budaya dan pola
prilakunya dan pada saat yang sama juga memahami asumsi dasar budaya dan pola
prilaku yang digunakan pihak lain. Tanpa adanya kesepemahaman ini mustahil usulan
perubahan bisa dilaksanakan. Berdasarkan kesepahaman ini maka manajer global bisa
mengimplementasikan lima opsi seperti tampak pada gambar 9.3
Budaya kita dominasi sinergi
kompromi
pengindaran akomodasi
budaya mereka
Gambar 9.3 : Opsi strategi global
Dominasi kultural
Opsi pertama adalah dominasi kultural yakni menggunakan pendekatan yang telah
digunakan di negara asal. Bagi perusahaan yang merasa memiliki kekuasaan lebih besar
dibandingkan counterpart – misalnya karena ukuran perusahaan lebih besar, teknologinya
lebih canggih atau sumber dana finansialnya lebih kuat, biasanya menggunakan
717
pendekatan dominasi kultural. Seorang manajer kadang-kadang memilih menggunakan
pendekatan dominasi kultural jika dia merasa yakin bahwa cara yang dia tempuh
merupakan satu-satunya cara yang harus diterapkan. Situasi ini biasanya berkaitan
dengan standard etika. Misalnya dalam hal standard keselamatan kerja, perusahaan asing
yang beroperasi di Indonesia pada umumnya tidak mau kompromosi mengenai hal itu
meski di Indonesia mungkin persoalan standard keselamatan kerja belum begitu
diperhatikan
Akomodasi kultural
Opsi kedua, akomodasi kultural adalah kebalikan dari dominasi kultural. Ketimbang
mempertahankan praktik yang selama ini dijalankan di negara asal, manajer global
cenderung melebur kedalam budaya lokal. Mereka menerapkan prinsip “jika berada di
Roma lakukanlah seperti yang dilakukan orang Roma”. Sayangnya upaya manajer ini
seringkali mendapat tentangan dari perusahaan induk di negara asal khawatir manajer
tersebut tidak lagi mewakili prinsipalnya. Bentuk dari akomodasi kultural misalnya sang
manajer mempelajari dan menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa komunikasi sehari-
hari atau kontrak-kontrak dagang dilakukan dengan mata uang lokal. Opsi ini
memungkinkan manajer lokal merasa nyaman dalam bekerja dan bisa menjalankan
kegiatan bisnisnya secara normal
Kompromi kultural
Pendekatan ketiga, kompromi kultural, merupakan kombinasi dari pendekatan pertama
dan kedua. Dengan menggunakan pendekatan ini berarti kedua belah pihak mengakui
eksistensi masing-masing. Tujuannya hanya satu demi keberhasilan kerjasama mereka.
Untuk itu amsing-masing pihak harus belajar budaya pihak lain demikian sebaliknya.
Pendekatan ini juga mengindikasikan bahwa partner yang lebih kuat harus merelakan
sebagian kekuasaannya kepada partner yang kurang kuat. Meski demikian kedua belah
pihak harus membuat konsesi agar hubungan bisnis mereka tetap sukses. Masalahnya
adalah manajer yang terlalu banyak menyerahkan kekuasaan kepada pihak yang lebih
718
lemah dianggap sebagai manajer yang lemah dan bahkan kadang-kadang mereka dijuluki
sebagai manajer yang kalah (caving in).
Penghindaran kultural
Pendekatan keempat, penghindaran kultural (cultural avoidance), adalah pilihan bertindak
yang seolah-olah tidak ada perbedaan kultural atau tidak ada konflik kultural. Pendekatan
ini banyak diterapkan oleh manajer Asia ketimbang manajer-manajer dari dunia Barat.
Penyebabnya karena para manajer Asia cenderung mengadopsi budaya tidak konfrontatif
sehingga ketika menghadapi persoalan cenderung menghindar seolah-olah tidak terjadi
apa-apa. Penghindaran tersebut dimaksudkan agar orang lain tidak “kehilangan muka”.
Pendekatan ini pada umumnya diterapkan ketika isu-isu yang dipersoalkan tidak begitu
penting.
Sinergi kultural
Seperti disebutkan sebelumnya, pendekatan kelima, sinergi kultural, mengembangkan
solusi baru untuk menyelesaikan masalah dengan memanfaatkan perbedaan kultural
diantara pihak-pihak yang terlibat tanpa harus menghilangkan keunikan masing-masing
budaya. Solusi berbasis sinergi tidak hanya menyelesaikan masalah yang berbasis
domestik tetapi lebih dari itu menyelesaikan masalah yang berskala global. Penggunaan
bahasa adalah salah contoh menarik yang bisa diguanakan untuk membahas pendekatan
sinergi kultural. Jika pebisnis dari Belanda bertemu dengan pebisnis dari Indonesia untuk
membahas masalah kerjasama keduanya, pertanyaannya adalah bahasa apa yang akan
mereka gunakan untuk berkomunikasi? Jika pertemuannya di Jakarta dan pebisnis
Belanda menghendaki penggunaan bahasa Belanda maka pebisnis Belanda menunjukkan
dominasinya (cultural dominance) terhadap pebisnis Indonesia. Sebaliknya jika pebisnis
Belanda mau menggunakan bahasa Indonesia, berarti pebisnis Belanda mengakomodasi
partner dari Indonesia. Jika mereka menggunakan bahasa masing-masing dengan bantuan
penterjemah maka hal ini menunjukkan kompromi. Akan tetapi jika mereka sepakat
menggunakan bahasa Inggris – maka terjadilah sinergi kultural.
719
Komunikasi lintas budayaTopik komunikasi yang dijelaskan pada modul 6, meski tidak dinyatakan secara eksplisit,
berasumsi bahwa proses komunikasi berlangsung dalam masyarakat yang memiliki
budaya yang sama sehingga hambatan komunikasi yang disebabkan karena perbedaan
budaya relatif kecil kalau tidak dikatakan tidak ada. Hambatan komunikasi lebih
disebabkan karena faktor non budaya. Namun jika proses komunikasi tersebut melibatkan
masyarakat lintas negara dengan latar belakang bahasa dan budaya berbeda, tentu saja
prosesnya tidak sesederhana jika dibandingkan dengan komunikasi yang dilakukan pada
masyarakat dengan budaya homogen. Penyebabnya karena bahasa dan budaya menjadi
variabel penting dalam proses komunikasi. Artinya jika kedua variabel tersebut tidak
dipahami dengan baik maka distorsi komunikasi akan meningkat. Situasi ini
direprentasikan pada proses komunikasi yang direpresenasikan oleh gambar 9.4 berikut
ini.
Gambar 9.4 : Tipikal komunikasi lintas budaya
Pengirim pesan dari kultur A
Penerima pesan dari kultur B
Pesan yang terkirim
Pesan yang diterima
Respon yang terima
Respon yang dikirim
720
Seperti tampak pada gambar 9.4, pesan yang dikirim oleh seseorang dari
masyarakat dengan budaya A tidak selalu identik dengan pesan yang diterima oleh
seseorang dengan latar belakang budaya B. Demikian juga respon yang dikirim seseorang
dari masyarakat berbudaya B belum tentu sama dengan respon yang diterima oleh
seseorang dari masyarakat dengan budaya A. Perbedaan antara pesan/respon yang
dikirim dengan pesan/respon yang diterima ini disebabkan karena proses komunikasi
sesungguhnya tidak terjadi secara langsung yang bebas nilai. Sebaliknya, komunikasi
adalah proses simbolik dimana pesan atau respon merupakan bentuk simbol yang
berusaha diampaikan kepada pihak lain. Oleh karenanya jika budaya kedua belah pihak
berbeda, tidak tertutup kemungkinan interpretasi terhadap simbol tersebut juga berbeda
dan ujung-ujungnya potensi terjadinya miskomunikasi cukup terbuka. Bahkan sering
dikatakan pula bahwa semakin besar perbedaan budaya antara kedua belah pihak semakin
besar pula potensi terjadinya miskomunikasi. Untuk menggambarkan hal ini Nancy
Adler17 mencontohkan bagaimana terjadinya miskomunikasi antara pebisnis Jepang
dengan pebisnis Norwegia.
Pebisnis Jepang ingin memberi sinyal kepada rekan bisnisnya dari Norwegia bahwa dia tidak tertarik untuk melakukan jual beli dengan rekan bisnisnya. Namun karena orang Jepang pada umumnya berkomunikasi tidak langsung, dia mengatakannya dengan sopan “jual beli ini tampaknya sangat sulit dilakukan”. Mendengar penyataan ini rekan bisnis dari Norwegia menginterpretasikan bahwa transaksi jual beli masih bisa diteruskan namun masih ada masalah yang harus diselesaikan. Padahal maksud orang Jepang tersebut adalah transaksi jual beli tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu rekan bisnis dari Norwegia merespon dengan mengatakan “apa yang bisa saya lakukan untuk mengatasi masalah ini?” Sementara orang Jepang merasa bahwa pernyataannya sudah jelas – tidak ada transaksi, tetapi ditanggapi secara keliru oleh orang Norwegia.
Contoh diatas menggambarkan bahwa komunikasi tidak selalu berakhir dengan
pemahaman yang sama diantara pihak-pihak yang berkomunikasi. Kesalahpahaman ini
biasanya diawali oleh kesalahan dalam mempersepsi, menginterpretasi dan mengevalusi
pesan dan dilanjutkan dengan kesalahan dalam bertindak atau merespon pesan. Proses
721
kesalah-pahaman ini bisa dijelaskan dengan model schemata18 seperti tampak pada
gambar 9.5 sebagai berikut:
Gambar 9.5 : Komunikasi dengan model schemata
Model schemata seperti tampak pada gambar 9.5 menjelaskan bahwa seseorang
mencoba memahami dunia sekitar dengan menciptakan kategori-kategori mental. Dalam
hal ini anda mencoba memahami budaya lain selain budaya anda yang telah anda yakini
kebenrarannya. Misalnya anda ditanya sejauh mana anda tahu tentang, katakanlah,
budaya orang Fiji padahal anda tidak punya gambaran sama sekali, dan memori anda
tidak pernah merekam, budaya orang Fiji maka anda akan mengandai-andai atau
membuat proyeksi tentang budaya orang Fiji. Dalam gambar, Budaya A adalah budaya
anda dan Budaya B adalah budaya orang Fiji. B1 adalah proyeksi anda tentang budaya
orang Fiji. Contoh ini memberi gambaran seandainya anda pergi ke Fiji untuk urusan
bisnis dan harus berkomunikasi dengan rekan bisnis di Fiji maka anda akan melakukan
komunikasi berdasarkan schema yang anda buat tentang orang Fiji yang tidak
sepenuhnya akurat. Itulah sebabnya dalam gambar anda berkomunikasi dengan Budaya B
1 bukan dengan B. Proses selanjutnya seperti tampak pada gambar 9.6, orang Fiji
(Budaya B) akan merspon bukan dengan budaya anda (Budaya A) tetapi dengan Budaya
A 1
Budaya A Budaya B
B1●
722
Gambar 9.6 : Pengiriman dan penerimaan pesan melalui schemata
Pada mulanya ketika anda berkomunikasi dengan orang Fiji yang berbeda budaya
dan anda tidak mengetahui sama sekali budaya mereka maka anda mengirim pesan
menggunakan schema tentang orang Fiji (Budaya A ―――► budaya B1). Demikian
juga sebaliknya, orang Fiji yang tidak mengetahui budaya anda akan merespon pesan
menggunakan schema yang berbeda (Budaya B ―――► budaya A1). Wlhasil dengan
adanya perbedaan budaya komunikasi sepertinya tidak pernah berlangsung (ditandai
dengan garis putus-putus antara Budaya A dengan Budaya B). Namun dengan
berjalannya waktu, kedua belah pihak mencoba saling memahami dan menyesuaikan diri.
Selanjutnya, sedikit demi sedikit mereka merubah schema menuju ke pemahaman budaya
yang mendekati realitas. Akibatnya komunikasi menjadi semakin lancar dan kesalah-
pahaman menjadi semakin kecil. Proses perubahan schema menuju komunikasi yang
lebih efektif ini dapat dilihat pada gambar 9.7 dibawah ini.
Budaya A (Anda)
Budaya B 1
Budaya A 1
Budaya B (orang Fiji)
723
B 1
B 1
B 1
Gambar 9.7 : Modifikasi schema munuju komunikasi lebif efektif
Tim kerja lintas budayaDewasa ini dengan semakin banyaknya perusahaan yang beroperasi di negara lain
mengakibatkan interaksi antar individu yang berbeda budaya menjadi semakin intens.
Pada saat sebuah perusahaan beroperasi hanya pada lingkungan domestik hampir bisa
dipastikan perusahaan tidak menemui hambatan budaya. Perusahaan seolah-olah
beroperasi di alaman rumah sendiri. Namun ketika persusahaan tersebut melebarkan
sayap melayani berbagai masyarakat yang berbeda budaya meski masih dalam lingkup
domestik sudah mulai merasakan adanya perbedaan budaya. Paling tidak seleras
masyarakat yang satu berbeda dengan selera masayrakat lainnya. Demikian seterusnya
ketika perusahaan menjadi multinasional dan perusahaan global intensitas perbedaan
budaya yang dihadapi perusahaan menjadi semakin nyata dan tidak terhindarkan. Oleh
karena itu bagi perusahaan global, mengelola keragaman budaya baik keragaman didalam
Budaya A (Anda)
Budaya B (orang Fiji)
724
internal perusahaan maupun keragaman secara eksternal, menjadi pekerjaan rutin yang
harus selalu dilakukan para manajer. Artinya, kemampuan seorang manajer baik manajer
level atas maupun level bawah dalam hal pemahaman mereka tentang keragaman budaya
menjadi pryasarat mutlak yang tidak bisa dikesampingkan. Jika digambarkan, interaksi
lintas budaya antar individu didalam organisasi untuk masing-masing jenis perusahaan
mulai dari perusahaan domestik sampai perusahaan global dapat dilihat pada gambar 9.8
dibawah ini
Gambar 9.8 : Interaksi antar individu lintas budaya
Salah satu implikasi dari perusahaan global yang menjadi bahasan pada bagian
ini adalah manakala perusahaan tersebut harus membentuk tim kerja yang anggota-
anggotanya berasal dari individu-individu yang berbeda latar belakang budaya. Tim kerja
seperti ini sering disebut sebagai tim lintas budaya (multicultural team). Seperti telah
dijelaskan pada modul terdahulu, membentuk tim kerja baik bagi perusahaan domestik
maupun perusahaan global menjadi trend yang intensitasnya semakin meningkat. Yang
menjadi persoalan adalah perusahaan global tentu saja harus melibatkan orang-orang
yang berlatar belakang budaya berbeda sebagai anggota tim. Oleh karenanya efektifitas
Perusahaan Perusahaan Perusahaan PerusahaanDomestik Multidomestik Multinasional Global
725
tim salah satunya sangat bergentung pada kemampuan tim menangani perbedaan budaya
diantara mereka. Tentu saja tim lintas budaya mempunyai kelebihan dan kekurangan
tersendiri dibandingkan dengan tim yang anggota-anggotanya berasal dari satu budaya
yang sama. Kelebihan dan kelemahan tim lintas budaya dapat dilihat pada tabel 9.17
berikut ini
Tabel 9.17Kelebihan dan kelemahan tim lintas budaya
Kelebihan Kelemahan
Keragaman meningkatkan kreativitas perspektif lebih luas semakin banyak ide semakin sedikit groupthink
Keragaman menyebabkan tim tidak kohesif- saling tidak percaya- miskomunikasi- stress
Keragaman memaksa anggota tim untuk memahami anggota tim lainnya dalam hal
- membuat persetujuan manakal persetujuan tersebut dibutuhkan
- mencapai konsensus dalam pengambilan keputusan
- mengambil tindakan pentingSemakin meningkatnya kreativitas bisa menciptakan
identifikasi masalah yang lebih baik solusi lebih baik keputusan lebih baik
Tim akhirnya bisa lebih efektif lebih produktif
Tim akhirnya- tidak efisien- tidak efektif- tidak produktif
Prakondisi efektifitas tim lintas budayaMelihat kelebihan dan kelemahan tim lintas budaya seperti disebutkan diatas, pada
dasarnya tim lintas budaya mempunyai potensi untuk berkinerja secara efektif jika
mampu memanfaatkan kelebihan-kelebihan tersebut. Sayangnya banyak tim lintas
726
budaya yang justru kurang produktif karena tidak secara optimal menangani masalah
keragaman budaya. Beberapa faktor yang mempengaruhi produktifitas tim diantaranya
adalah: tugas yang harus diselesaikan, tahap pembentukan tim dan cara bagaimana
mereka menangani keragaman budaya. Faktor-faktor ini dapat dilhat pada tabel 9.18
sebagai berikut.
Tabel 9.18Efektifitas keragaman tim
Efektif Tidak efektif
Keragaman akan efektif jika: Keragaman tidak efektif jika:Tugas
Tahap pembentukan
Kondisi
Inovatif
Divergen
Mengakui perbedaanAnggota dipilih berdasar kemampuan menjalankan tugasSaling menghargaiKekuasaan yang seimbangMenitikberatkan pada tujuan organisasiUmpan balik eksternal
Rutin
Konvergen
Mengabaikan perbedaanAnggota dipilih berdasarkan etnik tertentuEtnosentrikDominasi kulturalMeneitikberatkan pada tujuan individuTidak ada umpan balik
LATIHANUntuk memperdalam pemahaman saudara mengenai materi diatas, silakan saudara
kerjakan latihan berikut ini.
1. Jika anda seorang manajer dan menghadapi keragaman budaya bagaimana
seharusnya anda menykapinya dan apa implikasinya?.
2. Jelaskan berbagai bentuk strategi untuk mengelola keragaman budaya
3. Kapan sebaiknya anda menggunakan dominasi budaya? Jelaskan!
727
Petunjuk jawaban latihan
1. Jika seorang manajer menghadapi keragaman budaya, sesungguhnya ada dua
pendekatan yang bisa anda lakukan yakni menutup mata terhadap perbedaan
budaya (culture blind) dan kedua mangakui adanya perbedaan budaya.
Pandangan pertama menganggap bahwa seorang karyawan harus preofesional,
sejalan dengan kepentingan organisasi. Semua orang dianggap sama, memiliki
kebutuhan dan aspirasi yang sama. Sayangnya menutup mata terhadap perbedaan
budaya justru akan merugikan karena kemampuan dirinya untuk mengambil
keuntungan dari keragaman tersebut. Pandangan kedua menganggap bahwa
dalam lingkungan masyarakat yang serba beda, pengakuan terhadap perbedaan
budaya merupakan langkah penting.Dengan mengakui perbedaan budaya,
seorang manajer bisa bisa meminimalisir persoalan yang ditimbulkan perbedaaan
budaya dan memaksimalkan keuntungan yang ditawarkan oleh perbedaan
tersebut.
2. Berbagai bentuk strategi untuk mengelola keragaman budaya diantara adalah:
strategi parochial – tidak mengakui keragaman budaya atau dampaknya terhadap
organisasi. Strategi kedua adalah etnosentrik - manajer mengakui adanya
keragaman budaya tetapi keragaman tersebut hanya dianggap sebagai sumber
masalah. Strategi ketiga, manajer secara eksplisit mengakui bahwa keragamaan
budaya sekaligus bisa berdampak positif dan negatif terhadap organisasi.
3. Untuk melakukan sinergi kultural sebetulnya ada berbagai cara bisa dilakukan.
Salah satunya adalah dominasi kultural yakni menggunakan pendekatan yang
telah digunakan di negara asal. Seorang manajer bisa menggunakan cara ini bila
dia merasa yakin bahwa cara yang dia tempuh merupakan satu-satunya cara yang
harus diterapkan. Situasi ini biasanya berkaitan dengan standard etika. Misalnya
dalam hal standard keselamatan kerja, perusahaan asing yang beroperasi di
Indonesia pada umumnya tidak mau kompromosi mengenai hal itu meski di
728
Indonesia mungkin persoalan standard keselamatan kerja belum begitu
diperhatikan
RINGKASANKB 2 merupakan bagian integral dari modul 9 yang mencoba menjelaskan pengaruh
keragaman budaya terhadap praktik prilaku organisasi. KB 2 diawali dengan bahasan
tentang keuntungan dan kerugian adanya keragaman budaya; dilanjutkan dengan strategi
mengelola keragaman budaya; dan cara-cara memecahkan amsalah dengan sinergi
budaya. Dua topik terakhir komunikasi lintas budaya dan tim kerja lintas budaya adalah
dua isu paling banyak ditemui pada organisasi yang beroperasi lintas budaya. Kesemua
topik penting tersebut selanjutnya akan dirangkum dalam bentuk ringkasan berikut ini.
1. Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan ketika berhadapan dengan keragaman
budaya yaitu mengabaikan kergaman budaya dan mengakui adanya kergaman
budaya. Keduanya memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri.
2. Strategi untuk mengelola keragaman budaya bisa dilakukan dengan (1)
menjelaskan situasi yang sedang dihadapi, (2) melakukan interpretasi budaya dan
(3) meningkatkan kreativitas kultural
4. Mengimplementasikan strtaegi yang melibatkan sinergi kultural bisa dilakukan
dengan lima opsi yaitu: menghindar, mendominasi, mengakomodasi, bersinergi
dan kompromi.
729
5. Salah satu isu penting dalam menghadapi kergaman budaya adalah komunikasi
lintas budaya. Isu utamanya adalah sering terjadinya miskomunikasi karena
masalah bahsa dan perbedaan budaya
6. Isu lain tentang kergaman budaya adalah tim kerja lintas budaya utamannya
karena efektifitas tim sangat bergantung bagaimana anggota tim menangani
masalah keragaman budaya
TES FORMATIF 2
INTRONICS
Tahun 1980, Yahya Ibrahim lulus dari University of Eidenburgh jurusan Electrical Engineering dengan predikat sangat memuaskan. Dia kemudian pulang ke rumahnya di Malaysia dengan harapan suatu ketika dapat meneruskan S2 jika ada kesempatan. Setelah beberapa waktu menunggu ternyata kesempatan tersebut tiba. Ibrahim diberi beasiswa dari pemerintah untuk kuliah S2 di California Institute of Technology (Cal Tech) di Amerika dengan ketentuan setelah lulus ia harus bekerja pada pemerintah Malaysia paling tidak selama 5 tahun.
Setelah lulus Kementerian Perdagangan menugaskan Yahya untuk bekerja pada perusahaan manufaktur yang berlokasi di Malaysia. Yahya Ibrahim ternyata adalah seorang yang dapat bekerja dengan baik bahkan ia seorang yang serius dalam bekerja. Sehingga ia mendapat perhatian khusus dari General Manager (GM) perusahaan tersebut. Sebuah cuplikan dari laporan GM ke Mentri Perdagangan tentang prestasi Yahya Ibrahim adalah sebagai berikut:
Yahya adalah seorang insinyur yang brilliant. Ia menunjukkan potensi yang luar biasa dan mempunyai sikap yang positif dalam bekerja.
Dalam posisinya sebagai manajer pabrik, tahun lalu ia telah berhasil menyusun beberapa program peningkatan kerja. Namun demikian ia punya kelemahan. Ia tidak sabaran dan gampang marah. Hal ini terjadi kemungkinan karena ia merasa adanya perbedaan tingkat intelektualitas antara dia dengan bawahannya.
730
Saya merekomendasi agar Yahya diberi kesempatan yang lebih luas dalam bidang-bidang industri lain yang menungkinkan dia mempunyai pengalaman agar bisa menjadi pemimpin yang handal di bidang industri dimasa-masa mendatang.
Pada saat yang sama Kementerian Perdagangan dan Industri memperoleh berita dari salah satu perusahaan manufaktur yang dibawahinya bahwa GM dari perusahaan manufaktur yang berlokasi di Port Dickson (sekitar 100 km dari Kuala Lumpur) yang tergolong masih kecil akan pensiun.
Empat bulan kemudian Yahya, 27 tahun, menjadi seorang GM di Intronics. Intronics adalah perusahaan manufaktur yang masih kecil yang menghasilkan motor elektrik yang digunakan untuk produk mainan anak-anak dan juga digunakan sebagai alat kontrol pada produk lain. Intronics mempunyai sekitar 80 orang operator pabrik, dan15 orang staff manajemen. Semua karyawan tidak tergabung dalam satu serikat kerja. Dilihat dari komopsisi etnik, 50% dari pekerja adalah keturunan Cina, 40% Melayu dan 10% Keturunan India.
Struktur organisasi Intronics adalah sebagai berikut:
General Manager
Hasan Lim Lam Salleh Material manager Engineering Manager Accounting Admin. Production
Manager Manager
Store Buyer Engineers Account Clerks Foremen
Keempat manajer diatas masih berumur sekitar 40an. Mr. Lam, Manajer Akuntansi dan Administrasi adalah manajer yang paling lama. Ia telah bekerja di Intronics selama 12 tahun, sedangkan Mr Lim telah bekerja tidak kurang dari 7 tahun. GM yang lama menjalankan perusahaan dengan pendekatan laissez-faire (laissez-faire diartikan sebagai membiarkan manajer/karyawan untuk bekerja sendiri tanpa campur tangan yang banyak dari GM). Dan sebagaian besar operator pabrik telah bekerja lebih dari 5 tahun dan mereka biasanya memanggil dengan nama depannya tampa embel-embel apa-apa. Mr. Lim bertindak sebagai GM manakala GMnya pergi ke luar kota.
Dalam pandangan Yahya, Intronics dalam kondisi yang berantakan. Disiplin karyawan sangat rendah. Ketika jam 8 pagi ia meninjau beberapa bagian pabrik, para pekerja baru
731
siap-siap untuk bekerja sementara tidak ada seorang manajerpun yang sudah berada di kantor.
Pada beberapa hari sebelum ia bekerja, Yahya diperkenalkan kepada semua karyawan Intronics oleh GM yang akan digantikannya. Yahya juga menghadiri makan siang di kantin perusahaan untuk pesta perpisahan dengan GM yang lama. Setelah itu Yahya diajak keliling perusahaan dan diberi briefing tentang sejarah perusahaan, struktur organisasi dan melihat-liha pabrik. Yahya mendapati bahwa layout (tata letak) pabrik tidak efisien dan mesin-mesinnya sudah tua. Ketika ia meninggalkan perusahaan pada sore hari ia juga mendapatkan sebuah pohon tua yang berada di depan pintu masuk perusahaan yang sangat mengganggu pandangan para pengendara mobil yang keluar masuk perusahaan.
Yahya mengundang rapat para manajer dan menjelaskan bahwa pabrik yang dimiliki Intronics sudah kuno, oleh karenanya ia akan menggantinya dengan mesin-mesin yang lebih modern agar bisa menjadi model bagi perusahaan-perusahaan lain yang berada dibawah departemen Perdagangan dan Industri. Yahya juga mengatakan bahwa ia akan mengadakan rapat mingguan dengan para manajer setiap Jum’at pagi.
Setelah Yahya menjadi GM sangat terasa bahwa perubahan datang begitu cepat dan sangat banyak jumlahnya. Mr. Lam, misalnya diminta untuk membeli time-clock (mesin kehadiran karyawan) dan membuat tanda pengenal bagi karyawan yang harus dipakai ketika mereka sudah hadir di perusahaan. Mr. Lim dan Manajer Produksi lainnya diminta untuk bekerja sesuai dengan rencana (rencana tersebut dibuat sendiri oleh Yahya) dan diminta untuk menata ulang production line nya. Manajer Toko juga diminta untuk menata ulang tokonya (juga diusulkan oleh Yahya) dan diminta untuk membuat pencatatan akuntansi setiap bulannya. Lebih lanjut Yahya akan keliling pabrik setiap pagi dan membuat perubahan-perubahan bilamana perlu.
Sementara banyak yang protes dan komplain terhadap apa yang dilakukan oleh Yahya, semua karyawan umumnya mematuhi permintaan dan perintahnya dan jumlah produksi juga meningkat tajam. Setelah enam bulan Yahya memangku jabatan GM sebuah masalah muncul. Pada pertemuan akhir minggu Yahya mengatakan: “Pohon tua yang ada didepan pintu masuk sangat menggangu pandangan mata, dan pandangan para pengendara mobil yang akan keluar masuk. Oleh karenaya saya memerintahkan Lim, sebagai manajer teknik, untuk menebangnya”.
Lim menjawab dengan terkejut: “Menebang Datuk Kong? Apakah kamu sudah gila? Tidakkah kamu tahu bahwa Datuk Kong lah yang melindungi kehidupan di pabrik ini? Menebangnya? Inilah barangkali ide paling gila yang pernah saya dengar selama saya bekerja disisni.”
732
Mendengar jawaban tersebut, wajah Yahya memerah dan sambil menahan marah dia mengatakan: “ Lim, kita ini hidup di tahun 1990an!, tidak ada hal-hal aneh seperti Datuk Kong atau apapun jenisnya seperti yang anda bicarakan. Itu hanya tahayul.”Lim menyela “tahayul? Ketika anak perempuan Hasan jatuh dan demam tinggi dokter ternyata tidak dapat menyembuhkannya, tetapi begitu dia (Hasan) memberi sesaji ke Datuk Kong dan meminta pertolongannya, anaknya segera sembuh. Tanyakan dia kalau anda tidak percaya”. Kata Lim sambil menunjukkan jarinya pada Hasan.
Hasan mengiyakan: “Ya, ya, tanpa bantuan Datuk Kong, saya tidak tahu apa yang terjadi pada anak saya”. Meski demikian, Yahya tetap bersikeras dan sambil marah berkata: “ Saya tidak peduli, yang penting pada pertemuan minggu depan, saya tidak lagi melihat pohon itu disana”.
Adalah keyakinan sebagian besar keturunan etnik Cina dan Melayu bahwa Datuk Kong adalah ruh dari orang yang sudah meninggal tetapi masih ingin tetap tinggal didunia untuk membantu orang-orang yang membutuhkannya. Umumnya roh semacam ini tinggal dibebatuan atau pepohonan seperti halnya pohon yang berada didepan Intronics. Kabar tentang keberadaan roh orang yang sudah meninggal dan tinggal dipepohonan tersebut umumnya menyebar melui mulut ke mulut dengan cepat. Jika batu atau pohon tempat bersemayamnya roh tersebut dipindahkan maka yang memindahkannya akan dihukum oleh roh tersebut. Datuk Kong dalam hal ini dianggap sebagai dewata bagi yang mempercayainya.
Setelah beberapa minggu berlalu, Lim tetap saja menolak menebang pohon itu. Dan dari bisik-bisik Ia mendapat dukungan dari beberapa kalangan. Tetapi akhirnya Yahya memberi ultimatum kepada Lim: mengikuti perintahnya atau dipecat.
Karena ada ancaman tersebut, akhirnya Lim minta bantuan orang lain – karena tidak seorangpun dari anak buahnya yang mau membantu menebang pohon tersebut. Sebelum penebangan dilakukan, Lim memberi sesaji dan berdoa di pohon itu dengan menjelaskan kepada Datuk Kong bahwa dia tidak bermaksuk memindahkan Datuk Kong tetapi karena perintah Yahya dan dia masih butuh pekerjaan untuk menghidupi keluarganya maka dia terpaksa melakukannya.
Tidak lama setelah pohon tersebut ditebang, seorang pekerja bagian produksi jatuh sakit selama seminggu. Dia bisa sembuh tetapi rumor mengatakan bahwa selama sakit ia bermimpi yang dalam mimpinya ia mencoba berdoa pada Datuk Kong tetapi datuk Kong sudah tidak ada lagi entah dimana.
Dari kejadian tersebut permintaan cuti sakit terus bertambah. Demikian juga dikalangan pekerja pabrik ada perasaan tidak enak ketika pekerja tersebut harus ke toilet sendirian.
733
Sepertinya ada yang memburunya/menguntitnya. Semua orang di pabrik merasa bahwa semua ini karena Datuk Kong sudah tidak melindunginya.
Empat bulan setelah kejadian ini, Lim mengajukan surat permohonan pengunduran diri. Bersamaan dengan pengunduruan diri Lim. Intronics mulai merekrut karyawan baru, tetapi 13 karyawan pabrik baru tersebut mengundurkan diri hanya dalam bulan pertama. Bagi Yahya, pengunduruan diri Lim dan mundurnya 13 karyawan baru merupakan awal dari kemungkinan terjadinya eksodus besar-besaran yang akan terjadi selama kepemimipinanya. Jika hal ini tidak cepat teratasi maka Intronics bakal mengahadapi masalah ketenaga kerjaan yang serius.
Pertanyaan Kasus:
Berdasarkan uraian kasus diatas, ada dua situasi yang saling berlawanan yakni Yahya
Ibrahim yang masih muda dan sangat rasional serta tidak mengakui adanya hal-hal yang
bersifat tahayul, dan karyawan-karyawan Intronics yang pada umumnya jauh lebih tua
dibandingkan Yahya Ibrahim yang masih mempercayai adanya hal-hal gaib. Menurut
saudara, apakah persoalan yang dihadapi Intronics terkait dengan tahayul ini atau karena
perbedaan budaya dan gaya manajemen yang diterapkan Yahya Ibrahim? Lakukan
analisis secara mendalam beberapa kemungkinan persoalan tersebut dalam rangka
meningkatkan kembali kinerja Intronics
734
1 Erez, M. and P.C. Early, 1993, Culture, Self Identity and Work, Oxford University Press, halaman 3.
2 Hofstede, G., 1992, Motivation, Leadership and Organization: Do American Theories Apply Abroad?, halaman 99
3 Lihat misalnya Hampden-Turner and Tromprenaar, 2000, Building cross cultural competence, halaman 2.
4 Dalam aplikasinya kedalam praktik-praktik manajemen, bisa dilihat pada Nancy Adler, 2000, international dimension of organizational behavior atau Schneider and Louis Barsoux, 1997, Managing cross cultures
5 Lihat pengertian MNC seperti dikemukakan oleh Christopher Barlett and Sumatra Ghoshal, 2000, Transnational Management: Text, Cases, and Reading in Cross-Border Management, 3rd edition, McGraw-Hill International Editions
6 E.B. Tylor (1958) The origin of culture, halaman.1
7 Malinowski sebagaimana dikutip oleh William M. Evan halaman 267
8 Melville Herskovits sebagaimana dikutip oleh Mary Jo Hatch, 1997, organization theory, New York: Oxford university press, halaman. 204
9 Lihat Nancy Adler, 2002, International dimensions of organizational behavior, 4th edition, South Western, halaman 17-18
10 Kluckhohn, F.R. and F.L. Strodtbeck, 1961, Variation in value orientation, Evanston, Illinois: Row, Peterson and company, halaman 4
11 Lane and DiStefano, 1992, International management behavior, halaman 31
12 Andre Laurent, 1983, The cultural diversity of Western conception of management, International studies of management and organization, vol 13, no 1 -2, halaman 75 – 96
13 Lihat misalnya M. Haire, E.E. Ghiselli and L.W. Porter, 1997, Cultural patterns in the role of the manager, in Malcolm Warner (ed.) Compaative management: Critical perspective on business and manaegement, vol. I., London: Routledge, halaman 154 – 175.
14 Trompenaars, F., 1993, Riding the waves of culture, London: Nicholas Brealey
15 Hofstede and Bond, 1988, The Confucius connection: from cultural roots to economic growth, Organization Dynamics, 16, 4, halaman 4-12.
16 Hofstede, 1980, halaman 161
17 Nance Adler, 2002, op cit, halaman 77.18 Lihat Linda Breamer and Iris Varner, 2001, Intercultural communication in the global workplace, 2nd edition,
McGraw Hill International edition, halaman 24 - 26