RINGKASAN DISERTASI MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK REHABILITASI KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA PROVINSI GORONTALO Program Studi Geografi oleh DEWI WAHYUNI K. BADERAN NIM : 08/278454/SGE/171 KEPADA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013
76
Embed
MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
RINGKASAN DISERTASI
MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK REHABILITASI KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI
WILAYAH PESISIR KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA
PROVINSI GORONTALO
Program Studi Geografi
oleh DEWI WAHYUNI K. BADERAN
NIM : 08/278454/SGE/171
KEPADA
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2013
1
MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK REHABILITASI KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI
WILAYAH PESISIR KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA
PROVINSI GORONTALO
(RINGKASAN)
I. PENDAHULUAN
Wilayah pesisir dan laut Indonesia mempunyai kekayaan dan
keanekaragaman hayati (biodiviersity) terbesar di dunia, yang tercermin pada
keberadaan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang
lamun dan berjenis-jenis ikan, baik ikan hias maupun ikan konsumsi (Bappenas,
2007). Perlindungan hutan mangrove merupakan hal yang penting dilakukan
mengingat mangrove memiliki manfaat yang luas ditinjau dari aspek fisik, kimia,
biologi, dan sosial ekonomi.
Ketidak-tahuan akan nilai ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh dua
faktor utama, yaitu : (1) kebanyakan barang dan jasa yang dihasilkan oleh
ekosistem mangrove tidak diperdagangkan di pasar, sehingga tidak memiliki nilai
yang dapat diamati, dan (2) beberapa dari barang dan jasa tersebut berada jauh
dari ekosistem mangrove sehingga penghargaan terhadap barang dan jasa tersebut
sering dianggap tidak ada kaitannya dengan mangrove (misalnya produktivitas
perairan hasil dari kontribusi mangrove, yang menyebabkan banyaknya ikan,
udang, kepiting, moluska disuatu wilayah perairan pantai yang jauh dari hutan
mangrove seperti di laut Kwandang, Gorontalo)
Di Indonesia, penilaian (valuasi) ekonomi dari nilai ekologi yang
bersumber dari hutan mangrove berdasarkan nilai guna tidak langsung, nilai
pilihan, nilai keberadaan dan nilai warisan sering terabaikan. Penelitian yang
sering dilakukan kebanyakan lebih memfokuskan pada penilaian nilai guna
langsung dari ekosistem hutan mangrove berdasarkan nilai ekonomi dipasaran
diantaranya harga kayu bakar, kayu bangunan, ikan, udang, kepiting, burung dan
sebagainya. Metode untuk penilaian produk dan jasa lingkungan sebenarnya
menawarkan penilaian yang lebih komprehensif terhadap penilaian berbagai
2
barang dan jasa yang dihasilkan oleh ekosistem mangrove, dimana selanjutnya
hasil penilaian dapat memberikan kontribusi informasi yang lebih mendalam bagi
para pengambilan keputusan.
Tidak diketahuinya nilai pasti dari nilai ekonomi yang bersumber dari nilai
ekologi hutan mangrove mengakibatkan kerusakan atau kehilangan sumberdaya
ini tidak dirasakan sebagai suatu kerugian, sehingga banyak komponen ekologi
dari mangrove menjadi tidak/kurang mendapat perhatian di dalam pengelolaan
lebih lanjut. Oleh sebab itu, kajian tentang penilaian ekonomi sumberdaya
mangrove khususnya untuk nilai ekologi dari pemanfaatan tidak langsung,
pilihan, keberadaan dan warisan, penting untuk sesegera mungkin dilakukan dan
diharapkan dapat memberikan informasi atau penafsiran berapa besar nilai
ekonomi suatu sumberdaya di suatu wilayah pesisir baik dari penilaian
berdasarkan nilai ekonomi secara langsung dan nilai ekologinya, di mana
keberadaan sumberdaya mangrove mempunyai pengaruh besar bagi standar
kehidupan masyarakat, terutama di desa pantai yang sangat menggantungkan
sumber penghasilannya dari sumberdaya ini.
Dalam kaitannya dengan uraian sebelumnya, Provinsi Gorontalo
mempunyai kawasan mangrove yang luas salah satu kawasan mangrove tersebut
berada di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara,
Provinsi Gorontalo. Pulau Sulawesi dipilih menjadi fokus penelitian karena
memiliki kelebihan dari segi biodiversity dan mempunyai keunikan yang berasal
dari variasi jenis yang hidup tidak berdasarkan pola zonasi pada umumnya. Secara
ekologis, wilayah ini dihadapkan pada masalah kerusakan ekosistem setempat
terutama kerusakan hutan mangrove. Luas kawasan hutan mangrove di wilayah
ini sebagian besar telah mengalami penyusutan diakibatkan oleh penebangan liar,
utamanya diakibatkan oleh adanya aktivitas manusia disekitar hutan yang
melakukan penebangan dan pengambilan kayu mangrove spesies Rhizophora sp
untuk pemenuhan kayu bakar serta kontruksi bangunan. Masyarakat lokal
mengenal nama kayu mangrove dengan istilah Loraro/Wuwa’ata yakni kayu yang
sangat kuat dan tahan lama untuk kontruksi bangunan serta baik untuk dijadikan
3
kayu bakar. Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup
besar adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan.
Hal yang mengkhawatirkan apabila tidak ada model valuasi ekonomi yang
dapat dijadikan dasar dalam merehabilitasi kerusakan hutan mangrove maka
ekosistem ini akan hilang atau habis. Adanya model valuasi ekonomi terhadap
sumberdaya mangrove, maka dapat dijadikan acuan dalam hal pengaturan alokasi
pemanfaatan hutan mangrove di daerah ini dan diharapkan beberapa tahun
kedepan keberadaan ekosistem ini masih tetap ada.
Model valuasi ekonomi menggambarkan prosedur atau kerangka
konseptual didasarkan pada data spasial, kondisi ekologis dan kerusakan hutan
mangrove, antara lain bentuklahan, penggunaan lahan, kondisi tanah, iklim, jenis
mangrove, struktur vegetasi mangrove, dan zonasi mangrove, penilaian dari segi
ekonomi dan ekologi pemanfaatan mangrove, yang kesemua variabel tersebut
digunakan sebagai dasar untuk merehabilitasi kerusakan hutan mangrove.
II. TELAAH PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
2.1 Telaah Pustaka
2.1.1 Konsep Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam
Menurut Marx (1883, dalam Suparmoko, 2006), selama sumberdaya alam
itu belum dicampuri oleh tenaga manusia, maka sumberdaya alam itu tidak
mempunyai nilai. Sebaliknya, menurut para ahli ekonomi klasik segala sesuatu
yang dapat dijualbelikan pasti mempunyai nilai. Dalam hal ini ”nilai” dibedakan
dengan ”harga”, ”harga” selalu dikaitkan dengan jumlah rupiah yang harus
dibayarkan untuk memperoleh suatu barang, sedangkan nilai suatu barang tidak
selalu dikaitkan dengan jumlah rupiah tetapi termasuk manfaat dari barang
tersebut bagi masyarakat secara keseluruhan. Atas dasar pemikiran tersebut terjadi
kecenderungan pengambilan berlebihan dan pemborosan sumberdaya. Kemudian
Davis dan Johnson (1987) mengklasifikasikan nilai berdasarkan cara penilaian
atau penentuan besar nilai dilakukan, yaitu : (a) nilai pasar, yaitu nilai yang
ditetapkan melalui transaksi pasar, (b) nilai kegunaan, yaitu nilai yang diperoleh
dari penggunaan sumberdaya tersebut oleh individu tertentu, dan (c) nilai sosial,
4
yaitu nilai yang ditetapkan melalui peraturan, hukum, ataupun perwakilan
masyarakat. Sedangkan Pearce (1992 dalam Munasinghe, 1993) membuat
klasifikasi nilai manfaat yang menggambarkan Nilai Ekonomi Total (Total
Economic Value) berdasarkan cara atau proses manfaat tersebut diperoleh.
Nilai ekonomi (economic value) dari suatu barang atau jasa diukur dengan
menjumlahkan kehendak untuk membayar (willingness to pay) dari banyak
individu terhadap barang atau jasa yang dimaksud. Pada gilirannya, kehendak
untuk membayar merefleksikan preferensi individu untuk suatu barang yang
dipertanyakan. Jadi dengan demikian, valuasi ekonomi dalam konteks lingkungan
hidup adalah tentang pengukuran preferensi dari masyarakat untuk lingkungan
hidup yang baik dibandingkan terhadap lingkungan hidup yang jelek. Valuasi
merupakan fundamental untuk pemikiran pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Hal yang sangat penting untuk dimengerti adalah, apa
yang harus dilakukan dalam melaksanakan valuasi ekonomi. Hasil dari valuasi
dinyatakan dalam nilai uang (money tems) sebagai cara dalam mencari preference
revelation, misalnya dengan menanyakan "apakah masyarakat berkehendak untuk
membayar?". Lebih lanjut dinyatakan bahwa penggunaan nilai uang
memungkinkan membandingkan antara "nilai lingkungan hidup (environmental
values)" dan "nilai pembangunan (development values)" (Cserge, 1994).
Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai
ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut
pandang masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan valuasi ekonomi perlu
diketahui sejauh mana adanya bias antara harga yang terjadi dengan nilai riil yang
seharusnya ditetapkan dari sumberdaya yang digunakan tersebut. Selanjutnya
adalah apa penyebab terjadinya bias harga tersebut. Ilmu ekonomi sebagai
perangkat melakukan valuasi ekonomi adalah ilmu tentang pembuatan pilihan-
pilihan (making choices). Pembuatan pilihan-pilihan dari alternatif yang
dihadapkan kepada kita tentang lingkungan hidup adalah lebih kompleks,
dibandingkan dengan pembuatan pilihan dalam konteks barang-barang privat
murni (purely private goods).
5
Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam
suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus
diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan
alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran.
Nilai ekonomi total ini dapat dipecah-pecah ke dalam suatu himpunan bagian
komponen. Sebagai ilustrasi, misalnya dalam konteks penentuan alternatif
penggunaan lahan dari hutan mangrove. Berdasarkan hukum biaya dan manfaat
(a benefit-cost rule), keputusan untuk mengembangkan suatu ekosistem hutan
mangrove dapat dibenarkan (justified) apabila manfaat bersih dari pengembangan
ekosistem tersebut lebilh besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi dalam hal ini
manfaat konservasi diukur dengan nilai ekonomi total dari hutan mangrove
tersebut. Nilai ekonomi total ini juga dapat diinterpretasikan sebagai nilai
ekonomi total dari perubahan kualitas lingkungan hidup.
2.1.2 Ekosistem dan Zonasi Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1992). Hutan
mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara
sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada
pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang
sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas
pantai yang terlindung (Nontji, 1987; Nybakken, 1992). Menurut Irwanto (2006,
dalam Katili, 2009), bahwa hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks
terdiri dari flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan
air laut, antara batas air pasang surut.
Pengertian hutan mangrove, menurut Alikodra (1998), adalah suatu
formasi hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut dengan keadaan tanah yang
anaerobik. Sementara itu, Bengen (2002) mendefinisikan hutan mangrove sebagai
komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon
6
mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai
berlumpur. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di
sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut,
mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta
dan pantai yang terlindung. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang
memiliki muara sungai besar dan bersubstrat lumpur, sedangkan di wilayah
pesisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak
optimal. Sedangkan menurut Aksornkoae (1993), mangrove juga dapat umbuh
dengan baik di substrat berlumpur dan perairan pasang yang menyebabkan
kondisi anaerob, hal ini disebabkan mangrove memiliki akar-akar khusus yang
berfungsi sebagai penyangga sekaligus penyerap oksigen dari udara di permukaan
air secara langsung.
Zonasi hutan mangrove ditentukan oleh keadaan tanah, salinitas,
penggenangan, pasang surut, laju pengendapan dan pengikisan serta ketinggian
nisbi darat dan air. Zonasi juga menggambarkan tahapan suksesi yang sejalan
dengan perubahan tempat tumbuh. Perubahan tempat tumbuh bersifat sangat
dinamis disebabkan oleh adanya laju penggendapan atau pengikisan. Daya
adaptasi suatu jenis mangrove terhadap keadaan tempat tumbuh dapat menentukan
komposisi jenis pada tiap zonasi. Semakin jauh dari laut maka suatu jenis akan
menggantikan jenis lain, dan proses ini dapat terjadi sampai ke daerah peralihan,
yaitu berbatasan dengan komunitas rawa, air tawar dan hutan pedalaman.
2.1.3 Penyebab dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove
Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) RI (2008)
berdasarkan Direktoral Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen
RLPS), Dephut (2000) luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah
9.204.840.32 ha dengan luasan yang berkondisi baik 2.548.209,42 ha, kondisi
rusak sedang 4.510.456,61 ha dan kondisi rusak 2.146.174,29 ha. Data hasil
pemetaan Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-Bakosurtanal dengan
menganalisis data citra Landsat ETM (akumulasi data citra tahun 2006-2009, 190
scenes), mengestimasi luas mangrove di Indonesia adalah 3.244.018,46 ha
7
(Hartini, et al., 2010). Kementerian kehutanan tahun 2007 juga mengeluarkan
data luas hutan mangrove Indonesia, adapun luas hutan mangrove Indonesia
berdasarkan kementerian kehutanan adalah 7.758.410,595 ha (Direktur Bina
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan, 2009 dalam Hartini Et al,
Kerusakan mangrove bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti
aktivitas manusia, pencemaran, sedimentasi, gelombang, pasang surut dan arus.
Aktivitas manusia yang berupa penebangan liar, pembukaan lahan, pembuangan
limbah memberikan pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove. Bersumber
dari keinginan manusia untuk mengkonversi hutan mangrove menjadi lahan
perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu
meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan meningkatnya
pula eksploitasi berlebihan terhadap mangrove. Kegiatan lain yang menyebabkan
kerusakan hutan mangrove adalah pembukaan lahan-lahan tambak untuk budidaya
ikan. Kegiatan terakhir ini memberikan konstribusi besar dalam pengrusakan
ekosistem ini (Dahuri, 2002).
2010), tetapi hampir 70%nya rusak (belum tau kategori rusaknya seperti apa).
Pembukaan lahan tambak bukan saja menjadi penyebab utama terjadinya
kerusakan mangrove seperti yang di jelaskan oleh Bengen dan Adrianto (1998)
tapi juga dapat disebabkan oleh faktor lain seperti; adanya tekanan penduduk yang
tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi, perencanaan
dan pengelolaan sumberdaya pesisir khususnya mangrove dimasa lalu bersifat
sangat sektoral, rendahnya kesadaran masyarakat tentang konservasi dan fungsi
ekosistem dan kemiskinan masyarakat pesisir yang terdesak oleh kebutuhan
ekonomi, sehingga dengan seenaknya membuka lahan di areal hutan mangrove
untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Demikian pula penebangan liar untuk
tujuan memperoleh kayu sebagai bahan bangunan, kayu bakar dan lainnya.
Mereka masih beranggapan bahwa hutan mangrove adalah milik bersama dan
dapat dimanfaatkan kapan saja dan oleh siapa saja. Selanjutnya Saparinto (2007)
menyatakan bahwa tingkatan kerusakan mangrove dapat dibagi dalam tiga kondisi
yaitu; (1) rusak berat, ditandai dengan habisnya hutan mangrove dalam satu
wilayah, rusaknya keseimbangan ekologi, intrusi air laut yang tinggi dan
8
menurunnya kualitas tanah, (2) rusak sedang, ditandai masih tersisa sedikit hutan
mangrove dalam satu wilayah, keseimbangan ekologi dalam tingkatan sedang dan
intrusi yang terjadi tidak terlalu parah, dan (3) tidak rusak, kondisi mangrove
masih terjaga dengan baik dan lestari.
2.1.4 Rehabilitasi Kerusakan Hutan Mangrove
Rehabilitasi intinya adalah penanaman kembali hutan mangrove yang telah
mengalami kerusakan. Agar rehabilitasi dapat berjalan secara efektif dan efisien
perlu didahului dengan survei untuk menetapkan kawasan yang potensial untuk
rehabilitasi berdasarkan penilaian kondisi fisik dan vegetasinya. Di banyak negara
berbagai upaya telah dilakukan untuk memulihkan habitat bakau yang hancur
dengan program penanaman kembali, atau bahkan menanam bakau di tempat yang
belum diketahui/dikenal sebelumnya. Alasanya sangat beragam. Pada beberapa
kasus, tujuannya adalah untuk melestarikan atau menciptakan kembali sebuah
ekosistem untuk kepentingan sendiri. Yang lebih umum, penanaman kembali
dilakukan karena kesadaran terhadap nilai sumberdaya bakau bagi perikanan atau
aktivitas lain, atau untuk menahan erosi pantai (Hogarth, 1999).
2.1.5 Pemetaan Kerusakan Mangrove
Penginderaan jauh menyediakan satu-satunya cara efisien untuk pemetaan
dan pemantauan perubahan ekologi pada daerah yang luas. Sehubungan dengan
zona ekologis, penginderaan jauh menyediakan sarana untuk mengamati daerah-
daerah pada skala yang global dan lokal. Identifikasi obyek dengan menggunakan
teknologi penginderaan jauh dilaksanakan dengan beberapa pendekatan antara
lain; karakteristik spektral citra, visualisasi, floristik, geografi dan phsygonomik
Hartono (2003). Pada pengenalan objek melalui citra yang dihasilkan oleh sistem
satelit lebih banyak didasarkan atas karakteristik spektral. Obyek yang berbeda
akan memberikan pantulan spektral yang berbeda pula, bahkan obyek yang sama
dengan kondisi dan kerapatan yang berbeda akan memberikan nilai spektral yang
berbeda (Swain dan Davis, 1978).
Menurut Danoedoro (2009), kajian ekosistem mangrove melalui
pendekatan secara spasial dapat diterapkan dengan menggunakan citra skala besar
9
atau resolusi spasial tinggi. Melalui pendekatan spasial akan terlihat tekstur
kanopi dan lokasi yang menjadi fokus penelitian. Untuk melihat apakah terdapat
mangrove dan bukan mangrove dapat menggunakan citra resolusi sedang-rendah
yang tercetak pada skala 1:100.000 hingga 1:300.000 dengan asumsi bahwa lebar
satuan pemetaan terkecil adalah 1 mm atau setara 100-300 meter. Meskipun
demikian, pada kenyataannya, lebar 1 zona mangrove bisa kurang dari 15 meter,
dan pada citra tercetak zona ini bisa teridentifikasi dan terpetakan hingga 1mm.
Dengan demikian, skala paling kasar untuk pemetaan detil zona mangrove ialah
1:15.000 (meskipun penggambaran satu zona selebar 1 mm akan kurang akurat)
dan resolusi spasial paling kasar sekitar 2,5-4 m.
Danoedoro (1996) menjelaskan masukan data dapat dilakukan dengan tiga
cara, yaitu: pelarikan atau penyiaman (scanning), digitasi, dan tabulasi.
Komponen manajemen data meliputi semua operasi penyiapan, pengaktifan,
penyimpanan kembali dan pencetakan semua data yang diperoleh dari masukan
data. Manipulasi dan analisis data untuk menghasilkan informasi baru. Dengan
beberapa fasilitas, antara lain: interpolasi spasial, tumpangsusun peta (map
crossing, tumpangsusun dengan bantuan matriks atau tabel dua dimensi, dan
kalkukasi peta), pembuatan model dan analisis data. Komponen keluaran yang
berupa informasi spasial baru, dapat berupa peta, tabel atau hasil cetak dan data
tabuler maupun dalam bentuk elektronik.
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa SIG mampu menganalisis dan
mengkonversi sekumpulan data spasial menjadi informasi untuk keperluan
tertentu. Kunci kemampuan SIG adalah analisis data untuk menghasilkan
informasi baru. Salah satunya dengan tumpangsusun peta (overlay). SIG
menyediakan fasilitas tumpangsusun secara cepat untuk menghasilkan satuan
pemetaan baru sesuai dengan kriteria yang dibuat (Danoedoro, 1996). Dilihat dari
defenisinya, SIG adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang
tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Memiliki perangkat keras komputer beserta
dengan perangkat lunaknya belum berarti bahwa kita sudah memiliki SIG apabila
data geografis dan sumberdaya manusia yang mengoperasikannya belum ada.
Sebagaimana sistem komputer pada umumnya, SIG hanyalah sebuah ”alat ” yang
10
mempunyai kemampuan khusus. Kemampuan sumberdaya manusia untuk
memformulasikan persoalan dan menganalisa hasil akhir sangat berperan dalam
keberhasilan SIG.
2.2 Kerangka Teori
Hutan mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang pada kondisi
sekarang telah mengalami kerusakan akibat pemanfaatan dan pengelolaan yang
kurang memperhatikan aspek kelestarian. Ekosistem mangrove yang rusak
membawa dampak diantaranya perubahan luasan, produktivitas ekosistem
mangrove terganggu, dan keanekaragaman spesies mangrove di kawasan ini
semakin habis.
Kerusakan hutan mangrove yang terjadi di wilayah pesisir Kecamatan
Kwandang selain disebabkan oleh kegiatan masyarakat yang bermukim di sekitar
kawasan mangrove tersebut, juga diakibatkan oleh percepatan pembangunan di
Kabupaten Gorontalo Utara. Kecamatan Kwandang adalah salah satu Kecamatan
yang merupakan bagian dari wilayah pemekaran di Kabupaten Gorontalo Utara
sekaligus menjadi ibu kota Kabupaten di bagian utara, Provinsi Gorontalo.
Kegiatan pembangunan di suatu daerah, terutama yang menjadi wilayah
pemekaran, dapat memberikan dampak positif dari pembangunan tersebut, tetapi
sekaligus membawa risiko yang cukup besar terutama pada aspek lingkungan
hidup. Oleh sebab itu, kedua aspek ini perlu diperhitungkan secara seimbang.
Sama halnya dengan membabat hutan mangrove untuk dijadikan tambak udang
dengan tujuan utama guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dari segi
ekonomi, namun tidak bisa dipungkiri pembukaan tambak tersebut justru
memberikan ancaman terbesar terhadap keberadaan ekosistem mangrove yang
notabenenya bisa menyebabkan kerusakan hutan mangrove bahkan sampai
menyebabkan kepunahan spesies tertentu dari biodiversity yang dimiliki hutan
mangrove tersebut.
Kerusakan hutan mangrove membawa akibat pada ketidakmampuan suatu
kawasan dalam mendukung kehidupan sekelilingnya. Hutan mangrove dapat
dicirikan dengan adanya biodiversity tinggi yang mampu memberikan manfaat
11
terhadap kehidupan. Untuk menentukan sejauh mana tingkat kerusakan hutan
mangrove tersebut harus diketahui distribusi spasial dan luas kerusakan hutan
mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang Provinsi Gorontalo, yang
didahului dengan melakukan pemetaan satuan lahan berdasarkan bentuklahan dan
pola penggunaan lahan melalui tumpang susun (overlay) peta yang memanfaatkan
teknologi sistem informasi geografis. Informasi tentang satuan bentuklahan
(landform) dapat diperoleh melalui intrerpretasi citra multitemporal meliputi
Landsat ETM+ tahun 2000, citra ALOS/AVNIR-2 (Advanced Land Observing
Satelite/Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) tahun 2010, dan
uji lapangan, 2010. Hasil dari interpretasi citra ini kemudian dapat dipetakan.
Perubahan luas daerah yang mengalami kerusakan menggunakan citra Landsat
ETM+
Penggunaan lahan di suatu daerah dapat memberikan gambaran tentang
aktivitas masyarakat akan pemanfaatan lahan sehingga dapat digunakan menjadi
indikator cara masyarakat memperlakukan sumberdaya alam. Perubahan
penggunaan lahan yang ada dapat digunakan untuk mengevaluasi bentuk/pola
interaksi manusia, tanah, dan tumbuhan yang ada di lahan tersebut. Penggunaan
lahan tahun 2000 dan tahun 2010 menggunakan Peta RBI 1991 sebagai referensi
pembuatan peta dan hasil interpretasi citra Landsat ETM
tahun 2000 dan citra ALOS AVNIR-2 tahun 2010, penggunaan perekaman
dua waktu yang berbeda tersebut guna mendapatkan data pasti dan akurat akan
luas kawasan mangrove yang telah rusak.
+ tahun 2000 dan citra
ALOS AVNIR-2. Penggunaan lahan tahun 2000 bersumber dari citra Landsat
ETM+ tahun 2000, dan pengecekan lapangan pada 2010, dan informasi
penggunaan lahan 2010 diperoleh berdasarkan interpretasi Peta RBI skala
1:50.000 tahun 1991, citra ALOS (Advanced Land Observing Satelite) AVNIR-2
(Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2)
Pengambilan data kerusakan hutan mangrove dilakukan secara Stratified
Sampling, yaitu berdasarkan satuan lahan yang menyebabkan kerusakan hutan
tahun 2010, dan
pengecekan lapangan pada 2010. Dalam studi ini pengunaan lahan dibatasi dan
mengacu pada jenis penggunaan lahan tertentu yang berkaitan langsung dengan
faktor penyebab kerusakan hutan mangrove.
12
mangrove, yang lebih difokuskan pada mangrove yang rusak. Untuk lokasi
sampel dipilih berdasarkan kriteria kondisi mangrove. Penilaian ekonomi
berdasarkan kerusakan ekosistem mangrove. Variabel yang dilibatkan dalam
penelitian ini yakni semua pemanfaatan yang bersumber dari ekosistem hutan
mangrove, baik itu nilai ekonomi dari pemanfaatan secara langsung maupun tidak
langsung. Nilai ekonomi pemanfaatan langsung meliputi kayu untuk kayu bakar
dan bahan bangunan, hasil tangkapan ikan, udang, kepiting, dan burung,
sementara nilai ekonomi tidak langsung berasal dari fungsi ekologis yakni
penahan intrusi, penahan gelombang dan pengendali banjir, dan sebagai sumber
penyedia pakan. Disamping itu diukur pula nilai pilihan, yakni keanekaragaman
hayati dan penyimpanan karbon, nilai keberadaan spesies langka, satwa
dilindungi, dan perlindungan habitat, dan nilai warisan. Karena keterbatasan biaya
maka variabel lain yang merupakan bagian dari pemanfaatan mangrove tidak
dilakukan diantaranya nilai pendidikan dan penelitian, garam, bahan pengawet,
bahan pewarna jala, dan sebagainya. Selain komponen variabel nilai dari
ekosistem mangrove, variabel yang juga terlibat yakni variabel karakteristik
lingkungan sosial-ekonomi meliputi kependudukan, tingkat pendidikan penduduk,
pendapatan dan pengeluaran; variabel karakteristik ekologis hutan mangrove
meliputi bentuklahan, penggunaan lahan, satuan lahan, kondisi tanah, iklim; dan
variabel karakteristik kerusakan hutan mangrove meliputi alih fungsi hutan
mangrove dan perubahan luas hutan mangrove.
Gambar 2.2 secara ringkas menunjukkan kerangka teori yang dibangun
untuk menjembatani telaah pustaka dengan metode yang dikembangkan dalam
disertasi ini. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa untuk menghasilkan
model valuasi ekonomi memerlukan metode valuasi yang berbeda berdasarkan
tingkat kerusakannya pada ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kecamatan
Kwandang, sehingga dengan model valuasi ekonomi inilah yang akan digunakan
sebagai dasar untuk merehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir
Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
13
Keterangan: = Sumber = Proses
= Hasil Gambar 2.2 Skema pemikiran teoritik kerusakan hutan mangrove di lokasi
penelitian
Ekosistem hutan mangrove
Produktivitas ekosistem terganggu
Kelangsungan ekosistem paling tergantung pada
ekosistem yang terganggu
Valuasi ekonomi Kerusakan hutan mangrove meliputi nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai pilihan, nilai keberadaan dan
nilai warisan
Informasi tentang luas, lokasi, dan jenis mangrove yang rusak,
serta intensitas kerusakan
Perlu metode valuasi yang berbeda berdasarkan tingkat kerusakannya pada ekosistem mangrove di wilayah pesisir
Kwandang
Perlu rehabilitasi
Citra penginderaan jauh, peta, dan data lapangan
Asumsi : Keberlangsungan ekosistem
merupakan keberlanjutan ekologis jangka panjang
Model valuasi ekonomi sebagai dasar untuk rehabilitasi
kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir Kwandang
Pesisir Kwandang
Keanekaragaman hayati yang
tinggi
Model untuk wilayah mangrove lain di Indonesia
Rekomendasi 1. Menetapkan Perda di bidang kehutanan yang
mengatur status hutan mangrove 2. Semua aspek yang bersentuhan langsung
dengan pemanfaatan mangrove harus memperhitungkan nilai-nilai ekologi
Terjadi kerusakan
14
III. METODE PENELITIAN
Provinsi Gorontalo mempunyai kawasan mangrove yang luas di pantai
utara Kabupaten Gorontalo Utara, serta di pantai selatan Pohuwato. Kabupaten
Gorontalo Utara dipilih sebagai daerah penelitian karena terdapat hutan mangrove
yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi, dan memiliki keunikan pola
zonasi yang berbeda dengan pola zonasi pada umumnya, meski pada saat ini telah
mengalami kerusakan. Lokasi penelitian tersebar di 6(enam) desa yaitu Desa
Bulalo, Desa Dambalo, Desa Leboto, Desa Molinggapoto, Desa Moluo, dan Desa
Mootinelo.
3.1 Bahan, Data dan Alat-alat yang Digunakan dalam Penelitian
3.1.1 Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Citra Digital Landsat ETM+
2. Citra ALOS/AVNIR-2 (Advanced Land Observing Satelite/
(Enhanced Thematic Mapper Plus) dengan
resolusi spasial 30m tahun perekaman 2000 yang digunakan untuk membuat
peta penggunaan lahan, peta penutupan vegetasi, dan peta kerusakan
mangrove tahun 2000
Advanced Visible
and Near Infrared Radiometer type-2
3. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000, Lembar Kwandang 2216-64 tahun
1991, digunakan sebagai referensi geometrik dan topografis bagi peta
administrasi, peta lokasi sampel, peta bentuklahan, peta penggunaan lahan
tahun 2000, peta penggunaan lahan tahun 2010, peta penutupan vegetasi tahun
2000, peta penutupan vegetasi tahun 2010, peta satuan lahan dan peta
kerusakan mangrove tahun 2000-2010.
) dengan resolusi spasial 10m tahun
perekaman 2010 digunakan untuk membuat peta bentuklahan, peta
penggunaan lahan, peta penutupan vegetasi, peta kerusakan, peta vegetasi, dan
untuk menghitung karbon.
4. Peta bentuklahan dibuat dengan interpretasi Peta RBI, Peta Administrasi
Kecamatan Kwandang tahun 2010, Peta Geologi Lembar Tilamuta, Citra Alos
AVNIR-2 tahun 2010 digunakan untuk memberikan data dan informasi satuan
15
bentuklahan, luas dan sebarannya di hutan mangrove wilayah pesisir
Kecamatan Kwandang.
5. Peta penggunaan lahan tahun 2000 dibuat dengan interpretasi Peta RBI, Peta
Administrasi Kecamatan Kwandang tahun 2010, Citra Landsat ETM+
6. Peta penggunaan lahan tahun 2010 dibuat interpretasi Peta RBI, Peta
Administrasi Kecamatan Kwandang tahun 2010, Citra ALOS/AVNIR-2 tahun
2010 digunakan untuk melihat perubahan peruntukkan lahan mangrove akibat
kegiatan masyarakat akan penggunaan lahan mangrove yang telah berubah
peruntukkannya untuk pembuatan tambak, pemukiman, sawah, pelabuhan,
kebun, dan lain sebagainya di tahun 2010.
tahun
2000 digunakan untuk melihat perubahan peruntukkan lahan mangrove akibat
kegiatan masyarakat akan penggunaan lahan mangrove yang telah berubah
peruntukkannya untuk pembuatan tambak, pemukiman, sawah, pelabuhan,
kebun, dan lain sebagainya di tahun 2000.
7. Peta satuan lahan digunakan untuk menunjukkan wilayah mana yang memiliki
kesamaan bentuklahan dan penggunaan lahan pada kondisi sekarang yang
dibuat dengan menumpangsusunkan peta-peta tematik yang telah disusun
meliputi Peta Rupa Bumi, Peta Administrasi Kecamatan Kwandang tahun
2010, Peta bentuklahan tahun 2010, Peta penggunaan lahan tahun 2010, untuk
bahan pertimbangan dalam menentuan satuan-satuan lahan.
3.1.2 Data Sekunder Yang Diperlukan
Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian adalah :
1. Data sekunder terdiri dari data iklim (curah hujan dan jumlah hari hujan per
tahun) selama 6 tahun digunakan untuk menganalisis keadaan iklim pada
daerah penelitian.
2. Data Dalam Angka (DDA) Kabupaten Gorontalo Utara tahun 2010, dan DDA
Kecamatan Kwandang tahun 2010.
3. Data dan informasi sekumder dari Dinas, Instansi Teknis Pemerintah yang
trekait dengan penelitian ini.
16
3.1.3 Alat-alat Yang Digunakan Dalam Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Perangkat computer Notebook Tosibha, Intel Core 2 Duo.
2. Software SIG Arc View versi 3.3, ENVI 4.8, extensi xtool, extensi transform
dan registry tool yang digunakan dalam pemrosesan SIG dan pembuatan
tampilan atau layout peta, dan extensi edit tools merupakan ekstensi
tambahan yang digunakan untuk proses editing peta.
3. Program Microsoft Office Excel 2007 untuk membantu dalam perhitungan
yang berkaitan dengan pemetaan, analisis vegetasi, perhitungan karbon, dan
valuasi ekonomi hutan mangrove.
4. Alat tulis menulis sebagai pendukung pekerjaan di lapangan, Lembar ceklis
untuk kerja lapangan, yaitu mencek kondisi lapangan, kuisioner untuk para
nelayan, masyarakat, dan pemangku kepentingan yang berada di sekitar
Kawasan Hutan Mangrove.
5. Alat untuk survey dan pengukuran lapangan meliputi :
a. Global Posistion System (GPS) receiver garmin e-map, untuk
menentukan koordinat lokasi penelitian di lapangan.
b. Bor tanah untuk pengambilan sampel tanah yang akan di lakukan analisa
di laboratorium.
c. Salinometer untuk mengukur salinitas (kadar garam) yang terlarut dalam
air.
d. Kertas lakmus untuk mengukur tingkat keasaman atau kebasahan tanah
dan air.
e. Kamera digital untuk dokumentasi gambar obyek di lapangan.
f. Kabel data untuk pemindahan gambar obyek dari kamera digital ke
komputer.
g. Perlengkapan tape recorder untuk merekam kegiatan wawancara.
6. Perangkat analisis tanah di laboratorium Hidrologi dan Kualitas Air, Fakultas
Geografi, Universitas Gadjah Mada.
17
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
3.2.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dam kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Populasi
dalam penelitian adalah seluruh kawasan mangrove, masyarakat, tokoh
masyarakat, instansi yang terkait dengan permasalahan yang diteliti baik di
Kabupaten Gorontalo Utara, maupun ditingkat Provinsi Gorontalo. Kerusakan
mangrove merupakan obyek kajian utama. Kajian ini akan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan valuasi ekonomi untuk tingkat kerusakan mangrove.
Sebagai faktor yang juga memanfaatkan mangrove yaitu masyarakat pada
umumnya dan nelayan pada khususnya. Aspek yang menjadi sasaran kajian pada
kelompok masyarakat meliputi pemanfaatan mangrove, dengan mengkaji kondisi
sosial-ekonomi dalam hubungannya dengan pemanfaatan mangrove itu sendiri.
Jumlah Populasi diambil berdasarkan jumlah penduduk berdasarkan mata
pencaharian yakni sebanyak 3432 orang. Jumlah satuan lahan di kawasan hutan
mangrove untuk tahun 2010 adalah 31 unit yang terbagi menjadi 9 kelas satuan
lahan.
3.2.2 Sampel Penelitian
Penentuan titik sampel di lapangan dilakukan dengan menggunakan
metode Stratified Random Sampling atau sampel secara acak berstrata.
Pertimbangan yang diambil dalam penentuan lokasi sampel adalah sukar atau
mudahnya dikenali suatu obyek pada saat interpretasi, tingkat kesulitan dan
keterjangkauan dalam mencapai lokasi sampel yang ditetapkan. Dalam penentuan
titik sampel pada setiap satuan lahan tetap memperhatikan penggunana lahan akan
pemanfaatan lahan kawasan hutan mangrove yang telah berubah peruntukkannya.
Satuan lahan diperoleh dari hasil tumpang susun peta bentuklahan dan peta
penggunanaan lahan/pemanfaatan lahan hutan mangrove. Hasil overlai parameter
bentuklahan dan penutupan/penggunaan lahan hutan mangrove di wilayah studi
menghasilkan 31 satuan lahan yang terbagi menjadi 9 kelas satuan lahan.
18
3.2.3 Teknik Pengambilan Sampel Tanah
Teknik pengambilan sampel tanah ditentukan dengan metode Stratified
Sampling. Penentuan sampel berdasarkan sebaran jenis tanah yang ada di lokasi
penelitian baik yang terdapat vegetasi, dan yang telah berubah peruntukkannya
menjadi tambak dan kebun. Berdasarkan kondisi kerusakannya yang homogen
maka pengambilan titik sampel tanah hanya diwakili dengan 11 titik sampel dari
total 31 titik sampel plot pengamatan. Untuk ketelitian hasil sampel tanah di
lokasi penelitian dilakukan pengujian laboratorium. Komponen yang diukur dan
dianalisis di laboratorium meliputi kondisi tanah yakni tekstur tanah, kelas tekstur
tanah, pH H20, Ph KCL, nitrogen total, nitrogen tersedia, P tersedia, K tersedia,
KPK, Ca, Mg, K, Na, kejenuhan basa, bahan organik, dan salinitas.
3.2.4 Teknik Pengambilan Sampel Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat
Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan Stratified
Sampling yaitu menentukan orang-orang yang dijadikan responden pada daerah
itu secara sampling juga mengingat setiap desa yang ada di Kecamatan Kwandang
itu berstrata (tidak sama) ada yang penduduknya padat, ada yang tidak, maka
pengambilan sampelnya perlu menggunakan stratified sampling, dan untuk
penentuan responden menggunakan random sampling yakni secara acak dimana
semua individu dalam populasi baik sendiri-sendiri atau bersama-sama, diberi
kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel yakni terdiri dari
nelayan, petani, pekerja tambak, pedagang, tokoh masyarakat, para pemangku
kepentingan baik Provinsi dan pemerintah daerah.
Jumlah responden yang diambil sampel ditarik 2% dari 3432 orang total
populasi di enam desa, hal ini didasarkan pada waktu dan dana yang terbatas.
Sampel masyarakat yang telah ditetapkan sebesar 65 responden. Hal lain yang
dilakukan untuk melengkapi data adalah melakukan wawancara dengan para
tokoh masyarakat, para pemangku kepentingan baik Provinsi dan pemerintah
daerah sebanyak tiga responden pada saat survei dan pengukuran di lapangan.
19
3.2.5 Teknik Pengambilan Sampel Vegetasi
Teknik pengambilan sampel vegetasi meliputi struktur vegetasi yaitu
dengan cara membuat transek segi empat yang ditandai dengan tali. Panjang
transek dibuat dengan ukuran 30 m x 30 m dengan mempertimbangkan resolusi
spasial dari citra yang digunakan. Selanjutnya, dipetakkan dan dicatat diameter,
tinggi tajuk, tinggi bebas cabang dan lebar tajuk tiap pohon. Total transek yang
dibuat sebanyak 31 transek, dari arah laut ke darat. Spesies mangrove di lokasi
penelitian diketahui dengan melakukan identifikasi spesies secara langsung di
lapangan pada setiap transek. Jumlah individu setiap spesies mangrove yang
ditemukan dalam transek dicatat.
3.2.6 Pengambilan Data Instansional
Pengambilan sampel pada instansi terkait adalah menggunakan metode
Purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel dilakukan berdasarkan
karakteristik yang ditetapkan terhadap elemen populasi target yang diperoleh.
Teknik ini didasarkan atas cirri tertentu yang diperkirakan mempunyai hubungan
dengan penelitian yang dilakukan. Metode ini digunakan dengan pertimbangan
bahwa hanya instansi tertentu yang memiliki kegiatan yang sesuai dengan
penelitian. Setelah penetapan instansi dilakukan maka hanya bagian-bagian
tertentu yang menjadi sasaran untuk dilakukan wawancara. Instansi terkait yakni
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gorontalo Utara, BPS Provinsi Gorontalo,
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gorontalo Utara, Dinas Perikanan
dan Kelautan Kabupaten Gorontalo Utara, BALIHRISTIK Provinsi Gorontalo,
BAPPEDA Kabupaten Gorontalo Utara, Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika Provinsi Gorontalo.
3.3 Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri atas : 1) Variabel Karakteristik Lingkungan
Sosial-Ekonomi yakni kependudukan, tingkat pendidikan penduduk, pendapatan
dan pengeluaran; 2) Variabel Karakteristik Lingkungan Abiotik yakni
bentuklahan, penggunaan lahan, kondisi tanah, iklim; 3) Variabel Karakteristik
Kerusakan Hutan Mangrove yakni alih fungsi hutan mangrove dan perubahan luas
20
hutan mangrove; 4) Variabel Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove yakni nilai guna
langsung, nilai guna tak langsung, 3) nilai Pilihan, 4) nilai nilai keberadaan
spesies langka, satwa dilindungi, dan perlindungan habitat , 5) nilai warisan.
3.4 Prosedur Penelitian
1. Penyusunan pete-peta tematik meliputi Interpretasi Citra Landsat ETM+
2. Analisis Ekosistem Mangrove Berdasarkan Peta meliputi karakteristik
Lingkungan Abiotik, kondisi struktur vegetasi mangrove, kondisi sosial
ekonomi.
Tahun 2000 dan ALOS ENVIR-2 Tahun 2010, Peta Bentuklahan, Peta
Penutupan Vegetasi, Peta Kerusakan Hutan Mangrove Tahun 2000-2010.
3. Analisis Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove
Teknik dan metode perhitungan valuasi ekonomi hutan mangrove yang
digunakan bersumber dari semua manfaat yang dihasilkan dari hutan
mangrove yang sesuai dengan hasil yang diperoleh baik itu dalam bentuk
produk maupun jasa mangrove.
Adapun teknik dan metode perhitungan valuasi ekonomi hutan mangrove
disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Teknik Dan Metode Perhitungan Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove
Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Valuasi A. Nilai Guna Langsung 1. Kayu bakar Harga pasar, harga kayu bakar 2. Kayu bangunan Harga pasar, harga kayu bangunan 3. Hasil tangkapan ikan Harga pasar, harga hasil tangkapan
ikan 4. Udang Harga pasar, harga udang 5. Kepiting bakau Harga pasar, harga kepiting bakau 6. Ekowisata Biaya perjalanan 7. Ilmu Pengetahuan Biaya langsung B. Nilai Guna Tak Langsung
1. Penahan intrusi Biaya pengganti, biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan air tawar
2. Sebagai pelindung, penahan gelombang (tsunami) dan pengendali banjir
Biaya pengganti, biaya yang dikeluarkan untuk membangun
21
sarana fisik break water dan tembok penahan air yang digunakan sebagai pelindung, penahan gelombang dan pengendali banjir
3. Penyedia pakan Harga pasar, harga pakan C. Nilai Pilihan
1. Keanekaragaman hayati Nilai keanekaragaman hayati US $ 1500/km²
2. Penyimpanan karbon Nilai karbon 1 ton US $ saat ini 3. Memelihara iklim mikro dan makro hutan mangrove Biaya relokasi yakni biaya
penanaman, biaya bibit yang dikeluarkan untuk melestarikan kembali kawasan hutan mangrove yang telah rusak
D. Nilai Keberadaan 1. Spesies langka, satwa dilindungi, dan perlindungan
habitat Nilai spesies langka US $ 30 ha/th
E. Nilai Warisan Metode contingent valuation Sumber : Data Primer, 2010 4. Total Valuasi Ekonomi Kerusakan Hutan Mangrove
Perhitungan nilai ekonomi total mangrove menggunakan pendekatan,
yakni dengan menjumlahkan nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai
pilihan, nilai keberadaan, dan nilai warisan.
5. Upaya Rehabilitasi Hutan Mangrove
Analisis rehabilitasi hutan mangrove didasarkan pada nilai yang diperoleh
dari kerusakan hutan mangrove berdasarkan bobot nilai kondisi rusaknya
mangrove di lokasi penelitian yakni pada pengklasifikasian kondisi mangrove
berdasarkan kriteria baku kerusakan hutan mangrove dengan kriteria baik-sangat
padat, baik-sedang, rusak-jarang. Sementara itu, aktivitas rehabilitasi hutan
mangrove yang dilakukan masyarakat melalui kegiatan penanaman kembali
mangrove yang rusak dianalisis berdasarkan hasil kuisioner. Dengan nilai inilah
yang nantinya dijadikan acuan guna merehabilitasi kondisi mangrove yang telah
rusak.
22
6. Penyusunan Model Valuasi Ekonomi sebagai Dasar untuk Rehabilitasi
Kerusakan Hutan Mangrove di Kecamatan Kwandang
Penyusunan model valuasi ekonomi yang nantinya digunakan sebagai
dasar untuk merehabilitasi kerusakan hutan mangrove di kecamatan kwandang
diperoleh dengan melibatkan berbagai komponen analisis variabel penyusunnya.
Model valuasi yang dihasilkan dapat membuktikan bahwa nilai ekologis dari nilai
ekonomi hutan mangrove lebih besar dari nilai ekonomi yang bersumber dari
pemanfaatan langsung, sehingga nilai pasti (rill) dari nilai ekologis akibat
kerusakan ekosistem ini dapat diterima.
IV. KONDISI DAERAH PENELITIAN
4.1 Kondisi Ekosistem Mangrove Di Daerah Penelitian
4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi serta Luas Wilayah
Wilayah Kecamatan Kwandang berdasarkan Daerah Dalam Angka (DDA),
2010 terdiri atas 13 desa. Luas daerah penelitian berdasarkan data BPS adalah
301,26 Km², luas berdasarkan hasil perhitungan dengan bantuan Sistem Informasi
Geografi (SIG) adalah 306,23 Km². Adanya perbedaan hasil antara data BPS dan
hasil perhitungan dengan SIG, disebabkan oleh perhitungan dari BPS hanya
didasarkan pada perhitungan luas berdasarkan surat sertifikat tanah tanpa
menggunakan perhitungan dari citra. Sedangkan untuk penelitian ini semua data
akan mengacu pada luasan berdasarkan hasil citra ALOS/AVNIR-2 (Advanced
Land Observing Satelite/Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2
Berdasarkan luas Desa yang berada di daerah penelitian, Desa Bualemo memiliki
luas terbesar yaitu 117,96 Km² atau 38,52% lebih luas dibandingkan dengan Desa
lainnya di Kecamatan Kwandang, dan Desa Moluo memiliki luas paling kecil
yaitu 4,6 Km² atau 1,51%. Dari 13 Desa yang terlihat pada peta adminstrasi
Kecamatan Kwandang, hanya enam desa yang dipilih sebagai lokasi pengambilan
sampel yaitu Desa Molingkapoto, Dasa Mootinelo, Desa Leboto, Desa Bulalo,
Desa Moluo dan Desa Dambalo, dengan titik sebaran sampel sebanyak 31 titik
)
tahun perekaman 2010.
23
sampel penelitian. Hal ini didasarkan pada kerusakan hutan mangrove yang terjadi
di wilayah tersebut.
4.1.2 Iklim
Curah hujan di wilayah Kwandang dari tahun 2006-2011 memberikan
pengaruh sangat besar akan pertumbuhan mangrove di daerah ini. Gambaran rata-
rata curah hujan selang tahun 2006-2011 secara lengkap disajikan pada Gambar
4.2.
Gambar 4.2 Rata-rata Curah Hujan Selang Waktu Tahun 2006-2011 Kecamatan Kwandang
4.1.3 Bentuklahan
Daerah Desa lokasi penelitian tersusun dari 6 bentuklahan yaitu perbukitan
berbatuan sedimen non-gamping diselingi sedimen gampingan, lereng kaki
non-intrusi, dataran alluvial dan dataran alluvial pantai. Dari keenam bentuklahan
di lokasi penelitian bentuklahan yang mendominasi adalah lereng kaki perbukitan
terkikis dan rataan lumpur pasang surut.
4.1.4 Penggunaan lahan
Penelitian ini menghasilkan data penggunaan lahan untuk dua tahun yang
berbeda, tahun 2000 melalui interpretasi Citra Digital Landsat ETM+ tahun
perekaman 2000 dan penggunaan lahan tahun 2010 melalui interpretasi citra
ALOS/AVNIR-2 tahun perekaman 2010. Analisis data ini memberikan informasi
1524 1500
2289
1007
2904
2432
83 66248 125 89 98
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Curah Hujan Jumlah Hari Hujan
24
sejauh mana perkembangan pola penggunaan lahan masyarakat di lokasi
penelitian dalam kurun waktu 10 tahun.
Berdasarkan hasil interpretasi Peta RBI skala 1:50.000 tahun 1991 lembar
Kwandang, Peta Administrasi Kwandang tahun 2010, Citra Digital Landsat ETM+
Penggunaan lahan untuk tambak di Desa Bulalo dan Desa Moluo di tahun 2010
telah terjadi perubahan luasan yakni untuk Desa Bulalo sekarang luasan
tambaknya adalah seluas 105,2 Ha, sedangkan untuk Desa Moluo areal tambak
yang ada adalah seluas 70,94 Ha. Berdasarkan data ini untuk Desa Bulalo terjadi
peningkatan luasan areal pembukaan tambak disebabkan aktivitas masyarakat
yang terus memanfaatkan kawasan mangrove tersebut, sedangkan untuk Desa
Moluo terjadi perubahan luas tambak di mana pada tahun 2000 luas area
mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak adalah 73,17 Ha sekarang telah
terjadi penurunan luasan areal tambak yakni 70,94 Ha, hal ini disebabkan karena
adanya pertumbuhan mangrove di kawasan bekas mangrove.
(Enhanced Thematic Mapper Plus) tahun perekaman 2000, dan pengecekan
lapangan pada 2010, luas mangrove yang telah di konversi menjadi tambak
adalah 115.9 Ha yang terdapat di Desa Bulalo dengan luas 42,73 Ha, dan di Desa
Moluo seluas 73,17 Ha. Pola penggunaan lahan di lokasi penelitian, untuk Desa
Molingkapoto, Desa Mootinelo, Desa Leboto, dan Desa Dambalo belum terdapat
adanya penggunaan lahan untuk tambak. Sedangkan berdasarkan hasil interpretasi
Peta RBI skala 1:50.000 tahun 1991 lembar Kwandang, Peta Administrasi
Kwandang tahun 2010, Citra ALOS/AVNIR-2 tahun 2010, dan pengecekan
lapangan tahun 2010, untuk penggunaan lahan di tahun 2010, terjadi perubahan
penggunaan lahan untuk desa-desa yang pada tahun 2000 belum terdapat adanya
pembukaan tambak maka untuk tahun 2010 telah terlihat adanya pembukaan
tambak, untuk Desa Molingkapoto terdapat adanya tambak dengan luas 110,3 Ha,
untuk Desa Mootinelo daerah tambak yang ada seluas 111,1 Ha, untuk Desa
Leboto seluas 167,6 Ha, sedangkan untuk Desa Dambalo areal tambak yang ada
seluas 25,96 Ha.
25
4.1.5 Tanah
Hasil analisa Laboratorium Hidrologi dan Kualitas Air Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada dan Uji Lapangan menunjukkan kondisi tanah
mangrove pada lokasi penelitian bahwa kondisi tekstur tanah di titik 28, 4, 5, 23,
24, dan 31 yang masih terdapat vegetasi mangrove terdiri atas pasir kasar (2,77%-
62,33%), pasir sangat halus (5,35%-19,58%), pasir (9,87%-67,68%), debu
(19,30%-58,07%), dan lempung (13,02%-35,71%), dengan kondisi tanah seperti
ini maka terlihat mangrove di wilayah Kwandang di dominasi oleh genus
Avicennia dan Sonneratia yang hidup dengan baik pada tanah berpasir,
Rhizophora sp lebih menyukai debu halus, dan Bruguiera sp menyukai tanah
lempung yang mengandung sedikit bahan organik, sedangkan yang tidak terdapat
vegetasi (telah diubah menjadi tambak dan kebun) tekstur tanahnya yakni pasir
kasar (7,28%-42,72%), pasir sangat halus (4,02%-18,14%), pasir (11,30%-
60,86%), debu (24,66%-58,07%), dan lempung (14,48%-31,32%).
Bila dilihat dari tekstur tanahnya kawasan mangrove wilayah Kwandang
tidak cocok untuk tambak karena kandungan pasirnya ( > 50%) sehingga kurang
mampu menahan air dan mudah hancur. Hal ini dipertegas oleh penelitian Johari
(2009), bahwa tanah yang baik untuk tambak adalah jenis tanah dengan
kandungan lempung tinggi dan kandungan pasirnya rendah, kandungan pasir
tinggi umumnya tidak cocok untuk tambak, karena selain porositasnya tinggi daya
ikat tanahnya juga rendah sehingga mudah terlepas jika digunakan untuk
membangun tanggul. Tekstur tanah juga menentukan sumber air yang cocok
untuk tambak. Melihat data ini menegaskan bahwa wilayah Kwandang lebih
cocok untuk ditanami mangrove daripada di buat tambak.
4.1.6 Alih Fungsi Hutan Mangrove
4.1.6.1 Spesies Mangrove
Spesies mangrove yang di temukan di lokasi penelitian sebanyak 16 spesies yakni Rhizophora mucronata Blume, Rhizophora apiculata Lamk, Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou, Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob, Brugueira gymnorrhiza (L) Lamk, Bruguiera paviflora (Roxb) W&A, Sonneratia alba J.E.
26
Smith, Soneratia caseolaris (L) Eng, Xylocarpus mulocensis (Lamk) Roem, Xylocarpus granatum Koen (niri), Avecennia alba Blume, Avecennia marina (Forsk) Vierh, Avicennia officinalis (L) Lamk, Acanthus ilicifolius L, Heritiera littoralis Dryand. Ex W.Ait, Aegiceras corniculatum (L.) Blanco, dan distribusi spasialnya di posisikan pada citra ALOS/AVNIR-2.
4.1.6.2 Struktur Vegetasi Mangrove
a. Struktur Vegetasi Mangrove dan Nilai Penting Tingkat Pohon Pada
Kriteria Rusak
Pada Tabel 4.7, terlihat adanya spesies-spesies tertentu yang memiliki nilai-nilai parameter vegetasi yang tinggi dan hal ini dapat mencirikan spesies yang dominan dalam suatu komunitas tersebut. Spesies Avicennia alba Blume memiliki nilai penting sebesar 89,3%, dominansi sebesar 312 cm², frekuensi sebesar 0,42%, kerapatan sebesar 0,05 m², hal inilah yang menjadikan spesies Avicennia alba Blume terlihat paling dominan (30%) dari pada spesies lainnya. Sedangkan spesies Aegiceras corniculatum (L.) Blanco memiliki penyebaran yang tidak merata hanya ditemui pada titik tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai penting terkecil yakni 3,03%, dominansi sebesar 4,91 cm², frekuensi sebesar 0,03%, kerapatan sebesar 0,001 m². Tabel 4.7 Struktur Vegetasi Mangrove Dan Nilai Penting Tingkat Pohon Pada Kriteria
Rusak
Nama Spesies K Kr D Dr F Fr INP (m²) (%) (cm²) (%) (%) (%) (%)
b. Struktur Vegetasi Mangrove dan Nilai Penting Tingkat Pancang Pada
Kriteria Rusak
Berdasarkan analisis vegetasi untuk tingkat pancang terlihat adanya spesies-spesies tertentu yang memiliki nilai-nilai parameter vegetasi yang tinggi dan hal ini dapat mencirikan spesies yang dominan dalam suatu komunitas. Spesies-spesies mangrove tersebut, yakni Rhizophora apiculata Lamk adalah spesies yang paling mendominasi di lokasi penelitian sebesar 15% dengan nilai penting sebesar 46,5%, dominansi sebesar 174 cm², frekuensi sebesar 0,32%, dan kerapatan sebesar 0,02 m², sedangkan Rhizophora mucronata Blume memiliki nilai penting sebesar 39%, dominansi sebesar 111 cm², frekuensi sebesar 0,39%, dan kerapatan sebesar 0,05 m². Hal ini dapat berarti bahwa penyebaran mangrove Rhizophora dapat dikatakan merata pada lokasi penelitian dan karena memiliki dominansi yang besar dibandingkan dengan spesies lainnya di lokasi yang sama ini dapat berarti bahwa bentuk pohon Rhizophora apiculata Lamk lebih besar dan memiliki penutupan tajuk yang lebih luas dibandingkan dengan spesies lainnya. Struktur vegetasi mangrove dan sebaran spesies dominan untuk tingkat pancang disajikan pada Tabel 4.8 Tabel 4.8 Struktur Vegetasi Mangrove Dan Nilai Penting Tingkat Pancang Pada
Kriteria Rusak
Nama spesies K Kr D Dr F Fr INP (m²) (%) (cm²) (%) (%) (%) (%)
Berdasarkan profil zonasi di lokasi penelitian memiliki keunikan
dibandingkan dengan hutan mangrove yang ada di daerah lain. Salah satu
keunikan tersebut berasal dari variasi jenis yang hidup tidak berdasarkan pola
zonasi pada umumnya. Hasil analisis vegetasi berdasarkan Indeks Nilai Penting
dan Indeks vegetasi berdasarkan citra dan uji lapangan di temukan dari pinggir
pantai sampai pedalaman daratan setiap spesies saling berasosiasi dalam satu
lapisan, sehingga zonasi di wilayah ini masuk zonasi sederhana yakni satu zonasi
atau zonasi campuran.
29
Profil zonasi di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang tidak terdiri atas beberapa
zonasi, karena tidak ada zonasi yang murni satu genus saja, yang ditemukan hanya
satu zonasi yang miks, dimana setiap spesies tumbuh berulang sampai kearah
daratan, dan tumbuh saling bercampur antara beberapa spesies, tidak ditemukan
spesies yang dominan untuk menentukan pembagian zonasi.
4.1.7 Perubahan Luas Hutan Mangrove
Hasil analisis data kerusakan hutan mangrove tahun 2000 diperoleh data
bahwa total luas hutan mangrove di lokasi penelitian adalah seluas 759,1 Ha, yang
mengalami kerusakan seluas 155,8 hektar dengan kondisi kerusakannya adalah
rusak total dengan tidak ditemukannya lagi vegetasi mangrove di lokasi tersebut
adalah seluas 106 hektar atau 14% dari total luas hutan mangrove, sementara itu,
yang rusak-jarang adalah seluas 49,8 hektar atau 7%. Untuk kawasan mangrove
dengan kriteria baik-sangat padat adalah seluas 570,3 hektar atau 75% dari luas
hutan mangrove tahun 2000, dan luas kawasan mangrove dengan kriteria baik-
sedang adalah seluas 33 hektar atau 4%. Jika kondisi ini di bandingkan dengan
kerusakan di tahun 2010, terlihat adanya perubahan luasan yang sangat cepat.
Kerusakan mangrove tahun 2010 mencapai kenaikan sebesar 41% dari
21% di tahun 2000, sehingga total kerusakan mangrove tahun 2010 telah
mencapai 62%, di mana kawasan mangrove yang telah mengalami kerusakan
telah mencapai 687,3 hektar, dengan kondisi kerusakan yang terjadi adalah rusak
total tanpa ada vegetasi mangrove lagi adalah seluas 551,5 hektar atau 51% dari
total luas hutan mangrove, sedangkan untuk kondisi rusak-jarang adalah seluas
135,8 hektar atau 12% dari total luas hutan mangrove. Sementara itu, kawasan
mangrove dengan kriteria baik-sangat padat adalah seluas 341,8 hektar atau 31%
dari total luas hutan mangrove tahun 2010, dan kondisi mangrove dengan kriteria
baik-sedang adalah seluas 64,6 hektar atau 6 % dari total luasan mangrove.
Dari data kerusakan yang di peroleh terlihat perbedaan total luasan
mangrove di daerah penelitian, di mana hasil deliniasi area untuk kawasan
mangrove tahun 2000 luasan mangrove adalah seluas 759,1 hektar dan pada tahun
2010 terjadi peningkatan luasan area mangrove menjadi 1.093,7 hektar. Melihat
30
data ini diasumsikan sebelum tahun 2000, telah ada kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove pada kawasan yang memang telah mengalami kerusakan, tetapi belum
terbaca oleh citra Landsat ETM+
karena spesies yang di tanam masih berupa
semai. Kondisi ini diperkuat dengan data hasil wawancara pribadi dengan pihak
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan Kwandang yang diwakili oleh
Bapak Imanuel Ruruh dan tim yang terlibat langsung pada kegiatan tersebut yakni
Rauf (45 th) bahwa sebelum tahun 2000 telah ada kegiatan rehabilitasi yang
dilaksanakan oleh salah satu Perguruan Tinggi di daerah Gorontalo yaitu STKIP
(UNG sekarang) yakni pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1995. Wujud nyata
dari hasil kegiatan tersebut dapat di lihat dengan penambahan areal luas hutan
mangrove di tahun 2010, walaupun memang kondisi kerusakannya lebih
meningkat yakni mencapai 687,3 hektar, di mana rusak total seluas 551,5 hektar
dan rusak jarang seluas 135,8 hektar, bahkan melebihi dari vegetasi yang terdapat
di tahun 2000 yakni 603,3 hektar.
V. VALUASI EKONOMI KERUSAKAN HUTAN MANGROVE
5.1 Valuasi Ekonomi Kerusakan Hutan Mangrove
Valuasi ekonomi kerusakan hutan mangrove membuktikan bahwa nilai
ekonomi yang bersumber dari fungsi ekologis lebih besar nilainya dibandingkan
dengan nilai ekonomi, sehingga mempertahankan mangrove lebih baik dari pada
membabat habis untuk pembukaan tambak atau peruntukkan lainnya dengan
alasan faktor ekonomi. Total valuasi ekonomi kerusakan hutan mangrove dan
proporsi nilai guna di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.20 dan Gambar 5.8.
Tabel 5.20 Total Valuasi Ekonomi Mangrove di Kecamatan Kwandang
No Jenis nilai Jumlah Nilai Rp/ha/th 1 Nilai Guna Langsung 20.183.079.000 2 Nilai Guna Tidak Langsung 23.213.053.409 3 Nilai Pilihan 9.084.019.871 4 Nilai Keberadaan 185.571.010 5 Nilai Warisan 6.790.000
Jumlah Total Nilai 52.672.513.290 Sumber : Analisis Data Primer, 2010
31
Gambar 5.8 Proporsi Nilai Guna Total Valuasi Ekonomi Di Lokasi Penelitian, Tahun 2010
5.2 Rehabilitasi Kerusakan Hutan Mangrove di Lokasi Penelitian
Rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di lokasi penelitian sepenuhnya
adalah merupakan tanggung jawab dari pemerintah yang kemudian diikuti oleh
masyarakat dan kelompok pelestari mangrove yang terdapat di lokasi tersebut.
Setalah dilakukan rehabilitasi kondisi hutan mangrove lima tahun terakhir dari 65
responden yang menjawab kondisi tidak berubah yakni 9,23% (6 orang), kondisi
semakin baik yakni 20% (13 orang), kondisi semakin buruk yakni 49,23% (32
orang) dan lainnya yakni 21,23% (14 orang). Responden yang masuk kategori
lainnya menjawab kondisi mangrove tidak ada perubahan begitu-begitu terus
kerusakannya, tidak ada perubahan yang serius, sudah rusak dan tidak ada
penanaman.
Pelaksanaan rehabilitasi hendaknya pemerintah daerah Kecamatan
Kwandang lebih melibatkan masyarakat sepenuhnya dengan harapan apabila
gerakan rehabilitasi tersebut dipercayakan sepenuhnya kepada masyarakat yang
berada di kawasan mangrove secara otomatis mereka merasa memiliki hutan
mangrove tersebut sehingga tanpa adanya perintah masyarakat setempat akan
berupaya ikut menjaga, memelihara, dan melakukan pengawasan akan keberadaan
hutan mangrove yang memang berada tidak jauh dari tempat tinggal mereka.
Selain itu juga dalam melakukan rehabilitasi lebih dititik beratkan pada kondisi
38%
44%
17%
1%0%
Nilai Guna Langsung
Nilai Guna Tidak Langsung
Nilai Pilihan
Nilai Keberadaan
Nilai Warisan
32
kerusakannya, seperti di desa Mootinelo yang telah mengalami kerusakan 2,6 Km
dari garis pantai dengan luas kerusakannya mencapai 181,29 hektar, Desa Leboto
yang kerusakannya mencapai 181,23 hektar, dan desa Bulalo yang kerusakannya
80 meter dari garis pantai dengan luas kerusakannya mencapai 123,4 hektar.
5.3 Model Valuasi Ekonomi sebagai Dasar untuk Rehabilitasi Kerusakan
Hutan Mangrove
Model yang akan dikembangkan dalam penelitian ini yakni model
prosedur atau berupa kerangka konseptual yang diperoleh dengan melibatkan
berbagai komponen analisis dan memberikan hasil yang bervariasi. Kerusakan
hutan mangrove di lokasi penelitian berada pada kriteria rusak jarang. Hal ini
menandakan bahwa mangrove di wilayah ini sebagian besar sudah habis. Pemicu
terbesar akan rusaknya hutan mangrove di lokasi penelitian yakni karena adanya
pembukaan tambak-tambak, baik yang masih produktif maupun non produktif.
Dari segi ekonomi ini memberikan keuntungan yang besar, akan tetapi keadaan
ini tidak akan berlangsung lama, terbukti banyak lahan ambak yang sudak tidak
produktif lagi. Hal ini diperkuat dengan temuan penelitian ini bahwa berdasarkan
uji analisis kondisi tanah di lokasi penelitian tidak cocok untuk tambak, karena
bila dilihat dari tekstur tanahnya kawasan mangrove wilayah Kwandang
kandungan pasirnya (> 50%) sehingga kurang mampu menahan air dan mudah
hancur.
Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa kondisi masyarakat di lokasi
penelitian kurang memberikan perhatian terhadap pelestraian hutan mangrove, hal
ini terutama disebabkan karena tingkat ekonomi masyarakat masih rendah,
terbatasnya pengetahuan, tingkat pendidikan, dan kesadaran akan nilai manfaat
mangrove bagi kehidupan mereka. Nilai ekosistem mangrove lebih diutamakan
untuk nilai ekonomi saja sedangkan nilai ekologis dari mangrove itu sendiri terus
terabaikan. Pandangan ini yang harus segera diluruskan, berdasarkan temuan
penelitian ini terbukti bahwa nilai ekonomi yang bersumber dari fungsi ekologis
lebih besar nilainya dibandingkan dengan nilai ekonomi, di mana nilai yang
bersumber dari fungsi ekologis mencapai 61,7% lebih besar dari nilai guna
33
langsung 38,3%. Berdasarkan temuan ini terbukti bahwa mempertahankan
mangrove lebih baik dari pada membabat habis untuk pembukaan tambak atau
peruntukkan lainnya dengan alasan faktor ekonomi.
Kontribusi utama penelitian ini secara teoritis terletak pada aspek-aspek
berikut:
a. Untuk melakukan valuasi ekonomi ekosistem mangrove seharusnya
perhitungan tersebut tidak sekedar berdasarkan nilai guna dan non guna yang
diperoleh dari ekosistem mangrove, tetapi juga nilai kerusakan diakibatkan
oleh ekosistem ini perlu di nilai. Sehingga nilai ekologis dari mangrove itu
sendiri tidak selalu terabaikan. Selain itu untuk keakuratan data riil luasan
yang rusak dan masih terdapat vegetasi mangrove jangan hanya berdasarkan
perhitungan manual di lapangan tetapi juga harus menggunakan pola spasial
dalam valuasi ekonomi yang bersumber dari citra.
b. Metode valuasi yang digunakan, di mana peneliti menemukan cara-cara baru
dalam melakukan valuasi ekonomi diantaranya memodifikasi semua rumus
yang digunakan untuk masing-masing nilai yang bersumber dari hutan
mangrove dengan melibatkan proses analisis spasial dan pemetaan. Nilai
guna langsung dengan memasukkan nilai kerusakan, menemukan persamaan
regresi linier untuk nilai tangkapan ikan, udang, dan kepiting, terbukti bahwa
semakin luas mangrove maka tangakapan ikan, udang, dan kepiting pun
meningkat. Nilai guna tidak langsung memasukaan luas area yang rusak
menemukan nilai riil fungsi mangrove sebagai penahan intrusi, sebagai
pelindung, penahan gelombang, dan pengendalian banjir, dan fungsi
mangrove sebagai penyedia pakan. Nilai pilihan untuk fungsi mangrove
sebagai penyimpan karbon diperoleh dengan cara menghitung langsung nilai
karbon di lapangan berdasarkan volume batang pohon dari spesies mangrove
dan dipadukan dengan nilai karbon dari citra dengan menggunakan
persamaan regresi. Nilai keberadaan spesies langka, satwa dilindungi, dan
perlindungan habitat memasukkan nilai hasil temuan di lapangan berdasarkan
komposisi ekofloristik dan analisis vegetasi.
34
c. Valuasi ekonomi dengan menggunakan pola spasial perlu dilakukan sebagai
salah satu fondasi penilaian kerusakan ekologis, agar penentuan target lokasi,
intensitas rehabilitasi dapat dilaksanakan dengan lebih tepat.
Menurut pandangan penulis, hal-hal tersebut di atas belum dilakukan oleh
peneliti lain di Indonesia baik setiap aspek secara terpisah maupun keseluruhan
aspek secara terkombinasi.
VI. KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI
6.1 Kesimpulan
(1) Laju perubahan luasan hutan mangrove dilihat dari Citra Digital Landsat
ETM+
(2) Ditemukan 16 spesies yang mendiami hutan mangrove di wilayah pesisir
Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara yakni spesies Rhizophora