1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.504 pulau dengan panjang garis pantai kurang lebih 104.000 km. Panjang garis pantai Indonesia merupakan yang terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Di sepanjang garis pantai tersebut terdapat wilayah pesisir yang memiliki potensi sumber daya alam hayati dan non-hayati yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Potensi laut Indonesia mengandung kurang lebih 7000 spesies ikan dengan potensi lestari sumberdaya ikan laut diperkirakan sebesar 6.4 juta ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5.12 juta ton per tahun atau sekitar 80% dari potensi lestari, yang baru dimanfaatkan sebesar 4 juta ton (pada th 2002, atau baru 78.13%). Sedangkan dilihat dari perkiraan nilainya, potensi perikanan tangkap Indonesia memiliki potensi lebih dari USD 15 milliar, Perikanan air tawar lebih dari USD 6 milliar, Perikanan budidaya tambak dan udang windu sebesar USD 10 milliar (Riyadi, 2008). Sektor perikanan selain memiliki potensi sebagai penyumbang pendapatan nasional atau daerah juga berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja. Sektor perikanan (nelayan dan budidaya) di Indonesia saat ini terus mengalami peningkatan tenaga kerja dengan kenaikan rata-rata 4,75% selama tahun 2007- 2011 dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 6.099.112 orang pada tahun 2011 (KKP, 2013). Salah satu wilayah yang memiliki jumlah nelayan terbesar di Indonesia adalah provinsi Jawa Timur yang memiliki 17 Kabupaten berupa wilayah pesisir dan pantai. Kementrian Kelautan dan Perikanan (2011) menyebutkan bahwa sebanyak 291.543 orang di Jawa Timur mengantungkan hidupnya dari hasil melaut dengan bekerja sebagai nelayan. Potensi sektor perikanan yang begitu besar hingga saat ini nyatanya aset alam tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini bisa dilihat dari data KKP (2010) yang menunjukkan bahwa share sektor perikanan hanya 2,2 persen 1
31
Embed
Model Holistik Pengembangan UMKM Kenjeran Surabaya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.504
pulau dengan panjang garis pantai kurang lebih 104.000 km. Panjang garis pantai
Indonesia merupakan yang terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Di
sepanjang garis pantai tersebut terdapat wilayah pesisir yang memiliki potensi
sumber daya alam hayati dan non-hayati yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat.
Potensi laut Indonesia mengandung kurang lebih 7000 spesies ikan dengan
potensi lestari sumberdaya ikan laut diperkirakan sebesar 6.4 juta ton per tahun
dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5.12 juta ton per
tahun atau sekitar 80% dari potensi lestari, yang baru dimanfaatkan sebesar 4 juta
ton (pada th 2002, atau baru 78.13%). Sedangkan dilihat dari perkiraan nilainya,
potensi perikanan tangkap Indonesia memiliki potensi lebih dari USD 15 milliar,
Perikanan air tawar lebih dari USD 6 milliar, Perikanan budidaya tambak dan
udang windu sebesar USD 10 milliar (Riyadi, 2008).
Sektor perikanan selain memiliki potensi sebagai penyumbang pendapatan
nasional atau daerah juga berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja. Sektor
perikanan (nelayan dan budidaya) di Indonesia saat ini terus mengalami
peningkatan tenaga kerja dengan kenaikan rata-rata 4,75% selama tahun 2007-
2011 dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 6.099.112 orang pada tahun 2011
(KKP, 2013). Salah satu wilayah yang memiliki jumlah nelayan terbesar di
Indonesia adalah provinsi Jawa Timur yang memiliki 17 Kabupaten berupa
wilayah pesisir dan pantai. Kementrian Kelautan dan Perikanan (2011)
menyebutkan bahwa sebanyak 291.543 orang di Jawa Timur mengantungkan
hidupnya dari hasil melaut dengan bekerja sebagai nelayan.
Potensi sektor perikanan yang begitu besar hingga saat ini nyatanya aset
alam tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini bisa dilihat dari data
KKP (2010) yang menunjukkan bahwa share sektor perikanan hanya 2,2 persen
1
2
terhadap PDB, angka yang sangat kecil jika melihat potensi laut yang dimiliki
Indonesia (Nugroho dan Rokhim, 2012). Selain share yang sangat kecil terhadap
PDB, umumnya kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir juga masih
berada dalam kondisi memprihatinkan. Sebagian besar nelayan di Indonesia 83%
masih hidup miskin dan berusaha dengan cara traditional dengan menggunakan
armada penangkapan sangat sederhana, sehingga hasil tangkapannya hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Masyarakat pesisir merupakan golongan masyarakat yang menempati
rangking tertinggi dalam struktur penduduk miskin di Indonesia. Menurut
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2010 terdapat sekitar
7,87 juta masyarakat pesisir miskin dan 2,2 juta jiwa penduduk pesisir sangat
miskin yang tersebar tersebar di 10.640 desa. Badan Pusat Statitisk pun
menegaskan bahwa jumlah tersebut lebih dari 25% dari total penduduk Indonesia
yang berada dibawah garis kemiskinan.
Salah satu penyebab kemiskinan masyarakat pesisir khususnya nelayan
adalah karena karakteristik masyarakat nelayan yang sangat tergantung pada
musim. Pada saat musim penangkapan nelayan sibuk melaut namun sebaliknya
pada musim paceklik banyak nelayan yang terpaksa menganggur. Ketergantungan
ini disebabkan mereka tidak mampu mengakses teknologi dan belum adanya
diversifikasi pekerjaan di kawasan pesisir (Sumodiningrat, 2012).
Melihat potensi sektor perikanan yang begitu besar namun belum
termanfaatkan dan kondisi masyarakat pesisir, Kementrian Kelautan dan
Perikanan menyusun visi “Indonesia Menjadi Penghasil Produk Kelautan dan
Perikanan Terbesar 2015” dan misi “Mensejahterahkan Masyarakat Kelautan dan
Perikanan”. Visi dan misi tersebut diharapkan menjadi pedoman dalam
mewujudkan pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang memihak
masyarakat. Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, KKP telah menyusun
konsep “Revolusi Biru” yang bertujuan untuk membangkitkan multiplier effect
perekonomian melalui pembangunan kelautan dan perikanan dalam suatu
kawasan terpadu. Implementasi revolusi biru dilaksanakan melalui sistem
3
pemabngunan sektor kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan konsep
Minapolitan.
Kenjeran merupakan salah satu ikon kota Surabaya dan saat ini menjadi
salah satu tempat paling favorit di wilayah Surabaya timur sebagai tempat wisata
alternatif. Kenjeran adalah tempat wisata alternatif ditengah hiruk-pikuk Surabaya,
selain lokasinya yang terletak di tepi kota dengan sebagian besar wilayahnya
berupa pesisir pantai. Di area tersebut terdapat kampung nelayan kenjeran yang
mayoritas masyarakatnya menggantungkan hidupnya kepada hasil laut. Selain
bekerja sebagai nelayan, mereka juga mengolah hasil laut menjadi cemilan
kerupuk seperti kerupuk terung laut, teripang, kulit ikan kakap, kulit ikan pari
hingga lambung ikan.
Pesisir Pantai Kenjeran yang terletak di utara Surabaya memang sejak
lama dikenal sebagai sentra produksi kerupuk olahan hasil laut namun produksi
kerupuk hasil laut tersebut saat ini masih bersifat individual dengan proses
produksi, distribusi dan pemasaran bersifat tradisional. Produksi dan pemasaran
kerupuk hasil laut di Kenjeran berupa usaha kecil rumahan namun sudah tersebar
di hampir seluruh kecamatan Sukolilo, Kenjeran. Hingga saat ini belum ada
hubungan kerjasama secara langsung antar wilayah klaster (yang terbentuk alami)
maupun komunitas/kumpulan produsen pengolah kerupuk hasil laut di kawasan
Kenjeran tersebut. Padahal kawasan kenjeran potensial untuk dikebangkan
menjadi kawasan ekonomi unggulan dengan komoditas utama produk perikanan
dan kelautan.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan dan isu yang muncul dalam pengelolaan
produk perikanan dan kelautan di kawasan Kenjeran, maka dibutuhkan suatu
model pengelolaan kawasan ekonomi unggulan tersebut dengan memadukan
unsur masyarakat pengguna dan pemerintah. Dari uraian latar belakang tersebut
maka judul penulis makalah ini ialah “Model Holistik Pengembangan Kawasan
Minapolitan Pengolahan Kerupuk Hasil Laut Berbasis Umkm Di Kawasan
Pesisir Timur Surabaya (Kenjeran)”.
4
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan kebelakang (backward linkage) dan hubungan
kedepan (forward linkage) Industri Kerupuk Hasil Laut di Kenjeran?
2. Bagaimana Analisis SWOT Industri Kerupuk Hasil Laut di Kenjeran?
3. Bagaimana penerapan model holistik pengembangan kawasan minapolitan
pengolahan kerupuk hasil laut yang tepat di Kenjeran?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hubungan kebelakang (backward linkage) dan
hubungan kedepan (forward linkage) Industri Kerupuk Hasil Laut di
Kenjeran
2. Untuk mengetahui hasil analisis SWOT Industri Kerupuk Hasil Laut di
Kenjeran
3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan model holistik pengembangan
kawasan minapolitan pengolahan kerupuk hasil laut yang tepat di
Kenjeran
1.4 Manfaat Penulisan
Penulis berharap bahwa penulisan ini dapat memberikan manfaat berupa :
1. Hasil penulisan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
daerah di Kawasan Pesisir Kenjeran Surabaya melalui optimalisasi produk
olahan hasil kelautan yang ada melalui pengembangan kawasan ekonomi
unggulan dengan hasil laut dan perikanan sebagai komoditas utama.
2. Mampu memberi rujukan dalam pengembangan potensi daerah dan bahan
diskusi bagi akademisi dalam melakukan perencanaan dan pengembangan
daerah yang terintegrasi melalui optimalisasi hasil alam berupa produk
unggulan berbasis kearifan lokal di suatu daerah.
3. Memberikan sumbangsih rekomendasi arah kebijakan Pemerintah dalam
mewujudakan konseptual industri pengolahan hasil laut di Indonesia dan
Surabaya khususnya.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Masyarakat Pesisir dan Kemiskinan
Masyarakat Pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang bersama-sama
mendiami wilayah pesisir memiliki dan membentuk kebudayaan yang khas
berkaitan dengan ketergantungan pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2009).
Sebagian masyarakat pesisir pada umumnya memiliki pekerjaan di sektor
pemanfaatan sumber daya kelautan (marine resourch based) seperti nelayan,
pembudidaya ikan, pengelolahan ikan, dan penjual ikan.
Karakteristik utama masyarakat pesisir yakni sangat bergantung pada
musim. Pada musim penangkapan mereka sangat sibuk untuk melaut, pada masa
paceklik kebanyakan mereka terpaksa menganggur karena kegiatan melaut yang
menurun. kondisi inilah yang membuat perekonomian mereka sangat rentan
terutama pada musim paceklik. Pada musim tersebut mereka terpaksa melakukan
pinjaman pada pedagang pengumpul (Tauke) untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Hal tersebut menyebabkan banyak dari mereka yang menjual hasil
tangkapannya kepada pedagang pengumpul dengan harga yang sangat rendah.
Selain itu, dengan keterbatasan fasilitas dan alat pengawetan mereka harus segera
menjual hasil tangkapannya walau dengan harga yang sangat rendah.
Karakteristik lain dari masyarakat pesisir yang cukup mencolok yakni aktivitas
wanita dan anak-anak mencari nafkah. Pada umumnya wanita masyarakat pesisir
mengelola ikan dengan skala kecil untuk dijual sendiri maupun menjadi buruh
untuk perusahaan-perusahaan pengelolaan ikan, sedangkan aktivitas anak-anak
mayoritas membantu untuk melaut. Sehingga banyak diantara mereka tidak
bersekolah (Nugroho dan Rokhim,2012).
Karakteristik masyarakat pesisir yang memiliki perekonomian yang rentan
berakibat masyarakat pesisir identik dengan masyarakat yang miskin. Meninjau
kemiskinan di dalam aspek wilayah memberikan kerangkanyang komprehensif
bagi upaya-upaya kemiskinan. Kemiskinan di dalam pembangunan wilayah dapat
5
6
ditinjau bukan saja sebagai sasaran atau keluaran yang harus dihapus
keberadaannya tetapi juga dapat menjadi bagian proses analisis yang memandu
pembangunan mencapai tujuan-tujuannya (Nugroho dan Rokhim,2012)
Kemiskinan merupakan kondisi absolut datau relatif dimana seseorang
atau kelompok masyarakat dalam suatu wilayah karena sebab-sebab natural,
kultural, atau struktural, menyebabkan ia tidak mempunyai kemampuan untuk
mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai tata nilai atau norma tertentu yang berlaku
dalam masyarakat. Dipandang dari aspek ekonomi, kemiskinan pada dasarnya
memperlihatkan adanya suatu gap antara lemahnya daya beli dan keinginan untuk
memenuhi kebutuhan dasar, hal tersebut implisit dengan keadaan-keadaan
berikut: a) kemiskinan mencerminkan keadaan rendahnya permintaan agregat
sehingga dapat mengurangi intensif untuk mengembangkan sistem produksi, (b)
kemiskinan berhubungan dengan penggunaan (rasio) modal/ tenaga kerja yang
rendah sehingga mengakibatkan produktivitas tenaga kerja rendah pula, dan (c)
kemiskinan berhubungan dengan keadaan lokasi beragam sumberdaya, alam,
maupun manusia. Dipandang pada aspek sosial dan politik, kemiskinan
mengindikasikan masyarakat berkembang aspirasi dan persepsi yang terbatas serta
semu, mengutamakan keputusan dalam jangka pendek dan lemhanya kemandirian
masyarakat (nugrohp dan rokhim, 2012)
2.2 Revolusi Biru dan Minapolitan
Konsep ekonomi biru (Blue Economy) merupakan konsep yang merupakan
konsep yang menggabungkan pengembangan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Konsep Ekonomi Biru mencontoh cara kerja alam (ekosistem), bekerja sesuai
dengan apa yang disediakan alam dengan efisien dan tidak mengurangi tapi justru
memperkaya alam (shifting from scarty to abundance), limbah dari yang satu
menjadi sumber energi bagi yang lain, sehingga system kehidupan dalam
ekosistem menjadi seimbang (Dewan Kelautan Indonesia, 2012)
Penerapan konsep Ekonomi Biru (Blue Economy) di Indonesia melalui
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai kementrian yang bertanggung
jawab dalam pengembangan perikanan dan kelautan Indonesia menggagas
7
Revolusi Biru sebagai penerapan ekonomi biru di Indonesia. revolusi biru
merupakan perubahan secara mendasar cara berpikir dari daratan ke maritime
dengan konsep pembangunan berkelanjutan untuk peningkatan produksi kelautan.
Konsep revolusi biru dilandasi asumsi-asumsi dasar pembangunan dengan
merubah kerangka pemikiran kontinen menjadi kepulauan untuk mendorong
pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih berimbang. Revolusi biru mempunyai
empat pilat, yaitu (1) perubahan cara berpikir dan orientasi pembangunan dari
daratan ke maritime, (2) pembangunan berkelanjutan, (3) peningkatan produksi
kelautan dan perikanan, dan (4) peningkatan pendapatan rakyat yang adil, merata,
dan pantas.
Implementasi Revolusi biru dilaksanakan melalui sistem pembangunan
sektor kelautan dan perikanan berbasisi wilayah dengan menggunakan konsep
minapolitan. Minapolitan berasal dari kata „mina‟ yang berarti ikan dan „politan‟
berarti kota sehingga dapat diartikan kota perikanan. Pengalaman menunjukkan
bahwa kegiatan ekonomi kelauatan dan perikanan pada umumnya berada di
pedesaan yang lambat berkembang karena terbatasnya sarana, prasarana. Dengan
konsep minapolitan pembangunan dipercepat dengan pendekatan dan system
manajemen kawasan cepat tumbuh layaknya sebuah kota. Penggerak utama
ekonomi di kawasan minapolitan dapat berupa kegiatan produksi dan
perdagangan perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengelolaan ikan, atau pun
kombinssi keduanya,
Minapolitan pada dasarnya mempunyai dua unsur utama yaitu (1)
mniapolitan sebagai konsep pembangunan sektor kelautan dan perikanan berbasis
wilayah dan (2) minapolitan sebagai kawasan ekonomi unggulan denagn
komoditas unggulan dengan komoditas utama prpduk perikanan dan kelautan.
Konsep minapolitan didsarkan tigas asas (i) demokrtisasi ekonomi kelautan dan
perikanan pro rakyat, (ii) pemberdayaan masyarakat dan keberpihakan dengan
intervensi Negara secara terbatas, (iii) penguatan daerah dengan pronsip: daerah
kuat-bangsa dan Negara kuat. Ketiga prnsip tersebut menjadi landasan perumusan
8
kebijakan dan kegiatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan benar-benar
untuk mensejaterhkan rakyat (nugroho dan rokhim, 2012)
2.3 Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Industri merupakan kegiatan ekonomi yang berupa pengelolaan bahan
baku, bahan mentah, bahan setengah jadi dan bahan jadi menjadi bahan yang
memiliki nilai yang tinggi, atau menciptakan bahan yang ada menjadi barang baru
dengan tujuan mencari keuntungan.industri dapat dibedakan menjadi industri
ekstraktif yang mengelola bahan dari alam. Industri non-ekstratif dan industri jasa.
Industri pengelolaan ikan termasuk industri ektraktif sebab mengelola langsung
bahan dari alam. Berdasarkan skala usahanya, ada industri skala rumah tangga
(mikro), kecil, menengah, dan besar
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pengertian UMKM dibagi menjadi tiga
macam:
1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tersebut.
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha
besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tersebut.
3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian
baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar
dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang tersebut.
9
Tabel 2.1 Kriteria Klasifikasi UMKM Menurut Asset dan Omzet
No URAIAN
KRITERIA
ASSET OMZET
1 USAHA MIKRO Max 50 jt Max 300 jt
2 USAHA KECIL >50 jt – 250 jt >300 jt - 2,5 M
3 USAHA MENENGAH >500jt – 10 M >2,5 M – 50 M
Sumber: Kementrian Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah RI, 2013
2.4 Keterkaitan Antar Industri
Investasi dalam bidang industri sebagai prioritas pembangunan bukan
hanya didasarkan pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pertumbuhan
industri menyertai pembangunan. Industri merupakan suatu sektor pemimpin
karena industri tersebut akan merangsang dan mendorong investasi-investasi di
sektor yang lain. Pola perkembangan industri akan diikuti oleh barang-barang
yang diproduksi oleh industri yang lain, menunjukkan bahwa keterkaitan (linkage)
didalam industri sendiri maupun dengan sektor lainnya, perlu dikembangkan
(Arsyad, 1999)
Konsep pertumbuhan tidak seimbang dari Albert O. Hirschman dalam
Arsyad (1999), menunjukkan bahwa pertumbuhan cepat dari satu atau beberapa
industri mendorong perluasan industri-industri lainnya yang terkait dengan sektor
industri yang tumbuh lebih dahulu. Keterkaitan-keterkaitan ini bisa keterkaitan ke
belakang (backward linkages) jika kebutuhan industri tersebut disediakan oleh
industri itu sendiri. Keterkaitan tersebut juga bisa keterkaitan ke depan (forward
linkages), yaitu jika adanya industri tekstil domestik tersebut mendorong
tumbuhnya investasi.
2.5 Model Holistik Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Model holistik pemberdayaan masyarakat pesisir adalah sebuah model
untuk memberdayakan masyarakat pesisir yang dilakukan secara menyeluruh dan
terintegrasi, serta sangat memperhatikan aspek spasial, yaitu pembangunan
10
berwawasan lingkungan, pembangunan berbasis komunitas, pembangunan
berpusat pada rakyat, pembangunan berkelanjutan dan pembangunan berbasis
kelembagaan (Syarief, 2001).
Model pemberdayaan masyarakat pesisir yang holistik tersebut
memerlukan alternatif srategi, yaitu strategi Resource Base Strategy (RBS).
Strategi ini didasarkan pada teori Resources Base yang dikemukakan oleh Perloff
dan Wingo (1994) ini memberikan penekanan pada:
1. Pentingnya peranan kekayaan alam (endowment factor) suatu daerah dalam
pembangunan daerah yang bersangkutan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi efek pengganda (multiplier effect) sektor
ekspor kepada seluruh perekonomian daerah (Arsyad,1999).
Model holistik ini sangat sesuai dengan arah jangka panjang
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang diprogramkan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai tahun 2004, sebagaimana dijelaskan
dalam KEPMEN No. 18 tahun 2004 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir, yaitu sebagai berikut:
1. Peningkatan kemandirian masyarakat pesisir melalui pengembangan skala
usaha dan diversikasi kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya
manusia, partisipasi masyarakat, penguatan dan fasilitasi akses pemodalan
serta penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat pesisir.
2. Peningkatan kemampuan masyarakat pesisir untuk mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal serta
berkelanjutan sesuai dengan kaidah kelestarian lingkungan.
3. Pengembangan kemitraan masyarakat pesisir dengan lembaga swasta dan
pemerintah.
Untuk mewujudkan tiga tujuan utama tersebut, Kementerian Kelautan dan
Perikanan melibatkan lima pihak yaitu, pemerintah, universitas, LSM, koperasi
perikanan dan lembaga perbankan.
11
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Pendekatan Penulisan
Pada karya tulis ini pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif
deskriptif. Pendekatan ini dipilih karena penulis ingin memahami secara
komprehensif mengenai keterkaitan antar pelaku dan permalahan yang terjadi
khususnya pada industri pengolahan kerupuk hasil ikan di Kawasan Kenjeran
Surabaya. Analisis yang digunakan adalah dengan melakukan analisis keterkaitan
antar industri (industri pengolahan kerupuk hasil laut) baik keterkaitan kedepan
maupun kebelakang yang kemudian melakukan analisis SWOT guna mengetahui
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman industri tersebut untuk merumuskan
kebijakan pembentukan kawasan minapolitan berbasis wilayah.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penulisan karya ini adalah data sekunder dan
primer. Data sekunder didapatkan dari berbagai sumber yakni Badan Pusat
Statistika Nasional dan Provinsi, Kementrian Kelautan dan Perikanan, e-paper, e-
jurnal dan publikasi ilmiah. Sedangkan data primer didapatkan dari pengamatan
langsung oleh penulis dan wawancara dengan beberapa pelaku usaha dan
masyarakat pesisir di Kawasan Sukolilo, Kenjeran (dekat Pantai Ria). Pengamatan
langsung dan wawancara dilakukan untuk mengetahui secara mendalam proses
produksi, distribusi, promosi serta permasalahan pengembangan industri kerupuk
di wilayah tersebut.
3.3 Teknik Pengolahan Data
Alat analisis yang digunakan dalam penulisan karya ini adalah analisis
SWOT. Analisis SWOT adalah suatu instrument strategi perencanaan dengan
menggunakan kerangka kerja kekuatan (Strenght) dan kelemahan (Weakness)
internal, serta kesempatan (Opportunitiy) dan ancaman (Threat) eksternal (Start
dan Ingie dalam New Weave (2002:170) dan Schuler (1986) Empowerment and
the Law).
11
12
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan strength dan
opportunities, namun secara bersamaan dapat meminimalkan weaknesses dan
threats. Hasil dari analisis SWOT digunakan untuk merancang empat strategi,
yaitu: (1) Strategi S-O, strategi yang menggunakan strength untuk memanfaatkan
opportunity, (2) Strategi W-O, strategi yang menanggulangi weakness dengan
memanfaatkan opportunity, (3) Strategi S-T, strategi yang menggunakan strength
untuk mengatasi threat, dan (4) Strategi W-T, strategi yang memperkecil
weakness dan menghindari threat (Rangkuti, 2001 dalam Mangiwa).
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan secara ringkas
dijelaskan dalam diagram dibawah ini:
Gambar 3.1 Alur Berpikir
Sumber: Penulis, 2013
Model Holistik Kawasan Minapolitan Kenjeran
Surabaya Industri Pengolahan Hasil Laut
Rekomendasi Kebijakan
Analisis Data
Sekunder
- Pengamatan
langsung
- Wawancara
Proses Produksi,
Distribusi dan
Promosi
Analisis Data
Primer
Profil Industri
Kerupuk Pengolahan
Hasil laut
Analisis Keterkaitan
Antar Industri
Analisis SWOT
13
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Industri Pengolahan Kerupuk Hasil Laut di Pesisir
Kenjeran
Surabaya merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia yang
memiliki luas sekitar 326,37 km2. Sebagian besar wilayah Surabaya merupakan
dataran rendah dengan ketinggian 3–6 meter di atas permukaan air laut, kecuali di
sebelah Selatan dengan ketinggian 25–50 meter di atas permukaan air laut.
Penduduk Kota Surabaya sampai dengan bulan Juni 2005 mencapai 2.701.312
jiwa, yang terdiri dari penduduk laki–laki sejumlah 1.358.610 jiwa dan penduduk
perempuan sejumlah 1.342.702 jiwa, dengan tingkat kepadatan 8.277 jiwa / km2.
Secara ekonomi, sampai saat ini pertumbuhan ekonomi Surabaya selalu di
atas Provinsi Jawa Timur dan bahkan di atas pertumbuhan ekonomi Nasional.
Sektor riil berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dari Surabaya pada tahun
2009 untuk menghadapi krisis ekonomi global. Hal ini dapat dilihat dari
pencapaian tahun 2008, ketika ekonomi kota tumbuh di atas 6%, belum lagi
posisinya sebagai etalase komersial di Indonesia Timur. Pada tahun 2009, kota ini
dianugerahi sebagai kota dengan biaya efektivitas terbaik di antara 133 kota masa
depan Asia oleh Majalah Financial Times.
Salah kelurahan di Surabaya adalah Sukolilo yang memiliki letak
berdekatan dengan Pantai Kenjeran, satu-satunya lokasi wisata bahari di
Surabaya.. Salah satu kelurahan Kecamatan Bulak ini memiliki wilayah seluas 0,9
km2 dengan jumlah penduduk 4.916 jiwa. Berdasarkan data BPS 2010, Kelurahan
Kenjeran termasuk salah satu kelurahan dengan tingkat ekonomi sangat rendah di
Surabaya (detikNews, 2010). Hal dimungkinkan karena angkatan kerja Kelurahan
Sukolilo sebagian besar hanyalah tamatan SD/sederajat. Penduduk Kelurahan
Sukolilo yang berpendidikan tamat SLTA hanya tercatat sejumlah 599 Jiwa lebih
sedikit dibandingkan jumlah penduduk lulusan SLTP yakni 691 jiwa, sedangkan
jumlah penduduk tamatan S1 tercatat hanya 31 jiwa. Kualitas SDM yang kurang
baik ini menjadi salah satu faktor utama penyebab kondisi ekonomi
13
14
masyarakatnya rata-rata menengah ke bawah. (Laporan Bagian Pemerintahan
Sekretariat Daerah Kota Surabaya 2013. 2013)
Secara umum karakteristik sosial ekonomi penduduk pesisir Kenjeran
Surabaya terangkum dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakteristik Sosial Ekonomi Penduduk Pesisir Kenjeran
Surabaya
Sumber: Khomenie dan Umilia, 2013
Kelurahan Sukolilo menjadi pusat sentra produksi kerupuk olahan hasil laut
di Surabaya. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk Kelurahan Sukolilo
selain memiliki mata pencaharian utama sebagai nelayan, mereka juga
mengembangkan usaha pengolahan kerupuk hasil laut, seperti kerupuk terung laut,
teripang, kulit ikan kakap, udang, kulit ikan pari, dan lambung ikan dimana nilai
jualnya lebih tinggi dibandingkan hasil laut yang langsung dijual secara mentah.
Produk ini juga telah merambah pasar ekspor, yaitu ke Dubai dan Korea.
(www.surabayapost.co.id, 2013).
Industri kerupuk hasil laut di Kenjeran kebanyakan berbasis rumah tangga
baik skala kecil maupun besar. Industri skala kecil terdiri dari keluarga nelayan
yang mengolah hasil tangkapan lautnya menjadi kerupuk di rumah mereka
masing-masing. Hasil olahan tersebut sebagian mereka jual secara eceran di kios