Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 3, Mei 2003: 217-246 MODEL BUDAYA PEMBELAJARAN ORGANISASI YANG KOMPREHENSIF Wilfridus B. Elu, M.Si., Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono engertian, Tingkatan, dan Dimensi Budaya Pembelajaran Secara umum, budaya pembelajaran organisasi merujuk pada pandangan hidup kolektif dalam organisasi atau collective mental programming yang berkembang dalam suatu organisasi pembelajar (learning organization) atau suatu komunitas pembelajar. Menurut Ryan (Chawla & Renesch, 1995: 290), komunitas-komunitas pembelajar merupakan tempat dimana relasi-relasi selalu dibina dengan baik; keterbukaan dan keragaman (diversity) dihargai; rasa ingin tahu menjadi supremasi; eksperimentasi menjadi kebiasaan; dan terdapat ketekunan dalam menemukan jawaban atas permasalahan-permasalahan. Dalam organisasi semacam ini, orang-orang senantiasa berkomunikasi secara jujur dan terbuka; saling menghormati dan menghargai; memberikan penilaian tetapi juga mencari umpan balik; tertantang untuk selalu mengenakan cara pandang baru; mengajak pada pendekatan sistem yang menyeluruh; dan bebas menampakkan diri sendiri apa adanya, tanpa topeng. Menurut Marquardt & Reynolds (1994:31), budaya pembelajaran organisasi adalah budaya yang menghargai pembelajaran, mendorong dan memberi kompensasi atas pengambilan resiko, dan budaya dimana semua bertanggung jawab atas pembelajaran sendiri maupun pembelajaran dari pihak-pihak lain. Lebih jauh, Lundberg (1996:500) mendeskripsikan budaya organisasi yang menghargai pembelajaran sebagai berikut. “…What if an organizational culture valued learning? It seems likely that the organization’s cultural assumptions about change would tend to see change as inevitable, perhaps necessary, natural, and feasible. Its values would have change as desirable. Its strategic beliefs would encourage the surfacing and examination of the future, organization environment relations, stakeholder interests, and all
30
Embed
MODEL BUDAYA PEMBELAJARAN ORGANISASI YANG · PDF filesistem-sistem dan praktek-praktek manajerial— yang ... “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang ... Asumsi merupakan aksioma
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 3, Mei 2003: 217-246
MODEL BUDAYA PEMBELAJARAN ORGANISASI YANG KOMPREHENSIF
Wilfridus B. Elu, M.Si., Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono
engertian, Tingkatan, dan Dimensi Budaya Pembelajaran
Secara umum, budaya pembelajaran organisasi merujuk pada
pandangan hidup kolektif dalam organisasi atau collective mental
programming yang berkembang dalam suatu organisasi pembelajar
(learning organization) atau suatu komunitas pembelajar. Menurut Ryan
merupakan tempat dimana relasi-relasi selalu dibina dengan baik;
keterbukaan dan keragaman (diversity) dihargai; rasa ingin tahu menjadi
supremasi; eksperimentasi menjadi kebiasaan; dan terdapat ketekunan
dalam menemukan jawaban atas permasalahan-permasalahan. Dalam
organisasi semacam ini, orang-orang senantiasa berkomunikasi secara jujur
dan terbuka; saling menghormati dan menghargai; memberikan penilaian
tetapi juga mencari umpan balik; tertantang untuk selalu mengenakan cara
pandang baru; mengajak pada pendekatan sistem yang menyeluruh; dan
bebas menampakkan diri sendiri apa adanya, tanpa topeng. Menurut Marquardt & Reynolds (1994:31), budaya pembelajaran
organisasi adalah budaya yang menghargai pembelajaran, mendorong dan
memberi kompensasi atas pengambilan resiko, dan budaya dimana semua
bertanggung jawab atas pembelajaran sendiri maupun pembelajaran dari
pihak-pihak lain. Lebih jauh, Lundberg (1996:500) mendeskripsikan budaya
organisasi yang menghargai pembelajaran sebagai berikut.
“…What if an organizational culture valued learning? It seems likely that the organization’s cultural assumptions about change would tend to see change as inevitable, perhaps necessary, natural, and feasible. Its values would have change as desirable. Its strategic beliefs would encourage the surfacing and examination of the future, organization environment relations, stakeholder interests, and all
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
218
aspects of internal managing. Its manifest components, that is, its stories, norms, rituals, and so forth, would reflect and support continuous surfacing and examining. A culture that valued learning would have learns how to learn, that is the organization and its members would have learned that surfacing and examining leads to learning.” Budaya organisasi itu sendiri menurut Schein (1985; 1992:12)
diartikan sebagai:
“… a pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems”.
Rumusan yang sama dikemukakan oleh Denison (1990:2), yaitu “…
the underlying values, beliefs, and principles that serve as foundation for an
organization’s management system as well as the set of management
practices and behaviors that both exemplify and reinforce those basic
principles.” Dengan kata lain, budaya organisasi merujuk pada pandangan
hidup (the way of life) dalam suatu organisasi. (Hatch, 1997:204). Budaya
organisasi dibentuk dan dipertahankan secara sengaja sebagai pegangan
karena terbukti atau diyakini dapat memelihara identitas organisasi dan
keberhasilan organisasi dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Hofstede (2001:391) menekankan budaya organisasi sebagai “the
collective programming of the mind” yang membedakan organisasi-
organisasi. Sebagai collective level of mental programming, budaya
organisasi dibedakan dari individual level of mental programming maupun
universal level of mental programming (Hofstede, 2001:2-3).
Penekanan atas peran budaya organisasi sebagai wahana
mempersatukan (mengkoordinasikan) orang-orang dalam organisasi melalui
kesamaan paradigma dan praktek organisasional dikemukakan juga oleh
Caren Siehl & Joanne Martin (Hatch, 1997) sebagai berikut:
“… Organizational culture can be thought of as the glue that holds an organization together through a sharing of patterns of meaning. The culture focuses on the values, beliefs, and expectations that members come to share”.
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
219
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa
budaya pembelajaran organisasi berkaitan dengan pandangan hidup dalam
organisasi berupa asumsi-asumsi dasar atau keyakinan-keyakinan, nilai-nilai
atau sikap-sikap, dan simbol-simbol atau artefak-artefak —mencakup juga
sistem-sistem dan praktek-praktek manajerial— yang menghargai
pembelajaran dan perubahan. Asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, dan artefak-
artefak ini sangat diperlukan untuk menjamin integrasi organisasi kedalam
dan kapabilitas organisasi dalam berinteraksi dengan lingkungan eksternal.
Perspektif budaya organisasi dan perspektif iklim organisasi
(organizational environment atau organizational climate) sebenarnya
menunjuk pada substansi yang sama. Akan tetapi, terdapat perbedaan
metodologi (dan epistemologi). Perspektif iklim organisasi memfokuskan diri
pada upaya memahami ciri-ciri dari keadaan atau latar (settings) organisasi
yang spesifik dengan memperhatikan dimensi-dimensi dan prinsip-prinsip
universal. Sedangkan perspektif budaya mencoba menjangkau substansi
yang sama melalui penelusuran terhadap pemahaman-pemahaman
anggota organisasi terhadap keyakinan dasar organisasi, nilai-nilai, dan
artefak-artefaknya.
Konsep iklim organisasi populer pada dekade 1960-an hingga 1970-
an dan digunakan secara bergantian dengan budaya organisasi. Evolusi
perspektif iklim organisasi mengikuti berbagai pola, tetapi tetap berakar pada
studi-studi tentang iklim-iklim sosial (Lewin, 1951; Lewin et al., 1939) dan
observasi kualitatif atas setting alamiah dari organisasi (Barker, 1965; Likert,
1961). Kajian-kajian dalam studi organisasi tentang iklim organisasi memusat
pada pandangan Tagiuri & Litwin (1968) dan Litwin & Stringer (1968).
Dikutip oleh Denison (1990c), Tagiuri & Litwin mendefinisikan iklim
organisasi sebagai “kualitas lingkungan organisasi secara keseluruhan yang
relatif tahan lama yang (a) dialami oleh anggota-anggota organisasi, (b)
mempengaruhi perilaku mereka, dan (c) dapat dideskripsikan dalam bentuk
nilai-nilai mengenai kumpulan karakteristik (atau atribut-atribut) khusus dari
lingkungan”.
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
220
Akan tetapi, perbedaan disiplin utama yang dirujuk--iklim organisasi
merujuk pada psikologi sosial, sedangkan budaya organisasi pada
antropologi—menimbulkan perbedaan metode-metode kajian di antara
keduanya. Iklim organisasi juga lebih memperhatikan motivasi dan perilaku
individu, sedangkan budaya organisasi menaruh perhatian utama pada level
organisasi secara keseluruhan. Lagi pula, iklim organisasi bernuansa
evaluatif —iklim yang sehat vs iklim tidak sehat— dan sering tumpang tindih
dengan kepuasan, sedangkan budaya organisasi menerima perbedaan di
antara organisasi-organisasi tanpa berpretensi menunjukkan budaya yang
secara obyektif lebih baik. Lebih dari itu, iklim organisasi ada kalanya hanya
menyangkut aspek tertentu, misalnya iklim komunikasi, atau hanyalah satu
bagian dari budaya organisasi. (Hofstede, 2001:392).
Perspektif budaya organisasi memusatkan perhatian terhadap nilai-
nilai dasar, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi yang hidup dalam
organisasi, pola-pola perilaku yang berasal dari shared meanings, dan
simbol-simbol yang mengekspresikan hubungan-hubungan antara asumsi-
asumsi, nilai-nilai dan perilaku dari anggota-anggota orgnisasi (Denison,
1990:27). Kajian teoretis untuk membangun budaya pembelajaran
komprehensif lebih cenderung pada perspektif budaya pembelajaran
organisasi. Hal ini dilakukan untuk memahami bagaimana anggota-anggota
organisasi mengenakan asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang
mendukung pembelajaran terhadap sistem sosial dimana mereka
bergabung.
Merujuk pembagian lapisan budaya dari Schein, budaya
pembelajaran organisasi dapat juga dipahami pada tiga tingkatan, yaitu (1)
lapisan paling dalam berupa asumsi-asumsi dasar (beliefs); (2) nilai-nilai,
sikap-sikap atau norma-norma; dan (3) artefak-artefak atau simbol-simbol
pada lapisan paling luar. (Lihat, Bagan 1).
Lapisan paling bawah mendasari dan menopang lapisan kedua dan
ketiga. Nilai-nilai organisasi biasanya konsisten dengan dan mencerminkan
beliefs organisasi. Demikian halnya, artefak-artefak atau simbol-simbol
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
221
organisasi konsisten dan merefleksikan nilai-nilai organisasi. Pengaruh
sebaliknya pun dapat terjadi, yaitu adanya pengaruh dari lapisan paling luar
terhadap nilai-nilai. Selanjutnya, nilai-nilai mempengaruhi keyakinan-
keyakinan. Akan tetapi, hal yang terakhir ini hanya terjadi jika nilai-nilai
benar-benar baru teruji. Keyakinan baru yang terbentuk kemudian diterima
sebagai “kebenaran” dan menjadi pembimbing perilaku tanpa keraguan.
Bagan 1: Tiga Tingkatan Budaya (Pembelajaran) Organisasi
Denison (1990:32-33) mengemukakan bahwa asumsi-asumsi dasar
adalah “tacit beliefs” dari anggota-anggota organisasi mengenai diri mereka
dan orang-orang lain, hubungan-hubungan mereka dengan orang-orang lain,
dan sifat dasar (nature) organisasi dimana mereka hidup. Asumsi merupakan
tiang penyokong yang tak disadari terhadap nilai-nilai, perspektif, dan artefak
dari organisasi. Asumsi merupakan aksioma implisit dan abstrak yang
mempengaruhi sistem budaya yang lebih eksplisit. Sedangkan nilai adalah
dasar penilaian yang digunakan anggota-anggota organisasi dalam menilai
situasi, tindakan, obyek atau orang-orang. Nilai mencerminkan sasaran-
sasaran riil, cita-cita, standar, “dosa-dosa” organisasi dan menunjukkan
preferensi organisasi di dalam memecahkan permasalahan.
kesalahan dan kreativitas, serta tidak ada hukuman untuk kesalahan dalam
pembelajaran (Montgomery & Scalia, 1996:445); pengampunan atas hal-hal
yang telah terjadi (forgive the past), merasakan kesempurnaan dari setiap
kejadian, terbuka dan menyingkirkan tuduh-menuduh, serta kebebasan
bertindak (Pattakos, 1996:174). Selain itu, tersedia sumber daya (waktu dan
dana) bagi pembelajaran yang diprakarsai oleh individu dengan sistem
pengupahan atau pengakuan dan sistem pengembangan karier (Leonard-
Barton, 1995).
2. Dimensi Consistency Pandangan konsistensi menekankan budaya yang kuat dari
organisasi. Di sini ditekankan adanya sistem-sistem pengendalian implisit,
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
230
didasarkan pada nilai-nilai yang diinternalisasi, dari pada sistem-sistem
pengendalian eksternal yang mendasarkan diri pada pedoman-pedoman
(rules) dan aturan-aturan (regulations). Dengan kata lain, budaya yang kuat
menekankan sistem keyakinan, nilai-nilai, dan simbol yang dipahami secara
luas oleh anggota-anggota organisasi, atau rumusan kolektif (collective
definition) mengenai perilaku, sistem, dan makna (meanings) secara terpadu
yang menuntut kepatuhan individual (individual conformity) ketimbang
partisipasi sukarela (Denison & Mishra, 1995:214). Intinya, perspektif ini
menekankan konformitas atau agreement dan prediktabilitas.
Asumsi dasar dari budaya yang kuat adalah bahwa sistem
pengendalian implisit, yang didasarkan pada nilai-nilai yang diinternalisasi,
merupakan sarana yang efektif untuk mencapai integrasi atau konsistensi
normatif. Hal ini memungkinkan organisasi melakukan tindakan-tindakan
terkoordinasi yang dilandasi oleh kesamaan pemahaman di antara anggota
organisasi. Dengan demikian, organisasi dapat bereaksi terhadap
lingkungan secara cepat dan memadai, serta mampu melindungi sistem nilai
yang dianut (Denison, 1990:11; Denison & Mishra, 1995:215). Intinya,
dimensi ini menekankan kemampuan organisasi untuk memperoleh
konsensus dan menghasilkan tindakan-tindakan terkoordinasi.
Nilai yang lazim adalah penghargaan akan konsistensi, harmoni, dan
konsensus. Tingginya derajat integrasi normatif, shared meanings, dan
kerangka acuan yang sama akan meningkatkan kapasitas organisasi untuk
kegiatan-kegiatan terkoordinasi dan mendukung proses keputusan yang
lebih cepat (Denison, 1990:10). Meskipun begitu, penekanan akan
konsistensi secara berlebihan bisa menjadi faktor penghambat bagi
perubahan dan adaptasi organisasi (Denison & Mishra, 1995:215).
Hoffman dan Withers (1995:474) mengatakan, budaya yang
konsisten merupakan kebutuhan bagi pembelajaran dan penciptaan learning
organization, seperti berikut:
“…a strong, consistent culture grown from shared values provides all of the control necessary for directing learning. True learning organizations will grow from a culture accepts the premise that
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
231
continuous, uncontrolled learning is a necessity for future success. As leaders continue to focus on maintaining the strength of the culture and making sure that it is consistent, the culture will allow associates throughout the organization to learn at the rate of speed necessary to move forward.” Dimensi ini memiliki keyakinan dasar bahwa organisasi adalah suatu
komunitas pembelajaran. Nilai-nilai yang dianut meliputi keterpaduan,
keterkaitan, dan pengurangan hambatan-hambatan bagi pengembangan
pengetahuan (DeChant, 1996:113-114).
Montgomery dan Scalia (1996: 445) mengemukakan mengenai
adanya persaingan terkendali (controlled competition), dan penekanan akan
semangat kolaborasi. Para manajer berperan sebagai fasilitator yang
menyediakan sumber daya dan dukungan bagi pembelajaran melalui
penciptaan desain dan pemberian motivasi bagi karyawan agar mencapai
sasaran yang telah ditetapkan, meskipun mereka bukanlah “ahli” bagi
pembelajaran karyawan (Byrd, 1995:482-483).
Nilai trust pada dimensi ini didasarkan pada respek satu sama lain
dan keyakinan akan kompetensi pihak-pihak lain. Namun, trust ini juga
dilandasi oleh hasrat untuk melakukan hal yang benar. Berkembang juga
suatu keyakinan bahwa organisasi akan melindungi dan menghargai
mereka yang mematuhi kepentingan organisasi. Lagi pula, manajemen
selalu mengkomunikasikan dan bertindak cepat atas tindakan-tindakan
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri (Montgomery dan Scalia,
1996:459).
Pada tataran artefak, terdapat sejumlah ciri yang konsisten dengan
asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai pembelajaran yang menekankan
konsistensi. Hoffman dan Withers (1995:470-471) mengemukakan, kunci
bagi konsistensi adalah adanya sharing dari setiap pribadi mengenai
tanggung jawab terhadap kesehatan budaya perusahaan. Jika ada trust dan
semangat teamwork, maka sharing mengenai kesalahan-kesalahan dapat
berlangsung tanpa beban sehingga menyediakan basis bagi keberhasilan
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
232
pihak lain dalam organisasi. Rasa takut membuat kesalahan juga akan
berkurang. Semua kondisi ini dibutuhkan bagi pembelajaran dan perubahan.
Organisasi mungkin tidak hanya memiliki satu budaya pembelajaran
yang sama untuk keseluruhan organisasi. Organisasi mungkin memiliki
beberapa sub-budaya yang berbeda, misalnya pada tingkat divisi,
departemen, wilayah, tugas, bahkan pada level individu. Akan tetapi, di sini
terdapat konsistensi yang tinggi di antara subbudaya. Konsistensi juga terjadi
di antara sub-budaya dengan budaya pembelajaraan organisasi yang
“memayungi” secara keseluruhan. (Lundberg, 1996:495).
Sebagaimana dikemukakan di atas, jika para manajer terus-menerus
memusatkan perhatian pada upaya mempertahankan kuatnya budaya dan
menjamin konsistensi budaya pembelajaran, niscaya budaya pembelajaran
organisasi akan membuat seluruh lapisan organisasi belajar pada tingkat
kecepatan yang dibutuhkan bagi kemampuan berkelanjutan (Hoffman &
Withers, 1995:474). Satu elemen penting untuk itu adalah meluasnya
tanggung jawab atas pembelajaran diri sendiri maupun pihak lain
sebagaimana dikemukakan oleh Marquardt dan Reynolds (1994).
3. Dimensi Adaptability Konsepsi ini menekankan sistem-sistem nilai dan keyakinan yang
mendukung kapasitas organisasi dalam menerima, menginterpretasikan,
menterjemahkan signal-signal dari lingkungan ke dalam perubahan-
perubahan kognitif, perilaku dan struktur internal sehingga meningkatkan
kesempatan perusahaan untuk bertahan hidup, bertumbuh dan berkembang.
(Denison:11; Denison & Mishra:215). Jadi, ada tiga aspek di sini. Pertama,
kemampuan untuk memahami (perceive) dan menanggapi lingkungan
eksternal. Kedua, kemampuan untuk menanggapi para pelanggan internal.
Ketiga, kapasitas untuk merestrukturisasi dan melakukan reinstitusionalisasi
sejumlah perangkat perilaku dan proses yang memungkinkan adaptasi
organisasi (Denison, 1990:12).
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
233
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Schein (19996: 67)
sebagai berikut:
“…The organizations that have survived and make important transitions over many decades seems to have always had a cultural core that was fundamentally functional--a commitment to learning and change; a commitment to people and all of the stakeholders in the orgainization, including customers, employees, suppliers, and stockholders; and a commitment to building a healthy, flexible organization in the first place. If such a cultural core does not exist from the beginning, the organization may not survive in the long run, especially as environmental turbulance increases.” Dimensi ini memiliki asumsi dasar bahwa sistem-sistem terbuka
merupakan kebutuhan bagi pengembangan pengetahuan dan perubahan
organisasi (Byrd, 1995:478, 484-485). Juga diyakini bahwa orang-orang
menempatkan diri sebagai bagian dari aliran pemakai/ pemasok dan saling
mendukung dalam penciptaan nilai tambah bagi masyarakat dan lingkungan.
Ada keyakinan bahwa semua unsur dengan sadar maju bersama-sama
dalam memajukan masyarakat (Wood, 1995:415). Secara implisit, asumsi ini
mengandaikan asumsi lainnya, yaitu pengakuan akan ketidakmampuan
untuk mengetahui dan mengerjakan sendiri berbagai hal (Byrd, 1995:479-
480).
Perubahan cara berpikir dan bertindak kolektif menjadi penting
dalam kaitan dengan upaya organisasi secara terpadu untuk bertahan hidup,
bertumbuh dan berkembang sejalan dengan dinamika dan gelombang
perubahan dunia bisnis.
Wise (1996:45) mengemukakan, premis utamanya adalah
penerapan pendekatan-pendekatan yang benar-benar baru dan berbeda
dalam mengelola kapital intelektual sebagai basis penciptaan nilai. Yaitu,
bagaimana organisasi-organisasi menciptakan kondisi pembelajaran melalui
pengelolaan orang-orang yang dapat menghasilkan nilai eksepsional bagi
para pemangku kepentingan (stakeholders), seperti pelanggan, pemegang
saham, mitra-mitra bisnis, karyawan dan manajemen, masyarakat dan
lingkungan hidup.
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
234
Nilai-nilai yang mendukung pembelajaran adapatif adalah
keterbukaan, kesediaan saling mendengarkan (dengan pelanggan eksternal
dan internal), informasi yang tersebar luas, kemampuan mengikuti
perkembangan-perkembangan mutakhir (Byrd, 1995:485). Nilai-nilai lain
berupa semangat customer-driven, menghargai perubahan sebagai
kesempatan untuk bertumbuh, serta sikap menerima hal-hal tak diharapkan
sebagai kesempatan untuk belajar (Marquardt & Reynolds, 1994).
Keyakinan akan ketidakmampuan mengerjakan sendiri berbagai hal
mendorong berkembangnya semangat kemitraan (partnership), dan etika
bisnis yang menyertainya: integritas yang mutlak, rasa percaya (trust), dan
keterbukaan (Byrd, 1995:480-481).
Artefak-artefak dari dimensi ini meliputi keterjalinan berbagai unsur
lingkungan eksternal dan unsur-unsur dalam organisasi, serta simbol-simbol
kemitraan yang saling menguntungkan. Termasuk di dalamnya adalah
ketersediaan sarana informasi yang mudah diakses mengenai pelanggan,
pemasok, pesaing, unit-unit terkait dalam organisasi. Juga ada kesepakatan-
kesepakatan kerja sama dan saling penyesuaian dengan unsur-unsur di
dalam maupun di luar organisasi.
4. Dimensi Mission
Pandangan ini menekankan pentingnya misi dan sense of mission,
atau suatu pemahaman yang sama dari anggota organisasi mengenai fungsi
dan tujuan organisasi (Denison, 1990:13). Manfaat dari misi adalah (1)
memberikan purpose and meaning, serta sekumpulan alasan-alasan non-
ekonomis mengenai pentingnya kegiatan-kegiatan organisasi (Denison,
1990:13; Denison & Mishra,1995:216) sehingga perilaku organisasi
memperoleh basis intrinsik atau basis spiritual (Denison, 1990:13); (2)
memberikan kepastian dan pengendalian (clarity and direction), atau
menentukan jenis-jenis tindakan yang cocok bagi organisasi dan anggota-
2. Peranan Kepemimpinan Senge (1990) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan
kunci, presedens, atau supremasi organisasi pembelajar (LO). Disiplin
lainnya, termasuk budaya pembelajaran, merupakan tindakan
kepemimpinan. Hal ini menunjukkan tiga implikasi penting, yaitu (1)
kepemimpinan merupakan faktor sentral dalam pengembangan budaya
pembelajaran; (2) diperlukan pengembangan kepemimpinan menyeluruh
dalam organisasi untuk mendukung pengembangan budaya pembelajaran;
dan (3) pentingnya penghayatan kepemimpinan sebagai jalur cultural dan
pengabdian kepada tujuan-tujuan besar dan teleologis dari organisasi.
Practices Goals
BehaviorsTasks
Strategy Values
Mision/Visio
Results
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
240
Pemimpin memiliki tiga peran dalam LO, yaitu sebagai desainer,
guru, dan pelayan (steward) (Senge, 1990). Sebagai desainer, pemimpin
mengembangkan misi, visi, nilai-nilai dari organisasi dan
mengintegrasikannya dengan proses, sistem dan struktur-struktur
organisasional. Sebagai guru, pemimpin memupuk pembelajaran organisasi
dan individu. Sedangkan sebagai pelayan, ia melayani organisasi dan
misinya, melayani orang-orang agar bertumbuh dalam pembelajaran, serta
menjadi model, contoh, teladan dalam pembelajaran menuju pencapaian
kinerja yang benar-benar unggul.
Bagan 5: Integrasi Budaya Pembelajaran Dengan Model 7S
Tantangan utama bagi kepemimpinan sebagai stewardship dalam
pengembangan budaya pembelajaran berkaitan dengan (1) pergeseran gaya
kepemimpinan dari pengendalian dan pengarahan ke pemberdayaan dan
Shared Values(Teamwork)
Structure
(Participation)
Staff
(Acknow-ledgement)
Styles
(Honesty)
Skills
(Delegation)
Strategy
(Dialogue)
Systems
(Openness)
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
241
pemberian dukungan; (2) dukungan terhadap pembelajaran melalui
penyelenggaraan tugas menantang orang-orang agar terus bertumbuh
dalam pembelajaran dengan generative coaching; dan (3) pemahaman akan
kekuasaan sebagai jalur pengabdian dan keteladanan. Pergeseran dari
pendekatan pengendalian dan pengarahan ke pemberdayaan dan
pemberian dukungan lebih cenderung meningkatkan keberhasilan
pengembangan lingkungan pembelajaran dan berhubungan terbalik dengan
resistensi terhadap perubahan (Burdett, 1994).
Menurut Cloke dan Goldsmith (2002:18), kualitas kepemimpinan
yang dibutuhkan memiliki ciri-ciri kepemimpinan visioner dan berprinsip.
Selain itu, kepemimpinan perlu menampakkan ciri-ciri kepemimpinan yang
senantiasa memberikan pemberdayaan (empowering leadership),
memfasilitasi, dan kolaboratif.
Penutup
Model budaya pembelajaran organisasi yang komprehensif memiliki
relevansi dengan realitas lingkungan bisnis pada abad 21 dan milenium
ketiga. Model budaya pembelajaran komprehensif menunjukkan bahwa
pengembangan budaya pembelajaran perlu dilakukan secara memadai dan
saling mendukung di antara dimensi-dimensinya. Ia juga menyarankan
pentautan budaya pembelajaran dengan (tingkatan) budaya organisasi,
tingkatan pembelajaran, dan perilaku organisasi dan orang-orang dalam
organisasi.
Budaya pembelajaran organisasi yang seimbang, selaras, dan
memadai memberikan kerangka dasar untuk membedakan organisasi-
organisasi yang secara aktual maupun potensial memiliki kinerja lebih baik.
Akan tetapi, kerangka ini juga menyediakan ruang bagi perbedaan-
perbedaan dan keunikan berkenaan dengan sifat bauran (mixture) dari
dimensi-dimensi budaya pembelajaran serta ketiga aspek lainnya berikut
kondisi-kondisi idiosikratik dari setiap organisasi sebagai entitas yang hidup
dan menyejarah.
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
242
Budaya pembelajaran organisasi semakin maju jika keempat dimensi
dikembangkan dengan lebih baik dalam suatu keseimbangan. Konsistensi
juga perlu terjadi antara tiga lapisan budaya pembelajaran pada masing-
masing dimensi, yaitu antara lapisan keyakinan, nilai-nilai, dan artefak.
Pengembangan budaya pembelajaran organisasi yang komprehensif
tidak dapat dipisahkan dari kepentingan pemeliharaan eksistensi dan
keunggulan organisasi yang diperjuangkan melalui tranformasi atau
penciptaan nilai tambah yang kompetitif dan berkelanjutan bagi para
pemangku kepentingan. Hal ini menimbulkan tantangan untuk
mengintegrasikan budaya pembelajaran dalam keseluruhan sistem,
prosedur, proses-proses atau strategi organisasi. Bahkan, budaya
pembelajaran organisasi semakin ditempatkan sebagai pusat dan penggerak
organisasi.
Tantangan utama bagi pengembangan budaya pembelajaran yang
komprehensif adalah ketersediaan kualitas kepemimpinan yang memiliki
kapabilitas melakukan pemberdayaan (bukan mengendalikan), menantang
pembelajaran terus-menerus dari seluruh lapisan organisasi (bukan
menciptakan ketergantungan), serta mampu menjadi model dan teladan
karena menghayati kepemimpinan sebagai jalur pengabdian.
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
243
Daftar Pustaka Alvesson, Mats. 2002. Understanding Organizational Culture. London: SAGE Pub. Argyris, Chris & Schon, Donald A. 1996. Organizational Learning II: Theory, Method,
and Practice. Massachusetts: Addison Wesley Pub. Barney, Jay B. 1997. Gaining Competitive and Sustaining Competitive Advantage.
Massachusetts: Addison Wesley Pub. Bolman, Lee G. & Deal, Terrence E. 1997. Reframing Organizations: Artistry, Choice,
and Leadership. Second Edition. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. Borzsony, Philippa & Hunter, Keith. 1996. “Becoming a Learning Organization through
Partenership” dalam The Learning Organization, Vol.3, No. 1, 1996, hlm. 22-30.
Burdett, John O. 1994. “To Coach, or Not to Coach: That is the Question”, dalam
Christopher Mabey & Paul Iles (eds.), Managing Learning, hlm. 133-145. London: The Open University Press.
Byrd, Marry. 1995. “Creating a Learning Organization by Accident” dalam Sarita
Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 477-487. Oregon: Productivity Press.
Cavaleri, Steven & Fearon, David eds. 1996. Managing in Organizations that Learn.
Cultures for Tomorrow’s Workplace. Oregon: Productivity Press. Cloke, Kenneth & Goldsmith, Joan. 2002. The End of Management and the Rise of
Organizational Democracy. San Fransisco: Jossey-Bass. Crawford, Richard. 1991. In the Era of Human Capital. London: Harper Collins Pub. DeChant, Kathleen. 1996. “The Playing Fields of Learning” dalam Steven Cavaleri &
David Fearon (eds.),. Managing in Organizations that Learn, hlm. 97-118. Massachusetts: Blackweel Publishers.
Denison, Daniel. 1990a. Corporate Culture and Organizational Effectiveness. New
York: John Wiley & Sons. Denison, Daniel. 1990b. “Organizational Culture: Can it be a Key Lever for Driving
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
244
Denison, Daniel. 1990c. “What is the Difference Between Organizational Culture and Organizational Climate? A Native’s Point of View on Decade of Paradigm Wars”. http://www.denisonculture.com.
Denison, Daniel & Mishra, Aniel K. 1995. “Organizational Culture andOrganizational
Effectiveness”, dalam Organization Sceince, Vol. 6, No. 2, March-April. Fearon, David .1996. Interview with Kermit Campbell” dalam Steven Cavaleri & David
Fearon (eds.),. Managing in Organizations that Learn, hlm. 3-11. Massachusetts: Blackweel Publishers.
Handy, Charles. 1995. “Managing Dream” dalam Sarita Chawla & John Renesch
Hatch, Mary Jo. 1997. Organization Theory. New York: Oxford University Press. Hoffman, Frank & Withers, Bill. 1995. “Shared Values: Nutrients for Learning” dalam
Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 463-475. Oregon: Productivity Press.
Hofstede, Geert. 2001. Culture’s Consequences. Second Edition. London: Sage Pub. Jones, Gareth R. 2001. Organizational Theory: Text and Cases. Massachusetts:
Addison-Wesley Pub. Juechter, W. Mathew, et al. 1998. “Five Conditions for High Performance Cultures”
dalam Training and Development, May 1998, pp. 63-67. Kanter, Rosabeth Moss. 1994. “Dilemmas of Teamwork” dalam Christopher Mabey &
Paul Iles (eds.), Managing Learning, hlm. 173-180. London: The Open University Press.
Kanter, Rosabeth Moss. 1996. “Beyond the Cowboy and the Corporation”, dalam Ken
Starkey (ed.), How Organizations Learn, hlm. 43-59. New York: International Thomson Business.
Kofman, Fred & Senge, Peter M. 1995. “Communities of Commitment: The Heart of
Learning Organization” dalam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 15-34. Oregon: Productivity Press.
Kotter, John P. & Heskett, James L.. 1992. Corporate Culture and Performance. New
York: The Free Press. Leonard-Barton, Dorothy. 1994. “The Factory as a Learning Laboratory” dalam
Christopher Mabey & Paul Iles (eds.), Managing Learning, hlm. 43-54. London: Routledge & The Open University.
Leonard-Barton, Dorothy. 1995. Wellsprings of Knowledge: Building and Sustaining
theSources of Innovation. Massachusetts: Harvard Business School Press.
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
245
Lewis, Richard D. 2000. When Cultures Collide. London: Nicholas Brealey Pub. Lundberg, Craig C. 1996. “Managing in a Culture that Values Learning”, dalam Steven
Cavaleri & David Fearon (eds.), Managing in Organizations that Learn, hlm. 491-508. Massachusetts: Blackweel Publishers.
Marquardt, Michael & Reynolds, Angus. 1994. The Global Learning Organization.
NewYork: Richard D. Irwin. Montgomery, John M. & Scalia, Frank. 1996. Integrating Learning and Organizations”,
dalam Steven Cavaleri & David Fearon (eds.), Managing in Organizations that Learn, hlm. 435-465. Massachusetts: Blackweel Publishers.
Peters, Tom. 1990. “Get Innovate or Get Dead, Part I”, dalam California Management
Review, Vol. 33, No. 1 (Fall), hlm. 9-26. Peters, Tom. 1991. “Get Innovate or Get Dead, Part II”, dalam California Management
Review, Vol. 33, No. 2 (Winter), hlm. 9-23. Performance Engineering Group. 2002. “The Importance of Alignment”.
http://www.thepegroup.com/align.html. Pollard, William C. 1996. The Soul of the Firm. Michigan: Zonder van Publishing
House & Harper Business. Reed, Frederick & Seivert, Sharon. 1996. “The Implications of Autonomy for
Learningin Organizations”, dalam Steven Cavaleri & David Fearon (eds.), Managing in Organizations that Learn, hlm. 377-402. Massachusetts: Blackweel Publishers.
Ryan, Stephanie. 1995. “Learning Communities: An Alternative to the “Expert Model”,
dlam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 279-291.Oregon: Productivity Press.
Schein, Edgar H. 1985. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco:
Jossey-Bass. Schein, Edgar H. 1992. Organizatinal Culture and Leadership. Second Editon. San
Fransisco: Jossey-Bass. Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning
Organization. London: Century. Vogt, Eric Edwards. 1995. “Learning Out of Context”, dalam Sarita Chawla & John