BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Penulisan Salah satu masalah nasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah penanganan terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia. Jumlah sumber daya manusia yang besar apabila dapat didayagunakan secara efektif dan efisien akan bermanfaat untuk menunjang gerak lajunya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Melimpahnya sumber daya manusia yang ada saat ini mengharuskan penggerak organisasi berfikir secara saksama yaitu bagaimana dapat memanfaatkan sumber daya manusia secara optimal. Agar di masyarakat tersedia sember daya manusia yang andal, diperlukan pendidikan yang berkualitas, penyediaan berbagai fasilitas sosial, lapangan pekerjaan yang memadai. Kelemahan dalam penyediaan berbagai fasilitas tersebut, akan menyebabkan keresahan sosial yang akan berdampak kepada keamanan masyarakat. Saat ini, kemampuan sumber daya manusia masih rendah baik dilihat dari kemampuan intelektualnya maupun kemampuan teknis yang dimilikinya. Persoalan yang ada adalah bagaimana dapat menciptakan sumber daya manusia yang dapat menghasilkan kinerja yang optimal sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Produktivitas kerja merupakan tuntutan utama bagi perusahaan agar kelangsungan hidup atau operasionalnya dapat terjamin. Individu dalam organisasi tentunya memiliki pedoman dalam bertindak. Tindakan tersebut pasti juga tertuju pada budaya organisasi. Budaya itu sendiri merupakan hal yang penting bagi organisasi atau perusahaan, karena akan selalu berhubungan dengan keberlangsungan organisasi. Sebuah organisasi saat ini bukan dipandang lagi sebagai sistem tertutup (closed system), tapi organisasi merupakan sistem terbuka (opened system) yang harus dapat merespon dan dapat mengakomodasikan berbagai perubahan eksternal dengan cepat dan efisien. Keberhasilan organisasi dinilai dari suksesnya organisasi mengelola sumber daya yang ada. Salah satunya adalah sumber daya manusia yang mampu untuk menyatukan persepsi atau cara pandang karyawan dan pimpinan perusahaan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan antara lain melalui pembentukan mental bekerja yang baik dengan dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap pekerjaannya, memberikan motivasi kerja,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Penulisan
Salah satu masalah nasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah
penanganan terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia. Jumlah sumber daya manusia
yang besar apabila dapat didayagunakan secara efektif dan efisien akan bermanfaat untuk
menunjang gerak lajunya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Melimpahnya sumber
daya manusia yang ada saat ini mengharuskan penggerak organisasi berfikir secara saksama
yaitu bagaimana dapat memanfaatkan sumber daya manusia secara optimal. Agar di
masyarakat tersedia sember daya manusia yang andal, diperlukan pendidikan yang
berkualitas, penyediaan berbagai fasilitas sosial, lapangan pekerjaan yang memadai.
Kelemahan dalam penyediaan berbagai fasilitas tersebut, akan menyebabkan keresahan sosial
yang akan berdampak kepada keamanan masyarakat. Saat ini, kemampuan sumber daya
manusia masih rendah baik dilihat dari kemampuan intelektualnya maupun kemampuan
teknis yang dimilikinya.
Persoalan yang ada adalah bagaimana dapat menciptakan sumber daya manusia yang
dapat menghasilkan kinerja yang optimal sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.
Produktivitas kerja merupakan tuntutan utama bagi perusahaan agar kelangsungan hidup atau
operasionalnya dapat terjamin. Individu dalam organisasi tentunya memiliki pedoman dalam
bertindak. Tindakan tersebut pasti juga tertuju pada budaya organisasi. Budaya itu sendiri
merupakan hal yang penting bagi organisasi atau perusahaan, karena akan selalu
berhubungan dengan keberlangsungan organisasi.
Sebuah organisasi saat ini bukan dipandang lagi sebagai sistem tertutup (closed
system), tapi organisasi merupakan sistem terbuka (opened system) yang harus dapat
merespon dan dapat mengakomodasikan berbagai perubahan eksternal dengan cepat dan
efisien. Keberhasilan organisasi dinilai dari suksesnya organisasi mengelola sumber daya
yang ada. Salah satunya adalah sumber daya manusia yang mampu untuk menyatukan
persepsi atau cara pandang karyawan dan pimpinan perusahaan dalam rangka mencapai
tujuan perusahaan antara lain melalui pembentukan mental bekerja yang baik dengan
dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap pekerjaannya, memberikan motivasi kerja,
bimbingan, pengarahan dan koordinasi yang baik dalam bekerja oleh seorang pemimpin
kepada bawahannya.
Menciptakan kepuasan kerja karyawan tidak mudah karena kepuasan kerja dapat
tercipta jika variabel-variabel yang mempengaruhinya antara lain motivasi kerja,
kepemimpinan, dan budaya organisasi atau perusahaan dapat diakomodasikan dengan baik
dan diterima oleh semua karyawan di dalam suatu organisasi atau perusahaan. Kepuasan
kerja dalam teori motivasi Maslow menempati peringkat yang tinggi. Sebab ia berkaitan
dengan tujuan manusia untuk merealisasikan dan mengaktualisasikan potensi dirinya dalam
pekerjaan. Namun motivasi ini kadang terbendung oleh berbagai ragam kerutinan, hambatan
lingkungan kerja yang kurang seimbang, atau situasi dan perangkat kerja yang secara alamiah
tidak mendukung peningkatan produktivitas kerja. Stres yang dialami karyawan dan
kepuasan kerja yang didambakan seolah merupakan dua kondisi yang bukan saja berkaitan,
tetapi sekaligus antagonistis.
Membahas kepuasan kerja tidak akan terlepas dengan adanya faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Banyak hal yang dapat mempengaruhi
produktivitas kerja, sehingga pengusaha harus menjaga faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kinerja dapat terpenuhi secara maksimal, oleh karena itu, dalam makalah ini kami
membahas tentang faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja individu terhadap
organisasi/perusahaan yang menaunginya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Budaya Organisasi Menurut Para Ahli
Kata budaya pertama kali dikemukakan oleh seorang antropologi bernama Edward B.
Tylor pada tahun 1871 yang menyatakan bahwa :
“Budaya adalah sekumpulan pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hokum, adat, kapabilitas,
dan kebiasaan yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota sebuah perkumpulan atau
komunitas tertentu. Dalam sosiologi budaya diterjemahkan sebagai kumpulan symbol,
mitos,dan ritual yang penting dalam memahami sebuah realitas sosial”.
Menurut Robbins (1996:289):
“Budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota
organisasi itu”.
Menurut pandangan Davis (1984):
“Budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasional yang
dipahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasional sehingga pola tersebut memberikan
arti tersendiri dan menjadi dasar berperilaku dalam organisasional”.
Menurut pandangan Schein (1992):
“Budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan,
diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi
belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalahyang timbul sebagai akubat adaptasi
eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan cukup baik. Sehingga perlu diajarkan
kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan
merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut”.
Brown mengembangkan unsur-unsur dasar budaya organisasi berdasarkan kerangka
yang dikembangkan oleh Schein pada tahun 1985. Unsur-unsur budaya organisasi menurut
Brown adalah sebagai berikut: Pertama adalah artifacts (unsur dasar organisasi yang paling
mudah dikenali karena ia dapat dilihat, didengar, dan dirasakan). Artifacts biasanya
berbentuk cerita, mitos, lelucon, metafora, upacara dan tatacara, perayaan, pahlawan, dan
simbol-simbol. Ada juga beberapa hal yang bersifat subkategori untuk artifacts, yaitu: hal-hal
yang bersifat material, tampilan fisik, teknologi, bahasa, pola perilaku, system, prosedur dan
program.Unsur kedua adalah keyakinan, nilai-nilai, dan sikap yang berlaku di dalam
organisasi. Nilai ini lebih mengarah pada kode moral dan etika yang menjadi penentu apa
yang sebaiknya di lakukan. Misalnya, sebuah perusahaan punya nilai-nilai kejujuran,
keterbukaan dan integritas dalam menjalankan aktifitas bisnisnya. Maka penerapan untuk
bagian keuangan, misalnya adalah meyusun laporan keuangan secara transparandan jujur,
maksudnya tidak melakukan penipuan agar organisasi tersebut lebih menarik minat investor
tertentu.Unsur ketiga adalah asumsi-asumsi dasar mau tidak mau harus diterima sebagai
solusi bila terjadi suatu masalah.
2.2 Pengertian Kepuasan Kerja Menurut Para Ahli
Menurut Robbins (2001):
“ kepuasan kerja didefinisikan sebagai suatu sikap umum seseorang terhadap
pekerjaannya. Definisi ini mengandung pengertian yang luas”. Dengan kata lain kepuasan
kerja merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan dan
terpisahkan satu sama lain (discrete job elements).
Menurut George & Jones (2002);
“kepuasan kerja merupakan kumpulan feelings dan beliefes yang dimiliki orang tentang
pekerjaannya”.
Pengungkapan ketidak puasan pegawai bisa disampaikan dalam 4 cara:
1.Respon Voice (aktif & konstruktif, memberikan saran)
2.Respon Loyalty (pasive: tidak melakukan apapun/constructive:harapan kondisi
membaik)
3. Repon neglect (Pasive : tidak mau tau/Destructive:membiarkan kondisi memburuk)
4. Respon Exit (Destructive:karyawtan keluar/Active: mencari pekerjaan baru)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Hubungan Budaya Organisasi dengan Kepuasan Kerja
Budaya organisasi dapat membantu kinerja karyawan, karena menciptakan suatu
tingkat motivasi yang luar biasa bagi karyawan untuk memberikan kemampuan terbaiknya
dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh organisasi. Barney (dalam Yaqin,
2003:4) menyatakan nilai-nilai yang dianut bersama membuat karyawan secara nyaman
bekerja, memiliki komitmen dan kesetiaan serta membuat karyawan berusaha lebih keras,
meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja serta mempertahankan keunggulan kompetitif.
Mengacu pada penjelasan tersebut, maka perilaku organisasi yang bersifat kelompok
maupun individu akan memberikan kekuatan terhadap kinerja organisasi secara keseluruhan,
sebab apa yang dikerjakan manusia dalam organisasi dan perilakunya itu, akan
mempengaruhi kinerja organisasi (Nimran, 1997:1-3). Hal ini didasarkan oleh adanya
pemikiran bahwa prestasi kerja individu akan memberikan kontribusi pada prestasi
organisasi.
Dari uraian ringkas tersebut, bahwa dengan melakukan akulturasi budaya organisasi
selain akan menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas, juga akan menjadi penentu
sukses perusahaan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, Block (dalam Moeljono, 2003:10)
berpendapat sebagai berikut: Semakin jelas terbukti bahwa hanya perusahaan-perusahaan
dengan budaya organisasi yang efektif yang dapat menciptakan peningkatan produktivitas,
meningkatkan rasa ikut memiliki dari karyawan, dan (pada akhirnya) meningkatkan
keuntungan perusahaan.........(there is increasing evidence that firms with effective corporate
cultures claim to have increased produktivity, increased employees sense of ownership and
increased profit).
Karyawan dan perusahaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karyawan
memegang peran utama dalam menjalankan roda kehidupan perusahaan. Apabila karyawan
memiliki produktivitas dan motivasi kerja yang tinggi, maka laju roda pun akan berjalan
kencang, yang akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi
perusahaan. Di sisi lain, bagaimana mungkin roda perusahaan berjalan baik, kalau
karyawannya bekerja tidak produktif, artinya karyawan tidak memiliki semangat kerja yang
tinggi, tidak ulet dalam bekerja dan memiliki moril yang rendah.
Tugas manajemen adalah mengusahakan agar karyawan memiliki semangat kerja dan
moril yang tinggi serta ulet dalam bekerja. Biasanya karyawan yang puas dengan apa yang
diperolehnya dari perusahaan akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan ia akan
terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Sebaliknya karyawan yang kepuasan kerjanya
rendah, cenderung melihat pekerjaan sebagai hal yang menjemukan dan membosankan,
sehingga ia bekerja dengan terpaksa dan asal-asalan. Untuk itu merupakan keharusan bagi
perusahaan untuk mengenali faktor-faktor apa saja yang membuat karyawan puas bekerja di
perusahaan. Dengan tercapainya kepuasan kerja karyawan, produktivitas pun akan
meningkat.
Sesungguhnya antara budaya organisasi dengan kepuasan kerja karyawan terdapat
hubungan, dimana budaya (culture) dikatakan memberi pedoman seorang karyawan
bagaimana dia mempersepsikan karakteristik budaya suatu organisasi, nilai yang dibutuhkan
karyawan dalam bekerja, berinteraksi dengan kelompoknya, dengan sistem dan adminitrasi,
serta berinteraksi dengan atasannya.
Budaya organisasi selain berpengaruh terhadap kinerja karyawan, berpengaruh
terhadap kepuasan kerja karyawan. Selanjutnya kinerja karyawan berpengaruh terhadap
kepuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja karyawan yang tinggi merupakan salah satu
indikator juga efektivitas manajemen, yang berarti bahwa budaya organisasi telah dikelola
dengan baik.
Sesuai teori yang diungkapkan Robbins (2001) tentang kepuasan kerja sebagai suatu
sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya. Definisi ini mengandung pengertian yang luas.
Dengan kata lain kepuasan kerja merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur
pekerjaan yang terbedakan dan terpisahkan satu sama lain (discrete job elements). Jika
mengacu pada George & Jones (2002), kepuasan kerja merupakan kumpulan feelings dan
beliefes yang dimiliki orang tentang pekerjaannya. Pengungkapan ketidak puasan pegawai
bisa disampaikan dalam 4 cara:
1. Respon aktif & konstruktif, memberikan saran
2. Respon pasif: tidak melakukan apapun/constructive:harapan kondisi membaik
3. Repon neglect (Pasive : tidak mau tau/Destructive:membiarkan kondisi memburuk)
4. Respon Exit (Destructive:karyawan keluar/Active: mencari pekerjaan baru).
Pada umumnya dalam diri seorang pekerja ada dua hal yang penting dan dapat memberikan
kepuasan yaitu masalah:
• Compensation sebagai imbal jasa dari pengusaha kepada karyawan yang telah
memberikan kontribusinya selalu menjadikan sebagai ukuran puas atau
tidaknya seseorang dalam menjalankan tugasnya atau pekerjaannya. Demikian
pula pemberian compensation dapat berdampak negative apabila dalam
pelaksanaannya tidak adil dan tidak layak yang pada akhirnya menimbulkan
ketidakpuasan. Besar kecilnya compensation yang diberikan kepada karyawan
seharusnya tergantung kepada besar kecilnya power of contribution and
thinking yang disampaikan oleh pekerja kepada perusahaan. Sehubungan
dengan hal tersebut mengingat pemberian compensation harus adil tentunya
harus ada ukuran yang jelas dan transparan misalnya berdasarkan outputnya
(prestasi yang dicapai).
• Expectancy yaitu setiap orang akan memiliki harapan-harapan yang akan
diperoleh dalam melakukan kegiatannya, oleh karena itu tanpa adanya nilai
harapan yang dimiliki, seseorang tidak akan melakukan usaha-usaha untuk
memenuhi kebutuhannya. Dalam expectancy theory dinyatakan bahwa orang
termotivasi bereaksi dalam kehidupannya, berkeinginan menghasilkan
kombinasi dari hasil-hasil yang diharapkan. Sehubungan dengan hal tersebut
maka nampak jelas bahwa expectancy dapat mendorong seseorang untuk
memenuhi kebutuhannya, hal ini wajar karena manusia selalu mempunyai
kebutuhan yang berbeda-beda menurut status sosialnya di masyarakat,
sehingga unsur pembentuk expectancy-nya berbeda-beda pula.
Pekerjaan membutuhkan interaksi dengan rekan kerja dan para atasan, mematuhi
peraturan-peraturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja hidup dalam suasana
kerja yang seringkali kurang dari ideal dan semacamnya. Hal itu berarti penilaian karyawan
atas seberapa puas atau tidak puas dirinya dengan pekerjaannya adalah perhitungan rumit dari
sejumlah elemen pekerjaan yang sensitive. Factor-faktor yang umumnya disertakan adalah
suasana pekerjaan, pengawasan, tingkat upah saat ini, peluang promosi dan hubungan dengan
mitra kerja. Factor-faktor tersebut diperingkatkan berdasarkan skala yang distandarkan dan
kemudian ditambahkan untuk mendapatkan skor kepuasan kerja secara keseluruhan.
• Seberapa Puas Seseorang Terhadap Pekerjaannya
Faktor yang mungkin menjelaskan penurunan kepuasan kerja akhir-akhir ini. Para ahli
menilai hal itu mungkin disebabkan upaya para atasan untuk mencoba meningkatkan
produktivitas melalui peningkatan beban kerja karyawan dan tingkat waktu yang lebih
sempit. Faktor penyumbang lain mungkin adalah perasaan yang semakin banyak dilaporkan
para pekerja bahwa mereka mempunyai kendali lebih kecil atas pekerjaan mereka namun
apakah pernyataan bahwa kepuasan kerja meningkat jika upah meningkat menandakan bahwa
uang tidak selalu dapat member kebahagiaan. Meski mungkin bahwa peningkatan upah saja
dapat membuahkan kepuasan kerja. Penjelasan alternatifnya adalah bahwa peningkatan upah
mencerminkan perbedaan jenis pekerjaan. Pekerjaan-pekerjaan berupah lebih tinggi
umumnya mensyaratkan keterampilan lebih tinggi memberikan tanggung jawab lebih besar
kepada pengemban. Lebih merangsang dan memberikan lebih banyak tantangan dan
memberikan kendali lebih besar kepada para pekerja. Sehingga terdapat kemungkinan bahwa
laporan-laporan peningkatan kepuasan diantara para pekerja yang berupah lebih baik
mencerminkan tantangan dan kebebasan lebih besar yang mereka dapatkan dalam pekerjaan
mereka bukannya upah mereka itu sendiri. Tampaknya kemakmuran perekonomian tidak
selalu membuahkan peningkatan kepuasan kerja.
3.2 Faktor Penentu Kepuasan Kerja
a. Gaji/Upah
Menurut Theriault, kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolute dari gaji
yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja dan
bagaimana gaji diberikan. Selain untuk pemenuhan kebutuhan dasar, uang juga merupakan
simbol dari pencapaian (achievement), keberhasilan dan pengakuan/penghargaan.
Berdasarkan teori keadilan Adams, orang yang menerima gaji yang dipersepsikan terlalu
kecil atau terlalu besar akan mengalami ketidakpuasan. Jika gaji dipersepsikan adil
berdasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu dan standar gaji yang
berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu maka akan ada kepuasan kerja.
Jika dianggap gajinya terlalu rendah, pekerja akan merasa tidak puas. Tapi jika gaji
dirasakan tinggi atau sesuai dengan harapan, pekerja tidak lagi tidak puas, artinya tidak ada
dampak pada motivasi kerjanya. Gaji atau imbalan akan mempunyai dampak terhadap
motivasi kerja seseorang jika besarnya imbalan disesuaikan dengan tinggi prestasi kerjanya.
b. Kondisi kerja yang menunjang
Bekerja dalam ruangan atau tempat kerja yang tidak menyenangkan (uncomfortable)
akan menurunkan semangat untuk bekerja. Oleh karena itu perusahaan harus membuat
kondisi kerja yang nyaman dan menyenangkan sehingga kebutuhan-kebutuhan fisik terpenuhi
dan menimbulkan kepuasan kerja.
c. Hubungan Kerja
1. Hubungan dengan rekan kerja
Ada tenaga kerja yang dalam menjalankan pekerjaannya memperoleh masukan dari
tenaga kerja lain (dalam bentuk tertentu). Keluarannya (barang yang setengah jadi) menjadi
masukan untuk tenaga kerja lainnya. Misalnya pekerja konveksi. Hubungan antar pekerja
adalah hubungan ketergantungan sepihak yang berbentuk fungsional.
Kepuasan kerja yang ada timbul karena mereka dalam jumlah tertentu berada dalam satu
ruangan kerja sehingga dapat berkomunikasi. Bersifat kepuasan kerja yang tidak
menyebabkan peningkatan motivasi kerja. Dalam kelompok kerja dimana para pekerjanya
harus bekerja sebagai satu tim, kepuasan kerja mereka dapat timbul karena kebutuhan-
kebutuhan tingkat tinggi mereka seperti harga diri, aktualisasi diri dapat dipenuhi dan
mempunyai dampak pada motivasi kerja mereka.
2. Hubungan dengan atasan
Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja adalah tenggang rasa
(consideration). Hubungan fungsional mencerminkan sejauhmana atasan membantu tenaga
kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan
keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan
nilai-nilai yang serupa, misalnya keduanya mempunyai pandangan hidup yang sama.
Tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan adalah jika kedua jenis hubungan
adalah positif. Atasan yang memiliki ciri pemimpin yang transformasional, maka tenaga kerja
akan meningkat motivasinya dan sekaligus dapat merasa puas dengan pekerjaannya.
• Korelasi Kepuasan Kerja
Hubungan antara kepuasan kerja dengan variabel lain dapat bersifat positif atau
negatif. Kekuatan hubungan mepunyai rentang dari lemah dampai kuat. Hubungan yang kuat
menunjukkan bahwa atasan dapat mem
pengaruhi dengan signifikan variabel lainnya dengan meningkatkan kepuasan kerja
(Kreitner dan Kinicki,2001:226).
Beberapa korelasi kepuasan kerja sebagai berikut :
1) Motivasi
Antara motivasi dan kepuasan kerja terdapat hubungan yang positif dan signifikan. Karena
kepuasan dengan pengawasan/supervisi juga mempunyai korelasi signifikan dengan motivasi,
atasan/manajer disarankan mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka mempengaruhi
kepuasan pekerja sehingga mereka secara potensial dapat meningkatkan motivasi pekerja
melalui berbagai usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja.
2) Pelibatan Kerja
Hal ini menunjukkan kenyataan dimana individu secara pribadi dilibatkan dengan peran
kerjanya. Karena pelibatan kerja mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja, dan peran
atasan/manajer perlu didorong memperkuat lingkungan kerja yang memuaskan untuk
meingkatkan keterlibatan kerja pekerja.
3) Organizational citizenship behavior
Merupakan perilaku pekerja di luar dari apa yang menjadi tugasnya.
4) Organizational commitment
Mencerminkan tingkatan dimana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan
mempunyai komitmen terhadap tujuannya. Antara komitmen organisasi dengan kepuasan
terdapat hubungan yang sifnifikan dan kuat, karena meningkatnya kepuasan kerja akan
menimbulkan tingkat komitmen yang lebih tinggi. Selanjutnya komitmen yang lebih tinggi
dapat meningkatkan produktivitas kerja.
5) Ketidakhadiran (Absenteisme)
Antara ketidakhadiran dan kepuasan terdapat korelasi negatif yang kuat. Dengan kata lain
apabila kepuasan meningkat, ketidakhadiran akan turun.
6) Perputaran (Turnover)
Hubungan antara perputaran dengan kepuasan adalah negatif. Dimana perputaran dapat
mengganggu kontinuitas organisasi dan mahal sehingga diharapkan atasan/manajer dapat
meningkatkan kepuasan kerja dengan mengurangi perputaran.
7) Perasaan stres
Antara perasaan stres dengan kepuasan kerja menunjukkan hubungan negatif dimana dengan
meningkatnya kepuasan kerja akan mengurangi dampak negatif stres.
8) Prestasi kerja/kinerja
Terdapat hubungan positif rendah antara kepuasan dan prestasi kerja. Sementara itu menurut
Gibson (2000:110) menggambarkan hubungan timbal balik antara kepuasan dan kinerja.
Di satu sisi dikatakan kepuasan kerja menyebabkan peningkatan kinerja sehingga pekerja
yang puas akan lebih produktif. Di sisi lain terjadi kepuasan kerja disebabkan oleh adanya
kinerja atau prestasi kerja sehingga pekerja yang lebih produktif akan mendapatkan kepuasan.
3.3 Penyebab kepuasan Kerja
Ada lima faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja (Kreitner dan Kinicki :225) yaitu
sebagai berikut :
a. Pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment)
Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada
individu untuk memenuhi kebutuhannya.
b. Perbedaan (Discrepancies)
Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan
perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang diperoleh individu dari pekerjaannya.
Bila harapan lebih besar dari apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya individu
akan puas bila menerima manfaat diatas harapan.
c. Pencapaian nilai (Value attainment)
Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja
individual yang penting.
d. Keadilan (Equity)
Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja.
e. Komponen genetik (Genetic components)
Kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Hal ini menyiratkan
perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja disampng
karakteristik lingkungan pekerjaan.
• Mengukur Kepuasan Kerja
Pengukuran kepuasan kerja ternyata sangat bervariasi, baik dari segi analisa statistik
maupun dari segi pengumpulan datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan kerja ini
biasanya melalui tanya jawab secara perorangan, dengan angket maupun dengan pertemuan
kelompok kerja (Riggio:2005). Dalam semua kasus, kepuasan kerja diukur dengan kuesioner
laporan diri yang diisi oleh karyawan. Pengukuran kepuasan kerja dapat dilakukan melalui
beberapa pendekatan, yaitu kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global, kepuasan kerja
dilihat sebagai konsep permukaan, dan sebagai fungsi kebutuhan yang terpenuhkan.
1. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global
Konsep ini merupakan konsep satu dimensi, semacam ringkasan psikologi dari semua
aspek pekerjaan yang disukai atau tidak disukai dari suatu jabatan. Pengukuran ini dilakukan
dengan menggunakan kuesioner satu pertanyaan (soal). Cara ini memiliki sejumlah
kelebihan, diantaranya adalah tidak ada biaya pengembangan dan dapat dimengerti oleh
mereka yang ditanyai. Selain itu cara ini cepat, mudah diadministrasikan dan diberi nilai.
Kuesioner satu pertanyaan menyediakan ruang yang cukup banyak bagi penafsiran pribadi
dari pertanyaan yang diajukan. Responden akan menjawab berdasarkan gaji, sifat pekerjaan,
iklim sosial organisasi, dan sebagainya .
2. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan
Konsep ini menggunakan konsep facet (permukaan) atau komponen, yang
menganggap bahwa kepuasan karyawan dengan berbagai aspek situasi kerja yang berbeda
dapat bervariasi secara bebas dan harus diukur secara terpisah. Diantara konsep facet yang
dapat diperiksa adalah beban kerja, keamanan kerja, kompetensi, kondisi kerja, status dan