120 Misi Dan Pelayanan Sosial: Manakah yang lebih Penting? 1 Hengki Wijaya Pendahuluan Misi dan pelayanan sosial adalah dua hal yang saling berkaitan dalam mendukung Amanat Agung Tuhan Yesus. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sering terjadi pemisahan akan dua hal tersebut. Beberapa pandangan tentang misi itu yaitu: 2 Pandangan tradisional melihat misi identik (dan terbatas pada) penginjilan. Menurut pandangan modern (kalangan liberal) misi mencakup penginjilan dan pelayanan sosial, namun bagi mereka penginjilan tidak lebih penting daripada pelayanan sosial. Perubahan paradigma kalangan Injili tentang pengertian misi dipelopori oleh John Stott. Ia berpendapat bahwa misi Alkitabiah mencakup penginjilan dan pelayanan, tetapi penginjilan tetap menjadi inti misi. 3 Murid-murid diutus untuk melakukan misi sama seperti yang telah dilakukan Yesus, sedangkan dalam pelayanan Yesus, Ia tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga memerhatikan masalah sosial. Perbedaan konsep tentang pengertian misi seperti di atas bisa membawa implikasi praktis secara vocational (konsep tentang pekerjaan), local (konsep tentang jenis pelayanan gereja) dan national (konsep tentang keterlibatan gereja dalam 1 Tulisan dan isinya pernah dipublikasi secara online http://www.academia.edu/7858794/Misi_Dan_Pelayanan_Sosial_Kristen1 dan https://www.researchgate.net/profile/Hengki_Wijaya3/publication/2828543 01_Misi_dan_Pelayanan_Sosial_Manakah_yang_lebih_Penting/links/561f26f 008ae50795aff6f34.pdf 2 A. Scott Moreau, “Mission and Missions” dalam Evangelical Dictionary of World Missions (Grand Rapids: Baker Books Ho, 2000), 637- 638. 3 John R. W. Stott, Christian Mission in the Modern World (Downer Grove: Inter-Varsity Press, 1975),15-34.
23
Embed
Misi Dan Pelayanan Sosial: Manakah yang lebih Penting? · 2020. 3. 1. · Menurut pandangan modern (kalangan liberal) misi ... 8. Misi sebagai inkulturasi, Iman Kristen “diterjemahkan”
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
120
Misi Dan Pelayanan Sosial:
Manakah yang lebih Penting?1
Hengki Wijaya
Pendahuluan
Misi dan pelayanan sosial adalah dua hal yang saling berkaitan
dalam mendukung Amanat Agung Tuhan Yesus. Namun, tidak dapat
dipungkiri bahwa sering terjadi pemisahan akan dua hal tersebut.
Beberapa pandangan tentang misi itu yaitu:2
Pandangan tradisional melihat misi identik (dan terbatas pada)
penginjilan. Menurut pandangan modern (kalangan liberal) misi
mencakup penginjilan dan pelayanan sosial, namun bagi mereka
penginjilan tidak lebih penting daripada pelayanan sosial. Perubahan
paradigma kalangan Injili tentang pengertian misi dipelopori oleh John
Stott. Ia berpendapat bahwa misi Alkitabiah mencakup penginjilan dan
pelayanan, tetapi penginjilan tetap menjadi inti misi. 3 Murid-murid
diutus untuk melakukan misi sama seperti yang telah dilakukan Yesus,
sedangkan dalam pelayanan Yesus, Ia tidak hanya memberitakan Injil
tetapi juga memerhatikan masalah sosial. Perbedaan konsep tentang
pengertian misi seperti di atas bisa membawa implikasi praktis secara
vocational (konsep tentang pekerjaan), local (konsep tentang jenis
pelayanan gereja) dan national (konsep tentang keterlibatan gereja dalam
1 Tulisan dan isinya pernah dipublikasi secara online
di hadapan Allah bukan terletak pada kerendahan hatinya atau
kebajikannya sendiri, tetapi anugerah dan belas kasihan Allah. Allah itu
kasih, dan Allah mengetahui bahwa orang-orang yang berkuasa sering
memakai kekuasaan itu untuk menjaga hak-hak istimewa mereka sendiri
dan mencari lebih banyak kekuasaan. Yesus menggenapi Yesaya 61:1-
2, membawa kabar baik kepada orang-orang miskin (Matius 5:3-5; 11:5;
Lukas 4:16-21; 7:22). Ia merangkul orang-orang yang terbuang secara
sosial dan religius.37
Selain kemiskinan secara jasmani juga terjadi kemiskinan spiritual.
Sebagai orang Kristen, kita sering memungkiri dan tidak memedulikan
kemiskinan spiritual ini. Namun kemiskinan ini nampak jelas dalam dua
hal. Pertama, sebagai orang beribadah kita menolak kuasa-Nya (2
Timotius 3:5). Kedua, kebenaran yang kita saksikan dan pahami secara
intelektual, tidak kita laksanakan dengan sungguh-sungguh karena
menuntut pengorbanan, maka kekristenan kurang tampak dalam
tingkah laku dan kehidupan kita sehari-hari. Seharusnya kebenaran yang
bersifat kreatif, menerangi hati kita serta mentransformasikan pikiran
dan tindakan. Kita harus berpartisipasi pada kebenaran untuk dapat
menghayati kuasanya, tetapi hal itu hanya terjadi apabila kita melakukan
dengan taat apa yang kita ketahui dan menyelaraskan kehendak kita
dengan komitmen kepada Tuhan Yesus Kristus. Pada hakikatnya harus
diakui, kita menolak perintah Kristus untuk bertobat (Markus 1:15). Kita
mengeraskan hati terhadap suara Tuhan (Ibrani 3:7-8) sehingga kita
tidak mengalami pembaruan serta dinamika Roh Kudus. Akibatnya kita
lalai terhadap panggilan hidup “di dalam Kristus” dan “di dalam dunia,”
sehingga pembangunan Kerajaan Allah dan pembangunan negara
menjadi terlantar.38
Tentu tidak boleh dilupakan bagaimana perhatian para Rasul
pada masa gereja mula-mula terhadap pelayanan belas kasihan pada “si
miskin”. Ketika jumlah murid-murid semakin bertambah, perhatian
37 Glen H. Stassen dan David P. Gushee, Etika Kerajaan: Mengikuti
Yesus dalam Konteks Masa Kini (Surabaya: Momentum, 2008), 27-28. 38 Dorothy Irene Marx, “Usul Gereja Berteologi Masa Kini” dalam
Menuju Tahun 2000: Tantangan Gereja di Indonesia (Bandung: Pusat
Literatur EUANGELION, 1990),139.
136
pelayanan belas kasihan kepada janda-janda dalam jemaat mula
terabaikan, disebabkan konsentrasi para rasul pada pemberitaan dan
pengajaran. Menyiasati terbengkalainya pelayanan istimewa ini, maka
dipilihlah tujuh orang diaken pertama dalam gereja yang fokus
pelayanannya adalah pelayanan pemerhatian terhadap kebutuhan
sehari-hari para janda yang memang membutuhkan perhatian (Kisah
Para Rasul 6:1-7). Ini bukti bahwa gereja memiliki peranan penting
dalam masalah kemiskinan yang pelik ini. Pelayanan diakonia adalah
peran serta gereja yang sangat terlihat nyata dalam masyarakat.39
Strategi Misi dan Pelayanan Sosial dan
Implikasinya terhadap Gereja Misioner
Sebagian besar orang melihat pelayanan holistik sebagai aktivitas
yang pertama dari usaha penanaman gereja, berbentuk respons bagi
kebutuhan fisik dan sosial dari masyarakat. Sebagian lagi memulai
dengan visi dari transformasi individu dan masyarakat dalam seluruh
bagian kehidupan spiritual, ekonomi dan sosial dan kemudian
mengembangkan sebuah strategi yang selaras dengan visi itu.40 Jika
pelayanan holistik dianggap sebagai pelayanan gereja yang menyeluruh
maka pelayanan tersebut harus mencakup semua aspek pelayanan yang
dilakukan oleh gereja. J. C. Hoekendijk mengatakan bahwa pelayanan
holistik yang meliputi unsur-unsur pelayanan: koinonia (persekutuan),
martyria (kesaksian), dan diakonia (pelayanan sosial), merupakan hal
yang mutlak menggarisi penginjilan dan mendatangkan syalom (damai
sejahtera, keselamatan) yang dijanjikan Tuhan. 41 Hal yang sama
diungkapkan Yakob Tomatala tentang hakikat misi yang holistik di mana
dapat dijelaskan sebagai “satu yang menyeluruh” yang memiliki kesatuan
integral dengan aspek-aspek lengkap yang utuh. Pemberitaan Injil
menyentuh aspek pelayanan dasar pada empat dimensi pelayanan yang
39 Cathryne B. Nainggolan, Masalah Kemiskinan dan Kepedulian
Gereja, 153. 40 Vinay K. Samuel, Serving with the Poor in Asia (MARC, USA, n.d),
145. 41 Arie de Kuiper, Misiologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 74.
137
holistik yaitu: persekutuan (koinoneō), pelayanan (diakoneō), kesaksian
(martureō) dan pemberitaan (kerigma/kerussō).42
Untuk mewujudkan misi dan pelayanan sosial secara utuh sebagai
pelayanan holistik untuk memuliakan Tuhan dan memberkati sesama
maka diperlukan langkah strategis. Sebuah tim peneliti di Yogyakarta
pernah melakukan penelitian apakah peranan gereja untuk
mengentaskan kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka
mengutip pendapat Juni Thamrin yang mengatakan intervensi strategis
untuk mengentaskan kemiskinan antara lain:43
a. Pembentukan keterampilan-keterampilan spesifik dan keterampilan
manajemen di kalangan masyarakat lemah.
b. Mengembangkan berbagai kemampuan tentang teknologi tepat yang
mampu membantu lapisan masyarakat lapisan bawah.
c. Memasuki input-input baru yang sesuai dengan kebutuhan setempat
termasuk pengembangan kredit dan usaha bersama.
d. Mengembangkan kemampuan jasa-jasa penyuluhan dan informasi
strategis termasuk upaya penelitian yang dapat dikembangkan
bersama.
e. Pengembangan infrastruktur, terutama jaringan komunikasi dan
transportasi, penyediaan sarana pokok untuk meningkatkan taraf
dan mutu hidup rakyat kecil.
Sebagai pelayan Tuhan, kaum awan dan gembala bekerjasama
mewujudkan misi dan pelayanan sosial. Namun, ada tiga hal yang perlu
dimiliki oleh seorang pelayan Tuhan yang terlibat dalam misi dan
pelayanan sosial. Penulis mengutip pengajaran John Piper yaitu:44
Pertama, ibadah adalah bahan bakar dan tujuan misi. Ibadah
adalah tujuan misi karena di dalam misi kita berkepentingan untuk
42 Yakob Tomatala, Teologi Misi Pengantar Misiologi: Suatu
Dogmatika Alkitabiah Tentang Misi, Penginjilan, dan Pertumbuhan Gereja. (Jakarta:YT Leadership Foundation, 2003), 61.
43 Cathryne B. Nainggolan, Masalah Kemiskinan dan Kepedulian Gereja, 153-154.
44 John Piper, Jadikan Sekalian Bangsa Bersukacita Supremasi Allah dalam Misi (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2003),352-354.
138
membawa bangsa-bangsa bersukacita, menikmati kemuliaan Allah.
Ibadah adalah bahan bakar misi karena Anda tidak memberitakan apa
yang tidak Anda hargai. Anda tidak akan berseru, “Jadikan sekalian
bangsa bersukacita!” kalau Anda tidak dapat berkata, “Aku bersukacita
di dalam Tuhan.” Misi dimulai dari ibadah dan menuntun kepada ibadah. Kedua, doa menempatkan Allah pada posisi pemberi yang tidak
kekurangan apa pun dan menempatkan kita pada posisi penerima yang
membutuhkan. Jadi kalau misi gereja maju karena doa, maka supremasi
Allah menjadi nyata dan kebutuhan para utusan Injil terpenuhi. Tujuan
doa ialah kemasyhuran Bapa dan kepuasaan orang-orang kudus.
Ketiga, penderitaan itu sendiri tidak membuktikan apa-apa.
Tetapi penderitaan yang dialami karena “pengenalan akan Kristus,” dan
kehilangan yang dialami “agar memperoleh Kristus” (Filipi 3:8)
membuktikan bahwa Kristus sangat bernilai. Oleh sebab itu, Allah
menetapkan bahwa misi gereja-Nya tidak hanya maju karena didorong
oleh ibadah, tidak hanya maju dalam kuasa doa, tetapi juga karena siap
membayar harga dan siap menanggung penderitaan. “Setiap orang yang
mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan
mengikut Aku” (Markus 8:34). “Aku sendiri akan menunjukkan
kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ditanggung oleh
karena nama-Ku” (Kisah Para Rasul 9:16).
Pelayanan sosial yang meliputi pendidikan, kesehatan dan panti
asuhan merupakan usaha menghayati kehidupan modern secara
konkret. Kadang-kadang kita menjumpai satu orang yang adalah
sekaligus produk dari ketiganya: dia diasuh dipanti asuhan, dia mengikuti
pendidikan, dan akhirnya dia menjadi dokter di rumah sakit. Orangnya
sangat teratur dan berdisiplin dengan waktu, dan itu sudah menunjukkan
bahwa dirinya adalah produk modernitas. Pelayanan sosial yang
merupakan wujud modernitas ini kemudian menjadi sarat makna, oleh
karena telah dijadikan sarana atau alat untuk Pekabaran Injil, dan
menjadi bagian dari “Kristenisasi.”45 Pelayanan sosial kemasyarakatan
45 Emanuel G. Singgih “Potret Misi Gereja Di Indonesia Dalam
Kerangka Kritik Postmodern Terhadap Modernitas” dalam Format Rekonstruksi Kekristenan Menggagas Teologi, Misiologi dan Ekklesiologi Kontekstual di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), 172.
139
telah lama pula dilaksanakan oleh gereja Tuhan. Di seluruh dunia kita
bisa mendapati banyak sekali rumah-rumah sakit Kristen, panti-panti