METODE PENAFSIRAN TAFSIR KONTEMPORER SURAH AL- FATIHAH KARYA NASHRUDDIN BAIDAN SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh Monatria NIM: 1112034000014 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H. /2019 M.
72
Embed
METODE PENAFSIRAN TAFSIR KONTEMPORER SURAH AL- …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46458/... · 2019-08-03 · menguntungkan bagi sejarah intelektual umat Islam
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
METODE PENAFSIRAN TAFSIR KONTEMPORER SURAH AL-
FATIHAH KARYA NASHRUDDIN BAIDAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh
6 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 63.
19
kehidupan mereka di muka bumi ini, melainkan diperlukan hidayah. Kemudian
makhluk Allah pada umumnya diberi lima indera yang dikenal dengan panca
indera. Meskipun manusia telah dianugerahi panca indera, namun hal itu belum
cukup untuk menyelamatkan hidup dan kehidupan mereka di muka bumi ini,
apalagi di akhirat kelak. Keterbatasan indera dapat dibantu dengan akal, karena
kemampuan akal dalam mendeteksi objeknya jauh lebih akurat dan lebih peka
ketimbang temuan indera. Meskipun kemampuan akal demikian hebatnya, namun
tetap mempunyai keterbatasan. Akal dengan segala kehebatannya tidak cukup
handal untuk menyelamatkan kehidupan di muka bumi, karenanya semua manusia
membutuhkan agama. Apabila seseorang tidak mempunyai agama meskipun telah
mengantongi semua hidayah tersebut, namun manusia terebut tidak akan dapat
menyelamatkan kehidupannya, apalagi menciptakan kebahagiaan.7
Berdasarkan semua fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa meskipun
seseorang telah memiliki tiga hidayah lainnya, namun tanpa hidayah agama dia
tidak akan mampu menyelamatkan hidup dan kehidupan setelahnya. Itu artinya
jika ingin selamat dari dunia hingga akhirat, tidak ada jalan lain kecuali memiliki
agama, yang intinya agama adalah suatu keniscayaan mutlak yang tidak dapat
ditawar sedikitpun.8
Kemudian dalam buku Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah, Baidan
menggunakan pendekatan saintifik atau tafsir ‘ilmi. Seperti dalam ayat kedua,
pada kata “العاملني" menjelaskan tentang alam semeta, Baidan mencantumkan
penjelasannya ayat 20-28 dari QS. ar-Rum [30].9 Dari penjelasan ayat yang
7 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 86-88.
8 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 90.
9 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 53.
20
dikutip di atas bahwa alam jagat raya, manusia, para malaikat dan jin merupakan
bukti nyata atas adanya penciptanya, yaitu Allah. Para fisikawan dan astronom
melalui observatorium dapat melihat berbagai bintang, planet, dan benda-benda
lainnya di ruang angkasa dan bahkan mereka dapat memperkirakan jumlah umur
dari benda tersebut. Namun hasil temuan itu hanya bersifat temporer, tidak
permanen. Dalam kaitan ini Baiquni menegaskan bahwa para ahli astronomi
melalui teleskop Huble di Amerika telah berhasil menemukan seratus milyar
galaksi di jagad raya ini.10
Dalam galaksi tatasurya terdapat sepuluh milyar
bintang, dan masih banyak lagi planet selain itu yang tidak kita ketahui. Untuk
lebih jelas, dapat kita lihat gambar berikut:
Apa yang mereka temukan, baru sebatas alam nyata, belum termasuk alam
ghaib seperti malaikat, ruh, jin, dan sebagainya. Jika demikian jelaslah bagi kita
bahwa term alam itu sungguh sangat luas dan teramat banyak sehingga tidak dapat
dijangkau oleh pikiran manusia sepintar apapun mereka; namun semua itu berada
10
A. Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern (Bandung: Penerbitan Pustaka,
1983), h. 20.
21
dalam pengetahuan dan kekuasaan Allah yang Maha Tahu dan Maha Kuasa,
sebagaimana ditegaskan-Nya di dalam QS. Saba [34]: 2-311
وهو الرحيم الغفور ماء وما ي عرج فيها ها وما ينزل من الس ي علم ما يلج ف الرض وما يرج من ل ي عزب عنه قل ب لى وربي لتأتي نكم عال الغيب اعة )2( وقال الذين كفروا ل تأتينا الس
بني )3( لك ول أكب ر إل ف كتاب م ماوات ول ف الرض ول أصغر من ذ مث قال ذرة ف الس “(2) Dia yang mengetahui semua yang masuk ke dalam bumi, semua yang
keluar darinya, semua yang turun dari langit dan semua yang naik
kepadanya. Dia-lah yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampunan. Orang-
orang yang kafir berkata: “Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada
kami”.(3) Katakanlah: “Pasti hari itu datang kepada kalian, demi
Tuhankuyang mengetahui yang ghaib. Tidak ada yang tersembunyi bagi-
Nya sebesar zarrah pun baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi;
dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar,
melainkan tersebut dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Term „alam‟ sebenarnya adalah bentuk jamak atau dalam bahasa Arab
disebut ism jam, artinya tanpa diubah ke bentuk jamak pun konotasinya sudah
menunjuk kepasa sekumpulan benda atau makhluk. Kemudian dengan diubahnya
menjadi jamak, maka cakupan konotasinya semakin luas sehingga semua makhluk
Allah. Dengan ditemukannya berbagai penemuan ilmiah berkenaan dengan alam
semesta, maka semakin bertambah pula keyakinan kita bahwa Allah itu memang
benar adanya. Dalam konteks ini, tegas Allah, seandainya ditanyakan kepada
orang-orang kafir itu, siapa yang menciptakan langit, bumi dan yang menguasai
serta mengaturnya? Niscaya mereka akan menjawab: “ALLAH” (QS. [29]: 61,
63; [31]:25; [39]:38; [43]:9,87)12
Dari penegasan ayat di atas semakin jelas bagi kita rububiyah-nya Allah yang
sangat luar biasa. Jagad raya yang tidak terkirakan luasnya dan dipenuhi oleh
11
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 53. 12
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 56.
22
ratusan milyar galaksi sejak diciptakan sampai sekarang belum pernah macet
walau satu detik sekalipun padalah menurut perkiraan para ahli, alam semesta ini
sampai sekarang bermula sejak terjadinya ledakan maha dasyat yang terkenal
dengan “big bang” sebagaimana tampak dalam gambar berikut:
Berdasarkan pengamatan mereka, peristiwa itu terjadi sekitar 13.7 milyar
tahun yang lalu. Dalam rentang waktu yang sedemikian panjang dan lama tidak
terjadi kerusakan dan tidak pula tabrakan satu sama lain di antara benda-benda
alam itu padahal jumlahnya ratusan milyar.13
Begitulah sepenggalan penjelasan
tentang tafsir „ilmi.
Corak penafsir ialah arah atau kecendrungan pemikiran, ide tertentu yang
mendominasi sebuah karya tafsir. Kecenderungan pemikiran tersebut biasanya
dilatarbelakangi oleh keilmuan yang dikuasai oleh sang penafsir, sehingga
keilmuannya mendominasi karya tafsirnya.14
13
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 57. 14
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.
388.
23
BAB III
METODE PENAFSIRAN
A. Pengertian Metode Tafsir
Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau
jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, sedangkan bangsa Arab
menerjemahkannya dengan tharīqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata
tersebut berarti: “cara yang teratur yang terpikir baik-baik untuk mencapai sebuah
maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang
ditentukan. Pengertian yang serupa dijumpai dalam Kamus Webster.1
Pengertian metode yang umum dapat digunakan di berbagai objek, baik
berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal, atau menyangkut
pekerjaan fisik. Jadi bisa diartikan metode adalah salah satu sarana yang amat
penting untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam hal ini, studi tafsir
al-Qur‟an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-
baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan
Allah dalam ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.2
Ada dua istilah yang sering digunakan yaitu metode tafsir dan metodologi
tafsir. Adapun metode tafsir adalah cara-cara menafsirkan al-Qur‟an, sementara
metodologi tafsir adalah ilmu tentang cara tersebut. Contohnya pembahasan
teoretis dan ilmiah mengenai metode Muqārran (perbandingan), misalnya disebut
1 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2018), h. 97.
7 Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2006), h. 331. 8 Syihab al-Din al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, vol. I (Beirut: Ihya‟ al-Turath al-Arabi, 1987), h.
4. 9 Jalal ad-Din al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), h. 174.
26
Sementara Manna‟ al-Qaṭṭȃn menyatakan bahwa tafsir adalah penjelasan-
penjelasan kalam Allah SWT. yang bernilai ibadah ketika dibaca yang diturunkan
kepada Nabi saw. Terkadang istilah tafsir disamakan dengan takwil yang berasal
dari kata al-aula yang mengikuti pola kata taf’il yang berarti kembali kepada
keadaan semula. Ini merupakan salah satu dari beberapa makna dari kata al-
aula.10
Hal ini dimaksudkan bahwa seorang penafsir al-Qur‟an menguraikannya
sedemikian rupa berdasarkan pokok pengertian yang terkandung di dalam ayat itu
sendiri.
Menurut al-Kilby dalam kitab at-Tasly, sebagaimana yang telah dikutip oleh
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudhlali. Tafsir adalah mensyarahkan al-Qur‟an,
menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan
Nashnya atau dengan isyarat, ataupun dengan tujuannya.11
Sedangakan menurut
Ali Hasan al-‟Arid, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan
lafadz al-Qur‟an, makna-makna yang ditunjukkan, dan hukum-hukumnya baik
ketika berdiri sendiri ataupun tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkan
ketika dalam keadaan tersusun.12
Sebatas yang dapat disanggupi, manusia memiliki pengertian tafsir bahwa
tidaklah suatu kekurangan lantaran tidak dapat mengetahui makna-makna yang
mutasyabihat dan tidak dapat mengurangi nilai tafsir lantaran tidak mengetahui
10
Nur Kholis, Pengantar Studi al-Qur’an dan al-Hadits (Yogyakarta: Teras, 2008), h.
135. 11
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudhlali, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Angkasa,
2005), h. 87. 12
Ali Hasan al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994), h. 3.
27
apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.13
Istilah tafsir merujuk kepada ayat-ayat
yang ada di dalam al-Qur‟an, salah satu di antaranya dalam Q.S al-Furqan [25]: 33
yang berbunyi;
ناك بالق وأحسن ت فسريا ول يأتونك بثل إلا جئ “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya”.
Pengertian inilah yang dimaksud di dalam Lisan al-Arab dengan “kasyf al-
mugaṭṭa” (membuka sesuatu yang tertutup), dan tafsir ialah membuka dan
menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal. Pengertian ini yang dimaksudkan
oleh para ulama tafsir dengan “alidah wa al-tabyin” (menjelaskan dan
menerangkan). 14
Dari sini dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah menjelaskan
dan menerangkan tentang keadaan al-Qur‟an dari berbagai kandungan yang
dimilikinya kepada apa yang dikehendaki oleh Allah sesuai kemampuan penafsir.
C. Ragam Metode Penafsiran di Indonesia
Dinamika studi tafsir al-Qur‟an terus berkembang seiring munculnya berbagai
problematika kehidupan. Untuk mendapatkan penyelesaian dari berbagai macam
permasalahan yang muncul, maka para mufassir membutuhkan suatu metode
tertentu dari ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan kaidah-kaidah yang telah lama ada.
Tentunya juga metode yang digunakan oleh para mufassir pasti sangatlah
beragam, serta tidak bisa terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari sebuah
13
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 2002), h. 209. 14
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), h.
66.
28
metode tersebut. Perbedaan latar belakang sosial seorang mufassir, keilmuan yang
mereka miliki, serta kebudayaan yang merupakan keberagaman dalam penafsiran.
Metode penafsiran al-Qur‟an ialah suatu cara yang sistematis dengan
menggunakan kacamata tertentu yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur‟an.15
Dalam studi tafsir, setidaknya ada empat metode yang cukup populer
dikalangan mufassir, yaitu metode Ijmali, Tahlili, Muqarran, dan Maudhu’i.
Dalam buku Wawasan Baru Ilmu Tafsir karya Nashruddin Baidan
menegaskan bahwa, ada perbedaan diantara empat metode. Metode global dan
analisis mempunyai bentuk yang sama, terutama penalaran dan proses berfikir,
perbedaannya pada wacana. Metode global, wacana dan ruang lingkupnya sedikit
dan sempit, dan digambarkan dengan garis lurus kecil. Metode analisis,
wacananya banyak dan ruang lingkupnya sangat luas dan digambarkan seperti
garis lurus besar. Kemudian pola narasi pemikiran metode muqarran,
digambarkan seperti bentuk area yang bundar melingkar, sehingga membentuk
tataran horizontal yang lebih luas. Artinya mengisyaratkan bahwa wacana yang
dikembangkan mengacu kepada informasi yang banyak kepada pembaca.
Sedangkan metode tematik ruang lingkupnya relatif sempit, artinya satu judul
dalam kajiannya secara mendalam dan tuntas, digambarkan tegak lurus menukik
ke dalam, semakin ke dalam semakin lancip dan bertemu kepada satu titik. Ini
menggambarkan bahwa, tafsir tematik menyelesaikan permasalahan secara tuntas
15
Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Qur’an, Kajian Kritis, Objektif dan
Komprehensif (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 2.
29
dan dapat dijadikan sebagai pegangan dan di abad modern, para ulama lebih
mengacu kepada metode tematik. 16
Metode Ijmali atau global ialah menjelaskan ayat-ayat al-Quran secara ringkas
tapi mencangkup, dengan bahasa populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.
Sistematika penulisanya menuruti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Disamping
itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Quran sehingga pendengar
dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur‟an padahal yang
didengarnya itu adalah tafsirannya. Kitab Tafsir Al-Quran al-Karim karangan
Muhammad Farid Wajdi, Al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma‟ al-Buḫȗts al-
Islamiyyȃt dan Tafsir al-Jalalain serta Taj al-Tafȃsir karangan muhammad
Utsman al-Mirghani, masuk kedalam kelompok ini.17
Ali Hasan mengemukakan bahwa metode Ijmali adalah menafsirkan al-Qur‟an
dengan secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar. Dengan metode ini,
para mufassir menjelaskan arti dan maksud ayat dengan singkat, hal ini dilakukan
terhadap ayat-ayat al-Qur‟an ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan
urutannya dalam mushaf.18
Metode Tahlili atau analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat ayat yang ditafsirkan itu
serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan
keahlian dan kecendrungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Dalam
16
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), h.
382-383. 17
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, h. 13. 18
Ali Hasan al- Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 73-74.
30
metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh al-Quran,
ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf.19
Pengertian yang senada juga disampaikan oleh Ali Hasan dari segala segi dan
maknanya. Pada metode Tahlili terdapat pula kelebihan yaitu ruang lingkup yang
luas, dan memuat berbagai ide yang artinya mufassir dapat mencurahkan ide-ide
dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur‟an. Adapun kekurangannya meliputi
beberapa hal, yaitu menjadikan petunjuk al-Qur‟an secara parsial atau terpecah-
pecah seakan-akan tidak utuh dan konsisten, kemudian melahirkan penafsiran
yang subjektif yang artinya sesuai dengan kemauan hawa nafsunya, dan masuknya
pemikiran israiliat yang bersifat kisah-kisah atau cerita-cerita.20
Metode Muqarran atau komparatif tidak berbeda pendapat mengenai definisi
metode ini. Dari berbagai litaratur yang ada, dapat dirangkum bahwa yang
dimaksud dengan metode komparatif ialah: 1) membandingkan teks (nash) ayat-
ayat al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus
atau lebih, dan atau memiliki redaksi berbeda bagi satu kasus yang sama; 2)
membandingkan ayat al-Quran dengam hadis yang pada lahirnya terlihat
bertentangan; dan 3) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam tafsir
dalam menafsirkan al-Quran. Dari definisi itu terlihat jelas bahwa tafsir al-Quran
dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas, tidak
hanya membandingkan ayat dengan hadist serta membandingkan pendapat para
mufasir dalam menafsirkan suatu ayat.21
19
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, h. 31. 20
Ali Hasan al- Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 53-61. 21 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, h. 65.
31
Secara operasional, pendapat Ali Hasan mengartikan Muqarran sebagai
metode yang ditempuh oleh mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat,
kemudian dilakukan proses penafsiran yang berbeda-beda, yang berdasarkan
riwayat Nabi saw, para sahabat, dan tabi‟in atau berdasarkan ijtihad para mufassir
yang saling mengemukakan pendapatnya.22
Yang dimaksud dengan metode Maudhu’i atau tematik ialah membahas ayat-
ayat al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat
yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait denganya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan
sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-
dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik
argumen itu berasal dari al-Quran, hadis, maupun pemikiran rasional.23
Cara lain yang ditempuh dalam metode Maudhu’i yaitu penafsiran yang
dilakukan mufassir dengan cara mengambil satu surah dari al-Qur‟an. Kemudian
surah itu dikaji secara keseluruhan, dari awal sampai akhir, kemudian
menjelaskan tujuan serta menghubungkan antara tema yang dikemukakan pada
ayat-ayat dari surah tersebut, sehingga jelas bahwa surah tersebut memiliki satu
kesatuan dan merupakan rantai emas yang saling menyambung, sehingga menjadi
satu kesatuan yang kokoh.24
22
Ali Hasan al- Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 73-74. 23
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, h. 151. 24
Ali Hasan al- Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 78-79.
33
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN SURAH AL-FATIHAH
A. Tinjauan Umum Surah al-Fatihah
Surah al-Fātiḥah adalah kalam dan wahyu ilahi, wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya tertulis dan terbaca, bahkan ada pula yang
tak tertulis maupun terbaca.1 Surah al-Fātiḥah adalah satu surah dalam al-Qur‟an
yang memiliki banyak pengaruh bagi kehidupan manusia. Surah ini wajib dibaca
minimal tujuh belas kali sehari semalam oleh setiap muslim dalam shalatnya.
Dalam surah ini digambarkan proses komunikasi antara hamba dengan Rabb-Nya.
Proses komunikasi transenden tersebut menjadi dasar pola komunikasi dari setiap
muslim dengan orang lain.2
Surah al-Fātiḥah juga merupakan surah yang paling mulia karena
merupakan pintu gerbang dari pembuka al-Qur‟an. Karen itu, tak salah jika
Quraish Shihab menyebutnya sebagai “Mahkota Tuntutan Ilahi”, sebagai
mahkota, sudah tentu seluruh hal-hal yang terkandung dengan al-Qur‟an sudah
tertulis dalam kandungan al-Fatihah.3 Surah al-Fatihah tercermin dari beberapa
hadits Nabi, diantaranya yang menyatakan tidak sah shalat bagi orang yang tidak
membaca al-Fatihah.
Penafsiran al-Qur‟an secara runtun dari surah al-Fatihah hingga an-Nȃs
atau mengikuti pola mushaf 30 juz dalam al-Qur‟an, semakin berkembang di
1 Muhammad Alcaff, Tafsir Populer al-Fātiḥah (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), h.
28. 2 Mubarok, Kontruksi Teori Komunikasi Dalam Tafsir al-Qur‟an Surah al-Fātiḥah
(Semarang: Fakultas Ilmu Komunikasi Unissula Semarang, Agustus 2013- Januari 2014.), h. 32. 3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Ciputat: Lentera Hati. 2007), h. 3.
34
Indonesia. Setidaknya dapat dikatakan bahwa tafsir Tarjuman al-Mustafid sebagai
peletak dasar penafsiran al-Qur‟an secara lengkap di Nusantara. Selain banyak
tafsiran yang ditulis lengkap 30 juz, ada pula mufassir yang konsen terhadap surah
al-Fatihah saja, misalnya; Tafsir al-Qur‟anul Karim: Surah al-Fatihah karya
Muhammad Nur Idris, Tafsir Surah al-Fatihah karya A. Abhry, Kandungan al-
Fatihah karya Bahroem Rangkuti, Samudra al-Fatihah karya Bey Arifin, Tafsir
Kontemporer Surah al-Fatihah karya Nashruddin Baidan, dan masih banyak lagi.4
Literatur di atas, baik yang menafsirkan al-Qur‟an seutuhnya maupun
hanya fokus pada surah al-Fatihah, menjadi bukti bahwa penafsiran terhadap
surah al-Fatihah dianggap sangat penting dan tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Pasalnya, al-Fatihah merupakan surah pembuka dalam mushaf al-Qur‟an. Al-
Fatihah juga terhitung istimewa karena merupakan induk al-Qur‟an (Umm al-
Qur‟an) dan induk Kitab (Umm al-Kitab), seluruh kandungan al-Qur‟an
terhimpun dalam al-Fatihah. Oleh sebab itu, sangat menarik jika mengungkap
tentang penafsiran terhadap surah al-Fatihah dan melihatnya melalui perspektif
mufassir Indonesia. 5
Surah al-Fātiḥah memiliki kedudukan yang tinggi dalam ajaran Islam. Karena
al-Fātiḥah merupakan surat yang paling Agung dalam al-Qur‟an. Abu Sa‟id bin
al-Mu‟alla, meriwayatkan bahwa.
“Ketika aku sedang shalat dipanggil oleh Nabi, aku tidak menjawabnya.
Setelah aku shalat aku katakan kepada beliau bahwa aku tadi sedang shalat.
Lalu beliau bersabda, “Bukankah allah telah berfirman: Jawablah seruan
Allah dan Rasulnya apabila ia (Allah dan Rasul-Nya) menyeru kamu” (al-
Anfāl [8]: 24). Kemudian beliau berkata: “Ingatlah aku akan mengajarkan
kepadamu satu surat yang teragung di dalam al-Qur‟an sebelum kamu
keluar masjid ini.” Beliau memegang tanganku, tatkala kami hendak keluar
4 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutik hingga Ideolog
(Yogyakarta: LKiS, 2013), h. 46. 5 Usman, Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 273.
35
masjid itu aku berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau tadi
mengatakan: Ingatlah aku akan mengajarkanmu satu surat yang teragung di
dalam al-Qur‟an.”
ثان، و [ »2قال: }احلمد للو رب العالمني{ ]الفاحتة:
بع امل «القرآن العظيم الذي أوتيتو ىي الس
Beliau bersabda, “Alḥamdu lillāhi rabb al-„ālamīn. Ia adalah tujuh ayat yang
di ulang-ulang dan al-Qur‟an yang agung telah diberikan kepadaku.” (HR.
Al-Bukhari).6
Kemudian al-Fātiḥah juga surah yang paling utama dalam al-Qur‟an. Al-
Nasā‟ī dalam al-Sunan al-Kubra, Ibn Hibbān al-Hakīm, dan al-Baihaqi
meriwayatkan dari Anās bin Mālik, dia berkata.
“Pada suatu hari Rasulullah dalam perjalanan. Kemudian beliau berhenti
dan turun dari tunggangan beliau. Lalu seseorang turun dari tunggangannya
juga untuk menghampiri beliau. Kemudian bersabda, “Maukah Engkau saya
beritahu surat yang paling utama di dalam al-Qur‟an?” Lalu beliau
berkata: “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.” Surah al-Fātiḥah
adalah munajat antara hamba dan Rabbnya. Muslim, Abu Daud, at-
Tirmidzi, an-Nasa‟i, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah
bahwa Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang melakukan shalat tanpa
membaca al-Fātiḥah, maka shalatnya tidak sempurna.” Beliau mengulangi
sabda tersebut sebanyak tiga kali. Lalu Abu Huraira ditanya: “Ketika ikut
imam?” Abu Huraira menjawab: “Jika begitu, bacalah al-Fātiḥah dengan
tidak terdengar oleh orang lain.7
Diriwayatkan dari Ḥasan bin Āli: Pada suatu hari, serombongan orang yahudi
menemui Nabi saw. di antara pertanyaan mereka.
“Kabarkan kepada kami tujuh hal yang Allah berikan kepadamu dan tidak
diberikan kepada Nabi yang lain; Allah berikan kepada umatmu, tidak
kepada umat yang lain?” Nabi bersabda, ”Allah memberikan kepadaku al-
Fātiḥah, azan, jemaah di mesjid, hari Jum‟at, menjaharkan tiga shalat,
keringanan bagi umatku dalam keadaan sakit, safar, shalat jenazah, dan
syafa‟at bagi pelaku dosa besar di antara umatku.”8
Menurut Baidan, untuk memahami dan mengamalkan al-Fātiḥah secara baik
dan benar itu sangat tidak mudah, apalagi mereka yang tidak menguasai bahasa
Abū Al-Fida Ismā‟il Ibn Kaṡīr Al-Dimasyqi, Tafsīr Ibnu Kaṡīr Juz I al-Fātiḥah dan al-
Baqarah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), h. 34. 18
Rofida Ulya, Tafsir Surah al-Fātiḥah Menurut KH. Ahmad Rifa‟i Dalam Kitab Nazam
Tasfiyyah (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,UIN Walisongo Semarang, 2018).
40
mengenai wajibnya membaca al-Fātiḥah ketika shalat, dan tidak diakui shalatnya
seseorang jika ia tidak membaca al-Fātiḥah, sebagaimana hadistnya,
ث نا س ث نا ابن أب عمر، وعلي بن حجر، قاال: حد ، عن ممود حد نة، عن الزىري فيان بن عي ي امت، عن النب صلى اللو عليو وسلم قال: ال صالة لمن بفاحتة ي قرأ ل بن الربيع، عن عبادة بن الص
الكتاب.“Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Abī Umaral- Makki, Abū
Abdillah al-Adani dan Āli bin Hujrin berkata,telah menceritakan kepada kami
Sufyān, dari Al-Zuhri dari Maḥmud bin Al-Rabi‟ dari „Ubadah bin Al-Ṣamit,
bahwaRasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidak adashalat bagi
yang tidak membaca Fātiḥat al-Kitāb (al-Fātiḥah)." (H.R Tirmidzi: 247)
Keistimewaan surah al-Fātiḥah yang merupakan Ummu al-Kitāb atau
induknya al-Qur‟an menjadikan al-Fātiḥah ini penting untuk dipahami. Allah
SWT. berfirman dalam al-Qur‟an surah Ṣād [38]: 29 yang berbunyi;
ر أولو اللباب ب روا آياتو وليتذك كتاب أنزلناه إليك مبارك ليد“Kitab (Al-Qur‟an) yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka
menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat
pelajaran.”(Q.S.Ṣād [38]: 20)
Jika pada ayat pertama KH. Ahmad Rifa‟i menjelaskan bahwa Allah Maha
Pengasih di dunia dan akhirat, pada ayat berikut, ia menjelaskan bahwa Allah
adalah Tuhan yang menguasai semesta alam.19
Dalam buku Samudera al-Fātiḥah karya Bey Arifin mengatakan bahwa
ulama besar yang menjadi ikutan ummat berbeda pendata, apakah kelebihan
keistimewaan dari suatu surah atau ayat atas surah dan ayat lainnya dalam kitab
suci al-Qur‟an. Abu Hasan al-Asy‟ari, Imam tentang Ilmu Kalam bagi ahli Sunnah
wal Jamaah, dan banyak ulama besar lainnya yang melarang keras kita
19
Rofida Ulya, Tafsir Surah al-Fātiḥah Menurut KH. Ahmad Rifa‟i Dalam Kitab Nazam
Tasfiyyah, h. 85-86.
41
mengistimewakan suatu surah. Hal ini dikarenakan bila dikatakan ada surah yang
lebih, tentu ada yang kurang. Tidak mungkin ada suatu surah di dalam al-Qur‟an
yang dianggap kurang penting.20
Tetapi tidak dapat dipungkiri, ada banyak sekali hadits Nabi yang
menerangkan keistimewaan beberapa surah atau ayat di dalam al-Qur‟an, sebagai
contoh, diriwayatkan oleh Ibnṵ Hibbȃn dari Ubay bin Ka‟ab r.a bahwa Nabi saw.
bersabda
يل مثل ام القران وراة واالن وما ان زل اهلل ف الت “Tidak pernah Allah menurunkan di dalam Taurat dan Injil yang menyamai
Ulum al-Qur‟an (al-Fātiḥah)”
فاحتة الكتاب افضل سور القران “Fatihatul Kitab (al-Fātiḥah) adalah surah yang paling atas di dalam al-
Qur‟an”.
Hadits di atas menerangkan tentang keistimewaan dan ketinggian suatu surah
atau ayat di dalam al-Qur‟an atas surah yang lain.
Allah memerintahkan kita untuk membaca surah al-Fātiḥah paling kurang
tujuh belas kali dalam sehari, yaitu pada setiap rakaat shalat wajib yang kita
lakukan, hal ini menunjukkan keagungan kandungan surah al-Fātiḥah. Bey Arifin
mencoba membedah isi kandungan surah al-Fātiḥah secara mendalam dengan
gaya bahasa yang mudah dicerna dan dipahami. Walau hanya terdiri dari tujuh
ayat, namun isi kandungannya bagaikan samudera yang luasnya tiada batas.
Semakin diselami, semakin tampak mutiara ilmu yang berada di dalamnya.
Dalam buku Hidup di Pusaran al-Fātiḥah karya Muhammad Muhyidin,
pandangan ia tentang surah al-Fātiḥah pada ayat kelima telah menyadarkannya
20
Bey Arifin, Samudera al-Fatihah (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1976), h. 1.
42
bahwa kita sebagai umat Muslim ternyata memiliki paradigma hidup yang begitu
luar biasa. Buku ini dimaksudkan untuk membuktikan kekeliruan yang terjadi
pada hakikat, makna, dan tujuan praktik spiritual seperti yang telah dijelaskan di
dalam artikel atau buku lainnya.21
Kemudian dalam buku Keagungan Surah al-Fātiḥah (Pembuka) Edisi
Bahasa Indonesia karangan Jannah Firdaus, menjelaskan bahwa surah al-Fātiḥah
memiliki kedudukan tinggi dalam al-Qur‟an, karena al-Fātiḥah merupakan surah
yang paling agung. Saking pentingnya surah ini, al-Fātiḥah dicantumkan di awal
mushaf. Oleh karena itu, al-Fātiḥah disebut sebagai “fatihatul kitab” (pembuka al-
Qur‟an), hal ini juga menunjukkan betapa penting dan tingginya kedudukan surah
al-Fātiḥah.22
Dalam buku al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari al-Fatihah dan
Juz „Amma karya M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa al-Fatihah merupakan
mahkota tuntutan ilahi, dinamai juga Ummul al-Qur‟an karena ia adalah induk al-
Qur‟an. Al-Fatihah adalah pelajaran bagi umat manusia, bahkan Allah
mendiktekan kalimat-kalimat surah ini untuk diucapkan oleh manusia. Dengan
memulai kitab-Nya dengan Basmallah, Allah juga mengajarkan manusia untuk
memulai segala kegiatannya dengan mengucapkan Basmallah yang mengandung
makna permintaan pertolongan agar kegiatan itu direstui dan didukung oleh-Nya
karena tiada daya dan upaya yang dapat berhasil tanpa dukungan-Nya. Diperlukan
jalan yang benar yang diajarkan kepada manusia untuk memohon bukan hanya
ditunjuki jalan itu, tetapi dibimbing hingga benar-benar berhasil menelusuri jalan
21
Muhammad Muhyidin, Hidup di Pusaran al-Fatihah (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2008), h. 14. 22
Jannah Firdaus, Keagungan Surah al-Fatihah (Pembukaan) Edisi Bahasa Indonesia
(Jakarta: Mediapro Studio, 2019), h. 2.
43
tersebut yang dilukiskan-Nya sebagai shirāth al-mustaqim, yakni jalan orang yang
yang diberi nikmat-Nya, yaitu jalan luas, lebar, dan lurus. Bukan juga jalan orang
yang sesat karena tidak mengetahui arah yang benar.23
Dalam buku Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah karya Nashruddin Baidan
menjelaskan bahwa, al-Fātiḥah sangat berkenan dengan prinsip akidah, ibadah,
dan mu‟amalah antara hamba dengan Tuhan, dan sesama makhluk-Nya. Bahkan
umat Islam sangat wajib membaca al-Fātiḥah paling tidak tujuh belas kali dalam
sehari. Bila diekuivalenkan dengan kewajiban membaca al-Fātiḥah pada setiap
rakaat shalat, maka berarti setiap satu jam hidup mereka (umat Islam) telah terisi
dengan al-Fātiḥah sebagai wujud rasa syukur serta memohon tuntunan kepada
Allah agar selalu berada dijalan yang lurus.24
Shalat dijadikan barometer untuk mengukur keshalihan seseorang yang
berkaitan dengan eratnya frekuensi bacaan al-Fātiḥah itu dalam keseharian umat
yang bila dirata-ratakan setiap jam dari hidupnya diisi dengan al-Fātiḥah
sebagaimana yang telah dijelaskan. Akan sangat logis apabila shalat dijadikan
tolak ukur keshalihan atau tidaknya seseorang dalam ibadah yang lain seperti
puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Ketiga jenis ibadah tersebut memiliki
frekuensi yang jarang, seperti puasa yang hanya wajib dilakukan setahun sekali,
kemudian zakat yang hanya diwajibkan bagi orang kaya atau orang yang telah
mencapai nisabnya, terlebih lagi haji yang hanya dikhususkan bagi orang yang
mampu saja. Maka dari itu, al-Fātiḥah adalah hal yang paling agung dan wajib
kita baca baik itu dalam shalat ataupun tidak.
23
M. Quraish Shihab, al-Lubab: Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fatihahdan Juz
Secara etimologis kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama yaitu al-
Raḥmān yang berarti “suatu perasaan yang halus di dalam hati yang mendorong
seseorang untuk menyayangi orang lain.” Apabila dihubungkan dengan Allah,
maka yang dimaksudkan adalah “Efek dari rahmat Allah yaitu pengayoman-Nya.”
Meskipun berasal dari kata yang sama, namun para ulama umumnya berpendapat
bahwa al-Raḥmān lebih umum dari al-Raḥīm karena yang pertama mencakup
kasih sayang Allah kepada seluruh penghuni dunia, baik mukmin maupun kafir,
sedangkan yang kedua hanya konotasi kasih sayang Allah khusus kepada orang
mukmin.36
Yang dimaksudkan dari ayat sebelumnya, jika Allah adalah Rabb sebagai
pemeliharan dan pendidik bagi seluruh alam tidak lain maksud dan isi pendidikan
itu, melainkan karena kasih sayang-Nya semata dan karena murah-Nya belaka,
tidaklah dalam memberikan pemeliharaan dan pendidikan itu menuntut
keuntungan bagi diri-Nya sendiri. Pemeliharan yang Dia berikan adalah pertama
karena al-Raḥmān maknanya ialah bila sifat Allah yang Raḥmān itu telah
membekas dan berjalan ke atas hamba-Nya. Maka al-Raḥmān ialah setelah sifat
itu terpaksa pada hamba, dan al-Raḥīm ialah pada keadaannya yang tetap dan
35
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, h. 95. 36
Nashruddin Baidan, TafsirKontemporer Surah al-Fatihah, h. 28.
48
tidak pernah hilang untuk Tuhan. Dan keduanya itu adalah sama mengandung
akan sumber kata, yaitu “Rahmat”.37
ين مالك ي وم الد“Pemilik (Penguasa) hari Pembalasan”.
Kita mengartikan yang menguasai, apabila Maliki kita baca dengan
memanjangkan Mim pada Māliki. Dan kita artikan “Yang Mempunyai Hari
Pembalasan”, kalau kita baca hanya Maliki saja dengan tidak memanjangkan
Mim, maka dapat kita artikan dengan al-Dīn yang berarti agama, padahal diapun
berarti Pembalasan. Jika tadi seluruh jiwa kita telah diliputi oleh rasa Raḥmāt,
pancaran Raḥmāt dan Raḥīm Tuhan, maka dia harus dibatasi dengan keinsafan,
bahwa betapapun Raḥmān dan Raḥīm-Nya namun Dia adil juga. Maka apabila al-
Raḥmān dan al-Raḥīm telah disambungkan dengan Māliki yaumi al-dīn, barulah
seimbang pengabdian dan pemujaan kita kepada Tuhan. Karena hidup tidak
berhenti hingga kini saja, akan ada sambungannya lagi yaitu hari Pembahasan.38
Kosakata م و ي jamak dari ام ي أ biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan “hari” yang pada umumnya berdurasinya sekitar 12 jam. Di dalam ayat
ini, Allah menjelaskan peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu 12-24 jam.
Kosakata ن ي د berarti agama, ketaatan, pembalasan, dan sebagainya. Semua
konotasinya menggambarkan adanya hubungan antara dua pihak yang satu dengan
yang lebih tinggi dari yang lain atau antara dua pihak yang lebih tinggi dari yang
lain atau atasan dan bawahan. Berdasarkan pemahaman itu, maka frase ن ي الد م و ي di
dalam ayat ini dapat diartikan “hari (waktu) pembalasan”.39
37
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, h. 96.
38
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, h. 100. 39
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 70.
49
Dalam konotasi yang demikian sangat logis ayat 4 dari surah al-Fatihah diberi
dispensasi untuk dapat dibaca dalam dua versi bacaan, karena hal itu memang
sesuai dengan kenyataan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ayat kedua dari
an-Nas. Ayat ini membicarakan tentang perlindungan kepada Allah dari berbagai
godaan dan gangguan makhluk halus baik yang bertubuh halus seperti jin dan
setan, maupun yang bertubuh kasar seperti manusia. Dalam hal ini, Allah tidak
mau memposisikan diri-Nya secara langsung sepagai pihak pemilik manusia
meskipun secara logika hal itu boleh saja karena langit dan bumi beserta isinya
adalah milik Allah. Dalam pernyataan Allah itu terkandung pesan yang amat
penting, yaitu apabila Allah menyatakan bahwa Dia pemilik manusia, maka dapat
menimbulkan persepsi bahwa semua yang dilakukan manusia adalah pekerjaan
Allah, dan Allah bertanggung jawab penuh atas semua yang dilakukan manusia
baik dan buruknya.40
ياك نستعني إياك ن عبد وإ “Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau
(pula) kami minta tolong”.
Pada empat ayat pertama di atas, sangat dominan akan nuansa pujian dan
sanjungan kepada Allah. Allah juga menjelaskan bahwa Dia Maha Pengasih dan
Penyayang. Dengan kasih sayang-Nya yang demikian besar itulah Dia mengatur,
mengayomi, dan mendidik alam semesta dengan segala isinya.
Kalimat iyyāka kita artikan Engkaulah atau boleh dilebih dekatkan lagi
maknanya dengan menyebut hanya Engkau sajalah yang kami sembah. Kata
na‟budu kita artikan “kami sembah” dan nasta‟īnu kita artikan “tempat kami
memohon pertolongan”. Kata na‟budu berpangkal dari kalimat „ibadat dan
40
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah, h. 63.
50
nasta‟īnu berpangkal dari kalimat isti‟ānah. Meskipun telah kita pakai arti dalam
bahasa kita yaitu sembah atau kami sembah, namum hakikat ibadat hanya khusus
kepada Allah. 41
راط المستقيم اىدنا الص“Tuntunlah kami menempuh jalan yang lurus”.
Tuntunan atau petunjuk itu diberikan dengan cara yang halus, santun, dan
lemah lembut. Yang dimaksudkan disini adalah nuansa kasih sayangnya terasa
sangat kental. Cara seperti inilah yang diterapkan Allah di dalam al-Qur‟an dalam
membimbing umat ke jalan yang benar, bahkan dalam berkomunikasi dengan
orang kafir dan musyrik yang terang-terangan mengingkari-Nya pun tetap saja
dipanggil-Nya dengan panggilan yang lembut dan juga sopan.42
Menurut keterangan setengah ahli tafsir, perlengkapan menuju jalan yang
lurus, yang dimohonkan kepada Allah itu adalah, Pertama, al-Irsyād yang artinya
agar dianugerahi kecerdikan dan kecerdasan sehingga dapat membedakan yang
salah dengan benar. Kedua, al-Taufīq yaitu bersesuaian hendaknya dengan apa
yang direncanakan Tuhan. Ketiga, al-Ilḥām yang artinya diberi petunjuk supaya
dapat mengatasi sesuatu yang sulit. Keempat, al-Dilālah artinya ditunjuk dalil-
dalil dan tanda-tanda dimana tempat berbahaya, dimana yang tidak boleh dilalui
dan sebagainya. Dengan ayat ini kepada kita telah ditunjukkan apa yang amat
penting kita mohonkan pertolongan kepada-Nya, mohon ditunjuki jalan yang
lurus.43
41
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, h. 101. 42
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah, h. 85. 43
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, h. 107.
51
صراط الذين أن عمت عليهم غي المغضوب عليهم وال الضالني “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka
(para nabi, shadiqin, syuhada‟ dan shalihin); tidak (jalan) mereka yang
dimurkai dan tidak (pula jalan) mereka yang sesat”.
Ayat ketujuh ini merupakan penjelasan bagi ayat sebelumnya. Bila diamati
dengan seksama, semua penafsiran ulama sebagaimana yang telah dinukilkan di
atas, maka tampak jelas tersimpul dalam ayat ketujuh ini. Berdasarkan penegasan
Allah, maka ketika kita berdoa kepada Allah agar dituntun mendapatkan الصراط itu artinya kita minta dituntun untuk mendapatkan jalan yang pernah ;املستقيم
ditempuh oleh keempat golongan manusia pilihan Allah; itu bukan alan yang
dimurkai dan bukan pula jalan orang yang sesat.44
Allah pernah mengaruniakan nikmat-Nya kepada orang-orang yang telah
menempuh jalan yang lurus itu, maka kita memohon kepada Tuhan agar kita
ditunjukkan pula jalan itu. Adapun jalan orang yang sesat ialah orang yang berani-
berani membuat jalan sendiri diluar yang digariskan Tuhan. Tidak mengenal
kebenaran atau tidak dikenalnya menurut maksud yang sebenarnya.45
Dengan
demikian keberagamaan mereka tidak didasarkan pada emosional agamis semata,
melainkan lebih didasarkan pada pemikiran rasional berlandaskan konsep dan
teori yang matang.
Surah al-Fātiḥah merupakan surah yang terbilang singkat dan pendek, tetapi
surah ini mempunyai kedudukan yang agung dan banyak manfaat yang banyak.
Allah SWT. menyebutkan bahwa selain menurunkan al-Qur‟an yang agung, Ia
juga memberikan tujuh ayat (Surah al-Fātiḥah) kepada Rasulullah saw.
sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya. Dan Sesungguhnya kami telah
44
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah, h. 98. 45
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, h. 112.
52
berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang (Surah al-Fātiḥah) dan
al-Qur‟an yang agung (QS. Al-Hijr [15]: 87).46
2. Sumber Penafsiran
Garis besar sumber penafsiran al-Qur‟an terbagi menjadi tiga bagian, yaitu al-
Qur‟an, al-Hadits, dan ijtima‟ ulama.
i. Penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an
Tafsir bi ma‟tsur juga disebut sebagai penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an,
al-Qur‟an dengan Sunnah Nabi, dan al-Qur‟an dengan pendapat sabahat atau
tabi‟in. Dinamai dengan tafsir bi ma‟tsūr karena dalam menafsirkan al-Qur‟an,
seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan dari masa lalu dari generasi
sebelumnya sampai kepada Nabi Muhammmad saw. Contohnya tafsir al-Qur‟an
dengan al-Qur‟an dalam QS. al-An‟am: 82, yang berbunyi;
هتدون الذين آمنوا ول ي لبسوا إميان هم بظلم أولئك لم المن وىم م“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman menreka
dengan kedzaliman (syirik), karena mereka itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Kemudian ditafsirkan oleh QS. Luqman [31]: 13, Allah Swt berfirman:
رك لظلم عظيم وإذ قال لقمان البنو وىو يعظو يا ب ن ال تشرك باللو إن الش“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia
memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau
menyekutu Alah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-
benar kedzaliman yang besar.”
Penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an adalah bentuk tafsir yang paling
tinggi. Keduanya tidak diragukan lagi untuk diterima alasannya, pertama karena
46
Muhammad Alcaff, Tafsir Populer al-Fātiḥah (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), h.
20.
53
Allah Swt adalah sumber yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur
dengan kebathilan. Kedua karena himmah Rasulullah terhadap al-Qur‟an, yaitu
untuk menjelaskan dan menerangkan.47
ii. Penafsiran al-Qur‟an dengan al-Hadits
Sebagaimana yang telah kita ketahui, hadits berfungsi sebagai penjelasan
terhadap maksud al-Qur‟an. Dalam hal ini, harus memperhatikan tingkatan nilai
sanad dan matan hadits. Nabi yang menerima al-Qur‟an dan ditugaskan oleh Allah
untuk menjelaskan al-Qur‟an dari Allah. QS. al-Nahl [16]: 44;
نات والزبر للناس ما ن زل إليهم ولعلهم ي ت ف بالب ي رون وأنزلنا إليك الذكر لتب ني ك“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‟an, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.”
Sabda Rasulullah saw.:
ل لكم حلم احلمار الىلى وال كل ذى بع وال لقطة معاىد إال أن أال ال ي ناب من السها صاحب ها يست غن عن
“Ketahuilah, tidak halal bagi kamu daging keledai jinak, dan tidak halal
pula semua yang bertaring dari sebagian binatang buas, tidak pula halal
bagi kamu temuan milik orang kafir mu‟ahad (yang terikat perjanjian
dengan kaum muslimin), kecuali jika pemiliknya tidak memerlukannya
lagi.”
iii. Penafsiran al-Qur‟an dengan Ijtihad Sahabat
Setelah Nabi, orang yang paling mengetahui konteks diturunkannya ayat serta
kondisi yang menuntun diturunkannya ayat-ayat tersebut, maka sebahagian
47
Abdurrahman Hakim, “Tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an Studi Analisis-Kritis dalam
Lintas Sejarah”, artikel ini diakses pada tanggal 5 Mei 2019 pukul 11:35