Top Banner
STULOS 19/1 (JANUARI 2021) 94-121 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN INDONESIA MELALUI KONSEP HUMANIS A LA MANGUNWIJAYA Andreas Maurenis Putra Aktivis PMKRI Cabang Bandung St. Thomas Aquinas [email protected] Abstrak: Pendidikan memainkan peranan strategis untuk membawa manusia pada kehidupan yang lebih bermartabat dan berkualitas, menjadi manusia yang lebih manusiawi. Karena itu, pendidikan selalu bersifat holistik-integral: terwujudnya kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Namun kini, ada kecenderungan pendidikan bergeser arah kiblatnya ke pusaran nilai pragmatis-materialistik oleh sebab kuatnya pengaruh pasar. Untuk itu, tulisan ini bertujuan merespon isu tersebut dengan konsep pendidikan humanistik Y.B Mangunwijaya sebagai pisau bedah. Respon yang dimaksud adalah mendialogkan nilai dan pengalaman, belajar berbasis live in, pelajaran atau mata kuliah filsafat-etika, kebijakan kurikulum dan solusi sistemik. Respon ini diharapkan dapat menjadi alternatif solusi bagi masa depan pendidikan Indonesia. Dalam mencapai harapan (tujuan) tersebut, tulisan yang bersifat reflektif ini akan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan literatur. Kata Kunci : Pendidikan humanistik, pragmatis-materialistik, respon, dialektika, etika, kurikulum, solusi. Abstrak: Education plays a strategic role in bringing humans to a more dignified and quality life, becoming more humane. Therefore, education is always holistic-integral: the realization of intellectual intelligence, emotional intelligence and spiritual intelligence. However, nowadays, there is a tendency for education to shift towards a pragmatic-materialistic value vortex due to the strong influence of the market. For this reason, this paper aims to respond to this issue with the concept of Y.B Mangunwijaya's humanistic education as a scalpel. The response referred to is dialogue of values and experiences, live-in-based learning, philosophy-ethics lessons or courses, curriculum policies and systemic solution. This response is expected to be an alternative solution for the future of Indonesian education. In achieving these expectations (goals), this
28

MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

Oct 15, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS 19/1 (JANUARI 2021) 94-121

MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

PENDIDIKAN INDONESIA MELALUI

KONSEP HUMANIS A LA MANGUNWIJAYA

Andreas Maurenis Putra

Aktivis PMKRI Cabang Bandung St. Thomas Aquinas

[email protected]

Abstrak: Pendidikan memainkan peranan strategis untuk membawa manusia

pada kehidupan yang lebih bermartabat dan berkualitas, menjadi

manusia yang lebih manusiawi. Karena itu, pendidikan selalu

bersifat holistik-integral: terwujudnya kecerdasan intelektual,

kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Namun kini, ada

kecenderungan pendidikan bergeser arah kiblatnya ke pusaran nilai

pragmatis-materialistik oleh sebab kuatnya pengaruh pasar. Untuk

itu, tulisan ini bertujuan merespon isu tersebut dengan konsep

pendidikan humanistik Y.B Mangunwijaya sebagai pisau bedah.

Respon yang dimaksud adalah mendialogkan nilai dan pengalaman,

belajar berbasis live in, pelajaran atau mata kuliah filsafat-etika,

kebijakan kurikulum dan solusi sistemik. Respon ini diharapkan

dapat menjadi alternatif solusi bagi masa depan pendidikan

Indonesia. Dalam mencapai harapan (tujuan) tersebut, tulisan yang

bersifat reflektif ini akan menggunakan metode kualitatif dengan

pendekatan literatur.

Kata Kunci : Pendidikan humanistik, pragmatis-materialistik, respon, dialektika,

etika, kurikulum, solusi.

Abstrak: Education plays a strategic role in bringing humans to a more

dignified and quality life, becoming more humane. Therefore,

education is always holistic-integral: the realization of intellectual

intelligence, emotional intelligence and spiritual intelligence.

However, nowadays, there is a tendency for education to shift

towards a pragmatic-materialistic value vortex due to the strong

influence of the market. For this reason, this paper aims to respond

to this issue with the concept of Y.B Mangunwijaya's humanistic

education as a scalpel. The response referred to is dialogue of

values and experiences, live-in-based learning, philosophy-ethics

lessons or courses, curriculum policies and systemic solution. This

response is expected to be an alternative solution for the future of

Indonesian education. In achieving these expectations (goals), this

Page 2: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 95

reflective writing will use a qualitative method with a literature

approach.

Keywords: Humanistic, education, pragmatic-materialistic, response, dialectics,

ethics, curriculum, solution.

PENDAHULUAN

Berbicara mengenai pendidikan berarti menyoal sebuah proses yang

berlangsung sepanjang hidup. Itu sebabnya, pendidikan harus merupakan

sebuah pembelajaran yang holistik dari sekadar sarana sosialisasi atau

sebatas meneruskan informasi yang terlepas-lepas serta kosong tanpa

makna. Pendidikan harus menjadi wadah perealisasian diri atas semua

potensi manusia, sehingga menjadi kenyataan di dalam praksis

(Rousseau). Dalam kerangka holistik-integral tersebut, dunia pendidikan

mengemban amanah untuk menyiapkan anak didik agar dapat bertahan

hidup dan menumbuhkan karakter selaras nilai-nilai yang berlaku secara

lokal, nasional, dan global atau humanisasi. UU No. 20 Tahun 2003

menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,

dan negara. Peran besar yang diemban oleh lembaga pendidikan adalah

sebagai pusat penghayatan, pengembangan dan pembentukan jati diri

kultural sebuah komunitas atau bangsa. Melalui dunia pendidikan setiap

kelompok masyarakat dapat merancang strategi pertumbuhan dan

perkembangan sumber daya manusia yang berkarakter dan mampu

berkompetensi untuk aktif dalam tatanan masyarakat yang beradab.

Pembelajaran secara holistik-integral menjadi sangat penting karena

melalui pendidikan keadaan suatu masyarakat dapat dipetakan bahkan

sebaliknya melalui dinamika masyarakat, dapat dilihat kondisi dinamika

pendidikan. Maka karakter yang dibentuk pun harus tetap

memperhatikan keterikatannya dengan konsep manusia sebagai makhluk

sosial.

Page 3: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

96 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

Sementara kenyataan yang ditampilkan oleh dunia pendidikan hari-

hari ini justru bertolak belakang dengan hakikat luhurnya: usaha manusia

untuk memanusiawikan manusia. Dunia pendidikan mendapatkan kritik

berkaitan dengan sistem pendidikan dan pengaruhnya terhadap kualitas

sumber daya manusia yang dihasilkan. Pendidikan mengalami distorsi

sehingga menjadi isu yang mesti mendapat penanganan serius. Proses

belajar mengajar yang berlangsung di dunia pendidikan formal sekarang

ini lebih banyak hanya sekadar mengejar target pencapaian kurikulum

yang telah ditentukan.1 Pendidikan dengannya, cenderung menjurus pada

tuntutan pasar. Dunia pendidikan formal layaknya jembatan menuju

perusahaan-perusahaan yang sedang menunggu di depan mata. Sekolah,

pada akhirnya, tidak memerdekakan dan membuat manusia menjadi lebih

humanum tetapi pabrik mencipta “robot-robot bernyawa” sesuai dengan

kualifikasi perusahaan. Pendidikan berada di pusaran nilai pragmatis-

materialistik. Pada akhirnya praktek pendidikan sekadar melihat anak

sebagai objek yang akibatnya peserta didik menjadi manusia yang

tertindas, senantiasa takut dan menjauhi komunikasi dengan

masyarakatnya. Peserta didik kehilangan pemerdekaan belajar, ruang-

ruang eksplorasi dan kreativitas dibatasi, dan kesempatan untuk

perenungan dan refleksi kritis diabaikan termasuk kebebasan memilih

yang melekat sebagai kodratnya.

Kisruh yang terjadi dalam dunia pendidikan, sebagaimana terlihat

dalam realitas di atas adalah gambaran pengabaian kemanusiaan anak

didik. Dengan kata lain, pendidikan harusnya memerdekakan anak didik

agar berkembang menjadi manusia utuh atau meminjam ungkapan

Mangunwijaya, “pemerdekaan”. Kemerdekaan untuk mewujudkan dan

memekarkan segala potensi yang ada dalam masyarakat dan lingkungan

sosial demi kesejahteraan hidup bersama. Merdeka berarti berjuang

untuk mengembangkan hidup secara utuh dan manusiawi dalam

semangat persaudaraan dan gotong royong. 2 Mengapa pendidikan

pemerdekaan Mangunwijaya? Sedari awal, pendidikan a la Mangunan

1 Zen Istiarsono, “Tantangan Pendidikan Dalam Era Globalisasi: Kajian

Teoritik” Jurnal Intelegensia, Volume 1, Nomor 2 (2017). 2 M. Andy Rudhito (edit.), Pendidikan yang Memerdekakan: Belajar dari

Romo Mangun, Kang Din dan Pengalaman, (Yogyakarta: Garudhawaca, 2020), 5.

Page 4: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 97

telah menoreh makna: jalan bagi pembelaan martabat manusia melalui

proses pemekaran diri anak didik mengingat anak adalah pribadi yang

utuh dan multidimensi. Pendidikan Mangunan adalah sebuah model

perealisasian utuh diri manusia terutama dalam konteks Indonesia, untuk

memekarkan tunas bangsa. Pemerdekaan belajar inilah persis bagi

pendidikan Mangunan dipahami sebagai sebuah pendidikan yang

humanis. Jika direfleksikan secara mendalam, pendidikan a la Mangunan

adalah pendidikan yang menampilkan hakikat luhurnya. Ini mesti tetap

dihidupkan dalam proses dan dinamika pendidikan di Indonesia dewasa

ini, yang telah mengalami distorsi oleh karena kuatnya pengaruh

orientasi pasar yang dibawa oleh globalisasi. Menurut hemat penulis,

habitus pendidikan Mangunan sebagai pencetak pelaku pembangunan

masyarakat yang humanis akan senantiasa menjadi orientasi masa depan,

menjadi sebuah wawasan yang tetap futuristik sekaligus antisipatoris,

memekarkan tunas-tunas bangsa dengan nilai-nilai gotong royong,

persaudaraan dalam kebhinekatunggalikaan, dan kesetiakawanan sosial.3

Dengan demikian, pertanyaan penting yang menjadi konsen dari

artikel ini adalah bagaimana merespon nilai pragmatis-materialistik

pendidikan Indonesia dewasa ini dalam bingkai pemahaman pendidikan

“humanistik” a la Mangunwijaya? Respon ini akan menjadi alternatif

solusi bagi konsep pembelajaran dunia pendidikan yang kini sedang

diterpa ideologi pasar.

Batasan Masalah dan Metode

Batasan masalah ini dimaksudkan untuk menghilangkan argumentasi-

argumentasi yang terlampau bias. Artinya, tulisan ini tidak

membandingkan dengan hal-hal positif dalam pendidikan Indonesia

termasuk juga persoalan terbesar yaitu variasi pendidikan Indonesia

terlalu tinggi, antara desa dan kota, barat dan timur secara komprehensif.

Dengan bahasa yang sedikit kurang baik, penulis hanya sedang

mengkritik dan mengkritisi akibat buruk dari nilai pragmatis-

materialistik dalam dunia pendidikan sembari melihat bagaimana

3 Ibid., 6.

Page 5: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

98 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

pendidikan humanistik a la Mangunwijaya berbicara dalam konteks

tersebut.

Dalam mengeksplorasi tema ini penulis akan menggunakan metode

penelitian kualitatif. Dalam Research in Education: A Conceptual

Introduction, Jamesh Mc. Millan dan Sally Schumacher mengatakan

bahwa sekurang-kurang terdapat empat strategi pengumpulan data dalam

metodologi penelitian kualitatif yakni, observasi partisipatif, wawancara

mendalam, kajian literatur dan artefak. Strategi pengumpulan data yang

digunakan dalam telaah ini adalah kajian literatur. Penulis mencoba

mengumpulkan dan menganalisis khazanah pustaka bertema pendidikan,

baik yang berbicara mengenai pendidikan humanistik dari Mangunwijaya

maupun kajian tentang pengaruh orientasi pasar dalam pendidikan

Indonesia dewasa ini. Sumber-sumber pustaka tersebut lalu dianalisis

secara tafsir intertekstual dalam bingkai basis pemikiran Mangunwijaya

tentang pendidikan. Untuk mencapai harapan tersebut penulis memulai

dengan menjabarkan pemikiran-pemikiran tentang pendidikan, yang

kurang lebih dapat membantu memberi pemahaman yang cukup tentang

ideologi pendidikan itu sendiri. Pemikiran-pemikiran yang dimaksud

adalah gagasan yang dikemukakan oleh Nuryanto, Paulo Freire, dan Y.B

Mangunwijaya sendiri. Di bagian berikutnya, penulis menjabarkan

tentang nilai pragmatis-materialistik yang dibawa oleh ideologi pasar

dalam dunia pendidikan: arti dan dampaknya. Selanjutnya, penulis coba

membaca (membandingkan) pendidikan yang terjerumus ke dalam

pusaran ideologi pasar (pragmatis-materialistik) dengan konsep

pendidikan humanis dari Y.B Mangunwijaya, yang hasilnya adalah,

keduanya bertentangan. Di bagian terakhir, penulis memberikan respon

yang dapat dimaknai sebagai alternatif solusi bagi pendidikan masa

depan. Dengan kata lain, penulis menerjemahkan konsep humanis

Mangunwijaya secara baru jika memang orientasi pasar di dalam dunia

pendidikan Indonesia tetap dipertahankan.

Akhirnya penulis menyadari kurang komprehensifnya penjabaran

maka dengan rendah hati terbuka pada kritik dan saran yang

membangun. Meskipun telaah ini masih jauh dari sempurna dan banyak

hal yang tidak dimuat secara komprehensif namun harapan penulis

Page 6: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 99

bahwa ide-ide yang tersaji dalam artikel ini dapat mencerahkan sekaligus

menjadi refleksi bersama.

Tinjauan Pustaka: Pemikiran-pemikiran Tentang Pendidikan

Terdapat banyak pemerhati dan pegiat pendidikan yang menerbitkan

penelitian berkaitan dengan pendidikan dalam beragam kajian.

Contohnya, kajian yang dilakukan oleh Muhammad Agus Nuryanto

(2017)4, Paulo Freire (2008)5, Y. B Mangunwijaya (2004)6. Nuryanto

memperlihatkan terjadinya pertarungan kepentingan antar ideologi dalam

pendidikan tinggi, yaitu kontestasi antara pendidikan tinggi yang

berbasiskan pada nilai-nilai akademik (academic values) yang cenderung

etis-utopis dan yang berbasiskan pada nilai-nilai korporasi (corporate

values) yang cenderung praktis-pragmatis. Baginya, institusi pendidikan

yang berbasis pada nilai-nilai korporasi atau pasar akan melahirkan

sivitas akademika yang mode of thought-nya adalah rasionalitas

teknokratik. Rasionalitas teknokratik memiliki kontribusi pada lunturnya

kesadaran historis-kritis sivitas akademika dengan cara menggeser ide

tentang perkembangan diri mereka yang bersifat moral dan etis dengan

hanya menekankan pada perkembangan diri yang bersifat teknis-

material.

Paulo Freire menolak praksis pendidikan gaya bank (banking

education) yang hanya membuat “pendidikan karenanya menjadi sebuah

kegiatan menabung. Para murid menjadi celengan bagi guru yang

merupakan penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi,

tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi

tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para

murid. Penolakannya itu lahir dari pemahamannya tentang manusia. Ia

menolak pandangan yang melihat manusia sebagai makhluk pasif yang

4 M. Agus Nuryanto, “Kritik Budaya Akademik di Pendidikan Tinggi,” The

Journal of Society and Media Vol. I, Nomor 1, (2017). 5 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: LP3S, 2008). 6Y.B Mangunwijaya, Pendidikan Pemerdekaan: Catatan Separuh Perjalanan

SDK Eksperimen Mangunan, (Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar, 2004).

Page 7: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

100 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas tanggung jawab pribadi

mengenai pendidikannya sendiri.

Y.B. Mangunwijaya (Romo Mangun), pegiat yang mempunyai

perhatian terhadap dunia pendidikan tanah air 7 yang pemikirannya

menjadi basis dari artikel ini, mengkritik pendidikan masa orde baru

(bahkan sesudah reformasi). Ia mengatakan pendidikan pada zaman

tersebut hanyalah indoktrinasi, penataran, dan pelatihan, bukan

pendidikan yang sesungguhnya, murid hanya menghafal materi

pelajaran. Orde baru yang sarat dengan gaya militer dan otoriter,

kemudian merambah dunia pendidikan. Pendidikan dimaknai sebagai

upaya melatih, mempawang sehingga pada intinya, tidak memerdekakan.

Romo Mangun menganggap bahwa pendidikan masa orde baru (atau

mungkin juga pada masa reformasi ini) tidak menghasilkan manusia-

manusia humanis. Pendidikan menampilkan diri sebagai sosialisator yang

tidak melihat anak memiliki nilai tersendiri, berkepribadian unik dengan

status bermartabat sebagai manusia yang harus dihormati meskipun

belum manusia sematang-matangnya. Bagi Romo Mangun strategi

pendidikan di Indonesia seharusnya mengikuti jiwa-jiwa besar para

pejuang kemerdekaan, dimana yang dibutuhkan bukanlah sistem hebat

dan praktis hanya untuk kaum elite dan calon-calon tuan dan nyonya di

atas rakyat, akan tetapi dunia siswa dan guru yang sekaligus adalah

pejuang pembela rakyat.

Perhatian besar Romo Mangun pada dunia pendidikan diinisiasi

oleh pemahamannya tentang manusia. Manusia mesti menjadi pusat

dalam pendidikan. Itu karena manusia tidak mengada secara terpisah dari

realitas sekitarnya namun ada dan bersama-sama dengan realitas dunia.

Realitas inilah mesti dihadapi, dibaca, direfleksikan supaya ada

kesadaran eksistensial menuju tercapainya esensi diri. Dalam bahasa lain,

konsep pedagogis demikian didasarkan pada pemahaman potensi diri

untuk berkreasi dalam realitas dan membebaskan diri dari penindasan

politik, ekonomi dan maupun budaya. Kesadaran tumbuh dari

7 Catatan penulis: Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Ki Hajar Dewantara,

Kartini, Darmaningtyas, Mochtar Bukhari dan sebagainya merupakan tokoh-tokoh

yang memiliki concern terhadap pendidikan Indonesia sebagaimana halnya Romo

Mangun.

Page 8: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 101

pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan

menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri anak didik. Pendidikan

di Indonesia yang hanya membebankan hafalan pada murid misalnya,

dikritik olehnya. Menurutnya, murid haruslah berada pada posisi primer.8

Peserta didik dianggap bernilai sekunder bukan subjek yang bebas dan

berpikir. Atas pembacaannya terhadap beberapa filsuf, antropolog,

politikus dan pakar pendidikan dari dunia Barat, Romo Mangun

mengatakan, “di Barat diakui umum, bahwa bapak filsafat dan gerakan

pendidikan modern (antifeodal anti-otoriter) di Barat diakui umum

adalah Socrates (470-399 SM) yang mengajarkan bahwa setiap manusia

dari dalam dirinya sudah hamil dengan kebenaran (truth). Guru,

pembina, pendamping, kita semua hanyalah bidan yang memang harus

aktif menolong tetapi kelahiran bayi (kebenaran) dilakukan oleh si

manusia atau anak yang bersangkutan itu sendiri.”9

Dengan demikian, pokok pikiran yang disampaikan oleh para

pegiat dan pemerhati pendidikan di atas disimpulkan sebagai berikut,

pertama, adanya kiblat proses pembelajaran ke teknis-material yang

artinya bertujuan untuk memenuhi permintaan pasar (Nuryanto) dan

kedua, anak dirankeng kebebasannya. Anak didik hanya dilihat sebatas

objek yang tidak memiliki pilihan-pilihan bebas bertanggung jawab

sehingga sehingga proses belajar diartikulasikan ke dalam model pawang

dan indoktrinasi, semacam kegiatan menabung (Mangunwijaya, Freire).

Menurut hemat penulis, pokok argumentasi para pemikir perihal dunia

pendidikan lainnya (Freire dan Nuryanto) sangat sejalan dengan konsep

pendidikan yang digagas oleh Mangunwijaya atau yang lebih akrab

disapa Romo Mangun. Pokok pikiran tersebut mencerminkan ideologi

pendidikan: memanusiakan manusia, mendidik dan melahirkan generasi

dan masyarakat yang Pancasilais.

8 Ni Nyoman Oktaria Asmarani, “Filsafat Pendidikan Y.B. Mangunwijaya

Dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia” Paper Fakultas Filsafat UGM,

(Maret 7, 2018), 14. Dikutip dari https://osf.io/preprints/inarxiv/7nf4d/. Diakses

pada Kamis, 26 November 2020, Pukul 16:36. 9 Yosef Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional: Kontestasi

kekuasaan Dalam Pendidikan Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 55.

Page 9: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

102 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

Pendidikan Dalam Pusaran Nilai Pragmatis-Materialistik

Selain keberhasilan dari dunia pendidikan tak dapat dipungkiri juga hal-

hal yang mendistorsi, yang di aras paling dasar, mengekang kemanusiaan

anak didik. Di antara berbagai macam distorsi di dalam dunia

pendidikan, salah satunya, adalah pendidikan yang berorientasi pada nilai

pragmatis-materialistik. Konsekuensi masif globalisasi, salah satunya,

adalah perubahan sistem pendidikan. Dunia pendidikan semakin dituntut

menampilkan tata laksana yang baik yang didukung oleh kurikulum

adaptif maupun fleksibel. Sekolah misalnya, didorong untuk mampu

mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial budaya yang adaptif

terhadap teknologi digital, khususnya di era Revolusi Industri 4.0. 10

Giroux juga mengamati, bahwa dunia pendidikan global sekarang ini

telah mengalami proses komodifikasi. Artinya, pendidikan menjadi

barang dagangan dengan tujuan utama mencari dan mengembangkan

keuntungan ekonomis.11

Di sini seringkali tak disadari tumbuhnya nilai-nilai individualistis,

hedonis, materialistis sebagai dampak buruk dari tuntutan untuk peka

terhadap teknologi -arus globalisasi. Pengaruh globalisasi dalam dunia

pendidikan secara kasat mata mengakibatkan pendidikan terkikis

nilainya. Pendidikan mampu menghasilkan lulusan yang pintar secara

kognitif, menguasai teori dan teknologi, tetapi seringkali kering dalam

nilai-nilai kemanusiaan dan sosial dalam penerapannya. Hilangnya

respek terhadap orang tua dan guru, hilangnya tanggung jawab sebagai

anak dan pelajar, adiksi pada media sosial dan komunikasi, hura-hura

merayakan kelulusan, pesta seks, minuman keras undangan pesta

berbikini, mencoret-coret baju seragam adalah potret degradasi nilai

dalam diri siswa dan mahasiswa.”12 Penekanannya adalah keberhasilan

yang diukur dengan angka atau nilai raport, menguasai teknologi, cepat

10 Madekhan, “Fungsi Pendidikan Dalam Perubahan Sosial Kontemporer”

Reforma: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Vol. 9, No. 1(2020) , 55. 11 Reza Antonius Alexander Wattimena, “Pedagogi Kritis: Pemikiran Henry

Giroux Tentang Pendidikan dan Relevansinya Untuk Indonesia” Jurnal Filsafat,

Vol. 28, No. 2 (2018), 189. 12 Lih. Nurul Afifah, “Problematika Pendidikan di Indonesia Telaah dari

Aspek Pembelajaran), Elementary, (Vol.I edisi 1 Januari, 2015), 42

Page 10: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 103

mencapai gelar Sarjana, Master, Doktor atau Profesor, setelah lulus dari

instansi pendidikan akan kerja di mana, dan sebagainya. Nilai-nilai

humanistik, jujur, disiplin, tanggung jawab terabaikan dan kurang

mendapat perhatian utama baik dari lembaga pendidikan maupun

masyarakat.” 13 Lulusan terdidik tak jarang tak mampu menunjukkan

kualitas keterdidikannya. Korupsi adalah salah satu contoh nyanta yang

dapat disaksikan di negeri ini.

Wattimena meyakini bahwa bahwa “sekarang ini, di Indonesia, dan

di seluruh dunia, paradigma pendidikan yang digunakan adalah

paradigma dominasi dan kompetisi (competitive and dominant

paradigm). Artinya, segala sesuatu harus dilombakan, dan pemenang

bisa mendapatkan segalanya, mulai dari uang, kekuasaan, dan, tentu saja,

kenikmatan tanpa batas. 14 Penekanan pendidikan saat ini adalah

rasionalitas instrumental termasuk pembaharuan pendidikan yang

memberi perhatian kepada administrasi, teknologi pendidikan dan

efisiensi sebagai kriteria perubahan dan kemajuan. Ini mengerucut pada

kata investasi dan brand marketing. Orangtua menganggap ketika

mereka menyekolahkan anak, itu adalah langkah investasi agar kelak

mendapatkan pekerjaan sepadan dengan investasi di sekolah.15 Sekolah

ramai-ramai melakukan branding agar mereka tidak ditinggal para

konsumen. Kata investasi merupakan kata yang diderivasi dari domain

ekonomi. Pertanyaannya adalah mengapa opini publik sudah sedemikian

kuat memegang anggapan bahwa tujuan sekolah sama dengan mencari

kerja? Ini tak lain akibat dominannya budaya pragmatisme di masyarakat

dan pendidikan kita. Pragmatisme yang berasal dari habitus ekonomi

telah merambah ke dalam dunia pendidikan. Pragmatisme yang

membawa ideologi pasar meneror dunia pendidikan di berbagai jenjang.

13 Eva Dewi, “Potret Pendidikan Di Era Globalisasi: Teknosentrisme dan

Proses Dehumanisasi” SUKMA: Jurnal Pendidikan Vol. 3 Issue 1, 2019), 96. 14 Reza A. A Wattimena, “Pendidikan Manusia-Manusia Demokratis Filsafat

Pendidikan Noam Chomsky Relevansi Serta Keterbatasannya Pada Konteks

Indonesia” Arete: Jurnal Filsafat, Vol. 1, No. 2, (2012), 158. 15 M. Agus Nuryanto, “Urgensi Filsafat Pendidikan Dalam Pusaran

Pragmatisme” dalam Pendidikan Posmodernisme Mukhrizal Arif, dkk. (Yogyakarta:

Ar-Ruzz Media, 2014), 11.

Page 11: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

104 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

Gejala arus pragmatisme pendidikan semakin menguat ditandai dengan

semakin dominannya corporate values dalam pendidikan kita. Kebijakan

pemisahan Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Pendidikan Tinggi

yang kemudian digabungkan dengan menjadi persoalan serius karena

menunjukkan gejala spesialisasi yang ujungnya adalah sikap pragmatis

dalam pendidikan. Kultur pragmatis dimaksudkan untuk menjamin

tenaga kerja sesuai permintaan pasar. Selain pemisahan, melalui UU

Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, tampak bahwa

pendidikan akan dijadikan bidang jasa yang bisa dikomersilkan untuk

nantinya diharapkan dapat meningkatkan perekonomian negara. UU

tersebut adalah bukti nyata kepatuhan pemerintah pada regulasi WTO

dalam liberalisasi jasa di bidang pendidikan tinggi, di mana

prinsip National Treatment dan Market Access berlaku juga

terhadapnya. 16 Nilai korporasi semakin menjadi nilai utama daripada

academic values yang semestinya menjadi basis institusi pendidikan.

Nilai-nilai dari domain ekonomi telah merasuk sangat kuat ke dalam

jantung pendidikan sehingga tidak mengherankan apabila “institusi-

institusi pendidikan berbondong-bondong mengajukan sertifikat ISO,

tidak hanya perguruan tinggi, tapi juga juga pendidikan dasar dan

menengah. Civitas akademika lebih fasih berbicara tentang efisiensi,

efektivitas, profit, produk, TQM, pasar kerja, dan lainnya yang berasal

dari domain ekonomi, daripada berbicara tentang keadilan, penderitaan,

demokrasi, multikulturalisme, dan solidaritas kemanusiaan.” 17 Ini

dimungkinkan karena “pendidikan bergeser dari basis ideologi koperasi

(kerjasama) yang diambilkan dari falsafah Pancasila ke basis ideologi

kompetisi yang diambilkan dari ideologi pasar bebas.” 18 Apabila

kecenderungan ini terus berlangsung akan terjadi arus sebaliknya dari

peran pendidikan sebagai pembentuk kehidupan publik, politik, dan

kultural menjadi pendidikan yang dibentuk oleh dunia pasar yang

menekankan bagaimana beradaptasi dengan dunia industri.

16 Danang T.P, “Awas Bahaya Pendidikan” LFS Cogito, (2015) dikutip dari

http://lsfcogito.org/awas-bahaya-pendidikan/ diakses pada Senin, 8 Desember 2020. 17 Ibid., 13. 18 Ibid.

Page 12: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 105

Ideologi pasar dan ideologi pendidikan jelas berbeda. Ideologi

pendidikan lebih mementingkan nilai-nilai etis-humanistik sedangkan

ideologi pasar lebih bertumpu pada nilai-nilai pragmatis-materialistik dan

menekankan kompetisi dibanding koperasi. 19 Sehingga ketika dunia

pendidikan didominasi kekuatan pasar, institusi berkaitan akan

mengedepankan nilai-nilai korporasi yang penekanannya adalah

menguasai teknik-teknik dasar seturut visi dunia kerja dan nilai-nilai

humanitas segera dikorbankan. Peserta didik akan digiring mengadaptasi

sistem kerja masyarakat industri. Dunia pendidikan akan terseret oleh

kepentingan pasar. Institusi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai

korporasi atau pasar akan melahirkan civitas akademika yang berpola

pikir rasionalitas teknokratik (technocratic rationality). Dampaknya

adalah “mahasiswa lebih banyak memilih prodi-prodi yang menjanjikan

peluang kerja di masa depan daripada prodi-prodi yang berbau

pemikiran. Fakta lain, “di beberapa lembaga pendidikan kelas-kelas

humaniora menjadi “keranjang sampah” bagi mereka yang dianggap

tidak cerdas. Bidang ilmu humaniora menjadi pilihan terakhir dan banyak

diantara penemuannya dihinggapi pesimisme masa depan.”20

Kini tendensi reduksi sebatas investasi ekonomi untuk mendapat

lapangan pekerjaan membuat pendidikan tidak lagi dimaknai secara

lebih substantif, yaitu menyiapkan manusia untuk hidup di dan

bersama dunia.21 Artinya pendidikan sesungguhnya merupakan media

untuk menyiapkan manusia memiliki otonomi, kemandirian, dan

kemampuan untuk tidak sekedar hidup di dunia tapi juga terlibat dalam

proses transformasi dunia. Mengutip Colin Lankshear, “manusia adalah

'makhluk praksis' yang hidup secara otentik hanya ketika terlibat dalam

penyelidikan dan transformasi kreatif dunia.” 22 Dalam paradigma ini

hakekat pendidikan mestinya terealisasi. Kenyataannya, perealisasian itu

19 M. Agus Nuryanto, “Kritik Budaya Akademik di Pendidikan Tinggi,” The

Journal of Society and Media Vol. I (1) 2017, 3. 20 Eva Dewi, “Potret Pendidikan Di Era Globalisasi: Teknosentrisme dan

Proses Dehumanisasi”, 105. 21 M. Agus Nuryanto, “Kritik Budaya Akademik di Pendidikan Tinggi,” The

Journal of Society and Media, 38. 22 Ibid.

Page 13: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

106 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

terbentur “marketisasi” pendidikan yang pada akhirnya melahirkan

industrialisasi pendidikan. Rasionalitas teknokratik hanya menekankan

pada kepentingan-kepentingan pragmatis atau apa yang disebut dengan

what is, tapi tidak memberi perhatian terhadap kepentingan-kepentingan

yang bersifat idealis-utopis, atau apa yang disebut dengan what should

dan can be. Akibatnya, nilai-nilai korporasi yang lebih pragmatis-teknis

dikedepankan sementara nilai-nilai moral-etis terpinggirkan. Tidak

mengherankan apabila “banyak mahasiswa lebih suka membaca buku-

buku how to yang ringan dan mudah dibaca tapi tidak mempertajam akal-

budi daripada buku-buku filsafat yang kaya pengetahuan, inspiratif, dan

mempertajam akal-budi dan nurani.” 23 Penulis mengamini bahwa

rasionalitas teknokratik dalam dunia pendidikan sangat dimungkinkan

karena sistem pembelajaran konteks Indonesia berproses di tengah

globalisasi. Globalisasi dan cara kerjanya telah mengambil peran sentral

dalam mengatur ritme kehidupan dan norma-norma yang terbentuk.

Globalisasi telah menjadi kekuatan besar. Ia memaksa suatu strategi

bertahan hidup (survival strategy) dan strategi pengumpulan kekayaan

(accumulative strategy) bagi individu dan kelompok. Proses ini telah

membawa “pasar” menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai

dan tatanan sosial yang bertumpu pada prinsip-prinsip komunikasi padat

dan canggih. Pasar telah pula memperluas orientasi masyarakat dan

mobilitas batas-batas sosial budaya. Pasar sekaligus mengaburkan batas-

batas itu akibat berubahnya orientasi ruang dalam masyarakat.

Apabila budaya pragmatis mendominasi pendidikan, pengetahuan

praktislah yang akan didesiminasikan dalam proses pembelajaran.

Penekanannya adalah pada upaya untuk mengakumulasi dan memiliki

ilmu pengetahuan. Rasionalitas yang akan dilahirkan dari proses

pendidikan seperti ini adalah rasionalitas teknokratik/instrumental yang

lebih menekankan pada konformitas dan adaptasi. Proses deseminasi

pengetahuan dipisahkan dari proses pembentukannya, dan akibatnya

menghilangkan proses-proses edukatif yang penting seperti

menumbuhkan curiosity, bertanya, berdialog, dan berdiskusi. Model

pedagogis seperti ini sulit melahirkan critical subjectivity, yaitu subjek

23 Ibid., 38.

Page 14: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 107

yang bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan, subjek yang

bisa membedakan antara fakta sesungguhnya dan fakta yang didapatkan

di media, dan subjek yang mampu memahami struktur terdalam dari

realitas.24 Sebaliknya, yang akan dilahirkan dari proses pedagogis seperti

ini adalah passive subjectivity, yaitu subjek yang hanya adaptif dan

konfirmatif dengan realitas kehidupan. Di sisi lain, budaya pragmatis

turut pula melahirkan masyarakat berstruktur industrial ditandai dengan

ciri-ciri,

Pertama, mentalitas teknologis. Terjadi kepercayaan berlebihan

pada alat (teknokratis) seakan-akan segala hal dapat dipecahkan dengan

teknologi. Akibatnya sentuhan tangan manusia dengan segenap

perasaannya dianggap mempunyai nilai yang lebih rendah karena

produknya tidak lebih baik, lama, dan tidak efisien. Pendidikan

karenanya diperlakukan secara industrial. Manusia berperilaku a la

mesin karena di dalamnya anak didik dilatih dengan pola kerja mesin

sehingga anak menjadi seperti komponen mesin industry.

Kedua, terjadinya diskriminasi ilmu. Ilmu eksakta dan keteknikan

mendapat respek lebih tinggi dari ilmu humaniora. Ada kebanggan

tersendiri apabila anak memasuki bidang-bidang keteknikan karena

lulusannya sudah memiliki cara berpikir yang sudah terpola karakter

industri yang memang butuh kepastian (measurable) dan bukti nyata

sebagaimana yang dibutuhkan para industrialis dalam mengelola

industrinya. Persepsi ini telah sedemikian mengakar kuat dalam pikiran

masyarakat sehingga para penekun ilmu-ilmu humaniora merasa minder

sebab dianggap sebagai anak yang tidak cerdas dan bernasib sial.

Pemeringkatan kasta melalui fakultas-fakultas favorit misalnya fakultas

ilmu terapan, fakultas ilmu eksakta dan urutan terakhir ilmu humaniora

jelas menjadi sarana “membimbing” setiap lulusan pendidikan menengah

memilih fakultas-fakultas favorit. Bahkan secara pribadi, terbesit rasa

bosan oleh pertanyaan “mahasiswa filsafat nanti kerja apa?” Belajar di

perguruan tinggi tidak ubahnya mendaftar lowongan pekerjaan.

24 Rose K.R (edit.), Pendidikan Posmodernisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media, 2014), 13.

Page 15: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

108 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

Ketiga, komersialisasi pendidikan. Adanya biaya sekolah yang

begitu mahal sehingga terjadi klasifikasi lembaga pendidikan yang butuh

dana besar dan mahal dan lembaga pendidikan yang butuh dana murah.

Mutu lembaga pendidikan tidak lagi dinilai dari segi kualitas akan tetapi

dari segi kuantitas. Johannes Oentoro (Mantan Rektor sekaligus Pendiri

Universitas Pelita Harapan) pernah menyinggung tentang pergeseran

makna pendidikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

dengan sebuah pertanyaan yang krusial yakni apakah hasil proses

pemanusiaan itu “human being atau techno being”? 25 Komersialisasi

pendidikan mendegradasi kualitas pembelajaran dan memudarkan

harapan lahirnya generasi bangsa yang berkualitas humanum. Karenanya

perlu menaksirkan pembiayaan seimbang dengan kebutuhan suatu

lembaga pendidikan dan bukan komersialisasi. Menafsir tiga poin di atas,

pendidikan yang menjadikan manusia sebagai penguasa dari manusia

lainnya, yang rakus, serta tidak ingin memberikan apapun untuk

siapapun, kecuali itu memberikan keuntungan pada dirinya. Sadar atau

tidak, pola berpikir inilah yang kita kembangkan di dalam sistem

pendidikan kita di Indonesia, dan kita tanamkan secara sistematik serta

represif pada anak-anak kita.26 Paradigma pendidikan yang digunakan

adalah paradigma dominasi dan kompetisi (competitive and dominant

paradigm). Artinya, segala sesuatu harus dilombakan, dan pemenang

bisa mendapatkan segalanya, mulai dari uang, kekuasaan, dan, tentu saja,

kenikmatan tanpa batas.27

Mentalitas teknologis, diskriminasi ilmu dan komersialisasi

pendidikan adalah gambaran dampak negatif globalisasi terutama

pengaruh kuatnya ideologi pasar terhadap proses pendidikan.

Pelaksanaan strategi tunggal tentu saja tidak cukup untuk melahirkan

para lulusan yang berkualitas secara akademik dan moral. Urgensi multi

pendekatan merupakan suatu keharusan yang oleh Kirschenbaum

25 Lih. Eva Dewi, “Potret Pendidikan Di Era Globalisasi: Teknosentrisme dan

Proses Dehumanisasi” SUKMA: Jurnal Pendidikan, 104-108. 26 Reza A. A Wattimena, “Pendidikan Manusia-Manusia Demokratis Filsafat

Pendidikan Noam Chomsky Relevansi Serta Keterbatasannya Pada Konteks

Indonesia” Arete: Jurnal Filsafat, Vol. 1, No. 2, (2012), 158. 27 Ibid.

Page 16: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 109

menyebutnya pendekatan “komprehensif”: proses pendidikan yang

melibatkan orang tua, pendidik dan pemuka masyarakat yang mampu

bersatu padu melibatkan diri dalam memberikan pendidikan nilai dan

moralitas kepada generasi muda. 28 Selain bahwa pendekatannya

komprehensif, yang mesti dicatat adalah pendidikan bukan proses instan

tetapi proses yang terus-menerus (long life education). Ia tidak berhenti

ketika seseorang memperoleh pengakuan (ijazah) namun lebih dari itu,

merupakan proses berlangsung selama kehidupan manusia yang dalam

bahasa Mangunwijaya disebut belajar sejati.

Membaca Nilai Pragmatis-Materialistik Menurut Konsep

Humanistik Mangunwijaya

Tidak ada yang menyangkal bahwa Indonesia adalah negara yang sedang

bertumbuh menjadi negara ekonomi maju. Maka dalam hal ini, penting

untuk melahirkan generasi-generasi yang cerdas sains dan teknologi. Itu

artinya ada dampak signifikan terhadap dunia pendidikan. Penguatan

orientasi pasar di dalam dunia pendidikan sebagai bagian dari adaptasi

terhadap globalisasi akan tak terhindari dan kini sedang berlangsung.

Meskipun demikian, perlu selalu diingat bahwa orientasi pasar

menyebabkan diseminasi pengetahuan yang berakibat pada hilangnya

proses-proses edukatif penting seperti curiosity, bertanya, berdialog, dan

berdiskusi. Generasi yang dilahirkan justru kehilangan critical

subjectivity tetapi cenderung menjadi passive subjectivity yaitu subjek

yang hanya adaptif dan konfirmatif dengan realitas kehidupan.

Sementara dalam permenungan Romo Mangun, pendidikan mestinya

mencapai sasaran emansipatori yakni manusia yang eksplorator, manusia

kreatif, dan manusia yang integral. Sifat emansipatori merupakan wujud

manusia yang bisa dikatakan ideal. Model manusia seperti ini tidak

hanya mampu menggali apapun mengenai lingkungannya dan mampu

mengolahnya, tetapi juga memiliki keseimbangan dalam memaknainya,

28 Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan (Jakarta: PT Bumi Aksara,

2009), 36.

Page 17: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

110 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

baik untuk diri sendiri maupun bermakna bagi yang lain.29 Kritikannya

terhadap pendidikan orde baru yang bersifat pragmatis dan fragmentaris,

dengan biaya tinggi tetapi belum menyentuh sisi humanisme,

berwawasan pembangunan terencana menjadi sebuah keresahan dan

mesti dibaca sebagai problem serius pendidikan nasional. Begitu pun

kritikannya seakan terasa bergema hingga detik ini terutama jika

memperhatikan potret dunia pendidikan Indonesia.

Wajah pendidikan Indonesia dewasa ini tak pernah lepas dari

beragam kritik sehubungan dengan mentalitas teknologis yang melekat

erat di dalamnya. Sosiolog Universitas Nasional, Nia Elvina, M.Si

mengatakan sudah saatnya masyarakat, dan negara/pemerintah

menyadari tidak tepatnya menerapkan ideologi pasar dalam dunia

pendidikan di Tanah Air. Kritikannya dilatarbelakangi oleh peningkatan

kasus pelecehan seksual terhadap anak dalam dunia pendidikan,

termasuk di Taman Kanak-Kanak Jakarta International School (JIS).30

Bagi Nia Elvina, pemerintah harus segera mengembalikan ideologi

pendidikan kita kepada ideologi bangsa ini, yaitu Pancasila. Dalam ruang

lingkup ini, penulis ingin mengingatkan, kembali kepada konsep belajar

humanistik Mangunwijaya. Kita melihat terjadinya diskrepansi antara

cita-cita Mangunwijaya dan praksis pendidikan. Tak jarang, anak

“dilihat” hanya sebagai objek yang siap dijejali dengan ilmu (ingat bank

education-nya Freire) dan guru menjadi seperti pawang atau spesialis-

spesialis yang menanamkan ideologi. Anak didik tidak ubahnya seperti

robot-robot yang siap menerima perintah, yang siap dikendalikan untuk

keperluan pragmatis, yang dalam konteks ini, keperluan dunia pasar. Ini

semua karena mesin besar bernama kapitalisme yang diusung globalisasi.

Dalam hal ini, penerapan pendekatan active learning, joyful learning dan

child-centered learning a la Romo Mangun tidak berlaku. Pendekatan

pertama adalah sistem belajar-mengajar yang memungkinkan anak bisa

29 Nuryadin, “Pemikiran Pendidikan Yusuf Bilyarta Mangunwijaya” dalam

Pendidikan Posmodernisme, 256. 30 Ahad, “Sosiolog: Ideologi Pasar dalam Pendidikan Tak Tepat”, Republika,

20 April 2014. Dikutip dari https://republika.co.id/berita/sepakbola/liga-indonesia/

14/04/20/n4bm0h-sosiolog-ideologi-pasar-dalam-pendidikan-tak-tepat. Diakses

pada Selasa, 02 Maret 2021, Pukul 14:33 WIB.

Page 18: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 111

aktif. Pendekatan kedua dimaksudkan mengedepankan kegembiraan dan

kegairahan anak –belajar sambil bermain. Pendekatan ketiga

dimaksudkan berpusat pada anak dengan mengembangkan secara

optimal pusat-pusat perhatiannya. 31 Tetapi anak hanya dilihat sebatas

objek, tabungan yang siap menabung sosialisasi dari pengajar maka

pengembangan potensi-potensi dalam diri anak terhalang.

Dunia pendidikan yang sejatinya dibangun berlandaskan nilai-nilai

objektivitas, keilmiahan (scientific), dan kebijaksanaan sebagai nilai

dasar dalam pencarian pengetahuan. Kini dimuati oleh nilai-nilai

komersial sebagai refleksi keberpihakan pada hegemoni kapitalis.

Pendidikan sebagai wahana pencarian pengetahuan dan kebenaran,

sekarang bergeser menjadi wahana pencarian keuntungan (profit). 32

Perkawinan antara kapitalisme dengan pendidikan serta kapitalisme dan

ilmu telah menciptakan pondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan

nilai-nilai material dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan,

keadilan, dan martabat manusia. Pada akhirnya peserta didik dalam dunia

pendidikan kehilangan sensitivitas kemanusiaan digantikan dengan

kalkulasi kehidupan materialisme. 33 Sesuatu yang sangat bertentangan

dengan konsep dan praksis pendidikan Mangunan, yang mana karena

alasan martabat, pendidikan keberpihakan kepada orang miskin digagas

dan diwujudkan melalui pendirian SDEK Mangunan.

Persis disini dikotomi dalam pendidikan terlihat. Tak heran,

sebagian besar sekolah atau universitas di Indonesia lebih mementingkan

aspek kuantitatif yang diukur berdasarkan, harus lulus mata pelajaran

dengan nilai tertentu, mendapatkan penghargaan atau untuk bisa juara

dalam perlombaan tertentu. Sekolah-sekolah terkooptasi oleh mekanisme

industri dan bisnis. Sekolah menjadi instrumen produksi ekonomi.

Padahal model pendidikan demikian jelas merupakan bentuk reduksionis

terhadap hakikat dan makna pendidikan. Pendidikan hanya menjadi bekal

persaingan pasar bukan sebagai mobilitas sosial apalagi budaya. Praksis

31 Yosef Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional: Kontestasi

kekuasaan Dalam Pendidikan Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 70-71. 32 Samrin, “Kapitalisme dan Pendidikan Liberal-Kapitalistik” Shautut

Tarbiyah, Ed. Ke 33, Th. XXI, (November 2015), 137. 33 Ibid., 138.

Page 19: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

112 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

pendidikan disempitkan sekadar kegiatan transfer ilmu bukan praksis

nilai dalam kehidupan multikultural sebagaimana tercermin dalam

realitas bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, pendidikan cenderung

ditempatkan sebagai kegiatan perdagangan bukan kebudayaan.

Sementara jika yang dimaksud adalah pendidikan sebagai kegiatan

kebudayaan bukan teknis berarti ukuran mutu dari pendidikan adalah

manusia yang mencapai kecakapan intelektual dan kecakapan rasa (hati,

afeksi). Pentingnya pendidikan humanistik tak terlepas dari kenyataan

masyarakat Indonesia secara khusus sikap para cerdas-terdidik yang

kerap kali apatis dengan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat bangsa,

lebih memilih jalan individualisme dan memamerkan gaya hidup

hedonistik ketimbang mengedepankan sikap welas asih terhadap jutaan

lian yang ada di negeri sendiri.

Wajah pendidikan kita terkurung dalam sebuah ruang kompleksitas

kontradiktif, antara “pemerdekaan” belajar dan kurikulum pemerintah

yang teramat kuat tekanannya. Hegemoni negara dalam sistem

pendidikan rupaya pernah dikritik oleh Romo Mangun karena “tidak lagi

memberi ruang pada individu untuk memilih cara belajarnya sendiri.

Dengan menempatkan materi pelajaran sebagai fokus, posisi anak di

dalam kelas hanya sebagai pendengar yang harus menghafal yang

diberikan guru. Sistem indoktrinasi seperti ini tidak memberi kesempatan

kepada anak untuk memahami dan guru hanya bertindak sebagai pawang

yang dikejar target untuk memberi materi hingga batas waktu yang telah

ditentukan negara melalui kurikulum.”34

Kini, keresahan atas disorientasi pendidikan semakin jelas

terdengar. Bahwa orientasi pasar yang begitu kuat mempengaruhi

berbagai macam kebijakan kontroversial demi keuntungan pribadi

ketimbang mengedepankan kesejahteraan publik. Tak perlu menampik

fakta sejumlah birokrat yang terjerumus ke dalam tindak korupsi. Juliari

Batubara yang menilap dana bansos Covid-19. Edhy Prabowo terjerat

kasus dugaan suap ekspor benih lobster. Kasus-kasus ini menjelaskan

bahwa pendidikan kehilangan daya integritasnya yang mampu membawa

34 Yosef Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional: Kontestasi

kekuasaan Dalam Pendidikan Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 55.

Page 20: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 113

kaum terdidik berdialog dengan realitas sosialnya, memiliki pengetahuan

dan nilai baik-buruk dalam diri. Pedagogi gaya pasar menjerat subjek ke

dalam kepasrahan pada tuntutan pragmatis materialistik tanpa ada ruang

bagi pemikiran kritis mengolah pergulatan dalam dinamika bangsa.

Mestinya, pendidikan memampukan suatu karakter humanis dengan

keunggulan akademik sekaligus bela rasa terhadap situasi sosial yang

diwarnai dengan perjuangan keadilan melawan ketidakadilan. 35 Dalam

kasus ini, nilai-nilai korporasi yang lebih pragmatis-teknis dikedepankan

sementara nilai-nilai moral-etis terpinggirkan. Pendidikan karenanya

menjadi kering dalam nilai-nilai kemanusiaan dan sosial terutama

penerapannya. Pendidikan boleh dikatakan berat sebelah. Ideologi pasar

secara kasat mata turut menempatkan ilmu-ilmu dalam kasta. Misalnya

antara ilmu-ilmu teknis dan ilmu-ilmu pemikiran.

Pendidikan Dalam Pusaran Nilai Pragmatis-Materialistik

Dengan demikian berlawanan dengan konsep Romo Mangun bahwa

pendidikan membawa kesadaran bahwa hidup itu kompleks-

multidimensional namun tidak mudah bingung karena bisa menangkap

benang merah di tengah-tengah pluralitas dan kebhinekaan. Dengan kata

lain, pendidikan mengembangkan rasa solidaritas dan pelibatan-diri yang

bertanggung jawab. Yang ingin diajarkan di sini adalah “keterampilan

hidup”, kemampuan berinteraksi dengan lingkungan selama hidup.

Karenanya, salah satu cara yang dilakukan Romo Mangun adalah konsep

didaktika dan metodika dengan cara mengajak peserta didik ke pasar

untuk mengenal barang, mutu dan penjualan. Selain itu, Romo Mangun

mengajak anak didik untuk ikut terlibat dalam kegiatan memanen di

sawah.

Sebagaimana pendidikan itu memerdekakan maka pengalaman

keterlibatan di tengah kemiskinan (hidup di tengah warga Kali Code,

Grigak dan Kedung Ombo) menggugah hati Romo Mangun untuk

membebaskan mereka dari kebodohan dan kemiskinan, menaikan harkat

dan martabat kemanusiaan warga setempat. Tekad ini kemudian

35 Syahrani, Humanisasi Dalam Administrasi Dan Manajemen Pendidikan,

(Yogyakarta: Global Press, 2017), 6.

Page 21: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

114 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

mendasari lahirnya pendidikan SD Eksperimental Kanisius Mangunan.

Proses pembelajaran di SDEK Mangunan menggunakan konsep

pemikiran Romo Mangun, dibantu oleh Dinamika Edukasi Dasar (DED)

sebagai laboratorium pendidikan. Dinamika Edukasi Dasar (DED) adalah

sebuah lembaga yang bergerak untuk terwujudnya manusia yang

humanis. Pelayanan DED didasarkan atas komitmen untuk membangun

pendidikan yang humanis, memegang teguh prinsip kesetaraan, ajrih

asih, transparansi, akuntabilitas, solidaritas, pembelajar, subsidiaritas,

dan dedikasi. DED menghayati dan mempromosikan nilai-nilai keadilan

sosial, demokrasi, egaliter, manusiawi, dan totalitas. 36 Filsafat

pendidikannya adalah filsafat pendidikan Pancasila. Ini menjadi antitesis

terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh negara yang nilainya

cenderung kapitalistik dan berpihak kepada kaum kaya semata. Dalam

konteks demikian, dapat dilihat bahwa kritik Romo Mangun atas

orientasi pendidikan pada nilai kapitalis, rupa-rupanya, membekas

hingga hari ini terutama jika kita melihat kasus-kasus yang menjerat

kaum terdidik baik yang bergulat di dunia pendidikan maupun dunia

politik. Sementara para kaum terdidik bersahut-sahutan menilap uang

rakyat, sebagian besar bangsa ini berjuang berpeluh keringat untuk

membiayai sekolah atau kuliah anak-anaknya, yang tak dipungkiri,

semakin mahal. Karena itu jika ditinjau dalam perspektif Mangunan, UU

20 Tahun 2003 dan UUD 1945 Pasal 31 ayat 1-5, ketidakadilan dan

diskriminatif masih tetap berlaku dalam dunia pendidikan Indonesia saat

ini. Orientasi pendidikan pada nilai pragmatis-materialistik yang

disebabkan permintaan pasar demi daya saing global cenderung kurang

memperhatikan diskursus tentang keadilan, penderitaan, demokrasi,

multikulturalisme, dan solidaritas kemanusiaan. Nilai-nilai yang dalam

pendidikan humanistik a la Mangunwijaya sangat ditekankan. Dengan

kata lain, pendidikan humanis Mangunan menghindari gelagat

tumbuhnya nilai-nilai individualistis, hedonis dan materialistis a la

ideologi pasar.

Akhirnya, jika membaca pendidikan gaya pasar yang menekankan

nilai pragmatis-materialistik dan pendidikan a la Romo Mangun yang

36 Ibid., 262.

Page 22: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 115

holistik-integral maka sebetulnya ada benturan atau terjadi kontradiksi.

Meskipun tidak ada rencana menyudahi pendidikan berorientasi pasar

mengingat ada prospek kebutuhan pembangunan ekonomi di sisi lain,

perlu sekali ditemukan solusi. Semakin memperkuat sistem imun

pendidikan dewasa ini dengan pembelajaran yang humanistik bisa jadi

salah satu alternatif. Ini dimaksudkan agar menyeimbangi tekanan

pendidikan gaya pasar. Strategi pendidikan sedapat mungkin berjalan

dalam dua kutub sekaligus. Karena bagaimanapun, pendidikan senantiasa

memiliki kepekaan budaya (cultural sensibility), memperhatikan

tantangan sejarah (historically attentive) dan penemuan makna dalam

dimensi kehidupan (philosophically creative). Model pendidikan

demikian sejalan dengan konsep humanistik Mangunwijaya yang berakar

pada Pancasila. Sebuah model pendidikan yang integral-komprehensif.

Dalam perspektif kebudayaan, pendidikan merupakan upaya sivilisasi

dan enkulturasi. Dari segi politik, pendidikan dipandang sebagai langkah

membentuk warga negara yang baik (good citizen), warga yang taat

aturan, beradab, bertanggung jawab dan memahami hak dan kewajiban

secara proporsional. Secara ekonomi bahwa pendidikan merupakan

human capital investment yang berarti pengetahuan, keterampilan dan

etos kerja yang dibentuk melalui proses pendidikan berkorelasi positif

bagi peningkatan penghasilan dan kesejahteraan. Kemudian dari

perspektif filosofis, pendidikan merupakan upaya humanisasi yang

sesungguhnya. Melalui pendidikan maka manusia dibentuk,

dikonstruksikan dan diarahkan menjadi manusia yang sesungguhnya

(humanized human being), makhluk rasional yang memiliki dan

memahami nilai humanitas yang berlaku secara universal. Dari perspektif

agama, pendidikan ditempatkan pada posisi tertinggi karena fungsinya

yang membentuk perilaku sesuai ajaran Tuhan yang diimani.37 Dengan

kata lain, keyakinan (iman) akan Allah yang mengasihi manusia

mestinya mendorong tindakan nyata untuk mewujudkan nilai-nilai

kehidupan dan mengupayakan kesejahteraan hidup bersama. Pendidikan

humanistik menyasar ke tujuan ini.

37 Brigida Intan Printina (edit.), Membumikan Moral dan Cita Benih Bangsa

(Yogyakarta: Deepublish, 2019), 5-6.

Page 23: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

116 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

Respon Bagi Pendidikan Masa Depan: Alternatif Solusi

Carut marutnya kenyataan hidup berbangsa dan bernegara, ketika

sebagian besar masyarakat kehilangan kesadaran berbangsa dan

pengamalan nilai-nilai luhur Pancasila, perhatian mesti diarahkan

kembali pada hal substansial yaitu pendidikan secara khusus pendidikan

yang humanis. Namun begitu, konsep humanistik tidak boleh dibatasi

pada jenjang pendidikan dasar (seperti gagasan Romo Mangun)

melainkan diaplikasikan berkesinambungan selama individu mengenyam

pendidikan. Penguatan pendidikan humanistik di bangku pendidikan

dasar sangat penting. Namun tidak berarti berhenti di jenjang itu. Akan

sangat baik jika senantiasa diteruskan dari SD berlanjut ke Perguruan

Tinggi terutama mengingat orientasi pendidikan kini yang cenderung

menekankan ideologi pragmatis-materialistik demi daya saing di pasar

global.

Pendidikan a la Mangunan adalah model pendidikan yang

mengasah otak, hati dan tangan yang mesti diaplikasikan ke dalam

pendidikan Indonesia dewasa ini. Pergeseran oleh karena distorsi-distorsi

kapitalis merupakan alasan logis terkikisnya spirit humanistik (spirit

Mangunan, spirit Pancasila) dalam pendidikan kini. Maka

mengembalikan hakikat sejati pendidikan, pendidikan yang humanis

adalah urgensi. Jika pemerintah tidak ingin mengakhiri pendidikan yang

berorientasi pragmatis-materialistik (sebuah nilai yang dibawa ideologi

pasar) setidaknya penguatan nilai-nilai humanistik dalam pendidikan

perlu selalu diajarkan dan dipraktekan. Kuatnya paradigma pragmatis-

materialistik yang merubah kiblat pendidikan harus membenturkan kita

kembali pada persoalan eksistensial dasar pendidikan: hakikat dan nilai

untuk kemanusiawian. Maka kepada pegiat dan pemerhati pendidikan,

tidak keliru, untuk memperkuat nilai-nilai humanistik Mangunan yang

diterjemahkan secara baru.

Pertama, dialektika: dialog nilai dan pengalaman. Dialektika

seharusnya tidak terhambat oleh ruang kelas bahkan kurikulum.

Lembaga pendidikan perlu mendialogkan nilai dan pengalaman karena

internalisasi ilmu semakin tereduksi ketika, misalnya, perkuliahan

jurusan kelautan dan kehutanan lebih banyaknya berproses ruang kelas.

Page 24: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 117

Atau dengan contoh lain, perkuliahan mata kuliah ekonomi sepenuhnya

dilakukan di ruang kelas melalui teori-teori tanpa dipadukan dengan

praktek di lapangan. Dalam artian, praktek tidak dibatasi hanya pada saat

PKL (Praktek Kerja Lapangan) yang biasanya dilakukan di semester

terakhir. Pendidikan mestinya bersifat kontekstual yang berangkat dari

keragaman realitas bukan dari keragaman rumus yang disosialisasikan di

ruang kelas. Proses belajar di lapangan perlu dilakukan dalam jadwal

yang teratur dan rutin.

Kedua, pembelajaran berbasis live in. Mengadopsi pembelajaran

berbasis live in dalam dunia pendidikan dewasa ini bukan hal mustahil.

Peserta didik akan belajar “menerima dan memberi” diri sebagai bagian

sebuah keadaban masyarakat. Maka tidak harus menunggu kuliah kerja

lapangan namun fleksibilitas pembelajaran perlu memberikan jadwal

rutin kegiatan live in bagi peserta didik (SMA-Perguruan Tinggi) di

tempat sebagaimana disepakati bersama di sekolah. Ini sangat membantu

perkembangan afeksi dan psikomotorik siswa atau mahasiswa. Bukan

hanya semata-mata karena pengalaman Romo Mangun yang hidup di

tengah warga Kali Code, Grigak dan Kedung Ombo, atau ideologi

pendidikan dari Paulo Freire, atau kritikan Nuryanto terhadap ideologi

pasar. Tetapi karena kultur kehidupan kaum pelajar dewasa ini cenderung

memperlihatkan gelagat apatis sosial: gadget dan game online lebih

memikat ketimbang sosialisasi individu. Kecenderungan yang menjadi

fakta yang tak bisa diingkari.

Ketiga, sekolah dan kampus perlu memiliki kebijakan untuk

menyertakan mata pelajaran dan mata kuliah filsafat terutama Etika

dalam kriteria dan porsi yang sesuai dengan jenjang pendidikan. Menurut

hemat penulis, menyertakan subyek Etika ke dalam jenjang sekolah

maupun universitas sangatlah urgen selain mata pelajaran atau mata

kuliah Kewarganegaraan atau Agama. Dengan kata lain, semua lembaga

pendidikan baik itu sekolah dan sekolah tinggi atau universitas yang ada

di Indonesia diwajibkan memasukan Etika sebagai mata pelajaran atau

mata kuliah umum tanpa terkecuali, tak dibatasi hanya pada fakultas-

fakultas filsafat dan budaya.

Page 25: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

118 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

Keempat, pemerintah harus mengakomodasi ketiga usulan di atas

dalam kebijakan kurikulum dalam pasal khusus yang mengatur sehingga

semua lembaga pendidikan merasa penting (wajib) untuk melakukannya.

Selain dimuat ke dalam pasal khusus, pemerintah perlu

mempertimbangkan bantuan alokasi dana. Pemerintah berkewajiban

dalam komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional. Dana

dapat diambil dari dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam atau

dana-dana hasil korupsi. Untuk lembaga pendidikan yang melanggar atau

misalnya menyimpang, tanpa ragu-ragu, diberi tindakan tegas.

Kelima, solusi sistemik. Terdengar sangat radikal dan mustahil

namun apabila dirasa urgen dengan pertimbangan menyelamatkan sistem

pendidikan Indonesia, untuk dikembalikan ke pendidikan yang

humanistik (juga berdasarkan Pancasila) pemerintah dapat mengubah

sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan.

PENUTUP

Humanisasi sebagai kerangka besar visi pendidikan Mangunwijaya pada

akhirnya bermuara pada kemanusian yang holistik-integral yang mampu

mengedepankan nilai etis-humanistik ketimbang pragmatis-materialistik.

Dengan demikian, dunia pendidikan modern di Indonesia mesti tetap

mengusung konsep pendidikan humanistik Mangunwijaya jika ingin

tetap menjadi tempat bagi pembangunan humanisme di tanah air, dimana

warga bangsa mengalami transformasi eksistensi yang radikal.

Dengan mengacu pada Mangunwijaya, maka kita akan

mendapatkan kesimpulan bahwa pendidikan yang memanusiakan pada

hakikatnya akan membantu peserta didik mengembangkan nuraninya,

kesadaran kebangsaan sebagai bagian dari keadaban Indonesia.

Karenanya menurut hemat penulis, konteks pembelajaran Mangunan

adalah respon tepat atas distorsi pendidikan dewasa ini yaitu ideologi

pasar yang mengedepankan nilai pragmatis-materialistik demi persaingan

global.

Konsep humanistik Mangunwijaya tetap menjadi wawasan

futuristik dan antisipatoris. Dengan demikian, sangat tidak keliru, bagi

seluruh pegiat pendidikan baik formal maupun informal menghidupkan

Page 26: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 119

Mangunan ke dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini melalui

upaya mendialogkan nilai dan pengalaman, belajar berbasis live in,

pelajaran atau mata kuliah filsafat-etika, kebijakan kurikulum dan solusi

sistemik. Kiranya pendidikan humanistik selalu menginspirasi

transformasi pendidikan kita guna menghasilkan manusia-manusia

Indonesia yang bermartabat: menjadi manusia yang utuh.

DAFTAR PUSTAKA

Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3S, 2008.

Mangunwijaya, Y.B. Pendidikan Pemerdekaan: Catatan Separuh

Perjalanan SDK Eksperimen Mangunan. Yogyakarta: Dinamika

Edukasi Dasar, 2004.

Nuryanto, M. Agus. “Urgensi Filsafat Pendidikan Dalam Pusaran

Pragmatisme” dalam Pendidikan Posmodernisme Mukhrizal Arif,

dkk. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014.

Pradipto, Yosef Dedy. Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional: Kontestasi

kekuasaan Dalam Pendidikan Dasar. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Printina, Brigida Intan (edit.)., Membumikan Moral dan Cita Benih

Bangsa. Yogyakarta: Deepublish, 2019.

Rose K.R (edit.), Pendidikan Posmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media, 2014.

Rudhito, M. Andy (edit.),. Pendidikan yang Memerdekakan: Belajar dari

Romo Mangun, Kang Din dan Pengalaman. Yogyakarta:

Garudhawaca, 2020

Syahrani. Humanisasi Dalam Administrasi Dan Manajemen Pendidikan.

Yogyakarta: Global Press, 2017.

Zuchdi, Darmiyati. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara,

2009.

Page 27: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

120 MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK

Jurnal

Afifah, Nurul. “Problematika Pendidikan di Indonesia Telaah dari Aspek

Pembelajaran. Elementary, (Vol.I edisi 1 Januari, 2015), 42

Dewi, Eva. “Potret Pendidikan Di Era Globalisasi: Teknosentrisme dan

Proses Dehumanisasi.” SUKMA: Jurnal Pendidikan Vol. 3 Issue 1,

2019), 96.

Istiarsono, Zen. “Tantangan Pendidikan Dalam Era Globalisasi: Kajian

Teoritik.” Jurnal Intelegensia, Volume 1, Nomor 2 (2017).

Madekhan. “Fungsi Pendidikan Dalam Perubahan Sosial Kontemporer.”

Reforma: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Vol. 9, No.

1(2020), 55.

Nuryanto, M. Agus. “Kritik Budaya Akademik di Pendidikan Tinggi.”

The Journal of Society and Media Vol. I, Nomor 1, (2017).

Samrin. “Kapitalisme dan Pendidikan Liberal-Kapitalistik.” Shautut

Tarbiyah, Ed. Ke 33, Th. XXI, (November 2015), 137.

Wattimena, Reza A. A. “Pendidikan Manusia-Manusia Demokratis

Filsafat Pendidikan Noam Chomsky Relevansi Serta

Keterbatasannya Pada Konteks Indonesia.” Arete: Jurnal Filsafat,

Vol. 1, No. 2, (2012), 158.

Wattimena, Reza A. A. “Pendidikan Manusia-Manusia Demokratis

Filsafat Pendidikan Noam Chomsky Relevansi Serta

Keterbatasannya Pada Konteks Indonesia.” Arete: Jurnal Filsafat,

Vol. 1, No. 2, (2012), 158.

______________, “Pedagogi Kritis: Pemikiran Henry Giroux Tentang

Pendidikan dan Relevansinya Untuk Indonesia.” Jurnal Filsafat,

Vol. 28, No. 2 (2018), 189.

Media Sosial

Ahad. “Sosiolog: Ideologi Pasar dalam Pendidikan Tak Tepat.”

Republika, 20 April 2014. Dikutip dari https://republika.co.id/berita

/sepakbola/liga-indonesia/14/04/20/n4bm0h-sosiolog-ideologi-

Page 28: MERESPON NILAI PRAGMATIS-MATERIALISTIK PENDIDIKAN ...

STULOS: JURNAL TEOLOGI 121

pasar-dalam-pendidikan-tak-tepat. Diakses pada Selasa, 02 Maret

2021, Pukul 14:33.

Asmarani, Ni Nyoman Oktaria. “Filsafat Pendidikan Y.B. Mangunwijaya

Dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia.” Paper Fakultas

Filsafat UGM, (Maret 7, 2018), 14. Dikutip dari

https://osf.io/preprints/inarxiv/7nf4d/. Diakses pada Kamis, 26

November 2020, Pukul 16:36.

Danang T.P, “Awas Bahaya Pendidikan” LFS Cogito, (2015) dikutip dari

http://lsfcogito.org/awas-bahaya-pendidikan/ diakses pada Senin, 8

Desember 2020.