-
MENINJAU SISTEM IE DAN FENOMENA-FENOMENA
DALAM KELUARGA DI JEPANG PASCA PERANG DUNIA II
DAN DAMPAKNYA BAGI MASA DEPAN JEPANG
Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata
kuliah
Politik Pemerintahan Jepang
Dosen pengampu: Yusi Widarahesty, S.S., M.Si.
Oleh:
Nadia Sarah Azani
0801511002
HI A 2011
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA
2014
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Jepang adalah salah satu negara dengan pengaruh budaya yang
kuat, dilihat dari
tinjauan sejarah peradaban Jepang yang cukup kompleks. Budaya
Jepang menjadi salah
satu jalan Jepang berkembang sebagai satu dari sekian negara
maju di dunia.
Salah satu hal yang menarik dari budaya Jepang adalah sistem
keluarga yang dikenal
dengan sistem Ie. Sistem ini telah ada sejak zaman feodal, yaitu
tepatnya di Zaman Edo
(1600-1868). Akan tetapi, di zaman itu sistem Ie hanya
diberlakukan bagi kalangan
bangsawan dan samurai.1 Sistem Ie merupakan sistem yang mengatur
aturan kehidupan
keluarga di Jepang. Secara harfiah, Ie berarti keluarga, tetapi
konsep keluarga di sini tidak
hanya sebatas hubungan darah saja. Kerabat dekat bahkan seorang
pengikut (pembantu)
yang setia dan telah lama mengabdi di keluarga dapat termasuk ke
dalam sistem Ie.2
Terdapat dua faktor yang melahirkan sistem Ie, yaitu kesatuan
keluarga yang bersifat
patrilinieal dan kesatuan shinzoku yang berpusat pada suami dan
istri. Shinzoku adalah
hubungan kekerabatan yang terjadi dalam masyarakat Jepang antara
ego dengan kerabat
lainnya, baik bersifat ketsuzoku (hubungan darah yang sama) dan
hubungan inzoku
(hubungan darah yang terjadi antara ego dengan kerabat
pasangannya).3
Menurut Satoshi Sakata, sistem Ie adalah kerangka sosial yang
dirancang untuk
meneruskan generasi ke generasi, di mana sebuah tempat tinggal
keluarga, nama keluarga,
dan bisnis keluarga diwariskan dari ayah ke anak tertua
sepanjang garis paternal yang
dapat meluas untuk generasi selanjutnya.4 Anak tertua
(laki-laki) akan menjadi pemimpin
1 Sri Setyo Yogayanti, Skripsi: Hubungan Antara Perubahan
Nilai-Nilai Terhadap Keluarga, Anak, dan
Pernikahan Pasca Perang Dunia II dengan Perubahan Persepsi
Perempuan Jepang Terhadap Perceraian dalam
Masyarakat Jepang Kontemporer, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Program Studi Jepang, Universitas
Indonesia, 2012, hlm. 2 2 Ibid. 3 NN, Gambaran Umum Mengenai
Keluarga Ie, dikutip dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37191/3/Chapter%20II.pdf,
diakses 3 Februari 2014, hlm. 2 4 Satoshi Sakata, Historical Origin
of the Japanese Ie System, dikutip dari
http://www.yomiuri.co.jp/adv/chuo/dy/opinion/20130128.htm,
diakses 3 Februari 2014
-
2
keluarga yang dikenal dengan sebutan kachou.5 Dengan begitu,
segala warisan akan jatuh
ke tangannya termasuk sistem kepemimpinan yang akan
diteruskan.
Pada era Restorasi Meiji, pemerintah Meiji mengeluarkan hukum
perdata yang
dikenal dengan Meiji Minpou atau Undang-Undang Sipil Meiji, pada
1896. Dalam hukum
ini, sistem Ie yang sebelumnya hanya berlaku untuk kalangan
bangsawan dan samurai,
mulai diberlakukan untuk seluruh lapisan masyarakat.6 Hal ini
tak lain merupakan upaya
untuk mengejar ketertinggalan dengan dunia Barat, serta, sitem
keluarga ini merupakan
ideologi politik di masa pemerintahan Meiji.7 Setelah
diberlakukannya, sistem Ie semakin
menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan. Salah satu yang
mengikat adalah struktur
chokkei kazoku, yang menjadi struktur dominan di era Meiji.
Struktur chokkei kazoku yaitu
keluarga tiga generasi tinggal di bawah satu atap menjadikan
nilai Ie bersifat family
oriented.8 Di masa ini, keturunan adalah hal yang sangat
dinanti, tujuannya untuk
meneruskan keluarga. Karena itulah pada masa ini pernikahan
meningkat. Menikah,
seperti di Zaman Edo, dinilai sebagai harapan terbesar kaum
wanita. Sesuai dengan era
Meiji yang berorientasi kepada kemajuan bangsa Jepang,
pernikahan dan keturunan
(terutama laki-laki) dianggap sebagai suatu keharusan untuk nama
baik keluarga dan
Jepang.
Tetapi, pasca Perang Dunia II, terutama dengan fenomena
perkembangan ekonomi
yang meningkat drastis di Jepang, beberapa nilai-nilai dalam
sistem Ie ini cenderung
berubah. Perubahan tersebut bahkan mengarah kepada hal yang
krusial, terkait dengan
masa depan bangsa Jepang itu sendiri. Perubahan yang signifikan
terjadi semenjak
penghapusan Meiji Minpou secara hukum pada 1947.9
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, dalam penelitian ini
permasalahan akan
difokuskan kepada bagaimana sistem Ie pasca Perang Dunia II
serta fenomena yang terjadi
terkait dengan keluarga di Jepang dan apa dampaknya bagi masa
depan Jepang?
5 Ibid. 6 Sri Setyo Yogayanti, Op.Cit. hlm. 11 7 Ibid. 8 Ibid. 9
Ibid.
-
3
1.3. Kerangka Teori
1.3.1. Modernisasi
Teori Modernisasi muncul pasca Perang Dunia II, yaitu pada saat
Amerika
terancam kehilangan lawan dagang sehingga terjadi kejenuhan
pasar dalam negeri. Dari
keterlibatan Amerika inilah negara-negara Eropa yang porak
poranda seusai perang
mulai bangkit dari keterpurukannya, keterlibatan ini tidak hanya
menolong negara-
negara Eropa, tetapi di balik itu justru banyak memberikan
keuntungan yang lebih bagi
Amerika itu sendiri.10 Pada perkembangannya kemudian,
keberhasilan pembangunan
yang diterapkan pada negara-negara di Eropa ini memberikan
pemikiran lanjut untuk
melakukan ekspansi pasar ke negara-negara dunia ketiga, dan
banyak memberikan
bantuan untuk pembangunannya. Dalam kenyataannya, keberhasilan
yang pernah
diterapkan di Eropa, ternyata banyak mengalami kegagalan di
negara-negara dunia
ketiga. Penjelasan tentang kegagalan ini memberikan inspirasi
terhadap sarjana-sarjana
sosial Amerika, yang kemudian dikelompokkan dalam satu teori
besar, dan dikenal
sebagai teori Modernisasi.11
Asumsi dasar dari teori modernisasi mencakup: (1) Bertolak dari
dua kutub
dikotomis yaitu antara masyarakat modern (masyarakat
negara-negara maju) dan
masyarakat tradisional (masyarakat negara-negara berkembang);
(2) Peranan negara-
negara maju sangat dominan dan dianggap positif, yaitu dengan
menularkan nilai-nilai
modern disamping memberikan bantuan modal dan teknologi. Tekanan
kegagalan
pembangunan bukan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal
melainkan internal; (3)
Resep pembangunan yang ditawarkan bisa berlaku untuk siapa,
kapan dan dimana
saja.12
Modernisasi dimulai di Italia pada abad ke-15 dan tersebar ke
sebagian dunia Barat.
Manifesto proses modernisasi pertama kali terlihat di Inggris
dengan meletusnya
revolusi industri pada abad ke-18, yang mengubah cara produksi
tradisional ke
modern.13 Modernisasi menimbulkan pembaharuan dalam kehidupan.
Di bidang
ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks industri yang
besar, di mana
produksi barang konsumsi dan sarana dibuat secara missal.
Sedangkan di bidang
10 Andre Gunder Frank, penerj. Arif Budiman, Sosiologi
Pembangunan Dan Keterbelakangan Sosiologi, Jakarta:
Pustaka Pulsar, 1984, hlm. ix 11 Ibid. 12 Ibid. 13 Elly M.
Setiadi et.al., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana,
2011, hlm. 57
-
4
politik, dikatakan bahwa ekonomi yang modern memerlukan adanya
masyarakat
basional dengan integrasi yang baik.14
Menurut Koentjaraningrat, modernisasi merupakan usaha
penyelesaian hidup
dengan konstelasi dunia sekarang ini. Hal itu berarti bahwa
untuk mencapai tingkat
modern haruslah berpedoman kepada dunia sekitar yang mengalami
kemajuan.
Modernisasi telah dilandasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak hanya
bersifat fisik material saja, melainkan dengan dilandasi oleh
sikap mental yang
mendalam.15
1.3.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi Walt Whitman Rostow
WW Rostow memaparkan bahwa proses pembangunan ekonomi bisa
dibedakan ke
dalam lima tahap yaitu masyarakat tradisional (traditional
society), prasyarat untuk
tinggal landas (the preconditions to take off), menuju
kedewasaan (the drive to
maturity), dan masa konsumsi tinggi (the age of high
mass-consumption).16
Dasar pembedaan proses pembangunan ekonomi menjadi lima tahap
tersebut ialah
karakteristik perubahan keadaan ekonomi, sosial, dan politik
yang terjadi.
Pembangunan ekonomi atau proses transformasi suatu masyarakat
tradisional menjadi
masyarakat modern merupakan suatu proses yang multi-dimensional.
Pembangunan
ekonomi bukan berarti perubahan struktur ekonomi suatu negara
yang ditunjukkan oleh
menurunnya peranan sektor pertanian dan peningkatan sektor
industri saja.17
Menurut Rostow, disamping perubahan seperti itu, pembangunan
ekonomi berarti
pula sebagai suatu proses yang menyebabkan antara lain:18
perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan sosial yang
pada
mulanya berorientasi kepada suatu daerah menjadi berorientasi ke
luar.
perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam
keluarga,
yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi keluarga kecil.
14 Ibid, hlm 57. 15 Ibid. 16 WW. Rostow, The Stages of Economic
Growth (1960), dalam NN, Teori Pertumbuhan dan Pembangunan
Ekonomi, dikutip dari
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/ekonomi_pembangunan/bab_3_teori_pertumbuhan_dan_pembangun
an_ekonomi.pdf diakses 4 Februari 2014 17 Ibid. 18 Ibid.
-
5
perubahan dalam kegiatan investasi masyarakat, dari melakukan
investasi
yang tidak produktif (menumpuk emas, membeli rumah, dan
sebagainya)
menjadi investasi yang produktif.
perubahan sikap hidup dan adat istiadat yang terjadi kurang
merangsang
pembangunan ekonomi (misalnya penghargaan terhadap waktu,
penghargaan terhadap pertasi perorangan dan sebagainya).
Pembangunan dalam arti proses, diartikan sebagai modernisasi
yakni pergerakan
dari masyarakat pertanian berbudaya tradisional ke arah ekonomi
yang berfokus pada
rasional, industri, dan jasa. Pembangunan, dalam arti tujuan,
dianggap sebagai kondisi
suatu negara yang ditandai dengan adanya: a) kemampuan konsumsi
yang besar pada
sebagian besar masyarakat, b) sebagian besar non-pertanian, dan
c) sangat berbasis
perkotaan.19 Sebagai bagian dari teori modernisasi, teori ini
mengkonsepsikan
pembangunan sebagai modernisasi yang dicapai dengan mengikuti
model kesuksesan
Barat. Para pakar ekonomi menganggap bahwa teori pertumbuhan
ekonomi ini
merupakan contoh terbaik dari apa yang diistilahkan sebagai
teori modernisasi.20
19 Ibid. 20 Ibid.
-
6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sistem Ie dan Nilai-Nilai Keluarga Pasca Perang Dunia
II
Disebutkan secara singkat sebelumnya, bahwa sistem Ie di era
Meiji semakin
dilanggengkan sejak diberlakukannya Undang-Undang Sipil Meiji
(Meiji Minpou). Sistem
Ie tidak hanya mengikat kaum bangsawan dan samurai, tetapi juga
ke seluruh masyarakat
hingga ke wilayah pedesaan. Dalam sistem Ie, sosok ayah, suami,
dan anak laki-laki tertua
sangat dihormati. Hal itu disebabkan oleh sistem Ie yang
bersifat patriarki. Karena itu,
peran perempuan di dalam keluarga hanya sebagai pengurus rumah
tangga. Kedudukan
laki-laki (suami) lebih tinggi dibandingkan perempuan (istri).21
Di dalam kebiasaan
masyarakat Jepang tradisional, perempuan harus menghormati ayah,
suami, dan anak laki-
laki tertuanya. Secara garis keluarga, seorang perempuan yang
menikah akan terputus
dengan sistem Ie di keluarganya. Setelah menikah ia akan
terhubung dengan garis keluarga
suaminya.22
Dalam sistem Ie, anak (terutama anak laki-laki) merupakan suatu
keharusan untuk
melestarikan Ie dan nama keluarga. Anak laki-laki selain menjadi
pelestari keluarga, ia
juga sebagai pewaris utama ekonomi keluarga maupun sistem
kepemimpinan Ie. Karena
itu, seorang istri yang tidak memiliki anak selama tiga tahun,
ia diharuskan pergi
meninggalkan rumah.23 Pewaris sistem Ie tidak harus dari anak
kandung, tetapi keluarga
yang tidak memiliki anak laki-laki dapat mengadopsi anak
laki-laki dari kerabat lain untuk
mewariskan Ie keluarganya.24
Pasca Perang Dunia II, yaitu pada tahun 1947, diberlakukan
Undang-Undang Showa
(Shin Minpo) untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Meiji yang
berlaku
sebelumnya. Salah satu dampak dari pergantian undang-undang ini
adalah dihapuskannya
sistem Ie.25 Penghapusan sistem Ie ini kemudian mengubah
struktur chokkei kazoku
menjadi kaku kazoku atau keluarga batih yaitu keluarga inti yang
terdiri dari ayah, ibu,
21 Yoshio Sugimoto, An Introduction to Japanese Society,
Cambridge University Press: 1993, hlm. 167 22 Ochiai Emiko, The
Japanese Family System in Transition: A Sociological Analysis of
Family Change in
Postwar Japan, Tokyo: 1994, hlm. 99 23 Sri Setyo Yogayanti,
Op.Cit. 24 Ibid. 25Ekayani Tobing, Keluarga Tradisional Jepang
Dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial, Depok: ILUNI
KWJ, 2006, hlm. 40
-
7
anak (yang belum menikah). Chokkei kazoku sudah mulai jarang
terdapat di struktur
keluarga Jepang.26
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perubahan struktur
keluarga menjadi
kaku kazoku, antara lain penghapusan sistem Ie oleh
undang-undang, perubahan
masyarakat agraris menjadi industrialis, terjadinya urbanisasi,
terbukanya kesempatan
untuk mengenyam pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat
terutama perempuan.27
Selain itu, perubahan struktur keluarga Jepang menjadi keluarga
batih juga dipengaruhi
oleh mahalnya harga rumah yang mendekati tujuh kali pendapatan
tahunan. Oleh karena
itu, bentuk rumah Jepang juga mengalami perubahan dari rumah
tradisional yang mampu
menampung beberapa generasi menjadi apartemen dan rumah-rumah
modern yang hanya
mampu menampung keluarga inti.28
Perubahan struktur keluarga tersebut kemudian berimbas kepada
perubahan terhadap
nilai-nilai, seperti nilai-nilai terhadap keluarga, pernikahan,
anak, dan perceraian.29
Perubahan yang mendasar terhadap keluarga adalah, dari sistem
yang bersifat family
oriented di struktur chokkei kazoku menjadi individualistic
oriented. Kepentingan individu
lebih diutamakan dibanding kepentingan keluarga. Kepala keluarga
tidak lagi sebagai
pengatur dan paling berhak memutuskan suatu keputusan yang
menyangkut anggota
keluarga yang lain.30 Anak bukan lagi dianggap sebagai suatu
keharusan, malah mulai
dianggap sebagai beban ekonomi. Bukan itu saja, dalam pernikahan
pun, yang sebelum
Perang Dunia II dianggap sebagai kebahagiaan kaum perempuan,
kini dianggap sebagai
belenggu kebebasan. Banyak pemuda Jepang, baik laki-laki maupun
perempuan, menunda
pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah sama
sekali.31 Pada masa
tradisional, pernikahan diberlangsungkan atas dasar perjodohan
atau miai kekkon,
sementara setelah begesernya nilai-nilai mengenai pernikahan, di
samping pernikahan
yang terlambat atau tidak menikah sama sekali, miai kekkon sudah
jarang berlaku. Kini
pada umunya adalah renai kekkon atau pernikahan yang didasari
atas pilihan sendiri.32
26 Anne E Imamura, The Japanese Family, 1990, dikutip dari
http://www.exeas.org/resources/pdf/japanese-
family-imamura.pdf, diakses 4 Februari 2014, hlm. 2 27 Ekayani
Tobing, Op.Cit. 28 Anne E Imamura, Op.Cit. 29 Sri Setyo Yogayanti,
Op.Cit. 30 Ibid. hlm. 19 31 Ibid. hlm. 19-21 32 Ibid.
-
8
Pada dasarnya, perubahan-perubahan nilai dalam keluarga yang
dikemukakan
tersebut tidak terlepas dari transformasi Jepang menjadi dunia
modern yang
menitikberatkan kepada kebijakan pembangunan ekonomi pasca
Perang Dunia II. Faktor-
faktor ekonomi yang berkaitan dengan perubahan nilai terhadap
keluarga ini tidak terlepas
dari fenomena-fenomena yang terjadi di bidang ekonomi Jepang.
Pada awal tahun 1950-
an, kehancuran ekonomi Jepang akibat Perang Dunia II mulai pulih
seiring dengan turut
sertanya Jepang dalam Perang Korea, yang bukan dalam bidang
militer. Kebangkitan
ekonomi Jepang itu membuatnya menjadi negara dengan GDP kedua
terbesar di dunia
pada 1967.33 Pada tahun 1989, Jepang kemudian mencapai bubble
economy, di mana
pencapaian ekonomi mengalami peningkatan yang drastis.34
Meningkatnya ekonomi Jepang membuat para pekerja Jepang
khususnya laki-laki
meningkatkan loyalitas yang besar pada perusahaan/organisasi
yang disebut dengan
salaryman. Sistem Ie, meskipun telah dihapuskan, pada dasarnya
telah berpengaruh di
masyarakat Jepang yang kemudian berpengaruh pula pada ekonomi
Jepang. Sebagai
akibatnya, sistem ekonomi Jepang melalui organisasi ekonomi
mengatur cara hidup orang
Jepang. Karenanya, sebagian besar laki-laki di Jepang
mendasarkan hidup mereka pada
pekerjaan, khususnya pada perusahaan tempatnya bekerja.35
Kemajuan ekonomi Jepang kemudian menyebabkan terjadinya
urbanisasi, yang
membuat masyakarat pedesaan yang berprofesi petani
berbondong-bondong menjadi
pekerja di pusat-pusat industrialisasi perkotaan seperti Tokyo
dan Osaka.36 Urbanisasi
juga menjadi faktor pembubaran keluarga dengan struktur chokkei
kazoku menjadi kaku
kazoku atau bahkan tanshin setai.37 Peningkatan urbanisasi
terjadi pasca Perang Dunia II,
khususnya antara tahun 1960 dan 1974, hal ini karena banyaknya
permintaan untuk tenaga
kerja di daerah perkotaan.38 Pada periode ini keluarga chokkei
kazoku semakin menurun
dan menyebabkan berubahnya arah sistem kekeluargaan menjadi
lebih individualistik.
33 Mukai Motonobu, Modernization and Divorce in Japan, Marshal
University, 2004, hlm. 36 34 Ibid. 35 Ibid. hlm. 44 36 Ibid. 37
Perubahan chokkei kazoku menjadi kaku kazoku dan tanshin setai:
chokkei kazoku misalnya terdiri dari kakek-
nenek, ayah-ibu, dan anak yang belum menikah, kemudian
memutuskan untuk tidak lagi tinggal bersama maka
akan menghasilkan dua kaku kazoku (kakek-nenek dan
ayah-ibu-anak). Jika anak yang belum menikah tersebut
kemudian memutuskan untuk tinggal sendiri maka disebut dengan
tanshin setai. 38 Ibid.
-
9
2.2. Fenomena dalam Keluarga di Jepang Kontemporer
Dengan adanya penghapusan sistem Ie pasca Perang Dunia II dan
fenomena
kemajuan ekonomi di Jepang yang berpengaruh kepada perubahan
nilai-nilai keluarga dari
struktur keluarga chokkei kazoku menjadi kaku kazoku dan tanshin
setai, fenomena-
fenomena yang terjadi terkait dengan keluarga tidak berakhir
sampai di sini. Terdapat
fenomena-fenomena masyarakat Jepang kontemporer yang merupakan
imbas dari
perubahan-perubahan yang telah disebutkan sebelumnya. Fenomena
masyarakat Jepang
kontemporer ini terjadi secara signifikan, dan bahkan bukan
tidak mungkin akan
mengubah masa depan Jepang seutuhnya.
2.2.1. Koureika Shakai
Salah satu fenomena masyarakat Jepang kontemporer adalah
fenomena koureika
shakai, yaitu tingginya populasi lansia disebabkan semakin
tingginya angka harapan
hidup.39 Jepang adalah negara dengan angka harapan hidup
tertinggi di dunia, yaitu 86,4
tahun untuk wanita dan 79,6 tahun untuk pria.40
Faktor-faktor penyebab fenomena koureika shakai adalah dengan
bergesernya
chokkei kazoku menjadi kaku kazoku. Meningkatnya keluarga inti
dan berkurangnya
keturunan serta tingginya usia harapan hidup membuat populasi
lansia meninggi. Sejak
tahun 1975, usia harapan hidup di Jepang bertambah panjang,
tingkat kesehatan
meningkat, dan jumlah lansia yang memerlukan perawatan pun
meningkat.41
Akibat dari perubahan nilai dari family oriented menjadi
individualistic oriented,
serta berubahnya chokkei kazoku menjadi kaku kazoku, banyak para
lansia yang hidup
sendiri. Dikarenakan usia yang berlanjut, para lansia
membutuhkan perawatan yang
cukup panjang mengingat usia yang panjang pula. Dengan begitu,
biaya perawatan
membesar dan masalah perawatan lansia ini telah menjadi salah
satu masalah utama di
Jepang.42
39 Sherlina Evangela, Skripsi: Representasi Fenomena Shoushika
dalam Drama Televisi Jepang: Studi Kasus
Drama Umareru dan Watashi Ga Renai Dekinai Riyuu, Fakultas Ilmu
Budaya, Program Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok: 2012,
hlm. 2 40 Ibid. 41 NN, dikutip dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37838/3/Chapter%20II.pdf,
diakses 5
Februari 2014 42 Ibid.
-
10
Adanya jaminan berupa biaya pensiun dari pemerintah (nenkin)
yang membuat para
lansia dapat memenuhi biaya perawatan. Dana pensiun ini berasal
dari biaya premi yang
dibayarkan kepada pemerintah selama seseorang masih berada pada
masa produktif,
atau ketika masih bekerja.43
Masalah lain yang timbul dari koureika shakai yang hidup sendiri
adalah
munculnya fenomena dying alone atau kodokushi. Kehidupan yang
menyendiri
membuat para lansia kesepian dan tidak jarang dari mereka yang
mengalami depresi.
Banyak di antaranya yang akhirnya mengalami ketergantungan
alkohol, sebagian lagi
ditemukan meninggal karena kelaparan, kekurangan gizi atau sakit
lever. Selain itu, di
dalam kasus-kasus kodokushi yang ditemukan, banyak yang
merupakan kasus bunuh
diri.44 Menurut Biro Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan
Masyarakat di Tokyo, tahun
2010 lalu, 4,6 juta lansia tinggal sendirian di seluruh Jepang,
dan jumlah orang yang
meninggal di rumah meningkat 61% yaitu sebanyak 1.364 menjadi
2.194 dalam kurun
waktu antara 2003 dan 2010.45
Pemerintah Jepang berupaya mengatasi masalah lansia dengan
melakukan langkah-
langkah perbaikan di antaranya adalah pembentukan program kokoro
no kea (mental
care centre), program kunjungan ke rumah-rumah yang meliputi
pelayanan kesehatan
dan konsultasi psikologi.46 Terkait penanggulangan permasalahan
kodokushi,
pemerintah daerah melakukan kerja sama dengan sejumlah kelompok
antara lain kantor
Japan Post untuk memeriksa kondisi para lansia, meningkatkan
hubungan antar manusia
dan memperbaiki kehidupan mereka. Para tukang pos akan
menyerahkan kartu ucapan
sekali satu bulan kepada para lansia berusia di atas 65 tahun
sekaligus memeriksa
keberadaan mereka.47
43 Ibid. 44 Sri Dewi Adriani, Dampak Peningkatan Jumlah Lansia
Terhadap Munculnya Fenomena Sosial Kodokushi (Dying Alone) (Studi
Kasus Pada Gempa Bumi Kobe 1995), dikutip dari
http://japanese.binus.ac.id/2013/12/14/dampak-peningkatan-jumlah-lansia-terhadap-munculnya-fenomena-
sosial-kodokushi%E5%AD%A4%E7%8B%AC%E6%AD%BBdying-alone-studi-kasus-pada-gempa-bumi-
kobe-1995/ diakses 5 Februari 2014 45 NN, Jepang Upayakan Cegah
Lansia Meninggal dalam Kesepian, 3 Agustus 2011, dikutip dari
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/08/03/lpcsaj-jepang-upayakan-cegah-lansia-
meninggal-dalam-kesepian, diakses 5 Februari 2014 46 Sri Dewi
Adriani, Op.Cit. 47 Republika, Op.Cit.
-
11
2.2.2. Bankonka
Bankonka merupakan sebutan bagi gejala pernikahan di usia lanjut
atau gejala
pernikahan yang terlambat, didasari oleh pilihan untuk menunda
pernikahan.48
Fenomena ini tidak hanya terjadi kepada laki-laki saja, tetapi
juga kepada perempuan
Jepang.
Hal yang mendasari terjadinya bankonka tidak lepas dari
konstitusi baru Jepang
tahun 1947 yang salah satunya, selain menghapus sistem Ie, juga
mendukung prinsip
persamaan antara pria dan wanita. Pasal 14 dari UUD yang
berbunyi semua orang sama
menurut undang-undang dan tidak akan ada diskriminasi dalam
hubungan politik,
ekonomi, atau sosial dikarenakan ras, kepercayaan, jenis
kelamin, status sosial ataupun
asal keluarga.49 Selain itu, Undang Pokok Pendidikan telah
diamandemen untuk
memberi kesempatan pendidikan yang sama bagi laki-laki dan
perempuan.50 Dari kedua
hukum baru tersebut, merupakan jalan baru bagi masyarakat
Jepang, khususnya
perempuan, untuk tidak selalu terkungkung dalam urusan keluarga.
Mereka dapat keluar
rumah dan tidak lagi semata-mata mengurus pekerjaan rumah
tangga, namun dapat
berbaur menjadi kelompok pekerja.
Kemajuan Jepang di bidang ekonomi yang kemudian menyebabkan
tingginya
permintaan tenaga kerja, membuat peran perempuan muda semakin
eksis di dunia kerja.
Meski pada kenyataannya, di dunia kerja masih terdapat supremasi
pekerja laki-laki atas
pekerja perempuan.51
Baik laki-laki maupun perempuan muda yang bekerja dan
berpendidikan serta telah
mapan secara finansial dan juga mandiri, kemudian merasa lebih
nyaman untuk hidup
bebas tanpa ikatan pernikahan. Selain itu, banyak yang
menganggap bahwa pernikahan
justru akan mempersulit ekonomi dan manghambat profesionalitas
dalam bekerja. Bagi
wanita, pernikahan akan mengikatnya ke dalam pekerjaan rumah
tangga dan juga akan
menghambatnya bekerja.52 Hal inilah yang kemudian membuat banyak
generasi muda
Jepang yang memutuskan untuk menunda pernikahan atau bahkan
memutuskan untuk
48 Amaliatun Saleha, Parasite Single, Sebuah Fenomena Sosial
Kontemporer di Jepang, Program Studi Sastra
Jepang, Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran Bandung, 2006,
hlm. 2 49 Ina Ika Pratita, Menguak Kehidupan Kaum Wanita Jepang,
Lentera, Jurnal Studi Perempuan, Vo. 1/No.
2/Desember 2005, ISSN 1858-4845, hlm. 140 50 Ibid. hlm. 141 51
Ibid. hlm. 142 52 Amaliatun Saleha, Op.Cit.
-
12
tidak menikah sama sekali, meski pernikahan miai kokkei sudah
jarang menjadi acuan
dalam pernikahan.
Karena banyak pemuda dan pemudi Jepang yang menunda atau tidak
menikah,
yang terjadi adalah mereka masih tinggal dan menumpang dengan
orang tua (dalam hal
ini mereka yang tidak menerapkan tanshei setai) dan disebut
parasitosinguru.53 Istilah
ini didefinisikan sebagai pemuda pemudi Jepang yang belum
menikah dan
menggantungkan hidup kepada orangtuanya, meski beberapa telah
mapan dan mandiri
secara finansial.
2.2.3. Shoushika
Kebalikan dengan fenomena koureika shakai, fenomena shoushika
dapat
didefinisikan sebagai keadaan menurunnya angka kelahiran secara
terus menerus hingga
mencapai di tingkat rendah dari standar yang dibutuhkan untuk
mempertahankan jumlah
populasi.54
Terjadinya fenomena shoushika dilatarbelakangi oleh beberapa
hal, dan pada
dasarnya disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam nilai-nilai
di masyarakat Jepang
khususnya fenomena penundaan pernikahan atau bankonka.
Bergesernya pandangan
mengenai pernikahan yang bagi laki-laki maupun perempuan muda di
Jepang sebagai
hambatan dalam karier maupun hal-hal pribadi yang lain. Baik
laki-laki dan perempuan
muda menghindari pernikahan karena alasan ingin terbebas dari
tanggung jawab dan
urusan rumah tangga. Sementara itu, dari alasan menunda
pernikahan kemudian
menimbulkan tingkat produktivitas menjadi rendah, disebabkan
menikah di usia tinggi
(30 tahun ke atas). Fenomena ini disebut dengan bansanka, yang
dari kedua fenomena
ini berpengaruh kepada rendahnya kelahiran anak.55 Melahirkan di
usia yang tinggi akan
menimbulkan resiko sehingga pasangan suami istri memutuskan
untuk memiliki anak
dengan jumlah sedikit.
Pasca Perang Dunia II, jumlah rata-rata kelahiran anak mengalami
pasang surut,
namun sejak tahun 1975 rata-rata tingkat kelahiran anak di
Jepang terus menurun dengan
stabil dan tidak mengalami peningkatan hingga tahun 2003.
Turunnya angka kelahiran
artinya populasi anak berkurang, dan mengakibatkan terus
berkurangnya jumlah
53 Ibid. hlm. 3 54 Sherlina Evangela, Op.Cit.. 55 Ibid.
-
13
populasi usia produktif, yang berarti bahwa jumlah sumber daya
manusia di Jepang pun
mengalami penurunan.56 Faktor yang menyebabkan pasangan suami
istri memutuskan
untuk memiliki sedikit anak selain faktor resiko melahirkan di
usia tinggi dan
produktivitas yang menurun antara lain adalah beratnya beban
ekonomi yang akan
ditanggung untuk mengasuh dan membesarkan anak.
Biaya mengasuh anak dan terutama biaya pendidikan di Jepang
cenderung mahal.
Untuk membesarkan anak di Jepang rata-rata dibutuhkan biaya
13,000,000 yen atau
setara dengan 1,3 milyar rupiah per anak.57 Biaya pendidikan
yang dinilai mahal,
disebabkan karena para orangtua meskipun memiliki sedikit anak
tetapi ingin
membesarkan anaknya di dalam dunia pendidikan yang terbaik
sehingga reputasi
sekolah sangat diperhitungkan. Para pelajar berlomba untuk dapat
masuk di sekolah
terbaik agar kemudian dapat melanjutkan ke universitas terbaik
pula. Hal itu disebabkan
perusahaan-perusahaan di Jepang lebih mengutamakan perekrutan
karyawan dari
universitas terbaik.58 Untuk menunjang kepentingan itu, para
orangtua harus
mengeluarkan biaya tambahan untuk mengikutkan anaknya pada les
pelajaran agar dapat
unggul dan diterima di sekolah dan universitas terbaik.
Sementara, biaya tambahan tidak
mudah didapatkan jika orangtua, terutama ibu, mengambil cuti
panjang untuk mengurus
anak. Karena itu banyak dari para ibu yang memutuskan untuk
tetap bekerja setelah
melahirkan, dan meskipun pemerintah Jepang memberikan kebijakan
cuti bagi pekerja
wanita yang melahirkan sampai anak berumur satu tahun59, namun
tak sedikit yang tidak
mengambil jatah cuti tersebut.60
Di samping mahalnya biaya pendidikan, fasilitas yang tersedia
untuk membesarkan
anak di Jepang cenderung kurang. Meski Jepang merupakan negara
maju, tetapi fasilitas
yang berkaitan dengan anak dan keluarga kurang memadai.61 Di
tahun 2007, jumlah
dana yang dialokasikan pemerintah untuk sektor masyarakat yang
berkaitan dengan anak
56 NN, Isu Jepang Kontemporer, dikutip dari
https://www.fitrianapd.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/shoshika.pptx
diakses 5 Februari 2014 57 Ibid. 58 Sherlina Evangela, Op.Cit.
hlm. 23 59 Peraturan No. 76 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang
pada tahun 1991 yang disebut Ikuji Kaigo
Kyuugyouhou. Peraturan itu direvisi pada 2005 yang memungkinkan
wanita melahirkan untuk mengambil cuti
hingga anak berumur 1,5 tahun. 60 Ibid. hlm. 26 61 Ibid. hlm.
25
-
14
dan keluarga seperti usaha tempat penitipan anak dan dana
bantuan lain hanya sebesar
0,75% dari total GDP Jepang.62
Fenomena shoushika mengakibatkan banyak kerugian di berbagai
bidang. Salah
satunya ialah berkurangnya jumlah anak-anak dan generasi muda
secara keseluruhan di
Jepang. Pada tahun 2010, populasi berusia 0-14 tahun sebanyak
16,8 juta jiwa, yang
meliputi 13,2% dari total populasi Jepang sebanyak 128.056.000
jiwa.63 Di bidang
ekonomi, fenomena shoushika akan mengakibatkan berkurangnya
jumlah tenaga kerja
dan penduduk berusia produktif di masa depan.
Untuk menanggulangi masalah shoushika ini, Pemerintah Jepang
mengeluarkan
kebijakan berupa bantuan pemeliharaan anak, yaitu dengan
pemberian subsidi 5.000 yen
per anak (jika jumlah anaknya 1-2 anak); 10.000 yen per anak
(jika anaknya lebih dari
2); serta jaminan biaya kesehatan gratis bagi anak sampai dengan
umur 3 tahun (di
beberapa prefektur ada yang sampai 5 tahun).64 Selain itu
dilakukan upaya-upaya yang
disebut dengan Angel Plan, yaitu upaya pemerintah menanggulangi
masalah shoushika,
dengan cara bimbingan konseling, menciptakan infrastuktur yang
mendukung orangtua
yang bekerja, serta mengukuhkan kerjasama orangtua dalam
pengasuhan dan pendidikan
anak.65
Fasilitas-fasilitas seperti Child Care Center ditambah,
berdasarkan data tahun 2004,
di seluruh Jepang terdapat 22.570 tempat penitipan anak yang
terdiri dari 12.090 fasilitas
yang dikelola oleh pemerintah daerah dan 10.480 yang dikelola
oleh swasta. Di tahun
yang sama, tercatat 1.993.684 anak yang terdaftar dalam tempat
penitipan tersebut.66
Akan tetapi semua fasilitas tersebut tidak cukup untuk menampung
semua anak yang
membutuhkan jasa ini. Tercatat 24.245 anak yang masih berada
pada daftar tunggu di
tempat penitipan anak di seluruh Jepang.67
62 Ibid. 63 Ibid. hlm. 36 64 Isu Jepang Kontemporer, Op.Cit. 65
Ibid. 66 Japan Economy Information Division, Child Day Care
Industry in Japan, dalam Sherlina Evangela, Op.Cit. hlm. 29 67
Ibid.
-
15
2.3. Meninjau Masa Depan Jepang
Bertansformasinya Jepang menjadi negara modern, dengan perubahan
kepada tingkat
ekonomi yang maju, ternyata tidak menjadikan Jepang terbebas
dari masalah-masalah
sosial, meskipun secara garis besar, ekonomi yang maju tersebut
menyebabkan tingkat
kesejahteraan masyarakatnya membaik.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi sejatinya tidak terlepas
dari perkembangan
ekonomi, di mana pasca Perang Dunia II, perkembangan ekonomi
secara tidak langsung
menuntut adanya urbanisasi yang kemudian menggeser sistem Ie,
yang meski telah
dihapus, tetapi telah tertanam dalam budaya masyarakat Jepang.
Pergeseran itu
melahirkan budaya individualistik bagi masyarakat Jepang modern
yang ternyata cukup
krusial, dengan maraknya fenomena koureika shakai, bankonka, dan
shoushika yang telah
dipaparkan sebelumnya.
Fenomena-fenomena tersebut melahirkan beragam masalah yang cukup
serius bagi
Jepang bahkan hingga saat ini. Salah satunya, perihal uang
pensiun yang diberikan untuk
kaum lansia. Tingkat koureika shakai yang tinggi membuat dana
pensiun yang
dikeluarkan oleh pemerintah semakin besar. Dengan
ketidakseimbangan populasi usia
produktif dengan populasi lansia, beban ekonomi yang harus
ditanggung oleh orang-orang
yang berada pada usia produktif menjadi semakin besar.68
Populasi generasi muda yang semakin sedikit akan sangat
berpengaruh pada masa
depan Jepang. Dengan fenomena shoushika ini, di kemudian hari
Jepang akan mengalami
krisis, utamanya dalam tenaga kerja dan keberlangsungan generasi
penerus Jepang.
Fenomena krisis tenaga kerja memang sudah terjadi, dengan
maraknya tenaga kerja asing
di Jepang. Akan tetapi, hal itu kemudian menimbulkan masalah
lain, yaitu kurang
diterimanya para pekerja asing itu di tengah masyarakat Jepang.
Suatu faham mengenai
nihonjinron69 yang telah melekat dalam masyarakat Jepang
membentuk Jepang menjadi
sebuah bangsa yang homogen, kemudian membuat masyarakat Jepang
umumnya kurang
menerima orang asing.
68 Sherlina Evangela, Op.Cit. 69 Dalam kehidupan sosial di
Jepang terdapat sebuah pemikiran yang bernama nihonjinron yang
memiliki dua
paham utama, yaitu: pertama, bahwa masyarakat Jepang memiliki
keunikan yang unik dan kedua, orientasi masyarakat Jepang adalah
pada kelompok. Orientasi kelompok ini kemudian menjadi pola
kebudayaan dominan
yang membentuk perilaku orang Jepang. Premis utama nihonjinron
adalah bahwa masyarakat Jepang adalah
masyarakat yang homogen (tanitsuminzoku), yang membentuk sebuah
bangsa yang secara ras sama (tanitsu minzoku kokka).
-
16
Meninjau fenomena-fenomena yang terjadi terkait dengan keluarga
di Jepang dengan
teori modernisme dan teori pertumbuhan ekonomi WW Rostow,
transformasi Jepang dari
masyarakat tradisional menuju masyarakat madani yang modern,
tidak akan terlepas
dengan perubahan dan dinamika yang ada dalam masyarakat
sosialnya. Setelah Jepang
terpuruk akibat kekalahan perang dan kemudian dilarang memiliki
angkatan bersenjata
oleh pihak Amerika Serikat, Jepang kemudian bangkit melalui
jalur ekonomi.
Kebangkitan Jepang dalam ekonomi ini kemudian mendesak
masyarakat Jepang untuk
secara tidak langsung menyesuaikan diri dengan perubahan dengan
cara meninggalkan
perlahan-lahan nila-nilai yang telah dianut selama berabad-abad.
Penyesuaian ini ternyata
berakibat positif dari segi kesejahteraan yaitu
bertransformasinya Jepang menjadi negara
maju (baca: modern). Transisi Jepang menuju modernitas meniru
Barat, dengan cara
memperkuat ekonomi. Meski Jepang pada dasarnya telah meniru
Barat sejak era Meiji.
Sementara Rostow dalam teorinya menyebutkan bahwa salah satu
sebab dari
pembangunan ekonomi yaitu perubahan pandangan masyarakat
mengenai jumlah anak
dalam keluarga, yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi
lebih sedikit. Mengamini
pernyataan Rostow dan melihat keterkaitannya dalam kasus Jepang,
dapat disebutkan
bahwa masyarakat dengan tingkat ekonomi yang maju akan terus
berfokus kepada materi
dan hal ini menyebabkan mereka cenderung individualsitik yang
lebih mementingkan
profit akibat desakan dan tuntutan ekonomi, terlebih karena
persaingan dalam dunia kerja.
Hal itu kemudian menyebabkan banyak generasi muda Jepang yang
menunda menikah
atau enggan memiliki banyak keturunan yang dianggap menjadi
beban. Masyarakat muda
Jepang nampaknya sedang nyaman dalam kondisi developed, hal yang
patut
dikhawatirkan yaitu ketidaksiapan masyarakat muda Jepang untuk
menghadapi desakan
mempunyai keturunan di masa paruh bayanya untuk keberlangsungan
generasi Jepang.
Selain itu, dengan fenomena shoushika ini, akan menimbulkan
interaksi yang sedikit di
antara anak-anak Jepang. Di kemudian hari, hal ini tentu akan
menjadi fenomena maupun
masalah baru.
Mengenai masalah koureika shakai, sepatutnya bukan menjadi suatu
hal yang buruk
dengan fenomena banyaknya lansia dengan angka harapan hidup yang
tinggi. Hal itu tidak
lain menunjukkan bahwa Jepang tidak hanya maju secara ekonomi,
tetapi juga dalam
aspek kesehatan. Yang justru menjadi masalah adalah
ketidakseimbangan populasi lansia
dengan populasi generasi muda. Karena itu perlu kiranya
pemerintah Jepang lebih
memperhatikan fenomena bankonka dan shoushika. Akibat dari
penundaan pernikahan itu
-
17
yang berimbas kepada melahirkan anak di usia yang rentan untuk
melahirkan. Dengan
semakin ditanggulanginya masalah shoushika ini, akan berakibat
positif kepada masa
depan Jepang dan juga untuk menyeimbangkan populasi lansia.
Meski memang, masalah-
masalah terkait dengan lansia kini banyak terjadi. Hal itu
sebenarnya dapat saja
diminimalisir jika masyarakat Jepang yang individualistik dengan
sistem kaku kazoku mau
meluangkan waktunya untuk tetap merawat orang tua mereka yang
telah berusia lanjut
meski telah hidup terpisah. Untuk saat ini mungkin masih banyak
yang berpendapat bahwa
waktu mereka tidak cukup karena didedikasikan penuh untuk
pekerjaan dan perusahaan.
Seperti yang telah dikatakan, fenomena-fenomena ini akan sangat
berpengaruh bagi
masa depan Jepang, terutama bagi keberlangsungan generasi
penerus. Fenomena ini
kemudian juga menjadi salah satu faktor bagi banyaknya tenaga
kerja asing yang menetap
di Jepang. Hal itu disebabkan tingginya kebutuhan tenaga kerja
yang hanya dapat dipenuhi
dengan mendatangkan para tenaga kerja dari luar Jepang. Dengan
adanya fenomena-
fenomena yang telah dijelaskan, terutama shoushika, bukan tidak
mungkin di kemudian
hari populasi masyarakat asli Jepang dengan populasi masyarakat
asing yang menetap di
Jepang akan berimbang, seperti contohnya adalah negara
Singapura. Keadaan seperti itu
boleh jadi akan membuat perubahan-perubahan yang lebih kompleks
lagi, termasuk
dengan kepercayaan homogenitas Jepang.
Jika masyarakat Jepang masih tetap berpegang teguh dengan
nilai-nilai homogen
yang tercantum dalam nihonjinron, sudah sepatutnya masyarakat
Jepang dewasa ini
meninjau kembali kepada sistem Ie yang telah dihapus dan telah
bergeser. Nilai-nilai yang
bersifat individualistik semestinya harus diminimalisir, agar
masalah-masalah yang terkait
dengan koureika shakai, bankonka, dan shoushika ini dapat
terselesaikan.
-
18
BAB III
KESIMPULAN
Dihapusnya sistem Ie pasca Perang Dunia II yang tertera pada
Konstitusi 1947 sejatinya
menimbulkan dampak-dampak yang cukup krusial terkait dengan
sistem kekeluargaan.
Terlebih, dengan disahkannya hukum kesetaraan antara pria dan
perempuan yang
memungkinkan perempuan mendapatkan hak penuh dalam dunia
pendidikan, serta fenomena
kebangkitan ekonomi secara signifikan di Jepang era 1960-an yang
kemudian mejadikan
Jepang sebagai negara modern dengan perekonomian yang sangat
maju.
Faktor ekonomi tersebut, yang juga memberi dampak kepada
perubahan sistem
keluarga chokkei kazoku menjadi kaku kazoku telah menjadikan
sistem kekeluargaan Jepang
bersifat individualistik. Suami dan ayah tidak lagi memiliki
peran penuh dalam mengatur dan
memimpin keluarga serta istri dan ibu tidak lagi mutlak harus
menjadi pengurus rumah tangga.
Bersamaan dengan meningkatnya pendapatan ekonomi, berdampak
kepada munculnya
fenomena-fenomena lain seperti koureika shakai, bankonka, dan
shoushika, yang saling
berkaitan satu sama lain.
Fenomena-fenomena tersebut bukan tidak membawa masalah, malah
berakibat kepada
ketidakseimbangan yang krusial, yang tentunya sangat berpengaruh
kepada keberlangsungan
generasi penerus Jepang. Bukan tidak mungkin, dari
fenomena-fenomena tersebut, akan
memberikan perubahan besar bagi masa depan Jepang. Tentunya,
permasalahan dan fenomena
yang muncul akibat keadaan saat ini akan sangat kompleks.
Sehingga sangat penting bagi
masyarakat Jepang dewasa ini untuk kembali meninjau nilai-nilai
yang terkandung dalam
kekeluargaan, yang telah tertanam dalam sistem Ie.
-
19
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Yogayanti, Sri Setyo, Skripsi: Hubungan Antara Perubahan
Nilai-Nilai Terhadap Keluarga,
Anak, dan Pernikahan Pasca Perang Dunia II dengan Perubahan
Persepsi Perempuan
Jepang Terhadap Perceraian dalam Masyarakat Jepang Kontemporer,
Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Program Studi Jepang, Universitas Indonesia,
2012
Frank, Andre Gunder, penerj. Budiman, Arif Sosiologi Pembangunan
Dan Keterbelakangan
Sosiologi, Jakarta: Pustaka Pulsar, 1984
Setiadi, Elly M., et.al., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta:
Kencana, 2011Yoshio
Sugimoto, An Introduction to Japanese Society, Cambridge
University Press: 1993
Emiko, Ochiai, The Japanese Family System in Transition: A
Sociological Analysis of Family
Change in Postwar Japan, Tokyo: 1994
Tobing, Ekayani, Keluarga Tradisional Jepang Dalam Perspektif
Sejarah dan Perubahan
Sosial, Depok: ILUNI KWJ, 2006
Motonobu, Mukai, Modernization and Divorce in Japan, Marshal
University, 2004
Evangela, Sherlina, Skripsi: Representasi Fenomena Shoushika
dalam Drama Televisi Jepang:
Studi Kasus Drama Umareru dan Watashi Ga Renai Dekinai Riyuu,
Fakultas Ilmu
Budaya, Program Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok:
2012
Saleha, Amaliatun, Parasite Single, Sebuah Fenomena Sosial
Kontemporer di Jepang, Program
Studi Sastra Jepang, Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran
Bandung, 2006
Pratita, Ina Ika, Menguak Kehidupan Kaum Wanita Jepang, Lentera,
Jurnal Studi Perempuan,
Vo. 1/No. 2/Desember 2005, ISSN 1858-4845
-
20
Database Online
Anne E Imamura, The Japanese Family, 1990, dikutip dari
http://www.exeas.org/resources/pdf/japanese-family-imamura.pdf,
diakses 4 Februari 2014
NN, dikutip dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37838/3/Chapter%20II.pdf,
diakses 5 Februari 2014
NN, Gambaran Umum Mengenai Keluarga Ie, dikutip dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37191/3/Chapter%20II.pdf,
diakses 3
Februari 2014
NN, Isu Jepang Kontemporer, dikutip dari
https://www.fitrianapd.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/shoshika.pptx
diakses 5 Februari 2014
NN, Jepang Upayakan Cegah Lansia Meninggal dalam Kesepian, 3
Agustus 2011, dikutip dari
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/08/03/lpcsaj-jepang-upayakan-
cegah-lansia-meninggal-dalam-kesepian, diakses 5 Februari
2014
Satoshi Sakata, Historical Origin of the Japanese Ie System,
dikutip dari
http://www.yomiuri.co.jp/adv/chuo/dy/opinion/20130128.htm,
diakses 3 Februari 2014
Sri Dewi Adriani, Dampak Peningkatan Jumlah Lansia Terhadap
Munculnya Fenomena Sosial
Kodokushi (Dying Alone) (Studi Kasus Pada Gempa Bumi Kobe 1995),
dikutip dari
http://japanese.binus.ac.id/2013/12/14/dampak-peningkatan-jumlah-lansia-terhadap-
munculnya-fenomena-sosial-kodokushi%E5%AD%A4%E7%8B%AC%E6%AD%BBdying-
alone-studi-kasus-pada-gempa-bumi-kobe-1995/ diakses 5 Februari
2014
WW. Rostow, The Stages of Economic Growth (1960), dalam NN,
Teori Pertumbuhan dan
Pembangunan Ekonomi, dikutip dari
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/ekonomi_pembangunan/bab_3_teori_pertumbuha
n_dan_pembangunan_ekonomi.pdf diakses 4 Februari 2014