Top Banner
MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali Oleh MN.Ary B “Siapa yang tidak pernah ragu,... tidak akan pernah tahu” (Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl) Perjalanan Sang Imam Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, dilahirkan pada tahun 450 H (1058 M) di Thabran tepatnya kota Thus, masih masuk wilayah Khurasan. Ayahnya, seorang shalih bekerja sebagai pemintal bulu domba (yaghzulu al-shuf), 1 dan menjualnya di tokonya yang juga di kota itu. Ayah Ghazali meninggal sebelum dia sampai pada umur yang bisa dianggap dewasa. Sebelum ayahnya meninggal sempat menyerahkan dia dan saudarannya "Ahmad" kepada teman ayahnya, seorang sufi, untuk mendidik mereka berdua. Ghazali kecil belajar dasar-dasar ilmu bahasa arab dan fikih kepada seorang ulama di negaranya yaitu Imam Ahmad bin Muhammad al-Radhikani. Saat usianya belum sampai dua puluh tahun, ia pindah ke daerah Jurjan belajar kepada Imam Abi al-Qasim Makalah sederhana ini, pernah dipresentasikan pada perdana acara “Kajian Tokoh” yang diselenggarakan oleh “RAKHMA”. Bakul Tempe Thub Ramli, untuk pemesanan hub. 4112346/0108573397. Mahasiswa al-Azhar Fak. Dirrâsât al-Islâmiyyah wa al-‘Arabiyyah. Fans berat Bastian Tito, pengarang “Wiro Sableng 212”. Jasa beliau tidak akan terlupakan. Komiknya telah menstimulasi penulis untuk terus membaca (?). 1 Julukan al-Ghazali mungkin diambil dari pekerjaan ayahnya, atau mungkin dari nama desa yang berada dalam wilayah Thus. Lihat, Ali Mu’awwidh & ‘Adil Abdul Maujud, dalam pengantar al-Wajîz fî Fiqhi al-Imâm al- Syâfi’i, Dar al-Arqam, Beirut, cet. I, 1997, hal. 9
31

MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

May 10, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAMStudi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Oleh MN.Ary B™

“Siapa yang tidak pernah ragu,... tidak akan pernah tahu”(Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl)

Perjalanan Sang ImamImam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin

Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, dilahirkan padatahun 450 H (1058 M) di Thabran tepatnya kota Thus,masih masuk wilayah Khurasan. Ayahnya, seorangshalih bekerja sebagai pemintal bulu domba (yaghzulual-shuf),1 dan menjualnya di tokonya yang juga di kotaitu.

Ayah Ghazali meninggal sebelum dia sampai padaumur yang bisa dianggap dewasa. Sebelum ayahnyameninggal sempat menyerahkan dia dan saudarannya"Ahmad" kepada teman ayahnya, seorang sufi, untukmendidik mereka berdua.

Ghazali kecil belajar dasar-dasar ilmu bahasaarab dan fikih kepada seorang ulama di negaranyayaitu Imam Ahmad bin Muhammad al-Radhikani. Saatusianya belum sampai dua puluh tahun, ia pindah kedaerah Jurjan belajar kepada Imam Abi al-Qasim Makalah sederhana ini, pernah dipresentasikan pada perdana acara“Kajian Tokoh” yang diselenggarakan oleh “RAKHMA”. ™ Bakul Tempe Thub Ramli, untuk pemesanan hub. 4112346/0108573397.Mahasiswa al-Azhar Fak. Dirrâsât al-Islâmiyyah wa al-‘Arabiyyah. Fans beratBastian Tito, pengarang “Wiro Sableng 212”. Jasa beliau tidak akanterlupakan. Komiknya telah menstimulasi penulis untuk terus membaca (?).1 Julukan al-Ghazali mungkin diambil dari pekerjaan ayahnya, ataumungkin dari nama desa yang berada dalam wilayah Thus. Lihat, AliMu’awwidh & ‘Adil Abdul Maujud, dalam pengantar al-Wajîz fî Fiqhi al-Imâm al-Syâfi’i, Dar al-Arqam, Beirut, cet. I, 1997, hal. 9

Page 2: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Ismail bin Mus'adah al-Ismaily. Kemudian kembalilagi ke Thus dan tinggal disana selama tiga tahun.

Setelah itu, pergi ke Naisabur belajar kepadaImam Haramain al-Juwainy, kepala madrasahNidhamiyah saat itu.2 Kepada beliaulah Ghazalibelajar ilmu fikih, ushul, jadl, mantiq, kalam, danfilsafat. Pada saat inilah Ghazali, sang pemikir,mulai menelurkan karya-karyanya.3

Setelah Imam al-Haramain meninggal dunia (478H/1085 M) Ghazali pergi ke majlis Wazir Nidham al-Mulk al-Saljuqi, yakni Wazir dari Sultan Maliksyahdi Naisabur. Sang Wazir sangat takjub akanilmunya, terkhusus ilmu kalam dan filsafat yang iakuasai. Hingga Sang Wazir meminta Ghazali untukmengajar di Madrasah Nidhamiyah yang terletak dikota Baghdad. (484 H/1091 M).4

Muridnya sangat banyak, diantaranya terdapatsekitar tiga ratus pembesar ulama ikut belajarkepadanya, karena takjub akan ketinggian ilmu SangImam.5 Disitu Ghazali mendapatkan kemasyhuran,hingga seorang Abdul Ghaffar bin Ismail al-Farisyberpendapat bahwa; saat itu Ghazali patut untukmenyandang gelar sebagai Imam bagi Khurasan danIrak.

Pergulatan Sang PemikirDi Baghdad inilah Ghazali benar-benar serius

dalam mendalami filsafat. Ia pelajari filsafat-

2 Dr. Sulaiman Dunya, dalam pengantar Mîzân al-‘Amal, Dar al-Ma’arif,Kairo, cet. I, 1964, hal. 73 Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, Dar al-Ma’arif, Kairo,cet. II, 1965, hal. 20-21 4 Dr. Muhammad Luthfi Jum’ah, Târîkhu Falâsifah al-Islâm, ‘Âlam al-Kutub,Kairo, 1999, hal. 67 5 Dr. Sulaiman Dunya, dalam pengantar Mîzân al-‘Amali, loc. cit.

Page 3: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

filsafat pendahulunya seperti Farabi dan IbnuSina. Setelah merasa cukup dalam mempelajarifilsafat, ia menulis buku "Maqâsid al-Falâsifah" sebagaiantitesis dari buku-buku filsafat yang telahdibacanya. Kemudian di lanjutkan dengan menulisbuku terkenalnya "Tahâfut al-Falâsifah".

Tujuan pokok ditulisnya buku-buku ini, adalahuntuk menghancurkan metode aqliyyah yang di pegangpara filosof. Akan tetapi dia tidak menolakfilsafat-filsafat itu secara keseluruhan, karenadalam pandangannya, terdapat pendapat-pendapatfilosofis yang tidak bertentangan dengan agama.6

Di Baghdad ini pula terjadi pertentangan dihati Sang Imam , ia berpikir untuk tidak mengajarlagi. Saat itu adalah masa jayanya. Namanya harumbagaikan kasturi, hidupnya bergelimang harta dankedudukan. Setelah mengalami kebingungan dankegelisahan yang cukup lama, mempertahankankenikmatan dunia atau menapak jalan menuju amal-amal keakhiratan, ia memutuskan untuk meninggalkanbaghdad (1095 M).

Ungkapannya dalam menggambarkan kegelisahanhatinya;

“Kutelisik diriku, ternyata diriku telahtenggelam dalam berbagai kebergantungan,kebergantungan itu telah meliputiku darisegala arah. Kulihat apa yang telah kuperbuatselama ini, kudapati, terbaik yang pernahkulakukan hanyalah belajar atau mengajar.

6 Ahmad Syamsuddin, dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutubal-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1988, hal. 6-7

Page 4: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Tapi, kebanyakan dari itu semua adalah ilmu-ilmu yang tidak berguna bagi akhiratku”.7

“Terus terjadi di diriku, pertarungan duakeinginan. Mempertahankan kenikmatan duniayang telah kudapat, atau mengikuti nuraniku,untuk menerima panggilan, menapak jalan kearah Tuhan. Kurang lebih enam bulan, mulaidari bulan Rajab tahun 488 H. Pada bulan ini,usahaku untuk memilih telah mencapai titikklimaks. Aku kesakitan. Allah membungkammulutku, hingga tak lagi ada kemampuan untukkumengajar.

Pada suatu hari, aku memaksa diriku untukkeluar, berdebat dengan orang-orang yang tidakbersesuaian pendapat denganku, sepertikebiasaanku yang telah lalu. Berharap merekatentram setelah kujawab. Tapi ternyata, akutidak mampu untuk mengucap sepatah kata pun,sama sekali tak mampu. Hingga akhirnya,akupun tak lagi bernafsu untuk makan danminum.

Tabib yang merawatku berkata: Ini adalahpenyakit yang datangnya dari hati. Tidak adaobatnya, kecuali hanya dengan mengistirahatkansegala kepedihan yang menyakitkan. Setelahtubuhku cukup sehat, dan keputusan telahkudapat, aku penuhi panggilan Allah untukmenapak jalan kepadanya, tanpa keraguan lagi.Maka mudahlah bagi hatiku, untuk meninggalkansegala kedudukan, harta, anak-anakku, jugasahabat-sahabatku”.8

7 Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl,, Ibid. hal. 598 Ibid. hal. 60-61

Page 5: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Ghazali berani mengambil keputusan ini, setelahyakin bahwa hakikat dari keimanan dan kebenarantidak akan di dapat oleh orang yang hatinyadipenuhi oleh keinginan untuk mendapatkankedudukan, harta, serta perasaan cintaterhadapnya.9

Melepaskan segala keraguan, pada bulanDzulqa'dah 488 H, Ghazali bertolak dengan niatmelaksanakan ibadah haji. Sampai di Damaskus padapermulaan tahun 489 H. Sementara waktu ia menetapdisitu selama sepuluh tahun. Kemudian menuju al-Quds, ke Kairo, dan hinggap di Iskandariah. Selamaitu ia hanya sibuk dalam pensucian diri,membersihkan hati dengan selalu mengingat AllahSwt. Dimanapun berada.

Ghazali kembali ke Baghdad, tetapi di Baghdadsama sekali tidak mengajar seperti kebiasaannyadulu; sebelum melakukan perjalanan mencariTuhannya. Hingga Wazir Fakhr al-Mulk memintanyauntuk mengajar di Nidhamiyah Naisabur. Ia terimapermintaan Sang Wazir, tapi tidak lama, setelahsatu tahun berada di Naisabur, ia beranjak menujuThus tempat kelahirannya. Ia memutuskan untukmenetap di situ, selama itu kesibukannya hanyaberibadah dan mengajar hingga wafatnya (505 H /1111M).10

Dari perjalanannya dalam mencari kebenaransejati, dapat disimpulkan bahwa masa kehidupanintelektual Sang Imam terbagi menjadi tiga fase:

9 Abu Hamid al-Ghazali, Faishal al-Tafriqah baina al-Islâm wa al-Zandaqah,ditahkik oleh Hugga Musthafa, Dar al-Nasyr al-Gharbiyyah, Kairo, 1983,hal. 310 Ahmad Syamsuddin, op. cit., hal. 7-8

Page 6: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Pertama: Masa mulainya keraguan; saat ia mulaidalam pengembaraan intelektual. Sebagaimanaungkapan Ghazali, bahwa kegelisahan dirinya akanhakikat kebenaran, bermula dari saat mudanya.11

Kedua: Masa memuncaknya keraguan; saat itu iamengalami kebimbangan akan semua kebenaran, dalamwaktu yang cukup panjang. Suatu pergolakan jiwayang tentunya sangat menyiksa dirinya. Sebagaimanadinyatakan Ghazali dalam “al-Munqidh Min al-Dhalâl”,bahwa masa itu, ialah masa giatnya menulis tentangilmu kalam, kritik filsafat, dan kritik mazhab al-ta'lim (bâthiniyyah). Saat itu, ia sedang mengajar dimadrasah Baghdad tentang ilmu syariat . Tidaklahmengherankan kalau ia mengalami kebingungan dankegelisahan yang dahsyat. Karena disitu ia seringmengaduk-aduk, memilah-milih kebenaran dankesesatan yang ada dalam filsafat dan madhab-madhablainnya, hal ini mengakibatkan terombang-ambingnyametode berpikir Sang Pemikir ini. Sedangkan di sisilain ia adalah seorang yang ahli dalam ilmusyariat.12 Kebingungan seperti ini sering pulaterjadi pada para pemikir lainnya. Diantaranya AbuAbdillah Muhammad bin Abdul karim al-Syahrastani,Abu al-Ma'ali al-Juwainy, al-Khoufajy, Imam al-Razi.13

Ketiga: Masa selesainya pencarian; apa yangdicarinya selama perjalanan itu telah ia dapati,hatinya pun tenang, tidak gelisah lagi.14

Politik Dan Cendekiawan Di Seputar Sang Ilmuwan11 Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, op. cit., hal. 2512 Dr. Sulaiman dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 56-5713 Muhammad al-Sa’id Muhammad, dalam pengantar Tahâfut al-Falâsifah, Maktabahal-Taufiqiyyah, Kairo, 2003, hal. 10-1114 Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 56

Page 7: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Masa hidup Ghazali adalah masa yang sangatgemilang dalam percaturan keilmuan di dunia Islam.Para pelajar berbondong-bondong menghadap para guruuntuk mengeruk ilmu dari mereka. Penuh semangat dangairah. Segala macam keilmuan berkembang denganpesat, terkhusus filsafat. Bukan semata-mata karenaingin menjadi ilmuwan yang berguna, menimba ilmuhanya lillâh; karena banyak juga ketertarikan merekayang lebih di recohi oleh keinginan-keinginan lain.Walaupun ada yang murni, ikhlas.

Adalah, keinginan untuk pangkat dankemasyhuran, dekat dengan para pejabat kala itu,Ghazali pun terseret juga dalam ambisi seperti ini,hingga akhirnya ia taubat, dan memperbaiki niat.15

Terdapat sedikit sekali yang benar-benar ikhlasdalam perjuangan mereka menuntut ilmu. Di arahlain, para pembesar negeri pun membutuhkan bantuanulama untuk mencapai maksud-maksud mereka terhadaprakyat. Karena saat itu, agama adalah faktor utamakekuatan penguasa dalam menjaring ketundukanrakyat. Wal hasil simbiosis mutualisme pun terjadi,setepuk dua tangan, lalat pun kena.16

Menurut sejarawan, perkembangan filsafat Islamdibidani oleh madhab Mu'tazilah, sebuah madhab yangterkenal dengan madhab olah pikir. Madhab inimencoba untuk mengkomparasikan antara agama danakal, pada agama Islam. Dalam membedah akidah-akidah agama dan membantai musuh-musuhnya, merekamenggunakan piranti filsafat yang mereka adopsidari filsafat Yunani juga selainnya, sebagai alatjustifikasi bagi kebenaran pendapat mereka dankesalahan pendapat musuhnya. 15 Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, op. cit., hal. 7616 Ibid. hal. 15

Page 8: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Hal itu bisa terjadi, dikarenakan gerakanpenterjemahan dengan agresif-nya tengah merambahdunia Islam. Karya-karya Aristoteles “Sang Mu’allimal-Awwal” juga para filosof lainnya, di terjemahkandari bahasa Greek ke bahasa Arab. Baik secaralangsung dari bahasa Yunani ke bahasa Arab, maupundari bahasa Suryani. Karena sebagian besar buku-buku filsafaat Yunani telah di terjemahkan kebahasa Suryani sebelum dunia Arab giat dalampenterjemahan.

Setelah dunia Islam menelan berbagai filsafatGreek, terbagilah cara berpikir cendikiawan Islammenjadi tiga kelompok besar:

Pertama: Kelompok yang sangat fanatik terhadapfilsafat Yunani, terutama filsafat Aristoteles.Hingga sampai meletakkan akidah agama dibawahbangunan filsafat ini. Menjadikan filsafat sebagaipondasi dan agama sebagai peng “iya” darinya.

Kedua: Kelompok pembela “terlalu” setiaterhadap akidah “muslim”. Mereka sangat memusuhipara pengikut filsafat Aristoteles. Akan tetapi,dalam pembelaan terhadap akidah “Islam”, merekajuga menggunakan filsafat sebagai alat bantunya.Hingga, kesibukan mereka terhadap filsafat, berefeksangat besar terhadap masuknya nadhriyyât al-ilmiyyahdalam ilmu kalam, seperti nadhriyyât “jauhar al-fard”,ini mereka ambil dari filsafat naturalisme Yunani.Bahkan terkadang lebih lebar lagi dalampembahasannya. Disebabkan penggunaan filsafat itudiarahkan untuk tujuan-tujuan keagamaan mereka,maka harus disesuaikan dengan kebutuhan merekapula.

Ketiga: Kelompok sufiyyah (dalam eksistensinyasebagai sebuah metode yang berpegang kepada

Page 9: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

prinsip-prinsip tertentu). Muncul sebagai antitesisdari kedua kelompok yang telah muncul terdahulu.Mereka berpendapat bahwa perdebatan filosofis (jadlal-falsafi al-kalâmî), tidak akan pernah bisa mencapaipengetahuan tentang kebenaran. Pengetahuan yangbenar hanya bisa dicapai dengan ibadah ‘amaliyyah,kasyf al-bâthinî dan musyâhadah al-mubâsyarah.17

Ghazali Diantara Tiga Mainstrem PemikiranPada saat terjadinya pertarungan sengit antara

tiga mainstrem pemikiran itu, Ghazali tampilsebagai seorang juri di tengah-tengah pertandingan.Ia berusaha me-nengah-nengahi, antara filosof,mutakallimin, dan para sufi. Ia tidak menundukkanagama dibawah kaidah dan hukum akal secara total.Tidak mendudukkan akal dibawah akidah agama,sedangkan akal hanya berfungsi sebagaipenjustifikasi dari dalil-dalil agama yang telahada. Juga tidak menafikan akal, sebagaimanadilakukan para sufi kala itu. Justru ia malahmembuat sebuah metode baru dalam tasawuf, denganmenyeimbangkan antara ilmu dan amal, antaraberpikir dan kasyf al-bâthinî secara bersamaan.

Akan tetapi, metode Ghazali dalam penyeimbanganantara ilmu dan amal, antara berpikir dan kasyf al-bâthinî ini, menurut penulis terdapat keganjilan didalamnya. Kalau kita mengandaikan penggunaanpikiran disertai kasyf al-bâthinî, dikhawatirkanterjadinya kesalahan penafsiran dalam wujud kasyf al-bâthinî-nya. Karena kuatnya berpikir seseorang mampuuntuk membuat imajinasi yang menguatkan kedudukanakal. Sehingga entitas kasyf al-bâthinî itu sendiri

17 Ahmad Syamsuddin, op. cit., hal. 3-4

Page 10: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

menjadi tidak orisinil lagi. Seperti seorang yangsering mengingat-ingat akan seseorang yang telahmeninggal, mampu mengakibatkan ia bertemu denganorang tersebut dalam mimpinya. Bahkan saatmemuncaknya kerinduan, orang itu bisa terwujud didepan matanya.

Ia tidaklah mengingkari kebenaran ilmiah, baikberhubung dengan kenyataan natural (thabî’iyyah)maupun ilmu pasti (riyâdhiyyah). Akan tetapi, diahanyalah membatasi akal dalam ke-ikut campuran-nyamengotak-atik akidah agama. Tidak menggunakansecara total, juga tidak membuang semuanya.Menempatkan keduanya dalam posisi yang berlainan;ilmu berpegang kepada akal, sedangkan akidah agamamemancar (yanba’u) dari hati. Jadi ada sekulerisasiantara ilmu dan akidah agama. Dengan begitu iaberpendapat bahwa, =hati (al-qalb) tempat keluarnyaiman, sedangkan akal adalah pondasi dari ilmupengetahuan=.18

Dari usaha pen-sekuler-an Ghazali terhadap ilmudan akidah agama. Menurut penulis terdapat hal yangmungkin menjadi penyebab terjadinya hal itu.Diantaranya dengan mengamati perjalanan Ghazalimulai dari muda hingga wafatnya; ia sibuk dalampencariannya tentang hakikat kebenaran. Mungkinsaja, seandainya Ghazali tidak wafat saat itu; iaakan menelurkan ide lain lagi, yang mungkin akandia anggap sebagai kebenaran yang lebih benar darikebenaran yang telah di dapatnya. Atau bisadibilang ia sedang mengalami “evolusi kebenaran”.Karena merasa tidak menemukan titik temu dalampengkomparasian antara ilmu dan akidah agama, maka18 Ibid. hal. 4-5. Bandingkan dengan Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhrial-Ghazâli, op. cit., hal. 36-37

Page 11: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

dia berkesimpulan bahwa agama dan ilmu haruslahdipisahkan. Antara keyakinan dan pengetahuan beradadi tempat yang berbeda.

Setelah mengkaji filsafat-filsafatpendahulunya, Ghazali berkesimpulan bahwa: A. Terdapat pemikiran yang wajib di kafirkan.Diantaranya pendapat filosofis yang menyatakanbahwa, jasad manusia tidak akan di hidupkankembali, Allah hanyalah mengetahui hal-hal kulliyyât,tidak mengetahui yang juz’iyyât, alam bersifat dahulu(qadîm).19 Dalam hal ini, dengan radikalnya Ghazalimengatakan bahwa orang yang berkeyakinan sepertiini, wajib dibunuh;20 B. Pemikiran yang wajib dianggap sebagai bid'ah; C. Pemikiran yang memang benar adanya, tidak bolehdi ingkari. Diantaranya ilmu pasti (riyâdhiyyah) danilmu logika (mantiq).21

Menurutnya terdapat sangat banyak kerancuandalam filsafat, hingga tidaklah mungkin tercapaikebenaran dengannya. Dapat dilihat, setiap jawabandari pertanyaan filosofis selalu berbenturan denganjawaban lainnya. Lalu mana yang benar diantara itusemua ? Benturan antar jawaban sebenarnyadisebabkan filsafat itu sendiri hanyalah merupakanketepatan dalam menyusun strategi, untukmendudukkan kebenaran dalam posisi filosof itusendiri.22

Sedangkan ilmu yang benar-benar “benar”menurutnya adalah, ilmu yang dengannya kita mampuuntuk sampai pada derajat yakin (‘ilmu al-yaqîn).

19 Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, op. cit., hal. 4220 Abu Hamid al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., hal. 218 21 Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, op. cit., hal. 3822 Abu Hamid al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., hal. 28

Page 12: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Sedangkan ‘ilmu al-yakîn sendiri adalah, ilmu yangdengannya obyek kajian benar-benar menjadi bisa dimengerti tanpa disertai sedikitpun keraguan, jugatidak disertai oleh kesalahan maupun salah sangka.Sebaliknya setiap ilmu yang tidak sampai derajatini tidaklah dapat di sebut sebagai ‘ilmu al-yakin.Ilmu seperti ini adalah, ilmu yang tidak bisadipercaya dan tidak aman untuk dibuat sebagaipegangan.23

Akal Dan Syariat Dalam Perspektif GhazaliMengawinkan akal dan syariat Tuhan, merupakan

hal yang melelahkan. Keterjebakan selalu menganga,sedikit lengah akan terjerumus dalam jurang ke-totaliter-an. Dalam perspektif Ghazali, akal dansyariat, selamanya akan saling bergandeng tangan,tidak akan pernah saling menjatuhkan. Bagaikanlampu dan minyak (tenaga lampu). Tanpa akal,syariat tidak akan bisa di pahami artinya. Begitujuga akal, apabila tanpa syariat maka akan semakinjauh dari kebenaran. Jadi, mutlak adanyakeselarasan dua sisi. Karena, eksistensi darisyariat itu sendiri sebenarnya merupakan akal luar(‘aql al-khârij), apabila akal luar dan akal dalambersatu, itulah manifestasi dari "nûr ‘ala nûr".

Sebenarnya, kedudukan akal itu sendiri tetapakan sering membutuhkan tuntunan syariat untukdapat mencerap kebenaran sejati. Karena bataskemampuan akal hanyalah sampai untuk mencerapkebenaran universal saja, tanpa kemampuan mencerapkebenaran partikular. Ringkasnya, =akal tidak akan23 Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, pengantar dan tahkik olehDr. Jamil Shaliba & Dr. Kamil ‘Iyadh, Dar al-Andalus, Beirut, cet. VII,1967, hal. 25

Page 13: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

pernah bisa berfungsi sebagai pencerap kebenaranpartikular dalam syariat. Sedangkan syariatterkadang datang untuk menetapkan kebenaran yangsebenarnya akal sendiri telah mampu untuk mencerapkebenarannya=.24

Hampir di setiap bidang ilmu yang dikajiGhazali, selalu berada dalam koridor pembahasansyariat dan agama. Terlihat, tujuan utamanya memanguntuk menyelamatkan agama dari pemikiran-pemikiran"hitam" masa itu. Dapat diambil kesimpulan;ideologi Ghazali dalam pengkorelasian antara akaldan agama adalah =akal hanya menempati posisisebagai pembantu dalam pemahaman agama, dan bukansebaliknya=, alias syariat tidak perduli akankegelisahan akal.

Padahal akal, menurut penulis; adalah yangpaling utama dalam pembahasan tentang syariat.Justru syariat yang telah ada hanyalah sebagaipembantu dalam usaha pencapaian terhadap kebenaran.Karena bagaimanapun juga, Tuhan menunjuk manusia dimuka bumi ini pasti telah disertai modal kemampuanuntuk merealisasikan tugasnya.25 Syariat diturunkanhanyalah sebagai contoh (i’tibâr) di saat carut-marutnya pemahaman (pola pikir) tentang kebenaran.Mudahnya, =syariat dimungkinkan pembekuannya disaat kemaslahatan menghendaki kenyataan lain, dan

24 Abu Hamid al-Ghazali, Ma’ârij al-Quds, Mathba’ah al-Isti’anah, Kairo,hal. 57 25 Setiap doktrin agama yang terkesan tidak rasional tidaklahmununjukkan akan tidak rasionalnya agama. Hanyalah, akal belum mampu(bukan tidak mampu) untuk memahaminya. Cukup dikatakan, ilmu pengetahuanmanusia saat ini belumlah cukup untuk memahami hal itu. Dan seiringberkembangnya ilmu pengetahuan, dimungkinkan pemahaman tentang itu.Seperti kejadian Isra’ Mi’raj Nabi Saw.

Page 14: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

tetap dipakai di saat kenyataan yang ada sesuaidengan jawaban dalam syariat=.

Ghazali menyatakan bahwa bukan hanya akal, yangdibatasi kemampuannya dalam mencerap kebenaransejati. Panca indera pun sering tertipu oleh apayang telah dicerapnya. Cerapan panca indera belumtentu benar adanya. Seperti saat kita memandangbintang dilangit, kita melihatnya sebagai bendayang sangat kecil, yang tidak lebih besar darikepingan logam uang. Akan tetapi, kemudian ilmuastronomi membuktikan kepada kita bahwa bintang-bintang itu sangat besar, lebih besar dari bumiyang kita tempati ini. Contoh kesalahan daricerapan akal adalah; saat tidur kita bermimpi, saatitu kita meyakini bahwa apa yang kita lihat dalammimpi itu adalah suatu kebenaran, akan tetapikemudian kebenaran itu sirna disaat kita terbangundari tidur.26

Oleh karena itu, dalam mencerap kebenaran,menurut Ghazali dibutuhkan timbangan yang ia sebutsebagai "Qisthâs al-Mustaqîm". Adalah lima timbanganyang telah diberikan Alah kepada manusia melaluikitabnya, dan telah diajarkan kepada para Nabi.Tetap menurutnya, bahwa barang siapa beramaldengan mizân ini, maka ia akan mendapat petunjuk.Hingga dapat mencapai kebenaran yang hakiki. Tapi,barang siapa lebih mengunggulkan pendapat akalnya,maka ia akan tersesat dan jauh dari kebenaran.Qisthâs al-Mustaqîm yang di klaim Ghazali sebagaimanhaj-nya itu tertera dalam al-Qur'an Surat al-Rahman: 1-4 dan 7-9, Surat al-Hadid: 25.

26 Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,op. cit., hal. 27-28

Page 15: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Mizân ini, sebagaimana diungkapkannya dalambuku “al-Mustashfâ” adalah qiyâs al-ilmy atau burhâny,akan tetapi dia tidak menggunakan lafadz qiyâs dalammengistilahkan mizân ini. Karena qiyâs dalampemakaiannya secara umum telah kehilangan dalil-dalil ilmiahnya. Sebagaimana qiyâs yang di gunakanpara mutakallimin dalam membahas masalah fikih.Mereka cenderung menggunakan dalil-dalil dhanny,dengan berdasar persangkaan pikiran akan suatukebenaran. Qiyâs seperti ini dalam pandangannyatidak selamat untuk digunakan membahas suatupermasalahan, karena hanya akan mendapatkan hasilyang dhanny pula.

Mizân ini tidak hanya bisa di gunakan sebagaitimbangan dalam hal-hal yang berhubungan denganolah pikir saja. Bahkan lebih jauh, menurutnyadapat digunakan pada hampir semua cabang keilmuan,seperti ilmu pasti, dan kedokteran. Akan tetapi,tidak dapat diterapkan pada hukum wadh'i .27

Sebab Akibat Dalam Perspektif GhazaliPergumulan manusia dalam mengarungi hidup, akan

selalu berhadapan dengan berbagai kejadian. Semuakejadian di alam ini, layaknya pemahamankonvensional; tentunya tersusun dari berbagaipremis-premis kejadian yang teratur, ada akibat,tentunya ada sebab yang melatarbelakanginya. Akantetapi, pemahaman konvensional ini, menurut Ghazalisama sekali tidak benar. Menurutnya, hukum sebab-akibat itu tidak ada, dengan uraian bahwaterjadinya sesuatu itu tanpa perlunya suatu sebab.

27 Abu Hamid al-Ghazali, al-Qisthâs al-Mustaqîm, pengantar dan tahkik olehVictor Syalhat, Maktabah al-Syarqiyyah, Beirut, cet. II, 1986, hal. 43

Page 16: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Sebagaimana khawâriq al-‘âdah yang dialami olehIbrahim As. Beliau tidak terbakar api. Kejadian inimenurutnya disebabkan, esensi api itu sendirisebenarnya hanyalah benda mati, yang tidak bisamelakukan sesuatu. Eksistensi api dalamkemampuannya membakar, hingga membuatnya menjadisesuatu yang berakibat adalah karena kehendak Dzatyang menjalankan api itu, yakni Allah. Apabilakemampuan membakar dari api itu dicabut oleh-Nya,maka api itu tidak akan mampu membakar apapun.Jadi, suatu keadaan yang biasanya suatu halmenjadikan terjadinya keadaan tertentu, tidaklahmenunjukkan atas akan terjadinya sesuatu. Sedangkanuntuk kejadian yang mengakibatkan kejadian laindalam kenyataan sehari-hari Ghazali lebih setujuuntuk menyebutnya sebagai “âdah” atau kebiasaan.28

Pendapat ini senada dengan David Hume,29

seorang pemikir pada abad ke 18 M. Dia jugaberpendapat bahwa, teori sebab akibat adalah teoriyang belum cukup untuk membuktikan bahwa, kejadianpertama menjadi ‘illah bagi terjadinya kejadiankedua.30

Akan tetapi, pendapat seperti ini ditolak kerasoleh Ibnu Rusyd (w. 595). Menurutnya, orang yangmengingkari adanya teori sebab-akibat berartimenyingkirkan akal, yang berarti juga memusnahkan28 Abu Hamid al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., hal. 168-17329 Abdurrahman Badawi membedakan antara pendapat Ghazali dan Hume dalampenafian terhadap sebab-akibat. Ghazali mengingkari ‘illah akan semuakejadian, karena sebenarnya pelaku sejati dari semua kejadian ini adalahAllah. Sedangkan menurut Hume percobaan (tajribah) adalah satu-satunyacara untuk mengetahui sesuatu itu menjadi ‘illah ataupun tidak, diacenderung untuk berpendapat tidak tahu siapa pelaku sejatinya. Lebihlanjut, lihat Abdurrahman Badawi, dalam Auhâm Haula al-Ghazâlî, hal. 7 30 Dr. Jamil Shaliba & Dr. Kamil ‘Iyadh dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Andalus, op. cit., hal. 16

Page 17: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

ilmu. Kalau memang runtutan kejadian yang terjadidi alam ini lebih patut untuk disebut ‘âdah; yangmenurut Ghazali lain dengan sebab-akibat. Maka,adanya Allah pencipta alam raya ini juga ‘âdah.Justru hal itu mustahil, karena ‘âdah adalah suatukejadian yang adanya karena dikerjakan secaraberulang-ulang.31

Dalam kacamata penulis, penafian Ghazaliterhadap realitas sebab-akibat adalah lebihdisebabkan oleh konsep awal dalam pemahamannyaterhadap diskursus “takdir”. Kenyataan ini,tentunya juga sangat menentukan perkembangan arahberpikirnya. Sebagaimana dipahami oleh banyaksejarawan bahwa, dalam Ushuluddin ia lebih dekatkepada Asy’ariyyah daripada yang lain. Tersiratdalam buku “Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah”-nya Asy’aribahwa kejadian yang ada di dunia ini semuanya telahdi tentukan oleh Allah dari semulanya, jadi tidakada kemampuan manusia untuk mengotak-atik nasibnyasendiri; manusia hanyalah wayang yang di jalankanoleh dalang.32

Tuhan, Manusia, Dan KenabianPertanyaan yang akan sering di dengar, saat

kita mulai menginjak dunia para filosof adalah;Siapa pencipta alam ? Siapa itu Tuhan? Apakah Tuhanada ? Dapatkah Tuhan dibuktikan ? Untuk menjawab31 Abu al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, diberi pengantaroleh Ahmad Syamsuddin, Dar al-Kutub al-‘Ilmyyah, Beirut, cet. II, 2003,hal. 351-35232 Adalah kenyataan yang ironis jika seperti itu. Penulis lebih setujubahwa nasib manusia ada di tangan manusia itu sendiri. Campur tanganTuhan dalam kejadian ke-manusia-an adalah suatu nilai plus bagi manusiayang mengalaminya. Jadi, terdapat kejadian yang mengikuti iradah Tuhan(untuk ini-pun selalu mengikuti kaidah basyariyyah), dan ada kejadian yangbergantung kepada manusia itu sendiri.

Page 18: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

pertanyaan ini, Ghazali telah menyediakan metodeyang mampu untuk membuktikan adanya Tuhan.

Menurut Ghazali, jauhar al-insân pada saatketitahnya tercipta sebagai individu yang samasekali tidak dibekali pengetahuan tentang Tuhan.Untuk bisa mengetahuinya, manusia diharuskan untukmempelajari alam ini dengan daya pemahaman (idrâk),yang telah di berikan oleh Allah kepadanya.Terdapat empat tingkatan idrak dalam pandanganGhazali;

Pertama: Kemampuan untuk mengindera alaminderawi ini (tingkatan terendah). Kedua: Kemampuanuntuk membedakan diantara hal-hal yang telah dicerap oleh indera manusia. Ketiga: Akal, dengannyamanusia mampu membedakan antara perkara wajib,mungkin, ataupun mustahil. Keempat: Tertinggi,adalah apa yang ada dibalik kekuatan akal. Yaitukemampuan untuk mencerap hal-hal ghaib, dan apayang akan terjadi pada masa mendatang. Kemampuanini, merupakan pengetahuan para Nabi.33

Pengetahuan manusia tidak sempurna tanpasempurnanya keempat macam idrâk ini. Untuk dapatmencerap kebenaran sejati, kemampuan manusiatidaklah cukup, karena hanya sampai pada tingkatanketiga. Sedangkan idrâk keempat hanyalah diberikankepada para Nabi. Manusia hanya dapat mengetahuinyadari keterangan yang telah diberikan oleh paraNabi. Sebab, risalah dan kenabian bukanlah suatuhal yang bisa dicapai dengan usaha, itu adalahpemberian langsung dari Allah Swt. Walaupun sebelummenjadi Nabi, sang Nabi-pun telah mempunyai33 Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,op. cit., hal. 67. Bandingkan juga dengan Abu Hamid al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., hal. 177-178

Page 19: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

kesiapan dalam dirinya untuk mendapatkan "cahaya"kenabian.34

Mudahnya, derajat kenabian merupakan derajatyang lebih tinggi dari derajat manusia umumnya.Sebagaimana "ke-manusia-an" itu sendiri merupakanderajat yang lebih tinggi dari golongan hewan. Ataubisa dikatakan, manusia diistimewakan dari hewanlainnya, dengan mu'jizat kemampuan manusia dalamberbicara, berpikir, dan menguasai hewan-hewanlainnya. Sedangkan Nabi diistimewakan dari manusialainnya dengan mu'jizat kemampuan Nabi diatasmanusia lainnya. Semua itu, menurut ketetapanAllah, sehingga tidak mungkin bisa di usahakan.35

Berbeda dengan Ghazali, Ibnu Sab’in berpendapatbahwa kenabian adalah hal yang bisa diusahakan.Karena, kenabian merupakan faidh (jawa: luberan)daripada akal disaat akal itu telah sampai padatitik bersihnya. Bahkan ia pernah berkata: “IbnuAminah (Muhammad Saw.) telah membekukan hal yangsebenarnya masih mungkin terjadi, denganperkataannya: tidak ada Nabi setelahku”.36

Takwil Menurut GhazaliSering terjadi pengkafiran antar umat Islam

sendiri, gara-gara permasalahan takwil. Pengkafiranseperti ini, terjadi pula pada masa kehidupanGhazali. Golongan Hanabilah mengkafirkan Asy’ariah,Asy’ariah mengkafirkan Mu’tazilah. Lalu, sebenarnyagolongan manakah yang kafir ? Dalam hal ini,Ghazali cenderung tidak berpendapat. Ia hanya

34 Abu Hamid al-Ghazali, Ma’ârij al-Quds, op. cit., hal. 10735 Ibid., hal. 10936 Mahmud al-Marakibi, ‘Aqâid al-Shûfiyyah fî Dhou’i al-Kitâb wa al-Sunnah, Mathba’ahal-Tijariyah, Qalyub, cet. III, 1996, hal. 87

Page 20: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

memberikan metode dan syarat-syarat dalampentakwilan. Dengan demikian, ia cenderung setujuuntuk di perbolehkannya mentakwili ayat-ayat al-Qur’an ataupun hadits Nabi Saw.

Menurut Ghazali, semua yang telah diturunkanAllah dalam al-Qur'an, dan apa yang telahdisabdakan oleh Nabi Saw. Pasti ada maknanya.Walaupun, terkadang makna dari suatu ayat atauhadits, baru bisa didapat setelah ditakwili. Dalamhal pentakwilan ini, banyak sekali perbedaanpendapat diantara para ulama. Sehingga, menyebabkanperbedaan arti pula. Untuk itu, Ghazali berusahamenyarikan arti dari suatu wujud dengan membuattingkatan dalam wujud sesuatu. Yang kemudian,disesuaikan dengan obyek yang akan ditakwili.Ghazali membagi wujud dalam lima tingkatan:

Pertama: Wujud Dzâty. Merupakan wujud hakiki,yang terletak diluar penginderaan maupun akal. Akantetapi panca indera dan akal, mampu untukmenggambarkannya, yang kemudian disebut "cerapan"(jawa; penemu). Seperti wujud langit, bumi, hewan,dan tumbuhan.

Kedua: Wujud Hissy. Adalah wujud yang merupakanhasil dari cerapan panca indera. Akan tetapi hanyapanca indera saja, tanpa adanya ikut campur darilainnya. Seperti melihatnya orang yang sedang tidur(mimpi)

Ketiga: Wujud Khayâly. Adalah perwujudan bentukobyek dalam bayangan, dengan tanpa unsurpenginderaan. Seperti seorang yang memejamkanmatanya, kemudian membayangkan gajah dalambentuknya yang sempurna.

Keempat: Wujud 'Aqly. Adalah, apabila sesuatuitu mempunyai esensi, hakikat, dan makna.

Page 21: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Kemudian, akal mampu mengambil darinya eksistensidari obyek tersebut, tanpa harus mewujudkan obyektersebut dalam bentuk khayalan maupun denganbantuan penginderaan, ataupun unsur-unsur eksternaldarinya. Seperti pena, wujud aqliyyah-nya adalahkemampuan pena untuk di gunakan menulis.

Kelima: Wujud Syubhy. Adalah, apabila suatuobyek itu ada tanpa bentuknya maupun hakikatnya,tidak dalam unsur-unsur eksternal, tidak karenapenginderaan, tidak dalam khayalan maupun akal.Seperti perwujudan kemarahan Allah Swt.37

Sedangkan untuk syarat-syarat takwilnya.Sebagaimana dijelaskan oleh Ghazali; berawal dariapabila tidak dimungkinkan pemaknaan dhahir al-nashsebagai mana adanya (wujud dzâty), maka beranjakdengan pemaknaan menurut penginderaan (wujud hissy).Apabila tidak dimungkinkan, maka dimaknai secarakhayâly atapun aqly. Apabila tetap tidak mungkin,maka menggunakan majaz (syubhy). Akan tetapi usahapentakwilan dari pertama hingga akhir haruslahberurutan.38

Ghazali Dan Tasawuf“Si Penghancur Filsafat” adalah salah satu

diantara julukan Ghazali.39 Para sufi menganggapnyasebagai “Hujjah al-Islâm”, dikarenakan jasanya yang37 Abu Hamid al-Ghazali, Faishal al-Tafriqah baina al-Islâm wa al-Zandaqah, op.cit.,hal. 8-1538 Ibid. hal. 18-1939 Julukan ini menurut sebagian pendapat tidaklah sesuai dengankenyataan. Menurut Abdurrahman Badawi, kejatuhan filsafat Islam tidaklahbisa dibebankan kepada Ghazali, karena jejak–jejak tentang hancurnyafilsafat ditangan Ghazali sangat sulit diwujudkan. Badawi telah mengkajibuku-buku yang berkaitan dengan hal itu, akan tetapi tetap saja tidakmenemukan bukti yang valid untuk tuduhan tersebut. Lebih lanjut lihat,Abdurrahman Badawi, dalam Auhâm Haula al-Ghazâlî., hal. 1-3

Page 22: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

besar dalam khasanah tasawuf. Karya-karyanya dalambidang ini sangat banyak. Diantara bukuterpentingnya adalah “Ihyâ’ Ulûm al-Dîn”. Akan tetapi,orang yang tidak sependapat dengan isi buku inimenyebutnya sebagai “Imâtah Ulûm al-Dîn”.

Terdapat perbedaan antara Ghazali dan ulamasufi kebanyakan.40 Setelah bertahun-tahun dalamperjalanan keilmuan, ia mengalami banyak hal yangmenimbulkan keraguan pada dirinya untuk mengetahuikebenaran hakiki. Kemudian ia berkesimpulan, bahwailmu-ilmu yang ia dapat adalah ilmu yang diwariskansecara turun-menurun tanpa ia koreksi kebenarannya.Saat itu, dalam memahami ilmu ia memang cenderungtaklid, kepada ulama sebelumnya. Hingga akhirnya, iaberkeputusan untuk tidak taklid lagi. Ia kembalikandirinya ke fithrah aslinya; tanpa keberpihakan.Karena kebenaran, tidak akan didapatkan dengan carataklid. Kebenaran hanya akan didapatkan, melauiproses keraguan dengan meragukan segala pengetahuanyang pernah di dapat. Sebagimana yang ia katakan,“Siapa yang tidak pernah ragu, maka tidak akanpernah mencoba untuk mengamati. Siapa yang tidakpernah mencoba mengamati, maka ia tidak akan pernahtahu. Siapa yang tidak tahu, maka akan tetap dalamkebutaan dan kesesatan”.41

Ghazali adalah salah seorang diantara gurubesar para sufi. Tapi kenapa yang ia bantai dalam40 Kalau kita amati dari perkembangan tasawuf yang ada, kebanyakan lebihcenderung ke arah taklid dalam perkembangan ilmunya. Sebagaimana kalimatsufistik yang sudah masyhur, “Murid dihadapan guru, bagaikan mayitdihadapan orang yang memandikannya”. Lebih lanjut, lihat, Lajnah al-Buhuts wa al-Dirrasat bi al-Thariqah al-‘Azmiyyah, al-Shûfiyyah fî ‘Uyûn al-Salafiyyah, Masyikhah al-Thariqah al-‘Azmiyyah, cet. I, 2005, hal. 255 41 Muhyiddin ‘Azuz, al-Lâ Ma’qûl wa Falsafat al-Ghazâlî, Dar al-‘Arabiyyah li al-Kitab, Libia, 1983, hal. 87. Lihat juga, Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidhmin al-Dhalâl, Dar al-Andalus, op. cit., hal. 63

Page 23: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

sejarah pembantaian keilmuan bukan hanya filsafatsaja, bahkan melebar sampai ke tasawuf ? Pertanyaanini dijawab oleh Prof. Macdonald; dikarenakan,sekte-sekte tasawuf yang ada pada saat itu,dianggap sebagai suatu jalan menuju Tuhan yangkeluar dari aturan syariat. Dapat dilihat daripengajaran Ghazali tentang tasawuf kepada murid-muridnya, selalu disesuaikan dengan aturan syariat.Hingga kaum sufi sepeninggal Ghazali, mendapatkantempat yang tinggi diantara muslim Sunny. Bahkan,hampir semua aliran dalam Islam.42

Selain sebagai seorang konseptor dalam teori-teori tasawuf, Ghazali juga seorang praktisi. Initerlihat dari apa yang dikerjakannya semasa ‘uzlah.Selama sepuluh tahun, ia bolak-balik antara bait al-muqaddas dan haji di baitullah. Kemudian i'tikaf dimasjid Umawi yang berada di Damaskus. Disitu, iamenulis bukunya “Ihyâ’ Ulûm al-Dîn”, yang terbilangsebagai referensi penting dalam ilmu tasawuf.

Menurut Mahmud al-Marakibi; disaat Ghazalimelakukan ‘uzlah, hal yang paling mengherankandarinya adalah, mengapa ia tidak menyibukkan diridengan urusan umat Islam (!). Sedangkan saat itu,umat Islam sedang sibuk-sibuknya menahan seranganpasukan salib, hingga akhirnya bait al-muqaddasterlepas dari umat Islam, jatuh ke tangan pasukansalib (492 H). Justru di pengasingannya ia asikmengarang Ihyâ’ Ulûm al-Dîn meninggalkan Daulah al-Dîn.Yang lebih mengherankan lagi, Ghazali sama sekalitidak menulis buku tentang jihad serta pahalanya,juga keutamaan para mujahiddin dan kedudukannyadalam agama.

42 Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 52

Page 24: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Apakah tidak mengherankan (!), Ghazali adalahseorang Hujjah al-Islâm. Setelah bait al-muqaddas jatuhketangan pasukan salib, ia hidup selama 12 tahun.Dan selama itu, ia sama sekali tidak menyinggung-nyinggung kejadian itu dalam bukunya.43 Apa yangdilakukannya itu bertentangan dengan apa yang telahdi tulisnya dalam penjelasannya tentang sufi.Karena, menurut Ghazali seorang sufi itu harusmempunyai dua karakter: Pertama; Istiqamah dalammenjalankan perintah Allah. Kedua; Berbuat baikkepada manusia. Tidak mementingkan diri sendiridengan mengorbankan orang lain. Akan tetapi,mengorbankan diri sendiri untuk orang lain, selamatidak bertentangan dengan syariat.44

Satu hal lagi yang sangat di soroti Marakibiadalah, olehnya membagi ilmu ke dalam dua bagian;lmu dhahir dan ilmu batin45. Walaupun ia menjelaskanbahwa antara dhahir dan batin selamanya siiringsetujuan.46 Tetap saja pembagian itu berbahaya,karena mampu menyebabkan perkembangan kearah fana',baqa', hulûl, dan akhirnya wihdah al-wujud (jawa;manunggaling kawula kalawan gusti).47

Menurut Ghazali, makna ilmu dalam koridorkemampuannya menuntun manusia kejalan mukâsyafah,43 Mahmud al-Marakibi, op. cit., hal. 245. Bandingkan dengan Muhyiddin‘Azuz, op. cit., hal. 7444 Abu Hamid al-Ghazali, Ayyuhâ al-Walad, Majmu’ah al-Rawai’ al-Insaniyyah, hal. 48 45 Pembagian ilmu menjadi dhahir dan batin dalam pengajaran tasawuf,disinyalir oleh Marakibi sebagai pencatutan atas kisah pertemuan NabiMusa dan Nabi (?) Khidhir, Musa sebagai pemilik ilmu dhahir dan Khidhirsebagai pemilik ilmu batin. Lebih lanjut lihat, Mahmud al-Marakibi,Mûsâ wa al-Khidhir, Mathba’ah al-Tijariyah, Qalyub, cet. III, 1996, hal. 46-5846 Mahmud al-Marakibi, ‘Aqâid al-Shûfiyyah fî Dhou’i al-Kitâb wa al-Sunnah, op. cit., hal.24647 Ibid. hal. 237-247

Page 25: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

dibagi menjadi dua : Pertama; Ilmu ‘amaly, yaitu ilmuyang berhubungan dengan tata cara dalam melakukansuatu perbuatan. Kedua; Ilmu nadhary, sepertipengetahuan tentang keadaan jiwa, pada hal-halkeakhiratan.48

Ghazali menganggap bahwa ilmu tharîq al-sulûk, atauilmu untuk ma’rifah kepada Allah sebagai ilmutertinggi dari ilmu lainnya. Dikarenakan, ilmulainnya seperti fikih dan kalam, hanyalah alatuntuk sulûk. Ilmu-ilmu itu mengarah kepadanya.sedangkan ilmu tharîq al-sulûk tidak mengarah kepadayang lainnya. Secara otomatis, posisi ilmu tharîqsulûk berada di titik puncak perjalanan keilmuan.49

Setiap orang pasti mempunyai syahwat. Syahwatini sering-sering menimbulkan malapetaka, jikaempunya syahwat tidak bisa mengontrol danmengalokasikannya dengan baik. Dalam pandanganGhazali, syahwat tidak selamanya jelek. Asal sesuaidengan kedudukan masing-masing, maka syahwat itusah-sah saja. Orang-orang yang ‘ârif billah punmempunyai syahwat, yakni syahwat untuk ma’rifatullah.Syahwat ini tidak beda dengan syahwat anak keciluntuk bermain, syahwat orang akan kedudukan. Akantetapi, syahwat seorang yang ‘ârif billah, tidaklahseperti syahwat lainnya. Karena, makin dekatseseorang kepada Allah, akan semakin bertambah pularasa syahwat itu, bukannya malah berkurang. Berbedadengan syahwat lainnya.50

Dalam ajaran Ghazali tentang ilmu tasawuf,terdapat beberapa hal yang menurut Abu Bakar Ibnu48 Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 4249 Abu Hamid al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’an, ditahkik oleh Dr. MuhammadRasyid Ridha al-Qabbany, Dar Ihya’ al-‘Ulum, Beirut, cet. III, 1990,hal. 41-4250 Abu Hamid al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’an, op. cit., hal. 82-83

Page 26: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

al-‘Arabi (bedakan dengan Ibnu ‘Arabi), muridnyasendiri; sebagai tharîq al-sulûk yang keluar dari aturansyariat diantaranya dalam diskursus al-kasyf. Itudisebabkan, karena Ghazali pernah masuk dalam duniapara filosof, kemudian ia berusaha untuk keluardarinya, akan tetapi tidak mampu. Sehingga hal ituber-atsar terhadap teori-teori tasawuf yang iakembangkan.51

Kejeniusan GhazaliKejeniusan Ghazali diakui dunia. Ia dianggap

sebagai seorang yang telah berhasil membuat madhabistimewa, karena kemampuannya mengkompilasikanagama, akhlaq, filsafat, dan ilmu jiwa dalam satuwadah.52 Sebagaimana di ungkapkan seorang pemikirberkebangsaan Perancis, E. Renan dalam “Histoireg-enerale et systeme compare des languesSemitiques” bahwa "Ghazali adalah salah seorangdiantara para filosof muslim yang mampu membangunaliran khusus dalam pemikiran filsafat". Sedemikianbesarkah penghormatan Renan, yang nota-benenya diapula orang yang pernah berkata “filsafat Arab tidaklain, tidak bukan, hanyalah filasafat Yunani kunoyang ditulis dengan huruf Arab (?)”.53

Pergulatan Ghazali dengan berbagai macamkeilmuan, turut serta mengambil saham dalampembentukan madhab khusus yang ia dirikan. Walaupun

51 Abdul Majid al-Shaghir, Abû Hâmid al-Ghazâlî Dirâsât fî Fikrihî wa ‘Ashrihî waTa’tsîrihî, Kulliyyah al-Adab wa al-‘Ulum al-Insaniyyah, Ribath, 1988, hal.190. Lihat juga, Muhyiddin ‘Azuz, op. cit., hal. 177 52 Bahkan al-Fâdlil Ibnu ‘Asyur mensinyalir bahwa permulaan filsafatIslam, yang benar-benar hasil karya umat Islam sendiri adalah dimulaisejak masa Ghazali ini. Lihat, Muhyiddin ‘Azuz, Ibid., hal. 60 53 Ahmad Syamsuddin dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutubal-‘Ilmiyyah , op. cit., hal. 9

Page 27: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

dalam pengaturan porsinya, kentara bahwa tasawufberada di tempat paling utama.54 Ia gunakan pulailmu logika yang sejalur dengan cara berpikirnya,ilmu logika itu “sedikit dipaksa” untukmenterjemahkan pemahaman-pemahaman tentangkeagamaan. Penggunaan ilmu logika dalam membedahpermasalahan agama ini sangat terlihat di pelbagaibukunya. Walaupun terkadang ia harus membingkailogikanya dalam frame agama; dikarenakan umatIslam saat itu menganggap orang yang berbicaratentang logika sebagai seorang filosof.55

Tidak mengherankan jika ia mendapat kehormatansebesar itu, sebab kalau kita amati, diantarapendapat Ghazali terdapat pendapat yang sangatmirip dengan pendapat filosof setelahnya, yanghidup di Eropa pada masa renaisance. Hal inimembuktikan bahwa ia selangkah lebih maju darifilosof lainnya. Diantaranya Dekaart (Descartes),seorang filosof Perancis pada abad ke-17 M, Deekartini membangun filsafatnya atas asas yang jugapernah dibangun oleh Ghazali,56 yaitu; meragukanpanca indra dan akal, untuk mencapai kebenaran54 Dr. Jamil Shaliba & Dr. Kamil ‘Iyadh dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Andalus, op. cit., hal. 7 55 Hal itu dapat terlihat dalam usahanya meyakinkan bahwa Isa as. Itubukanlah Tuhan, akan tetapi hanyalah seorang Rasul yang diutus kemukabumi. Metode ini di pakai juga oleh seorang Kristolog asal AfrikaSelatan, Ahmad Deedat. Perbedaannya Ghazali lebih banyak menggunakanilmu logika dan pengetahuan yang ia dapat dari Bibel, sedangkan Deedatmencampurkan keduanya dengan sejarah dan bukti-bukti ilmiah. Bandingkanantara al-Ghazali, al-Rad al-Jamîl li Ilâhiyyati ‘Îsâ, dan Ahmad Deedat, The Choice. 56 Abdurrahman Badawi memmbedakan antara Ghazali dan Deekart dalamteori tentang keraguan (auhâm). Ghazali memulai keraguan hinggaakhirnya mendapatkan keyakinan dengan “cahaya Tuhan” (bi nûr qadhafahullah fial-shadr). Sedangkan Deekart memulainya dengan meragukan semua pendapatyang pernah di dengar hingga akhirnya mendapatkannya kembali denganpiranti akal. Lebih lanjut lihat, Abdurrahman Badawi, dalam Auhâm Haulaal-Ghazal, hal. 3-5

Page 28: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

sejati.57 Atau, meragukan segala sesuatu untukmendapatkan keyakinan yang sejati.58 Bisa jugadengan menolak segala keyakinan untuk mendapatkankeyakinan yang benar.59

Hal lain yang menunjukkan atas keluasan ilmunyaialah, retorika yang ia pakai dalam membuktikankebenaran adanya pencipta alam raya dengan segalakekuasaannya, tidak terbatas pada hal-hal disekitarfilsafat. Bahkan lebih jauh, dengan menunjukkanpelbagai macam keajaiban alam, yang penuh denganhikmah-hikmah sains. Walaupun dalam percontohannyaterbatas pada hal-hal yang sesuai denganperkembangan sains masa itu.60

Metode ini pula yang telah di pakai oleh HarunYahya dalam usahanya memberantas berkembangnya“Teori Evolusi”.61 Akan tetapi, metode seperti inidikhawatirkan penggunaannya. Sebab, fakta-faktayang telah didapat terkadang dapat terhapus olehfakta yang datang pada masa yang akan datang.

Buah Tangan Sang Imam57 Teori meragukan akal untuk mencapai kebenaran sejati, merupakanantitesis dari teori yang di cetuskan oleh Socrates, kemudiandilanjutkan oleh Plato dan Aristoteles. Yakni; kebenaran sejati dapatdicerap oleh akal, bukan dengan hissy (sensualistis). Lebih lanjut lihat,‘Iwadhullah Jad Hijazy, al-Mursyîd al-Salîm fî al-Manthiq al-Hadîts wa al-Qadîm, Daral-Thaba’ah al-Muhammadiyyah, Kairo, cet. IX, 1998, hal. 27-29 58 Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,op. cit., hal. 25-29. Bandingkan dengan, Abu Hamid al-Ghazali, al-Qisthâs al-Mustaqîm, op. cit., hal. 61 dan 10159 Abu Hamid al-Ghazali, al-Qisthâs al-Mustaqîm, op. cit., hal. 4160 Baca lebih lanjut, Abu Hamid al-Ghazali, al-Hikmah fî Makhlûqâtillah,ditahkik oleh Dr. Muhammad Rasyid Ridha al-Qabbany, Dar Ihya’ al-‘Ulum,Beirut, cet. I, 1978, hal. 1461 Teori ini disabdakan oleh seorang Inggris bernama Charles RobertDarwin pada tahun 1985 M, yang terkenal dengan bukunya The Origin ofSpecies. Lebih lanjut, lihat Harun Yahya, Memahami Allah Melalui Akal,diterjemahkan oleh Muhammad Shasiq, S.Ag, Versi Elektronik.

Page 29: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Ghazali terkenal sebagai seorang penulis yanghandal, buah karyanya sangat banyak, melingkupiberbagai cabang keilmuan, fikih, kalam, filsafat,tasawuf, hikmah, bahkan psikologi pun tidakketinggalan. Menurut Ahmad Syamsuddin, buku yangditulis Ghazali lebih dari 200 buah, walaudiantaranya terdapat buku yang diragukan akanpenisbatan buku itu terhadapnya. Diantara buku-bukunya yang terpenting adalah al-Munqidh Min al-Dhalâl, Ihyâ Ulûm al-Dîn, Maqâsid al-Falâsifah , Tahâfut al-Falâsifah, dan Mi'yâr al-Ilmi.62

Kalau kita simak setia inci dari tulisanGhazali, kita akan temukan bahwa dalam tulisannyatersirat emosinya sebagai seorang pencarikebenaran. Tulisan yang penuh ruh, menggambarkanperasaan hatinya saat menulis buku-buku itu; halyang jarang dipunyai oleh penulis-penulis lain.Tulisan yang bukan cuma berisi retorika penyampaianbelaka, akan tetapi benar-benar penuh dengangejolak hati yang menguasainya saat itu.

Para pengkaji yang membuka buku-buku Ghazalitanpa mengetahui terlebih dahulu fase-fasepenulisan bukunya, hampir bisa dipastikan akankebingungan dalam menyerap epistem-epistem yangdihasilkannya. Bahkan mungkin akan menganggapGhazali sebagai seorang pemikir yang plin-plan. Halitu disebabkan perubahan idealime yang Ghazalipegang selalu beriring dengan pergulatan dalamkehidupan yang ia alami. Metode berpikirnya seringmengalami perubahan, hasil dari serapan-serapanbaru dari dinamika pengetahuan dan pengalamannya.

62 Ahmad Syamsuddin dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutubal-‘Ilmiyyah, op. cit., hal. 8

Page 30: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Maka sangat perlu untuk mengetahui fase-fasepenulisan buku-buku utamanya.Pertama: (dari 478-484 H) bukunya "al-Wajîz".Kedua: (dari 484-488 H) bukunya "al-Maqâshid al-Falâsifah, al-Tahâfut al-Falâsifah, al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, al-Mustadhhiry.Ketiga: (dari 492-495 H) bukunya "Ihyâ' Ulûm al-Dîn(telah dimulai penulisannya sebelum saat itu), al-Mustashfâ, Kimiya' al-Sa'âdah, Minhaj al-‘Abidîn.Terakhir: (dari 495-505 H) bukunya "Mi'yâr al-‘Ilmy, MihakNadhar, al-Maqshad al-Asnâ, al-Ajwibah al-Muskitah, Mizanal-‘Amal, Jawâhir al-Qur'ân, al-Misykat al-Anwâr, Qisthas al-Mustaqîm, Iljâm al-‘Awâm, Faishal al-Tafriqah, al-Munqid minal-Dhalâl, al-Risâlah al-Laduniyyah.63

PenutupPengetahuan serta pengalaman setiap manusia

akan mempengaruhi perjalanan hidupnya. Mungkin kearah yang lebih baik, ataupun justru kearah yanglebih buruk. Usaha mendaya-upayakan pembacaanterhadap pengalaman, adalah sebuah usaha yangsangat sulit. Keberhasilan darinya akan membentuksebuah perkembangan sangat besar bagi orang yangmelakukannya.

Begitu pun Ghazali, beriring ilmu yang iadapati, pengalaman hidupnya selalu berpengaruhdalam kemajuan cara berpikirnya. Keberhasilannyadalam membaca kehidupan, sangat mewarnai caraberpikir, mendarah daging menggolakkan emosinyauntuk sebuah pencarian dengan pengorbanan yangcukup besar.63 Ini adalah catatan yang dibuat Masinion dalam bukunya. Untuk lebihlengkapnya, lihat Abdurrahman Badawi, Muallafât al-Ghazâli, Wakalah al-Mathbu’at, Kuwait, cet. II, 1977, hal. 10-17

Page 31: MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali

Ghazali sosok yang sangat perlu untuk dijadikansebagai suri-tauladan, dalam keberhasilannyamengolah emosi menjadi suatu keinginan untuk terusmencari apa yang belum di ketahuinya. Bahkan, yangsudah ia ketahui pun ia letakkan kembali untukkemudian di pahami dengan hati-hati, di analisa dankemudian ia susun menjadi sebuah rumus khusus,untuk ideologinya yang istimewa.

Telah cukup banyak orang mencaci-maki, bahkanmengkafirkan Ghazali karena pemikiran-pemikirannya.Akan tetapi, si pencaci tidak mampu untukmengalahkan atau paling tidak mengimbangi Ghazali,dalam segala keberhasilannya. Banyak juga yangterlalu memuji Ghazali, hingga si pemuji terkuburoleh rasa bangga terhadapnya, tetap seperti adanya,tetap menjadi seorang yang membebek secara setiaterhadap pemikiran-pemikiran yang telah dilontarkan Ghazali.

Dan semoga kita menjadi orang yang bijak...! Wallâhu A’lam.